ANALISIS FILM THE DEVIL WEARS PRADA
Oleh : Delly Kusdalena
Nim : 1209.1037
DOSEN PENGAMPU
Fathul Himam, Ph.D.
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI INDUSTRI & ORGANISASI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Film The Devil Wears Prada
Berkisah dari seorang wanita yang bernama Andrea yang baru
menyelesaikan study di fakultas hukum. Ambisi Andrea untuk menjadi seorang
jurnalis yang terkenal membuat ia mebidik beberapa perusahaan terkemuka di
Amerika. Salah satu yang menjadi target Andrea adalah dapat bekerja di
perusahaan Prada. Latar belakang dengan pengalam kerja minimal 1 (satu)
tahun di Prada akan membuat ia dapat bekerja diperusahaan mana saja yang ia
mau.
Andrea mendapatkan panggilan wawancara untuk bekerja di Prada. Saat
hari wawncara, Andrea terlihat sangat bersemangat, ceria dan sangat yakin
dengan kemampuan yang ia miliki. Andrea akan diwawancari oleh Emily, Emily
adalah sekertaris utama pimpinan Editor Prada yaitu Miranda Presley.
Rencana Emily pagi itu untuk mewanwancarai Andrea yang akan ditempatkan
pada posisi Sekertaris ke-2 Miranda Presley menjadi tidak terlaksana karena
secara mendadak Miranda Presley sudah datang. Kedatangan Miranda pagi itu
benar-benar membuat kondisi kantor menjadi sangat panik, setiap karyawan
yang awalnya santai dengan semua kegiatan mereka menjadi mendadak berubah,
meja kerja yang berantakan mendadak dibersihkan, penampilan karyawan yang
asal-asalan mendadak rapi sehingga saat Miranda memasuki ruangan kantor,
para karyawan menyambutnya dengan sangat tegang dan terkesan bekerja sangat
sibuk serta sangat serius.
Emily menyambut kedatangan Miranda dengan sangat tegang. Sementara
Andrea masih sangat kaget dengan kondisi yang ada, disaat Andrea sibuk
memperhatikan kondisi tersebut, tiba-tiba Miranda melihat Adrea dari ruang
kerjanya, lalu ia menyuruh Emily untuk memanggil Andrea masuk ke
ruangannya. Andrea masuk keruangan Miranda namun hanya berdiri, miranda
hanya melihat sekilas kearah Andrea dengan pandangan yang sinis, lalu ia
kembali sibuk melihat majalah yang ada ditangannya. Miranda hanya bertanya
satu pertanyaan lalu Andrea menjawabnya dengan panjang lebar namun Miranda
tidak memperhatikan Andrea. Andrea mundur dan keluar ruangan dengan kecewa.
Saat Andrea keluar dari gedung Prada, tiba-tiba ia menerima telpon dari
Emily bahwa Miranda akan mepertimbagkan dirinya untuk bekerja di Prada dan
Andrea harus langsung bekerja pada hri itu juga.
Pada hari – hari awal bekerja, Andrea merasa sangat bingung dengan
pekerjaannya, ia bekerja tidak hanya mengangkat telpon dan membuat jadwal
Miranda namun harus mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya tidak wajar ia
kerjakan diantaranya, menyiapkan kopi dan sarapan pagi Miranda,
mengantungkan mantel dan tas Miranda, mengantarkan loundry kerumah Miranda
bahkan membelikan hal-hal ynag dibutuhkan oleh anak kembar Miranda namun
Andrea melakukannya dengan semangat dan penuh keyakinan. Sampai suatu saat
Andrea tidak mampu membelikan tiket untuk Miranda kerena saat itu tidak ada
maskapai yang melakukan penerbangan karena kondisi cuaca yang sangat buruk.
Hal ini membuat Miranda sangat marah kepada Andrea, sementara Andrea
berusaha untuk menjelaskan, namun Miranda tidak mau menerima alasan apapun,
sikap Miranda benar-benar membuat Andrea merasa tidak dihargai lagi, ia
merasa bahwa usahanya utntuk bekerja sebaik mungkin menjadi sia-sia.
Kekecewaan Andrea diceritakannya pada Nigel yang merupakan penasihat
fashion di Prada. Nigel menanggapi bahwa kekecewaan Andrea adalah hal yang
berlebihan, ia mengatakan bahwa untuk bekerja di Prada haruslah bekerja
lebih tanggunh lagi. Sikap Nigel membuat Andrea kembali bersemangat, lalu
ia meminta Nigel untuk memperbaiki cara berbusananya dengan harapan agar
Miranda dapat menyukainya dalam bekerja. Nigel dengan senang hati membantu
Andrea untuk mengubah penampilannya, ia memberikan beberapa potong baju,
celana, gaun sampai sepatu koleksi Prada untuk Andrea.
