1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan rahmat dan hidayahNya kepada saya, hingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, guna menambah pengetahuan seluruh mahasiswa/i.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang turut dalam membantu saya menyelesaikan makalah ini Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka penulis menerima segala kritik dan saran guna untuk kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, 2 Mei 2018
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................... ................................................................ ..................................... ...............
1
B. Rumusan Masalah ............................................. .................................................................... ............................. ......
2
C. Tujuan ............................................ .................................................................. ............................................ .......................... ....
5
D. Manfaat .......................................... ................................................................ ............................................ .......................... ....
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Keuangan Daerah .......................................... ................................................................. ................................. ..........
6
B. Otonomi Daerah ............................................ ................................................................... ................................. ..........
9
BAB III PEMBAHASAN
A. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerntah daerah.. 15 B. Dilema atau permasalahan yang terjadi ......................................... ......................................... 18 BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................ .................................................................. ........................................ .................. 25 B. Saran........................................... .................................................................. ............................................. ............................. ....... 26
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu bentuk intergral yang dilakukan pemerintah dengan melakukan pembangunan yang merata di seluruh wilayah menyeratkan indikasi keseriusan dari para pemimpin negara kita untuk kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya. Salah satunya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 pada Januari 2001, mengenai desentralisasi fiskal, yaitu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan UUD 1945 pada Pasal 18A ayat 2 dimana termuat (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dansumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”.
Mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki banyak pulau yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Dengan kedudukan ibu kota negara berada di jakarta, permasalah yang telah lama muncul akibat dari begitu luasnya negara kita adalah, apakah pemerintahan pusat berlaku adil terhadap pemerintahan yang ada di daerah, baik sebelum dan setelah adanya kebijakan mengenai otonomi daerah (Desentralisasi).
Desentralisasi
memberikan
implikasi
yang
bervariasi
terhadap
kegiatan
pembangunan antar daerah, tergantung pada pengaturan kelembagaan, dan desain menyeluruh dari pembagian wewenang dan perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah. Risiko paling besar adalah ketika sumber utama
2
penerimaan pemerintah diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa diikuti langkah-langkah kebijaksanaan yang menjamin mobilisasi pendapatan daerah untuk membiayai berbagai pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Permasalahanaya sekarang adalah apakah pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut mampu memberikan dampak positif terhadap distribusi pendapatan masyarakat melalui kebijakan pengeluaran sektor publik, serta kebijakan fiskal dan desain sumbangan pemerintah pusat kepada daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil judul tentang: Hubungan keuangan daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah
B. Rumusan Masalah 1. Keuangan daerah
Keuangan Daerah atau anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu. Selanjutnya Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002:9).
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban pemerintah daerah dalam bentuk
3
uang (rupiah) yang dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Keuangan Daerah haruslah diolah oleh Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pengelolaan
sumber
daya
keuangan
daerah
serta
untuk
meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah, antara lain memberikan keleluasaan dalam menetapkan produk pengaturan yaitu sebagai berikut: a. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan daerah. b. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Surat Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah tersebut. c. Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada DPRD mengenai pengelolaan keuangan daerah dan kinerja keuangan daerah dari segi efisiensi dan efektifitas keuangan. d. Laporan pertanggungjawaban keuangan daerah tersebut merupakan dokumen daerah sehingga dapat diketahui oleh masyarakat.
2. Otonimi daerah
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:992), otonomi adalah pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, definisi
4
otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan”
Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku (Hanif Nurcholis, 2007:30). Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh daerah otonom (local self-government) adalah kabupaten dan kota.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom penuh. Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu
5
kepada kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah: “Bagaimana hubungan keuangan daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah?”
C. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hubungan keuangan daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah.
D. Manfaat 1. Bagi Penulis
Dengan
adanya
penulisan
makalah
ini
diharapkan
memperluas
pengetahuan dan wawasan peneliti tentang hubungan keuangan daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah. 2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penulisan
makalah
diharapkan
dapat
memberi
manfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan acuan untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan keuangan daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah. 3. Bagi masyarakat
Diharapkan dapat memberikan informasi tentang hubungan keuangan daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah. 4. Bagi pembuat kebijakan
Penelitian ini dapat dijadikan acuan atau bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan mengenai hubungan keuangan daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Keuangan Daerah
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah sebagai berikut: “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” (Pusdiklatwas BPKP, 2007).
Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan suatu daerah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Halim (2007) men gungkapkan bahwa kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya untuk mengukur kemampuan keuangan Pemerintah Daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
Menurut Halim (2007), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari “keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran
7
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik daerah. Keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).”“Keuangan daerah dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Oleh sebab itu, keuangan daerah identik dengan APBD.”
Pengertian laporan keuangan sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, adalah bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Negara dan daerah selama suatu periode. Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, disusun berdasarkan Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pengertian Laporan Realisasi Anggaran sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, adalah laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama suatu periode.
Menurut Halim (2007), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah “rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.” Menurut Saragih (2003), “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu, umumnya satu tahun.” Unsur -Unsur APBD menurut Bastian (2006) adalah sebagai berikut:
8
a. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci. b. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan. c. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. d. Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun.
Klasifikasi APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri No. 13/ 2006 pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian, yaitu : “pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.”
Pendapatan
daerah
sebagaimana
dimaksud
dalam
pasal
22
ayat
(1)
dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SILPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah (Permendagri 13/ 2006).
9
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 pasal 1 dalam Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. 2. Pedoman Penyusunan APBD, adalah pokok-pokok kebijakan yang harus diperhatikan dan dipedomani oleh pemerinah daerah dalam penyusunan dan penetapan APBD. 3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota. 4. Kepala Daerah adalah Gubernur dan Bupati/ Walikota.
B. Otonomi Daerah
Otonomi daerah pertama kali di laksanakan di Indonesia per 1 Januari 2001. Tuntutan otonomi daerah tersebut muncul karena proses pembangunan di Indonesia sebelumnya telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antara wilayah di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Kesenjangan tersebut terjadi karena adanya ketidakmerataan dalam alokasi investasi antarwilayah yang berpengaruh dalam memicu dan memacu ketidakseimbangan dalam pertumbuhan antar wilayah (Waluyo, dalam Badrudin, 2012: 3).
Secara etimologis, kata otonomi berasal dari bahasa latin: auto berarti sendiri dan nomein berarti peraturan, atau undang-undang. Maka autonom berarti mengatur sendiri, atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak untuk mengatur
10
dan mengurus rumah tangga daerah sendiri . Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2014, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dijelaskan pula bahwa Republik Indonesia menganut asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan
dalam
penyelenggaraan
pemerintah
dengan
member
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi dearah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Otonomi dearah merupakan realisasi dari ide desentralisasi. Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi itu sendiri.
Menurut
Sidik
(Badrudin,
2012:19),
konsep
desentralisasi
terdiri
atas
desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi administrasi. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dan menetapkan prioritas pembangunanya. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah dalam mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing. Menurut Mardiasmo (2002: 1 dan 7) otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Dengan adanya desentralisasi fiskal daerah dituntut
11
untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya sehingga mampu bersaing dengan daerah lain melalui penghimpunan modal pemerintah daerah untuk kebutuhan investasi dan atau kemampuan berinteraksi dengan daerah lain. Agar tujuan desentralisasi fiskal dapat tercapai, maka terdapat empat elemen utama yang harus diperhatikan (Mardiasmo, 2005: 12- 14), yaitu 1) sistem dana perimbangan (transfer), 2) sistem pajak dan perimbangan daerah, 3) sistem administrasi dang anggaran pemerintah pusat dan daerah, serta 4) penyediaan layanan publik.
Menurut Abdul Halim (Andriyanto et all 2007: 2) agar implementasi otonomi daerah dapat berhasil dengan baik paling tidak ada lima strategi yang harus diperhatikan yaitu: (i) Self Regular Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan masyarkat didaerahnya. (ii) Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan komdisi daerah ternmasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah. (iii) Creating Local Political Support, dalam arti penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik pada posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif. (iv) Managing Financial Resources, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. serta (v) Developing Brain Power, dalam arti membangun sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas menyelesaikan masalah.
