1
Perkembangan APBD, BP dan BAD
Tahun
NILAI PERKEMBANGAN (%)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
1.1. Latar Belakang 3
1.2. Permasalahan 6
1.3.1. Tujuan 7
1.3.2. Manfaat 7
BAB II 9
TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1. Landasan Teori 9
2.1.1. Konsep Keuangan Negara dan Daerah 9
2.1.2. Konsep Anggaran Belanja Daerah 14
2.1.2.1. Anggaran Belanja Daerah 15
2.1.2.2. Deskripsi Belanja Daerah 15
2.1.3. Pengertian APBD 19
2.1.4. Proporsi APBD 21
2.1.5. Proses Penyusunan Anggaran Belanja Daerah 21
2.1.6. Konsep Pertumbuhan ekonomi 23
2.1.7. Konsep PDRB 26
2.1.8. Pengaruh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Terhadap Produk Domestik Regional Bruto 28
2.2. Penelitian Sebelumnya 30
2.3. Kerangka Pemikiran 32
2.4. Hipotesis 35
BAB III 36
METODE PENELITIAN 36
3.1. Metode Penelitian 36
3.2. Jenis dan Sumber Data 36
3.3. Metode Pengumpulan Data 36
3.4. Metode Analisis Data 37
3.4.1. Perkembangan APBD 37
3.4.2. Proporsi Keuangan Terhadap APBD Kota Jambi 38
3.4.2.1. Proporsi belanja aparatur daerah 38
3.4.2.2. Proporsi belanja pelayanan publik 38
3.4.3. Elastisitas APBD 39
3.5. Operasionai Variabel 39
BAB IV 41
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41
4.1. Keadaan Geografis 41
4.2. Kependudukan 42
4.3. Struktur Perekonomian Kota Jambi 44
BAB V 50
PEMBAHASAN 50
5.1. Perkembangan APBD dan Komponen- komponennya 50
5.2. Perkembangan Proporsi Belanja Pelayanan Publik dan Belanja 54
5.3. Proporsi APBD, Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur 56
5.4. Elastisitas APBD Terhadap PDRB 59
BAB VI 62
KESIMPULAN DAN SARAN 62
6.1. Kesimpulan 62
6.2. Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 65
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 40
Luas Kecamatan Dalam Kota Jambi Tahun 2006 40
Tabel 4.2.1 41
Jumlah Penduduk Kota Jambi Tahun 2000-2006 (Dalam Jiwa) 41
Tabel 4.2.2 42
Luas Wilayah, Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Jambi Menurut Kecamatan Tahun 2006. 42
Tabel 4.3.1 44
Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi Atas Dasar Harga Konstan 2000Menurut Lapangan Usaha 2000-2006 (Dalam Jutaan Rupiah) 44
Tabel 4.3.2 46
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000-2006 (%) 46
Tabel 5.1.1 48
Total dan Perkembangan APBD Periode 2001-2006 48
Tabel 5.1.2 50
Total dan Perkembangan Balanja pelayanan Publik dan Belanja Aparatur Daerah 50
Periode 2001-2006 50
Tabel 5.2 53
Proporsi Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur Daerah Serta 53
Perkembangannya Terhadap APBD (%) 53
Tabel 5.3.1 55
Proporsi APBD, BP dan BAD Terhadap PDRB Periode 2001-2006 55
Tabel 5.3.2 56
Perkembangan Proporsi APBD, Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur Daerah Terhadap PDRB Kota Jambi Periode 2001-2006 56
Tabel 5.4 58
Elastisitas APBD Terhadap PDRB Kota Kambi Periode 2001-2006 58
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 struktur APBD disusun berdasarkan anggaran kinerja. Ini berbeda dari peraturan sebelumnya yaitu Permendagri No, 11 tahun 1975 yang berbasis pada anggaran tradisional. Selain itu hal yang menjadi perbedaan mendasar antara Permendagri No. 11 tahun 1975 dengan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 antara lain dapat dilihat dari sistem anggarannya. Permendagri No. 11 tahun 1975 bersistem anggaran surplus dan defisit. Permendagri No. 11 tahun 1975 APBD terdiri dari pendapatan dan belanja yang kemudian dibagi lagi menjadi biaya rutin dan biaya pembangunan. Dan pada masa ini pun belanja tidak dipisahkan ke belanja aparatur daerah dan belanja publik. Berbeda halnya dengan Kepmendagri No. 29 tahun 2002, APBD terbagi atas pendapatan, belanja dan pembiayaan. Belanja dalam Kepmen ini dipisahkan menjadi belanja aparatur daerah dan belanja publik. Belanja aparatur daerah dan belanja publik juga dibagi menjadi Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasional dan Pemeliharaan, serta Belanja Modal.
Berubah nya Permendagri No. 11 tahun 1975 menjadi Kepmendagri No. 29 tahun 2002 dikarenakan Permendagri No. 11 tahun 1975 di anggap tidak efisien dan efektif lagi untuk digunakan. Akibatnya penggunaan Kepmendagri No.29 tahun 2002 mulai diterapkan tahun 2005. Namun setelah diperhatikan selama 1 tahun berjalan, penerapan Kepmendagri No.29 tahun 2002 ini juga belum menunjukan suatu bentuk keefektifan dan keefisienan di dalam sistem anggaran. Maka karena dianggap penerapan Kepmendagri ini belum tepat maka penerapan Kepmendagri ini hanya berlaku selama 2 tahun saja yaitu tahun 2005 sampai tahun 2006 dan di tahun 2006 di buat lagi peraturan baru yang mendasari APBD yaitu Permendagri No. 13 tahun 2006. Namun penerapan Permendagri ini baru berlaku di tahun 2007 hingga sekarang.
Salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang harus di atur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau APBD merupakan instrument kebijakan utama bagi pemerintah daerah, menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah seharusnya digunakan sebagai alat untuk menentukan besamya pendapatan dan belanja, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembagian serta alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang dan ukuran standar untuk menilai kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktifitas pada berbagai unit kerja.
Dalam perkembangannya, Kota Jambi memiliki APBD yang terus berfluktuasi dari tahun ke tahun. Di tahun 2001 APBD sebesar 547.517 juta rupiah dengan jumlah belanja publik sebesar 55.550 juta rupiah dan belanja aparatur daerah sebesar 173.405 juta rupiah. Besaran-besaran ini terus meningkat di tahun 2003 dengan total APBD sebesar 1.199.027 juta rupiah. Dengan besamya nilai belanja aparatur daerah masih tetap tinggi dibandingkan dengan belanja publik yaitu 366.228 juta rupiah dan 185.624 juta rupiah. Namun di tahun 2004 kondisi ini berbalik, besamya belanja publik jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja aparatur daerah yaitu 223.605 juta rupiah untuk belanja publik dan 74.120 juta rupiah untuk belanja aparatur daerah.
Dengan kondisi ini tentu saja total APBD tahun 2003 menurun dari tahun sebelumnya, yaitu hanya sebesar 595.451 juta rupiah. Namun penurunan jumlah APBD ini tidak berlangsung terus-menerus melainkan hanya dari tahun 2003 ke tahun 2004 saja. Untuk selanjutnya total APBD mengalami peningkatan kembali di tahun-tahun berikutnya. Hingga di tahun 2006 total APBD telah mencapai sebesar 967.408 juta rupiah dengan besamya belanja publik 312.214 juta rupiah dan belanja aparatur daerah sebesar 171.489 juta rupiah. Dari tahun 2004 hingga tahun 2006 jumlah belanja publik lebih besar daripada jumlah aparatur daerah. Ini berarti bahwa proses pembangunan di Kota Jambi telah menunjukkan hasil yang signifikan.
Selain dari besamya belanja publik, kemajuan suatu daerah dan tinggi rendahnya suatu perekonomian dapat dilihat dari PDRB. Di Kota Jambi nilai PDRB dari tahun 2001 hingga tahun 2006 meningkat. Pada tahun 2001 jumlah PDRB sebesar 2.202.337 juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar 9,74%. Pada tahun 2002 jumlah PDRB meningkat menjadi 2.472.827 juta rupiah dengan laju pertumbuhan 12,28%. Di tahun 2003 total PDRB mencapai 2.779.409 juta rupiah dengan laju pertumbuhan 12,39%. Di tahun berikutnya laju pertumbuhan PDRB meningkat sebesar 13,5% dan tahun berikutnya lagi meningkat 16,29%. Peningkatan nilai total PDRB dan laju pertumbuhan Kota Jambi terus meningkat hingga di tahun 2006 total PDRB telah mencapai 4.851.610 juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar 32,24%. Ini menunjukkan bahwa pembangunan Kota Jambi meningkat sebesar 32,24% dari tahun sebelumnya. Apabila dilihat dari perkembangan APBD dan PDRB terdapat indikasi bergerak parallel, berarti ada kaitan antara perkembangan APBD dengan PDRB. APBD sangat berpengaruh terhadap PDRB karena besamya biaya yang dianggarkan untuk setiap sektor akan berpengaruh kepada besamya nilai PDRB. Namun sebatas mana tingkat keelastisitasannya terhadap PDRB, itulah yang akan dibahas dan di ulas dalam skripsi ini yang berjudul "Analisis APBD Kota Jambi Periode 2001-2006".
Permasalahan
Mencermati akan kondisi perekonomian Kota Jambi dari aspek keelastisitasan, proporsi anggaran pemerintah daerah Kota Jambi dan berdasarkan deskripsi latar belakang permasalahan, maka yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana keelastisitasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi Periode 2001 sampai 2006.
Penekanan penelitian ini pada permasalahan, yaitu:
Bagaimana perkembangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan komponen- komponennya dalam periode 2001-2006
Bagaimana perkembangan proporsi Belanja Aparatur Daerah dan Belanja Pelayanan Publik terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Jambi periode 2001-2006.
Berapa besar proporsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Belanja Aparatur Daerah dan Anggaran Publik terhadap Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi periode 2001-2006.
Berapa besar elastisitas Anggaran Pendapatan Belanja Daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi periode 2001-2006.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat kaitan antara keelastisitasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi Periode 2001 sampai 2006. Secara khusus penelitian ini bertujuan:
Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana perkembangan APBD dan komponen-komponennya dalam periode 2001-2006.
Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana perkembangan proporsi Belanja Aparatur Daerah dan Belanja Pelayanan Publik terhadap APBD Kota Jambi periode 2001 -2006.
Untuk menganalisis proporsi APBD, Belanja Aparatur Daerah dan Anggaran Publik terhadap PDRB Kota Jambi periode 2001-2006.
