PEMBAHASAN I.
KONSEP DASAR PENYAKIT
ATRESIA ANI 1. Definisi
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal. Atresiaa ani adal Atresi adalah ah mal malfor formas masii cong congeni enital tal dim dimana ana rec rectum tum tid tidak ak mem mempuny punyai ai lubang keluar (Walley,1996). Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisa memisahkan hkan bagian bagian entoder entoderm m mengaki mengakibat batkan kan pembent pembentukan ukan lubang lubang anus anus yang tidak tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM) Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003). Ada ju Ada juga ga yan yang g me menye nyebu butk tkan an ba bahw hwaa at atre resi siaa an anii ada adala lah h ti tidak dak le leng ngkap kapny nyaa perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum. 2. EP EPID IDEM EMIO IOLO LOGI GI
Frekue Frekuensi nsi seluru seluruh h kelain kelainan an kongeni kongenital tal anorekt anorektal al didapa didapatka tkan n 1 dari dari tiap tiap 5000-10 5000-10000 000 kelahiran, sedangkan atresiani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatu neonatuss dan dapat dapat muncul muncul sebaga sebagaii penyaki penyakitt terser tersering ing yang yang merupak merupakan an syndrom VACTRERL ( Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb). Frekuensi paling tinggi didapatkan pada ras kaukasia dan kulit berwarna, sedangkan pada negro bantu frekuensi paling rendah.
3 . E TI OL OG I
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromos kro mosom om ata atau u kel kelain ainan an cong congeni enital tal lai lain n jug jugaa ber beresi esiko ko unt untuk uk men mender derita ita atr atresi esiaa ani ani.. Sedangkan Sedangka n kelai kelainan nan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemis pemisahan ahan kloaka menja menjadi di rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya. Selain itu Atresia ani juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Putusn Putusnya ya saluran saluran pencernaa pencernaan n dari dari atas atas dengan dengan daerah dubur dubur sehing sehingga ga bayi lahir tanpa lubang dubur 2) Kega Kegaga gala lan n pert pertum umbu buha han n saat saat bayi bayi dalam dalam kandu kandung ngan an beru berusi siaa 12 mingg minggu u ( + 3 bulan) 3) Adanya Adanya gangguan gangguan atau berhenti berhentinya nya perkeban perkebangan gan embriolo embriologik gik di daerah daerah usus, rektum rektum bagian bagian distal distal serta serta trakt traktus us urogeni urogenital talis, is, yang yang terjad terjadii antara antara minggu minggu keempat sampai keenam usia kehamilan
4. FA FAKT KTOR OR PRED PREDIS ISPO POSI SISI SI
Atresia ani dapat terjadi disertai Atresia disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti : 1. Sindro Sindrom m vac vactre trell (si (sindr ndrom om dim dimana ana ter terjad jadii abn abnorm ormali alitas tas pada ver verteb tebral ral,, anal anal,, jan jantun tung, g, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe). 2. Ke Kela lain inan an sist sistem em pence pencern rnaa aan. n. 3. Ke Kela lain inan an sist sistem em pekem pekemih ihan an.. 4. Ke Kela lain inan an tul tulan ang g bela belaka kang. ng.
5 . P A TO FI S I OL OG I
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstruksi.
embrionik bagian belakang
PATHWA YS
Anus
rectum
kloaka bakal genitoury
kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan
struktur anorektal
Kegagalan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam
Terjadi penyempit
stenosis anal
atresia anal
Tidak ada pembukaan usus besar
fecal tidak dapat dikeluarkan
6 . K L AS I FI K AS I
intestinal mengalami obstruksi.
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu : 1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu. 2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu : 1. Anomali rendah Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius. 2. Anomali intermediet Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal. 3. Anomali tinggi Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm. Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita
memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara
7 . M A NI F ES T AS I K L I N IS
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996) Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektavaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari vagina) dan jarang rektoperineal. Untuk mengetahui kelainan ini secara dini pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat kelainan maka termometer/jari tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum,Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa : 1.
Perut kembung
2.
Muntah (cairan muntahan berwarna hijau karena cairan empedu atau berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium)
3.
Tidak bisa buang air besar dan kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir
4. 5.
6.
Tidak ada atau stenosis kanal rectal Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan Adanya membrane anal dan fistula eksternal pada perineum
8. PEMERIKSAAN FISIK
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).
