MIMPI DAN IRISAN ROTI Tiga orang musafir menjadi sahabat dalam suatu perjalanan yang jauh dan melelahkan; mereka bergembira dan berduka bersama, mengumpulkan kekuatan dan tenaga bersama. Setelah berhari-hari lamanya mereka menyadari bahwa yang mereka miliki tinggal sepotong roti dan seteguk air di kendi. Mereka pun bertengkar tentang siapa yang berhak memakan dan meminum bekal tersebut. Karena tidak berhasil mencapai persesuaian pendapat, akhirnya mereka memutuskan untuk membagi saja makanan dan minuman itu menjadi tiga. Namun, tetap saja mereka tidak sepakat. Malampun turun; salah seorang mengusulkan agar tidur saja. Kalau besok mereka bangun, orang yang telah mendapatkan mimpi yang paling menakjubkan akan menentukan apa yang harus dilakukan. Pagi berikutnya, ketiga musafir itu bangun ketika matahari terbit. “Inilah mimpiku,” kata yang pertama. “Aku berada di tempat-tempat yang tidak bisa digambarkan, begitu indah dan tenang. Aku berjumpa dengan seorang bijaksana yang mengatakan kepadaku, „Kau berhak makan makanan itu, sebab kehidupan masa lampau dan masa depanmu berharga, dan pantas mendapat pujian.” “Aneh sekali,” kata musafir kedua. “Sebab dalam mimpiku, aku jelas-jelas melihat segala masa lampau dan masa depanku. Dalam masa depanku, kulihat seorang lelaki maha tahu, berkata, „Kau berhak akan makanan itu lebih dari kawan-kawanmu, sebab kau lebih berpengetahuan dan lebih sabar. Kau harus cukup makan, sebab kau ditakdirkan untuk menjadi penuntun manusia.” Musafir ketiga berkata, “Dalam mimpiku aku tak melihat apapun, tak berkata apapun. Aku merasakan suatu kekuatan yang memaksaku bangun, mencari roti dan air itu, lalu memakannya di situ juga. Nah, itulah yang kukerjakan semalam.”
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka. Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya. Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. “Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja. “Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon.
“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya. “Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya. “Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama kemudian, raja pun pergi.
PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini: Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, "Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam." Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, "Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu
diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu. Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu." Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu. Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati." Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu. Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?" Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba." Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba." Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?" Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba." Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu. Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba." Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?" Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?" Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya." Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia duduk?" Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu. Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Sumber Artikel Dari : http://www.info-asik.com/2012/10/contoh-hikayatterbaru.html#ixzz2ItINZUFB
Hikayat Tanjung Lesung Hikayat tanjung Lesung adalah salah satu cerita rakyat Banten yang menceritakan tentang kisah Raden Blog. Raden Bulog adalah seorang pengembara yang berasal dari Laut Selatan. Raden bulog ini terkenal memiliki watak yang keras. Dia akan selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Hingga sampai suatu hari Raden bulog bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Hati Raden Budog terpesona oleh kecantikannya. Tanpa disadarinya, kakinya melangkah mendekati gadis itu yang tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya tangan gadis itu diulurkan kepadanya. Raden Budog pun mengulurkan tangannya hendak menyambut uluran tangan gadis itu. Tapi betapa terkejutnya dia… seranting kering pohon ketapang mengenal dahinya. Raden Budog terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Dengan perasaan kesal diraihnya ranting itu dan dibantingnya keras-keras. “Ranting keparat!” gerutunya. “Kalau ranting itu tidak jatuh maka aku bisa menikmati mimpi indahku.” Setelah mimpi itu Raden Bulog selalu terbayang gadis yang ada di mimpinya itu. Lalu diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden Budog pun segera menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya. “Cek…cek…cek…, kita akan mengembara, sayang,” kata Raden Budog mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira seolah mengerti ajakan tuannya. Raden Budog lalu menghampiri kuda kesayangannya. “Kita akan mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah.” Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan golok dan batu asah yang selalu dibawanya ke mana saja dia mengembara. Setelah semuanya dirasa siap, Raden Budog segera menunggang kuda kesayangannya, berjalan ke arah utara. Di pinggangnya terselip golok panjang yang membuatnya tampak gagah dan perkasa. Sedangkan tas anyaman dari kulit terep berisi persediaan makanan, terselempang di bahunya. Sementara itu anjing kesayangannya berjalan di depan, mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya. Anjing itu kadang menggonggong menghalau bahaya yang mengancam tuannya. Lima hari perjalanan telah ditempuhnya. Walaupun begitu Raden Budog belum juga mau turun dari kudanya. Dia juga tidak menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong, begitu
pula kudanya. Pikirannya cuma terbayang-bayang pada mimpinya di tepi pantai itu. “Kapan dan di mana aku bisa bertemu gadis itu?” gumamnya dalam hati. Raden Budog terus memacu kudanya menapaki jalan-jalan terjal dan mendaki hingga tiba di Gunung Walang yang sekarang ini menjadi kampung Cimahpar. Tiba-tiba kudanya roboh. Raden Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun karena sudah sama-sama lemah, Raden Budog dari kudanIva berguling-guling di lereng gunung. Anjing kesayangannya menggonggong cemas meningkahi ringkik kuda. Raden Budog segera bangun, sekujur badannya terasa lemah dan nyeri. Sejenak Raden Budog istirahat di Gunung Walang. Dia membuka bekalnya dari makan dengan lahap. Sementara itu kudanya mencari rumput segar sedangkan anjingnya berlarian kian kemari memburu mangsanya, seekor burung gemak yang berjalan di semak-semak. “Ayo kita berangkat lagi!” Raden Budog berteriak memanggil kuda dan anjingnya. Namun dilihatnya pelana kuda itu ternyata telah robek. Dengan terpaksa Raden Budog menanggalkan pelana itu dan memutuskan untuk meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki karena dia tidak biasa menunggang kuda tanpa pelana. Mereka terus rnelangkah hingga tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali Alas namanya yang sekarang disebut Pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat melihat laut yang biru membentang dengan pantainya yang indah. Raden Budog kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai Cawar. Begitu sampai di pantai yang indah itu Raden Budog segera berlari dan terjun ke laut, berenang-renang gembira. Perjalanan yang begitu melelahkan Iitu seolah lenyap oleh segarnya air pantai Cawar. Di muara sungai Raden Budog membilas tubuhnya. lalu dicarinva kuda dan anjing kesayangannya untuk meneruskan pengembaraan. “Ayo kita berangkat lagi!” seru Raden Budog ketika dilihatnya kuda dan anjing kesayangannya itu sedang duduk di tepi pantai. Tidak seperti biasanya, kuda dan anjing kesayangannya itu diam saja seolah tak perduli ajakan tuannya. Raden Budog merasa heran. “Cepat berdiri! Ayo kita berangkat”„ Seru Raden Budog lagi. Tapi kedua binatang itu tetap duduk saja, tak bergerak sedikit pun. Anjing dan kuda itu tampak sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang, sehingga sekadar untuk berdiri pun tak sanggup lagi. “Aku harus segera menemukan gadis pujaanku. Kalau kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini!” teriak Raden Budog sambil meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing dan kuda kesayangannya. Namun kedua binatang itu tetap tidak bergeming dan menjelma menjadi karang. Sampai sekarang di pantai Cawar terdapat karang yang menyerupai kuda dan anjing sehingga disebut Karang Kuda dan Karang Anjing. Maka Raden Budog melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Dalam benaknya telah ada kesayangan lain yang ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan yang muncul dalam mimpinya itu benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya pun tertinggal di Batu Cawar. Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit terep beserta batu asah di dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog kembali merasakan kelelahan. Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi Raden Budog tidak ingin beristirahat barang sebentar. Dia terus mencoba melangkah dengan sisa tenaganya.