Penampilan Andrea yang mendadak menjadi modis, cukup membuat Miranda
terkesima dan pandangan Miranda tersebut cukup mengembalikan kepercayaan
diri Andrea kembali. Emily dan semua rekan kerjanya sangat terkejut dengan
penampilan Andrea, disaat semua orang memuji penampilan baru Andrea, Emily
justru merasa sangat kesal karena tidak mendapatkan fasilitas seperti yang
diberikan Nigel terhadap Andrea.
Seiring waktu Andrea dapat dengan sangat baik melaksanakan tugas-
tugasnya sebagai Asisten Miranda walaupun pekerjaan yang dilakukannya harus
menyita waktunya bersama teman-teman, pacar bahkan orang tuanya. Ambisinya
untuk menjadi jurnalis selalu menjadi semangatnya untuk bekerja sebaik
mungkin dengan harapan setelah satu tahun bekerja di Prada akan membuatnya
dapat diterima bekerja dimana saja. Sampai pada akhirnya Andrea menyadari
bahwa ambisinya tersebut telah membuat ia kehilangan segalanya mulai dari
teman, pacar bahkan waktu untuk keluarganya dan idialisme yang dimilikinya
untuk tidak mau disamakan dengan karakter Miranda membuat ia dengan tegas
dan tanpa berfikir lagi untuk keluar dari Prada.
B. LATAR BELAKANG
Berdasarkan deskripsi diatas maka, karakter tokoh-tokoh dalam The The Devil
Wears Prada dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1. Andrea adalah wanita yang penuh semangat, pandai bergaul, pintar, ramah,
memiliki keyakinan diri yang tinggi, selalu berfikir positif baik dengan
atasan, rekan kerja bahkan pekerjaan yang sering tidak wajar harus ia
kerjakan karena tidak sesuai dengan pekerjaan posisi jabatannya sebagai
sekertaris Miranda
2. Emily adalah karyawan yang sangat berambisi untuk menggapai mimpinya
(pergi ke paris), baginya pekerjaan adalah sarana untuk selalu tampil
modis dan trendi, ia akan sangat terlihat disiplin jika ada Miranda
sehingga dalam melakukan pekerjaan cenderung terlihat tegang, ia juga
karyawan yang cerdas dan cukup optimis dalam berfikir.
3. Nigel adalah penasihat Miranda, ia adalah orang yang pandai menyesuaikan
diri dengan keadaan, memiliki standar kerja, cukup mampu memberikan
masukan terhadap rekan kerja yang berkeluh kesah, memiliki semangat
kerja yang tinggi namun dibalik semua itu, ia juga sering merasa lelah
dengan gaya kepemimpinan Miranda sehingga selalu ada keinginan dari
dirinya bahwa suatu hari nanti, ia akan bisa lebih dari Miranda
4. Miranda adalah seorang pemimpin yang otoriter, ambisius, sangat
menekankan orientasi pada tugas-tugas tanpa memperhatikan kebahagian
karyawannya. Bagi Miranda, karyawan hanyalah alat untuk mencapai
tujuannya serta ia akan melakukan segala cara untuk meningkatkan
reputasi Prada dimata fashion dunia. Sikapnya sangat perfectionis, suka
menghina bahwan secara langsung dan selalu menunjukan powernya dengan
tidak mentolerir sedikitpun kesalahan yang dilakukan bawahaannya. Namun,
dibalik sikapnya yang sangat oriter, ia memiliki permasalahan pribadi
yang cukup kacau, pernikahan pertama dan keduanya harus berakhir dengan
perceraian. Kegagalan dalam membina rumah tangga membuat mengalami beban
psikologis namun apa yang ia rasakan dirumah selalu ia tutupi dengan
sikapnya yang sangat tegas terhadap bawahannya. Miranda juga bukanlah
ibu yang memberikan pendidikan yang baik terhadap anak-anaknya, hampir
semua waktu dihabiskan dengan bekerja. Bagi Miranda dengan memenuhi
semua keinginan anaknya sudah merupakan bentuk kasih sayang.
Berdasarkan beberapa tokoh yang ada, maka penulis tertarik untuk
menganalisis lebih jauh mengenai tokoh Miranda. Miranda merupakan seorang
pemimpin yang berorintasi pada tugas-tugas, perfectionis, memperkerjakan
bawahan dengan beban kerja yang tumpang tindih (Andrea yang harus
menyiapkan sarapan, makan siang, membelikan kebutuhan anaknya dan hal-hal
lain yang bukan menjadi tugas wajar seorang sekertaris). Miranda juga
menciptakan kondisi kerja yang tegang sehingga setiap karyawan merasa
sangat ketakutan setiap kali berpendapat. Gaya kepemimpinan otoriter dan
kaku yang diterapkan oleh Miranda benar-benar membuat setiap karyawan harus
mengikuti semua yang ia katakan sehingga sangat terlihat bahwa semua
karyawan bekerja dengan tidak bahagia dan penuh dengan tekanan. Sisi lain
kehidupan pribadi Miranda justru bertolak belakang dengan sikapnya yang
sangat tegas terhadap karyawan. Dua kali kegagalan dalam pernikahan benar-
benar membuat Miranda terpukul namun ia sangat tidak ingin kesedihan yang
ia alami diketahui orang lain.
