1
KATA PENGANTAR EDISI III: 1996
Dua belas tahun sudah sejak tahun 1984, kami terlibat langsung pada tuntutan lingkungan akademik pasca sarjana yang banyak memerlukan arahan dan bimbingan metodologik dalam penyusunan disertasi dan tesis, dan tidak jarang menjangkau pula substansi yang terbawa oleh runtutan tuntutan karakteristik metodologinya. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi pendorong mengapa buku Metodologi Penelitian Kualitatif (MPK) ini dikembangkan terus yang pada kali ini menjadi Edisi III tahun 1996, - setelah revisi Edisi II tahun 1990, atas terbitan Edisi I tahun 1989. Pertama, buku ini dikembangkan terus atas alasan: sifat spesifik buku ini yang membahas metodologi penelitian diberangkatkan dari filsafat ilmu yang mendasari metodologi penelitiannya. Kedua, agar tumbuh watak akademik sadar atas landasan filosofik atas pilihan metodoiogi masing-masing peneliti, agar yang bersangkutan tumbuh keilmuannya dalam paradigma yang tepat dari filsafat disiplin ilmunya sampai ke operasionalisasi metodologi penelitiannya. Atas alasan itu buku ini ditulis dalam tatanan menurut filsafat ilmunya. Ketiga adalah telah tumbuhnya kecenderungan baru untuk menjangkau nilai dan moral dalam, berilmu pengetahuan, sehingga disajikan pula alternatif yang memerlukan metodologi yang mendukung kecenderungan tersebut. Nilai dan moral dalam arti etik ataupun transendental. Tidaklah berlebihan bila kami mengclaim bahwa buku kami Metodologi Penelitian Kualitatif merupakan buku pertama yang menelaah metodologi diberangkatkan dari filsafat ilmu yang melandasinya. Kami telah memberi pembekalan metodologi penelitian di Pasca Sarjana sejak tahun 1984, dan menuangkan menjadi buku Metodologi Penelitian Kualitatif diberangkatkan dari filsafat ilmu pada tahun 1989 (Edisi 1). Sepengetahuan kami barulah tahun 1994 terbit buku Hand Book of Qualitative Research yang diterbitkan oleh Sage Publications, Inc. Yang menghimpun telaah metodologi penelitian kualitatif dan dikelompokkan sesuai dengan filsafat ilmu yang mendasarinya lima taliun setelah buku kami edisi I terbit. Memang pada edisi III kanii menggunakan buku Denzin & Lincoln tersebut sebagai referensi, yang menghasilkan penataan pendekatan phenomenologik dalam urutan urutan perkembangannya. Dari mata kuliah Seminar Disertasi kami menghadapi banyak tuntutan atau lebih tepat disebut harapan agar mereka dibantu bagaimana masalahnya atau tujuannya dapat dicapai; dan kebanyakan mereka itu masing-masing telah memiliki prakonsep yang sadar atau kurang sadar telah mengikuti filsafat ilmu tertentu dan dengan sendirinya harus mengikuti metodologi yang sesuai. Dalam arti kata lain, beberapa mau menggunakan metodologi yang sedang mode, tetapi tidak memahami filsafat ilmu dari metodologi tersebut. Mencarikan metodologi penelitian yang sesuai dan sekaligus koheren dengan filsafat ilmunya, dalam dialog dengan mahasiswa pasca sarjana yang cerdas benar-benar merupakan perjalanan akademik yang mengasyikkan. Hasilnya menjadi buku Metodologi Penelitian Kualitatif yang akan terus kami ekstensikan, dan hasil lain berupa tesis dan disertasi yang momot aspek-aspek spesifik di mana kami sebagai promotor ataupun selaku konsultan menjadi ikut memberi warna. Meskipun perlu diakui bahwa karya disertasi adalah karya yang menjadi tanggungjawab promovendus, bukan promotor. Arah telaah buku Handbook of Qualitative Research, yang diedit oleh N.K. Denzin dan Yvona S. Lincoln lebih merekomendasikan wawasan pluralisme budaya, pluralisme ontologik. Kami dalam buku Metodogi Penelitian Kualitatif ini menawarkan ragam alternatif yang pemilihannya tergantung pada wawasan ontologik peneliti: apakah mengakui kebenaran pluralistik atau mengakui kebenaran universal. Dalam sejarah filsafat ilmu keduanya ada secara klasik, yang pluralistik berpegang pada aktualisasi ilmu, pada appearance atau phenoumenon, sedangkan yang mengakui kebenaran
2
KATA PENGANTAR EDISI III: 1996
Dua belas tahun sudah sejak tahun 1984, kami terlibat langsung pada tuntutan lingkungan akademik pasca sarjana yang banyak memerlukan arahan dan bimbingan metodologik dalam penyusunan disertasi dan tesis, dan tidak jarang menjangkau pula substansi yang terbawa oleh runtutan tuntutan karakteristik metodologinya. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi pendorong mengapa buku Metodologi Penelitian Kualitatif (MPK) ini dikembangkan terus yang pada kali ini menjadi Edisi III tahun 1996, - setelah revisi Edisi II tahun 1990, atas terbitan Edisi I tahun 1989. Pertama, buku ini dikembangkan terus atas alasan: sifat spesifik buku ini yang membahas metodologi penelitian diberangkatkan dari filsafat ilmu yang mendasari metodologi penelitiannya. Kedua, agar tumbuh watak akademik sadar atas landasan filosofik atas pilihan metodoiogi masing-masing peneliti, agar yang bersangkutan tumbuh keilmuannya dalam paradigma yang tepat dari filsafat disiplin ilmunya sampai ke operasionalisasi metodologi penelitiannya. Atas alasan itu buku ini ditulis dalam tatanan menurut filsafat ilmunya. Ketiga adalah telah tumbuhnya kecenderungan baru untuk menjangkau nilai dan moral dalam, berilmu pengetahuan, sehingga disajikan pula alternatif yang memerlukan metodologi yang mendukung kecenderungan tersebut. Nilai dan moral dalam arti etik ataupun transendental. Tidaklah berlebihan bila kami mengclaim bahwa buku kami Metodologi Penelitian Kualitatif merupakan buku pertama yang menelaah metodologi diberangkatkan dari filsafat ilmu yang melandasinya. Kami telah memberi pembekalan metodologi penelitian di Pasca Sarjana sejak tahun 1984, dan menuangkan menjadi buku Metodologi Penelitian Kualitatif diberangkatkan dari filsafat ilmu pada tahun 1989 (Edisi 1). Sepengetahuan kami barulah tahun 1994 terbit buku Hand Book of Qualitative Research yang diterbitkan oleh Sage Publications, Inc. Yang menghimpun telaah metodologi penelitian kualitatif dan dikelompokkan sesuai dengan filsafat ilmu yang mendasarinya lima taliun setelah buku kami edisi I terbit. Memang pada edisi III kanii menggunakan buku Denzin & Lincoln tersebut sebagai referensi, yang menghasilkan penataan pendekatan phenomenologik dalam urutan urutan perkembangannya. Dari mata kuliah Seminar Disertasi kami menghadapi banyak tuntutan atau lebih tepat disebut harapan agar mereka dibantu bagaimana masalahnya atau tujuannya dapat dicapai; dan kebanyakan mereka itu masing-masing telah memiliki prakonsep yang sadar atau kurang sadar telah mengikuti filsafat ilmu tertentu dan dengan sendirinya harus mengikuti metodologi yang sesuai. Dalam arti kata lain, beberapa mau menggunakan metodologi yang sedang mode, tetapi tidak memahami filsafat ilmu dari metodologi tersebut. Mencarikan metodologi penelitian yang sesuai dan sekaligus koheren dengan filsafat ilmunya, dalam dialog dengan mahasiswa pasca sarjana yang cerdas benar-benar merupakan perjalanan akademik yang mengasyikkan. Hasilnya menjadi buku Metodologi Penelitian Kualitatif yang akan terus kami ekstensikan, dan hasil lain berupa tesis dan disertasi yang momot aspek-aspek spesifik di mana kami sebagai promotor ataupun selaku konsultan menjadi ikut memberi warna. Meskipun perlu diakui bahwa karya disertasi adalah karya yang menjadi tanggungjawab promovendus, bukan promotor. Arah telaah buku Handbook of Qualitative Research, yang diedit oleh N.K. Denzin dan Yvona S. Lincoln lebih merekomendasikan wawasan pluralisme budaya, pluralisme ontologik. Kami dalam buku Metodogi Penelitian Kualitatif ini menawarkan ragam alternatif yang pemilihannya tergantung pada wawasan ontologik peneliti: apakah mengakui kebenaran pluralistik atau mengakui kebenaran universal. Dalam sejarah filsafat ilmu keduanya ada secara klasik, yang pluralistik berpegang pada aktualisasi ilmu, pada appearance atau phenoumenon, sedangkan yang mengakui kebenaran
2
universal berpegang pada idealisasi ilmu, pada real existence atau noumenon. Sebagian lebih mementingkan act locally, sedangkan sebagian lain lebih mementingkan think globally. Di samping wawasan ontologik, wawasan epistemologik masing-masing dapat berperan pula. Penganut positivisme berpegang teguh pada validitas kesimpulannya dengan mengeksplisitkan prosedur kerjanya. Validitas kesimpulannya dibatasinya pada cara kerjanya, valid by criteria. Sedangkan penganut positivisme mengaksentuasikan pada wawasan epistemologiknya. Adakah ahli yang mengaksentuasikan pada wawasan aksiologik? Bila ilmu hendak dikembangkan Qur’ani, maka setidaknya aksiologik perlu menjadi dasar paradigma dalam mengembangkan ilmu dan teknologi. Sikap akademik kami sendiri bagaimana? Dalam membimbing disertasi dan tesis, kami cenderung menawarkan pilihannya kepada yang bersangkutan, hanya tuntutan kami sebagai promotor atau pembimbing bahwa ada konsistensi sejak dari filsafatnya sampai ke operasionalisasi metodologiknya; tidak boleh dicampuradukkan. Mungkin didahului telaah dan argumentasi vang sepenuhnya disadari. Kami meluangkan promovendus untuk membuat kombinasi operasionalisasi metodologik yang dia perkirakan sebagai lebih baik. Kami telah membimbing beratus tesis S1 yang hampir seluruhnya menggunakan olahan kuantitatif statistis, membimbing hampir 80 tesis S2 yang sebagian besar juga menggunakan olahan kuantitatif statistis, dan sejak 1984 sampai akhir 1996 menjadi promotor hampir 30 disertasi S3 dan sekitar 10 di antaranya menggunakan olahan kuantitatif statistis dan sisanya kual itatif dengan beragam pendekataii. Pengalaman tersebut setidakiiya memperjelas kami perbedaan tuntutan substantif dan metodologiknya bagi ketiganya, termaSuk keragaman telaah substantif dan pendekatan metodologik, yang seringkali membawa konsekuensi sistematika telaah. Dalam MPK edisi III ini ada enam hal pokok yang direvisi atau lebih tepat diekstensi. Pertama, diadakanya penataan lebih mendasar pada pendekatan phenomenologik, termasuk dieksplisitkan model grounded research: kedua, ditulis bagian baru tentang pendekatan realisme metaphisik, termasuk sistematisasi telaah metodologi penelitiannya; ketiga, tambahan bab khusus tentang metodologi penelitian telaah teks, didudukkan tentang studi hukum, dan difokuskan pada telaah bahasa dan karya sastra, karena sebagian dari disertasi yang kami promotori memerlukan pemilihan model telaah teks; keempat, telaah metodologi penelitian agama interdispliner dilanjutkan lebih jauh lagi untuk memberi landasan penataan integrasi ilmu kauniyah dengan ilmu qauliyah serta memberi landasan pengembangan iptek; dan kelima, ditata kembali telaah Mencari Metodologi Penelitian Masa Depan sesuai dengan ekstensi tersebut di atas, dan keenam, dibuat perluasan contoh-contoh terapan metodologi bagi penulisan disertasi, sesuai dengan bertambahnya bacaan dan pengalaman serta ragam disertasi yang dipromotori, sehingga mempromotori disertasi dari para mahasiswa yang sangat cerdas, benar-benar merupakan perjalanan akademik yang sangat mengasyikkan dan membahagiakan. Semoga Allah memberi kami umur yang bermanfaat, disertai fikiran yang cerah, memperoleh petunjuk-Nya, diberi kesehatan yang baik, sehingga keberadaan kami memberi guna, bukan beban. Semoga do’a syukur dari yang telah berhasil dalam menyelesaikan disertasi dan tesis mereka menyertakan do’anya bagi kami. Semoga Allah mengabulkan harapan kami. Amien. Yogyakarta, 19 Mei 1996 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir
3
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 1996 DAFTAR ISI BAGIAN PENDAHULUAN:
A. B. C. D. E. F. G. H.
ORIENTASI UMUM METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF LANDASAN FILOSOFIK DAN TEORETIK METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF Metoda dan Metodologi Penelitian Metodologi Penelitian dan Model-Model Logika Perintis Sistem Logika Modern Metodologi Penelitian dan Positivisme Metodologi Penelitian dan Rasionalisme Metodologi Penelitian dan Phenomenologi Teori Ilmu, Weltanschauung, dan Realisme Kesimpulan Komparatif BAGIAN PERTAMA:
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF; PENDEKATAN POSITIVISTIK CROSS SECTIONAL, KASUS KLINIK DAN GENETIK, SURVEI, CONTENT ANALYSIS 1. STUDI CROSS SECTIONAL A. Studi Cross Sectional dan Studi Longitudinal B. Variabel Penelitian C. Hipotesis D. Desain Penelitian E. Populasi dan Sampel F. Data Kualitatif dan Analisis selama Pengumpulan Data G. Penyajian Data H. Menarik Kesimpulan I. Validitas dan Kebermaknaan II. STUDI KASUS: PENDEKATAN KLINIS DAN GENETIK A . Arti Studi Kasus B. Studi Kasus untuk Tujuan Klinik C. Studi Kasus Genetik III. SURVEI: PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL A. Survei Prosedur Pengambilan Sampel C. Pengembangan Desain Survei IV. “CONTENT ANALYSIS” A. Arti “Content Analysis” B. Infrastruktur
B.
4
BAGIAN KEDUA: METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN RASIONALISTIK METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF RASIONALISTIK A. Berfikir Rasionalistik B. Konseptualisasi Teoretik Penting C. Perlunya Grand Contents sebagai Landasan Penelitian D. Ragam Tata Fikir Logik E. Desain Penelitian dengan Pendekatan Rasionalistik F. Penarikan Kesimpulan dan Pemaknaan BAGIAN KETIGA: METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN PHENOMENOLOGIK LOGIK DAN ETIK 1. MODEL GROUNDED RESEARCH A. Upaya Mencari Sosok Kualitatif B. Grounded Theory C. Model Verifikasi Positivis Meminimkan Munculnya Teori Baru D. Analisis Komparatif E. Menemukan Teori F. Sampling Teoretis G. Dari Teori Substantif ke Teori Formal H. Peran Pemikiran Berkelanjutan dan Peran Pengalaman Orang lain II. MODEL ETHNOGRAPHIK-ETHNOMETODOLOGIK A. Ethnographi dan Ethnometodologi B. Modus Asumsi dan Sampel Penelitian Ethnographik C. Konseptualisasi Teori Lebih Implisit D. Desain Penelitian Ethnographik E. Data Kualitatif F. Hubungan Peneliti G. Analisa Data III. MODEL PARADIGMA NATURALISTIK A. Model yang Menemukan Karakteristik Kualitatif Penuh B. Egon B. Guba C. Penelitian Naturalistik D. Pardigma Schwartz dan Ogivly E. Aksioma dalam Paradigma Naturalistik F. Realistis, Observasi, dan Generalisaasi G. Kausalitas dan Dampak Nilai H. Arus Penelitian Naturalistik I. Watak dan Konieks Naturalistik J. Iterasi Empat Unsur Penelitian Naturalistik K. 1. Laporan Penelitian Kasus 2. Kawasan dan Keterandalan Penelitian 3. Kredibilitas 4. Transferabilitas, Dependabilitas, Konfirmabilitas 5
L. Memproses Data Secara Naturalistik IV. MODEL INTERAKSI SIMBOLIK A. Interaksi Simbolik dan Para Pendahulu B. Tujuh Proposisi Dasar C. Mazhab Chicago dan Iowa D. Prinsip Metodologi dalam Interaksi Simbolik E. Metoda Pemaknaan BAGIAN KEEMPAT:
A. B. C. D. E.
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN REALISME METAPHISIK Nomothetik dan Ideographik Realisme Metaphisik: Keteraturan Semesta Kebenaran atau Truths Esensial, Holistik, dan Momot Nilai Menemukan Teori BAGIAN KELIMA:
METODOLOGI PENELITIAN STUDI TEKS: DARI STRUKTURALISME SAMPAI POSTSTRUKTURALISME Pendahuluan A. Studi Geisteswissenschaften B. Studi Teks: Studi Pustaka C. Studi Hukum D. Studi Bahasa dan Karya Sastra E. Strukturalisme dan Linguist F. Strukturalisme Genetik G. Strukturalisme Dinamik H. Strukturalisme Semiotik I. Post Strukturalisme J. Dekonstruksi BAGIAN KEENAM:
A. B. C. D. F. F. G. H.
METODOLOGI PENELITIAN AGAMA: DARI STUDI KLASIK SAMPAI INTERDISIPLINER Skopa Bahasan Metodologi Penelitian Metodologi Penelitian Agama Studi Islam Klasik Studi Islam Orientalis Historisisme Kritis Studi Islam Phenomenologik Studi Islam Kontekstual Studi Islam Multidisipliner dan Interdisipliner 1. Renaissance dan Agama di Eropa 2. Zaman Keemasan Islam dan llmu 3. Kebangkitan Islam Abad ke- 15 Hijriah 4. Studi Islam Multidisipliner dan/atau Interdisipliner 6
5. Kebenaran dan Kebenaran 7. Menjangkau Berbagai Kebenaran Dimensional 8. Determinisme dan Indeterminisme Kebenaran 9. Logika Pembuktian Kebenaran 10. Alternatif Model Pengembangan Ilmu Menjadi Islami 11. Hukum Islam 12. Ijtihad Jama’i BAGIAN KETUJUH: MENCARI METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF UNTUK MASA DEPAN A. Mengapa llmu Sosial? B. Monisine Multifaset C. Value Free dan Value Bound D. Aktualisasi Phenomeunon dan Idealisasi Nomeunon E. Determinisme dan Indeterminisme F. Keterpercayaan BAGIAN TERAPAN:
A. B. C. D. E. G. H. I. J.
METODOLOGI BAGI PENULISAN DISERTASI DAN TESIS Metodologi Penulisan Karya llmiah Sistematika Model Baku Positivistik (Model A) Sistematika Model Modifikasi Positivistik (Model B) Sistematika Model dengan Grand-Concepts (Model C) Sistematika Model Baku Kualitatif (Model E) Sistematika Model Strukturalisme Seimotik (Model F) Bangunan Kritik dengan Pendekatan Realisme Metaphisik (Model G) Reinterpretasi Historik dan Interpretasi Sosiologik (Model H) Terapan Teknis Metodologis (Model I) DAFTAR REFERENSI DAFTAR DISERTASI YANG DITELAAH
7
BAGIAN PENDAHULUAN ORIENTASI UMUM DAN METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF LANDASAN FILOSOFIK DAN TEORETIK METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF A. METODA DAN METODOLOGI PENELITIAN Sementara orang tidak acuh dan mencampuradukkan antara metoda penelitian dengan metodologi penelitian, sehingga sering dijumpai salah satu Bab dari karya penelitian berjudul metodologi penelitian namun isinya metoda penelitian. Apa perbedaannya? Metodologi penelitian membahas konsep teoretik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metoda yang digunakan. Sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara teknis tentang metoda-metoda yang digunakan dalam penelitiannya. Penulis ingin mengimbau agar orang mulai memilahkan apakah dia akan menulis metoda penelitian atau menulis metodologi penelitian bagi karya ilmiah yang sedang ditulisnya. Setelah upaya mengingatkan hal tersebut, penulis perlu melangkah ke penyadaran kita semua tentang metodologi penelitian itu sendiri. Sementara kita telah memperkenalkan metodologi penelitian dalam maknanya yang teknis belaka. Misal: langsung membahas tentang populasi dan teknik sampling, merumuskan masalah, mendesain tatarelasi, merancangkan instrumen kuantifikasi data, dan sebagainya. Banyak ahli telah tenggelam pada berbagai teknik sampling, teknik instrumentasi, teknik analisis tanpa menyadari bahwa dia telah menjadi penganut filsafat ilmu tertentu. Pengguna metodologi tersebut akan menolak cara-cara kerja lain sebagai spekulatif, subyektif, dan sebagainya. Sebaliknya para penganut filsafat ilmu yang berbeda, memberi cap bohong, munafik pada langkah-langkah kerja penelitian yang memulai tulisannya dengan alasan pemilihan judul, dan semacamnya. Yang memberi cap tersebut lupa atau tidak tahu bahwa ada metodologi penelitian berbeda yang menggunakan dasar filsafat ilmu yang lain, yang memang menuntut langkah kerja semacam itu. Berdasar uraian di atas penulis memandang bahwa setidak-tidaknya ilmuwan peneliti yang bersangkutan perlu tahu dia menggunakan landasan filsafat ilmu yang mana untuk metodologi penelitian yang digunakannya; sehingga yang bersangkutan sadar setidak-tidaknya dalam dua hal, yaitu: sadar akan kelebihan dan kelemahan metodologi penelitian yang digunakan, dan sadar bahwa ada metodologi penelitian lain yang menggunakan landasan filsafat ilmu yang berbeda. Arus kebutuhan studi pascasarjana menuntut standar kualitas akademik lebih tinggi, juga dalam makna metodologi penelitiannya. Pemilihan dan penggunaan metodologi penelitiannya tidaklah layak bila hanya seperti mantri kesehatan yang memberi obat atau injeksi berdasarkan pengamatannya pada dokter atasannya dalam memberi obat atau injeksi pada pasiennya. Mungkin tidak sedikit tesis atau disertasi yang disusun berdasar pembandingan berbagai tesis atau disertasi, lalu ditiru cara kerjanya, tanpa memahami filsafat ilmu dan konsep teoretik yang melandasi metodologi penelitian tesis atau disertasi yang diperbandingkannya. Akan lebih menyedihkan lagi bila tesis atau disertasi yang ditiru cara kerjanya juga hasil kerja mantri, sehingga dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya erosi konsep teoretik dan filsafatnya. Melalui tulisan ini penulis ingin mengimbau perlunya uraian filosofik metodologik dan uraian teoretik yang melandasi metodologi penelitian dalam setiap tesis dan disertasi. Mungkin uraian filosofik dan teoretik yang melandasi metodologi penelitiannya disajikan sebagai referensi atau sebagai lampiran; sedangkan metoda penelitiannya dijadikan bagian anatomik dari tesis atau 8
disertasinya; yang dapat ditimbang-timbang manakah yang lebih tepat: disajikan sebagai lampiran atau menjadi salah satu bab dari tesis atau disertasi. Dengan cara demikian para penguji dan para pembaca dapat mengetahui apakah yang bersangkutan telah bekerja seperti dokter atau bekerja seperti mantri. B. METODOLOGI PENELITIAN DAN LOGIKA Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran. Bila ditata dalam sistematika, metodologi penelitian merupakan bagian dari logika. Kita kenal lima model logika, yaitu: logika formil Aristoteles, logika matematik deduktif, logika matematik induktif, logika matematik probabilistik, dan logika reflektif. Kelima model tersebut menggunakan cara membuktikan kebenaran yang berbeda-beda. Logika formil Aristoteles berupaya menyusun struktur hubungan antara sejumlah proposisi. Untuk membuat generalisasi, logika Aristoteles mengaksentuasikan pada prinsip-prinsip relasi formal antarproposisi. Logika Aristoteles disebut logika tradisional kategorik. Proposisi merupakan penegasan tentang relasi antarjenis. Dalam bahasa psikologik, proposisi adalah pendapat tentang hubungan antarkonsep. Konsep atau persepsi seseorang tentang sesuatu atau sejumlah sesuatu di luar diri kita, kita sebut kalkulus (arti asli kalkulus adalah batu kecil). Dalam logika dikenal dua kalkulus, yaitu kalkulus jenis dan kalkulus probabilitas. Kalkulus jenis menghasilkan proposisi-proposisi kategorik; sesuatu sebagai sesuatu atau bukan sesuatu, sesuatu yang spesifik termasuk dalam sesuatu yang universal. Kalkulus probabilistik menyajikan proposisi-proposisi dalam pernyataan-pernyataan kebenaran relatif, artinya: dalam pernyataan tersebut memberi peluang atas kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Logika matematik deduktif membangun konstruksi pembuktian kebenaran dengan mendasarkan diri pada proposisi-proposisi kategorik seperti logika tradisional Aristoteles. Bedanya, logika Aristoteles mendasarkan pada kebenaran formalnya, sedangkan logika matematik deduktif mendasarkan pada kebenaran materiil. Logika Aristoteles menguji kebenaran formil dari proposisi khusus (yang disebutnya sebagai premis minor) berdasar kebenaran formil dari proposisi universal (yang disebutnya sebagai premis mayor). Kontradiksi antarkeduanya, berarti bahwa proposisi khususnya (atau minornya) ditolak. Konstruksi keseluruhan pembuktiannya menggunakan silogisme: bahwa bila a termasuk dalam b dan b dalam c, maka a termasuk dalam c. [(a < b).(b < c)] @ (a < c). Logika matematik deduktif menguji kebenaran materiil kasus berdasar dalil, hukum, teori, atau proposisi umum universal lain. Logika Aristoteles menuntut dipenuhi syarat formil, sedangkan logika matematik deduktif melihat kebenaran materiil. Proposisi universal dikenal dengan nama-nama: asumsi, aksioma, postulat, teori, dan tesis. Asumsi merupakan proposisi universal yang self-evident benar dan tidak memerlukan pembuktian. Aksioma merupakan pernyataan tentang sejumlah sesuatu memiliki tatahubungan tertentu, dan benar; kebenaran itu (kalau perlu) dapat dibuktikan; aksioma biasa dikenal di lingkungan matematik, paralel dengan itu dikenal postulat yang berlaku dalam ilmu sosial. Tesis merupakan pernyataan yang telah diuji kebenarannya lewat evidensi, mungkin berlandaskan emperi, yang lain mungkin melandaskan pada argumentasi; hal itu tergantung pada teori ilmu yang dianut. Suatu teori merupakan suatu konstruksi pernyataan yang integratif yang di dalamnya terkandung asumsi, aksioma/postulat, sejumlah tesis, dan sejumlah proposisi. Teori yang valid momot lebih banyak tesis daripada proposisi. Logika matematik induktif dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu logika matematik induktif kategorik dan logika matematik probabilistik. Logika matematik induktif probabilistiklah yang digunakan oleh metodologi penelitian kuantitatif statistik. 9
Penulis memperkenalkan model logika reflektif. Asisten penulis yang cerdas segera minta konfirmasi, yang dimaksud berfikir reflektif ataukah logika reflektif. Berfikir reflektif adalah berfikir dalam proses mondar-mandir secara sangat cepat antara induksi dan deduksi, antara abstraksi dan penjabaran. Dalam logika induktif umumnya memerlukan penyajian bukti emperik yang cukup untuk membuat abstraksi; demikian pula dalam logika deduktif pada umumnya, memerlukan penjabaran sistematik spesifik yang luas menyeluruh. Dalam logika reflektif, proses berfikir membuat abstraksi dan proses berfikir membuat penjabaran berlangsung cepat, dan yang lebih penting adalah produk membuat abstrak dan membuat penjabaran berlangsung cepat menjadi ekstensif ataupun menjadi intensif dengan kualitas produk yang rasional tinggi mutunya. Tinggi mutu dalam makna terpercaya dan emperik eviden. C. PERINTIS SISTEM LOGIKA MODERN Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang emperik induktif, logika formal atau logika Aristoteles telah tumbang digantikan oleh logika yang dikembangkan oleh Leibniz, Mill, dan Russel. Ketiganya tokoh ilmu yang hidup pada abad yang berbeda, yaitu berturut-turut: abad ke-17, ke-19, ke-20. Leibniz membedakan tiga kemampuan kognitif, yaitu: indria, imajinasi, dan argumentasi. Indria memberi persepsi sensual tentang obyek. Imaginasi oleh Leibniz disebut indria internal yang menyajikan common sense, yang menyajikan materi indriawi bagi matematik. Argumentasi merupakan berfungsinya kesadaran fikir manusia, meskipun mungkin tanpa materi indriawi. Tonggak utama teori ilmu Leibniz adalah: pembedaanya antara kebenaran faktual dan kebenaran argumentatif. Materi kebenaran faktual diangkat dari pengamatan indriawi; sedangkan kebenaran argumentatif merupakan kebenaran paling dalam. Argumentasi mempunyai dua kapasitas dalam mengolah materi, yaitu: kemampuannya membuat analisis dan kemampuannya membuat komparasi. Kebenaran faktual adalah kebenaran eksistensial yang bersifat kontigensial; artinya kebenarannya tergantung pada hal lain. Ada satu kebenaran yang nonkontigensial, yaitu keberadaan Tuhan. Kebenaran argumentatif adalah kebenaran generik, dan merupakan kebenaran yang paling dalam. Kebenaran generik bersifat independen terhadap persepsi. Namun tidak berarti bahwa emperi sensual tidak perlu, melainkan duduk perannya hanyalah sebagai pemberi rambu-rambu, dan bukan penentu. John Stuart Mill dengan Sistem Logikanya (1843) mengetengahkan tesisnya bahwa argumentasi disyaratkan berdasar pengalaman emperik, menentang tesis lama bahwa argumentasi fikir kita atau konstruksi alam semesta. Suatu pernyataan mungkin saja mendukung eksistensi faktual atau mendukung relasi, koeksistensi, keruntutan, keterhimpunan, atau kausalitas antarfakta. Namun kebenarannya harus diuji berdasar realitas yang kita amati, atau berdasar argumentasi induktif; kebenaran harus kita uji secara induktif, dari yang khusus ke yang umum. Bertrand Russell semula adalah penganut filsafat idealisme. Dalam idealisme Hegel setiap fakta di dunia ini mempunyai hubungan satu sama lain, dan merupakan suatu sistem yang satu; suatu pandangan monistik dia, kebenaran; ada hukum umum yang berlaku universal; dunia merupakan sistem yang rasional. Dalam perkembangannya filsafat Russell berubah menjadi pluralisme ekstrim. Dunia bukan merupakan suatu sistem yang rasional, melainkan merupakan kumpulan fakta dan kejadian. Kejadian-kejadian itu nampaknya mengikuti hukum-hukum tertentu, dan menjadi tugas ilmu untuk menemukannya; tetapi untuk menemukan hukum yang berlaku universal, nampaknya tak ada harapan. Dari tiga perintis filsafat ilmu tersebut kita melihat perbedaan-perbedaan dasar dan esensial, meskipun ketiganya termasuk ke dalam kelompok ahli yang menggunakan alur fikir induktif; berlawanan dengan logika Aristoteles yang menggunakan alur fikir deduktif. Dari uraian di atas kita melihat bahwa dasar pemikiran John Stuart Mill dapat kita golongkan sebagai perintis bagi metodologi yang menggunakan pendekatan positivistik. 10
Sedangkan telaah Leibniz tentang kebenaran argumentatif yang mendudukkan emperi sebagai rambu-rambu, bukan menentukan, merupakan rintisan ke pendekatan rasionalistik. Adapun Bertrand Russell yang mengakui kebenaran pluralistik menjadi pendukung pendekatan phenomenologik. D. METODOLOGI PENELITIAN DAN POSITIVISME Metodologi penelitan kuantitatif dengan teknik statistiknya diakui mendominasi analisis penelitian sejak abad ke-18 sampai abad ini. Dengan semakin canggihnya teknologi komputer, berkembang teknik-teknik analisis statistik yang mendukung pengembangan penelitian kuantitatif Metodologi penelitian kuantitatif statistik menjadi lebih bergengsi daripada metodologi penelitian kualitatif Lebih-lebih bila diperhatikan pula pada sejumlah kenyataan bahwa ada sementara calon ilmuwan yang menggunakan metodologi kualitatif dengan alasan dan bukti ketidakmampuannya menguasai teknik-teknik analisis statistik. Pada segi lain, karena bergengsinya metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik-teknik statistiknya banyak ilmuwan ataupun pakar ilmu yang tenggelam ke dalam teknik-teknik analisis statistik yang canggih, dan tidak tahu atau melupakan kelemahan di samping keunggulan filsafat dan teori metodologi penelitian yang melandasinya. Metodologi penelitian kuantitatif statistik bersumber dari wawasan filsafat positivisme Comte, yang menolak metaphisik dan teologik; atau setidaktidaknya mendudukkan metaphisik dan teologik sebagai primitif. Materialisme mekanistik-mekanistik sebagai perintis pengembangan metodologi ini mengemukakan bahwa: hukum-hukum mekanik itu inheren dalam benda itu sendiri; ilmu dapat menyajikan gambar dunia secara lebih meyakinkan didasarkan pada penelitian emperik daripada spekulasi filosofik. Positivisme logik lebih jauh mengembangkan metodologi aksiomatisasi teori ilmu ke dalam logika matematik; dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam logika induktif, yaitu; ilmu itu bergerak naik dari fakta-fakta khusus phenomenal ke generalisasi teoretik. Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari emperi. Dengan pendekatan positivisme dan metodologi penelitian kuantitatif, generalisasi dikonstruksi dari rerata keragaman individual atau rerata frekuensi dengan memantau kesalahan-kesalahan yang mungkin. Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikan obyeknya secara eksplisit dielimanisakan dari obyek-obyek lain yang tidak diteliti. Tatafikir logik sesuai dengan teknik analisis yang telah diperkembangkan, metodolgi penelitian kuantitatif membatasi sejumlah tatafikir logik tertentu, yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan obyek data ditata. dalam tatafikir kategorisasi, interfalisasik dan kontinuasi. Bila diringkaskan, metodologi penelitian kuantitatif mulai dengan penetapan obyek studi yang spesifik, dieliminasikan dari totalitas atau konteks besarnya; sehingga eksplisit jelas obyek studinya. Disusun kerangka teori sesuai dengan obyek studi spesifiknya. Dari situ ditelorkan hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi pengumpulan data, dan teknik sampling serta teknik analisisnya; juga rancangan metodologik lain, seperti: penetapan batas signifikansi, teknik-teknik penyesuaian bila ada kekurangan atau kekeliruan dalam hal data, administrasi, analisis, dan semacamnya. Dengan kata. lain semua dirancangkan masak sebelum terjun ke lapangan untuk meneliti. Mungkin sementara pembaca mempertanyakan: mengapa buku ini membicarakan metodologi penelitian kuantitatif, sedangkan buku ini, dilihat dari judulnya khusus membicarakan metodologi penelitian kualitatif? Itu semua penulis kerjakan karena pada waktu ini terdapat beberapa buku yang menampilkan metodologi penelitian kualitatif dengan filsafat dan teori metodologi penelitian yang berbeda-beda. Salah satu daripadanya adalah metodologi penelitian kualitatif yang landasan berfikirnya adalah filsafat positivisme dan teori metodologi penelitiannya adalah yang kuantitatif. Bila dideskripsikan secara sederhana, metodologi 11
penelitian yang kami sebut terakhir tersebut menggunakan pola fikir kuantitatif (mengejar yang terukur, teramati, yang emperi sensual, menggunakan logika matematik, dan membuat generalisasi atas rerata); mengakomodasi deskripsi verbal menggantikan angka, atau menggabungkan olahan statistik dengan olahan verbal dengan pola fikir tetap kuantitatif. Menurut positivisme antologik, realitas dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari independen, dieliminasikan dari obyek yang lain, dan dapat dikontrol. Karena itu salah satu konsekuensi mendasar dalam metodologi penelitiannya adalah: kerangka teori dirumuskan sespesifik mungkin, dan menolak suatu ulasan meluas yang tidak langsung relevan. Penelitian kualitatif yang menggunakan filsafat positivisme menuntut pembuatan kerangka teori seperti itu pula. Dari segi epistemologik, positivisme menuntut pilahnya subyek peneliti dengan obyek penelitian (temasuk subyek pendukungnya). Maksud memilahkan subyek dari obyek agar dapat diperoleh hasil yang obyektif. Tujuan penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran dicari lewat hubungan kausal-linier; tiada akibat tanpa sebab, dan tiada sebab tanpa akibat. Teori kebenaran yang dianut positivisme termasuk teori korespondensi, sesuatu itu benar bila ada korespondensi atau isomorphisme antara pernyataan verbal atau matematik dengan realitas emperik (yang dalam positivisme dibatasi pada emperi sensual/indriawi). Ditinjau dari segi aksiologik, positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai (value-free). Mereka mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan tempat. Uraian lebih lanjut tentang metodologi penelitian kualitatif yang melandaskan diri pada filsafat positivisme akan dibahas di bagian pertama buku ini. Sebelum memilih menggunakan metodologi penelitian yang melandaskan diri pada filsafat positivisme, diharapkan para peneliti memperbandingkannya dengan metodologi penelitian yang diuraikan di Bagian Kedua dan Ketiga. Hal itu penting agar masing-masing peneliti akan menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang sesuai dengan disiplin ilmunya, atau lebih tepat lagi kalau penulis katakan: secara proporsional memilih metoda (termasuk teori metodologi dan filsafatnya) sesuai dengan karakteristik obyek studi dan konseptualisasi teoretiknya. E. METODOLOGI PENELITIAN DAN RASIONALISME Metodologi penelitan kualitatif kedua yang akan dibahas berikut ini adalah metodologi penelitian yang melandaskan pada filsafat rasionalisme. Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari emperi; sedangkan menurut rasionalisme ilmu yang valid merupakan abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dari realitas, dan terbukti koheren dengan sistem logikanya. Penulis tampilkan metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filsafat rasionalisme atas sejumlah argumen. Pertama, dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoretik ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang melandaskan pada positivisme menjadi tidak jelas, atau dapat dikatakan tiada urunan dalam membangun teori, sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme (dalam hal ini penulis maksudkan adalah ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin konseptualisasi teoretiknya; tidak ada teori-teori baru yang mendasar muncul. Banyak ilmu sosial mengalami stagnasi. Psikologi terhenti perkembangannya sampai behaviorisme; yang berkembang berikutnya adalah modifikasi-modifikasi atas behaviorisme dengan menambah sejumlah konsepkonsep ilmu jiwa dalam, ilmu jiwa fikir, ilmu jiwa Gestalt, dan lain-lain dalam konseptualisasi ataupun operasionalisasi behaviorisme. Teori ekonomi juga berhenti perkembangannya pada
12
teori klasik dan teori Keynesian; tiada teori baru, kecuali pembenahan-pembenahan, dan tetap menampilkan kontroversi yang tak terselesaikan dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Argumen kedua, dilihat dari segi aksiologi, kebenaran emperik (yang sensual) itu telah mendegradasikan harkat manusianya manusia. Kebenaran itu tidak hanya dapat diukur dengan indra kita; ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas emperi sensual; kemampuan manusia untuk menggunakan fikir dan akalbudi memaknai empiri sensual itu lebih memberi arti daripada emperi sensual itu lebih memberi arti daripada emperi sensual itu sendiri. Karena itu secara aksiologik, penulis membedakan antara: emperi sensual, emperi logik, dan emperi etik. Emperi sensual dapat diamati kebenarannya berdasar emperi indriawi manusia; emperi logik dapat dihayati kebenarannya kerena ketajaman fikir manusia dalam memberi makna atau indikasi emperi (yang tidak perlu menjangkau emperi secara tuntas); sedangkan emperi etik dapat dihayati kebenarannya karena ketajaman akalbudi manusia dalam memberi makna ideal atas indikasi emperi. Peran dari suatu skema berfikir deduktif yang secara hipotetik atau tentatif mencari makna logik atau etik berbagai indikasi itu penting. Disebut skema hipotetik karena kebenarannya memang masih perlu dipandang perlu untuk diuji-maknakan lagi dari proses berpikir reflektif, dan disebut deduktif karena awal konstruksinya tidak dari emperi tetapi dari kemampuan fikir atau kemampuan akalbudi manusia untuk mencoba membangun suatu abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dunia manusia ini dan disebut tentatif, karena konseptualisasi deduktif tersebut masih membuka kemungkinan pilihan nilai lain, yang secara reflektif diuji-maknakan lagi. Proses berfikir reflektif dalam rasionalisme tidak terbatas pada proses linier antara sebab dan akibat, juga bukan dalam makna induksi dan deduksi saja, tetapi ada sejumlah proses mondar-mandir dalam tatafikir logik lainnya, seperti: konvergensi-divergensi, instrumental-substansial, sentral-perifer, lateral sekuensial-vertikal, dan lain-lain. Argumen ketiga, dari segi ontologik dan aksiologik terdapat perbedaan mendasar antara metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan positivisme dengan yang berlandaskan rasionalisme. Tetapi dari segi epistemologik ada kesamaan mendasar antara keduanya, yaitu: berusaha memilahkan antara subyek peneliti dengan obyeknya. Produk ilmunya juga sa ma, yaitu menjangkau ilmu yang nomothetik, membuat prediksi dan membuat hukum-hukum. Upaya membuat generalisasi dalam metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat rasionalisme juga ada bedanya: pada positivisme berpangkal dari obyek spesifik dan berakhir pada hasil analisis dari obyek spesifik itu pula; sedangkan pada rasionalisme ada dua tahap generalisasi, yaitu: generalisasi dari obyek spesifik atas hasil uji-makna-emperik, dan pemaknaan hasil uji-reflektif kerangka teoretik dengan pemaknaan indikasi emperik. Teknik analisis untuk obyek-spesifik dapat dipilih teknik analisis kuantitatif dengan teknik analisis kualitatif logik-verbal. Untuk teknik analisis kualitatif logik-verbal dapat dipilih; akan menggunakan filsafat positivisme (upaya menganalisis rerata) atau menggunakan filsafat rasionalisme (upaya mencari yang esensial. Bila dipilih teknik analisis kuantitatif statistik atau teknik analisis logik verbal yang menganalisis rerata, berarti metodologi penelitian yang digunakan menggabungkan antara positivisme dengan rasionalisme. Menggunakan rasionalisme dalam menyusun kerangka teori dan memberikan pemaknaan hasil penelitian, dan menggunakan positivisme dalam menguji emperik obyek spesifiknya, juga sering disebut postpositivisme. Disebut postpositivisme karena konseptualisasi teoretik yang lemah pada positivisme dibenahi. Penulis memandang lebih tepat rasionalisme karena secara mendasar ontologi dan aksiologiknya berbeda. F. METODOLOGI PENELITIAN DAN PHENOMENOLOGI Ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yang akan penulis bahas di bawah ini, seperti: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik yang kesemuanya 13
itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian kualitatif, atau phenomenologik. Aksentuasi tertentu menjadikan masing-masing memilih nama yang lebih dipandang tepat. Wawasan dan terapan berbagai penamaan tersebut akan diuraikan dalam buku ini, sehingga, penulis mencoba memilih nama yang dapat dimaknai mencakup, serta tokoh yang lebih representatif. Di samping maksud tersebut penulis juga mempertimbangkan komparabilitasnya dengan identitas metodologi penelitian kualitatif yang telah disebut terdahulu. Karena itu metodologi penelitian kualitatif yang ketiga ini penulis sebut sebagai yang berlandaskan phenomenologi. Telah terjadi banyak ragam asentuasi dan pemaknaan phenomenologi. Dalam makna ontologik dan aksiologik phenomenologi yang penulis pandang dapat memaknai mencakup berbagai metodologi penelitian tersebut di atas adalah phenomenologinya Edmund Husserl sendiri yang mengemukakan bahwa obyek ilmu, itu tidak terbatas pada yang emperik (sensual), melainkan mencakup phenomena yang tidak lain daripada persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luar subyek; ada sesuatu yang transenden, di samping yang aposteriorik. Metodologi penelitian ini diperkembangkan oleh banyak ahli dari berbagai pendekatan disiplin ilmu. Grounded research lebih berkembang di lingkungan sosiologi, dengan tokoh utamanya Strauss dan Glasser. Ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan, yang ahli sosiologi pendidikan. Interaksi simbolik yang lebih berpengaruh di pantai Barat Amerika Serikat diperkembangkan oleh Blumer, ahli psikologi sosial. Paradigma naturalistik diperkembangkan terutama oleh Guba yang semula memperoleh pendidikan dalam phisika, matematika, dan penelitian kuantitatif Studi mendalam keterhubungan antara metodologi penelitian tersebut dengan phenomenologi dilakukan oleh Kenneth Leiter. Ontologik metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi sama dengan yang berlandaskan rasionalisme, dan berbeda dengan yang berlandaskan positivisme. Metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam suatu konstruksi ganda, melihat obyeknya dalam satu konteks natural, bukan parsial. Beda dengan positivisme yang menuntut rumusan obyek sespesifik mungkin; tetapi dekat dengan rasionalisme yang menuntut konstruksi teoretik yang lebih mencakup. Epistemologik metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi sangat jauh berbeda dengan yang berlandaskan positivisme; positivisme menuntut penyusunan kerangka teori (meskipun spesifik), sedangkan phenomenologi malahan. sepenuhnya menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah persiapan penelitian. Membuat persiapan seperti itu menjadikan hasil penelitian itu menjadi produk artifisial, jauh dari sifat naturalnya. Dalam hal melihat kejadian dan tatafikir yang digunakan phenomenologi sejalan dengan rasionalisme, yaitu: melihat obyek dalam konteksnya dan menggunakan tatafikir logik lebih dari sekedar linier kausal; tetapi tujuan penelitiannya berbeda, phenomenologik membangun ilmu idiographik, sedangkan rasionalisme membangun ilmu nomothetik. Aksiologik ada kesamaan antara yang phenomenologik dengan yang rasionalistik, yakni keduanya mengakui kebenaran etik, ada valuebond menurut istilah Egon G.Guba. Dalam metodologi penelitian kualitatif berlandaskan rasionalisme telah disebut tentang tiga strata emperi, yaitu: emperi sensual emperi logik dan emperi etik. Aksiologik, phenomenologi Edmund Husserl mengenal pula emperi transendental. Karena itu metodologi penelitian kualitatif berlandaskan yang phenomenologi dapat penulis kemukakan sebagai mengakui empat kebenaran emperik, yaitu: kebenaran emperik sensual, kebenaran emperik logik, kebenaran emperik etik, dan kebenaran emperik transendental. Kemampuan penghayatan dan pemaknaan manusia atas indikasi emperi manusia menjadi mampu mengenal keempat kebenaran tersebut di atas. Epistemologik phenomenologi menuntut bersatunya subyek peneliti dengan subyek pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan, menghayatinya menjadi salah satu ciri utama penelitian phenomenologik. Berbeda dengan dua penelitian kualitatif 14
terdahulu (yang berlandaskan positivisme dan rasionalisme. Yang menuntut pilahnya subyek peneliti dengan obyeknya). G. TEORI ILMU, WELTANSCHAUUNG, DAN REALISME Reichenbach (1938) mengemukakan bahwa tugas filsafat ilmu adalah membangun teori ilmu bertolak dari Weltanschauung atau Lebenswelt. Toulmin (1953) mengemukakan bahwa fungsi ilmu adalah membangun sistem idee-idee tentang semesta sebagai realitas; dan sistem tersebut menyajikan teknik-teknik yang bukan hanya ajeg dalam memproses data, melainkan tetapi lebih dari itu harus dapat diterima (sesuai dengan Weltanschauungnya). Teori-teori ilmu menurut Toulmin terdiri atas hukum-hukum, hipotesis-hipotesis, dan idee-idee tentang semesta, yang tertata hirarkhik. Menurut Toulmin teori-teori bersifat instrumentalistik, teori hanyalah hukum-hukum untuk membuat inferensi. Karl Popper (1935) menunjuk bahwa cara kerja positivist yang mendasar teori-teorinya pada hasil observasi dapat palsu) perlu ditolak; karena tidak mampu menjawab problem sentral ilmu, yaitu pengembangan ilmu. Atas alasan itu pula, Popper menolak pandangan instrumentalis dan menampilkan pandangan esensialis dalam teori ilmu. Menurut Popper tujuan ilmuwan adalah menemukan teori atau deskripsi semesta ini (terutama menemukan keteraturanketeraturannya atau hukum-hukumnya); teori yang baik mampu menyajikan esensi atau realitas. Menurutnya teori merupakan terkaan-terkaan informatif tingkat tinggi tentang semesta ini. Feyerabend (1965) mengembangkan lebih lanjut filsafat ilmu dari Popper. Feyerabend menolak piralisme teoretik; dan menuntut agar sesuatu teori yang telah sangat teruji, dipertahankan sampai tertolak atau termodifikasi oleh fakta-fakta baru. Dia mengetengahkan dua kondisi untuk berteori, yaitu: kondisi yang ajeg dan kondisi keragaman makna. Oleh para pakar filsafat ilmu, faham dari Popper dan Feyerabend sering dikelompokkan ke dalam faham realisme metaphisik. Yang dalam ulasan selanjutnya faham dari Popper dan Feyerabend (termasuk perintis pendahulunya, seperti Reichenbach dan Toulmin) kami sebut saja sebagai realisme. Ontologik, metodologi penelitian berlandaskan realisme menuntut lebih jauh lagi dari rasionalisme; karena sifat holistiknya teori yang melandasi penelitian haruslah berakar pada Weltanschauung. Dalam hal yang terakhir ini realisme sangat dekat dengan phenomenologi yang menuntut theory-laden, teori yang momot nilai. Epistemologik, realisme sejalan dengan rasionalisme, dan positivisme, yaitu nomothetik, dan berlawanan dengan phenomenologik yang idiographik. Perbedaan-perbedaan oleh Feyerabend dimaknai sebagai keragaman; sedangkan hal esensialnya sama dan tampil sebagai keajegan dalam keragaman. Tegas-tegas realisme menekankan fungsi ilmu, yaitu mengembangkan tesis, hukum, prinsip yang dapat dipakai untuk membuat inferensi atau ramalan yang berlaku dalam ragam ruang dan waktu. Aksiologik, realisme Popper lebih tajam lagi dalam hal value-bound -nya daripada phenomenologik. Dibandingkan dengan rasionalisme, value-bound-nya rasionalisme bersifat implisit-sekuensial, sedangkan pada realisme, value-bond-nya menjadi titik berangkat teori yang dibangunnya. Maksud implisit sekuensial tersebut adalah bahwa nilai tidak dieksplisitkan, tetapi tampil di antara pembahasan-pembahasan teoretik. Sedangkan maksud keterkaitan pada nilai menjadi titik berangkat teori artinya nilai dipakai sebagai kerangka acu memaknai fakta. dan dalam membangun argumentasi. H. KESIMPULAN KOMPARATIF Buku ini dimaksudkan sebagai buku teks Metodologi Penelitian Kualitatif khususnya ilmu sosial dan agama. Pembekalan ini bermaksud mengenalkan alternatif-alternatif metodologik bagi penelitian ilmu sosial dan agama. Bagi mahasiswa, metodologi penelitian mana yang sebaiknya atau setepatnya dipakai untuk disiplin ilmunya atau obyek-obyek studi tertentunya
15
atau untuk kerangka teori tertentu, lebih banyak memerlukan rekomendasi dosennya atau ahlinya. Untuk mempermudah pemilihan metodologi penelitian yang tepat uraiannya disajikan dalam bagian-bagian yang berbeda. Bagian pertama membahas metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat positivisme, dengan teori metodologi yang berlaku sama dengan teori metodologi penelitian kuantitatif Langkah-langkah atau tahap-tahap penelitiannya sama dengan metodologi penelitian kuantitatif statistik, bedanya terletak pada rekaman data dan analisis, di mana dapat digabungkan yang kualitatif dan yang kuantitatif atau sepenuhnya kualitatif. Untuk obyek studi yang mudah dieliminasikan dari obyek lain, dalam arti kompleksitas serta keterkaitan konteksnya mudah dipisahkan, obyek studinya mudah diamati dan diukur, serta pertimbanganpertimbangan lain yang lebih relevan bagi disiplin yang bersangkutan dapat dipilih penggunaan metodologi penelitian kualitatif yang dibahas pada bagian pertama buku ini. Bagian kedua membahas metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat rasionalisme atau dalam makna terbatas dapat pula disebut berlandaskan postpositivisme. Beda terapan antara metodologi penelitian yang dibahas di bagian kedua terletak pada disusunnya konseptualisasi teoretik (sebagai grand-theory atau grand-concepts) sebelum disajikan obyek spesifiknya dan dibuat pemaknaan sesudah kesimpulan penelitian; sebagaimana diketahui metodologi yang pertama menuntut perumusan obyek pada awal penelitian. Kecuali dua tahap awal dan tahap akhir, terapan metodologik yang kedua mempunyai tahap-tahap yang sama dengan yang pertama. Harap diperhatikan secara hati-hati kata-kata penulis yang menggunakan kata beda terapan atau terapan yang sama. Kata tersebut tidak mengetengahkan apakah filsafat dan teori metodologi penelitiannya beda atau juga sama. Secara garis besar telah diketengahkan pada uraian terdahulu, sedang secara lebih rincinya dapat ditelaah pada bagian pertama dan kedua buku ini. Bagian ketiga buku ini membahas metodologi penelitian kualitatif phenomenologik, yang pada edisi III ini penulis sistematisasikan dalam empat tahapan, yaitu tahap model grounded research (yang merupakan ekstensi pertama edisi III buku ini), model ethnometodologik, model paradigma naturalistik, dan model interaksi simbolik; yang secara filsafat penulis cakup dengan nama metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat phenomenologi. Meskipun tidak sepenuhnya tepat untuk semua model tersebut, dan hanya tepat untuk model paradigma naturalistik. Model pertama masih berbau positivistik, model kedua mereaksi dan menggugat kuantitatif, dan yang keempat semacam kembali lagi ke positivistik. Ontologik metodologi ini menuntut pendekatan yang holistik, mengamati obyeknya dalam konteksnya, dalam keseluruhannya, tidak diparsialkan, tidak dieliminasikan dari integritasnya. Dalam hal tersebut menjadi sama dengan yang rasionalisme, dan menjadi berbeda dengan yang positivisme. Epistemologik, metodologi ini menuntut menyatunya subyek peneliti dengan obyek penelitian dan subyek pendukungnya. Karena itu keterlibatan langsung di kancah dan menghayati berprosesnya subyek pendukung obyek penelitian menjadi syarat utama penelitian dengan metodologi kualitatif ini. Pada penelitian dengan metodologi phenomenologik menuntut alokasi waktu yang sangat lama untuk melibatkan diri dikancah, sedangkan penelitian dengan metodologi positivistik atau rasionalistik alokasi waktu terbesar akan lebih banyak tersita pada persiapan penelitian, termasuk orientasi lapangan, mencari alternatif teknik sampling, dan penyusunan instrumen pengumpulan data termasuk uji kualitasnya. Dengan bahasa Wilhelm Windelband, tujuan penelitian phenomenologik adalah menyusun bangunan ilmu idiographik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural atau human atau individual yang khusus; tidak ada pretensi untuk mencari generalisasi; paling jauh memberikan wawasan tentang kemungkinan transferabilitas, menurut istilah E.G. Guba kemungkinan pemberian maknayang sama atau kasus dengan karakteristik yang sama.
16
Sedangkan tujuan penelitian positivistik ataupun rasionalistik adalah mengkonstruksi bangunan ilmu nomothetik, yaitu upaya mencari hukum-hukum bagi phenomena emperik. Bagian keempat buku ini membahas metodologi penelitian, berdasar bangunan realisme metaphisik, yang merupakan ekstensi kedua edisi III buku ini. Realisme metaphisik bertolak dari asumsi dasar bahwa semesta ini teratur. Keteraturan itu bersifat obyektif metaphisik; dalam makna bahwa keteraturan obyektif itu disebut oleh Popper metaphisik, karena untestable. Diperbandingkan dengan yang rasionalistik, dekat, dalam makna bahwa bangunan pemikirannya sama-sama berangkat dari grand-concepts; bedanya yang rasionalistik menguji hipotesis dengan teknik uji verifikasi, sedangkan yang realisme metaphisik Popper menguji grand-theory-nya lewat uji falsifikasi. Diperbandingkan dengan phenomenologik, dekat dalam makna: pertama, sama-sama menggunakan pendekatan holistik; dan kedua, sama-sama mengejar yang esensial; sedangkan bedanya: yang phenomenologik membatasi diri pada penyimpulan idiographik, sedangkan yang realisme metaphisik berupaya terus untuk membuat penyimpulan nomothetik. Bagian kelima buku ini merupakan ekstensi ketiga edisi III buku ini. Bagian kelima ini berisi tentang metodologi penelitian studi teks, terutama dalam makna studi karya sastra. Telaah karya sastra, dari strukturalisme baik yang linguist atau klasik, strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik, strukturalisme semiotik, maupun oststrukturalisme. Dilihat dari keempat pendekatan tersebut nampak dominan pendekatan phenomenologiknya. Meskipun pada strukturalisme linguist yang awal, yaitu pada de Saussure dan pada Jacobson bersifat positivistik. Juga pada yang genetik, memang dominan sifat positivistiknya. Tetapi pada lainnya umumnya dominan phenomenologiknya. Bagian keenam buku ini khusus membahas metodologi penelitian agama, khususnya agama Islam. Pada bagian ini uraian metodologi direntangkan dari metodologi model klasik, yang digunakan para ulama terdahulu, dilanjutkan dengan telaah orientalis yang positivistik, dilanjutkan lagi dengan telaah Islamolog yang phenomenalogik. Pada telaah interdisplier dan multidisipliner ditawarkan alternatif model pengembangan Islamisasi ilmu pengetahuan. Makna Islamisasi ilmu pengetahuan bukannya berarti membuat ilmu pengetahuan cocok bagi ummat Islam, melainkan menawarkan nilai-nilai moral Islam menjadi landasan moral universal dalam berilmu pengetahuan. Landasan phenomenologik antara lain menjangkau pada sifat idiographik, sedangkan peneliti muda banyak yang ingin mengejar ilmu yang nomothetik, yang menghasilkan generalisasi, yang menampilkan hukum-hukum untuk menginferensi masa depan. Beralih pilihan pada yang rasionalistik; tetapi sifat keterkaitannya pada nilai tidak sekokoh pada phenomenologi. Pengamatan kami tersebut menumbuhkan keprihatinan kami untukmencari landasan filsafat bagi metodologi penelitian agama yang lebih tepat. Landasan filsafat tersebut menuntut setidak-tidaknya dua hal: pertama, ontologik mengakui kebenaran transendental, dan kedua, mendudukkan emperi dalam proporsinya, bukan dominan menentukan. Dari pencarian kami tersebut, kami sampai pada teoriteorinya Reichenbach, Toulmin, Kuhn, Popper, dan Feyerabend, yang oleh para pakar filsafat ilmu disebut sebagai penganut realisme metaphisik dan epistemologik, yang dalam pembahasan selanjutnya kami sebut saja rasionalisme Popper atau realisme metaphisik, atau realisme. Telaah realisme metaphisik di bagian keenam buku ini ditampilkan dalam telaah interdisplier dan multi-disipliner serta telaah ijtihad jama’i. Sedangkan telaah metodologi penelitian untuk realisme metaphisik penulis sajikan sebagai bagian keempat buku ini. Bagian ketujuh buku ini memberikan reorientasi wawasan dan operasionalisasi untuk membantu para pembaca memilih alternatif metodologi penelitian secara tepat. Bagian Kedelapan buku ini, disebut bagian terapan yang mengetengahkan contoh terapan masing-masing pendekatan dalam wujud tesis atau disertasi. Bagian kedelapan buku menyajikan terapan beragam pendekatan tersebut di atas dalam beragam disertasi. Pengalaman penulis sebagai promotor hampir 30 disertasi sejak tahun 1984 17
sampai 1996 ini menjadikan semakin jelas eksplisitasi pendekatan metodologi pada konsekuensi penulisan disertasi, sejak dalam bentuk langkah-langkah kerja penelitiannya sampai ke sistematisasi penulisan disertasinya. Dengan pengalaman penulis bergelut sepenuhnya dalam metodologi penelitian kuantitatif statistik sejak 1962 sampai 1984, dilanjutkan dengan tuntutan bimbingan pada yang kualitatif sejak 1984 sampai 1996 ini, dilengkapkan pula dengan sangat cerdasnya sebagian besar para mahasiswa, maka para pembaca akan dapat mencermati beda jelas yang menggunakan pendekatan positivistik, yang rasionalistik, yang phenomenologik, yang semiotik heuristik, yang semiotik hermeneutik, dan lainnya.
