LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA SERVIKAL
I. Konsep Penyakit 1.1
Definisi/deskripsi Penyakit
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan ola raga dan sebagainya (Sjamsuhidayat, 1997).
Susunan tulang pada manusia terdiri dari berbagai macam tulang di antaranya tulang vertebra (servikal, torakal, lumbal, sakral, koksigis). Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau axis, C3, C4, C5, C6 dan C7. Apabila cidera pada bagain servikal akan mengakibatkan terjadinya trauma servikal.di mana trauma servikal merupakan keadaan cidera pada tulang bekalang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, sublukasi atau frakutur vertebra servikalisdan di tandai kompresi pada medulla spinal daerah servikal (Muttaqin, 2011).
1.2
Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa : 1
1.2.1
Kecelakaan lalu lintas
1.2.2
Kecelakaan olahraga
1.2.3
Kecelakaan industry
1.2.4
Jatuh dari pohon/bangunan
1.2.5
Luka tusuk
1.2.6
Luka tembak
1.2.7
Kejatuhan benda keras
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: 1.2.8
Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat
berupa
pemukulan,
penghancuran,
perubahan
pemuntiran
ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. 1.2.9
Fraktur akibat kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
1.2.10 Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
1.3
Tanda Gejala
Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai berikut :
2
1.3.1
Lesi C1-C4 Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada gerakan (baik secara fisik maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh. Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan dari ventilator secara. intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khsus.
1.3.2
Lesi C5 Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada pada daerah leher dan triagular anterior dari daerah lengan atas.
1.3.3
Lesi C6 Pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.
1.3.4
Lesi C7 Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas 3
mengambil posis yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja refleks kembali.
Menurut Price, (2002) menyampaikan manifestasi klinik pada fraktur adalah sebagai berikut: 1.3.5 Nyeri Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya. 1.3.6
Bengkak/edama Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
1.3.7
Memar/ekimosis Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
1.3.8
Spasme otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
1.3.9
Penurunan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
1.3.10 Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. 1.3.11 Mobilitas abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang. 1.3.12 Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. 1.3.13 Deformitas Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. 4
1.3.14 Shock hipovolemik Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
1.4
Patofisiologi
Kolumna
vertebralis
normal
dapat
menahan
tekanan
yang
berat
dan
mempertahankan integritasnya tampa mengalami kerusakan pada medula spinalis. Akan tetapi, beberapa mekanisme trauma tertentu dapat merusak sistem pertahanan ini dan mengakibatkan kerusakan pada kolumna vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah kolumna servikal, kemungkinan terjadinya cedera medula spinalis adalah 40%. Trauma servikal dapat ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi, dan subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen servikal, dan kompresi radiks saraf pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal dan menyebabkan kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal (Price, 2009).
Pada cidera hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa kepala kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mengalami kerusakan. Pada cidera yang stabil dan merupakan tipe frakutur vertebra yang paling sering di temukan. Jika ligamen posterior robek, cedera, bersifat tidak stabil dan badan vertebra bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya. Trauma servikal dapat menyebabkan cedera yang komponen vertebranya tidak akan tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko biasanya lebih rendah (Muttaqin, 2011). Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran lebih jauh dan perubahan struktur oseoligamentosa posterior (pedikulis, sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen interspinosa, dan supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian posterior badan vertebra, bagian posterior diskus intervertebra, dan ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (duapertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebra dan ligamen longitudinal anterior) (Muttaqin, 2011).
5
Cedera spinal tidak stabil menyebabkan resiko tinggi cedera pada korda sehingga menimbulkan masalah aktual atau resiko ketidakefektifan pola napas dan penurunan curah jantung akibat kehilangnya kontrol organ viseral. Kompresi saraf dan spasme otot servikal memberikan stimulasi nyeri. Kompresi diskus menyebabkan paralisis dan respons sistemik dengan munculnya keluhan mobilisasi fisik, gangguan defekasi akibat penurunan peristaltik usus, dan ketidak seimbangan nutrisi (Price, 2002).
Tindakan dekompresi dan stabilitas pada pascabedah akan menimbulkan port de entree luka pascabedah yang menyebabkan masalah resiko tinggi infeksi. Selain itu, tindakan
tersebut
dapat
menyebabkan
kerusakan
neuromuskular,
yang
menimbulkan resiko trauma sekunder akibat ketidaktahuan tentang teknik mobilisasi yang tepat. Kondisi psikologis karena prognosis penyakit menimbulkan respons anastesi. Manipulasi yang tidak tepat akan menimbulkan keluhan nyeri dan hambatan mobilitas fisik (Muttaqin, 2011).