Prada adalah perusahaan majalah Fashion yang sangat terkenal dan
tekemuka tidak hanya di Amerika namun sampai keseluruh dunia salah satunya
di Paris yang merupakan kota mode dan fashion yang besar. Prada memiliki
kultul bisnis yang sangat menekankan pada model fashion yang selalu aktual.
Hal ini juga yang menjadi budaya dalam perusahaan dimana setiap karyawan
dalam berpenampilan dan berpakaian harus dapat mengikuti stayle dan selalu
modis dan trendi.
Bila diperhatikan, Prada memiliki tujuan yang jelas dengan memiliki
budaya organisasi yang sangat kuat dimana unsur-unsur nilai yang diterapkan
dalam perusahaan sangat melekat dengan diperkuat oleh pola kepemimpinan
Miranda yang sangat memiliki power dalam mengendalikan semua sistem kinerja
karyawannya. Selain itu, karyawannya juga memilki komitmen yang kuat untuk
bekerjasama dalam usaha mencapai tujuan perusahaan. Komitmen yang kuat ini
muncul sebagai akibat dari peran kepemimpinan Miranda yang sangat
berorientasi pada tugas tanpa mentoleransi sedikitpun kelemahan bawahannya.
Miranda sangat menekankan pada hasil kinerja yang profesional yang
berfokus pada pencapaian tujuan perusahaan. Ia menerapkan pola kepemimpinan
Task Oriented yaitu kepemimpinan yang sangat berorintasi pada tugas dan
komitmen kinerja bawahan dengan adanya kejelasan Rewads dan Punishment dari
hasil kinerja karyawan. Permasalahan dari kepemimpinan Miranda adalah hanya
meberlakukan punishment tanpa memberikan reward dari hasil kinerja karyawan
yang berakibat sering muncul kekecewaan secara emosional dari bawahannya.
Otoritas Miranda tanpa memberikan kesempatan bawahannya untuk berkomunikasi
dengan segala keputusan yang diambil membuat pola kepemimpinan Miranda
sangat kaku dan otoriter.
BAB II
ANALISIS KASUS
Cummings & Workley (2009), menjelaskan bahwa salah satu metode untuk
mendiagnosis organisasi adalah dengan metode Weisbord's Six-Box Model
dimana model ini menjelaskan kondisi organisasi berdasarkan 6 (enam)
kelompok yaitu Purpose, Structur, Relationship, Reward, leadership dan
Helpful Mechanism. Metode analisis ini dapat digunakan urnuk menjelaskan
kondisi perusahaan Prada dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Purpose
Merupakan kejelasan tujuan dari perusahaan. Pada kasus ini, Prada
adalah perusahaan yang memiliki tujuan yang jelas dengan berdasarkan pada
latar belakang perusahaan fashion dan memiliki nilai-nilai yang sudah
menjadi budaya dalam lingkungan kerjanya dinama budaya organisasi
memberikan pengaruh terhadap kinerja perusahaan (Brahmasari & Suprayetno,
2009). Hal ini tergambar budaya yang ada di Ranway yaitu mengharuskan
penampilan karyawan selalu tampil tapi, trendi dan fashionable. Menuntut
karyawan untuk selalu kreatif untuk menciptakan mode-mode terbaru sehingga
tujuan perusahaan untuk selalu menjadi majalah Fashion terbesar di Amerika
dan menjadi rujukan fashion di dunia.
2. Structure
Hal ini berkaitan dengan struktur tugas, deskripsi jabatan, peraturan-
peraturan yang berlaku dalam perusahaan dan mekanisme kerja karyawan.
Deskripsi jabatan ini sendiri merupakan gambaran tentang bagaimana suatu
pekerjaan harus dilakukan. Deskripsi jabatan juga harus memuat tentang
metode dan prosedur kerja, fungsi, tugas, dan tanggung jawab, hubungan
antara pekerjaan satu dengan pekerjaan lain, persyaratan pekerjaan seperti
syarat intelektual, akademis, sosial, minat, dan kondisi emosi (As'ad,
1991).
Di Prada terlihat adanya deskripsi jabatan yang tidak jelas mengenai
fungsi dan tanggung jawab karyawan, hal ini terlihat dari pekerjaan yang
dilakukan Andrea yang masih belum relevan dengan posisinya sebagai asisten
Miranda, dimana Andrea harus mengerjakan pekerjaan yang benar-benar diluar
tanggung jawabnya seperti mengantarkan loundry kerumah Miranda dan harus
membelikan kebutuhan-kebutuhan anak Miranda, sehingga sangat jelas terlihat
bahwa Andrea sering mengalami kecemasan dan kekecewaan dalam bekerja hal
ini berdampak pada emosi Andrea yang tidak bahagia.