18
BAGIAN PERTAMA METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN POSITIVISTIK: STUDI CROSS SECTIONAL, STUDI KASUS, SURVEI, SERTA CONTENT ANALYSIS METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN POSITIVISTIK 1. STUDI CROSS SECTIONAL
A. STUDI CROSS SECTIONAL DAN STUDI LONGITUDINAL Dalam metodologi penelitian positivistik dikenal studi yang sifatnya berkelanjutan untuk jangka waktu relatif panjang, mengikuti proses interaktif beragam variabel, dan studi yang sifatnya mengambil sampel waktu, sampel perilaku, sampel kejadian pada suatu saat tertentu saja. Yang pertama disebut studi longitudinal dan yang kedua disebut studi cross sectional. Uraian di Sub Bagian I adalah studi cross sectional, Sub Bagian II studi longitudinal, Sub Bagian III studi cross sectional yang superfisial, dan Sub Bagian IV suatu model studi pustaka atau teks yang juga mulai dikenal dengan pendekatan positivistik. B. VARIABEL PENELITIAN Telah diuraikan di Bagian Pendahuluan bahwa berfikir positivistik adalah berfikir spesifik, berfikir tentang emperi yang teramati, yang terukur, dan dapat dieliminasikan serta dimanipulasikan, dilepaskan dari satuan besarnya. Satuan terkecil obyek penelitian disebut variabel penelitian. Seorang mahasiswa, misalnya menjadi subyek pendukung dari berbagai variabel yang dapat dijadikan obyek penelitian. Inteligensi, minat, status sosial, hobi, cita-cita, prestasi akademik, kemampuan bahasa, kesehatan, dan banyak lagi yang melekat pada mahasiswa tersebut dapat dijadikan obyek penelitian. Bila kita bermaksud meneliti mahasiswa dalam segalanya dilihat dari kacamata positivistik akan ditertawakan atau dinyatakan tidak mungkin; karena banyak sekali variabel yang harus diamati, diukur dan dikontrol. Kita harus mampu mengeliminasikan sejumlah variabel yang diteliti dengan mengeliminasikan variabel-variabel lain yang tidak diteliti. Ada sejumlah cara yang dikenalkan untuk mengadakan eliminasi variabel, yaitu: eliminasi phisik, eliminasi dengan kontrol, dan eliminasi statistik. Eliminasi phisik: minat yang diteliti minat teknik, maka mahasiswa yang, tidak mempunyai minat teknik tidak dimasukkan menjadi subyek penelitian; eliminasi dengan kontrol: prestasi akademiknya diperbandingkan, atau dipilih yang homogin. Sedang contoh eliminasi statistik akan diberikan dalam sangkut-paut dengan teknik analisis. Variabel penelitian sebagai satuan terkecil obyek penelitian dapat dibedakan antara: 1) variabel yang relevan, 2) variabel yang mungkin relevan, dan 3) variabel tak relevan. Sebagaimana diuraikan di atas, berfikir positivistik adalah berfikir spesifik, sehingga upaya mengadakan kategorisasi variabel menjadi tiga tersebut penting, agar kita dapat memilahkan yang spesifik (yaitu yang relevan) dari lainnya; dengan penelitian dimaksudkan agar kita dapat menyisihkan variabel yang kita perkirakan relevan atau mungkin relevan menjadi emperik -- terbukti mana yang relevan dan mana yang tak relevan. Metodologi penelitian positivistik menuntut yang teramati-terukur. Dilihat dari segi ini dapat pula dibedakan: 1) variabel yang dapat diamati secara langsung, dan 2) variabel yang tidak dapat diamati secara langsung. Variabel yang diamatinya secara tak langsung dapat diamati lewat gejalanya, lewat munculnya keragaman antarwaktu atau antarkelompok, atau dengan cara-cara lain. Dalam hal variabel diamati secara tak langsung tersebut menampilkan variabel 19
secara konstruk, yaitu variabel yang pengamatannya dilakukan secara tak langsung dengan berbagai cara sekaligus, yang hasilnya diuji-silang. Tatafikir logik yang dominan dalam metodologi penelitian positivistik adalah kausalitas, tiada akibat tanpa sebab, dan tiada sebab tanpa akibat. Dilihat dari segi ini variabel dibedakan menjadi: 1) variabel independen dan 2) variabel dependen. Tatafikir lain tenggelam dan kalah oleh arus tatafikir kausalitas. Tatafikir relasional (korespondensi, kausal, dan interaktif) menjadi sentra pola fikir positivistik; dan tampil nyata dalam hipotesis, dalam desain penelitian, dan dalam ragam teknik analisis. Tidak semua variabel dapat dimanipulasikan, artinya tidak semua variabel dapat dikontrol atau dipengaruhi oleh peneliti. Karena itu variabel dapat pula dibedakan antara: 1) variabel statik, seperti umur, jenis kelamin, asal daerah, dan lain-lain, dan 2) variabel dinamik, seperti kesehatan, prestasi belajar, motivasi kerja, dan lain-lain. Memilih variabel-variabel dinamik akan lebih banyak manfaatnya bagi penelitian yang menggunakan hasil penelitian bagi upaya-upaya perubahan atau pengembangan. Dapat-tidaknya variabel itu dimanipulasikan juga terkait pada tipe studinya. Pada tipe studi eksperimental, tata relasi variabel obyek studi dapat dipilih yang sepenuhnya dinamik; pada studi observasi atau ex post facto variabel-variabelnya tidak dapat dimanipulasikan; meskipun sejumlah variabel dapat dijadikan variabel dinamik, misal: karena sulitnya menempatkan dokter gigi wanita sedangkan Indonesia masih memerlukan banyak dokter gigi, maka ditempuh cara-cara sedemikian rupa sehingga masukan pada fakultas kedokteran gigi menjadi banyak prianya. Dalam konsep umum/biasa pria-wanita merupakan variabel statik, dalam contoh tersebut variabel tersebut diubah menjadi variabel dinamik. Begitu pula variabel dependen pada sesuatu penelitian dapat didesain menjadi variabel independen pada penelitian lain. C. HIPOTESIS Dua konsep atau lebih yang dibangun tatarelasinya dapat ditampilkan sesuatu sehingga dapat ditampilkan nomen yang mencakup berbagai sesuatu tprsebut disebut konsep dengan karakteristik umum atau esensial tertentu. Berbagai sesuatu mungkin kita beri nomen prestasi akademik, pria, wanita, status sosial ekonomi dan sebagainya. Dengan tatarelasi tertentu konsepkonsep tersebut dapat dijadikan hipotesis yang berbunyi: Prestasi akademik rata-rata pria lebih tinggi dari wanita atau Prestasi akademik tertinggi dijumpai pada wanita, bukan pada pria. Kedua hipotesis tersebut disebut hipotesis operasional. Hipotesis penelitiannya sendiri akan berbunyi: Prestasi akademik pria lebih tinggi daripada wanita. Sedangkan hipotesis statistiknya akan berbunyi: Ada perbedaan prestasi akademik antara pria dan wanita. Hipotesis tersebut sering juga disebut sebagai hipotesis alternatif, sedang hipotesis nolnya akan berbunyi: Tidak ada perbedaan prestasi akademik ahtara pria dan wanita. Prestasi akademik, pria, wanita, dan lain-lain tersebut dapat disebut konsep karena menjadi nomen dari sejumlah karakteristik umum atau esensial tertentu yang mencakup sejumlah sesuatu. Dilihat dari segi penelitian konsep-konsep tersebut juga dapat disebut variabel. Untuk keperluan penelitian sejumlah variabel yang dibangun dengan tatarelasinya dapat ditampilkan sebagai hipotesis, sehingga hipotesis dapat disebut sebagai bangunan tatarelasi konsep atau tatarelasi variabel. Konsep yang paling sederhana adalah abstraksi tunggal dan individual. Proposisi atau pendapat merupakan bangunan tatarelasi setidak-tidaknya dua konsep tunggal individual. Proposisi mempunyai tentang dari yang individual subyektif sampai yang kolektif-subyektif Untuk meningkatkan obyektivitas suatu proposisi, dibangun hipotesis yang sifatnya obyektif teoretik; perlu diuji agar dapat menjadi konsep obyektif dan teruji emperik, yang biasa disebuttesis. Dengan meminjam istilah Dudley Shapere, penulis membedakan antara: 1) konsep eksistensial dengan 2) konsep idealisasi. Yang pertama lebih mendeskripsikan emperi, sedang 20
yang kedua lebih mendeskripsikan idealisasi kita. Yang kedua banyak muncul dalam ilmu-ilmu normatif, tetapi dapat pula banyak muncul dalam phisika sekalipun. Bedanya: konsep idealisasi dalam ilmu normatif lebih mendasarkan pada nilai ( values), sedang pada phisika lebih mendasarkan pada konseptualisasi teoretik atas indikasi emperik. Menyusun sejumlah konsep dalam tatafikir tertentu dan disajikan dalam pernyataan-pernyataan, kita sebut sebagai proposisi. Dengan teknik-teknik analisis statistik kita biasa menyajikan tatafikir korelasional, yang mencakup: relasi, korelasi, kausalitas, dan interaktif. Hipotesis ddn tesis itu tidak lain daripada proposisi-proposisi lanjut yang dikonstruksikan dari banyak konsep. Metodologi penelitian kualitatif positivistik berupaya membuat bangunan ilmu nomothetik, sehingga rumusan hipotesisnya, kesimpulannya, dan tesisnya mengarah ke pembuatan generalisasi yang berlaku umum, bebas ruang dan waktu; dan selanjutnya generalisasi tersebut diarahkan ke pencarian dan penemuan hukum-hukum yang keberlakuannya bebas ruang dan waktu. Karena tatafikir logik yang dipakai terbatas pada tatafikir korelasional (sesuai dengan teknik statistik yang ada), maka konstruksi rumusan proposisi, hipotesis, kesimpulan, dan tesis perlu dibatasi pada bentuk-bentuk pernyataan yang mengandung makna hubungan linier ataupun nonlinier: keterhubungan antarwaktu, antarkelompok, sebab-akibat, timbal-balik, atau antarvarians. Pedoman tersebut juga berlaku bagi perumusan generalisasi dan hukum-hukum produknya. Generalisasi diambil dari rerata ragam individu (rerata dari biji tes 112 sampai 359, misalnya) atau rerata dari frekuensi kejadian (rerata kasus kejahatan dalam setahun misalnya). Dengan konsep tatarelasi dan rerata dapat diringkaskan ragam hipotesis yang dapat disajikan. H1:u1 ≠ u2 (R.1.1) Keterangan: H1 hipotesis alternatif; u1 dan u2 rerata, yang hubungan keduaya menjadi hipotesis; ≠ = tidak sama. H1:r 1 ≠ r 2 (R.1.2) Keterangan: r l dan r 2 simbol korelasi, yang hubungan korelasional keduanya menjadi hipotesis. H0:u1 = u2 (R.1.3) Keterangan: H0 adalah hipotesis nol; = sama. H0:r 1 = r 2 (R.1.4) Hipotesis alternatif yang disajikan seperti (R.1.1.) dapat diganti menjadi: H1:u1 > u2 (R.1.5) di mana > berarti lebih besar dari; sedang hipotesis nolnya menjadi sebagai berikut : H1:u1 ≤ u2 (R.1.6) di mana ≤ berarti kurang dari atau sama dengan. Harap diperhatikan bahwa hipotesis nol tidak selalu harus dirumuskan dengan “tidak ada perbedaan” atau “tidak ada korelasi”, melainkan dapat pula dirumuskan seperti (R.1.5.) ataupun (R.1.6.); yang berarti hipotesis afternatif dalam maknanya yang lebih luas merupakan hipotesis nol pula. D. DESAIN PENELITIAN Dengan hipotesis kita mempunyai petunjuk arah tujuan yang hendak kita capai dengan penelitian kita. Dengan desain penelitian, yang akan kita bahas, kita. memiliki petunjuk tentang bagaimana kita berbuat untuk mencapai tujuan tersebut. Ada sejumlah unsur-unsur yang perlu kita perhatikan pada waktu kita menyusun desain. Berdasar pengalaman penulis unsur-unsur tersebut dapat dikategorisasikan menjadi: 1) tatakonstruksi variabel penelitian, 2) populasi sampel, 3) instrumentasi pengumpulan data atau teknik perekaman data, 4) teknik analisis, 5) uji instrumen atau uji kualitas rekaman, 6) makna internal hasil penelitian, 7) makna eksternal hasil penelitian. Perlu dicatat di fikiran kita, bahwa metodologi kualitatif positivistik menuntut spesifiknya variabel yang akan menjadi obyek penelitian dengan yang tidak dijadikan obyek 21
penelitian. Dengan tatakonstruksi perencanaan penelitian berusaha menata hubungan organik antarvariabel, dan sekaligus mengeliminasikan variabel yang tidak diteliti. Kerangka konseptualisasinya dapat ditata sebagai penjajagan, pengembangan, mengkonstruksi teori, mendeskripsi, atau kausalitas. Konseptualisasi tersebut dapat ditata berdasar pemikiran logik, dan dapat pula ditata berdasar pengalaman emperik. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tatafikir positivistik memfokuskan pada tatafikir relasional, sehingga tatakonstruksi variabel hendaknya ditata demikian pula; perlu sinkron dengan konseptualisasinya. Ragamnya dapat berupa korespondensi, kausalitas, atau interaktif. Contoh, dari sejumlah variabel: minat, prestasi, kemampuan dasar, lingkungan keluarga, pergaulan, dan pengalaman sukses, bila konseptualisasinya penjajagan, maka peneliti hanya ingin tahu seberapa jauh peran masing-masing; bila hendak mengembangkan, maka peneliti ingin menguji hasil penelitian terdahulu; bila hendak membangun teori bahwa kepribadian merupakan kekuatan sentral akan berbeda penyusun konstruksi teorinya dengan teori bahwa lingkungan sosial merupakan kekuatan sentral perkembangan seseorang. Bila konseptualisasinya hendak mengetahui hubungan korespondensial saja, tidak ada risiko salah konstruksi. Berbeda bila kita mengonsepkan bahwa sejumlah variabel dijadikan penyebab (variabel independen) dan variabel lain menjadi dependen, bukan mustahil hasil uji emperik berbeda dengan pemikiran rasional yang tertuang dalam kerangka konseptualisasinya. Suatu argumentasi yang kuat atau bukti uji emperik lain diperlukan, bila kita hendak mengonstruksikan hubungan interaktif yang mendeskripsikan urunan masing-masing variabel. Langkah berikut setelah penyusunan kerangka konseptual adalah merumuskan permasalahan penelitiannya. Pada umumnya kita sepakat bahwa kerja penelitian hatuslah bermula dari adanya masalah yang hendak kita pecahkan atau uji sehingga emperik benar (menuntut konsep positivistik). Masalah tersebut mempunyai rentangan dari persoalan yang masih samar sampai ke proposisi yang kita sebut sebagai hipotesis atau proposisi bentuk lain seperti proyeksi atau lainnya. Mekanisme antara perumusan masalah, penyusunan kerangka konseptual, ataupun pembuatan proposisi, tidaklah harus yang satu muncul lebih dahulu dari lainnya, melainkan lebih bersifat interaktif dan saling lebih menajamkan dan menyempurnakan rumusan. Ada sejumlah deskripsi tentang masalah dan beberapa deskripsi di antaranya dapat diketengahkan sebagai contoh. Pertama, sesuatu menjadi masalah ketika dijumpai kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Angan kita mengharapkan pria dan wanita itu memiliki intelegensi yang sama, tetapi sejumlah kasus tidak cocok dengan angan kita tersebut. Dari sini muncul masalah, yang kita rumuskan lebih jauh menjadi hipotesis: Tidak ada perbeddan prestasi akademik antara pria dan wanita. Kedua, sesuatu menjadi masalah ketika dijumpai kontradiksi antaremperi yang relevan. Anak orang mampu, pandai. Logis, karena sarana untuk belajar dan dukungan lain cukup. Tetapi mengapa juga ada anak orang mampu, bodoh? Sebaliknya juga tidak sedikit anak orang miskin, pandai. Apa yang berperan sehingga ada yang jadi pandai, ada yang tidak? Ketiga, sesuatu menjadi masalah ketika dijumpai tidak cocoknya teori dengan realitas, Menurut teori perilaku sosial, partisipasi dipengaruhi oleh tingkat kesadaran. Di suatu lingkungan ternyata partisipasi dipengaruhi oleh kerikuhan pada sanksi sosial. Keempat, sesuatu menjadi masalah ketika konsekuensi logiknya belum diketahui atau belum dapat dipertanggungjawabkan. Berdasar sejumlah asumsi atau postulat, populasi angkatan kerja Indonesia pada tahun 2010 akan menjadi 96 juta, misalnya. Karena itu percepatan upaya industrialisasi agar angkatan kerja sektor primer tinggal 35%, dan sektor sekunder naik terus dari 18% menjadi sekitar 26% perlu dirancangkan dengan teliti per subsektoralnya. Berfikir reduktif-representatif merupakan salah satu dasar berfikir metodologi penelitian positivistik. Memang tujuan penelitian positivistik itu nomothetik, ingin menemukan generalisasi dan/atau hukum yang keberlakuannya bebas ruang dan waktu. Tetapi sekaligus juga ingin bekerja efisien, tidak membuang waktu dan tenaga serta biaya yang tidak perlu, sehingga upaya 22
mereduksi kerja penelitian sekaligus tetap menjadi representatatif menjadi penting. Dalam penyusunan desain penelitian, populasi dan sampel termasuk salah satu unsur yang perlu dipersiapkan dengan baik. Berfikir reduktif-representatif juga diperlukan dalam penyusunan instrumen dan/atau perekaman data. Sifat pemarah atau pemurah tidak mungkin kita angkat dari rerata perilaku orang sepanjang kehidupannya, sejak bangun tidtir sampai istirahat untuk tidur lagi. Mencari pilihan waktu yang tepat untuk merekam watak tersebut tidak lain berlandaskan pola fikir membuat reduksi tetapi representatif. Hal tersebut perlu pula dipersiapkan dengan baik. Uji instrumentasi dan/atau uji validitas adat perlu pula dirancangkan dalam desain penelitian. Teknik analisis, mencari makna internal dan eksternal perlu dirancangkan dalam desain penelitian. Hal ini masing-:masing akan dibahas lebih lanjut. E. POPULASI DAN SAMPEL Efisiensi, itulah dasar pemikiran berbicara masalah populasi dan sampel. Populasi merupakan keseluruhan dari siswa SD, penduduk perkotaan, mahasiswa S2, tetapi juga keseluruhan produksi beras, keseluruhan ternak sapi, dan lain-lain. Agar efisien, orang berusaha untuk mengambil sampel atau contoh, tetapi yang representatif, mewakili. Dalam berfikir positivistik, dikenal dua cara pengambilan sampel, yaitu teknik random atau acak, dan teknik purposive. Atas asumsi bahwa populasi itu homogin dengan distribusi perbedaan yang mengikuti kurva normal, maka pengambilan sampel secara acak, akan menghasilkan kumpulan contoh yang homogin - pula, dengan distribusi keragaman yang mengikuti kurva normal pula. Dalam metodologi penelitian yang positivistik teknik purposive sampling digunakan bila peneliti menduga bahwa populasinya (dilihat dari segi obyek studi yang dipilih) tidak homogin. Misal, hendak meneliti perilaku strata sosial pada siswa SD. Dari strata sosialnya banyak kemungkinannya tidak homogin, dan memang perlu dicari kawasan yang strata sosial siswanya heterogen. Unit sampel tidak hanya terbatas dalam arti individual, sejumlah siswa SD, penduduk kecamatan, atau mahasiswa PTS. Dapat dibayangkan betapa sulitnya mengumpulkan data bila sejumlah siswa, penduduk, atau mahasiswa yang menjadi sampel tersebut tersebar di berbagai sekolah dan berbeda-beda kelas, di berbagai dusun dan desa, di berbagai PTS dan di berbagai fakultas jurusan, dan program studi. Oleh karena itu. dikenal berbagai teknik pengambilan sampel acak. Misal: secara acak dipilih beberapa SD, beberapa dusun, beberapa PTS untuk mewakili seluruh SD, seluruh dusun, seluruh mahasiswa PTS. Dari setiap SD atau dusun atau PTS dipilih secara acak sejumlah kelas, RT, atau program studi semester tertentu sebagai sampel. Sampel individual disebut sampel acak sederhana, sedang pengambilan sampel lewat penyampelan sekolah, kelas, RT, dusun, fakultas, program studi dan semester sebelum sampai ke subyek responden disebut sampel acak berjenjang ganda (multi-stage random sampling). Berapa banyak sampel itu hingga bisa dikatakan representatif terhadap populasinya? Besar sampel tergantung pada beberapa hal, yaitu: (i) tipe sampel yang digunakan (sampel sederhana, berstrata, berjenjang, dan lain-lain); (ii) spesifikasi hipotesisnya; (iii) prosentase kemungkinan salah yang diterima, dan (iv) biaya (dalam arti waktu dan uang). Penelitian kualitatif umumnya mengambil sampel lebih kecil, dan pengambilannya cenderung memilih yang purposive daripada acak. Penelitian kualitatif lebih mengarah ke penelitian proses daripada produk; dan biasanya membatasi pada satu kasus. Sejumlah peneliti kualitatif berusaha untuk memperluas keberlakuan hasil penelitiannya dengan pengambilan kasus sekaligus banyak, dan biasa disebut multiple-site studies atau multiplecase research. Multiplesite studies bukan hanya menetapkan siapa yang akan diobservasi atau diwawancarai, melainkan juga menetapkan konteksnya, kejadiannya, dan prosesnya. Konteks, kejadian dan proses pada beragam lokasi dipilih untuk diperbandingkan. Untuk masing-masing lokasi dipilih dengan prosedur yang sama dengan pengambilan sampel acak sederhana atau sampel acak 23
berjenjang. Misal kita hendak menelaah masalah transmigrasi, kita ambil sampel daerah asal transmigran, daerah penerima transmigran, lokasi transmigran, dan daerah bukan pengirim dan penerima transmigran. Misal, kita tertarik pada masalah korupsi; kita ambil sampel mereka yang terpidana korupsi, mereka yang pensiun dengan konduite baik tanpa korupsi, subyek di luar yang tak terkait sama sekali dengan kemungkinan korupsi. F. DATA KUALITATIF DAN ANALISIS SELAMA PENGUMPULAN DATA Dalam penelitian dengan pendekatan positivistik pada dasarnya menuntut instrumen pengumpulan data yang lebih baku, lebih-lebih yang menggunakan metodologi penelitian yang kuantitatif Pada metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan positivistik pada umumnya lebih longgar terhadap instrumentasi pengumpulan data. Bertolak dari pertimbangan tak perlu instrumen dan perlu instrumen kami ke tengahkan beberapa butir hal untuk dasar pertimbangan. Sesuatu dasar tak terelakkan adalah metodologi positivistik mengejar produk ilmu yang nomothetik: mencari generalisasi dan lebih jauh lagi mencari hukum-hukum. Untuk itu bagaimanapun diperlukan data yang dapat diperbandingkan, ada parameter yang diperlukan, dan perlu pembakuan instrumen agar dapat dibuat generalisasi. Meskipun demikian perlu disadari bahwa dengan pembakuan instrumen, peneliti kualitatif menjadi buta terhadap situasi di lapangan. Dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan positivistik umumnya lebih melihat proses daripada produk dari obyek penelitiannya; sedangkan yang kuantitatif positivistik lebih melihat pada produknya. Akibatnya peneliti yang sama mungkin dapat menggunakan yang kaulitatif untuk obyek yang hendak dilihat prosesnya, dan menggunakan yang kuantitatif untuk obyek yang hendak dilihat produknya. Dalam skopa wawasan yang lebih luas, hal tersebut akan dibahas pada penelitian longitudinal dan cross sectional di bagian pertama im pula. Data kualitatif yang dimaksud di bagian pertama buku ini adalah data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Data dalam bentuk kata verbal sering muncul dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama, atau sebaliknya; sering muncul dalam kalimat panjang lebar, yang lain singkat melainkan perlu dilacak kembali maksudnya; dan banyak lagi ragamnya. Data kata verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan sistematis. Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi, wawaneara, atau rekaman, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikan. Mana bagian kegiatan yang termasuk pengumpulan data dan mana yang termasuk analisis? Mana yang dikerjakan di lapangan dan mana yang dikerjakan sesudahnya? Dua hal yang hendak ditekankan di sini perbedaan antara yang kuantitatif dengan yang kaulitatif. Pertama, pada yang kuantitatif antara aktivitas pengumpulan data dengan aktivitas analisis, benar-benar dituntut pilahnya secara jelas; sedangkan pada yang kualitatif, atas karakteristik datanya yang kata-verbal menjadi memerlukan olahan mulai dari mengedit sampai menyajikan dalam keadaan ringkas, dan dikerjakan di lapangan. Kedua, pada yang kuantitatif dilakukan pembakuan instrumen, sehingga pemisahan subyek peneliti dengan subyek responden merupakan keharusan; sedangkan pada yang kualitatif, subyek peneliti harus lebih tanggap terhadap situasi di lapangan, meskipun tetap harus dijaga pilahnya peneliti dari subyek responden. Pada sub-bab ini akan ditelaah tentang pengumpulan data kualitatif dan teknik analisis selama pengumpulan data. Sejumlah peneliti kualitatif berupaya mengumpulkan data berminggu, berbulan, malahan bertahun, sesudah itu pulang kandang dengan maksud akan menganalisis setelah meninggalkan lapangan, persis seperti yang dilakukan oleh peneliti kuantitatif. Cara tersebut, bagi penelitian kualitatif salah, Banyak situasi atau konteks yang tak terekam dan peneliti telah lupa penghayatan situasinya, sehingga berbagai hal yang terkait berubah menjadi fragmen-fragmen tak berarti. Pengan demikian pekerjaan pengumpulan data bagi penelitian kualitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasi,
24
mereduksi, dan menyajikan; yang selanjutnya penulis sebut saja sebagai analisis selama pengumpulan data. Sejumlah langkah analisis selama pengumpulan data kami angkat dari Miles dan Huberman (1984). Pertama, meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di lokasi penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkaskan dokumen yang relevan. Kedua, pengkodean. Pengkodean ini hendaknya memperhatikan setidak-tidaknya empat hal: a) digunakan simbul atau ringkasan, seperti motivasi dengan kode mot; pertanian dengan tan, kreativitas dengan kre, dan seterusnya; b) kode dibangun dalam suatu struktur tertentu. Contoh: untuk kode subyek sampel dibuat kode 34205 atau 23116, di mana puluhan ribu menunjuk kabupatennya, ribuan kecamatannya, ratusan desanya, dan 01 sampai 06 menunjuk tokoh pemimpin formal, 07 sampai 12 menunjuk tokoh nonformal, dan 13 sampai 18 menunjuk tokoh informal; c) kode dibangun dengan, tingkat rinci tertentu. Contoh: item yang mengungkap sikap diberi kode S, perilaku L, valensi V, dan persepsi P; dan d) keseluruhannya dibangun dalam suatu sistem yang integrati.f Contoh: MOTVS, KREPL, KOSPS, yang sekaligus menunjuk item itu mengungkap motivasi atau kreativitas atau kosmopolitisme, yang diungkapkan lewat valensinya (V), atau sikapnya (S), atau perilakunya (L), dan persepsinya (P). Sedangkan kode dua huruf KID dan AK misalnya, dipakai untuk faktor yang ditemukan lewat analisis faktor. Kode satu huruf, dua huruf, dan tiga huruf menjadi simbol untuk hal yang berbeda. (Contoh kode tersebut diambil dari disertasi penulis). Ketiga, dalam analisis selama pengumpulan data adalah pembuatan catatan obyektif. Peneliti perlu mencatat sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi sebagaimana adanya, faktual atau obyektif-deskriptif. Keempat, membuat catatan reflektif. Tuliskan apa yang terangan dan terfikir oleh peneliti dalam sangkut-paut dengan catatan obyektif tersebut di atas. Harap dipilahkan dan diberi kode yang berbeda antara catatan obyektif dengan catatan reflektif. Kelima, membuat catatan marginal. Miles dan Huberman memisahkan komentar peneliti mengenai substansinya dengan yang mengenai metodologinya. Komentar substansial dia masukkan ke dalam catatan marginal. Keenam, penyimpanan data. Untuk menyimpan data setidak-tidaknya tiga hal perlu diperhatikan: a) diberi label, b) mempunyai format yang uniform, dan memperhatikan normalisasi tertentu, dan c) menggunakan angka indeks dengan sistem yang terorganisasi baik. Ketujuh, analisis selama pengumpulan data merupakan pembuatan memo. Memo yang dimaksud oleh Miles dan Riberman adalah teoritisasi ide atau konseptualisasi ide, dimulai dengan pengembangan pendapat atau proposisi. Kedelapan, analisis antarlokasi. Ada kemungkinan bahwa studi dilakukan pada. lebih dari satu lokasi atau dilakukan oleh lebih dari satu staf peneliti. Pertemuan antarpeneliti untuk menuliskan kembali catatan deskriptif, catatan reflektif, catatan marginal, dan memo masing-masing lokasi atau masing-masing peneliti menjadi yang konform satu dengan lainnya, perlu dilakukan. Kesembilan, pembuatan ringkasan sementara antarlokasi. Isinya lebih bersifat matriks tentang ada tidaknya data yang dicari pada setiap lokasi. G. PENYAJIAN DATA Sebelum banyak model penyajian data dari Miles dan Huberman (M&H) diketengahkan di sini, seperti juga delapan dari sepuluh langkah diambil dari M&H, perlu penulis dudukkan landasan filsafat kedua penulis tersebut. Dalam bukunya Qualitative Data Analysis (1984) dapat kita telaah bahwa mereka penganut filsafat positivisme dalam metodologi penelitian. Juga mereka jelas-jelas menyatakan : We think of ourselves as logical positivists who recognize and 25
try to atone for the limitations of that approach. Soft-nosed logical positivism, may be. Di mana pula duduknya penulis buku ini dalam metodologi penelitian? Buku ini dimaksudkan sebagai buku teks yang momot (akomodatif) terhadap landasan-landasan filsafat yang beragam, dan mengharapkan para pembacanya mampu mendudukkan setiap produk penelitian dalam proporsinya jangan menuntut sesuatu yang memang bukan karakteristik penelitian dengan landasan filsafat yang berbeda. M&H membantu para peneliti kualitatif positivistik dengan model-model penyajian data yang analog dengan model-model penyajian data penelitian kuantitatif statistis, dengan menggunakan tabel, grafik, matriks, dan semacamnya; bukan diisi dengan angka-angka, melainkan dengan kata atau phrase verbal. Dengan narasi verbal apa yang disajikan dalam 15 sampai 20 halaman dapat diringkaskan menjadi 1 atau 1/2 halaman bentuk matriks, demikian M&H. Bukunya Qualitative Data Analysis sajian utamanya adalah mengenai model-model penyajian data untuk analisis kualitatif M&H dengan model-modeinya itu dimaksudkan untung mendorong tumbuhnya kreativitas membuat modelnya sendiri-sendiri, bukan sekedar konsumen model-model M&H. Cara penulis mengetengahkan model-model M&H juga, tidak akan menyajikan secara langsung dari M&H, melainkan diangkat konsepnya dan bila perlu diberi contoh lain. M&H menyajikan 9 model dengan 12 contoh penyajian data kualitatif bentuk matriks, gambar, atau grafik analog dengan model yang biasa digunakan dalam metodologi penelitian kuantitatif statistik. Model 1 adalah model untuk mendeskripsikan model penelitian. Contoh yang diberikan M&H mirip dengan sosiogram. Untuk mendeskripsikan konteks kita dapat pula mengambil bentuk organigram (kalau hubungan tatahirarkhi penting dalam penelitian yang bersangkutan), atau menyajikan peta geografis, karena letaknya dapat menggambarkan interaksi spasialnya dengan daerah lain. Model 2 adalah model yang perlu dipakai untuk memantau komponen atau dimensi penelitian, yang disebut dengan checklist matrix. Karena matriks itu tabel dua dimensi, maka pada barisnya dapat disajikan komponen atau dimensinya, pada kolomnya disajikan kurun waktunya, atau penelitiannya (bila jumlahnya lebih dari satu). Isi checklist hanyalah tanda-tanda singkat: apakah data ada atau tidak, atau apakah data sudah terkumpul atau belum, dan semacamnya. Model 3 adalah model untuk mendeskripsikan perkembangan antarwaktu. Perkembangan antarwaktu, seperti model 2 yang pada kolomya disajikan kurun waktunya. Bedanya dengan model 3, isi tiap segmen bukan sekedar tanda check, melainkan deskripsi verbal dengan satu kata, atau phrase; deskripsi perkembangan antarwaktu dapat pula disajikan dengan phrase seperti semakin otoriter, mengarah ke akademik, pendapatan naik, dan seterusnya, sehingga deskripsi perkembangan antarwaktu cukup memerlukan satu kolom saja; kolom lain dapat difungsikan untuk mendeskripsikan hal lain. Model 4 adalah matriks tataperan, yang mendeskripsikan pendapat, sikap, kemampuan, atau, lainnya dari berbagai pemeran seperti siswa-pegawai-guru-kepala sekolah-penilik, petani-pegawai-wiraswasta, dan semacamnya; kalau itu disajikan pada barisnya, maka pada kolomnya dapat disajikan metodanya atau tekniknya, seperti lewat observasi-wawancara, ditanyakan-tak ditanyakan, dan semacamnya. Hal yang lebih ditonjolkan dalam matriks tataperan mungkin tataperan antarkelompok seperti di atas (siswa-pegawai-guru dan seterusnya), dapat pula yang disajikan tataperan antarwaktu: guru pada tahun pertama, kedua dan seterusnya. Model 5 adalah matriks konsep terklaster. Sejumlah penelitian mungkin menampilkan sejumlah variabel yang tata hubungan logiknya tidak begitu saja dapat dijelaskan, sehingga bila dituangkan dalam matriks baik pada baris maupun pada kolomnya nampak sebagai tak berhubungan. Keterhubungan dapat tampak logis ketika diberi penjelasan atau diberi kriteria
26
pengklasterannya. Untuk meringkaskan berbagai hasil penelitian dari berbagai ahli yang pokok perhatiannya berbeda, model ini dapat membantu. Model 6 adalah matriks tentang efek atau pengaruh. Model ini hanya mengubah fungsi-fungsi kolom-kolomnya, diganti untuk mendeskripsikan perubahan sebelum dan sesudah mendapat penyuluhan, sebelum dan sesudah. deregulasi, dan yang semacamnya. Model 7 adalah matriks dinamika lokasi. Melalui model ini diungkap dinamika lokasi untuk berubah. Pada barisnya diisi tentang komponen atau fungsi; sedangkan pada kolomnya efek jangka pendek, efek jangka panjang; atau barisnya diisi dengan hambatan dan kesulitan, sedangkan kolomnya diisi issuesnya, bagaimana dilaksanakan, dan bagaimana dipecahkan. Model ini berguna bagi peneliti yang memang hendak melihat dinamika sosial suatu lokasi; tetapi memang tidak banyak penelitian yang mengungkap hal tersebut cukup sulit. Model 8 adalah menyusun daftar kejadian. Daftar kejadian dapat disusun kronologis atau diklasterkan. Model 9 adalah jaringan klausal dari sejumlah kejadian yang ditelitinya. Dari deskripsi atau sajian yang diringkaskan dalam berbagai model tersebut diharapkan agar mempermudah kita untuk merumuskan prediksi kita. Ringkasan prediksi dapat pula disusun dalam bentuk tabel satu dimensi. Itulah model-model penyajian hasil analisis selama di lapangan pada lokasi tunggal. Hasil analisis tersebut nantinya perlu diadakan analisis lebih dalam lagi setelah kita meninggalkan lapangan. Untuk mehyajikan hasitanalisis silang antarlokasi atau antarkasus (dalam arti antar yang terekam dari sejumlah penelitian) selama di lapangan penulis pilihkan sejumlah model dari M&H yang tak dapat dikonsepkan langsung dari 9 model yang tersaji di atas. Penulis sebut saja sebagai model 11 dan seterusnya. Model 11 adalah matriks konsekuensi prediksi. Model ini diangkat dari cara berfikir multivariat, yaitu pendekatan kuantitatif statistik yang menduga berperannya banyak variabel pada sesuatu atau beberapa sesuatu. Pada baris matriksnya disajikan lokasi atau penelitiannya; sedangkan pada kolom matriksnya disajikan variabel-variabelnya, dikelompokkan yang independen, yang dependen; mungkin yang anteseden dan yang intervening. Pada masingmasing segmen diisi deskripsi verbal singkat. Model 12 adalah model tabel kontigensi. Dengan tabel dua dimensi, masing-masing ditata dalam klasifikasi: sangat sedang, dan kurang (entah sangat baik, sangat pandai, sangat kaya, sangat aktif, sangat toleran, sangat terbuka, dan sebagainya). Setiap lokasi atau kasus diisikan pada segmen yang sesuai. H. MENARIK KESIMPULAN Berbagai model yang diketengahkan di atas hanyalah cara untuk mereduksi data yang dapat beratus halaman, menjadi data ringkas sejumlah kurang dari 20 halaman. Untuk memahami yang beratus halaman perlu membacanya secara sekuensial, sedangkan untuk membaca matriks, tabel, diagram, dan semacamnya dapat dilakukan simultan, segala hal yang tampil sekaligus. Bagi peneliti penyusun sajian hasil analisis akan dengan cepat memahami isi matriksnya, dan mempermudah yang bersangkutan untuk membuat kesimpulannya. Memang tujuan berbagai model penyajian hasil analisis lebih diperuntukkan bagi peneliti dalam menganalisis lebih lanjut. Sedangkan penyajian hasil analisis berbentuk matriks tetap akan memerlukan waktu lama bagi pembaca untuk memahaminya, tidak akan terpaut jauh dari membaca laporan dengan narasi verbal yang beratus halaman. M&H menyajikan 12 siasat untuk menarik kesimpulan dengan menelaah sajian matriks, graphik, dan semacamnya itu. Siasat 1: menghitung. Dalam penelitian kualitatif angka hampir diabaikan. Tetapi secara jujur harus kita akui bahwa kalau lebih banyak orang, desa, atau bank menjawab bermanfaat. Jumlah jawaban yang banyak tersebut tak dapat kita abaikan.
27
Siasat 2: temukan pola atau tema. Dengan kemampuan berfikir Gestalt kita sering mampu membuat loncatan menangkap karakteristik tertentu bila data ditata atau dilihat dari dimensi tertentu; sehingga kita menemukan pola atau tema tertentu. Indikasi emperiknya tidak tuntas, apalagi kalau digunakan siasat 1, pola atau tema tak akan ketemu. Siasat 3: nampak cukup beralasan. Secara konvensional tak terlihat hubungan logis antara sejumlah sesuatu; tetapi ada kemungkinan terjadi lain, dan setelah kita telaah dalam, sepertinya cukup beralasan terjadi demikian. Berupaya mencari arti dibalik yang logis konvensional, dan menemukan yang cukup beralasan, penting. Mahasiswa kami memperoleh kesimpulan penelitian bahwa ibu yang kurang terdidik mempunyai balita yang lebih sehat daripada ibu yang lebih terdidik. Menafsirkan bahwa ibu yang kurang terdidik patuh pada petunjuk puskesmas, sedangkan yang terdidik tak acuh terhadap, petunjuk karena sudah merasa pandai, merupakan penafsiran yang cukup beralasan. Siasat 4: mengklasterkan. Secara konvensional kita biasa mengelompokkan berbagai sesuatu sebagai produk industri, alat rumahtangga, hak milik, alat pendidikan, dan sebagainya. Atas kriteria tertentu dengan melihat dimensi lain tertentu berbagai sesuatu yang lain kelompok atau lain kelas dapat kita jadikan satu klaster. Dari klaster tersebut mungkin kita menemukan sesuatu untuk menarik kesimpulannya. Siasat 5: membuat metaphor. Menjelaskan teori fungsionalisme dengan menganalogikan dengan konstruksi bangunan. Selalu mencari fihak lain yang lemah sebagai yang salah dimetaphorkan mencari kambing hitam. Dengan metaphor kita dapat menampilkan pola atau malahan teori. Siasat 6: memecah variabel. Mahasiswa mengadakan penelitian dengan mengkorelasikan dua variabel, tak terbukti. Kami minta untuk mengelompokkan item dan jawabannya pada klaster baru yang dapat disebut sebagai subvariabel. Pembuktian pada subvariabel satu terbukti korelat, pada subvariabel lainnya tidak. Ide ini dapat digunakan untuk menerapkan siasat 6. Keberadaan penonton menghasilkan kesimpulan inkonklusif terhadap prestasi pemain sepak-bola. Ketika dipecah menjadi: kecepatan menggiring bola dan ketepatan memasukkan bola. Siasat 7: dari yang spesifik cari idee generalisasinya. Dari suatu kejadian, bukan mustahil kita dapat menangkap artinya pada banyak kejadian, atau malahan diduga pada semua kejadian. Siasat 8: memfaktorkan. Idee pemfaktoran ini diangkat dari konsep factor analysis dalam kuantitatif statistik. Penataan dalam klaster (siasat,4) kriteria pengelompokkannya dapat sangat beragam dasarnya. Sedangkan pada pemfaktoran kriteria pengelompokkannya lebih mendasar, lebih kepada karakteristik esensialnya. Siasat 9: cari relasi antar variabel. Konsep mencari relasi antarsatuan terkecil obyek penelitian adalah konsep dasar penelitian positivistik. Inti dasar konsepnya adalah: sesuatu variabel itu dapat digolongkan menjadi tiga, yang relevan, yang mungkin relevan, dan tidak relevan dengan variabel lain. Fungsi penelitian positivistik adalah menguji yang mungkin relevan untuk memperoleh jawaban: relevan atau tidak relevan. Siasat 10: cari intervening variables. Mungkin relasi variabel A dan B kabur; ketika Anda masukkan variabel Q, relasi A dengan B dapat menjadi lebih jelas. Siasat 11: Konstruksikan matarantai logik antara berbagai evidensi. Siasat 12: susunlah konsep atau teori yang koheren. Bukan mustahil konsep yang satu mempunyai kontradiksi dengan konsep yang lain; dan bukan mustahil kontradiksinya itu intern, antara teori operasionalisasinya. Membuat koheren adalah membuat semua konsep dalam tata lebih rendah cocok dengan konsep dalam tata lebih tinggi. I.
KONSEP KEBENARAN: OBYEKTIVITAS, RELIABILITAS, DAN VALIDITAS
28
Dalam metodologi penelitian kita sering diperkenalkan konsep obyektivitas, reliabilitas, dan validitas. Dasar berfikir positivistik dalam upaya mencari kebenaran dilandaskan pada besar kecilnya frekuensi kejadian atau variansi obyek. Dalam positivisme, pengujian ketiganya melandaskan pada dua hal tersebut, dan ketiganya dipakai sebagai ukuran apakah sesuatu penelitian itu berkualitas tinggi atau tidak. Sesuatu penelitian dipandang obyektif, bila siapapun dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan penelitian yang sama. Reliabilitas dapat dibedakan menjadi dua: keajegan internal dan stabilitas antarkelompok. Dengan belah dua random atau dengan pengulangan pengukuran antarwaktu kita menguji keajegan internal atau consistency; sedangkan dengan memperbandingkan frekuensi atau variansi antarkelompok kita menguji stabilitas antar kelompok atau stability. Consistency dan stability adalah ragam prosedur untuk menguji reliabilitas. Validitas adalah kebenaran. Kebenaran bagi positivisme diukur berdasar besarnya frekuensi kejadian atau berdasar berartinya (significancy) variansi obyeknya. Dalam penelitian kualitatif kebenaran tidak diukur berdasar frekuensi dan variansi, melainkan dilandaskan pada diketemukan hal yang esensial, hal yang intrinsik benar. Untuk mengejar kebenaran positivisme mengejar lewat populasi yang luas serta sampel yang representatif. Sedangkan penelitian kualitatif mengejar kebenaran lewat diketemukan sumber terpercaya sehingga hal yang hakiki, yang intrinsik, yang esensial dapat diketemukan. Peralihan berfikir tentang konsep kebenaran positivistik ke konsep kebenaran kualitatif tidaklah dapat berjalan mulus. Sementara ahli masih kacau. Pengalaman penulis sebagai promotor disertasi mengamati hal tersebut. Dalam hal itu. penulis berupaya menjaga konsistensi berfikir, hendak mengukur kebenaran dengan frekuensi/variansi ataukah dengan penemuan esensial. (Mengapa tidak menyinggung skripsi S1 dan tesis S2? Karena kekhilafan berfikir pada dataran tersebut memang masih harus kita maklumi; tetapi tidak boleh terjadi pada dataran calon doktor). Pada pendekatan rasionalistik, penulis memberi alternatif untuk mencari kebenaran atas frekuensi/variansi (positivistik kuantitatif) atau mencari kebenaran lewat penemuan esensi (phenomenologik kualitatif). Pada pendekatan phenomenologik, yang ditulis pada bagian ketiga buku ini penulis menyajikan perkembangan model-model kualitatif dalam upayanya mencari paradigma kualitatif. Mulai dari keinginan mencari yang kualitatif tetapi tetap saja menggunakan paradigma positivistik kuantitatif sampai menemukan metodologi penelitian kualitatif dengan paradigma kualitatif Kirk & Miller dalam bukunya Reliability and Validity in Qualitative Research dari judul bukunya pun dapat dijadikan contoh yang berupaya berkualitatif tetapi masih ter jebak pada paradigma kuantitatif. Meskipun pada isi buku tersebut dalam banyak sekali hal telah memberi urunan bagi pembangunan fondasi yang kokohbagi paradigma kualitatif.
29
H. STUDI KASUS PENDEKATAN KLIMK DAN GENETIK A. ARTI STUDI KASUS Metodologi penelitian yang diuraikan terdahulu berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara. mencari rerata dari frekuensi kejadian atau rerata dari keragaman individual. Banyaknya kejadian atau banyaknya individu serta representasinya menjadi pertimbangan utama untuk menetapkan kebermaknaan (signifikansi) penarikan kesimpulan. Metodologi penelitian yang dicakup dalam judul Studi Kasus Pendekatan Genetik berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam dan dalam jangka waktu lama. Bukan banyaknya individu dan juga bukan rerata yang menjadi dasar pertimbangan penarikan kesimpulan, melainkan didasarkan ketajaman peneliti melihat: kecenderungan, pola, arah, interaksi banyak faktor, dan hal lain yang memacu atau menghambat perubahan. Perubahan bagi pendekatan genetik bertolak dari asumsi bahwa sesuatu itu berkembang dari yang elementer menjadi yang lebih sempurna; banyaknya hambatan, arah menjadi sempurna tidak akan pernah tercapai, yang muncul adalah penyimpangan atau deviasi perkembangan. Studi kasus dilihat dari dimensi tertentu dapat pula disebut studi longintudinal diperlawankan dengan studi cross sectional. Studi longitudinal berupaya mengobservasi obyeknya dalam jangka waktu lama dan terusmenerus; sedangkan studi cross sectional berupaya mempersingkat waktu observasinya dengan cara mengobservasi pada beberapa tahap atau tingkat perkembangan tertentu, dengan harapan, dari sejumlah tahap atau tingkat tersebut akan dapat dibuat kesimpulan yang sama dengan longitudinal. Untuk mempersingkat waktu penelitian upaya lain juga muncul, yaitu: simultaneous cross sectional, di mana tahap perkembangan tidak diambil pada subyek yang sama, melainkan pada subyek yang berbeda. Pada cross sectional perkembangan anak dilihat pada subyek yang sama ketika dia balita, ketika dia remaja, ketika dia dewasa, dan ketika dia lanjut usia; penelitian tersebut menjadi harus menunggu sepanjang hidup subyek tersebut. Pada simultaneous cross sectional, untuk meneliti perkembangan, diambil subyek yang balita, yang remaja, yang dewasa, dan yang usia lanjut; sehingga waktu penelitian dapat dipersingkat menjadi beberapa bulan saja. Yang longitudinal dan cross sectional tersebut beberapa ahli menyebutnya sebagai metoda, beberapa lainnya sebagai prosedur, dan ada pula yang menyebut sebagai teknik. Semua istilah tersebut dapat saja dipakai, asal digunakan dalam porsinya yang tepat. Bila gunakan sebagai pendekatan, maka longitudinal akan sama dengan pendekatan genetik; dan cross sectional sama dengan pendekatan positivistik kuantitatif dan juga positivistik kualitatif. Simultaneou cross section menjadi teknik ketika pertimbangan utama penggunaannya adalah mencari alternatif waktu yang lebih efisien; menjadi metoda ketika, pusat perhatiannya pada pertimbangan apakah hasilnya dapat s ama baik dengan yang longitudinal, dan seterusnya. Studi kasus sebagai studi longitudinal oleh Horton & Hunt (1976) dibedakan menjadi yang retrospektif dan prospektif. Studi kasus -retrospektif telah lebih awal digunakan untuk kepentingan klinis. obyek studi ini adalah penyimpangan yang terkait ke broken home, lingkungan miskin, perilaku sosial atau antisosial, intelegensi rendah, dan psikoneurosis. Studi kasus prospektif mengambil obyek perkembangan normal, baik individu, kelompok, atau satuan sosial lain seperti: kehidupan budaya, politik, lembaga kerja, atau lainnya. Studi kasus retrospektif, desainnya selalu mengarah ke keperluan kuratif, bukan untuk keperluan penelitian belaka. Studi kasus prospektif digunakan untuk keperluan penelitian, mencari kesimpulan, dan diharapkan dapat ditemukan pola, kecenderungan, arah, dan lainnya; yang dapat digunakan untuk membuat perkiraan-perkiraan perkembangan masa depan. Studi kasus untuk keperluan klinis subyek yang menjadi obyek studi biasanya tunggal; sehingga kasus dalam hal itu berarti kasus yang terjadi pada satu orang. Studi kasus prospektif jumlah subyeknya biasanya cukup 30
banyak, lebih dari satu orang; mungkin pula berpuluh. Apalagi kalau unit analisisnya bukan orang, melainkan satuan tertentu, seperti petani, wiraswasta, pegawai; seperti desa X, desa Y; urban; rural; provinsi A, provinsi B; atau malahan negara K, negara L; dan juga negara berkembang, negara industri. Studi tentang itu, masing-masing dapat saja disebut sebagai studi kasus. Cukup banyak ragam kemungkinan untuk memberikan label studi kasus, dan sampai batas-batas tertentu memang cukup rasional. Hal esensial yang perlu dipegang adalah: studi kasus itu merupakan studi yang mendalam tentang individu dan berjangka waktu relatif lama. Sedangkan studi kasus yang “cross sectional” merupakan studi yang singkat tetapi menjangkau populasi yang relatif lebih luas. Catatan: individu dengan tanda petik dalam pengertian di atas sudah memasukkan konsep unit analisis sebagaimana dicontohkan di atas; dan cross sectional dengan tanda petik ganda dalam pengertian, tanda petik pertama menunjukkan bahwa itu istilah asing, sedang tanda petik kedua menunjuk, mengklasifikasikan penelitian positivistik kualitatif dan kuantitatif masuk ke dalamnya, yang tidak biasa kita kerjakan. Ada istilah yang sering rancu pemaknaannya, yaitu Ex post facto. Ex post facto adalah suatu model studi yang prosesnya telah selesai. Sebutan ex post facto itu dapat terkait dengan studi longitudinal; dan dapat pula terkait studi cross sectional , untuk obyek telaah yang telah selesai prosesnya. Untuk lebih mempertaiam makna dan fungsi arti ex post facto, penulis cenderung menawarkan penggunaan istilah ex post facto hanya untuk telaah obyek yang prosesnya sudah final, tidak dapat diulang atau dilanjutkan pada subyek yang sama. Misal: peran bimbingan orang tua yang anaknya telah sukses; efektivitas program setelah yang bersangkutan lulus; kepemimpinan setelah mengundurkan diri; evaluasi kurikulum setelah kurikulum tidak dipakai; kebijakan ekonomi setelah kebijakan tersebut diganti kebijakan lain. Penulis kurang sependapat atas pemberian label ex post facto untuk penelitian yang prosesnya masih berlanjut, seperti efektivitas kurikulum SMA dengan mengambil responden siswa kelas 2; kepemimpinan pamong desa pada waktu pemimpin tersebut masih menjabat; kebijakan pendidikan yang masih berjalan. Alasan mereka menggunakan label ex post facto untuk penelitian itu, karena yang mereka ungkap adalah produk. Tetapi mereka lupa bahwa produk tersebut (misal dengan responden siswa kelas 2 SMU, kepemimpinan orang yang masih menjabat, dan lainnya) pada hakikatnya cross section dari proses yang masih berlanjut. Ada lagi suatu teknik studi yang kita kenal dengan nama tracer study, yang kita terjemahkan dengan studi penelusuran. Dalam terapan asalnya adalah studi ex post facto yang bukan hanya terhenti setelah selesai mengikuti pendidikan, melainkan dilacak terus sampai yang bersangkutan bekerja; jadi bukan berhenti pada efek langsung, melainkan dilanjutkan pada dampak yang lebih jauh lagi. Tracer study dalam artinya yang sekarang telah - diperluas menjadi studi longitudinal dan mengobservasi obyek untuk diungkap pola, arah, kecenderungan dalam jangka waktu yang lama, berkelanjutan, dan terus-menerus. Dengan deskripsi tersebut tracer study menjadi sama saja dengan pendekatan genetik atau pendekatan longitudinal. Bedanya dengan dua yang terakhir terletak pada desain penelitiannya. Desain penelitian tracer study mengaksentuasikan peranan waktu dalam desain dan dalam teknik analisis. Sebagian besar teknik analisisnya berada di kawasan statistik kuantitatif; meski ada satu dua yang dapat dimodifikasi menjadi kualitatif dengan bantuan deskripsi numerik. B. STUDI KASUS UNTUK TUJUAN KLINIK Studi kasus untuk tujuan klinik berbeda desainnya dengan studi kasus dalam arti umum lebih luas. Desain studi kasus untuk tujuan klinik mencakup paling tidak 5 komponen penting yaitu: 1) identifikasi status situasi bagi perlakuan kuratif, 2) pengumpulan data, pengujian kemampuan indra, kesehatan, pendidikan, dan mental, serta mengadakan penelaahan biographinya; 3) membuat diagnosis dan identifikasi faktor penyebab; 4) penyesuaian, perlakuan, dan terapi (program rehabilitasi); dan 5) program tindaklanjut (program revalidasi).
31
Dalam perkembangannya, unit analisisnya tidak terbatas pada orangseorang, melainkan dapat saja diperluas sehingga unit analisisnya satuan sosial tertentu. Studi kasus dengan unit analisis orang-seorang diperlukan oleh penyuluh, pembimbing, konsultan psikologik, psikiater, dan neorolog; sedangkan studi kasus dengan unit analisis satuan sosial tertentu diperlukan oleh para pekerja sosial, pendidik sosial, ahli pembangunan masyarakat, dan sosiatri. Bila unit analisisnya satuan sosial, dengan sendirinya komponen 2) di atas perlu dimodifikasi menjadi studi derajat kesehatan, pendapatan, tingkat kriminalitas, dan hal lain yang diperkirakan relevan. Dua wawasan baru yang perlu dimasukkan dalam mengadakan studi kasus, termasuk tindaklanjutnya. Pertama, para pakar tidak lagi memandang bahwa setiap orang itu berperilaku tak normal, melainkan memandang bahwa orang pada umumnya berperilaku normal; ketidaknormalan itu hanyalah penyimpangan. Kedua, orientasi klien mendatangi pekerja sosial, telah berkembang menjadi perlunya pekerja sosial mendatangi warga masyarakat, yang besar kemungkinan warga tersebut tidak menyadari kesulitannya sendiri. Wawasan itu membawa konsekuensi upaya identifikasi dan upaya membuat diagnosis dan terapinya. Identifikasi status situasi bagi keperluan kuratif mencakup upaya-upaya: menajamkan obyeknya, bukan pada subyeknya; menajamkan wawasan teoretik dan mampu memilih teknik studi yang tepat; yang mau dikerjakan itu tindakan korektif atau tindakan pengembangan; dan mengidentifikasi tingkat penyimpangan atau hambatan. Pengumpulan data sebagai tahap kedua bagi studi kasus ini perlu diarahkan pada mencari faktor penyebab penyimpangan untuk landasan membuat diagnosis serta membuat terapinya. Biographi tentang sekolahnya, tentang kehidupan keluarganya, dan pergaulan sosialnya merupakan sumber utama bagi pengujian penyimpangannya. Data tersebut perlu dilengkapi dengan pengujian kesehatannya, kemampuannya, dan mentalnya. Membuat diagnosis merupakan langkah ketiga bagi studi kasus untuk tujuan klinik. Sejumlah subyek memerlukan diagnosis khusus, seperti: a) kelompok tuna mental dan tuna daksa, b) kelompok tuna sosial, moral, dan emosional, c) mereka yang hasil belajarnya di bawah rata-rata, dan d) mereka yang bakat latennya tidak mendapat peluang tersalur. Teknik-teknik diagnosisnya mencakup: tes kemampuan dasar, hasil belajar, dan kepribadian; observasi kebiasaan, sikap, dan reaksinya; menganalis pekerjaan tertulis klien; menganalisis berbagai jawaban dan reaksi oral; wawancara, dan lainnya. Langkah keempat dalam studi kasus ini adalah: mengadakan berbagai penyesuain, memberikan perlakuan (treatment), dan membuat terapi. Pada tahap ini, diagnosis yang telah dibuat diuji lagi sebeium dikenai perlakuan tertentu; menumbtihkan kesadaran pada orang tua, ataupun pada anak untuk siap mengadakan berbagai penyesuaian itu penting. Proses terapi dari Carl Rogers yang non-directive atau dient-centered yang digunakan, misalnya. Sampai dengan langkah keempat pada berbagai forum penulis sebut sebagai proses rehabilitasi, proses membuat subyek menjadi habil kembali; menjadi mampu untuk tumbuh/bertindak normal. Langkah kelima adalah tindak lanjut, yang biasa penulis sebut proses revalidasi; upaya menjadikan subyek menjadi valid, menjadi dapat diterima, diakui kemampuan partisipasinya, dan diberi peluang penuh untuk berprestasi. C. STUDI KASUS GENETIK Studi kasus berikut adalah studi kasus untuk memahami perkembangan pribadi, kelompok, lembaga, dan juga bukan mustahil perkembangan suatu masalah. Contoh untuk yang terakhir: tentang perpajakan dari waktu ke waktu, status sosial ekonomi guru, proses akulturasi nonpribumi, dan lainnya. Studi ini berjangka lama, menggunakan observasi intensif. Umumnya data dikumpulkan dari informan dan wawancard bebas; analisis dan kesimpulan khusus berlaku bagi kasus obyek penelitian itu sendiri. Tujuan utama studi kasus adalah memahami secara menyeluruh suatu kasus (yang mungkin pribadi, satuan sosial, atau masalah), masa lampau dan perkembangannya. Studi kasus genetik lebih bersifat prospektif, lebih melihat ke depan, melihat 32
kepentingan perkembangan masa depan. Skopa studi kasus pada dasarnya mencakup seluruh siklus perkembangan obyek, tetapi dapat pula membatasi pada obyek-obyek spesifik. Studi kasus lebih bersifat penjelajahan; kesimpulannya lebih bersifat deskriptif. Dalam studi kasus, situasi wajar alami penting. Desain penelitian studi kasus yang paling sederhana adalah studi kasus tunggal. Kasus tunggal tersebut dapat dipelajari secara longitudinal atau secara simultaneous cross sectional. subyek pada yang longintudinal tunggal; sedangkan pada yang simultaneous cross sectional untuk setiap phase perkembangan diambil subyek yang berbeda. Yang kedua desainnya menjadi lebih kompleks, tetapi menjadi menyingkat waktu. Desain lain dalam studi kasus adalah digunakan teknik kelompok kontrol dan kelompok kembar. Studi kasus dalam penelitian kualitatif banyak menggunakan teknik proyeksi, seperti mengobservasi perkembangan intelek anak lewat lukisan yang dibuat; ekspresi spontan lewat permainan; lewat otobiographi. Untuk perkembangan phisik secara longintudinal dicari ragam pola morphologi antar individu. Analisis studi kasus menyangkut obyek-obyek seperti: laju perkembangan dalam arti kecenderungan, pola, dan juga ketidakteraturan dan penyimpangan; tingkat kedewasaan, dalam arti tampilan perilaku dan integrasinya; karakteristik pribadi: tidak ada anak yang sama, telaah untuk melihat sifat khasnya penting; mempelajari masa lampaunya untuk membuat diagnosis dan mencari faktor penyebab; dan memprediksikan masa depannya, membuat prognosis berdasar asumsi stabilitas perkembangannya. Simultaneous cross sectional dapat didesain, misalnya perkembangan bahasa pada anak: dengan mengambil obyek anak usia balita, usia SD, usia SMP, dan usia SLA; pertumbuhan ekonomi: mengambil daerah agraris tradisional, agraris modern, daerah industri rumah dan tangga, daerah indutri modern. Kelemahan metoda tersebut terletak pada konteks waktu yang tak dapat diperhitungkan. Konteks usia SLA akan tidak sama dapat diperhitungkan; konteks SLA bagi balita subyek penelitian akan tidak sama dengan konteks SLA yang sekarang menjadi subyek penelitian. Ada tiga metoda untuk mengatasi itu. Pertama dengan cohort sequential method, pengamatan dilakukan pada beberapa kelompok angkatan selama kurun waktu yang sama, dengan ketentuan: Cohort yang lebih tua, mulai diamati lebih awal, dan diakhiri lebih awal pula. Kedua, dengan time sequential method, pengamatan dilakukan terhadap beberapa angkatan selama dua kali pengamatan sehingga memungkinkan dibuat perbandingan antarusia dan antarwaktu. Ketiga, dengan cross sequential method, pengamatan dilakukan pada beberapa kelompok usia yang sama pada dua waktu yang berbeda. Catatan penulis: untuk meningkatkan kualitas hasil penelitian Studi Kasus, baik yang klinik maupun yang genetik, penulis rekomendasikan untuk menggunakan paradigma kualitatif daripada tetap berada dalam konteks paradigma kuantitatif. Silakan membaca bagian ketiga buku ini.
33
III. SURVEI: PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL A. SURVEI Bila dibandingkan, Bagian Pertama I, II, dan III adalah sebagai berikut. Yang pertama studi ekstensif, yang kedua intensif, sedangkan yang ketiga sangat ekstensif tetapi superfisial. Tentang survei akan diberikan deskripsi umum sekedarnya, sedangkan penelaahan selanjutnya lebih difokuskan pada bagian penting dari survei, yaitu prosedur pengambilan sampel. Survei diperbandingkan dengan studi kasus. Sampel survei sangat luas, sedangkan studi kasus adalah studi populasi kecil. Survei bertujuan membuat generalisasi, dan sebagian malahan untuk membuat prediksi. Generalisasi dari studi kasus terbatas pada kasus lain yang memiliki karakteistik dan tipe yang sama. Generalisasi demikian disebut generalisasi pada parent population-nya, bukan generalisasi yang biasa dipakai. Generalisasi yang biasa dipakai adalah generalisasi dari studi sampel yang representatif terhadap populasinya; generalisasi ini disebut generalisasi pada mother population-nya. (Catatan: parent di atas ditulis tanpa s). Survei lebih bersifat cross sectional, sedangkan studi kasus merupakan studi longitudinal. Metoda pengumpulan data pada studi kasus lebih mengutamakan penggunaan observasi, wawancara, dan dokumentasi; sedangkan survei paling banyak menggunakan kuesioner. Studi kasus banyak menggunakan pendekatan informal, sedangkan survei lebih banyak menggunakan pendekatan formal. Kesimpulan kasus bersifat deskriptif, sedangkan survei bersifat inferensial. Ada dua macam survei, yaitu: survei untuk memperoleh data dasar, guna memperoleh gambaran umum, yang bermanfaat untuk membuat perencanaan dan kebijakan publik; dan survei vang digunakan untuk mengungkap pendapat, sikap dan harapan publik. Yang pertama sering kita kenal sebagai sensus, seperti sensus penduduk, sensus sosek, dan lainnya. Yang kedua sering dipakai untuk memprediksi suara pemilih dalam pemilihan Presiden, Gubernur, anggota Kongres, dan senat di Amerika Serikat, juga di sejumlah negara demokrasi. Yang pertama mengungkap fakta, yang kedua mengungkap efek suka tak suka. Perlu pemahaman khusus untuk mampu membedakan keduanya. Hal tersebut penulis uraikan secara rinci dalam buku Pengukuran Kepribadian dan juga dalam Metodologi Riset Lanjut . B. PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL Konsep dasar pengambilan sampel dalam survei, seperti metodologi penelitian positivistik lainnya, adalah representativitas terhadap populasinya. Dasar pengambilan sampel untuk survei setidak-tidaknya dapat dibedakan menjadi empat, yaitu pengambilan sampel: secara sistematik, secara acak, dengan kuota, dan secara, purposive. Pengambilan sampel secara sistematik berpangkal dari tertatanya populasi secara, wajar; pelanggan telepon tersusun secara alfa-betis; orang kesepuluh (dari yang membeli, dari yang datang, dari daftar, atau alasan lain); daftar nama tersusun urut berdasar pangkat; penghuni rumah dinas terkait dengan senioritas; nomor urut nasabali bank sebelum dan sesudah ada sistem hadiah atau bunga harian; dan banyak lagi contoh lain. Pengambilan sampel sistematik tersebut memang memudahkan peneliti. Sejumlah kelemahan dari cara, itu perlu disadari. Misal susunan nama alfabetis di Indonesia nampaknya didominasi huruf awal S; daftar pelanggan telepon sudah bias menjadi sampel golongan menengah ke atas. Banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan. Pengambilan sampel secara acak, dari konsep positivistik, paling ideal. Kesulitannya adalah pengambilan keputusan apakah memang homogin sehingga dapat dipakai sebagai sampel secara acak. Kadang-kadang sesuatu yang diperkirakan homogin acak, ternyata telah tersusun sistematik. Untuk survei pendapat, pengambilan sampel dengan kuota lebih dominan. Penetapan kuota ataujatah atau target sekian responden menjadi dasar lain yang dapat dipakai untuk dasar pengambilan sampel. Bila pada populasinya terdapat kelompok-kelompok seperti: usia, etnik, sosek, atau lainnya, 34
dalam penetapan kuota sering dikaitkan dengan kelompok tersebut, sehingga ada semacam kuota untuk masing-masing. Untuk menyebut quota sampling itu juga stratified sampling perlu penjelasan lebih eksplisit tentang karakter penstrataannya. Dasar pengambilan sampel yang keempat adalah cara purposive. Pada populasi yang nampak homogin dengan mata peneliti yang tajam tampak heterogenitas yang terjadi secara, sistematik. Misal: daerah subur penduduknya lebih kaya dari daerah tandus; rasa aman etnik kadang menumbuhkan kecenderungan untuk mengelompok dalam daerah hunian yang sama; yang pergi ke pasar swalayan beda dengan yang pergi ke pasar tradisional; yang masuk PTN prestisius cenderung yang berkualitas baik, campur yang kaya dan miskin; yang masuk PTS prestisius cenderung yang ekonomik mampu, campur yang kualitas baik dan kualitas kurang. Dari dasar-dasar pengambilan sampel tersebut penulis menawarkan penggunaan prosedur pengambilan sampel berjenjang ganda. Tahap I disampel areanya (misal: dari sekian kabupaten, dari sekian sekolah, dari sekian kampung, dari sekian bank) dipilih beberapa daripadanya; cara memilih dapat secara acak, sistematik, atau secara purposive. Tahap 2 disampel satuan kelompoknva (misal: dari sekian desa, dari sekian kelas, dari sekian RT, dari sekian bagian) dipilih beberapa daripadanya; cara memilihnya dapat acak, sistematik, atau kuota. Tahap 3 disampel respondennya (dari sekian penghuni desa, dari sekian siswa di kelas, dari sekian kepala rumah tangga, dari sekian karyawan) dipilih beberapa daripadanya; cara memilihnya dapat secara acak, dapat berdasar kuota, atau semua jadi responden. Khusus untuk pemilihan subyek ada empat metoda seleksi. Pertama, ambil yang langsung dapat diperoleh. Mendatangi desa langsung mewawancarai yang sedang senggang dan ketemu; mendatangi sekolah, langsung menggunakan siswa dari kelas yang tak ada pelajaran; mewawancarai pekerja pabrik, langsung yang dapat diwawancarai; dan seterusnya. Kedua, ambil kesempatan yang memudahkan. Untuk mengambil responden dari berbagai daerah, diambil responden ketika ada rapat kerja, seminar, kongres, atau lainnya yang bersifat nasional. Ketiga, pilih sampel yang bukan ... Petunjuk yang bukan dimaksudkan agar sampel tidak menjadi bias. Mewawancarai tentang etos kerja jangan ambil yang penganggur, jangan ambil yang belum bekerja. Kehidupan rumah tangga, jangan ambil yang bukan suami-istri untuk diwawancarai. Keempat, sampel diambil dari mereka yang secara sukarela mau menjadi sampel; usaha aktif datang dari sampel itu sendiri. Kuesioner dilampirkan dalam surat kabar atau majalah; pembaca yang berminat aktif menyediakan diri untuk menjawab. Pada praktiknya keempat prosedur pengambilan sampel tersebut dikombinasikan. Hal tersebut harap diangkat idenya saja. Pilihan tergantung kreativitas peneliti. C. PENGEMBANGAN DESAIN SURVEI Karena banyaknya ragam hal yang perlu dipertimbangkan, desain survei tidak mudah untuk dapat disusun sekali jadi; perlu ditelaah kembali berdasar penjajagan, sebelum final untuk dipakai survei. Pokok komponen yang perlu secara berulangkali direvisi adalah: unit analisisnya, jumlah wawancaranya, lama wawancara, dan biaya. Dari keempat komponen tersebut bisa menambah atau mengurang atas berbagai pertimbangan, untuk representativitas, signifikansi, dan untuk pertimbangan biayanya. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu terjawab dalam penyusunan desain survei ada lima, dan hal yang perlu dirancangkan ada empat. Pertanyaan tersebut, pertama: berapa banyak sampel yang akan-diambil, hal ini terkait pada luasnya populasi, jumlah biaya yang tersedia, keragaman populasi, dan sifatnya yang superfisial. Karena sifatnya yang suporfisial, tuntutan menjangkau sampel yang representatif tetapi kecil jumlahnya perlu ditemukan teknik pengambilan sampel yang tepat. Pertimbangan yang mengarah ke acak berstrata, jenjang ganda, sistematik, atau multipurpose lebih direkomendasikan.
35
Pertanyaan kedua adalah pengambilan distribusi sampel pada populasi. Hal praktis penting yang perlu menjadi dasar pertimbangan adalah: a) mudahnya mendapatkan asisten peneliti di lokasi penelitian, b) kemampuan mensupervisi kegiatan di lapangan, c) kemungkinan kelompok penganalisis sekaligus penyusun laporan final, d) biaya perjalanan antarlokasi, dan e) kemungkinan keragaman sampel: mungkin terkonsentrasi, mungkin menyebar. Yang terakhir nampaknya perlu penjelasan. Keragaman etnik di Indonesia menyebar di berbagai pulau di Indonesia; sedangkan keragaman etnik di Jakarta, terkonsentrasi dalam kota Jakarta saja. Kampung Kauman terkonsentarsi penganut agama Islam; di kawasan tertentu terkonsentrasi etnik Cina. Masalah tersebut perlu terjawab dan tertuang dalam desain. Pertanyaan ketiga menyangkut penetapan unit sampel. Banyak manfaatnya untuk menampilkan sampel dalam beberapa jenjang/tahap/strata atau semacamnya. Misal: mengklaster unsur sampel atas dasar portimbangan geografis akan banyak menghemat biaya. Pertanvaan keempat berkait dengan teknik seleksi responden. Telah diketengahkan tentang empat metoda seleksinya; sehingga tak perlu diulang lagi di sini. Pertanyaan kelima menyangkut prosedur estimasi. Para pakar survei cenderung menyarankan penggunaan desain survei yang kompleks (berstrata, berjenjang, dan lain-lain), bukan desain sederhana, yang langsung mengambil sampel secara acak. Dalam metodologi penelitian kuantitatif, estinlasi dari desain sederhana cukup didasarkan pada rerata dan proporsi; dalam metodologi yang sama, estimasi dari desain kompleks memerlukan metoda ratio dan regresi. Dalam metodologi penelitian kualitatif, sejunilah pakar menyarankan penggunaan self-weighing. Berikan argumentasi mengapa unit sampel ditata dalam strata atau jenjang atau dalam sistimasisasi lain. Empat hal yang perlu dirancangkan dan dimasukkan dalam desain. Pertama pertama, merancang dan menguji kuesioner yang akan dipakai; kedua merancangkan ketenagaan, latihan dan supervisinya; ketiga, merancangkan agardiperoleh dan dijaga kerjasama dengan responden; dan keempat, memilih saat yang tepat untuk survei. Dalam merancang kuesioner dua hal perlu dijawab: bagaimana responden dijangkau (dengan pos, lewat wawancara perorangan atau kelompok, dan lain-lain) dan spesifikasi data yang ingin diperoleh. Bila spesifikasinya cukup dapat dijawab dengan ya atau tidak dan jumlah item tidak banyak, mungkin responden dapat dijangkau lewat telepon. Dalam merancang ketenagaan, perlu terjawab lebih dahulu tingkat keterlibatan yang diharapkan dari tenaga lapangan itu. Kualifikasinya berbeda antara pengumpul data kuesioner yang tertutup dengan yang terbuka; lebih-lebih yang memerlukan wawancara. Juga berbeda lagi bila pekerja lapangan juga dilibatkan pada pengelolaan data awal, dan lain lagi bila dilibatkan dalam analisis final. Untuk memperoleh kerja sama dan terjaganya kerja sama itu perlu ditimbang kata pengantar kuesioner, pengembalian kuesioner dengan perangko berlangganan, dirahasiakannya identitas responden, ada penghargaan berupa souvenir kenangan atau ucapan terima kasih, ada sponsor lembaga terhormat, dan banyak lagi kemungkinannya. Memilih saat yang tepat, misal: mewawancarai petani pada musim panen tidak tepat, survei pendapat tentang kriminalitas di saat banyak pelanggaran hukum itu tepat; pembinaan olah raga ketika prestasi kita melorot itu tepat. Catatan penulis: Model kuantitatif penulis pertimbangkan masih lebih kokoh untuk digunakan bagi penelitian survei menjangkau populasi sangat luas dengan sampel kecil, asal teknik pengambilan sampelnya tepat.
36
IV. CONTENT ANALYSIS A. ARTI CONTENT ANALYSIS Content analysis berangkat dari aksioma bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi itu merupakan dasar bagi semua ilmu sosial. Pembentukan dan pengalihan perilaku dan polanya berlangsung lewat komunikasi verbal. Kebudayaan dan pengalihannya di sekolah, di lembaga kerja, di berbagai institusi sosial berlangsung lewat komunikasi. Konflik sosial atau politik yang mungkin berpangkal dari kepentingan yang berbeda tukar dapat difahami; komunikasi verbal dapat membantunya. Content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi, demikian Barcus. Secara teknis content analysis mencakup upaya: a) klasifikfsi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, b) menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, dan c) menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi. Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey & Aronson (1968) yang dikutip Albert Widjaja dalam disertasinya (1982) tentang content analysis menampilkan tiga syarat, yaitu: obyektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi. Analisis harus berlandaskan aturan yang dirumuskan secara eksplisit. Untuk memenuhi syarat sistematis, untuk kategorisasi isi harus menggunakan kriteria tertentu. Hasil analisis haruslah menyajikan generalisasi; artinya, temuannya haruslah mempunyai sumbangan teoretik; temuan yang hanya deskriptif rendah nilainya. Satu syarat lain yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya data dikuantifikasikan. Diakui, data kuantitatif dapat memberikan deskripsi lebih jelas, 30% menolak lebih jelas daripada kurang dari separo yang menolak. Beberapa membedakan antara yang kuantitatif dengan yang numerik; deskripsi yang diperlukan cuma numeriknya, demikian Kaplan dan juga Goldsen. George dan juga Kraucer menyatakan bahwa content analysis kualitatif lebih mampu menyajikan nuansa dan lebih mampu melukiskan prediksinya lebih baik. B. INFRASTRUKTUR Carney (1972) mengetengahkan komponen dalam analisis isi dalam tatasusunan sebagai berikut. Ada problim, yang perlu dikonsultasikan kepada kerangka acu teoretik. Perlu diuji validitas metoda yang digunakan serta perlu ditetapkan sampelnya, dengan hasil akhir berupa, kategori-kategori dan unit-unit rekaman dan konteks. Menyusun dalam unit-unit perlu format terbakukan. Unit rekaman adalah berbagai sesuatu yang perlu dihitung, mungkin berupa kata, tema, atau interaksi. Unit konteks merupakan suatu, karangan yang di dalamnya terdapat unit rekaman; sedangkan unitkonteks memberikan makna dari karangan itu. Menghitung dalam arti kuantitatif memang didasarkan pada frekuensi, sedang dalam arti kualitatif menyangkut pemaknaan dan mencari arti, diangkat dari intensitas kejadiannya. Carney membandingkan content analysis tipe klasik dengan yang berorientasi teoretik. Tabel: Perbandingan Dua Infrastruktur ”Content Analysis” Tipe ”Content Analysis” Rinci Infrastruktur Tipe Klasik Tipe Oritentasi Toret Unit rekaman kata tema Unit konteks kalimat bab Hitung via frekuensi (intensitas) dalam satuan besar dalam satuan kecil Text Sampel jenjang ganda purposive Tujuan deskripsi isi yang dimanifestasikan membuat inferensi berdasarkan isi laten Bentuk pembandingan untuk direk indirek menjangkau data Kriteria untuk norma induktif dari data data luar teoretik
37
Pembandingan yang penulis kerjakan pada tokoh-tokoh contentanalysis, kita peroleh rentangan landasan fikiran dari yang positivistik kuantitatif (Berelson, 1952), positivistik kualitatif (Holsti, 1969), yang positivistik mengakomodasi yang kualitatif di samping yang kuantitatif (1981), sampai yang mendorong ke pengembangan yang naturalistik (Guba, 1985) dan ke interaksi simbolik (Krippendorff, 1980). Dari tipe content analysis yang disajikan oleh Carney (1972) tersebut di atas, kita melihat tipe klasiknya mempunyai tanda-tanda menggunakan landasan berfikir positivistik, menggunakan frekuensi dan penyampelan jenjang ganda; sedangkan pada tipe orientasi teoretik ada tanda-tanda mengarah ke landasan lain, yaitu: rasionalistik (menggunakan kriteria konsep teoretik) dan phenomenologik (mencari arti lewat intensitas, bukan frekuensi; dan pengambilan sampel secara purposive). Penulis menyebut ada tanda-landa itu berarti bahwa penetapan landasan filosofik tidak hanya ditangkap dari tanda-tanda, melainkan juga berdasar telaahan lebih dalam. Tetapi memang sampai saat ini masih ada yang menggunakan content analysis yang landasannya positivistik. Oleh karena itu uraian tentang content analysis penulis masukkan ke bagian pertama. Untuk mendeskripsikan content analysis yang positivistik kualitatif penulis angkat pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Holsti. Holsti mengetengahkan lima ciri content analysis. Pertama, teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah dirancangkan. Kedua, teks diproses secara sistematis; mana yang termasuk dalam suatu kategori, dan mana yang tidak termasuk ditetapkan berdasar aturan yang sudah ditetapkan. Ketiga, proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah ke pemberian sumbangan pada teori; ada relevansi teoretiknya. Keempat, proses analisis tersebut mendasarkan pada deskripsi yang dimanifestasikan. Kelima, bagaimanapun content analysis haruslah menggunakan teknik-teknik kuantitatif Catatan penulis : Dengan ditulisnya bagian kelima, sebaiknya para pembaca memperbandingkan content analysis ini dengan bagian kelima tersebut. Penulis lebih menganjurkan untuk meninggalkan content analysis dan menggantinya dengan salah satu dari model-model yang ditelaah di bagian kelima.
