Abdullah Suriosubroto Suriosubroto Abdullah Suriosubroto (Semarang, Suriosubroto (Semarang, 1878 - Yogyakarta, 1941) adalah seorang pelukis Indonesia. Dia adalah anak angkat angkatWahidin Sudirohusodo, Sudirohusodo, seorang tokoh gerakan nasional Indonesia. Dia adalah juga ayah pelukis Indonesia terkenal Sudjono Abdullah dan Basoeki Abdullah. Abdullah. Mengikuti jejak ayah angkatnya, Abdullah masuk sekolah kedokteran di Batavia (kini Jakarta). Kemudian dia meneruskan kuliahnya di Belanda. Di sana, dia beralih ke seni lukis dan masuk sekolah seni rupa. Sepulangnya di Indonesia, dia meneruskan karirnya sebagai pelukis. Abdullah dipandang dipandang sebaga sebagaii pelukis Indonesia Indonesia yang yang pertama pertama di abad abad ke-20. Benda lukisan lukisan kesukaannya adalah pemandangan. Dia dimasukkan dalam aliran yang dijuluki " Mooi Indie" Indie" ("Hindia Indah"). Abdullah mulai menetap menetap beberapa beberapa tahun di Bandung Bandung agar dekat dengan dengan alam alam yang dia suka lukis. lukis. Kemudian dia pindah ke Yogyakarta, di mana dia meninggal tahun 1941.
Affandi Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya. Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor . Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi. Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdiserta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis. Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur -memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno. Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar . Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis diSantiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India. Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi. Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah. Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya. Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana. Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa. Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna. Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan
menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Barli Sasmitawinata Barli Sasmitawinata (lahir di Bandoeng, 18 Maret 1921 – meninggal di Bandung, 8 Februari 2007 pada umur 85 tahun) adalah seorang pelukis realis asal Indonesia. Ia mulai menekuni dunia seni lukis sekitar tahun 1930-an dan merupakan bagian dari "Kelompok Lima" yang juga beranggotakan Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi. Awalnya ia menjadi pelukis atas permintaan kakak iparnya pada tahun 1935 agar ia memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung. Di sana ia banyak belajar melukis alam benda. Setelah berguru pada pelukis Italia Luigi Nobili (juga di Bandung), pada tahun 1950-an ia lalu melanjutkan pendidikan seni rupa di Eropa. Latar belakang pendidikan tingginya di Belanda dan Perancis ( Académie de la Grande Chaumière, Paris, 1950dan Rijksakademie van beeldende kunsten, Amsterdam, 1956) terwakili dalam karya-karyanya yang menunjukkan penguasaan teknik menggambar anatomi tubuh secara rinci. Sasmitawinata dikenal sebagai orang menekankan pentingnya pendidikan seni rupa. Tahun 1948 ia mendirikan studio Jiwa Mukti bersama Karnedi dan Sartono. Setelah menyelesaikan pendidikan di luar negeri, ia mendirikan Sanggar Rangga Gempol di kawasan Dago, Bandung pada tahun 1958. Ia pernah mengajar seni lukis di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan adalah salah seorang perintis jurusan seni rupa di Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (kini bernama Universitas Pendidikan Indonesia) pada tahun 1961. Barli lalu kemudian lebih banyak mengajar murid secara informal di sanggar. Tahun 1992 ia mendirikan Museum Barli Bandung. Antara murid-murid yang pernah dididiknya adalah Popo Iskandar , Srihadi Soedarsono, Yusuf Affendi, AD Pirous, Anton Huang, R Rudiyat Martadiraja, Chusin Setiadikara, Sam Bimbo, Rudi Pranajaya. Karya-karyanya pernah dipamerkan baik di dalam maupun luar negeri. Koleksinya juga dipamerkan di Museum Barli Bandung. Pada tahun 2000, ia menerima penghargaanSatyalancana Kebudayaan dari presiden. Ia meninggalkan 2 anak kandung, 3 anak tiri, 15 cucu, dan 9 buyut. Setelah istri pertamanya, Atikah Basari (menikah 1946) meninggal tahun 1991, ia menikah lagi dengan Nakisbandiyah tahun 1992.
