BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lebih dari 80% permukaan bumi, baik di dasar laut hingga daratan tersusun atas batuan gunung api. Di Indonesia saja, terdapat 128 gunung api aktif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan sebanyak 84 di antaranya menunjukkan aktivitas eksplosifnya sejak 100 tahun terakhir. Di samping itu, batuan gunung api berumur Tersier atau yang lebih le bih tua juga sangat melimpah di permukaan, bahkan jauh lebih banyak banyak daripada batuan sedimen dan metamorf. Didasarkan atas komposisi materialnya, endapan piroklastik terdiri dari tefra (pumis dan abu gunung api, skoria, bom dan blok gunung api, accretionary lapilli, breksi vulkanik dan fragmen litik), endapan jatuhan piroklastika, endapan aliran piroklastika, tuf terelaskan dan endapan surge piroklastika. Aliran piroklastika merupakan debris terdispersi dengan komponen utama gas dan material padat berkonsentrasi partikel tinggi. Mekanisme transportasi dan pengendapannya dikontrol oleh gaya gravitasi bumi, suhu dan kecepatan fluidisasinya. Material piroklastika dapat berasal dari guguran kubah lava, kolom letusan, dan guguran onggokan material dalam kubah (Fisher, 1979). Batuan Piroklastik merupakan batuan gunungapi bertekstur klastika sebagai hasil letusan gunungapi dan langsung dari magma pijar. Piroklastik merupakan fragmen yang dibentuk dalam letusan volkanik, dan secara khusus menunjuk pada klastika yang dihasilkan dari magmatisme letusan. Berdasarkan
hal tersebut, maka dianggap penting untuk mempelajari batuan ini, maka dari itu diadakanlah praktikum petrografi acara batuan piroklastik ini. 1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud
Maksud diadakannya praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui mateerial pembentuk batuan piroklastik secara mikroskopis dan tekstur khusus setiap batuan.
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah : 1. Menentukan komposisi material pada tiap sampel batuan. 2. Menentukan nama batuan berdasarkan mineral penyusunnya. 3. Dapat menentukan ciri khusus tiap sampel batuan yang diamati. 1.3 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah: 1. Pensil dan pulpen 2. Penghapus 3. Penggaris 4. Lap kasar dan halus 5. Pensil warna 6. Lembar Kerja Praktikum 7. Buku Penuntun Praktikum Petrografi 8. Buku Optical Mineralogy
9. Album Mineral Optik 10. Mikroskop polarisasi 11. Sampel sayatan tipis batuan 1.4 Prosedur Kerja
Prosedur kerja dalam praktikum pengamatan sampel batuan ini adalah: 1. Siapkan alat dan bahan praktikum, seperti alat tulis, mikroskop polarisasi, lap kasar atau lap halus sebagai alas mikroskop, preparat sayatan tipis mineral, buku penuntun praktikum Petrografi, serta Lembar Kerja Praktikum. 2. Menyentringkan mikroskop sesuai dengan prosedur. 3. Mengamati sifat optik tiap mineral yang ada pada sa yatan tipis batuan 4. Menentukan nama mineral berdasarkan sifat optiknya dan menghitung komposisi tiap mineral 5. Menentukan nama batuan berdasarkan mineral penyusun batuan sedimen karbonat menurut klasifikasi Dunham, 1962. 6. Praktikan mengembalikan alat kembali ke tempatnya setelah selesai digunakan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Batuan Piroklastik
Batuan piroklastik adalah batuan vulkanik yang bertekstur klastik dan merupakan hasil dari erupsi gunung api atau batuan beku yang oleh proses gunung api,
dilemparkan
(eksplosif)
dengan
material
penyusun
asal
yang
berbeda (W.T.Huang, 1962). Selanjutnya material tersebut terendapkan dan tertransportasikan ( W.T.G , 1954 ). Batuan piroklastik adalah batuan yang tersusun atas fragmen-fragmen hasil erupsi vulkanik secara eksplosif. Hasil letusan gunung api umumnya berupa produk efusif, yaitu berupa lava dan produk eksplosif yang dapat berbentuk padat atau fragmental, gas dan cair. 2.2 Material Penyusun Batuan Piroklastik
Menurut Fisher (1984) dan Williams (1982): A. Kelompok Material Essensial (juvenil) Yang termasuk dalam kelompok ini adalah material langsung dari magma yang diletuskan baik yang tadinya berupa padatan atau cairan serta buih magma. Massa yang tadinya berupa padatan akan menjadi blok piroklastik, massa cairan akan segera membeku selama diletuskan dan cenderung membentuk bom piroklastik dan buih magma akan menjadi batuan yang porous dan sangat ringan, dikenal dengan batuapung.
