Refrate
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi
Data-data postmortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban (Depkes RI, 2006). 2.2.Pengumpulan Data Post Mortem Pengumpulan
data post-mortem data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh
post-mortem unit yang unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap ± lengkapnya mengenai korban.
Pemeriksaan
dan pencatatan data
jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :7 y
Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
y
Pemeriksaan
y
Pemeriksaan sidik jari.
y
rontgen. Pemeriksaan rontgen.
y
Pemeriksaan
fisik, baik pemeriksaan luar maupun pe meriksaan dalam jika diperlukan.
odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap
orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda. y
Pemeriksaan DNA.
y
Pemeriksaan
antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk
tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban. Data ± data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data 7
sekunder sebagai berikut : y
Primer
: sidik jari, profil gigi, dna.
y
Secondary
: visual, fotografi, fotografi, properti jenazah, medik-antropologi (tinggi (tinggi badan, ras, dll).
1
Refrate
Selain
mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan ± perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan. 2.3.Metode Identifikasi
Identifikasi Massal adalah proses pengenalan jati diri korban massal yang terjadi akibat bencana. Identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan ilmu Kedokteran dan Kedokteran gigi 4
pada korban baik hidup maupun mati. Pada
prinsipnya identifikasi adalah prosedur Penentuan identitas individu, baik hidup
ataupun mati, yang dilakukan pembandingan berbagai data dari individu yang diperiksa dengan data dan orang yang disangka sebagai individu tersebut. Sebagai prinsip umum dapat dikatakan 5
bahwa : a.
Pada
identifikasi Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin
metode identifikasi, identifikasi, b. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut dapat disingkirkan eksklusi, c.
Setiap
kesesuaian data akan menyebabkan ketetapan identifikasi ident ifikasi semakin tinggi. tinggi.
8
Untuk mengidentifikasi korban bencana, dua data yang berbeda harus dikumpulkan: y
Data tentang orang yang hilang, yaitu orang-orang yang diketahui atau diduga telah hadir ketika bencana terjadi ter jadi dan tidak terdaftar sebagai korban.
y
Data mayat yang ditemukan dari tempat kejadian.
Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang dapat digunakan untuk menentukan identifikasi seseorang melalui metode daktiloskopi, Fotografi,
Superimpuse,
Odontologi,
4
Antropometri, DNA, Sinyalemen dan Raut Wajah.
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan menentukan primary indentifiers yang terdiri dari fingerprints-sidik fingerprints-sidik jari , , Dental Records-hasil Records-hasil pemeriksaan gigi geligi dan DNA
2
Refrate
serta secondary indentifiers yang terdiri dari Medical-data medis, property-barang kepemilikan dan photography. Prinsip
dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante mortem yaitu
data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa dan post mortem yaitu data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers 2,3,6
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.
Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode identifikasi. 5,11
Ada 9 macam metode identifikasi yaitu: 1. Metode Visual
Metode ini dilakukan dengan memperhatikan korban secara teliti, terutama wajahnya oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya, maka identitas korban dapat diketahui. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukkan yang lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi, dan latar belakang pendidikan karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Juga perlu diingat bahwa manusia itu mudah terpengaruh dengan sugesti, khususnya sugesti dari pihak penyidik. 2.
Perhiasan
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dan sebagainya dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, bentuk atau bahan yang khas dan sebagainya.
3
Refrate
3.
Pakaian
Pencatatan
yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode, dan adanya tulisan-tulisan,
seperti merek pakaian, penjahit, laundry, dan inisial nama dapat memberikan informasi yang berharga untuk menunjukan identitas si pemakainya. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10 cm adalah tindakan yang tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya sudah dikubur. 4. Dokumen Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport, kartu golongan darah, tanda pembayaran dan lain sebagainya yang ditemukan dalam dompet atau tas korban dapat menunjukkan identitas orang yang membawa dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak palsu. 5. Identifikasi secara medis Pemeriksaan
medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu
berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umur, bentuk tubuh, tinggi, berat badan, warna mata, kulit, rambut, cacat tubuh, kelainan bawaan dan sebagainya. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto rontgen untuk mengetahui keadaan sutura; bekas patah tulang atau pen serta pasak ycang dipakai pada perawatan penderita patah tulang, data laboratorium, adanya tatoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dan sebagainya. 6. Odontologi forensik Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang, sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang berbeda. Hal ini menjadikan pemeriksaan gigi memiliki nilai yang tinggi dalam penentuan identitas seseorang.
Pemeriksaan
atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai
4
Refrate
perubahan akibat perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
Satu
keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identifikasi adalah belum
meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (rekam medik gigi) karena pemeriksaan gigi masih dianggap sebagai hal yang mewah bagi kebanyakan rakyat Indonesia. 7.