Mekanisme waktu kerja yang ada di perusahaan, Covey (1994) menjelaskan
bahwa waktu merupakan aset yang sangat berharga. Pengelolaan waktu yang
tepat dapat menjauhkan individu dari konflik internal seperti stres, maupun
konflik eksternal seperti konflik peran. Menurut Macan (1994) manajemen
waktu ini merupakan cara yang digunakan dalam mengelola waktu, seperti
membuat daftar, membuat skala prioritas, membuat jadwal dan rencana
kegiatan sehari-hari baik di kantor maupun di rumah. Di Prada, waktu kerja
menjadi tidak teratur, hal ini terlihat dari kasus Andrea, masalah
ketidakjelasan jam kerja ini terlihat cukup menonjol. Pada beberapa adegan
digambarkan bahwa Andrea harus masuk kerja atau melakukan pekerjaan kantor
pada saat ia sedang istirahat di rumah atau pada saat ia sedang berkumpul
bersama dengan teman-temannya. Akibatnya, Andra beberapa kali merasa
kesulitan dalam memanajemen waktunya, baik waktu yang berkaitan dengan
pekerjaan maupun dengan lingkungan sosialnya.
3. Relationship
Menurut Johnson&Johnson (1991) hubungan interpersonal dan sosial
merupakan sumber yang berkualitas dalam hidup manusia. Manusia sebagai
mahluk sosial tidak terlepas dari individu lain, manusia melakukan hubungan
dengan alam, sesama, dan tuhannya. Manusia adalah mahluk sosial yang
memerlukan berbagai bentuk relasi dengan lingkungan sosialnya. Tanpa relasi
itu, seorang manusia tidak akan mampu menjalani hidupnya secara optimal.
Dalam dunia kerja juga demikian. Setiap orang yang bekerja selalu ingin
menunjukkan sisi kemanusiaannya dengan cara bersosialisasi atau bergaul
dengan masyarakat, teman, dan keluarga.
Pada kasus Andrea ini, kesempatan setiap karyawan untuk melakukan
relasi sosial menjadi terhambat karena tingkat aktivitas pekerjaan yang
sedemikian padat dan mekanis. Akibatnya, karyawan sama sekali tidak bisa
menjalin hubungan sosial. Hal ini tergambar jelas dalam beberapa peristiwa
ketika Andrea selesai jam kerja sedang berkumpul dengan teman-temannya
namun secara tiba-tiba harus segera memenuhi panggilan Miranda lalu saat
hari libur ketika ia bersama ayahnya secara tiba-tiba harus segera
melaksanakan tugas yang diperintahkan Miranda. Sedangkan Miranda, dalam
memimpin hanya berorientasi pada tugas tanpa ada perilaku yang
memperlihatkan hubungan sosial yang baik terhadap bawahan
4. Reward
Ruvendi (2005) menjelaskan bahwa imbalan (rewards) dapat mempengaruhi
kepuasan kerja karyawan. Reward yang diberikan perusahaan bisa bersifat
finansial (materi) atau non finasial seperti pujian. Di Prada, reward untuk
hasil kinerja bawahan tidak ada sama sekali, pola kepemimpinan Miranda yang
sama sekali tidak menerapkan reward atas prestasi karyawan namun yang
nampak jelas hanyalah punishment sehingga para karyawan bekerja dengan
penuh tekanan dan terlihat sangat ketakutan jika berbuat kesalahan.
Punishment yang sangat tampak diperlihatkan Miranda adalah saat ia
memberikan respon negatif, penolakan secara tegas serta pandangan sinis
secara terbuka didalam rapat jika karyawannya melaporkan hasil kerja yang
tidak sesuai dengan harapannya. Sebaliknya, jika kinerja bawahannya sudah
sesuai maka respon yang diperlihatkan oleh Miranda hanya biasa dengam muka
dan bahasa tubuh yang datar
5. Leadership
Kepemimpinan berpengaruh terhadap pembentukan budaya organisasi serta
berdampak pada komitmen terhadap organisasi (Nurjanah, 2008).
Spreitzer (1999) menjelaskan bahwa peranan seorang pemimpin menjadi
efektif jika, mampu memberikan tanggung jawab terhadap tim berdasarkan pada
kemampuan yang dimiliki oleh tim kerja agar tercipta kondisi kerja yang
produktif dan proaktif sehingga kepuasan kerja dan komitmen karyawan
terhadap organisasi dapat tercapai.