“Benda ini rasanya sudah tak berguna, hanya memberati pundakku saja. Lebih baik kutinggalkan saja di sini,” gumam Raden Budog. Diambilnya batu asah itu dari dalam tasnya dan diletakkannya di tepi jalan. “Biarlah batu ini menjadi kenangan,” gumamnya lagi. Demikiamah, sampai saat ini di Legon Waru terdapat sebuah karang yang dikenal dengan Karang Pengasahan. Berhari-hari Raden Budog terus mengembara menyusuri pesisir pantai. Wajah gadis yang menghiasi mimpinya memenuhi pikirannya sepanjang perjalanan, menyalakan semangat dalam dadanya. Rasa bosan, lelah dan letih tak dihiraukannya. Juga pakaiannya yang mulai lusuh dan badannya yang berdebu. Suatu ketika hujan turun dengan derasnya, Raden Budog berlindung di bawah pohon. Dari balik pasir, tiba-tiba berhamburan penyu-penyu besar dan kecil menuju laut. Penyu-penyu itu seakan gembira menyambut datangnya air hujan. Tempat itu kini dikenal dengan nama Cipenyu. Sesaat kemudian Raden Budog melanjutkan perjalanannya setelah mengambil daun pohon langkap yang dijadikannya sebagai payung agar tidak kehujanan. Namun hujan terus melebat, tidak ada pertanda akan reda. Mendung tampak semakin menghitam dan bergerak dari selatan menuju utara. “Mudah-mudahan ada gua di sekitar sini. Aku harus berlindung dan beristirahat sejenak,” gumam Raden Budog. Dan betapa gembiranya Raden Budog ketika dilihatnya sebuah bukit karang yang menjorok. Raden Budog pun mempercepat langkah dan masuk ke dalam gua. Ditutupnya pintu gua dengan daun langkap sehingga gua itu pun menjadi gelap gulita. Beberapa saat Raden Budog beristirahat melepas lelah sambil menunggu hujan reda. Tapi Raden Budog merasa tidak nyaman berada dalam gua yang gelap gulita itu. Dibukanya daun langkap yang menutupi pintu gua. Seberkas sinar menerobos masuk. Ternyata hujan telah reda. Raden Budog pun keluar dan ditutupnya kembali mulut gua itu dengan daun langkap. Sampai saat ini pintu gua itu tetap tertutup daun langkap yang membatu dari dikenal dengan nama Karang Meumpeuk. Tidak jauh dari Karang Meumpeuk, tibalah Raden Budog pada sebuah muara sungai yang airnya sangat deras. Hujan yang baru saja turun memang sangat lebat, sehingga tidak mengherankan jika sungai-sungai menjadi banjir. Raden Budog terpaksa menghentikan perjalanannya dan duduk di atas batu memandangi air sungai yang meluap. Sayup-sayup terdengar bunyi lesung dariseberang sungai. Hati Raden Budog berdebar dipenuhi rasa sukacita. Dia merasa yakin, di seberang sungai terdapat kampung tempat tinggal gadis pujaannya yang selama ini dia cari. “Dasar kali banjir!” gerutu Raden Budog tak sabar menunggu banjir surut. Tempat ini sampai sekarang terkenal dengan Kali Caah yang berarti kali banjir. Karena sudah tidak dapat menahan sabar, akhirnya Raden Budog menyeberangi sungai itu walaupun dengan susah payah dan dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Di pitltu masuk kampung, Raden Budog beristirahat, rnengitarkan pandang ke arah kampung. Hatinya mulai merasa tenang karena merasa akan segera bertemu dengan gadis yang dimimpikannya. Di kampung itu tinggallah seorang janda bernama Nyi Siti yang memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Sri Poh Haci namanya. Setiap hari Dri Poh Haci membantu ibunya mnumbuk padi menggunakan lesung yang dipukul-pukulnya itu menimbulkan suara yang sangat merdu dan indah. Oleh sebab itu, setiap kali selesai menumbuk padi, Sri Poh Haci tidak segera berhenti, tapi terus memukul-mukul lesung itu hingga terangkatlah nada yang merdu dan enak didengar. Dimulai dari sinilah akhirny banyak gadis kampung yang berdatangan ke rumah Nyi Siti untuk ikut memukul lesung bersama Nyi Poh Haci.
Kebiasaan memukul lesung akhirnya menjadi tradisi kampung itu. Sri Poh Haci merasa gembira dapat menghimpun gadis-gadis kampung bermain lesung. Permainan ini oleh Sri Poh Haci diberi nama Ngagondang, yang kemudian dijadikan acara rutin setiap akan menanam padi. Tapi pada setiap hari Jum‟at dilarang membunyikan lesung, karena hari Jum‟at adalah hari yang keramat bagi kampung itu. Raden Budog yang sedang beristirahat di pintu masuk kampung kembali mendengar bunyi lesung yang mengalun merdu. Kemudian dia berdiri dan melangkahkan kaki menuju ke arah sumber bunyi-buny‟in itu. Bunyi lesung terdengar semakin keras. Di dekat sebuah rumah, dilihatnya gadis-gadis kampung sedang bermain lesung. Tangan mereka begitu lincah dan trampil mengayunkan alu ke lesung, membentuk nada-nada mempesona. Tapi yang lebih mempesonakan Raden Budog adalah seorang gadis semampai yang cantik jelita. Gadis itu mengayunkan tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya gadis itu adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis yang sedang bermain lesung itu. Merasa ada yang memperhatikan, gadis itu, Sri Poh Haci, memberikan syarat kepada gadis-gadis lainnya untuk menghentikan permainan. Gadis-gadis itu pun bergegas pulang ke rumah masingmasing. Begitu pula Sri Poh Haci. Di dalam rumah, ibunya bertanya kepada Sri Poh Haci, mengapa permainannya hanya sebentar. Sri Poh Haci lalu menceritakan bahwa di luar ada seorang lelaki tampan yang belum pernah dilihatnya. “Laki-laki itu memperhatikanku terus. Aku jadi malu, Bu,” kata Sri Poh Haci. Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan pintu. “Sampurasun.” “Rampes,” jawab Nyi Siti seraya berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Dilihatnya seorang pemuda yang gagah lagi tampan berdiri di depan pintu. Belum sempat Nyi Siti berbicara, pemuda itu sudah mendahului membuka suara. “Maaf mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ini?” Nyi Siti tentu saja kaget mendengar permintaan dari orang yang tak dikenalnya. “Kisanak ini siapa? Dari mana asalnya? Mengapa pula hendak menginap di sini? Saya belum kenal dengan Kisanak,” kata Nyi Siti. “Oh, ya. Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Raden Budog. Saya seorang pengembara. Saya tak punya tempat tinggal. Kebetulan saya sampai di kampung ini, dan kalau diperbolehkan saya ingin menginap di sini,” jelas Raden Budog. “Maaf, Kisanak. Saya seorang janda dan tinggal dengan anak perempuan saya satu-satunya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi sampai menginap,” jawab Nyi Siti dengan tegas dan segera menutup pintu. Hari sudah mulai gelap. Raden Budog yang merasa kesal oleh kejadian yang baru saja dialaminya berjalan menuju bale-bale bambu di dekat rumah Nyi Siti. Dia merebahkan tubuhnya dan segera tertidur pulas. Dia pun bermimpi diijinkan menginap di rumah itu. Bukan oleh Nyi Siti yang menyebalkan itu, tapi oleh seorang gadis cantik yang dia temui dalam mimpinya di pantai selatan, gadis yang tadi dilihatnya sedang bermain gondang. Ah, betapa senangnya hati Raden Budog. Namun waktu begitu cepat berlalu. Matahari mulai muncul di ufuk timur. Raden Budog terbangun, mengusap-usap matanya yang masih mengantuk. Hidungnya mencium wangi kopi yang menyegarkan. Kemudian dilihatnya seorang gadis cantik menyuguhkan segelas kopi di sampingnya.
“Minum dulu kopinya, Raden,” kata gadis itu. “Kamu siapa? Dari mana kamu tahu namaku?” tanya Raden Budog, walau sesungguhnya dia tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti. “Namaku Sri Poh Haci, anak Nyi Siti.” Hari berganti hari. Kedua insan itu pun jatuh cinta. Nyi Siti sebenarnya tidak setuju bila anaknya dipinang oleh orang yang tidak diketahui asal-usulnya, apalagi orang itu kelihatan keras kepala. Tapi Nyi Siti juga tidak ingin mengecewakan hati Sri Poh Haci, anaknya yang semata wayang itu. Akhirnya Raden Budog menikah dengan Sri Poh Haci. Kesenangan Sri Poh Haci menabuh lesung tetap dilanjutkan bersama gadis-gadis kampung. Bahkan Raden Budog sendiri menjadi sangat mencintai bunyi lesung dan turut memainkannya. Hingga suatu ketika, terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan sama sekali oleh penduduk kampung itu. Karena sangat senangnya terhadap bunyi lesung, Raden Budog yang keras kepala itu setiap hari tidak mau berhenti menabuh lesung. Hari itu hari Jum‟at. Raden Budog kembali hendak menabuh lesung. Para tetua kampung memperingatkan dan melarang Raden Budog. Tapi Raden Budog tidak perduli dan tetap menabuh lesung. Dengan hati girang dan bersemangat, Raden Budog terus menabuh lesung seraya melompat-lompat kian kemari. “Lihat, lihat! Ada lutung memukul lesung! Ada lutung memukul lesung!” Penduduk kampung berteriak-teriak melihat seekor lutung sedang memukul-mukul lesung. Raden Budog terperanjat mendengar teriakan-teriakan Itu. Dia melihat ke sekujur tubuhnya. Betapa kagetnya dia setelah melihat tangarnnya penuh bulu. Begitu pula kakinya. Dirabanya mukanya yang juga telah ditumbuhi bulu. Raden Budog pun lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir kampung itu. Raden Budog menjadi lutung. Penduduk kampung itu menamainya Lutung Kesarung. Sri Poh Haci sangat malu dengan kejadian itu. Diam-diam dia pergi meninggalkan kampung. Konon Sri Poh Haci menjelma menjadi Dewi Padi. Demikianlah ceritanya, kampung itu pun terkenal dengan sebutan Kampung Lesung dan karena letaknya di sebuah tanjung, orang-orang kemudian menyebutnya Tanjung Lesung.