Serologi forensik Pada
awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan
terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum. Perkembangan
ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan
pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA). Pada
saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi
lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas. 8.
S idik
jari
Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar. Atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang penting khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui identitas seseorang. Pemeriksaan sidik jari ini mudah dilakukan dan murah pembiayaannya. Walaupun pemerikasaan sidik jari tidak dilakukan oleh dokter, dokter masih mempunyai kewajiban untuk mengambilkan (mencetak) sidik jari, khususnya sidik jari pada korban meninggal dan keadaan mayatnya telah membusuk. 9. Eksklusi Metode ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak terdapat korban (bencana massal), seperti peristiwa kecelakaan pesawat, kecelakaan kereta api, dan kecelakaan angkutan lainnya yang membawa banyak penumpang. Dari daftar penumpang (passenger list ) pesawat terbang akan dapat diketahui siapa saja yang menjadi korban. Bila dari sekian banyak korban 5
Refrate
tinggal satu yang belum dapat dikenali oleh karena keadaan mayatnya sudah sedemikian rusak, maka atas bantuan daftar penumpang akan dapat diketahui siapa nama korban tersebut, caranya yaitu dari daftar penumpang yang ada dikurangi korban lain yang sudah diketahui identitasnya. Dari sembilan metode tersebut hanya metode identifikasi dengan sidik jari yang tidak lazim dikerjakan oleh dokter dan dokter gigi, melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian (Idries, 1997). Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :2,3,6 1. Dental Records
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jati diri seseorang. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik jari tidak dapat dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari. Satu
keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum meratanya
sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (dental record). Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan 6,11,12
dengan data pembanding antemortem. Sebagai
5,6,13
suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggu lan sebagai berikut :
6
Refrate
a. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem. Karena gigi komposisinya sebagian besar terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, sedangkan bahan organik dan airnya sedikit sekali. b. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. (1: 1050). Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai: a) Umur b) Jenis kelamin c) Ras d) Golongan darah e) Bentuk wajah f) DNA c. Kemungkinan tersedianya data ante mortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis. Identifikasi dalam Kedokteran Gigi Forensik Identifikasi dalam kedokteran gigi forensik ada beberapa macam, yaitu (Lukman, 2006): 1. Identifikasi ras korban maupun pelaku melalui gigi-geligi dan antropologi ragawi. 2. Identifikasi seks atau jenis kelamin korban melalui gigi-geligi, tulang rahang, dan antropologi ragawi. 3. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi. 4. Identifikasi umur korban melalui gigi susu (decidui). 5. Identifikasi umur korban melalui gigi campuran. 6. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap. 7. Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan g igi. 8. Identifikasi korban melalui pekerjaan menggunakan g igi. 9. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur. 10. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.
7
Refrate
11. Identifikasi DNA korban melalui analisa air liur dan jaringan dari sel dalam rongga mulut. 12. Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya. 13. Identifikasi wajah korban melalui rekontruksi tulang rahang dan tulang facial . 14. Identifikasi melalui wajah korban. 15. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku. 16. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban bencana massal. 17. Identifikasi melalui radiologi kedokteran gigi forensik. 18. Identifikasi melalui fotografi
kedokteran gigi forensik, misalnya teknik fotografi
superimposisi yang dilakukan dengan menumpang-tindihkan foto postmortem dan foto wajah antemortem, teknik ini dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medik gigi, sidik jari, dan DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus tersedia foto antemortem yang fokus pada wajah 19. Identifikasi melalui formulir identifikasi korban. 20. Walaupun
identifikasi
dengan
menggunakan
gigi-geligi
sudah
banyak
terbukti