Untuk mengetahui dan menganalisis elastisitas APBD terhadap PDRB Kota Jambi periode 2001-2006.
Manfaat
Pada dasamya hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan ilmuwan, yang dijelaskan sebagai berikut:
Manfaat Akademis
Secara akademisi hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber bacaan dan referensi bagi peneliti yang tertarik mengkaji topik yang sama dalam bidang alokasi APBD.
Manfaat Praktis
Secara praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pihak pelaksana dalam penyusunan dan pengalokasian APBD, khususnya pada Badan Perencana dan Pengawasan Daerah (BAPPEDA).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Konsep Keuangan Negara dan Daerah
Semakin meningkatnya peranan pemerintah dapat dilihat dari semakin besamya pengeluaran pemerintah dalam proporsi nya terhadap penghasilan daerah. Pengeluaran pemerintah dalam arti nil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang di biayai oleh pengeluaran pemerintah itu. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah maka akan semakin besar pula pengaturan pemerintah yang bersangkutan. Tetapi hendaknya kita sadari bahwa proporsi pengeluaran pemerintah terhadap penghasilan nasional bruto (GNP) adalah suatu ukuran yang sangat kasar terhadap kegiatan / peranan pemerintah dalam suatu perekonomian.
Menurut Soeparmoko (1989) yang dimaksud dengan keuangan negara ialah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang di harapkan dalam jangka waktu tertentu, yang biasa adalah satu tahun Ada budget yang disusun berdasarkan atas tahun kalender yaitu mulai tanggal 1 Januari dan ditutup pada tanggal 31 Desember dari tahun yang bersangkutan, tetapi ada pula yang tidak dimulai pada tanggal 1 Januari dan diakhiri pada bukan tanggal 31 Desember. Sejak tahun 1969 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Namun pada tahun 2000 anggaran disusun berdasarkan tahun kalender.
Menurut Erwin dalam Basri dan Subri (2003) keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut. Menurut syamsi (1986) adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik uang maupun barang) yang menjadi kekayaan negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Di sisi Iain Basridan Subri (2003) mendefinisikan keuangan negara semua kekayaan negara yang bukan semata-mata terdiri dari semua hak, juga meliputi semua kewajiban, Semua hak dan kewajiban itu baru bisa dinilai dengan uang apabila dilaksanakan. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang maupun barang yang menjadi kekayaan negara dan semua itu baru bisa dinilai dengan uang apabila telah dilaksanakan. Keuangan negara terdiri dari beberapa komponen pengeluaran dan pendapatan. Komponen pengeluaran terbagi dalam belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik. Pengeluaran disusun berdasarkan pendapatan yang diterima oleh negara. Pada pokoknya pendapatan negara dikelompokkan ke dalam pendapatan yang berasal dari dalam negeri dan pendapatan yang berasal dari luar negeri. Pendapatan dari luar negeri seperti ekspor dan transfer tenaga kerja Indonesia. Pendapatan dari dalam negeri minyak dan gas bumi serta penerimaan bukan pajak lainnya.
Dalam konteks pembangunan daerah, posisi keuangan daerah adalah bagian dari posisi keuangan negara. Oleh karena itu secara konseptual Bratakusumah dan Solihin (2001) secara tersirat menggambarkan bahwa fungsi alokasi merupakan proporsi terpenting dalam keuangan daerah. Hal lainnya juga diungkapkan oleh Reksohadiprodjo (2001) bahwa keuangan daerah mengacu kepada perencanaan pembangunan daerah, pola dasar pembangunan daerah.
Menurut Yani (2002) menggambarkan keuangan daerah sebagai suatu kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan fungsi nya secara efektif. Devas (1987) secara implisit menterjemahkan keuangan daerah sebagai suatu pelimpahan fungsi atau wewenang kepada daerah yang berkaitan dengan masalah keuangan. Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa keuangan daerah adalah pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah terhadap fungsi alokasi, khususnya alokasi keuangan pusat pada daerah otonom, dimana di dalamnya terdapat keterkaitan yang erat dengan perencanaan pembangunan daerah.
Memperhatikan pemahaman terhadap keuangan daerah diatas maka sebenamya keuangan daerah mencakup dua komponen penting sebagaimana pada keuangan negara yaitu fungsi penerimaan dan pengeluaran. Fungsi penerimaan berkaitan erat dengan sumber-sumber penerimaan daerah, termasuk di dalamnya adalah bantuan pemerintah pusat. Sementara fungsi pengeluaran berkaitan erat dengan memanfaatkan dana yang ada untuk pembangunan daerah yang sesuai dengan perencanaan pembangunan di daerah.
Mengingat tugas dan fungsi pemerintah daerah yang secara kualitatif dan kuantitatif terus meningkat, konsekuensi nya menuntut dana yang lebih besar untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Sehingga perlu diupayakan agar daerah memiliki sumber penerimaan yang ideal yaitu sumber penerimaan yang mempunyai sifat tetap dan selalu mengalami kenaikan. Dalam arti selalu dapat diharapkan masuk ke kas negara dan mengalami kenaikan yang paralel dengan kebutuhan masyarakat (Soetrisno,1984).
Kebijaksanaan dalam mencapai sasaran pembiayaan pembangunan dari pemerintah daerah dapat dilaksanakan melalui kebijaksanaan yang sesuai antara usaha peningkatan pendapatan atau penerimaan dengan usaha-usaha pengalokasian dalam pelaksanaan pembangunan. Menurut Kamaluddin (1986) kebijaksanaan dari segi penerimaan meliputi:
Kebijaksanaan untuk mengusahakan peningkatan bantuan penerimaan pusat dalam bentuk subsidi pembangunan.
Kebijaksanaan dalam usaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Secara umum usaha-usaha tersebut dapat dicapai dengan jalan, "mendorong peningkatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat terutama yang berkaitan dengan objek pajak dan retribusi" (Kamaluddin, 1986). Sejalan dengan pendapatan diatas Tjokroamidjoyo (1995) menyatakan penerimaan keuangan daerah adalah sebagai berikut:
Dari pendapatan melalui pajak yang sepenuhnya diserahkan kepada daerah dan bukan merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Penerimaan dari jasa-jasa pelayanan daerah seperti retribusi, tarif perizinan tertentu, dan Iain-lain.
Pendapatan-pendapatan daerah yang diperoleh dari keuntungan-keuntungan perusahaan daerah.
Penerimaan daerah dari perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pendapatan daerah karena pemberian subsidi secara langsung atau penggunaannya ditentukan untuk daerah.
Bantuan pemerintah pusat sangat bersifat khusus karena keadaan tertentu.
Penerimaan daerah yang didapat dari pinjaman- pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Hasil penerimaan yang diperoleh pemerintah daerah dapat dipergunakan oleh daerah untuk keperluan pembiayaan aparatur daerah dan pembiayaan pubik. Jadi sehatnya keuangan daerah akan tercermin dari meningkatnya bagian yang dapat dipergunakan bagi pengeluaran pembiayaan publik. Sehatnya keuangan daerah di dalam pelaksanaan pembiayaan pembangunan daerah hams tetap mempertimbangkan hal-hal tertentu, pertimbangan-pertimbangan tersebut menurut Tjokroamidjoyo (1995) adalah :
Pembiayaan pembangunan yang dilakukan oleh daerah harus konsisten dengan pembiayaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat di daerah tersebut.
Lebih baik pengeluaran pembangunan daerah dilakukan dalam rangka perencanaan pembangunan daerah dan dicerminkan dalam suatu anggaran pembangunan belanja negara.
Pengeluaran pembiayaan pembangunan daerah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi dan atas dasar ongkos serta manfaat. Dalam usaha memberdayakan perekonomian daerah pemerintah telah berupaya mengatur sumber- sumber penerimaan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Dana perimbangan terdiri dari ; a), bagian daerah dari penerimaan pajak penghasilan perseorangan, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam (SDA), (b), dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Konsep Anggaran Belanja Daerah
Dalam rangka menerapkan RAPBD, pemerintah daerah bersama-sama DPRD menyusun arah dan kebijakan umum APBD yang memuat petunjuk dan ketentuan-ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman dalam menyusun APBD. Kebijakan anggaran yang dimuat dalam arah dan kebijakan umum APBD, selanjutnya menjadi dasar untuk penilaian kinerja keuangan daerah selama satu tahun anggaran.
Arah dan kebijakan umum APBD membuat komponen-komponen pelayanan dan tingkat pencapaian yang diharapkan pada setiap kewenangan pemerintah daerah yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Komponen dan kinerja pelayanan yang diharapkan tersebut disusun berdasarkan aspirasi masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan daerah termasuk kinerja pelayanan yang telah dicapai dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya.
Anggaran Belanja Daerah
Anggaran belanja daerah disusun berdasarkan sejumlah asumsi yang untuk mencapainya sering dijumpai berbagai permasalahan, kendala dan tantangan. Oleh karenanya diperlukan strategi atau cara tertentu yang diharapkan dapat memperlancar atau mempercepat pencapai annya. Prioritas diperlukan karena adanya keterbatasan sumberdaya untuk mencapai tingkat pencapaian pelayanan yang diinginkan dalam Arah dan Kebijakan Umum APBD (Kepmendagri No.29Tahun 2002).
Deskripsi Belanja Daerah
Pada sistem anggaran belanja yang berbasis kinerja alokasi belanja dikelompokkan sebagai berikut:
Belanja pelayanan Publik
Belanja pelayanan publik adalah bagian belanja berupa: belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik) (Anonim, 2002).
Belanja Aparatur Daerah
Belanja aparatur daerah adalah bagian belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat.
Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
Menurut Halim (2002), belanja transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan keuntungan dari pengalihan uang tersebut, belanja transfer ini terdiri dari angsuran pinjaman, dana bantuan dan dana cadangan. Belanja bagi hasil bantuan keuangan merupakan pengeluaran uang dengan kriteria sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):
Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti yang layak terjadi dalam interaksi pembelian dan penjualan.
Tidak diharapkan dibayar kembali di masa yang akan datang seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.
Tidak mengharapkan adanya pendapatan seperti layaknya yang diharapkan pada kegiatan investasi
Menurut Halim (2002), belanja transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan keuntungan dari pengalihan uang tersebut, belanja transfer ini terdiri dari angsuran pinjaman, bantuan dan cadangan.
