Parafilia I. Fetishism Fetishism melibatkan ketergantungan pada obyek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Obyek yang dibutuhkan untuk memperoleh rangsangan seksual tersebut disebut fetishes,dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu, stocking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual.Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu involuntary dan tidak dapat ditahan. Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya, fetishisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa yang lebih awal. Kebanyakan fetishes menampilkan pula parafilia lainnya, seperti paedofilia, sadisme, atau masokisme (Mason, 1997)
II. Transvestic Fetishism Merupakan gangguan saat seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan, selain saat memakai paka ian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan pre ferensi seksual seksual yang maskulin. III. Pedofilia dan Inses Pedofilia), adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa, bertentangan dengan pernyataan DSM bahwa seluruh paedofil lebih suka anak-anak prapubertas, sebagian paedofil menyerang anakanak yang telah melewati masa puber. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pengalaman melakukan sex dengan orang dewasa. Inses mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah pada kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inses terjadi adalah patriarkal yang tidak biasa dan tradisional, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripadam laki-laki (Alexander & Lupfer, 1997). Orang tua dalam keluargasemacam ini akan cenderung menolak dan berjarak secara emosional dengan anak mereka.
IV. Voyeurism Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual dimana mereka t erlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai namun tidak sepenuhnya penting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997). Orang yang mengalami gangguan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun saat membayangkan melakukannya.
V. Eksibisionisme Merupakan preferensi mendapatkan kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genital kepada orang tidak dikenal, atau dengan membayangkan melakukan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat. Pada eksibisionis, dorongan untuk mengekspose bersifat kompulsif dan selain o leh rangsangan seksual, dipicu juga oleh kecemasan. Pada saat melakukan exposure, eksibisionis bisa tidak menyadari konsekuensi sosial dan hukum dari apa yang dilakukannya (Stevenson & Jones, 1972). Eksibisionisme umumnya mulai muncul pada masa remaja (Murphy, 1997). Sebagian besar eksibisionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih dari separuh eks ibisionis telah menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pasangan (Mohr, Turner, & Jerry, 1964).
VI. Frotteurism Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain secara seksual. Biasa dilakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang frotteur dapat mengusap payudara atau alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya sendiri kepada paha atau pantat orang tersebut.
VII. Sadisme dan Masokisme Seksual Sadisme seksual ditandai dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan pada sadisme, obyek yang disakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri sendiri. Mayoritas orang dengan sadisme menjalin hubungan dengan masokis demi mendapatkan kepuasan seksual bersama. Pada hubungan tersebut, terdapat cerita atau µnaskah¶ yang telah disetujui bersama-sama. Misalnya, orang dengan sadisme berperan sebagai guru yang disiplin, sedangkan orang dengan masokisme berperan sebagai murid yang nakal dan perlu dihukum. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah pencambukan, pukulan, mempermalukan, dan lain-lain. Pada beberapa kasus, seorang dengan sadisme dipenjarakan sebagai sex offender yang menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood, & Warren, 1990). Dibandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sadisme seksual labih sering berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta menyembunyikan mayat (Gratzer & Bradford, 1995).
Etipologi Parafilia § Pandangan Psikodinamik Menurut pandangan psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa (Lanyon, 1986).
§ Pandangan Behavioral dan Kognitif Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan para filia mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000). Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun. Distorsi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang t ua atau orang lain.
Terapi Parafilia Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991): 1. Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.ikuti 2. Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment. 3. Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan. 4. Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991). Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif, serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan seksual.
§ Terapi psikoanalitik Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum mmberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.
§ Teknik Behavioral Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek seksual yang tidak pantas, prosdur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap paedo filia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, & barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990). Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
§ Penanganan Kognitif Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang. § Penanganan Biologis Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada lakilaki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.