Pada peran kepemimpinan Miranda tidak terlihat adanya kepercayaan
pimpinan terhadap para karyawannya sehingga karyawan tidak meenjadi
produktif dan proaktif dalam menyampaikan pendapat yang berakibat pada
terjadinya ketidakpuasan karyawan terhadap hasil kinerja dan kepemimpinan
Miranda. Miranda tidak memberikan kesempatan pada karyawan untuk
meyampaikan ide-ide dan komunikasi secara terbuka terhadap pimpinan.
6. Helpful Mechanism
Merupakan cakupan dari sistem anggaran, Informasi management,
perencanaan dan kontrol (Chummings & Workley, 2009). Pada kasus Prada,
tidak berjalannya sistem informasi secara efektif antara atasan dengan
bawahan. Ini terlihat dari sikap Miranda yang tidak mau berkomunikasi
secara lebih terbuka dengan karyawan, Miranda hanya menyampaikan tugas-
tugas yang harus dikerjakan bawahan tanpa memberikan bawahan untuk
berpendapat. Perencanaan dan kontrol kinerja karyawan sangat terpusat pada
Miranda sehingga kinerja bawahan sangat dituntut dengan standar kerja yang
tinggi. Budaya kerja yang ada pada Prada juga menjadi kewajiban dari
karyawan dalam berkerja dan bersikap namun pekerjaan yang mereka lakukan
tidak sesuai dengan jabatannya.
BAB III
PEMBAHASAN
Bila diperhatikan kondisi yang terjadi di perusahaan Prada dapat
dilihat berdasarkan tiga level yaitu:
1. Level Organisasi
Pada pendekatan perilaku untuk mendiagnosis budaya organisasi
(Organization Culture) memberikan perhatian pada deskripsi pekerjaan secara
spesifik mengenai bagaimana hasil kinerja dan bagaimana hubungan
relationship didalam organisasi (Cummings & Workley, 2009). Berdasarkan
hasil analisis dengan menggunakan six-box model teridentifikasi bahwa tidak
adanya deskripsi jabatan dan uraian tugas untuk mengukur kinerja/ prestasi
kerja karyawan. As'ad (1991) mejelaskan bahwa deskripsi
jabatan harus memuat tentang metode dan prosedur kerja, fungsi, tugas, dan
tanggungjawab, hubungan antara pekerjaan satu dengan pekerjaan lain,
persyaratan pekerjaan seperti syarat intelektual, akademis, sosial, minat,
dan kondisi emosi.
Hal ini terlihat dari pekerjaan Andrea, dimana tidak terlihat fungsi,
tugas, dan tanggungjawab yang relevan dengan jabatannya selaku asisten
Miranda. Akibatnya, Andrea lebih banyak bekerja secara serabutan diluar
fungsi, tugas, dan tanggung jawab utamanya. Karena ketidakjelasan jabatan
ini, maka Andrea mengalami banyak tekanan mental dalam menjalani
pekerjaannya. Miranda memberikan pekerjaan yang sangat tidak sesuai fungsi
dan jabatan bawahaannya sehingga sebagai pimpinan, Miranda tidak membuat
deskripsi pekerjaan bahawannya secara jelas dan baku.
Pada beberapa adegan digambarkan juga bahwa Andrea harus masuk kerja
atau melakukan pekerjaan kantor pada saat ia sedang istirahat di rumah atau
pada saat ia sedang berkumpul bersama dengan teman-temannya. Akibatnya,
Andrea beberapa kali merasa kesulitan dalam memanajemen waktunya, baik
waktu yang berkaitan dengan pekerjaan maupun dengan lingkungan sosialnya.
Menurut Covey (1994) waktu merupakan aset yang sangat berharga. Terhadap
bahawan, Miranda tidak memberikan kesempatan pada Andrea untuk memiliki
waktu pribadi, sebagai pimpinan ia menekankan pada bawahannya untuk selalu
siap bekerja dalam kondisi apaun sekalipun diluar waktu jam kerja normatif.
2. Level Kelompok Kerja
Manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan berbagai bentuk relasi
dengan lingkungan sosialnya. Tanpa relasi itu, seorang manusia tidak akan
mampu menjalani hidupnya secara optimal. Menurut Johnson&Johnson (1991)
hubungan interpersonal dan sosial merupakan sumber yang berkualitas dalam
hidup manusia. Manusia sebagai mahluk sosial tidak terlepas dari individu
lain.
Miranda sebagai pimpinan tidak membangun hubungan kerja yang baik
terhadap bawahan, hal ini terlihat dari sikapnya yang sanagt tidak terbuka
terhadap semua pendapat yang akan disampaikan bawahan padahal menurut
Mathis & Jackson (2002) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
efektivitas kinerja karyawan adalah dukungan yang diberikan dan dukungan
rekan kerja dapat berupa informasi mengenai cara untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut. Salah satu manfaat dari dukungan sosial rekan kerja
adalah membantu meningkatkan produktivitas melalui peningkatan motivasi,
kualitas penalaran, kepuasan kerja, dan mengurangi stress kerja.
