BAB I ETIKA BISNIS, PERUBAHAN LINGKUNGAN, DAN MANAJEMEN STAKEHOLDER
1.1 Etika Bisnis Dan Perubahan Lingkungan
Berkembanganya bisnis diikuti oleh perubahan lingkungan teknologi, hukum, ekonomi, sosial dan politik termasuk pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Begitu banyak kasus yang terjadi karena perbedaan pendapat antara pemangku kepentingan dan perusahaan. Contoh konfliknya adalah Krisis penyaluran subprime, kasus RIAA, Skandal korporat di Enron, Adelphia, Halliburton, MCI WorldCom, Tyco, Arthur Andersen, Global Crossing, Dynergy, Qwest, Merrill Lynch, hingga Perdebatan berlanjut dengan bayaran yang berlebihan kepada chief executive officer (CEO) yang mencatat kinerja perusahaan yang buruk. Kekuatan Lingkungan dan Pemangku Kepentingan
Kekuatan lingkungan macrolevel mempengaruhi kinerja dan operasi industri, organisasi, dan pekerjaan. Langkah pertama untuk memahami masalah stakeholder adalah untuk memahami tentang kekuatan lingkungan yang mempengaruhi pangsa pasar. Berikut gambaran umum tentang kekuatan lingkungan :
Lingkungan ekonomi terus berkembang menjadi konteks perdagangan, pasar, dan arus sumber yang lebih global. Lingkungan teknologi telah mengantar munculnya komunikasi elektronik, jejaring sosial online, dan Internet, yang semuanya mengubah ekonomi, industri, perusahaan, dan pekerjaan. Demokrasi elektronik mengubah cara individu dan kelompok berpikir dan bertindak berdasarkan isu-isu politik. Pemerintah dan lingkungan hukum terus mengeluarkan undang-undang dan prosedur peraturan untuk melindungi konsumen dan membatasi praktik perusahaan yang tidak adil. Pertanyaan dan isu hukum mempengaruhi semua dimensi lingkungan dan setiap pemangku kepentingan dan investor. Berapa banyak daya yang harus dimiliki pemerintah untuk mengatur undang-undang untuk melindungi warga negara dan memastikan bahwa transaksi bisnis itu adil Juga, siapa yang melindungi konsumen dalam sistem pasar bebas? Lingkungan demografis dan sosial terus berubah karena batas-batas nasional mengalami dampak globalisasi dan angkatan kerja menjadi lebih beragam.
Pendekatan Manajemen Pemangku Kepentingan
Pendekatan manajemen pemangku kepentingan adalah cara untuk memahami dampak etis kekuatan lingkungan dan kelompok terhadap isu-isu spesifik yang mempengaruhi pemangku kepentingan realtime dan kesejahteraan mereka. Pendekatan pemangku kepentingan mulai membahas pertanyaan-pertanyaan ini dengan memungkinkan individu dan kelompok untuk mengartikulasikan strategi kolaboratif dan menang-menang berdasarkan pada:
1. 2. 3. 4. 5.
Mengidentifikasi dan memprioritaskan isu, ancaman, atau peluang Pemetaan siapa pemangku kepentingan Mengidentifikasi taruhan, minat, dan sumber daya mereka Menunjukkan siapa anggota koalisi atau mungkin menjadi anggota Menunjukkan apa etika masing-masing pemangku kepentingan (dan seharusnya) 6. Mengembangkan strategi kolaboratif dan dialog dari "yang lebih tinggi tanah "untuk memindahkan rencana dan interaksi ke yang diinginkan penutupan semua pihak. 1.2 Apa Etika Bisnis? Mengapa Itu Penting ?