B. Kelompok material Assesori (Cognate) Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bila materialnya berasal dari endapan letusan sebelumnya dari gunungapi yang sama atau tubuh volkanik yang lebih tua. C. Kelompok Assidental (bahan asing) Yang dimaksud dengan material assidental adalah material hamburan dari batuan dasar yang lebih tua di bawah gunung api tersebut, terutama adalah batuan dinding di sekitar leher volkanik. Batuannya dapat berupa batuan beku,endapan maupun batuan ubahan. Material-material penyusun batuan piroklastik tersebut hadir dalam bentuk fragmen-fragmen (piroklas) dari letusan gunung berapi secara langsung. Fragmen piroklastik berdasarkan ukuran butirnya oleh Fisher (1961) dan Scimid ( 1981) dibedakan atas tiga: a. Bom dan blok, fragmen piroklastik berukuran > 64 mm b. Lapilli, fragmen piroklastik berukuran 2 - 64 mm dapat berupa juvenil, cognate, maupun accidentil. c. Ash, fragmen piroklastik berukuran 2 - 1/256 mm. Dalam
pendeskripsian
batuan
piroklastik,
komposisi
batuannya
berdasarkan proporsi ukuran butir penyusun batuan yang dibedakan atas: a. Butiran, merupakan fragmen yang berukuran relatif lebih kasar, dapat berupa juvenil , coqnate, accidentil . b. Matriks, merupakan fragmen yang berukuran lebih halus, dapat berupa juvenil , coqnate, accidentil .
2.3 Endapan Piroklastik
Mekanisme pembentukan endapan fragmen piroklastik dapat dibedakan atas: 1. Endapan piroklastik jatuhan ( pyroclastic fall ), merupakan endapan piroklastik yang diendapkan melalui udara yang dikontrol oleh gravitasi. Penyebaran menutupi topografi dan umumnya berlapis atau bersortasi baik. 2. Endapan piroklastik aliran ( pyroclastic flow), merupakan endapan piroklastik hasil aliran langsung dari pusat erupsi berupa hot avalanche, glowing avalanche dan hot ash avalanche yang bersuhu 500 0 C – 6500 C. Penyebaran dan bentuk endapan sangat dipengaruhi oleh morfologi, bagian bawahnya memperlihatkan batas morfologi asalnya sedangkan atasnya umumnya datar. 3. Endapan piroklastik surge (pyroclastic surge), merupakan endapan piroklastik hasil percampuran dari bahan padat dan gas (uap air) yang mempunyai rapat massa rendah dan bergerak dengan kecepatan tinggi secara turbulen diatas permukaan. Menunjukkan perlapisan yang acak atau low-angle stratification. 2.4 Tekstur Batuan Piroklastik
Dalam mendeskripsikan batuan piroklastik kita harus melihat bagaimana cara atau proses pembentukannya, maka kita dapat mengetahui tekstur batuan piroklastik yang terbagi atas ukuran butir, bentuk butir atau kebundaran, pemilahan, kemas. 1. Ukuran butir, dapat berukuran bom,blok,lapilli atau ash. 2. Bentuk atau kebundaran, yaitu bentuk permukaan butir yang dibedakan atas: ~ Menyudut ( Angular ) ~ Menyudut Tanggung (Sub Angular)
~ Membundar Tanggung (Sub Rounded ) ~ Membundar ( Rounded) ~ Sangat Membundar (Well Rounded ) 3.