9 . P E M ER I K S AA N P E N UN J A NG
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut : 1) Pemeriksaan radiologis Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal. 2) Sinar X terhadap abdomen Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya. 3) Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor. 4) CT Scan Digunakan untuk menentukan lesi. 5) Pyelografi intra vena Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter. 6) Pemeriksaan fisik rectum Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari. 7) Rontgenogram abdomen dan pelvis Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
10. PROGNOSIS
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal. Sedangkan kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan pembedahan sakroperineal atau abdominoperineal, pada kelainan ini sfingterani eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer 1981 ; Iwai et al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan perjalanan klinis jangka panjang dari kelainan anorektal letak rendah yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90% penderita mencapai kontrol anorektal yang secara sosial dapat diterima. Insidensi “soiling” pada penderita umur lebih 10 tahun lebih rendah dari penderita yang lebih muda. Insidensi “Smearing” atau Stainning” tidak mengurang dengan bertambahnya usia. Pada kelainan anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang benar-benar bagus, 1/3 lagi dapat mengontrol kontinensia fekal. Pada wanita hasilnya lebih baik daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet. Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat dikerjakan melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith, 1990). Beberapa penderita dengan kelainan anorektal letak tinggi mempunyai masalah-masalah kontinensia bila dilakukan pembedahan dibanding letak rendah.
11. TERAPI ATAU TINDAKAN PENANGANAN
Penanganan secara preventif antara lain: -
-
-
Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi
Obat medikasi 1. Novalgin 3x 1/3 A 2. Tricefin 2X 750 mg 3. Metronidazol 3X 150 mg 4. Infuse KAEN 1100 cc/ 24 jam
12. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan umum
Pada kelainan anorektal letak rendah, penderita laki-laki dilakukan anoplasti perineal dengan prosedur V- Y plasti, sedang untuk wanita dilakukan “cut back” atau prosedur VY seperti laki-laki. Bila fistula cukup adekuat maka tindakan anoplasti dapat ditunda menurut keinginan (Bisset 1977 ; Filston 1986 ; Spitz 1990). Pada kelainan anorektal letak tinggi atau intermediet, setelah diagnosis ditegakkan, segera dilakukan kolostomi selanjutnya dibuatkan lopogram untuk mengetahui macam fistula. Menurut De Lorimer (1981) dan Spitz (1990) kolostomi dilakukan pada kolon sigmoid, sedangkan Spitz (1990) mengatakan kolostomi dilakukan pada kolon tranversum dekstra dengan keuntungan kolon kiri bebas, sehingga tidak terkontaminasi bila dilakukan “Pull Ttrogh”. Tindakan definitif dapat menunggu sampai beberapa minggu – bulan (Bisset 1977 ; Splitz 1990), sedangkan Goligher cit Amri & Soedarno (1988 ) menyatakan tindakan definitif dilakukan setelah penderita berumur 6 bulan – 2 tahun atau berat badan minimal 10 kg. Tindakan definitif dilakukan dengan prosedur “Pull Through” sakroperineal dan abdomino perineal, serta posterior sagital anorektoplasti (PSARP) (De Lorimer, 1981 ; Spitz, 1990). Jorge et al (1987) menyatakan bahwa PSARP dapat digunakan untuk penderita dewasa terpilih untuk mendapatkan kontinensia fekal terbaik sesudah operasi. Sedangkan Iwai et al (1988) mendapatkan kontinensia fekal dan fungsi seksual yang baikdengan tindakan abdominoperineal rektoplasti.
Penatalaksanaan medis 1. Pembuatan kolostomi (TCD)
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasa sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Fungsi kolostomi akan mulai tampak pada hari ke 3 sampai hari ke 4. Peran perawat dalam penanganan kolostomi: Perawatan
kulit Rabes efluen akan bervariasi sesuai denan tipe ostomi. Pada kolostomi transversal, terdapat feses lunak dan berlendir yang mengiritasi kulit. Pada kolostomi desenden atau kolostomi sigmoid, feses agak padat dan sedikit mengiritasi kulit. Pasien dianjurkan untuk melindungi kulit peristoma dengan sering mencuci area tersebut menggunakan sabun ringan, memberikan barier kulit protektif di sekitar stoma dan mengamankannya dengan melekatkan kantung drainase.