Delsy Syamsumar Delsy Syamsumar (lahir di Medan, 7 Mei 1935 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 2001 pada umur 66 tahun) adalah seorang pelukis“Neoklasik” Indonesia berasal dari Sungai Puar, Sumatera Barat. Pelukis ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Di waktu perang revolusi keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi. Delsy melalui sekolah dasar dan menengah umum bahkan pendidikan agama Islam, ia selalu menonjol dalam pelajaran seni lukis dan menjadi juara pertama pada setiap sayembara di sekolah sekolah di Sumatera Barat .
[1]
Pada usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis komik sejarah dan karangannya sendiri yang ia kirim sendiri per pos ke majalah ibukota. Karyanya seperti Komik “Mawar Putih” tentang “Bajak Laut Aceh” dimuat di majalah “Aneka” telah membuat ia terkenal diseluruh Indonesia pada usia yang amat muda. Kalau perantau-perantau Minang umumnya cenderung mengadu nasib sebagai pedagang, maka berbeda dengan bocah Delsy ini yang di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup. Atas adanya kepastian itu Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan anaknya tersebut menjadi “pelukis terkenal” seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. Delsy sejak di SD sudah dibelikan cat minyak oleh ayahnya seorang yang pengukir Rumah Gadang. Meskipun Delsy dikenal sebagai sosok seorang pelukis komik sejarah,illustrator, wartawan masmedia dan penata artistik di berbagai banyak Film nasional,namun ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak. Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai pembuat kartun di beberapa masmedia dan cover cover novel Indonesia serta di perfilman sebagai Art Director senior. Ia sebagai seorang Art Director Film sempat meraih penghargaan pada Festival Nasional dan Asia. Disanggarnya selain ia mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran tunggal Delsy pada tahun 1985 di Balai Budaya dianggap sebagai peristiwa seni nasional karena gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif dan ekstensial dan selalu mudah di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam “Suara Pembaharuan”) Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya melukiskan wanita. Namun sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-tokohnya yang komunikatif dengan pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita, pengamat karyanya itu mengambil kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas Delsy bagai menemukan “medan yang tepat dan kuat” menangkap daya hidup. Sudut pandang lukisan Delsy kadang -kadang filmis, karena mungkin kehidupannya sebagai orang film mempengaruhinya. Komposisi penuangan karyakaryanya apik dan enak dipandang bagaikan sudut pengambilan gambar lewat kamera.
Pameran tunggal Delsy pernah diadakan di Hotel Indonesia, Gedung Kesenian Jakarta. Lukisan karyanya pernah tercatat sebagai lukisan termahal yang terjual pada Pameran bersama pelukispelukis (Basuki Abdullah, Affandi, Lee Man Fong dsb.) ternama Indonesia yang di Gedung Kesenian Jakarta(Taman Ismail Mardzuki). Dan pada pameran-pameran bersama di Balai Budaya saat pra reformasi, lukisan-lukisan Delsy selalu mencatat rekor sebagai lukisan yang paling banyak diminati para kolektor lukisan. Pada tahun 1992 ia juga sempat melakukan pameran bersama dengan Basuki Abdullah. Dunia film telah membenamkan Delsy cukup lama dalam kreatifitasnya dan puncaknya menjadi Art director di beberapa film legenda Indonesia, antara lain “Saur Sepuh”. Terlalu lama mendalami dunia film yang bertema legenda sejarah mendorong kreativitas Delsy di dalam banyak lukisan yang bertemakan legenda dan sejarah, termasuk di dalamnya merekam sejarah perjuangan bangsa Indonesia disekitar tahun 1945. Karya beliau antara lain: Sentot Alibasya Prawiradirdja (cergam), Gadjah Mada (Cergam), Christina Maria Tiahahu (cergam) dan beberapa lukisan yang menggambarkan Heroisme Cut Mutia, Kereta Api terakhir Yogyakarta, Sepasang mata bola, Dapur Umum dan karya terakhirnya pada tahun 2000 “Gelar Perang Sentot Alibasya Prawiradirdja" cukup kolosal.