keakuratannya namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus terdapat pada data-data untuk identifikasi kedokteran gigi forensik agar data tersebut bisa dikatakan valid. Ada beberapa kriteria yang merupakan syarat untuk validitas identifikasi dengan gigi-geligi, yaitu ( Sopher, 1976): a. Data yang tersedia harus bersifat multipel, permanen, dapat diukur atau diteliti, sehingga menjamin individualitas dari data yang t ersedia. b. Terdapat registrasi yang akurat mengenai karakteristik individu (data antemortem) yang memungkinkan untuk dibandingkan dengan data postmortem. c. Data dilengkapi dengan gambaran spesifik yang tahan terhadap gaya destruktif, sehingga dapat tetap menjadi jaminan untuk keindividualitasan data walaupun tidak tersedia gambaran identifikasi lainnya. Gigi mempunyai nilai spesifik atau individualitas yang sangat tinggi mengingat begitu tidak terbatasnya kemungkinan kombinasi ciri-ciri khas pada gigi, baik ciri alami maupun akibat tindakan perawatan terhadap gigi-geligi. Ciri-ciri khas tersebut antara lain (Ardan, 1999): 1)
Jumlah gigi 8
Refrate
Jumlah gigi dapat menjadi suatu ciri yang khas pada seseorang. Hal ini karena jumlah gigi pada seseorang dapat berbeda-beda. Satu atau beberapa gigi pada rahang dapat tidak ada, baik secara klinis atau radiologis, selain itu sering juga ditemukan jumlah gigi lebih banyak dari normal. Jumlah gigi yang berkurang dapat disebabkan gigi yang lepas alami, pencabutan, trauma (benturan dengan benda tumpul), kongenital (tidak terbentuknya benih gigi molar ketiga, premolar kedua, incisivus kedua), impaksi, dan perg eseran gigi. 2)
Restorasi mahkota dan protesa Restorasi mahkota dan protesa sangat bersifat individual karena dibuat sesuai kebutuhan
masing-masing individu. Beberapa ciri khas dari protesa yang dapat diamati adalah bentuk daerah relief dari langit-langit, bentuk dan kedalaman post-dam, desain sayap labial, penutupan daerah retromolar, warna akrilik, bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial, serta bentuk dan ukuran linggir alveolar. 3)
Karies Gigi Jumlah gigi yang karies dan letaknya dicatat dalam odontogram. Ada kemungkinan gigi
yang karies sudah ditambal, maka harus dilakukan juga pemeriksaan catatan perawatan. Fraktur dari gigi yang karies bentuknya tidak teratur, berwarna coklat, umumnya terjadi pada gigi posterior, dilapisi sisa-sisa makanan, dan bekas rokok. Adanya dentin sekunder menunjukkan bahwa fraktur sudah lama terjadi. Fraktur gigi mahkota karena trauma yang baru terjadi atau pascakematian dengan bagian tepi gigi tidak menunjukkan karies maka permukaan frakturnya cenderung tajam. 4)
Gigi yang malposisi dan malrotasi Malposisi dapat berupa gigi berjejal, gigi saling menutup (overlapping ), miring, bergeser,
dan jarang-jarang. Malrotasi dapat berupa terputarnya gigi. Keadaan malposisi dan malrotasi seringkali tidak dicatat pada pemeriksaan sehari-hari (antemortem), maka untuk mengatasinya keadaan malposisi dan malrotasi dapat diperiksa data postmortem dari model cetakan atau dari foto roentgen.
9
Refrate
5)
Gigi berbentuk abnormal Gigi dapat berbentuk abnormal karena faktor kongenital atau dapatan. Gigi abnormal
yang disebabkan faktor kongenital dapat berupa hutchinson dan gigi incisivus lateral berbentuk runcing ( peg shaped ). Bentuk gigi abnormal yang disebabkan faktor dapatan antara lain akibat pekerjaan dan kebiasaan yang akan mempengaruhi bentuk gigi. 6)
Perawatan
endodontik
Perawatan
endodontik merupakan perawatan bagian pulpa (rongga pulpa dan atau saluran
akar). Jaringan pulpa pada rongga pulpa dan atau saluran akar sudah non-vital atau sudah didevitalisasi, yang kemudian diawetkan dengan bahan mumifikasi atau diisi dengan bahan pengisi berisi obat, sehingga tidak akan jadi sumber infeksi. Sebagai
bahan pengisi pulpa diberi bahan yang akan memberikan kontras, sehingga dapat
terlihat jelas pada foto roentgen. Bentuk bahan pengisi, maupun kesempurnaan pengisian pulpa dapat memberikan gambaran foto roentgen yang spesifik. Biasanya mahkota gigi yang sudah mengalami perawatan saluran akar dibungkus dengan mahkota tiruan dari bahan logam atau bahan porselen. 7)
Pola
trabekulasi tulang
Pola
trabekulasi tulang dapat dilihat pada foto roentgen antemortem maupun foto
roentgen postmortem. Dari foto roentgen tersebut dapat juga dilihat kemiringan gigi, ruang interproksimal, resorpsi tulang akibat penyakit periodontal, perubahan pada ruangan pulpa, dan bentuk saluran akar. 8)
Oklusi gigi Oklusi gigi adalah hubungan kontak oklusal antara gigi di rahang atas terhadap gigi di
rahang bawah. Oklusi gigi diklasifikasikan menurut klasifikasi Angle, yaitu oklusi kelas I, kelas II, dan kelas III. Masing-masing kelas mempunyai subkelas tergantung keadaan gigi yang lain (berjejal, gigitan bersilang, dll).