Bagi seorang karyawan, dukungan sosial merupakan modal yang berharga
dalam upaya mencapai prestasi kerja yang tinggi. Lim (Moorr, 2000) yang
mengatakan bahwa dukungan sosial dari sesama rekan kerja sangat diperlukan
karyawan untuk mencapai kinerja kerja yang tinggi dan dukungan yang berasal
dari sumber yang berkaitan dengan pekerjaan akan lebih efektif dibandingkan
dengan dukungan dari pihak lain. Menurut Thoits (1986) dukungan sosial
bersumber dari orang yang memiliki hubungan berarti dengan individu.
Dukungan itu dapat diperoleh dari suami/ isteri, teman, kelompok sosial
(Taylor, 1995). Pada perusahaan Prada, sebagai pimpinan Miranda tidak
memberikan dukungan sosial yang baik terhadap bawahan, orientasinya hanya
pada pekerjaan yang dilakukan karyawan harus benar dan sempurna tanpa ada
usaha untuk membina hubungan relasi sosial yang baik dengan bawahan.
3. Level Individual
Pada level individu yang menjadi perhatian adalah pimpinan Prada yaitu
Miranda. Organisasi yang efektif adalah apabila kepemimpinan yang
diterapkan di dalam organisasi itu mampu mendorong kinerja karyawan secara
optimal. As'ad (1991), setiap pemimpin perlu mengoptimalkan
tanggungjawabnya kepada bawahan. Tanggungjawab itu meliputi:
a. Semua pimpinan haruslah menetapkan tujuan bagi karyawan-karyawannya.
b. Semua pimpinan haruslah melatih karyawannya dan membantu mereka menjadi
lebih efektif dalam pekerjaannya.
c. Semua pimpinan haruslah meninjau kemajuan karyawannya dalam bentuk hasil
dan tujuan yang telah dicapainya dan tidak menghargai aktivitas atau
kegagalan mereka tetapi hasil nyata dari tujuan mereka.
d. Semua pimpinan hendaklah memberikan bimbingan. Jika tidak kelompok
terombang-ambing, suasana kerjasama akan berkurang dan karyawan akan
bekerja menurut arahnya masing-masing.
e. Semua pimpinan hendaklah menggunakan metode baru dalam kelompok dan
bidang mereka untuk membuat anggota kelompok terus-menerus menjadi lebih
efektif.
f. Semua pimpinan hendaklah membuat perencanaan untuk masa mendatang.
Pimpinan harus memproyeksikan kesempatan-kesempatan dan kesulitan-
kesulitan dan merencanakan tindakan pengembangan untuk menyelesaikan
pokok persoalan yang penting. Pimpinan berhasil hanya bila orang-orang
dalam kelompoknya berhasil.
g. Semua pimpinan harus mengembangkan kemampuan orang-orangnya.
h. Bila menghargai prestasi karyawan pimpinan hendaklah menggunakan standar
sosial dan finansial yang mereka tetapkan untuk karyawan.
Sebagai pimpinan Miranda sangat menuntut hasil kinerja bawahannya
tanpa memberikan bantuan dan bimbingan terhadap bawahannya. Metode
kepemimpinan Miranda sangatlah kaku dimana tidak adanya komunisasi secara
terbuka terhadap bawahannya. Sikap kerjanya yang sangat Task Oriented
membuat ia meperlakukan bawahan hanya berdasarkan pada tugas tanpa ada
usaha untuk menciptakan kondisi hubungan yang baik. Yulk (2010) menjelaskan
bahwa gaya kepemimpinan otoriter Adalah gaya pemimpin yang memusatkan
segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara
penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin
yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas
yang telah diberikan.
Birokrasi kepemimpinan yang digunakan oleh Miranda adalah menerapkan
desain organisasi tradisonal. Desain Organisasi tradisional adalah pada
penentuan visi berada pada manajemen puncak dalam hal ini adalah pemimpin,
manajemen puncak menentukan apa yang harus dilakukan anggotanya dengan
penuh tanggung jawab, jika terjadi konflik diselesaikan melalui kekuasaan
dimana peran pemimpin membangun visi organisasi dengan memberikan hukumam
dan peghargaan yang tepat dalam mengendalikan kinerja karyawan (Lunthans,
2006). Barnard (Lunthans, 2006), menyebutkan bahwa kekuasaan yang datang
dari atas kebawah adalah tidak efektif, karena terjadi penekanan pada unsur
manusia sebagai karyawan.
