ANALISIS DISTRIBUSI PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA MENGGUNAKAN SOFTWARE EPIINFO DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WIROBRAJAN YOGYAKARTA TAHUN 2013
SKRIPSI
Oleh :
Disusun Oleh : RATRI NUR HIDAYATI NIM. 14.09.1980
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL YOGYAKARTA 2013
ANALISIS DISTRIBUSI PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA MENGGUNAKAN SOFTWARE EPIINFO DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WIROBRAJAN YOGYAKARTA TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta
Oleh : RATRI NUR HIDAYATI NIM. 14.09.1980
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL YOGYAKARTA 2013
i
ANALISIS DISTRIBUSI PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA MENGGUNAKAN SOFTWARE EPIINFO DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WIROBRAJAN YOGYAKARTA TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Oleh : RATRI NUR HIDAYATI NIM. 14.09.1980
Yogyakarta, 19 Juli 2013 Telah disetujui oleh dosen Pembimbing Pembimbing,
Yulian Endarto, S.KM
ii
Skripsi ini Telah Dipertahankan dan Disahkan di Depan Dewan Penguji Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta
Tanggal : 29 Juli 2013
Yang terdiri dari : Ketua
Jamroni, S.Kom, M.Kom
Anggota I
Anggota II
Sri Yuni Tursilowati, S.KM
Yulian Endarto, S.KM
Mengetahui, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta
Sugiono SIP, M.M, M.PH NIP 13.03.03.0182
iii
MOTTO
“Inna ma’al ‘usri yusraa..’Sesungguhya sesudah kesulitan itu ada kemudahan’..(Q.S Ash – Sharh : 6)”
“Man Jadda Wa Jadda” “Keterbatasan Bukanlah Suatu Penghambat, Justru Dengan Keterbatasan Itu Kita Harus Dapat Berbuat Lebih Agar Bisa Menjadi Tak Terbatas” “Sebaik – baik Manusia Adalah Yang Dapat Bermanfaat Untuk Orang lain”
“I’m Not The Best, But I’ll Try To Do My Best”
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur selalu ku panjatkan kehadirat Allah Tuhan semesta alam atas rahmat, kasih sayang, serta pertolongan – Nya dalam mempermudah segala urusan hamba – Nya. Akhirnya selesailah Big Project ini setelah melalui perjuangan dan segala rintangan yang menghadang. Dengan ini, ku persembahkan karya ilmiah yang bernama skripsi ini untuk orang – orang yang aku sayangi dan aku banggakan : Orangtuaku Ibu Tutik M.R dan Bapak Parji, B.A terimakasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa yang selalu diberikan untukku. I Love You So Much! Kakakku tercinta Nurani E.H, S.Kep yang selalu jadi kakak terbaik berbagi dalam suka dan duka juga telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Thank’s sist! Semua guru – guruku dan juga para dosen pengajar yang telah sepenuh hati membimbing dan mengajarkanku banyak ilmu yang insyaAllah bermanfaat untuk kehidupanku di dunia maupun akhirat. Dosen Pembimbingku di luar kampus Bapak Arief Kurniawan, terimakasih banyak atas bimbingan dan ilmu baru ini, karna bapak saya bisa. Sahabat terbaikku Nur Maulida Sari, S.S, terimakasih udah jadi teman terbaikku yang selalu setia menemani kesana kemari. Sahabat terbaikku saat mulai kuliah di SSG Kartika Ayuningtyas, S.KM, Linda Febriani, S.KM, dan Kartika Sari, S.KM, terimakasih atas kebersamaannya selama ini semoga terjalin sampai kapanpun, amin. Sahabat ajaibku Dyah Ayu Setyaningrum terimakasih buat pengalaman – pengalaman baru yang belum pernah aku dapat sebelumnya, So thankfull for you! Neni, Lintang, Hadfa, Enjy, Zizah, Mba dhem, Iwa’, Farah dan semua teman – teman Keluarga Yogyakarta terimakasih buat kesetian persahabatan ini. Gitaris favoritku Elang Putra Nuraga yang selalu jadi penyemangat saat kejenuhan melanda, terimakasih untuk DM motivasinya sebelum pendadaran.. you’re supacool dude!! Adik – adik tingkat kelas A, B, C KM’10 dan H’KM’11 yang telah banyak membantu penelitian di lapangan, thank’s guys! Semua teman – teman IKAPPIM SPRING – FREEDOM yang tidak bisa disebutkan satu per satu, kalian akan selalu jadi bintang – bintang dalam hidupku. Seluruh teman – teman sejawat dan seperjuangan di Kesehatan Masyarakat khususnya Kelas G’KM’09, Perjuangan kita masih panjang teman..diluar sana banyak orang yang menunggu kita..jadi tetap semangat ya!! Paduan Suara Mahasiswa (PSM) SSG beserta pembina, pelatih, dan anggotanya yang ikut memberi warna dan sensasi selama kuliah di SSG. Gadjah Mada University yang sudah bak kampus kedua untukku, terimakasih untuk akses perpustakaannya.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Distribusi Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta Tahun 2013” dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan, dorongan, dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimaksih kepada : 1. Sugiono, S.IP, MM, M.P.H selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta. 2. Jamroni, S.Kom, M.Kom selaku Ketua Dewan Penguji Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta 3. Sri Yuni Tursilowati, S.KM selaku Anggota I Dewan Penguji Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta. 4. Yulian Endarto, S.KM selaku Anggota II Dewan Penguji dan Dosen Pembimbing Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta 5. Susyana Candra S.D, S.H, M.M selaku dosen wali di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta 6. Dr. Iva Kusdyarini selaku Kepala di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta. 7. Bapak Heri Selaku Kepala Bagian Tata Usaha di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta yang telah membantu kelancaran perizinan dan kelengkapan data penelitian. 8. Dr. Zammy selaku penanggungjawab Program P2 – ISPA di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian. 9. Seluruh petugas di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
vi
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan segenap kerendahan hati, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan demi perbaikan lebih lanjut. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan semoga kelemahan dan kekurangan yang ada dapat menjadi suatu bahan pelajaran bagi kakak-kakak, adik-adik dan rekan sejawat seluruhnya.
Yogyakarta, Juli 2013
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii HALAMAN MOTTO ........................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI .......................................................................................................viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x DAFTAR GRAFIK .............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii INTISARI ............................................................................................................xiii ABSTRACT ........................................................................................................ xiv BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 A. Latar Belakang .......................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah................................................................................... 6 C. Batasan Masalah........................................................................................ 6 D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7 E. Manfaat Penelitian..................................................................................... 7 F. Keaslian Penelitian .................................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 10 A. Landasan Teori......................................................................................... 10 B. Kerangka Teori ........................................................................................ 48 C. Kerangka Konsep Penelitian ..................................................................... 49 BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 50 A. Jenis Penelitian ......................................................................................... 50 B. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 50 C. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 51 D. Definisi Operasional ................................................................................. 51 E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 54 G. Instrumen Penelitian ................................................................................. 55 H. Metode Analisis Data ............................................................................... 56 I. Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 56 J. Tahap –Tahap Penelitian .......................................................................... 57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 59 A. Hasil Penelitian ........................................................................................ 59 B. Pembahasan ............................................................................................. 78 BAB V PENUTUP .............................................................................................. 97 A. Kesimpulan .............................................................................................. 97 B. Saran ....................................................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12
10 Besar Penyakit Kota Yogyakarta Tahun 2012 ............................... 3 Rekapitulasi Laporan Bulanan Program P2 – ISPA per – Puskesmas tahun 2012 (Usia<5th) ....................................................................... 4 Enam Kelompok Besar Virus Penyebab ISPA ................................... 14 Kategori Dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks... 25 Tahap – tahap Penelitian.................................................................... 57 Sarana Pelayanan Kesehatan.............................................................. 63 Kader Kesehatan ............................................................................... 64 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Jenis Kelamin .................... 68 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Umur ................................. 69 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Pemberian ASI ................... 70 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Status Imunisasi ................. 71 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Status Gizi ......................... 72 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Paparan Asap Rokok .......... 73 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Paparan Asap Dapur .......... 74 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Paparan Asap Obat Nyamuk............................................................................................. 75 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Keadaan Lantai Rumah ...... 76 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Keadaan Dinding Rumah ... 77
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bentuk Sistem Sederhana .................................................................... 30 Gambar 2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 48 Gambar 2.3 Kerangkan Konsep Penelitian ............................................................. 49 Gambar 4.1 Peta Administratif Kecamatan Wirobrajan .......................................... 65 Gambar 4.2 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta Tahun 2013 ............................... 65 Gambar 4.3 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan berdasarkan clustering letak penderita ........... 66 Gambar 4.4 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas berdasarkan kedekatan letak penderita dengan Jalan ........ 67 Gambar 4.5 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Jenis Kelamin ................................. 68 Gambar 4.6 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Umur .............................................. 69 Gambar 4.7 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Pemberian ASI ................................ 70 Gambar 4.8 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Status Imunisasi .............................. 71 Gambar 4.9 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Status Gizi ...................................... 72 Gambar 4.10Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Paparan Asap Rokok ...................... 73 Gambar 4.11Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Paparan Asap Dapur ....................... 74 Gambar 4.12Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Paparan Asap Obat Nyamuk ........... 75 Gambar 4.13Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Keadaan Lantai Rumah ................... 76 Gambar 4.14Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Keadaan Dinding Rumah ................ 77
x
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Wirobrajan Tahun 2011 ................... 61 Grafik 4.2 Perbandingan Jenis Kelamin Penduduk di Kecamatan Wirobrajan Tahun 2011 .................................................................................... 61 Grafik 4.3 10 Besar Penduduk Berdasarkan Kelompok Pekerjaan ................... 62
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Fotokopi Surat Ijin Permintaan Data dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta 2. Fotokopi Surat Permohonan Ijin Penelitian 3. Fotokopi Surat Izin Penelitian dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta 4. Fotokopi Surat Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta 5. Fotokopi Surat Izin Penelitian dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dengan Legalisir Camat Kecamatan Wirobrajan Yogyakarta 6. Fotokopi Surat Izin Penelitian dari Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta 7. Fotokopi Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta 8. Fotokopi Rekapitulasi Laporan Program P2-ISPA Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta 9. Fotokopi Data 10 Besar Penyakit Kota Yogyakarta 10. Lembar Survei Lapangan 11. Rekapitulasi Data Sampel Penelitian 12. Rekapitulasi Data Hasil Survey 13. Peta Administratif Kecamatan Wirobrajan 14. Output Hasil Analisis Menggunakan Software Epi Info 15. Database Pengolahan Data Menggunakan Software Epi Info 16. Fotokopi Surat Permohonan Pergantian Judul Skripsi 17. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Ketentuan Umum Penggunaan Standar Antropometri WHO 2005 18. Foto – foto Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian
xii
ANALISIS DISTRIBUSI PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA MENGGUNAKAN SOFTWARE EPI INFO DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WIROBRAJAN YOGYAKARTA TAHUN 2013 Ratri Nur Hidayati 14.09.1980 INTISARI Latar Belakang: ISPA merupakan penyakit yang sering diderita oleh masyarakat pada semua kelompok umur dan dapat terjadi di berbagai daerah termasuk Kota Yogyakarta. Berdasarkan penelitian terdahulu didapatkan bahwa penyakit ini termasuk salah satu penyakit yang berbahaya karena dapat menimbulkan kematian khususnya pada balita. Hasil laporan Program P2-ISPA Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, angka kesakitan ISPA pada Balita tertinggi di Kota Yogyakarta tahun 2012 yaitu di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan. Dengan demikian, peneliti ingin menganalisis distribusi penyakit ISPA pada balita menggunakan software Epi Info yang mana dapat memberikan analisis secara spasial dan non spasial. Tujuan: Untuk mendapatkan analisis distribusi penyakit ISPA pada balita menggunakan software Epi Info di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta tahun 2013. Metode:Jenis penelitian ini adalah penelitian survei/observasional dengan metode penelitian survei deskriptif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 123 balita. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan software Epi Info. Hasil: Distribusi Penyakit ISPA pada balita berdasarkan clustering letak penderita dan kedekatan letak penderita dengan jalan lokal maupun Provinsi. Distribusi Penyakit ISPA pada balita berdasarkan faktor resiko diantaranya yaitu ; (1) Jenis Kelamin, Laki – laki berjumlah 70 anak dan Perempuan berjumlah 53 anak. (2) Umur, umur 0 – 1 tahun berjumlah 41 anak dan umur 1 – 4 tahun berjumlah 82 anak. (3) Pemberian ASI, Eksklusif berjumlah 96 anak dan Tidak Eksklusif berjumlah 27 anak. (4) Status Imunisasi, Lengkap berjumlah 111 anak dan Tidak Lengkap berjumlah 12 anak. (5) Status Gizi, Baik berjumlah 104 anak, Kurang berjumlah 16 anak, dan Buruk berjumlah 3 anak. (6) Pencemaran Udara Dalam Rumah yaitu ; (a) Asap Rokok, Terpapar berjumlah 80 anak dan Tidak terpapar berjumlah 43. (b) Asap Dapur, Terpapar berjumlah 18 anak dan Tidak terpapar berjumlah 105 anak. (c) Asap Obat Nyamuk, Terpapar berjumlah 20 anak dan Tidak terpapar berjumlah 103 anak. (7) Lingkungan Fisik Rumah yaitu ; (a) Keadaan Lantai Rumah, Baik berjumlah 53 anak dan Tidak baik berjumlah 70 anak. (b) Keadaan Dinding Rumah, Baik berjumlah 118 anak dan Tidak baik berjumlah 5 anak. Kesimpulan: Terdapat pola distribusi penyakit ISPA yaitu adanya clustering letak penderita satu dengan yang lain dan adanya kedekatan letak penderita dengan jalan lokal maupun jalan provinsi. Faktor resiko yang dimungkinkan menjadi penyebab terjadinya penyakit ISPA yaitu faktor Jenis Kelamin, Umur, Pencemaran udara di dalam rumah yang berupa Paparan Asap rokok dan Lingkungan fisik rumah yang berupa keadaan lantai rumah. Kata Kunci: ISPA, Balita, Software Epi Info