10
Refrate
9)
Patologi
oral
Kelainan struktur oral dapat merupakan suatu ciri yang khas pada individu. Macammacam kelainan struktur rongga mulut tersebut dapat berupa: a) Torus mandibularis dan torus palatinus Torus mandibularis adalah protuberansia perkembangan tulang yang kadang-kadang terdapat pada aspek lingual mandibula di daerah premolar. Torus palatinus adalah eminensia perkembangan tulang yang kadang-kadang terdapat pada garis median palatum keras (Harty dan Ogston, 1993). b) Kelainan lidah Kelainan lidah yang khas pada individu dapat membantu proses identifikasi. Kelainan yang biasa terjadi pada lidah dapat berupa pendeknya frenulum lingualis (ankyloglossia), lesi yang berbentuk seperti peta ( geographic tongue), fissure tongue, Fordice¶s granules, dan Median Rhomboid Glossitis (Sonis, et al ., 1995). c) Hiperplasia gusi karena dilantin Hiperplasia gusi adalah pembengkakkan gingiva akibat proliferasi sel. Hal tersebut bisa timbul akibat pengobatan (Harty dan Ogston, 1993). d)
P igmentasi gusi
P igmentasi
merupakan pewarnaan yang dihasilkan oleh tubuh melalui deposisi pigmen
(Harty dan Ogston, 1993). Deposisi pigmen ini bisa berasal dari sumber eksogen dan endogen. Sumber
eksogen dapat dikarenakan dari deposit bahan asing pada jaringan, bakteri, fungi, dan
ingesti dari bahan logam yang terdeposit di jaringan. Sumber endogen disebabkan oleh melanin, bilirubin, dan besi (Sonis, et al ., 1995). Jadi dari pigmentasi gusi ini dapat diperkirakan penyakit sistemis yang diderita korban dan pekerjaan ko rban. e) Adanya kista pada tulang rahang
11
Refrate
Kista adalah kantung atau rongga abnormal pada jaringan yang dikelilingi epitel. Kista memiliki batas jelas dan mengandung cairan atau bahan semi cair (Harty dan Ogston, 1993). Gigi-geligi juga dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin korban, ras korban, dan umur korban. Hal-hal tersebut dibutuhkan sebagai data tambahan dan dapat juga digunakan sebagai alat mempersempit populasi untuk memudahkan proses identifikasi. 1)
Penentuan
Pada
jenis kelamin
kasus-kasus tertentu seperti mutilasi atau korban bencana massal dengan tubuh yang
sudah terpisah-pisah, penentuan jenis kelamin tidak dapat dilakukan dengan mudah seperti penentuan jenis kelamin pada orang hidup atau mayat yang masih utuh. Penentuan jenis kelamin pada kasus-kasus tersebut dapat ditentukan melalui gigi-geligi. Penentuan
jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat dilakukan dengan melihat bentuk
lengkung gigi, ukuran diameter mesio-distal gigi, dan kromosom yang terdapat pada pulpa. Bentuk lengkung gigi pada pria cenderung tapered , sedangkan wanita cenderung oval, ukuran diameter mesio-distal gigi taring bawah wanita = 6,7 mm dan pria = 7 mm. Kromosom X dan Y dapat ditentukan dengan menggunakan sel pada pulpa gigi sampai dengan lima bulan setelah pencabutan gigi dan kematian (Astuti, 2008). 2)
Penentuan
ras korban
Ras korban dapat diketahui dari struktur rahang dan gigi-geliginya. Secara antropologi, ras dibagi tiga yaitu ras kaukasoid, ras negroid, dan ras mongoloid. Masing-masing ras memiliki bentuk rahang dan struktur gigi-geligi yang berbeda (Astuti, 2008): a. Ras kaukasoid 1)
Permukaan
lingual yang rata pada gigi incivus
2) Gigi molar pertama bawah tampak lebih panjang dan bentuknya lebih tapered 3) Ukuran buko-palatal gigi premolar kedua bawah sering ditemukan mengecil dan ukuran mesio-distal melebar 4) Lengkung rahang sempit
12
Refrate
5) Gigi berjejal 6)
C arabelli
cusp pada molar pertama atas
b. Ras negroid 1) Akar premolar yang membelah atau tiga akar 2)
Pada
premolar pertama bawah terdapat 2 atau 3 lingual cusp
3) Gigi molar pertama bawah berbentuk segi empat dan kecil 4)
Bimaxillary protrution
5) Kadang-kadang ditemui molar keempat c. Ras mongoloid 1) Gigi incisivus pertama atas berbentuk sekop 2) Gigi molar pertama bawah berbentuk bulat dan lebih besar 3) Adanya kelebihan akar distal dan accesory cusp pada permukaan mesio-bukal pada gigi molar pertama bawah 4) 3)
Penentuan
Permukaan
email seperti butiran mutiara
umur korban
Penentuan
umur korban atau lebih tepatnya perkiraan umur juga dapat dilakukan melalui
pemeriksaan gigi-geligi (Astuti, 2008): a.
Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi Perkembangan
gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi gigi susu, yaitu umur empat
bulan dalam kandungan hingga mencapai saat sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan
molar ketiga mulai terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang
tidak tumbuh sempurna.
Sehubungan
dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat dipantau
dengan baik, yaitu: i. Intrauteri: dipantau melalui sediaan, dengan melihat tahap mineralisasi gigi dapat diketahui usia kandungan. ii.
Postnatal
tanpa gigi: berkisar antara umur 0 ± 6 bulan, yaitu saat tumbuhnya gigi susu
yang pertama.
Penentuan
umur secara tetap disini masih memerlukan sediaan
mikroskopis dengan melihat mineralisasi. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan
13
Refrate
terhadap tahap perkembangan gigi yang belum tumbuh atau masih di dalam tulang dengan bantuan roentgen. iii. Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara umur 6 bulan ± 3 tahun, saat bermunculannya gigi susu ke dalam mulut. Dengan memperhatikan gigi mana yang sudah tumbuh dan belum tumbuh, umur dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit. iv. Masa statis gigi susu: berkisar antara umur 3 ± 6 tahun. Pada masa ini penentuan umur melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan dengan bantuan roentgen untuk melihat tahap pertumbuhan gigi tetap. v. Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 ± 12 tahun. Pada masa ini umur dapat dilihat dari gigi susu yang tanggal dan gigi tetap yang tumbuh. vi. Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat tidak adanya gigi susu yang tanggal dan selesainya pembentukan akar gigi yang terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.
b.
Metode Gustafson Setelah
masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan dan perkembangan gigi
tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk menentukan umur karena kondisinya dapat dikatakan menetap. Untuk itu Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan umur: i. Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga permukaan gigi mengalami keausan. ii.
Penurunan
tepi gusi: sesuai dengan pertumbuhan gigi dan pertambahan umur, maka
tepi gusi (margin-gingival attachment ) akan bergerak ke arah apikal. iii.
Pembentukan
dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan alami pada dinding pulpa
gigi akan dibentuk dentin sekunder yang bertujuan menjaga ketebalan jaringan gigi yang melindungi pulpa. Semakin tua seseorang semakin tebal dentin sekundernya. iv.
Pembentukan
semen sekunder: dengan bertambahnya umur, maka semen sekunder di
ujung akar pun bertambah ketebalannya.
14
Refrate
v. Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan mineral gigi, maka jaringan dentin gigi berangsur menjadi transparan. Proses transparan ini dimulai dari ujung akar gigi meluas ke arah mahkot a gigi. vi.
Penyempitan
atau penutupan foramen apicalis: akan semakin menyempit dengan
bertambahnya umur dan bahkan akan menutup. Garis besar yang perlu diperhatikan dalam penentuan umur dengan gigi setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai adalah sebagai berikut (Harmaini, 2001): 1)
Keausan pada gigi menunjukkan seseorang berusia di atas 50 tahun.
2)
Banyaknya tulang yang hilang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
3)
Penutupan foramen
apicalis molar ketiga tidak terjadi sebelum usia 20 tahu n.
Ada beberapa keuntungan dengan menjadikan gigi sebagai objek pemeriksaan, yaitu (Lukman, 2006): 1)
Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis, dan
morpologis mempunyai letak yang terlindung dengan otot-otot, bibir, dan pipi. Apabila terjadi trauma, maka akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu. 2)
Gigi-geligi sukar untuk membusuk walaupun dikubur kecuali gigi tersebut sudah
mengalami nekrotik atau gangren. Umumnya organ-organ lain bahkan tulang telah hancur tetapi gigi tidak (masih utuh). 3)
Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama. Menurut Sims dan Furnes, gigi manusia
kemungkinan sama adalah 1 : 2.000.000.000. 4)
Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut rusak atau
berubah, maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras memiliki ciri yang berbeda.