§ Usaha Hukum Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan¶s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyimpangan seksual merupakan bentuk perbuatan menyimpang dan melanggar norma dalam kehidupan masyarakat. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual yang tidak wajar. Salah satu bentuk penyimpangan seksual adalah sadomasokisme. Sebuah penyimpangan seksual. Biasanya pengidapnya memiliki masa lalu nan suram, terbiasa dengan kekerasan, dan kurang kasih sayang. Sebuah kenikmatan yang diperoleh dengan cara yang berbeda yakni menyakiti dan sebaliknya justru ada yang malah senang karena baru merasa nikmat setelah disakiti. Konsep sadomasokisme merupakan gabungan antara sadisme dengan masokisme yang terus meluas seiring dengan perkembangan seksualitas manusia. Sadomasokisme saat ini tidak hanya dipandang sebagai suatu penyimpangan, melainkan dapat dilihat sebagai preferensi atau variasi seksual, gaya hidup atau hubungan, metode pencapaian puncak spiritualitas, pelepas ketegangan dan bahkan, tak mesti melibatkan elemen seksual. B. Rumusan Masalah 1. Apa penyebab penyimpangan perilaku seksual? 2. Pengertian sadisme 3. Pengertian masokisme 4. Bagaimana cara mengatasi perilaku menyimpang tersebut? C. Rumusan Tujuan 1. Menjelaskan penyebab penyimpangan perilaku seksual 2. Menjelaskan pengertian sadisme 3. Menjelaskan pengertian masokisme 4. Menjelaskan solusi untuk mengatasi perilaku menyimpang tersebut? D. Manfaat Menambah wawasan kita megenai perilaku penyimpangan seksual, khususnya tentang sadosmasokisme yang kegiatannya menimbulkan kekerasan bagi pelaku seks tersebut. BAB II PEMBAHASAN A. Penyebab peyimpangan perilaku seksual Susan Noelen Hoeksema dalam bukunya Abnormal Psychology, mengatakan bahwa perilaku penyimpangan seksual 90% lebih diderita oleh pria. Namun, saat para peneliti mencoba menemukan ketidaknormalan pada hormon testoteron ataupun hormon-hormon lainnya yang diduga menjadi penyebab perilaku seks menyimpang, hasilnya tidak konsisten. Artinya, kecil kemungkinan perilaku seks menyimpang disebabkan oleh ketidaknormalan hormon seks pria atau hormon lainnya. Penyebabnya, tampaknya lebih berkaitan dengan pelampiasan dorongan agresif atau permusuhan, yang lebih mungkin terjadi pada pria daripada pada wanita. Penyebab lainnya yang diduga dapat menyebabkan perilaku seks menyimpang ialah penyalahgunaan obat dan alkohol. Obat-obatan tertentu memungkinkan seseorang yang memiliki potensi perilaku seks menyimpang melepaskan fantasi tanpa hambatan kesadaran. Kemudian, faktor lingkungan, keluarga, dan budaya di mana seorang anak dibesarkan ikut memengaruhi perilaku seksnya. Anak yang orangtuanya sering mendapat hukuman fisik dan mendapat kontak seksual yang agresif, lebih mungkin menjadi agresif dan impulsif secara seksual terhadap orang lain di saar dewasa dewasa. Sebuah juga
penelitian menunjukkan bahwa empat dari lima penderita pedofilia telah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak. B. Sadisme Sadisme adalah penyimpangan seksual yang dialami seseorang jika kepuasan seksual diperoleh oleh orang tersebut bila melakukan tindakan penganiayaan atau menyakiti pasangannya sebelum atau saat melakukan hubungan seksual. Individu dengan gangguan ini secara konsisten memiliki gangguan fantasi seksual dengan cara menyakiti pasangannya dengan teror baik secara fisik ataupun psikologis. Penyimpangan ini beda halnya dengan perilaku seksual kasar, sadisme seksual akan mengajak atau memaksa pasangannya untuk melak ukan hal-hal sadistik dalam setiap aktivitas seksual. Perlakuan sadistik oleh pelaku sadisme seksual bukanlah akting atau pura-pura, mereka serius dalam melakukannya. Kebanyakan pelaku sadisme mempunyai gangguan kepribadian antisosial atau yang sering disebut dengan psikopat. Bentuk ekstrimnya, perilaku sadisme dapat dilihat dalam kasus pemerkosaan yang disertai dengan penyiksaan dan pembunuh. Penderita sadisme