xiii
ANALYSIS OF ACUTE RESPIRATORY TRACT INFECTION DISEASE (ARI) DISTRIBUTION IN CHILDREN UNDER FIVE YEARS USING EPI INFO SOFTWARE IN THE WORK AREA OF WIROBRAJAN HEALTH CENTER OF YOGYAKARTA IN 2013 Ratri Nur Hidayati 14.09.1980 ABSTRACT Background: ARI is a disease that often affects people in all age groups and can occured in a variety of areas including the city of Yogyakarta. Based on previous studies it was found that this disease is a dangerous disease because it can cause death especially in infants. The results of report from Disease Control and Prevention Program of Yogyakarta City Health Office, the highest respiratory morbidity in children under five years in city of Yogyakarta in 2012 is in the Work Area of Wirobrajan Health Center. Thus, researchers want to analyze the distribution of respiratory disease in children under five years using Epi Info software which can provide analysis of spatial and non spatial. Objective: To obtain a distribution analysis of Acute Respiratory Infection (ARI) in children under five years using the Epi Info Software in the Work Area of Wirobrajan Health Center of Yogyakarta in 2013. Methods: The study was a survey research / observational with descriptive survey research methods. The sample in this research were 123 infants (<5th). Processing and data analysis was performed with Epi Info software. Results: Respiratory disease in infants distributions based clustering of patients and the location proximity of patients with local and provincial roads. Respiratory disease in infants distribution based of risk factors which are: (1) Sex, Male children are 70 numbered and Female children are 53numbered. (2) Age, the age of 0-1 years amounted to 41 children aged and 1-4 years amounted to 82 children. (3) Breastfeeding, Exclusive totaled 96 children and not exclusive are 27 children. (4) Immunization Status, complete are 111 children and Incomplete are 12 children. (5) Nutritional Status, Good totaled 104 children, less totaled 16 children, and bad were 3 children. (6) Domestic Air Pollution, namely: (a) Smoke smoking, exposure amounted to 80 children and not exposed totaled 43 children. (b) Smoke Kitchen, Exposed are 18 children and 105 children are not exposed. (c) Medication Mosquito Smoke, exposure are 20 children and not exposed are 103 children. (7) Physical Environment Houses namely: (a) The state House floor, Good totaled 53 children and are not good numbered 70 children. (b) The state of Wall House, Good totaled 118 children and are not good numbered 5 children. Conclusions: There is a respiratory disease distribution pattern that is the clustering layout patient with one another and the closeness of the location of the patient with local and provincial roads. Possible risk factors that cause the occurrence of respiratory disease factors are Gender, Age, indoor air pollution in the form of cigarette smoke exposure and the physical environment in the form of the state house floor. Keywords: ARI, Children Under Five Years, Epi Info Software
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah (Rasmaliah, 2004). Beban penyakit untuk Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) diperkirakan 94 037 000 DALYs dan 3,9 juta kematian. ISPA adalah salah satu penyebab utama kematian pada anak di bawah 5 tahun tetapi diagnosis dan atribusi sulit dan tidak pasti (WHO, 2002). ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia, tanpa/disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab angka absensi tertinggi, lebih dari 50% semua angka tidak masuk kerja/sekolah karena sakit. Angka ketetapan terjadinya ISPA tertinggi pada kelompok-kelompok tertutup di masyarakat
seperti
asrama,
kesantrian,
sekolah-sekolah
yang
sekaligus
menyelenggarakan pemondokan (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang menyerang salah satu bagian atau lebih saluran napas, diketahui sebagai salah satu penyakit pembunuh anak usia di bawah lima tahun. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40 – 60 % kunjungan berobat di
1
2
puskesmas dan 15 – 30 % kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes RI, 2004). Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas), tahun 2007-2011 sekitar 18 Juta penduduk dilaporkan memiliki prevalensi penyakit ini. ISPA dapat menimpa semua kelompok umur karena faktor polusi udara dalam ruangan, polusi luar ruangan, peningkatan suhu bumi dan kelembaban. Penyakit ini ditandai dengan batuk-batuk, kesulitan bernapas yang berujung pada kematian. Menurut Direktur Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, HM. Subuh saat acara diskusi di Jakarta mengatakan bahwa “ISPA berbahaya apalagi jika sudah pneumonia akan sangat sulit ditolong. Namun, penyakit ini tidak dianggap serius dan cenderung diabaikan oleh masyarakat” (Kompas.com, 2012). Pada anak penyakit ini sangatlah rentan apalagi dengan perubahan iklim yang terjadi. ISPA akan menyerang anak pada bagian alveoli mengakibatkan mereka panas tinggi, batuk-batuk, dan sulit bernapas. Menurut Subuh, penyakit ini akan terus menjadi tren sampai 30 tahun ke depan. "Jangan sampai penyakit ini diabaikan. Masyarakat perlu melakukan pencegahan dengan berprilaku hidup bersih dan sehat, menjaga lingkungan, melindungi diri, dan jangan pernah menggangap enteng penyakit ini" ungkapnya (Kompas.com, 2012). Berdasarkan hasil observasi di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta , pada tahun 2012 jumlah penderita ISPA di wilayah Kota Yogyakarta sebanyak 62.783 jiwa dari jumlah penduduk 441.873 jiwa. Angka kejadian ISPA ini merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan 9 Penyakit lainnya yang termasuk dalam 10 besar penyakit di wilayah Kota Yogyakarta. Penyakit ISPA juga merupakan penyakit yang memiliki angka kesakitan tertinggi di daerah Kota Yogyakarta selama kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 – 2012 yang dibuktikan oleh data
3
tabuler 10 besar Penyakit. Berikut ini adalah data tabuler 10 besar penyakit di Kota Yogyakarta tahun 2012 : Tabel 1.1 10 Besar Penyakit Kota Yogyakarta Tahun 2012 NO JENIS PENYAKIT JUMLAH 1. Infeksi Akut lain pada Saluran Pernafasan Bagian Atas 62,783 2. Penyakit lain pada Saluran Pernafasan Bagian Atas 34,199 3. Penyakit pada Sistem Otot dan Jaringan Pengikat 32,341 4. Penyakit Pulpa dan Jaringan Perapikal 15,964 5. Diare (termasuk tersangka Kolera) 10,696 6. Penyakit kulit Infeksi 10,229 7. Penyakit Tekanan Darah Tinggi 8,117 8. Penyakit Rongga mulut, Kelenjar Ludah, Rahang & lainnya 7,145 9. Penyakit Kulit Alergi 5,981 10. Penyakit Mata lain – lain 5,741 Penyakit lainnya 166,873 360,069 JUMLAH Sumber : Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2012 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta memiliki wilayah kerja yang melingkupi puskesmas – puskesmas di daerah Kota Yogyakarta. Dari data rekapitulasi laporan bulanan program P2 ISPA Per – Puskesmas Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2012, kejadian penyakit ISPA khususnya pneumonia pada usia balita yang tertinggi yaitu pada Puskesmas Wirobrajan sebanyak 202 anak usia balita. Pada data tersebut juga menunjukkan bahwa kejadian ISPA terus meningkat pesat setiap tahunnya. Sehingga, hal ini mendukung sebagai objek lokasi yang harus segera diselidiki atau diteliti sehingga dalam jankga panjangnya dapat diberikan penanganan untuk meminimalisir kejadian penyakit tersebut. Berikut ini adalah data tabuler rekapitulasi laporan bulanan program P2 ISPA per – Puskesmas tahun 2012 (Usia <5th) :
4
Tabel 1.2 Rekapitulasi laporan bulanan program P2 ISPA per – Puskesmas tahun 2012 (Usia<5th)
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
PEN SASARAN Penemuan D PENEMUAN PUSK Pneumonia PEND <5th <5th (10% Pend) (10%balita) <1th 1-4th Total Tegalrejo 40157 4065 406 4 7 11 Jetis 30276 4049 405 44 70 114 G.tengen 22081 2828 283 14 22 36 Ngampilan 20312 2426 243 13 22 35 Wirobrajan 29225 3184 318 67 135 202 M.jeron 37589 4148 415 0 0 0 Kraton 24140 3385 339 3 2 5 P.alaman 11760 1569 157 1 8 9 G.manan 16840 2210 221 2 8 10 M.gangsan 33865 4376 438 5 41 46 D.rejan I 9934 1292 129 1 8 9 D.rejan II 15433 1967 197 0 3 3 G.kusuman I 33655 5559 556 0 2 2 G.kusuman II 13913 2163 216 18 72 90 U.harjo I 43510 3947 387 2 32 34 U.harjo II 25768 2823 282 56 135 191 Kt.Gede I 21250 1812 181 4 12 16 Kt.Gede II 12165 1094 109 1 7 8 Jumlah 441873 44187 4419 235 586 821 Sumber : Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
Kejadian penyakit ISPA merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang harus diatasi melihat dari dampak yang dapat terjadi karena penyakit tersebut. Dalam mengatasi permasalahan kesehatan terdapat salah satu elemen yang harus dipenuhi yaitu tersedianya data yang cepat, akurat dan informatif. Di era globalisasi ini, teknologi informasi semakin berkembang pesat. Adanya era komputerisasi telah membuka wawasan dan paradigma baru dalam proses pengambilan keputusan dan penyebaran informasi. Data yang mempresentasikan “dunia nyata” dapat disimpan dan diproses sedemikian rupa sehingga dapat
5
disajikan dalam bentuk – bentuk yang lebih sederhana dan sesuai kebutuhan. Dan mengenai pemahaman dunia nyata akan semakin baik jika proses – proses manipulasi dan presentasi data yang direlasikan dengan lokasi – lokasi geografi dipermukaan bumi telah dimengerti (Prahasta, 2005). Selama ini register untuk pengelolaan penyakit ISPA di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta masih menggunakan tabuler dan grafik. Sehingga, dalam upaya penanggulangan penyakit ISPA tersebut hanya mengacu pada kedua hal tersebut. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk dilakukan penelitian analisis distribusi penyakit ISPA menggunakan software epi info sebagai implementasi dari Sistem Informasi Geografis. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan penggunaan teknologi informasi untuk mengumpulkan, mengolah dan memvisualisasikan data keruangan serta data tabular lain. Penerapan pertama kali sistem informasi geografis dipelopori oleh John Snow ketika membuat peta kematian kolera pada saat terjadinya wabah kolera pada abad 19. Diantara aplikasi Utama SIG dalam bidang kesehatan masyarakat yaitu Membuat gambaran spasial dari peristiwa kesehatan dan evaluasi suatu intervensi kesehatan (Indriasih, 2008). Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu bagian dari Sistem Informasi Kesehatan yang dapat menghasilkan informasi spasial tentang suatu keadaan tertentu sehingga akan dapat membantu dalam hal pengambilan keputusan. Rais (2005) dalam teorinya mengatakan bahwa Sistem Informasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1972 dengan nama Data
6
Banks for Development. Namun, agaknya sistem ini belum terimplementasi dengan baik selama ini khususnya di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta. Maka dalam penelitian ini akan dilakukan analisis menggunakan software Epi Info mengenai kejadian penyakit ISPA kemudian akan di deskripsikan mengenai faktor – faktor resiko dan faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA khususnya di daerah Kota Yogyakarta yang dalam hal ini adalah pada wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Dengan adanya latar belakang masalah tersebut diatas maka dihasilkan perumusan masalah yaitu “Bagaimanakah Analisis Distribusi Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Menggunakan Software Epi Info Di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta Tahun 2013 ?” C. Batasan Masalah 1. Fokus Penelitian Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta pada 3 bulan pertama tahun 2013 yaitu bulan Januari sampai dengan bulan Maret. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada 08 April sampai dengan 20 Mei 2013 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Jl. Bugisan WB III, Gang Dorodasih 437, Yogyakarta yang meliputi Kelurahan Pakuncen, Wirobrajan, dan Patangpuluhan.
7
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan analisis distribusi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita menggunakan software Epi Info di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta tahun 2013. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi kejadian penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta tahun 2013. b. Untuk mendapatkan analisis dari distribusi kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta tahun 2013.
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi STIKES Surya Global Sebagai referensi pustaka hasil penelitian khususnya mengenai analisis distribusi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita menggunakan software Epiinfo sebagai implementasi dari Sistem Informasi Geografis. 2. Bagi Puskesmas a. Didapatkannya pemetaan distribusi kejadian penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta tahun 2013, sehingga dapat lebih mudah dipahami dan tervisualisasi secara nyata.
8
b. Didapatkannya analisis situasi mengenai kejadian penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta tahun 2013. c. Sebagai bahan pendukung bagi Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program-program kesehatan khusunya program penanggulangan penyakit ISPA di masa yang akan datang. 3. Bagi Peneliti a. Menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi peneliti khususnya mengenai analisis distribusi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita menggunakan software Epi Info yang mana merupakan suatu implementasi Sistem Informasi Geografis. b. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta. 4. Bagi Peneliti Lain Menambah wawasan dan pengetahuan tentang analisis distribusi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang mana merupakan implementasi dari Sistem Informasi Geografis. F. Keaslian Penelitian Penelitian yang sejenis dengan penelitian ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain yaitu : 1. Kristina (2008), melakukan penelitian dengan judul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Pemodelan Spasial Kejadian Tuberkulosis (TB) di Kota Denpasar Tahun 2007”. Persamaan dengan penelitian ini
9
adalah dalam jenis penelitiannya yaitu penelitian survei dan sama-sama untuk mendapatkan pemodelan spasial suatu penyakit. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu metode penelitian, tujuan penelitian, variabel penelitian, lokasi dan waktu penelitian. 2. S.T Widada (2009), melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Spasial Kejadian TB Paru BTA (+) Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kota Yogyakarta”. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitiannya yaitu penelitian survei. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu metode penelitian, tujuan penelitian, variabel penelitian, lokasi dan waktu penelitian. 3. Maria Angela (2011), melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Spasial dan Faktor Resiko Kejadian Penyakit TB Paru di Distrik Dili tahun 2010”. Persamaan dengan penelitian ini adalah dalam jenis penelitiannya yaitu penelitian survei. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu metode penelitian, tujuan penelitian, variabel penelitian, lokasi dan waktu penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) a. Definisi ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia, tanpa/disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab angka absensi tertinggi, lebih dari 50% semua angka tidak masuk kerja/sekolah karena sakit (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi yang mengenai bagian saluran pernapasan manapun, mulai dari hidung, telinga tengah,
faring (tenggorokan)), kotak suara (laring), bronchi,
bronkhioli dan paru. Jenis penyakit yang termasuk dalam infeksi saluran pernapasan bagian atas yaitu batuk, pilek, sakit telinga (otitis media) dan radang tenggorokan (faringitis). Sedangkan jenis penyakit yang termasuk infeksi saluran pernapasan bagian bawah yaitu bronchitis, bronkhiolitis, dan pneumonia (POM, 2011). Angka kejadian ISPA yaitu tertinggi pada kelompok-kelompok tertutup di masyarakat seperti asrama, sekolah-sekolah yang sekaligus menyelenggarakan pemondokan atau yang biasanya disebut pondok pesantren (boarding school).