1.5
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges, (2000) ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu: 1.5.1
Sinar X spinal Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
1.5.2
CT scan Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
1.5.3
MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
1.5.4
Mielografi Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
6
1.5.5
Foto rontgen torak Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma, anterlektasis).
1.5.6
GDA Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
1.6
Komplikasi
Menurut Emma, (2011) komplikasi pada trauma servikal adalah : 1.6.1
Syok neurogenik Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
1.6.2
Syok spinal Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
1.6.3
Hipoventilasi Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.
1.6.4
Hiperfleksia autonomic Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.
1.7
Penatalaksaan
Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu: 1.7.1
Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
7
1.7.2
Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
1.7.3
Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
1.7.4
Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
1.7.5
Menyediakan oksigen tambahan.
1.7.6
Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
1.7.7
Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
1.7.8
Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan bradikardi.
1.7.9
Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
1.7.10 Berikan antiemboli 1.7.11 Tinggikan ekstremitas bawah 1.7.12 Gunakan baju antisyok. 1.7.13 Meningkatkan tekanan darah 1.7.14
Monitor volume infus.
1.7.15 Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi) 1.7.16 Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala bradikardi. 1.7.17 Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy. 1.7.18 Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina. 1.7.19 Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian. 1.7.20 Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
8
1.7.21 Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika ada indikasi. 1.7.22 Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih. 1.7.23 Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus. 1.7.24 Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan). 1.7.25 Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan. 1.7.26 Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.
1.8
Pathway Trauma pada servikal tipe ekstensi
Fraktur sublukasi, dislokasi, kompresi diskus, robeknya ligamentum, dan kompresi akar saraf
Cedera spinal tidak
Kompresi Korda
Risti injury
Cedera spinal stabil
Spasme otot
Fraktur kompresi baji ligament utuh
Nyeri akut
Tindakan dekompresi dan stabilisasi
Trauma servikal tipe fleksi
Ketidakefektifan pola nafas
Kompresi diskus dan kompresi akar saraf
Spasme otot
Gangguan mobilitas fisik
Prognosis penyakit Fase asuhan perioperif
Ansietas
Paralisis ekstremitas atas
(Fransisca B. Batticaca, 2008)
9
II Rencana Asuhan Klien dengan Cedera Servikal 2.1 Pengkajian 2.1.1
Riwayat Keperawatan
2.1.2
Pemeriksaan Fisik: Data Fokus
2.1.2.1
Aktifitas dan istirahat Kelumpuhan
2.1.2.2
otot
terjadi
kelemahan
selama
syok
spinal.
Sirkulasi Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat
2.1.2.3
Eliminasi Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus hilang
2.1.2.4
Integritas ego Menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri.
2.1.2.5
Pola makan Mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
2.1.2.6
Pola kebersihan diri Sangat ketergantungan dalam melakukan ADL.
2.1.2.7
Neurosensori Kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis
2.1.2.8
Nyeri/kenyamanan Nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.
2.1.2.9
Pernapasan Napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis.
2.1.2.10 Keamanan Suhu yang naik turun
10
2.1.3
Pemeriksaan Penunjang
2.1.3.1
Sinar X spinal Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2.1.3.2
CT scan Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
2.1.3.3
MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
2.1.3.4
Mielografi Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
2.1.3.5
Foto rontgen torak Memperlihatkan
keadaan
paru
(contohnya:
perubahan
pada
diagfragma, anterlektasis). 2.1.3.6
GDA Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
2.2
Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul Diagnosa 1: Nyeri akut 2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang actual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (International Association For the Study of Pain) ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan
11
2.2.2 Batasan karakteristik
Subjektif -
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri) dengan isyarat
Objektif -
Posisi untuk menghindari nyeri
-
Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas tidak bertenaga sampai kaku)
-
Respons autonomic (misalnya, diaphoresis; perubahan tekanan darah, pernapasan atau nadi; dilatasi pupil).
-
Perubahan selera makan
-
Perilaku distraksi (misalnya, mondar-mandir, mencari orang dan / atau aktifitas lain, aktifitas berulang
-
Perilaku ekpresif (misalnya, gelisah, merintih, menangis, kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsang, dan menghela napas panjang.