12
Menurut Said (Badrudin, 2012:17), terdapat empat perspektif yang mendasari segi positif dan empat perspektif yang mendasari segi negative otonomi daerah. empat perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yaitu sarana untuk 1) demokratisasi, 2) membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintah, 3) mendorong stabilitas dan kesatuan nasional, dan 4) memajukan pembangunan daerah. Sedangkan empat perspektif negative yang mendasari otonomi daerah, yaitu 1) menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan yang tidak diharapkan, 2) melemahkan kualitas pemerintahan, 3) menciptakan kesenjangan antardaerah yang lebih besar, dan 4) memungkinkan terjadinya penyimpangan arah demokrasi yang lebih besar.
Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Keuangan Daerah tujuan otonomi daerah adalah sebagai berikut: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahn yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan
masyarakat
atau
adanya
peran
serta
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pembangunan didaerah. Sementara upaya peningkatan daya saing diharapkan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan keanekaragaman yang dimilki oleh darah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka
13
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tamboto et all 2014: 756757).
Menurut Mardiasmo (2002: 59), tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan hidup demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Halim (2009) dalam Sijabat et all (2013: 237) pelaksanaan otonomi daerah, salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur rumah tangganya adalah self supporting di dalam bidang keuangan. Artinya, daerah harus mampu untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri serta mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan daerahnya. Tujuan otonomi daerah menurut Smith (1985) dalam Analisa CSIS yang dikemukakan oleh Syarif Hidayat dalam Abdul Halim, (2004: 23) dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari sisi Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik, pelatihan kepemimipinan,
14
menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan demokrasi sistem Pemerintah di daerah. Sementara, bila dilihat dari sisi Pemerintha Daerah ada tiga tujuan yaitu: a. Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah. b. Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat. c. Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkam akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan dan ekonomi daerah.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usahausaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu: a. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. b. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002: 3).
15
BAB III PEMBAHASAN
A. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerntah daerah
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 sebagai awal dari pelaksanaan desentralisasi fiskal ditegaskan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu sistem pembiyayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencangkup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan di setiap daerah yang dilaksanakan secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan.
Disadari bahwa masalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang indentik dengan muatan ketatanegaraan, politik, sosial budaya, ekonomi, dan administrasi negara secara keseluruhan, maka masalah perimbangan keuangan sebenarnya hanyalah refleksi dari pembagian kekuasaan antara instansi, Baik
pusat
maupun
daerah,
untuk
itu
beberapa
kriteria-kriteria
dalam
kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yakni : a. Pemberian otonomi daerah yang lebih luas, dimana daerah otonom diberi kebebasan dalam menentukan prioritas dan pengambilan keputusan disektor publik serta bersifat fleksibel. b. Tersedianya sumber-sumber penerimaan daerah yang memadai untuk menjalankan tugas dan fungsinya.
16
c. Bantuan yang di serahkan pusat ke daerah sesuai dengan porsi serta kemampuan daerah untuk mengelola dana bantuan tersebut. d. Pusat harus menjamin ketersedian dana setiap daerah otonom. e. Dalam pemberian DAU pemerintah harus besifat netral dan sesuai dengan kebutuhan daerah otonom f. Kesederhanaan, formula pembagian bantuan pusat kepada daerah otonom (hindari kriteria pembagian ambigous dan tidak operasional). g. Insentif, pemerintah harus dapat membinana daerah otonom untuk melakukan efisiensi ekonomi dalam menentukan pelayanan sektor publik. h. Memberikan kebebasan yang bertanggung jawab terhadap daerah otonom untuk menjalankan kegiatan pemerintahannya serta pelayanan yang perima kepada masyarakat. i.
Kewenangan penuh daerah otonom dalam jangka panjang yang di berikan pusat ke daerah secara bertahap untuk mencangkup semua kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal nasional dan kebijakan strategis nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan (terutama mencangkup perumusan kebijakan, pengendalian pembangunan sektoral dan nasional dan kebijakan standarisasi nasional).
Dasar dari kesepuluh kriteria tersebut secara garis besar telah dimuat dalam UUD 1945 Pasal 18A ayat yang ke-2 dimana “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang”.
17
Beberapa pertimbangan dalam pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah: a. Peningkatan efisiensi pelayanan pada sektor publik. b. Mengaudit permasalahan keuangan yang mengalami ketimpangan untuk memperoleh keseimbangan keuangan. c. Peningkatan
pelayanan
dengan
menerapkan
standart
pelayanan
yang
minimum.