10 1
11
ISPA bila mengenai saluran napas bawah, khusus pada bayi, anakanak, dan orangtua memberikan gambaran klinik yang berat dan buruk berupa bronkitis dan banyak yang berakhir pada kematian. Pada ISPA yang disebabkan oleh virus, biasanya perempuan lebih rentan dibandingkan dengan laki – laki namun pada waktu mensis mereka lebih tahan terhadap infeksi virus. b. Patogenesa Selama hidup, saluran pernapasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien dari sistem saluran pernapasan ini. Menurut Alsagaff, Amin, dan Saleh (1989) ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu : 1) Utuhnya epitel mukosa dan gerak mukosilia 2) Makrofag alveoli 3) Antibodi setempat Pada saluran napas yang telah rusak sel-sel epitel mukosanya cenderung lebih mudah terjadi infeksi bakterial yang disebabkan oleh infeksi – infeksi yang terdahulu. Keutuhan gerak lapisan mukosa dan silia dapat terganggu oleh karena : 1) Asap rokok dan gas SO2, polutan utama adalah pencemaran udara 2) Sindroma Imotil
12
3) Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih) Makrofag biasanya banyak terdapat di alveoli dan baru akan dimobilisasi ke tempat-tempat dimana terjadi infeksi. Asap rokok menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedang alkohol menurunkan mobilitas sel-sel ini (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). Antibodi pada saluran napas adalah IgA yang banyak terdapat di mukosa. Kurangnya antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti pada keadaan defisiensi IgA pada anak. Anak – anak dengan keadaan imunodefisiensi juga akan mengalami hal yang serupa, seperti halnya penderita-penderita yang mendapat terapi sitostatik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas, dan lain-lain (immuno compromised host) (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). Gambaran klinik radang yang disebabkan karena infeksi sangat tergantung pada : 1) Karakteristik inokulum 2) Daya tahan tubuh 3) Umur seseorang Karakteristik inokulum sendiri terdiri dari besarnya aerosol, tingkat virulensi jasad renik dan banyaknya (jumlah) jasad renik yang masuk. Umur mempunyai pengaruh besar terutama pada ISPA saluran pernapasan bawah anak dan bayi. Dalam hal ini gambaran klinik yang
13
terjadi akan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). Terutama penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi pertama karena virus, pada mereka akan tampak lebih berat karena belum diperoleh kekebalan alamiah. Pada orang dewasa akan memberikan gambaran klinik yang ringan sebab telah terjadi kekebalan yang diberikan oleh infeksinya yang terdahulu. c. Penyebaran Infeksi Pada ISPA dikenal 3 cara penyebaran infeksi ini (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989).: 1) Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batukbatuk. 2) Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batukbatuk dan bersin-bersin. 3) Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda-benda yang telah dicemari jasad renik (hand to hand transmission). Pada Infeksi virus transmisi di awali dengan penyebaran virus terutama melalui bahan sekresi hidung. Virus ISPA terdapat 10 – 100 kali lebih banyak dalam mukosa hidung daripada mukosa faring. Dari beberapa penelitian klinik, laboratorium, maupun di lapangan diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand (vide 3) merupakan modus yang terbesar bila dibandingkan dengan cara
14
penularan aerogen yang semula banyak di duga (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). d. Etiologi ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, maupun riketsia. Infeksi bakterial merupakan penyulit ISPA oleh karena virus, terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai keradangan parenkim. Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar dari angka kejadian ISPA. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas untuk masing-masing jenis virus. Namun beberapa jenis virus dapat pula memberikan gambaran klinik yang hampir sama. Dalam klinik dikenal 6 kelompok besar virus pernapasan sebagai penyebab ISPA, yaitu : Tabel 2.1 Enam Kelompok Besar Virus Pernapasan Penyebab ISPA Grup Virus Orthomyxovirus
Sub Grup Influenza Virus
Paramyxovirus Metamyxovirus
Parainfluenzavirus Respiratory Syncytial Virus (RS-Virus)
Adenovirus Piconavirus
Rhinovirus Coxsackie virus A Coxsackie virus B Echovirus
Tipe A B C 1-4
1-31 1 – 55 1 – 21 1–6 1 – 32
Coronavirus Sumber : Alsagaff; Amin; dan Saleh (1989)
15
e. Gambaran Klinik Secara umum sering didapatkan gambaran klinik yaitu Rinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri retrosternal, dan konjunktivitis. Suhu meningkat antara 4 – 7 hari lamanya. Malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, nausea maupun muntah – muntah, insomnia. Kadang-kadang dapat juga terjadi diare. Bila terjadi peningkatan suhu yang berlangsung lama biasanya terdapat penyulit (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). Di dalam klinik dikenal 6 gambaran sindroma ISPA oleh karena virus (Alsagaff;Amin; dan Saleh, 1989) : 1) Sindroma Korisa (Coryzal/common cold syndrome) 2) Sindroma faring (Pharyngeal Syndroma) 3) Sindroma faringokonjunktiva 4) Sindroma influensa 5) Sindroma herpangina 6) Sindroma
laringotrakeobronkitis
obstruktif
akuta
(croup
syndrome) Pada ISPA oleh jasad renik bukan golongan virus maupun bakteri terdapat 3 kelompok besar dan penyebabnya adalah : 1) ISPA oleh mikoplasma pneumonia 2) Psitakosis-Ornitosis 3) Demam – Q
16
f. Faktor Resiko ISPA Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA (Maryunani, 2010) yaitu : 1) Faktor Lingkungan a) Pencemaran udara dalam rumah Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi karena kemungkinan bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama – sama ibunya (Maryunani, 2010) Banyak penelitian yang menyatakan adanya hubunyan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak – anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10 tahun (Maryunani, 2010). Sementara itu, merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Produk asap rokok diketahui merangsang produksi mukus dan menurunkan pergerakan silia. Dengan demikian terjadi akumulasi mukus
17
yang kental dan terperangkapnya partikel atau mikroorganisme di jalan napas, yang dapat menurunkan pergerakan udara dan meningkatkan resiko pertumbuhan mikroorganisme. Batuk – batuk yang terjadi pada para perokok (smokers cough) adalah usaha untuk mengeluarkan mukus kental yang sulit didorong keluar dari saluran napas. Infeksi saluran napas bawah lebih sering terjadi pada perokok dan mereka yang perokok pasif, terutama bayi dan anak (Elizabeth, 2009). Bayi dan anak yang terpajan asap rokok sebelum atau sesudah kelahiran memperlihatkan peningkatan angka ISPA. Infeksi saluran napas bawah misalnya pneumonia, dan asma pada masa kanak – kanak dibandingkan dengan bayi dan anak – anak dari orang tua bukan perokok. Keluaran urine yang mengandung metabolit nikotin meningkat drastis pada anak – anak dari orangtua perokok dibandingkan dengan anak – anak dari orang tua bukan perokok. Beberapa metabolit nikotin diketahui
bersifat
karsinogenik
dan
mengiritasi
paru.
(Elizabeth, 2009). b) Ventilasi rumah Menurut
Maryunani(2010)
ventilasi
yaitu
proses
penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
18
1. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan. 2. Membebaskan udara ruangan dari bau – bauan, asap ataupun debu dan zat – zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara. 3. Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang. 4. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan. 5. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh,
kondisi,
evaporasi
ataupun
keadaan
eksternal. 6. Mendisfungsikan suhu udara secara merata. c) Kepadatan hunian Menurut
keputusan
menteri
kesehatan
nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8 m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi
19
disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberikan korelasi yang tinggi pada faktor ini. Selain ketiga faktor lingkungan diatas masih ada faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA yaitu keadaan dinding dan lanatai rumah. Keadaan dinding dan lantai rumah yang memenuhi syarat kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah sebagai berikut : 1) Keadaan dinding rumah, yaitu salah satu bahan bangunan rumah untuk mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori: Baik
: permanen atau tembok
Tidak baik : semi permanen, bambu, kayu atau papan 2) Keadaan lantai rumah yaitu salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi sebuah rumah. Dengan kategori: Baik
: kedap air atau tidak lembab, keramin, ubin.
Tidak baik : menghasilkan debu dan lembab, semen dan tanah 2) Faktor Individu Anak a) Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor diantara faktor – faktor biologis yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Anak berjenis kelamin laki – laki lebih sering mengalami kesakitan dibandingkan dengan anak perempuan, tetapi belum
20
diketahui
secara
pasti
mengapa
terjadi
seperti
itu
(Soetjiningsih, 1995). b) Umur anak Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak – anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 – 12 bulan (Maryunani, 2010). c) Berat Badan Lahir Berat
badan
lahir
menentukan
pertumbuhan,
perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal terutama pada bulan – bulan pertama kelahiran. Karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna akan menyebabkan bayi lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya. d) Vitamin A Vitamin A adalah merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan organik yang semuanya mengandung gelang beta ionon di dalam struktur molekulnya. Ikatan kimia yang memiliki aktivitas vitamin A disebut preformed vitamin A, sebagai lawannya ialah provitamin A atau disebut juga prekusor vitamin A. Preformed vitamin A terdapat khusus di dalam
21
bahan makanan hewani, sedangkan provitamin A terdapat di bahan makanan nabati yang disebut juga ikatan karoten (Sediaoetama, 2004). Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya akan memiliki resiko terjadinya suatu penyakit yang lebih tinggi daripada yang mendapatkan vitamin A sesuai waktunya (Maryunani, 2010). Pemberian Vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, maka dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka waktu yang tidak terlalu singkat. Oleh karena itu pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala untuk anak pra sekolah seharusnya bukanlah suatu kegiatan yang dipandang untuk dilakukan secara terpisah. (Maryunani, 2010).
22
e) Status Imunisasi Imunisasi adalah pemberian imunisasi dasar kepada bayi dan balita sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Imunisasi adalah perlindungan yang paling ampuh untuk mencegah terjadinya penyakit berhaya karena imunisasi dapat merangsang kekebalan tubuh bayi sehingga dapat melindungi dari berbagai macam penyakit berbahaya (Depkes RI, 2009). Sebagian besar kematian akibat penyakit ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit seperti difteri, pertusis, campak. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan sangat besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Sehingga untuk mengurangi faktor yang dapat meningkatkan mortalitas ISPA diupayakan agar melakukan imunisasi lengkap (Maryunani, 2020). Terdapat Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL) untuk bayi dibawah 1 tahun menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), yaitu : 1) Imunisasi Hepatitis B, diberikan 1 kali saat bayi berusia ≥ 7 hari. Manfaat dari Imunisasi ini adalah untuk mencegah penularan hepatitis B dan kerusakan hati. 2) Imunisasi BCG, diberikan 1 kali saat bayi berusia 1 bulan. Manfaat dari imunisasi ini adalah untuk mencegah
23
penularan TBC dalam hal ini adalah Tuberkulosis yang berat. 3) Imunisasi DPT – HB, diberikan 3 kali saat bayi berusia 2, 3, 4 bulan. Manfaat dari imunisasi ini adalah mencegah penularan difteri yang menyebabkan penyumbatan jalan nafas, Batuk rejan atau yang disebut juga batuk 100 hari, tetanus, dan hepatitis B. 4) Imunisasi Polio, diberikan 4 kali saat bayi berusia 1, 2, 3, 4 bulan. Manfaat dari imunisasi ini adalah untuk mencegah penularan polio yang dapat menyebabkan lumpuh layuh pada tungkai dan atau lengan. 5) Imunisasi Campak, diberikan 1 kali saat bayi berusia 9 bulan. Manfaat dari imunisasi ini adalah untuk mencegah penularan campak yang dapat menyebabkan komplikasi radang paru, radang otak, dan kebutaan. Melihat dari berbagai macam manfaat pada setiap jenis imunisasi tersebut maka imunisasi sangatlah penting untuk dilakukan terutama untuk imunisasi dasar. Maka dalam hal ini status imunisasi diukur dengan lengkap atau tidak lengkapnya pelaksanaan lima imunisasi dasar lengkap yang telh ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang telah disebutkan diatas.
24
f) Status Gizi Maryunani (2010) dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan” menyebutkan tentang pengertia gizi yaitu Gizi berasal dari kata bahasa arab “Gizawi” yang berarti pemberian zat – zat makanan kepada sel – sel jaringan tubuh, sehingga memungkinkan pertumbuhan yang normal dan sehat. Sedangkan keadaan gizi (status gizi) adalah keadaan yang ditunjukkan sebagai konsekuensi dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke tubuh dan yang diperlukan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 Gizi kurang dan Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk). Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks yang mengacu pada standar antropometri WHO 2005 adalah sebagai berikut :
25
Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Indeks Kategori Ambang Batas (Z-Score) Status Gizi Gizi Buruk < -3 SD Berat Badan Menurut Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD Umur (BB/U) Gizi Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Anak Umur 0 – 60 Bulan Gizi Lebih >2 SD Panjang Badan Menurut Sangat Pendek <-3 SD Umur (PB/U) Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD Tinggi Badan Menurut Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Umur (TB/U) >2 SD Tinggi Anak umur 0 – 60 Bulan Berat Badan Menurut Sangat Kurus <-3 SD Panjang Badan (BB/PB) Kurus -3 SD samp[ai dengan <-2 SD atau Berat Badan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Gemuk >2 SD AnakUmur 0 – 60 Bulan Sangat Kurus <-3 SD Indeks Massa Tubuh Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Menurut Umur (IMT/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Anak Umur 0 – 60 Bulan Gemuk >2 SD Sangat Kurus <-3 SD Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) Normal -2 SD sampai dengan 1 SD Anak Umur 5 – 18 Bulan Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD Obesitas >2 SD Sumber : KEPEMENKES Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko terjadinya ISPA yang cukup penting. Balita dengan gizi yang buruk akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan dengan balita yang bergizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru yang mana anak dengan gizi buruk lebih sering terkena pneumonia.
26
g) ASI Eksklusif ASI Eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan. Rekomendasi terbaru UNICEF memberikan klarifikasi tentang jangka waktu pemeberian ASI Eksklusif. Rekomendasi terbaru
UNICEF bersama World Health
Assembly (WHA) dan banyak negara lainnya adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan. Pemberian makanan padat/tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu pemberian ASI Eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu, tidak ditemukan bukti yang menyokong bahwa pemberian makanan padat/tambahan pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini akan mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan bayi dan tidak ada dampak positif untuk perkembangan pertumbuhannya (Roesli, 2000).
27
Terdapat beberapa keuntungan pemberian ASI secara Eksklusif yaitu Nutrisi yang optimal bagi bayi dari segi kualitas maupun kuantitas, dapat meningkatkan kesehatan bayi, meningkatkan kecerdasan bayi serta dapat meningkatkan jalinan kasih sayang (Maryunani, 2010). Dengan demikian maka pemberian ASI secara Eksklusif sangatlah penting melihat dari beberapa keuntungan tersebut. 3) Faktor Perilaku Menurut Skinner (1938) yang diacu oleh Notoatmodjo (2003) menegaskan bahwa perilaku itu merupakan respons atau reaksi orang terhadap rangsangan atau stimulus dari luar. Sedangkan menurut Green (1971) yang dikutip oleh Ircham (1988) bahwa perilaku adalah kegiatan manusia atau makhluk hidup lain yang dapat dilihat secara langsung pada waktu tertentu di satu tempat tertentu. Perilaku merupakan salah satu dari faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Dalam penanggulangan penyakit ISPA faktor perilaku menjadi sangat penting terutama dalam pencegahan dan penanggulannya. Orangtua merupakan seseorang yang berperan penting didalamnya. Sehingga dengan demikian perilaku orangtua inilah yang menjadi salah satu faktor resiko terjadinya ISPA. Pada dasarnya perilaku seseorang ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang mereka dapat.
28
Machfoedz dan Suryani (2009) dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Bagian Dari Promosi Kesehatan” menyebutkan bahwa proses belajar atau pengalaman belajar seseorang juga menentukan bentuk perilaku orang. Mereka yang berpendidikan tinggi biasanya berbeda jauh dalam perilakunya dengan mereka yang berpendidikan rendah. Sehingga dalam hal ini, pendidikan merupakan faktor pendukung terbentuknya perilaku. g. Diagnosa ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Ada 3 cara pemeriksaan yang lazim dikerjakan (Alsagaff;Amin; dan Saleh, 1989) : 1) Biakan virus 2) Reaksi serologis yang dipergunakan antara lain reaksi pengikatan komplemen, reaksi hambatan hemadsorpsi, reaksi hambatan hemaglutinasi, reaksi netralisasi, RIA, serta ELISA. 3) Diagnostik virus secara langsung Selain ketiga cara tersebut dapat juga dilakukan cara yang sederhana walaupun tidak khas. Pemeriksaan darah tepi, jumlah leukosit, dan hitung jenis dapat pula membantu. Jarang sekali terjadi lekositosis, paling sering jumlahnya normal atau rendah. Lekopenia yang rendah bilangan angkanya menunjukkan gambaran klinik yang berat. Pada hitung jenis dapat dijumpai eosinofilia, limfofenia, netrofilia. Beberapa infeksi dengan bakteri dapat pula memberikan
29
lekopenia (tifus abdominalis). Lekositosis dengan peningkatan sel PMN yang juga ditemukan dalam sputum menandakan adanya infeksi sekunder bakterial. h. Penyulit Alsagaff;Amin; dan Saleh (1989) dalam bukunya menyebutkan bahwa penyulit ISPA yang sering terjadi antara lain : 1) Infeksi bakterial Otitis media, sinusitis, bronkitis, bronkopneumonia, dan pleuritis. 2) Pneumonia oleh karena virus 3) Induksi bronkokonstriksi/peningkatan bronkokonstriksi pada para penderita P.P.O.M Hingga saat ini belum ditemukan obat-obatan bagi ISPA karena virus. 1) Simtomatik dan paliatif a) Antipiretik dan analgesik : asetosal b) Antitusif, Hipnotika, Roboransia, dan Istirahat yang cukup 2) Penyulit a) Bila terjadi peningkatan obstruksi bronkus pada penderita
PPOM/asma
dapat
ditambahkan
kortikosteroid jangka pendek dengan atau tambahan bronkodilator beta-adrenergik.