Sortasi atau pemilahan dibedakan atas : ~ Sortasi baik, bila ukuran butir penyusun batuan relatif seragam. ~ Sortasi buruk, bila ukuran butir penyusun batuan relatif tidak seragam.
4.
Kemas, menunjukan hubungan antar butir, dibedakan atas : ~ Kemas terbuka, bila kontak antar butiran tidak saling bersentuhan. ~ Kemas tertutup, bila kontak antar butiran saling bersentuhan.
2.5 Struktur Batuan Piroklastik
Struktur batuan piroklastik pada prinsipnya sama dengan struktur batuan beku, seperti struktur skoria, vesikuler, massive maupun amigdaloidal maupun struktur batuan sedimen, yaitu struktur perlapisan graded bedding atau cross bedding. 2.6 Tahap Penamaan Batuan Piroklastik
Menurut Pettijohn (1975), endapan gunungapi fragmental bertekstur halus dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu vitric tuff, lithic tuff dan crystal tuff. Menurut Fisher (1966), endapan gunung api fragmental tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kelas didasarkan atas ukuran dan bentuk butir batuan penyusunnya.
Gambar 1. Klasifikasi Pettijohn (1975) dan Fisher (1966)
Klasifikasi penamaan batuan piroklastik secara umum dibedakan atas: 1. Klasifikasi berdasarkan fragmen piroklastiknya ( F isher , 1966 dan Schim id, yaitu: 1981 ) ~ Anglomerat, bila batuan disusun oleh fragmen piroklastik dominan berupa bom yang berukuran > 64 mm. ~ Breksi piroklastik, bila batuan disusun oleh fragmen piroklastik dominan berupa blok yang berukuran > 64 mm. ~ Breksi tufa, bila batuan disusun oleh percampuran fragmen piroklastik blok maupun ash. ~ Tufa, bila batuan disusun oleh fragmen piroklastik berupa ash dan lapilli dimana ash lebih dominan. ~ Tufa lapilli, bila batuan disusun oleh fragmen piroklastik berupa lapili dan ash dimana lapilli lebih dominan. Oleh Schimid (1981 ), tufa lapili disebut juga lapilli.
2. Menurut W.T.G tufa diklasifikasikan berdasarkan pada material penyusun tufa (W.T.G, dibedakan atas : ~ Tufa gelas, tufa yang dominan disusun oleh material gelas. ~ Tufa kristal, tufa yang dominan disusun oleh material kristal. ~ Tufa litik, tufa yang dominan disusun oleh material litik. Batuan Piroklastik yang terbentuk melalui ekstrusif mengalami pelapukan, kemudian tererosi dan tertransportasi ke daerah cekungan dan terendapakan membentuk sedimen tufa yang disebut dengan batuan epiklastik. Batuan epiklastik adalah batuan yang bahan penyusunnya berasal dari pelapukan batuan vulkanik, termasuk juga batuan piroklastik serta bahan hasil jatuhan piroklastik yang terangkat sebelum mengalami pelapukan.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini sayatan tipis batuan yang akan diamati adalah: • Sampel 1
Sampel pertama dengan nomor peraga 122/PUMICE ini diamati dengan menggunakan lensa okuler perbesaran 10x dan lensa objektif perbesaran 5x. Pembesaran total adalah 50x, diperoleh dari nilai pembesaran objektif dikali nilai pembesaran okuler. Bilangan skala diperoleh dari 1/pembesaran total, dengan nilai 0,02. Sifat optik yang dapat diamati adalah warna absorbsi transparan sampai kecoklatan, bentuk mineral euhedral sampai anhedral dilihat dari kenampakan bidang batasnya mulai dari yang sangat jelas hingga tidak jelas. Ukuran mineral 0,06 mm – 0,9 mm. Warna interferensi kuning kemerahan. Tekstur yang teramati adalah tekstur welded tuff, dimana komponen penyusun batuan piroklastik seperti pumice mengalami deformasi. Batuan ini mengandung mineral piroksen dan plagioklas, kristal, ash, dan glass.