Belanja Tidak Tersangka
Belanja tidak tersangka merupakan pengeluaran yang disediakan untuk (Mardiasmo, 2002) yang terdiri dari :
Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah
Utang (pinjaman) periode sebelumnya yang belum diselesaikan dan atau yang tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan
Pengembalian penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.
Menurut Halim (2002), belanja tak tersangka merupakan pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa.
Belanja Administrasi Umum
Belanja administrasi umum adalah belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegiatan non investasi (tidak menambah asset). Belanja administrasi terdiri dari: belanja pegawai/personalia, belanja barang dan jasa , belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharaan.
Menurut Bastian (2002), belanja administrasi umum adalah belanja untuk melaksanakan kegiatan pelayanan aparatur yang tidak mengakibatkan penambahan kekayaan (asset). Menurut Halim (2002), belanja administrasi umum adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktifitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja administrasi umum terdiri dari empat jenis; (1), Belanja Pegawai ; (2), Belanja Barang; (3),Belanja Perjalanan Dinas; dan (4), Belanja Pemeliharaan.
Belanja pegawai merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk orang atau personal yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktifitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai. Belanja pegawai meliputi: Biaya gaji dan tunjangan pegawai, biaya perawatan kesehatan dan pengobatan, biaya pengembangan sumberdaya manusia.
Belanja barang merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Belanja barang terdiri atas: biaya bahan habis pakai, biaya jasa kantor, biaya cetak dan penggandaan, biaya langganan dan biaya pakaian dinas. Belanja. Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya pegawai dan dewan yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik. Belanja pemeliharaan merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.
Belanja Operasi dan Pemeliharaan
Belanja operasi dan pemeliharaan adalah belanja langsung yang digunakan membiayai kegiatan non investasi (Anonim, 2002). Belanja operasi dan pemeliharaan terdiri dari belanja pegawai personalia, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharaan.
Belanja Modal
Belanja modal/pembangunan adalah belanja langsung yang tidak digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah asset) (Anonim,2002). Menurut Bastian (2002), belanja modal/ investasi adalah belanja yang mengakibatkan penambahan kekayaan.
Belanja modal/ investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaan (Halim, 2002).
Pengertian APBD
Bana (2001), APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah, Dengan demikian APBD lalu merupakan alat/ wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program dimana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar akan dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pengaturan pengeluaran pemerintah daerah diatur di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pengeluaran pemerintah daerah pada umumnya terns meningkat dari tahun ke tahun, faktor penyebabnya disamping meningkatnya kegiatan pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, juga disebabkan. oleh adanya sistem dalam penyusunan rencana anggaran yang masih lemah. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pada umumnya, unit kerja pemerintah daerah belum menjalankan fungsi dan perannya secara efisien, pemborosan adalah fenomena yang muncul karena pendekatan umum (instrumentalism) yang digunakan dalam penentuan besamya perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, jumlah penduduk meningkat, mahabesar alokasi dana untuk tiap kegiatan yang sudah tentu akan meningkat dari besar alokasi semula.
Salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang hams diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah, menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah seharusnya digunakan sebagai alat untuk menentukan besamya pendapatan dan belanja, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan serta alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang dan ukuran standar untuk menilai kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktifitas pada berbagai unit kerja (Mardiasmo,1999).
Davey (1988), menyatakan bahwa sumber permasalahan yang utama dari keuangan Pemerintah Daerah adalah tuntutan pembelanjaan pelayanan kemasyarakatan yang selalu meningkat, pelayanan yang hams diberikan kepada pelosok tempat kediaman yang paling terpencil suatu bangsa oleh suatu instansi pemerintah dengan pengorganisasian setempat semakin meningkat. Terutama ini disebabkan oleh sejumlah faktor; pertumbuhan penduduk, peningkatan pemberian pendidikan, perumahan, transportasi dan jasa lainnya.
Pasal 21 Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 dikatakan bahwa anggaran pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan. Di dalam penjelasan pasalnya bahwa daerah tidak boleh menganggarkan pengeluaran tanpa kepastian terlebih dahulu mengenai ketersediaan sumber pembiayaannya dan mendorong daerah untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran nya. Sejalan dengan itu peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2000 menjelaskan bahwa jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.
Proporsi APBD
Untuk menganalisa perkembangan APBD tidak saja dilihat dari sisi tren perkembangan secara absolut, seperti peningkatan anggaran APBD dan komponen- komponennya dalam suatu periode tertentu tetapi yang hams dilihat dari perkembangan proporsi APBD dari sisi pengeluaran. Pada dasamya pengeluaran dibagi ke dalam; (a), pengeluaran untuk aparatur daerah dan (b),pengeluaran untuk publik. Sahamnya proporsi untuk anggaran publik lebih besar dan menunjukkan trend peningkatan. Proporsi untuk anggaran publik pada APBD lebih besar daripada proporsi APBD untuk anggaran belanja aparatur daerah.
Hal ini disebabkan karena belanja untuk anggaran publik lebih banyak digunakan untuk anggaran pembangunan fisik. Pembangunan fisik ini mempunyai dampak multiplier yang besar terhadap peningkatan PDRB dibandingkan dengan belanja aparatur daerah karena pengeluaran untuk aparatur daerah lebih banyak untuk gaji dan administrasi umum.
Proses Penyusunan Anggaran Belanja Daerah
APBD di susun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari rencana alokasi biaya ataupun input yang ditetapkan. Mekanisme penyusunan anggaran daerah yang berdasarkan anggaran kinerja terdiri dari serangkaian tahap aktifitas sebagai berikut;
Dalam rangka penyiapan rancangan APBD, pemerintah daerah bersama- sama DPRD menyusun dan menyepakati arah dan kebijakan umum APBD yang berpedoman pada rencana strategis daerah (renstrada) atau dokumen perencanaan lainnya, penjaringan aspirasi masyarakat, laporan kinerja tahun sebelumnya, pokok-pokok pikiran DPRD serta pokok- pokok kebijakan keuangan daerah yang ditetapkan oleh menteri dalam negeri. (penjaringan aspirasi masyarakat dapat dilakukan pada Bulan Mei, sedang kesepakatan pemerintah daerah dengan DPRD tentang arah dan kebijakan pemerintah daerah dengan DPRD tentang arah dan kebijakan umum APBD, serta strategi dan prioritas APBD pada bulan Juni-Juli);
Berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD, pemerintah daerah menyusun strategi dan prioritas APBD yang dilaksanakan Bulan Juli- Agustus;
Kepala daerah menerbitkan surat edaran (SE) dan disampaikan kepada setiap unit kerja untuk dasar penyusunan rancangan anggaran unit kerja. Proses tersebut dilaksanakan pada Bulan Agustus - September;
Penyusunan rancangan anggaran unit kerja yang dituangkan dalam penyataan anggaran, pengajuan penyataan anggaran kepada tim anggaran eksekutif dengan panitia anggaran legislatif dilaksanakan pada Bulan Oktober- November;
Pengajuan rancangan APBD kepada DPRD pembahasan rancangan APBD antara tim anggaran eksekutif dengan panitia anggaran legislatif dilaksanakan pada Bulan Oktober- November;
Penyiapan rancangan APBD pada sidang paripurna DPRD dan penetapan rancangan APBD menjadi APBD dilaksanakan pada Bulan Desember.
Konsep Pertumbuhan ekonomi
Menurut Kuncoro (2000) sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic need), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan yang berkelanjutan, pembangunan yang memperhatikan ketimpangan. Dalam kaitan dengan proses pembangunan inilah Todaro (2001) mengungkapkan bahwa dalam perubahan struktural pembangunan suatu negara menitik beratkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang di alami oleh negara-negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat sub sistem dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju kepada struktur perekonomian yang lebih modem dan sangat di dominasi oleh sektor industri dan jasa.
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) tercapai bila terdapat peningkatan perbandingan antara input dan output yang lebih besar. Menurut Adam Smith dalam Kuncoro (2000) proses pertumbuhan akan terjadi secara simultan dan memiliki keterkaitan yang erat satu dengan yang lainnya. Dalam pembangunan ekonomi, modal memegang peranan dalam menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu negara.
Teori Harrod-Domar yang merupakan perluasan dari analisis Keynes mengenai kegiatan ekonomi nasional dan masalah penggunaan tenaga kerja. Analisa Keynes di anggap kurang lengkap karena tidak disinggung mengatasi persoalan ekonomi. Harrod-Domar tetap menekankan pentingnya pembentukan modal dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini tentu saja berbeda dengan pandangan kaum Klasik dan Keynes. Bagi kaum Klasik pembentukan modal merupakan suatu pengeluaran yang akan menambah kesanggupan masyarakat untuk menambah produksi, maka dengan sendirinya produksi dan pendapatan nasional akan bertambah tinggi, karena itu kaum Klasik tidak memperhatikan fungsi kedua dari pembentukan modal dalam perekonomian, yaitu mempertinggi tingkat pengeluaran masyarakat (Sukimo, 1999).
Keadaan sebaliknya terdapat dalam analisa Keynes, yaitu mengabaikan peran pembentukan modal sebagai kesanggupan mempertinggi sektor produksi untuk menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Dalam analisa Keynes perhatian lebih ditekankan kepada masalah kekurangan pengeluaran dalam masyarakat, karena ia menganggap bahwa tingkat kegiatan ekonomi sangat ditentukan oleh pengeluaran seluruh anggota masyarakat (Sukimo, 1999).
Laju pertumbuhan ekonomi akan di ukur melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi dapat di artikan sebagai kenaikan PDRB, tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi berlaku atau tidak (Sukimo, 1999). Kuznets dalam Todaro (2001) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempakan jangka panjang untuk men supply berbagai benda ekonomi kepada masyarakatnya.
Pertumbuhan ekonomi modem terlihat dari semakin meningkatnya laju produk perkapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efisiensi atau produktifitas per unit input. Hal ini dapat dilihat dari semakin pesat masuknya tenaga kerja dan modal atau semakin meningkatnya efisiensi atau kedua-duanya. Kuznets berpendapat bahwa laju kenaikan produktifitas ternyata dapat menyelesaikan hampir seluruh pertumbuhan produk perkapita di negara maju (Jhingan, 1996). Banyak faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi, (Gill, 1983):
Penduduk
Sumber daya alam
Pemupukan modal
Spesialisasi
Efisiensi dalam penggunaan teknologi
Kemajuan teknologi
Tidak berbeda jauh dengan Gill, Todaro (1983) secara spesifik melihat faktor-faktor atau komponen-komponen pertumbuhan ekonomi yang terpenting dalam masyarakat antara lain; (a) Akumulasi Modal, (b) Perkembangan Populasi, (c) Kemajuan Teknologi.