30
b) Antibiotik perlu ditambahkan bila terjadi infeksi sekunder bakterial. i. Pencegahan Dalam
mencegah
penyakit
ISPA
yang
dapat
dilakukan
(Alsagaff;Amin; dan Saleh, 1989) yaitu : 1) Vaksinasi 2) Kemoprofilaksis Dapat diberikan adamantamin atau HCL-amantadin dosis 2x100
mg.
Tidak
memberi
kekebalan,
hanya
menghambat/mencegah masuknya virus ke dalam sel. Khusus diberikan pada masyarakat dengan risiko tinggi : a) Mereka yang alergi terhadap protein telur b) Mereka yang tak dilindungi dengan vaksinasi 2. Sistem Informasi Sistem adalah sekumpulan unsur yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya sedemikian rupa berproses mencapai tujuan tertentu, atau suatu tatanan dimana terjadi suatu kesatuan dari berbagai unsur yang saling berkaitan secara teratur menuju pencapaian unsur dalam batas lingkungan tertentu (Rustiyanto, 2010). Sabarguna (2005) menggambarkan bentuk sistem sederhana yaitu :
Masukan
Proses
Gambar 2.1 Bentuk Sistem Sederhana
Keluaran
31
Rustiyanto (2010) dalam bukunya yang berjudu “Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit Yang Terintegrasi “ menjelaskan bahwa sistem memiliki komponen – komponen tertentu yaitu : a. Input (Masukan) Input merupakan segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya menjadi bahan untuk di proses. Masukan dapat berupa hal – hal berwujud (tampak secara fisik) maupun yang tidak berwujud/tampak. b. Proses Proses
merupakan
aktivitas
untuk
mentransformasi
input
(masukan) menjadi output (keluaran). c. Output (Keluaran) Output (keluaran) merupakan hasil dari pemrosesan yang mana menjadi tujuan dari sistem. d. Feed Back (Umpan balik) Feed Back (umpan balik) yaitu output yang dikirim kembali sebagai input yang selanjutnya dimasukkan dalam proses. Tujuan dari umpan balik adalah untuk mengatur sistem berjalan sesuai dengan tujuan. e. Lingkungan Lingkungan maksudnya disini adalah ruang lingkup dimana sistem itu dijalankan.
32
Informasi adalah data yang ditempatkan dalam konteks yang penuh arti oleh penerimanya. Sebelum data menjadi informasi maka terlebih dahulu harus diproses sehingga informasi yang diterima dapat memudahkan pengguna. Sistem Informasi adalah kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumber daya fisik dan logika atau suatu sistem yang terpadu untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen dan pengambilan keputusan dalam organisasi (Rustiyanto, 2010) Salah satu jenis sistem informasi yaitu Sistem Informasi Kesehatan (SIK). Sistem Informasi Kesehatan memiliki pengertian yaitu seperangkat komponen dan prosedur yang terorganisasi dengan tujuan untuk menghasilkan informasi untuk memperbaiki keputusan manajemen disemua tingkatan organisasi sistem pelayanan kesehatan (Rustiyanto, 2010). Sistem informasi kesehatan memiliki salah satu sistem informasi yang lebih spesifik yang saat ini sedang mengalami perkembangan yaitu Sistem Informasi Geografis. Sistem Informasi Geografis merupakan suatu sistem berbasis komputer yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data dan sumber daya manusia yang bekerja sama untuk memperoleh, menyimpan, memanipulasi, mengolah serta menganalisis data – data suatu objek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi kemudian menampilkannya atau memvisualisasikannya dalam bentuk informasi bereferensi geografis (ESRI).
33
Hasil dari implementasi Sistem Informasi Geografis ini dapat menghasilkan visualisasi “dunia nyata” karena bereferensi geografis. Sehingga permasalahan yang ada dapat dilihat dan dipahami secara jelas dan dapat dianalisa penyebab – penyebabnya secara spesifik. Dengan demikian dapat mempermudah dalam penentuan alternatif solusi yang kemudian akan dilakukan suatu pengambilan keputusan. 3. Sistem Informasi Geografis (SIG) a. Definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) memiliki arti yang beragam, berikut ini merupakan beberapa definisi dari SIG yaitu : Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan menganalisa, serta menyajikan data-data dan informasi dari suatu objek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi (Ekadinata; Dewi; Hadi; Nugroho; dan Johana, 2008). Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi yang bereferensi geografis (Aronof, 1989). Menurut Environmental System Research Institute (ESRI), GIS adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer (hardware),
perangkat
lunak
(software),
data
geografi,
dan
34
personil/manusia yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan,
mengupdate,
memanipulasi,
menganalisis
dan
menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis. Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahawa Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data dan sumber daya manusia yang bekerja sama untuk memperoleh, menyimpan, memanipulasi, mengolah serta menganalisis data – data suatu objek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan
bumi
kemudian
menampilkannya
atau
memvisualisasikannya dalam bentuk informasi bereferensi geografis. b. Ruang Lingkup Bafdal, Amaru, dan Pareira (2011) didalam bukunya yang berjudul “Buku Ajar Sistem Informasi Geografis Edisi I “ menyebutkan tentang ruang lingkup Sistem informasi Geografis terdiri dari : 1) Input data
Sebelum data geografi digunakan dalam SIG, data tersebut harus dikonversi kedalam format digital. Proses tersebut dinamakan digitasi. Proses digitasi memerlukan sebuah hardware tambahan yaitu sebuah digitizer lengkap dengan mejanya. Digitasi memerlukan software tertentu seperti ARC/INFO Autocad, MAPINFO atau software lain. Untuk
35
proses konversi data dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi scanning. 2) Transformasi data
Tipe data yang digunakan dalam SIG mungkin perlu ditransformasi atau dimanipulasi dengan beberapa cara agar sesuai dengan sistem. Misalnya terdapat perbedaan dalam skala, sehingga sebelum dimasukkan dan diintegrasikan harus ditransformasikan kedalam skala yang diinginkan. 3) Editing
Tahapan ini merupakan tahapan koreksi dari proses digitasi. Koreksi tersebut dapat berupa penambahan atau pengurangan arc atau feature dengan mengedit arc yang berlebihan overshoot atau menambahkan arc yang kurang undershoot. Editing juga dapat dilakukan untuk menambahkan arc secara manual seperti membuat polygon, line maupun point. 4) Manajemen data
Setelah input data, proses selanjutnya adalah pengelolaan data - data deskriptif meliputi pemberian tulisan pada coverage, labelling atau pemberian informasi pada peta bersangkutan, dan atributing yaitu tahapan dimana setiap label ID hasil proses labelling diberi tambahan atribut yang dapat memberikan sejumlah informasi tentang poligon atau arc yang diwakilinya.
36
5) Query dan analisis
Query pada SIG merupakan proses analisis tetapi dilakukan secara proses tabuler. Secara fundamental Analisis pada SIG menggunakan analisis spasial. SIG memiliki banyak kelebihan dalam analisis spasial, tetapi dua hal yang paling penting yaitu : a) Analisis Proximity Merupakan analisis geografi yang berbasis pada jarak antar layer, dalam hal ini menggunakan proses buffering (membangun lapisan pendukung di sekitar layer dalam jarak tertentu) untuk menentukan dekatnya hubungan antar sifat bagian yang ada. b) Analisis Overlay Proses integrasi data dari lapisan layer-layer yang berbeda disebut overlay. Secara sederhana, hal ini dapat disebut operasi
visual,
tetapi
operasi
ini
secara
analisa
membutuhkan lebih dari satu layer, untuk di join secara fisik. Contoh overlay yaitu integrasi antara data tanah, lereng, vegetasi , hujan, pengelolaan lahan. 6) Visualisasi
Visualisasi bisa dalam bentuk peta, grafik ataupun tabel.
37
c. Komponen SIG Sistem Informasi Geografis terdiri dari beberapa komponen (Bafdal; Amaru; dan Pareira, 2011). Komponen – komponen tersebut anatar lain adalah sebagai berikut: 1) Perangkat keras (Hardware) Pada saat ini perangkat SIG dapat digunakan dalam berbagai platform perngkat keras mulai dari PC Desktop, workstation hingga multi user host yang digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan luas. Perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter dan scanner. 2) Perangkat lunak (Software) SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap sub-sistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul, hingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat di eksekusi sendiri. Contoh perangkat lunak untuk SIG yaitu ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, Epi Info dan lain-lain.
38
3) Data dan informasi geografi SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data serta informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-importnya dari perangkat – perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel – tabel dan laporan. 4) Manajemen Dan Sumber Daya Manusia/Pengguna Proyek SIG akan baik bila ditangani oleh orang yang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan. Susunan keahlian kemampuan pengelola SIG sangat penting untuk menjalankan fungsi SIG. Biasanya organisasi pengelola ini menyebar dari grup yang mengelola hal-hal berkait dengan manajemen dan yang berkaitan dengan teknis. Secara sederhana keahlian yang penting dalam suatu SIG adalah manajer, ahli database, kartografi, manajer sistem, programmer dan teknisi untuk pemasukan dan pengeluaran data. 5) Aplikasi Aplikasi dalam SIG yaitu merupakan penerapan dari sistem tersebut. Contoh aplikasi dari Sistem Informasi Geografis yaitu : 1) Sumber Daya alam, misalnya untuk inventarisasi dan manajemen lahan pertanian, perhutanan, perkebunan, dsb.
39
2) Perencanaan,
misalnya
untuk
perencanaan
daerah
transmigrasi , ruang wilayah kota , pengalokasian daerah industry, dsb. 3) Pariwisata, misalnya Inventarisasi daerah wisata dan promosi suatu daerah. 4) Bidang Kesehatan, misalnya pemetaan distribusi penyakit, perencanaan sarana pelayanan kesehatan, pembagian tenaga kesehatan, dsb. d. Jenis dan Sumber Data Geografis Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi geografis dari suatu objek di permukaan bumi., sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan suatu objek (Ekadinata; Dewi; Hadi; Nugroho; dan Johana, 2008). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai Data Spasial dan Data Atribut menurut Barkey, Achmad, Rijal, Soma, dan Talebe (2009) dalam bukunya yang berjudul “Buku Ajar Sistem Informasi Geografis” : 1) Data Spasial Sebagian besar data yang akan ditangani dalam SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya
dan
mempunyai
dua
bagian
penting
yang
40
membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (attribute) yang dijelaskan berikut ini : a) Informasi lokasi (spasial), berkaitan dengan suatu koordinat baik koordinat geografi (lintang dan bujur) maupun koordinat Cartesian XYZ (absis, ordinat dan ketinggian), termasuk diantaranya informasi datum dan sistem proyeksi. b) Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial, suatu lokasi yang memiliki beberapa keterangan yang berkaitan dengannya, contohnya : jenis vegetasi, populasi, luasan, kode pos, dan sebagainya. Informasi
atribut
seringkali
digunakan
pula
untuk
menyatakan kualitas dari lokasi. Secara sederhana format dalam bahasa komputer berarti bentuk dan kode penyimpanan data yang berbeda antara file satu dengan lainnya. Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format, yaitu: 1. Data vektor Merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis).
41
Keuntungan utama dari format data vektor adalah ketepatan dalam merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus. Hal ini sangat berguna untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi, misalnya pada basisdata batas-batas kadaster. 2. Data raster Data raster (atau disebut juga dengan sel grid) adalah data yang dihasilkan dari sistem Penginderaan Jauh. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element). Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi pixel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya. Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah, kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan sebagainya. Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file; semakin tinggi resolusi grid-nya
42
semakin besar pula ukuran filenya dan sangat tergantung pada kapasistas perangkat keras yang tersedia. 3. Sumber Data Spasial Data spasial yang digunakan dalam proyek SIG dapat berasal dari berbagai sumber. Beberapa sumber yang umumnya digunakan antara lain : a. Peta Analog b. Citra Pengindraan Jauh c. Data hasil Pengukuran Lapangan d. Data Global Positioning System (GPS) 2) Data Atribut Data atribut memberikan gambaran atau menjelaskan informasi berkaitan dengan fitur peta atau coverage SIG. Data atribut dapat disimpan sebagai/dalam format angka (numbers) maupun karakter (characters). e. Kemampuan SIG Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi anaisis yang dapat dilakukannya. Terdapat dua jenis fungsi analisis; fungsi analisis atribut (basis data atribut) dan fungsi analisis spasial (Bafdal; Amaru; dan Pareira, 2011).
43
1) Fungsi Analisis Atribut
Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya dapat dirinci sebagai berikut : b) Operasi dasar basis data Membuat
basis
data
baru
(create
database),
Menghapus basis data (drop data base), Membuat tabel basis data (create table), Menghapus tabel basis data (drop table), Mengisi dan menyisipkan data (record) ke dalam tabel (insert), Membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel basis data (seek, find, search, retrieve), Mengubah dan meng-edit data yang terdapat di dalam tabel basisdata (update, edit), Menghapus data dari tabel basis data (delete, zap, pack), Membuat indeks untuk setiap tabel basis data. c) Perluasan operasi basis data Membaca dan menulis basis data dalam sistem basis data yang lain (export dan import), Dapat berkomunikasi dengan sistem basis data yang lain (misalkan dengan menggunakan driver ODBC), Dapat menggunakan bahasa basis data standard SQL (Structures Query Language) Operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basis data.
44
2) Fungsi Analisis Spasial
Fungsi analisis spasial terdiri : a) Klasifikasi (reclassify) Fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. b) Network (jaringan) Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis-garis (fines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering digunakan, di dalam bidangbidang transportasi dan utility (misalnya aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi - telepon, pipa minyak dan gas, air minum, saluran pembuangan). c) Overlay Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya. d) Buffering Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. e) 3D analysis Fungsi
ini
terdiri
dari
sub-sub
fungsi
yang
berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3
45
dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi. Sebagai contoh, untuk menampilkan data spasial ketinggian, tata guna tanah, jaringan jalan dan utility dalam bentuk model 3 dimensi, fungsi analisis ini banyak digunakan. f)
Digital image processing (pengolahan citra digital) Fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG
yang
berbasiskan raster. Karena data spasial permukaan bumi (citra digital) banyak didapat dari perekaman data satelit yang berformat raster, maka banyak SIG raster yang juga dilengkapi dengari fungsi analisis ini. Fungsi analisis spasial ini terdiri dari banyak sub-sub fungsi analisis pengolahan citra dijital. f. Manfaat Sistem Informasi Geografis Bafdal, Amaru, dan Pareira (2011) menyebutkan beberapa manfaat dari Sistem Informasi Geografis (GIS) yaitu : 1) Sebagai alat analisis komunikasi dan integrasi antar disiplin ilmu
terutama yang memerlukan informasi-informasi geosciences. 2) Memecahkan masalah seputar akurasi representasi, akurasi
prediksi dan keputusan yang diambil berdasarkan representasi, minimalisasi volume kecepatan
komputasi,
data
yang
kesesuaian
digunakan, dengan
maksimalisasi
para
pengguna,
perangkat lunak, dan proyek-proyek yang lain mengenai bumi.