Etika bisnis bertanya, "Apa yang benar dan salah, baik dan buruk, berbahaya dan bermanfaat mengenai keputusan dan tindakan dalam transaksi organisasi?" Solusi "etis" untuk masalah bisnis dan organisasi mungkin memiliki lebih dari satu alternatif, dan terkadang tidak ada solusi yang tepat yang mungkin terlihat. tersedia. Mengapa Etika dalam Bisnis itu Penting?
a. Secara finansial dan ekonomi Untuk
meminimalisir
kerugian
perusahaan
akibat
tindakan
melanggar etika seperti kerugian dalam hal gugatan dan penipuan internal yang dilakukan karyawan terhadap perusahaan misalnya pencurian. b. Relasi, reputasi, moral, dan produktivitas Perusahaan yang berperilaku tidak etis dan tidak peduli terhadap karyawannya
akan
kesulitan
merekrut
dan
mempertahankan
profesionalitasnya. Selain itu juga akan berdampak merusak hubungan
dengan
pelaku
bisnis
lainnya,
merusak
reputasi,
penurunan produktivitas karyawan, kreativitas dan loyalitas, aliran informasi menjadi tidak efektif, serta absensi.
c. Integritas, budaya, komunikasi, dan kebaikan bersama Bagi para pemimpin perusahaan dan manajer, melaksanakan etika juga berarti melaksanakan integritas. Hal ini tentu dengan harapan akan mampu meningkatkan komitmen karyawan terutama di antara pekerja yang lebih tua atau senior. 1.3 Tingkat Etika Bisnis
Masalah etika tidak hanya masalah pribadi atau personal, hal ini akan membantu untuk melihat perbedaan tingkat permasalahan berasal, dan bagaimana permasalahan ini sering berpindah ke tingkat lainnya. Karena pemimpin
dan
profesional
harus
mengelola
berbagai
kepentingan
stakeholder baik di dalam maupun di luar organisasi mereka. Masalah etika dan moral dalam bisnis dapat dibedakan dalam lima ti ngkat, yaitu Individual level,
Organizational
level,
Association
level,
Societal
level,
dan
International level.
International Level Societal level Association level Organizational level Individual level
Sumber: Archie B. Carroll. (1978). Linking business ethics to behavior in organizations. SAM Advanced Management Journal, 43(3). 7. Reprinted with permission from Society for Advancement of Management, Texas A&M University, College of Business, 6300 Ocean Drive, FC111, Corpus Christi, Texas, 78412.
1.4 Lima Mitos Tentang Etika Bisnis
Mitos adalah "kepercayaan yang diberikan penerimaan yang tidak dikritis oleh anggota kelompok, terutama untuk mendukung kebiasaan dan lembaga tradisional yang ada. Berikut ini mitos tentang etika bisnis : 1. Etika Adalah Urusan Pribadi, Perseorangan Bukan Masalah Umum Atau Hal Yang Bisa Diperdebatkan, Mitos etika individual didasarkan
pada keyakinan pribadi atau agama, dan menentukan apa yang benar dan salah dalam hati nurani seseorang. Seorang ekonom terkenal, Milton Friedman yang memandang “tanggung jawab sosial,”sebagai sebuah ungkapan etika bisnis, yang tidak dapat dipungkuri oleh profesional bisnis untuk ditangani secara serius atau profesional karena mereka tidak perlengkapi atau dilatih untuk melakukannya. 2. Bisnis dan Jangan Campur, menegaskan manajemen didasarkan pada
prinsip ilmiah, bukan agama atau etika. Seorang
pakar etika Richard
DeGeorge telah mencatat bahwa keyakinan sebagai bisnis tidak bermoral (bersifat amoral) adalah sebuah mitos karena mengabaikan keterlibatan bisnis kita semua 3. Etika dalam Bisnis Apakah Relatif, menyatakan tidak ada cara yang benar
atau salah percaya atau bertindak yang tidak hanya didasarkan mutlak beberapa kebenaran saja. Namun, sering bertentangan dengan pengalaman sehari-hari. 4. Bisnis yang Baik Berarti Etika Baik, alasannya adalah eksekutif dan
perusahaan yang menjaga citra perusahaan yang baik, memperjuangkan hubungan yang adil dan adil dengan pelanggan dan karyawan, dan memperoleh penghasilan dengan cara yang sah dan legal secara nyata dan beretika. Buchhol mengatakan bahwa, tidak ada korelasi antara "kebaikan" dan kesuksesan material artinya bahwa perusahaan "yang sangat baik" dan budaya perusahaan telah menciptakan kepedulian terhadap orang-orang di tempat kerja yang melebihi motif keuntungannya. 5. Informasi dan Komputasi Apakah Amoral, menyatakan bahwa informasi
dan komputasi yang tidak bermoral atau tidak bermoral namun bersifat
amoral.