Sumber-sumber kemajuan ekonomi bisa ditandai beberapa faktor yaitu; investasi besar yang memperbaiki mutu fisik dan mutu sumber daya manusia, meningkatkan sumber-sumber daya yang spesifik melalui penemuan, pembaharuan dan kemajuan Teknologi yang sudah dicapai dan akan terus menjadi faktor-faktor utama dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Komponen pendukung pertumbuhan ekonomi yang secara langsung berdampak terhadap pembangunan menurut Wijaya (1991), yaitu;
Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia
Kuantitas dan kualitas sumber daya alam
Akumulasi kapital
Spesialisasi dan skala produksi
Kemajuan Teknologi
Faktor lingkungan.
Konsep PDRB
Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi suatu negara atau daerah dapat dilihat melalui neraca ekonominya, hal ini dapat di buat dalam berbagai bentuk sesuai dengan tujuan dan penggunaannya. Konsep dan definisi menjadi amat penting untuk memahami lebih lanjut mengenai data yang tersedia. Arti, wujud fisik, karakteristik, batasan dan sifat kegiatan tentang eksistensi perubahan dan perpindahan suatu barang dan jasa harus tercermin jelas dalam konsep dan definisi. Definisi yang berbeda akan menghasilkan data yang berbeda pula.
Produk Domestik Regional Bruto secara umum merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu wilayah, antara lain yaitu;
Mengukur laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut secara sektoral, sehingga dapat di monitor sektoral-sektoral apa saja yang menyebabkan tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Untuk mengetahui struktur perekonomian suatu wilayah. Hal ini tercermin dari peranan masing-masing sektor dalam pembentukan PDRB wilayah tersebut. Di samping itu dapat di lihat ada tidaknya pergeseran struktur ekonomi dari sektor satu ke sektor lainnya.
Dapat di pakai sebagai alat untuk mengukur elastisitas penyerapan tenaga
Kerja setiap sektor.
Dalam buku perhitungan pendapatan regional Propinsi Jambi di nyatakan bahwa PDRB di peroleh dari penjumlahan Nilai Tambah Bruto yang mencakup semua komponen faktor pendapatan yaitu; upah dan gaji, barang sewa tanah, keuntungan, penyusutan dan pajak tidak langsung dari seluruh sektor perekonomian yang ada di wilayah Propinsi Jambi. Selain itu ada pengertian Produk Domestik Regional Bruto yang di kemukakan oleh Sumitro adalah jumlah keseluruhan produk yang di hasilkan oleh suatu wilayah selama satu periode dimana jumlah barang-barang dan jasa-jasa yang di hasilkan tersebut di nilai dengan uang atas harga pasar yang sedang berjalan. Ada dua cara untuk mengukur besamya Produk Domestik Regional Bruto suatu daerah, yaitu berdasarkan atas harga yang berlaku dan berdasarkan atas harga konstan tahun tertentu.
Biro Pusat Statistik Propinsi Jambi mendefinisikan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku adalah jumlah nilai produk atau pendapatan atau pengeluaran yang di nilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan. Sedangkan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan adalah jumlah nilai produk, pendapatan atau pengeluaran yang dinilai atas dasar harga tetap pada tahun dasar tertentu.
Sadono menyatakan bahwa perhitungan pendapatan nasional atas dasar harga konstan (pendapatan riil) adalah untuk mengukur berapa besar jumlah produksi barang-barang dan jasa-jasa yang sebenamya terjadi dalam perekonomian dengan jalan mendeflasikan nilai dari pendapatan nasional menurut harga yang berlaku dengan menggunakan indeks harga.
Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat berbeda-beda tergantung dari sudut mana suatu perekonomian di tinjau. Secara garis besamya struktur atau susunan PDRB dapat di tinjau dari 3 sudut yaitu:
1. PDRB Menurut Lapangan Usaha
2. PDRB Menurut Andil nya Faktor Produksi
3. PDRB Menurut Garis Penggunaan
Pengaruh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Terhadap Produk Domestik Regional Bruto
Di antara variabel APBD dan PDRB terdapat hubungan kausalitas yang mana PDRB merupakan fungsi dari APBD, artinya besar kecilnya PDRB akan mempengaruhi besar kecilnya APBD. Begitu pun dengan APBD akan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat perekonomian suatu daerah yang ditunjukkan oleh PDRB. Meningkatnya APBD akan meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan. Meningkatnya pembangunan adalah wujud dari peningkatan potensi-potensi sektor yang terangkum dalam PDRB. Sedangkan peningkatan PDRB akan menyebabkan penganggaran untuk pembangunan dan tiap-tiap sektor meningkat. Hubungan kausalitas antara APBD dan PDRB ini dapat diukur dengan melihat tingkat elastisitas nya.
Elastisitas adalah koefisien persentase perubahan dalam variabel tidak bebas (dependent variabel) di bagi dengan persentase perubahan dalam variabel bebas. Elastisitas dapat di bedakan menjadi lima bagian berdasarkan koefisien elastisitas sebagai berikut:
elastis, apabila koefisien elastisitas > 1
relatif in elastis, apabila koefisien elastisitas < 1
unitary elastis, apabila koefisien elastisitas = 1
perfek elastis, apabila koefisien elastisitas ~
perfek in elastis, apabila koefisien elastisitas = 0
Dalam neraca anggaran biasanya dilihat antara besamya kebutuhan dengan jumlah anggaran yang tersedia. Jika kebutuhan lebih besar dari jumlah anggaran maka akan terjadi defisit anggaran atau dengan kata lain laju pertumbuhan kebutuhan lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan anggaran mengakibatkan peningkatan jumlah pinjaman atau utang daerah, dan sebaliknya. Secara makro laju pertumbuhan anggaran dapat dikaitkan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang di cerminkan dalam PDRB dengan kata lain laju pertumbuhan ekonomi atau PDRB akan mempengaruhi laju peningkatan anggaran.
Hubungan antara laju pertumbuhan ekonomi dan laju peningkatan anggaran ini dapat dijelaskan melalui elastisitas anggaran (APBD). Elastisitas APBD yang semakin tinggi berarti setiap laju pertumbuhan PDRB mampu meningkatkan APBD.
Adapun ramus untuk menghitung elastisitas APBD adalah sebagai berikut:
EAPBD = APBD PDRB X PDRDAPBD ……………………………………………………..(1)
Keterangan:
EAPBD : Elastisitas APBD
APBD; Perubahan nilai APBD
PDRB: Perubahan nilai PDRB
APBD: Nilai APBD
PDRB: Nilai PDRB
Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang berhubungan dengan anggaran kinerja telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, terutama peneliti di luar negeri termasuk juga penelitian yang dilakukan di Indonesia. Sebagai pembanding dikemukakan beberapa hasil penelitian berikut ini;
Masrizal (2000), menganalisis teknis penganggaran dalam pertumbuhan ekonomi. Dari hasil analisis tersebut disimpulkan bahwa anggaran pemerintah (government budget) mempunyai peranan yang sangat penting dalam program pembangunan ekonomi suatu negara. Anggaran {budget) tidak hanya sebagai alat informasi bagi masyarakat, namun sekaligus merupakan alat kontrol dan akuntabilitas. Dari hasil penelitiannya juga disebutkan bahwa penerapan sistem anggaran tradisional bagi negara sedang berkembang sudah tidak mampu lagi mengantisipasi kegiatan-kegiatan pemerintah yang semakin kompleks dan struktur organisasi yang semakin modem. Sistem anggaran yang semakin popular untuk melaksanakan program pembangunan serta merangsang perkembangan alteratif pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang adalah planning programming and budget system dan zero base budgeting system.
Studi empiris Nanga (1991), dengan menggunakan analisa regresi dan korelasi tingkat perkembangan ekonomi daerah dan alokasi belanja daerah di Kabupaten Malang, Probolinggo dan Trenggalek, disimpulkan bahwa perkembangan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh pengeluaran daerah. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Radianto (1997) bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap kabupaten/kota di Maluku, menyimpulkan bahwa tingkat perkembangan ekonomi dan alokasi belanja publik memiliki hubungan yang erat.
Joni Hasri (2005) mengadakan penelitian dengan judul Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Aparatur Pemerintah di Provinsi Jambi, dan hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengalokasian belanja untuk aparatur daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi tahun anggaran 2003 sebesar Rp. 300.018.704.000,00 atau 72,646%, sedangkan belanja untuk pelayanan publik sebesar Rp 112.967.265.000.00 atau sebesar 27,357%. Berdasarkan bukti empirik yang diperoleh di Provinsi Jambi ditemukan perbedaan yang signifikan antara Kinerja Aparatur Pemerintah Provinsi Jambi sebelum diterapkannya Sistem Anggaran Berbasis Kinerja dengan setelah diterapkannya Anggaran Berbasis Kinerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa Sistem Anggaran Berbasis Kinerja mempunyai dampak yang baik terhadap Kinerja Aparatur Daerah.
Kerangka Pemikiran
Penganggaran daerah termasuk kategori perencanaan jangka pendek (perencanaan tahunan) yang merupakan bagian dari perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka panjang. Penganggaran daerah termasuk terdiri atas: formulasi kebijakan anggaran {budget operational planning). Penyusunan arah dan kebijakan APBD termasuk kategori formulasi kebijakan anggaran yang menjadi acuan dalam perencanaan operasional anggaran.
Dalam menyusun anggaran, rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah perlu diperhatikan. Salah satu fungsi anggaran adalah membantu manajemen pemerintah dalam mengambil keputusan dan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja unit kerja di bawahnya. Tersalur nya anggaran merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan tingkat kinerja bagi keberadaan program pemerintah baik yang berasal dari kabupaten maupun propinsi.
Dalam pendistribusian APBD dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: anggaran publik dan anggaran belanja aparatur daerah. Dari pembagian kedua anggaran ini, nantinya dari pemerintah pusat kota atau propinsi menyalurkan atau mengalokasikan anggaran pemerintah tersebut ke kantor-kantor dinas yang ada didaerah tersebut, seperti dinas pemukiman, dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas pariwisata, dinas kependudukan dan lain sebagainya yang nantinya akan berpengaruh terhadap peningkatan perekonomian didaerah tersebut.