46
g. Aplikasi Utama SIG Dalam Bidang Kesehatan Masyarakat Indriasih (2008) didalam artikelnya yang berjudul “Sistem Informasi Geografis (SIG) Dalam Bidang Kesehatan Masyarakat” menyebutkan tentang beberapa aplikasi utama SIG dalam bidang Kesehatan Masyarakat yaitu : 1) Membuat gambaran spasial dari peristiwa kesehatan 2) Identifikasi resiko pekerjaan, lingkungan, kelompok resiko tinggi dan daerah kritis 3) Analisis situasi kesehatan di suatu daerah geografis tertentu 4) Analisis pola penyakit pada berbagai tingkat agregasi 5) Surveilans dan Monitoring kesehatan masyarakat 6) Perencanaan dan target upaya kesehatan 7) Alokasi Sumber Daya Kesehatan 8) Evaluasi suatu intervensi kesehatan 4. Software Epiinfo Epi Info merupakan software public domain yang dikembangkan oleh Centers for Disease Control and Prevention. Centers for Disease Control and Prevention adalah salah satu bagian dari Departemen Kesehatan Amerika Serikat yang bertugas untuk mencegah dan mengendalikan penyakit infeksi dan kronik, ancaman cedera, bahaya di tempat kerja, ketidakmampuan, termasuk kesehatan lingkungan. Epi Info terutama ditujukan kepada ahli epidemiologi secara khusus maupun ahli kesehatan masyarakat secara umum untuk membantu penanganan tugas terkait
47
dengan pengelolaan database dan analisa data, baik data atribut maupun spasial (Ramadona, 2008). Epi Info adalah paket perangkat lunak bebas dikembangkan oleh US Centers for Disease Control yang memungkinkan pengguna untuk: a. Memeriksa data survei untuk outlier dan data yang tidak konsisten. b. Melakukan analisis deskriptif data survei. c. Mudah menghasilkan file output dari analisis. Epi Info menyediakan untuk dapat membuat formulir dengan mudah, konstruksi database, entri data, dan analisis dengan statistik epidemiologi, peta, dan grafik. Epi Info telah dibuat dalam beberapa versi dari pertama kali di release, diantaranya yaitu : a. Epi Info™ for MS-DOS released pada Januari 2001. Version 6.04d adalah versi terakhir DOS version yang tersedia. b. Epi Info™ released 14 April 2004 c. Epi Info™ 3.3.2 released 9 februari 2005 d. Epi info™ 3.4.3 released 17 Oktober 2007 e. Epi Info™ 3.5.1 released 18 Agustus 2008 f. Epi Info™ 3.5.4 released 17 Juli 2009 g. Epi Info™ 7.0.9.7 released 19 Februari 2012 h. Epi Info™ 7.1.2 released 04 Juli 2013 Epi Info™ selalu mengalami perubahan versi dalam waktu yang relatif cepat. Software Epi Info™ bisa didapatkan di website www.cdc.gov atau bisa juga dengan membuka website www.who.int. Instalasi software ini
48
sangat mudah hanya dengan mengikuti petunjuk yang telah disediakan di dalam software tersebut. Di dalam software Epi Info juga sudah dilengkapi Manual Guide atau Tutorial untuk penggunaan semua menu – menu yang tersedia di dalamnya. Sehingga, user akan mudah untuk dapat menggunakannya serta mengaplikasikan program – program yang terdapat di dalamnya. B. Kerangka Teori
Masukan
Proses
Keluaran
Bentuk Sistem Sederhana (Sumber ; Sabarguna, 2005)
Penentuan prioritas
Analisa situasi
Evaluasi
Informasi
Penilaian alternatif
Pembuatan program
Peran Informasi Di Rumah sakit (Sumber : Rustiyanto, 2010)
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Implementasi & Monitoring
49
C. Kerangka Konsep Penelitian
Proses Masukan Data Penderita ISPA
Analisis distribusi penyakit ISPA menggunakan Software EpiInfo
Keluaran Informasi
Informasi Peta dan Tabel Distribusi Penderita ISPA Pada Balita
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian survei/observasional dengan metode penelitian survei deskriptif. Metode penelitian survei deskriptif adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini akan dideskripsikan mengenai distribusi penyakit ISPA dan faktor – faktor yang mempengaruhi atau faktor resiko dari penyakit tersebut dengan menggunakan analisis software Epi Info berdasarkan data hasil survei di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta.
B. Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya, sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakterisktik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta yang terkena penyakit ISPA pada bulan Januari sampai dengan Maret 2013. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Total Sampling. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi sampel penelitian sebagai berikut :
50 1
51
1.
Kriteria inklusi : a.
Penderita ISPA usia balita (<5th) di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan.
b.
Terdaftar sebagai pasien di Puskesmas Wirobrajan
c.
Bersedia menjadi responden atas ijin dari orangtua balita
2. Kriteria eksklusi : a. Penderita ISPA usia bukan balita (>5th) di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan. b. Penderita ISPA usia balita (<5th) yang tidak berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan
C. Lokasi Dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta yang meliputi Kelurahan Pakuncen, Wirobrajan, dan Patangpuluhan. Waktu penelitian dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 08 Februari – 20 Mei 2013.
D. Definisi Operasional Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).
52
1.
Penyakit ISPA Penyakit ISPA adalah terjadinya radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia, tanpa/disertai radang parenkim paru (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989)
2. Balita Anak yang berusia dibawah 5 (lima) tahun termasuk juga dibawah 1 (satu) tahun diambil berdasarkan data penelitian. 3. ASI Eksklusif ASI Eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim (Roesli, 2000). Pemberian ASI Eksklusif ini dilakukan sampai bayi berusia 6 bulan sesuai yang ditetapkan oleh UNICEF. 4. Status Imunisasi Status Imunisasi adalah riwayat pemberian imunisasi pada balita dengan aturan Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL) sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI. Kategori status imunisasi yang digunakan yaitu Lengkap dan Tidak Lengkap. 5. Status Gizi Status gizi adalah keadaan yang ditunjukkan sebagai konsekuensi dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke tubuh dan yang
53
diperlukan. Kategori status gizi ini didasarkan pada KEPMENKES RI Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010, yaitu : Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0 – 60 Bulan
Kategori Status Gizi Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Normal Gizi Lebih
Ambang Batas (Z-Score) < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD
6. Pencemaran Udara dalam Rumah Pencemaran udara adalah udara yang penuh asap yang bersumber dari pembakaran, dan dalam hal ini pencemaran udara tersebut terjadi didalam rumah (Eckholm, 1982). Sumber pencemaran udara dalam rumah tersebut diantaranya asap rokok, asap dapur, dan asap obat nyamuk. 7. Lingkungan Fisik Rumah a. Keadaan dinding rumah, yaitu salah satu bahan bangunan rumah untuk mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori: 1) Baik
: permanen atau tembok (Notoatmodjo, 2007)
2) Tidak baik : semi permanen, bambu, kayu atau papan b. Keadaan lantai rumah yaitu salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi sebuah rumah. Dengan kategori: 1) Baik
: kedap air atau tidak lembab, keramin, ubin
(Notoatmodjo, 2007) 2) Tidak baik : menghasilkan debu dan lembab, semen dan tanah.
54
8. Software Epi Info Software Epi Info adalah software public domain yang dikembangkan oleh Centers for Disease Control and Prevention in USA yang mana perangkat lunak (software) ini dapat digunakan untuk membuat formulir, konstruksi
database,
entri data,
serta
analisis dengan
statistik
epidemiologi, peta, dan grafik (www.cdc.gov).
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data adalah cara yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data penelitian (Arikunto, 2006). Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : 1. Dokumentasi Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moleong, 2010). Dalam penelitian ini dokumentasi digunakan untuk memperoleh data-data penduduk yang yang terkena penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta. 2. Observasi/survei Observasi/survei adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara lain meliputi melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah dan taraf aktivitas tertentu atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah ang diteliti (Notoatmodjo, 2010).
55
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu peneliti secara langsung meninjau lokasi sampel penelitian untuk mendapatkan data titik koordinat yang akan digunakan untuk pemetaan. 3. Wawancara (interview) Wawancara
adalah
suatu
metode
yang
dipergunakan
untuk
mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari sasaran penelitian (Notoatmodjo, 2010). Wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA.
F. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang akan digunakan adalah sebagai berikut : 1. Seperangkat komputer 2. Software Epi Info version 3.5.4 untuk proses SIG 3. GPS Essentian for Android Smartphone untuk menentukan posisi titik koordinat lokasi penderita penyakit ISPA 4. Peta wilayah Kecamatan Wirobrajan dengan skala 1:15.000 5. Alat tulis ( Buku dan Pena) 6. Kamera
56
G. Metode Analisis Data Metode analisis data yaitu cara yang digunakan dalam menganalisa data. Analisis data bertujuan untuk memperoleh gambaran dari hasil penelitian sehingga akan didapatkan kesimpulan secara umum dari penelitian yang merupakan kontribusi dalam pengembangan ilmu yang bersangkutan (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan kemudian dicari titik koordinat lokasi masing-masing sampel penelitian yang dalam hal ini adalah penderita ISPA usia balita (<5th) selanjutnya diolah dan dianalisis menggunakan software Epi Info version 3.5.4 sebagai analisis spasialnya. Software Epi Info version 3.5.4 adalah software public domain yang dikembangkan oleh Centers for Disease Control and Prevention in USA yang mana perangkat lunak (software) ini dapat digunakan untuk membuat formulir, konstruksi database, entri data, serta analisis dengan statistik epidemiologi, peta, dan grafik. Versi 3.5.4 ini merupakan versi yang paling mudah digunakan daripada versi yang lainnya dan dapat digunakan di daerah perkotaan maupun terpencil.
H. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu pembelajaran yang baru bagi peneliti karena peneliti berperan mulai dari proses pencarian titik koordinat sampai dengan melakukan analisis data. Contohnya saja peta dasar yang digunakan untuk penelitian ini. Peta dasar yang digunakan untuk penelitian ini merupakan hasil digitasi sendiri sehingga untuk hasilnya tidak begitu baik. Namun, peta dasar ini
57
tidak mengurangi nilai kemapanan peta asli. Sehingga dengan demikian, peneliti mengalami cukup banyak kendala baik dari segi hal keterbatasan waktu dan juga keterbatasan dalam penguasaan materi. Oleh karena itu, besar kemungkinan tidak semua harapan dapat ditampilkan pada sistem informasi ini dan juga tidak semua aspek dapat diteliti yang hal tersebut mungkin merupakan suatu hal penting dalam penelitian sejenis ini. I. Tahap-Tahap Penelitian Tabel 3.1 Tahap – Tahap Penelitian BULAN TAHAPAN Jan Pengajuan Judul ke Lokasi Studi Pendahuluan Penyusunan Proposal Perizinan Penelitian Persiapan Lapangan Pengumpulan Data Pengolahan & Analisis Data Penyusunan Laporan Presentasi Hasil
Feb
Mar
Apr
x x
x
Mei
Jun
Jul
X
x x
x x x x
x
x x
URAIAN : 1. Tahap Persiapan a. Melakukan pengajuan judul ke Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta b. Melakukan Yogyakarta
studi
pendahuluan
di
Puskesmas
Wirobrajan
58
c. Studi pustaka, menyusun proposal penelitian d. Mengurus surat izin penelitian ke Dinas Perizinan Kota Yogyakarta 2. Tahap Pelaksanaan Melakukan Pengumpulan data dengan cara : a. Mendata balita yang terkena penyakit ISPA yang akan menjadi sampel penelitian. b. Mendeteksi titik koordinat lokasi sampel penelitian/penderita penyakit ISPA menggunakan GPS kemudian mencatatnya, disamping itu juga dilakukan wawancara singkat dengan keluarga penderita. 3. Tahap Akhir a. Melakukan pengolahan dan analisis data. b. Menyusun laporan hasil penelitian dan kesimpulan. c. Presentasi hasil penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Geografis Puskesmas Wirobrajan terletak di Jl. Bugisan WB III/437 Yogyakarta, tepatnya di Kalurahan Patangpuluhan, Kecamatan Wirobrajan, sebelah barat Kota Yogyakarta dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : 1) Sebelah utara
: Kecamatan Tegal Rejo
2) Sebelah timur
: Kecamatan Ngampilan dan Mantrijeron
3) Sebelah selatan
: Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul
4) Sebelah barat
: Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul
Puskesmas Wirobrajan mempunyai luas wilayah kerja 1,78 Km2, Countur tanahnya adalah datar dengan dilewati beberapa sungai yang lebarnya sedang 5-10 M dengan debit air yang relatif kecil. Ketinggian daratan adalah 114 M dari permukaan air laut. Suhu udara maksimum 35◦ C dan suhu udara minimum adalah 23◦ C. Kisaran curah hujan rata-rata 1,29 Mm/tahun. Jumlah hari dengan jumlah hujan terbanyak adalah 31 hari. Wilayah Wirobrajan termasuk perkotaan dengan padatnya bangunan perumahan dan pertokoan serta
59 1
60
pusat-pusat bisnis dan pendidikan. Kecamatan Wirobrajan sendiri terdiri dari 3 Kalurahan memiliki 34 RW dan 165 RT : 1) Kalurahan Pakuncen : Terletak di bagian utara, 12 RW dan 58 RT 2) Kalurahan Wirobrajan : Terletak di bagian tengah, 10 RW dan 51 RT 3) Kalurahan Patangpuluhan : Terletak di bagian selatan ,12 Rw dan 56 RT b. Demografi Wilayah Wirobrajan memiliki penduduk yang sangat beragam, baik dari segi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, asal daerah, dan agama. Keragaman tersebut menjadi kesatuan yang dinamis karena semua menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini didukung pula oleh struktur kepemerintahan yang sudah terpola dan masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi terhadap aspek-aspek kehidupan. Transportasi dapat berjalan lancar karena memiliki jalan raya yang menunjang yang menghubungkan dengan pusat kota dan pusatpusat bisnis pergerakan ekonomi. Kepadatan penduduk merata dengan jumlah penduduk 29.225 orang. Berikut ini adalah data-data kependudukan Kecamatan Wirobrajan yang bersumber dari data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta tahun 2011 :
61
Grafik Jumlah Penduduk Kecamatan Wirobrajan 7,955
11,196
10,074
Pakuncen
Wirobrajan
Patangpuluhan
Grafik 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Wirobrajan Tahun 2011 Grafik diatas memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk terbanyak berada di Kalurahan Pakuncen sebanding dengan luas wilayahnya dalam peta (terlampir). Jumlah penduduk di Kalurahan Wirobrajan menduduki peringkat kedua dengan 10.074 jiwa diikuti Kalurahan Patangpuluhan yang hanya memiliki 7.955 jiwa.
Grafik Perbandingan Jenis Kelamin 6,000
5,524 5,672 4,969 5,105 3,934 4,021
4,000 2,000 Pakuncen
Wirobrajan LK
Patangpuluhan
PR
Grafik 4.2 Perbandingan Jenis Kelamin Penduduk di Kecamatan Wirobrajan Tahun 2011 Rata-rata jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada laki-laki disetiap Kelurahan. Penduduk terbesar berada di Kelurahan Pakuncen diikuti oleh Wirobrajan dan Patangpuluhan.