38
BAGIAN KEDUA METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF RASIONALISTIK
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF RASIONALISTIK A. BERFIKIR RASIONALISTIK Berfikir rasionalistik yang kami maksud adalah berfikir bertolak dari filsafat rasionalisme, bukan sekedar berfikir menggunakan rasio. Rasionalisme sebagai filsafat ilmu merupakan lawan langsung dari positivisme. Menurut positivisme, semua ilmu itu berasal dari emperi sensual; sedangkan menurut rasionalisme, semua ilmu itu berasal dari pemahaman intelektual kita yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik, bukan dibangun atas pengalaman empiri, seperti positivisme. Perlu kami tambahkan, ilmu yang dibangun berdasarkan rasionalisme menekankan pada pemaknaan emperi; pemahaman intelektual kita dan kemampuan berargumentasi secara logik perlu didukung dengan data emperik yang relevan, agar produk ilmu yang melandaskan-diri pada rasionalisme memang ilmu, bukan sekedar fiksi. Bukti perkembangan ilmu sosial menunjukkan bahwa ilmu sosial tidak maju pesat antara lain karena membatasi diri dari berfikir positivistik: emperi yang diakui sebagai benar, hanya emperi yang indriawi atau sensual. Pengetahuan kita kehilangan makna, atau ilmu kita tak mampu memaknai indikasi emperik yang kita hayati. Filsafat ilmu positivistik telah banyak memberikan landasan kemajuan yang dramatik kepada masyarakat manusia selama berabad-abad, tetapi sekarang ini kehilangan pemahamannnya yang paling dalam. Ada beberapa kritik keras terhadap positivisme yang dilancarkan oleh rasionalisme. Pertama, kita tidak perlu mempertajam pembedaan antara analisis dengan sintesis. Kita tidak perlu mempertajam pemilihan tahap pengobservasian dengan tahap teori. Proses analisis-sintesis dan proses induksi-deduksi itu berlangsung terus-menerus, terjadi secara. reflektif selama kita berada di lapangan ataupun ketika kita menuangkannya dalam laporan penelitian. Antara emperi dan kemampuan intelektual kita memberikan pemaknaan itu sama pentingnya, kalau tidak dapat dikatakan bahwa kemampuan pemaknaan lebih penting. Positivisme lebih mementingkan emperi sensual dan mengabaikan pencarian makna dibalik yang sensual, akibatnya hasil-hasil penelitian ilmu sosial menjadi kehilangan makna. Kedua, fakta itu momot teori, dalam istilah para ahli filsafat ilmu disebut fakta itu theory-laden. Fakta sebagai fakta menjadi tidak-ada artinya dan tidak terpahami manusia, kecuali diberikan pemaknaan berdasar teori tertentu. Positivisme terlalu mengunggulkan fakta fragmentarik. Memang fakta itu penting demi menjamin hasil ilmu (ilmu sosial maksud kami) agar memiliki relevansi yang tinggi dengan emperi, karena bila tidak ada relevansi dengan emperi, ilmu (sosial) hanya akan menjadi fiksi, bukan ilmu. Ketiga, bukan semua argumentasi dan pemaknaan itu justifikasi. Berargumentasi dan memberikan makna perlu dibedakan antara konteks penemuan dengan konteks justifikasi, menurut istilah Dudley Shapere. Berargumentasi dan memberikan makna yang selalu didahului dan diikuti uji emperi secara terus-menerus merupakan upaya berfikir rasionalistik; berargumentasi dan memberikan pemaknaan dengan postulat atau aksioma yang diterima apriori merupakan upaya berfikir justifikasi. Bagi positivisme, semua argumentasi dan pemaknaan tanpa bukti emperi sensual akan dimasukkan ke dalam justifikasi; bagi rasionalisme emperi itu lebih dari yang sensual saja. 39
Keempat, realitas itu bukan hanya yang sensual; sinar laser itu realitas, ruang angkasa itu realitas, konteks ilmu dari peninggalan piramida Mesir itu realitas, jarak sekian juta tahun cahaya itu realitas, 9 milyar langkah per detik dalam kerja komputer itu realitas. Tetapi realitas-realitas tersebut tidak mudah terhayati secara sensual; pengetahuan teoretik kita yang mampu menangkap dan memahami emperi tersebut. Oleh karena itu di atas emperi sensual ada emperi logik atau emperi teoretik. Lebih lanjut rasionalisme juga mengakui tentang penghayatan manusia mengenai nilai baik-buruk; manusia mampu menghayati sesuatu emperi itu sebagai layak, patut, bermoral, atau tidak. Diperbandingkan dengan positivisme, rasionaiisme mengenal tiga realitas, yaitu: emperi sensual, emperi logik atau teoretik, dan emperi etik; sedangkan positivisme hanya mengakui realitas emperi sensual. Positivisme hanya mengakui realitas emperi sensual. Kesamaan positivisme dengan rasionalisme dari segi ontologi adalah: keduanya menganut faham monisme mengena, realitas, yaitu: realitas itu tunggal. Bedanya: positivisme hanya mengakui emperi sensual; sedangkan rasionalisme meskipun mengakui realitas itu tunggal, tetapi mengakui adanya perspektif realitas, yaitu: realitas dalam prespektif sensual, dalam perspektif logik-teoretik, dan dalam perspektif etik. B. KONSEPTUALISASI TEORETIK PENTING Metodologi penelitian kualitatif positivistik, seperti juga metodologi penelitian kuantitatif, mengajarkan, kepada kita tentang perlunya merancangkan penelitian atas obyek yang eksplisit teramati dan terukur. Sedangkan tata fikir yang digunakan terbatas pada sejumlah tata relasi seperti korelasi, hubungan kausal, dan hubungan interaktif yang saling mempengaruhi. Eksplisit dalam terapannya menjadi menyederhanakan atau lebih jauh lagi memparsialkan masalahnya, terlepas dari konteksnya. Memparsialkan yang paling menyedihkan adalah membuat tata relasi terbatas pada dua variabel saja; menjadi lebih sedih lagi ketika tata relasi tersebut ditampilkan dijudul menjadi studi korelasi dan disajikan sebagai hipotesis dengan pernyataan ada hubungan positif antara................., dan selanjutnya dibuat kesimpulan penelitian ada korelasi yang signifikan antara............., tanpa memberikan makna yang lebih jauh. Kesemuanya itu terjadi hanya karena didikte oleh teknik analisis yang dikuasainya. Isi skripsi atau tesis yang nyata-nyata didikte oleh teknik analisis dan bukan hanya mempengaruhi judul, hipotesis, dan kesimpulan penelitiannya dapat kami ketengahkan contohnya. Teknik uji t-test digunakan untuk uji perbedaan dalam teknik analisis metodologi penelitian kuantitatif, yang juga berperan pada teknik analisis metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan positivistik. Karena teknik analisis yang dikuasai hanyat-test maka judul skripsi atau tesisnya, hipotesisnya, dan kesimpulannya dirumuskan ada perbedaan prestasi akademik antara pria dan wanita, misalnya. Menjadi lebih mengecewakan karena secara konseptual teoretik (sebelum penelitian) mahasiswa menyusun skripsi atau tesis tersebut tidak menampilkan argumentasi teoretik mana yang prestasi akademiknya lebih tinggi . Teori atau kajian pustaka yang ditulisnya tidak menampilkan bukti-bukti terdahulu dan konsep-konsep serta argumentasi yang menyatakan bahwa salah satu dari pria atau wanita mempunyai prestasi akademik lebih tinggi. Bila konsep teori atau hasil kajian pustaka menyatakan bahwa tidak ada perbedaan prestasi akademik antara pria dan wanita, bukankah pernyataan tersebut sudah sesuai dengan jiwa emansipasi. Dengan demikian tidak ada masalah, sehingga menjadi tidak memenuhi syarat untuk diteliti. Sementara kita merasa bangga mampu menampilkan 10 masalah, merumuskan menjadi 10 hipotesis, dan menguji simpulkan dalam 10 kesimpulan. Yang penting bukan 10-nya melainkan ada tidaknya makna yang dapat diperaskan dari 10 masalah menjadi satu atau tiga masalah yang tertata dalam tata konstruksi tertentu. Bila ada tata konstruksi yang baik, hasil penelitian tersebut pada waktunya dapat dipakai untuk memberikan urunan pada penyusunan suatu teori, atau malahan dapat dipakai untuk membangun suatu teori. Memparsialkan obyek penelitian dengan ekses-eksesnya (teknik analisis mendikte judul, hipotesis, kesimpulan, dan juga teori; dan lebih jauh tidak adanya tata konstruksi pemikiran kita) 40
menjadikan penelitian dengan metodologi penelitian yang menggunakan landasan filsafat positivisme, baik yang ditampilkan dalam metodologi penelitian kualitatif maupun yang ditampilkan dalam metodologi penelitian kuantitatif telah menghilangkan atau setidak-tidaknya mengkaburkan makna lebih dalam dari berbagai studi, termasuk studi ilmu sosial. Itu perlu kita sadari, dan perlu kita cari jalan pemecahannya yang lebih mendasar, yaitu perlu diperkembangkan kemampuan konseptualisasi teoretik, bukan sekedar memparsialkan obyek, melainkan melihat kesatuan holistiknya. C. PERLUNYA GRAND-CONCEPTS SEBAGAI LANDASAN PENELITIAN Dari uraian. di atas nampak ekses-ekses dari memparsialkan studi dengan memvariabelkan obyek penelitian yang dieliminasikan dari konteksnya. Epistemologik, metodologi penelitian dengan pendekatan positivistik memang menuntut obyek yang dispesifikasikan, dieliminasikan dari obyek lain; dan pada dasarnya disertai asumsi bahwa obyek lain (yang biasa disebut variabel) dalam keadaan tak berubah. Epistemologik, metodologik penelitian dengan pendekatan rasionalistik menuntut sifat holistik, obyek di teliti tanpa dilepaskan dari konteksnya; paling jauh diteliti dalam fokus atau aksentuasi tertentu, tetapi konsteksnya tidak dieliminasikan. Sifat holistik yang dituntut oleh pendekatan rasionalistik adalah digunakannya konstruksi pemaknaan atas emperi sensual, logik, ataupun etik. Argumentasi dan pemaknaan atas emperi (tertnasuk hasil-hasil penelitian terdahulu) menjadi penting sebagai landasan penelitian kualitatif berlandaskan pendekatan rasionalisme. Seperti juga metodologi penelitian berlandaskan positivisme, metodologi penelitian berlandaskan rasionalisme juga mengejar diperolehnya generalisasi atau hukum-hukum baru, sehingga ilmu yang diperkembangkan dengan metodologi penelitian berlandaskan rasionalisme juga termasuk ilmu nomotlietik. Bedanya yang positivistik bertolak dari obyek spesifik, sedangkan yang rasionalistik bertolak dari grand-concepts, yang mungkin sudah merupakan grand theory, tetapi juga. tidak ditolak kemungkinannya belum menampilkan teori besar, tetapi masih merupakan konsep besar. Konstruksi teori itu dibangun dari konseptualisasi teoretik; sebagai hasil pemaknaan emperi dalam arti sensual, logik, ataupun etik. Semua itu dibangun dari berbagai ragam konsep. Proposisi atau. pendapat dikonstruksikan dari sejumlah konsep. Konsep mendeskripsikan esensi dari sejumlah sesuatu. Ciri esensial dari sapi mendeskripsikan sapi; ciri esensial kuda mendeskripsikan kuda. Ciri nonesensial dapat menumbuhkan tumpang tindih konsep antara sapi dengan kuda. Warna putih pada kuda merupakan ciri nonesensial. Bagi anak umur 2 tahun melihat kuda putih, dia sebut sapi; dan sapi cokelat ketua-tuaan dia sebut kuda. Mengapa demikian? Konsep yang tersusun dalam alam pikirannya: sapi berwarna putih, dan kuda berwarna cokelat. Sedangkan ciri warna tersebut nonesensial. Hipotesis, tesis, teori, danjuga asumsi, postulat, dan aksioma adalah proposisi-proposisi bentuk lanjut yang dikonstruksikan dari banyak konsep. Konsep (dengan meminjam istilah Spahere) kami pilahkan menjadi dua, yaitu: konsep eksistensial dan konsep ideealisasi. Konsep eksistensial lebih mendeskripsikan emperi atau phenomena, seperti merah, kuning, putih, atau ungunya bunga. Konsep black tulip atau anak manis atau masyarakat press yang bertanggungjawab adalah konsep idealisasi. Konsep ideealisasi memang lebih banyak diwarnai oleh pandangan moral manusia, tetapi juga banyak konsep idealisasi yang tumbuh dari konseptualisasi teoretik ilmuwan bertolak dari indikasi emperik. Konsep eksistensial dibangun dari generalisasi bukti emperik. Sedangkan konsep idealisasi dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu konsep yang dibangun atau konsep teoretik yang dibumbui oleh indikasi emperik (konsep tentang ruang angkasa, sinar laser tahun 1940-an, teori relativitas dari Einstein) dan konsep yang dibangun dari pandangan moralitas manusia tentang learning society, tentang masyarakat Pancasila.
41
Dengan tata fikir tertentu, dua konsep atau lebih dapat dikonstruksikan menjadi proposisi, hipotesis, tesis, asumsi, a sumsi, postulat, aksioma, ataupun teori. Dilihat dari segi strukturnya, teori sekaligus dapat mengandung berbagai hal dari yang disebut lebih dahulu. Teori seharusnya mengandung sejumlah tesis dan postulat atau aksioma. Beberapa bagian dari teori diisi dengan hipotesis, asumsi, dan bukan mustahil proposisi-proposisi. Teori itu mungkin merupakan abstraksi dari phenomena dan maknanya, mungkin simplifikasi daripadanya, atau mungkin ideealisasi daripadanya. Proposisi yang masih berupa pendapat itu merupakan hasil mengkonstruksi sejumlah konsep yang sifatnya lebih pribadi atau lebih khusus keberlakuannya. Proposisi yang telah menjadi tesis merupakan konstruksi sejumlah konsep yang mendeskripsikan pendapat yang lebih publik, yang kebenarannya kebenarannya diakui oleh lebih banyak fihak. D. RAGAM TATA FIKIR LOGIK Metodologi penelitian dengan pendekatan positivistik mendudukkan tata fikir logik relasi menjadi dominan, kalau tidak dapat dikatakan itu saja yang dikenalnya. Tata fikir relasi yang dimaksudkan adalah tata fikir korelasi, tata fikir sebab-akibat, dan tata fikir relasi timbal-balik atau interaktif Metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik mengenal tata fikir logik lain di samping tata fikir relasi. Kesemua tata fikir logik yang diperkenalkan di bawah ini merupakan alat yang dapat menjadi pilihan yang terbuka, yang satu dengan yang lain dapat dikombinasikan untuk mengkonstruksikan sejumlah konsep menjadi proposisi, hipotesis, postulat, aksioma, asumsi, ataupun untuk menkonstruksi menkonstruksi teori. Kami mencoba menghimpun dan mengklasterkan sejumlah tata fikir logik. Kriteria pengklasteran konsisten untuk setiap klaster; dengan menggeser dimensi kriterianya mungkin sekali sesuatu istilah dipindahkan ke klaster lain, atau disusun klaster baru dengan sejumlah istilah yang tersebar dalam banyak klaster menjadi satu klaster. Karena itu klaster yang kami tampilkan jangan disebut sebagai taksonomi, cukuplah disebut klaster tata fikir logik. Keter batasan jangkauan teoretik kami memungkinkan jumlah istilah istila h dalam sesuatu klaster klast er dapat terus ditambah; di samping tetap mungkin ditampilkan klaster-klaster baru. Untuk memudahkan, kami berikan nama klaster dengan menggunakan alfabet dari A, B, dan seterusnya. Nomen klaster-kiaster berikut mengubah nomen klaster yang pernah kami sajikan dalam suatu forum penataran metodologi penelitian; kesemuanya itu dengan maksud agar membantu penggunaannya secara lebih mudah; di samping juga ditambahkan sejumlah istilah dan dipertajam pemaknaan masing-masing istilahnya. KLASTER A: Proses pemikiran kita sering mengikuti pola fikir genetik atau pola fikir historik atau pola fikir proses perkembangan; lawan dari pola fikir sistematik atas hakiki substansinya. Pola fikir genetik memaknai berbagai sesuatu bertolak dari asumsi bahwa segala sesuatu itu berkembang dari yang lebih elementer ke yang lebih sempurna. Perlu menjadi perhatian bagi pengguna pola fikir genetik ini, untuk tidak selalu mengartikan yang lebih kemudian pasti lebih sempurna; karena mungkin merupakan perkembangan yang menyimpang, mungkin dalam involusi (terjadi penurunan kualitas secara terusmenerus), atau kemungkinan lain. Tata fikir dalam klaster ini setidak-tidaknya dapat dikemukakan: (1) Pola fikir evolusioner, yaitu pola fikir yang memaknai segala sesuatu itu berkembang, dan melalui proses panjang dalam arti waktu, di dalamnya ada proses tumbuh, adaptasi, seleksi, dan persaingan; dalam telaah makro: adaptasi dan sebagainya itu dalam arti perkembangan ontogenesa mengikuti perkembangan philogenesanya; dalam arti mikro perkembangan evolusioner adalah perkem bangan fungsi intern dalam ontogenesanya sendiri. Dekat dengan pola fikir tersebut adalah (2) pola fikir historik, di mana pemaknaan perkembangan dalam kaitan dengan waktu di masa lampau menjadi dominan. Pola Fikir lain yang mengkait pada waktu adalah pola fikir prediktif, yang dapat dibedakan menjadi: (3) pola fikir prediktif linier, yaitu memperkirakan perkembangan berikut mengikuti perkembangan linier yang lampau, lampau, dan (4) pola fikir antisipatif. Pola fikir antisipatif mengakui tentang perkembangan yang linier terduga, dan tak terduga. 42
Dalam memprediksi masa depan pola fikir antisipatif memasukkan idealisme, harapan perkembangan dengan yang secara aktif menciptakan kondisi agar perkembangan masa depan sesuai harapannya. Pola fikir antisipatif secara aktif membangun kondisi dan mengidealkan perkembangan ke masa datang. Pemaknaan antisipatif lebih dalam akan dibahas di klaster J. Pola fikir genetik yang berikut (5) pola fikir kontekstual. Dalam pemaknaan genetik, pola fikir kontekstual melihat keterkaitan atau berpadunya perkembangan masa lampau-kini-mendatang. Pemaknaan lebih dalam, dan juga ragam pemaknaan akan dibahas di klaster J dan klaster B. Sesuatu pola fikir baru yang genetikjuga yaitu (6) pola fikir morphogenetik. Pola fikir ini mengakui bahwa perkembangan itu dapat berlangsung kualitatif dan kuantitatif, serta dapat berlangsung berkelanjutan (seperti pola A, 1 dan 2) dan dapat tidak berkelanjutan. Pola fikir morphogenetik dalam klaster A ini dengan dikombinasikan pola fikir klaster lain dapat dipakai untuk membangun grand-theory atau untuk dasar sistematisasi ulasan kita. Teori evolusi dari Darwin mengikuti pola fikir genetik, khususnya pola evolusioner; teori genetik dari Mendel menjelaskan proses perubahan perkembangan biologik; teori perkembangan sejarah dari Toynbee mengikuti hukum kesejarahan, berarti mengikuti pola fikir ini, yaitu: teori evolusi dan teori rekonstruksi sejarah. Cara berfikir Alvin Toffler dan juga Daniel Bell didominasi oleh pemikiran antisipatif. Studi perbandingan agama-agama Semitik sangat tepat disajikan dalam pola fikir genetik ini. KLASTER B: Pola fikir yang disajikan dalam klaster ini juga banyak berpengaruh pada pembentukan grand-theory atau menjadi pola sistematisasi ilmu pengetahuan. Pola fikir tersebut (1) pola fikir sistematik. Berdasar ciri hakiki obyek ilmu diadakan klasifikasi yang satu sama lain dapat ditampilkan eksplisit. Tampilan eksplisit yang sering kita kenal seperti: taksonomi, yang malahan telah berkembang menjadi salah satu subdisiplin biologi. Juga taksonomi kognitif dari Bloom merupakan contoh lain. Tetapi taksonomi afektif dari Krathwohle, tidak tepat disebut taksonomi. Terapan sistematisasi juga muncul dalam sistematika ilmu ekonomi mikro menjadi makro; yang makro dipusatkan pada analisis pendapatan nasional, yang mikro dipusatkan pada teori harga. Ilmu pendidikan diklasifikasikan menjadi faktor subyek didik, pendidik, tujuan, dan konteks pendidikan. Pola berfikir berikut (2) pola fikir fungsional. Bukan esensi substansi yang menjadi fokus perhatian fungsionalisme, melainkan esensi fungsi yang diperankannya. Grand-theory yang berlandaskan pada konsep fungsionalisme seperti s eperti aliran sosiologi fungsionalisme struktural dari Merton. Teori fungsionalisme juga muncul sebagai teori substantif kepemimpinan dalam psikologi sosial; sosial ; peran aktual seseorang menetapkan status st atus seseorang. Pola fikir fi kir fungsionalisme juga muncul sebagai grand-theory sosiologi aliran interaksionisme pula. Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir pragmatik. Sesuatu itu menjadi berharga bila ada kegunaannya. Kalau seleksi hal yang perlu dipelajari pada yang pertama didasarkan ciri hakiki obyek telaah; pada yang kedua didasarkan peran fungsionainya, sedangkan pada yang ketiga didasarkan pada urgensi. Perbedaan antara yang fungsional dengan yang pragmatik terletak pada yang pertama lebih kepada peran strukturainya, yang kedua lebih kepada peran tujuannya. Grand-theory pendekatan teknologik dalam pendidikan berada di antara pola fikir pragmatik dan pola fikir fungsional. Pola fikir berikut adalah (4) pola fikir kontekstual dalam artinya yang sempit. Pengertian kontekstual dalam arti yang empit adalah pola fikir yang mementingkan kekinian, kondisi atau situasi masa kini. Itu kita masukkan dalam klaster ini karena kontekstual tersebut dalam seleksi hal (masalah)nya menggunakan kriteria peran fungsional atau kepentingan kini. Harap diperbedakan jelas arti kontekstual dalam klaster B ini dengan yang disajikan dalam klaster A dan J. Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir elektik. Inti pemikiran dari pola ini adalah dipilihnya semua yang terbaik. Dari aliran manapun, dari filsafat manapun, dari teori manapun, 43
asal lebih baik dari lainnya, itulah yang dipilih. Cara terbaik untuk mengembangkan penggunaan eklektisisme misalnya dalam pendekatan multidisiplin ataupun interdisiplin dengan sejumlah kriteria seperti: (a) dapat diintegrasikan, (b) dapat dioperasionalkan, (c) valid by level, artinya: diakui validitas konsep atau temuan itu oleh disiplin ilmunya sendiri. Yang dimaksud dengan multidisiplin adalah sesuatu disiplin ilmu secara tunggal mengembangkan ilmunya dengan memanfaatkan konsep dan temuan disiplin lain; sedangkan yang dimaksud dengan interdisiplin adalah sejumlah disiplin ilmu yang bekerja bersama untuk kepentingan tertentu. Pola fikir berikut adalah (6) pola fikir utopik. ideealisasi sesuatu sebagai yang diharapkan sebagai sesuatu yang perlu dijangkau, sesuatu yang dicitakan tetapi mungkin tidak dapat terjangkau, seperti salah satu aliran sosialisme. Tetapi sejumlah utopi yang dilandaskan misalnya pada konsep teoretik ilmu mungkin akan dapat menjadi realitas di masa depan. Cerita Flash Gordon lebih merupakan utopi atau malahan fiksi untuk tahun 1937; tetapi menjadi sesuatu yang dilihat mungkin sesudah Perang Dunia ke-2, dan malahan telah menjadi realitas sejak tahun 1970-an. Konsep learning society itu merupakan utopi etik dalam lingkungan pendidikan. Dapatkah itu dicapai atau tidak, wallahua’lam. KLASTER C : Klaster pola fikir yang dikelompokkan di sini memiliki ciri sentral bergerak dari kutub statika ke kutub lain dinamika. Akan diurutkah dari statika. elementer ke dinamika elementer, berkembang kembali ke statika, tetapi lebih kompleks ke dinamika lebih kompleks pula. Pola fikir tersebut mulai dari (1) pola fikir struktural. Sesuatu itu duduk menurut fungsinya, seperti fungsi fondasi, tiang, dan atap pada rumah; peran masing-masing sudah pasti dan tidak dapat saling menggantikan. Pola fikir berikut (2) pola fikir mekhanistik. Ada interdependensi antara fungsi satu dengan yang lain. Komponen-komponen pada mobil tidak dapat saling menggantikan. Bukan mustahil suatu organisasi kantor ditata dengan pola fikir mekhanistik, meskipun pengorganisasian demikian nampak naif Kesemuanya tertutup dalam satu sistem, yang pilah dari yang di luarnya. Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir organik. Cara berfikir ini antara lain ditampilkan oleh Herbert Spencer dalam sosiologi. Masyarakat dianalogikan dengan organisme hidup: ada interdependensi antarorgan, setiap organ menjalankan fungsinya sendiri; gangguan pada organ satu mempengaruhi keseluruhan; terdapat sifat berkembang, yang pada dasarnya berlangsung linier berkelanjutan. Seseorang yang menjadi buta, memerankan pendengaran dan perasaannya lebih baik. Berbeda dengan pola fikir berikut, yaitu (4) pola fikir psiko-dinamik atau sosio-dinamik, yang sifat berkembangnya dapat menjadi tak terduga; interdependensi lebih terbuka, dalam arti ada kemungkinan saling menggantikan, atau setidak-tidaknya terjadi komplementasi bila ada organ yang tak berfungsi. Grand-theory yang mengikuti pola ini misalnya: teori konflik dalam sosiologi, teori psikodinamik dalam psikologi. Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir interaktif Mungkin sulit untuk menata dalam hierarki mana yang lebih kompleks dengan derajat yang lebih tinggi antara pola keempat dengan kelima ini. Setidak-tidaknya: pada yang keempat, satu fihak saja yang aktif sedangkan pada yang kelima, kedua fihak saling aktif. Interdepedensi dalam pola interaktif terkait erat dengan intensitas aksi kedua belah fihak. Grand-theory yang mengikuti pola fikir ini muncul seperti teori interaksionisme dalam sosiologi, teori aksi sosial dari Talcot Parson, dan teori interaksionisme dalam psikologi. Grand-theo’ry dialektika dari Hegel ataupun Karl Marx dapat dimasukkan pada yang mengikuti pola fikir interaktif. Pola fikir selanjutnya dalam klaster ini adalah (6) pola fikir sistemik. Pola fikir ini bertolak dari asumsi bahwa segala sesuatu itu merupakan jaringan interaksi interdependen, ada interdependen dalam arti aktivitas, sekuensi atau tataurutan, waktu, dan hasil. Upaya penataan managerial nampak dominan dalam pola fikir sistemik. Pada tahun 1970-an sampai medio 1980-an pola fikir sistemik tersebut dominan dalam banyak disiplin ilmu, yang kita kenal 44
sebagai pendekatan sistemik. Menurut hemat kami pendekatan tersebut bagus sekali, hanya saja sebagian dari para ahli nampak menggunakannya secara berlebihan, segalanya disistemkan. Pola fikir yang kami dudukkan berikut adalah (7) pola fikir sinergik. Dari segi waktu idee pola fikir ini mendahului atau malahan mengilhami idee berfikir sistemik; kami dudukkan lebih kemudian karena interdependensi pada pola fikir keenam masih bersifat mekhanistik, sedang pola yang ketujuh sudah lebih organis/hidup. (Kami beri tanda petik, karena tokoh-tokoh pendekatan sistemik sebagian akan menolak cap mekhanistik tersebut). Pola fikir pada klaster A, B, dan C tersebut di atas banyak berpengaruh dan diterapkan untuk membangun grand-theory, grand-concepts ataupun sebagai pendekatan klaster D, E, F, dan G berikut ini lebih banyak berpengaruh pada pembentukan ontologi metodologik disiplin ilmu. KLASTER D: Pola fikir dalam klaster ini menyajikan ragam istilah yang mendeskripsikan kedudukan pernyataan-pernyataan yang dibuat orang. Apakah pernyataan itu lebih mendeskripsikan tangkapan dia tentang realitas ataukah lebih mendeskripsikan realitas itu sendiri. Pola pertama adalah (1) pola fikir perseptif Realitas itu ada sebagaimana yang dipersepsikannya, sebagaimana yang dia tangkap. Ragamnya akan dipengaruhi oleh pandangan filsafatnya, sehingga apa yang dipersepsikan itu: a) ada yang memandangnya sebagai ilusi yang tidak ada senyatanya, b) ada yang memandangnya sebagai realitas menurut dia dengan mengakui realitas menurut orang lain; ini berarti memandang bahwa realitas itu ganda, dan c) yang memandang bahwa persepsi itu memang menyatakan tentang realitas yang ada, dan tunggal. Pola fikir berikut adalah yang mengakui bahwa pernyataan itu mendeskripsikan realitas phenomena sebagaimana adanya, yang pilah dari persepsi subyektif subyek. Pola berfikir tersebut kami sebut dengan istilah (2) deskripsi. Bedanya dengan yang pertama, yang kedua memilahkan obyek dari subyek, sedangkan yang pertama, subyek masih campur dengan obyek. Pola fikir berikut adalah (3) penafsiran. Pernyataan yang dibuat membawa campurnya kembali subyek. Bedanya dengan yang pertama, yang pertama masih sensual superfisial, sedangkan pada yang ketiga ini campurnya subyek karena ketajaman fikir manusia untuk mampu menangkap di balik yang sensual atau superfisial. Menafsirkan untuk mencari arti dibalik yang tersurat. Pola fikir berikut, yaitu (4) pola fikir mencari makna atau membuat pemaknaan. Mencari makna merupakan upaya untuk menangkap dibalik yang tersurat, tetapi juga mencari makna yang tersirat serta mengaitkan dengan hal-hal terkait yang sifatnya mungkin logik-teoretik, mungkin etik, mungkin transendental. Untuk memahami lebih jauh tentang yang terakhir harap dibaca klaster G. Kategori persepsi menjadi: yang ilusi, yang ganda, dan yang tunggal tersebut dapat pula dipakai untuk mengadakan kategorisasi deskripsi, penafsiran, dan pemaknaan. Seperti misalnya pandangan ontologik positivisme dan rasionalisme bahwa realitas itu tunggal; phenemenologik yang memandang realitas itu ilusi merupakan contoh-contoh dari penggunaan pola fikir tersebut di atas. KLASTER E: Pada pola klaster D, kategorisasi realitas dilihat dari segi produk pernyataan subyek. Pada klaster E ini realitas dilihat dari perwujudannya. Untuk itu kami tampilkan pola fikir yang melihat perwujudan itu sebagai: (1) wujud aksidental, (2) wujud aktual, dan (3) wujud esensial. Positivisme memandang bahwa perwujudan yang ada itu ada yang aktual dan aksidental, yang mempunyai arti hanya yang aktual; rasionalisme dan phenomenologi memandang ada ketiga perwujudan itu, tetapi yang berarti hanyalah yang esensial; skeptisisme memandang bahwa semua perwujudan itu aksidental, dan realitas itu hanya ilusi. Perujudan aksideentai itu adalah perwujudan yang keberadaannya itu kebetulan dan sementara. Perwujudan aktual itu ada sebagai realitas pada fungsi atau peran tersebut; keberadaannya terkait pada berperan dan berfungsinya sesuatu; bila sesuatu itu tidak berfungsi atau berperan perwujudan aktual tak akan muncul. Perwujudan esensial itu ada melekat pada ciri hakiki dari sesuatu; dan menjadi ada selama sesuatu itu memang ada. 45
KLASTER F: Dilihat dari segi tujuan, realitas itu dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu: (1) yang instrumental, dan (2) yang substansial. Pemilahan yang instrumental dan substansial itu banyak dipakai oleh para ahli untuk mengembangkan pemikiran sesuatu. Karena itu keduanya kami sebut pula sebagai pola fikir. Pola fikir instrumental melihat realitas sesuatu sebagai medium atau sarana atau alat untuk mencapai sesuatu tujuan. Sedangkan pola fikir substansial memandang bahwa realita itu merupakan tujuan itu sendiri. Membaca bagi anak SD memang berfungsi untuk membaca; tujuan substansialnya memang mampu membaca. Membaca cepat bagi siswa SMA merupakan tujuan instrumental, sedang tujuan substansialnya menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Mengikuti pola fikir John Dewey, yang filosof, bahwa sesuatu tujuan itu merupakan means (alat) untuk mencapai sesuatu ends (tujuan), yang pada gilirannya sesuatu ends akan menjadi means untuk mencapai ends lain berikutnya. Bagi Talcot Parsons adaptasi merupakan tujuan instrumental untuk mencapai eksistensi sebagai tujuan substansial. KLASTER G: Filsafat positivisme hanya mengakui kebermaknaan ilmu itu yang berlandaskan pada pengalaman sensual; rasionalisme mengakui kekuatan fikir manusia untuk memberikan makna pada lingkungan dan pada diri manusia; sedangkan Phenomenologi Edmund Husseri mengakui kebenaran transendental. Dengan demikian dunia ilmu mengenal adanya empat emperi, yaitu: (1) emperi sensual, (2) emperi logik, (3) emperi etik, dan (4) emperi transendental. Phenomena dari emperi-emperi tersebut berupa: fakta sensual atau gejala yang tertangkap indria bagi emperi sensual, realitas logik bagi emperi logik, moralitas atau nilai-nilai budaya manusia sebagai emperi etik, dan keimanan sebagai phenomena emperi transendental. Sekali lagi kami kemukakan, klaster D, E, F, dan G merupakan klaster yang dipakai pair a ahli untuk menampilkan konsep ontologik tentang realitas. Karena itu dapat digunakan untuk mengevaluasi atau mengkonstruksikan teori ontologi. klaster H, 1, dan J berikut ini merupakan ragam metoda berfikir yang memberi ciri esensial epistemologik yang dianut oleh disiplin ilmu tertentu atau dianut oleh pendekatan filsafat ilmu tertentu. KLASTER H: klaster H ini menjadi ciri esensial epistemologik dari semua metodologi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pola fikir tersebut sebagai berikut: Yang pertama adalah (1) pola fikir deduktif, yaitu berfikir dari konsep abstrak yang lebih umum ke berfikir mencari hal yang lebih spesifik atau konkret. Pola fikir deduktif ini menguasai ilmu pra-teknologi Islam dan pra-IPA di Eropa. Pola fikir tersebut sampai kini pun masih berpengaruh pada sejumlah studi yang menuntut untuk selalu bertolak dari premis mayor atau postulat-postulat yang biasa dikenal sebagai studi dogmatik, pada sejumlah agama. Pola fikir berikut adalah (2) pola fikir induktif, yaitu pola fikir yang berawal dari emperi dan mencari abstraksi. Pola fikir induktif dinyatakan dipakai oleh metodologi penelitian berlandaskan phenomenologi, dan memberi cap yang positivistik itu cenderung deduktif Menurut hemat kami keduanya termasuk ke dalam yang menggunakan pola-fikir induktif Keduanya membangun ilmunya dari emperi; bedanya, yang phenomenologi membangun dari emperi yang sedang ditelitinya, sedang positivisme membangun ilmu dari emperi yang sedang ditelitinya dan dari emperi penelitian terdahulu. Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir reflektif, yaitu berfikir yang prosesnya mondar-mandir antara yang emperik dengan yang abstrak. emperi yang kasus dapat saja menstimulasi berkembangnya konsep abstrak yang luas; dan menjadikan mampu melihat relevansi emperi pertama dengan emperi-emperi lain yang tertnuat dalam konsep abstrak baru yang dibangunnya. Mondar-mandirnya berfikir reflektif itu tidak hanya berlangsung antara yang emperik dengan yang abstrak; dikaitkan dengan berfikir antisipatif, merefleksi tersebut dapat merefleksi wawasan masa lampau-kini-mendatang tak linier; dikaitkan dengan pola fikir lain di klaster akan kita jumpai pola makna reflektif yang jauh lebih luas. Metodologi penelitian kualitatif yang rasionalistik yang disajikan di Bagian Kedua mengikuti pola fikir refiektif. Kemampuan menangkap makna dari emperi kasus mcnjadi abstraksi lebih bermakna didudukkan penting dalam metodologi penelitian rasionalistik. Peran emperi dalam metodologi penelitian 46
rasionalistik adalah untuk menjamin relevansi emperik dari konseptualisasi teotetik, agar produk ilmunya bukan fiksi, melainkan menampilkan kemampuan manusia menangkap makna paling dalam dari berbagai phenomena. Pola fikir keempat dalam klaster ini adalah (4) pola fikir verstehen, intuitif, yang prosesnya lebih banyak tidak terpantau tetapi produk pemikirannya diakui valid dan berkualitas tinggi; emperik relevan. KLASTER I: klaster ini juga menjadi ciri esensial episternologik metodologi penelitian, khususnya dalam arti produk yang hendak dihasilkan dari penelitiannya. Pola fikir pertama adalah: (1) pola fikir kategorik. Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu dapat dikelompok-kelompokkan dan dapat dipilahkan satu dari yang lain. Kriteria kategorisasi tersebut dapat saja diangkat dari pola fikir sistematik, pola fikir fungsional, atau pola fikir lain tersebut pada klaster B, tetapi juga tidak mustahil secara kreatif-inovatif diangkat dari klaster lain. Pola fikir kedua adalah (2) pola fikir idiographik, yaitu tiada kesamaan antara sesuatu dari sesuatu lain karena beda waktu dan konteks. Abstraksi yang dibasilkan oleh pola kedua ini adalah deskripsi spesifik kasus dalam kaitan waktu dan konteks; sedangkan pola fikir kategorik menghasilkan kategorisasi abstrak dari phenomena yang diharapkan dapat berlaku umum bebas waktu dan konteks. Pola ketiga adalah (3) pola fikir tipologik, yang merupakan modifikasi dari pemikiran kategorik. Asumsi dasarnya adalah abstraksi bahwa karakteristik umum dan mutlak beda itu tidak ada; yang ada adalah kemiripan karakteristik yang batas bedanya tak pasti atau berlaku lola atau pattern dalam keragaman. Misal teori kepemimpinan otoriter, demokratik, dan laissezfaire pada konsep lama adalah kategorik, pada konsep lebih baru menjadi tipologik, artinya: tidak ada kepemimpinan yang murni demokratik, yang ada adalah kecenderungan demokratik dengan nuansa otoriter, yang lain dengan nuansa laissez faire, misalnya. Pola fikir berikut adalah (4) generalisasi. Semua upaya keilmuan yang dikerjakan oleh pakar yang menggunakan pola fikir generalisasi bertolak dari asumsi bahwa phenomena beragam antarkasus, antarkonsteks, dan antarwaktu, tetapi dapat ditarik ciri esensial umum; sehingga suatu kerja ilmiah dipandang lebih berbobot bila mampu menampilkan generalisasi atau penarikan kesimpulan umum yang keberlakuannya lebih tahan lama. Pola fikir idiographik bertolak dari pandangan ontologik bahwa realitas itu ganda, terkait pada waktu. dan konteks; sedangkan pola fikir generalisasi bertolak dari pandangan ontologik bahwa realitas itu tunggal, berlaku sepanjang sejarah hidup manusia dan di manapun. Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir nomothetik. Pola fikir ini adalah pengembangan lebih lanjut dari pola fikir generalisasi tetapi juga mencari hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang mampu diterapkan sepanjang waktu dan dalam konteks manapun. Dalam pengembangan mencari kesimpulan umum, secara induktif ataupun reflektif dapat ditempuh lewat dua cara. Pertama, mengumpulkan karakteristik khusus yang cukup dan representatif dan ditarik kesimpulan umum. Itulah yang disebut dengan generalisasi. Kedua, menemukan karakteristik esensial pada satu kasus, dilanjutkan menemukan karakteristik esensial yang lebih umum dari dua kasus, tiga kasus, dan seterusnya. Kesimpulan yang dibuat dengan cara ini disebut kesimpulan generative. KLASTER J: Pola dasar berfikir dalam klaster ini adalah bagaimana keterkaitan antara phenomena, termasuk pemaknaannya. Asumsi dasar pola klaster ini, bahwa sesuatu mempunyai keterkaitan dengan sesuatu lain. Pola fikir pertama adalah (1) pola fikir linier, yaitu berfikir mengikuti alur fikir garis lurus. Sesuatu yang terjadi demikian di masa lampau akan terjadi demikian pula di masa mendatang. Keragaman kejadian tetap dapat diprediksikan dari rerata kejadian di masa lampau. Pola fikir kedua adalah (2) pola fikir interdependen atau interaktif. Pola fikir ini memaknai keterkaitan bukan menunjuk yang satu sebagai sebab, yang satu lainnya sebagai 47
akibat, tetapi mengakui adanya pengaruh timbal balik. Sehat dan makan bergizi tinggi menjadi sehat, menumbuhkan selera makan lebih baik, dan seterusnya. Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir multilinier, yang mengakui bahwa sesuatu tidak dapat dimaknai dalam hubungannya dengan sesuatu lain, tetapi dilihat keterkaitannya dengan banyak. sesuatu yang interdependen atau interaktif. Sehat, makan bergizi mempunyai kaitan pula dengan belanja cukup, suasana bahagia, lingkungan sehat, keluarga harmonis, dan banyak lagi. Mana penyebabnya? Multisebab; dan beberapa terapan teknis bukan hanya multi sebab, tetapi multiintedependen atau multi- interaktif Pola fikir keempat adalah (4) pola fikir vertikal. Dasar pandangan pola fikir ini, bahwa segala sesuatu itu dapat dikategorisasikan dan selanjutnya dapat ditunjuk mana yang implisit dan mana yang eksplisit. Kemampuan mengadakan analisis, penting dalam penerapan pola fikir ini. Ada semacam keterhubungan antara berfikir sistematik (klaster B) berfikir kategorik (klaster I) dan berfikir vertikal. Pola fikir berikut adalah (5) pola fikir hierarkik. Tatahubungan vertikal yang implisit dan eksplisit dikembangkan menjadi tatahierarkik lebih tinggi dan lebih rendah. Contoh paling jelas untuk ini adalah taksonomi dalam biologi. Taksonomi biologi mengadakan sistematisasi sekaligus kategorisasi dan penataan hierarkik berbagai macam tumbuhan. Pola fikir keenam adalah (6) pola fikir horizontal. Keterbiasaan kita pada upaya sistematisasi, kategorisasi, dan penataan hierarkik, mengakibatkan kita sering sulit mengembangkan kemampuan berfikir horizontal. Meloncatkan pemikiran kita dari kategori satu ke kategori lain, dari kasus emperik yang memiliki abstraksi berbeda menuntut kemampuan non-konvensional. Berfikir begini juga kami sebut berfikir lateral. Pola fikir ketujuh dalam klaster ini adalah (7) berfikir divergen, yaitu berfikir yang menjelajah ke luar dari yang konvensional yang konvensional di sini dalam arti berfikir seperti lazimnya, baik ketika berfikir linier, interdependen, multilinier, vertikal, atau hierarkik. Perbedaan antara pola fikir horizontal dengan berfikir divergen memang tidak terlalu tajam; hanya saja pada berfikir divergen lebih banyak terjadi loncatan-loncatan pemikiran, dan sifat inovatif lebih menonjol. Pola fikir kedelapan adalah (8) pola fikir heterarkhik. Kebiasaan kita menata berbagai sesuatu dalam tata-hierarkik, ada hubungan vertikal, ada yang implisit dan eksplisit dalam kategori lain; itu kebiasaan berfikir kita. Kemampuan berfikir horizontal, dikembangkan lebih lanjut menjadi kemampuan berfikir heterarkhik. Dalam berfikir heterarkhik bukan sekedar mensejajarkan berbagai sesuatu sebagai sederajat setingkat, melainkan harus mampu mendeskripsikan keterhubungan bermakna. Bagaimana menyusun sistematik berbagai substansi dalam sesuatu disiplin tidak dalam tatahirarkik, melainkan tataheterarkhik. Itu tuntutan yang cukup sulit, bagi kita yang terbiasa berfikir linier, vertikal, dan sejenisnya. Pola Berfikir berikut adalah (9) pola berfikir sekuensial. Dilihat dari substansinya, pola fikir sekuensial termasuk berfikir horizontal, yaitu mampu meloncatkan pemikiran kita dari kategori satu ke yang lain, dari kasus dalam abstraksi satu ke kasus dalam abstraksi yang berbeda. Bedanya dengan yang horizontal atau lateral adalah: pada yang horizontal sekeuensial kemampuan meloncatkan pemikiran itu telah masuk unsur divergen (yang kreatif inovatif), heterarkhik (menangkap makna keterhubungan non-konvensional), dan mampu bergerak bebas secara reflektif antara yang konkret dari satu kategori ke yang abstrak dari kategori berbeda. Pola fikir kesepuluh dalam klaster ini adalah (10) pola fikir antisipatif. Dalam pemaknaan klaster A, pola fikir antisipatif dijelaskan berbedanya dengan prediksi; pada prediksi kita berfikir linier, sedangkan pada antisipatif kita masukkan ideal isme kita, harapan kita, upaya penciptaan kondisi, sehingga yang terjadi di masa depan bukan sekedar linier dari kejadian, melainkan sudah masuk penciptaan kondisi, menjadi lebih sesuai dengan harapan kita. Dalam antisipasi ada ketajaman pemaknaan idealisasi rasional-logik, etik, dan/atau transenden. Setelah diuraikan pola fikir interdependen, multilinier, divergen, heterarkhik, dan sekeunsial, maka makna antisipatif dalam klaster J ini lebih dieksplisitkan dari yang diuraikan dalam klaster A. 48
Karena itu makna antisipatif secara eksplisit mengandung unsur kemampuan menampilkan yang tak terduga, yang ideal sekaligus logik, etik, transenden valid, dan inovatif-kreatif. Pola berikut adalah (11) pola fikir kontekstuil. Dalam klaster B, kontekstual diartikan sebagai situasional; sebagian kita memaknai demikian, dan sebagian kita tidak setuju pemaknaan kontekstual sebagaimana kami maknakan di klaster A, yang akan kami lengkapkan di klaster J ini. Terapan pemaknaan kontekstual dalam klaster A seperti teori medan (field-theory) dari Kurt Lewin. Dalam klaster J ini makna kontekstual akan dikembangkan lebih lanjut. Kontekstual dapat pula diartikan keterhubungan antara yang sentral dengan yang perifer. Studi Al-Qur’an secara kontekstual menurut hemat kami adalah mendudukkan nash Qur’an dan Hadits sebagai yang sentral dan terapan masa lampau-kini-dan mendatang sebagai perifernya. Karena itu, makna kontekstuai dalam studi Islam yakni, mendudukkan yang teks pada sentralnya, sedangkan konteksnya pada perifer. Kami tidak sependapat pemaknaan studi Islam kontesktual menjadi memaknai Qur’an dan Hadits disesuaikan dengan situasinya. Pemaknaan keterhubungan yang lampau-kini-mendatang serta yang sentral dan perifer dalam pola fikir kontekstual menjadi mengembangkan kemampuan pemaknaan keseluruhan dari pola fikir dalam klaster J ini. Kemampuan berfikir antisipatif menjadi implisit, seperti juga menjadi implisitnya yang divergen, yang heterarkhik, yang sekuensial ke dalam yang antisipatif. Sekali lagi penulis kemukakan bahwa klaster H, I, dan J merupakan ragam metoda berfikir yang memberi ciri esensial epistemologik yang dianut disiplin ilmu tertentu atau pendekatan filsafat ilmu tertentu. Klaster K dan L berikut ini dapat digunakan untuk membantu menyusun keseluruhan bangunan konsepnya atau teorinya, sekaligus mencermati integritas dan atau kontradiksinya. KLASTER K: Sebagian kita mempunyai idealisasi integrasi, bersatupadunya yang berbeda, bersatunya yang terpisah-pisah, dan semacamnya. Sebagian lain dari kita mempunyai idealisasi yang agak berlawanan dari idealisasi integrasi, seperti idealisasi-idealisasi pola fikir horizontal, lateral, divergen, heterarkhik, dan kreatif. Sekarang berkembang pula pola fikir paradoks dalam integritas. Pola mencari bersatunya berbagai sesuatu, kami masukkan dalam pola fikir klaster K ini. Pola fikir pertama adalah (1) korespondensi. Keterhubungan sesuatu dengan sesuatu lain yang lebih bersifat fragmentarik; keterhubungannya belum mengandung makna sama sekali; keterhubungannya masih bersifat kebetulan. Pola fikir kedua (2) relevansi. Keterhubungan sesuatu dengan sesuatu lain masih bersifat fragmentarik, kebermaknaannya belum lagi memerankan hubungan menuju integrasi. Pola fikir berikut adalah (3) pola fikir konvergensi. Berbagai sesuatu nampak berbeda, dilihat kemungkinannya untuk dipersatukan. Pola fikir berikut adalah (4) pola fikir Gestalt, yang menyatakan bahwa keseluruhan itu lebih dari bagian-bagiannya. Kebermaknaan plus, yang lebih dari sekedar addisi menjadi pola pokok dari berfikir Gestalt. Pola fikir kelima dalam klaster ini adalah (5) integrasi. Berbagai sesuatu dilihat kemungkinannya untuk dapat dipersatukan. Keterhubungan dan kebermaknaan sudah dilihat menyeluruh. Pola fikir keenam adalah (6) pola fikir thermostatik. Pola fikir ini bersifat metaphor, menganologikan gejala. sosial sebagai gejala holistik yang secara otomatis menata dirinya 0 sendiri; dalam temperatur yang sudah minus 37 C fungsi pendingin otomatis terhenti, dan ketika panas almari es sudah menjadi minus 130C fungsi pendingin secara. otomatis bekerja lagi. Integrasinya berfungsi dinamik otomatik. Pola fikir berikut adalah (7) pola fikir triangulasi. Mampu melihat integrasinya lewat phenomena yang beragam. Konsep ini juga metaphor dari teknik pencarian pemancar radio. Pola fikir kedelapan adalah (8) pola fikir sinkronisasi. Phenomenanya beragam, aktivitasnya beragam, konteks dan waktunya berbeda, tetapi mampu melihat integrasinya yang bermakna.
49
Pola fikir berikut adalah (9) pola fikir kongruensi. Sesuatu dilihat fungsinya mampu memberikan komplementasi pada yang lain. Pola berikut adalah (10) pola fikir konkurensi. Sesuatu dilihat fungsinya untuk mampu menggantikan fungsi komponen lain. Pola kesebelas dalam klaster ini adalah (11) harmoni. Berbagai sesuatu menampilkan dirinya sendiri, tetapi dapat diintegrasikan karena adanya keselarasan satu dengan yang lain. Pola fikir berikut adalah (12) konformitas. Berbagai sesuatu tampil beragam, tetapi menggunakan kerangka acu atau kriteria yang sama, sehingga terjadi integrasi dalam artian nilai atau kriteria. Contoh: warga negara berperilaku beragam dan tidak harus sama, tetapi kesemuanya mengacu atau cocok dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pola fikir berikut adalah (13) pola fikir koherensi. Perilaku yang konform itu perilaku yang tampilannya berbeda tetapi cocok atau sesuai dengan nilai yang diterima oleh satuan masyarakatnya. Keadaan tersebut disebut dengan koherensi, ada kesatuan nilai meskipun dalam keragaman perilaku. Pola fikir berikut adalah (14) morphogenetik. Proses pertumbuhan itu tidak selalu linier berkelanjutan, mungkin saja terjadi proses perkembangan yang tidak linier dan tidak berkelanjutan. Pengakuan terhadap kemungkinan pendadakan dalam pertumbuhan dengan proses tak terduga menjadi pola fikir keempat belas dari klaster ini. KLASTER L: Pola fikir klaster ini mempunyai ciri esensi adanya kontradiksi intern. Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa bila suatu konstruksi teori memiliki kontradiksi intern, maka bangunan teoretik tersebut dapat diklasifikasikan lemah. Ada beberapa kontradiksi intern, pertama adalah (1) kontradiksi, suatu terminologi yang netral, artinya mengandung makna ada pertentangan, yang mungkin saja kontradiksi dengan unsur luar, dan mungkin pula dengan unsur intern, dalam hal ini kontradiksi dengan konstruksi teori; mungkin konsep atau tesis yang satu bertentangan dengan konsep atau tesis lain dalam bangunan kerangka teori itu. Pola fikir kontradiski yang lain adalah (2) kontroversi (3) paradoks (4) dilema, dan (5) dialektika. Salah satu tuntutan produk ilmu adalah relevansinya dengan emperi. Seharusnya suatu produk ilmu tidak menampilkan kontroversi, pertentangan pendapat dengan ilmuwan lain pada umumnya. Kami katakan seharusnya, karena tidak semestinya sesuatu teori tampil berbeda dari pendapat-pendapat pakar yang ada; tetapi ilmuwan-ilmuwan berkualitas tinggi mampu menampilkan temuan yang kontroversial, seperti teori relativitas dalam phisika oleh Einstein, yang bertentangan secara kontroversial dengan teori phisika lama, yaitu teori kuantum. Dilihat dari segi lain contoh teori relativitas Einstein dapat pula dipakai sebagai contoh dari paradoks, yaitu sepintas nampak aneh, tetapi pada hakekatnya berisi kebenaran. Pada tampilan pertama, teori relativitas mengundang pendapat yang kontroversial, pada taraf penelaahannya menimbulkan paradoks; eksternal. Suatu kerangka teori atau konstruksi teori mungkin pula menampilkan paradoks internal, yaitu bila ada pertentangan antara konseptualisasi teoretik dengan jabaran operasionalnya. Paradoks internal mutakhir ditampilkan oleh John Naisbitt baik dalam judul maupun isi bukunya Global Paradox. Pola fikir Naisbitt ini benar-benar menampilkan pola fikir nonkonvensional; berbeda dengan alur fikir linier integrasi (klaster K) dan termasuk yang berbobot positif dalam alur fikir kontradiksi (klaster L), yang umumnya berindikator negatif. Pola fikir Naisbitt dalam bukunya tersebut benar-benar menampilkan paradoks internal, bahwa pada satu sisi kita tak dapat mengelak untuk menjadi global, tetapi pada sisi lain kita perlu membangun organisasi yang kecil agar semakin kuat. Unik memang. Pendapat para ahli yang selalu bertentangan mengenai sesuatu hal dan sulit bagi kita untuk memihak salah satunya, tetapi bagaimanapun kita harus menampilkan sesuatu (entah memihak atau memberi pemaknaan lain) seperti misalnya tentang pendidikan single track atau double track. Cukup banyak kelemahan dari masing-masing dapat diketengahkan, dan tetap sulit bagi kita untuk memilih, sedangkan harus dipilih. Itulah dilema. Banyak dilemma dalam ilmu sosial kita jumpai. Kita tidak dapat menghindar dari berbagai di lema yang kita jumpai; dan 50
dalam hal itu kita harus memilih. Apakah kita harus memilih atau membuat rumusan baru, terserah; tetapi konstruksi teori kita menuntutnya. Memang cukup banyak bukti bahwa double track menghambat proses demokratisasi pendidikan; banyak anak produk sekolah kejuruan tidak memperoleh peluang untuk masuk strata sosial atas. Bila sekolah kejuruan disebut sebagai menyiapkan tenaga produktif tingkat menengah, tetapi kenyataan di tempat-tempat di mana teknologi cepat berubah (sebagai pemaknaaa kami atas penelitian David Clark, 1983) tamatan SMA digaji lebih tinggi daripada tamatan STM. Di negara pendekarnya demokrasi, Amerika Serikat, demi demokratisasi pendidikan mereka mengubah pendidikan menjadi single track. Derasnya masukan ke Perguruan Tinggi (dan juga pada semua jenjang pendidikan) tetap menjadi segregasi tersamar. Mereka sama-sama berhak masuk ke SD, SMP, SMA, dan PT. Tetapi bagaimanapun satuan masyarakat dan orang tua yang mampu akan bersedia dan mampu menyandang dana bagi anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan berkualitas tinggi dan notabene dengan hasil berkualitas tinggi pula. Lembaga kerja yang mampu menggaji tinggi akan memilih tamatan sekolah yang berkualitas tinggi pula. Ini yang terjadi. Di India di mana demokrasi belum berlangsung baik, kebijakan demokratisasi pendidikan jelas-jelas dijegal oleh established groups. Dengan berbagai cara strata sosial bawah dipersulit memasuki pendidikan padajenjang lebih tinggi. Jadi, manapun yang kita pilih single track atau double track tetap merupakan dilema. Di Pasca Sarjana kepada para mahasiswa kami tampilkan rumusan yang lain, yang tampilannya tidak harus memihak, tetapi rumusannya lebih mendasar. Kembali ke pola fikir terdahulu (yang lebih mendeskripsikan kesalahan berfikir) pola fikir dialektik lebih dimaknai sebagai instrumentasi bagi dinamisasi perubahan sosial. Dengan menciptakan antitesis atau yang sudah berjalan, diharapkan tumbuh suatu sintesis. Mekanisme dialektik tersebut dipakai oleh banyak kawasan dan dikenal sebagai teori konflik, suatu grand theory dalam sosiologi di samping fungsionalisme struktural, interaksionisme, juga exchange theory. Teori konflik dianut dalam demokrasi liberal ataupun dalam ajaran komunisme. Bedanya, pada komunisme, konflik diinstitusikan dan dipakai sebagai strategi perjuangan abadi proletar melawan borjuis. Sedangkan konflik di negara demokrasi liberal lebih bersifat pancamuka, dan mempunyai dua fungsi: positif dan negatif. Apakah pola fikir dialektika akan dipakai sebagai salah satu model kerangka teori, penulis serahkan kepada para pembaca sendiri. Pendapat penulis tentang dialektika sebagai instrumen dinamika sosial penulis ketengahkan dalam buku Teori Perubahan Sosial. Catatan: Dari pengalaman penulis membimbing disertasi dan juga tesis, banyak promovendi yang merancangkan proposal disertasinya dan juga tesisnya memilih konsep-konsep yang terbagus (dan tentunya menjadi lebih ideeal) yang tersebar diklaster-klaster A sampai L. Tetapi dari evaluasi penulis proposal tersebut menjadi bak sampah kumpulan hal-hal terbagus, karena tidak mungkin dioperasionalkan atau malahan kontradiktif secara esensial. E. DESAIN PENELITIAN DENGAN PENDEKATAN RASIONALISTIK Pendekatan rasionalistik yang ditampilkan dalam buku ini, tidaklah bertolak belakang dari logika deduktif, melainkan bertolak dari logika reflektif Abstraksi dari kasus sebagai konsep spesifik melalui berfikir horizontaldivergen diperkembangkan menjadi konsep abstrak yang lebih umum. Sebaliknya konsep abstrak umum yang samar diperkembangkan spesifikasinya lewat proses berfikir sistematik-hirarkik-heterarkik menjadi konsep spesifik yang lebih jelas dan mampu memberi eksplanasi, prediksi, atau rambu operasionalisasi. Itulah proses mencari kebenaran dalam logika reflektif. Relevansi dengan emperi penting, tetapi yang lebih penting adalah tertangkapnya makna di balik yang emperi. Itulah landasan filosofik pendekatan rasionalistik dalam metodologi penelitian. Desain penelitian rasionafistik bertolak dari kerangka teoretik yang dibangun dari pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori yang dikenal, buah-buah fikiran para pakar,
51
dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang mengandung sejumlah problematik yang perlu diteliti lebih lanjut. Kerangka teoritik tersebut setidak-tidaknya perlu momot tiga komponen. Pertama, ada grand-concept (s) yang melandasi seluruh pemikiran teoretik dari penelitian tersebut. Untuk peneliti S1 dan S2 mungkin penampilan eksplisit dari grand-concept(s)nya tidak perlu, tetapi untuk disertasi penulis pandang perlu dipersyaratkan. Grand-theory dapat diangkat dari klaster A, B, atau C. Teori Evolusi Darwin, teori Genetik Mendel, teori Perkembangan Sejarah Toynbee, Gelombang Ketiga Toffler, Masyarakat Pascaindustri Daniel Bell kesemuanya berangkat dari pola-pola fikir tersebut diklaster A. Teori makro fungsionalisme dari Talcot Parsons, pragmatisme dari Willian James, teori interaksi simbolik dari Blumer, eklektisme psikologik Sumadi Suryobroto, kepemimpinan fungsional Noeng Muhadjir, kesemuanya berangkat dari tata fikir tersebut pada klaster B. Komponen kedua untuk membangun kerangka teori adalah teori substantif. Teori konflik dalam sosiologi merupakan grand-theory, teori kepemimpinan monomorphik-polimorphik merupakan teori substantif; teori tentang refleks bersyarat dalam behaviorisme merupakan grand-theory, perilaku stereotype merupakan teori substantif; teori relativitas dari Einstein merupakan grand-theory. Komponen ketiga dari perkerangkaan teori adalah hipotesis atau tesis yang hendak diuji kebenarannya secara emperik. Membangun kerangka teori dengan tiga komponen tersebut berlangsung reflektif, dapat dimulai dari komponen manapun tetapi akhirnya harus menampilkan hipotesis, suatu teori spesifik yang layak (feasible) dan mungkin diuji dengan emperj. Perkerangkaan teori yang baik akan mampu menampilkan sejumlah hipotesis yang mempunyai hubungan bermakna terhadap teori substantifnya (syukur bila mempunyai hubungan bermakna plila dengan suatu grand-theory). Kebermaknaan teoretik seperti itu perlu diikuti dengan kebermaknaan emperik. Upaya untuk menjangkau kebermaknaan emperik dapat dikerjakan dengan mengembangkan konseptualisasi tentang populasi dan sampel secara tepat. Pada landasan emperik pendekatan rasionalistik ada dua pilihan: kuantitatif atau kualitatif.. Bila landasan emperik yang dipilih yang kualitatif, sampel perlu dipilih secara purposive. Yang kuantitatif mencari makna dari rerata dan simpangan-bakunya, yang kualitatif mencari makna dari pengungkapan esensinya. Fungsi populasi dalam pendekatan rasionalistik sama dengan pendekatan positivistik, yaitu untuk membuat kesimpulan generalisasi. Generalisasi dalam sangkut-paut dengan populasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu generalisasi hasil penelitian sampel pada mother-population-nya dan generalisasi hasil penelitian sampel pada parent-population-nya. (parent tanpa s!!!). Mother population adalah populasi yang unit-unitnya mempunyai peluang untuk menjadi sampel penelitian. Parent-population adalah populasi yang tersebar di manapun yang memiliki karakteristik (teoretik) yang sama dengan sampel penelitian. Pengakuan terhadap peran kesimpulan penelitian terhadap satuan lain yang lebih besar menjadikan penelitian dengan pendekatan rasionalistik menjadi nomo-thetik, mengejar untuk mencari hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku umum, bebas ruang dan waktu, sama dengan pendekatan positivistik. Instrumentasi pengumpulan data perlu ajeg kerangka fikirnya dengan pengambilan sampel. Bila kuantitatif maka prosedur penyusunan instrumen perlu mengikuti aturan-aturan kuantitatif; bila kualitatif prosedur pengumpulan data dapat berlangsung lebih luwes, meskipun menjadi lebih mudah tergelincir menjadi subyektif. Menjaga agar data yang terkumpul itu obyektif, perlu dijaga dari upaya-upaya tambal-sulam data dan jangan mengadakan analisis ketika sedang mengumpulkan data. Data harus dijaga agar obyektif, dalam arti terjaga dari subyektivitas peneliti dan juga subyektivitas subyek responden. Teknik analisisnya perlujuga ajeg seperti instrumentasi pengumpulan data dan prosedur pengambilan sampel. Bila kuantitatif, sebaiknya digunakan pula teknik analisis statistik; bila kualitatif, memang tepat digunakan teknik analisis data verbal dengan mencari esensi. Agar konsekuen dengan pemikiran rasionalistik, dalam pemaknaan hasil analisis hendaknya 52
meluaskan kebenaran emperik menjadi lebih luas daripada emperi sensual; perlu menjaga emperi logik dan emperi etik. tata fikir yang digunakanpun menjadi tidak terbatas pada korespondensi, relasi, kausalitas, dan interdepedensi saja, melainkan dapat pula dikembangkan pemaknaan dengan menggunakan tata fikir lain seperti berfikir divergen, horizontal, holographik, dan lain-lain. Metodologi penelitian kualitatif rasionalistik berangkat dari pendekatan holistik berupa suatu grand-concept(s), diteliti pada obyek spesifik, dan didudukkan kembali hasil penelitiannya pada grand-concept(s)nya. Bila diperbandingkan antara metodologi penelitian kuafitatif posifivistik dengan yang rasionalistik, pokok-pokoknya adalah sebagai berikut Pertama, yang positivistik menspesifikkan obyek penelitiannya dengan mengeliminasikan dari variabel atau faktor lain; yang rasionalistik mendudukkan obyek spesifik dalam totalitas holistik. Kedua, yang positivistik menggunakan tata fikir tertentu saja, yaitu: korespondensi, relasi, kausalitas, dan interdepedensi; sedangkan yang rasionalistik dapat menggunakan alternatif penalaran dengan menggunakan ragam tata fikir yang penulis sajikan dalam buku ini. Ketiga, yang positivistik membatasi hasil penelitian sampai pembuatan kesimpulan; sedangkan pada yang rasionalistik dilanjutkan dengan pemaknaan. F. PENARIKAN KESIMPULAN DAN PEMAKNAAN Ilmu yang dibangun berdasarkan rasionalisme menekankan kepada pemaknaan emperi. Pemahanaman intelektual mendalam menjadi bagian terpenting bagi rasionalisme. Membuat kesimpulan bagi rasionalisme tidak sekedar menyajikan hasil analisis fragmentarik, melainkan menyajikan sesuatu yang dapat menjadi bagian penting dari suatu konstruksi lebih besar; kesemuanya itu mengarah ke membangun suatu tesis baru, atau lebih jauh lagi membangun teori baru. Descartes sebagai eksponen pertama dari rasionalisine menyajikan model pembuktian berangkat dari aksioma, yang membuktikan sendiri kebenarannya. Spinoza memberi urunan berikut dalam membangun rasionalisme: pembuktian berangkat dari perumusan, dari postulat, dan theoreem. Leibniz lebih lanjut menekankanbahwa dengan inteligensi yang mumpuni setiap fakta dapat dilihat keterikatannya dengan yang lain. Hegel sebagai rasionalis sekaligus ideealis mengemukakan pendapat bahwa dunia ini merupakan organisme yang bagian-bagiannya saling terikat, dan tak dapat difahami kecuali melihat keterkaitannya dalam suatu keseluruhan. Frederick Suppe membuat sinyalemen bahwa suatu gerakan baru atau pendekatan baru yang memfokus ke rasionalisme sedang tumbuh. Tokoh-tokohnya seperti Imre Lakatos, Stephen Toulmin, dan Dudley Shapere mencoba mencari jalan tengah antara positivis yang sensual dengan filsafat ilmu yang melandaskan diri pada Weltanschauung seperti Hanson, Feyerabend, dan Kunh. Secara ontologik rasionalisme, seperti telah kami kemukakan di muka, mengakui tiga emperi, yaitu: emperi sensual, emperi logik, dan emperi etik. Epistemologik upaya mencari kebenaran bagi rasionalisme dengan demikian menggunakan ketiga emperi tersebut untuk membangun konstruksi teoretik tertentu. Rasionalisme lebih mengarah ke monisme teoretik daripada pluralisme teoretik. Membuat kesimpulan bagi rasionalisme perlu mengarah ke membangun suatu teori baru. Teori dalam bentuk verbal tidak lain dari suatu proposisi, suatu pendapat, yang diharapkan mampu mewadahi semua kasus emperi yang relevan. Blalock Jr., mengetengahkan sejumlah model konstruksi teori, yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu model kausal dan model dinamik. Sejumlah teori yang dibangun dalam pernyataan kovarian dicontohkan pula oleh Blalock dalam bukunya Theory Construction. Zetterberg menampilkan generalisasi sebagai teori: semakin tinggi pembagian kerja, semakin,tinggi solidaritas. Semakin tinggi pembagian kerja, semakin rendah penolakan terhadap penyimpangan. Homans menampilkan teori: Bila frekuensi interaksi meningkat, tingkat saling menyukai meningkat pula, dan vice versa. Ralf Dahrendorf menampilkan proposisi: Intensitas konflik antarkelompok menurun sejauh kelompok-kelompok lebih terbuka. Gibbs dan 53
Martin menyajikan teori: tingkat bunuh diri penduduk beragam terbalik dengan stabilitas dan tahan lamanya hubungan sosial di masyarakat. Dalam contoh-contoh tersebut istilah teori, generalisasi, dan juga proposisi digunakan dalam konteks yang sama. Apakah ketiganya memang sama? Keterhubungan antara ketiganya telah kami uraikan pada awal paragraf ini. Khusus tentang model kausal. Dalam model ini Blalock menyajikan tiga model, yaitu: model tipologi, modelpenyusunan akibat, dan model penyusunan sebab. Model tipologi dapat dikembangkan dengan dua pendekatan: membuat lebih kompleks dan membuat lebih sederhana. Dari sekian banyak kasus, diangkat dalam pola fikir dikotomik (seperti rural-urban; pendapatan cukup kurang; pria-wanita), atau pola fikir antar dua kutub (seperti: lebih otoriter-lebih demokratik; lebih statik-lebih dinamik). Nampaknya model tersebut sederhana, tetapi mengarah ke lebih kompleks; karena bila dibuat klasifikasi silang, yang dua tersebut akan menghasilkan tiga kemungkinan kombinasi, tipologi tiga dikotomi akan menghasilkan delapan kemungkinan kombinasi, empat menghasilkan enambelas, lima menghasilan tigapuluhdua, dan seterusnya. Pendekatan yang mengarah ke penyederhanaan berupaya mencari titik-titik dalam mengkonstruksi teori ataupun dalam menganalisis data, untuk dapat membuat hukum abstrak dalam kondisi ideeal; kasus yang tak sesuai dengan hukum tersebut dijelaskan sebagai penyimpangan, pertumbuhan, atau kesalahan. Khusus model penyusunan sebab. Perilaku kriminal didudukkan sebagai variabel dependen satu-satunya; dengan studi pustaka atau cara lain disusun sejumlah variabel independen, yang terus dapat dicari dan ditambahkan. Tata hubungan antara variabel dependen dengan independen, dapat dibuat berjenjang, dapat dibuat analisis berjenjang. Nye dkk. misalnya, dari studi pustaka terkumpul 68 proposisi tentang stabilitas keluarga; ke-68 proposisi tersebut mempunyai tingkat abstraksi yang berbeda dan mencakup hal yang beragam sekali (meskipun seluruhnya terkait dengan stabilitas keluarga). Nye dkk. menyederhanakannya menjadi 10. Dalam disertasi, penulis menampilkan 13 variabel, yang disederhanakan menjadi tiga faktor. Khusus model penyusunan akibat. Janowitz menyusun sejumlah dependen variabel dari satu independen variabel mobilitas vertikal; Lenski menyusun sejumlah dependen variabel dari satu independen variabel faktor religieus. Model dinamik yang disajikan oleh Blalock mendudukkan interdependensi antarvariabel; adajaringan hubungan interaktif antara banyak variabel. Model penyusunan teori, membuat tesis, hipotesis, ataupun proposisi dengan struktur verbal seperti tersebut di atas sedikit banyak dikendalikan oleh teknik-teknik analisis kuantitatif statistik, meskipun dengan penyajian verbal seperti di atas memungkinkan menggunakannya untuk metodologi penelitian kualitatif. Tatafikir logik yang digunakan tesebut terbatas pada tata fikir korespondensi, korelasi kausal, dan paling jauh sampal interrelasi yang interaktif interdependen. Sedangkan tata fikir logik masih banyak sekali. Model berfikir genetik yaitu berfikir dengan pola asumsi adanya proses berkembang dari yang elementer ke yang lebih sempurna; tampilannya menjadi teori evolusi dari Darwin, teori genetik dari Mendel, teori perkembangan sejarah dari Toynbee, teori gelombang ketiga yang antisipatif dari Toffler, teori akselerasi perubahan dari Noeng Muhadjir, dan banyak lagi. Model berfikir genetik tersebut dalam konsep paling akhir dapat memasukkan pola fikir holographik (pada bagian yang terkecil Pull mengandung Gestalt), atau pola fikir morphogenetik (perkembangan dapat linier dapat tak terduga). Model berfikir fungsional berupaya untuk melihat keberadaan sesuatu ditentukan pada fungsinya; terapannya dapat fungsional struktural (piramida angkatan kerja), fungsional interdependen (pendekatan sistem), pragmatik (yang bertahan ada, yang berguna), eklektik (yang terbaik dan dapat difungsikan yang dipakai). Model berfikir berikut adalah model berfikir bertolak dari asumsi pluralisme (sehingga tampilan kesimpulan penelitiannya mengarah ke idiographik) atau bertolak dari asumsi monisme 54
(sehingga tampilan kesimpulannya mengarah ke nornothetik). Ideee untuk mencari model untuk mengkonstruksi teori, menampilkan tesis, kesimpulan ataupun proposisi berlandaskan rasionalisme dapat menggunakan ragam tata fikir logik yang tersaji dalam buku ini. Pemaknaan atau mencari makna, mencari meaning. Bagi pendekatan positivistik mencari meaning adalah mencari signifikansi. Oleh karena itu penganut positivisme, akan menghentikan analisisnya sampai teruji kebermaknaan dalam uji signifikansi, artinya menunjuk kepercayaan prediksi atas kemungkinan salah; teknik pembuktiannya mendasarkan pada frekuensi atau keragamein kejadian. Bagi rasionalisme mencari makna secara ontologik bergerak antara yang emperik sensual, yang logik, dan yang etik; secara epistemologik menggunakan berfikir reflektif, verstehen, menggunakan pola fikir divergensi, kreatif, inovatif untuk mendapatkan makna yang lebih jauh dari sekedar signifikansi. Dari Bloom kita mengenal tiga tipe pemahaman, yaitu pemahaman terjemahan, pemahaman penafsiran, dan pemahaman ekstrapolasi. Yang pertama pemahamannya terbatas pada pengubahan simbol dari hitungan statistik ke verbal, dari bahasa satu ke bahasa lain. Yang kedua pemahamannya sudah mulai menjangkau yang tersirat, bukan hanya yang tersurat. Yang ketiga pemahamannya sudah menghubungkan antara yang tersurat dan tersirat dengan sesuatu di luarnya. Kesimpulan penelitian yang menghentikan pemahamannya sampai kesimpulan statistik, ataupun terhenti sampai penjabaran verbal dari kesimpulan statistik masih berada pada tahap pemaknaan penterjemahan. Pemaknaan berikut adalah kemampuan mencari arti di balik yang tersurat. Yang tersurat mungkin emperik sensual, dicari makna logik atau etiknya. Yang tertangkap kejadian kasus, dengan ketajaman reflektif dan juga verstehen mungkin tertangkap makna universalnya. Itulah pemaknaan penafsiran. Pemaknaan yang diharapkan lebih berkembang dari hasil-hasil penelitian adalah pemaknaan yang lebih jauh lagi, yaitu pemaknaan ekstrapolasi. Kemampuan berfikir divergen tetapi juga sintesis, kemampuan berfikir kreatif sekaligus inovatif, mampu menggunakan berfikir holographik dan morphogenetik, mampu secara lincah bergerak antara berfikir hierarkik dan heterarkhik, mampu berfikir konstekstual sekaligus antisipatif, mampu membijakkan diri untuk bergerak dari yang sensual sampai ke yang etik, itulah modal dan cara kerja yang diharapkan untuk dapat memberi makna lebih dalam dan lebih jauh dari hasil suatu penelitian. Membangun konseptualisasi masa depan kehidupan kemanusiaan itulah yang perlu dicapai, bukan menyajikan fragmen-fragmen kehidupan tanpa menyadari integritas totalnya.