Dampak langsung penyerahan fungsi yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, membutuhkan dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya tersebut, kepada daerah
diberikan
sumber-sumber
pembiayaan,
baik
melalui
pemberian
kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman. Sistem pembiayaan tersebut merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan pengaturan-pengaturan yang selama ini berlaku. Dengan kebijaksanaan tersebut sistem pembiayaan daerah menjadi sangat jelas. Keleluasaan Kepela Daerah telah diberikan untuk memungut pajak/retribusi sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor18 Tahun 1997 yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 yang lebih memberikan
kewenangan
kepala
Daerah.
Dalam
aturan
itu
pemerintah
kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk memungut pajak selain yang ditetapkan dalam UU yang harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Demikian juga dengan provinsi juga diberikan kewenangan untuk memungut retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.
18
Selain itu, bentuk kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui dana perimbangan diharapkan dapat menanggulangi ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya dari pajak dan retribusi. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil pajak dan SDA yang disebut dengan bagian daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan pajak yang dibagi hasilkan yaitu pajak penghasilan perorangan, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). sedangkan penerimaan SDA yang dibagi hasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.
Dana bagi hasil dimaksud diakui akan menyebabkan variasi antar daerah karena didasarkan atas daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu. Namun demikian, variasi antar daerah tersebut dapat diantisipasi melalui DAU yang diberikan dan didesain dengan mempertimbangkan sisi kemampuan keuangan dan kebutuhan daerah. Dengan kata lain, DAU ditujukan untuk pemerataan
keuangan
antar
daerah
sehingga
semua
daerah
mempunyai
kemampuan yang relatif sama untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya.
B. Dilema atau permasalahan yang terjadi
Indonesia merupakan negara yang baru dalam menetapkan sistem desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, jadi tidak dapat kita lari dari kenyataan akan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, berikut beberapa permasalahan yang kerap di hadapi dalam pelaksanaan kebijakan keuangan antara pusat dan daerah antara lain :
19
1. Pungutan Daerah
Sesuai dengan pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengenankan pungutan baru selain yang ditetapkan Undang-Undang Nomor34 Tahun 2000 jo PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, telah banyak menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya.
Dengan
menghidupkan
kembali
kewenangan
tersebut,
pungutan-pungutan
banyak yang
daerah
dulunya
telah telah
dihapus/dilarang dengan Undang-Undang Nomor18 Tahun 1997. Tindakan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila daerah mematuhi ketentuan yang berlaku dimana telah ditetapkan secara tegas kriteria dari pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah.
2. Taxing power
Sesuai dengan penggunaan PAD dalam rangka kemandirian pembiayaan daerah adalah kewenangan perpajakan (taxing power ), daerah yang sangat terbatas akan sumber daya tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD. Kondisi seperti ini tidak menunjang keadaan yang setabil dalam penggunaan anggaran daerah, di mana keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai kebutuhan daerahnya idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila taxing power dari daerah diperbesar. 3. Perimbangan Keuangan
Pelaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah terkesan dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada pembimbing dalam pergerakannya, karena masalah pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah saja masih belum
20
menemukan titik temu di antara keduanya. Pembiayaan yang seyogianya akan mengikuti kewenangan yang diserahkan namun di biarkan berjalan di depan tanpa ada penuntun arah yang jelas, sehingga perhitungan DAU yang akan dialokasikan kepada daerah tiadak memiliki gambaran yang jelas tentang besaran beban pelimpahan kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah. Namun dari keadaan tersebut, pada era awal-awal pelaksanaa desentralisasi bidang keuangan telah menghadapi ketidaksesuaian pembiayaan baik positif maupun negatif. Ini disebabkan karena adanya kessenjangan antara pusat dan daerah serta adanya wilayah atau ruang lingkup yang tidak terbukak yang cukup luas dalam pemisahan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan pengaturan yang ada hanya memuat bahwa yang mengatur kewenangan adalah pusat dan provinsi, sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota tidak ada kejelasan dari peraturan yang ada, sementara seharusnya kewenangan kabupaten dan kota adalah kewenangan yang terlepas dari kewenangan pusat dan provinsi.