Mereka
berada
dalam
“zona
abu-abu,”
sebuah
wilayah
dipertanyakan yang mengenai etika yang memiliki sisi baik dan jelek. 1.5 Mengapa Menggunakan Penalaran Etis Dalam Bisnis?
Pertama, undang-undang berkali-kali tidak mencakup semua aspek atau "area abu-abu" dari sebuah masalah. Kedua, mekanisme pasar bebas dan mekanisme pasar yang diatur tidak secara efektif memberi tahu pemilik dan manajer bagaimana menanggapi masalah kompleks yang memiliki konsekuensi etika yang jauh. Ketiga penalaran etis diperlukan karena masalah moral yang kompleks memerlukan pemahaman intuitif atau belajar dan perhatian untuk keadilan, dan proses yang adil kepada orang, kelompok, dan masyarakat miskin." 1.6 Dapatkah Etika Bisnis Diajarkan Dan Dilatih?
Karena undang-undang dan penegakan hukum tidak selalu memadai untuk membantu membimbing atau memecahkan masalah manusia yang kompleks yang berkaitan dengan situasi bisnis maka perlu melakukan kursu dan pelatihan etika agar: 2
Membantu orang "memahami" lingkungan mereka dengan mendeskripsikan dan memilih prioritas etis Menyediakan senjata intelektual untuk berperang dengan pendukung fundamentalisme ekonomi dan mereka yang melanggar standar etika Memungkinkan karyawan untuk bertindak sebagai sistem alarm untuk praktik perusahaan yang tidak memenuhi standar etika masyarakat Meningkatkan kesadaran dan kepekaan terhadap masalah moral, dan komitmen untuk menemukan solusi moral Meningkatkan refleksi moral dan memperkuat keberanian moral Meningkatkan kemampuan orang untuk menjadi mandiri secara moral, perbedaan pendapat yang etis, dan hati nurani sebuah kelompok Memperbaiki iklim moral perusahaan dengan menyediakan konsep dan alat etis untuk menciptakan kode etik dan audit sosial
Tahapan Pengembangan Moral
Ada enam tahap untuk pengembangan moral (Kohlberg) sebagai berikut : Level 1: Tingkat Preconventional (Orientasi Diri)
Tahap 1: Hukuman penghindari: menghindari hukuman dengan tidak melanggar peraturan yang memiliki sedikit kesadaran akan kebutuhan orang lain. Tahap 2: Mencari Reward: bertindak untuk menerima penghargaan untuk diri sendiri. Level 2: Tingkat Konvensional (Orientasi Lainnya)
Tahap 3: Orang baik: bertindak "benar" untuk menjadi "orang baik" dan diterima oleh keluarga dan teman, tidak untuk memenuhi cita-cita moral apa pun. Tahap 4: Hukum dan ketertiban: bertindak "benar" untuk mematuhi hukum dan ketertiban dan norma di institusi masyarakat Level 3: Tingkat Pasca Konvensional, Otonomi, atau Prinsip (Universal, Orientasi manusia)
Tahap 5: Kontrak sosial: bertindak "benar" untuk mencapai konsensus dengan proses dan kesepakatan dengan menyadari relativitas nilai dan mentolerir pandangan yang berbeda. Tahap 6: Prinsip-prinsip etika universal: bertindak "benar" sesuai dengan prinsip keadilan dan hak universal, dan abstrak yang menggunakan nurani dan aturan moral.
Studi Kohlberg Dan Etika Bisnis
Studi ini juga menemukan bahwa manajer beralasan pada level yang lebih tinggi saat menanggapi dilema moral di mana karakter utamanya bukan karyawan korporat. Bisa jadi alasan manajer pada tingkat yang lebih tinggi ketika masalah moral tidak terkait dengan korporasi. Penulis menyarankan agar pengaruh perusahaan cenderung membatasi manajer untuk menurunkan tingkat penalaran moral. Atau mungkin saja sifat dilema moral tersebut dapat mempengaruhi cara pikir manajer (misalnya, beberapa dilema mungkin ditangani dengan tepat dengan penalaran tahap 3 atau 4, dilema lain mungkin memerlukan logika tahap 5).