-
Wajah topeng (nyeri)
-
Perilaku menjaga atau sikap melindungi
-
Focus menyempit (misalnya, gangguan persepsi waktu, gangguan proses pikir, interaksi dengan orang lain atau lingkungan menurun)
-
Bukti nyeri yang dapat diamati
-
Berfokus pada diri sendiri
-
Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur atau tidak menentu, dan menyeringai)
2.2.3 Faktor yang berhubungan
-
Agens-agens penyebab cedera (misalnya, biologis, kimia, fisik, dan psikologis)
12
Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas 2.2.4 Definisi
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat 2.2.5 Batasan karakteristik
Subjektif -
Dispnea
-
Napas pendek
Objektif -
Perubahan Ekskursi dada
-
Mengambil posisi tidak titik tumpu ( tripod )
-
Bradipnea
-
Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
-
Penurunan ventilasi semenit
-
Penurunan kapasistas vital
-
Napas dalam (dewasa VT 500 ml pada saat istirahat, bayi 6-8 ml/kg)
-
Peningkatan diameter anterior-posterior
-
Napas cuping hidung
-
Ortopnea
-
Fase ekspirasi memanjang
-
Pernapasan bibir mencucu
-
Keceptasan respirasi Usia dewasa 14 tahun atau lebih : ≤ 11 atau > 24 x/menit
Usia 5 – 14 :<15 atau >25 Usia 1 – 4 :<20 atau >30 Bayi :<25 atau >60 -
Takipnea
-
Rasio waktu
-
Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernapas
2.2.6 Faktor yang berhubungan -
Ansietas
-
Posisi tubuh 13
-
Deformitas tulang
-
Deformitas dinding dada
-
Penurunan energy dan kelelahan
-
Hiperventilasi
-
Sindrom hipoventilasi
-
Kerusakan musculoskeletal
-
Imaturitas neurologis
-
Disfungsi neuromuscular
-
Obesitas
-
Nyeri
-
Kerusakan persepsu atau kognitif
-
Kelelahan otot-otot pernapasan
-
Cedera medulla spinalis
Diagnosa 3: Ansietas 2.2.7 Definisi
Perasaan tidak nyaman atau khawatir yang samar disertai respons otonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman. 2.2.8
Batasan karakteristik.
Perilaku -
Agitasi
- Mengekspresikan
-
Gelisah
kekhawatiran karena
-
Gerakan ekstra
perubahan dalam peristiwa
-
Insomnia
hidup
-
Kontak mata yang buruk
- Penurunan produktivitas
-
Melihat sepintas
- Perilaku mengntai
-
Tampak waspada
14
Afektif -
Berfokus pada diri sendiri
- Menyesal
-
Distress
- Peka
-
Gelisah
- Perasaan tidak adekuat
-
Gugup
- Putus asa
-
Kesedihan yang mendalam
- Ragu
-
Ketakutan
- Sangat khawatir
-
Menggemerutukkan gigi
- Senang berlebihan
Fisiologis Gemetar -
Peningkatan keringat
- Tremor
-
Peningkatan ketegangan
- Tremor tangan
-
Suara bergetar
- Wajah tegang
Simpatis -
Anoreksia
- Mulut kering
-
Diare
- Peningkatan denyut nadi
-
Dilatasi pupil
- Peningkatan frekuensi
-
Eksitasi kardiovaskular
-
Gangguan pernapasan
- Peningkatan refleks
-
Jantung berdebar-debar
- Peningkatan tekanan darah
-
Kedutan otot
- Vasokontriksi superfisial
-
Lemah
- Wajah memerah
pernapasan
Parasimpatis -
Anyang-anyangan
- Mual
-
Diare
- Nyeri abdomen
-
Dorongan segera berkemih
- Penurunan denyut nadi
-
Gangguan pola tidur
- Penurunan tekanan darah
-
Kesemutan pada ekstrimitas
- Pusing
-
Letih
- Sering berkemih
Kognitif -
Bloking pikiran
- Melamun 15
-
2.2.9
Cenderung menyalahkan orang
- Menyadari gejala fisiologis
lain
- Penurunan kemampuan
-
Gangguan konsentrasi
-
Gangguan perhatian
-
Konfusi
-
Lupa
-
Preokupasi
untuk belajar - Penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah - Penurunan lapang persepsi
Faktor yang berhubungan
-
Ancaman kematian
-
Ancaman pada situasi terkini
-
Hereditas
-
Hubungan interpersonal
-
Kebutuhan yang tidak dipenuhi
-
Konflik nilai
-
Konflik tentang tujuan hidup
-
Krisis maturasi
-
Krisis situasi
-
Pejanan pada toksin
-
Penularan interpersonal
-
Penyalahgunaan zat
-
Perubahan besar (mis., status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, fungsi peran, status peran).