Anggaran belanja, aparatur daerah merupakan anggaran yang didistribusikan untuk gaji pegawai, biaya perjalanan dinas, tunjangan kesehatan dan lain sebagainya. Sedangkan anggaran publik bertujuan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan untuk pembangunan barang-barang publik. Besamya anggaran publik dan anggaran belanja aparatur daerah ini tidak selamanya statis melainkan selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun.
Pembangunan yang baik apabila distribusi anggaran publik nya jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran belanja aparatur daerah. Namun apabila ini terjadi berarti di daerah tersebut belum banyak terjadi pembangunan.
Perkembangan/ peningkatan perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari besaran PDRB nya dan nilai PDRB selalu berkorelasi dengan APBD. APBD mempuyai pengaruh terhadap PDRB sedangkan PDRB juga di pengaruhi oleh APBD. Dari perkembangan ini bisa dilihat apakah APBD bersifat elastis atau tidak terhadap PDRB.
SKEMA KERANGKA PEMIKIRAN
PEREKONOMIANPEREKONOMIAN
PEREKONOMIAN
PEREKONOMIAN
PDRBPDRB
PDRB
PDRB
KEUANGAN DAERAHKEUANGAN DAERAH
KEUANGAN DAERAH
KEUANGAN DAERAH
APBDAPBD
APBD
APBD
BELANJABELANJAPENDAPATANPENDAPATAN
BELANJA
BELANJA
PENDAPATAN
PENDAPATAN
ANGGARAN PUBLIKANGGARAN PUBLIKANGGARAN APARATUR DAERAHANGGARAN APARATUR DAERAH
ANGGARAN
PUBLIK
ANGGARAN
PUBLIK
ANGGARAN APARATUR DAERAH
ANGGARAN APARATUR DAERAH
PROPORSIPROPORSIPERKEMBANGANPERKEMBANGAN
PROPORSI
PROPORSI
PERKEMBANGAN
PERKEMBANGAN
Hipotesis
Diduga perkembangan proporsi Anggaran Publik dan Anggaran Aparatur Daerah meningkat, tetapi peningkatan proposi Anggaran Publik cenderung lebih besar daripada Anggaran Aparatur Daerah.
Diduga bahwa elastisitas APBD, Anggaran Aparatur Daerah dan Anggaran Publik adalah elastis dan lebih dari 1 (satu) terhadap PDRB Kota Jambi periode 2001 sampai 2006.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data sekunder. Menurut Singarimbun (1986) yang dimaksud dengan analisis data sekunder adalah analisis yang dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan oleh orang atau instansi lain terlebih dahulu.
Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dengan menggunakan data sekunder runtut waktu (time series) selama tahun anggaran 2001-2006. Data-data tersebut meliputi seluruh anggaran belanja beberapa Kantor Dinas yang ada di Kota Jambi. Data tersebut diperoleh dari laporan keuangan, laporan anggaran pendapatan dan belanja Kota Jambi. Sumberdaya yang ada dalam penelitian ini berasal dari;
Bappeda Kota Jambi
BPS Kota Jambi
Biro Keuangan Kota Jambi
Metode Pengumpulan Data
Data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengancara sebagai berikut;
Penelitian kepustakaan (library research), dilakukan dengan cara mempelajari berbagai buku literatur serta tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.
Studi dokumenter, dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang diperlukan dengan jalan mendatangi dinas-dinas instansi terkait yang berkaitan dengan masaIah penelitian.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang diterapkan berkaitan dengan tujuan penelitian ini, maka data yang telah dikumpulkan sebagian besar akan di olah secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel kemudian dikaitkan dengan fenomena- fenomena yang ada.
Perkembangan APBD
G(APBD) =
APBDt – APBDt-1
x 100% .......................................................
(1)
APBDt-1
G(APBD) =
Anggaran Publikt – Anggaran Publikt-1
x 100% ......................
(2)
Anggaran Publikt-1
G(APBD) =
ABADt – ABADt-1
x 100% ......................................................
(3)
ABADt-1
Keterangan:
G(APBD) : Pertumbuhan APBD
G(AP) : Pertumbuhan Anggaran Publik
G(ABAD) : Pertumbuhan Anggaran Aparatur Daerah.
t : tahun saat penghitungan
t-1 : tahun sebelumnya
Proporsi Keuangan Terhadap APBD Kota Jambi
Untuk menganalisis proporsi belanja aparatur daerah dan proporsi belanja pelayanan publik terhadap total belanja dalam APBD, dan untuk menganalisis proporsi kelompok belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal terhadap aparatur daerah dan bagian belanja untuk pelayanan publik dengan melakukan analisis secara parsial untuk masing-masing bagian belanja dan kelompoknya. Adapun cara perhitungan proporsi nya adalah sebagai berikut;
Proporsi belanja aparatur daerah
P1 =
Belanja Aparatur Daerah
x 100% ……….........................................
(4)
Total APBD
Proporsi belanja pelayanan publik
P2 =
Belanja Pelayanan Publik
x 100% ...…….........................................
(4)
Total APBD
Elastisitas APBD
E(APBD) =
APBD
x
PDRB
………………………………………….
(6)
PDRB
APBD
E(APBD) =
ABAD
x
PDRB
…………………………………...…….
(7)
PDRB
ABAD
E(APBD) =
AP
x
PDRB
………………………………………….
(8)
PDRB
AP
Keterangan:
E(APBD) : Elastisitas APBD
E(AP) : Elastisitas Anggaran Publik
E(ABAD) : Elastisitas Belanja Aparatur Daerah
Operasionai Variabel
Belanja pelayanan publik adalah bagian belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Kota Jambi yang basil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik) Kota Jambi yang di hitung dalam satuan rupiah per tahun anggaran dari tahun 2001 sampai tahun 2006.
Belanja aparatur daerah adalah belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegiatan non investasi (tidak menambah aset) Kota Jambi. Jenis belanja yang termasuk dalam kelompok ini adalah: belanja pegawai/personalia, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharaan yang di hitung dalam satuan rupiah per tahun anggaran dari tahun 2001 sampai tahun 2006.
Belanja modal/pembangunan adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah aset) Kota Jambi yang dihitung dalam satuan rupiah per tahun anggaran dari tahun 2001 sampai tahun 2006.
Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan adalah pengeluaran uang oleh pemerintah Kota Jambi dengan titik menerima secara langsung imbal barang dan jasa seperti dalam pembelian dan penjualan, tidak diharapkan dibayar kembali seperti pada suatu pinjaman dan tidak mengharapkan hasil pendapatan seperti layaknya kegiatan investasi.
Belanja tidak tersangka adalah seluruh pengeluaran Kota Jambi yang disediakan untuk keperluan penanganan kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak tersangka lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah yang di hitung dalam satuan rupiah per tahun anggaran dari tahun 2001 sampai tahun 2006.
APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan Kota Jambi yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah Kota Jambi.
PDRB adalah hasil produksi Kota Jambi yang tercermin dari hasil produksi setiap sektor ekonomi, yang di hitung berdasarkan harga konstan 2000.
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Keadaan Geografis
Kota Jambi sebagai pusat Ibukota Propinsi Jambi terletak antara 01°- 30° sampai l°- 40° lintang selatan dan antara 103°- 40° sampai 103° - 40° bujur timur. Sebelah utara, barat, selatan dan timur wilayah Kota Jambi berbatasan dengan kabupaten Muara Jambi. Luas Kota Jambi 205,38 KM dengan ketinggian 8 kaki 10 meter. Kota Jambi beriklim tropis yang terdiri dari dataran rendah, dengan rata-rata suhu maksimum 31,97° C. Kota Jambi terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan yaitu Kota Baru 77,78 KM (37,87%); Kecamatan Jambi Selatan 34,07 KM (16,59%);Kecamatan Jelutung 7,92 KM (3,86%); Kecamatan Pasar Jambi 4,02 KM(1,96%); Kecamatan Telanaipura 30,39 KM (14,80%); Kecamatan Danau Teluk15,70 KM (7,64%); Kecamatan Pelayangan 15,29 KM (7,44%); Kecamatan Jambi Timur 20,21% KM (9,84%). Pada tabel dibawah dapat dilihat bahwa kecamatan terluas Di Kota Jambi adalah Kota Baru dengan luas areal 37% dari total luas Kota Jambi, kemudian disusul dengan Kecamatan Jambi Selatan 17% dari luas Kota Jambi. Kecamatan dalam Kota Jambi yang luas daerahnya terkecil adalah Kecamatan Pasar Jambi; dan Kecamatan dalam Kota Jambi secara rinci seperti pada tabel 4.1 dibawah ini:
Tabel 4.1
Luas Kecamatan Dalam Kota Jambi Tahun 2006
No
Kecamatan
Luas (KM2)
Persen (%)
1
Kota Baru
77,78
37,87
2
Jambi Selatan
34,07
16,59
3
Jelutung
7,92
3,86
4
Pasar Jambi
4,02
1,96
5
Telanaipura
30,39
14,8
6
Danau Teluk
15,70
7,64
7
Pelayangan
15,29
7,44
8
Jambi Timur
20,21
9,84
Jumlah
100
Sumber ; BPS Kota 2005
Kependudukan
Jumlah penduduk Kota Jambi pada tahun 2000 adalah 417.507 jiwa, dari jumlah tersebut 211.755 jiwa adalah laki-Iaki dan 205.752 jiwa adalah perempuan. Pada tahun 2001 jumlah penduduk kota mengalami peningkatan1,53% dari tahun sebelumnya. Tahun 2002 jumlah penduduk juga mengalami peningkatan 1,84%, pada tahun ini jumlah penduduk perempuan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya sehingga jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari jumlah penduduk laki-Iaki atau 50,75%dari total penduduk pada tahun 2002 adalah perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2.1 berikut ini:
Tabel 4.2.1
Jumlah Penduduk Kota Jambi Tahun 2000-2006 (Dalam Jiwa)
Tahun
Laki-Laki
Perempuan
Total
2000
211.755
205.752
417.507
2001
216.255
207.636
423.891
2002
212.617
219.092
431.709
2003
215.656
226.181
441.837
2004
221.173
215.997
437.170
2005
225.778
221.096
446.874
2006
230.474
226.313
456.787
Sumber : BPS Propinsi Jambi
Untuk tahun 2003 penduduk perempuan berjumlah 226.181 jiwa sedangkan laki-laki berjumlah 215.656 jiwa dengan keseluruhan jumlah penduduk pada tahun tersebut 441.837 jiwa yang mengalami peningkatan 2,34% dari tahun sebelumnya. Akan tetapi jumlah penduduk Kota Jambi mengalami penurunan pada tahun 2004 sebesar 1,05% dari tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan terjadinya penurunan penduduk perempuan sebesar 4,5% sementara penduduk laki-laki mengalami peningkatan 2,558%, dan terjadi peningkatan lagi pada tahun 2005 yaitu sebesar 446.874, terdiri dari 225.778 penduduk laik-laki dan 221.096 penduduk perempuan. Hingga pada tahun 2006 jumlah penduduk laki-laki sebesar 230.474 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 226.313 sehingga total penduduk di tahun 2006 sejumlah 456.787 jiwa. Untuk luas wilayah, penduduk dan kepadatan penduduk Kota Jambi dapat dilihat pada table 4.2.2 berikut ini:
Tabel 4.2.2
Luas Wilayah, Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Jambi Menurut Kecamatan Tahun 2006.