15
Refrate
5)
Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan direndam di
dalam drum berisi asam pekat, jaringan ikatnya hancur tetapi giginya masih utuh. 6)
Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 °C gigi tidak akan
hancur, terbukti pada peristiwa Parkman yang terbunuh dan dibakar tetapi giginya masih utuh. Kemudian pada peristiwa aktor perang dunia kedua, yaitu Hitler, Eva Brown, dan Arthur Boorman mereka membakar diri kedalam tungku yang besar di dalam bunker tahanan tetapi giginya masih utuh dan gigi palsunya bisa dibuktikan. Kecuali dikremasi karena suhunya di atas 1000 °C. Gigi menjadi abu sekitar suhu lebih dari 649 °C. Apabila gigi tersebut ditambal menggunakan amalgam, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar di atas 871 °C. Apabila gigi tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloy emas, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-1093 °C. 7)
Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis, walaupun terdapat pecahan-pecahan
rahang pada roentgenogramnya dapat dilihat (interpretasi) kadang-kadang terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang yang khas. 8)
Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakai gigi tiruan dengan
berbagai macam model gigi tiruan dan gigi tiruan tersebut dapat ditelusuri atau diidentifikasi. Menurut Scott, gigi tiruan akrilik akan terbakar menjadi abu pada suhu 538 °C sampai 649 °C. Apabila memakai jembatan dari porselen maka akan menjadi abu pada suhu 1093 °C. 9)
Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila sarana-sarana lain atau
organ tubuh lain tidak ditemukan. Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjadikan gigi-geligi sebagai objek pemeriksaan tersebut dapat diperoleh dari data gigi-geligi yang memenuhi berbagai syarat validitas. Pemeriksaan Pemeriksaan
gigi postmortem dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensik.
ini dapat dilakukan dengan melakukan pencatatan kelainan-kelainan sesuai formulir
yang ada, roentgen gigi, roentgen kepala jenazah, dan bila perlu cetakan gigi jenazah untuk dianalisa (Depkes RI, 2006). 16
Refrate
Pemeriksaan
gigi postmortem ini diharapkan dapat memberikan informasi berupa ciri-ciri
khas pada gigi, yaitu jenis kelamin, umur, kebiasaan, pekerjaan, status sosial, golongan darah, ras, dan DNA (Ardan, 1999). 2. Pemeriksaan Sidik Jari
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan sidik jari antemortem. Sampai
saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi
ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Sifat yang dimiliki oleh sidik jari antara lain :12,14 a.
P erennial
nature, yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada kulit
manusia seumur hidup. b.
I mmutability,
yaitu
sidik
jari
seseorang
tidak
pernah
berubah,
kecuali
mendapatkan kecelakaan yang serius. c.
I ndividuality,
pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap orang.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang sama mempunyai sidik jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar monozigot. Atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang penting khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui jati diri seseorang, oleh karena selain kekhususannya, juga mudah dilakukan secara masal dan murah pembiayaannya. Walaupun pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan dokter, dokter masih punya kewajiban yaitu untuk mengambil (mencetak) sidik jari, khususnya sidik jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya telah membusuk. Teknik pengembangan sidik jari pada jari telah keriput, serta mencopot kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prodedur yang harus diketahui oleh 11
dokter.
Menurut Francis Galton (1822-1916) mengatakan bahwa tidak ada dua sidik jari yang sama, artinya setiap sidik jari dimiliki seseorang adalah unik. Berdasarkan klasifikasi, pola sidik jari dapat dinyatakan secara umum ke dalam tiga bentuk yaitu :14 1.
T ipe Arch, Pada
patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian mulai naik di 15
tengah, dan berakhir di ujung yang lain.
17
Refrate
2.
T ipe
Loop,
Pada
patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian membentuk sebuah 15
kurva, dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika kerutan itu muncul. 3. Tipe Whorl ,
Pada
pusat dari jari.
patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi sebuah titik
15
3. Pemeriksaan DNA
DNA atau Deoxyribo N ucleic
Acid merupakan
asam nukleat yang menyimpan semua
informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifatsifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print ) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak komposisi DNA nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya. Sedangkan tes DNA adalah metode untuk mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau secara sederhananya adalah metode untuk mengidentifikasi, menghimpun dan menginventarisir file16
file khas karakter tubuh.
Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu (1) tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak dan (2) tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi korban yang telah hancur, sehingga untuk mengenali identitasnya diperlukan pencocokan antara DNA korban dengan terduga keluarga korban ataupun untuk pembuktian kejahatan semisal dalam kasus pemerkosaan atau pembunuhan. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus-kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang 16
ditemukan di tempat kejadian perkara (TK P) dapat dijadikan sampel tes DNA.
DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA mitokondria dan DNA inti sel. Perbedaan
kedua DNA ini hanyalah terletak pada lokasi DNA tersebut berada dalam sel, yang
satu dalam inti sel sehingga disebut DNA inti sel, sedangkan yang satu terdapat di mitokondria dan disebut DNA mitokondria. Untuk tes DNA, sebenarnya sampel DNA yang paling akurat digunakan dalam tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah. DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya.