Hikayat Prang Sabi SEPTEMBER 5, 2012 TINGGALKAN KOMENTAR Salam alaikom walaikom teungku meutuah Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe Amanah nabi…ya nabi hana meu ubah-meu ubah Syuruga indah…ya Allah pahala prang sabi Ureueng syahid la syahid bek ta khun mat Beuthat beutan…ya Allah nyawoung lam badan Ban sar keunung la keunung senjata kaf la kaf Keunan datang…ya Allah pemuda seudang Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugur disinan-disinan neuba u dalam-u dalam Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi Ija puteh la puteh geusampoh darah Ija mirah…ya Allah geusampoh gaki Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan Wat tapandang…ya Allah seunang lam hatee Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadôh di badan Geuganto le tuhan…ya Allah deungan kasturi Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang Neubi beu mayang…ya Allah Aceh mulia Subhanallah wahdahu wabi hamdihi Khalikul badri wa laili adza wa jalla Ulon peujoe poe sidroe poe syukur keu rabbi ya aini Keu kamoe neubri beusuci Aceh mulia Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teubuh Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang Allah peulang dendayang budiadari Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi Budiyadari meuriti di dong dji pandang Di cut abang jak meucang dalam prang sabi Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi Hikayat Si miskin SEPTEMBER 5, 2012 TINGGALKAN KOMENTAR Karena kutukan Batara Indra, raja keindraan beserta istrinya jatuh miskin, melarat, dan terluntalunta di Kerajaan Antah Berantah yang diperintah oleh Maharaja Indra Dewa. Setiap hari si Miskin mencari sisi-sisa makanan yang sudah dibuang orang di tempat-tempat sampah. Apabila penduduk melihatnya, mereka beramai-ramai menghina, memukul, dan mengusir si Miskin suami-istri itu, sehingga badannya luka-luka. Sedih hati si Miskin sepanjang hari dan tidak berani masuk kampung karena takut dipukul atau dilempari batu. Diambilnya daun-daun muda untuk dimakan dan untuk pengobat luka di tubuhnya. Demikianlah pengalaman dan penderitaan mereka sepanjang hari. Ketika mengandung 3 bulan, istrinya mengidamkan buah mempelam (sejenis mangga) yang tumbuh di halaman istana raja. Dimintanya agar suaminya (si Miskin) meminta buah mempelam
itu kepada raja. Mendekat kampung saja suaminya tidak berani, apalagi hendak menghadap raja minta buah mempelam itu. Dengan sedih dan meratap istrinya memohon supaya suaminya mau meminta mempelam raja itu. Karena kasihan kepada istrinya si Miskin mencoba meminta mempelam itu. Tiada disangka-sangka, raja sangat bermurah hati dan memberikan mempelam yang diminta si Miskin. Buah lain seperti nangka pun diberi raja. Penduduk kampung yang melihatnya jatuh kasihan dan bermurah hati memberi si Miskin kue dan juadah (kue basah). Mungkin berkat tuah anak.yang dikandung istrinya juga hal yang demikian itu terjadi. Pada hari baik, setelah cukup bulannya, istri si Miskin melahirkan seorang putra yang sangat elok parasnya. Anak itu diberi nama Marakermah yang artinya anak dalam penderitaan. Ketika si Miskin menggali tanah untuk memancangkan tiang atap tempat berteduh, tergali olehnya taju (topi mahkota) yang penuh berhias emas. Dengan kehendak Yang Mahakuasa, terjadilah sebuah kerajaan lengkap dengan alat, pegawai, pengawal, dan sebagainya di tempat itu. Si Miskin menjadi rajanya dengan nama Maharaja Indra Angkasa dan istrinya menjadi permaisuri dengan nama Ratna Dewi. Kerajaan itu mereka namakan Puspa Sari. Kerajaah Puspa Sari terkenal ke mana-mana. Pemerintahannya baik, rakyatnya aman, damai, makmur, dan sentosa. Tiada lama kemudian lahirlah pula adik Marakermah yang diberi nama Nila Kesuma. Bertambah mashurlah kerajaan Puspa Sari dan bertambah pula iri hati Maharaja Entah Berantah. Kemudian tersiar kabar, bahwa Maharaja Indra Angkasa mencari ahli nujum untuk mengetahui peruntungan kedua anaknya kelak. Kesempatan ini dipergunakan Maharaja Indra Dewa. Semua ahli nujum dikumpulkannya dan dihasutnya supaya mengatakan kepada Indra Angkasa bahwa Marakermah dan Nila Kesuma akan mendatangkan mala petaka dan akan menghancurkan kerajaan Puspa Sari. Semua ahli nujum mengatakan seperti yang dihasutkan oleh