Miranda yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan ini, karena
dilatarbelakangi oleh situasi internal Miranda yang penuh gejolak, seperti
status perkawinannya yang berada di ambang kehancuran atau karena adanya
rencana suksesi kepemimpinan di perusahaan Prada yang dipenuhi oleh intrik-
intrik tajam. Situasi yang seperti ini dibenarkan oleh Cervone dkk (1991)
yang dalam penelitiannya menemukan fakta bahwa suasana hati yang positif
dapat meningkatkan kecepatan dan efisiensi pengambilan keputusan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Baradell & Klein (1993) menyatakan
bahwa peristiwa-peristiwa hidup yang tidak menyenangkan berhubungan dengan
rendahnya kualitas pengambilan keputusan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perusahaan Prada merupakan perusahaan majalah fashion terkenal di
Amerika. Latar belakang ini yang menjadi tuntutan dari perusahaan sendiri
untuk tetap menjaga citra dan reputasi didunia fashion yang tidak hanya di
Amerika bahkan dunia. Kondisi ini yang membuat pimpinan Prada sangat
menerapkan pola task oriented. Kepemimpinan Miranda yang sangat menuntut
karyawan untuk selalu bersikap secara profesional dengan hasil kinerja yang
sempurna merupakan cara Miranda untuk memenuhi tujuan awal dari bisnis
Prada.
Brown (1992) menjelaskan bahwa kepemimpinan yang efektif dan
pengembangan organisasi sangat tergantung pada pemahaman dan kepekaan
eksekutif terhadap budaya organisasi. Pada situasi ini, terlihat bahwa
Miranda sangat peka terhadap tuntutan bisnis Prada sehingga bila ditinjau
dari latar belakang bisnis Prada, kepemimpinan Miranda bisa efektif. Hal
ini dengan melihat bahwa Miranda dalam memimpin sangat memiliki komitmen
untuk membuat Prada selalu menjadi perusahaan majalah fashion di Amerika
bahkan di seluruh dunia.
Pada satu sisi, gaya kepemimpinan Miranda merupakan dampak dari
tuntutan bisnis Prada, namun disisi lain gaya kepemimpinannya yang sangat
otoriter dengan standar pengambulan keputusan yang terpusat menciptakan
budaya kinerja dari bawahan yang sangat tegang dan kaku. Kepemimpinan
Miranda tidak memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengembangkan
kemampuan dan manajemen diri salah satunya dengan kebebasan waktu diluar
jam kerja. Padahal Pemimpin organisasi dapat membantu bawahan mengembangkan
keterampilan manajemen diri (Manz & Sims, 1980).
Pola kepememipinan yang kaku tanpa adanya komunikasi yang efektif
antara atasan dengan bawahan, tidak memperhatikan kepuasan kerja dan
kebahagian karyawan dalam bekerja membuat karyawan yang berada dibawah
kepemimpinan Miranda menjadi sangat tertekan dan sering sekali mengalami
kekecewaan secara emosional. Hal ini yang menjadi kelemahan dari
kepemimpinan Miranda. Pola komunikasi pemimpin dapat mengkoordinasi
karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan sehingga Kepemimpinan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan (Brahmasari &
Suprayetno, 2009).
B. Saran Intervensi
Bedasarkan hasil analisis permasalahan diperoleh permasalahan pada
level organisasi, kelompok kerja dan individual sehingga dapat disarankan
beberapa intervensi sebagi berikut :
1. Bagi organisasi/perusahaan
Perlu dibuat deskripsi pekerjaan dan manejemen waktu yang jelas bagi
setiap karyawan sehingga karayawan dapat bekerja lebih efektif dan
memiliki waktu pribadi untuk keluarga dan teman-teman diluar jam kerja
normatif. Deskripsi jabatan harus memuat tentang metode dan prosedur kerja,
fungsi, tugas, dan tanggung jawab, hubungan antara pekerjaan satu dengan
pekerjaan lain, persyaratan pekerjaan seperti syarat intelektual, akademis,
sosial, minat, dan kondisi emosi (As'ad,1991). Deskripsi pekerjaan yang
jelas, baku dan terstandar akan membuat karyawan Prada dapat bekerja sesuai
dengan funsi dan jabatannya.
2. Bagi kelompok kerja
Menurut Hodson (1997) dukungan sosial di tempat kerja akan dapat
memberikan suatu kontribusi terutama pada produktivitas dan kesejahteraan
karyawan. Bagi seorang karyawan, kenyamanan dan keamanan kerja sangat
berkaitan dengan situasi internal organisasi. Artinya, ketika situasi
internal organisasi tidak kondusif, maka yang akan terjadi adalah timbulnya
perasaan tidak nyaman dan perasaan terancam di dalam diri setiap karyawan.
Pada kasus Prada, ketidaknyaman dalam bekerja terjadi pada tokoh
Andrea, Nigel dan Emily dimana mereka sama-sama merasa kecewa atas
kepemimpinan Miranda yang sangat kaku dan otoriter. Upaya untuk mengatasi
perasaan kecewa yang tidak dapat diekspresikan maka, perlu adanya konseling
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan mental dan kebahagian karyawan.