Salah satu indikator yang mungkin bisa dijadikan tolok ukur dalam melihat adanya ketidak sesuaian adalah dari proses transfer pegawai dari pusat ke daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta dari provinsi ke kabupaten/kota. Sampai saat ini proses pengalihan pegawa daerah provinsi menjadi pegawai daerah kabupaten/kota belum selesai. Sementara provinsi justru telah menerima pengalihan pegawai dari pemerintah pusat (akhir bulan maret 2001). Dipihak lain, sumber keuangan daerah provinsi semakin berkurang namun beban pembiayaan khusunya dari beban belanja pegawai justru mengalami peningkatan.
21
4. Bagi Hasil
Dalam rangka penyaluran dana bagi hasil juga dihadapkan dengan beberapa dilema, walaupun secara umum dapat dilakukan sesuai dengan rencana. Dalam penetapan bagi hasil kepada daerah terutama dari SDA yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.343 Tahun 2001 tidak menyebut secara tegas apakah penyaluran berdasarkan realisasi atau budget APBN Tahun 2001. Jika penyaluran dilakukan atas dasar budget, maka APBN Tahun 2001 tidak sanggup menutup kekurangannya dikarenakan beberapa sektor penerimaan SDA tidak dapat memenuhi target penerimaan yang ditetapkan dan bahkan relatif sangat kecil, seperti penerimaan SDA sektor perikanan. Sementara jika dilakuakan atas dasar realisasi, maka pelaksanaan penyaluran dalam Triwulan IV pada bulan Desember 2001 tidak dapat dilakukan karena tahun anggaran berkahir pada tanggal 31 Desember 2001, sehingga konsekuensi realisasi penyaluran dalam Triwulan IV harus dicarry over dalam tahun berikutnya. Jika hal ini ditempuh akan menyulitkan cash flow di daerah mengingat. Daerah sudah menetapkan bagi hasil tersebut dalam APBD Tahun 2001, sedangkan sebagian dari penerimaan bagi hasil SDA dalam tahun anggaran berjalan baru dapat diterima dalam tahun anggaran berikutnya.
Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan penyaluran dana bagi hasil yang didasarkan atas dasar realisasi penyaluran dilakukan secara periodik tiap minggu, bulanan atau triwulanan tergantung jenis penerimaannya. Dengan mekanisme seperti itu, maka kelancaran likuiditas keuangan daerah dapat terjaga, dapat mengurangi resiko yang harus ditanggung APBN apabila
22
realisasi penerimaan yang menjadi hak daerah lebih kecil dari yang telah ditetapkan, dan daerah dapat lebih menggunakan perinsip kehati-hatian serta menjaga akuntabilitas atas penyusunan dan pelaksanaan APBD-nya.
5. Penetapan Dana Alokasi Khusu (DAK)
Dalam penetapan DAK, masih ada keengganan pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana di luar Dana Reboisasi (DR). Hal ini tercermin dengan pelaksanaan APBN dalam tahap awal pelaksanaan desentralisasi fiskal yang masih menganggarkan DAK dari DR saja. Selayaknya dengan pelaksanaan otonomi daerah, anggaran sektoral di APBN sudah dapat ditekan. Hal ini mengingat sebagian besar kewenangan sudah beralih ke daerah sebagai kewenangan desentralisasi. Namun dalam kenyataannya masih terdapat kegiatan-kegiatan desentralisasi yang masih dibiayai oleh anggaran sektoral, walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh daerah melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
6. Formula Dana Alokasi Umum (DAU)
Sesuai dengan penetapan DAU, diamana DAU digunakan guna perimbangan keuangan keuangan antar daerah, dana ini digunakan untuk menutup adanaya perbedaan yang muncul akibat kebutuhan suatu daerah ternyata jauh dari kemampuan dana yang ada di daerah atau potensi daerah tersebut, kemudian dalam pengaturannya daerah yang memiliki potensi keuangan yang relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah yang miskin secara keuangan. Dalam perhitungan DAU tahun 2001 diakui memang terdapat banyak kelemahan sehingga konsep fiscal gap belum dapat
23
dioptimalkan dan daerah-daerah maju/kaya juga memperoleh DAU yang relatif besar. Kondisi ini dicoba untuk diperbaiki dengan formula DAU yang lebih efektif dan digunakan dalam perhitungan DAU tahun 2001, sehingga ada beberapa daerah yang penerimaan DAU-nya tahun 2001 dikoreksi dan memperoleh DAU yang lebih kecil dibandingkan tahun 2001.