seksual akan mer asakan kepuasan seksual bila pasangannya itu mati. Namun demikian hal ini bukanlah menjadi salah satu motif perilaku sadisme seksual untuk menyiksa korban atau pasangannya sampai mati. R asa sakit pasangan juga tidak menjadikan gairah seksualnya meningkat. Pemerkosaan yang disertai kekerasan akan membuat pelaku bergairah dan pelaku akan terus mengulangnya pada k esempatan lainnya. Oleh karenanya, sadisme seksual merupakan kejahatan serius yang dapat dijerat dengan hukuman yang berat. Beberapa perilaku sadisme seksual lainnya dapat berupa; 1. Pemaksaan atau pemerkosaan, penolakan korban menjadi gai rah seksual pelaku dalam melakukan aksinya. Semakin korban meronta, melawan, menangis maka pelaku semakin bersemangat. 2. Pelaku melakukan penyiksaan yang sebenarnya, pemukulan sampai menimbulkan luka memar. 3. Melukai bagian tubuh tertentu dari pasangannya sam pai mengeluarkan darah. 4. Beberapa individu gangguan juga disertai simtom masokis. 5. Melakukan penyiksaan seksual dengan pemaksaan atau sampai luka (melukai alat g enital). 6. Melakukan penyiksaan berat dengan menggunakan cambuk, kejutan listrik, dan sebagainya. C. Masokisme Istilah masokisme pada awalnya muncul dalam bidang psikologi, berkenaan dengan perilaku seksual menyimpang, lawan dari sadisme, yaitu seseorang akan merasa terangsang dan memperoleh kenikmatan seksual jika dirinya terlebih dahulu disakiti. Istilah ini berasal dari nama seorang penulis asal Austria pada abad ke-19, Leopold von Sa cher-Masoch, yang novelnya sering menyebutkan karakter yang terobsesi dengan kombinasi seks dan rasa sakit. Perilaku menyimpang semacam ini salah satunya disebabkan oleh sikap orangtua dan g uru yang diktator, yang berlangsung begitu lama sehingga membentuk kepribadian masokis. Masokisme adalah satu-satunya kelainan paraphilia yang dialami oleh perempuan, sekitar 5 persen makosis adalah perempuan. Masokisme seksual juga harus dibedakan dari sindrom martir (orang yang ingin jadi martir, mencari penderitaan atau penganiayaan untuk memenuhi kebutuhan psikologis) dan gangguan kepribadian mengalahkan diri (meski juga dikenal dengan gangguan kepribadian masokistik). Gangguan kepribadian
mengalahkan diri merupakan pola perilaku mengalahkan diri, menghindar dari kesenangan dan tertarik pada penderitaan. Orang dengan gangguan kepribadian ini mencari orang untuk mengecewakan diri sendiri, menolak pertolongan, hal positif yang dialami direspon dengan depresi atau menyakiti diri, suka memancing amarah dan penolakan, mencari pasangan yang mengabaikannya dan sejenisnya. Perilaku tersebut tidak khusus terkait dengan respon seksual dan tidak hanya terjadi ketika depresi. Masokisme mengacu pada pengalaman menerima kenikmatan atau kepuasan dari penderitaan sakit. Pandangan psikoanalitik bahwa masokisme adalah agresi berbalik ke dalam, diri nya, ketika seseorang merasa terlalu bersalah atau takut untuk mengungkapkannya secara lahiriah. D. Solusi mengatasi penyimpangan seksual Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi perilaku penyimpangan seksual adalah dengan menggunakan cara hipnotis. Banyak manfaat yang bisa diraih dengan terapi hipnotis. Dimana Terapi Hipnotis adalah sebuah metode yang kini setara sebagai salah satu metode pengobatan dan penyembuhan, terutama untuk penyakit yang berkaitan dengan kejiwaan atau sikap. Bahkan di kota-kota besar mulai banyak ditawarkan terapi penyembuhan dengan metode ini. Mulai dari menghilangkan kebiasaan buruk hingga untuk penyembuhan penyakit. Hasilnya pun cukup mencengangkan, banyak pasien mengaku dapat menghindari kebiasaan buruknya atau juga sembuh dari penyakitnya. Apakah terapi hipnotis dapat menyembuhkan problema kehidupan seksual satu pasangan? Saat ini ada terapi hipnotis yang disebut Terapi Hipnoseksual. Terapi hipnotis bisa meningkatkan lagi kenikmatan hubungan intim Anda ketika hubungan tersebut mulai meredup. Terapi Hipnoseksual juga bisa mengatasi masalah disfungsi seksual atau bahkan ingin meningkatkan gairah ag ar lebih panas lagi. Semuanya bisa diubah dengan metode hipnotis. Praktisi Terapi Hipnoseksual mengatakan bahwa 40% problema seksual berasal dari fisik yang sedang bermasalah. Selebihnya, problema seksual terbanyak biasanya berasal dari masalah yang non fisik alias psikis. Masalah psikis itu seperti trauma, phobia, korban pemerkosaan, kekerasan seksual dan lainnya. Problema seksual yang berasal dari masalah psikis inilah yang bisa disembuhkan melalui metode Hipnoseksual. Sebelum proses hipnotis dilakukan, pasien perlu diwawancarai untuk memperoleh keterangan, yang menjadi latar belakang dari permasalahan yang dihadapi. Sebagai contoh, proses ereksi hingga ejakulasi pria berasal dari pikiran, dimana alur proses awalnya adalah melihat dan terangsang secara visual. Namun, bisa juga terjadi secara kinestetik, yakni lewat sentuhan, ciuman dan sebagainya, hingga berakhir pada hubungan intim. Pikiran bawah sadar kita merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Bagi pria yang mempunyai masalah seksual, seperti misalnya ejakulasi dini, hal itu sebenarnya bahwa pria tersebut mengalami kenaikan tingkat kenikmatan yang terlalu cepat, sehingga proses ejakulasinya terjadi terlalu dini. Jadi, program baru melalui Terapi Hipnoseksual yang akan ditanamkan ke pikiran bawah sadar adalah dengan melambatkan tempo berjalannya sensasi tersebut dan menahan keinginan untuk ejakulasi hingga saat yang tepat. Namun demikian, keberhasilan dari Terapi Hipnoseksual itu tergantung pula dari niat dan kesungg uhan dari si pasien untuk menjalaninya. Bila program baru tidak didukung dengan niat, tentu saja besar kemungkinannya akan mengalami kegagalan, karena mengalami resistensi atau tertahan oleh program lama yang sudah tertanam bertahun-tahun di alam bawah sadar kita. Pasien harus paham betul mengapa ia memerlukan bantuan hipnotis dalam proses penyembuhannya, serta keunggulan apa yang
didapatkan dibandingkan model pengobatan yang lainnya. Pemahaman pasien akan maksud dan tujuan dari Terapi Hipnoseksual merupakan kunci efektivitas terapi. Karena itu diperlukan informasi yang jelas dan pemahaman yang sama. Hal ini bertujuan agar persepsi yang terbentuk dalam tingkat sadar sejalan dengan persepsi bawah sadar kita. Metode Hipnoterapi juga harus dilakukan dengan jelas, terbuka, dan tanpa paksaan. Sebelum melakukan hipnotis, pasien perlu terlebih dulu menjalani pemeriksaan fisik, atau bila perlu disusul dengan menjalani pemeriksaan laboratorium (darah, urine, dan lain-lain).
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Masokisme merupakan kelainan yang dengan sengaja membiarkan dirinya disiksa atau disakiti, baik secara fisik maupun psikologis, hanya untuk memperoleh kepuasan seksual. Ia akan semakin puas apabila dirinya semakin tersakiti atau tersiksa. Di sisi lain, sadisme adalah kelainan ini merupakan kebalikan dari masokisme. Penderita akan memperoleh kepuasan seksual jika melakukan hubungan seksual dengan cara menyakiti atau menyiksa terlebih dahulu pasangannya. Sementara itu, ungkapan sado-masochist merupakan sebutan untuk penderita sadisme yang melakukan hubungan seksual dengan masokisme. Biasanya orang-orang yang mengidap sadomasokisme mempunyai riwayat masa l alu yang berhubungan dengan trauma seksual. Misalnya, pada saat masih kecil melihat orangtua atau orang disekitarnya disakiti, atau kemudian menyakiti ketika melakukan hubungan seksual, maka ia bisa berperilaku seperti itu pada saat ia dewasa. Karena masih kecil ia tidak tahu bahwa perbuatan itu merupakan sebuah penyimpangan, ia merekamnya dalam memori lantas meniru perbuatan itu. B. Saran Menghindari pergaulan yang berkaitan dengan perilaku menyimpang tersebut sehingga tidak tertular perilaku menyimpang, karena perilaku yang menyimpang tersebut ibarat penyakit menular yang siap menjangkiti siapa saja yang mendekatinya.