Sebagai
contoh untuk sampel sperma dan rambut. Yang 18
Refrate
paling penting diperiksa adalah kepala spermatozoanya karena didalamnya terdapat DNA inti, sedangkan untuk potongan rambut yang paling penting diperiksa adalah akar rambutnya. Tetapi karena keunikan dari pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan DNA mitokondria dapat dijadikan sebagai marka (penanda) untuk tes DNA dalam upaya mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal.16 Untuk akurasi kebenaran dari tes DNA hampir mencapai 100% akurat. Adanya kesalahan bahwa
kemiripan
pola
DNA
bisa
terjadi
secara
random
(kebetulan)
sangat
kecil
kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh faktor human error terutama pada kesalahan interprestasi fragmen-fragmen DNA oleh operator (manusia). Tetapi dengan menerapkan standard of procedur yang tepat kesalahan human 16
error dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
Metode tes DNA yang umumnya digunakan di dunia ini masih menggunakan metode konvensional yaitu elektroforesis DNA. Sedangkan metode tes DNA yang terbaru adalah dengan menggunakan kemampuan partikel emas berukuran nano untuk berikatan dengan DNA. Prinsip metode ini adalah mempergunakan untai pendek DNA yang disebut P robe yang telah diberi zat pendar. P robe ini
dirancang
spesifik
untuk
gen
menempel/berhibridisasi dengan DNA sampel tersebut.
sampel Partikel
tertentu
dan
hanya
akan
emas berukuran nano dalam
metode ini berperan dalam mengikat P robeyang tidak terhibridasi.
Pendeteksian
dilakukan
dengan penyinaran pada panjang gelombang tertentu. Keberadaan DNA yang sesuai dengan DNA P robe dapat dilihat dari pendaran sampel tersebut. Jumlah DNA target tersebut kira-kira 16
berbanding lurus terhadap intensitas pendaran sinar yang dihasilkan.
Keunggulan metode ini dibandingkan dengan metode konvensional adalah pada kecepatan
dan
harganya
yang
jauh
lebih
cepat
dan
murah
dibandingkan
16
metode elektroforesis DNA. 4.
Identifikasi Medik
Metode ini menggunakan data umum dan data khusus. Data umum meliputi tinggi badan, berat badan, rambut, mata, hidung, gigi dan sejenisnya. Data khusus meliputi tattoo, tahi lalat, jaringan parut, cacat kongenital, patah tulang dan sejenisnya. Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi 19
Refrate
(termasuk pemeriksaan dengan sinar-X) sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.11,12 Upaya identifikasi pada kerangka bertujuan membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus, deformitas, dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Dicari pula tanda kekerasan pada tulang.
Perkiraan
saat kematian dilakukan dengan memperhatikan keadaan
12
kekeringan tulang.
Bila terdapat dugaan berasal dari seseorang tertentu, maka dilakukan identifikasi dengan membandingkannya dengan data ante mortem. Bila terdapat foto terakhir wajah orang tersebut semasa hidup, dapat dilaksanakan metode superimposisi, yaitu dengan jalan menumpukkan foto rontgen tulang tengkorak di atas foto wajah yang dibuat berukuran sama dan diambil dari sudut 12
pemotretan yang sama. Dengan de mikian dapat dicari adanya titik-titik persamaan. Penentuan
ras mungkin dilakukan dengan pemeriksaan antropologik pada tengkorak, gigi
geligi dan tulang panggul atau tulang lainnya. Arcus zygomaticus dan gigi insicivus atas pertama 12
yang berbentuk seperti sekop memberi petunjuk ke arah ras Mongoloid.
Jenis kelamin ditentukan berdasarkan pemeriksaan tulang panggul, tulang tengkorak, sternum, tulang panjang serta scapula dan metacarpal. Pada panggul, indeks iso-pubis (panjang 12
pubis dikali 100 dibagi panjang ischium) merupakan ukuran yang paling sering digunakan. a)
Identifikasi jenis kelamin pada kerangka Penentuan
ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang-tulang, seperti :
tulang panggul, tengkorak, tulang-tulang panjang, tulang dada, dimana yang mempunyai nilai tinggi di dalam hal penentuan jenis kelamin adalah tunggal panggul baru kemudian tengkorak. Secara
umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk dan tekstur yang lebih 11
halus bila dibandingkan dengan rangka seorang pria.
Panggul
20
Refrate
Pemeriksaan
panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain, jenis kelamin sudah dapat
ditentukan pada sekitar 90% kasus. Bentuk dari ³Greater schiatic notch´ mempunyai nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.11
Tengkorak Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tulang tengkorak, diperlukan penilaian dari
berbagai ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri-ciri ini akan tampak jelas setelah usia 14-16 tahun. Ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan tengkorak dewasa 11
adalah 90%.
Tulang dada Ratio panjang dari manubrium sterni dan corpus sterni menentukan jenis kelamin. Pada
wanita manubrium sterni melebihi separuh panjang corpus sterni, dan ini mempunyai ketepatan sekitar 80%.