-
Riwayat keluarga tentang ansietas
-
Stressor
Diagnosa 4: Gangguan Mobilitas Fisik 2.2.10
Definisi
Keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh atau satu atau lebih ekstremitas.
16
2.2.11
Batasan Karakteristik -
Postur tubuh yang tidak stabil selama melakukan kegiatan rutin harian
-
Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
-
Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
-
Tidak ada koordinasi atau pergerakan yang tersentak-sentak
-
Keterbatasan ROM
-
Kesulitan berbalik (belok)
-
Perubahan gaya berjalan (Misal : penurunan kecepatan berjalan, kesulitan memulai jalan, langkah sempit, kaki diseret, goyangan yang berlebihan pada posisi lateral)
-
Penurunan waktu reaksi
-
Bergerak menyebabkan nafas menjadi pendek
-
Usaha yang kuat untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian untuk aktivitas
lain,
mengontrol
perilaku,
fokus
dalam
anggapan
ketidakmampuan aktivitas)
2.2.12
-
Pergerakan yang lambat
-
Bergerak menyebabkan tremor
Faktor yang Berhubungan -
Pengobatan
-
Terapi pembatasan gerak
-
Kurang pengetahuan tentang kegunaan pergerakan fisik
-
Indeks massa tubuh diatas 75 tahun percentil sesuai dengan usia
-
Kerusakan persepsi sensori
-
Tidak nyaman, nyeri
-
Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
-
Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
-
Depresi mood atau cemas
-
Kerusakan kognitif
-
Penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau masa
-
Keengganan untuk memulai gerak
-
Gaya hidup yang menetap, tidak digunakan, deconditioning 17
2.3 Perencanaan Diagnosa 1: Nyeri Akut 2.3.1
Tujuan dan Kriteria Hasil ( Outcomes Cr iteria):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 15 menit Maka klien mampu toleransi terhadap nyeri dan mengontrol nyeri dengan kriteria hasil:
2.3.2
2.3.1.1
Data subjektif : klien mengatakan / melaporkan nyeri berkurang
2.3.1.2
Data objektif : ekspresi wajah tampak rileks, skala nyeri (0-3).
Intervensi Keperawatan dan Rasional:
2.3.2.1
Observasi kualitas nyeri pasien (skala, frekuensi, durasi). Rasional: mengidentifikasi kebutuhan untuk intervensi dan tandatanda komplikasi
2.3.2.2
Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien. Rasional: Pengalaman nyeri akan menaikan resistensi terhadap nyeri
2.3.2.3
Pertahankan posisi semi fowler sesuai indikasi. Rasional: Memudahkan drainase cairan / luka karena gravutasi dan membantu meminimalkan nyeri karena gerakan
2.3.2.4
Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, napas dalam, latihan relaksasi atau visualisasi. Rasional: Meingkatkan relaksasi dan mungkin meningkatkan kemampuan
koping
pasien
dengan
memfokuskan
kembali
perhatian. 2.3.2.5
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik. Rasional: Nyeri biasanya berat dan memerlukan pengontrol nyeri narkotik, analgetik, dihidrasi dari proses diagnosis karena dapat menutupi gejala.
18
Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas 2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil ( Outcomes Cr iteria):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan pola napas klien efektif dengan kriteria hasil : 2.3.3.1
Menunjukan Pola Pernapasan Efektif, yang dibuktikan oleh status Pernapasan: Status Ventilasi dan Pernapasan yang tidak terganggu: Kepatenan Jalan Napas dan tidak ada penyimpangan tanda vital dari rentang normal.
