Anatomi dan Fisiologi Berkemih Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi, dan lingkungan. Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa dikendalikan. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunteer dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah control system saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik, Sfingter uretra internal menyebabkan uretra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin. Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medulla spinalis, dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium channel dependent. Oleh karena itu, calcium channel blocker dapat juga mengganggu kontraksi kandung kemih. Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti dasar inervasi adrenergic dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung kemih. Aktivitas adrenergic-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu, pengobatan dengan agonis adrenergic-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi
sfingter, sedangkan zat alpha-blocking (terazosin [Hytrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergic-beta bisa menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena itu, zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontraktil adrenergic-alfa. Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisis yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh reflex-refleks yang berpusat di medulla spinalis segmen sacral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian (penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis, yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatic pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatic menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflex ini dipengaruhi oleh system saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri, dan serebelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini beroperasi dalam proses miksi belum diketahui dengan jelas. Umumnya dikatakan bahwa peranan korteks serebri adalah menghambat sedangkan batang otak dan supraspinal memfasilitasi. Proses Menua Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian inkontinensia urin meningkat seiring dengan lanjutnya usia. Usia lanjut bukan penyebab terjadinya inkontinensia urin, artinya sindrom ini bukan merupakan kondisi normal pada usia lanjut melainkan merupakan faktor predisposisi (contributor) terjadinya inkontinensia urin. Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada system urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan dan hormone androgen pada laki-laki. Secara singkat perubahan anatomic dan fisiologik
saluran urogenital bagian bawah dapat dilihat pada table. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Pada lakilaki terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina. Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul (pelvic floor) mempunyai peran penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak faktor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologic). Perubahan fisiologis akibat proses menua pada organ dasar panggul seperti tercantum pada table. Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada system urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan atau tekanan akhir kemih keluar. Dari pembahasan dampak proses menua terhadap struktur anatomi dan fisiologis system urogenital bawah dapat dipahami bahwa usia lanjut merupakan faktor contributor terjadinya inkontinensia tipe stress, urgensi, dan luapan (overflow)
No
Organ
Perubahan
. 1.
Kandung kemih
Perubahan morfologis
Trabekulasi ↑ Fibrosis ↑ Saraf autonom ↓ Pembentukan divertikula
Perubahan Fisiologis
2.
Uretra
Kapasitas ↓ Kemampuan menahan kencing ↓ Kontraksi involunter ↑ Volume residu pasca berkemih ↑ Perubahan Morfologis
Komponen seluler ↓ Deposti kolagen ↑
Perubahan Fisiologis
3. 4.
Prostat Vagina
Tekanan penutupan ↓ Tekanan akhiran keluar ↓ Hiperplasi dan membesar Komponen selular ↓
5.
Dasar Panggul
Mukosa Atrofi Deposit kolagen ↑ Rasio jaringan ikat-otot ↑ Otot melemah
Inkontinensia Urine
Definisi Inkontinensia urin adalah keluarnya urin secara tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah fisik (jatuh, dekubitus akibat kulit lembab) dan psikososial (hygiene, isolasi social, depresi), serta mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Inkontinensia urin sering ditemukan pada pasien geriatric, namun usia lanjut bukanlah penyebab inkontinensia urine.
Epidemiologi Sekitar 50 % usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urine. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1.
Faktor Risiko 1. Usia tua. Prevalensi inkontinensia urine meningkat seiring meningkatnya usia 2. Jenis kelamin perempuan lebih sering dibanding laki-laki 3. Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinesia urine dikaitkan dengan depresi, transient ischaemic attacks dan stroke, gagal jantung kongestif, konstipasi dan inkontinensia feses, obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik, dan gangguan mobilitas. 4. Pada orang usia lanjut dip anti, inkontinensia urin dikaitkan dengan terdapatnya gangguan mobilitas, demensia depresi, stroke, diabetes, dan Parkinson 5. Risiko inkontinensia pada perempuan dengan IMT besar, riwayat histerektomi, infeksi urine, trauma perineal, melahirkan per vaginam
Klasifikasi dan Etiologi Empat penyebab pokok inkontinensia urine adalah : 1. 2. 3. 4.