Memasang
kantung drainase Stoma diukur untuk menentukan ukuran kantung yang tepat. Lubang kantung harus sekitar 0,3 cm atau lebih besar dari stoma. Kulit dibersihkan sesuai prosedur di atas. Barier kulit peristoma dipasang. Kantung kemudian dipasang dengan cara membuka kertas perekat dan menekannya di atas stoma selama 30 detik. Iritasi ringan memerlukan bedak stomahesive sebelum kantung direkatkan.
Menangani
kantung drainase Kantung kolostomi dapat digunakan segera setelah irigasi.
Mengangkat
alat Alat drainase diganti bila isinya telah mencapai sepertiga sampai seperempat bagian sehingga berat isinya tidak menyebabkan kantung lepas dari diskus perekatnya.
Mengirigasi
kolostomi Stoma pada abdomen tidak mempunyai otot control volunteer sehingga pengosongannya dapat terjadi pada interval waktu yang tidak teratur. Pengaturan pasase fekal bias dengan irigasi atau secara alami. Tujuan irigasi kolostomi adalah untuk mengosongkan kolon dari gas, mucus, dan feses sehingga pasien dapat menjalankan aktivitasnya tanpa takut terjadi drainase fekal.
Komplikasi kolostomi Insidensi komplikasi untuk pasien dengan kolostomi sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien ileostomi. Beberapa komplikasi umum adalah prolaps stoma (biasanya akibat obesitas), perforasi (akibat ketidaktepatan irigasi stoma), retraksi stoma, impaksi fekal, dan iritasi kulit. Kebocoran dari sisi anastomosis usus menyebabkan distensi abdomen dan kekakuan, peningkatan suhu, serta tanda shock. Pneumonia dan atelektasis juga bias menjadi komplikasi pada usia 5o tahun yang mendapatkan sedative dan antobiotika atau tirah baring lama. Komplikasi ini bias dicegah dengan sering beraktifitas, nafas dalam, batuk efektif, dan ambulasi dini.
2.
PSARP (Posterosagital Ano Rectal Plasty) Pena secara tegas menjelaskan bahwa Atresia ani letak tinggi dan intermediet à dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi . Operasi definitive setelah 4 – 8 minggu. Saat ini tehnik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorectoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti. Teknik Operasi - Dilakukan dengan general anestesi , dengan endotrakeal intubasi , dengan posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan. - Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple. - Incisi bagian tengah sacrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm didepanya. - Dibelah jaringan subkutis , lemak, parasagital fiber dan muscle complek. Os Coxigeus dibelah sampai tampak muskulus levator , dan muskulus levator dibelah tampak dinding belakang rectum. - Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya . - Rektum ditarik melewati levator , muscle complek dan parasagital fiber Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension. 3.
Tutup kolostomi
Anak dipuasakan dulu beberapa hari setelah operasi tutup kolostomi. Sementara usus dalam proses penyambuhan. Beberapa hari setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui rectum. Pertama, BAB akan sering dan tidak terkendali. Ruam karena diapers dan iritasi kulit dapat menjadi masalah. Dalam beberpa minggu setelah operasi, BAB berkurang frekuensinya dan agak padat serta sering menyebabkan konstipasi. Toilet training segera dimulai saat anak berusia antara 2-3 tahun. Bagaimanapun, anak-anak dengan malformasi anorektal yang telah diperbaiki, dapat lebih lambat control BAB nya. Beberapa anak mungkin tidak dapat mengontrol BAB dengan baik, sedang lainnya mungkin mengalami konstipasi yang kronik, tergantung dari tipe malformasi dan perbaikan yang telah dilakukan. Anak-anak dengan malformasi membrane pada anal dan sempitnya lubang anal biasanya mempunyai control yang baik dalan BAB setelah perbaikan. Anak-anak dengan variasi malformasi anorektal yang lebih kompleks membutuhkan program “bowel management” untuk membantu mengontrol dan mencegah konstipasi.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN.
A. Identitas diri klien B. Status kesehatan - Status kesehatan saat ini : keluhan utama, alasan MRS, dan perjalanan sakit saat ini, upaya yang dilakukan untuk mengatasinya - Status kesehatan masa lalu : penyakit yang pernah dialami, pernah dirawat, alergi , riwayat penyakit keluarga, dan diagnosa medis & therapy. C. Pola Kebutuhan Dasar Manusia ( 14 pola Virginia Henderson ) D. Pemeriksaan fisik Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996). 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus ) 2. Konstipasi berhubungan dengan aganglion 3.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
4.
Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan
dengan trauma saraf
jaringan
(doenges,1996). 6. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut : 1. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).
Tujuan
: terjadi peningkatan fungsi usus.
kriteria hasil : -
pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek, terbentuknya tinja
-
tidak ada nyeri saat defekasi
-
tidak terjadi perdarahan.
Intervensi : Dilatasikan anal sesuai program. Rasional : untuk mempermudah proses defekasi Intervensi : Pertahankan puasa dan berikan terapi normal.
hidrasi IV sampai fungsi usus
Rasional : tidak terjadi penumpukan makanan di usus 2. Konstipasi berhubungan dengan aganglion Tujuan
: - Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur
kriteria hasil
:
-Penurunan distensi abdomen dan Meningkatnya kenyamanan. Intervensi : - Lakukan enema atau irigasi rectal sesuai order Rasional : - Evaluasi bowel meningkatkan kenyaman pada anak Intervensi : - Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam Rasional : - Meyakinkan berfungsinya usus Intervensi : - Ukur lingkar abdomen Rasional : - Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi terjadinya distensi
3.Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi Tujuan
: tidak terjadi gangguan integritas kulit.
kriteria hasil
: penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi
: Kaji area stoma.
Rasional
: mengetahui keadaan area stoma
Intervensi
: Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
Rasional
: agar area stoma tidak lecet dan lebih leluasa untuk bergerak
Intervensi
: Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
Rasional
:
mengetahui ada tidaknya perubahan di sekitar area stoma 4. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake cairan Tujuan
: klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
kriteria hasil : Output urin 1-2 ml/kg/jam, Capillary refill 3-5 detik, turgor kulit baik, dan membran mukosa lembab Intervensi : Monitor intake output cairan Rasional
: Dapat mengidentifikasi status cairan klien
Intervensi
: Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV
Rasional : Dapat mencegah dehidrasi Intervensi
: Pantau TTV
Rasional
: Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh yang tinggi
5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (doenges,1996).
Tujuan
:
pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien akan tampak rileks, kriteria hasil
: ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.
Intervensi
: Tanyakan pada pasien tentang nyeri.
Rasional
: Mengetahui tingkat skala nyeri
Intervensi
: Catat kemungkinan penyebab nyeri.
Rasional
: perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit atau terjadinya komplikasi.
Intervensi
: Anjurkan klien untuk istirahat dengan posisi yang nyaman (missal: lutut fleksi).
Rasional
: menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa control.
Intervensi
:
Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi. Rasional
: meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
6. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan Tujuan
: kecemasan orang tua dapat berkurang.
kriteria hasil
: orang tua menunjukan ketidakcemasan pada klien dan mengetahui pengetahuan tentang penyakit atresia ani serta prosedur perawatannya
Intervensi
: Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi saluran pencernaan normal, gunakan media dan gambar.
Rasional
: Agar orang tua mengerti kondisi klien
Intervensi
: Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua
Rasional
: Pengetahuan tersebut diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan
Intervensi
: Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi
Rasional
:
Membantu mengurangi kecemasan klien
EVALUASI
1. Terjadi defekasi yang normal 2. Tidak terjadi konstipasi 3. Kerusakan integritas kulit tidak terjadi 4. Defisit volume cairan tidak terjadi 5. Keluhan nyeri trauma saraf jaringan berkurang 6. Orang tua tidak cemas dan mengerti tentang penyakit atresia ani dan prosedur perawatannya.
.
DAFTAR PUSTAKA Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisike-3. Jakarta : EGC. Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC. Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Sri Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC. Chandrasoma P. & taylor R.Clive. 2005. Patologi Anatomi. Jakarta : EGC http://bedahugm.net/Bedah-Anak/Atresia-Ani.html http://surgery.med.umich.edu/pediatric/clinical/physician_content/am/imp.... http: // www.google. com diakses tanggal 16 – 23 November 2008.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN ATRESIA ANI
Oleh : Kelompok III Desak Putu Putri Mealita
(08.321.0171)
I GD Pardiantha P.
(08.321.0178)
Ni Kadek Novi Adnyani
(08.321. 0198)
Ni Made Dewi Purnamasari
( 08.321.0203)
Ni Putu Devi Yanti K. D.
( 08.321.0208)
Putu Agus Suryana
( 08.321.0213)
I Gede Nyoman Satriya P
( 08.321.0177)
Noni Zance Franssina N.
( 08.321.0210)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI 2009