62
b. Sosial Ekonomi Tingkat sosial ekonomi akan sangat mempengaruhi pola perilaku kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat secara nyata, orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi akan menggunakan fasilitas kesehatan yang mahal dan bagus sedangkan masyarakat dengan tingkat
sosial
ekonomi
menengah
kebawah
sebagian
besar
menggunakan fasilitas kesehatan apa adanya. Berikut ini adalah grafik mata pencaharian penduduk di Kecamatan Wirobrajan yang merupakan gambaran tingkat sosial ekonomi mereka.
Grafik 10 Besar Penduduk Berdasarkan Kelompok Pekerjaan
800 0 700 0 600 0 500 0 400 0 300 0 200 0 100 0
712 4
445 2
507 8 408 2
388 3
121 4
156 1 60 8
33 3
0 Tida k Bekerj a
Ruma h Tangg a
Sisw a
PN S
Dagan g
Swast a
Buru h
Gur u
10 5 Dose n
Wiraswast a
Grafik 4.3 10 Besar Penduduk Berdasarkan Kelompok Pekerjaan Sepuluh besar
kelompok penduduk diwilayah kecamatan
Wirobrajan adalah Siswa (pelajar dan mahasiswa), karyawan swasta, tidak bekerja (belum bekerja), sebagai pengelola rumah tangga, wiraswasta, sebagai buruh tidak tetap, PNS, Pedagang, Guru dan
63
Dosen. Angka tidak bekerja cukup tinggi yang harus menjadi perhatian lintas sektoral untuk memberikan
lapangan pekerjaan
maupun merangsang untuk dapat menciptakan pekerjaan. c. Sarana Pelayanan Kesehatan Sarana pelayanan kesehatan akan sangat berpengaruh pada penanganan permasalahan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan yang baik akan memberikan kenyamanan kepada pasien sehingga motivasi
pasien
tinggi
untuk
menjaga
dan
memeriksakan
kesehatannya. Berikut adalah Tabel sarana kesehatan di wilayah Kecamatan Wirobrajan. Tabel 4.1 Sarana Pelayanan Kesehatan No
Sarana
Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Puskesmas 1 Puskesmas Pembantu 1 Rumah Sakit Swasta 1 Apotik 8 Praktik Dokter Swasta 40 Praktik Bidan Swasta 4 Posyandu 36 Kendaraan Pusling 1 Lokasi Pusling 12 Balai Pengobatan Swasta 1 Rumah Bersalin 1 Laboratorium Swasta 1 Lain-lain 4 Jumlah 111 Sumber : Profil Puskesmas Wirobrajan tahun 2012 Jumlah sarana tersebut tersebar dalam 3 Kalurahan dimana lokasi utama Puskesmas berada di wilayah Kalurahan Patangpuluhan
64
sedangkan Puskesmas Pembantu (Pustu) berada di wilayah Kalurahan Pakuncen. Tabel 4.2 Kader Kesehatan No
Kader
1 2 3 4 5
Petugas Puskesmas Kader total Kader yang dilatih Kader aktif Batrra Kelompok/Paguyupan Batrra
6
Kal. Pakuncen 10 129 129 108 1 1
Kal. Kal. Wirobrajan Patangpuluhan 10 7 122 98 122 98 105 89 3 1 1
Jumlah
1
Sumber : Profil Puskesmas Wirobrajan tahun 2012 Kader kesehatan yang berada dimasyarakat seluruhnya sudah terlatih. Dari keseluruhan kader ada beberapa yang tidak aktif sebesar 10%. 2. Hasil Penelitian a. Karakteristik Sampel Sampel dalam penelitian ini berjumlah 123 balita (<5th) yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta dan terdaftar sebagai pasien di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta pada bulan Januari sampai dengan Maret 2013. Wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta meliputi Kelurahan Pakuncen, Wirobrajan, dan Patangpuluhan. Sampel dalam penelitian ini yaitu balita laki – laki berjumlah 70 anak dan balita perempuan berjumlah 53 anak.
27 349 349 302 5 3
65
b. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 4.1 Peta Administratif Kecamatan Wirobrajan c. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan
Gambar 4.2 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Tahun 2013
66
Peta diatas merupakan peta distribusi penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan tahun 2013 yang diambil dari data pasien terdaftar bulan Januari sampai dengan Maret 2013. Titik berwarna merah merupakan penderita ISPA usia balita yang tersebar di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan. d. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita Berdasarkan Clustering Letak Penderita
Gambar 4.3 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan berdasarkan clustering letak penderita
67
Peta diatas merupakan distribusi penyakit ISPA pada Balita menurut clustering letak penderita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan yang ditunjukkan oleh lingkaran – lingkaran yang berwarna kuning dengan titik – titik berwarna merah didalamnya. e. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita Berdasarkan Kedekatan Letak Penderita dengan Jalan
Gambar 4.4 Peta Distribusi Penyakit ISPA pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Berdasarkan Kedekatan Letak Penderita dengan Jalan
Peta
diatas
merupakan
peta
distribusi
penyakit
ISPA
berdasarkan letak penderita dengan jalan di sekitar rumah penderita
68
baik jalan lokal maupun jalan provinsi yang ditunjukkan dengan lingkaran – lingkaran yang berwarna ungu. f. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Faktor Resiko 1) Jenis Kelamin Tabel 4.3 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Jenis Kelamin Sex Frequency F M Total Sumber : Data Primer
Percent 53 70 123
43,10% 56,90% 100,00%
Gambar 4.5 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Jenis Kelamin
Tabel diatas menunjukkan penderita ISPA Balita berjenis kelamin laki – laki berjumlah 70 anak dari 123 sampel yang
69
mana lebih banyak daripada perempuan yaitu berjumlah 53 anak dari 123 sampel. 2) Umur Tabel 4.4 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Umur
Kategori umur Frequency Percent 41 33,30% 0 - 1 tahun 82 66,70% 1 - 4 tahun 123 100,00% Total Sumber : Data Primer
Gambar 4.6 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Umur Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan rentang umur 1 – 4 tahun lebih banyak yaitu berjumlah
70
82 anak dari 123 sampel daripada balita dengan rentang umur 0 – 1 tahun yaitu berjumlah 41 anak dari 123 sampel. 3) ASI Eksklusif (KMS) Tabel 4.5 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Pemberian ASI
Pemberian Asi Eksklusif Tidak eksklusif Total Sumber : Data Primer
Frequency
Percent 96
78,00%
27 123
22,00% 100,00%
Gambar 4.7 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Pemberian ASI Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan pemberian ASI secara eksklusif lebih banyak yaitu berjumlah 96 anak dari 123 sampel daripada balita dengan
71
pemberian ASI tidak eksklusif yaitu berjumlah 27 anak dari 123 sampel. 4) Status Imunisasi (KMS) Tabel 4.6 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Status Imunisasi
Status Imunisasi Lengkap
Frequency
Tidak lengkap Total Sumber : Data Primer
Percent 111 90,20% 12 123
9,80% 100,00%
Gambar 4.8 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Status Imunisasi Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan status imunisasi lengkap lebih banyak yaitu berjumlah 111 anak dari 123 sampel daripada balita dengan status
72
imunisasi tidak lengkap yaitu berjumlah 12 anak dari 123 sampel. Penilaian status imunisasi ini berdasarkan pemberian lima imunisasi dasar lengkap sampai usia 1 tahun, sehingga bagi balita yang belum mencapai usia 1 tahun dimasukkan kedalam kategori status imunisasi tidak lengkap. 5) Status Gizi (KEPMENKES, 2010) Tabel 4.7 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Status Gizi Status gizi Frequency Baik Kurang Buruk Total Sumber : Data Primer
Percent 104 16 3 123
84,60% 13,00% 2,40% 100,00%
Gambar 4.9 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Status Gizi
73
Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan status gizi baik memiliki jumlah terbanyak yaitu berjumlah 104 anak dari 123 sampel daripada balita dengan status gizi kurang yaitu berjumlah 16 anak dari 123 sampel dan status gizi buruk berjumlah 3 anak dari 123 sampel. 6) Pencemaran Udara Dalam Rumah a) Asap Rokok Tabel 4.8 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Paparan Asap Rokok Paparan Asap rokok Frequency Percent 43 35,00% Tidak 80 65,00% Ya 123 100,00% Total Sumber : Data Primer
Gambar 4.10 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Paparan Asap Rokok
74
Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan paparan asap rokok lebih banyak yaitu berjumlah 80 anak dari 123 sampel daripada balita yang tidak terkena paparan asap rokok yaitu berjumlah 43 anak dari 123 sampel. b) Asap Dapur Tabel 4.9 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Paparan Asap Dapur
Paparan Asap dapur Frequency Percent Tidak 105 85,40% 18 14,60% Ya 123 100,00% Total Sumber : Data Primer
Gambar 4.11 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Paparan Asap Dapur
75
Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita yang tidak terpapar asap dapur lebih banyak yaitu berjumlah 105 anak dari 123 sampel daripada balita yang terpapar asap dapur yaitu berjumlah 18 anak dari 123 sampel. c) Asap Obat Nyamuk Tabel 4.10 Distribusi Penyakit ISPA Balita Menurut Paparan Asap Obat Nyamuk
Paparan Asap obat nyamuk Tidak Ya Total Sumber : Data Primer
Frequency Percent 103 83,70% 20 16,30% 123 100,00%
Gambar 4.12 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas WirobrajanMenurut Paparan Asap Obat Nyamuk
76
Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita yang tidak terpapar asap obat nyamuk lebih banyak yaitu berjumlah 103 anak dari 123 sampel daripada balita terpapar asap obat nyamuk yaitu berjumlah 20 anak dari 123 sampel. 7) Lingkungan Fisik Rumah a) Lantai Rumah Tabel 4.11 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Keadaan Lantai Rumah
Keadaan Lantai Frequency Percent 53 43,10% Baik 70 56,90% Tidakbaik 123 100,00% Total Sumber : Data Primer
Gambar 4.13 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Keadaan Lantai Rumah
77
Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan keadaan lantai rumah yang tidak baik lebih banyak yaitu berjumlah 70 anak dari 123 sampel daripada balita dengan keadaan lantai rumah yang baik yaitu berjumlah 53 anak dari 123 sampel. b) Dinding Rumah Tabel 4.12 Distribusi Penyakit ISPA balita Menurut Keadaan Dinding Rumah
Keadaan dinding Baik Tidakbaik Total Sumber : Data Primer
Frequency Percent 118 95,90% 5 4,10% 123 100,00%
Gambar 4.14 Peta Distribusi Penyakit ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Menurut Keadaan Dinding Rumah
78
Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan keadaan dinding rumah yang baik lebih banyak yaitu berjumlah 118 anak dari 123 sampel daripada balita dengan keadaan dinding rumah yang tidak baik yaitu berjumlah 5 anak dari 123 sampel.
B. Pembahasan
1. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita Pada gambar 4.2 menunjukkan peta distribusi penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan tahun 2013 yang diambil dari data pasien terdaftar bulan Januari sampai dengan Maret 2013. Titik berwarna merah merupakan penderita ISPA usia balita yang tersebar di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan. Penderita ISPA pada balita ini berjumlah 123 anak dengan jenis kelamin laki – laki berjumlah 70 anak dan perempuan berjumlah 53 anak. Penderita ISPA pada balita terbanyak ditunjukkan pada Kelurahan Patangpuluhan, dan pada Kelurahan Pakuncen dan Wirobrajan menunjukkan jumlah penderita yang hampir sama banyaknya. 2. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita Berdasarkan Clustering Letak Penderita Gambar 4.3 merupakan distribusi penyakit ISPA pada Balita berdasarkan clustering letak penderita di wilayah kerja Puskesmas
79
Wirobrajan yang ditunjukkan oleh lingkaran – lingkaran yang berwarna kuning dengan titik – titik berwarna merah didalamnya. Clustering disini maksudnya adalah penderita ISPA balita dengan letak lokasi yang mengumpul/menggerombol dalam satu wilayah. Penyebaran infeksi penyakit ISPA dapat melalui 3 (tiga) cara yaitu melalui aerosol yang lembut (terutama oleh karena batuk – batuk), melalui aerosol (terjadi saat batuk – batuk dan bersin – bersin), dan melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda – benda yang telah dicemari jasad renik (Alsagaff; Amin; dan Saleh, 1989). Pada peta diatas dapat menunjukkan bahwa lokasi yang berdekatan dimungkinkan menjadi faktor penyebab terjadinya penyakit ISPA. Sehingga apabila ada salah seorang khususnya balita dalam penelitian ini terkena penyakit ISPA, maka akan mudah tertular kepada balita yang berada didekat lokasi penderita. Karena biasanya balita yang lokasi rumahnya berdekatan maka akan menjadi teman bermain. Sehingga, dimungkinkan ketika mereka bermain penderita ISPA dengan batuk – batuk dan bersin – bersin akan secara otomatis menyebarkan
infeksi
penyakit
ISPA
tersebut.
Hal
inilah
yang
menyebabkan penyakit ISPA akan mudah tertular mengingat bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang menular. Bustan
(2006)
dalam
bukunya
yang
berjudul
“Pengantar
Epidemiologi” menjelaskan bahwa suatu penyakit khususnya penyakit menular tidak hanya selesai setelah membuat orang sakit tetapi juga akan melakukan penyebaran. Penyebaran ini bisa terjadi melalui kuman yang
80
masuk melalui pintu masuk tertentu dalam tubuh misalnya kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih disesuaikan dengan jenis penyakitnya. Sehingga sudah jelas bahwa penyakit ISPA akan mudah menyebar melalui kedekatan lokasi penderita dengan yang bukan penderita. Karena cenderung mereka akan melakukan kontak secara langsung sehingga menyebabkan semakin dekatnya seseorang yang sehat dengan sumber penyakit yang akan dengan mudah masuk melalui pintu – pintu tertentu dalam tubuh yang dalam hal ini adalah saluran pernapasan. 3. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita Berdasarkan Kedekatan Letak Penderita dengan Jalan Polusi udara merupakan salah satu sumber utama penyakit. Pada zaman yang semakin modern seperti sekarang ini, terdapat penyebab polusi udara yang sangat berpengaruh yaitu yang berasal dari pembakaran tak sempurana dalam mesin yang mana mengeluarkan hidrokarbon serta oksida nitrogen yang dikeluarkan oleh bermacam kendaraan dan pusat – pusat pembangkit tenaga listrik (Eckholm, 1982). Padahal, saat ini jumlah kendaraan baik pribadi maupun umum sudah sangat marak khususnya di Indonesia terutama di kota – kota besarnya. Maka seberapa besarkah polusi udara yang ditimbulkan oleh hal tersebut. Belum lagi industri – industri yang semakin bermunculan di negara ini. Maka polusi udara sudah tidak dapat dipungkiri lagi telah terjadi di Negara tercinta ini.