Gangguan urologic Gangguan neurologis Gangguan fungsional/psikologis Iatrogenik/lingkungan
Inkontinensia dibedakan menjadi : 1. Akut Bersifat sementara dengan penyebab spesifik dan dapat teratasi jika penyebab ditata laksana. Penyebab inkontinensia urin akut dapat diingan dengan akronim DRIP yaitu : Delirium Restricted Mobilitiy, retention Infection, Inflammation, Impaction Polyuria, pharmaceuticals Ahli lain memakai akronim yang lebih lengkap yaitu DIAPPERS yaitu :
Delirium or acute confusional state Infection Atrophic vaginitis or urethritis Parhmaceutical o Sedative hypnotic o Loop diuretics o Anti-cholinergic agents o Alpha-adrenergic agonist and antagonist o Calcium channel blocker Psychologi disorder: depression Endocrine disorders Restricted Mobilitiy Stoolimpaction
2. Persisten Kondisi kronis atau menetap yang berlangsung lama. Dibagi menjadi lima tipe : a. Tipe urgensi (overactive bladder). Ditandai dengan gejala sering berkemih (frekuensi lebih dari 8 kali), keinginan berkemih yang tidak tertahankan, sering berkemih di malam hari (nokturia), dan keluarnya urin yang tidak terkendali yang didahului keinginan berkemih tidak tertahankan. Penyebabnya
adalah gangguan rangsang berkemih atau otot detrusor kandung kemih, misalnya pada penderita gangguan system saraf pusat, seperti stroke, demensia, sindrom Parkinson, atau kerusakan medulla spinalis. Selain itu, kelainan ini juga dapat disebabkan gangguan pada saluran kemih seperti sistitis dan batu; b. Tipe stress. Ditandai dengan keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat tekanan intra-abdomen meningkat seperti saat bersin, batuk, dan tertawa. Hal ini terutama diakibatkan masalah anatomis pada sfingter uretra atau buli-buli dan kelemahan otot dasar panggul c. Tipe overflow. Ditandai dengan menggelembungnya kandung kemih melebihi volume yang seharusnya dan post-void residu (PVR) > 100mL. Penyebabnya antara lain gangguan kontraksi kandung kemih akibat neuropati diabetes mellitus, sumbatan akibat kistokel, atau pembesaran kelenjar prostat. d. Tipe fungsional. Ditandai dengan keluarnya urin di luar toilet akibat ketidak mampuan mencapai toilet. Penyebabnya antara lain penurunan berat fungsi kognitif, fisik, dan faktor psikologik seperti depresi atau marah. e. Tipe campuran. Seringkali gejala klinis yang timbul pada pasien tumpang tindih antara 4 tipe di atas dan disebut tipe campuran.
Diagnosis Tentukan jenis inkontinensia dan penyebab yang mendasari, lakukan langkah berikut :
Anamnesis gejala dan riwayat berkemih, penulisan catatan / diary berkemih selama 24 – 72 jam berupa frekuensi dan volume berkemih dapat membantu menentukan jenis,
tingkat keparahan, dan faktor yang memicu Pemeriksaan fisis: pemeriksaan otot dasar panggul, vagina, rektal, neurologi, perasat
valsava pada saat buli penuh untuk menguji kekuatan sfingter Pemeriksaan penunjang: urinalisis (urin lengkap dan kultur), volume post void residu (PVR), kadar gula darah, kalsium darah dan urin, perineometri, urodynamic study. Komponen-komponen Pokok Evaluasi Diagnostik Inkontinensia Urin 1. Semua pasien Riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih Pemeriksaan fisik Urinalisis Pengukuran volume residu urin post-miksi
2. Pasien dengan kondisi tertentu Laboratorium Kultur urin Stiologi Urin Gula darah, Kalsium darah Uji fungsi ginjal USG ginjal Pemeriksaan ginekologi Pemeriksaan urologi Cystouretroskopi Uji Urodinamik Simpel : Observasi proses pengosongan kandung kemih Uji batuk Cystometri simpel Kompleks : Urine flowmetry Multichannel cystometrogram Pressure-flow study Leak-point pressure Urethral pressure profilometry Sphincter electromyography Video urodynamics
Evaluasi
Tatalaksana Spektrum modalitas terapi meliputi : 1. Terapi non farmakologis a. Terapi suportif nonspesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu) b. Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan) 2. Terapi medikamentosa 3. Operasi 4. Pemakaian kateter Intervensi tingkah laku Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih
setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres, namun untuk itu diperlukan motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu saja. Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stress atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 56-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul paling tidak 10 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, harus dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.
Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urine tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif. Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol/menahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena
penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama. Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan menggunakan alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai, karena pasien harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi ini terlihat lamban. Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron adrenergik beta yang menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif yang berhasil. Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi ISK bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan ISK atau gangguan ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Tipe Inkontinensia Stress
Urgensi
Luber (Overflow)
Fungsional
Terapi Primer Latihan kegel Agonis adrenergik α Estrogen Injeksi periuretral Operasi bagian leher kandung kemih Relaksan kandung kemih Estrogen Bladder training Schedule toileting (berkemih tiap 2-4 jam) Latihan otot dasar panggul Obat antimuskarinik/antikolinergik Operasi untuk menghilangkan sumbatan Bladder retraining Kateterisasi intermiten Kateterisasi menetap Intervensi behavioral Manipulasi lingkungan
Golongan
Antikolinergi k
Antidepresan
α-blockers (untuk bph
Pads
Obat Oksibutinin
Dosis awal (dosis Rumat) Keterangan 2,5 mg sekali/hari PO sebelum Efek samping : mulut
Oksibutinin
tidur (5mg , 2-3 kali/hari) 5-10 mg sekali/hari PO (15-20 mg
XL Tolterodin Tolterodin
sekali sehari) 1-2 mg dua kali/hari PO 2-4 mg sekali/hari PO
kering, penglihatan buram, konstipasi kebingungan, tidak nyaman pada gastrointestinal
LA TCA:
10-25 mg sekali/hari PO sebelum
imipramin SNRI:
tidur (50-100 mg/hari) 40-60 mg dua kali/hari
Hati-hati penggunaannya pada geriatri
duloksetin Terazosin
1-5 mg sekali/hari PO sebelum
Tamsulosin Tamsulosin
tidur 0,4 – 0,8 mg sekali/hari PO 0,4 – 0,8 mg sekali / hari PO
CR Doxazosin
1-4 mg sekali/hari PO sebelum
Alfuzosin
tidur 10 mg sekali/hari PO setelah makan
Efek samping : lemas , hipotensi postural