Maharaja Indra Dewa. Mendengar kata-kata ahli nujum itu sangatlah murka Maharaja Indra Angkasa. Marakermah dan adiknya hendak dibunuhnya. Permaisuri Ratna Dewi menangis tersedu-sedu, memelas dan memohon kepada suaminya supaya kedua putranya jangan dibunuh. Ia tak tahan hati melihat kedua anaknya diperlakukan demikian. Dimohonnya kepada suaminya supaya dibiarkan saja kemana perginya mereka. Sambil disepak dan diterjang, pergilah kedua anak itu mengembara tanpa tujuan. Sesaat setelah mereka pergi, kerajaan Puspa Sari terbakar habis, semuanya musnah. Sampai di kaki bukit, berteduhlah Marakermah dengan adiknya, Nila Kesuma, di bawah sebatang pohon dalam keadaan lapar. Tertangkaplah oleh Marakermah seekor burung yang sedang hinggap di dekatnya. Karena lapar, mereka hendak memakan burung itu, dan berusaha hendak memasaknya lebih dahulu. Datanglah mereka ke pondok seorang petani hendak minta api untuk membakar burung itu. Tiba-tiba mereka ditangkap petani karena dituduh hendak mencuri. Keduanya dilemparkan ke laut dan diterjang ombak ke sana kemari. Nila Kesuma akhirnya terdampar di pantai dan ditemukan oleh Raja Mengindra Sari, putra mahkota kerajaan Palinggam Cahaya. Nila Kesuma dibawa ke istana, kemudian dipersunting raja Mangindra Sari, menjadi permaisurinya dengan gelar Putri Mayang Mengurai. Marakermah dibawa arus dan terdampar di pangkalan (tempat mandi di pantai) nenek gergasi (raksasa tua). Kemudian ia diambil dan dimasukkan dalam kurungan di rumahnya. Kebetulan di situ telah dikurung pula Putri Raja Cina bernama Cahaya Khairani yang tertangkap lebih dahulu. Mereka ini akan dijadikan santapan sang gergasi.
Sebuah kapal besar menghampiri perahu mereka dan mereka ditangkap lalu dimasukkan ke kapal. Nahkoda kapal jatuh cinta kepada Cahaya Khairani. Cahaya Khairani dipaksa masuk ke kamar nakhoda dan Marakermah dilemparkan ke laut. Kapal meneruskan pelayarannya. Dalam keadaan terapung-apung, setelah kapal berlayar jauh Marakermah ditelan seekor ikan nun (ikan yang sangat besar). Ikan itu terdampar di pangkan Nenek Kebayan. Seekorburung rajawali terbang di atas pondok Nenek Kebayan dan memberitahukan supaya perut ikan nun yang terdampar di pantai itu ditoreh (dibuka) hati-hati, karena di dalamnya ada seorang anak raja. Petunjuk burung itu diikuti Nenek Kebayan dan setelah perut ikan nun ditoreh, keluarlah Marakermah dari dalamnya. Mereka sama-sama senang dan gembira. Lebih-lebih Nenek Kebayan yang mendapatkan seorang putra yang baik budi. Marakermah tinggal di rumah Nenek Kebayan dan sehari-hari turut membantu membuat karangan bunga untuk dijual dan dikirim ke negeri lain. Dan cerita Nenek Kebayan tahulah Marakermah, bahwa permaisuri kerajaan tempat tinggal mereka bernama Mayang Mengurai yang tidak lain daripada seorang putri yang dibuang ke laut oleh seorang petani ketika hendak mencari api untuk membakar seekor burung bersama kakaknya. Yakinlah Marakermah bahwa putri itu sesungguhnya adiknya sendiri. Kebetulan Cahaya Khairani maupun Mayang Mengurai sangat menyukai karangan bunga Nenek Kebayan yang sebenarnya Marakermahlah yang merangkainya. Pada suatu ketika dicantumkannya namanya dalam karangan bunga itu. Dari nama itu Cahaya Khairani dan Nila Kesuma mengetahui bahwa Marakermah masih hidup. Bertambah dalam cinta Cahaya Khairani kepada kekasihnya. Demikian juga Nila Kesuma bersama suaminya, berkemauan keras untuk segera mencari kakaknya, Marakermah, ke rumah Nenek Kebayan itu. Betapa gembira mereka atas pertemuan itu tak dapat dibayangkan. Dengan mudah pula Marakermah bersama iparnya, Raja Palinggam Cahaya, dapat menemukan tempat Cahaya Khairani disembunyikan oleh nakhoda kapal. Setelah Cahaya Khairani ditemukan, dan ternyata ia belum ternoda oleh sang nakhoda, maka dilangsungkanlah acara pernikahan antara Marakermah dengan Cahaya Khairani, dan nakhoda yang menggoda Cahaya Khairani dibunuh di Kerajaan Palinggam Cahaya. Marakermah bersama Cahaya Khairani kemudian pergi ke tempat ayah-bundanya yang telah jatuh miskin di Puspa Sari. Dengan kesaktiannya, Puspa Sari yang telah lenyap itu diciptakannya kembali menjadi kerajaan yang lengkap dengan isinya di daratan Tinjau Maya, yaitu Mercu Indra. Kemudian ia dinobatkan di sana menggantikan mertuanya.