2.3.3.2
Menunjukan Status Pernapasan : Ventilasi tidak terganggu, yang dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut (gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, dan tidak ada gangguan):
2.3.3.3
-
Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas
-
Ekspansi dada simetris
Menunjukan tidak adanya gangguan Status Pernapasan: Ventilasi, yang dibuktikan oleh indikator berikut ( gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, dan tidak ada gangguan ) : -
Penggunaan otot aksesorius
-
Suara napas tambahan
-
Pendek napas
2.3.4 Intervensi Keperawatan Dan Rasional:
2.3.4.1
Manejemen Jalan Napas Rasional: Memfasilitasi kepatenan jalan napas
2.3.4.2
Pengisapan Jalan Napas Rasional: Mengeluaran sektret jalan napas dengan cara memasukan kateter penghisap keladam jalan napas oral atau trakea pasien
2.3.4.3
Manajemen Anafilaksis Rasional: Meningkatkan ventilasi dan perfusi jaringan yang adekuat untuk individu yang mengalami reaksi alergi berat (antigenantibodi)
19
2.3.4.4
Manajemen Jalan Napas Buatan Rasional: Memeliahara slang endotrakea dan slang trakeostomi serta
mencegah
komplikasi
yang
berhubungan
dengan
penggunaannya 2.3.4.4
Manajemen Asma Rasional: Mengidentifikasi, mengobati, dan mencegah reaksi inflamasi/konstriksi di jalan napas
2.3.4.5
Ventilasi Mekanis Rasional: Menggunakan alat buatan untuk membantu pasien bernapas
2.3.4.6
Penyapihan Ventilator mekanis Rasional:
Membantu
pasien
untuk
bernapas
tanpa
bantuan
ventilator mekanis 2.3.4.7
Pemantauan Pernapasan Rasional: Mengumpulan dan menganalisis data pasien untuk memastikan kepatenan jalan napas dan pertukaran gas yang adekuat
2.3.4.8
Bantuan Ventilasi Rasional: Meningkatkan pola pernapasan stpontan yang optimal sehingga memaksimalkan pertukaran oksigen dan karbon dioksida di dalam paru
2.3.4.9
Pemantauan Tanda Vital Rasional: Mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskular, pernapasan, dan suhu tubuh pasien untuk menentukan dan menecegah komplikasi.
Diagnosa 3: Ansietas 2.3.5 Tujuan dan Kriteria Hasil ( Outcomes Cr iteria):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan klien tidak lagi mengalami ansietas dengan kriteria hasil: 2.3.5.1
Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat. 20
2.3.5.2
Mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani.
2.3.5.3
Menunjukan keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang efektif.
2.3.6 Intervensi Keperawatan dan Rasional:
2.3.6.1
Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosuder perawatan. Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
2.3.6.2
Tunjukan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosuder bebas dari nyeri. Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan tersedia dan bahwa pemberian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya merawat luka.
2.3.6.3
Kaji status mental, termasuk suasana/hati. Rasional: Pada awal, dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukan tenang dan status mental waspada, menunjukan disosiasi
kenyataan,
yang
juga
merupakan
mekanisme
perlindungan. 2.3.6.4
Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari. Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
2.3.6.5
Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka/jujur. Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukan reaslitas situasi yang dapat membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.
21
Diagnosa 4: Gangguan Mobilitas Fisik 2.3.7 Tujuan dan Kriteria Hasil ( outcomes criteria):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan klien tidak lagi mengalami gangguan mobilitas fisik dengan kriteria hasil: 2.3.7.1
Klien meningkat dalam aktivitas fisik
2.3.7.2
Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
2.3.7.3
Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
2.3.7.4
Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
2.3.8 Intervensi Keperawatan dan Rasional:
2.3.8.1
Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional: mengevaluasi keadaan secara umum
2.3.8.2
Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa aman
2.3.8.3
Lakukan log rolling. Rasional: membantu ROM secara pasif
2.3.8.4
Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdrop
2.3.8.5
Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional: mengetahui adanya hipotensi ortostatik
2.3.8.6
Inspeksi kulit setiap hari. Rasional: gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
2.3.8.7
Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional: berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.
22
III
Daftar Pustaka
Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta. Salemba Medika. Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia. Muttaqin, Arif. 2011. Pengantar Asuhan Keperawatan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Price, S.A. dan Wilson, L.M. (2002). Patofisiology: Konsep Klinis Proses Terjadinya Penyakit . Alih bahasa : Brahm, U. Edisi 6. Jakarta: EGC. Sjamsuhidajat , Wim De Jong. (1997 ). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
23