55
BAGIAN KETIGA METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN PHENOMENOLOGIK
LOGIK DAN ETIK Dilihat dari sisi filsafat ilmu ada perbedaan mendasar antara pendekatan positivistik dan rasionalistik di satu fihak dengan pendekatan phenomenologik di lain fihak (dan juga realisme metaphisik). Pendekatan dua yang pertama hanya mengakui kebenaran emperik sensual dan emperik logik. Artinya: hanya mengakui sesuatu sebagai kebenaran bila dapat dibuktikan secara emprik indrawi dan dalam konteks kausalitas dapat dilacak dan dijelaskan. Sedangkan dua pendekatan yang kedua mengakui adanya kebenaran emperik etik yang memerlukan akalbudi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Akalbudi disini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan kriteria lebih tinggi lagi dari sekedar truth or false. Nilai moral yang digunakan pada dua yang pertama terbatas pada nilai moral tunggal, yaitu: truth or false. Nilai moral yang digunakan pada dua yang kedua mengacu pada nilai moral ganda yang hierarkik. Bila diinventarisasikan nilai moral (nm) tersebut adalah: nm agama, nm ilmu (truth or false), nm individual, nm phisik. Nm agama memiliki tatahierarkik tertinggi, sedangkan nm lainnya memiliki hubungan verikal dengan nm agama, dan memiliki hubungan horizontal antara nilai moral satu dengan lainnya. Beberapa memiliki hubungan horizontal lateral dan beberapa memiliki hubungan horizontal sekuensial (baca lebih rinci pada Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Ilmu Pendidikan). Asumsi dasar dari pendekatan phenomenologik (dan juga realisme metaphisik) adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis ataupun dalam membuat kesimpulan. Tidak dapat bukan keterpaksaan, melainkan momot etik. Para ilmuwan pada bidang-bidang yang normalif seperti ilmu pendidikan dan ilmu agama banyak yang mengacaukan hal-hal berikut. Harus pergi itu keharusan yang sifatnya imperatif. Sebaiknya anda menghadiri acara tersebut merupakan suatu anjuran atau saran. Yang imperatif ataupun yang anjuran tersebut tidak momot konsekuensi moral. Bersedia menjadi saksi momot konsekuensi moral hukum. Amar maruf nahi mungkar momot moral kebajikan sosial. Meskipun kedua pernyataan tersebut bukan berbentuk kalimat imperatif ataupun kalimat anjuran. Pernyataan, postulasi, aksioma, teori yang momot moral tertentu dapat disebut momot ethic atau etika. Kalau itu beruva teori, maka teori tersebut momot ajaran etika tertentu; kalau itu berupa postulasi, maka postulasi tersebut momot ajaran etika tertentu. Ilmu pendidikan dan ilmu agama dapat menyebut normatif karena dalam teorinya, dalam postulasinya momot ajaran etika tertentu. Kekacauan yang terjadi adalah mengisruhkan atau mencampuradukkan antara yang imperatif, yang amr, yang anjuran, dengan yang etika. Ilmu pendidikan dan ilmu agama disebut ilmu normatif karena mengeksplisitkan nilai moral dalam berteori, dalam berpostulasi, dan seterusnya, bukan dengan cara membuat kesimpulan, membuat teori yang menampilkan kata-kata sebaiknya, diseyogiakan, mesti, harus, dan semacamnya. Banyak buku-buku yang ditulis, dan kesimpulan argumentatif ataupun kesimpulan hasil penelitian menjadi tidak berharga, karena konseptualisasi pemikirannya hanya menganjurkan atau mengharuskan, dan mereka mengklaim sebagai normatif Bila’makna normatif dalam ilmu pendidikan dan ilmu agama hanya seperti itu maka ajakan meninggalkan berfikir normatif benar, sama benarnya dengan ajakan meninggalkan berfikir spekulatif dalam berilmu pengetahuan zaman renaissance. Tetapi ajakan meninggalkan berfikir spekulatif tersebut menjadi salah, ketika kita mesti meninggalkan ketajaman akal cerdas kita, akal budi kita untuk berfikir reflektif dalam membangun teori atau konsep yang sangat bermakna. Ajakan meninggalkan berfikir normatif juga menjadi salah bila hanya sekedar menampilkan pernyataan tentatif, pernyataan 56
menseyogikan, yang kesemuanya tidak didasarkan hasil analisis emperik, melainkan lebih didasarkan pada wishfull thinking. Pendekatan phenomenologik (dan juga realisme metaphisik) bukan hendak berfikir spekulatif, melainkan hendak mendudukan tinggi pada kemampuan manusia untuk berfikir reflektif, dan lebih jauh lagi untuk menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan deduktif, serta logika materfil, dan logika probabilistik. Pendekatan phenomenologik (dan juga realisme metaphisik) bukan hendak menampilkan teori dan konseptualisasi yang sekedar berisi anjuran atau imperatif, melainkan mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep. Kesalahan-kesalahan konsep normatif tersebut bukan hanya terjadi pada kita, ilmuwan Indonesia, melainkan juga pada ilmuwan lain. Pada suatu waktu penulis memberi kuliah menajemen pendidikan di Pasca Sarjana. Referensi penulis tidak menggunakan buku-buku asing manajemen industri. Mengapa? Karena konseptualisasinya, kesimpulan atas penelitian manajemen pendidikan mengarah ke yang sebaiknya, yang seharusnya, bukan menampilkan manajemen emperik faktual atau lebih berbobot lagi yang momot etika tertentu. Mengapa penulis menggunakan referensi buku-buku asing manajemen industri, karena kesimpulannya itu emperik faktual, bersifat substansial sehingga dapat memberi acuan pada model manajemen, model kepemimpinan, model proses membuat keputusan, dan seterusnya, yang emperik faktual, atau lebih berbobot momot etik.
57
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF 1. MODEL GROUNDED RESEARCH A. UPAYA MENCARI SOSOK KUALITATIF Pada tahun 1970-an diselenggarakan pelatihan penelitian ilmu-ilmu sosial di Surabaya, di Ujung Pandang, dan di Banda Aceh, yang isinya tidak lain adalah memperkenalkan grounded research kepada ilmuwan-ilmuwan di Indonesia. Menurut hemat penulis ini adalah salah satu model dari metodologi penelitian yang berupaya mencari sosok kualitatif. Sosok penelitian kualitatif ini berupaya melepaskan diri dari pola fikir kuantitatif, yang isomorphik dengan matematik; dan berupaya mencari sosoknya sendiri yang kualitatif. Model-model kualitatif yang penulis himpun dapat penulis kelompokkan menjadi empat model, yaitu: model grounded research dari Glaser & Strauss, model ethnometodologi dari Bogdan, model paradigma naturalistik dari Guba & Lincoln, dan model interaksi simbolik dari Blurner. Dalam evaluasi penulis, model pertama banyak memberi sumbangan operasionalisasi kualitatif, terutama dalam upaya mencari dan merumuskan teori berdasar data emperik. Tetapi bagaimanapun pada akhirnya kembali juga pada kerangka fikir kuantitatif yang selalu berupaya mencari teori yang berlaku universal lewat pembuktian emperik. Glaser & Strauss akhirnya juga memberi peluang pengembangan teori substantif menjadi teori formal. Teori formal dibangun bukan berdasarkan satu area substantif, melainkan dibangun dari banyak area substantif yang beragam. Model kedua memang lebih banyak memberi sumbangan pada banyak konsep berfikir kualitatif, tetapi dalam banyak hal masih terpaku pada pemikiran kuantitatif, seperti masih menggunakan konsep validitas, reliabilitas, dan sebagainya. Model ketiga, yaitu: model paradigma naturalistik, menurut evaluasi penulis adalah model yang hampir sepenuhnya berhasil, termasuk juga menggunakan konsep-konsep model pertama dan kedua yang memang cocok unttik ciri kualitatif, dan layak serta representatif untuk mewakili metodologi penelitian kualitatif, Oleh karena itu berfikir kualitatif yang paling konsekuen, adalah berfikir menggunakan model paradigma naturafistik. Model keempat, yaitu model interaksi simbolik yang pada akhir perjalanannya, yaitu pada K. Denzin penerus interaksi simbolik telah menjurus kembali ke pemikiran kuantitatif-statistik-positivistik, misalnya dalam membangun scientific concepts (setidaknya pada waktu Denzin menulis disertasinya). Dalam tugasnya menjadi editor Handbook of Qualitatvie Research, 1994, bersama Lincoln, konsep K. Denzin sukar dilacak, karena Denzin menulis bersama Lincoln; tetapi nampaknya dari tulisan terakhirnya tahun 1991 dalam artikel Current Perspectives in Social Theory, Denzin mengarah ke dekonstruktionist.
B. GROUNDED THEORY Para ahli ilmu sosial, khususnya para ahli sosiologi, berupaya menemukan data emperi, bukan membangun teori secara deduktiflogis. Itulah yang disebut dengan grounded theory, dan model penelitiannya disebut grounded research. Penemuan teori dari data emperik yang diperoieh secara sistematis dari penelitian sosial, itulah tema utama dari metodologi penelitian kualitatif model grounded research. Teori berdasar data, seperti teori birokrasi dari Weber dan teori bunuh diri dari Durkheim dapat bertahan puluhan tahun karena teori tersebut ditemukan berdasar data; berbeda dengan teori konflik dari Lewis Coser atau Dahrendorf atau teori kelas dari Marx, yang disusun secara deduktif dapat membawa para penganutnya jauh tersesat. Pandangan, sikap, dan gagasan dapat menjadi bahaya besar bagi penyusunan teori.
58
Pedoman-pedoman untuk melahirkan suatu teori antara lain adalah: digunakannya logika yang konsisten, kejelasan masalah, efisiensi, integrasi, ruang lingkup, dan beberapa lainnya. Meski bagaimanapun, menurut model grounded peran bagaimana proses ditemukannya teori merupakan hal yang terpenting. Proses yang diharapkan dalam model ini adalah penemuan teori berdasar data emperik, bukan sebagai hasil berfikir deduktif. C. MODEL VERIFIKASI POSITIVIST MEMINIMKAN MUNCULNYA TEORI BARU Pendekatan rasionalisme mengkritik pendekatan positivisme, karena tiadanya payung grand-theory maka terjadi pemiskinan teori; dengan model positivistik yang dihasilkan hanyalah tesis-tesis spesifik (yang penulis sebut sebagai penemuan tulang-tulang berserakan, yang tidak dapat direkonstruksi apakah menjadi dinausaurus atau mammouth atau campur aduk dengan tulang kuda, kerbau dan tulang gajah). Model grounded mengkritik tentang tugas pengembangan ilmu pengetahuan (dengan pendekatan kuantitatif-positivistik) yang hanya adalah mengadakan verifikasi. Dengan model verifikasi teori terjadi penipisan temuan teori-teori baru. Glasser dan Strauss menggugat bahwa dengan-tugas verifikasi maka ilmuwan-ilmuwan kemudian hanyalah bertugas membuktikan parsial dari teori-teorinya orang-orang besar seperti Weber, Parsons, dan lainnya. Blumer diminta membuat evaluasi karya besar yang berpengaruh, yaitu The Polish Peasant karya Znaniecke. Data dalam karya Znaniecke tersebut cukup banyak untuk membuat teorisasi, tetapi tidak cukup untuk membuat verifikasi. Deskripsi juga sangat rinci dan panjang, tetapi membuahkan teori yang minim. Mengapa demikian? Znaniecke menjawab bahwa tidak cukup kerangka konseptual untuk mengadakan pendekatan pada data. Dari sisi Glaser & Strauss menunjuk biang keladinya pada tuntutan model verifikasi, yang pada satu sisi memerlukan teori (yang kadang dicari-cari) dan pada sisi lain menuntut tuntasnya data untuk menguji signifikansi pembuktian. D. ANALISIS KOMPARATIF Analisis komparatif memang telah banyak dikenal sejak Weber, Durkheim, dan juga Mannheim. Analisis komparatif dan juga eksperimen keduanya menggunakan logika perbandingan. Komparasi yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif Dari komparasi fakta-fakta dapat dibuat konsep atau abstraksi teoretisnya. Dari komparasi, kita dapat menyusun kategori teoretis pula. Lewat komparasi kita juga dapat membuat generalisasi. Fungsi generalisasi adalah untuk membantu memperluas terapan teorinya, memperluas daya prediksinya. Dengan data komparatif dan analisis eksplisit (yakni: tidak menguji hipotesisnya secara langsung) dapat mengarah ke ditemukannya keragaman, dan selanjutnya bukan mustahil menghasilkan modifikasi teori. (Catatan: bukan menemukan teori). E. MENEMUKAN TEORI Menemukan teori apa? yang perlu ditemukan adalah teori berdasar data, bukan teori hasil telaah deduktif-logik.Glasser & Strauss (G&S) lebih lanjut mengetengahkan dua jenis teori, yaitu: teori substantif dan teori formal. Teori substantif ditemukan dan dibentuk untuk daerah substantif tertentu; sedangkan teori formal ditemukan dan dibentuk untuk kawasan kategori konseptual teoretik. Kedua tipe teori tersebut, dalam klasifikasi Merton termasuk kategori middle range theories, yang menampilkan keberlakuannya pada daerah substantif tertentu atau menampilkan generalisasinya pada dimensi formal tertentu pada sejumlah daerah substantif tertentu; dan tidak menjangkau apa yang disebut grand theories yang kcberlakuannya meliputi semua hal, all inclusive. (Bandingkan dengan konsep penulis tentang keteraturan substansial dan keteraturan esensial di Bagian Keempat: Pendekatan Realisme Metaphisik; dan bandingkan pula dengan konsep penulis tentang root values dan instrumental values dalam Ilmu Pendidikan dan 59
Perubahan Sosial, 1987; juga klasifikasi penulis tentang teori-teori dinamika perubahan sosial dan teori-teori arah perubahan sosial dalam Teori Perubahan Sosial, 1984; dan bandingkan pula dengan konsep penulis tentang mother population dan parent (tanpa s) population dalam penelitian kuantitatif-statistis). Dalam pandangan Q&S, dengan analisis komparatif, peneliti berupaya memperbandingkan kategori-kategori serta ciri-cirinya untuk merumuskan teorinya, dilanjutkan dengan mengembangkan teorinya, mungkin modifikasi, mungkin pula mengganti dengan teori baru. Menemukan dan mengembangkan terus teorinya, itulah kerja berkelanjutan dari peneliti yang menggunakan model grounded research. Untuk menjangkau perumusan teori pada tingkat derajat lebih tinggi, G&S menganjurkan untuk mengadakan penelitian di daerah-daerah nontradisional, di mana masih langka referensi hasil penelitiannya. Mencari bidang nontradisional, dapat dalam makna lokasi (yang akan menemukan teori substantif), tetapi juga dapat diartikan dalam makna dimensi telaah (yang akan menemukan teori formal). Hipotesis dalam penelitian grounded adalah suatu pernyataan ilmiah yang akan terus dikembangkan (dalam makna dimodifikasi atau diubah atau diperkaya atau dipertajam spesifikasinya); berbeda dengan hipotesis dalam penelitian dengan pendekatan positivistik dan rasionalistik, yang niatan pertama dalam penelitiannya adalah mencari bukti untuk mendukung kebenaran hipotesisnya. Sepertinya hipotesis itu sebagai sesuatu yang final, dan dicarikan dukungan lewat penelitian emperik. F. SAMPLING TEORETIS Untuk menemukan teori, para peneliti perlu memiliki sensitivitas teoretis. Artinya begitu menjumpai sejumlah data mampu segera menyusun konsep lokal, menemukan ciri-ciri pokok dari sasaran penelitiannya, apakah rumah sakit, apakah sekolah, ataukah pabrik. Konsep lokalnya rumah sakit diketahui adanya dokter, perawat, pasien, obat, dan lainnya; konsep lokalnya sekolah ada guru, siswa, bahan pelajaran, dan lainnya. Sensitivitas teoretis tampil berupa pengonsepan atau abstraksi atau perumusan prateori setelah menjumpai ciri-ciri spesifik setelah menemukan data di lapangan. Bila belum juga mampu membuat konsep prateori, demikian G&S, seorang peneliti sosiologi menjadi belum dapat melanjutkan penelitiannya, karena belum akan dapat menentukan arah penelitiannya, belum mengetahui tujuan teoretisnya, sehingga akan belum mampu menetapkan kriteria teoretis dalam pemilihan kelompok-kelompok sampel, serta subkelompok-subkelompoknya. Dari data subkelompok tersebut dimaksudkan untuk menemukan keragaman ciri, untuk memilahkan ciri pokok dari ciri tambahan. Kriteria teoretis dalam pemilihan kelompok sampel tidak mengarah ke struktur populasi (sebagaimana pendekatan positivistik) melainkan mengarah ke relevansi teoretis. Relevansi teoretis tersebut akan menyangkut karakteristik atau ciri-ciri relevan substantif bila yang sedang dirumuskan adalah teori substantif, demikian pula akan menyangkut ciri relevan formal, bila yang sedang dirumuskan adalah teori formal. Sampel pada penelitian grounded berbeda dasar pemikirannya dengan sampel pada positivistik-kuantitatif-statistik. Tujuan penelitian positivistik mengarah ke pengujian atau verifikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasar struktur populasi dan menjadi representasi populasi untuk pengujian teori atau hipotesis. Sedangkan tujuan penelitian grounded adalah untuk menemukan atau lebih tepat mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan konseptualisasi teoretik berdasar data-data yang berkelanjutan dapat lebih menajamkan rumusan teorinya berdasar data; sehingga pemilihan sampel pada penelitian grounded mengarah ke pemilihan kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama. Minimisasi perbedaan ciri utama pada pemilihan kelompok atau subkelompok akan mengokohkan konseptualisasi teori, sedangkan maksimisasi perbedaan ciri utama tetapi secara teoretis tetap diambil kelompok yang teoretis relevan, akan memperluas daerah atau tingkat keberlakuan teori yang ditemukan. Minimisasi perbedaan dapat membantu banyak untuk 60
perumusan teori substantif; sebaliknya maksimisasi perbedaan ciri kelompok dapat membantu perumusan teori formal. G&S tetap membuka peluang dan mengakui kegunaan bahan dokumen atau referensi berdasar data relevan sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi kerja penelitian. G. DARI TEORI SUBSTANTIF KE TEORI FORMAL Di muka G&S telah membedakan antara teori substantif dengan teori formal. Teori substantif memiliki jangkauan generalisasi pada suatu daerah substantif penelitian; sedangkan teori formal memiliki jangkauan generalisasi pada dimensi tertentu pada sejumlah daerah substantif. G&S melanjutkan telaahnya tentang mungkinnya menampilkan teori formal pada satu daerah kasus, tetapi tetap mencermati ciri-ciri kelompok/subkelompok pada dimensi tertentu. Telaah satuarea dengan cara berfikir G&S dapat menampilkan teori substantif, tetapi dapat juga dikembangkan menjadi teori formal. G&S juga memberi peluang mengembangkan teori substantif ke teori formal dengan menggunakan telaah komparatif, dengan menggunakan artikel-artikel, dan dengan menggunakan diskusi; memang dalam hal- demikian itu peneliti membangun teori formal tidak langsung atas data. Tetapi perlu disadari bahwa teori formal dengan dasar data yang minim akan menimbulkan banyak kesulitan. Teori formal yang lebih dianjurkan oleh G&S adalah teori formal multiarea. Ciri kelompok dimensi tertentu dan dikomparasikan antarmulti-area dapat menghasilkan teori formal, yang berguna untuk membuat prediksi, yang tak terikat waktu dan tempat. Hasil penelitian di Indonesia menyatakan bahwa di kota-kota besar penghasilan lulusan STM lebih kecil daripada lulusan SMA, sedangkan di kota-kota kecil penghasilan lulusan STM lebih besar daripada lulusan SMA. Hasil penelitian di Taiwan beberapa puluh tahun yang lalu, menyatakan bahwa lulusan sarjana muda memberi penghasilan lebih tinggi dari lulusan sarjana. Atau Pasca PD II gaji tukang di negeri Belanda lebih tinggi daripada gaji insinyur! Tesis-tesis substantif tersebut dapat dikembangkan menjadi tesis formal: misal penghasilan seseorang terkait langsung dengan tingkat kebutuhan dunia kerja. Dari hasil penelitiannya Hayman menyimpulkan di negara maju home background factors lebih berpengaruh pada prestasi belajar, sebaliknya di negara berkembang school background factors lebih berpengaruh. Itu merupakan contoh tesis formal, yang dapat dilacak tesis substantifnya, yang mungkin saja berupa tesis substantif bahwa pada keluarga terdidik home background lebih berpengaruh, dan pada keluarga kurang terdidik school background lebih berpengaruh, atau mungkin saja dikembangkan teori formal lain bahwa kadar intensitas hubungan menentukan pengaruh keberhasilan seseorang. Catatan: pada bagian terdahulu telah penulis kemukakan bahwa teori itu merupakan konstruksi pernyataan yang momot tesis, hipotesis, asumsi, postulat, dan juga pendapat. Teori yang lebih valid adalah tebri yang lebih banyak momot tesis tetap tidak berubahah. Karena model grounded menuntut teori substantif berdasar data, maka hubungan phrase teori dan phrase tesis terletak pada momotnya data secara penuh pada tesis substantif, dengan kata lain tesis substantif yang momot data penuh dapat disebut teori substantif. Demi kehati-hatian, sejumlah ahli sosiologi menghindar untuk membuat teori formal grounded secara langsung. Melalui pmbentukan teori substantif satu kasus (single case), dikembangkan ke teori substantif multikasus (multi case), barulah mengembangkannya menjadi teori formal satu area (single site) ke teori formal multi area (multi site). Term kasus (case) menampilkan integritas substansi populasi; term area (site) menampilkan integritas dimensional. Analisis substantif satu kasus ataupun multi-kasus, akan menghasilkan kesimpulan pada mother population; sedangkan analisis satu area ataupun multiarea akan menghasilkan kesimpulan pada parent populationnya. Contoh disertasi yang multicase dan multisite dengan judul yang mirip tetapi dengan teknik analisis kualitatif yang berbeda adalah disertasi Dr. Ridlwan Nasir yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan. Studi di Pondok-Pondok Pesantren Kabupaten Jombang 61
Jawa Timur (1996) yang menggunakan teknik multicase, dibandingkan disertasi Dr. Mastuhu tentang Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (1994) yang menggunakan teknik multisite. Kemiripan judul terpaksa harus dipertanggungjawabkan oleh Dr. Ridlwan Nasir atas kenyataan bahwa disertasi Mastuhu telah diujikan di IPB Bogor tahun 1989 dan dipublikasikan tahun 1994; sedangkan disertasi Rid1wan Nasir memang telah mulai disusun pada tahun 1988 dan baru diujikan tahun 1995/ 1996 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. H. PERAN PEMIKIRAN BERKELANJUTAN DAN PERAN PENGALAMAN ORANG LAIN Peran pengalaman orang lain atau pengalaman sendiri di masa lampau dapat saja direfleksikan sebagai pengganti observasi sendiri sebagai peneliti. Dengan modal pengetahuan dasar metodologi time sampling dan behavior sampling penulis sebagai guru mengadakan pengamatan perbandingan terhadap kepemimpinan dua Kepala Sekolah. Pada studi lanjutnya, penulis menggunakan data pengamatan untuk menyusun tesis penulis. Tentu saja menggunakan pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain (dari hasil wawancara atau dari pembacaan karangan di media massa) tidak dapat menjadi data dasar untuk membangun teori kalau tidak ada kerangka pemikirannya. Apakah berarti kerangka pemikiran harus ada dahulu? Bila demikian bukan grounded. Penulis selalu saja mengamati kepemimpinan anak-anak pandunya, menghayati sendiri tentang diri sendiri, dan mencoba terus mencari dan mengaitkan dengan beragam teori kepemimpinan. Skripsi penulis tentang Group Work, menampilkan teori kepemimpinan kelompok informal; tesis penulis tentang Personnel Management menguji teori kepemimpinan di lembaga kerja. Disertasi penulis tentang Opinion Leader membangun teori integratif kepemimpinan di masyarakat. Kerangka pemikiran tidak berarti membuat kerangka fikir apriori, melainkan kerangka fikir yang dibangun secara reflektif berpangkal pada pengalaman sendiri (atau orang lain) yang dihayati, dicari esensinya, dicari maknanya, dan dikembangkan terus pemikirannya yang diperkaya dengan teori-teori lain. Ketnampuan keilmuan kita akan cepat memperkaya khasanah ilmu bila kita lincah sekaligus cermat dan kritis mengembangkan teori substantif menjadi teori substantif lain karena tambahan pengalaman, karena beda konteks, dan lebih jauh lagi mengembangkannya menjadi teori formal. Apakah dari teori formal dapat dibangun menjadi grand theory ? Penulis berupaya terus melacak jalan berfikir Glaser & Strauss. Pada sisi lain, apakah teori substantif dari G&S yang esensialis dapat dikembangkan menjadi teori instrumentalis? Penulis juga terus melacaknya.
62
II. MODEL ETHNOGRAPHIK-ETHNOMETODOLOGIK A. ETHNOGRAPHI DAN ETHONOMETODOLOGI Ethnographi merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak, terkait dengan anthropologi, yang mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek studi. Lebih jauh ethonographik telah diperkembangkan menjadi salah satu model penelitian ilmu-ilmu sosial yang menggunakan landasan filsafat phenomenologi. Studi ethnographik merupakan salah satu deskripsi tentang cara mereka berpikir, hidup, berperilaku; kalau subyek studi kita anak-anak TK, maka kita peneliti berupaya menghayati dan mendeskripsikan bagaimana anak TK menghayati interaksi di TK, bagaimana persepsi mereka (bukan persepsi berdasar angan kita yang dewasa). Ethnographi bukan deskripsi kehidupan masyarakat kita dalam beragam situasinya, sebagaimana adanya: dalam kehidupan kesehariannya, cara mereka memandang kehidupan kesehariannya, cara mereka memandang kehidupan, perilakunya, dan semacamnya Ethnomethodologi merupakan metodologi penelitian yang mempelajari bagaimana perilaku sosial dapat dideskripsikan sebagaimana adanya. Istilah ethnomethodologi dikemukakan oleh Harold Garfinkel. Ethnomethodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tatahidup mereka sendiri. Agar dapat dibuat laporan ethonographik perlu dipelajari metodologinya, yaitu e thnomethodologi. Model-model penelitian lain yang serumpun (yaitu yang sama-sama kualitatif dengan pendekatan phenomenologik) adalah: model grounded research dengan tokoh utamanya Glaser & Strauss, model paradigma naturalistik dengan tokoh utamanya Guba dan Lincoln, dan model interaksi simbolik dengan tokoh utamanya Blumer dan Kuhn. Ketiga model tersebut bersama model ethnographik-ethnometodologik merupakan sampel utama perkembangan metodologi penelitian kualitatif. B. MODUS ASUMSI DAN SAMPEL PENELITIAN ETHNOGRAPHIK Konseptualisasi metodologik model peneliti ethnographik dapat dikerangkakan menjadi empat dimensi, yaitu: a) induksi-deduksi, b) generatif-verifikatif, c) konstruktif-enumeratif, dan d) subyektif-obyektif Penelitian ethnographik lebih cenderung mengarah ke kutub induktif, generatif, konstruktif, dan subyektif. Dimensi induktif-deduktif menunjuk kedudukan teori dalam studi penelitian; penelitian deduktif berharap data emperik dapat mendukung teori; sedangkan penelitian induktif berharap dapat menemukan teori yang dapat menjelaskan datanya. Dimensi generatif-verifikatif menunjuk kedudukan evidensi dalam studi penelitian; penelitian verifikatif berupaya mencari evidensi agar hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas, dapat diperlakukan universal; sedang penelitian generatif lebih mengarah ke penemuan konstruksi dan proposisi dengan menggunakan data sebagai evidensi. Dimensi konstruktif-enumeratif menunjukkan seberapajauh unit analisis suatu penelitian dirumuskan atau dijabarkan. Dalam penelitian dengan strategi konstruktif mengarahkan penelitiannya untuk menemukan konstruksi atau kategori lewat analisis dan proses mengabstraksi; sedangkan strategi enumeratif dimulai dengan menjabarkan atau merumuskan unit analisis. Desain penelitian dapat pula dilihat pada dimensi kontinum antara, subyektif dengan obyektif. Yang dimaksud dengan subyektif di sini adalah: merekonstruksi penafsiran dan pemaknaan hasil penelitian berdasar konseptualisasi masyarakat yang kita jadikan obyek studi kita; sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan obyektif adalah penerapan kategori konseptual dan tatarelasi yang telah didesain pada obyek penelitian kita. (Bandingkan dengan Guba yang menghindar dari penggunaan istilah subyektif-obyektif yang dianggapnya sudah
63
mempunyai konotasi lain tertentu, yaitu: yang subyektif itu yang pribadi, yang memihak; dan yang obyektif itu yang publik, tak memihak dan universal). Mishler mengemukakan bahwa ethnographi menekankan antara lain pada: digunakannya metoda kualitatif dan analisis holistik. Goetz dan LeCompte dalam bukunya Ethnograpy and Qualitative Design (1984) mengemukakan bahwa ahli ilmu sosial yang menggunakan model penelitian manapun, dalam hal ini penulis fokuskan maksud Goetz dan Le Compte pada, studi ethnographik, menekankan pembentukan teori berdasar data emperik, atau teori yang dikonstruksi di lapangan, sedangkan studi positivistik dan juga rasionalistik menggunakan teori yang disusun dari penelitian lain sebagai dasar penelitian baru. Studi ethnographik menetapkan sampel atas prinsip pragmatik atau teoretik (atau purposive menurut istilah Guba), bukan atas prinsip acak berdasarkan probabilitas. Tujuan pengambilan sampel tersebut dimaksudkan agar hasil penelitian memiliki komparabilitas (dapat diperbandingkan) dan transabilitas (dapat diterjemahkan) pada kasus-kasus hasil penelitian lainnya. Adanya kesamaan tertentu, misal: satuan sosialnya, metodanya, analisisnya, dan lain-lain dapat membantu kita untuk membuat perbandingan atau menerjemahkannya dalam konteks lain tetapi mirip. Mungkin kedua, istilah tersebut dekat dengan transferabilitas dalam istilah Guba. Peneliti ethnographik dituntut Untuk memahami secara mendalam konteks yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya. Peneliti ethnographik dianjurkan untuk mengkonstruksi konsepnya berdasar proses induktif atas emperi, dikonstruksi sesuatu sesuai dengan cara memandang atau pola, perilaku masayarakat yang menjadi obyek penelitiannya, bukan dikonstruksikan menurut teori peneliti itu sendiri. Peneliti ethnographik berupaya memasuki kawasan tak dikenalnya tanpa membuat generalisasi berdasatkan pengalamannya sendiri. Peneliti ethnographik mempelajari phenomena sebagai kejadian wajarnya; berbeda dengan penelitian eksperimental ataupun quasi eksperimental yang menguji hubungan akibat dari perlakuan khusus: diberi motivasi, ditingkatkan gizinya, diberi pelajaran, dan lain-lain. Studi ethnographik menekankan tentang peran timbal-balik antara sejumlah variabel yang berada dalam situasi wajar dan dalam konteks yang tidak dimanipulasikan. Prosedur kerja dalam pengumpulan data dan analisis ethnographi bersifat eklektik; menggunakan banyak teknik pengumpulan data yang fungsinya dapat dipakai untuk uji-silang antardata. Ethnographi menyebutnya bukan membuat konvergensi metodologik, melainkan membuat triangulasi: dari dua titik kutub dua metoda dicari alternatif terbaik metodologik. Kegandaan sumber data dan cara untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi merupakan ciri khas studi ethnographik. Dalam upaya menjangkau komparabilitas dan transabilitas studi ethnographik memilih pragmatik atau teoretik atau purposive sampling. Para ahli ethnographi lebih suka menggunakan istilah creation-based selection bagi penetapan sampel, menggantikan istilah purposive sampling, karena sampel acakpun tetap purposive. Seleksi berdasar kriteria merupakan proses memilih unit-unit data yang memiliki sejumlah keragaman. Goetz dan LeCompte mengetengahkan lima cara seleksi berdasar kriteria, yaitu: a) seleksi sederhana, b) seleksi komprehensif, c) seleksi kuota, d) seleksi menggunakan jaringan, dan e) seleksi berdasar perbandingan antarkasus. Seleksi sederhana menggunakan kriteria tunggal. Seleksi komprehensif dalam penetapan sampel berlandaskan pada kasus, tahap dan unsur reievan. Seleksi berdasar kuota biasadigunakan untuk populasi besar. Sebagai contoh misal : pertama-tama mengidentifikasi subgrup yang relevan, (misal : profesional, manajerial, teknisi, dan pekerja; pendidikan umum, pendidikan kejuruan) dilanjutkan dengan pengelompokan lebih kecil (misal: yang bekerjadi industri pengolahan, konstruksi, transportasi, listrik dan energi, dan pertambangan; kelas 1, 2, dan 3; kelompok ethnik). Masing-masing ditetapkan jumlahnya sebagai sampel. Seleksi menggunakan jaringan menetapkan sampelnya berdasar informasi dari warga masyarakat obyek penelitian. Pembandingan antarkasus: yang 64
ekstrim, yang khas, yang teladan, yang ideal, atau dasar lain yang dapat untuk dasar perbandingan. C. KONSEPTUALISASI TEORI LEBIH IMPLISIT Beberapa penulis studi ethnographik memang menulis tentang konseptualisasi teori, tetapi pada umumnya jarang yang menuntut eksplisitasi teori, karena memang tidak sesuai dengan watak dasar penelitian ethnographik yang membekalkan sikap untuk tidak membawa prakonsepsi lain daripada yang diperoleh di dalam konteks obyek penelitian yang sedang akan ditelitinya. Masukilah kawasan tak dikenal tanpa membawa konsep generalisasi berdasar pengalaman sendiri. Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa peneliti ethnograhik secara tidak sadar atau setidak-tidaknya secara implisit mempunyai perkerangkaan tertentu sebelum terjun kelapangan dan akan menjadi eksplisit dalam sistematisasi penulisan laporan penelitiannya. Beberapa penulis studi ethnographik memang membahas konseptualisasi teori, yang padagaris besarnya para ahli tersebut mengelompokkannya secara hierarkik menjadi: 1) grand theory (termasuk mode 1-modeinya), 2) teori-teori formal, dan 3) teori substantif lebih rinci tentang teori-teori tersebut telah dibahas pada model grounded research. Eksplisilasi teori penelitian dilakukan di lapangan, pada waktu mengembangkan desain, menetapkan sampel, analisis data, dan pemaknaan hasil temuan. Sesuai dengan sifat penelitian ethnographik yang lebih idiographik daripada nomothetik, teori yang banyak dieksplisitkan adalah teori jenjang ketiga, yaitu teori substantif Dalam sosiologi teori substantif dicontohkan oleh Smith dan Geoffrey (1968) seperti keluarga, kenakalan remaja, sosialisasi pria-wanita, atau hubungan artaretnik. Dalam antropologi dicontohkan seperti masyarakat petani, organisasi kekerabatan, masyarakat kota, kepercayaan rakyat, atau kolonialisme. Sedangkan grand-theory termasuk model yang dipilih sering lebih implisit atau malahan tak disadari. Grand-theory/model tersebut seperti: fungsionalisme struktural, interaksionisme simbolik, teori pertukaran sosial, teori konflik, teori evolusi, teori psikodinamik, rekonstruksi sejarah, behaviorisme, teori Keynesian. Dalam penyusunan skripsi S1 atau tesis S2 penulis belum menuntut konsistensi penggunaan grand-theory ataupun model teorinya, tetapi penulis sudah menuntut koherensinya dengan sesuatu grand-theory atau model teori bagi penulisan disertasi S3. D. DESAIN PENELITIAN ETHNOGRAPHIK Penelitian ethnographik termasuk penelitian kualitatif yang memerlukan partisipasi cukup lama bagi peneliti di lapangan; waktu yang diperlukan sekitar 6 bulan sampai 3 tahun. Bogdan menyarankan setidak-tidaknya empat dasar untuk memilih obyek studi. Pertama, jadilah praktisi, artinya: tidak terlalu luas dan tak terlalu kompleks, sesuai dengan tingkat kemampuan Anda, lokasinya memungkinkan dan menarik (ingat selama berbulan atau bertahun Anda harus berada di atau pulang-balik ke situ). Kedua, pilihlah tempat di mana Anda agak asing. Mengapa? Untuk studi pertama (sebelum menjadi berpengalaman) Anda sulit memilahkan atau mengambil jarak Anda sebagai peneliti dengan Anda sebagai warga, bila Anda memilih tempat di mana Anda tinggal atau bekerja. Ketiga, jangan terlalu berpegang kaku pada rencana Anda, karena kurangnya pengalaman Anda, rencana Anda mungkin kurang tepat merumuskannya. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, ada baiknya Anda mengadakan penjajagan dahulu di lapangan. Keempat, sejumlah topik sulit untuk dijadikan obyek penelitian. Meskipun Anda, tertarik, topik tertentu seperti spesifikasi anggaran dan belanja instansi, kebijakan personalia, dan semacamnya sulit untuk dapat menembus tembok kerahasiaan yang banyak dipasang oleh yang berkepentingan. Penelitian ethnographik mengenal dua macam desain penelitian, yaitu: desain studi kasus dan desain multiple site and subject studies. 65
Studi kasus merupakan pengujian yang mendalam dan merinci dari satu konteks, dari satu subyek, dari satu kumpulan dokumen, atau dari satu kejadian khusus. Ada sejumlah tipe kasus dalam penelitian kualitatif, yaitu: studi kasus tentang sejarah perkembangan organisasi (diadakan pelacakan perkembangan organisasi yang telah berumur 75 tahun, misalnya; studi kasus observasi: dengan teknik observasi partisipan selama berbulan-bertahun diungkap institusi sosial masyarakat; studi kasus berupa hasil interview sejarah hidup atau biographi seseorang, bila yang dipilih orang besar hal tersebut dipakai untuk menjelaskan peristiwa sejarah; bila dipilih orang kebanyakan hal itu dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana pemikiran orang kebanyakan dalam perkembangan sejarah. Umumnya orang berpendapat studi kasus itu hanyalah studi deskriptif saja. Meskipun cenderung deskriptif, ada ragam tujuan dan bentuk yang dapat dipilih, apakah inau menampilkan yang teoretik, yang abstrak, ataukah yang sangat konkret operasional. Bila peneliti menggunakan dua atau tiga subyek atau kasus disebut multi case studies. Tujuannya tetap deskriptif, paling jauh komparatif. Dalam penelitian kualitatif ada desain lain, yaitu multiple site studies. Logika yang digunakan untuk desain ini berbeda dari multi case studies, orientasinya lebih diarahkan ke pengembangan teori, dan biasanya memerlukan banyak lokasi dan subyek daripada hanya dua atau tiga. Untuk mengerjakan multiple site studies lebih dituntut pengalaman berfikir teoretik dan kecakapan menghimpun data untuk mendukung konsepnya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, dua diantaranya akan kami sajikan di sini, yaitu: induksi analitik dan qonstant comparative method. lnduksi analitik merupakan suatu pendekatan untuk mengumpulkan dan menganalisis data baik untuk mengembangkan maupun untuk menguji teori. Apa yang disajikan oleh Bogdan mengenai induksi analitik (1982) berbeda dari yang digunakan oleh Znanecki, 934; Lindesmith, 1947; atau Cressey, 1950. Induksi analitik yang kami sajikan berikut adalah yang disebut oleh Bogdan sebagai induksi analitik yang dimodifikasi. Induksi analitik ini bertolak dari problem atau pertanyaan atau isu spesifik yang dijadikan fokus penelitian. Data dikumpulkan dan dianalisis untuk mengembangkan model deskriptif penelitiannya. Data dikumpulkan dengan wawancara bebas; dan dapat pula digunakan lewat observasi partisipan ataupun analisis dokumentasi. Blase (1980) mendeskripsikan bagaimana Jonah Glenn mengadakan penelitian dengan pendekatan induksi analitik dengan fokus masalahnya efektivitas guru. Dia mulai dengan mengadakan wawancara pada satu guru yang oleh banyak kolega disebut sebagai guru yang efektif. Dari wawancara bebas dan diskusi dengan guru tersebut Jonah Glenn membangun konsep teoretik tentang guru yang efektif. Guru tersebut dibiarkan bercerita tentang suka-dukanya menjadi guru, tentang kariernya, bagaimana dia berfikir tentang tugasnya sebagai guru dari waktu ke waktu, dan tentang efektivitas seorang guru menurut persepsinya. Dari ceritanya terdeskripsikan tentang salah persepsi dia dahulu, tentang rencananya sebagai guru, tentang hubungannya dengan siswanya, tentang suasana hubungan dengan kolega, guru, dengan masyarakat, dan angan guru yang ideal. Dari wawancara tersebut peneliti mengonsepkan teori tentang guru yang efektif. Konsep tersebut terus diperkembangkan melalui wawancaranya dengan sejumlah guru-guru berikutnya. Sejumlah wawancara dilakukan pada guru-guru yang diperkirakan mempersepsikan lain, tentang guru yang efektif. Dari sejumlah wawancara tersebut peneliti menduga, bila yang diwawancarai guru-guru pendatang dari daerah lain, mungkin persepsi tentang guru yang efektif berbeda. Bertolak dari dugaannya itu, Jonah Glenn lebih lanjut mewawancarai guru-guru pendatang dari daerah lain. Kesimpulan akhir dari penelitian Jonah Glenn mengetengahkan teori tentang guru yang efektif. Studi hipotetik seperti itu tidak akan dapat setepat yang dideskripsikan. Mungkin sekali yang diwawancarai terbatas pada guru-guru di suatu sekolah, sehingga teori efektivitas guru hanya diperkembangkan berdasar hasil studi pada satu sekolah saja. 66
Dari deskripsi tersebut jelas bahwa bukan hanya teorinya saja yang diperkembangkan di lapangan, melainkan juga problem, pertanyaan, atau masalahnya dapat dirumuskan kembali, mungkin meluas, mungkin menyempit; terjadi perubahan atau pergeseran fokus atau aksentuasi. Prosedur penelitian ethnometodologik memang berbicara tentang ragam subyek atau ragam lain, tetapi tidak berbicara tentang proporsi. Metoda pengambilan sampel pada pendekatan induksi analitik adalah purposeful sampling. Kita memilih seseorang subyek, bukan menimbang tentang proporsi yang representatif, melainkan menimbang bahwa subyek tersebut akan menyumbang dalam pengembangan teori. Pendekatan kedua bagi multisite studies adalah metoda komparasi konstan. Semua studi kualitatif phenomenologik mendesain pengumpulan data dan analisis menyatu, seperti yang telah kita deskripsikan pada pendekatan induksi analitik: konsep teori dibangun dari data yang dianalisis, diperkembangkan lagi berdasar data dan analisis baru, dan seterusnya. Pendekatan dengan metoda komparatif konstan berbeda. dalam beberapa hal dari pendekatan induksi analitik. Pendekatan metoda komparatif konstan dipakai oleh Mary Schriver. Prosesnya sebagai berikut. Mary ingin mempelajari tentang guru. Apanya, belum tahu. Tetapi Mary memperoleh izin untuk meneliti tentang guru itu. Mary belum tahu apa yang akan ditelitinya. Dia mulai dengan hadir pada ruang guru. Pada hari pertama dia peroleh kesan: semua berbicara tentang orang lain, tentang siswanya, tentang kolega guru, dan tentang pegawai. Pada hari kedua, dari observasinya diperoleh kesan bahwa mereka mempergunjingkan orang, membuat desas-desus. Pada hari ketiga dia berpindah mengobservasi di ruang lain, dan diperoleh kesan bahwa desas-desus itu hanya salah satu tipe, ada tipe lain. Pembicaraan guru nampak beragam: isinya, intensitasnya. Sebagian menampilkan pembicaraan antara teman dekat, beberapa bicara berita buruk, ada pula yang bicara berita baik saja. Mary terus berupaya untuk memperluas dimensi dari teorinya tentang semua orang bicara. Cara kerja Mary tersebut dapat dikerjakan oleh siapapun yang hendak menggunakan pendekatan komparatif konstan; dan proses mencari pada konteks lain dapat dikeriakan terus tanpa hatas, sampai peneliti yang bersangkutan memandang cukup bagi konseptualisasi teori yang diharapkannya. TAMBAHIAN: Untuk keperluan formal tertentu, seperti untuk memperoleh persetujuan pembimbing, izin, atau pembiayaan, kita diminta membuat usulan penelitian. Usulan penelitian dengan desain kuantitatif (dalam arti bertolak dari konsep teoretik/hasil penelitian terdahulu), persiapan penelitian yang lebih memerinci, orang akan lebih mudah memberikan evaluasi apakah usulan penelitian itu. akan dapat menghasilkan penelitian yang berbobot atau tidak. Tetapi untuk desain penelitian kualitatif (dalam arti menolak prakonsep sebelum terjun ke lapangan) orang memang sulit untuk mengevaluasi usulan sebagai bakal baik atau tidak. Untuk itu ada dua alternatif yang disodorkan Bogdan. Pertama, sebelum menulis usulan terjun ke lapangan untuk sesaat, dan membuat ulasan atas data yang terkumpul, agar dapat dijadikan kualitas penelitiannya. Kedua, dibuat usulan atas dasar basil telaah pustaka, untuk menunjukkan bahwa Anda mempunyai perhatian yang mendalam dan mengenal benar mengenai apa yang hendak Anda teliti. Meskipun hasil telaah pustaka itu tidak semestinya dipakai untuk konseptualisasi teoretik, tetapi mempunyai nilai komparabilitas atau transferabilitas. Penelitian kualitatif ethnographik pada umumnya dilaksanakan oleh pelaku tunggal (lone ranger); meskipun pada waktu ini sudah mulai muncul penelitian ethnographik yang dilaksanakan oleh tim terdiri atas tiga atau empat Orang. E. DATA KUALITATIF Dalam penelitian dengan pendekatan manapun dibedakan antara emperi dengan data. Emperi yang relevan dengan obyek penelitian dan dikumpulkan oleh peneliti disebut data. Manusia dalam kewajarannya pun tidak berupaya untuk menangkap semua emperi, terjadi proses 67
selektif. Seseorang yang memperhatikan kombinasi warna, pada saat jalan-jalanpun memperhatikan kombinasi warna yang dipakai orang; dan tidak memperbatikan hal lain. Kalau Anda ke toko sepatu jangan pakai sepatu butut, karena yang diperhatikan pramuniaganya hanyalah sepatu Anda; kalau Anda ke t-shirt section jangan Anda pakai kaos butut, pramuniaganya tak akan memperhatikan yang lain, kecuali kaos yang Anda pakai. Setiap kita memang cenderung selektif dalam mengamati emperi. Sesudah kita mengadakan observasi atau wawancara, kita perlu membuat catatan. Catatan itu mempunyai peran sentral dalam perekaman observasi partisipan ataupun dalam wawancara. Kapan kita membuat catatan? Cari peluang terdekat antara ingatan masih segar dengan sedang tidak bersama subyek responden. Peran kecepatan dan mendeskripsikan secara jelas penting pula. Bogdan membedakan catatan menjadi dua, yaitu yang deskriptif dan yang reflektif Catatan deskriptif lebih menyajikan rinci kejadian daripada ringkasan, dan bukan evaluasi. Mengutip pernyataan orang, bukan meringkaskan apa yang dikatakan itu merupakan catatan yang lebih baik, sebagai catatan deskriptif. Deskripsi itu dapat disajikan pada dimensi-dimensi berikut. Pertama, dideskripsikan tampilan phisiknya; kedua, dialog direkonstruksi sehingga situasi interaktifnya menjadi kebih wajar; ketiga, dideskripsikan lingkungan phisiknya; keempat, disajikan kejadian-kejadian khusus; kelima, lukisan aktivitas secara merinci; dan keenam, bagaimanapun peneliti adalah bagian dari penelitian itu, sehingga perilaku, fikiran, dan perasaan peneliti perlu pula dideskripsikan. Catatan yang reflektif lebih mengetengahkan kerangka fikiran, idee, dan perhatian dari peneliti. Lebih menampilkan komentar peneliti. Catatan reflektif berisi materi-materi seperti: pertama, menghubungkan berbagai data, menambahkan. idee, pemikiran, dan menampilkan kerangka fikir (oleh Glaser dan Strauss disebut memo analitik); kedua, refleksi tentang metoda. Pusat perhatian dalam hal ini adalah masalah metodologik: menelaah desain, metoda, dan prosedur lainnya; ketiga, refleksi tentang konflik dan dilema etik. Ada kemungkinan besar terjadi beda nilai dari konteks budaya yang diteliti dengan yang meneliti, sehingga kemampuan membuat refleksi yang menyimpang dapat terjadi; keempat, retleksi kerangka fikir peneliti. Meskipun tidak dimaksudkan dalam penelitian ethnographik membawa prakonsep peneliti, tetapi bagaimano.pun sulit untuk dihindari. Hal tersebut perlu disadari dan dieliminasikan seoptimal mungkin; dan kelima, disajikan butir-butir hal yang dapat memperjelas hal yang mungkin rancu. Mencatat segera sebelum berdiskusi dengan orang lain (maksudnya: peneliti lain) penting. Mencatat kata-kata kunci atau membuat diagram kasar yang tidak mengganggu proses interaksi dapat saja dilakukan. Bila kita menggunakan tape recorder untuk wawancara, mungkin membantu mengubahnya menjadi catatan tertulis. Subyek responden ada yang terganggu dengan perekaman, sehingga mungkin untuk subyek seperti itu jangan menggunakan alat perekam. Metodologi phenomenologik pada dasarnya hanya mengenal dua metoda pengumpulan data, yaitu observasi parsitisipan dan wawancara bebas. Bogdan menambahkan dokumen sebagai kata-kata tertulis dari responden dapat pula digunakan. Dokumen dibedakan oleh Bogdan antara yang pribadi dengan yang formal. Dokumen pribadi mencakup: buku harian, surat pribadi, dan otobiographi. Sedangkan dokumen formaldibedakan menjadi: dokumen untuk keperluan komunikasi eksternal, foto, data statistik, dan benda-benda (yang dalam antropologi disebut sebagai produk budaya materiil). F. HUBUNGAN PENELITI Dalam penelitian dengan metodologi ini menuntut terciptanya hubungan yang lebih akrab, lebih wajar, dan tumbuh kepercayaan bahwa peneliti tidak akan menggunakan hasil penelitiannya untuk maksud yang salah atau merugikan mereka. Berupaya agar dapat diterima penuh, bukan tujuan akhir melainkan awal dari keberhasilan peneliti ethnometodologik, demikian Geertz). 68
Untuk mencipta hubungan akrab perlu dimulai dengan upaya agar dapat diterima; untuk itu perlu memperoleh izin. Izin tersebut diharapkan datang dari yang berwenang atau berpengaruh dari satuan masyarakat yang dijadikan obyek penelitian. Dalam struktur masyarakat yang mempunyai struktur hierarki sentral, izin formal dari atas perlu, tetapi izin aktual-fungsional dari tokoh masyarakat yang bersangkutan penting sebagai landasan tumbuhnya hubungan akrab tanpa curiga dari satuan masyarakatnya. Sesudah dapat izin dari tokoh masyarakat, penelitiannya dapat saja dilakukan secara terbuka, tetapi dapat pula secara tersamar. Secara tersamar, peneliti dapat memerankan diri sebagai perangkat desa, sebagai pegawai administrasi, sebagai mahasiswa, atau peran lain yang tersamar. Untuk memperoleh izin dari tokoh masyarakat untuk desa, pimpinan formal lembaga kerja, atau lainnya memerlukan siasat. Tiga pesan singkat diberikan oleh Bogdan, yaitu: telaten, luwes, dan kreatif Hari-hari pertama menjadi penting bagi penelitian ethnometodologik. Bogdan mengetengahkan lima saran: ada yang mengenalkan Anda (sebaiknya oleh tokoh masyarakatnya); pada hari-hari pertama, kunjungannya yang singkat, jangan terlalu lama; berupaya untuk pasif, dan berupayalah untuk mengakrab. Dalam observasi partisipan hubungan peneliti dengan yang diobservasi berada di antara kutub observasi murni dengan kutub terlibat penuh. Hal itu perlu disadari, agar tidak berkembang menjadi partisipasi penuh, atau dalam istilah antropologi going native, menjadi pribumi. Dalam keadaan yang terakhr itu, peneliti dapat menjadi kabur tentang fokus penelitiannya; dan dapat bergeser menjadi tidak tepat. Peneliti ethnometodologik penting sekali mampu menginternalkan tujuan penelitian pada saat mengumpulkan data, agar analisis yang dibuatnya di lapangan dapat tepat. Wawancara merupakan metoda kedua dalam penelitian ethnometodologik, juga bagi penelitian dengan pendekatan phenomenologik pada umumnya. Wawancara dapat difungsikan dalam dua cara: pertama, sebagai metoda utama pcnelitian, dan kedua, sebagai pelengkap dari metoda observasi. Mulailah wawancara dengan omong-omong biasa, untuk mencari dasar wawancara selanjutnya. Ada dua. cara untuk menstrukturkan hasil penelitian. Pertama, berpegang pada fokus tertentu dalam wawancara; kedua, wawancara dipandu oleh beberapa pertanyaan, demikian Merton dan Kendall. G. ANALISIS DATA Analisis data.merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (meaning). Hal mencari makna akan dijelaskan pada akhir subbab ini. Bogdan membedakan analisis selama di lapangan dan analisis sesudah meninggalkan lapangan. Langkah-langkah analisis selama di lapangan disebutkan oleh Bogdan antara lain: pertama, usahakan mempersempit fokus studi. Mempersempit fokus tidak sama dengan menspesifikkan obyek studi. Yang pertama berfikir holistik (ingat phenomenologik), yang kedua berfikir parsial (ingat positivistik). Dengan mempersempit fokus, peneliti dapat lebih mempersempit skopa data yang dikumpulkan. Kedua, tetapkan tipe studi Anda. Mungkin pembaca dapat mencari idee tentang penetapan tipe studi dengan menelaah klaster tatafikir logik di bagian kedua, terutama klaster A, B, dan C. Sejumlah obyek studi akan secara otomatis menerapkan tipe tertentu, misal: telaah sejarah dengan sendirinya mengarah ke, tipe historik, lelaah taksonomi tumbuhan dengan sendirinya mengarah ke tipe sistematik, telaah perkem bangan anak dengan sendirinya mengarah ke tipe genetik. Beberapa peneliti mungkin sekali menempuh cara eklektik, dengan menggabungkan sejumlah tipe atas sejumlah alasan. Langkah ketiga yang disarankan oleh Bogdan adalah mengembangkan secara terus menerus pertanyaan analitik. Selama di lapangan peneliti bertanya, mencari jawab, dan menganalisisnya, selanjutnya 69
mengembangkan pertanyaan, baru untuk memperoleh jawaban, begitu dilakukan terus menerus (baca tentang induksi analitik dan komparatif konstan) maka penelitian itu dapat mengarah ke penyusunan grounded theory. Bila analisis itu dilakukan dengan mengaitkan temuan substantif peneliti dengan issues teoretik, temuan peneliti akan menjadi lebih berharga. Langkah keempat lain yang disarankan Bogdan adalah: tuliskan komentar peneliti sendiri (di depan kami sebut sebagai catatan reflektif). Komentar peneliti tersebut secara bertahap berkembang perlu pula diringkaskan, mengarah ke kepentingan tesebut pada langkah ketiga. Cakupannya dapat menyangkut: hal-hal substantif, metodologik, dan teoretik. Langkah kelima yang tidak kalah pentingnya adalah upaya penjajagan idee dan tema penelitian pada subyek responden sebagai analisis penjajagan. Langkah ini tentu saja harus dilakukan pada tahap-tahap awal penelitian. Tentu saja perlu dipilih subyek memang suka membantu. Langkah keenam adalah membaca kembali kepustakaan yang relevan selama di lapangan. Cara ini membantu untuk mengembangkan idee penulisan, tetapi perlu disadari bahayanya; peneliti dapat terpengaruh pada idee, konsep, atau model yang dipakai penulis buku yang bersangkutan. Langkah ketujuh yang disarankan oleh Bogdan adalah: gunakan metaphora, analogi dan konsep-konsep. Pada awal subbab ini telah kami kemukakan bahwa analisis data perlu dilanjutkan dengan mencari pemaknaan. Glaser mengatakan :.findings are soon forgotten, but not ideas. Sehingga kitajangan terjebak ke pengumpulan sampah tetapi berupaya membangun idee; memang idee perlu berlandaskan data. Data bukan tujuan, melainkan alat untuk memperjelas fikiran kita dan mencari generalisasi idee kita, demikian Wright Mills. Cara membangun idee tersebut dapat ditempuh dengan ragam alternatif yang penulis sajikan di Tata Fikir Logik di Bagian Kedua buku ini. Agar data dan idee yang terhimpun tidak menggunung, perlu diberi peluang untuk mengungkap sebagian. Ada dua cara yang disarankan Glaser, yaitu: membicarakan sejumlah idee dengan kolega atau membuat komentar tertulis. Cara pertama mungkin dapat menimbulkan bias, tetapi mungkin pula tepat bagi peneliti yang sering terjebak ke pemikiran konvergen. Cara kedua sebaliknya menjadi tidak tepat bagi yang pemikirannya cenderung konvergen dan kurang kreatif, tetapi dapat memurnikan konseptualisasinya bagi yang kuat kemampuan dalam membangun konsep. Analisis sesudah meninggalkan lapangan ada baiknya dimulai dengan mengambil istirahat beberapa lama; dan siap kembali bekerja dengan fikiran yang segar. Ada dua langkah awal sebelum kita. sampai ke proses penulisan laporan penelitian. Pertama, membuat kategorisasi masalah/temuan dan menyusun kodenya. Kategori tersebut tentunya menggunakan pola fikir tertentu (lihat alternatifnya pada tatafikir logik klaster A, B, dan C). Kedua, menata sekuensi atau urutan penelaahannya. Tatafikir logik klaster H sampai dengan L dapat dipakai untuk mencari alternatif cara penelaahannya. TAMBAHAN: Struktur tulisan nonfiksi untuk laporan penelitian ethnographik terdiri atas: pendahuluan, pokok isi, dan kesimpulan atau penutup. Dalam pendahuluan termasuk: latar belakang, kedudukannya terhadap penelitian lain, dan desain penelitiannya. Dalam tulisan gaya jurnalistik, hal terakhir memang tidak biasa ditampilkan. Pokok Isi menjadi semakin beragam, dan dapat terdiri atas banyak bab. Pola sajiannya dapat dipilih dari ragam alternatif tatafikir logik tersebut di Bagian Kedua, khususnya klaster A s.d. C dan H s.d. L. Kesimpulan atau Penutup mencakup: ringkasan analisis beserta kesimpulannya, pemaknaan lebih dalam, kemungkinan implikasi atau ekstensifikasi bagi penelitian lain. Perlu dicatat di sini bahwa penelitian ethnographik cenderung ke idiographik daripada nomothetik. Keberlakuan pada kasus lain lebih bersifat komparabilitas atau translabilitas, demikian Bogdan. Kembali ke masalah analisis. Pada positivisme dikenal validitas dan reabilitas;. pada model paradigma naturalistik konsep keduanya diganti dengan kredibilitas. Pada ethnometodologi digunakan dua konsep yang penulis pandang dapat dipakai untuk mengganti konsep validitas-reabilitas ataupun konsep kredibilitas, yaitu: indeksikalitas dan refleksikalitas. Indeksikalitas adalah keterkaitan makna kata, perilaku, dan lainnya pada konteksnya. 70
refleksikalitas adalah tatahubungan atau tatasusunan sesuatu dengan atau dalam sesuatu lain. Bila kedua tata tersebut diubah akan terjadi perubahan makna. Tuntutan syarat indeksikalitas dan refleksikalitas menjamin terhindarnya penemuan ethnographik tetap mendeskripsikan natural reality, bukan penafsiran para ahli, bukan produk artificial thinking. Catatan: sejumlah penganut ethnometodologi masih terjebak dan mengkonsepkan pemikiran validitas dan reliabilitas, termasuk Goetz dan LeCompte yang bukunya menjadi referensi kami juga.
