ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor: 99/PDT.G/2012/PN.JKT. 99/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. PST.
Disusun oleh:
Dosen:
WAHYU SUWANTO
ADI PURNOMO SANTOSO, S.H, M.H.
(153112330040008)
A. KASUS POSISI Penggugat menggugat para tergugat terkait kepemilikannya atas 12 Medium Term Notes/Surat Sanggup (”MTN”) yang diterbitkan oleh Tergugat I dan disimpan oleh Tergugat III, namun Tergugat I menolak melunasi kewajibannya. 1.
Para Pihak
2.
Penggugat Octagon Capital Asia, Pte, Ltd (“Octagon”), (“Octagon”), sebuah perusahaan Singapura, yang diwakili oleh kuasanya Andi Asmoroputro, SH dan M.Dzulfiqar Aly S, SH. Tergugat Tergugat I Tergugat II Tergugat III Turut Tergugat I Turut Tergugat II
: PT Djakarta Lloyd ( Persero) (‘ Lloyd ”) ”) : Deutsche Bank AG (“ AG A G ”) A G J K T ”) : Deutsche Bank AG Cabang Jakarta (“ AG ”) : JAIC Asia Holding, Pte,Ltd (“ J A I C ”) ”) : Yamaguchi Prefectural Credit Federation of Agricultural Cooperatives (“ Yamaguchi ”)
Rumusan Masalah
Apakan putusan hakim sudah memenuhi unsur unsur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum? Bagaimana hakim memberi pertimbangan dalam menangani transaksitransaksi korporat yang detail dan rumit?
B. TINJAUAN YURIDIS Perundang-undangan yang terkait dengan kasus ini di antaranya adalah: 1. Pasal 174 KUHD Penggugat menjadikan pasal tersebut sebagai dasar sahnya MTN baik secara materil maupun formil. 2. Pasal 1881 KUHPerdata Berdasarkan pasal di atas, Penggugat mengklaim bahwa dirinya berhak melakukan penagihan atas MTN tersebut kepada penerbit.
3. Surat Edaran Direktur Bank Indonesia (SEBI) No. 11/14/DPM tanggal 18 Mei 2009 Perihal Perubahan Atas SEBI No. 10/29/DPM, tanggal 2 September 2008, Perihal Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub Registry. Peraturan tersebut dijadikan dasar oleh Penggugat untuk menggugat Tergugat II sebagai Bank Custodian yang menurutnya telah lalai menjamin kebenaran dan keabsahan surat berharga yang disimpannya. 4. Pasal 1365 KUHPerdata Pasal tersebut dijadikan dasar tangkisan oleh Tergugat atas gugatan Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum, namun Penggugat tidak dapat menjelaskan perbuatan Tergugat yang memenuhi unsur-unsurnya sehingga menurut Tergugat, gugatan Penggugat adalah kabut atau tidak jelas. 5. Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata. Penggugat mendalilkan MTN yang dipegangnya tunduk pasal di atas. Namun menurut Tergugat, dalil yang diajukan Penggugat menimbulkan ketidakjelasan dengan menyatakan MTN yang dimilikinya adalah “Atas Bawa/Atas Unjuk (on bearer atau aan tonder1, karena menurut hukum adalah tidak sama antara pengertian secara Atas Bawa dan Atas Unjuk, sehingga membuat dalil Penggugat menjadi Tidak Jelas. 6. Yurisprudensi MARI No. 1149K/Sip/1970, tanggal 17 April 1979 yang berbunyi: “Gugatan yang kabur (obscurum libelum) mengaki batkan gugatan tersebut tidak dapat diterima.” Yurisprudensi tersebut dijadikan dasar oleh Tergugat untuk memohon hakim agar menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena kabur atau tidak jelas. 7. Yurisprudensi MARI No. 938 K/Sip/1971, tanggal 4 Oktober 1972 yang berbunyi: “Jual beli antara tergugat dengan orang ketiga tidak dapat dibatalkan tanpa diikutsertakannya orang ketiga tersebut sebagai tergugat dalam perkara.” Yurisprudensi tersebut dijadikan dasar oleh Tergugat untuk memohon hakim agar menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena kurang pihak. 8. Pasal 227 Ayat (1) H.I.R mengenai Sita Jaminan Ketentuan pasal tersebut memberikan persyaratan bagi PENGGUGAT untuk dapat dikabulkannya permohonan Sita Jaminan, yaitu adanya kemungkinan Tergugat menggelapkan atau menggelapkan barang yang menjadi jaminan pelunasan utangnya.
9. Surat Edaran MARI No. 3 tahun 2000 tanggal 21 Juli 2000, mengenai unsurunsur untuk dapat dikabulkannya suatu permohonan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Surat Edaran di atas dijadikan dasar oleh tergugat untuk menolak permohonan putusan serta Erta yang diajukan oleh Penggugat. 10. Pasal 584 KUHPerdata Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa peralihan surat sanggup atas unjuk dilakukan dengan cara diserahkan kepada orang lain secara fisik, yaitu penyerahan dari kreditur lama kepada kreditur baru. Akibat dari adanya penyerahan secara fisik tersebut maka pihak yang menerima penyerahan (kreditur baru) menjadi pemegang hak milik (eigendom) yang baru atas surat sanggup atas unjuk tersebut. C. TINJAUAN TEORITIS 1. Surat Sanggup Pengertian surat sanggup menurut H.M.N Purwosutjipto dalam bukunya yang berjudul Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 7: Hukum Surat Berharga adalah sebagai berikut: Surat berharga memuat kata "aksep atau promes”, dalam mana penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang disebut dalam surat sanggup itu atau penggantinya atau pembawanya pada hari bayar. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa surat sanggup adalah surat berharga di mana penerbit surat tersebut menyanggupi untuk membayarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya (pihak yang dibayar), baik yang namanya disebut dalam surat sanggup itu atau penggantinya atau pembawanya.
Terdapat 3 (tiga) jenis surat sanggup, yaitu: 1. Surat Sanggup Atas Nama (op nazam) Surat sanggup diterbitkan atas nama, bila nama kreditur disebut dengan jelas dalam akta tanpa tambahan apa-apa; 2. Surat Sanggup Kepada Pengganti (aan order, to order) Surat Sanggup diterbitkan “kepada pengganti”, bila nama kreditur disebutkan dengan jelas dalam akta dengan tambahan kata-kata “atau pengganti” 3. Kepada Pembawa (aan toonder, to bearer) Surat Sanggup diterbitkan “kepada pembawa”, bila nama kreditur tidak disebut dalam akta atau disebut dengan jelas dalam akta dengan tambahan kata-kata “atau pembawa”. Istilah “kepada pembawa” menurut H.M.N Purwosucipto di atas dalam lalu lintas surat berharga di Indonesia sering disebut ’’atas unjuk”, yang mempunyai arti ’’atas orang yang menunjukannya” atau ’’kepada orang yang menunjukkan”. Seperti halnya surat berharga lainnya, surat sanggup atas unjuk juga dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara jual beli dan dilanjutkan dengan penyerahan sebagai syarat peralihan hak milik. Peralihan surat sanggup atas unjuk, menurut H.M.N Purwosutjipto adalah sebagai berikut:
’’Semua surat kepada pembawa ini dapat diserahkan kepada orang lain secara fisik, yaitu dari tangan kreditur lama ke tangan kreditur baru, tanpa formalitas apa-apa, juga tanpa endosemen.’’ Dengan telah terjadinya penyerahan secara fisik atas surat sanggup atas unjuk, maka sebagai akibatnya pihak yang menerima penyerahan akan memperoleh hak milik (eigendom) atas surat sanggup tersebut. 2. Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Munir Faudy (2002), perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat. Menurut R. Wirjono Projodikoro (1994), perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa istilah “onrechtmatige daad” ditafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat. Menurut Rosa Agustina (2003), dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain 3. Bertentangan dengan kesusilaan 4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
D. ANALISA 1. Dilihat dari aspek Keadilan Hukum
Hakim harus mencari keadilan dari suatu masalah, sehingga hakim wajib mendengar dengan baik segala macam informasi atau keterangan dari para pihak yang didapat dalam sidang Peradilan Acara Perdata. Apabila dikaitkan dengan asas equality before the law, penulis melihat bahwa hakim telah memenuhi unsur dari asas ini karena hakim memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menghadirkan bukti berupa bukti tertulis maupun bukti saksi yang akan digunakan Penggugat dan Tergugat untuk menguatkan dari pada pembelaan bagi mereka. 2. Dilihat dari aspek Kemanfaatan Hukum