Nikol Sejajar
Nikol Silang
Deskripsi Mineral:
Piroksen Warna absorbsi transparan, bentuk mineral ini adalah euhedral sampai subhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang sangat jelas hingga tidak jelas. Pleokroisme dwikroik ditandai dengan adanya perubahan warna mineral dua kali saat meja objek diputar 90°. Relief atau batas antara mineral ini adalah rendah, dengan intensitas lemah dibuktikan dengan kekuatan cahaya yang teramati pada mineral. Pecahan mineral ini rata dan mempunyai belahan 2 arah dilihat dari adanya 2 garis yang menerus pada bidang mineral yang saling berpotongan membentuk sudut >90°. Indeks bias diketahui dengan menggunakan metode iluminasi miring. Ukuran mineral 0,06 – 0,5 mm. Warna interferensi kemerahan. Sudut gelapan sebesar 52,5° yang menunjukkan bahwa mineral tersebut memiliki gelapan miring. Mineral ini tidak mempunyai kembaran, maka dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan mineral tersebut adalah Piroksen.
Plagioklas Warna absorbsi transparan, bentuk mineral ini adalah subhedral sampai anhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang kurang jelas hingga tidak jelas. Pleokroisme dwikroik ditandai dengan adanya perubahan warna mineral dua kali saat meja objek diputar 90°. Relief atau batas antara mineral ini adalah sedang, dengan intensitas sedang dibuktikan dengan kekuatan cahaya yang teramati pada mineral. Pecahan mineral ini rata dan mempunyai belahan 1 arah dilihat dari adanya 2 garis yang menerus pada bidang mineral yang saling.
Indeks bias diketahui dengan menggunakan metode iluminasi miring. Ukuran mineral 0,08 – 0,9 mm. Warna interferensi abu-abu kehitaman. Sudut gelapan sebesar 32,5° yang menunjukkan bahwa mineral tersebut memiliki gelapan miring. Mineral ini tidak mempunyai kembaran, maka dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan mineral tersebut adalah Plagioklas.
Kristal Warna transparan, bentuk subhedral-anhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang kurang jelas hingga tidak jelas, warna interfe rensi putih.
Ash
Glass
Persentase Mineral :
Mineral
I(%)
II(%)
III(%)
Total
Piroksen
15
15
25
18.33 %
Plagioklas
13
10
7
10%
Kristal
20
25
18
21%
Ash
5
10
3
6%
Glass
47
40
47
44.67%
Berdasarkan klasifikasi Heinrich (1956), diketahui bahwa komposisi gelas adalah 44.67% dan komposisi kristal adalah 21%. Maka nama batuan ini adalah Crystal Vitric Tuff (Pettijohn,1975).
Vitric Crystal Tuff
Vitric Tuff
Glass
100
Petrogenesa
75
50
25
0
75
Crystal Vitric Tuff
50
100
Crystal
Crystal Tuff
25
0
: Komposisi dominan terdiri atas kristal, sedangkan gelas
dijumpai berjumlah sedikit Tufa kristal riolitik, yaitu kristal kuarsa, sanidin, biota, hornblende, lain yang terkadang dijumpai seperti augit. Tufa kristal yang mengandung tridimit. Tufa kristal dasitik, yaitu hornblende, hipersten, andesin, magnetit dan augit banyak dijumpai pada trasit. Sedangkan pada tufa qistal basalitik, tersusun atas olivin, augit, magnetit dan labradorit.