Kecamatan
Luas Wilayah
KM2
Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan Penduduk
(Orang/KM2)
Kota Baru
77,8
100.663
1294,2
Jambi Selatan
34,07
98.507
2891,3
Jelutung
7,92
60.791
7675,6
Pasar Jambi
4,02
13.964
3473,6
Telanaipura
30,39
76.045
2502,3
Danau Teluk
15,70
12.119
771,9
Pelayangan
15,29
12.312
805,2
Jambi Timur
20,21
78.159
3867,3
Total
205,38
437.170
2.128
Sumber : Kota Jambi Dalam Angka, 2006
Berdasarkan pada tabel diatas dapat dilihat bahwa kecamatan Kota Baru memiliki jumlah penduduk paling banyak yaitu 100.663 jiwa, disusul dengan Kecamatan Jambi Selatan dan Kecamatan Jambi Timur. Sedangkan Kecamatan Danau Teluk merupakan kecamatan di Kota Jambi yang jumlah penduduknya paling sedikit dan kepadatan penduduknya juga paling kecil di Kota Jambi. Dengan jumlah penduduk 12.119 jiwa. Kecamatan Jelutung merupakan kecamatan yang paling padat penduduknya disusul dengan Jambi Timur dan Pasar Jambi.
Struktur Perekonomian Kota Jambi
Bentuk perekonomian Kota Jambi tergambar melalui label Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi atas dasar harga berlaku. Dari struktur ekonomi yang ada ini, dapat di ambil suatu kebijakan pembangunan yang terarah, yaitu dengan membuat skala prioritas sektor mana saja yang masih dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang ada di Kota Jambi.
Apabila kita amati secara seksama tabel 4.4 maka terlihat bahwa struktur ekonomi Kota Jambi saat ini di dominasi oleh 4 (empat) sektor utama yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan. Sektor utama dengan kontribusi terbesar yaitu Sektor perdagangan, perhotelan, restoran dengan kontribusi sebesar 1.112.247,50 juta rupiah. Dalam kurun waktu 6 bulan semua sektor selalu mengalami peningkatan kontribusi dari tahun ke tahun. Di tahun 2006 sektor dengan kontribusi terkecil adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan jumlah kontribusi hanya 86.313,80 Juta Rupiah. Ada sektor listrik, gas dan air bersih dengan besar kontribusi 161.227,90 Juta Rupiah. Besamya kontribusi masing-masing sektor dalam PDRB selalu berfluktuasi. Untuk sektor pertanian saja pada tahun 2000 sebesar 54.172,70 Juta Rupiah. Pada tahun 2001 turun menjadi 26.362,45 Juta Rupiah, atau sebesar 51,3%. Ditahun2002 kontribusi dari sektor ini meningkat kembali menjadi 58.231,99 Juta Rupiah atau sebesar 120,88%. di tahun 2002 hingga tahun 2006 besamya kontribusi dari sektor ini selalu meningkat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3.1berikut ini;
Tabel 4.3.1
Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi Atas Dasar Harga Konstan 2000Menurut Lapangan Usaha 2000-2006 (Dalam Jutaan Rupiah)
No
Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1
Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
26.362,45
58.231.99
60.521,97
63.245,41
66,377,90
86,313,80
2
Pertambangan dan penggalian
169.917,32
184.746,86
199.144,34
208,578,89
229,142,74
357.282,20
3
Industri pengolahan
412,348,78
460.133,84
517,977,99
590.506,17
671,823,46
763.893.90
makanan
218.471,53
248,617,55
283,471,47
323.170.74
380.198,60
479.435,50
4
Listrik, gas dan air bersih
41.908,84
49,187,87
54.674,88
61,641,28
70,394,69
161.227,90
5
Bangunan
90.585,12
98,831,31
112.383,04
126.592,98
139,752,92
305.020,50
6
Perdagangan, hotel dan
restoran
507.222,06
577.742,92
658.968,39
759,354,09
899,737,44
1.112,247,50
7
Pengangkutan dan
komunikasi
409.841,80
466.077,78
518.140,25
594,078,29
714,168,61
961.000,20
8
Keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan
170.651,91
183.554,91
200.712,70
222,010,42
251.765,82
375,658,60
9
Jasa-jasa
343.449,12
394,320,20
456,885,49
528.632,84
625,520,92
781,965,40
PDRB
2,202,337,40
2,472.827,69
2,779,409,05
3.154,640,37
3,668.724,50
4,851,610,10
Sumber: BPS Propinsi Jambi
Untuk sektor lapangan usaha yaitu pertambangan dan penggalian dari tahun 2001 hingga tahun 2006 selalu mengalami peningkatan jumlah kontribusi. Perkembangan kontribusi untuk sektor ini berfluktuasi dari 4,29 % di tahun 2001 meningkat menjadi 8,72% tahun 2002, pada tahun 2003 perkembangannya menurun menjadi 7,79% atau dengan kontribusi sebesar 199.144,34 Juta Rupiah. Di tahun 2004 turun kembali menjadi 4,73% dengan kontribusi sebesar 208.578,89Juta Rupiah. Namun pada 2005 sektor ini meningkat tajam dengan laju peningkatan 9,85% dan pada tahun 2006 terjadi peningkatan lagi sebesar 55,92%dengan kontribusi sebesar 357.282,20 Juta Rupiah. Untuk sektor Industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa. Laju perkembangannya juga berfluktuasi dan di tahun 2006 sektor industri pengolahan telah memiliki kontribusi sebesar 763.893,90 Juta Rupiah atau berkembang sebesar 13.70% dari tahun sebelumnya, sektor listri, gas dan air bersih sebesar161,227,90 Juta Rupiah atau perkembangan sebesar 129,03%. Pada sektor bangunan di taun 2006 telah mencapai 305.020,5 Juta Rupiah atau perkembangan sebesar 118,25%. Sektor pengangkutan dan komunikasi dengan perkembangan sebesar 27,14% atau kontribusi sebesar 908.000,20 Juta Rupiah dan untuk sektor jasa-jasa kontribusi nya di tahun 2006 mencapai 781.965,40 Juta rupiah dengan perkembangan sebesar 25%. Untuk lebih jelasnya perkembangan PDRB dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.3.2
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Kota Jambi Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000-2006 (%)
No.
Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1
Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
-51,33
120,88
3,93
4,49
4,95
30,03
2
Pertambangan dan penggalian
4,29
8,72
7,79
4,73
9,85
55,92
3
Industri pengolahan
8,85
11,58
12,57
14,00
13,77
13,70
makanan
9,12
13,79
14,01
14,00
17,64
26,10
4
Listrik, gas dan air bersih
8,70
17,36
11,15
12,74
14,20
129,03
5
Bangunan
20,77
9,10
13,71
12,64
10,39
118,25
6
Perdagangan, hotel dan restoran
7,99
13,90
14,05
15,23
18,48
23,61
7
Pengangkutan dan komunikasi
11,90
13,72
11,17
14,65
20,21
27,14
8
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
0,97
7,56
9,34
10,61
13,40
25,0049,20
9
Jasa-Jasa
17,58
14,81
15,86
15,70
18,33
PDRB
9,74
12,28
12,39
13,50
16,29
32,24
Sumber : BPS Propinsi Jambi
Dari sembilan sektor yang ada di dalam PDRB, untuk Kota Jambi terdapat2 sektor dan 1 sub sektor yang tidak pernah mengalami penurunan jumlah kontribusi. Artinya laju perkembangan nya selalu meningkat dari tahun ke tahun dalam rentang waktu 2001 sampai 2006. Dua sektor ini adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahan. Dan satu sub sektor nya yaitu industri pengolahan makanan. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2006 jumlah kontribusi nya dalam PDRB Kota Jambi sebesar 1.112.247,50 Juta Rupiah dengan laju perkembangan sebesar 23,61% dari tahun sebelumnya. Untuk sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahan, di tahun 2006 kontribusi nya sebesar 375.658,6 Juta Rupiah atau sebesar 49,20%. Dan untuk sub sektor industri pengolahan makanan jumlah kontribusi nya di tahun 2006 sebesar 479.435,30 Juta Rupiah dengan laju perkembangan sebesar 26,10%. Dari hasil analisis ini dapat dilihat bahwa saat ini perekonomian Kota Jambi dapat ditingkatkan lagi dengan mengembangkan potensi dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahan serta sektor Industri pengolahan.
BAB V
PEMBAHASAN
Perkembangan APBD dan Komponen- komponennya
Perkembangan APBD Kota Jambi dari tahun 2001 satnpai tahun 2006tidak selalu meningkat. Seperti halnya di tahun 2003 ke tahun 2004 nilai totalAPBD menumn dari 1.199.027 juta rupiah ke 595.451 juta rupiah. Daripenurunan nilai total APBD tentu saja membuat penurunan terhadapperkembangan APBD dan akan mempengaruhi perkembangan komponen-komponennya. Untuk lebih jelasnya perkembangan APBD dan komponen-komponennya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.1.1
Total dan Perkembangan APBD Periode 2001-2006
No.
Tahun
Total APBD (Dalam Jutaan)
Perkembangan APBD (%)
1
2000
362.657
-
2
2001
547.517
50,97
3
2002
844.517
54,24
4
2003
1.199.027
41,97
5
2004
595.451
- 50,33
6
2005
719.656
20,85
7
2006
967.408
34,42
Sumber : Data Olahan APBD Tahun 2001-2006
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perkembangan APBD Kota Jambi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 selalu berfluktuasi. Pada tahun 2001 total APBD Kota Jambi sebesar 547.517 juta rupiah dengan laju pertumbuhan APBD sebesar 50,97% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 laju pertumbuhan APBD meningkat lagi sebesar 54,24%. Begitupun di tahun 2003 laju pertumbuhan APBD masih terus meningkat yaitu sebesar 41,97% dari tahun 2002dengan total APBD sebesar 1.199.027 juta rupiah. Namun pada tahun 2004, total APBD menurun drastis menjadi 595.451 juta rupiah dengan penurunan laju pertumbuhan sebesar 50,33%.