71
III. MODEL PARADIGMA NATURALISTIK A. MODEL YANG MENEMUKAN KARAKTERISTIK KUALITATIF PENUH Dalam perjalanan yang panjang penuh makna akhirnya penulis dapat mencermati adanya empat tahapan perkembangan pemikiran dalam mencari metodologi penelitian kualitatif. Tahapan pertama, yaitu: model grounded research; tahapan kedua adalah Model Ethnographik-Ethnometodologik; tahapan ketiga adalah Model Paradigma Naturalistik; dan tahapan keempat adalah Model Interaksi Simbolik. Model pertama dan kedua sudah penulis bahas di depan, sedangkan model ketiga sedang penulis bahas pada waktu ini; dan model keempat akan penulis bahas sesudah membahas model ketiga. Model grounded research penyumbang pertama pemikiran kualitatif dengan mengetengahkan bahwa konsep harus dibangun dari emperi, teori harus dibangun dari data. Fungsi penelitian bukan untuk memverifikasi teori, melainkan untuk membuat teori. Bukan data dicocokkan dengan teori, melainkan data digunakan untuk membangun teori. Grounded research yang diwakili oleh B.G. Glaser dan A.L. Strauss (1964) merupakan perintis metodologi kualitatif dengan menekankan hal-hal di atas, tetapi kerangka pemikiran filosofiknya masih tetap sama dengan yang kuantitatif, yaitu arah membangun teori substantif, teori formal, dan tidak menolak arah pengembangan untuk memunculkan grand theory. Bila dilihat dari model Paradigma Naturalistik, penyajian model grounded, masih terbatas. Itulah penulis sebut sebagai tahapan pertama dari karakteristik kualitatif yang sempurna. Model ethnometodologi sebagai tahapan kedua dari karakteristik kualitatif maju satu langkah lagi, bukan berkutat pada membangun teori atas data (model grounded), melainkan merumuskan lebih jelas menjadi generative sebagai lawan verifikatif, konstruktif (menemukan konstruksi, mengabstraksi) bukan enumeratif (menjabarkan unit analisis), dan merekonstruksi pemaknaan penelitian berdasar konseptualisasi masyarakat. Kerangka pemikiran tersebut masih terkait dengan (dalam makna merespons menolak) yang kualititatif. Belum independen berfikir dalam konstruksi kualitatif yang independen. Juga, konsep tentang kualitas penelitian, seperti Goetz dan LeCompte, masih menggunakan konsep reliabilitas dan validitas. Model paradigma naturalistik penulis sebut sebagai model yang telah menemukan karakteristik kualitatif yang sempurna. Artinya bahwa kerangka pemikirannya, filsafat yang melandasinya, ataupun operasionalisasi metodologinya bukan reaktif atau sekedar merespons dan bukan sekedar menggugat yang kuantitatif, melainkan membangun sendiri kerangka pemikirannya, filsafatnya, dan operasionalisasi metodologinya. Lebih jauh harap ditelaah uraian-uraian selanjutnya. B. EGON G. GUBA Egon G. Guba yang pernah penulis temui pada tahun 1988 di University of Ohio di Athens adalah tokoh sentral dari paradigma naturalistik. Pendidikan yang diperolehnya: Baccalaureat dalam matematika dan phisika, klaster dalam statistik dan pengukuran, serta Doktor dalam penelitian kuantitatif. Perhatiannya pada penelitian naturalistik tumbuh karena permintaan pihak lain yang memintanya (selaku Direktur Penelitian dan Layanan Pendidikan Ohio State University) untuk membuat evaluasi suatu proyek, ternyata tidak berguna bila digunakan metodologi penelitian yang biasa digunakan (metodologi kuantitatif). Bersamaan dengan itu pertanyaan-pertanyaan yang mengusik dari Yvonna Lincoln, mahasiswa yang sangat cerdas, yang akhirnya menjadi asistennya, tentang metoda-metoda evaluasi menumbuhkan skeptisismenya pada metodologi kuantitatif. Pernyataan-pernyataanya menjadi formal pada monograph yang ditulisnya tahun 1977 di UCLA. Sejak itu perhatian terpusat pada model metodologi penelitian kualitatif yang kita kenal sebagai paradigma naturalistik. Buku Naturalistic Inquiry yang terbit tahun 1985 dan ditulis bersama Yvonna Lincoln, penulis pakai
72
sebagai sumber dan kerangka penulisan tentang paradigma naturalistik. Dalam edisi III ini dilengkapi dari Denzin and Yvonne Lincoln, 1994. C. PENELITIAN NATURALISTIK Guba mengetengahkan empatbelas karakteristik yang mempunyai hubungan sinergistik, artinya bila salah satu karakteristik dipakai, karakteristik yang lain akan tampil dengan profil yang berbeda-beda. Ada hubungan logik, interdependensi, dan koherensi. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, konteks natural, yaitu suatu konteks kebulatan menyeluruh, yang tak akan difahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya. Suatu phenomena hanya dapat ditangkap maknanya dalam keseluruhan dan merupakan suatu bentukan hasil peran timbal-balik, bukan sekedar hubungan kausal linier saja. Kedua, instrumen human. Sifat naturalistik menuntut agar diri sendiri atau manusia lain menjadi instrumen pengumpul data atas kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas, yang tidak dapat dikerjakan oleh instrumen nonhuman, mampu menangkap makna; interaksinya momot nilai, lebih-lebih untuk menghadapi nilai lokal yang berbeda, sehingga hanya instrumen human yang mampu mengadaptasi; tidak dapat dikerjakan oleh instrumen nonhuman seperti kuesioner. Ketiga, pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan. Sifat naturalistik memungkinkan kita mengangkat hal-hal tak terkatakan yang memperkaya hal-hal yang diekspresikan. Realitas itu mempunyai nuansa ganda yang sukar difahami tanpa memperkaya yang terekspresikan dengan yang tak terkatakan. Keempat, metoda kualitatif. Sifat naturalistik lebih memilih metoda kualitatif daripada kuantitatif, karena lebih mampu mengungkap realitas ganda; lebih mengungkap hubungan wajar antara peneliti dengan responden; dan karena metoda kualitatif lebih sensitif dan adaptif terhadap peran berbagai pengaruh timbal-balik. Kelima, pengambilan sampel secara porposive. Sifat naturalistik meng hindari pengambilan sampel acak, yang menekan kemungkinan munculnya kasus menyimpang; menurut penulis pengambilan sampel acak peran sejumlah variabel menjadi moderate, karakteristik ekstrim tidak muncul. Paradigma naturalistik memilih pengambilan sampel secara purposive atau teoretik. Dengan pengambilan sampel secara purposive, hal-hal yang dicari dapat dipilih pada kasus-kasus ekstrim, sehingga hal-hal yang dicari tampil menonjol dan lebih mudah dicari maknanya. Hasil yang dicapai dengan pengambilan sampel ini bukan untuk mencari generalisasi. Dengan istilah Guba, hasil penelitian pada satu kasus mungkin dapat transferabel pada kasus lain; dengan konsep positivistik, hasil penelitian tersebut dapat digeneralisasikan pada parent population-nya, yaitu pada populasi yang memiliki ciri-ciri kasus itu. Konsep generalisasi pada metodologi positivistik diganti konsep transferabilitas pada E.G.Guba. Keenam, analisis data induktif. Sifat naturalistik lebih menyukai analisis induktif daripada deduktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah dideskripsikan. Ketujuh, grounded theory. Sifat naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori (yang lebih mendasar) diangkat dari emperi. bukan dibangun secara a priori. Generalisasi a priorik nampak bagus sebagai ilmu nomothetik, tetapi lemah untuk dapat sesuai dengan konteks idiographik. Kedelapan, desain sementara. Sifat naturalistik cenderung memilih penyusunan desain sementara daripada mengkonstruksikannya secara apriori, karena realitas ganda sulit dikerangkakan; karena peneliti sulit mempolakan lebih dahulu apa yang ada di lapangan; dan karena banyak sistem nilai yang terkait dan interaksinya tak terduga. Kesembilan, hasil yang disepakati. Sifat naturalistik cenderung menyepakatkan makna dan tafsir atas data yang diperoleh dengan sumbernya; sebaiknya hipotesis kerja diuji dan dicari 73
kepastiannya pada penduduk yang tinggal dalam konteksnya, karena responden lebih memahami konteksnya daripda peneliti; karena responden dapat lebih baik memahami dan mengartikan pengaruh pola nilai lokal. Kesepuluh, modus laporan studi kasus. Sifat naturalistik lebih menyukai modus laporan studi kasus daripada modus lain, karena dengan modus laporan studi kasus deskripsi realitas ganda yang tampil dari interaksi peneliti dengan responden dapat terhindar dari bias; laporan semacam itui dapat menjadi landasan bagi generalisasi naturalistik individual (istilah Stake) dan mempunyai transferabilitas pada kasus lain (istilah Guba). Modus laporan tersebut memungkinkan tampilnya pandangan nilai peneliti, teori substansiainya, paradigma metodologinya, dan nilai kontekstualnya. Kesebelas, penafsiran idiographik. Sifat naturalistik mengarah ke penafsiran data (termasuk penarikan kesimpulan) secara idiographik (dalam arti keberlakuan khusus), bukan ke nomothetik (dalam arti mencari hukum keberlakuan umum), karena penafsiran yang berbeda nampaknya lebih memberi makna untuk realitas yang berbeda konteksnya; nampaknya penafsiran yang lebih membobot berat pada hal khusus lokal lebih valid, karena peran interaktif berbagai faktor lokal lebih menonjol, juga sistem nilainya. Keduabelas, aplikasi tentatif. Sifat naturalistik cenderung lebih menyukai aplikasi tentatif daripada aplikasi meluas atas hasil temuannya, karena realitas itu ganda dan berbeda karena interaksi antara peneliti dengan responden itu bersifat khusus dan tak dapat dipublikasikan. Ketigabelas, ikatan konteks terfokus. Metodologi positivistik menuntut obyek penelitian dispesifikkan, dieliminasikan dari obyek lain; sedangkan pada metodologi naturalistik menuntut pendekatan holistik, kebulatan keseluruhan; hanya pada karakteristik ketigabelas ini yang holistik tersebut ditelaah dengan mengaksentuasikan pada fokus sesuai dengan masalahnya, evaluasinya, atau tugas-tugas yang hendak dicapai. Dengan pengambilan fokus, ikatan keseluruhannya tidak dihilangkan, tetap terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari sistem nilai lokalnya. Keempatbelas, kriteria keterpercayaan. Sifat naturalistik mencari kriteria keterpercayaan yang sesuai dengan penelitiam naturalistik. Metodologi pasitiviotik positivistik membedakan empat kriteria keterpercayaan penelitian, yaitu: validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas, dan obyektivitas. Dalam metodologi naturalistik keempatnya diganti oleh Guba dengan kredibilitas, transferabilitas, dependanbilitas, dan konfirmabilitas. D. PARADIGMA SCHWARTZ DAN OGIVLY Apa yang disajikan di bawah ini bukan paradigma penelitian melainkan paradigma displin ilmu. Substansial paradigma ini membantu paradigma naturalistik sebagai pendekatan penelitian, dan diketengahkan oleh Peter Schwatrz dan James Ogivly dalam suatu monograph yang terbit tahun 1979. Bila diringkaskan paradigma tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, gerakan dari realitas sederhana ke realitas kompleks. Realitas sekarang ini menjadi semakin jelas bahwa ada diversitas dan interaktivitas. Sekarang ini sudah tidak cukup dengan studi yang membatasi pada sejumlah variabel, dan mengasumsikan variabel lain konstan. Keragaman dan peran timbal balik menjadi realitas yang tak dapat ditolak. Kedua, gerakan dari konsep tata hierarkik ke heterarkhik. Paradigma lama berlandaskan prinsip hierarkik; ada tata hierarkik alam yang inheren sifatnya, ada hak penguasa, keunggulan pria atas wanita, tabel unsur-unsur kimia, dan lain-lain. Sekarang ini difahami lain, kalaupun adatata, banyak dari tata tersebut mempunyai hubungan horizontal; yang satu sama lain saling tergantung, saling mempunyai peranan, peran pria wanita itu komplementer, ada hak dan kewajiban penguasa, nilai rasionaletik sederajat dengan nilai sosial-manusiawi, dan lain-lain. Heterarkhik adalah bergesernya kekuasaan dari tunggal menjadi kekuasaan demokrasi,
74
bergesernya dari peran tunggal menjadi hambatan dan pengaruh timbal balik; dari kompromi atau rerata menjadi keragaman dan tak terduga. Ketiga, gerakan dari citra mekhanik ke citra holographik. Konsep ini memang bersifat metaphorik, sehingga pemahamannya tidak mudah, dibuat analogipun juga. tidak dapat tepat sama. Citra mekhanik kita tampilkan antara lain, bagaimana bulan dan bintang-bintang beredar mengorbit pada porosnya, sedangkan citra holographik, pada satu tahap perlu penjelasan matematik, pada tahap lain memerlukan penjelasan mekhanisme phisik, dan seterusnya. Gestalt mengajarkan kepada kita keseluruhan itu lebih dari sekedar bagian-bagiannya; m aka holographik mengajarkan setiap bagian mengandung keseluruhan pada setiap bagian mengandung informasi dari keseluruhannya. Betapapun kecilnya suatu bagian, menurut citra holographik, memungkinkan kita memperoleh informasi keseluruhannya. Keempat, gerakan dari determinasi ke interdeterminasi. Percaya pada hubungan mekhanistik alam semesta memudahkan dia mencitra yang lain demikian pula. Memahami adanya keragaman dan peran interaktif berbagai faktor, baik dalam arti rasional maupun etik menjadikan kita. faham indeterminasi itu rasional logik, dan moral adil. Kelima, gerakan dari hubungan kausal linier ke hubungan kausal timbalbalik. Ilmuwan yang mencitra dependensi mekhanik, yang berarti mencitra determinasi pada setiap rincinya, akan menjurus pemikirannya pada kausalitas linier. Berfikir -refiektif yang membatasi pada induksi-deduksi, yang masih linier, telah penulis kembangkan di bagian kedua buku ini menjadi kontekstual, dalam makna masa lampau-kini-mendatang, dalam makna sentral-peripher, dan dalam makna vertikat-horizontal-sekuensial. Keenam, gerakan dari perakitan ke morphogenesis. Deskripsi metaphorik perubahan bentuk, dideskripsikan di atas sebagai perubahan bentuk dari citra mekhanik ke citra holographik. Dari perakitan ke morphogenetik itu merupakan deskripsi metaphorik tentang perubahan itu sendiri, yaitu dari citra perakitan (dari komponen-komponen dengan fungsi-fungsinya dirakit menjadi satu integritas) ke citra morphogenetik (perubahan dramatik dan tak terduga, berproses membangun bentuk tata lebih tinggi dari tata lebih rendah). Proses morphogenetik tersebut memerlukan diversivitas, keterbukaan, kompleksitas, kausalitas timbalbalik, dan indeterminasi. Dalam kondisi seperti itu perubahan kualitatif yang hebat dapat terjadi. Ketujuh, gerakan dari tinjauan obyektif ke perspektif. Obyektivitas itu ilusi, demikian Schwartz dan Ogivly. Kita tak dapat netral, ada subyektivitas kita. Kita tidak bebas nilai, tetapi mempunyai orientasi nilai. Dengan subyektivitas kita dan dengan orientasi nilai kita, kita mampu menangkap berbagai makna yang terkandung dalam emperi kehidupan kita, yang tidak terungkap dengan sikap obyektif dan iletral kita. Subyektif yang kita kemukakan berbeda konotasinya dengan subyektif dalam konotasi biasa. Dalam konotasi biasa subyektif akan menibawa kita kepada bias, mempribadi, tak berlaku umum, sedang subyektifitas yang kita maksud memiliki konotasi tak terduga, divergensi, keterbukaan, dan adanya peluang alternatif serta prioritas. Dengan pemikiran yang seJalan, pada berbagai forum penulis menggunakan istilah proporsional, bukan prespektif, misalnya pada akhir Bagian Pendahuluan. E. AKSIOMA DALAM PARADIGMA NATURALISTIK Dari empatbelas karakteristik penelitian naturalistik dari Guba dan tujuh paradigma substansial dari Schwartz dan Ogivly dapat diketengahkan lima aksioma untuk membangun paradigma naturalistik. Aksioma 1: Realitas. a. Realitas itu kompleks: 1) sistem dan organisme tak dapat dipisah-pisahkan, keberadannya tergantung pada interaksi timbalbaliknya; 2) makna tidak atomistik tetapi kontekstual. 75
b. Ada tata dalam realitas: 1) semua yang nampak tertata itu ditentukan oleh alam fikir kita; itu merupakan tatafikir kita; 2) orientasi perilaku manusia itu pluralistik: dalam orientasinya pada nilai, pada politik, dan lain-lain. Prinsip tatahubungannya lebih ke heterarkhik daripada hierarkik. c. Realitas itu tampil dalam berbagai perspektif 1) perspektif yang dipakai seseorang mempengaruhi apa yang nampak sebagai realitas; 2) apa yang kita yakini mempengaruhi penampakkan realitas,; 3) realitas ada sebagaimana dikenal manusia, bukan ada. Sebagaimana adanya. d. Ada keterhubungan timbalbalik antarberbagai sesuatu 1) segala sesuatu saling berhubungan; 2) ada jaringan keterhubungan alam semesta; 3) ada keterkaitan timbalbalik antara yang mengenal dan yang dikenal. Aksioma 2 : Interaksi yang mengenal dengan yang dikenal. a. Hubungan itu indeterminatif: 1) ada keterlibatan timbalbalik antara yang mengenal dengan yang dikenal; 2) proses observasi mempengaruhi hasil; b. Kausalitas itu timbalbalik c. Pengenal kita itu bersifat perspektif 1) dari mana dan cara bagaimana mempengaruhi apa yang kita lihat; 2) pengetahuan dijaga (dari bias) bukan dengan mengabstraksilean dari semua perspektif, melainkan dengan membuat keseimbangan perspektif ganda untuk menghindarkan bias; 3) obyektivitas itu ilusi. Aksioma 3 : Keterkaitan pada waktu dan konteks. a. Keterkaitan pada waktu dan konteks menjadikan sesuatu itu kompleks 1) sistem dan organisme tak dapat dipisahkan dari lingkungannya, karena makna dan eksistensinya terkait pada sistem dan organisme lain; 2) pengetahuan menjadi bermakna bila berada dalam konteks; 3) penelitian haruslah memperhitungkan sifat permanen dan generalisasinya. b. Ada tata heterarkhik: sistem atau organisme mana yang dominan, tergantung pada keseluruhan situasi dan ditentukan oleh interaksi sistem dan organisme. c. Sesuatu itu bersifat holographik: informasi itu menyebar pada seluruh sistem, bukan terkonsentrasi pada titik tertentu. d. Berlaku prinsip indeterminatif. dalam sistem atau organisme yang kompleks kemungkinan masa datang dapat dikenal, tetapi akibat tepat sukar dapat diketahui berdasar kondisi sekarang. e. Ada kausalitas timbalbalik: 1) untuk memahami seluruh sistem diperlukan pengenalan sejarah atau prosesnya, yang tidak dapat difahami berdasar kondisi sekarang; 2) kausalitas timbalbalik cenderung memproduk hasil yang tak dapat diduga. f. Terjadi proses morphogenetik: perubahan itu tidak hanya berlangsung berkelanjutan dan kuantitatif, tetapi juga tak berkelanjutan dan kualitatif Aksioma 4 : Pembentukan timbalbalik dan simultan. a. Struktur tersusun heterarkhik: struktur sistem dan organisme bekerja heterarkhik, membentuk jaringan pengaruh dan hambatan timbalbalik. b. Ada kausalitas timbalbalik:
76
1) kausalitas deterministik kaku diganti inovasi tak terduga, yang muncul secara morphogenetik melalui interaksi dan fluktuasi kausal timbalbalik, 2) kausalitas timbalbalik bukan mengarah ke stabilitas, tetapi mengarah ke perubahan simbiotik dan evolusi. c. Sistem terbentuk secara morphogenetik: 1) sistem dan organisime baru dan berbeda terbentuk dari yang lama lewat proses yang kompleks; 2) tata sistem dan organisme lebih tinggi tersusun dari tata lebih rendah; tata juga dapat muncul dari tiada tata. Aksioma 5 : Keterkaitan pada nilai. a. Kepentingan kita memberi perspektif pengetahuan kita: 1) semua pengetahuan kita itu pada hakikatnya adalah pengetahuan atas kepentingan, meskipun kita tak bermaksud mengkaitkan dengan kepentingan tertentu dalam kita mengembangkannya; suatu keharusan ilmiah untuk mengadakan penelitian, bila manusia memang berkepentingan; 2) konsep paradigma bergeser dengan sendirinya, hal tersebut membuka kemungkinan adanya program penelitian dengan asumsi yang sangat beragam. F. REALITAS, OBSERVASI, DAN GENERALISASI Bagi Guba realitas itu ganda, karena dikonstruksikan oleh orang berbeda sesuai dengan pandangannya sendiri, Universitas Harvard, proyek bom atom Manhattan, Watergate, dan era perang Vietnam itu tidak pernah ada dalam realit as lain daripada yang dikenal orang. Pengenalan orang terhadap hal tersebut berbeda-beda, sehingga masing-masing pasti ada kurangnya dan ada kelirunya dibanding yang lain. Realitas tersebut disebut constructed realitv. Kebenarannya ditentukan oleh kesepakatan kelompok, meski bukan sekedar konsensus. Hal yang membatasi (sehingga realitas menjadi ganda dan tak dapat tunggal) adalah adanya hambatan ekstern, yaitu sulitnya memperoleh kesepakatan. Dalam terapan penelitian itu berarti bahwa kita perlu memperlengkapi kognisi kita dan pembaca kita sehingga realitas yang kita deskripsikan dalam penelitian kita menjadi rea litas yang beda dan kelirunya pengenalan dapat minimal, agar dapat dicapai kesepakatan kita (peneliti dan pembaca) bahwa realitas hasil penelitian tersebut memperoleh kesepakatan kelompok. Realitas yang kita deskripsikan merupakan suatu keseluruhan dalam konteksnya, yang tidak dapat diparsialkan. Bagi paradigma naturalistik Guba, observasi itu interaktif, antara peneliti dengan yang diteliti, dan ada pengaruh dan hambatan timbalbalik. Karena itu peneliti harus memandang yang diobservasi sebagai subyek, mereka beraktivitas, segala sesuatunya indeterminan, dan secara bersama peneliti dan yang diobservasi membangun data penelitian. Subyek yang diobservasi bukan subyek diam, melainkan secara aktif mereaksi sebagai subyek, itulah yang dikatakan oleh Guba bahwa manusia itu makhluk yang beraktivitas, aktif mereaksi, Peneliti dengan yang diobservasi tidak pilah dikhotomik, melainkan menyatu dan membangun data penelitian. Mungkin peneliti tidak segera memahami makan sesuatu kejadian di lokasi penelitian, yang menjadi subyek sumber informasi dapat membantu menjelaskan, sehingga pemaknaannya dapat dikatakan disusun bersama antara peneliti dan subyek observasi. Di Bagian Pendahuluan dan diuraikan terdahulu pada bagian ini telah dikemukakan bahwa Guba mengganti generalisasi dengan transferabilitas. Pada uraian berikut akan dibahas mengapa demikian? Berulangkali orang mengemukakan bahwa tujuan ilmu adalah membuat prediksi dan mengontrol. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut perlu semacam hukum-hukum yang dapat dipakai untuk membuat prediksi dan mempunyai hukum-hukum yang dapat dipakai untuk mengontrol pengembangan dan perkembangan obyek ilmu yang bersangkutan. Ilmu yang 77
mencari hukum untuk keperluan tersebut biasa disebut ilmu nomothetik yang mencari generalisasi nomik atau nomologik. Dengan demikian generalisasi dengan tujuan tersebut menjadi pernyataan yang mengandung kebenaran universal, bebas waktu dan tempat, bebas konteks, dan tahan uji terhadap nilai. Sejumlah kelemahan generalisasi menurut konsep klasik dikemukakan oleh Kaplan (1964), yang intinya sebagai berikut: Pertama, terikat asumsi determinisme. Membuat generalisasi yang keberlakuannya universal, memerlukan asumsi bahwa ada hubungan tertentu yang pasti dan ajeg antara sejumlah sesuatu, seliingga dapat diprediksikan kejadian selanjutnya; kedua, terikat pada logika induktif Generalisasi tak ada dalam senyatanya; itu merupakan kreasi aktif fikir kita. Generalisasi yang diharapkan memprediksi keberlakuan umum pada kasus spesifik, memerlukan pengujian berulang kali pada emperi-emperi spesifik; itu berarti proses induktif menjadi mutlak perlu; ketiga, terikat pada asumsi bebas konteks dan waktu. Generalisasi nomologik memperlakukan generalisasinya sebagai hukum yang berlaku umum, bebas konteks dan waktu. Mungkinkan itu? Pengalamah membuktikan kepada kita tentang adanya sikon, situasi dan kondisi yang perlu diperhatikan; Keempat, terjebak pada dilema nomothetik-idiographik. Ilmu pengetahuan alam, yang nomothetik mendasarkan diri pada hukum, sedangkan humaniora, yang idiographik mendasarkan diri pada sifat individual khusus. Data menunjukkan bahwa 80% wanita dengan tanda-tanda seperti itu terkena kanker leher rahim; cukup beranikah kita mengatakan pada pasien itu (sebelum kita memeriksa lebih mendalam individual khusus pada yang bersangkutan) bahwa Anda besok pagi supaya siap untuk operasi histerektomi; kelima, terjebak pada konsep reduksionisme. Upaya membuat generalisasi tidak lain dari upaya mereduksi keseluruhan menjadi sampel-sampel yang diasumsikan representatif, Masalahnya: apakah keseluruhan itu terjangkau dan apakah sampel yang diambil itu memang sudah menjangkau dimensi atau komponen yang ada pada keseluruhan? Untuk mengganti generalisasi klasik dengan sejumlah kelemahan tersebut Guba menawarkan rumusan baru dari Cronbach (1975), yaitu hipotesis kerja. Dertgan memberi peluang perhatian pada kondisi lokal, sesuatu generalisasi merupakan hipotesis kerja (baru), bukan kesimpulan. Apakah hipotesis kerja dari konteks A dapat diterapkan pada konteks B? Guba lebih, lanjut menawarkan (yang telah berulang kami sebut di uraian terdahulu) transferabilitas, sesuatu yang diperoleh dari kasus satu dapat ditransfer, dalam arti dengan beberapa tingkat kesesuaian, bukan kesesuaian penuh, pada kasus lain. Di samping tawaran Cronbach dan Guba tersebut Schawrtz dan Ogivly menawarkan generalisasi holographik. Menurut citra holographik, pada setiap bagian (betapapun kecilnya) mengandung makna keseluruhannya. Dengan menemukan keseluruhan esensi sesuatu (itu pendapat kami), maka kita dapat memahami keseluruhan sesuatu tersebut. Sesuatu esensi yang holographik, memungkinkan kita menangkap esensi dari satuan lebih besar, dan dapat menampilkan karakteristik obyek studi kita, entah diberi nama hipotesis kerja baru (pada akhir penelitian), entah deskripsi idiographik yang transferabel pada kasus lain, atau generalisasi holographik. Terserah pilihan para pembaca yang hendak mengikuti model paradigma naturalistik dari Guba ini. G. KAUSALITAS DAN DAMPAK NILAI Konsep eksplandsi menurut metodologi positivistik berpusat pada kausalitas, atas asumsi semua peristiwa sosial merupakan dunia kausal deterministik. Benarkah ilmu sosial selayaknya berorientasi dan berasumsi demikian? Manusia adalah makhluk antisipatorik. Manusia dapat memproduk akibat dengan mengantisipasi sebab; berarti akibat, mendahului sebab. Ada tanda-tanda bahwa dia dapat tidak lulus, dan pahit akibatnya. Agar diperoleh akibat yang manis cerah, mahasiswa tersebut belajar 78
keras luar biasa; akibat dirancangkan sesuai dengan maunya, penyebabnya disesuaikan dengan akibat yang dirancangkannya. Dalam metodologi positivistik, kausalitas itu linier, sedangkan dalam metodologi phenomenologik kausalitas itu timbalbalik, heterakhik, indeterminatif, dan morphogenetik. Dengan adanya aksi timbalbalik maka hubungan kausal linier tak terjadi, yang terjadi adalah saling berperan, sederajat, tak terduga, menuju ke bentuk yang lebih sempurna dengan cara dan proses beragam. Yang terjadi adalah saling membentuk, mutual shaping. Positivisme menuntut penelitian harus bebas nilai (value-free). Metodologi penelitian positivistik berupaya menyingkirkan segala yang dapat disebut subyektif Konotasi subyektif dalam positivisme adalah semua yang menjadi bersifat pribadi, yang tidak berlaku umum, termasuk juga yang terkait pada nilai-nilai seperti politik, agama, dan lain-lain. Phenomenologi, termasuk paradigma naturalistik berpendapat bahwa bagaimanapun orang berupaya untuk tidak mempunyai kepentingan, tetap saja ada kepentingan masuk dalam penelitian kita; mengejar yang obyektif bebas nilai itu ilusi; penelitian bagaimanapun menjadi terkait nilai (value-bound). Pengenalan kita bersifat perspektif. bagaimana dan dari mana kita mengenal dan mempengaruhi apa yang kita kenal. Bagi phenomenologi: teori dan fakta ditentukan oleh nilai (value-determined). Bandingkan dengan rasionalisme: teori ditentukan oleh nilai, dan fakta momot teori (theory-laden); dan bandingkan pula positivisme: teori harus bebas nilai, dan fakta itu realitas emperik sensual. Pendekatan phenomenologik mengakui empat sumber dampak nilai dalam penelitian, yaitu: nilai dari fihak peneliti itu sendiri, nilai dalam konteks kultural obyek penelitian, nilai yang terjabarkan dalam substansi penelitian, dan nilai yang terjabarkan dalam metodologi penelitian. Pada uraian E, F, dan G tersebut di atas kita membahas lima aksioma dasar dari paradigma naturalistik, pada filosophik dan pada teoretik metodologik penelitiannya. Pada uraian berikut kita membahas paradigma naturalistik pada operasional metodologi penelitiannya. Kita mulai dengan uraian sinergestik tentang prosedur dan metoda sebagai realisasi dari lima aksioma paradigma naturalistik, implementasi studi lapangan, merancangkan bagaimana agar rekaman kita terpercaya, memproses data yang berlangsung berkelanjutan selama penelitian, dan akhirnya membahas tentang penyusunan laporan. H. ARUS PENELITIAN NATURALISTIK Perlu diperhatikan atau perlu diperbandingkan perbedaan mendasar tahap-tahap dalam penelitian yang menggunakan pendekatan positivistik dan rasionalistik di satu fihak dengan yang menggunakan pendekatan phenomenologik di lain fihak, lebih khusus lagi pada, uraian berikut ini pendekatan naturalistik, yang melandaskan diri pada lima aksioma paradigma naturalistik. Sesuatu yang jelas sulit bagi yang terbiasa pada cara kerja positivistik ke cara kerja phenomenologik; lebih mudah mengembangkan cara kerja positivistik ke cara kerja rasionalistik. Berikut disajikan arus kerja penelitian naturalistik yang diangkat dari bagan arus penelitian naturalistik dari Yvonna Lincoln dan Guba. Penelitian naturalistik cukup logis bila dilaksanakan dalam konteks natural/wajar. Penelitian demikian menuntut manusia sebagai instrumen penelitian, karena lebih mampu menyesuaikan pada situasi tak tentu, dapat membangun dari suasana yang tak terkatakan, di samping dari yang terkatakan juga sesuai dengan menerapkan metoda yang lebih manusiawi, yaitu: interviu dan observasi yang dapat menangkap nuansa yang tak terungkap dengan metoda yang lebih distandarkan.
79
Perbedaan yang tajam dengan metodologi positivistik dan rasionalistik, metodologi model paradigma naturalistik menuntut langsung terjun ke lapangan, dan empat unsur sekaligus di tata dan dikembangkan: menetapkan sampel secara purposive, mengadakan analisis ddta secara kualitatif, mengembangkan grounded-theory secara induktif, dan mengembangkan desain penelitiannya. Pada waktu terjun ke lapangan tersebut, peneliti tidak membawa desain dan instrumen (seperti kuesioner, angket, interviu-guide, dan semacamnya), dan juga tidak membawa prakonsep tertentu. Di lapangan, sambil mengamati sampelnya, menganalisis datanya, mencoba mencari alternatif grounded-theory-nya, dan membuat desain penelitiannya, - yang kesemuanya itu akan terus dapat berubah atau diperkembangkati, sesuai konteks dan sikon yang tak tentu. Upaya menata dan mengembangkan keempat unsur tersebut terus dilakukan sehingga diperoleh hasil sebagaimana disepakatkan dengan responden; dan dapat dilihat cukup dan 80
mungkinnya sebagai laporan. Laporan itu diharapkan mengandung deskripsi idiographik, tetapi sekaligus mengandung makna tranferabilitasnya pada kasus lain. I. WATAK DAN KONTEKS NATURALISTIK Penelitian dengan paradigma naturalistik menuntut dilaksanakannva penelitian dalam konteks naturalistik, dengan harapan makna yang diangkat dari penelitian tersebut memang dari konteksnya, bukan dari prakonsep penelitinya; pemaknaan hasil interviu dan/atau observasi tidak dapat tidak terkait ke waktu dan konteks tertentu. Manusia sebagai Instrumen Guba dan Lincoln (1981) mengetengahkan tujuh karakteristik yang menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian memiliki kualifikasi baik, yaitu: sifatnya yang responsif, adaptif, lebih holistik, kesadaran pada konteks tak terkatakan, inampu memproses segera, mampu mengejar klarifikasi dan mampu meringkaskan segera, dan mampu menjelajahi jawaban ideosinkretik dan mampu mengejar pemahaman yang lebih dalam. Pengetahuan tak terkatakan adalah semua yang kita ketahui dikurangi yang terkatakan. Termasuk dalam pengetahuan tak terkatakan seperti perilaku kita yang dapat diamati tetapi tak terkatakan: perilaku kita ketika bingung berbeda dengan ketika kita bahagia, lain ketika kita bergembira; berbeda karena kita laki-laki dengan bila kita perempuan; hakim berupaya mencari yang salah dan tidak salah dengan mengungkap yang tak terkatakan, tetapi nampak dalam perilakunya, ekspresinya, cara mengatakan, dan semacamnya. Paradigma naturalistik menggunakan pengetahuan tak terkatakan menjadi eksplisit dan legal; seperti juga hakim yang mengaktualkan yang tak terkatakan tetapi terungkap lewat perilaku dan lainnya menjadi dasar pertimbangan pengambilan keputusannya. Dalam laporan penelitian pengetahuan tak terkatakan harus diubah menjadi pengetahuan terkatakan oleh peneliti. Metoda-metoda Kualitatif Metoda kualitatif lebih diutamakan dalam paradigma naturalistik, bukan karena antikuantitatif, melainkan karena metoda kualitatif lebih manusiawi, bagi manusia sebagai instrumen penelitian. Metoda interviu dan observasi, dan juga teknik-teknik analisisnya lebih merupakan ekstensi dari perilaku manusia, seperti mendengarkan, berbicara, melihat, berinteraksi, bertanya, minta penjelasan, mengekspresikan kesungguhan dan menangkap yang tersirat. J. ITERASI EMPAT UNSUR PENELITIAN NATURALISTIK Pengambilan Sampel Purposive Bagi positivisme, pengambilan sampel langsung terasosiasi tentang masalah representativitas. Bahkan dalam pengambilan sampel acak, positivisme bertolak dari asumsi bafiwa setiap unsur dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Berfikir representativitas tersebut mungkin bila kita pasti tentang homogenitas populasi. Tetapi bagi penelitian naturalistik spesifikasi yang homogin tersebut menjadi sub-unit yang lebih kecil dengan karakteristik lebih spesifik dipandang lebih membantu untuk bertolak dari hal yang lebih kontekstual. Berbeda dengan konsep positivistik yang bertolak dari konsep asumsi homogenitas atau populasi berdistribusi normal. Penelitian naturalistik bertolak dari asumsi bahwa konteks akan lebih mendekatkan kepada karakteristik idiographik. Michael Quinn Patton (1980) mengetengahkan pengambilan sampel dalam enam tipe, yang lebih berharga daripada pengambilan sampel secara acak, yaitu: (a) sampel ekstrim atau kasus yang menyimpang untuk mendapatkan informasi kasus ekstrimnya; (b) sampel kasus tipikal, untuk menghindari penolakan informasi yang memang khusus; 81
(c) sampel yang memberikan keragaman maksimal, untuk merekam keragaman yang unik; (d) sampel pada kasus-kasus ekstrim, untuk memperoleh informasi aplikasi maksimum pada kasus lain, karena bila pada kasus yang ekstrim dapat berlaku, tentunya pada kasus kurang ekstrim akan dapat pula digunakan; (e) sampel untuk kasus-kasus sensitif, untuk menarik perhatian pada studi tersebut; (f) sampel yang memudahkan, untuk menghemat uang, waktu, atau kegiatan penelitian itu sendiri. Glaser dan Strauss mengetengahkan sampel teoretik, yang hampir sinonim dengan sampel purposive. Mengangkat pemikiran sampel teoretik dari Glaser dan Strauss, Guba mengetengahkan empat karakteristik sampel purposive, yaitu: (a) desain sampel yang sementara sifatnya. Spesifikasi sampel jangan dirancang a priori; perhatikan konteksnya, bukan a priori pada teknik acak, seperti pada positivisme; . (b) seleksi berkelanjutan unit-unit sampel. Mengoptimalkan keragaman merupakan tujuan terbaik yang perlu dicapai dalam pengambilan sampel. Unit-unit sampel diseleksi secara berkelanjutan sesuai dengan informasi yangdiperoleh di lapangan. Antara pengambilan sampel, analisis, pencarian teori, dan penyusunan desain merupakan empat yang diiterasi (diputar terus) untuk saling menyempurnakan. Keempat unsur tersebut bukan tahapan, melainkan unsur yang diiterasikan secara timbal balik untuk saling menyempurnakan; (c) penyesuain atau pemfokusan sampel secara berkelanjutan. Dari informasi dan pemahaman lebih dalam di lapangan memungkinkan peneliti untuk merevisi pengambilan sampelnya; (d) seleksi sampel menuju ke kejenuhan informasi. Dalam penelitian positivistik penetapan jumlah sampel dirancangkan sebelum terjun ke lapangan; jumlah sampel dirancangkan sesuai dengan derajat keterpercayaan (berdasar logika probabilistik) yang hendak dicapai. Dalam penelitian naturalistik besar sampel ditetapkan di lapangan atas prinsip kejenuhan informasi. Bila dengan sampel yang telah diambil, ada informasi yang masih diperlukan, dikejar lagi sampel yang diperkirakap momot informasi yang befum diperoleh; sebaliknya, bila dengan menambah sampel hanya diperoleh informasi yang sama, berarti jumlah sampel sudah cukup, karena informasinya sudah jenuh. Analisis Data Induktif Sejumlah pakar metodologi penelitian naturalistik mempertentangkan metodologi positivistik. Yang kedua disebutnya sebagai menggunakan modus analisis data secara deduktif, sedangkan yang pertama menggunakan modus induktif Bila cap tersebut kita sodorkan pada penganut metodologi positivistik, tentu mereka akan menolak. Penulis buku ini akan berada pada posisi untuk tidak saling mendeskriditkan, dengan cara mendudukkan secara proporsional posisi masing-masing. Penulis akan menggunakan pendekatan by-level, artinya mendeskripsikan masing-masing sesuai deskripsinya sendiri, dan semua dihargai pada proporsinya, atau menurut istilah Guba didudukkan dalam perspektifnya. Yang dimaksud dengan analisis data induktif menurut paradigma naturalistik adalah analisis atas data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dilanjutkan dengan kategorisasi. Kalau metodologi positivistik, dan lebih-lebih metodologi rasionalistik dicap sebagai theory-free, para pakar naturalistik menjawab, bahwa analisis induktifnya itu bukannya empty-headed melainkan open-minded. Grounded Theory Naturalis menyusun teori pada waktu di lapangan, sedang positivis dan rasionalis menyusun teori dan konseptualisasi sebelum ke lapangan. Elden mendeskripsikan grounded theory sebagai local theory. Ford mendeskripsikan grounded theory bukan nomologik, bukan deduktif, melainkan patterned theory; sifatnya open-ended dan dapat diperluas tiada pembatasan. Sampai batas-batas tertentu, naturalis juga mengakui bahwa hasil penelitian dengan 82
paradigma naturalistik tetap mungkin membuat prediksi dan memproduk hipotesis; juga dapat berperan untuk penelitian lanjutan; itu berarti bahwa hasil studi kasus pada yang satu tidak dapat dipakai pada studi kasus lain. Untuk itu harap berhati-hati menerapkan penajaman metodologi positivistik dan rasionalistik sebagai ilmu nomothetik dan phenomenologi (termasuk paradigma naturalistik) sebagai ilmu idiographik. Nampaknya para epistemologis cenderung memilih fakta yang momot teori (theory-laden) daripada yang theory-free. Penmanfaatan grounded theory bagi penyusunan desain sementara penting sekali bagi naturalis; melainkan perlu diingat bagi naturalis grounded theory perlu terus menerus diperkembangkan dan diperbaiki. Itu dikerjakan lewat iterasi keempat unsur penelitian naturalistik: penyusunan sampel, analisis induktif, grounded theory, dan desain penelitiannya. Desain Sementara Naturalis menuntut agar desain disusun sementara, yang akan diubah dan diperkembangkan sesuai konteksnya, tergantung pada interaksi peneliti dengan konteksnya; semua itu sesuai dengan aksiomanya bahwa realitas itu ganda. Langkah yang nampak indeterminate tersebut tidak berarti bahwa naturalis mulai dengan empty-headed, meskipun berupaya untuk emply-headed. K.1. LAPORAN PENELITIAN KASUS Penelitian yang dihasilkan dengan pendekatan naturalistik disebut Guba sebagai penelitian kasus, bukan penelitian sampel representasi populasi pada pendekatan positivistik dan rasionalistik. Dengan beberapa perbedaan nuansa penelitian kasus dalam bahasa positivistik merupakan penelitian pada popuiasi kecil. Perbedaan nuansif arti kasus pada penelitian naturalistik bersumber pada omologi, epistemologi, dan aksiologi yang dipakai masing-masing. Hasil yang Disepakatkan Laporan penelitian kasus merupakan hasil pengungkapan fakta dan penafsiran. Tetapi bagaimanapun peneliti naturalistik hendaknya mempunyai perhatian pada cara berfikir responden, dan mempertimbangkan nilai-nilai yang dianut oleh responden. Menurut naturalis, ilmu tak mungkin bebas nilai; ilmu bebas nilai itu ilusi dan delusi. Bertolak dari aksioma naturalistik, Heron mengetengahkan dua hal: pertama, bahwa ada maksud dari peneliti, meskipun harus diuji dahulu dengan responden sebelum tertuang sebagai penafsiran peneliti; dan kedua, harus dijaga kredibilitas peneliti dari segi responden. Menjaga kredibilitas responden ailtara lain menjaga kerahasiaan sumber informasi, membuat anonim, dan semacamnya. Laporan Kasus Naturalis menghendaki agar laporan kasus itu menggunakan modus tujuail sebagai berikut: (a) memungkinkan transferabilitas hasil laporan pada kasus lain, (b) laporan merupakan bentuk jawaban dari berbagai aksioma paradigma naturalistik. Memang, sulit untuk mengkomunikasikan realitas ganda; (c) laporan merupakan aiat koinuriikasi dengan pembaca. Perlu dijaga agar tampilannya benar-benar grounded, holistik, dan seperti yang terjadi. Gaya tulisan laporan kasus hendaknya dibuat lebih informal, seperti cerita novel yang baik. Pembaca dibuat seakan-akan menghayati senyatanya, bukan bergaya laporan teknis kerja ilmiah, meskipun anatomitas tetap terjaga. (Gaya para wartawan: sebut saja Amat meskipun itu nama palsu, itu nampak lebih alami daripada nama terdakwa SD, itu dapat ditiru). Menyadari keterbatasan hasil penelitian, naturalis menolak pernyataan nomothetik; yang diketemukan dari penelitian hanya mempunyai makna idiograpilik, yaitu mempunyai makna dalam konteks dan waktu tertentu. Penafsiran idiographik mencakup pemahaman secara holistik. Aplikasi Tentatif 83
Hasil penelitian naturalistik menjangkau deskripsi idiograpilik, bukan pernyataan nomothetik; sehingga naturalis sadar bahwa hasil studinya itu berlaku khusus, tak dapat diaplikasikan pada konteks lain. Meskipun demikian Guba mengakui kemungkinan transferabilitas hasil studi bagi konteks yang berbeda; sifatnya bukan determinatif, melainkan tentatif. Aplikasi pada konteks lain harus diikuti dengan upaya penyesuaian dan semacamnya. K.2. KAWASAN DAN KETERANDALAN PENELITIAN Dalam penelitian positivistik kita biasa menggunakan istilah limitasi penelitian, yaitu penetapan batas kawasan yang diteliti dan yang tidak, dan sekaligus penetapan jangkauan yang hendak dicapai. Yang pertama mengetengahkan variabel-variabel yang diteliti dan tidak diteliti, yang kedua mengetengalikan apakah pengembangan, verifikasi, eksplorasi, atau lainya. Penelitian naturalistik kita tahu lebih bersifat terbuka, tidak membawa prakonsep, tidak membawa konsep mana yang inklusif dan mana yang eksklusif. Apakah berarti tidak ada limitasi kawasan penelitian? Wujud limitasi penelitian naturalistik ditampilkan dalam bentuk: menetapkan fokus atau aksentuasi penelitian; analog dengan melihat bagian tertentu dari suatu keseluruhan dengan mikroskop. Bagian yang diteliti tidak dipisahkan dari keseluruhannya; keterhubungan antarbagian dengan keseluruhanya hanya dibatasi oleh batas yang nampak biasa dan yang nampak membesar yang dengan mudah dapat digeser batas-batasnya, bila dikehendaki. Dalam penelitian positivistik kita menguji keterandalan penelitian lebih kepada kualitas instrumen penelitian, termasuk data-data yang diperoleh kualitas instrumen tersebut biasa disebut: validitas (internal dan eksternal), reabilitas, dan obyektivitas. Dalam epistemologi naturalistik, keterandalan penelitiannya ditumpukan pada kredibilitas, transferabilitas, dependanbilitas, dan konfinnabilitas. Mengapa digunakan keterandalan yang berbeda? Aksioma dasar penelitian positivistik diangkat dari ajarannya tentang kebenaran emperi sensual dan eksplanasi kausalitas linier, yang pada pembahasan terdahulu telah kita tunjuk ketidaksesuaiannya dengan aksioma-aksioma penelitian naturalistik. K.3. KREDIBILITAS Bagi positivism sesuatu itu sebagai benar bila ada isomorphisine antara data hasil studi dengan realitas; realitas yang dimaksud adalah realitas phisik sensual, realitas yang teramati dan terukur: realitas tersebut tunggal, yang kebenarannya diasumsikan teruji tanpa batas ruang dan waktu. Berbeda dengan naturalis yang memandang bahwa realitas itu ganda, kebenaran itu perspektif, sehingga kebenaran itu secara ontologik terkait kepada konteksnya, secara epistemologik terkait pada, proses interaktif peneliti dengan responden, dan secara aksiologik terkait pada nilai tertentu. Bagi naturalis sesuatu hasil studi dituntut kredibilitasnya (menggantikan tuntutan validitas internal pada positivis). Ada lima teknik yang dipakai naturalis Untuk menguji kredibilitas suatu studi, yaitu: a. menguji terpercayanya temuan; b. pertemuan pengarahan dengan kelompok peneliti untuk mengatasi ketidakjelasan, bias, dan lain-lain; c. analisis kasus negatif, yang fungsinya Untuk merevisi hipotesis: d. menguji hasil temuan tentatif dan penafsiran dengan rekaman video, audio, photo, atau semacamnya, dan e. menguji temuan pada kelompok-kelompok dari mana kita memperoleh datanya. Untuk menguji terpercayanya temuan, Guba mengetengahkan tiga teknik, yaitu a) memperpanjang waktu tinggal dengan mereka, b) observasi lebih tekun, dan c) menguji secara triangulasi. Ada tiga tujuan untuk tinggal lama dengan mereka, yaitu: (a) mempelajari budaya mereka, (b) menguji informasi yang salah, dan (c) menumbuhkan kepercayaan. Tinggal lebih lama yang bagi ahli antropologi berarti going native, dianggap oleh Guba sebagai membahayakan. Tinggal lebih lama memungkinkan kita memperluas skopa, sedang mengobservasi lebih tekun memungkinkan kita menghayati lebih dalam, demikian Guba. Istilah triangulasi 84
merupakan metaphor dari triangulasi radio, yaitu mencari titik sumber pemancar dengan memasang anteria dua titik tertentu, dengan geometri dapat dicari titik sumber pernancar tersebut. Denzin (1978) menyarankan enipat modus triangulasi, yaitu: (a) menggunakan sumber ganda, (b) menggunakan metoda ganda, (c) menggunakan peneliti ganda, dan (d) menggunakan teori yang berbeda-beda. Uji triangulasi menggunakan teori yang berbeda-beda dipertanyakan oleh Guba. Mungkinkah itu? Guba membolehkan uji tersebut, sejauh semua teori itu tetap menggunakan aksioma naturalis. Teknik kedua untuk menguji kredibilitas studi naturalistik adalah pertemuan pengarahan kelompok kerja peneliti; berbagai ketidakjelasan, kemungkinan bias, kemungkinan pengembangan desain di lapangan didiskusikan dan dijelaskan. Yang memberikan penjelasan pengarahan tersebut hendaknya tidak terlalu yunior dan jangan terlalu senior, pilihkan yang dekat dengan mereka, dan tidak ada kekhawatiran kelompok peneliti yang bertanya dan banyak tidak tahu menjadi dianggap tidak kompeten; tumbuhkan iklim bahwa tujuan pertemuan pengarahan tidak ada kecuali agar hasil penelitian i tu sukses dan bermutu karena terpercaya. Ada empat tujuan diadakannya pertemuan pengarahan pada kelompok peneliti tersebut. Pertama, agar sudut pandang para peneliti tidak bias, karena itu diperlukan untuk dasar pembuatan tafsir dan makna; kedua, untuk mengembangkan inisiatif mencari peluang menguji hipatesis kerja; ketiga, untuk mencari peluang mengembangkan desain yang masih sementara; dan keempat, untuk memperjelas pemikiran para peneliti, untuk tidak mencampuradukkan dengan perasaannya. Naturalistic inquiry is lonely business, demikian Guba mengangkat deskripsi penelitian naturalistik dari berbagai hasil penelitian. Kita dapat membayangkan, dalam jangka waktu lama seorang peneliti naturalistik harus berada dalam konteks yang lain budayanya, sedangkan dia sebaiknya going native. Teknik ketiga untuk menguji kredibilitas studi naturalistik adalah lewat analisis kasus negatif. Teknik ini analog dengan uji statistik pada data kuantitatif. Fungsi analisis kasus negatif ini khusus untuk mengadakan revisi hipotesis. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, kami ingin mengingatkan kembali, bahwa dalam penelitian naturalistik kita terjun ke lapangan dengan empat unsur kesementaraan. Empat unsur yang sementara tersebut adalah: sampel, analisis induktif, grounded theory, dan desain. Karena itu hipotesis yang direvisi tersebut bukannya dibawa sebelum terjun ke lapangan, melainkan dibangun di lapangan. Dari penjelasan pengantar tersebut kami akan memberikan contoh bagaimana Cressey (yang dikutip oleh Guba) menggunakan teknik ketiga tersebut dalam penelitiannya. Dengan teknik analisis tersebut Cressney merevisi hipotesisnya sampai lima kali. Dari contoh di bawah ini semoga para peneliti yang terbiasa dengan metodologi penelitian positivistik (dan juga yang menggunakan pendekatan rasionalistik) tidak menjadi kacau pemikirannya. Juga sekaligus perlu dijelaskan bahwa hasil dari suatu studi dengan menggunakan paradigma naturalistik bukan menghasilkan kesimpulan, melainkan menghasilkan hipotesis kerja (tawaran Cronbach) atau transferabilitas (tawaran Guba), atau generalisasi holographik (tawaran Scahwartz dan Ogivly). Kelima hipotesis dan dasar/alasan revisi dari Cressney adalah sebagai berikut: Hipotesis pertama: Penyalahgunaan uang terjadi bila seseorang yang dipercayakan mengelola uang itu memandang bahwa penyalahgunaan uang itu hanya pelanggaran teknis, bukan tindakan melanggar hukum. Hasil intervieu pada para narapidana penyalahgunaan uang ternyata para napi tersebut berpendapat bahwa tindakannya itu melanggar hukum. Karena itu Cressney menimbang hipotesisnya perlu direvisi. Hipotesis kedua: Penyalahgunaan uang terjadi bila seorang yang dipercayai tersebut memerlukan uang untuk keperluan sangat mendesak. Dari intervieu lebih lanjut ternyata yang menyalahgunakan itu kadang-kadang terdesak kebutuhan, kadang-kadang tidak. 85
Hipotesis ketiga: Penyalahgunaan uang terjadi bila yang bersangkutan mempunyai kewajiban finansial yang harus dipenuhi karena ada sanksi, dan harus dipenuhi secara pribadi. Ternyata tidak ada yang mempunyai kewajiban finansial, dan pada kurun waktu lain, ada kewajiban finansial tanpa sanksi, dan tidak terjadi penyalahgunaan uang. Hipotesis keempat: Kecuali rumusan hipotesis ketiga, penyalahgunaan uang terjadi karena tak sesuainya pemasukan dengan pengeluaran. Kondisi-kondisi tersebut semua terjadi, tetapi tidak ada penyalahgunaan uang. Hipotesis kelima: Orang terpercaya menjadi penyalahguna uang bila dia berpendapat bahwa dia mempunyai problem keuangan yang tak dapat dipikul orang lain, dan dia sadar bahwa problemnya dapat dipecahkan secara diam-diam dengan melanggar kepercayaan finansial, dan mampu menggunakan caranya sendiri mumpertanggungjawabkan secara verbal atas penggunaan uang yang dipercayakannya kepadanya. Sebagian pembaca mungkin mempertanyakan, mengapa isi intervieu tidak dituntaskan? Itulah satu contoh sifat kesementaraan atau keterbukaan atau keluwesan tanpa prakonsep dalam penelitian berdasar paradigma naturalistik. Cressney menguji hipotesis tersebut pada semua data yang dia kumpulkan dari dua ratus napi penyalahguna uang, dan hasil intervieu tambahannya pada lembaga rehabilitasi. Tidak dijumpai kasus negatif yang berlawanan dengan hipotesisnya yang kelima. Teknik keempat untuk menguji kredibilitas hasil penelitian dengan menguji kembali pada data rekaman seperti photo, audio-casette, video-casette, dan semacamnya. Teknik kelima untuk menguji kredibilitas hasil penelitian adalah mencocokkan kepada warga masyarakat obyek studi. Mencocokkan kembali perlu dilakukan secara informal dan formal dan terus-menerus. Ringkasan intervieu disajikan kembali kepada yang diintervieu untuk mendapatkan reaksi, atau disajikan pada orang lain untuk mendapat komentar, atau intervieu dari kelompok satu diuji pada kelompok lain untuk memperoleh pemahaman lebih dalam. Pencocokan kembali tersebut berguna untuk berbagai hal, seperti peluang untuk menangkap maksudnya, peluang untuk membetulkan kesalahan, peluang untuk mendapatkan informasi tambahan, bila itu berupa rekaman, apa yang sudah dikemukakan tidak dapat dikatakan sebagai salahfaham, keliru tangkap, dan semacamnya. K4. TRANSFERABILITAS, DEPENDABILITAS, DAN KONFIRMABILITAS Membangun transferabilitas bagi naturalis sangat berbeda dengan membangun generalisasi atau prediksi pada positivis. Bagi positivis, generalisasi atau prediksi (yang dinyatakan dalam batas kepercayaan sekian persen) itu mungkin; sedangkan transferabilitas atau keteralihan penuh itu tak mungkin bagi naturalis. Naturalis hanya berani menyajikan hipotesis kerja disertai deskripsi yang terkait pada waktu dan konteks. (Ingat hipotesis kerja bagi naturalis analog dengan kesimpulan penelitian bagi positivis). Sekali lagi pembaca ingin mengingatkan, bahwa transferabilitas bagi naturalis analog dengan generalisasi bagi positivis. Istilah transferabilitas ditawarkan oleh Guba, yang sama dengan hipotesis kerja tawaran dari Cronbach, sama dengan generalisasi holographik tawaran Schwartz dan Ogivly. Bagi positivis reliabilitas adalah replikabilitas hasil temuan, artinya kemampuan hasil studi untukdiulang kembali, dengan teknik uji belah-dua, teknik uji ulang, dan teknik bentuk paralel. Sedangkan pada penelitian dengan paradigma naturalistik mengganti konsep reliabilitas dengan konsep dependanbilitas. Pusat masalahnya sama, yaitu: dapat tidaknya dibuat replikasi atau uji ulang. Karena studi dengan paradiguna naturalistik memandang bahwa realitas itu terkait langsung dengan konteks dan waktu, maka menjadi tidak mungkin mengadakan replikasi hasil studi. Untuk meningkatkan keterdekatan penelitian yang satu dengan penelitian lain pada lokasi 86
yang sama tergantung berbagai hal. Ketergantungan atau dependentabilitas itulah yang menjadi foukus pemikiran paradigma naturalistik, mengganti konsep reabilitas. Guba menge tengahkan beberapa teknik untuk itu. Pertama, menggunakan teknik-teknik yang dipakai untuk kredibilitas. Kedua, dengan metoda-metoda overlap. Bentuk aplikasinya adalah teknik triangulasi seperti yang telah dikemukakan untuk meningkatkan kredibilitas. Ketiga, teknik replikasi bertahap; untuk studi dibentuk dua tim, masing-masing bergerak independen, tetapi secara periodik bertemu. Teknik tersebut disebut oleh Guba, tetapi tidak direkomendasikan. Keempat, dengan teknik audit, metaphor dari audit fiskal. Perhatian umum dari teknik ini adalah: kejujuran (bukan menyajikan creative accounting, yang dalam konteks Indonesia menjadi laporan ABS), dan ketepatan sudut pandang auditor. Hal lain yang dituntut oleh positivis dari suatu penelitian adalah obyektivitas. Bagi positivis yang obyektif itu bersifat publik, universal, dan tidak memihak; sedangkan yang subyektif itu menjadi mempribadi, memihak, dan berat sebelah. Bagi paradigma naturalistik, realitas itu ganda, dalam arti mempunyai berbagai perspektif. Keterikatan pada konteks dan waktu menjadikan hasil studi itu berfaku kontekstual. Bagi paradigma naturalistik kebenaran itu value-bound, terkait pada nilai. Untuk menghindari konotasi yang tidak tepat, maka paradigma naturalistik tidak menggunakan istilah-istilah obyektif subyektif, melainkan menggunakan istilah konfirmabilitas, kepastian. L. MEMPROSES DATA SECARA NATURALISTIK Dalam paradigma naturalistik data tidak dilihat sebagai apa yang diberikan alam, melainkan hasil interaksi antara peneliti dengan sumber data, demikian Guba. Epistemologik kita lihat beda konsep dengan yang positivistik, yang menuntut pilahnya peneliti dengan obyek emperik (sensual); beda konsep dengan yang rasionalistik, yang meskipun menuntut pilahnya peneliti dari obyek, tetapi ada peran aktif peneliti mencari makna di balik yang emperik sensual. Antara berbagai model yang phenomenologik, pembaca akan menjumpai perbedaan nuansa tentang hal tersebut. Dalam pandangan positivisme, fakta adalah segala sesuatu yang emperik sensual, sedangkan data adalah sesuatu yang obyektif yang relevan dengan yang dipermasalahkan; sebagian besar dari data tersebut adalah fakta yang relevan. Bagi Guba yang phenomenologik, atau tepatnya naturalistik, data merupakan produk dari proses memberikan interpretasi peneliti; di dalam data sudah terkandung makna yang mempunyai referensi pada nilai (values). Data dari Guba adalah konstruksi hasil interaksi peneliti dengan sumber data; sedangkan analisis data merupakan rekonstruksi dari konstruksi tersebut. Perlu penulis ingatkan beda fungsi peneliti dalam berelasi dengan sumber data pada positivisme dengan pada naturalistiknya Guba. Pada positivisme, data terseleksi berdasar konsep teoretik atau hipotesis yang dikonstruksikan sebelum penelitian; sedangkan pada naturalistik proses mengkonstruksi tersebut berlangsung di lapangan, sebagai hasil interaksi antara peneliti dengan sumber data. Ada sejumlah teknik analisis untuk penelitian kualitatif. Goetz dan LeCompte (1981) mengenalkan sejumlah teknik analisis, yaitu: induksi analitik, metoda komparatif konstan, dan analisis tipologik. Induksi analitik dapat dibaca pada model ethnometodologik; demikian pula komparatif konstan. Pada analisis tipologik peneliti bertolak dari konstruksi teori tertentu, yang disebut tipologi, sedangkan data yang masuk dikategorisasikan menurut konstruksi teori itu. Dilihat dari segi naturalistik Guba, teknik analisis induksi analitik tak sesuai dengan jiwa paradigma naturalistik karena induksi analitik berupaya untuk membangun teori, membangun generalisasi, membangun universalisasi. Sedangkan analisis tipologik oleh Guba dipandang tidak sesuai pula dengan jiwa paradigma naturalistik, karena secara a priopri menampilkan konstruksi teori. Paradigma naturalistik memproses secara induksi murni. Guba menunjuk cara Glaser dan Strauss mendeskripsikan tahap-tahap kerja metoda konstan komparatif sebagai sesuai dengan jiwa naturalistik. Tahap-tahap kerja tersebut adalah: a) 87
memperbandingkan kejadian yang cocok dengan kategorinya, b) mengintegrasikan kategori dengan ciri-cirinya, c) merumuskan teori, dan d) menuliskan teori. Meskipun metoda membangun teori tersebut merupakan proses berkelanjutan, tetapi tahap-tahap lebih awal tetap menyediakan pengembangan berkelanjutan bagi tahap lebih kemudian, hingga akhirnya proses analisis secara keseluruhan diakhiri. biakhiri dalam makna bahwa berakhir bagi suatu penelitian, tetapi tetap dapat diteruskan proses tersebut sampai kapanpun. Mengategorikan kejadian-kejadian mungkin saja mulai dari mengelompokkan berdasarkan namanya, fungsinya, atau alasan lain. Ketika mau memasukkan sesuatu yang baru ke dalam kategori satu atau lainnya, sekaligus diperbandingkan dasar pengelompokannya; mungkin saja perlu ada penggdseran. Pada tahap mencari dasar pengelompokan dengan cara tersebut, peneliti sudah mulai melangkah mencari ciri-ciri setiap kategori. Dengan pengembangan mengidentifikasi ciri-ciri, peneliti sudah melangkah lagi lebih lanjut ke konseptualisasi abstrak atas situasi substansialnya, mengabstraksikan sejumlah kejadian yang sudah dikelompokkan dan diidentifikasi ciri-cirinya. Dalam pemikiran metoda komparatif konstan semua langkah tersebut dapat dilakukan berkelanjutan, tetapi bagaimanapun perlu dihentikan pada taraf perkembangan tertentu. Bila peneliti sudah memandang perlu diakhiri maka berhentilah membuat kategori dan tuliskan memo idee Anda, peneliti. Pada tahap kedua, peneliti perlu berupaya mengintegrasikan kategori-kategori beserta ciri-cirinya. Pada tahap ini peneliti bukan sekedar memperbandingkan atas pertimbangan rasa-rasanya mirip atau sepertinya mirip, melainkan pada ada tidaknya muncul ciri berdasar kategorinya. Dalam hal ini ciri jangan didudukkan sebagai kriteria, melainkan ciri didudukkan tentatif, artinya: pada waktu hendak memasukkan kejadian pada kategori berdasar cirinya, sekaligus diuji apakah ciri bagi setiap kategori tepat. Dengan langkah menjadikan ciri kategori menjadi eksplisit, peneliti sekaligus dapat mulai berupaya untuk mengintegrasikan kategori-kategori yang dibuatnya. Hubungan antarkategori menjadi semakin jelas dan tatahubungan kategori menjadi semakin koheren, lebih dari sekedar taksonomi dari data terkalsifikasi. Itu berarti telah tersusun atribut-atribut teori, atau setidak-tidaknya tersusun suatu konstruksi situasi tertentu. Bila data dikumpulkan berdasar penyampelan purposive dan sekaligus dianalisis, maka integrasi teori akan berlangsung dengan sendirinya. Bagi naturalis, data yang diperlukan untuk pengintegrasian teori dapat saja dikumpulkan untuk melengkapi fungsi integrasi. Pada tahap ketiga, kita membuat perumusan teori. Bagi naturalistik, menyusun teori sama dengan mengkonstruksi konsep. Pengembangan konstruksi teori dimulai dengan perumusan teori, dimulai dengan mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus memperbaiki rumusan dan integrasinya. Modifikasi rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus semakin diperbanyak. Data semesta yang digunakan oleh metoda komparatif konstan dikonstruksikan dengan perumusan teori, dilengkapi terus dengan data baru, dirumuskan kembali dalam arti diperluas skopa sekaligus dipersempit kategorinya. Dalam hal ini ada semacam seleksi atas data baru berdasar kriteria teoretik, yaitu kriteria yang disusun berdasar rumusan teori tersebut di atas, bukan kriteria teoretik yang diambil secara apriori dari luar penelitian itu sendiri. Tahap keempat adalah penulisan teori, yang telah penulis uraikan di muka dalam bentuk laporan penelitian kasus. Untuk memproses data secara naturalistik Guba mengetengahkan strategi: Pertama, menyatukan dalam unit-unit. Kejadian-kejadian yang kita uraikan di atas merupakan unit-unit informasi yang akan menjadi basis merumuskan kategori-kategori. Tugas menyatukan dalam unit-unit, bukan memotongmotong teks menjadi tema atau kata-kata sehingga kehilangan makna. Menyatukan dalam unit-unit haruslah berpegang pada dua prinsip, yaitu: heuristik dan dapat ditafsirkan tanpa informasi tambahan. Unit-unit tersebut terhimpun lewat catatan hasil observasi, wawancara, dokumen, rekaman, ringkasan, komentar peneliti, dan 88
lainnya. Kesemuanya itu perlu dilangkahkan lebih lanjut dengan pembuatan kartu indeks; dan hal yang lebih penting lagi adalah kesemuanya itu dapat memberi informasi komprehensif. Kartu indeks tersebut perlu dikodekan. sedemikian sehingga digunakan untuk berbagai tujuan. Penulis membuat kode 42118, yang dapat dibaca: kabupaten Wonogiri (4), kecamatan Pracimantoro (2), desa Sambiroto (1), dan pemimpin informal ke 6 (18); kode 24202, yang dapat dibaca: kabupaten Banyumas (2), kecamatan Cilongok (4), desa Cikadang (2), dan pemimpin formal ke 2 (02); untuk mengkodekan sekaligus berbagai hal, yang nantinya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Acuh tak acuh pada pekerjaan awal ini akan menimbulkan kesulitan yang banyak bila catatan sudah menggunung. Kedua, kategorisasi. Tugas esensial dari strategi ini adalah menyatukan kartu data informasi yang rasanya sama atau sepertinya sama dalam satu kategori. Pekerjaan ini mulai dengan memberi catatan kode kategori pada kartu pertama, memberi kode lain atau berbeda pada kartu kedua dan seterusnya. Cara kedua tersebut dapat terus dikerjakan, sampai pada suatu saat penel iti ragu atau kacau sesuatu data baru dimasukkan kategori mana; sehingga terbuka pemikiran untuk menambah kategori, atau mengubah dasar kategori-kategorinya. Hal itu akan terjadi berulang kali, dan itu wajar. Yang kita perhatikan adalah kapan berhenti mengubah-ubah kategori-kategori. Pada dasarnya rekonstruksi dapat dilakukan berkelanjutan; tetapi untuk suatu penelitian kegiatan itu perlu ditetapkan kapan berhenti, karena langkah lain, yaitu analisis perlu dikerjakan. Guba mengetengahkan empat kriteria untuk menetapkan kapan berhenti itu, yaitu: tuntasnya sumber (berulang kali dicari informasi pada subyek yang sama atau berbeda, hasilnya sama saja jenuhnya kategori-kategori (data baru dihimpun, tidak lagi memerlukan revisi kategori-kategori), muncul keteraturan (ada semacam integrasi telah dicapai), dan sudah mengarah ke meluas yang berlebihan (overextension) (ketika informasi baru dimasukkan, bukannya memperjelas, melainkan mengalihkan fokus ke hal lain). Uraian tentang strategi kategorisasi sudah implisit strategi mempolakan. Strategi berikut adalah mengadakan semacam peninjauan kembali dari keria kategorisasi individual oleh tim; setiap anggota tim menyajikah hasil kerjanya, dan minta masukan dari anggota tim lain. Dengan cara tersebut hasil pemrosesan data baik sebagai hasil kerja individual maupun hasil kerja tim, telah diuji keterpercayaannya dengan teknik uji kelompok. Mungkinkah kita memproses data kualitatif dengan menggunakan komputer? Drass (I 98b) mengemukakan bahwa komputer hanya mampu menganalisis data sampai taraf mekhanik, belum sampai taraf penafsiran. Kemampuan komputer hanya terbatas sampai memodifikasi penyimpangan data; bukan menafsirkannya. Margaret O’brien (1982) membedakan dua kategori program pemrosesan data bahasa, yaitu: metoda manajemen teks dan metoda analisis teks. Metoda manajemen teks mencakup: mengedit, memilih format atau bentuk, dan memilih kata. Yang tepat, dalam upaya mengubah materi teks menjadi format yang memudahkan analisis. Sedangkan analisis teks membantu peneliti dalam menguji struktur bahasa agar dapat membuat prediksi dari struktur tersebut. Komputer tak mampu membuat prediksi, komputer hanya mampu menata. materi yang memungkinkan peneliti membuat penafsiran. Memang banyak upaya untuk menggunakan komputer untuk membantu analisis kualitatif, tetapi tetap saja banyak hal yang belum dapat dijangkau. O’brien membedakan metoda analisis teks menjadi empat jenjang. Dalam klasifikasi penulis, tiga jenjang pertama termasuk yang menggunakan landasan positivistik, sedangkan jenjang keempat dapat dimasukkan ke yang mencari makna holistik, dan itu berarti dekat ke yang phenomenologik. Metoda analisis teks jenjang keempat adalah metoda mengurai kalimat menurut tata bahasanya, mencari hubungan sintaksis, meninjau dari segi semantiknya. Sekedar untuk menambah wawasan, metoda analisis teks jenjang pertama, disebut metoda univariat (kata. menjadi unit analisis, dihitung frekuensinya), jenjang kedua bivariat (data bahasa disimpan untuk diolah atas prinsip logika Boolian: 1 dan 0 atau benar dan salah), dan jenjang ketiga. multivariat (data disimpan atas prinsip Boolian dan menggunakan manipulasi matriks). 89
Pada akhirnya Guba mengakui bahwa memproses data secara naturalistik masih belum berkembang baik. Miles (1979) mengemukakan bahwa penggunaan metoda analisis data kualitatif belum terumuskan baik seperti pada yang kuantitatif Untuk analisis kualitatif terlalu sedikit petunjuk dapat diperoleh. Adam (1981) dan Smith (1981) menunjuk sejumlah hambatan atau keterbatasan pengolahan data secara naturalistik, beberapa di antaranya adalah: a. data menggunung; sulit untuk direkam ringkas tanpa kehilangan makna ataupun konteksnya; b. ada kecenderungan positif dan negatif-informasi yang mendukung konsep lebih diperhatikan, yang bertentangan dengan konsep peneliti, cenderung diabaikan; dan c. terlalu yakin atas keputusannya; ada kecenderungan untuk meyakinkan kebenaran keputusannya, meskipun dihadapkan kepada evidensi yang perlu dipertimbangkan, atau malahan bertentangan dengan keputusannya.