Sampel 2
Sampel kedua dengan nomor peraga ST. MS 2 ini diamati dengan menggunakan lensa okuler perbesaran 10x dan lensa objektif perbesaran 5x. Pembesaran total adalah 50x, diperoleh dari nilai pembesaran objektif dikali nilai pembesaran okuler. Bilangan skala diperoleh dari 1/pembesaran total, dengan nilai 0,02. Sifat optik yang dapat diamati adalah warna absorbsi transparan, bentuk mineral euhedral sampai anhedral dilihat dari kenampakan bidang batasnya mulai dari yang sangat jelas hingga tidak jelas, ukuran mineral 0,05 – 1,08 mm. Warna interferensi abu-abu kemerahan. Tekstur lightly compacted tuff, dimana material
gelas bentuknya tidak teratur dan belum mengalami deformasi. Komposisi material mineral kuarsa dan piroksen, kristal dan ash
Nikol Sejajar
Nikol Silang
Deskripsi Mineral :
Kuarsa Warna absorbsi transparan, bentuk mineral ini adalah euhedral sampai subhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang kurang jelas hingga kurang jelas. Pleokroisme tidak ada ditandai dengan tidak adanya perubahan warna mineral dua kali saat meja objek diputar 90°. Relief atau batas antara mineral ini adalah rendah, dengan intensitas lemah dibuktikan dengan kekuatan cahaya yang teramati pada mineral. Pecahan dan belahan mineral ini tidak ada dilihat dari tidak adanya garis yang menerus pada bidang mineral yang saling memotong. Indeks bias diketahui dengan menggunakan metode iluminasi miring. Ukuran mineral 0,05 – 1,08 mm. Warna interferensi putih. Sudut gelapan sebesar 28° yang menunjukkan bahwa mineral tersebut memiliki gelapan miring. Mineral ini tidak mempunyai kembaran, maka dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan mineral tersebut adalah Kuarsa.
Piroksen Warna absorbsi kecoklatan, bentuk mineral ini adalah euhedral sampai subhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang sangat jelas hingga kurang jelas. Pleokroisme dwikroik ditandai dengan adanya perubahan warna mineral dua kali saat meja objek diputar 90°. Relief atau batas antara mineral ini adalah sedang, dengan intensitas sedang dibuktikan dengan kekuatan cahaya yang teramati pada mineral. Pecahan mineral ini rata dan mempunyai belahan 2 arah dilihat dari adanya 2 garis yang menerus pada bidang mineral yang saling memotong membentuk sudut >90°.
Indeks bias
diketahui dengan menggunakan metode iluminasi miring. Ukuran mineral 0,1 – 0,6 mm. Warna interferensi kemerahan. Sudut gelapan sebesar 48° yang menunjukkan bahwa mineral tersebut memiliki gelapan miring. Mineral ini tidak mempunyai kembaran, maka dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan mineral tersebut adalah Piroksen.
Kristal
Ash
Persentase Mineral :
Mineral
I(%)
II(%)
III(%)
Total
Kuarsa
5
10
4
6,33%
Piroksen
7
5
6
6%
Kristal
12
15
13
13,3%
Ash
76
70
77
74,33%
Klasifikasi
Vitric Crystal Tuff
Vitric Tuff
Glass
100
75
50
25
0
Crystal Vitric Tuff
100
Crystal
Crystal Tuff
0 25 50 Berdasarkan klasifikasi Heinrich (1956), diketahui bahwa komposisi gelas 75
adalah 74.33% dan komposisi kristal adalah 13,3%. Maka nama batuan ini adalah Vitric Crystal Tuff (Pettijohn,1975). Petrogenesa
: Menurut Heinrich (1956), penyusun utama crystal vitric tuff
terdiri atas gelas. Tufa vitrik merupakan hasil endapan primer material letusan gunungapi. Komposisi umumnya bersifat riolitik, meskipun juga dijumpai berkomposisi dasitik, trasitik, andesitik dan basaltik. Kepingan gelas umumnya mempunyai bentuk meruncing. Inklusi-inklusi magnetit banyak dijumpai dalam gelas. Gelas biasanya tidak berwarna, tetapi apabila berkomposisi basaltik berwama kuning sampai coklat. Fragmen-fragmen berupa kristal dan fosil terkadang dijumpai, walaupun dalam prosentase yang kecil. Mineral-mineral bisa berupa mineral penyusun riolit, andesit dan lain-lain. Mineral skunder yang hadir antara lain kalsit, opal, kalsedon, kuarsa, oksidaoksida besi dan lain-lain.