Penurunan laju pertumbuhan ini juga tidak berlangsung terus menerus. Di tahun 2005 perkembangan APBD meningkat kembali sebesar 20,85% dari tahun sebelumnya. Dengan total APBD meningkat menjadi 719.656 juta rupiah. Pada tahun 2006 terlihat laju pertumbuhan APBD masih meningkat sebesar 34,42%dengan total APBD Kota Jambi sebesar 967.408 juta rupiah. Naik turunnya perkembangan APBD juga dipengaruhi oleh naik turunnya perkembangan komponen- komponen APBD, yang terdiri dari belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah. Dari tabel 5.1.2 dibawah dapat dilihat bahwa besamya belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah setiap tahun berbeda begitupun dengan perkembangannya. Bisa belanja pelayanan publik meningkat sedangkan belanja aparatur daerah menurun, atau sebaliknya. Atau bisa juga keduanya sama- sama meningkat.
Tabel 5.1.2
Total dan Perkembangan Balanja pelayanan Publik dan Belanja Aparatur Daerah
Periode 2001-2006
TAHUN
TOTAL
PERKEMBANGAN (%)
BP
BAD
BP
BAD
2001
55550
173405
-39,28
150,76
2002
128405
235087
131,15
35,57
2003
185624
366228
44,56
55,78
2004
223605
74120
20,46
-79,76
2005
214147
146027
-4,22
97,01
2006
312214
171489
45,79
17,43
Sumber : Data Olahan BP dan BAD 2001-2006
Pada tahun 2001 jumlah belanja pelayanan publik sebesar 55.550 juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar -39,28%. Artinya perkembangan APBD mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Namun di tahun 2002 perkembangan belanja pelayanan publik tidak lagi mengalami penurunan melainkan peningkatan yaitu sebesar 131,15% karena jumlah belanja pelayanan publik pada tahun 2002 mencapai 128.405 juta rupiah. Pada tahun 2003 dan 2004 jumlah belanja pelayanan publik masih mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan di tahun 2003 sebesar 44,56% dan di tahun 2004 sebesar 20,46%.Namun pada tahun 2005 terjadi penurunan laju pertumbuhan belanja pelayanan publik sebesar 4,22% dengan jumlah sebesar 214.147 juta rupiah. Dan di tahun2006 jumlah belanja pelayanan publik meningkat kembali menjadi sebesar 312.214 juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar 45,79%. Untuk belanja aparatur daerah, di tahun 2001 jumlahnya sebesar 137.405juta rupiah dengan laju pertumbuhan sebesar 150,76% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 jumlah belanja aparatur daerah menjadi 235.087 juta rupiah dandi tahun 2003 belanja aparatur daerah masih mengalami peningkatan sebesar55,78%. Namun pada tahun 2004 belanja aparatur daerah mengalami penurunan sebesar 79,76% dengan jumlah belanja aparatur daerah sebesar 74.120 juta rupiah. Penurunan ini terjadi hanya satu tahun saja. Di tahun 2005 jumlah belanja aparatur daerah mengalami peningkatan kembali sebesar 97,01% dan tahun 2006 sebesar17,4% dengan jumlah belanja aparatur daerah tahun 2006 sebesar 171.489 juta rupiah.
Maka dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan belanja pelayanan publik di tahun 2001 mengalami penurunan sedangkan belanja aparatur daerah mengalami peningkatan. Di tahun 2002 dan 2003 belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah mengalami peningkatan laju pertumbuhan. Pada tahun 2004, laju pertumbuhan belanja pelayanan publik yang mengalami peningkatan sedangkan belanja aparatur daerah mengalami penurunan yaitu sebesar 79,76%. Di tahun 2005 yang mengalami penurunan laju pertumbuhan adalah belanja pelayanan publik sedangkan belanja aparatur daerah mengalami peningkatan. Dandi tahun 2006 baik belanja pelayanan publik maupun belanja aparatur daerah mengalami peningkatan perkembangan. Perkembangan APBD, Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur Daerah juga dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Perkembangan Proporsi Belanja Pelayanan Publik dan Belanja
Aparatur Daerah Terhadap APBD Kota Jambi Periode 2001-2006 Perkembangan APBD dipengaruhi oleh jumlah belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah. Semakin besar jumlah belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah maka semakin besar pula jumlah APBD dan ini akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan APBD. Besamya proporsi belanja pelayanan publik berbeda dengan proporsi belanja aparatur daerah. Begitupun dengan perkembangan proporsi komponen tersebut perkembangan proporsi belanja pelayanan publik bisa lebih besar dari perkembangan proporsi belanja aparatur daerah, atau sebaliknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 5.2 berikut ini:
Tabel 5.2
Proporsi Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur Daerah Serta
Perkembangannya Terhadap APBD (%)
Tahun
Proporsi Terhadap APBD
Perkembangan Proporsi Terhadap APBD
BP
BAD
BP
BAD
2001
10,14
31,67
-59,79
66,15
2002
15,2
27,83
49,86
-12,12
2003
15,48
30,54
1,81
9,73
2004
37,55
12,44
142,56
-59,26
2005
29,75
20,29
-20,77
63,10
2006
32,27
17,72
8,48
-12,66
Sumber : Data Olahan APBD tahun 2001-2006
Dari tabel 5.2 diatas dapat di lihat bahwa tahun 2001 proporsi belanjapelayanan publik lebih kecil dari proporsi belanja aparatur daerah terhadap APBD, dengan perkembangan proporsi belanja pelayanan publik sebesar -59,79%dan belanja aparatur daerah sebesar 66,15%. Ini menunjukkan adanya penurunan terhadap belanja pelayanan publik seperti pendirian gedung, kantor, pembuatan jalan dan selain sebagainya. Sebaliknya, anggaran belanja lebih banyak dialokasikan untuk biaya pemeliharaan, gaji pegawai, perjalanan dinas dan pembelian peralatan kantor. Di tahun berikutnya, tahun 2002 kondisi proporsi belanja pelayanan publik dibandingkan dengan belanja aparatur daerah masih sama dengan tahun sebelumnya yaitu belanja pelayanan publik lebih kecil dari perkembangan proporsi antara belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah, yaitu berbanding terbalik dari kondisi tahun sebelumnya, belanja pelayanan publik meningkat 49% sedangkan belanja aparatur daerah turun 12,12%. Begitupun di tahun 2004 dan2006, perkembangan proporsi belanja aparatur daerah mengalami penurunan sebesar -59,26% dan -12,66% dengan proporsi nya sebesar 12,44% dan 17,72%. Artinya terjadi peningkatan pengalokasian dana anggaran terhadap belanjapelayanan publik. Anggaran lebih banyak digunakan untuk pembuatan gedung-gedung, perkantoran, perbaikan jalan, pembuatan jembatan dan sebagainya.
Dari tabel di atas dapat dilihat juga bahwa proporsi belanja pelayanan publik terhadap APBD yang terbesar yaitu pada tahun 2004 dengan proporsi sebesar 37,55% sedangkan proporsi belanja aparatur daerah yang terbesar ada pada tahun 2001 yaitu sebesar 142,56% di tahun 2004 dan terendah di tahun 2001 yaitu sebesar 59,79%. Dan untuk belanja aparatur daerah perkembangan proporsi tertinggi ada di tahun 2001 yaitu sebesar 66,15% dan penurunan terbesar ada pada tahun 2004 dengan nilai -59,26%. (Lihat grafik 2 pada lampiran).
Proporsi APBD, Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur
Daerah Terhadap PDRB Periode 2001-2006Dalam kurun waktu enam tahun baik APBD, BP maupun BAD memiliki proporsi terhadap PDRB yang berbeda- beda setiap tahunnya. Komponen ini juga mengalami peningkatan atau penurunan dari tahun ketahuinya. Seperti halnya APBD di tahun 2001 proporsi nya dalam PDRB hanya sebesar 24,86% namun pada tahun 2002 proporsi APBD menjadi 34,15% atau meningkat sebesar 37,56%. Proporsi ini terus meningkat hingga di tahun 2003 APBD telah mencapai43,13%. Namun pada tahun 2004 proporsi APBD terhadap PDRB malah menurun menjadi 18,87%, ini dikarenakan penurunan jumlah proporsi BAD terhadap PDRB hingga 82%, Pada tahun 2005 dan 2006 proporsi APBD terhadap PDRB meningkat kembali menjadi 19,61% dan 19,63%. Dengan kata lain dari tahun2005 ke tahun 2006 terjadi peningkatan proporsi sebesar 0,02% atau dengan laju pertumbuhan hanya sebesar 1,63%. Untuk mengetahui proporsi APBD, BP dan BAD serta perkembangannya terhadap PDRB lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.3.1
Proporsi APBD, BP dan BAD Terhadap PDRB Periode 2001-2006
Tahun
Proporsi Terhadap PDRB (%)
APBD
BP
BAD
2001
24,86
2,52
7,87
2002
34,15
5,19
9,5
2003
43,13
6,67
13,17
2004
18,87
7,08
2,34
2005
19,61
5,83
3,98
2006
19,93
6,43
3,53
Sumber : Data olahan APBD dan PDRB Kota Jambi Tahun 2001-2006
Dan pada tabel di bawah ini terlihat bahwa proporsi APBD terhadap PDRB Kota Jambi yang terbesar ada pada tahun 2003 yaitu sebesar 43,13% dan terkecil ada pada tahun 2004 sebesar 18,87%. Proporsi belanja pelayanan publik terhadap PDRB pada tahun 2001 sebesar 2,52%. Di tahun 2002 meningkat menjadi 5,19% atau sebesar 105,95%. Peningkatan proporsi ini terns berlangsung hingga di tahun 2004 proporsi belanja pelayanan publik sebesar 7,08% dengan laju peningkatan sebesar 6,14%. Dan di tahun 2005 proporsi belanja pelayanan publik terhadap PDRB malah menurun menjadi 5,83% atau dengan penurunan sebesar 17,65%. Namun di tahun 2006 proporsi belanja pelayanan publik terhadap PDRB Kota Jambi meningkat kembali menjadi 6,43% atau sebesar 10,29%.