Hikayat Indraputera Indraputera, putra Maharaja Bikrama Puspa adalah seorang putera yang sangat arif bijaksana, lagi terlalu perkasa dan saktinya. Tetapi nasibnya mula-mula tidak seberapa mujur. Semasa masih kecil, ia telah diterbangkan oleh sekor merak emas. Ia jatuh di suatu taman dan dipelihara oleh nenek kebayan. Sesudah beberapa lama ia diangkat menjadi anak perdana menteri. Tersebutlah perkataan Raja Syahsian tiada mempunyai seorang anak. Pada suatu hari baginda pergi berburu dan melihat seekor kijang menangisi ibunya yang telah dipanah mati. Baginda
terharu dan ingin berputera. Kemudian terdengar khabar bahwa di sebuah gunung yang jauh ada tinggal seorang maharesi pertapa yang terlalu sakti, Berma Sakti namanya. Barang siapa ingin beranak boleh meminta obat daripadanya. Akan tetapi, karena tempat gunung terlalu jauh dan harus melewati hutan rimba yang penuh dengan binatang buas, tiada seorang pun yang sanggup pergi ke gunung itu. Indraputera menawarkan diri untuk pergi ke gunung itu. Maka pergilah Indraputera mencari obat itu. Bermacam-macam pengalaman dialami. Ia pernah bertemu dengan tengkorak yang dapat berkata-kata, membunuh raksasa dan bota yang makan manusia. Ia juga pernah mengunjungi negeri jin Islam, negeri yang penghuninya kera belaka dan kalau siang hari menjadi manusia. Ia bersahabat dengan anak raja-raja yang berasal dari golongan manusia dan jin. Berbagai hikmat diperolehnya; ada hikmat yang dapat menciptakan negeri langkap dengan segalanya, menciptakan angin ribut, menghidupkan orang yang telah mati. Akhirnya sampai ia di gunung tempat pertapaan Berma Sakti. Berma Sakti memberikan obat kepada Indraputera; di samping itu Indraputera juga diajar berbagai hikmat. Berkata Berma Sakti kepada Indraputera,” Hai anakku, pejamkan matamu dan citalah barang yang engkau kehendaki niscaya sampailah ke tempat itu”. Indraputera memejamkan matanya. ketika dibuka matanya, ia sudah ada kembali di kebun nenek kebayan di negerinya. Raja Syahsian dan perdana menteri sangat gembita. Setelah memakan obat yang dibawa Indraputera, yaitu sekuntum bunga tunjung, permaisuri hamillah dan melahirkan seorang anakyang elok parasnya yang dinamakan Tuan Puteri Indra Seri Bulan. Pada suatu ketika Indraputera dituduh berbuat jahat dengan dayang-dayang istana dan akhirnya Indraputera dibuang di sebuah negeri yang kotanya terbuat dari batu hitam. Raja negeri ini sangat memuliakan Indraputera dan memberikan hadiah sehelai kain yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit kepada Indraputera. Tuan Puteri Indra Seri Bulan pun besarlah. Ramai anak raja yang datang meminang tuan puteri. Tidak lama kemudian, tuan puteri pun sakit dan semua tabib istana tidak dapat menyembuhkan. Maka gong pun dipalu,” Barang siapa dapat mengobati tuan puteri, jika hina sekalipun bangsanya akan diangkat menjadi menantu raja.” Indraputera muncul dan menyembuhkan tuan putri. setelah dengan berbagai masalah yang menerjang akhirnya Indraputera dapat meminang Tuan Puteri Indra Seri Bulan.