Hendra Gunawan Hendra Gunawan adalah seorang pelukis dan pematung. Dia dilahirkan di Bandung, 11 Juni 1918 dan meninggal di Bali, 17 Juli 1983. Semasa hidupnya, Hendra sempat belajar melukis pada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya. Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali mengadakan pameran bersama. Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya. Pada tahun 1947, ia mendirikan sanggar Pelukis Rakyat bersama temannya, Affandi. Dari sanggar ini banyak melahirkan pelukis yang cukup diperhitungkan seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta. Selain melukis, mematung juga merupakan bagian dari kesehariannya. Hasilnya, patung batu Jenderal Sudirman di halaman gedung DPRD Yogyakarta. Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam. Pelukis yang dekat dengan penyair Chairil Anwar memilih Bali sebagai pelabuhan hati yang teduh, tenang dan ayem. Selain bergaul dengan para pelukis, ia juga bergaul dengan penyair sekaliber Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang menetap di Bali. Umbu sangat menghargai Hendra karena selain catatannya kerjanya didunia seni lukis sebagai maestro ternyata Hendra pun menulis puisi. Ikan baginya merupakan sumber yang tidak ada habis-habisnya. Dari ikanlah ia dapat melihat warna alami yang sesungguhnya. Sebelum ia meninggal, karya lukisnya tentang tenggelamnya kapal Tampomas membuatnya terinspirasi. Hanya saja ia menggambarkan potret diri yang diserbu ikan-
ikan. Ternyata, potret itulah manifestasi dirinya berterima kasih pada ikan-ikan yang menjadi sumber inspirasinya. Sayangnya lukisan tersebut tidak selesai dan diberi judul Terima Kasih Kembali Protein. Karya lukisan ini merupakan pertanda terakhir Hendra Gunawan sebelum menghadap Illahi. Ia meninggal di RSU Sanglah, Denpasar, Bali, 17 Juli 1983. Dan dimakamkan di Pemakaman Muslimin Gang Kuburan Jalan A. Yani, Purwakarta.
Raden Saleh [1][2]
Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807
atau 1811
[3]
- 23 April 1880) adalah
pelukis Indonesia beretnis Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (saat itu Hindia Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis. Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851). Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati. Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.
"Penangkapan Pangeran Diponegoro" karya Raden Saleh (1857).
"Penyerahan Diri Diponegoro" karya Nicolaas Pieneman (1835).
Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan historisnya, Penangkapan Pangeran [5]
Diponegoro,
yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran
Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Sang Pangeran dibujuk untuk hadir di Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun pihak Belanda tidak memenuhi jaminan keselamatannya, dan Diponegoro pun ditangkap. Pada waktu Saleh, peristiwa tersebut telah dilukis oleh pelukis Belanda Nicolaas Pieneman dan dikomisikan oleh Jenderal de Kock. Diduga Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal di Eropa. Seakan tidak setuju dengan gambaran Pieneman, Raden memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisan versinya; Pieneman menggambarkan peristiwa tersebut dari sebelah kanan, Saleh dari kiri. Sementara Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah. Pieneman memberi judul lukisannyaPenyerahan Diri Diponegoro, Saleh memberi judul Penangkapan Diponegoro. Diketahui bahwa Saleh sengaja menggambar tokoh Belanda di lukisannya dengan kepala yang sedikit terlalu besar agar tampak lebih mengerikan.
[5]
Perubahan-perubahan ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Saleh akan tanah kelahirannya di Jawa. Hal ini juga dapat terlihat pada busana pengikut Diponegoro. Pieneman sendiri tidak pernah ke Hindia Belanda, dan karena itu ia menggambarkan pengikut Diponegoro [5]
seperti orang Arab.
Gambaran Saleh cenderung lebih akurat, dengan kain batik danblangkon yang
terlihat pada beberapa figur. Saleh juga menambahkan detil menarik, ia tidak melukiskan senjata apapun pada pengikut Diponegoro, bahkan keris Diponegoro pun tidak ada. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada bulanRamadhan, karena itu Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik.
Setelah selesai dilukis pada 1857, Saleh mempersembahkan lukisannya kepada Raja Willem III di Den Haag. Penangkapan Pangeran Diponegoro baru pulang ke Indonesia pada 1978. Kepulangan lukisan tersebut merupakan perwujudan janji kebudayaan antara Indonesia-Belanda pada 1969, tentang kategori pengembalian kebudayaan milik Indonesia yang diambil, dipinjam, dan dipindahtangan ke Belanda di masa lampau. Namun dari itu, lukisan Penangkapan tidak termasuk ketiga kategori tersebut, karena sejak awal Saleh memberikannya kepada Raja Belanda dan tidak pernah dimiliki Indonesia. Lukisan tersebut akhirnya diberikan sebagai hadiah dari Istana Kerajaan [5]
Belanda dan sekarang dipajang di Istana Negara, Jakarta.