90
IV. MODEL INTERAKSIONISME SIMBOLIK A. INTERAKSIONISME SIMBOLIK DAN PARA PENDAHULU Interaksionisme simbolik penulis sajikan sebagai salah satu model metodologi penelitian kualitatif berlandaskan pendekatan phenomenologik, karena memang filsafat yang melandasi ataupun pendekatan metodologinya dapat dikatakan sama. Interaksi simbolik memiliki perspektif teoretik dan orientasi metodologi tertentu. Pada awal perkembangannya interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan masyarakat atau kelompok. Karena itu sementara ahli menilai bahwa interaksi simbolik hanya tepat diterapkan pada phenomena mikrososiologik atau pada perspektif psikologi sosial. Pada perkembangan selan.jutnya interaksi simbolikjuga mengembangkan studi pada perspektif sosiologiknya, sehingga kritik tersebut menjadi tidak tepat lagi, karena pendekatan makrososiologikjuga telah diterapkan. Proposisi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah: perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakdn karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna dibalik yang sensual menjadi penting dalam interaksi simbolik. Bagaimana konsep interaksi simbolik dibangun akan dilacak dari para pendahulu yang pendapatnya dipakai sebagai landasan konsep interaksi simbolik. Akarnya dapat diangkat dari idealisme Kant, dari moralist Ribot, dan evolusionisme kreatif dari Bergson; juga pragmatisme John Dewey. Ide utama dari simbolik interaksionisme berangkat dari idealisme Jerman yang mengemukakan bahwa manusia membangun dunianya, membangun realitas. Ribot mengemukakan bahwa simpasi merupakan the foundation of all social existence; dan Max Scheler mengembangkan tiga bentuk simpasi dari Ribot menjadi delapan bentuk simpasi, dua bentuknya yang tertinggi adalah: Menschenliebe, mencintai sesama manusia dan Gottesliebe, mencintai Tuhan. Pola perilaku manusia itu tumbuh setapak demi setapak, tetapi kreatif sehingga tidak dapat diramalkan, demikian Bergson. John Dewey mengemukakan bahwa semua organisme berperan dalam membentuk lingkungannya. Komunikasi dengan bahasa memungkinkan terbangunnya masyarakat manusia, demikian Dewey. Interaksi simbolik mengejar makna di balik yang sensual, mencari phenomena yang lebih esensial daripada sekedar gejala. Karena itu landasan filosofik dari interaksi simbolik adalah phenomenologi. Pokok-pokok fikiran para pendahulu atau peletak landasan tersebut akan nampak operasionalsasinya pada uraian selanjutnya. B. TUJUH PROPOSISI DASAR Konsep positivisme bertolak dari premis-premis seperti: perilaku semua organisme itu pada dasarnya sama, bahwa yang kompleks itu dapat dianalisis menjadi bagian yang lebih elementer, dan beberapa premis lainnya. Konsep interaksi simbolik bertolak dari setidak-tidaknya tujuh proposisi dasar. Pertama, bahwa perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang menggejala. Diperlukan metoda untuk mengungkap perilaku yang terselubung. Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia. Manusia membangun lingkungannya (Dewey), manusia membangun dunianya (E. Kant), dan kesemuanya itu dibangun berdasar simpasi (Ribot), dengan bentuk tertingginya berupa Menschenliebe dan Gottesliebe. Ketiga, bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga, Keempat, perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran phenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekhanik dan otomatik. Perilaku manusia itu bertujuan dan tak terduga. Kelima, konsep mental manusia itu berkembang dialektik. Mengakui ada tesis, antitesis, dan sintesis; sifatnya idealistik (E. Kant), bukan materialistik (K. Marx). Keenam, perilaku manusia itu wajar dan konstruktif kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu 91
digunakan metoda introspeksi simpathetik; menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna. C. MAZHAB CHICAGO DAN IOWA Dua tokoh menonjol dari penganut interaksi simbolik, yaitu: H.G. Blumer dari Universitas Chicago dan Manferd H.Kuhn dari State University of Iowa, yang berbeda pendapat dalam banyak hal. Masing-masing mempunyai sejumlah pakar yang semula adalah mahasiswanya di Chicago dan Berkeley (Blumer) dan di Des Moines (Kuhn). Blumer menjurus ke pemaknaan idiographik, sedangkan Kuhn menjurus ke pencarian prediksi universal. Blumer mencari pemaknaan yang dalam, sedangkan Kuhn mengarah ke pencarian standardisasi dan obyektivitas. Blumer mengkritik metodologi kuantitatif sebagai gagal menangkap makna, sedangkan Kuhn mentransformasikan konsep interaksi simbolik ke dalam variabel-variabel. Blumer mendeskripsikan bahwa Iowa menggunakan scientific concepts atau konsep definitif, sedangkan Chicago menggunakan sencilizing concepts atau konsep yang hanya mengarahkan. Blurner menampilkan dimensi tak terduga dan indeterminisme atas perilaku manusia, sedangkan mazhab Iowa menolak indeterminisme; dan Iowa berupaya menjelaskan inovasi manusia sebagai tindak inovatif Blumer mengetengahkan bahwa aktivitas lebih banyak mulai dari dorongan batin daripada stimuli dari luar. Sedangkan Kuhn berpendapat bahwa perilaku itu ditentukan dalam interaksi sosial. D. PRINSIP METODOLOGI DALAM INTERAKSI SIMBOLIK Penganut interaksionisme berasumsi bahwa analisis lengkap perilaku manusia akan mampu menangkap makna simbul dalam interaksi. Pakar sosiologi harus juga menangkap pola perilaku dan konsep diri. Simbol itu beragam dan kompleks, verbal dan nonverbal, terkatakan dan tak terkatakan. Prinsip metodologi pertama adalah: simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita hanya merekam fakta, kira harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbul dan maknanya. Prinsip kedua: karena simbul dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati-diri subyek perlu dapat ditangkap. Memahami konsep jati diri subyek dengan demikian menjadi penting. Prinsip metodologi ketiga adalah: peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dengan jatidiri dcngan lingkungan dan hubungan sosialnya. Konsep jatidiri terkait dengan konsep sosiologik tentang struktur sosial, dan lainnya. Prinsip keempat adalah: hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saja. Prinsip kelima adalah: metoda-metoda yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. Prinsip keenam adalah: metoda yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna di balik interaksi. Kadangkala ada yang menunjuk tentang perbedaan hasil penelitian pada daerah kasus yang sama. Perlu dipertimbangkan bahwa banyak sekali kemungkinan terjadinya perbedaan hasil penelitian, karena memang obyek yang diobservasi berbeda, atau analisisnya berbeda, atau yang dipertanyakan berbeda. Prinsip ketujuh mengemukakan bahwa sensitizing (yaitu sekedar mengarahkan pemikiran) itu yang cocok dengan interaksionisme simbolik, dan ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional, menjadi scientific concept (yaitu konsep yang lebih definitif). Dari prinsip yang ketujuh ini nampaknya Norman K.Denzin hendak memadukan pandangan Blumer dengan Kulin. Bila prinsip ketujuh ini kita gunakan, nampaknya pengembangan. interaksionisme simbolik yang phenomenologik akan mengarah ke pemikiran statistik kuantitatif atau positivistik. Suatu upaya yang mempermiskin konsep interaksionisme simbolik, seperti yang dikerjakan oleh Goffman, dalam disertasinya di Chicago, yang 92
mendeskripsikan kehidupan manusia sebagai life as theater, sedangkan yang back-sluge, di luar pentas dapat lain. Kehidupan menjadi produk ekspresi, seremonial tanpa makna, tanpa norma. E. METODA PEMAKNAAN Kita perlu kembali ke ontologi. Phenomenologi mengakui empat kebenaran emperik, yaitu emperik sensual, emperik logik, emperik etik, dan emperik transendental. Menangkap gejala bagi positivisme terbatas pada emperik sensual; bagi rasionalisme menangkap gejala menjangkau sampai yang emperik sensual, logik dan etik; sedangkan bagi phenomenologi gejala (atau lebih tepat disebut phenomena) ditangkap sampai sejauh yang transendental. Dengan catatan: filsafat phenonienologi yang dipakai sebagai landasan Bagian Ketiga ini adalah phenomenologinya Edmund Husserl, bukan yang lain, yang sebagian malahan berkembang menjadi eksistensialisme atheis. Selanjutnya perlu membedakan antara 1). terjemah atau translation, 2). tafsir atau interpretasi, 3), ekstrapolasi dan 4). pemaknaan atau meaning. Membuat terjemah merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda; media tersebut mungkin berupa bahasa satu ke bahasa lain, dari verbal ke gambar, dan sebagainya. Pada penafsiran kita tetap berpegang pada materi yang ada, dicari latar belakangnya, konteksnya agar dapat dikemukakan konsep atau gagasannya lebih jelas. Ekstrapolasi lebih menekankan pada kemanipuan daya fikir manusia untuk menangkap hal di balik yang tersajikan. Materi yang tersajikan dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh lagi. Memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran, dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia: indriawinya, daya fikirnya, dan akal budinya. Materi yang tersajikan, seperti juga juga ekstrapolasi dilihat t1dak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh. Di balik yang tersajikan bagi ekstrapolasi terbatas dalam arti emperik logik, sedangkan pada pemaknaan dapat pula menjangkau yang etik ataupun yang transendental. Catatan: makna atau meaning bagi positivisme terbatas pada signifikansi. Metoda pemaknaan ini penulis angkat dari Karl Mannheim yang ditulisnya sebagai artikel dengan judul On the Interpretation qf Weltanschauung. Catatan: penulis memang menajamkan pembedaan pemaknaan menjadi empat yaitu: terjemah, tafsir, ekstrapolasi, dan pemaknaan, sedangkan Karl Mannheim tidak; tetapi penulis telaah bagian tertentu dari metoda interpretasinya lebih-lebih yang menyangkut Weltanschauung, penulis timbang cocok untuk dipakai sebagai metoda pemaknaan, dengan penulis eksplisitkan ontologi phenomenologinya. Dari sesuatu yang muncul sebagai emperi kita coba cari kesamaan, kemiripan, kesejajaran dalam arti individual, pola, proses, latar belakang, arah dinamikanya, dan banyak lagi kemungkinannya; termasuk kemungkinan detrimentasinya atau berlawanan arahnya. Kesamaan sampai ke detrimentasi tersebut yang kita tangkap dari emperi kita cari lebih dalam pada nilai logik, etik, dan/atau nilai transendentalnya: apa maknanya, apa keberartiannya bagi hidup manusia.
93
BAGIAN KEEMPAT: METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN REALISMEMETA PHISIK METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATANREALISMEMETAPHISIK A. NOMOTHETIK DAN IDEOGRAPHIK Penelitian kualitatif telah menarik bagi banyak orang. Mengapa menarik? Sesuatu yang baru. Memang. Tetapi menarik kareria substansial memang lebih bagus ataukah sekedar kecenderungan kontemporer ? Metodologi penelitian kualitatif yang sekarang sedang menjadi kecenderungan baru adalah metodologi penelitian kualitatif yang mengguilakan model paradigma naturalistik dari Guba dan Lincoln, dan sekarang dikembangkan lebih la njut oleh Lincoln, semula mahasiswa dan kemudian asisten dari Guba (Baca: Denzin & Lincoln, 1994), dan sekarang ini Lincoln menjadi alih metodologi penelitian kualitatif yang sangat terpandang di Amerika Serikat. Ilmu pengetahuan alam dengan metoda induktif dan eksperinleiltal sejak abad ke-13 telah berhasil dari sukses-mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan alam seperti: phisika, biologi, kimia, dan lain-lain dengan membuat kesimpulan abstraktif yang menyosok menjadi generalisasi dari beragam kasus, menyosok menjadi prinsip, menjadi tesis, atau menjadi teori memiliki kemampuan meinprediksi kasus-kasus yang sesuai dengan generalisasi tersebut di atas. Untuk sejarah manusia, Hegel berupaya mencari sesuatu yang universal, sedangkan W. Dilthey berupaya menemukan pola-pola, dan lebih lanjut W. Dilthey mengemukakan bahwa hidup manusia penuh makna: dan Freud menambahkan lagi bahwa ada tiefen hermeneutik atau ada depth meaning of human life. Ilmu-ilmu yang dalam langkah-langkah pengembangannya menjurus ke pencarian generalisasi agar mampu memprediksi kasus-kasus selanjutnya disebut oleh W. Dilthey sebagai ilmu nomothetik. Sedangkan kelompok ilmu yang lain berUpaya memperkaya ilmunya dengan cara menghimpun banyak kasus dari membuat kesimpulan pada kasuskasus masing-masing. Kelompok ilmu ini berupaya untuk mendeskripsikan sesuatu sebagaimana adanya: tidak ada maksud untuk membuat evaluasi. Kelompok ini umumnya dari kalangan antropologi, dan melihat keragaman budaya beserta keragaman pola tradisi serta adanya keragaman kriteria. Kelompok ini berupaya untuk memahami keragaman tersebut menurut pemaknaan pendukung budaya itu seridiri. Studi antropologik para orientalis pada abad XVIII dan XIX menggunakan kerangka fikir Barat-, sedangkan studi aritropologik muktakhir yang menggunakan peridekatan phenomehologik berupaya untuk membuat pemaknaan menurut pendukung budaya itu sendiri, berupaya menghindari pemaknaan dengan kriteria atau kerangka fikir para peneliti. Ilmuwan yang dalam mengadakan penelitian membatasi diri pada mencandra saja, itupun dalam pemaknaan pendukung budaya itu sendiri termasuk pengembang kelompok ilmu yang oleh W. Dilthey disebut ilmu ideographik. Realisme metaphisik secara reflektif berupaya menemukan grand-theory untuk selanjutnya diuji secara emperik. Pengujian grand theory dalam metodologi pembuktian Popper bukan menggunakan uji verifikasi, melainkan dengan uji falsifikasi. Bukan mencari bukti-bukti pendukung-teori besar tersebut, melainkan mencari bukti-bukti emperik kesalahan teori besar tersebut. Teori relativitas dari Einstein merupakan hasil, berfikir reflektif dari Einstein; semisal Einstein hanya melihat ekornya, dapat berteori bahwa makhluk itu gajah. Dalam hal ini uji kebenaran teori relativitas Einstein, dibuktikan dengan cara mencari bukti tidak berlakunya pada substansi atau kondisi tertentu.
94
Peneliti yang bermaksud memberangkatkan penelitiannya dari teori besar, dapat memilih alternatif pendekatan rasionalistik atau pendekatan realisme ini. Apa beda keduanya akan dibahas pada waktunya. B. REALISME METAPHISIK: KETERATURAN SEMESTA Sering kita jumpai bahwa sesuatu prinsip, hukum, atau teori tidak dapat diterapkan atau dipakai untuk memprediksikan sesuatu kasus yang dijumpai. Pada awalnya para ahli berfikir bahwa penyimpangan dari prinsip atau hukum merupakan kekecualian, merupakan sesuatu kasus yang irregular. Pada pemikiran lebih cermat orang menunjuk bahwa mungkin ada sejumlah faktor atau variabel yang tidak terpantau yang sebenarnya telah ikut berperan. Pada pemikiran dengan paradigma yang lebih terbuka orang mencermati tentang banyaknya ragam kemungkinan. Hal-hal tersebut banyak dijumpai dalam kelompok disiplin ilmu sosial. Ragam kemungkinan tersebut oleh sementara, ahli ditangkap sebagai uncertainty (Baca buku Charles Handy, The Age of Uncertainty). Sementara ahli lain menampilkan teori probabilistik. Sementara ahli lain menampilkan adanya pola atau tipe. Sementara ahli lain lagi mengemukakan bahwa benda itu objektif alami, dan idee manusia subyektif; sedangkan kebenaran objektif yang bebas tempat dan waktu berada pada dataran lebih tinggi dari objektif alami dan subyektif idee. Kebenaran ob ektif tersebut bersifat metaphisik, demikian Popper. Emperisme menekankan pencarian ilmu secara induktif lewat emperi; sedangkan rasionalisme menekankan pencarian ilmu secara edukti menggunakan rasio. Menurut rasionalisme emperi barulah bermakna setelah disistematisasikan serta dimaknai oleh akal budi manusia. Realisme menurut Popper adalah sekaligus emperisme kritis serta rasionalisme kritis. Positivisme dan lebih-lebih paradigma naturalistik Guba membangun teori dari emperi, sedangkan rasionalisme mengkonstruksi emperi berdasar konstruksi teori yang dibangun secara deduktif atas kemampuan rasio manusia. Popper memperlakukan emperi secara kritis, karena memang ada kebenaran objektif di alam semesta ini, yang tertangkap oleh ilmuwan sebagai tesis, teori, hipotesis, dan lain-lain. Dari sisi lain, Popper juga disebut rasionalisme kritis karena kebenaran objektif dicermati terus dengan menyusun bangunan teoretik besar yang secara terus-menerus diuji. Umumnya para ahli menguji kebenaran teori lewat uji verifikasi (mencari bukti-bukti untuk mengokohkan teorinya, hipotesisnya), sedangkan Popper menguji kebenaran teorinya lewat uji falsifikasi (mencari bukti-bukti pada bagian mana dari teori besarnya itu yang salah). Penganut realisme mengakui keteraturan semesta. Ilmuwan lewat teorinya, hipotesisnya, postulasinya, dan pendapatnya mencoba menangkap keteraturan alam semesta tersebut. Popper memandang bahwa keteraturan alam semesta sebagai kebenaran objektif, dan berada pada dataran rasional, penulis mengangkat lebih jauh lagi, yaitu bahwa keteraturan alam semesta ini berada pada dataran transendens, diatur oleh Al Khalik, Sang Pencipta. Popper juga menyebut relismenya itu realisme metaphisik. Kebenaran objektif menurut Popper berada pada dataran metaphisik. Makna metaphisik bagi Popper adalah bahwa kebenaran itu disajikan dalam pernyataan yang untestable. Ada pernyataan yang testable yang untestable. Pernyataan bahwa setiap kejadian ada penyebabnya adalah pernyataan eksistensial universal yang untestable. Yang dapat dibuktikan adalah kejadian x dan penyebab y, bukan kejadian universal dan penyebab. universal. Kejadian universal dan penyebab universal itulah yang disebut oleh Popper sebagai kebenaran objektif yang metaphisik, yang untestable. Kebenaran objektif yang disebut Popper metaphisik karena untestable, penulis angkat pada dataran transendensi menjadi kebenaran metaphisik karena keteraturan alam semesta itu memang diciptakan Al Khalik, Sang Pencipta karena ke-Mahatahuan-Nya, dan ke-Mahabijaksana-Nya. Keseimbangan alam semesta: ada predator, ada kematian, ada pembusukan, ada air laut yang asin, dan banyak lagi contoh-contoh lainnya menampilkan bukti95
bukti bukan hanya ke-Mahatahuan-Nya, melainkan juga ke-Mahabijaksanaan-Nya Sang Pencipta, Allah subhaanahu wataala. Teori atom, dan lebih jauh lagi teori adanya netron dan proton dalam atom, tentang serat optik yang dapat membuat induksi listrik atau suara dengan percepatan luar biasa merupakan contoh-contoh terapan teori-teori metaphisik yang nontestable menurut Popper. Juga teori besar Descartes bahwa dunia berputar mengikuti teori jarum jam, merupakan contoh lain teori metaphisik, berputar mengikuti jarum jam, merupakan teori besar lain yang metaphisik (pada konsep dataran logik). Alam semesta terdiri atas beribu galaksi merupakan teori besar lain yang metaphisik. Setiap kamu adalah pemimpin telah merupakan acuan metaphisik transenden penulis dalam memkonstruksikan teori kepemimpinan dari disertasi penulis, guna menemukan opinion leader atau pemuka pendapat yang inovatif bagi pembangunan. Harta jangan beredar pada sebagian kecil dari kamu, dan pada harta orang kaya melekat hak orang miskin berulangkali kami kutip agar dipakai untuk membangun teori ekonomi yang bukan kapitalistik dan juga bukan sosialistik. Acuan tersebut bersifat metaphisik transenden, karena memaft berasal dari wahyu Allah. Dengan realisme metaphisik ilmuwan bukan sekedar menguji kebenaran, melainkan lebih jauh lagi, yaitu mencari makna. Mencari makna dan berasumsi bahwa ada keteraturan semesta, merupakan konseptualisasi ilmuan dalam berilmu pengetahuan. Dalam pendekatan rasionalisme di bagian kedua telah penulis bedakan antara konsep eksistensial dengan konsep idealisasi (meminjam istilah Shapere). Konsep eksistensial lebih mendeskripsikan emperi atau phenomena, sedangkan konsep idealisasi penulis bedakan menjadi dua, yaitu: konsep idealisasi teoretik dan konsep idealisasi moralistik. Pesawat di bintang Mars dan pistol laser dalam cerita Flash Gordon (pada waktu penulis masih anak-anak) merupakan konsep idealisasi teoretik yang sekarang ini sudah menjadi konsep eksistensial. Keteraturan semesta dalam dunia objektif dari Popper adalah konsep idealisasi teoretik, juga kemampuan chips atau microprocessor untuk membuat 1 juta langkah per detik sudah mulai bergeser dari konsep idealisasi teoretik menjadi konsep eksistensial. Teknologi nano-nano mulai bergeser dari konsep idealisasi teoretik menjadi konsep eksistensial. Konsep idealisasi moralistik dapat penulis sebut seperti melting pot policynya Amerika Serikat (AS), kebijakan Bhineka Tunggal lka, idee, learning society, dan juga teori perjuangan kelasnya Karl Marx adalah konsep idealisasi moralistik. Konsep idealisasi moralistik perjuangan kelasnya Karl Marx ternyata tidak valid, artinya tidak dapat dieksistensialkan berkelanjutan karena banyak kelemahan. Melting pot policy AS sempat bergeser ke multi-cultural policy pada tahun 1970-an. Konsep idealisasi keteraturan semesta di dataran dunia objektif dan rasional dari Popper termasuk konsep idealisasi teoretik, yang bila dikaitkan dengan konsep-konsep Weltan schauung-nya Kuhn , Feyerabnd, Shapere, dan lain-lain dapat pula menjangkau dataran konsep idealisasi moralistik. Sedangkan konsep idealisasi keteraturan semesta yang menjangkau dataran transendental yang penulis ketengahkan dapat disebut sebagai konsep idealisasi transendental. C. KEBENARAN ATAU TRUTHS Dalam pandangan Hurne, alam semesta ini hanyalah persepsi dan refleksi subyek saja. Lebih ekstrim lagi pandangan Berkeley, bahwa teori-teori ilmu bukanlah sesuatu yang berarti kecuali hanyalah instrumen untuk mendeskripsikan atau memprediksikan phenomena. Popper dan juga penulis tidak sependapat dengan Hume ataupun Berkeley. Pandangan Berkeley termasuk dalam pandangan kelompok instrumentalis. Teori ilmu hanyalah alat untuk menjelaskan phenomena; sedangkan pandangan realisme mendudukkan teori ilmu sebagai law of nature 96
(dalam pandangan pada dataran rasional), suatu sunnatullah (dalam pandangan pada dataran transendensi). Munculnya teori baru menyanggah teori lama karena upaya menemukan makna emperi hakiki atas law of nature ataupun sunnatullah belum tuntas, masih parsial atau kurang momot hal-hal spesifik atau paradigmanya kurang tepat. Akankah ilmuwan mampu menemukan yang hakiki ataupun menemukan sunnatullah yang tuntas? Pada dataran rasional misal pada Popper, jawabannya adalah setiap teori momot probabilitas benar dan salah. Uji teorinya (karena memang berangkat dari teori besar) bukan lewat mencari pendukung kebenaran teori, melainkan lewat mencari bukti-bukti empirik yang menyangkal atau merevisi atau mempertajam teori. Pada dataran trandensi, misal pada pendapat penulis sendiri, jawabannya adalah: manusia itu diciptakan Allah dhoif , lemah (bibandingkan ke-Maha Tahu dan Maha-Bijaknya Allah), sehingga kebenaran emperi hakiki dan tuntas hanyalah milik Allah, Al Khalik, Sang Pencipta; tugas manusia sebagai makhluk Al Khalik adalah mencoba membaca keteraturan alam semesta ini. Dalam bahasa komputer, otak manusia tidak diprogramkan untuk mengetahui segalanya; bila dipaksakan kerja komputernya akan confusing, bila dipaksakan manusia tidak kuat dapat menjadi senewen, menjadi majenun. Kebenaran Mutlak, menurut Popper berada pada dunia objektif; dan menurut penulis adalah milik Allah. Dalam konteks berfikir Popper tugas kita berilmu pengetahuan adalah berupaya mendekati kebenaran mutlak (yang berada pada dunia objektif) diberangkatkan dari teori besar yang diasumsikan menyatakan dunia objektif yang teratur dan diuji dengan logika deduktif probabilistik serta teknik uji lewat uji falsifikasi. Dalam konteks berfikir transendensi penulis, upaya mendekati kebenaran mutlak dengan metoda tematik atau tafsir maudhui, yaitu dengan cara menghimpun nash dari Qur’an dan Hadits yang relevan dengan teori yang hendak dibangunnya. (Tentang langkah-langkah metoda madhui antara lain harap baca tulisan Quraish Shihab dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (1989). Paradigma tata fikir menata nash dengan pendekatan realisme metaphisik setidaknya dapat dipilih dua model logika, yaitu: logika deduktif probabilistik atau logika reflektif probabilistik. Catatan: 1). Dua model logika tersebut ditawarkan bila peneliti hendak memilih pendekatan realisme metaphisik. Bila peneliti memilih pendekatan lain, penulis menawarkan pula model logika yang mungkin berbeda dan mungkin pula sama. Harap dibaca pada pendekatan masing-masing. 2). Bila peneliti tidak hendak mengaitkan dengan Qur’an-Hadits, model transendensi penulis dapat diganti dengan paradigma bangunan moral atau Weltanschauung. Sumber referensi Untuk membangun paradigma moral tentu saja dapat dicari pada filsafat moral yang ada. Moral yang terkandung dalani Pancasila adalah: keimanan, perikemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan nasionalisme. Hasil penelitian dengan pendekatan realisme metaphisik akan berupa penajaman teori besar. Hasil penelitian dengan pendekatan positivisme adalah tesis keberartian (signifikansi) relevansi variabel-variabel; hasil tersebut mengundang masalah bagaimana bangunan tata hubungan dari sekian ratus atau sekian ribu variabel kecil-kecil. Jangan-jangan hanya akan menghasilkan kumpulan tukang berserakan, dan sulit untuk menggambarkan sosok dinosaurusnya. Untuk mengatasi kelemahan hasil penelitian positivistik, di bagian kedua penulis telah menawarkan pendekatan rasionalisme, dibangun payung bagi sejumlah variabel yang diteliti. Keterhubungan banyak katak berbunyi dengan banyaknya jas hujan terjual secara emperik akan terbukti benarnya, tetapi secara hakiki bukanlah dua hal yang berhubungan. Payung yang ditawarkan oleh pendekatan rasionalisme akan berupa teori substantif, tetapi bukan mustahil pula berupa teori besar. Apa perbedaan teori besar pada rasionalisme dengan teori besar pada realisme metaphisik? Teori besar pada rasionalisme (sebagai ekstensi positivisme) berfungsi untuk menguji kebermaknaan relevansi antarsejumlah variabel; dan masih Cukup banyak variabel relevan yang
97
tidak diuji. Sedangkan teori besar pada realisme metaphisik langsung diuji untuk ditajamkan rumusannya. Disertasi penulis menggunakan pendekatan rasionalisme. Teori besar penulis yang transenden adalah qullukum roin. Setiap kamu adalah pemimpin. Memang teori tersebut tidak penulis eksplisitkan dalam disertasi, tetapi menjadi acuan dalam penulis membahas beragam teori kepemimpinan, dan penulis tampilkan menjadi pencarian karakteristik pemimpin pemuka pendapat (opinion leader). Grand-concepts yang penulis kemukakan pula sebagai payung adalah : pertama, adanya tiga fungsi pemimpin menurut psikologi sosial (mengarahkan, mengkohesikan, dan membagi tugas); kedua, untuk pembangunan masyarakat apakah diperlukan pemimpin yang teguh berpegang pada norma ataukah diperlukan pemimpin yang inovatif; ketiga, kepemimpinan model mana yang tepat monolitik atau pluralistik., dan keem pat, manakah yang lebih efektif untuk pembangunan, pemimpin formal ataukah pemuka pendapat. Sedangkan variabel-variabel yang diangkat lewat penelitian hanyalah tiga belas buah saja. Hasilnya ternyata ketiga belas variabel tersebut dapat diklasterkan menjadi empat faktor dan mengungkap 93,15% karakteristik pemuka pendapat; dan karakteristik yang tak terungkap hanyalah 6,85%. Empat karakteristik tersebut sekaligus menyanggah teori klasik kepemimpinan dalam psikologi sosial. Proporsi keempat faktot karakteristik pemuka pendapat sekaligus menjawab bahwa masyarakat Jawa Tengah masih lebih tradisional, karena lebih menurut para pemuka pendapat yang teguh pada norma. Dari ragam subyek responden serta olahan jawabannya menjadi empat faktor tersebut maka model pluralistik lebih tepat untuk pembangunan. Dari ragam responden serta olahan jawabannya dapat pula dimaknai bahwa pemimpin formal yang semula adalah pemuka pendapat akan lebih efektif. Desain penelitian yang rasionalistik dengan hasil optimal seperti itu dapat diklaimkan sebagai penelitian realisme metaphisik pada dataran Popper. Bila penulis membahas lebih dahulu tentang qullukum roin secara madhui dengan memperkaya dengan nash-nash lainnya, dapat diklaimkan sebagai penelitian realisme metaphisik pada dataran transenden yang penulis tawarkan pada pendekatan ini. D. ESENSIALIS, HOLISTIK DAN MOMOT NILAI Bagaimana objek diteliti, realisme metaphisik jauh sekali bedanya dengan rasionalisme. Rasionalisme, seperti juga positivisme mencermati objeknya berdasar satuan-satuan terkecilnya, yaitu berdasar variabel-variabel yang dipilih, dengan mengeliminasikan variabel lainnya; dan upaya pencarian kebenarannya didasarkan padaolahan frekuensi dan variansi dari kejadian pada objeknya. Realisme metaphisik dalam hal bagaimana objek penelitian diurus, menjadi sangat dekat dengan pendekatan phenomenologik, yaiftl obiek penelitian dilihat secara holistik dan upaya pencarian kebenaran bukan didasarkan pada frekuensi dan variansi, melainkan didasarkan pada ditemukannya esensinya. Dalam hal bangunan pembuktiannya realisme metaphisik dekat dengan rasionalisme, jauh dari pendekatan phenomenologik. Dalam hal telaah objeknya terjadi sebaliknya, yaitujauh dari rasionalisme, karena realisme metaphisik menelaah objeknya secara holistik dan mencari makna esensial dari objeknya. Satu hal lagi yang juga perlu diperbandingkan dalam konteks ini, yaitu tentang vulue-bound dan value-freenya. Bangunan realisme metaphisik Popper (1935) dikembangkan kandungan nilainya, kandungan Weltanschauung-nya oleh Reichenbach (1938), oleh Toulmin (1953), oleh Feyerabend (1965), dan oleh Khun. Dari pengamatan Frederick Suppe gerakan mengembangkan kandungan Weltanschauung dari Feyerabend, Kuhn, dan lain-lain nampaknya mulai kehilangan dukungan. Tetapi gerakan realisme metaphisik dan realisme epistemologik yang lebih menekankan pada rasionalitas dalam pengembangan ilmu nampak mendapat lebih banyak pendukung. Dalam kuliah di Pasca Sarjana nampak memprediksikan bahwa pendekatan positivistik perlu diperbaharui dengan pendekatan rasionalisme, bila ingin tetap bertahan sebagai dasar bagi pengembangan ilmu. Paradigma 98
kualitatif phenomenologik memang sedang menjadi fokus minat banyak ahli, tetapi dapat kehilangan masa deparinya bila fidak bergeser dari ideograpilik ke nomothetik. Think globally, act locally, adalah sesuatu yang mungkin. Sedangkan realisme metaphisik dapat menjadi landasan pengembangan ilmu masa depan, sejauh tetap mempertahankan dasar pengembangan atas rasionalitas. Apakah makna rasiolialitas yang dimaksud penulis? Penulis meminjam istilah yang tepat dari Hempel dan Operiheim, yaitu Logika Eksplanasi, yang mensintesakan model eksplanasi D-N (deduktif-nomologik) dengan model eksplanasi I-S (induktif-statistis). Rasionalitas dalam makna epistemologik adalah digunakanya prosedur kerja yang mempercayai kemampuan rasio untuk menangkap dan memaknai emperi, dengan menggunakan logika eksplanasi. Hanya saja sintesa dalam konteks kualitatif D-N dan I-S penulis ganti dengan D-N dan I-P (probabilistik). Emperi tersebut mungkin berada pada dataran sensual, yang dapat ditangkap dan dimaknai oleh indra kita, pada dataran berikut ada emperi logik, yang perlu dapat ditangkap dan dimaknai dengan rasio logik kita; pada dataran yang lebih tinggi lagi ada emperi etik, menghayati budi baik, menghayati kasih sayang sesama, menghayati nikmatnya kejujuran, yang perlu dan dapat ditangkap dan dimaknai oleh akalbudi kita, oleh superrasio kita; dan terakhir pada dataran tertinggi yaitu emperi transenden, menghayati rahmah Allah, menghayati hikmah tidak tahu kapan kita mati, tidak tahu tingkat kesuksesan kita, yang perlu dan dapat ditangkap oleh akal-iman kita, oleh transrasio kita. Pada dataran manapun kita perlu dan dapat menggunakan logika eksplanasi, mulai dari rasio emperi sensual, rasio emperi logik, superrasio emperi etik, dan transrasio emperi transenden. HAM atau hak asasi manusia hanya bergerak pada dataran demokrasi yang berakar pada hak individu. Paradigma Pancasila dengan bangga dapat kita tawarkan sebagai alternatif yang lebih bagus, bagi kehidupan global. Duduknya demokrasi hanyalah yang keempat setelah keimanan, kemanusiaan, dan keadilan. Hak individu perlu tunduk pada tidak mengganggu tanggung-jawabnya untuk beriman, untuk mendahulukan perikemanusiaan, untuk mendahulukan keadilan. Nasionalisme akan memperkokoh kehidupan global. Trend globalisasi sekaligus diikuti dengan gerakan memperkokoh persatuan nasional, bukan paradigma yang salah. Pola fikir paradox tersebut adalah juga pola fikir Naisbitt, dalam bukunya Global Paradox. Memiliki paradigma integratifheterarkhik (artinya padu tetapi sekaligus memberi peluang kontradiksi intern, keragaman, dan lain-lain) dari dataran sensual sampai transenden dengan menggunakan bangunan pengembangan ilmu realisme metaphisik kami prediksikan menjadi jalan yang benar dalam berilmu pengetahuan di masa depan. Dalam hal momot nilai, realisme metaphisik yang rasional kritis sekaligus emperik kritis menjadi sangat dekat dengan pendekatan phenomenologi, dan sangat jauh dari positivisme. Dengan menggunakan pendekatan rasionalistik ada kemungkinan memasukkan nilai, tetapi sifatnya implisit-sekuensial. Artinya tidak dimungkinkan menampilkan variabel moral untuk didesain dan diukur; tetapi mungkin ditampilkan menjadi kriteria-kriteria indikator pemunculan variabel. Tentang disertasi penulis. Di atas telah dibahas tentang kedekatan teori besar yang penulis kemukakan dengan hasil uji emperiknya, sehingga penulis katakan dapat diklaimkan sebagai pendekatan realisme metaphisik. Tetapi bila dilihat pada bagaimana kebenaran diperoleh, yaitu lewat pencarian frekuensi dan variansi, bukan lewat pencarian esensi, maka disertasi penulis tidak dapat diklaimkan sebagai menggunakan pendekatan realisme metaphisik; tetapi tetap saja termasuk yang menggunakan desain rasionalisime. E. MENEMUKAN TEORI Tugas ilmu adalah mengembangkan ilmu. Menurut Popper tujuan ilmuwan berilmu pengetahuan adalah menemukan teori dan mengembangkan. Teori yang baik mampu menyajikan esensi dan realitas. Benarkah teori itu mendeskripsikan realitas? Memang belum. Menurut 99
Popper teori merupakan terkaan-terkaan informatif tentang semesta. Teori model Popper berbeda dengan teori model grounded. Teori model grounded adalah teori substantif yang berdasar data lokal dan spesifik; yang seterusnya dapat dikembangkan menjadi teori formal. Pada ujung lain dalam berfikir ada yang namanya grand-theory yang dibangun secara deduktif reflektif. Teori model Popper berangkat dari grand theory, ujung yang berlawanan dengan grounded theory dari model Glaser & Strauss. Dari manakah titik berangkat kita untuk menemukan teori? Dalam upaya mencari kebenaran model grounded dan model Popper keduanya sama, yaitu: mencari esensi secara holistik. Model grounded berangkat dari grass root emperi, sedangkan model Popper berangkat dari terkaan-terkaan deduktif Model grounded mengembangkan teori substantif menjadi teori formal. Tesis yang mendasarkan, pada spesifikasi lokal dikembangkan menjadi tesis yang dilepaskan dari keterkaitan lokal. Dari pengamatan penulis pada pengembangan teknologi, penulis melihat adanya substansi yang seakan-akan sudah given, sudah memiliki sifat dasar seperti itu. Tubuh manusia menolak menempelnya organ baru pada tubuhnya. Timbul masalah: organ kita rusak, apakah tidak diganti dengan organ baru, seperti mobil ganti ban, ganti mesin, dan seterusnya? Ternyata tubuh manusia menolak organ baru tersebut. Diketemukan karakteristik esensial menolak organ baru pada substansi tubuh manusia. Dengan upaya menetralisir daya tolak tersebut saat dicangkokkan organ baru, dapatlah kita mengadakan cangkok organ seperti jantung, ginjal, dan lainnya. Tentu, sesudahnya perlu dikembalikan fungsi menolak organ asing, untuk menjaga agar tidak tertempel secara tidak sengaja kaki kuda atau telinga kambing pada tubuh kita. Kita perlu pesawat terbang yang ringan mudah terbang sekaligus kuat menahan tekanan udara dan tekanan akibat kecepatan terbang. Pada beragam substansi logam dicari esensi-esensi ringan, kuat, tahan tekanan, tahan gesekan, dan seterusnya. Dari esensi-esensi yang melekat pada beragam substansi direkayasa sehingga dapat diciptakan substansi baru yang memiliki karakteristik esensial baru yang lebih ideal. Rekayasa bahan tersebut menghasilkan bahan metalurgi sampai bahan komposit. Menemukan karakteristik-karakteristik esensial yang melekat pada banyak substansi menjadi tuntutan pengembangan ilmu masa depan. Jadi, bukan terhenti dari teori substansi menjadi teori formal, yang meluaskan generalisasi, melainkan perlu pula mengembangkan teori untuk menemukan tesis-tesis dan teori-teori tentang esensi. Menemukan tesis esensi untuk phisika telah penulis deskripsikan di atas. Bagaimana menemukan tesis esensi untuk ilmu sosial? Kita mengenal generalisasi pada mother population dan generalisasi pada parent (tanpa s) population. Generalisasi yang pertama diambil dari hasil penelitian pada subyek sampel, dan diberlakukan menyeluruh pada subyek populasinya. Sedangkan generalisasi kedua dikenakan pada populasi manapun yang memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik pada populasi penelitian. Mengembangkan model penelitian yang berupaya mengidentifikasi karakteristik subyek dan konteks serta memantaunya, dan penelitiannya terfokus pada pencarian karakteristik esensial nampaknya menjadi masa depan yang cerah untuk penelitian ilmu-ilmu sosial. Berangkat dari asumsi bahwa semesta ini teratur, baik tampil dalam keteraturan substansial maupun tampil dalam keteraturan esensial, ilmuwan memiliki bahan acu pengembangan ilmu yang tidak pernah akan membingungkan. Teori, tesis yang tertolak lebih karena disebabkan belum mampunya manusia menangkap keteraturan semesta ini. Apakah kehidupan manusia juga mengikuti keteraturan? Ya, keteraturan kehidupan manusia sebenarnya lebih diversifikatif dibanding dengan keteraturan alam phisik. Alam phisik substantif dapat berubali karena adanya upaya manusia secara. terandang-kadang malah eksperimental, lewat pengembangan rekayasa teknologi. Sedangkan alam kehidupan manusia secara substantif dan esensi berkembang diversifikatif dalam konteks dan watak yang beragam di seluruh dunia. Karena itu think globally, act locally merupakan paradoks yang dapat dipilih sebagai alternatif 100
pengembangan ilmu-ilmu sosial. Menemukan teori ataupun tesis esensial yang berlaku global, tetapi mampu menemukan pula terapan teori ataupun terapan tesis pada keragaman konteks lokal, sangat urgen. Popper menolak instrumentalis, dan hanya mengakui teori dan tesis esensial, sehingga Popper termasuk yang disebut esensialis. Berfikir dan mencari esensi dalam penelitian ataupun bergerak mengembangkan teori substantif menjadi teori formal, dapat menjebak kita (bila diartikan negatif) atau menuntun kita (bila diartikan positif) kepada esensi yang instrumentalis, di samping memang tetap menjaga kita dalam penemuan esensi substantif. Ketika kita berfikir melepaskan keterikatan pada konteks, pada situasi lokal, kita menemukan esensi. Ketika kitajumpai banyak sekali substansi yang terkait ke lokal atau malahan lebih jauh ke era, ke zaman tertentu, kita sampai kepemikiran bahwa yang tetap abadi adalah perubahan. Dalam hal seperti itu, kita telah benar-benar terjebak ke pemikiran instrumentatif yang negatif. Apakah ada pemikiran instrumentatif yang positif ? Ada. Teori perubahan dari Durkheim (perubahan terjadi evolusioner dari mekhanik ke organik), exchange theory dari Homans, teori konflik dari Lewis Coser, teori perkembangan progresif dari Max Weber, ataupun teori penulis keterkaitan perkembangan dengan kualitas inovasinya, adalah teori-teori perubahan sosial yang instrumentatif.
101
BAGIAN KELIMA: METODOLOGI PENELITIAN STUDI TEKS : DARI STRUKTURALISME SAMPAI POSTSTRUKTURALISME PENDAHULUAN Sistematisasi telaah bagian kelima ini berbeda dari bagian-bagian terdahulu. Bagian-bagian terdahulu penelaahan metodologi penelitian disistematisasikan berdasar dan sebagai konsekuensi dari filsafat ilmu yang melandasinya: Bagian Pertama, menyajikan metodologi penelitian berdasar pendekatan positivistik; Bagian Kedua, menyajikan penggunaan pendekatan rasionalistik; Bagian Ketiga menyajikan metodologi penelitian yang berlandaskan filsafat phenomenologi; dan Bagian Keempat menyajikan metodologi penelitian yang ditata sejalan dengan filsafat ilmu realisme metaphisik. Bagian kelima ini penulis fokuskan pada telaah teks, sehingga penulis sebut Metodologi Penelitian Studi Teks. Dalam cakupannya yang luas sebenarnya mencakup telaah Geisteswissenschaften, telaah ilmu-ilmu kemanusiaan; yang pada dasarnya membahas dan mengembangkan persepsi manusia tentang manusia dalam konteks kehidupannya, upaya penstrukturannya diri dan lingkungannya, serta upaya pemanfaatan lingkungannya. Geisteswissenschaften memiliki rentangan studi yang sangat luas, mencakup yang biasa disebut ilmu sosial dan humaniora, termasuk filsafat, hukum, sampai ke karya sastra, sebagai lawan dari Naturwissenschaften. Sebahagian Geisteswissenschaften mengadakan telaah teks dilanjutkan dengan uji emperik; sedangkan sebahagian mengadakan telaah teks tentang persepsi, tentang upaya penstrukturan, serta pemanfaatan lingkungan lebih merupakan olahan filosofik dan teoretik daripada olahan validasi emperik. Sebagian Geisteswissenschaften yang pertama penulis persilahkan menggunakan metodologi penelitian dengan empat pendekatan alternatif yang tersebut di bagian pertama sampai bagian keempat buku ini. Sedangkan sebahagian yang kedua penulis persilakan menggunakan metodologi penelitian yang dibahas di Bagian Kelima ini. Tidak dapat seluruh disiplin ilmu yang termasuk kedua ini penulis bahas metodologi penelitiannya, melainkan penulis fokuskan dengan mengambil sampel rentangan dan penulis fokuskan pada studi bahasa dan karya sastra. Tentang studi hukum yang merupakan salah satu disiplin ilmu Geistes-wissenschaften telaahnya lebih didasarkan pada adanya dua rumpun besar, yaitu: civil law dan common law; dan didudukkan metodologinya yang tepat dengan dikaitkan pada empat pendekatan yang diuraikan di bagian pertama sampai bagian keempat buku ini. Sedangkan khusus untuk bahasa dan karya sastra dicoba disistematisasikan sejalan dengan perkembangan pengaruh filsafat ilmu pada penelitian teks. Referensi untuk studi hukum diambil secara umum dari beragam sumber. Referensi yang digunakan khusus tentang bahasa dan karya sastra digunakan referensi: terutama Richard Harland (1988), Superstructuralism. The Philosophy of Structuralism and Post Structuralism, Terence Hawkes (1978), New Accents. Structuralism and Semiotics, Christopher Norris (1983), Deconstruction: Theory and Practice. ditambah dengan Aminuddin (Ed. 1990), Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, Jabrobirn (Ed. 1994), Penelitian Sastra, dan E.Surnaryono (1993), Hermeneutik. Sebuah Metoda Filsafat, serta kumpulan makalah Semlok dan Penataran Sastra FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta (1991 dan 1992). Meskipun penulis sadar dan diharapkan para pembaca juga memaklumi bila telaah landasan filsafat ilmunya tidak eksplisit sama dengan telaah di bagian-bagian terdahulu buku ini. A. STUDI GEISTESWISSENSCHAFTEN 102
Sesudah maraknya natural science di Eropa, Vico pada tahun 1725 mengetengahkan new science, yang tidak lain adalah studi yang menelaah: bagaimana manusia mempersepsikan dunia, bagaimana manusia menstrukturkan lingkungannya, bagaimana manusia memberi makna atas realitas yang dihadapinya. Untuk mempersepsikan, menstrukturkan, dan memberi makna manusia menggunakan bahasa. Penulis timbang bahwa new science tersebut dapat disebut secara tepat sebagai ilmu-ilmu kemanusiaan atau dalam istilah Wilhelm Dilthey disebut Geisteswissenschaften, atau Human Science, sebagai lawan dari ilmu pengetahuan alam atau Naturwissenschaften atau Natural Science. Pada satu sisi studi teks adalah studi tentang persepsi manusia, tentang Upaya penstrukturan diri dan lingkungan manusia, serta tentang pemberian makna lingkungan dan dirinya, atau ilmu-ilmu Geisteswissenschaften. Pada sisi lain studi teks adalah studi bahasa. Dalam maknanya yang luas, studi teks akan mencakup - studi teks dalam makna telaah pustaka Geisteswissenschaften seperti disiplin ilmu hukum, antropologi, filsafat, sampai studi teks dalam makna studi linguistik dan studi sastra (Richard Harland, 1988). Dalam upaya penulis untuk mengintegrasikan ilmu dengan wahyu, maka studi-studi tentang kitab suci yang merupakan wahyu Allah akan penulis masukkan dalam telaah di bagian ini. Asumsi dasar yang melandasi adalah: meskipun wahyu Allah bukan produk budaya, melainkan highest wisdom yang ditur’unkan Allah dengan menggunakan medium bahasa yang komunikatif bagi semua manusia, dan diberadakan pada dataran yang terfahami oleh manusia, maka wahyu dapat ditelaah sebagai objek studi Geisteswissenschaften ataupun sebagai karya sastra. Dengan demikian metodologi penelitian yang dibahas di sini mencakup hal-hal tersebut di atas. Itu berarti bahwa telaah bagian kefima ini dapat digunakan sebagai acuan bagi yang mengadakan penelitian teks atau penelitian pustaka sesuatu disiplin ilmu yang termasuk Geisteswissenschaften, dan juga penelitian karya sastra sebagai karya seni tulis. B. STUDI TEKS: STUDI PUSTAKA Telah dikemukakan bahwa studi teks merentang dari studi teks disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan tertentu atau studi pustaka, sampai ke studi tentang karya sastra. Studi teks dalam makna studi pustaka setidaknya dapat dibedakan: pertama, studi pustaka yang memerlukan olahan uji kebermaknaan emperi di lapangan; dan kedua, studi pustaka yang lebih memerlukan olahan filosofik dan teoretik daripada uji emperik. Studi pustaka yang pertama mempunyai kegunaan untuk membangun konsep teoretik yang pada waktunya tentunya memerlukan uji kebermaknaan emperik di lapangan. Studi pustaka dalam makna pertama akan bersinggungan dengan dua kawasan di mana terdapat studi pustaka Geisteswissenschaften dan studi pustaka Naturwissenschaften. Studi pustaka Naturwissenschaften secara hati-hati dan selektif bukan mustahil dapat pula menggunakan metodologi studi pustaka Geisteswissenschaften yang ditelaah di empat bagian terdahulu. Sedangkan studi pustaka dalam makna kedua, yaitu studi disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan atau Geisteswissenschaften memang hampir seluruh substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoretik dan terkait pada nilai atau values, tetapi tetap diperiukan keterkaitannya dengan emperi, yaitu perlu teruji evidensi emperiknya. Dengan demikian studi teks mencakup: pertama, studi pustaka, sebagai telaah teoretik suatu disiplin ilmu, yang perlu dilanjutkan dengan uji emperik, untuk memperoleh bukti kebenaran emperik. Studi pustaka yang kedua adalah studi teks yang berupaya mempelajari teori linguistik atau studi kebahasaan atau studi perkembangan bahasa, yang biasa disebut sebagai studi sossiolinguistics dan psycholinguistics. Studi pustaka yang ketiga adalah studi pustaka yang seluruh substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoretik dan terkait pada values. Sedang yang keempat adalah studi karya sastra. Sistematisasi telaah untuk studi yang pertama, kedua, dan ketiga, ataupun telaah metodologiknya dapat digunakan pendekatan yang tersebut pada bagian pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari buku ini, sesuai dengan landasan filsafat ilmu yang digunakan. Studi yang 103
substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoretik akan penulis telaah contohkan pada studi hukum, dan akan penulis berikan orientasi dasar bagi pemilihan pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik, atau realisme metaphisik. Sedangkan untuk yang keempat telaah substansinya dapat dipilih antara beragam teori studi bahasa. dan sastra, seperti strukturalisme linguist, strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik, telaah heuristik, hermeneutik, atau telaah dekonstruksi, dan akan ditelaah secara cukup rinci pada bagian kelima ini. C. STUDI HUKUM Penulis ambil studi hukum sebagai salah satu sampel dari Geisteswissenschaften atas alasan bahwa karena pengaruh positivisme maka studi hukum yang semestinya merentang dari apa hukum itu seharusnya (dalam makna etik), sampai apa hukum itu (yang emperik) telah tereduksi menjadi apa hukum itu (yang emperik) sampai apa hukum itu seharusnya (dalam makna pragmatik). Studi hukum yang normatif menghilang. Sedangkan kita perlu merekonstruksi kembali hukum kita. Studi hukum yang positivistik hendaknya menjawab perlunya penataan emperik. Bagaimana dengan idealisasi hukum yang kita lambangkan dengan keadilan. Keadilan yang mana: equity atau justice? Apakah studi hukum itu studi yang memerlukan uji emperik ataukah fungsi emperik hanyalah untuk membuat refieksi idealisasi kita? Dari kutub yang satu dapat dijawab sebagai berikut. Memang, studi hukum memerlukan uji emperik. Tetapi fungsi emperi bukan untuk memvalidasikan konsep atau teori, melainkan menjadi masukan bagi berfikir reflektif guna membuat olahan filosofik atau teoretik. Dari sejarah berfikir manusia tentang hukum, terbukti bahwa persepsi manusia serta upaya penstrukturan lingkungannya menghasilkan operasionalisasi hukum yang berbeda-beda. Idealisasi tertinggi dari hukum adalah keadilan, equity. Alur fikir ini mendukung dibangunnya hukum normatif. Ketika hukum sampai ke dataran legalitas, maka hukum berubah menjadi mematuhi otoritas penguasa. Juga, keadilan pada dataran pragmatis menjadi diperolehnya rasa aman. Dari kutub kedua ini hukum bukan hanya memerlukan uji emperik, melainkan malahan harus diberangkatkan dari emperi-emperi kasuistik dibangun hukum legal. Cara kerja ini akan membangun hukum positif. Uji emperik, melainkan malahan harus diberangkatkan dari emperi-emperi kasuistik dibangun hukum legal. Cara kerja ini akan membangun hukum positif. Rumpun besar hukum ada dua: rumpun hukum kontinental, seperti kode Napoleon; dan rumpun hukum Anglo-Saxon. Rumpun pertama disebut juga civil law; di mana hukum disusun secara deduktif, diberangkatkan dari idealisasi persepsi manusia serta upaya penstrukturan masyarakat berdasar cita keadilan. Rumpun kedua disebut juga common law; dari hal-hal kasuistik dirumuskan keputusan-keputusan kasuistik. Berulang kali muncul keputusan kasuistik atau keputusan sesuai dengan konteksnya. Beragam keputusan tersebut secara induktif tertata menjadi hukum-hukum adat, menjadi common law. Indonesia termasuk negara yang menggunakan peninggalan sistem hukum kontinental; memberangkatkan pemikiran-pemikirannya dari deduksi abstrak, memberangkatkan dari konsep keadilan. Positivisme mengubah teori keadilan menjadi teori negara berdaulat; dengan terminologi Aristoteles: mengubah keadilan alami yang universal menjadi keadilan legal. Dalam perkembangannya, produk-produk hukum Indonesia, mulai tercampur dengan produk-produk hukum kasuistik, terutama produk-produk hukum perekonomian dan perdagangan. Yang kontinental bicara soal apa hukum itu seharusnya, sedangkan hukum kasuistik Anglo-Saxon bicara apa hukum itu? Dalam perkembangannya positivisme analitik (Kelsen) yang bicara apa hukum itu berkembang menjadi paralel lagi dengan hukum kontinental, yaitu menjadi apa hukum itu seharusnya pada positivisme pragmatik (Austin). Meski yang kontinental tetap deduktif dan makna seharusnya bersifat etik, sedangkan positivisme pragmatik Austin juga tetap induktif dan makna seharusnya berdasar kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
104
Dari telaah singkat tersebut pembaca diharapkan dapat memilih pendekatan yang lebih tepat. Misal, dengan pertimbangan ontologik, bila peneliti berpegang pada apa hukum itu dan apa hukum itu seharusnya (dalam makna kebutuhan pragmatik), maka pendekatan yang tepat digunakan adalah positivisme atau rasionalisme; sedangkan bila peneliti berpegang pada apa hukum itu seharusnya (dalam makna etik), maka pendekatan yang tepat digunakan adalah phenomenologi, atau realisine metaphisik, atau dengan desain telaah tertentu dapat digunakan rasionalisme. Pertimbangan tersebut akan menjadi lebih kompleks lagi bila kita menimbang epistemologiknya. Epistemologik, pada apa hukum itu dan apa hukum itu seharusnya (dalam makna pragmatik), karena sifatnya induktif, lebih tepat digunakan pendekatan positivisme atau phenomenologik; sedangkan pada rumpun apa hukum itu seharusnya (dalam makna etik), yang memerlukan olahan deduktif, akan lebih tepat digunakan pendekatan rasionalisme atau realisme metaphisik. Karena itu pendekatan mana yang sebaiknya digunakan terpulang kepada para peneliti, atau setidaknya sebaiknya meminta saran pendapat dari para yang lebih pakar. D. STUDI BAHASA DAN KARYA SASTRA Oleh karena studi teks sebahagian besar referensinya berasal dari studi bahasa dan karya sastra, maka perlu secara khusus didudukkan posisi studi perkembangan bahasa (dan karya sastra) dalam konteks lingkungan sosialnya, yang disebut studi sosiolinguistics danpsycholinguistics di satu sisi, dan studi tentang teks, khususnya karya sastra di sisi lain. Studi bahasa dan karya sastra dengan memfokuskan pada teks, khususnya karya sastranya disebut pendekatan objektif, dimulai dengan telaah strukturalisme otonom; dan dikembangkan oleh kaum formalis Rusia dan kaum kritis baru di Amerika Serikat (Terence Hawkes, 1978). Strukturalisme linguist berkembang lebih lanjut menjadi strukturalisme genetik, dan berkembang lebih lanjut lagi menjadi strukturalisme dinamik. Bersama pendekatan semiotik, strukturalisme dinamik berkembang menjadi telaah heuristik dan t elaah hermeneutik. Metodologi penelitian sosiolinguistics dan psycholinguistics dapat menggunakan metodologi dengan pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik, atau realisme metaphisik, yang dalam buku ini diuraikan di bagian pertama, kedua, ketiga, dan keempat (baca juga disertasi Thord Erasmie, 1975). Sedangkan telaah teks, dalam arti studi bahasa dan sastra dengan pendekatan seperti strukturalisme linguist, strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik, sampai dekonstruksionisme akan penulis bahas lebih panjang lebar di bagian kelima ini. Dikaitkan dengan landasan filsafat ilmunya, bagian kelima ini lain, perkembangan studi kebahasaan tidak sepenuhnya paralel dengan perkembangan filsafat ilmu yang melandasi perkembangan metodologi penelitian. Meskipun demikian, penulis berupaya dan para pembaca diharapkan dapat memahami bahwa tidak sepenuhnya dapat dieksplisitkan atau sepenuhnya diparalelkan dengan pandangan-pandangan filsafati yang disajikan dalam buku ini. E. STRUKTURALISME LINGUIST Strukturalisme memang mengalami perkembangan sejak de Saussure sampai ke Derrida. Tahap perkembangan awal dari strukturalisme adalah strukturalisme sebagaimana dikemukakan oleh de Saussure dilanjutkan oleh strukturalisine Amerika yang behavioristik dan strukturalisme Rusia yang formalistik. Ketiganya disebut sebagai strukturalisme linguist. Strukturalisme tersebut juga disebut strukturalisme murni, karena memang dari merekalah studi strukturalisme berawal. Strukturalisme tersebut juga disebut strukturalisme otonom, karena sesuatu karya sastra dianalisis pada struktur karya sastra itu sendiri, tidak dikaitkan dengan sesuatu lain di luar karya sastra itu sendiri; sehingga strukturalisme otonom, juga disebut strukturalisme obyektif.
105
Kuliah de Saussure di Universitas Geneva antara tahun 1906 sampai 1911, dan dipublikasikan tahun 1915 (ada yang menyebut 1916) mengemukakan bahwa studi bahasa tidak hanya menelaah bahasa sebagai kumpulan dari berbagai sesuatu yang individual, melainkan juga menelaah hubungan sinkroniknya; juga menelaah Gestalteinheit (kesatuan Gestalt)-nya. Phenomena bahasa mempunyai dua dimensi mendasar, yaitu langue dan parole, yang kira-kira sama dengan dimensi bahasa sebagai sistem abstrak dan dimensi bahasa sebagai ucapan keseharian atau ujaran. Lebih jauh Saussure mengemukakan bahwa bahasa merupakan abstrak dari sistem tanda-tanda (system of signs). Hubungan sinkronik dalam bahasa merupakan relasi struktural, yang mungkin bersifat horizontal (sintagmatik) atau vertikal (asosiatif). Aspek sintagmatik dalam telaah bahasa diwujudkan dalam mencermati keterkaitan kata dengan kata-kata sebelumnya, dan juga dengan kata-kata sesudahnya. Kata disebut memiliki relasi sinkronik dengan kata-kata lainnya bila mengandung makna bahwa sesuatu kata tidak dapat dimaknai kecuali melihat hubungan horizontalnya dengan kata-kata lain sebelum dan sesudahnya. Relasi vertikal atau aspek asosiatif sesuatu kata ditampilkan dalam pemilihan sinonimnya atau antonimnya. Cakupan makna kata sayang dengan kata cinta, benci, dan dendam secara vertikal dapat dilihat tumpang-tindihnya sekaligus bedanya dalam arti sinonim ataupun antonim. Relasi horizontal atau aspek sintagmatik sesuatu kata terhadap kata lain kita lihat pada kesamaan struktur tetapi menjadi sangat jauh maknanya karena adanya kata yang diganti. Contoh dari de Saussure mungkin lebih gampang terfahami. The boy kicked the girl mempunyai makna yang sama sekali berbeda ketika kata kicked diganti kata kissed atau killed. Dari konseptualisasi bahasa seperti tersebut di atas Saussure berkesimpulan bahwa bahasa itu tidak ditentukan oleh hubungan agregatif dari berbagai unsur, melainkan ditentukan oleh struktur hubungan sintagmatik dan assosiatif tanda-tanda. Tokoh lain dari strukturalis linguist dapat disebut Roman Jacobson yang biasa disebut sebagai formalisme Rusia, yang berkembang di Cekoslowakia, dan lebih jauh berkembang di Amerika Serikat sebagai mazhab New Critics. Di Amerika Utara tiga ahli bahasa yang berpengaruh dan dapat disebut sebagai strukturalis linguist adalah Franz Boas, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield. Sapir membedakan antara phonetic, atau suara dengan phonemic atau struktur. Konteks Amerika lebih menguntungkan daripada konteks Eropa. Konteks Amerika memungkinkan menyelidiki bahasa-bahasa Jerman, Inggris, dan lain-lain, di samping memungkinkan mempelajari bahasa-bahasa Indian Amerika, Cina-Tibet, dan lain-lain. Konteks Eropa lebih homogin. Menurut Sapir phonetic barulah mempunyai makna bila seiring (coincides) dengan phonemic. Sapir akhirnya mengemukakan bahwa bahasa dan pemaknaannya terkait dengan budayanya, ada semacam cultures language. Contoh yang sangat dekat adalah bahasa Indonesia dengan bahasa kebangsaan di Malaysia, satu rumpun asal bahasa, tetapi dalam pengembangan penerapannya dijumpai perbedaan penggunaan kata sintagmatiknya ataupun asosiatifnya. Semula strukturalisme linguist berpendapat bahwa setiap bahasa memiliki struktur yang berbeda. Dalam perkembangan kemudian strukturalisme linguist berupaya mencari universalitas kebahasaan, dan ditampilkan dalam telaah-telaah fonem, morfem, kata, phrasa, klausa, dan kalimat. Dengan demikian telaah strukturalisme linguist terbatas pada tingkat-tingkat kebahasaan, yaitu fonologi, morphologi, dan sintaksis. Strukturalisme linguist tidak dapat membuat analisis tuntas, karena dalam analisis hanya berupaya memotong-motong teks menjadi kalimat-kalimat, dan kalimat dipotong-potong menjadi klausa, phrasa, dan akhirnya menjadi kata-kata; dan tidak diperoleh kembali Ganzheitnya. F. STRUKTURALISME GENETIK Strukturalisme linguist atau otonom membuat analisis tuntas terbatas pada karya sastra itu sendiri. 106
Levi-Srauss mengemukakan bahwa ada analogi antara kesatuan masyarakat dengan kesatuan berfikir individual. Hanya man-in-association dapat bertahan hidup. Langue pada konsep Saussure yang paralel dengan dimensi abstrak dalam bahasa, dimaknai lebih lanjut oleh Levi-Strauss tentang adanya fungsi diferensiasi atau klasifikasi, meskipun sistem klasifikasinya LeviStrauss (yang berangkat dari masyarakat primitif) berbeda dengan sistem klasifikasi yang digunakan oleh strukturalis Anglo-Saxon. Strukturalis Levi-Strauss dan Anglo Saxon biasa disebut sebagai strukturalis antropologik. Strukturalisme Lucien Goldman berteori bahwa karya sastra adalah karya pengarangnya sekaligus kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra seperti itu. Strukturalisme linguist plus sosiologi (dan juga strukturalis antropologik) diklasifikasikan sebagai strukturalis genetik. Analisis karya sastra (dan bahasa) dalam strukturalisme genetik lebih menekankan makna sinkronik daripada makna lain (seperti makna ikonik, simbolik, atau indeksikal), sehingga analisisnya perlu mencakup tiga unsur kajian, yaitu: (1) intrinsik karya sastra itu sendiri, (2) latar belakang pengarangnya, dan (3). latar belakang sosial serta latar belakang sejarah masyarakatnya. G. STRUKTURALISME DINAMIK Strukturalisme dinamik lebih merupakan pengembangan strukturalisme linguist (yang dalam perkembangan selanjutnya strukturalisme linguist disebut strukturalisme klasik), karena sejumlah kelemahan-kelemhannya diupayakan diatasi. Strukturalisme dinamik mengakui kesadaran subyektif dari pengarang, mengakui peran sejarah serta lingkungan sosial; meski bagaimanapun sentral telaah harus tetap pada karya sastra itu sendiri. Di sini nampak perbedaan mencolok antara analisis strukturalisme dinamik dengan strukturalisme genetik. Dalam analisis strukturalisme dinamik sangat dianjurkan untuk lebih mengkaji karya-karya master piece atau karya pengarang-pengarang utama, daripada pengarang-pengarang kelas dua. Analisis karya sastra. mengikuti pandangan strukturalisme dinamik mencakup dua hal, yaitu : pertama, karya sastra itu sendiri, yang merupakan tampilan fikiran, pandangan, dan konsep dun ia dari pengarang itu sendiri dengan menggunakan bahasa sebagai tanda-tanda ikonik, simbolik, dan indeksikal dari beragam makna; dan kedua, analisis keterkaitan pengarang dengan realitas lingkungannya. H. STRUKTURALISME SEMIOTIK Agar penamaan berbagai pendekatan memiliki keajegan sudut pandang, maka pendekatan semiotik dalam penelitian sastra, penulis sebut sebagai pendekatan strukturalisme semiotik, sebanding dan sederajatsudut pandangnya dengan strukturalisme linguist, strukturalisme genetik, dan strukturalisme dinamik. Penulis juga sepakat untuk menyebut strukturalisme linguist sebagai struktural isme klasik, karena sampai perkembangan sekarang pun, acuan pengembangan hampir semua pendekatan selalu saja menjurus ke penyempurnaan strukturalisme linguist dari de Saussure atau Jacobson. Strukturalisme pada dasarnya berasumsi bahwa karya sastra merupakan suatu konstruksi dari unsur tanda-tanda. Strukturalisme memandang bahwa keterkaitan dalam struktur itulah yang mampu memberi makna yang tepat. Inner structure dari suatu karya sastralah yang menjadi objek telaah strukturalisme. Strukturalisme semiotik adalah strukturalisme yang dalam membuat analisis pemaknaan suatu karya sastra mengacu pada semiologi. Semiologi atau semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya sastra. Strukturalisme semiotik mengenal dua cara pembacaan, yaitu: heuristik dan hermeneutik. Pembacaan atau telaah heuristik diberangkatkan telaahnya dari kata-kata, dari bait-bait sastra, dari term-term dalam Al Qur’an, dari ayat-ayat dalam Al Qur’an. Sedangkan pembacaan atau telaah hermeneutik merupakan telaah pada totalitas atau keseluruhan karya sastra, yang berupa sajak, yang terkait dalam satu tema, atau keseluruhan karya itu sendiri. 107
Apakah Al Qur’an dapat dipandang sebagai karya sastra? Allah memang Maha Segalanya. Tetapi dalam mengkomunikasikan ajaran-Nya, Allah menggunakan bahasa atau sistem tanda-tanda yang memang dikuasai manusia. Al Qur’an dapat menjadi objek telaah manusia, dengan fungsi untuk lebih mempertebal keimanan kita kepada-Nya, bukan untuk mengerosi keimanan kita, I. POST STRUKTURALISME Strukturalisme antropologik, strukturalisme genetik, ataupun strukturalisme dinamik tetap mengacu kepada strukturalisme de Saussure atau strukturalisme linguist. Dalam upaya pelacakan filosofiknya, Richard Harland sampai kepada kesimpulan bahwa strukturalisme de Saussure termasuk Hegelian yang menganut Idealisme objektif Bahasa adalah signs yang mensintesakan the objective of things dengan the subjective of minds. Derida sebagai perintis dari dekonstruksionisme, mempunyai pendapat berbeda dari strukturalisme yang dibangun de Saussure. Makna bagi Derida bukan sekedar arti kata, bukan sekedar signs yang disepakatkan oleh banyak orang, melainkan bagaimana seseorang mengartikannya. Bila konsep Derida dan pelanjutnya, seperti Kristeva, danjuga Barthes dilacak filosofinya, maka akan sampai pada filsafatnya Descartes, Kant, dan Husserl. Hal yang relevan dengan konsep bahasa Derida dan pelanjutnya adalah bahwa pengalaman emperik sensual manusia difilter oleh idee-ideenya yang dalam, berarti bahasa itu berada pada-dataran proyeksi dari pemfilterannya atas pengalaman emperi. Ada unsur kreatif manusia dalam berbahasa. Dari pelacakan Richard Harland, penulis terbantu dalam upayanya mencari landasan filosofik strukturalisme ataupun poststrukturalisme. Strukturalisme melandaskan diri pada idealisme Hegel, sedangkan poststrukturalisme nampaknya dekat ke phenomenologi. Adakah studi bahasa yang menggunakan pendekatan positivisme? Dari telaah Harland, baik strukturalisme ataupun poststrukturalisme menolak emperik sensual, sebagai landasan menjelaskan makna bahasa. Penulis bertanya bersama pembaca, apakah model content analysis termasuk model studi bahasa dengan pendekatan positivistik? Bila kita mengacu pada buku Carney, content analysis memang positivistik; tetapi bila kita mengacu pada buku Krippendorf, content analysis termasuk menggunakan model interaksi simbolik dari Blumer. Marilah kita cermati bersama, arena penulis pun belum dapat menyimpulkan. Bahwa kajian model Althusser itu materialistik, memang. Apakah itu berarti positivistik, penulis juga masih ingin melacaknya. J. DEKONSTRUKSI Dekonstruksi dalam tampilan keseharian adalah menolak otoritas sentral dalam pemaknaan segala sesuatu. Dalam bahasa (tertulis) atau karya sastra makna dari sesuatu kata ataupun kalimat tidak dimaknai secara tunggal (misal sesuai dengan tradisi, atau lainnya) melainkan dibuka peluang makna lainnya. Strukturallsme berpegang pada makna tunggal sesuatu sign, berpegang pada logosentrisme; sedangkan dekonstruksi menolak penlaknaan tunggal. Dekonstruksi berupaya melacak (trace) tentang kekuatan-kekuatan lingkungan luas yang mempengaruhi penulis karya sastra dalam penuangan pemikiran dan perasaannya dalam karya sastranya, dan memaknainya sebagai banyak kemungkinan makna. Suatu upaya pemaknaan ganda yang pada satu sisi mengundang harapan pada sikap kritis, sedangkan pada sisl lain mengundang kebimbangan berkelanjutan. Term dekonstruksi mengundang makna munculnya kebimbangan berkelanjutan, mengundang pemaknaan menentang kemapanan, dan tiada pernah berujung pada tawaran konstruksi baru atau kemanunggalan makna yang lebih baik yang diperlukan dalam kehidupan masa depan pun. Bila ujung akhir dari perkembangan metoda telaah sastra adalah dekonstruksi, penulis memprihatinkannya. Berbeda bila para ahli bahasa dan sastra lebih menekankan pada penggunaan term poststrukturalisme, di mana kelemahan strukturallsme diatasi. Sebagian dari upaya Derida yang menawarkan konsep trace dan konsep diffferance (bukan diffrence) serta cara penjelasannya 108
memang masih dapat diberi nama poststrukturalisine. Kemampuan kritis atau kemampuan cerdas memberi makna ganda pada kritik karya sastra ataupun perkembangan bahasa memang dapat menjadi tumpuan harapan mengatasi kebekuan perkembangan. Mengatasi kebekuan dalam model penelitian lain penulls sebut sebagal model reintepretasi historis atau interpretasi sosiologik dengan paradigma yang mungkin kontroversial (Baca Bagian Terapan Model H).
109
BAGIAN KEENAM METODOLOGI PENELITIAN AGAMA: DARI STUDI KLASIK SAMPAI STUDI INTERDISIPLINER A. SKOPA BAHASAN METODOLOGI PENELITIAN Skopa bahasan pada bagian keenam ini khusus tentang studi Islam; mencakup dari studi Islam teologik sampai studi Islam interdispliner; dari segi teoretik filosofik mencakup rentangan dari studi Islam klasik, studi Islam orientalis, studi Islam phenomenologik, studi Islam kontekstual, sampai studi Islam interdispliner. Studi Islam teologik yang dimaksud mencakup studi klasik ulumul Qur’an, ulumul Hadits, ilmu Hukum Islam, ilmu Kalam atau Teologi, Tasawuf, dan Filsafat. Dengan cakupan tersebut term Studi Islam Teologik (SIT) nampak bahwa SIT tersebut mengangkat salah satu term cabang ilmu menjadi term umum; ahli lain berkeberatan, dan menawarkan term yang notabene mengangkat term cabang lain menjadi term umum pula. Penulis lebih cenderung menggunakan term Studi Islam Klasik untuk studi Islam dalam enam cabang torsebut. Dalam Seminar Studi Islam Asia Tenggara oleh para pakar peserta seminar, termasuk Mukti Ali, Nurcholis Madjid, dan lainnya, digunakan term Studi Islam Teologik yang tidak terbatas pada lima cabang tersebut, melainkan diperluas mencakup studi Islam yang secara konvensional dipelajari di Institut Agama Islam. Karena itu makna SIT dapat dicakupkan seluas studi Islam orientalis, studi Islam phenomenologik, dan studi Islam kontekstual. Term SIT dalam buku ini akan digunakan dalam arti luas mencakup studi Islam klasik, orientalistik, phenomenologik, dan kontekstual; diperbandingkan dengan studi Islam interdisipliner. Penulis tidak menolak kemungkinan ditemukannya term yang lebih tepat dikemudian hari. B. METODOLOGI PENELITIAN AGAMA Mengangkat metodologi penelitian agama menjadi topik bahasan metodologi penelitian berarti penulis menjadi salah satu yang menjawab persoalan apakah agama dapat diteliti. Sementara ahli dan ulama mendudukkan bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi di bidangnya masing-masing. Ekstremitasnya tampil mentabukan filsafat di antara para ulama, dan menabukan nonemperik-nonsensual di antara para ilmuwan. Pada pembahasan di bagian pendahuluan telah ditelaah berbagai landasan filosofik untuk mendudukkan yang transendental sebagai bagian integratif dari kebenaran ilmu; dan sekaligus dideskripsikan epistemologi mencari dan memaknai kebenaran transendental. Metodologi penelitian agama itu luas sekali, ada yang berada bera da di kawasan naqli (yang wahyu) wa hyu) dan ada yang aqli (yang produk budaya manusia). Metodologi penelitian yang ditamplikan di sini dimaksud menjembatani para pakar ilmu agama dengan para pakar ilmu non-agama (yang di Indonesia biasa disebut ilmu umum, seperti teknik, ekonomi, kedokteran, kedokteran, dan lainnya). Penulis ada maksud dengan menyajikan penelaahan Metodologi Penelitian Kualitatif Ilmu-ilmu Sosial yang dibahas di Bagian Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, dan Kelima dengan penelaahan Metodologi Penelitian Agama di Bagian Keenam ini. Bagi para pakar ilmu sosial yang tak berminat terhadap penelitian agama dapat melewati Bagian Keenam ini sebagai bacaannya. Bagi pakar ilmu i lmu agama yang tetap hendak memfokuskan diri pada Studi Islam klasik dalam artian sempit dapat membatasi bacaannya pada Bagian Keenam ini (dengan menambah referensi buku lain yang membahas metodologi penelitian agama lainnya); sedangkan bagi para pakar ilmu agama yang hendak mengekstensikan wawasannya dan menjadikan Studi Islam Is lam lebih luas dari Studi klasik, disediakan referensi tersebut pada keseluruhan buku ini, meskipun keluasan tersebut pada keseluruhan buku ini masih terbatas pada keterkaitannya dengan ilmu sosial. Metodologi penelitian agama yang ditampilkan di sini dibatasi. Metodologi penelitian 110
teologik dalam arti studi klasik harrya disinggung untuk sekedar dikenal; sedangkan metodologi penelitian lainnya, dic oba ditelaah lebih le bih rinci. Metodologi penelitian agama yang ditelaah di sini lebih difungsikan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang lebih berorientasi teistik atau difungsikan untuk mengembangkan studi tekstual Islam menjadi lebih memberi makna kepada terapan konstektualnya. Pengembangan ilmu dan teknologi ataupun pengembangan terapan konstektual dalam buku ini ditelaah keterhubungan integratif antara yang aqliyah dengan yang naqliyah. Dasar ontologi dan aksiologi dipakai untuk mengembangkan epistemologi dan metodologi penelitiannya. Penulis tidak menolak kenyataan banyak ragam pendapat yang dapat membuat fikiran kita berkembang tiada arah, lebih-lebih bila terlalu memperhatikan para ahli yang banyak terpengaruh silogisme Yunani atau terpengaruh sufisme. Bagi yang mampu melepaskan diri dari berbagai ketidakajegan kerangka pemikiran mereka, dan mampu membangun konseptualisasi metodologi penelitian yang kokoh ( solid ) sekaligus bermakna (meaningfull) dapat diharapkan mampu memberi sumbangan bagi studi Islam yang lebih prospektif C. STUDI ISLAM KLASIK Studi Islam klasik mencakup setidak-tidaknya enam cabang ilmu, yaitu ulumul Qur’an, ulumul Hadits, Ilmu Hukum, Ilmu Kalam atau Teologi, Tasawuf, dan Filsafat. Ismail Al Faruqi mensistematisasikan ulumul Qur’an menjadi lima, yaitu: a) studi qira’ah atau resitasi, b) studi tentang asbaab al nuzul atau konteks saat turunnya wahyu, c) studi tentang ayat-ayat Makiyah dan Madiniyah, d) studi tentang tafsir Al-Qur’an, dan e) ilmu tentang istinbaat al ahkaam atau ilmu tentang Al-Qur’an sebagai sumber hukum. Ulumul Hadits sebagai sumber kedua tentang Islam mencakup: a) riwayat Hadits atau, riwayat kejadiannya dan siapa saja menyampaikan, b) rijaal Al-Hadits, atau ilmu yang menelusuri biographi para penyampai hadits, c) al-jarh wal ta’diil atau ilmu yang menguji keterpercayaan para penyampai hadits, d) ‘ ilal hadits atau situasi sejarah pada masa hadits itu disampaikan, e) mukhtalaf al hadits atau ilmu tentang keserasian antara hadits dibanding dengan bahasa dari hadits dibandingkan dengan bahasa dari Al-Qur’an, dan f) studi tentang hasil kerja dari enam ahli Hadits, yaitu: Bukhaari, Muslim, Abu Daawud, al Nasaa’i, al Tirmidhii, dan Ibn Maajah. Hasil koleksi Hadits yang juga diakui adalah hasil kerja Maalik ibn Anas dan Ahmad Ibn Hanbal. Cabang ilmu yang ketiga dalam studi Islam klasik adalah hukum Islam atau ilmu yang mengatur muamalah manusia, yang dipilahkan menjadi usul fiqih atau dasar-dasar fiqih atau dasar-dasar fiqih dan ilmu fiqih. Sedangkan yang menjadi sumber hukum Islam ada empat, yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’ atau kesepakatan, qiyas atau analogi, dan istihsan atau penalaran. Secara komprehensif hukum yang mengatur muamalah manusia dibedakan menjadi lima, yaitu: yang wajib, yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram. Istihsan atau ijtihad (yang bila ditelaah tajam ada perbedaannya) dapat dipakai untuk memahami Al-Quran dan Al Hadits. Fiqih ijtihad telah melahirkan berbagai mazhab, seperti: Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i. Keempatnya termasuk fuqaha’ Sunni. Terdapat pula .fuqaha’ S yi’ah. yi’ah. Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah, dan Al Asy’ari menyerukan dibukanya terus pintu ijtihad Ilmu Kalam merupakan salah satu cabang dalam studi klasik Islam. Ilmu kalam mempelajari pemikiran filsafat atau pemikiran teologik Islam. Pendorong munculnya Ilmu Kalam adalah perbedaan tafsir tentang aqidah, kepemimpinan sepeninggalan Rasulullah, dan pengaruh filsafat Yunani. Beda tafsir tersebut menimbulkan aliran-aliran: Qadariyah (yang memaknai bahwa manusia memiliki kebebasan memilih yang baik atau buruk-indeterministik), Jabariah (yang memaknai bahwa manusia telah ditetapkan kodratnya oleh Allah-deterministik), Mu’tazilah (yang memaknai bahwa materi semesta ini tak berubah, yang berubah bentuknya saja), dan Al Asy’ariyah (yang mengutamakan nash, akal sekedar membantu memahaminya; bila
111
tak terjangkau akal, nash supaya dijangkau apa adanya). Aliran-aliran lain juga ada seperti: Al Khawarij, Al Sifatiyah, dan Al Salafiyah. Cabang kelima studi Islam klasik adalah ilmu tasawuf. Tasawuf sebagai ilmu mengajarkan kepada kita bagaimana membersihkan jiwa dari pengaruh kebendaan, supaya mudah mendekatkan diri kepada Allah. Kalau filsafat mengajarkan kita menggunakan akal, kalau tasawuf mengajarkan kita Menggunakan rasa. Berpaling dari kebendaan menjadi sifat utama sufi. Man laa yamliku syaian, wa laa yamlikuhu syaiun, orang yang tiada memiliki sesuatu dan tiada dimiliki oleh sesuatu. Kebaikan orang terpengaruh tasawuf adalah orang tersebut menjadi ikhlas dalam beramal, tiada maksud lain kecuali kepada Allah; keburukannya bila orang menjadi menjauhi hidup keduniaan dan menyingkirkan diri dari pergaulan masyarakat. Cabang keenam studi klasik adalah studi filsafat hellenistik. Maksudnya dipelajari karya-karya ilmuwan Islam yang berupaya mendekati Islam secara filsafati, yang menggunakan pendekatan filsafat Yunani. Al Kindi berupaya mendekati Islam dengan pendekatan rasional filsafati. Meskipun Al Kindi berpendapat bahwa kebenaran yang dijangkau oleh filsafat belum setinggi kebenaran wahyu. Al Farabi lebih jauh mengajarkan bahwa kebenaran itu satu, yang akan diperoleh baik lewat studi filsafat maupun berdasar wahyu. Kebenaran wahyu yang mutasyabih perlu ditakwilkan untuk memahaminya, yang pada akhirnya satu dengan kebenaran filsafati. (Ayat Qur’an dibedakan antara yang muhkam, yang jelas artinya, dan yang mutasyabih, yang samar artinya; dengan semakin berkembangnya jangkauan fikiran manusia, ayat-ayat mutasyabih menjadi semakin banyak, yang muhkam menjadi semakin sedikit). Para musafir (ahli tafsir) membedakan antara tafsir dan takwil. Tafsir adalah menjelaskan nash Al-Qur’an atau Hadits berdasar kaidah bahasa dan logika. Tafsir dipakai pada yang muhkam. Sedang Takwil adalah menjelaskan arti yang lebih jauh, karena diyakini bahwa yang tersurat itu hanyalah kiasan atau isyarat saja. Takwil lebih banyak dipakai untuk ayat-ayat mutasyabili. Menafsirkan Al-Qur’an disertai ijtihad diperbolehkan. Nash Qur’an digunakan untuk berkonsultasi tentang kebimbangan kita, kebingungan kita, bukan dipakai untuk membenarkan atau memberikan justifikasi pendapat kita. Mentakwilkan nash dapat dibenarkan, sesuai atau sejalan dengan nash lainnya, dan tidak bertentangan dengan integralitas Kitab dan sunnah Rasul. Mentakwilkan ayat bertentangan dengan ayat dan syara’, dilarang. Golongan yang hendak mengagungkan keturunan Ali r.a. secara semena-mena mentakwilkan dua ayat Al-Qur’an seperti berikut, Maraja albakhraini yaltaqiyaan, la membiarkan mengalir kedua lautan itu, dan saling bertemu, ditakwilkan bahwa dua lautan itu adalah Ali r.a. dan Fatimah r.a. , , dan ayat Yakhruju minhumma, llu’lu’u walmarajaan, dari keduanya keluar mutiara kecil dan besar, ditakwilkan kedua mutiara itu Hasan dan Husen. Al Farabi mengetengahkan teori emansipasi yang berlatar belakang monisme. Penganut ontologi pluralistik mengakui figa kebenaran, yaitu kebenaran Allah, kebenaran manusia, dan kebenaran alam. Ontologi monistik telah berkembang ke dua arah, yaitu: pantheisme, bersatunya ciptaan dengan penciptanya, dan monisme ciptaan-Nya, memisahkan Allah dari obyek telaah. Wahyu dalam hal terakhir ini adalah ciptaan-Nya juga, yang bersama manusia dan alam menjadi obyek telaah bagi manusia yang diharuskan berfikir. Monisme multifaset yang diketengahkan penulis pada pembahasan terdabulu mengikuti arah telaah yang kedua, menjadikan hanya ciptaan-Nya sebagai obyek telaah; dan menjauhkan diri dari upaya menelaah Dzat Allah. Ibnu Rusyd mengajarkan bahwa ajaran Islam dan filsafat Yunani dapat bertemu atas kesatuan kebenaran. Untuk mempertemukannya Ibnu Rusyd menempuh jalan takwil. Pengaruh Ibnu Rusyd (dengan nama Averoes) cukup besar di Barat. Sering pula Ibnu Rusyd disebut sebagai the second klaster after Aristotle. D. STUDI ISLAM ORIENTALIS 112
Term orientalis digunakan untuk para ilmuwan yang mempelajari tentang budaya, bahasa, dan adat-istiadat bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan pribumi Amerika Serikat, dan Australia. Citra yang mereka kembangkan tentang bangsa-bangsa Timur tersebut adalah: primitif, tak rasional, tak beradab, dan berbagai konotasi yang rendah. Dalam melihat budaya, bahasa, dan adat istiadat mereka menggunakan kacamata dan kriteria Barat. Studi Islam para orientalis menggunakan kacamata yang sama; Islam juga dilihat dari kacamata misionaris Kristen, yang bertolak dari asumsi bahwa agama yang berasal dari Allah adalah agama yang diajarkan Jesus Kristus. Upaya diskreditasi kerasulan Muhammad tersebar di tulisan-tulisan para orientalis tersebut. Francois Valentyn mendeskripsikan agama Islam sebagai pencampuradukan agama Yahudi, Kristen, dan agama lain. Orientalis yang misionaris Kristen memang memberi sumbangan berarti dalam linguistik dan antropologi, tetapi mendeskripsikan Islam sebagai ajaran palsu. Neurdenburg (1884) menyatakan bahwa Islam tidak berakar di Hindia Belanda. Studi Islam orientalis biasanya berangkat dari studi antropoiogik. Para orientalis berangkat dari konseptualisasi teoretik atau berangkat dari rekayasa persepsi Barat. Kebencian mereka terhadap Islam yang mengalahkan Kristen dalam Perang Salib, menghasilkan sikap antipati pada Islam. Mendeskripsikan Muhammad sebagai nabi palsu, penipu yang lihai, memperkenalkan cara hidup yang tidak bermoral, dan lain-lain. Dalam masa kolonialisme Barat ke Timur, studi Islam menjadi bagian dari studi antropologik untuk tujuan penjajahan. Pendekatan orientalis mendudukkan agama sebagai gejala sosial dan gejala psikologik. Analisis antropologik para orientalis menampilkan konsep teori evolusioner, bahwa kepercayaan agama tumbuh dari rasa takut kepada kekuatan gaib ke rasa terlindungi oleh yang Maha Pemurah dan Pengasih; mereka menampilkan konsep bahwa kepercayaan tumbuh dari dinamisme-animisme, ke politeisme, menjadi monoteisme. Bila dicermati, Studi Islam orientalis termasuk yang menggunakan pendekatan positivistik. E. HISTORISISME KRITIS Akar dari historisisme kritis juga sama dengan orientalis, yaitu menggunakan pendekatan positivistik. Historisisme kritis dalam Studi agama menggunakan arti sqjarah secara berbeda, yaitu mencari sebab atau asal-usul kerasulan Muhammad SAW. Telaahnya banyak menggunakan psikoanalisis. Historisisme kritis sering mencari landasan telaahnya pada unconsciousness dalam teori psikoanalisis. Bahasa dan adat adalah produk collective unconsciousness. Oleh karena itu adat, bahasa, dan institusi manusia tidak dapat difahami tanpa mencari asal-usulnya atau sejarahnya. Historisisme mencari asal-usul agama bukan dari wahyu, melainkan bersumber pada kesadaran psikis manusia. Peradaban dan kebudayaan menekan jiwa agresivitas manusia individual, dan menjadi patokan normatif perbuatan manusia. Sebagaimana diketahui bahwa Freud menata kesadaran manusia menjadi: bawah sadar kolektif, bawah sadar individual, sadar, dan atas sadar. Superego atau kesadaran pada atas sadar manusia akan menghakimi perbuatan manusia sehingga menumbuhkan rasa dosa dan semacamnya. Neurosis terjadi karena manusia tidak mampu menerima penghakiman superego atas kesalahan perilaku sadar atau bawah sadarnya. Dalam studi agama Islam, historisisme tampil dalam wujud menganalisis Al Qur’an dan juga Rasulullah Muhammad SAW. dalam interpretasi asal-usul emperik, tidak mengakui bahwa keduanya itu adalah penetapan Allah SWT. Al Qur’an dilihat hanyalah karya sastra hebat dari Muhammad; bahwa ajaran-ajaran Islam hanyalah imitasi dari ajaran Musa, ajaran lbrahim, dan jajaran Isa a.s. Karena landasan historisisme kritis adalah psikoanalisis, maka telaahnya didominasi oleh konsep-konsep seperti: frustrasi, stress, kompensasi, neurosis, trance, dan lain-lain. F. STUDI ISLAM PHENOMENOLOGIK
113
Pendekatan phenomenologik dalam studi agama diketengahkan antara lain oleh Rudolf Otto, Joachim Wach, dan lain-lain. Studi Islam dengan pendekatan phenomenologik ini biasa disebut sebagai Islamologi. Perintisnya dapat disebut antara lain Goldziher dan Snouck Hurgronje. Snouck menyarankan politik Islam: 1) dalam bidang murni agama, pemeluk Islam perlu dijamin kebebasan mutlaknya; 2) dalam bidang politik kebebasan tersebut dibatasi untuk kepentingan bersama; 3) dalam bidang hukum Islam pemerintah perlu menjauhi intervensi yang dipaksakan. Yuynbol (1930) menulis buku pegangan tentang hukum Islam mazhab Syafi’i. Perhatian terhadap studi Islam pada waktu ini telah meluas, bukan hanya di Belanda, melainkan juga di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Metodologi penelitian phenomenologik berbeda dengan metodologi penelitian positivistik. Metodologi penelitian positivistik menekankan tentang pentingnya obyektivitas, ilmu perlu value-free, perlu bebas dari nilai apapun, kecuali obyektivitas; teknologi harus dikembangkan bebas dari otoritas apapun, teknologi harus netral, tidak memihak. Metodologi penelitian phenomenologik pada umumnya menolak pandangan demikian. Ilmu itu, menurut pendekatan phenomenologik, haruslah value-bond, mempunyai hubungan dengan nilai, teknologi demikian pula, harus berlandaskan dan diorientasikan pada nilal-nilai seperti kemanusiaan, keadilan, dan juga nilai efisiensi serta efektif. Bagi para peneliti hidup keagamaan yang hendak menggunakan pendekatan phenomenologik sebaiknya menelaah bagian ketiga buku ini, dimulai dengan menelaah model kedua, yaitu model ethnographik-ethonometodologik. Untuk memperluas wawasan dan memilih alternatif operasional model-model lain seperti paradigma naturalistik dan interaksi sinibolik ada baiknya ditelaah pula. Beberapa yang penting dari ethnometodologi adalah hal-hal berikut. Pertama, obyek ditelaah secara holistik, secara keseluruhan sebagaimana adanya; kedua, berangkat dari emperi di lapangan; teon di konstalksikan di lapangan, dan bukan berdasar konseptualisasi kita peneliti, melainkan berdasar konseptualisasi masyarakat yang diteliti itu sendiri, ketiga, menganibil sampel yang diduga memiliki ekstremitas tertentu dengan harapan hal esensial lebih jelas muncul; meskipun tujuan penelitian ethnometodologi itu idiographik, yaitu membatasi diri untuk membuat kesimpulan pada kasus yang ditelitinya saja, tetapi dengan mengambil sampel yang ekstrim, diharapkan kesimpulan kasusnya memiliki komparabilitas yang tinggi; keempat, hendaknya luwes terhadap rencana sendiri, yang secara terus menerus menyesuaikan pada emperi di lapangan: obyek yang diteliti mungkin bergeser, responden yang lebih komunikatif dan informatif yang lebih dicari, hasil analisis perlu dicheck apakah memang sesuai dengan persepsi masyarakat yang diteliti, hasil penelitian masih tetap hipotetik, tetap kasuistik, yang mungkin akan beda lokasi, beda waktu. G. STUDI ISLAM KONTEKSTUAL Pada bagian kedua buku ini telah penulis ulas tentang arti konstektual. Setidak-tidaknya ada tiga arti kontekstual. Pertama, kontekstual diartikan sebagai upaya pemaknaan menanggapi masalah kini yang umumnya mendesak; sehingga arti kontekstual sama dengan situasional. Kedua, pemaknaan kontekstual disamakan dengan melihat keterkaitan masalampau-kini-mendatang (contoh teori medan dari Kurt Lewin). Sesuatu akan dilihat makna historik dahulu, makna fungsional sekarang, dan memprediksikan atau mengantisipasikan makna di kemudian hari. Ketiga, pemaknaan kontekstual berarti mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dengan yang perifer. Pemaknaan yang ketiga ini dipakai oleh Mukti Ali. Bagi Mukti Ali, yang sentral adalah teks Al-Qur’an dan yang perifer adalah terapannya; yang sentral adalah studi tentang ayat-ayat Qur’aniyah, dan yang perifer adalah studi tentang ayat-ayat kauniyah (bukti-bukti dalam kehidupan manusia dan alam). Model yang dikembangkan Mukti Ali disebutnya pendekatan ilmiah-cum-doktriner, pendekatan scientific-cum-suigeneris, sedangkan metodanya disebutnya metoda sintesis yang dalam membahas masyarakat dan budayanya digunakan metoda 114
historik-sosiologik ditambah dengan metoda doktriner. Untuk mempelajari Islam (atau menurut konseptualisasi penulis buku ini: untuk mempelajari kebenaran Ilahiyah) Mukti Ali menawarkan penggunaan dua metoda, yaitu: mempelajari Al-Qur’an dan mempelajari Sejarah Islam; menggabungkan antara studi tekstual dengan kontekstual. Studi tekstual menggunakan pendekatan formal legalistik, mencari kebenaran dengan mengembalikan pada teks Al-Qur’an. Sedangkan studi kontekstualnya menggunakan pendekatan emperik phenomenologik, mencari kebenaran dengan berupaya memahami konteksnya. Mukti Ali memaknai pendekatan kontekstual sebagai upaya, mempelajari kitab suci sebagai pusat idee, sebagai sentralnya, dan sejarah Islam sebagai perifernya. Elan dasar Al-Qur’an bukanlah ilmu atau pun hukum, melainkan moral, demikian Syafi’i Maarif Karena itu mendudukkan Al-Qur’an sebagai sentral studi mengandung makna bahwa studi Islam kontekstual merupakan studi yang berpusat pada moralitas, bukan hanya terhenti pada mencari kebenaran yuridisformal saja. Untuk memahami ayat-ayat Qur’aniyah atau ayat-ayat qauliyah kita perlu bertolak dari keimanan kita, dilanjutkan dengan penalaran kita, bukan sebaliknya. Ayat-ayat Qur’aniyah itu merupakan ayat, isyarat, hudan, dan eksplanasi tentang segala sesuatu, tetapi memberi kita petunjuk, pedoman, rambu-rambu, hikmah, dan manfaat yang lebih bersifat moral. Upaya pemaknaan aqliyah, berdasar ilmu, berdasar penelitian ilmiah atas nash Qur’an diperbolehkan, dan malahan diwajibkan. Hanya saja perlu disadari bahwa pemaknaan kita lebih diwarnai oleh ilmu aqliyah kita daripada moralitas ilaqliyah Al-Qur’an. Quraish Shihab mengemukakan (dan juga banyak ahli mengemukakan) bahwa Al-Qur’an kecuali berfungsi sebagai Hudan, juga berfungsi sebagai furqan sebagai tolok ukur dan pembeda antara yang hak dan yang batil. Banyak ahli menyarankan untuk memahami Al-Qur’an sebagai integritas, memahami Al-Qur’an dalam semangatnya, jangan memaknainya secara parsial. Tanah yang pada awal Islam menjadi bagian dari harta rampasan dan dibagikan kepada para prajurit, pada masa Umar bin Khattab, dibagikan kepada pribumi secara lebih merata. Nash dimaknai sesuai dengan semangatnya. Quraish Shibab memperkenalkan tafsir maudhu’i atau tematik dari Abdul Hay Al Farmawi sebagai metoda mempelajari Al-Qur’an, dengan langkah garis besarnya sebagai berikut: merumuskan tema masalah yang akan dibahas, menghimpun-menyusun-menelaah ayat Al-Qur’an dan melengkapinya dengan Hadits yang relevan, dan menyusun kesimpulan sebagai jawaban Al-Qur’an atas masalah yang dibahas. Dalam kuliah kepada para mahasiswa Pasca Sarjana (yang juga mengikuti kuliah Dr. Quraish Shibab) penulis memperkenalkan cara berfikir yang mirip dengan metoda tematik bagi upaya mengembangkan ilmu dan teknologi dalam perspektif Islami. Hal tersebut penulis bahas secara rinci di sub-bab berikut. (Studi Islam Multidispliner dan Interdisipliner). Moralitas yang terkandung dalam Al-Qur’an bersifat multidimensional, yang memberi ayat (bukti), isyarat, hudan (petunjuk), dan rahmah bagi manusia dalam berperilaku, berfikir, berniat, dan dalam meneguhkan Keimanannya kepada Allah. Ayat, isyarat, hudan, dan rahmah tersebut menyeluruh, bukan disistemasikan menurut ilmu hukum, ilmu ekonomi, atau lainnya. H. STUDI ISLAM MULTIDISPLINER DAN INTERDISPLINER 1. Renaissance dan, Agama di Eropa Eropa pada zaman keemasan Islam dikuasai gereja. Titik kulminasi kekuasaan gereja pada kehidupan negara dan masyarakat berwujud dilibatkannya negara dan masyarakat untuk memerangi Islam, yang kita kenal dengan Perang Salib, yang berlangsung sejak 1096 M sampai 1229 M. Eropa pada saat itu berada dalam kekisruhan kehidupan dan penderitaan karena Perang Salib. Orang Kristen harus menempuh perjalanan beribu-ribu kilometer untuk sampai ke medan perang, sedangkan umat Islam cukup menunggu kedatangan tentara Kristen. Perang Salib telah benar-benar membuat Eropa menderita dan bangkrut. Pada segi lain orang-orang Eropa melihat bagaimana majunya budaya Islam pada waktu itu; dan melihat bagaimana ilmu di Eropa terkekang oleh doktrin-doktrin gereja. Penderitaan
115
Eropa tersebut ditambah lagi dengan serangan bangsa Tartar (pada 1218 sampai 1260) yang menghancurkan sebagian budaya Eropa (dan juga Islam). Pada abad berikutnya, yaitu abad ke-14 Eropa mulai bangkit dengan gerakan yang biasa disebut Renaissance, kelahiran kembali. Suatu gerakan untuk membangkitkan kembali studi ilmu, seni, dan sastra. Meniru Islam yang mencari ilmu ke Yunani, Eropa berbuat serupa. Gerakan Eropa mengadakan studi ke Yunani biasa disebut humanisme. Renaissance dan humanisme berlangsung dari abad ke-14 sampai ke-16. Sosok renaissance dan humanisme (atas pengalaman abad tengah dan Perang Salib) berkembang menjadi antagonistik terhadap gereja. Sosok antagonistik tersebut pada abad ke-18 mengkristal menjadi Aufklaerung yang antroposentris, suatu gerakan yang sangat mengagungkan kemampuan fikir manusia dan mendudukkan manusia sebagai pusat segalanya (lawan dari pandangan teologik gereja yang meletakkan gereja serta ajaran-ajarannya sebagai pusat segalanya). Kelahiran studi ilmu di Eropa dalam konteks demikian menumbuhkan watak ilmnu yang diperkembangkan menjadi antagonistik terhadap agama. Sampai perempat terakhir dari abad ke-20 ini ilmu pengetahuan masih dikuasai oleh paradigma berfikir ilmu seperti itu. Setidak-tidaknya tampil dalam pengakuan status quo: saling mengakui otonomi ilmu dan otonomi gereja. ilmu yang demikian itulah yang sampai sekarang mendominasi cara. berfikir sebagian besar dari ilmuwan abad ke-20 ini. Semboyannya: ilmu harus obyektif, teknologi itu netral, seni untuk seni, negara punya otoritas sendiri, agama punya otoritas sendiri. Negara mengurus politik, dan lain-lain; sedangkan urusan agama menjadi urusan pribadi. 2. Zaman Keemasan Islam dan Ilmu Rasulullah SAW wafat pada tahun 10 Hijriah atau 632 Masehi. Mulai tahun 11 H atau 633 M para pemimpin Islam mulai bergerak ke Babilonia dan Damaskus untuk menyebarkan Islam. Diteruskan ke Persia dan Rusia Selatan serta Afrika Utara pada sekitar 25 H atau 645 M. Dilanjutkan ke India di Timur dan Spanyol di Barat pada tahun 92 H atau 711 M. Penyebaran Islam dengan superioritas wahyu didampingi dengan budaya Arab jahiliyah memerlukan dukungan budaya yang lebih maju. Para budayawan Islam mencari itu. Mereka mencari pada budaya klasik Yunani, baik secara langsung maupun tak langsung. Konteks pencarian ilmu pada Eropa berbeda mencolok daripada pencarian ilmu pada Islam. Ilmu di Eropa tumbuh dalam antogonisme dengan gereja, sedangkan ilmu dalam Islam tumbuh karena kebutuhan untuk mendukung penyebaran agama. Ilmu dalam Islam tumbuh menjadi bagian fungsional dari agama. Pada berbagai forum telah berulagkali kami kemukakan, bahwa umat Islam salah bila memusuhi teknologi. Teknologi sebagai ilmu yang diperkembangkan untuk kemanfaatan tertentu ini lahir dari budaya Islam; budaya yang tumbuh untuk mendukung penyebarar Islam. Ilmu diorientasikan pada pengaturan pemerintahan, pada pembangunan masjid, pada pengaturan perdagangan, pada upaya pendidikan dan kesehatan bagi kemaslahatan umat manusia, dan lain-lain yang kesemuanya itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits; itulah teknologi Islam. Karena itu dapat dikatakan bahwa: Yunani adalah induknya ilmu murni dan Islam adalah induknya teknologi. 3. Kebangkitan Islam Abad ke-15 Hijriah Kebangkitan Islam abad ke- 15 janganlah diarahkan kepada orientasi ilmu yang sekarang ini dianut oleh sebagian besar ilmuwan, yaitu: mengejar ilmu yang obyektif dan teknologi yang netral. Landasan historiknya telah diuraikan. Pada perempat akhir abad ke-20 ini telah muncul para pemikir-pemikir yang menolak ilmu yang value-free, menolak teknologi netral, dan menampilkan pemikiran bahwa ilmu haruslah value-bound, ilmu dan teknologi harus berorientasi pada nilai. Kita patut bersyukur dan memelihara serta mempertahankan hasil proklamasi Republik Indonesia yang para founding-fathers kita telah mempunyai pemikiran yang mendahului zamannya, dan notabene sinkrun dengan wawasan dasar Islam yang 116
menyatukan urusan duniawi dan ukhrowi dalam sistem pemerintahan kita. Agama menjadi bagian integral dari pemerintahan Indonesia; pendidikan agama diurus oleh negara, dan notabene dalam, fungsi untuk menjadikan masing-masing warga negara menjadi pemeluk agama yang baik, sesuai ajaran agamanya masing-masing. Sejumlah Guru Besar Filsafat Ilmu dan Sejarah Ilmu yang masih aktif pada perempat terakhir abad ke-20 seperti Toulmin, Kuhn, Popper, Feyerabend, dan Bohm mendudukkan ilmu dalam perspektif Weltanschauung (Kuhn), mendudukkan Weltanschauung pada strata tertinggi dari ideals qfnatural order (Toulmin). Tesis yang dipegang para pakar tersebut adalah: bahwa pengamatan itu diwarnai oleh pandangan hidup, bahwa pemberian makna itu terkait pada pandangan hidupnya, dan fakta itu diwarnai oleli pandangan hidup. Kebangkitan Islam harus mengarahkan diri pada pengintegrasian ilmu dengan wahyu, bukan menjadikan studi Islam obyek telaah akal yang melepaskan diri dari sistem nilai. Keimanan kita atas kebenaran wahyu hendaknya mewarnai pengamatan kita, pengkonstruksian fakta, dan pemaknaan kita dalam semua ilmu dan teknologi yang kita kembangkan. 4. Studi Islam Multidispliner dan/atau Interdisipliner Studi Islam kami bedakan menjadi dua, yaitu studi Islam teologik dan studi Islam interdispliner. Studi Islam teologik merupakan studi Islam yang biasa kita kenal di pondok pesantren tradisional, di madrasah, dan di lembaga pendidikan tinggi Islam tradisional. Kesemuanya itu menghasilkan ahli berpengetahuan agama Islam. Studi Islam interdispliner (dan juga multidisiplnier) menghasilkan ahli hukum, ahli ekonomi, ahli pendidikan, ahli tekilik, ahli phisika yang memiliki wawasan dasar Islam; termasuk juga mampu menampilkan konsep-konsep ekonomi yang Islami, konsep hukum yang Islami, konsep teknik yang Islami; juga mengembangkan bioteknologi yang Islami, sistem perbankan yang Islami, menerapkan etik kedokteran yang Islami, dan lain-lain. Penulis berupaya bagaimana agar tumbuh kesatuan integratif antara ajaran wahyu dan ajaran ilmu. Studi Islam yang interdisipliner dan multidisipliner dapat menyatu dengan studi Islam teologik menjadi Studi Islam Trans disipliner. Tiga tonggak utama Islam, yaitu: aqidah, muamalah, dan akhulaq. Aqidah perlu menjadi fokus studi Fakultas Ushuluddin, sedangkan muamalah menjadi fokus studi Fakuitas Syariah, dan akhlaq berulangkali penulis ingatkan setepatnya menjadi fokus studi Fakultas Tarbiyah. Bila fokus studi tersebut disepakati, maka hubungan vertikalnya dengan ilmu lain menjadi sebagai berikut. Fakultas Usliuluddin menjadi feedingsschool untuk ilmu-ilmu humaniora. Fakultas Syari’ah menjadi feedingsschool untuk ilmu-ilmu teknologi, dan Fakultas Tarbiyah menjadi feedingsschool untuk ilmu-ilmu sosial. Itu berarti bahwa studi antropologi, studi bahasa, dan studi humaniora lainnya perlu mengacu dan menguji apakah menumbuhkan keimanan atau meracuni keimanan. Interpretasi perkembangan agama dari dinamisme, animisme, politeisme, ke monoteisme perlu diadakan reinterpretasi karena telaah orientalis Freudian tersebut salah. Ushuluddin perlu mengembangkan peranannya sebagai feedingsschool, sehingga di Fakultas Ushuluddin perlu diekstensikan ilmunya agar mampu memberi acuan aqidah pada ilmu-ilmu humaniora. Soal bayi tabung, soal bioteknologi, dan banyak soal lain yang terkait ke pengembangan rekayasa teknologik, sebagian berada pada dataran teknis operasional eksperimental, tetapi ada pula yang berada pada dataran moral etik, di mana Fakultas Syari’ah perlu mampu menjadi feedingsschool bagi semua studi teknologi. Soal moralitas dalam berekonomi, dalam berpolitik, dan berilmu sosial lainnya perlu ada bahan acuannya. Dengan memfokuskan telaah Tarbiyah dengan sentrainya akhlaq, diharapkan Fakultas Tarbiyah mampu menjadi feedingsschool semua ilmu sosial. Banyak ahli mengidentifikasi bahwa ilmu-ilmu sosial sekarang ini mulai mencari paradigma humaniora. Bila demikian, ilmu sosial pada dataran pertamanya mengacu ke akhlaqul karimah, dan pada dataran berikut mengacu ke aqidah.
117
Dilangkahkan lebih jauh pemikirannya, semua ilmu masa depan perlu mengacu pada paradigma humaniora, dan secara vertikal pada dataran selanjutnya mengacu pada aqidah, mengacu ke pemeliharaan keimanan. Dengan paradigma integrasi disiplin ilmu dengan tiang utama Islam maka pembekalan multidispliner di Fakultas Ushuluddin, Fakultas Syari’ah, dan Fakultas Tarbiyah dengan mengekstensikan pengenalan pokok-pokok 1-nateri perkuliahan dengan hukum perdata umum, dengan ilmu sosial politik, dan ilmu lainnya, menjadi sangat urgen. Ajaran Islam jangan ditampilkan sepotong-sepotong dalam waris, zakat pertanian, sodaqoh, dan harta rampasan secara terpisah-pisah. Keseluruhan semangat ajaran Al-Qur’an dan sunnaturrasuul hendaknya melandasi semua studi. Zakat pertanian dapat mempunyai tema lebih besar yaitu hak milik dan fungsi sosial hak milik. Tanah sebagai harta rampasan perang, malahan (dalam semangat Islam) dimaknai oleh Umar bin Khatab bukan sekedar harta rampasan, melainkan dilihat sebagai fungsi sosial dari tanah. 5. Kebenaran dan “Kebenaran” Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya mengakui satu kebenaran, yaitu indrawi atau sensual, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapapun. Di luar itu tidak diakuinya sebagai kebenaran. Mengembangkan metodologi berfikir demikian itu akan mengerosi keimanan kita. Rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu: kebenaran emperi sensual, kebenaran emperi logik, dan kebenaran emperi etik. Bagi rasionalisme yang pertama mempunyai peringkat terendah, dan yang ketiga tertinggi. Hal-hal yang biasa kita kenal dengan metaphisik, yang transendental tidak diakui oleh rasionalisme sebagai kebenaran. Ajaran Auguste Comte perlu direinterpretasikan dan dibangun paradigma yang lebih tepat mengganti periodisasi dari teologik, metaphisik, ke positivistik. Kita dapat membayangkan pecahnya kepribadian orang ataupun satuan masyarakat, yang di satu sisi diajarkan ilmu yang filsafatnya rasionalistik (dan lebih-lebih lagi positivistik) dan di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental. Kehidupan masyarakat dunia yang lebih berorientasi kepada kehidupan sekuler menjadi tidak mengakui kebenaran di luar yang emperi sensual dan emperi logik. Ilmu pengetahuan pun dikembangkan hanya berdasar kebenaran tersebut. Sejumlah Guru Besar Filsafat Ilmu dan Sejarah Ilmu pada perempat terakhir abad ke-20 ini telah menemukan pandangan hidup atau Wellanschauung dalam metodologi ilmunya. Dengan kata laih telah memasukkan kebenaran nilai etik ke dalam kerangka berfikir ilmu, mewarnai pengamatannya dan pengumpulan faktanya, dan lebih jauh dalam memberikan pemaknaan selanjutnya. Dari uraian di atas kita dapat memperhatikan perkembangan ragam fikir para ilmuwan di dunia. Para positivist hanya mengakui kebenaran sensual, para rasionalis hanya mengakui kebenaran sensual dan logik (dan sebagian mengakui kebenaran etik). Masalahnya: sosok pribadi manusia semestinya satu, melainkan dalam kesehariannya dihadapkan pada kebenaran ilmu dan kebenaran wahyu, yang pertama hanya mengakui kebenaran sensual dan logik (serta sebagian mengakui kebenaran etik), sedangkan yang kedua padat dengan pengakuan kebenaran transendental; yang pertama tampil sebagai ilmu-ilmu naqli, sedangkan yang kedua tampil sebagai ilmu-ilmu naq1i; yang pertama hanya mengakui kebenaran yang teramati; sedangkan yang kedua mengakui kebenaran mengenai hal-hal yang gaib. Bagaimana mungkin kita menampilkan diri untuk sekaligus tidak mengakui yang gaib dan mengakui yang gaib? Kita tahu bahwa filsafat adalah ilmunya segala ilmu (‘aqliyali), sehingga kehadiran pandangan para Guru Besar Filsafat Ilmu dan Sejarah ilmu yang mendudukkan Welstanschauung, pandangan hidup, yang mendudukkan sebagai sistem nilai, seperti: nilai hak asasi, nilai keadilan, kemanusiaan, dan lain-lain yang produk budaya manusia sebagai landasan pengembangan ilmu, merupakan kecenderungan masa depan yang mewarnai ilmu masa depan lebih memberikan harapan, karena ilmu diakarkan pada moralitas. Memang, ada sinyalemen dari Frederick Suppe bahwa pengembangan ilmu diakarkan ke moralitas Weltanschauung mulai 118
kehilangan dukungan; tetapi pengembangan ilmu yang dikembangkan atas dasar rasionalitas obyektif universal tetap mendapat banyak dukungan dan semakin berperan. Penulis menawarkan paradigma di mana yang etik pun rasional, dan yang transenden pun rasional. Rekonstruksi masa depan yang kami tawarkan lebih dari itu, yaitu: bukan sekedar mengakarkan ilmu pada moralitas nilai produk manusia, melainkan lebih jauh lagi, mengintegrasikan pengembangan ilmu pada moralitas agama. Bila disimpulkan, kebenaran positivisitik, bukanlah kebenaran tuntas; kebenaran rasionalistik bukanlah kebenaran yang tuntas; kebenaran dikhotomik ilmu dan wahyu, bukanlah kebenaran yang memecahkan masalah; kebenaran integratif antara ilmu dengan wahyu adalah kebenaran yang tuntas dan memberikan kepada kita pedoman hidup manusia ilmuwan. 6. Stratifikasi Kebenaran Pendekatan phenomenologik seperti diuraikan di atas mengakui bahwa kebenaran itu ganda. Sebagian pemikir Islam ada pula yang menampilkan pemikiran bahwa kebenaran itu ganda; terapannya: kebenaran Allah lain dengan kebenaran manusia; urusan ibadah lain dengan urusan politik dan budaya. Konsekuensi lanjut akan menumbuhkan kontradiksi ekstern, yang kontradiksi antara kebenaran aqidah dengan kebenaran ilmiah; ada konsekuensi aksiologik, bahwa kebenaran nilai sebagai kriteria kebenaran dapat berbedabeda, dan bukan mustahil menjurus ke relativisme dalam nilai. Konsep ontologik yang kami tawarkan untuk membangun ilmu yang Islami haruslah dikonstruksikan atas pengakuan terhadap kebenaran monistik. Kebenaran dalam aktualisasi tertinggi memang kebenaran Ilahiyah, kebenaran yang diajarkan Allah kepada manusia. Kebenaran dalam aktualisasi keseharian atau emperik tampil relevan dengan masalahnya. Masalah aktualnya: dalam biologi atau phisika, kebenaran yang muncul dominan adalah kebenaran emperik sensual; kadang berkembang menjadi masalah logik; sering masalah itu berkembang menjadi masalah etik bayi tabung, masalah etik alat perang nuklir; semua kebenaran yang emperik sensual dan yang logik harus dikonsultasikan kepada kebenaran etik. Umat Islam patut bersyukur karena ada tempat konsultasi yang lebih daripada kebenaran etik insaniyah, yaitu kebenaran integratif Ilahiyah. Kami sebut kebenaran integratif Ilalliyah, karena kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits memberikan kepada kita manusia: ayat, isyarat, hudan, dan sekaligus rahmah. Perkembangan sejarah membuktikan bahwa konsultasi-konsultasi kepada nilai-nilai Ilahiyah dalam pengembangan ilmu tidak selalu lancar mendorong, tetapi sebagian menghambat, dan terpakai menghancurkan yang satu pada yang lain. Di mana masalahnya? Banyak hal menjadikan umat salah mengkonstruksi kebenaran, juga salah dalam menggunakan logika pembuktiannya, salah epistemologinya karena salah ontologinya, dan bukan mustahil muncul kesalahan aksiologiknya, sehingga terjadi berbagai kontradiksi internal yang melemahkan. Kebenaran yang kami tawarkan adalah kebenaran monistik multifaset. Kebenaran insaniyah adalah kebenaran yang dibangun oleh akal budi manusia, yang tumbuh dari zaman ke zaman. Kebenaran Ilahiyah adalah kebenaran yang tertuang dalam nash Qur’an dan Hadits. Epistemologik, kebenaran Ilahiyah termasuk yang emperik transendental; artinya: untuk menjangkau itu memerlukan penghayatan emperik lewat akal budi-keimanan kita. Kritik bahwa yang transendental itu tak teramati, tak terukur, perlu dijawab dengan pernyataan bahwa kebenaran itu tidak terbatas pada yang emperik sensual seperti yang dianut positivisme. Manusia adalah makhluk yang lebih dari sekedar yang sensual: manusia punya akal, punya budi/hati nurani, dan punya iman. Aksiologik, kebenaran Ilahiyah integratif mengkoherensikan berbagai kebenaran dimensional menjadi satu yang integratif, bukan yang berkontradiksi. Kebenaran wahyu yang transendental adalah kebenaran berdasar nash Qur’an dan Hadits. Kebenaran itu merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarah, hudan (pedoman hidup), dan rahmah. Stratifikasi kebenaran wahyti dapat ditata menjadi kebenaran muamalah manusia terhadap alam, muamalah antarmanusia, muamalah manusia dengan Allah, dan ubudiyah. 119
Kebenaran sebagai sesuatu yang integratif monistik mempunyai strata, dimensi, dan karakteristik deterministik dan indeterministik. Dilihat pada dataran Ilahiyah hukum alam semesta ini deterministik, hukum phisika, biologi bersifat deterministik, yaitu berupa keteraturan semesta. Pada dataran insaniyah berubahnya teori, tesis dan lainnya disebabkan karena manusia belum mampu mengungkap sifat yang sebenarnya. Apa hikmah dan rahmah kita harus beribadah, mengimani kodrat dan hari kiamat, dan melarang kita manusia untuk memikirkan dzat Allah dan memikirkan yang gaib, hanya Allah yang tahu. Substansial dan esensi hakikinya hal-hal tersebut bersifat deterministik; mencoba menafsirkan atau memaknai, diperbolehkan; berarti tafsir dan maknanya (bagi kita, dan menurut persepsi kita) bersifat indeterininistik, dapat kita perkembangkan terus penafsiran kita, tetapi keteraturan substansi dan keteraturan esensi hakikinya tak pernah akan dapat kita jangkau. Di antara alam yang deterministik, manusia diberi kawasan oleh Allah untuk berkarya lebih kreatif, ada kawasan indeterministik, yaitu kawasan untuk menjangkau kebenaran emperik sensual, kebenaran emperik logik, kebenaran emperik etik, dan kebenaran muamalah manusia terhadap alam, dan muamalah antarmanusia. Meskipun demikian perlu diingat bahwa kebenaran-kebenaran tersebut haruslah diorientasikan kepada kebenaran yang kami sebut sebagai kebenaran Ilahiyah integratif Di atas ini penulis sajikan paradigma penulis atas konstruksi kebenaran yang monistik multifaset tersebut.
Catatan: Pada dataran Ilahiyah semua itu deterministik dalam keteraturan; pada dataran insaniyah semua itu Indeterministk manusia dapat membuat kreasi atau rekayasa dalam keteraturan Ilahiyah yang gaib dan dzat Allah tidak termasuk kawasan ilmu.
Tabel VI.1: Paradigma Stratifikasi, Dimensi, dan Karakteristik Kebenaran 7. Menjangkau Berbagai Kebenaran Dimensional 120
Kebenaran berfikir sensual dapat kita jangkau dengan metoda-metoda berfikir yang biasa kita kenal dalam ilmu pengetahuan alam, seperti: observasi, pengukuran, eksperiinentasi, dan semacamnya. Kebenaran eniperik logik memerlukan kemampuan kita untuk berfikir reflektif (bergerak mondar-mandir antara induksi dan deduksi, antara abstraksi dan penjabaran). Dari indikasi emperik sensual atau emperik kasus, kita membuat abstraksi dengan skopa yang sangat luas; atau dengan kemampuan berfikir divergen atau kreatif, kita mengabstraksikan sesuatu di luar kasusnya. Kebenaran emperik etik tumbuh dari ketajaman tertuntunnya hati nurani pada kebaikan, kebaikan demi masyarakat itu sendiri. Menghayati berbagai nilai budaya manusia merupakan jalan atau metoda terbaik untuk menjangkau kebenaran etik. Kebenaran Ilahiyah transendental yang muamalah antarmanusia kita jangkau dengan metoda-metoda yang dipakai untuk menjangkau kebenaran sensual, kebenaran logik, dan kebenaran etik; di samping digunakan pula hati nurani dan keimanan kita. Substansial, kebenaran yang diwajibkan Allah untuk difikirkan manusia adalah: alam semesta ini, manusia dan kehidupannya, serta wahyu Allah, bukan memikirkan dzat Allah. Dzat Allah dan yang gaib bukan kawasan yang diwajibkan untuk dipelajari manusia. Dengan bahasa komputer, manusia tidak diprogram oleh Allah untuk menjangkau dzat Allah dan yang gaib. Tentang dzat Allah dan yang gaib dituntut keimanan kita. Kebenaran itu dimensional, kebenaran insaniyah mempunyai derajat kebenaran sesuai dengan kemampuan akal fikir manusia (valid based on a theoretical construct). Kebenaran Ilahiyah memiliki derajat kebenaran mutlak sebagai kebenaran kebijakan yang moralistik. Kebenaran insaniyah menempuh jalan benar, bila berusaha untuk selalu mengacu kepada kebenaran llahiyah. 8. Deterministik dan Indeterministik Kebenaran Wahyu sebagai kebenaran transendental memberikan ayat (bukti), isyarah, hudan (pedoman), dan/atau rahmah kepada hidup keseharian, manusia dalam berhubungan dengan alam, sesama manusia, dan dalam hubungan dengan Allah. Nash kadang menampilkan bukti faktual, kadang memberikan isyarat yang seharusnya mendorong kita untuk meneliti, mengadakan eksperimen untuk menemukan hukumnya atau prinsipnya atau menampilkan teorinya. Nash kadang memberikan kepada kita hudan atau petunjuk bijak yang seharusnya mendorong kita untuk mengembangkan sistem, organisasi, atau pelaksanaan dalam bidang ekonomi, hidup kemasyarakatan, dan lainnya. Nash kadang memberikan kepada manusia rasa sejuk sejahtera, bahwa yang baik akan terjaga, yang jahat terancam siksa. Kebenaran wahyu mempedomani muamalah antarmanusia, yang sosok dan operasionalisasinya diserahkan sepenuhnya pada manusia, substansial dan instrumental bersifat indeterininistik. Kebenaran muamalah hubungan manusia dengan Allah dan kebenaran ubudiyah hanya dapat kita jangkau lewat penafsiran kita, yang pasti tidak akan pernah sainpai kepada pernahaman hakiki dari kebenaran kebijakan Allah. Itu berarti insaniyah indeterministik, Ilahiyah deterministik. Manusia diwajibkan berfikir menghayati kebijakan tertinggi dari Allah; imanusia perlu mencoba menjangkau hakiki kebenaran kebijakan Allah, meskipun tidak pernah akan sampai. Yang kita hasilkan dari upaya kita hanyalah persepsi kita dan penafsiran kita. Kebenaran emperik sensual, kebenaran logik, dan kebenaran etik, serta kebenaran muamalah manusia dengan alam dan antara manusia dalam arti Ilahiyah atapun insaniyah dapat terus kita perkembangkan dengan menggunakan nash sebagai ayat, isyarat, hudan ataupun rahmah. Itu berarti bahwa untuk seluruh kawasan tersebut manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkannya, sejauh tetap dijaga koherensinya dengan nilai Ilahiyah integratif. Substansi tesis, teori, dapat terus dirombak-kembangkan, demikian pula instrumentasinya atau pemaknaan dan penafsirannya. Berbeda dengan kebenaran muamalah manusia terhadap Allah dan ubudiyah; secara substansial tidak pernah akan dapat kita jangkau (apa hakiki shalat, puasa, zakat). Hakikat pahala, siksa, alam gaib, dan lainnya tidak pernah akan dapat kita ketahui; tetapi kita dapat saja memaknai isyarat, hudan dan/atau rahmah yang terkandung dalam hal-hal tersebut. Ilmu dapat saja menafsirkan makna shalat dan pahala serta siksa, tetapi dengan tawajuh 121
kita perlu menyadari bahwa substansi shalat dan pahala serta siksa tetap tidak akan terjangkau makna hakikinya. Deterministik substansi alain telah diatur Allah. Manusia boleh dan diberi kemampuan dan malahan wajib menemukan determinisme alam, yang dalam ilmu menghasilkan tesis, teori, hukum alam, dan lainnya. Alam ini deterministik, artinya mengikuti hukum alam, yang telah ditetapkan Allah. Hanya saja manusia belum sepenuhnya mampu mengungkapkannya. Manusia menemukan dan memahaminya lewat eksperimentasi, observasi, mengabstraksi, dan mendeduksi. Pada dataran rasional, Popper memandang bahwa alam semesta ini teratur; dan keteraturan alam semesta ini merupakan kebenaran obyektif, yang berada di atas kebenaran obyektif benda-benda, dan berada di atas kebenaran subyektif idee manusia. Sedangkan penulis mengangkat lebih jauh, masuk ke dataran transendensi, dan menyatakan bahwa keteraturan alam semesta ini diatur oleh Al Khalik, Sang Pencipta. Keteraturan alam semesta yang transendental tersebut pada dataran rasional dapat dibaca dan dibedakan menjadi keteraturan substansial dan keteraturan esensial. Keteraturan substansial melekat pada benda-benda yang telah langsung dianugerahkan Tuhan berupa bahan tambang: baja, aluminium, dan tembaga; berupa keseimbangan alam: ada predator, ada pembusukan; berupa sifat baik dan pengaruh buruk pada manusia. Sedangkali keteraturan esensial adalah keteraturan yang terbaca oleh manusia berupa karakeristik hakiki yang melekat pada benda-benda substantif Dengan tingkat pengetahuan yang rendah, karakteristik yang tidak esensial dapat saja terbaca esensial, seperti ikan paus: terbaca: termasuk ikan dengan hisang dan bertelur; ternyata bernafas dengan paru-paru dan menyusui anaknya; dengan demikian ikan paus secara esensial termasuk mamalia. Pada dataran rasional, tugas ilmuwan adalah membaca dengan benar keteraturan esensial yang melekat pada benda-benda substantif Hasil bacaan atas keteraturan tersebut dapat dimanfaatkan manusia, dan menghasilkan rekayasa atau engineering manusia. Setelah memahami beberapa keteraturan tubuh manusia, maka ditemukan rekayasa cangkok jantung. Setelah memahami keteraturan esensial sejumlah logam dibuatkan rekayasa kombinasi sejumlah keteraturan esensial sejumlah logam menjadi satu komposit yang berguna untuk tujuan tertentu: membuat komposit untuk badan pesawat ruang angkasa: yang kuat, tetapi ringan, tahan panas, dan lain-lain. Dalam bacaan sederhana: orang kaya banyak harta, orang pandai banyak ilmu. Dalam pencermatan orang kebanyakan: banyak harta terkait dengan sifat-sifat esensial: kerja keras dan hemat. Dengan pencermatan lebih tinggi: kaya terkait pada punya siasat dalam mengelola kekayaannya dan mengembangkannya, efektif dalam penanaman modal dan penggunaan harta. Pada dataran transenden, disertai rasa syukur atas nikmat Allah disertai banyak amal, diikuti mohon diberi lebih banyak rezeki agar dapat beramal lebih banyak. Zahid modern tampil dalam upaya kerja keras agar menjadi lebih kaya dengan niatan beramal lebih banyak agar mendapat ridha Allah; dan ketika harta musnah karena bencana, karena salah langkah, dengan iklhas berucap inna lillah wa inna ilaihi roji’un. Berangkat dari telaah penulis tersebut di atas, penulls higin membuat koreksi tentang faham jabariyah dan qodariyah dalam tasawuf Islam. Jabariyah dalam persepsi yang dipengaruhi oleh model Maharaja; model kuasa mutlak raja di raja, maka sudah semestinya kekuasaan Allah tampilannya menjadi seperti Raja di Rajanya Maharaja. Apa mau-Nya, apa kehendak-Nya itu yang terjadi, dan siapapun tidak dapat menyanggah atau mengelak. Koreksi penulis: lalu apa artinya Maha Bijak, Maha Adil bila mau-Nya yang jalan. Memang kehendak Allah yang berlaku, tetapi maknanya tidak mempribadi, melainkan teosentris humanistis. Artinya: semua acuan, petunjuk, ataupun perintah-Nya terbacanya untuk Allah, tetapi dalam makna dalamnya adalah untuk manusia. Shalat malam, bagi Allah tiada malam, tiada siang; tetapi bagi manusia jam 1 malam adalah jam enaknya tidur nyenyak.
122
Konsep qodariyah menurut pencermatan penulis berakar pada koilsep free-will-nya Yunani. Manusia itu pada hakikatnya bebas berkehendak. Kaum mu’tazilah memandang bahwa Allah itu adil. Terapannya: mestinya Allah akan memberikan ridha-Nya bila orang berusaha keras, untuk menjadi pandai, kaya, atau lainnya yang menggembirakan bagi yang bersangkutan. Mempertentangkan jabariyah dan qodariyah dalam kerangka berfikir di atas, tidak pernah akan membawa kemajuan pada umat Islam. Untuk dapat membawa kemajuan bagi ummat, pada dataran transenden kita mohon ridha-Nya untuk berupaya keras membaca dan memanfaatkan keteraturan-Nya. Pada dataran rasional kita berupaya keras menemukan keteraturan esensial yang melekat pada benda-benda substantif, untuk dibuat rekayasa-rekayasa dengan menggabungkan sejumlah keteraturan esensial yang melekat pada berbagai benda, menjadi substansi baru dengan kombinasi esensial baru yang menjadi lebih bermanfaat bagi manusia. Komposit adalah substansi baru dengan kombinasi esensial baru yang bermanfaat untuk membuat badan pesawat ruang angkasa. Mesin otomotif merupakan substansi baru yang memanfaatkan sifat-sifat esensial sejumlah hukum phisika. Orang menjadi kaya atau pandai bukan karena qunfayakun Allah, melainkan karena mampu meramu beragam sifat esensial keteraturan-Nya dan akhirnya menghasilkan substansi baru berupa kaya atau pandai. Alam semesta ini teratur, diatur oleh Allah. Dengan keteraturan oleh Allah maka alam semesta ini deterministik pada dataran transenden. Sedangkan dengan terbukanya upaya rekayasa manusia memanfaatkan kemampuannya membaca keteraturan esensial ciptaan Allah, maka pada dataran rasional alam semesta ini indeterministik, merupakan sistem terbuka. Dengan konseptualisasi seperti itu ilmuwan pada dataran rasional dapat membuat beragam rekayasa memanfaatkan keteraturan ciptaan Allah. Bagaimana dengan bayi tabung untuk ibu yang sukar hamil atau tak dapat hamil, pelipatan eksponensial produksi udang dengan cara membutakan udang, atau rekayasa lainnya, termasuk memindahkan embrio boer goat (kambing Afrika yang sangat besar) ke dalam rahim kambing lokal, misalnya. Masalah tersebut minimal sudah berada pada dataran etik, mungkin malahan dataran transenden. Hal tersebut dikonsultasikan pada etika dan nash. Bila tugas ilmuwan adalah membaca, menemukan, dan memanfaatkan keteraturan esensial dan membuat rekayasa keteraturan esensial ciptaan-Nya, itu berarti bahwa berilmu pengetahuan adalah mengagungkan Al Khalik dengan memanfaatkan keteraturan semesta bagi seluruh makhluk. Memberi manfaat, bukan dalam arti hedonistik yang materialistik, melainkan manfaat dalam makna maslahat, memberi kebaikan. Moral Islam mengajarkan bahwa amal seseorang akan terhenti, juga pahalanya, pada saat seseorang telah meninggal dunia, kecuali amal jariyah. Moral Islam mengajarkan ada tiga amal jariyah, yaitu amal yang pahalanya akan mengalir terus meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Dengan konseptualisasi indeterminisme pada dataran rasional tersebut di atas, semestinya ilmuwan Islam menjadi paling terpacu untuk mengembangkan ilmu rekayasa atau teknologi; karena yang diperolehnya bukan hanya duniawi, melainkan juga ukhrawi. 9. Logika Pembuktian Kebenaran Untuk pembuktian kebenaran penulis membedakan enam model logika, yaitu: 1) logika formil Aristoteles, 2) logika matematik deduktif kategorik, 3) logika matematik induktif kategorik, 4) logika matematik probabilistik, 5) logika deduktif probabilistik, dan 6) logika reflektif. Pembuktian kebenaran menurut logika Aristoteles: emperi diuji-cocokkan dengan premis mayornya atau tesisnya atau teorinya atau nashnya, untuk diambil kesimpulan apakah premis minor (atau hasil analisis emperi) cocok dengan premis mayornya ataukah tidak. Bila tidak cocok, premis minor ditolak. Asumsi kita pada model logika Aristoteles tersebut: tesis atau teori atau nash itu mutlak benar. Sejarah ilmu pengetahuan membuktikan bahwa cara pembuktian demikian bukan menghasilkan pengembangan ilmu, melainkan hanya menghasilkan pembenaran ilmu. Mungkin 123
kita akan bertahan dengan mengatakan bahwa nash itu tak perlu kita ragukan kebenarannya, karena itu dari Allah. Itu benar. Kesalahan kita adalah: tidak pernah mau menelaah ulang apakah nash untuk waris itu hanya itu-itu saja; mengapa telaah zakat tidak diperluas ke konsep tentang hak milik dan fungsi sosial harta; dan mengapa bunga bank hanya dikaitkan dengan riba, mengapa tidak ditelaah integratif dengan perdagangan dan dilihat pilahnya dengan keuntungan? Logika Aristoteles dapat saja dipakai bila diimbangi dengan pengujian materiil, tidak hanya menguji kebenaran formil saja. Konsep logika matematik: 1/2a = 1/2 b → a = b. Formil mengikuti 1 1 contoh di atas /2 gelas penuh = /2 gelas kosong → penuh = kosong. Logika matematik deduktif berangkat dari kalkulus jenis. Sesuatu itu ditetapkan implisit atau eksplisit terhadap sesuatu, sehingga logika tersebut disebut pula logika matematik deduktif kategorik. Logika matematik kategorik berangkat dari 7 aksioma matematik, yang diubah menjadi 7 aksioma kelas dan subkelas. Logika ini berangkat dari hukum, dalil, theoreem, dan juga berangkat dari asumsi, aksioma, atau postulat. Logika matematik deduktif kategorik dan logika formil Aristoteles keduanya menggunakan proses berfikir deduktif, bedanya: yang matematik mendasarkan pada kebenaran materiil, sedangkan logika Aristoteles mendasarkan pada kebenaran formil. Logika pembuktian kebenaran yang ketiga adalah logika matematik induktif kategorik, yaitu logika yang berkembang marak bagi studi ilmu kealaman. Emperi sensual dan konstruksi logik sejumlah emperi sensual dipakai untuk mencari kebenaran. Emperi diakui sebagai satu-satunya sumber untuk mencari kebenaran. Bertolak dari ontologi yang berbeda, logika induktif ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Positivist melalui logika induktif tersebut mencari hukum atau prinsip yang diharapkan berlaku umum; sedangkan phenomenolog melalui logika induktifhya hanya mengakui kebenaran kesimpulan yang berlaku khusus, einmahlig. Positivist mencari kesimpulan nomothetik, phenomenolog mencari kesimpulan idiographik. Dengan dimensi telaah dan titik berangkat yang berbeda, para determinist atau penganut jabariah juga mencari kesimpulan nomothetik. Sedangkan para indeterminist atau penganut kadariyah mencari kesimpulan idiographik. Logika pembuktian kebenaran yang keempat adalah logika matematik induktif probabilistik. Logika ini bertolak dari emperi yang dikonseptualisasikan secara probabilistik. Kebenaran dibuktikan secara induktif mendasarkan pada frekuensi sebagai probabilitas kebenaran relatif. Inferensi atau ramalan kejadian di masa datang atau pada satuan lain di luar penelitian dinyatakan dalam probabilitas signifikansi 1%, 5% dan sebagainya. Logika pembuktian kategorik (baik yang deduktif maupun yang induktif) mendasarkan pada kalkulus jenis, sedangkan logika probabilistik mendasarkan pada kalkulus probabilistik. Logika pembuktian yang keempat inilah yang mendasari metodologi penelitian kuantitatif statistik, yang pada waktu ini pengaruhnya sangat luas. Logika pembuktian yang kelima adalah logika deduktif probabilistik. Logika ini berangkat dari grand theory atau grand concept kebenaran obyektif universal yang luas dan rentang kehenaran ditampilkan probabilistik. Artinya, pada bagian-bagian marginal dugaan keberlakuannya grand theory tersebut perlu diuji sesuai tidaknya emperi dengan grand theory-nya. Ada dua teknik uji grand theory, pertama: uji verifikasi sebagaimana umumnya sudah dikenal; dan kedua: uji falsifikasi, sebagaimana dikenalkan oleh Popper. Logika pembuktian yang keenam adalah logika yang kami sebut sebagai logika reflektif Sampai saat ini konsep reflektif, sejauh yang kami ketahui barulah ditampilkan sebagai metoda berfikir. Dalam buku ini kami perkenalkan sebagai logika pembuktian kebenaran. Yang diunggulkan dalam logika ini adalah kemampuan rasio manusia untuk menangkap yang esensial dari emperi yang dihayati. Bukan emperi yang banyak menentukan, melainkan tertangkapnya esensi dari materi emperi yang diperoleh. Prosedur berfikir yang digunakan sangat beragam, seperti berfikir horizontal, divergen, kreatif, heterarkhik, dan lain-lain. Argumentasi dan eksplisitasi cara berfikir yang dapat dipantau oleh fihak lain itulah jaminan kebenaran isi yang 124
ditampilkan. Kesimpulannya mengarah ke mencari hukum atau prinsip yang keberlakuannya mengarah ke rumusan hukum atau prinsip yang keberlakuannya bebas ruang dan waktu; logika ini termasuk yang mencari kesimpulan nomothetik. Kebenaran materiilnya dapat melandaskan pada kalkulus jenis dan dapat pula melandaskan pada kalkulus probabilistik. 10.
Alternatif Model Pengembangan Ilmu Menjadi Islami Untuk membangun suatu disiplin ilmu kita dapat berangkat dari filsafat yang mengakui kebenaran tunggal (positivisme, rasionalisme, atau realisme) atau pengakuan terhadap kebenaran ganda (phenomenologi); kita dapat pula berangkat dari aksiologi ilmu harus value-free (positivisme atau rasionalisme) atau harus value-bound (phenomenologi atau realisme); kita dapat pula berangkat-dari kebenaran parsial mencari kebenaran universal (positivisme atau rasionalisme) atau berangkat dari kebenaran holistik (phenomenologi atau realisme). Epistemologinya kita dapat memilih antara logika pembuktian induktif (positivisme atau phenomenologi) atau logika pembuktian deduktif atau logika refiektif (rasionalisme atau realisme). Sedangkan substansi kebenaran itu sendiri dapat kita tampilkan kategorik atau probabilistik. Bertolak dari alternatif-alternatif tersebut kami menawarkan sejumlah model pengembangan ilmu menjadi Islami. Artinya, disiplin ilmu apapun agar memiliki wawasan atau rukhul Islam perlu dikembangkan dengan cara-cara tertentu. Kami mengasumsikan bahwa tidak ada cara terbaik untuk semua disiplin ilmu; cara yang satu mungkin tepat untuk disiplin tertentu, dan cara lain mungkin lebih tepat untuk sejumlah disiplin lain. Karena kami berasumsi demikian maka sejumlah cara atau prosedur pengembangan kami sebut sebagai model-model pengembangan. Model pengembangan ilmu yang pertama kami sebut sebagai model postulasi. Bangunan pokok model ini adalah deduksi. Diberangkatkan dari konsep idealisasi. Di bagian keempat buku ini penulis membedakan konsep idealisasi teoretik, konsep idealisasi moralistik, dan konsep idealisasi transendental. Model postulasi dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dapat masuk dalam konsep idealisasi transendental. Bertolak dari aksioma, postulat, hukum, nash, atau konstruksi teoretik holistik membangun keseluruhan sistematika disiplin ilmu itu. Model ini akan lemah konstruksinya bila postulasinya dirumuskan atau dibangun secara a priori atau spekulatif; dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian emperik atau lewat proses fikir reflektif Satu contoh jelas bagaimana suatu disiplin ilmu dibangun bertolak dari sejumlah postulat. Sistem ekonomi Islam yang ditawarkan oleh Haider Naqvi, yang Guru Besar ekonomi dan konsultan OECD, bertolak dari empat aksioma, yaitu: unity, equilibrium, free will, dan responsibility. Menurut Naqvi sistem ekonomi Islam harus dibangun dengan tujuan moral: keselarasan, keadilan, kebebasan yang tak merusak keselarasan serta keadilan, dan tanggung jawab bukan hanya untuk yang dilakukannya, melainkan juga untuk apa yang terjadi di sekelilingliya. Sistem pendidikan Islam dapat pula kita bangun bertolak dari sejumlah asumsi atau postulat atau teoretisasi tertentu. Moralitas pendidikan Islam mencakup pemaknaan kita tentang tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, teori fitrah, a good active dari subyek didik, dan fungsi amanah bagi tugas pendidik. Kejernihan akal budi memungkinkan manusia menangkap makna integral dari moralitas Qur’an dan sunnaturrasul. Perlu disadari bahwa ada dua pemaknaan, yaitu pemaknaan substantif serta instrumentatif, dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil. Model pengembangan ilmu yang kedua yang kami tawarkan adalah model pengembangan multidisipliner dan interdispliner. Yang kami maksud dengan kerja multidisiplin adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin dan berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lain. Untuk membangun teori hukumnya, seorang ahli hukum berkonsultasi pada ahli kebudayaan, ahli sosiologi, ahli hukum Islam, dan lainnya. Keputusan konsep mana yang diambil terserah kepada ahli hukum yang bersangkutan. Sedangkan yang kami maksud dengan kerja interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari 125
beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan secara bersama atau membangun suatu teori atau merealisasikan suatu proyek. Kerja multidisiplin membangun disiplin ilmu politik yang Islami, misalnya, akan tepat bila yang bersangkutan sekaligus memiliki kompetensi dalam disiplin ilmu politik dan ilmu agama. Dengan kompetensi yang mencakup tersebut merupakan modal terbaik untuk membangun suatu disiplin ilmu menjadi Islami. Model pengembangan ilmu yang ketiga yang kami tawarkan adalah model-model yang kami sebut sebagai model pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik. Dikaitkan dengan konsep idealisasi yang telah penulis ketengahkan di bagian kedua, bagian keempat, dan juga di model pertama tersebut di atas, maka model ketiga ini dapat bergerak merentang dari konsep idealisasi teoretik, moralistik, sampai transendental secara reflektif Pada model ini kita berangkat dari konstruksi teoretik-sistematik ilmu yang berkembang. Bagian-bagian yang dilematik, inkonklusif, dan kontroversial dikonseptualisasikan secara reflektif dan disajikan dalam berbagai alternatif atau disajikan sebagai masalah yang belum konklusif. Beragam keraguan tersebut dikonsultasikan kepada nash. Operasionalisasinya menjadi sebagai berikut. Pertama, dikonseptualisasikan lewat telaah emperik, lewat abstraksi, lewat penjabaran yang dilangkahkan mondar-mandir antara induksi dan deduksi, berangkat dari dasar teoretik atau sistematika ilmu sendiri. Tetapi konseptualisasi tersebut jangan ditampilkan konklusif, melainkan ditampilkan inkonklusif mungkin problematis, mungkin tentatif, mungkin hipotetik, mungkin bentuk lain yang membuka peluang alternatif, nuansif, atau open-ended. Kalkulus kebenaran yang tepat dipakai adalah kalkulus probabilistik. Bangunan teoretik model ketiga ini sama dengan model pertama, yaitu tampilnya sosok konstruksi teoretik sebagai bangunan pokok. Bedanya model pertama mendudukkan hukum, nash, atau tesis sebagai payung untuk menetapkan hasil emperi sesuai tidak dengan bangunan pokoknya. Ketidakcocokan tersebut, bila menggunakan kalkulus jenis, emperi ditolak; bila menggunakan kalkulus probabilistik memungkinkan modifikasi telaah emperi atau menajamkan rumusan teoretik atau memperluas konsep teoretiknya. Model ketiga mendudukkan tesis, nash, atau lainnya sebagai petunjuk, acuan, atau kriteria yang ditampilkan dalam bagian telaah yang relevan. Catatan: harap dibedakan antara studi Islam interdisipliner (yang disejajarkan dengan studi Islam klasik, orientalistik, phenomenologik, dan kontekstual) dengan model pengembangan ilmu interdisipliner. 11. HUKUM ISLAM Ilmu hukum Barat-telah bergerak dan berkutat pada dua rumpun besar, yaitu: hukum kontinental yang menggarap ilmunya secara deduktif atas asas keadilan sebagai sesuatu yang universal perlu ditegakkan, dan hukum kasuistik Anglo Saxon yang menggarap ilmunya secara induktif Pengarapan hukum secara deduksi mulai tererosi dengan kritik Hume, yang mengatakan bahwa penggarapan hukum dengan deduksi akal manusia akan menjadikan hukum budak nafsu manusia; dan juga tererosi dengan peringatan Kant tentang keterbatasan akal manusia. Erosi tersebut berlanjut sehingga konsep hukum mencari keadilan universal bergeser ke hukum mencari keadilan legal. Adil legal adalah adil berdasar keputusan atau pemaknaan hakim, adil berdasar keputusan pemegang otoritas hukum. Herbert Spencer mengemukakan bahwa nilai keadilan tertinggi bukan kesamaan, melainkan kebebasan. Setidaknya dari dua contoh di atas makna keadilan telah tererosi pada dua arah, yaitu: adil legal dan adil untuk memiliki kebebasan. Hukum Islam bersumber pada nash, wahyu Al Khalik yang Maha Tahu dan Maha Bijak; yang bukan bersumber pada akal manusia. Hukum Islam berfungsi mengontrol masyarakat, dan bersumber pada wahyu, bukan produk otoritas legal penguasa. Keputusan hanya milik Allah. Keputusan penguasa Muslim yang bersumber pada nash, akan bersifat adil, bukan sewenang-wenang.
126
Penguasa dalam menjalankan kekuasaannya perlu dipandu oleh nash, karena barang siapa memutuskan perkara tidak dengan apa yang diturunkan Allah. mereka adalah orang yang jasik (al Maidah-ayat 47). Tatanan hukum berdasar nash adalah tatanan hukum supranatural, mengatasi keterbatasan akal manusia, mengatasi otoritas penguasa, dan lebih jauh lagi mengatasi keterbatasan ruang dan waktu. Karena itu menjalankan hukum-Nya adalah menjalankan hukum universal dan berlaku sepanjang zaman. 12. ljtihad Jama’i Cara terbaik untuk memuliakan Al Qur’an adalah menjadikan Al Qur’an mampu menjawab permasalahan sepanjang zaman. Sifat universalitas ajaran Al Qur’an dan rentangan fungsi nash dari berbagai bukti, isyarah, hudan, dan rahmah perlu dipelihara dan dijaga agar dapat menjadi acuan berkehidupan dan berilmu pengetahuan. Ijtihad secara teknis berarti upaya menemukan hukum dari sumbernya. Nash adalah sumber ijtihad. Masalah berikut adalah: apakah dengan ijtihad kita membuat hukum ataukah nash itu sendiri yang menjadi hukum? Apakah nash itu hukum? Ya, nash adalah hukum dasar, yang melalui ijtihad kita kembangkan hukum organiknya. Pada satu sisi nash memberi acuan tentang yang wajib dan yang dilarang. Allah menghalalkan jual-beli, dan mengharamkan riba’. Sementara di sisi lain ahli hukum menafsirkan bahwa tindakan-tindakan di luar itu mubah. Ahli hukum lain menafsirkan bahwa makna jual-beli itu luas sekali, juga riba’; sehingga kita dapat menggunakan nash tersebut sebagai hukum dasar untuk membuat hukum organik yang luas bertanggungjawab sekali, dan tetap mengacu pada hukum dasar tersebut. Dari ayat: Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang diperbuat. Orang yang berbuat dosa pada hakikatnya menodai diri sendiri; dan orang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dari ayat tersebut dapat kita pakai sebagai hukum dasar, yang dapat kita jabarkan lebih jauh dalam hukum organik pidana, perdata, dan juga filsafat moral dunia kerja dan dunia bermasyarakat. Kita mengenal ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Yang pertama sudah jelas arti tafsirnya, sedangkan yang kedua memerl ukan pemaknan lebih jauh, memerlukan ijtihad. Dengan bertambahnya wawasan manusia tentang semesta ini akan bertambah pula masalah-masalah yang muncul dari ayat-ayat yang sudah kita klasifikasikan sebagai muhkam. Kewajiban shalat, kewajiban zakat dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah sudah nampak jelas bagaimana dikerjakan, kapan dikerjakan, bagaimana menghitungnya, dan seterusnya. Tetapi dengan adanya pesawat jet, bila kita terbang mengikuti edar matahari, seakan dhuhur tidak kunjung tiba, atau maghrib tidak kunjung tiba, timbul masalah kapan shalat dhuhur, kapan berbuka puasa, dan seterusnya. Ketika Islam juga dianut oleh penghuni kutub Utara atau penghuni kutub Selatan, bagaimana waktu shalatnya, waktu puasanya. Pada zaman rasulullah jelas beda besar zakat untuk penghasilan dari bertani, berdagang, dengan kekayaan yang diperoleh dari tambang. Tambang baru sekarang ini ada, yaitu: hasil dari kerja yang memiliki nilai tambah sangat tinggi, yaitu hasil kerja teknologi tinggi. Berapa harus dibayar zakat dari penghasilan teknologi tinggi, apakah disamakan dengan zakat bertani atau disamakan dengan zakat dari hasil tambang? Dengan singkat dapat penulis katakan: dengan bertambah luasnya pengetahuan manusia tentang semesta se mesta ciptaan-Nya, maka ayat-ayat yang semula muhkam dapat menjadi mutasyabih. Agar kita tidak aniaya terhadap diri sendiri dan menyesatkan orang lain, maka pemaknaan-pemaknaan ayat-ayat baik yang mutasyabih maupun yang menjadi mutasyabih, haruslah selalu berfihak kepada keimanan kita pada Allah. ljtihad kita hendaknya selalu dipandu oleh hasrat kita untuk mencari ridha-Nya, bukan melegalisasikan kemauan penguasa atau ingin menghalalkan kehendak hati kecil kita sendiri. Dengan kata mencari ridha-Nya penulis ingin menekankan bahwa kita selalu berupaya untuk kreatif, inovatif Berbeda bila pilihan katanya penulis ganti dengan kata dipandu hasrat kita untuk patuh kepada-Nya, yang nampaknya tidak ada keberanian untuk berkreasi, dan yang ada hanyalah pasif dan takut. 127
Oleh karena semesta ini semakin terasakan makin penuh dengan pengetahuan, dan membuat kita manusia masing-masing menjadi semakin kecil artinya bagi semesta ini, maka kita memerlukan upaya pemaknaan bersama sama, memerlukan ijtihad jama’i. Jama’i di sini bukan dimaksudkan ijtihad jama’i banyak ahli agama, melainkan ijtihad jama’inya banyak ahli dalam fungsi komplementer. Keahlian komplementer tersebut tergantung pada tema yang sedang ditelaah. Menelaah implementasi perbedaan antara dagang dengan riba memerlukan komplementasi ahli yang berbeda dengan menelaah tentang pemilihan pemimpin, dan seterusnya. Tetapi ada satu syarat yang sama, yaitu: apapun keahlian seseorang, komplementasi keahliannya hendaknya dalam niat mencari ridha Allah, dan tidak hendak berbuat aniaya terhadap diri sendiri. Syarat yang semestinya dipenuhi dalam berijtihad menurut Studi Islam Klasik memang perlu dipenuhi, tetapi bukannya akumulatif pada semua orang ahli tersebut, melainkan komplementatif additif. Penulis mencitakan agar IAIN ataupun FAI PTS dapat menjadi feedingsschool bagi pengembangan ijtihad jama’i. Maksudnya agar pengetahuan para dosen serta lulusan IAIN sampai tingkat tertentu meluas ke ilmu-ilmu sosial, humaniora, atau teknologi, sehingga. dalam memberikan pertimbangan dapat lebih matang. Itulah ijtihad jama’i yang penulis citakan untuk memuliakan Al Qur’an dan Sunnah agar mampu menjawab permasalahan sepanjang zaman. sakhikhah agar mampu Apakah ada perbedaan ijtihad jama’i multidisipliner dengan ijtihad jama’i interdisipliner? Ada perbedaannya. Kalau obyek telaah itu termasuk dalam satu disiplin ilmu, maka telaah yang dibuat adalah telaah multidisiplin; di mana ahli-ahli di luar disiplin itu memberi urunan ijtihadnya, tetapi akhirnya perlu bermuara pada menjawab disiplin ilmu yang satu itu. Kalau obyek telaahnya termasuk hal garapan bersama dari berbagai disiplin ilmu, maka urunan ijtihad dari beragam ahli akan bermuara pada obyek garapan bersama itu. Garapan bersama tersebut dalam rekomendasi penulis adalah membuat telaah secara tematik atau menggunakan tafsir madhu’i. Memperhatikan kritik Mukti Ali, maka penulis mencoba mencari lebih jauh model untuk mengatasi tidak tuntasnya model tematik atau maudhu.’i. Dalam perjalanan diskusi dan dialog dengan para mahasiswa cerdas pascasarjana, penulis menemukan model lain untuk mengadakan telaah bersama, yaitu: mengangkat hal yang masib kasuistik menjadi lebih umum; dan diangkat lebih jauh pada abstraksi yang lebih tinggi; lebih jauh lagi diangkat pada dataran berfikir yang lebih tinggi, misal: dari skopa lebih sempit ke lebih luas atau dari dataran sensual, ke logik, ke etik, dan seterusnya. Zakat pertanian dapat diangkat ke zakat, dan dapat diangkat lebih jauh pada fungsi sosial zakat, dan dapat diangkat lebih tinggi lagi menjadi harta dan fungsinya, dan seterusnya. Adapun model yang penulis tawarkan tersebut dapat diberi nama model pendekatan integratif, yang dapat diproses secara reflektif melalui pembuatan abstraksi dilanjutkan dengan pendeduksian, dan seterusnya. Sekarang ini sedang tumbuh konsep berfikir transdisipliner dan konsep counterdicipline. Penulis masih ingin mengendapkan dan membuat studi komparatif, sebelum menuangkannya di buku ini.
128
BAGIAN KETUJUH MENCARI WAWASAN DAN OPERASIONALISASI METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF UNTUK MASA DEPAN A. MENGAPA DENGAN ILMU SOSIAL Mengapa ilmu pengetahuan alam berkembang pesat sejak humanisme, dan hasilnya mengagumkan kita menjelang akhir abad ke-20 ini. Metodologi penelitian ilmu pengetahuan alam juga telah mempengaruhi ilmu sosial, lebih dari satu abad. Tetapi hasil ilmu. sosial sesudah lebih banyak menggunakan metodologi penelitian kuantitatif statistik, bukannya berkembang konsepkonsep teoretiknya, melainkan menjadi miskin teori, meskipun kemanfaatankemanfaatan operasional telah digunakan. Mengapa dengan ilmu sosial? Sementara pakar ilmu sosial menunjuk bahwa ilmu pengetahuan alam merupakan hard science, ilmu. Yang obyeknya statik, ilmu yang dapat dicari universalitasnya; sedangkan ilmu sosial merupakan soft science, ilmu yang obyeknya tumbuh berkembang, ilmu yang hasilnya masing-masing lebih bersifat khas, sukar atau tak mungkin dicari universitalitasnya. Dengan sifatnya yang demikian itu, hasil penelitian ilmu pengetahuan alam dapat disusun berkelanjutan: dari hasil penelitian yang satu ke hasil penelitian yang lain; hasil yang lebih kemudian menjadi lebih menspesifikkan atau lebih mencakup; sedangkan ilmu sosial sulit dibangun kontinuitasnya, karena obyeknya yang dinamis, se lalu berkembang dan berubah. Penulis tetap teringat akan pesan asisten penulis yang inteligen, yang memesankan ketika penulis ke luar negeri tahun 1973: “Pak, tolong cari hukumnya perubahan.” Itu berarti bahwa soft science pun seharusnya dapat dicari universalitasnya, yaitu keberlakuan prediksinya pada perubahan atau dinamika obyeknya. Analisis global penulis tentang kebijakan pendidikan misalnya, penulis sampai pada prediksi: tuntutan kualifikasi minimal manusia bergerak naik terus, baik untuk bekerja, untuk menjadi warga negara, dan lainnya. Hukum perubahan tersebut diperlukan untuk membuat antisipasi tentang wajib belajar, tentang kurikulum pendidikan atau latihan, tentang persyaratan jabatan, dan lainnya. Karena itu perlu dirisaukan bila produk-produk ilmu tidak memberi guna masa depan, tidak dapat dipakai untuk memprediksi (dalam artian teoretik) dan tidak dapat dipakai untuk mengantisipasi (dalam artian operasional) kepentingan masa depan kita. Bagaimana kita, ilmuwan dapat terhindar dari kegiatan mengumpulkan sampah-sampah tiada guna, dan dapat dikenang generasi mendatang karena konsep-konsep kita. Data akan cepat hilang, hanya konsep yang dikenang panjang. Penulis mengamati banyak pertengkaran istilah di antara para pakar ilmu sosial. Yang naif dan lemah, sering sekedar menampilkan perbedaan rumusan, yang orang lain tidak tahu apakah ada perbedaan konsep teoretiknya atau perbedaan operasionalnya. Yang patut dihargai karena adanya keajegan pandangan teoretiknya atau filosofiknya atau paradigmanya mengkritik konsep lain dan menampilkan konsepnya sesuai dengan teori, filsafat, atau paradigmanya. Pakar yang lebih arif bijaksana akan mampu mendudukkan teori, filsafat, atau paradigma berbagai ahli dalam proporsinya. Jadi bukan mencela dan mendeskreditkan pakar lain yang bukan satu faham, melainkan menunjuk kelebihan dan kekurangannya secara proporsional. Pembagian buku ini menjadi bagian pertama, kedua, ketiga, dan keempat beserta model-modeinya dimaksudkan agar para pembaca buku metodologi penelitian kualitatif ini menjadi pakar-pakar yang termasuk lebih arif bijaksana tersebut, yaitu mampu mendudukkan secara proporsional metodologi penelitian kualitatif yang positivistik, yang rasionalistik, yang phenomenologik, dan yang realisme metaphisik. Tidak lagi berpretensi bahwa dunianya sendiri yang benar; ada cara berfikir lain yang dapat saja dipakai untuk bekerja ilmiah. Sikap ilmiah 129
tersebut menjadi semakin penting atas kenyataan bahwa metodologi penelitian statistik bukan satu-satunya metodologi penelitian yang boleh dipakai dalam berkarya. Ada makhluk lain yang indah, mungkin dapat lebih indah dari sosok yang statistik. Mungkin, tetapi memang tidak selalu. B. MONISME MULTIFASET Positivisme hanya mengakui kebenaran berdasar emperik sensual, emperi yang teramati dan terukur. Rasionalisme mendudukkan rasio lebih penting dari emperi. Emperi bagi rasionalisme berfungsi untuk menjamin relevansi konsep dengan realistas. Realitas bagi rasionalisme mencakup realitas sensual-phisik, realitas logik, dan realitas etik. Di samping ketiga realitas tersebut, phenomenologi dan realisme metaphisik mengenal pula realitas transendental. Bedanya: phenomenologi mengakui bahwa kebenaran itu plural, sedangkan positivisme, rasionalisme, dan realisme mengakui bahwa kebenaran itu tunggal berdimensi ganda. Bila masing-masing menggunakan dasar kebenaran yang berbeda, urusan ilmu menjadi tak pernah terselesaikan. Mengapa tidak kita cari jalan keluar? Dalam kerja interdisipliner kita menggunakan approach by level, artinya masing-masing disiplin ilmu mengakui otoritas disiplin lain untuk menetapkan validitas, mengapa kita tidak membangun approach by level antara metodologi penelitian, bertolak dari integrasi wawasan ontologinya. Wawasan ontologi yang penulis tawarkan adalah wawasan monisme multifaset. Emperi, kebenaran, dan juga realitas itu tunggal (monistik), menjadi beragam hanya karena tampilannya, kadang nampak dominan yang sensual, kadang dominan yang etik, dan seterusnya; dan kadang nampak beragam karena konteks atau situasinya. Kesemuanya itu terpulang kepada obyek dan karakteristik obyek yang diteliti. Obyek yang memang sensual phisik mengapa tidak diteliti secara positivistik. Membangun konsep teoretik logik mengapa harus dikembangkan dengan cara lain bila layak dikembangkan dengan metodologi rasionalistik. Studi keagamaan yang mengakui wahyu sebagai sumber kebenaran mengapa harus digunakan cara atau metodologi yang bertentangan dengan keimanan kita. Realisme metaphisik filsafat landasan filosofi yang tepat. Bila kita mengakui kebenaran monisme multifaset, teknik dan metoda penelitiannya hendaknya kita pulangkan pada obyek dan karakteristik obyeknya.
C. VALUE FREE DAN VALUE BOUND Berbagai ekses Perang Dunia II dan ekses dari berbagai kepesatan teknologi telah menyadarkan manusia tentang pentingnya nilai etik, seperti kemanusiaan, keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan lain-lain. Para pakar ilmu juga mulai menimbang kembali semboyan lama: ilmu harus obyektif dan teknologi tidak boleh memihak. Metodologi penelitian kualitatif positivistik menolak nilai, karena dianggap tidak obyektif dalam ilmu; rasionalisme secara implisit mengakui nilai, tetapi tidak tereksplisitkan dalam desain penelitian; phenomenologi memasukkan nilai ke dalam desain penelitiannya, juga realisme metaphisik. Penulis menawarkan suatu sikap aksiologik untuk memasukkan nilai sebagai kerangka acu filosofik bagi setiap penelitian, dengan tetap memberi alternatif. nilai dimasukkan dalam desain atau diletakkan di luar desain. Karena negara kita adalah negara berke-Tuhan-an (penjelasan UUD 1945), maka tentu saja sebaiknya nilai yang dijangkau atau dijadikan kriteria itu sampai sejauh nilai yang transendental, nilai sesuai dengan wabyu Allah. Memasukkan nilai dalam disain penelitian, filosofik tidak salah bila kita menggunakan phenomenologi atau realisme metaphisik. Bedanya: yang pertama menyatukan peneliti dengan subyek sumber data, yang kedua memilahkan. Bila kita menggunakan filsafat rasionalisme atau positivisme, nilai harus diletakkan di luar desain. Pada rasionalisme nilai dapat diimplisitkan dalam konsep tetapi tidak dapat dieksplisitkan kecuali didudukkan sebagai kriteria atau kerangka acu dalam konseptualisasi teoretik dan dalam pemaknaan sesudah pembuatan kesimpulan. Pada positivisme, nilai dapat disertakan; caranya:
130
didudukkan sebagai kriteria atau kerangka acu dalam pemaknaan sesudah pembuatan kesimpulan. D. PERSPEKTIF PROPORSIONAL Tampilan kebenaran yang ganda, yang lokal, yang emperik sensual dapat berbeda dari yang emperik logik, dan sebagainya. Penulis tawarkan untuk dapat dilihat sebagai kebenaran tunggal yang multifaset. Bila tawaran penulis dapat diterima, maka kebenaran bersifat perspektif, menurut istilah Schwartz dan Ogivly, atau proporsional, menurut Noeng Muhadjir, atau subyektif, menurut Guba. Kebenaran perspektif akan menampilkan perspektif yang berbeda-beda; sedangkan kebenaran proporsional menekankan tentang adanya peluang mengambil altematif tetapi tetap terjaga sinkronisasi dan koherensinya; sedangkan kebenaran subyektif dimaksudkan mengakui kejadian tak terduga, divergensi, dan keterbukaan. Bila kebenaran telah diakui sebagai monistik multifaset dan operasionalisasinya dapat diakui tampilan perspektif atau proporsional atau subyektif, maka perlu ditimbang lebih jauh: apakah hasil penelitian satu harus pilah dari penelitian lain ataukah ada hal-hal yang dapat mempersatukannya. Bersatunya entah sampai generalisasi atau rumusan hukum, entah pengembangan teori substantif menjadi teori formal, entah ttansferabilitas (Guba), atau sampai komparabilitas (Bogdan), atau sampai pemolaan (Noeng Muhadjir); ataukah memang harus terhenti sampai kesimpulan-kesimpulan lokal idiographik. Ingat, we can think globally and act locally. Komunikasi yang semakin canggih menjadikan yang terisolasi, yang lokal menjadi lebih menyatu secara regional, nasional, malahan global. Keunikan lain sekaligus muncul, yaitu perubahan-perubahan sosial yang semakin cepat. Interaksi yang lebih terbuka memungkinkan pengembangan menuju ke kesatuan, tetapi sekaligus tampil kondisi yang mengakselerasi perubahan yang mendorong ke keragaman. Dengan konteks yang demikian nampak menjadi semakin sulit untuk membuat generalisasi. Tetapi bagaimana caranya agar hasil-hasil penelitian tidak menjadi kumpulan sampah tiada guna, melainkan menjadi tongkat-tongkat kebijakan kita manusia, bukan dari setiap penelitian kita berkelanjutan kehilangan tongkat. Di paragraf akhir halaman 195 kita tampilkan contoh kesimpulan prediktif penulis: tuntutan kualifikasi minimal manusia bergerak naik terus, baik untuk bekerja, untuk menjadi warga negara, dan lainnya. Prediksi tersebut diangkat dari cara memandang atau memilih obyek telaah yang dinamik; yang dilihat bukan struktur obyeknya, melainkan karakteristik dinamiknya. Bila kita peneliti mampu mengungkap atau menganalisis dimensi dinamik obyek penelitian kita, bukan mustahil kita menemukan pola-pola perubahan ataupun pola-pola yang memungkinkan kita menemukan kesamaan antarlokal. Dengan cara bekerja seperti itu, penajaman pembedaan antara ilmu yang idiographik dan nomothetik dapat diperhalus nuansanya. Semoga, dan marilah kita bangun bersama ilmu yang demikian itu. E. DETERMINISME DAN INDETERMINISME Konsep yang terkandung dalam judul di atas luas sekali. Substansial sosiologik konsep tersebut menyangkut apakah kreativitas sosial manusia itu terikat pada sistem sosialnya atau tidak. Merton mengakui bahwa struktur masyarakat merupakan closed system, sedangkan Etzioni mengakui sebagai opened system. Subtansial teologik konsep determinisme indeterminisme itu menyangkut keyakinan apakah manusia itu telah ditetapkan nasibnya oleh Allah ataukah ada kebebasan; yang pertama disebut penganut jabariyah, yang kedua qadariyah. Determinisme dalam metodologi penelitian ditampilkan dalam bentuk teknik prediksi linier atau parametrik, nonlinier, dan proyeksi. Konsep-konsep indeterminisme tampil dalam konsep-konsep seperti: divergensi, holographik, dan morphogenetik. Membuat generalisasi yang statik mengarah ke pola fikir determinisme metodologi penelitian. Generalisasi dinamik atau menampilkan pola-pola mengarah ke pengakuan pola fikir indeterminisme akan lebih kuat wawasan dasar dan operasionalisasinya, bila pola fikir divergen, holographik, dan morphogentik digunakan. Dalam konteks berfikir linier, dilema, kontradiksi, dan paradoks, serta kontroversial 131
dimaknai sebagai indikator lemah. Tetapi dalam konteks berfikir divergen, horizontal, dan heterarkhik, dilema, kotradiksi, dan lain-lain tersebut dapat menjadi indikator kemampuan berfikir divergen sekaligus berkualitas tinggi, seperti John Naisbitt dengan Global Paradox-nya. Apakah tidak dapat dipertimbangkan pendapat penulis bahwa pada dataran transenden dunia kita bersifat deterministik, sedangkan pada dataran etik, logik, dan sensual dunia kita bersifat indeterministik. Membuat pemaknaan lewat analisis data, lewat proses abstraksi dan refleksi membuka peluang lebih besar ke pengembangan pola fikir indeterministik. Yakin atas ketajaman fikir manusia dan akal budi manusia, manusia dapat menjadi semakin kreatif Beriman kepada kebenaran dan kebijakan firman Allah manusia memperoleh pedoman dan pembijak dalam berkreasi. Dengan metodologi penelitian manapun, yang positivistik, rasionalistik, phenomenologik ataupun realisme metaphisik, penulis menganjurkan mengetengahkan pemaknaan kita. Anjuran tersebut terutama perlu penulis tekankan pada penggunaan metodologi penelitian positivistik, yang biasanya hasil penelitian terhenti pada kesimpulan statistik saja. Sungguh akan menjadi lebih berharga, bila penggunaan metodologi penelitian kualitatif dilengkapi konseptualisasi teoretik yang lebih luas mengupayakan penyajian grand-concepts atau mengupayakan mendekati obyeknya secara holistik. F. KETERPERCAYAAN Konsep yang melandasi keterpercayaan hasil penelitian pada metodologi penelitian positivistik, rasionalistik, phenomenologik, dan realisme metaphisik berbeda. Yang pertama melandaskan konsepnya pada asumsi distribusi normal pada populasi. Syarat terpercaya dibuktikan dari rerata frekuensi atau keragaman beserta penyimpangannya. Konsep-konsep ditampilkan sebagai validitas, realibilitas, obyektivitas, normalitas, homogenitas, dan lain-lain. Konsep yang melandasi keterpercayaan hasil penelitian metodologi rasionalistik dan phenomenologik adalah diperolehnya hal esensial, dan benar sesuai konteksnya, dan terungkap sampai ke dasar-dasarnya yang paling dalam. Konsep yang ditampilkan oleh Leifer adalah indeksikalitas dan refleksikalitas; Guba menampflkan konsep kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas. Konsep yang melandasi keterpercayaan hasil penelitian pada realisme metaphisik sama dengan rasionalisme dan phenomenologi, yakni ditemukannya hal esensial. Truthworthiness.
132
BAGIAN TERAPAN METODOLOGI BAGI PENULISAN DISERTASI DAN TESIS A. METODOLOGI PENULISAN KARYA ILMIAH Aksentuasi pembahasan pada bagian ini bukan pada aturan tatatulis, melainkan pada konsekuensi terapan atas alternatif filosofik dan teoretik dari metodologi yang digunakannya. Pembahasaannya pun tidak mengaeu pada buku-buku metodologi penelitian yang membahas tentang aturan tatatulis, melainkan dengan memperbandingkan banyak disertasi dan tesis diragamkan dari yang menggunakan pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik, serta model bangunan realisme metaphisik. Dengan adanya ekstensi metodologi penelitian teks, maka kajian pun diekstensikan pada studi bahasa dan karya sastra. Keragaman positivistik, rasionalistik, dan phenomenologik pertama-tama akan nampak pada sistematika penulisan atau pada anatomi penulisan. Sedangkan model bangunan realisme metaphisik contoh terapannya baru sampai ke contoh bangunan kritiknya. Ekstensi pada penelitian teks baru dapat dicontohkan bangunan heuristik dan hermeneutik dalam membuattelaah tematik. Model multi-case dan multi-site dalam penelitian phenomenologik juga diberikan contohnya. Model reinterpretasi historis penulis angkat dari karya tokoh yang berbobot. Karya ilmiah yang penulis bahas dalam buku ini difokuskan pada karya ilmiah disertasi dantesis. Kesulitan memperoleh contoh disertasi atau tesis yang sesuai, maka penulis pilih karya ilmiah dari tokoh yang berbobot. Tujuannya, agar disertasi dan tesis yang dihasilkan para sarjana kita mempunyai acu “baku. “ Baku dengan tanda petik yang dimaksudkan adalah ada konformitas pemikiran metodologiknya, meskipun tampilan sistematika dalam penulisan disertasi atau tesis dapat saja berbeda-beda. Sedangkan alasan penulis memfokuskan pada disertasi dan tesis, karena karya ilmiah yang lain seperti skripsi, laporan kasus, karya penelitian, prasaran, ceramah, buku teks, dan lain-lainnya itu sangat beragam tujuannya, beragam kualifikasi yang dituntutkan, dan banyak sebab lainnya lagi. Sedangkan dipilihnya karya penulis berbobot, lebih karena metodologi analisisnya yang memang terpercaya untuk dijadikan contoh. Sedangkan untuk mendapatkan gelar magister dan doktor kita harapkan mensyaratkan tuntutan kemampuan dan kualifikasi yang kira-kira setara antara semua disiplin ilmu. Mengapa untuk skripsi S-1 tidak dimasukkan dalam pembahasan ini? Bukannya tidak hendak dimasukkan; tetapi penulis mengimbau bagi skripsi program S-1 akademik dapat pula diacukan pada pembahasan dalam buku ini, lebih-lebih bagi peserta potensial. B. SISTEMATIKA MODEL BAKU POSITIVISTIK (MODEL A) Beberapa kolega dosen Pasca Sarjana yang mengajar metodologi penelitian kualitatif mengeluh; sudah dikenalkan metodologi penelitian kualitatif, tetapi para promovendi akhirnya cara bekerjanya (tanpa menyadari filosofinya serta teoretisasi metodologinya) kembali menggunakan metodologi kuantitatif. Pada pembahasan sistematika model A, B, C, dan D penulis membatasi penggunaan cara kerja yang kurang-lebihnya tetap sama dengan yang kuantitatif, belum membahas apa yang digunakan oleh pendekatan phenomenologik. Semua disertasi yang akan dibahas dalam sistematika model A sampai D ini menggunakan cara kerja: merumuskan masalah, pembahasan teoretik atau studi pustaka, mengetengahkan metoda dan prosedur kerja, mengumpulkan data, analisis, dan pembuatan kesimpulan; dengan ragam variasinya. Kita perbandingkan sistematika 3 disertasi yang menggunakan model A, dari: 1. Tjokorde Raka Joni, 1972, Hubungan Antara Sejumlah Faktor Kognitif dengan Prestasi Akademik pada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Malang: IKIP Malang; 133
2. Bambang Poernomo, 1985, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan Yogyakarta: UGM; dan 3. Ny. Asma Affan MPA, 1988, Kajian tentang Kepemimpinan Institusional di Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat, Yogyakarta: UGM. Ditinjau dari segi sistematika penyajiannya, ketiganya menggunakan model baku dari filsafat dan teori metodologi positivistik. Berangkat dari masalah, membatasi obyek penelitian dengan mengeliminasikan dari obyek lain, dicari teori dan hasil penelitian yang relevan, didesain metodologi penelitiannya, dikumpulkan data, dianalisis, dan dibuat kesimpulannya; ada yang menambahkan dengan implikasi, saran, dan/atau rekomendasi. Pendekatan positivistik menuntut penetapan obyek penelitian sespesifik mungkin dan mengeliminasikan dari obyek lain. Kajian pustaka. atau teoretik dipilih yang relevan dengan obyek spesifiknya. Model ini menuntut obyektivitas penelitian, sehingga metodanya perlu dirancang tuntas sebelum terjun ke lapangan, termasuk dirancang untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang diperkirakan terjadi. Obyektivitas dituntut selanjutnya dengan memilahkan antara sajian data, olahannya, dan analisisnya. Lewat olahan data dibuktikan terlebih dahulu reliabilitas dan validitas instrumen atau teknik pengumpulan datanya. Hal itu sangat jelas pada model A1 (model yang dipakai pada disertasi Tj. Raka Joni). Dengan istilah phenomenologik data diuji lewat pengujian keterandalannya. Analisis dilakukan setelah terbukti datanya memang valid. Kesimpulan dibuat berdasar hasil analisis; dan dipilah dari teori, dari data, dan dari analisis. Kesemuanya itu untuk menjaga dan sekaligus membuktikan bahwa penelitian itu telah dilaksanakan secara obyektif-obyektif dalam arti pilah antara obyek penelitian dengan kepentingan subyek peneliti. Untuk memperoleh gambaran tentang proporsi banyak halaman antara. Pendahuluan, Kajian Teoretik/Pustaka, Metodologi Penelitian, Data dan Analisisnya, dan Kesimpulan berturut-turut mempunyai perbandingan, sebagai berikut : 1. Raka Joni : 10-39-34-38- 15; 2. B. Poernomo: 59 - 113 - 28 - 190 - 20; 3. Asma Affan : 35 - 53 - 18 - 78 - 15; Dengan catatan Raka Joni menyisipkan Rangkuman antara analisis dan kesimpulan; dan Asma Affan menyisipkan Kajian tentang Pemerintah Daerah antara pendahuluan dan kerangkateori. Disertasi Raka Joni termasuk penelitian kuantitatif positivistik dengan teknik analisis yang sangat rumit, yaitu analisis faktor. Disertasi Asma Affan dapat pula penulis masukkan ke dalam disertasi yang menggunakan metodologi penelitian kuantitatif positivistik yang eukup memadai. Pada disertasi Asma Affan analisis kualitatif disajikan cukup banyak. Penulis masukkan ke dalam kategori A, karena desain penelitiannya nyatanyata menggunakan model baku dari metodologi positivistik kuantitatif. Disertasi Bambang Poernomo menggunakan sistematika model A pula, meskipun jelas-jelas yang bersangkutan menyatakan bahwa sistem analisisnya menggunakan metoda normatif kualitatif. Logika pembuktiannya menggunakan norma hukum sebagai premis mayor, dan fakta relevan digunakan sebagai premis minor. C. SISTEMATIKA MODEL MODIFIKASI POSITIVISTIK (MODEL B) Model yang penulis beri nama model B adalah model kualitatif yang memodifikasi sistematika baku. Model B ini menyederhanakan sistematika, dengan cara memasukkan pertanggungjawaban metoda/metodologi penelitian di Pendahuluan; ada yang menyatukan Kajian Pustaka dengan uraian deskriptifnya, tetapi memisahkan uraian deskriptif dari analisisnya (M.ldris A.Kesuma). Sedangkan Hidayat Mukmin memisahkan Penelaahan Pustaka dari deskripsi data, tetapi menyatukan deskripsi data dengan analisis. Disertasi Moch. fdris A. Kesuma (1980) berjudul Suatu Studi tentang Hubungan Indonesia Belanda tahun 1945 - 1950 dengan sistematika dan proporsi jumlah halaman: Pendahuluan (19), Deskripsi Kronologik: keadaan dunia internasional, tentara sekutu di Indonesia, persetujuan Linggarjati, 134
Agresi I, Renville, Agresi II, dan KMB (340), Resume (29), dan Analisis & Kesimpulan (26). Disertasi Hidayat Mukmin (1989) berjudul Peran Serta ABRI dalam Merumuskan dan Melaksanakan Politik Luar Negeri Indonesia. Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi Indonesia Malaysia dengan sistematika dan proporsi jumlah halaman: Pendahuluan (50), Penelaahan Pustaka (45), Deskripsi sekaligus analisis tentang peran ABRI di bidang politik, konfrontasi dan penydesainnya, serta interaksi politik luar negeri dan politik hankam (215), Kesimpulan dan Saran (18). Hal yang nampak mencolok berbeda model B terhadap model A pada disatukannya bagian tertentu, dan proporsi yang dominan pada banyak halaman di bagian telaah pustaka yang disatukan dengan deskripsi kronologik dari M. ldris A. Kesuma sebesar 82%, dan disatukannya antara deskripsi dan analisis pada Hidayat Mukmin sebesar 66%. Meskipun model B tersebut hanya memodifikasi sedikit dari model A, tetapi bila ditelaah kembali pada pandangan teoretik metodologi penelitian positivistik, hal yang dimodifikasikan itu hal esensial yang dituntut dijamin, yaitu: obyektivitas, pilahnya data dengan konsep teoretik, dan juga pilahnya data dengan analisis kita. D. SISTEMATIKA MODEL DENGAN GRANDCONCEPTS (MODEL Q Model yang kami sebut sebagai model C adalah sistematika penulisan bertolak dari pengerangkaan grandtheory atau grandconcepts. Perbedaannya dengan kerangka baku model A adalah pada kerangka teori dan kesimpulan. Pada model A, kerangka teori lebih diarahkan ke kerangka teori yang lebih spesifik mengarah ke variabel yang langsung diteliti; sedangkan model C berasunisi bahwa variabel spesifik merupakan bagian integratif dari konsep yang lebih luas, atau menurut istilah kami menjadi bagian dari suatu grundconcepts, atau malahan bagian dari suatu grandtheory. Dengan model C, sistematika bagian teori akan dipilah menjadi dua, yaitu: kerangka teori yang mampu mendudukkan obyek atau variabel yang diteliti dalam satuan konsep yang lebih besar, dan kerangka teori yang menelaah konsep spesifik obyek atau variabel yang diteliti. Dengan model C kesimpulan spesifik hasil penelitian dilanjutkan dengan penafsiran dan pemaknaan serta duduknya kesimpulan spesifik hasil penelitian terhadap grandconcept: apakah menajamkan, memodifikasi, atau memperkaya konseptualisasi besarnya. Lima disertasi yang akan penulis telaah sebagai contoh sistematika yang menggunakan model C ini, yaitu: 1). Disertasi: W.M.F. Hofsteede, 1971 , Decision Making Processes in Four West Javanese Villages, (Disertasi pada Nijmegen: De Katholieke Universiteit te Nijmegen; 2). Disertasi: Thord Erasmie, 1975, Language Development and Social Influence, (Disertasi), Sweden, Linkoping: Universitetet I Linkoping; 3). Disertasi: Noeng Muhadjir, 1982, Identifikasi Faktor-faktor Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Pedesaan, (Disertasi: konsep teoretik teknik analisisnya merupakan hasil studi independen di Harvard University; penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Tengah; dan diajukan formal di IKIP Yogyakarta); terbit dengan judul: Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Rake Sarasin, P.O.Box 1083 Yogyakarta, 1983; 1987; 4). Disertasi Al Yasa Abubakar, 1989, Ahli Waris Sepertalian Darah. Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab (disertasi), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga; dan 5). Disertasi: Ahmad Tafsir, 1987, Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah, (disertasi), Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah. Disertasi Hofstede berangkat dari grandtheory tentang pembangunan masyarakat dari Keune. Pembangunan masyarakat merupakan proses perkembangan, yang menyangkut seluruh hidup kemasyarakatan manusia. Kooperasi dan partisipasi merupakan penjabaran penting dari proses yang bersifat demokratik. Keune mengetengahkan tiga jenjang kooperasi: pertama: 135
rakyat, kedua: pemerintah, dan ketiga: bersama antara rakyat dan pemerintah. Pada banyak kepustakaan menunjukkan bahwa perhatian utama diletakkan pada jenjang rakyat; sedangkan penelitian Hofstede ini menekankan pada pentingnyajenjang ketiga. Sedangkan teori substantif yang hendak diuji secara emperik dibatasi pada teori proses pengambilan keputusan. Untuk meneliti variabel-variabel spesifik yang mempengaruhi perkembangan anak, Thord Erasrnie, mulai dengan membahas grandtheory tentang sosiolinguistics dan teori-teori perkembangan bahasa, seperti dari: Piaget, behaviorisme, Skinner, Osgood dan Chornsky. Dalam konseptualsasi teoretiknya Erasmie menjawab, apakah dia menampilkan konsep polair atau sintesis. Setelah grandconcept dia tampilkan, dia mulai menjabarkan tentang variabel-variabel spesifik yang ditelitinya. Disertasi Noeng Muhadjir berangkat dari grandtheory qullukum roin, setiap kamu adalah pemimpin. Grandtheory disiplin lain yang mempertajam konseptulisasi tersebut dihimpun, seperti: teori sosiologi fungsionalisme sosial dan teori kepemimpinan situasional. Penajaman konsep juga dilakukan dengan menampilkan tiga kontroversi: pertama, pemuka pendapat itu lebih setia pada norma kelompok ataukah lebih tanggap terhadap pembaharuan, kedua: pelnuka pendapat itu monomorphik ataukah polimorphik, dan ketiga: pemuka pendapat itu pilah dari struktur kekuasaan atau menjadi bagian dari siruktur kekuasaan. Dari grandconcepts tersebut Noeng Muhadjir menguji peran sejumlah variabel terhadap ke-pemuka pendapatan seseorang; dan sekaligus dicari faktor-faktor yang berperan terhadapnya. Sosok kepemimpinan yang dideskripsikan oleh Noeng Muhadjir terbatas pada kepemimpinan pemuka pendapat pada daerah pedesaan Jawa Tengah. El Yasa Abubakar berangkat dari grand- instrument: Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dalil, dan kajian seunantik, ta’lili, dan pertimbangan kemaslahatan sebagai pola penalaran. Grandconcepts yang ditampilkan oleh Abubakar adalah: Al-Qur’an haruslah difahami sebagaikeseluruhan, ditelaah secara tematik, ditelaah dalam satuan konsep yang besar. Pergeseran. pemahaman ulama dipandang sebagai bagian dari perkembangan sejarah, yang notabene secara implisit mengandung makna bahwa pemahaman para pakar pada masa mutakhir ini mungkin saja. Agak berbeda dengan keempat disertasi tersebut di atas, disertasi Ahmad Tafsir bukan berangkat dari grandconcepts, melainkan berangkat dari kerangka fikir Model Evaluasi. Ahmad Tafsir mengetengahkan: 1) dasar sistematisasi penelaahan, 2) menetapkan kriteria evaluasi, dan 3) menetapkan obyek evaluasinya. Kerangka fikir model evaluasi tersebut menentukan cara penyajian disertasinya. E. SISTEMATIKA MODEL POSTULASI (MODEL D) Model yang penulis sebut sebagai model D ini adalah ekstensi dari model C. Model C berangkat dari pengrangkaan grand-theory atau grandconcept(s), sedangkan model D ini membangun suatu konseptualisasi lebih jauh lagi, yaitu berangkat dari proposisi universal untuk melandasi semua konstruksi pemikiran lebih lanjut. Pada model C, pengrangkaan grandconcept(s) lebih bersifat rambu-rambu, pada model D ini telah ditampilkan eksplisit sebagai aksioma, postulat, atau tesis mayor. Sebagai contoh disajikan tulisan pakar ekonomi Islam, Haider Naqvi, yang guru besar sekaligus konsultan OECD. Bukunya (yang penulis sebut: bukan disertasi tetapi sangat inspiratif untuk disertasi) yang berjudul Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, menyajikan konsep ekonomi Islam bertolak dari aksioma etika Islam. Naqvi bekerja secara deduktif dengan pendekatan aksiologik. Naqvi memulai kerjanya dengan membangun kerangka aksiologiknya; menjelajahi berbagai sumber untuk membangun sistem aksioma dan.sistem etika Islam. Dilanjutkan dengan upaya membangun sistem ekonomi Islam bertolak dari aksioma etika Islam. Operasionalisasi
136
ekonomi Islam disajikan di bagian ketiga. Bagian keempat membahas tentang peluang realisasinya. Proporsi pembahasan keempat bagian tersebut berbanding antara 32 : 30 : 76 : 30. Model dari Naqvi ini dapat dipakai sebagai inspirasi bagi para ilmuwan yang hendak mengembangkan ilmu (termasuk pembuatan disertasi) yang melandaskan diri pada pandangan yang mencitakan ilmu hendaknya bertolak dari Weltanschaung, bagus untuk dipakai para penganut realisme metaphisik. Hal ini bila dikaitkan dengan model-model pengembangan ilmu multidispliner dan interdispliner prosedur kerja dari Naqvi ini penulis sebut sebagai model postulasi. F. SISTEMATIKA MODEL BAKU KUALITATIF (MODEL E) Sistematisasi model E berbeda sama sekali dari model-model yang disebut terdahulu. Model-model terdahulu dapat di-baku-kan dengan istilah-istilah: masalah, kerangka teori, metodologi, analisis, kesimpulan, dan lainnya; untuk model E ini menggunakan dasar sistematika yang berbeda. Sistematika model E unit-unitnya atau bab-babnya disesuaikan dengan sistematika substansif obyeknya. Sebagai contoh penulis ambil disertasi Karel A. Steenbrink (1974) Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islam Ondericht, yang diterjemahkan menjadi Pesantren, Madrasah, dan Sekolah (1986). Bab I membahas tentang lembaga pendidikan, Bab II membahas profil guru, Bab III membahas materi pelajaran, dan Bab IV membahas peran pendidikan umum menurut pandangan para pakar Islam. Perlu ditonjolkan di sini, bahwa model ini tidak memilahkan antara kerangka teoritik, data, dan analisis. Pada setiap bab, data, dan analisis, pemikiran teoretik, dan kesimpulan diramu-padukan menjadi satu dalam bab itu sendiri. Itulah model E, atau. model yang mendasarkan pada metodologi penelitian dengan pendekatan phenomenologi. Disertasi Imam Bawani tentang Pesantren Anak-Anak di Sidayu Gresik menggunakan pendekatan kualitatif model paradigma naturalistik. Esensi tentang latar belakang keluarga santri (yang notabene usia para santri baru 3-5 tahun), diketemukan lewat wawancara intensif pada orang tua masing-masing tentang tingkat pendidikan orang tuanya, pekerjaannya, status sosialnya serta ragam motivasi mengirim anaknya yang masih balita tersebut ke PP Anak-Anak Sidayu (Bab IV). Kasus-kasus menarik tentang anak-anak usia balita di PP diperoleh lewat wawancara dengan parawali asuh, yang tugas mereka termasuk memandikan santri, menemani bermain, memberi makan, dan mencuci pakaian santri. Para wali asuh diberi anak asuh sesuai dengan tingkat keberhasilan mengasuh anak-anak balita. tersebut, ada yang hanya 9 anak asuh, dan ada yang sampai 37 anak asuh (Bab V). Telaah induktif emperik untuk mencari esensi tersebut dilakukan lebih jauh pada aktivitas pendidikan (Bab VI), tentang lingkungan pesantren (Bab VII), kelanjutan studi (Bab VIII), pelacakan hasil studi lanjut (Bab IX), dan kesimpulan dan rekomendasi (BabX). PP Anak-Anak merupakan salah satu alternatif model pendidikan agama bagi anak-anak usia balita; alternatif model lain adalah TPA atau Taman Pendidikan Ai Quran atau TK Al Qur’an. Dengan rumusan ringkas dapat dideskripsikan bahwa model A, B, C, dan D membagi unit-unit bab-babnya berdasar sistematika instrumentatif., masalah, tujuan, kerangka teori, data, analisis, dan kesimpulan; sedangkan model E membagi unit-unit bab-babnya berdasar sistematika substansif obyeknya itu sendiri. Steenbrink misalnya, membagi unitnya menjadi: masalah kelembagaan, masalah guru, dan masalah kurikulum. Contoh lain dapat diambil dari bukunya Sundhaussen Politik Militer Indonesia 1945-1967. Dengan pendekatan historis dia membagi unit-unitnya menjadi kurun 1945 - 1949; kurun 1950 - 1958; kurun 1957 - 1962; kurun 1962 - 1965; dan kurun 1965 - 1967. Seperti juga model dari Steenbrink, data, analisis, pemikiran teoretik, dan kesimpulan diselesaikan pada setiap bab atau malahan pada setiap paragraf Kesimpulan-kesimpulan pada setiap bab atau mungkin juga pada sejumlah paragraf, disatupadukan oleh Sundhaussen dalam bab terakhir. 137
Sistematika dari ldris A. Kesuma danjuga Hidayat Mukmin sepintas mirip dengan Sundhaussen. Bedanya: pada ldris dan Hidayat unit-unit historik diletakkan menjadi bagian dari pembahasan teoretik dan analisis (ldris) atau menjadi bagian dari analisis dan kesimpulan (Hidayat), sedangkan pada Sundhausen pada setiap kurun waktu di bahas dalam satu bab: baik mengenai datanya, analisisnya, keterkaitannya dengan teori yang sudah ada, dan kesimpulannya. Sedangkan sistematisasi pokok: perumusan masalah, tujuan penelitian, dan sebagainya tetap menggunakan model positivistik; sehingga model ldris A. Kesuma dan Hidayat Mukmin penulis masukkan pada model B, model positivistik dengan modifikasi. G. SISTEMATIKA MODEL STRUKTURALISME SEMANTIK (MODEL F) Pengalaman penulis menghadapi tuntutan atau lebih tepat harapan bimbingan para penyusun disertasi yang memilih telaah teks atau dalam terapan lebih spesifik telaah bahasa dan sastra, membuat penulis menjadi terlibat sangat intensif pada telaah teks dalam penulisan disertasi. Telaah model F ini. terkait langsung dengan bagian keenam. Setidaknya ada tiga disertasi yang akan penulis contohkan di sini. Pertama, disertasi Dr. Said Mahmud yang menggunakan pendekatan strukturalisme semantik model telaah heuristik dalam mencari karakteristik amal shaleh di dalam Al Quran. Kedua, disertasi Dr. Radhi yang menggunakan pendekatan strukturalisme semantik dengan model telaah hermeneutik dalam mengklasifikasikan kisah-kisah yang ada di dalam Al Quran. Sebagai pembanding penulis tampilkan pula disertasi Amiur Nurudin. Disertasi Said Mahmud: Konsep Amal Saleh dalam Al Qur’an. Telaah Etika Qur’ani dengan Metode Tafsir Tematik menggunakan telaah tematik atau tafsir maudui, berupaya mengumpulkan dan memadukan nash (dalam hal ini khusus ayat-ayat Al Qur’an) yang berbicara tentang terna amal shaleh. Kata amal shaleh disebut banyak kali dalam Al Qur’an. Amal yang dapat dikatakan baik, diangkat kriterianya dari surmah Rasul, yaitu: memberi manfaat pada si pelaku, pada keluarga, atau pada ummatnya. Di samping itu dibangun pula amal shaleh atas dua kriteria, yaitu: lahir dari keikhlasan si pelaku dan adanya nilainilai kebaikan dalam makna aqidah, muamalah, dan akhulaq (telaah di Bab II). Untuk mencari karakteristik operasional dari amal shaleh Said MahMud mencari kata kunci dalam Al Qur’an yang semakna dengan perbuatan dan kebaikan atau perbaikan (terkumpul 13 kata kunci). Selanjutnya term-term di dalam Al Qur’an dihimpun yang mempunyai makna perbuatau dan kebaikan atau perbaikan ditinjau dari kriteria baik dalam makna aqidah, muamalah, atau akhlaq; untuk masing-masing terkumpul 7, 21, 10 term (telaah di Bab 111). Dari term-term beserta kriteria tersebut dikaji lebih jauh tentang tujuan amal shaleh (Bab IV), dan dikaji pula keterkaitan amal shaleh dengan fungsi manusia sebagai khalifah di dunia (Bab V). Bab VI berisi kesimpulan dan penutup. Disertasi M.Radhi Al Hafid Nilai Edukatif Kisah Al Qur’an menggunakan pendekatan strukturalisme semantik dengan model telaah hermeneutik atau semiotik. Kisah-kisah yang ada di dalam Al Qur’an secara retroaktif atau hermeneutik diangkat dan di klasterkan ke dalam tiga klaster, yaitu: kisah sejumlah Nabi, kisah para kaum, dan kisah sketsa kehidupan (Bab II). Radhi tidak mengangkat dari term-term atau dari ayat-ayat, melainkan dari keseluruhan kisah penciptaan Adam a.s., misalnya, yang tersebar pada 5 surah dengan 10 ayat. Kisah kaum Luth yang mengundang azab Allah, yang tersebar dalam 9 surah dan terdiri lebih dari 20 ayat. Kisah sketsa kehidupan tentang permusuhan abadi antara manusia dengan setan, tersebar dalam 2 surah yang terdiri atas 9 ayat. Dari pengklasteran kisah-kisah dikaji nilai edukatifinya dengan telaah model interaksi simbolik, dengan cara mencari amanat sentral dari kisah-kisah tersebut (Bab III A dan B). Dari pengkajian tentang cara-cara kisah tersebut disajikan, dapat diangkat strategi belajar-mengajar nilai-nilai kebaikan (Bab III C). Bab II dengan judul Spesifikasi Semiotik mencakup telaah sebanyak 280an halaman; sedangkan Bab III dengan judul Pematangan Hati Nurani mencakup telaah 160an halaman. Pada Bab IV dengan judul Penutup menampilkan 138
Kesimpulan (7 halaman), Dalil-dalil sebanyak 13 dalil (lebih dari 40 halaman), dan Saran-saran (4 halaman). Disertasi Amiur Nuruddin: Konsep Keadilan dalam Al Qur’an dan Implikasinya terhadap Tanggung Jawab Moral menggunakan pendekatan strukturalisme semantik pula dalam telaahnya mencari konsep keadilan menurut Al Quran. Titik berangkatnya heuristik, yaitu mencari term-term yang memiliki arti mirip adil. Selanjutnya secara tematik dikumpulkan ayat-ayat yang berisi term atau turutan term tersebut. Pemahaman ayat-ayat dikaitkan dengan konteksnya, dan lain-lain menjadikan kajiannya dapat diartikan sudah bergeser dari telaah hereustik menjadi telaah hermeneutik. Upayanya mencari konsep keadilan dengan telaah hermeneutik menjadi lebih nampak karena Nurudin mencari padanan yang berlawanan dengan keadilan, yaitu kezaliman. Dilanjutkan dengan telaah Implikasi Keadilan terhadap Tanggung Jawab Moral. Baik disertasi Said Mahmud maupun Amiur Nurudin mensistematisasikan telaahnya dimulai dari konsep pokoknya Amal Shaleh ataupun Keadilan di Bab II, dan membuat telaah semantik pada Bab III-nya. Tujuan dan Fungsi dari konsep tersebut disajikan dalam Bab IV dan V pada S. Mahmud dan dalam Bab IV saja pada A. Nurudin. H. BANGUNAN KRITIK DENGAN PENDEKATAN REALISME METAPHISIK (MODEL G) Natsir Mahmud dalam disertasinya: Studi Al Quran dengan Pendekatan Historisisme dan henomenologi. Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang Al Quran berupaya membuat evaluasi terhadap pandangan Barat yang menggunakan pendekatan historisisme yang orientalis, dan yang menggunakan pendekatan phenomenologi yang Islamolog (Baca kembali bagian keenam buku ini). Agar pembaca teringat kembali apa orientalis dan apa Islamolog, akan penulis uraikan ringkas disini. Orientalis dalam studinya menggunakan kerangka fikir teoretik Barat (dalam hal studi budaya dan agama lain menggunakan kerangka fikir teoretik budaya Barat dan agama Kristen); sedangkan Islamolog, yang termasuk dalam kelompok yang menggunakan pendekatan phenomenologik berupaya untuk memahami obyek penelitiannya sesuai pemaknaan subyek pendukung budaya atau agamanya. Peneliti Islamolog berupaya mendeskripsikan surga sebagaimana Islam mengajarkan, misalnya. Tetapi ternyata para phenomenolog tetap saja ada pemaknaan yang salah tentang Al Qur’an; apalagi historisisme. Kritik ataupun evaluasi Natsir Mahmud, penulis baca selaku promotor terkesan bersifat defensif dan terkesan sekedar membuat klarifikasi dan sekaligus berupaya meluruskan menurut ajaran Islam. Untuk menghindari kesan tersebut penulis selaku promotor menawarkan suatu cara mengevaluasi yang memiliki landasan filosofik yang kuat, yang bukan positivisme (filsafat ilmu yang digunakan para orientalis) dan yang bukan phenomenolog (filsafat ilmu yang digunakan para Islamolog). Bangunan yang melandasi evaluasi sekaligus koreksi atas tafsir Barat tentang Al Qur’an adalah realisme metaphisik. Menurut realisme metaphisik kebenaran itu merentang dari yang sensual sampai yang transenden. Kebenaran substantif pada dataran transenden misalnya, jangan direduksi menjadi kebenaran yang logik-historis, misalnya. Dari model G tersebut penulis mengimbau agar dalam upaya membuat kritik atau evaluasi hendaknya dilandasi oleh bangunan dasar yang kokoh, entah sama dengan yang digunakan oleh yang dikritik atau dievaluasi, ataupun berbeda. Bangunan dasar tersebut dalam konsep penulis adalah paradigma pemikiran. Paradigma pemikiran realisme metaphisik dapat menjadi sistematisasi telaah kajian disertasi atau tesis atau karya ilmiah lain. Realisme metaphisik mengakui bahwa alam semesta ini teratur; dan. merentang dari keteraturan sensual sampai keteraturan transenden. Realitas yang teratur tersebut tidak dapat segera tertangkap oleh akal fikir ilmuwan, sehingga ilmuwan bergerak secara probabilistik dari teori satu ke teori lain, dari tesis satu ke tesis lain. Agar cakupan tangkapan ilmuwan terhadap realitas itu dapat besar atau malahan sangat besar, maka ilmuwan penganut realisme metaphisik akan memberangkatkan
139
telaahnya dari grand theory yang perlu diuji lewat uji falsifikasi mencari kebenaran substantif esensial. I.
REINTERPRETASI HISTORIS DAN INTERPRETASI SOSIOLOGIS (MODEL H) Penulis mencermati buku Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi hasil rekaman dan sistematisasi tulisan-tulisan Kuntowijoyo sebagai sejarahwan khusus tentang Islam di Indonesia, tidak saja mendeskripsikan sejarah Islam di Indonesia, melainkan ada upaya menyadarkan ummat Islam tentang perannya untuk masa depan. Karena itu penulis dapat merekomendasikan sebagai model telaah sejarah, yang sifatnya reinterpretatif. Dari segi isi substansinya, data pendukungnya, sistematisasi telaahnya dan interpretasinya buku tersebut layak dijadikan contoh karya ilmiah (untuk disertasi) yang berupaya membuat reinterpretasi historis dengan tujuan mengaktuansasikan cita normatif Islam sebagai gerakan sosial menuju masa depan. Disertasi Amin Syukur tentang Zuhud penulis minta selaku promotor untuk dipertimbangkan fungsi telaahnya bagi masa depan ummat, jangan hanya mendeskripsikan zuhud di masa lampau. Dengan mencermati kembali jiwa nash dalam Al Qur’an, Amin Syukur berupaya membuat reinterpretasi zuhud bagi masa depan. Sejumlah ilmuwan sukses menjadi penulis, seperti Peter Drucker, John Naisbitt, Alvin Toffler, Paul Kennedy, Daniel Bell, dan lain-lain. Dengan paradigma yang berbeda-beda, dan sering kali kontroversial membuat reinterpretasi masa lampau, interpretasi masa kini, dan membuat prediksi masa depan. Pemikirannya yang kontroversial tetapi tajam ternyata mengundang minat kita untuk membacanya. Membuat karya ilmiah (termasuk disertasi) bukan mustahil menggunakan model H ini. Membuat interpretasi atas interpretasi. Menarik. Para promovendi harap ingat bahwa pada bagian pengesahan disertasi yang lengkap semestinya ada kalimat berikut: Diterima dengan keberatan Senat Guru Besar atau Tim Penguji. Maknanya adalah: disertasi tersebut dapat diterima, meskipun ada perbedaan pendapat antara promovendus dengan tim penguji. Diterima karena paradigma pemikirannya diakui cukup rasionai; tetapi anggota tim penguji mungkin mempunyai paradigma pemikiran yang berbeda. Membuat interpretasi atau membuat prediksi masa depan atau mencari makna masa lampau bagi masa depan, nampaknya akan sangat menarik bagi telaah sosiologi perubahan sosial. Buku Ronald Inglehart, 1990, Culture Shiji in Advanced Industrial Society, merupakan buku yang ditulis dengan model H ini. Interpretasinya memanfaatkan hasil survei sejak tahun 1970 sampai tahun 1981 mulai di Eropa dan dilanjutkan pada 25 negara di dunia. Pada berbagai forum pernah penulis lemparkan gagasan bagaimana buku teks Sejarah Indonesia pada periode yang selalu saja disebut masa penjajahan, direinterpretasi sebagai masa perlawanan terhadap kolonialisme atas kenyataan bahwa memang kolonial Barat di Indonesia selalu saja mendapat perlawanan di seluruh Nusantara, sejak-Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia, dan perlawanan phisik baru berakhir pada Perang Aceh, awal abad XX. Itupun dilanjutkan dengan perlawanan politik lewat Boedi 6etomo tahun 1908 sampai Indonesia merdeka. Dari reinterpretasi sejarah tersebut dimaksudkan agar generasi muda tumbuh watak kejuangan berkelanjutan untuk melawan penindasan dan watak kejuangan untuk menjangkau sukses masa depan, dan bangga sebagai bangsa yang tidak pernah dapat ditundukkan penuh oleh bangsa lain. Juga pernah penulis mengajak para peneliti sastra istana untuk membuat-reinterpretasi tentang ajaran-ajaran yang dikatakan ajaran yang berakar pada budaya daerah yang patut dilestarikan. Apakah benar itu watak kita: wani ngalah duwur wekasane? Apakah itu bukan ajaran sublimasi karena ketidakmampuan melawan kolonial: tampilannya kalah terus, dan tidak tahu kapan menangnya.
140
J. TERAPAN TEKNIS METODOLOGIS (MODEL 1) Telah berkali-kali penulis kemukakan dalam buku ini bahwa untuk pendekatan kuantitatif statistik sudah ada sistematika baku: berupa Perumusan Masalah, Telaah Teoretik atau Kajian Hasil Penelitian Terdahulu, Telaah Metodologik termasuk Instrumentasi, Laporan Penelitian termasuk Analisis, Kesimpulan, dan Saran (Model A sampai dengan D). Dalam penelitian kualitatif dengan paradigma kualitatif, sistematika ditata sesuai dengan substansi telaahnya, bukan menggunakan sistematisasi baku. (Model E sampai dengan H). Dari pengalaman penulis sebagai promotor disertasi ternyata dalam penelitian kualitatif sistematisasi penulisan dapat didasarkan pada teknik metodologi. Sebagai contoh disertasi Ridlwan Nasir, 1995, Dinamika Sistem Pendidikan, menggunakan teknik multi-case, di mana sistematikanya disusun berdasar kasus-kasus Denanyar (Bab III), Darul Ulum (Bab IV), Tambak Beras (Bab V), dan Tebuireng (Bab VI), di mana pada setiap kasus disajikan datanya, dianalisis, dan disimpulkan. Kesimpulan di masing-masing bab diangkat untuk disatukan sebagai Kesimpulan menyeluruh dilengkapi dengan Saran-saran dan disajikan tersendiri dalam Bab VII. Berbeda dengan disertasi Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren yang multi-site, di mana sistematisasi telaah menjadi Gambaran Umum Pesantren, Gambaran Khusus Pesantren; dan barulah pada Bab V dibuat Kesimpulan dan Saran. Gambaran umum ataupun khusus tersebut mencakup 6 Pondok Pesantren, yaitu: Guluk-Guluk, Sukorejo, Blok Agung, Tebuireng, Paciran, dan Gontor. Secara keseluruhan disertasi Mastuhu menggunakan sistematisasi model baku A; sedangkan cara penelitiannya menerapkan model grounded research, suatu model yang merintis berfikir kualitatif.
141
DAFTAR REFERENSI
(Dibatasi yang langsung relevan, dan dianjurkan untuk dibaca)
Abdullah, Taufik., dan Karim, M.Rusli (ed), 1989, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana. Blumer, Herbert,-, Symbolic Interactionism Perspective and Method, Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, Inc. Bogdan, Robert C., and Biklen, Sari Knopp, 1982 , Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc. Burroughs, G.E.R., 1974 , Design and Analysis in Educational Research, Birmingham: Universit y of Birmingham Carney, T.F., 1972 , Content Analysis, London: B.T.Batsford Ltd. Cohen, Moff is R. and Nagel, Ernest. (Abridged Ed.), 1947 , An Introduction to Logic and Scientific Method, London: George Routledge & Sons, Ltd. Denzin, Norman K., and Lincoln, Yvonna S., 1994 , Handbook of Qualitative Research, Thousand Oaks London: Sage Publications. Faruqi, Ismail R. al, and Faruqi, Lois Lamya al, 1986 , The Cultural Atlas of Islam, New York: McMillan Pub. Co. Fetterman, David M., 1991 , Using Qualitative Methods in Institutional Research, San Francisco: Jossey-Bass Inc., Pub. Glaser, Barney G.,.and Strauss, Anselm The Discovery of Ground Theory. Strategies for Qualitative research, Chicago: Aldine Pub.Co. Goetz, Judith P., and LeCompte, Margaret., 1984 , Ethnography and Qualitative Design in Educational Research, New Jersey: Academic Press, Inc. Harland,
Richard., 1987, Superstructuralism: The Philosophy Post-Structuralism, London and New York: Methuen.
of
Structuralism
and
Hawkes. Terence., 1978 , New Accents: Structuralism and Semiotics, London: Methuen & Co.Ltd. International Institute of Islamic Thought, The., 1989 , Toward Islamization of Disciplines, USA: Herndon, Virginia. Jabrohim (ed.), 1994 , Teori Penelitian Sastra, Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia & IKIP Muhammadiyah. Kirk, Jerome., and Miller, Marc L., 1986 , Reliability and Validity in Qualitative Research, California, Beverley Hills: Sage Publications.
142
Krippendorff, Klaus., 1980, Content Analysis: An Introduction to Its Methodology, California, Beverley Hills: Sage Publications. Kuhn, Thomas., 1970, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of Chicago Press. Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Penerbit Mizan. Leiter, Kenneth, 1980, A Primer on Ethnomethodology, Oxford: Oxford University Press. Lincoln, Yvonna S., and Guba, Egon G., 1085, Naturalistic Inquiry, California, Beverley Hills: Sage Pub. Norris, Christopher., 1983, Deconstruction: Theory and Practice, London and New York: Methuen. Manis, Jerome G., and Meltzer, Bernard N., 1978, Symbolic Interaction: A Reader in Social Psychology, Boston: Allyn and Bacon, Inc. , Miles, M.B., and Huberman, A.M., 1984, Qualitative Data Analysis, California, Beverley Hills: Sage Pub. Noeng Muhadjir, 1983, Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Rake Sarasin. _________-, 1983, Teori Perubahan Sosial, Yogyakarta: Rake Sarasin. _________-, 1976, Logika Formil dan Logika Matematik, Yogyakarta: Rake Sarasin. _________-,__ . Filsafat Ilmu, (Naskah belum diterbitkan, dan sedang. terus diperkembangkan). Popper, Karl R., 1983, Realism and The Aim ofScience, New Jersey: Rowman and Littlefield. Steenbrink, Karil A., 1988, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, (Jilid I dan 11), Yogyakarta: IAIN Suka Press. Sumaryono, E., 1995, Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. Suppe, Frederick., 1977, The Structure of Scientific Theories, Urbana: University of Illinois Press. Verhaak, C., dan Haryono Imam, 1995, Filsafat Ilmu Pengetahuan. TelaahAtas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia.
143
DAFTAR DISERTASI YANG DITELAAH Al Yasa Abubakar, 1989, Ahli Waris Sepertalian. Darah Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqih Mazhab Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga** Ny. Asma Affan, MPA, 1988, Kajian tentang Kepemimpinan Institusional di Propinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Imam Bawani, 1995, Pesantren Anak-Anak Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Studi tentang Sistem Pendidikan dan Perkembangannya, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Thord Erasmie, 1975, Language Development and Social Influence, Linkoping, Sweden: Universitetet I Linkoping Saidun Fiddaroini, 1995, Tulisan Bahasa Arab yang Sempurna dan Implikasinya dalam Pengajaran Bahasa Arab, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga** W.M.F. Hofsteede, 1971, Decision Making Processes in Four West Javanese Villages, Nijmegen: De Katholieke Universiteit te Nijmegen Tjokorde Raka Joni, 1972, Hubungan antara Sejumlah Faktor Kognitif dengan Prestasi Akademik pada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Malang: IKIP Malang ldris A Kesuma, 1980, Suatu Studi tentang Hubungan Indonesia-Belanda tahun 1945-1950, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada M. Ridlwan Nasir, 1996, Dinamika Sistem Pendidikan. Studi di PondokPondok Pesantren Kabupaten Jombang Jawa Timur, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga** Moh. Natsir Mahmud, 1992, Studi Al Quran dengan Pendekatan Historisisme dan Phenomenologi. Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang Al Qur’an, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga ** Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies Hidayat Mukmin, 1989, Peran Serta ABRI dalam Merumuskan dan Melaksanakan Politik Luar Negeri Indonesia. Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Noeng Muhadjir, 1982, Identiflikasi Faktor-Faktor Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Pedesaan, (Disertasi disiapkan teori dan metodologinya di Harvard University, penelitiannya di Jawa Tengah, dipertahankan di IKIP Yogyakarta) Syed Nawab Haidar Naqvi, 198 1, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, (bukan disertasi, tetapi sangat inspiratif untuk model disertasi), London: The Islamic Foundation Amiur Nurudin, 1995, Konsep Keadilan dalam Al Quran dan Implikasinya terhadap Tanggungjawab Moral, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga *
144