Beberapa tufa vitrik yang mengendap dalam tubuh air tersemen oleh kalsit, Heinrich (1956). Tufa vitrik umumnya bertekstur vitroclastic, yaitu kepingankepingan gelas terletak dalam matrik yang berupa abu gelas yang sangat halus, Williams, Turner dan Gilbert (1954).
Sampel 3
Sampel ketiga dengan nomor peraga AT 10A ini diamati dengan menggunakan lensa okuler perbesaran 10x dan lensa objektif perbesaran 5x. Pembesaran total adalah 50x, diperoleh dari nilai pembesaran objektif dikali nilai pembesaran okuler. Bilangan skala diperoleh dari 1/pembesaran total, dengan nilai 0,02. Sifat optik yang dapat diamati adalah
Nikol Sejajar
Nikol Silang
Deskripsi Mineral :
Piroksen Warna absorbsi transparan, bentuk mineral ini adalah subhedral sampai anhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang kurang jelas hingga tidak jelas. Pleokroisme dwikroik ditandai dengan adanya perubahan warna mineral dua kali saat meja objek diputar 90°. Relief atau batas antara mineral ini adalah tinggi, dengan intensitas kuat dibuktikan dengan kekuatan cahaya yang teramati pada mineral. Pecahan mineral ini rata dan mempunyai belahan 2
arah dilihat dari adanya 2 garis yang menerus pada bidang mineral yang saling memotong membentuk sudut >90°. Indeks bias diketahui dengan menggunakan metode iluminasi miring. Ukuran mineral 0,08 – 0,4 mm. Warna interferensi kemerahan. Sudut gelapan sebesar 46° yang menunjukkan bahwa mineral tersebut memiliki gelapan miring. Mineral ini tidak mempunyai kembaran, maka dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan mineral tersebut adalah Piroksen.
Hornblende Warna absorbsi transparan, bentuk mineral ini adalah subhedral sampai anhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang kurang jelas hingga tidak jelas. Pleokroisme dwikroik ditandai dengan adanya perubahan warna mineral dua kali saat meja objek diputar 90°. Relief atau batas antara mineral ini adalah tinggi, dengan intensitas kuat dibuktikan dengan kekuatan cahaya yang teramati pada mineral. Pecahan mineral ini tidak rata dan mempunyai belahan 2 arah dilihat dari adanya 2 garis yang menerus pada bidang mineral yang saling memotong membentuk sudut 60°. Indeks bias diketahui dengan menggunakan metode iluminasi miring. Ukuran mineral 0,04 – 0,7 mm. Warna interferensi coklat. Sudut gelapan sebesar 47,5° yang menunjukkan bahwa mineral tersebut memiliki gelapan miring. Mineral ini tidak mempunyai kembaran, maka dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan mineral tersebut adalah Hornblende.
Ortoklas
Warna absorbsi transparan, bentuk mineral ini adalah subhedral sampai anhedral dimana kenampakan tepi mineral ada yang kurang jelas hingga tidak jelas. Pleokroisme tidak ada ditandai dengan tidak adanya perubahan warna mineral saat meja objek diputar 90°. Relief atau batas antara mineral ini adalah rendah, dengan intensitas lemah dibuktikan dengan kekuatan cahaya yang teramati pada mineral. Pecahan mineral ini tidak rata dan mempunyai belahan 1 arah dilihat dari adanya 1 garis yang menerus pada bidang mineral. Indeks bias diketahui dengan menggunakan metode iluminasi miring. Ukuran mineral 0,08 – 0,5 mm. Warna interferensi putih keabuan. Sudut gelapan sebesar 27° yang menunjukkan bahwa mineral tersebut memiliki gelapan miring. Mineral ini tidak mempunyai kembaran, maka dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan mineral tersebut adalah Ortoklas.