Adanya penurunan DAU telah menimbulkan kecaman keras dari beberapa daerah yang mengalami penurunan tersebut dan mengharap kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali formula dan perhitungan agar tidak terjadi penurunan. Dalam hal ini, ada perbedaan pola pandang antara pusat dan daerah mengenai alokasi DAU. Bagi pemerintah pusat, alokasi DAU dimaksudkan sebagi alat untuk pemerataan atau mengisi keuangan di dalam strurktur keuangan daerah, sementara bagi daerah, alokasi DAU dimaksudkan untuk mendukung kecukupan daerah (sufficiency). Perbedaan tersebut sering bermasalah ketika daerah minta kepada pusat untuk memberikan DAU sesuai dengan kebutuhan daerah.
Penurunan DAU tahun 2002 dibandingkan dengan DAU tahun 2001 yang dialami beberapa daerah telah diakomodasi oleh Panitia Anggaran DPR-RI, sehingga dengan pertimbangan bersifat politis telah menginstruksikan pemerintah pusat untuk melakukan penyesuaian dengan batasan bahwa tidak ada daerah yang mengalami penurunan DAU tahun 2002 atau minimal sama dengan penerimaan DAU tahun 2001 di tambah Dana Kontinjensi 2001. Paradigma
ini
menunjukkan
bahwa
pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
khususnya alokasi DAU dalam rangka perimbangan keuangan antar daerah
24
untuk mengatasi horizontal imbalance belum dapat dilakukan secara optimal dan masih memerlukan tahap-tahap selanjutnya dalam memantapkan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
25
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilema dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah akan selalu ada jika tidak terdapat kejelasan mengenai ketentuan mengenai dimana posisi masingmasing di antara keduanya, karena pelaksanaan desentralisasi fiskal ini semata-mata hanya sebagai suatu keharusan dilakukan bukan dianggap sebagai suatu perbuatan yang mulia terutama bagi pemerintah pusat dan provinsi, dimana selalu ada pembatasan terhadap pemerintah kabupaten dan kota, sedangkan seharusnya kewenangan kabupaten dan kota merupakan kewenangan yang bebas dari kewenangan pusat dan provisi. Kemudian dalam penetapan DAU seharusnya kita tidak hanya menyalahkan pemerintah saja karen penurunan DAU yang di berikan pemerintah, karena DAU yang di turunkan ke setiap daerah itu setelah melalui pertimbangan mengenai potensi yang ada di daerah tersebut, apabila DAU di berikan besar namun SDM dan kuranganya pemanfaatan yang baik serta kelebihan dana maka dana tersebut akan ditarik kembali kepusat yang akan menyebabkan penumpukan dana yang besar di pusat yang kemudian akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak sewajarnya menggunakan dana tersebut yang menyebabkan adanya korupsi.
Namun ini semua juga tidak dapat kita menyalahkan siapapun, karena kita tahu bahwa proses desentralisasi fiskal ini masih baru di negara kita jadi kita masih dalam masa proses perbaikan dari masa sentralisasi menjadi desentralisasi murni, namun kita harus trus bersabar dan bersama-sama
26
melakukan perubahan yang mendasar yang kemudian akan ada perubahan yang menyentuh sendi-sendi pemerintahan yang lebih dalam lagi.
B. Saran
1. Kiranya baik pemerintah pusat maupun daerah mengkaji ulang mengenai masalah pemisahan kewenangan antara mereka, 2. Baik pemerintah pusat dan provinsi kiranya memeberikan kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota sebagai mana mestinya, 3. Pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan SDM daerah dan dapat membuat program-program yang bermanfaat bagi masyarakat, jadi tidak ada lagi seminar mendesak setiap akhir tahun agar DAU dapat berfungsi dengan baik.
27
DAFTAR PUSTAKA
Haris
Syamsuddin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah), Penerbit LIPI Press, Cetakan Kedua, Jakarta 2005
Richrd M.Bird, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang , Gramedia, 2000, hlm 2. UUD 1945 dan Amandemennya, Penerbit FOKUSMEDIA, edisi 2011, Bandung 2011 Sumber Online: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah