ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 697 K/PDT.SUS-PHI/2016 PERKARA PERDATA KHUSUS (PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL) DALAM TINGKAT KASASI
Oleh: WAHYU SUWANTO (153112330040008)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NASIONAL 2016
I.
PARA PIHAK
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 697 K/Pdt.Sus-Phi/2016 ini, para pihak yang bersengketa adalah: i.
LAU CHAK LOONG, perorangan swasta, Warga Negara Malaysia, yang
diwakili oleh Kuasa Hukumnya, Marcia Wibisono, S.H, M.H, dan rekan (selanjutnya disebut sebagai “Pemohon Kasasi/Penggugat”);
dan
ii.
PT WIRA PAMUNGKAS PARIWARA (PT. WPP) / YOUNG & RUBICAM INDONESIA, yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya, Ivan F. Baely, SH, LL.M,
dan rekan (selanjutnya disebut sebagai “Termohon Kasasi/Tergugat”).
II.
KRONOLOGIS PERKARA
Di antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi suatu hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja tanggal 30 Juni 2011 yang ditandatangani oleh Penggugat, selaku pekerja dengan Tergugat, selaku perusahaan pemberi kerja. Perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan tidak mengatur mengenai jangka waktu perjanjian. Namun di situ diatur mengenai tata cara pengakhiran oleh masingmasing pihak, yaitu dengan pemberitahuan 3 bulan sebelumnya.
Pada tanggal 6 April 2015, Tergugat mengeluarkan surat yang pada intinya hendak melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepih ak kepada Penggugat.
Penggugat dengan tegas menolak pemutusan hubungan kerja secara sepihak berdasarkan surat Tergugat tersebut dan mengharapkan adanya perundingan lebih lanjut antara Penggugat selaku pekerja dengan Tergugat selaku perusahaan pemberi kerja mengenai hak-hak yang seharusnya didapatkannya.
Penggugat dengan itikad baik telah berusaha untuk menempuh upaya damai untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara Bipartit. Bahkan Tergugat malah mengajukan penyelesaian secara Tripartit (mediasi) ke Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Melalui surat menyurat dan proses mediasi pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan, Tergugat dengan jelas dan tegas
1
menyatakan
bahwa
Tergugat
tidak
bersedia
memusyawarahkan
masalah
pemutusan hubungan kerja dan hak-hak dari Penggugat selaku pekerja.
Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan yang ditunjuk untuk menangani mediasi telah mengeluarkan anjuran kepada Penggugat dan Tergugat, melalui Surat Nomor 3183/-1.835.3 tanggal 18 September 2015 yang pada intinya menganjurkan agar Tergugat membayar kepada pekerja Mr. Lau Chak Loong (Adam Lau) uang pesangon 2 x Pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sesuai dengan Pasal 156 ayat 3, uang penggantian hak sesuai dengan Pasal 156 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan upah proses.
Penggugat pada prinsipnya dapat menerima isi Anjuran tersebut, namun Tergugat tetap menyatakan menolak isi dari Anjuran tersebut.
Oleh karena Tergugat menolak Anjuran dari Mediator pada Suku Dinas Tenaga Kerja
Dan
Transmigrasi
Kota
Administrasi
Jakarta
Selatan
dan
tidak
melaksanakan Anjuran tersebut, maka Penggugat mengajukan gugatan kepada Tergugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
III.
UPAYA
PENYELESAIAN
MELALUI
PENGADILAN
HUBUNGAN
INDUSTRIAL (PHI) A. Gugatan Penggugat
Penggugat dengan ini menuntut agar Tergugat memenuhi kewajibannya terhadap penggugat, yaitu membayar:
Gaji yang harus tetap diperoleh oleh Penggugat selama proses pemutusan hubungan kerja belum memperoleh kekuatan hukum tetap dengan total senjumlah USD 38.508,-.
Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak dengan total senjumlah USD 133.117.
B. Eksepsi Tergugat
terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
2
Kuasa Hukum Penggugat tidak berhak untuk mewakili atau bertindak
untuk dan atas nama Penggugat karena surat kuasa yang diberikan oleh Penggugat dibuat di luar Indonesia tanpa dilegalisasi sesuai Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28 Desember 2006 bahwa dokumen-dokumen yang diterbitkan di luar negeri dan ingin dipergunakan di wilayah Indonesia harus dilegalisasi oleh Kementerian Kehakiman dan/atau Kementerian Luar Negeri Negara yang dimaksud dan Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat. Dengan tidak sahnya surat kuasa yang diberikan oleh Penggugat kepada kuasa hukumnya maka kehadiran dari kuasa hukum Penggugat yang bertindak untuk dan atas nama Penggugat adalah tidak sah. Oleh karena itu, pada tempatnya apabila gugatan Penggugat untuk dinyatakan tidak dapat diterima. C. PUTUSAN PHI
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Jakarta
Pusat
telah
memberikan
Putusan
Nomor
274/Pdt.Sus-
PHI/2015/PN.JKT.PST., tanggal 14 April 2016 yang pada intinya memutuskan:
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
Menghukum Penggugat membayar biaya perkara yang diperhitungkan seluruhnya sebesar Rp366.000,00 (Tiga ratus enam puluh enam ribu rupiah);
IV.
UPAYA PENYELESAIAN DI TINGKAT KASASI A. Memori Kasasi
Terhadap putusan PHI tersebut, Penggugat melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 18 April 2016 mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 27 April 2016, sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor
61/Srt.KAS/PHI/2016/PN.JKT.PST.
jo.
Nomor
274/Pdt.Sus.PHI/
2015/PN.JKT.PST., yang dibuat oleh Panitera Muda Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 11 Mei 2016.
3
Judex Facti / PHI
telah salah dan keliru dalam menerapkan hukum yang
berlaku dalam memberikan pertimbangan mengenai hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi. Bahwa berdasarkan bukti dalam persidangan a quo, terbukti Perjanjian Kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi yang tidak memenuhi kriteria PKWT sebagaimana diuraikan dalam, maka hubungan kerja demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Judex Facti salah menerapkan hukum karena pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Termohon Kasasi adalah pemutusan hubungan kerja yang melanggar ketentuan hukum; Secara hukum bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Termohon Kasasi adalah melawan hukum karena masih ada hak-hak Pemohon Kasasi yang belum dipenuhi, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Agung untuk membatalkan Putusan Majelis Hakim PHI Nomor 274/PDT.SUS-PHI/2015/PN.JKT.PST dalam perkara a quo karena Majelis Hakim Judex Facti telah salah dan keliru dalam menerapkan hukum sehingga berakibat Putusan PHI tersebut cacat secara keseluruhan.
Judex Facti telah salah dan keliru dalam mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Termohon Kasasi secara sepihak dan tidak sah memutus PKWTT dengan Pemohon Kasasi, sehingga Pemohon Kasasi berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah tertunggak.
Judex Facti telah salah dan keliru dalam menerapkan asas lex specialis dalam putusan a quo karena Judex Facti membenturkan Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadappasal 57 dan Pasal 59 UndangUndang Ketenagakerjaan, di mana pasal-pasal dalam undang-undang ketenagakerjaan adalah sama-sama aturan hukum yang bersifat umum sementara seyogyanya asas lex specialis derogate legi generalis diterapkan
4
dalam hal adanya perbedaan atau kekosongan hukum dalam menafsirkan undang-undang.
Judex Facti
tidak memberikan cukup pertimbangan atas Anjuran Suku
Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Selatan tanggal 18 September 2015 dimana menurut Judex Facti dalam penerapan pasal haruslah dibedakan aturan yang mengatur secara umum (antara WNI) dengan aturan secara khusus (berkaitan dengan Tenaga Kerja Asing). Pertimbangan Judex Facti tersebut adalah keliru karena UndangUndang Ketenagakerjaan tidak pernah memberikan pemisahan untuk aturan secara umum maupun aturan secara khusus terhadap pelaksanaan hubungan ketenagakerjaan di Indonesia.
Pertimbangan Judex
Facti
tidak mencerminkan keadilan dan menzolimi
hak pemohon kasasi sebagai pekerja. Majelis Hakim PHI sama sekali tidak mempertimbangkan
atau
setidaknya
memperhitungkan
masa
kerja
Pemohon Kasasi yang sudah dijalankan selama lebih dari 4 (empat tahun) yang sudah sepantasnya dan selayaknya untuk mendapatkan hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang jika diputus hubungan kerjanya secara sepihak oleh Termohon Kasasi.
B. Putusan Mahkamah Agung
MA menjatuhkan Putusan: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (Lau Chak Loong) dan Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada Pemohon Kasasi. Pertimbangan MA adalah bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dalam Pengajuan Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena : i.
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (4) dan (5) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, Penggugat sebagai Tenaga Kerja Asing hanya dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, sehingga tidak ada alas an hukum hubungan kerja menjadi PKWTT;
5
- Bahwa berakhirnya hubungan kerja telah sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Perjanjian Kerja; ii.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, Lau Chak Loong, tersebut harus ditolak;
iii.
Oleh karena nilai gugatan dalam perkara ini Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) ke atas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Pemohon Kasasi.
V.
ANALISA
Berdasarkan kronologi dan informasi di atas maka secara yuridis bahwa MA tidak menemukan kesalahan penerapan hukum oleh pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu putusan No. 274/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST. Oleh karenanya MA menolak pengajuan kasasi yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi. Penyelesaian sengketa Hubungan Industrial merupakan Perkara Perdata khusus yang diatur dan terapkan dengan berbagai Undang-undang yang mengatur secara khusus, jadi tidak murni menggunakan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hal ini merujuk pada asas “Lex specialis derograt lex generali s” yang artinya bahwa halhal yang diatur secara khusus maka mengabaikan hal-hal yang bersifat umum. Berdasarkan asas tersebut maka Putusan oleh pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
yaitu
putusan
No.
274/Pdt.Sus-
PHI/2015/PN.JKT.PST (judex facti) tidak salah menerapkan hukum dan menolak Permohonan Kasasi LAU CHAK LOONG, hal ini berarti putusan oleh pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu putusan No. 274/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (inkrach). Berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung dengan nomor putusan 697 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tentang Perkara Perdata Khusus (Perselisihan Hubungan Industrial) dalam tingkat Kasasi dapat dianalisis dari tiga pilar utama dalam hukum untuk mengukurnya, yaitu: sisi nilai keadilan hukum; sisi nilai kegunaan atau kemanfaatan hukum; dan sisi nilai kepastian hukumnya. 6
1. Sisi Nilai Keadilan Hukum Menurut Thomas Aquinas bahwa keadilan berhubungan dengan “apa yang sepatutnya bagi orang lain menurut suatu kesamaan proposional”. Kemudian dia membagi keadilan menjadi keadilan distributif, keadilan komutatif dan keadilan legal. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung dengan nomor putusan 697 K/Pdt.SusPHI/2016 tentang Perkara Perdata Khusus (Perselisihan Hubungan Industrial) Makamah Agung Menolak permohonan kasasi dan menyatakan putusan No. 274/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan keputusan yang memberikan rasa keadilan, karena Lau Chak Loong yang merupakan Tenaga Kerja asing yang berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak dapat dipekerjakan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT), sehingga ia tidak dapat menuntut hak-hak yang bukan miliknya. Dalam hal ini PT. WPP sudah memberikan gaji selama masa pemberitahuan pemutusan hubungan kerja, yaitu tiga bulan.
2. Sisi Nilai Kegunaan atau Kemanfaatan Bahwa putusan Mahkamah Agung dengan nomor putusan 697 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tentang Perkara Perdata Khusus (Perselisihan Hubungan Industrial) yang menguatkan putusan No. 274/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan menolak tuntutan pesangon dan tunjangan lainnya bagi LAU CHAK LOONG tentu sangat mengecewakan dirinya yang memerlukan uang untuk menanggung kebutuhan diri dan keluarganya. Empat tahun pengabdiannya di perusahaan berakhir begitu saja dengan pemecatan sepihak tanpa ada penghargaan apapun.
3. Sisi Nilai Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenangwenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Gugatan Lau Chak Loong merupakan situasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu bahwa Tenaga Kerja Asing hanya bisa dipekerjakan dengan hubungan kerja waktu tertentu (PKWT). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 42 ayat (2). Dengan demikian bahwa penerapan hukum dalam undang-undang 7
tersebut di atas telah memberikan kepastian hukum bagi seluruh tenaga kerja asing terutama bagi Lau Chak Loong. Undang- undang tersebut berlaku sesuai dengan peruntukannya dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam negeri.
Dilihat dari Aspek Hak Asasi Manusia, pemberhentian Lau Chak Loong oleh PT.WPP tanpa adanya pesangon cukup menyakiti dirinya sebagai manusia, di dalam konstitusi yaitu Pasal 28D (2) UUD 1945 Amandemen dan Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disebutkan bahwa “Setiap Orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan la yak dalam hubungan kerja”. Pemaknaan setiap orang adalah siapapun, tidak membatasi apakah orang tersebut WNA atau tidak. Selain itu secara khusus bahwa pemecatan tanpa pesangon tersebut tidak mencerminkan keadilan dan menzolimi hak pemohon kasasi sebagai pekerja. Menurut paragraf ke-2 Penjelasan Umum Undang-Undang Ketenagakerjaan, “Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha”. berdasarkan penjelasan di atas, tujuan pembentukan undang-undang ketenagakerjaan antara lain adalah untuk adanya perlindungan terhadap tenaga kerja, adanya perlakuan yang sama bagi tenaga kerja serta perlindungan untuk upah dan kesejahteraan tenaga kerja, dan oleh karenanya sudah sepantasnya setiap produk hukum, baik bersifat peraturan di bawah undang-undang maupun putusan pengadilan sehubungan dengan hubungan ketenagakerjaan juga turut mencerminkan prinsip-prinsip tersebut di atas. Menurut saya seharusnya kasus pemberhentian TKA seperti Lau Chak Loong ini diatur kembali dalam suatu peraturan yang memberikan hak pesangon dan tunjangan lainnya dalam proporsi tertentu yang wajar. Dengan demikian putusan PHI dalam kasus ini tidak menjadi preseden buruk yang ditakuti oleh para TKA lainnya yang bekerja di Indonesia.
8