Ash
Persentase Mineral :
Mineral
I(%)
II(%)
III(%)
Total
Piroksen
67%
14%
63%
48%
Hornblende
18%
10%
14%
14%
Kalsit
10%
68%
17%
31,67%
Ash
5%
8%
6%
6,33
Klasifikasi
Vitric Crystal
Vitric Tuff
Glass
100
75
50
25
0
Tuff
Crystal Vitric Tuff
100
Crystal
Crystal Tuff
0 25 50 Berdasarkan klasifikasi Pettijohn (1975), diketahui bahwa komposisi gelas 75
adalah 74.33% dan komposisi kristal adalah 13,3%. Maka nama batuan ini adalah Vitric Crystal Tuff (Pettijohn,1975). Petrogenesa
: Menurut Heinrich (1956), penyusun utama crystal vitric
tuff terdiri atas gelas. Tufa vitrik merupakan hasil endapan primer material letusan gunungapi. Komposisi umumnya bersifat riolitik, meskipun juga dijumpai berkomposisi dasitik, trasitik, andesitik dan basaltik. Kepingan gelas umumnya mempunyai bentuk meruncing. Inklusi-inklusi magnetit banyak dijumpai dalam gelas. Gelas biasanya tidak berwarna, tetapi apabila berkomposisi basaltik berwama kuning sampai coklat. Fragmen-fragmen berupa kristal dan fosil terkadang dijumpai, walaupun dalam prosentase yang kecil. Mineral-mineral bisa berupa mineral penyusun riolit, andesit dan lain-lain.
Mineral skunder yang hadir antara lain kalsit, opal, kalsedon, kuarsa, oksidaoksida besi dan lain-lain. Beberapa tufa vitrik yang mengendap dalam tubuh air tersemen oleh kalsit, Heinrich (1956). Tufa vitrik umumnya bertekstur vitroclastic, yaitu kepingankepingan gelas terletak dalam matrik yang berupa abu gelas yang sangat halus, Williams, Turner dan Gilbert (1954).
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Komposisi material batuan karbonat pada sampel satu adalah mineral kuarsa, material grain berupa fosil planktonik dan bentonik, dan semen. Pada sampel kedua komposisi materialnya adalah grain berupa ooid dan mud. Sedangkan pada sampel ketiga komposisi mineralnya adalah kalsit dan dolomit. 2. Nama batuan pada sampel pertama adalah Packstone, pada sampel kedua adalah Grainstone, dan pada sampel ketiga adalah Wackestone. 3. Tekstur yang terdapat pada sampel pertama adalah tekstur bioklastik, pada sampel kedua tekstur bioklastik, dan pada sampel ketiga adalah tekstur chemical klastik. 4.2 Saran
Dengan
mempelajari
kenampakan
petrografis
batuan
piroklastik
diharapkan praktikan dapat mengaplikasikannya secara nyata saat melakukan pengamatan dalam pembuatan laporan pemetaan maupun tugas akhir, serta pemanfaatannya dalma dunia kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Graha, Doddy Setia.1987. Batuan dan Mineral .Nova : Bandung. Irfan, Ulva Ria. 2014. Mineral Optik . Laboratorium Mineral Optik Teknik Geologi Universitas Hasanuddin : Makassar. Kerr, Paul F. 1977. Optical Mineralogy Third Edition. McGraw-Hill: London. M.S, Kaharuddin.1988. Penuntun Praktikum Petrologi. Makassar : HMG FT-UH. M, Soekardi.1985.Penuntun Praktikum Petrografi.Lab Petrografi UGM : Yogyakarta. Simon & Schuster. 1977. Rocks and Mineral . New York. Sutarto, Dwi Fitri Yudiantoro.2005.Album Mineralogi Optik, Mineral Pembentuk Batuan.Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian UPN : Yogyakarta. Tim Asisten Laboratorium Petrografi.2014. Penuntun Petrografi.Laboratorium Petrografi Universitas Hasanuddin : Makassar.