81
Polusi udara juga telah menyebabkan masalah besar terutama di kota – kota besar. Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa polusi udara merupakan salah satu faktor penyebab penyakit khususnya penyakit yang menyerang pernapasan terutama yang bersifat kronis seperti bronkhitis kronis. Tidak hanya berhenti pada terserangnya penyakit pernapasan kronis, bahkan polusi udara ini dapat menimbulkan kematian yang cukup besar akibat bahan – bahan kimia yang banyak terhirup oleh manusia (Eckholm, 1982). Gambar 4.4 merupakan peta distribusi penyakit ISPA berdasarkan letak penderita dengan jalan di sekitar rumah penderita baik jalan lokal maupun jalan provinsi yang ditunjukkan dengan lingkaran – lingkaran yang berwarna ungu. Dalam gambar terlihat bahwa banyak balita penderita ISPA yang lokasinya berada di dekat jalan lokal (garis warna kuning) dan beberapa berdekatan dengan jalan provinsi (garis warna biru). Hal ini dapat menunjukkan bahwa letak penderita yang berdekatan dengan jalan dimungkinkan menjadi faktor penyebab kejadian ISPA pada balita tersebut. Semakin dekatnya lokasi penderita dengan jalan maka semakin banyak penderita ISPA tersebut. Karena dengan berdekatannya lokasi penderita dengan jalan maka penderita akan mudah terkena polusi udara yang ditimbulkan oleh lalu lintas maupun aktivitas jalan seperti asap kendaraan, debu – debu, dan sebagainya ketika bermain diluar rumah. Eckholm (1982) dalam bukunya yang berjudul “Masalah Kesehatan Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit” mengemukakan bahwa polusi
82
udara tidak hanya merangsang berbagai penyakit kronis, tetapi juga dapat menimbulkan penyakit – penyakit pernapasan jangka pendek khususnya pada anak – anak. Mereka yang tinggal di daerah – daerah yang berudara kotor lebih kerap mengalami rasa sakit pada dada dibanding dengan mereka yang menghirup udara bersih. Sehingga, dalam hal ini peneliti menyimpulkan berdasarkan hasil penelitian bahwa penyakit ISPA pada balita disini dimungkinkan terjadi akibat kedekatan lokasi penderita dengan jalan yang mana jalan menimbulkan adanya udara kotor atau polusi udara. 4. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita Berdasarkan Faktor Resiko Kemudian pada poin distribusi penyakit ISPA berdasarkan faktor resiko kejadian ISPA yang mengacu pada teori faktor resiko kejadian ISPA yang diungkapkan oleh Maryunani (2010) dalam bukunya yaitu : a. Jenis Kelamin Faktor resiko pertama yaitu jenis kelamin, dalam hasil penelitian terdapat tabel yang menunjukkan penderita ISPA balita berjenis kelamin laki – laki berjumlah 70 (43,10%) anak dari 123 sampel yang mana lebih banyak daripada perempuan yaitu berjumlah 53 (56,90 %) anak dari 123 sampel. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa anak laki – laki lebih rentan terhadap ISPA daripada anak perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena anak laki – laki lebih suka bermain di luar rumah terutama di tempat – tempat yang kotor seperti sungai, kebun, sawah, dan sebagainya sehingga memudahkan mereka
83
untuk terkena virus – virus penyebab ISPA. Sedangkan anak perempuan biasanya lebih suka bermain dirumah dan cenderung lebih bersih daripada anak laki – laki. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Sulityoningsih dan Rustandi (2011) yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010” menyebutkan bahwa penderita ISPA terbanyak adalah berjenis kelamin laki – laki yaitu berjumlah 32 balita dari 43 balita yang diteliti. Hal ini juga sejalan dengan Depkes RI (2005) yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki – laki merupakan faktor resiko yang meningkatkan insiden kejadian ISPA. Maryunani (2010) dalam bukunya juga menyebutkan bahwa jenis kelamin laki – laki merupakan salah satu faktor resiko yang meningkatkan insiden ISPA khususnya pneumonia. Penelitian lain yaitu dilakukan oleh Suyami (2005) dengan judul “Karakteristik Faktor Resiko ISPA Pada Anak Usia Balita di Puskesmas Pembantu Krakitan, Bayat, Klaten” juga menghasilkan bahwa penderita ISPA terbanyak adalah anak dengan jenis kelamin Laki-laki yaitu dengan persentase 70 % dibandingkan dengan anak balita perempuan yaitu 30 %. Soetjiningsih (1995) dalam bukunya yang berjudul “Tumbuh Kembang Anak” menyebutkan bahwa jenis kelamin merupakan salah
84
satu faktor lingkungan biologis yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Dijelaskan bahwa anak laki – laki lebih sering mengalami kesakitan dibandingkan dengan anak perempuan, tetapi belum diketahui secara pasti mengapa terjadi seperti itu. Selain tabel distribusi Penyakit ISPA pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi Penyakit ISPA balita menurut Jenis Kelamin dengan jenis kelamin laki – laki ditunjukkan oleh titik bulat berwarna merah dan jenis kelamin perempuan ditunjukkan oleh kotak kecil berwarna biru. b. Umur Faktor resiko ISPA yang kedua adalah umur, yang mana pada hasil penelitian terdapat tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan rentang umur 1 – 4 tahun lebih banyak yaitu berjumlah 82 (66,70%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan rentang umur 0 – 1 tahun yaitu berjumlah 41 (33,30%) anak dari 123 sampel. Dengan demikian pada penelitian ini dapat diketahui bahwa anak balita dengan umur diatas 1 tahun lebih rentan terhadap kejadian ISPA daripada anak balita dengan umur dibawah 1 tahun. Hal tersebut terjadi mungkin disebabkan karena anak yang berusia 1 tahun keatas lebih sering kontak langsung dengan dunia luar rumah. Balita yang berusia 1 tahun keatas biasanya sedang berada dalam fase mulai bisa berjalan dan bermain – main kesana kemari. Sehingga
85
menyebabkan balita tersebut mudah terkena virus – virus penyebab terjadinya ISPA dan polusi udara. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori dalam buku yang ditulis oleh Maryunani (2010) yang menyatakan bahwa insiden penyakit ISPA tertinggi pada usia bayi yaitu umur 6 – 12 bulan. Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Suyami (2005) yang berjudul “Karakteristik Faktor Resiko ISPA Pada Anak Usia Balita di Puskesmas Pembantu Krakitan Bayat Klaten” menghasilkan bahwa anak usia >2 sampai dengan 5 tahun terkena penyakit ISPA dengan prosentase 80 % lebih besar dibandingkan dengan anak usia 2bln sampai <2th yaitu sebanyak 7,5 %. Selain tabel distribusi Penyakit ISPA pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi Penyakit ISPA balita menurut Umur dengan kategori umur 0 – 1 tahun ditunjukkan oleh titik bulat berwarna merah dan kategori umur 1 – 4 tahun ditunjukkan oleh kotak – kotak kecil berwarna putih. c. Pemberian ASI Faktor resiko ISPA yang ketiga yaitu pemberian ASI. ASI merupakan nutrisi penting bagi bayi. ASI memiliki banyak kandungan gizi yang dibutuhkan oleh bayi. Pemberian ASI ini dianjurkan oleh UNICEF agar diberikan secara Eksklusif yaitu bayi hanya diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan. Karena dengan pemberian ASI secara
86
Eksklusif ini akan dapat membentuk kekebalan didalam tubuh bayi sehingga bayi akan tidak mudah terserang penyakit. Pada hasil penelitian terdapat tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan pemberian ASI secara eksklusif lebih banyak yaitu berjumlah 96 (78,00%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan pemberian ASI tidak eksklusif yaitu berjumlah 27 (22,00%) anak dari 123 sampel. Abbas dan Haryati (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Bayi” menghasilkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi dengan tingkat keeratan yang kuat. Selain tabel distribusi Penyakit ISPA, pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi Penyakit ISPA balita menurut Pemberian ASI dengan pemberian ASI secara Eksklusif ditunjukkan oleh titik bulat berwarna hijau dan pemberian ASI secara tidak Eksklusif ditunjukkan oleh kotak kecil berwarna merah. d. Status Imunisasi Faktor resiko ISPA yang ke kelima adalah status imunisasi. Status imunisasi ini dinilai dengan lengkap atau tidaknya pelaksanaan Lima Imunisasi dasar Lengkap yang telah ditetapkan oleh Depkes RI untuk bayi dibawah 1 tahun.
87
Pada hasi penelitian terdapat tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan status imunisasi lengkap lebih banyak yaitu berjumlah 111 (90,20%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan status imunisasi tidak lengkap yaitu berjumlah 12 (9,80%) anak dari 123 sampel. Bagi balita yang berusia kurang dari 1 tahun dimasukkan dalam kategori tidak lengkap dikarenakan memang belum mendapatkannya secara lengkap. Penelitian yang telah dilakukan oleh Lestari, Tjitra & Sandjaja, (2009) yang berjudul “Dampak Status Imunisasi Anak Balita Di Indonesia Terhadap Kejadian Penyakit” menghasilkan bahwa anak yang tidak mendapat imunisasi dasar lengkap memiliki resiko lebih tinggi terkena penyakit campak, pneumonia dan diare dibandingkan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap. Sedangkan, risiko menderita penyakit campak atau pneumonia sedikit lebih tinggi dari risiko menderita penyakit diare
pada anak yang tidak mendapat
imunisasi dasar lengkap . Selain tabel distribusi Penyakit ISPA, pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi Penyakit ISPA balita menurut Status Imunisasi dengan Status Imunisasi Lengkap ditunjukkan oleh titik bulat berwarna merah dan Status Imunisasi Tidak Lengkap ditunjukkan oleh kotak kecil berwarna hitam.
88
e. Status Gizi Faktor resiko ISPA yang keenam adalah status gizi. Keadaan gizi (status gizi) adalah keadaan yang ditunjukkan sebagai konsekuensi dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke tubuh dan yang diperlukan
(Maryunani,
2010).
Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan RI Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 Gizi kurang dan Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk). Pengukuran status gizi ini didasarkan pada Standar Antropometri WHO 2005 yang di jelaskan pada KEPMENKES RI Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010. Pada hasil penelitian terdapat tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan status gizi baik memiliki jumlah terbanyak yaitu berjumlah 104 (84,60%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan status gizi kurang yaitu berjumlah 16 (13,00%) anak dari 123 sampel dan status gizi buruk berjumlah 3 (2,40%) anak dari 123 sampel. Notoatmodjo (2011) dalam bukunya menyebutkan bahwa keadaan gizi yang baik, dapat membuat tubuh memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi memburuk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti bahwa kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri dari serangan infeksi menjadi turun.
89
Penelitian yang telah dilakukan oleh Sukmawati dan Maros (2010) yang berjudul “Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL), Imunisasi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros” mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadi ISPA pada balita. kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada balita dengan status gizi kurang sebesar 40,0%. Selain tabel distribusi Penyakit ISPA, pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi Penyakit ISPA balita menurut status gizi dengan status gizi baik ditunjukkan oleh titik bulat berwarna hijau, status gizi kurang ditunjukkan oleh kotak kecil berwarna merah dan status gizi buruk ditunjukkan oleh segitiga kecil berwarna kuning. f. Pencemaran Udara dalam Rumah Faktor resiko ISPA yang ketujuh adalah pencemaran udara dalam rumah yang digambarkan oleh paparan asap hasil pembakaran di dalam rumah yang terdiri dari paparan asap rokok, paparan asap dapur, dan paparan asap obat nyamuk. Pada paparan asap rokok terdapat tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan paparan asap rokok lebih banyak yaitu berjumlah 80 (65,00%) anak dari 123 sampel daripada balita yang tidak terkena paparan asap rokok yaitu berjumlah 43 (35,00%) anak dari 123 sampel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa paparan asap rokok dimungkinkan menjadi salah satu faktor penyebab kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
90
Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta. Balita yang terpapar asap rokok merupakan perokok pasif yang mana memiliki resiko lebih tinggi terkena penyakit saluran pernapasan daripada perokok aktif (yang merokok). Corwin (2009) dalam bukunya yang berjudul “Buku Saku Patofisiologi” menyebutkan bahwa bayi dan anak yang terpajan asap rokok sebelum atau sesudah kelahiran memperlihatkan peningkatan angka ISPA. Infeksi saluran napas bawah misalnya pneumonia, dan asma pada masa kanak – kanak dibandingkan dengan bayi dan anak – anak dari orang tua bukan perokok. Keluaran urine yang mengandung metabolit nikotin meningkt drastis pada anak – anak dari orangtua perokok dibandingkan dengan anak – anak dari orang tua bukan perokok. Beberapa metabolit nikotin diketahui bersifat karsinogenik dan mengiritasi paru. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Marhamah, Arsin, Wahiduddin (2013) dengan judul “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang” menyatakan bahwa ada hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita. Anak balita yang terpapar terdapat sebanyak 42 (53.2%) yang menderita sedangkan anak balita tidak terpapar terdapat 15 (31.2%) yang menderita ISPA.
91
Pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi penyakit ISPA pada balita menurut paparan Asap Rokok yang mana anak balita yang terpapar asap rokok ditunjukkan dengan tanda bulat kecil berwarna merah dan yang tidak terpapar oleh asap rokok ditunjukkan dengan tanda kotak kecil berwarna hijau. Pada paparan asap dapur terdapat tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita yang tidak terpapar asap dapur lebih banyak yaitu berjumlah 105 (85,40%) anak dari 123 sampel daripada balita yang terpapar asap dapur yaitu berjumlah 18( 14,60%) anak dari 123 sampel. Pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi penyakit ISPA pada balita menurut paparan Asap dapur yang mana anak balita yang terpapar asap dapur ditunjukkan dengan tanda bulat kecil berwarna merah dan yang tidak terpapar oleh asap dapur ditunjukkan dengan tanda kotak kecil berwarna biru. Hal yang sama juga terjadi pada faktor paparan asap obat nyamuk tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita yang tidak terpapar asap obat nyamuk lebih banyak yaitu berjumlah 103 (83,70%) anak dari 123 sampel daripada balita terpapar asap obat nyamuk yaitu berjumlah 20 (16,30%) anak dari 123 sampel. Pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi penyakit ISPA pada balita menurut paparan Asap obat nyamuk yang mana anak balita yang terpapar asap obat nyamuk ditunjukkan dengan tanda bulat kecil
92
berwarna hijau dan yang tidak terpapar oleh asap obat nyamuk ditunjukkan dengan tanda kotak kecil berwarna kuning. g. Lingkungan Fisik Rumah Faktor resiko dilihat dari segi faktor lingkungan fisik rumah yang pertama adalah keadaan lantai rumah. Pada hasil penelitian terdapat tabel yang menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan keadaan lantai rumah yang tidak baik lebih banyak yaitu berjumlah 70 (56,90%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan keadaan lantai rumah yang baik yaitu berjumlah 53 (43,10%) anak dari 123 sampel. Keadaan lantai yang memenuhi syarat ini diukur menurut kategori yang telah dikemukakan oleh Notoatmodjo (2010) yaitu dengan kategori baik (kedap air atau tidak lembab, keramin, ubin) dan Tidak baik (menghasilkan debu dan lembab, semen dan tanah dan tidak baik). Lantai dengan struktur yang tidak baik (menghasilkan debu dan lembab, semen dan tanah) dapat merangsang terjadinya penyakit ISPA karena debu – debu atau virus – virus yang menempel di lantai juga kelembaban lantai rumah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Syahwafi (2006) yang berjudul “Hubungan Kondisi Kesehatan Lingkungan Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Air Merah Kecamatan Curup Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu” menyatakan bahwa penderita ISPA dengan keadaan lantai
93
rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 77,6 % dari total balita yang diteliti. Pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi penyakit ISPA pada balita menurut keadaan dinding rumah yang mana keadaan lantai rumah yang baik ditunjukkan dengan tanda bulat kecil berwarna hijau dan keadaan dinding rumah tidak baik ditunjukkan dengan tanda kotak kecil berwarna kuning Faktor resiko menurut faktor lingkungan fisik rumah yang kedua adalah keadaan dinding rumah. Keadaan dinding rumah ini dinilai menurut kategori yang telah dikemukakan oleh Notoatmodjo (2010) yaitu kategori Baik (permanen atau tembok) dan Tidak baik (semi permanen, bambu, kayu atau papan). Pada hasil penelitian terdapat tabel diatas menunjukkan bahwa penderita ISPA balita dengan keadaan dinding rumah yang baik lebih banyak yaitu berjumlah 118 (95,90%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan keadaan dinding rumah yang tidak baik yaitu berjumlah 5 (4,10%) anak dari 123 sampel. Pada hasil penelitian juga disertakan peta distribusi penyakit ISPA pada balita menurut keadaan dinding rumah yang mana keadaan dinding rumah yang baik ditunjukkan dengan tanda bulat kecil berwarna merah dan keadaan dinding rumah tidak baik ditunjukkan dengan tanda kotak kecil berwarna kuning.