Caroll (1996) menjelaskan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
memfasilitasi usaha karyawan untuk mengekspresikan perasaannya itu adalah
dengan melakukan konseling yang berorientasi pada upaya peningkatan
kesejahteraan atau kebahagiaan karyawan
3. Bagi Individual
Pada kasus Prada, kepemimpinan Miranda merupakan intervensi individual
yang disarankan. Berdasarkan studi Collins (2001) dapat dipastikan bahwa
kehebatan suatu organisasi tergantung pada kehebatan para pemimpinnya.
pemimpin memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap para bawahannya,
antara lain: pengaruh pemimpin dalam peningkatan rasa percaya bawahan
terhadap atasan (Butler, dalam Ambrose dan Schminke, 2003; Konovsky dan
Pugh, 1994), keberhasilan kerja bawahan (Spreitzer, dkk, 1999), kepuasan
kerja dan extra effort bawahan (Seltzer dan Bass, 1990), pencapaian
organisasi (Meindl, dkk, 1985; Chen & Meindl, 1991), pencapaian kerja
bawahan (Cannella & Rowe, 1995).
Salah satu upaya meningkatkan peran pemimpin yang efektif bagi
peningkatan kinerja karyawan adalah dengan cara membangun sistem komunikasi
yang terbuka, jelas, tegas, tidak ambigu, dan beorientasi pada upaya
menciptakan hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan. Pada kasus
perusahaan Prada, terlihat bahwa komunikasi yang dibangun oleh pimpinan
(Miranda) sangat tidak efektif bagi upaya membangun hubungan yang harmonis
dengan bawahan atau dengan orang-orang lain di sekitarnya, seperti kolega,
suami, atau anak.
Atas dasar ini maka, intervensi yang disarankan untuk meperbaiki
Miranda adalah Coaching eksekutif. Hasil penelitian yang dilakukan
Kombarakaran, (2008). oleh empiris ini menunjukkan bahwa Coaching eksekutif
merupakan metode yang efektif pengembangan kepemimpinan. Coaching
kepemimpinan dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan hingga 60 persen
(Trach, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
As'ad, M. (1991). Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Brahmasari, I. A., & Suprayetno, A. (2009). Pengaruh Motivasi Kerja,
Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan
serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai
International Wiratama Indonesia). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan,
10(2), pp-124.
Brown, A. (1992). Organizational culture: the key to effective leadership
and organizational development. Leadership & Organization Development
Journal, 13(2), 3-6.
Cervone, D., Jiwani. N., & Wood, R. (1991). Goal Setting and The
Differential Influence of Self-Regulatory Process on Complex Decision
Making Performance. Journal of Personality and Social Psychology. 61,
2, 257-266.
Covey, S. R. (1994). Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Jakarta:
Bina Rupa Aksara.
Collins, J. (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap and
Others Don't.HarperCollins Publishers Inc., NY.
Cummings, T. G. & C. G. Worley (2009). Organization Development and Change.
9th Edition. Thomson, South Western, USA.
Hodson, C. 2007. Psychology and Work . First Published. Routledge. New
York.
Johnson, D.W., dan Johnson, F.P. 1991. Joining Together: Group Theory and
Group Skill. 7th ed. Englewood Chiffs: Prentice-Hall, Inc.
Kombarakaran, F. A., Yang, J. A., Baker, M. N., & Fernandes, P. B. (2008).
Executive coaching: it works!. Consulting Psychology Journal: Practice
and Research, 60(1), 78.
Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi. Edisi 10. Yogyakarta: Andi.
Manz, C. C., & Sims, H. P. (1980). Self-management as a substitute for
leadership: A social learning theory perspective. Academy of Management
Review, 5(3), 361-367.
Macan, T. H. 1994. Time Management: Test of Process Model. Journal of
Applied Psychology. 79, 3, 381 391.
Nurjanah, N. (2008). PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI
TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DALAM MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN (Studi
Pada Biro Lingkup Departemen Pertanian) (Doctoral dissertation, program
Pascasarjana Universitas Diponegoro).
Spreitzer, G. M., De Janasz, S. C., & Quinn, R. E. (1999). Empowered to
lead: The role of psychological empowerment in leadership. Journal of
Organizational Behavior, 20(4), 511-526.
Ruvendi, R. (2005). Imbalan dan gaya kepemimpinan pengaruhnya terhadap
kepuasan kerja karyawan di balai besar industri hasil pertanian Bogor.
Jurnal Ilmiah Binaniaga Vol, 1(1).
Thach, E. C. (2002). The impact of executive coaching and 360 feedback on
leadership effectiveness. Leadership & Organization Development
Journal, 23(4), 205-214.
Taylor, S.E. 1995. Health Psychology, International Edition. Singapore:
McGraw-Hill Book Co.
Thoits, P.A. 1986. Social Support As Coping Assistance. Journal of
Counsulting and Clinical Psychology, 54, 416-423.
Yulk, G. (2010). Kepemimpinan dalam organisasi. Jakarta: PT.Indeks.