Berpijak pada aspek kemanfaatan hukum, menurut pandangan penulis, putusan ini sudah memberikan kemanfaatan hukum karena menerapkan pelaksanaan hukum acara perdata secara tegas berdasar pada hukum dan yurisprudensi yang berlaku. Hal ini terlihat dalam isi pertimbangan:
Menimbang, bahwa karena banyak pihak yang tidak digugat sebagai TERGUGAT dalam gugatan yang diajukan oleh PENGGUGAT, maka eksepsi mengenai GUGATAN PENGGUGAT KURANG PIHAK (PLURIS LITIS CONSORTIUM) yang diajukan oleh Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III beralasan hukum, maka eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III tersebut patutlah untuk dikabulkan atau diterima. Menimbang, bahwa memperhatikan Putusan Mahkamah Agung RI dalam putusannya No. 151 K/SIP/1975 tanggal 13 Mei 1975 yang pada pokoknya menyatakan “bahwa karena gugatan tidak lengkap, gugatan harus dinyatakan tidak diterima. 3. Dilihat dari Aspek Kepastian Hukum
Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan suatu kontribusi dalam ilmu hukum, karena putusan hakim dalam pengadilan akan mengikat kepada kedua belah pihak yang bersengketa dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, bukan lagi pendapat hakim majelis namun berubah menjadi putusan dari institusi pengadilan dan menjadi acuan masyarakat dala m kehidupan sehari-hari. Dalam isi putusan, majelis hakim kurang mendalami persoalan lalu mengaitkannya dengan perundang-undangan. Penulis melihat hakim hanya memberikan pertimbangan dari tuntutan dengan hal-hal yang telah dia yakini kebenarannya, sehingga sangat disayangkan bahwa putusan ini kurang berisi pengetahuan hakim terkait pokok persoalan dan hanya terkesan menuruti jawaban-jawaban para tergugat. Hakim tidak memberikan penilaiannya terhadap munculnya 12 MTN dari sebuah proses restrukturisasi keuangan yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan tambahan bagi gugatan Penggugat. Meskipun demikian, dalam melihat hukum memang berdasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan. Dalam membuat putusan, hakim memang melihat fakta yang didapatkannya dalam persidangan. Penulis melihat bahwa dalam putusan, hakim telah melihat pada fakta hukum yang terjadi dalam persidangan. Karena dalam menjatuhkan tuntutan hakim melihat kepada bukti-bukti yang telah dihadirkan oleh Penggugat dan Tergugat hingga memberikan suatu tuntutan yang menurutnya adil dan pasti.
E. KESIMPULAN & SARAN 1. Kesimpulan
Putusan hakim sudah memenuhi unsur keadilan di dalamnya, karena dalam memberikan putusan, hakim menempatkan kedudukan yang sama antara kedua belah pihak. Hakim juga telah memberikan putusan atas seluruh gugatan baik dalam eksepsi maupun dalam pokok perkara sesuai dengan hukum acara perdat a yang sah. Hakim kurang menggali lebih banyak pengetahuan dalam menangani kasus yang melibatkan transaksi-transaksi korporat yang sangat detail dan rumit seperti ini. Jika hanya berpegang pada yurisprudensi dan praktik-praktik umum hukum acara
perdata, maka akan ada hal tertentu yang luput dari pertimbangan hakim, hal mana yang bisa jadi merupakan titik terang dalam memberikan pertimbangan lebih adil. 2. Saran
Para hakim dalam menjatuhkan hendaknya senantiasa mencerminkan unsur keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum agar para pihak yang bersengketa mendapatkan hal yang mereka cari di dalam persidangan. Hakim juga perlu menggali lebih banyak pengetahuan bila menangani kasus yang melibatkan transaksi-transaksi korporat yang sangat detail dan rumit. Berpegang pada yurisprudensi dan praktik-praktik umum hukum acara perdata memang sudah semestinya dijalankan oleh hakim, namun hakim juga perlu mempertimbangkan hal-hal tertentu, hal mana yang bisa jadi merupakan titik terang dalam mem berikan pertimbangan lebih adil.
DAFTAR PUSTAKA
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 7: Hukum Surat Berharga, Jakarta: Djambatan, 2008. Munir Faudi, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003. R. Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur, 1994.