(Lihat grafik 3 pada lampiran).
Tabel 5.3.2
Perkembangan Proporsi APBD, Belanja Pelayanan Publik dan Belanja Aparatur Daerah Terhadap PDRB Kota Jambi Periode 2001-2006
Tahun
Perkembangan Proporsi Terhadap PDRB (%)
APBD
BP
BAD
2001
37,56
-44,72
128,39
2002
37,36
105,95
20,71
2003
26,29
28,51
38,63
2004
-56,24
6,14
-82,23
2005
3,92
-17,65
70,08
2006
1,63
10,29
-11,30
Sumber : Data olahan APBD dan PDRB Tahun 2001-2006
Untuk belanja aparatur daerah dari tahun 2001 hingga tahun 2003 selalu mengalami peningkatan jumlah proporsi yaitu 7,87%; 9,5% dan 13,17%. Namun pada tahun 2004 proporsi belanja aparatur daerah turun secara drastis menjadi 2,34% atau sebesar 82,23%. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2003 ke tahun2004 anggaran untuk belanja aparatur daerah diperkecil dan dialihkan ke belanjapelayanan publik. Di tahun 2005 perkembangan proporsi aparatur daerah terhadap PDRB Kota Jambi meningkat kembali sebesar 70% atau dengan proporsi sebesar3,98%. Dan pada tahun 2006 terjadi peningkatan terhadap proporsi belanjapelayanan publik maka belanja aparatur daerah mengalami penurunan sebesar13,30% atau proporsi sebesar 3,53%. (Lihat grafik 4 pada lampiran).
Dari dua tabel tersebut dapat dilihat juga bahwa naik turunnya proporsi APBD dipengaruhi oleh besar kecilnya proporsi belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah. jika laju perkembangan proporsi belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah menurun maka proporsi APBD akan menurun. Jika perkembangan proporsi belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah meningkat maka proporsi APBD akan meningkat juga. Namun jika salah satu komponen APBD baik belanja pelayanan publik ataupun belanja aparatur daerah yang menurun dengan jumlah penurunan lebih besar dari peningkatan komponen belanja lainnya, maka proporsi APBD juga akan menurun, dan sebaliknya.
Begitupun antara belanja publik dan belanja aparatur daerah, kedua komponen ini juga saling mempengaruhi. Jika belanja aparatur daerah meningkat maka belanja publik akan menurun atau tetap. Atau jika proporsi belanja publik yang ditingkatkan maka proporsi belanja aparatur daerah akan menurun atau tetap.
Seperti pada tahun 2003 ke tahun 2004, jumlah proporsi belanja aparatur daerah menurun sebesar 82%. Sedangkan belanja publik meningkat sebesar 6,14%. Ini menunjukkan bahwa di dalam PDRB komponen belanja pelayanan publik yang meningkat proporsi nya sedangkan proporsi belanja aparatur daerah menurun. Artinya pada tahun 2004 Kota Jambi lebih cenderung memperhatikan pembangunan fisik kota.
Elastisitas APBD Terhadap PDRB
Dalam periode 2001 sampai 2006 terjadi perubahan APBD dan komponen- komponennya terhadap PDRB Kota Jambi. Untuk mengetahui seberapa besar elastisitas APBD, BP dan BAD terhadap PDRB Kota Jambi periode2001 sampai 2006 dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut ini;
Tabel 5.4
Elastisitas APBD Terhadap PDRB Kota Kambi Periode 2001-2006
Tahun
Elastisitas Terhadap PDRB
APBD
BP
BAD
2001
3,80
7,28
6,77
2002
3,21
5,18
2,39
2003
2,68
2,79
3,24
2004
8,52
1,42
33,13
2005
1,23
0,31
3,51
2006
1,05
1,28
0,60
Sumber : Data olahan APBD dan PDRB Kota Jambi Periode 2001-2006
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2001 elastisitas APBD terhadap PDRB sebesar 3,8. Ini menunjukkan bahwa meningkatnya PDRB sebesar 1 % akan menyebabkan peningkatan APBD sebesar 3,8%. APBD yang elastis juga terdapat pada tahun 2002 hingga 2006. Artinya selama kurun waktu 6tahun APBD selalu elastis terhadap PDRB dan ini menunjukkan bahwa meningkatnya PDRB menyebabkan peningkatan terhadap APBD. Untuk belanja publik terjadi kondisi yang elastis terhadap PDRB pada tahun 2001 sebesar 7,28. Artinya pada tahun ini peningkatan PDRB sebesar 1% menyebabkan peningkatan terhadap APBD sebesar 7,28%. Di tahun 2002 elastisitas belanja pelayanan publik sebesar 5,18. Tahun 2003 sebesar 2,79 dan tahun 2004 sebesar 1,42%. Pada tahun2005 belanja pelayanan publik inelastis terhadap PDRB yaitu sebesar 0,31. Artinya, terjadi kenaikan sebesar 0,31% terhadap APBD pada saat PDRB meningkat sebesar 1%. Namun, pada tahun 2006 belanja pelayanan publik kembali elastis terhadap PDRB yaitu sebesar 1,28. Untuk belanja aparatur daerah dari tahun 2001 hingga tahun 2005 selalu mengalami elastis terhadap PDRB. Ini menunjukkan bahwa besamya belanja aparatur daerah di tahun 2001 hingga 2005benar-benar mendukung peningkatan perekonomian Kota Jambi. Namun pada tahun 2006 belanja aparatur daerah tidak lagi mengalami elastis melainkan in elastis terhadap PDRB yaitu sebesar 0,6. Artinya peningkatan PDRB sebesar1% hanya menyebabkan peningkatan APED sebesar 0,6%.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penjabaran yang telah penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya maka dapat di ambil kesimpulan :
Perkembangan APBD Kota Jambi dari tab.im 2001 sampai tahun 2006 selalu berfluktuasi. Begitupun dengan komponen-komponennya yaitu belanjapelayanan publik dan belanja aparatur daerah. Fluktuatif nya perkembangan APBD di picu oleh naik turunnya belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah.
Perkembangan APBD dipengaruhi oleh jumlah belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah. Semakin besar jumlah belanja pelayanan publik dan belanja aparatur daerah maka semakin besar pula jumlah APBD dan ini akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan APBD. Besamya proporsi belanja pelayanan publik berbeda dengan proporsi belanja aparatur daerah. Begitupun dengan perkembangan proporsi komponen tersebut perkembangan proporsi publik bisa lebih besar dari perkembangan proporsi belanja aparatur daerah, atau sebaliknya. Proporsi komponen APBD dari tahun2001 sampai tahun 2003 belanja pelayanan publik lebih kecil dari belanja aparatur daerah. Namun di tahun 2004 sampai 2006 terjadi kondisi sebaliknya yaitu belanja pelayanan publik lebih besar dari belanja aparatur daerah. Ini menunjukkan pembangunan Kota Jambi dari tahun 2004 semakin baik.
Dalam kurun waktu enam tahun baik APBD, BP maupun BAD memiliki proporsi terhadap PDRB yang berbeda- beda setiap tahunnya. Komponen ini juga mengalami peningkatan atau penurunan dari tahun ke tahunnya Untuk proporsi APBD terhadap PDRB terjadi peningkatan dari tahun 2001 sampai2003. Dari tahun 2003 ke tahun 2004 turun menjadi 18,87% kemudian meningkat menjadi 19,61% dan 19,93% di tahun 2005 dan 2006. Untuk proporsi komponen APBD terhadap PDRB , pada tahun 2001 sampai 2003belanja aparatur daerah yang mendominasi. Namun pada tahun 2004 sampai2006 proporsi belanja pelayanan publik jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja aparatur daerah.
Dari tahun 2001 sampai tahun 2006 APBD selalu bersifat elastis terhadap PDRB ini ditunjukkan dengan nilai elastisitas selalu lebih dari 1. ini berarti bahwa besamya APBD memberikan pengaruh yang signifikan terhadap PDRB dan berslope positif.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat penulis sarankan sebagai berikut;
Sudah seharusnya pemerintah lebih memfokuskan kepada peningkatan APBD dengan memperluas objek pajak sehingga perkembangan APBD menjadi lebih besar. Dan juga diharapkan proporsi pengeluaran APBD untuk anggaran publik hams lebih besar dan menunjukkan trend peningkatan lebih cepat dibandingkan dengan anggaran aparatur daerah.
Dengan signifikan nya pengaruh APBD terhadap PDRB sudah seharusnya pemerintah mengambil kebijakan dan mengefektifkan serta mengefisienkan pengeluaran sehingga lebih mendorong peningkatan PDRB di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
----------Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
---------. 2002. Kepmendagri No.29 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Dirjen Otonomi Daerah, Kompak, April No. 23, 573-587.
Devas. N.B. Binder. K.Devey. R. Kelly. 1998. Keuangan Pemerintah Daerah Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Gill, Richard T. 1983. Ekonomi Pembangunan Dulu dan Sekarang. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Halim A. 1996. Dasar-dasar Akuntansi Biaya. 4-ed. BPFE Yogyakarta.
Jhingan. 1994 Ekonomi Pembangunan. Rineka Cipta. Jakarta.
Kuncoro M. 2000. Ekonomi Pembangunan. BPFE- UGM. Yogyakarta.
Lutfeika. 2001. Analisis Penerapan Anggaran Kinerja Di Kabupaten Indragiri Hilir. Tesis. Program Pasca Sarjana, UGM
Mardiasmo. 2000. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Untuk Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah 2001. Kompak Himmep Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Mandica N. 2001. Desentralisasi Anggaran Daerah dan Akuntabilitas Publik, Kompas Media Nomor 338 tahun ke-36. FT. Kompas Media Nusantara.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik Pemerintah. Yogyakarta.
Reksohadiprodjo S. 1996. Keuangan Negara (ekonomi publik) Teori dan Praktek JKAP Volume 1 No. 1 (Maret 1996) 74-77.
Soeparmoko. 1999. Ekonomi Pembangunan. LPFE- UI. Jakarta.
Sukimo S. 1999. Ekonomi Pembangunan. LPFE-UI. Jakarta.
Supriyono RA. 1999. Akuntansi Biaya, Pengumpulan Biaya dan Penentuan Harga Pokok. Buku I edisi 2 BPFE. Yogyakarta.
Todaro MP. 2001. Ekonomi Pembangunan dl Negara Dunia Ketiga. Ghalia Indonesia. Jakarta.