11
Tulang panjang Pria
pada umumnya memiliki tulang yang lebih besar panjang, lebih berat dan lebih
kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (os.femur) merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis kelamin ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%. Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligament serta 11
perangai radiologis perlu diperhatikan. b)
Penentuan
Umur pada kerangka
Untuk kepentingan menghadapi kasus ± kasus forensik, maka penentuan atau lebih tepatnya perkiraan umur, dibagi dalam tiga fase, yaitu : bayi yang baru dilahirkan; anak ± anak 11
yang dan dewasa sampai umur 30 tahun dan dewasa diatas 30 tahun. y
Bayi yang baru dilahirkan Perkiraan
umur bayi sangat penting bila dikaitkan dengan kasus pembunuhan anak
dalam hal ini penentuan umur kehamilan (maturitas), dan viabilitas. Kriteria yang umum dipakai adalah : berat badan, tinggi badan, dan pusat-pusat penulangan. Tinggi badan
21
Refrate
mempunyai nilai yang lebih bila dibandingkan dengan berat badan di dalam hal perkiraan umur.11 Tinggi badan diukur dari puncak kepala sampai ke tumit (crown heel),dapat digunakan untuk perkiraan umur dan menurut rumus dari HAASE. Cara pengukuran lain 11
yaitu dari puncak kepala ke tulang ekor (crown-rup), dipergunakan oleh STREETER. y
Anak ± anak dan dewasa di bawah 30 tahun Saat
terjadinya unifikasi dari dyaphises memberi hasil dalam bentuk perkiraan.
Persambungan
speno-occipital terjadi dalam umur 17-25 tahun.
Pada
wanita, saat
persambungan tersebut antara 17-20 tahun. Tulang selangka merupakan tulang panjang yang terakhir mengalami unifikasi. Unifikasi dimulai pada umur 18-25 tahun, dan mungkin tidak lengkap sampai 25-30 tahun. Dalam usia 31 tahun ke atas unifikasi menjadi lengkap. Tulang belakang (ossis vertebrae),sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur ± alur yang dalam yang 11
berjalan radier pada bagian permukaan atas dan bawah dalam hal ini corpus vertebranya. y
Dewasa di atas 30 tahun Perkiraan
Penutupan
umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura ± suturanya.
pada bagian tubula interna biasanya mendahului tabula externa. Sutura sagittalis,
coronarius, dan sutura lambdoideus mulai menutup pada umur 20 -30 tahun. Lima tahun berikutnya terjadi penutupan sutura parieto-mastoid dan sutura squamosa, tetapi dapat juga tetap terbuka atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan menutup hingga usia 70 tahun.11 c)
Penentuan
Tinggi badan pada kerangka
Penentuan
tinggi badan menjadi penting pada keadaan dimana yang harus diperiksa
adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari tulang saja. Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek, sedang atau jangkung. Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang-tulang panjang, yaitu :11
Tulang paha (femur), menunjukkan 27 persen dari tinggi badan,
Tulang kering (tibia), 22 persen dari tinggi badan, 22
Refrate
Tulang lengan atas (humerus), 35 persen dari tinggi badan
Tulang belakang, 35 persen dari tinggi badan
Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang:
Pengukuran
Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)
11
dengan osteometric board,
Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah :
Formula Stevenson
Formula Trotter dan Gleser
Formula Trotter dan Gleser dan
Stevenson
merupakan formula untuk manusia ras
mongoloid. 5.
Identifikasi Visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannnya. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta latar belakang pendidikan, mengingat adanay kemungkinan faktor-faktor tersebut turut berperan untuk 11,12
membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut.
6. Pemeriksaan Barang Kepemilikan (Property)
a.
Dokumen. Dokumen seperti kartu identitas (KTP,
SIM,
paspor, kartu golongan darah, tanda
pembayaran, dsb) dan sejenisnya yang kebetulan ditemukan dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut.
Perlu
diingat pada kecelakaan masal,
dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan karena ada kebiasaan seseorang di dalam menaruh dompet atau tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang; sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang dapat terlempar sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak diperhatikan kekeliruan identitas dapat 11,12
terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah busuk atau rusak.
23
Refrate
b.
Pakaian
dan Perhiasan.
Pencatatan
yang diteliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode serta adanya tulisan-
tulisan, seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau initial nama, dapat memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10 cm, adalah merupakan tindakan yang sangat tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya telah dikubur. Perhiasan seperti anting-anting, kalung, gelang, serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila pada perhiasan itu terdapat initial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam gelang atau cincin; akan membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menentukan identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik. Khusus anggota ABRI, identifikasi dipermudah oleh adanya 11,12
nama, serta NR P yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.
24