94
Pada penelitian ini tidak semua faktor resiko yang telah di paparkan oleh Maryunani (2010) di dalam bukunya dapat diungkapkan. Karena penelitian ini merupakan penelitian survey atau observasional yang mengharuskan peneliti terjun langsung ke lapangan dengan mengunjungi rumah penderita satu per satu yang sebelumnya harus mencari alamat rumahnya terlebih dahulu. Sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk penelitian ini. Selain itu faktor lain yang tidak dapat dikemukakan seperti faktor perilaku membutuhkan penelitian yang mendalam agar bisa mendapatkan hasil yang akurat dan maksimal. Oleh karena itu, faktor – fektor resiko yang di teliti hanyalah faktor – faktor yang dapat diteliti dalam waktu singkat untuk menghemat waktu dan sudah memiliki patokan baku untuk penilaiannya. Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan tahun 2013 adalah adanya clustering (menggerombol) letak penderita ISPA yang mana hal ini dapat memudahkan adanya penyebaran penyakit. Faktor yang lainnya yaitu adanya kedekatan letak penderita ISPA balita dengan letak jalan yang ada. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa aktivitas di jalan dapat menimbulkan polusi udara yang berasal dari aktivitas lalu lintas kendaraan dan yang lainnya yang mana polusi udara ini merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya penyakit ISPA.
95
Dari hasil penelitian yang membahas tentang distribusi penyakit ISPA pada balita berdasarkan faktor resiko dapat diketahui bahwa faktor resiko yang dimungkinkan menjadi penyebab kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan adalah Faktor umur, jenis kelamin, paparan asap rokok, dan keadaan lantai rumah. Dalam hal ini dapat dimungkinkan bahwa faktor yang paling berpengaruh atas kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan tahun 2013 ini adalah yang pertama pencemaran udara baik yang ditimbulkan oleh aktivitas di jalan dan juga paparan asap rokok. Kemudian faktor yang kedua adalah adanya clustering letak penderita ISPA yang dapat memudahkan terjadinya penyebaran infeksi penyakit. Kemudian untuk faktor – faktor yang lain seperti umur, jenis kelamin, dan keadaan lantai rumah sebagai pendukungnya. Selain faktor – faktor tersebut diatas terdapat faktor – faktor pendukung yang lain. Berdasarkan hasil penelitian dengan cara survey lapangan ditemukan balita yang bertempat tinggal dekat dengan industri rumah tangga yang berupa industri tahu yang mana industri tersebut selalu mengahasilkan asap yang mengepul dan terkadang hitam setiap kali melakukan produksi. Terdapat pula balita yang orangtuanya bekerja sebagai pengrajin kayu yang mana hal ini menimbulkan debu – debu kayu dari hasil kerajinan tersebut. Debu – debu dari kayu inilah yang dimungkinkan menjadi faktor pendukung terjadinya penyakit ISPA pada balita tersebut karena debu – debu ini juga merupakan polusi udara.
96
Adanya tempat pembuangan sampah di tengah – tengah perkampungan yang cukup besar dan cukup kumuh juga dimungkinkan dapat menimbulkan virus – virus penyebab penyakit.
97
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta yaitu penderita dengan Jenis Kelamin laki – laki yang lebih banyak yaitu 70 anak daripada balita perempuan yang berjumlah 53 anak. 2. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta berdasarkan clustering letak penderita menghasilkan bahwa terdapat clustering (menggerombol) letak penderita ISPA balita satu dengan yang lainnya. 3. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta berdasarkan kedekatan letak penderita dengan jalan menghasilkan bahwa Letak penderita banyak yang berada di dekat jalan baik jalan lokal maupun jalan provinsi. 4. Distribusi Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta berdasarkan faktor resiko yaitu : a. Penderita ISPA balita dengan jenis kelamin laki – laki memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu berjumlah 70 (56,90%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu berjumlah 53 (43,10%) anak dari 123 sampel.
97
98
b. Penderita ISPA balita dengan rentang umur 1 – 4 tahun memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu berjumlah 82 (66,70%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan rentang umur 0 – 1 tahun yaitu berjumlah 41 (33,30%) anak dari 123 sampel. c. Penderita ISPA balita dengan pemberian ASI secara eksklusif lebih banyak yaitu berjumlah 96 (78,00%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan pemberian ASI tidak eksklusif yaitu berjumlah 27 (22,00%) anak dari 123 sampel. d. Penderita ISPA balita dengan status imunisasi lengkap lebih banyak yaitu berjumlah 111 (90,20%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan status imunisasi tidak lengkap yaitu berjumlah 12 (9,80%) anak dari 123 sampel. e. Penderita ISPA balita dengan status gizi baik memiliki jumlah terbanyak yaitu berjumlah 104 (84,60%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan status gizi kurang yaitu berjumlah 16 (13,00%) anak dari 123 sampel dan status gizi buruk berjumlah 3 (2,40%) anak dari 123 sampel. f. Penderita ISPA balita dengan paparan asap rokok lebih banyak yaitu berjumlah 80 (65,00%) anak dari 123 sampel daripada balita yang tidak terkena paparan asap rokok yaitu berjumlah 43 (35,00%) anak dari 123 sampel. g. Penderita ISPA balita yang tidak terpapar asap dapur lebih banyak yaitu berjumlah 105 (85,40%) anak dari 123 sampel daripada balita yang terpapar asap dapur yaitu berjumlah 18 (14,60%) anak dari 123 sampel.
99
h. Penderita ISPA balita yang tidak terpapar asap obat nyamuk lebih banyak yaitu berjumlah 103 (83,70%) anak dari 123 sampel daripada balita terpapar asap obat nyamuk yaitu berjumlah 20 (16,30%) anak dari 123 sampel. i. Penderita ISPA balita dengan keadaan lantai rumah yang tidak baik lebih banyak yaitu berjumlah 70 (56,90%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan keadaan lantai rumah yang baik yaitu berjumlah 53 (43,10%) anak dari 123 sampel. j. Penderita ISPA balita dengan keadaan dinding rumah yang baik lebih banyak yaitu berjumlah 118 (95,90%) anak dari 123 sampel daripada balita dengan keadaan dinding rumah yang tidak baik yaitu berjumlah 5 (4,10%) anak dari 123 sampel. 5. Terdapat pola distribusi penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan tahun 2013 yaitu adanya clustering (menggerombol) letak penderita satu dengan yang lainnya dan kedekatan letak penderita dengan jalan lokal dan provinsi. 6. Faktor resiko yang dimungkinkan menjadi pendukung terjadinya penyakit ISPA pada balita yaitu faktor jenis kelamin, umur, paparan asap rokok, dan keadaan lantai rumah.
100
B. Saran 1. Bagi Puskesmas Melihat hasil dari penelitian ini maka perlu dilakukannya peningkatan promosi kesehatan mengenai penyakit ISPA kepada masyarakat agar dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit tersebut sehingga mampu memberikan pencegahan dan penanganan untuk penyakit tersebut jika terjadi. 2. Bagi Orangtua Orangtua sebaiknya tahu tentang penyakit ISPA khususnya yang sering terjadi pada anak – anak balita agar balita dapat dicegah dari terserang penyakit tersebut. Kemudian untuk orangtua perokok diharapkan agar berusaha untuk tidak merokok di dalam rumah atau bahkan lebih baik dapat berhenti merokok mengingat bahwa paparan asap rokok dimungkinkan dapat berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih baik dalam melakukan penelitian ini. Faktor – faktor resiko ISPA yang ada agar bisa diteliti secara lebih lengkap dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, P & Haryati, A.S.,2011.Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Bayi.Majalah Ilmiah.Sultan Agung Vol L No 126 Desember 2011 – Februari 2012.Semarang : Universitas Islam Sultan Agung. [online] Available at : http://cyber.unissula.ac.id/journal/dosen/publikasi/210194035/9058MAJA LAH_ILMIAH_VOL_L_NO_126_DES-FEB12.pdf [diakses 02 Juli 2013] Akadinata, A., Dewi, S., Hadi, D.P., Nugroho, D.K & Johana, F.,2011. Sistem Informasi Geografis : Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Alam.Malang : Penerbit PT.Bumi Pertiwi Alsagaff, H., Amin, M & Saleh, W.T.,1989.Pengantar Ilmu Penyakit Paru.Surabaya : Penerbit Airlangga University Press Anonym.,2012.health.kompas.[online] Available at : http://health.kompas.com/ ISPA.Penyakit.Serius.yang.Sering.Diremehkan [diakses 11 Januari 2013] Bafdal, N., Amaru, K & Pareira, B.M.,2011. Buku Ajar Sistem Informasi Geografis, Edisi 1.Bandung : Penerbit FTIP UNPAD Barkey, R.A.,Achmad, A., Rijal, S., Soma, S.A & Talebe, A.B.,2009.Buku Ajar Sistem Informasi Geografis.Makassar : Penerbit Fakultas Kehutanan UNHAS Bustan, M.N.,2006.Pengantar Epidemiologi.Jakarta : Penerbit Rineka Cipta Depkes RI.,2009.Brosur Berikan Imunisasi Dasar Lengkap Untuk Melindungi Si Buah Hati.Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI [online] Available at : http://pppl.depkes.go.id/ [diakses 17 Juli 2013] CDC.,2012.Epi Info Software. [online] Available at : http://www.who.int/chp/steps/resources/EpiInfo/en/ [diakses 17 Juli 2013] CDC.,2012.Epi Info Version 3.5.4.[online] Available at : http://wwwn.cdc.gov/epiinfo/html/prevVersion.htm [diakses 17 Juli 2013] Corwin, E.J.,2009.Buku Saku Patofisiologi Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Eckholm,Erik P.,1982.Masalah Kesehatan Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit. Jakarta. Penerbit PT Gramedia
1
102
Gibney, M.J, Margetts, B.M, Kearney, J.M & Arab, L.,2009.Gizi Kesehatan Masyarakat.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Hatta, G.R.,2011.Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan : Edisi Revisi.Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Indarwati,R.,2012.Puskesmas.[online] [diakses 07 Februari 2013]
Available
at
:
http://ners.unair.ac.id
Indriasih, E.,2008.Sistem Informasi Geografis (SIG) Dalam Bidang Kesehatan Masyarakat.Buletin Works Monthly,XI(1),pp.99-104.[online] Available at : http://isjd.pdii.lipi.go.id/ [diakses 21 Januari 2013] Kristina, N.N.,2008.Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemodelan Kejadian Tuberkulosis (TB) Di Kota Denpasar Tahun 2007.Tesis.Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran UGM.Yogyakarta Lestari, W.C.S.,Tjitra, E & Sandjaja.,2009.Dampak Status Imunisasi Anak Balita Di Indonesia Terhadap Kejadian Penyakit. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,Volume XIX, Suplemen II Machfoedz, I & Suryani, E.,2009.Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan.Yogyakarta : Penerbit Fitramaya Marhamah., Arsin, S & Wahiduddin.,2013.Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa Bantongan Kabupaten Enkerang.Jurnal Ilmiah Kesehatan : FKM Universitas Hassanudin [online] Available at : http://repository.unhas.ac.id/ [diakses 17 Juli 2013] Maryunani, A.,2010.Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan.Jakarta : CV. Trans Info Media Meadow, S.R & Newell, S.J.,2005.Lecture Notes Pediatrika Edisi 7.Jakarta : Penerbit Erlangga Menkes RI.,2012.Keputusan Menteri Repubilik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.Jakarta : Menteri Kesehatan RI [online] Available at : http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/11/buku-skantropometri-2010.pdf [diakses 11 Juli 2013] Moleong, L.J.,2010.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset
103
Niha, M.A.V.,2011.Analisis Spasial Dan Faktor Resiko Kejadian TB Paru Di Distrik Dili Tahun 2010.Tesis.Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran UGM.Yogyakarta Notoatmodjo,S.,2007.Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni.Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo,S.,2010.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo,S.,2011.Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni, Edisi Revisi.Jakarta : Rineka Cipta Pom,2011.Infeksi Saluran Pernapasan.[online] available at http://www.pom.go.id/pom/publikasi/artikel/artikel02.html [diakses Januari 2013]
: 11
Prahasta, E.,2005.Konsep – Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.Bandung : Penerbit Informatika Ramadona, A.L.,2009.Epi Info Pengelolaan Database Dan Analisa Data.Yogyakarta [online] Available at : http://buku.elipi.go.id [diakses 12 Juli 2013] Rasmaliah.,2004.Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Penanggulangannya.Sumatra Utara : USU Digital Library
dan
Roesli, U.,2000.Mengenal ASI Eksklusif.Jakarta : Penerbit Trubus Agriwidya Rustiyanto, E.,2010.Sistem Informasi Manajemen Rumah Terintegrasi.Yogyakarta : Penerbit Gosyen Publishing
Sakit
Yang
Sediaoetama, A.Djaeni.,2004.Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan profesi.Jakarta : Penerbit Dian Rakyat Soetjiningsih.,1995.Tumbuh Kembang Anak.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Sugiyono.,2011.Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung : Penerbit ALFABETA Sukmawati & Ayu, S.D.,2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL), Imunisasi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2 Sulistyoningsih, H & Rustandi, R.,2011.Faktor – faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP
104
Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010.Jurnal Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UNSIL [online] available at : http://journal.unsil.ac.id/jurnal/prosiding/9/9Hariyani_Stikes%20Respati% 20TSM%2818%29.pdf.pdf [diakses 9 Juli 2013] Suyami.,2005.Karakteristik Faktor Resiko ISPA Pada Anak Usia Balita di Puskesmas Pembantu Krakitan, Bayat, Klaten.Skripsi.Program Pendidikan S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM.Yogyakarta. Tim Penyusun.,2009.Modul Pelatihan Sistem Informasi Kesehatan (SIG) : Tingkat Dasar Bidang Kesehatan. Mataram : Penerbit Pemerintah Kota Mataram dan Dinkes Provinsi NTB WHO.,2002.Acute Respiratory Infections.[online] Available at : http://www.who.int/whr/2002/whr2002_annex3.pdf [diakses 17 Juli 2013] Widodo, S.T.,2008.Analisis Spasial Kejadian TB Paru BTA (+) Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Kota Yogyakarta.Tesis.Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran UGM.Yogyakarta. Yanti.,2008. Hubungan Pemberian Kapsul Vitamin A Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Kota Payakumbuh.Tesis.Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran UGM.Yogyakarta.
105
106
DOKUMENTASI PENELITIAN
1. Deteksi Titik Koordinat Lokasi Penderita ISPA balita
2. Wawancara Dengan Keluarga Penderita ISPA
107
3. Asap Industri Rumah Tangga
5.Rumah Salah Satu Penderita
4. Tempat Pembuangan Sampah