Contoh Hikayat Hikayat Patani Phaya Tu Kerub Mahajana ialah raja di kota Maligai. Ia digantikan olehp u t r a n y a y a n g b e r n a m a P h a y a T u T a q p a , y a n g k e s e n a n g a n n y a b e r b u r u sebagaimana orangorang besar pada masanya. Pada suatu ketika, seekor pelanduk putih yang tengah diburunya, menghilang di dekat tempat kediamanseorang tua yang bernama Encik Tani. Diambil dari nama orang itulah, kerajaanyang didirikannya kelak di tempat itu diberi nama Patani. Setelah islam masuk,Raja Phaya Tu Naqpa berganti gelar Sultan Ismail Syah Zilullah Fil Alam. Sejaksaat itu, seluruh rakyat Patani menjadi Islam.Sepeninggal baginda, pemegang kerajaan digantikan oleh putranya yangsulung, Sultan Mudhaffar Syah. Ia mengadakan hubungan
persahabatan denganB e r a c a u , R a j a S i a m d a n b a h k a n m e m p e r o l e h i s t r i . D a r i i s t r i n y a i a b e r o l e h seorang putra, Sultan Patik Siam. Namun, ia berkhianat terhadap Beracau.B e r a c a u d i t u r u n k a n d a r i t a k h t a d a n d i p a k s a m e n i n g g a l k a n i s t a n a . A k i b a t tindak an yang menimbulkan salah paham, ia beserta para pengiringnya dapatdikalahkan kembali sehingga Beracau kembali menduduki takhta kerajaan.A d i k n y a y a n g m e n y e r t a i n y a , M a n z u r S y a h , m e n i n g g a l k a n S i a m . N a m u n , Mudhaf far sendiri tinggal di Siam dan tidak diketahui akhir kesudahannya.Sultan Manzur Syah pun menggantikannya menjadi raja di Patani. Padamasa pemerintahannya, Patani dua kali berturutturut diserang oleh Palembang.N a m u n , a k h i r n y a s e r a n g a n i t u d a p a t d i g a g a l k a n . H u b u n g a n d e n g a n S i a m diperbaiki dengan mengirimkan suatu perutusan di bawah pimpinan Seri Agar.S e p e n i n g g a l S u l t a n M a n z u r S y a h t e r j a d i k e r i c u h a n d i d a l a m n e g e r i u n t u k memperebutkan mahkota. Tiga orang raja yang memerintah sesudahnya, yaituS u l t a n P a t i k S i a m , R a j a B a m b a n g , d a n S u l t a n B a h d u r , b e r t u r u t t u r u t m a t i terbunuh dalam intrik itu.Kemudian, datanglah masa pemerintahan rajaraja putri, putri SultanManzur Syah, yaitu Raja Ijau, Raja Biru, Raja Ungu, Raja Emas, Raja Bima (pria)dan Raja Kuning. Raja Kuning adalah anggota Dinasti Phaya Tu Kerub Maharajayang terakhir. Kemudian, Dinasti Kelantan menduduki tahta Kerajaan Patani
Hikayat Hang Tuah Hang Tuah lahir dari Ibu yang bernama Dang Merduwati, sementara Ayahnya bernama Hang Mahmud. Karena kesulitan hidupnya, mereka pindah ke Pulau Bintan, tempat raja bersemayam, dengan harapan mendapat rezeki di situ. Mereka membuka warung dan hidup sangat sederhana. Semua sahabat Hang Tuah berani. Mereka itu adalah Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Pernah suatu ketika mereka berlima pergi berlayar. Di tengah lautan dihadang oleh gerombolan perampok yang banyak sekali. Hang Tuah menggunakan taktik, membawa mereka ke darat. Di sana mereka melakukan perlawanan. Sepuluh perampok mereka tewaskan, sedangkan yang lain melarikan diri. Dari beberapa orang yang dapat ditawan, mereka mengaku dari daerah Siantan dan Jemaja atas perintah Gajah Mada di Majapahit. Sebenarnya mereka diperintahkan untuk menyerang Palembang tetapi angin kencang membawa mereka tersesat di Melaka. Akhirnya, keberanian Hang Tuah dan kawan-kawannya sampai juga kepada raja sehingga raja berkenan kepada mereka. Suatu ketika ada orang yang mengamuk di pasar. Orang-orang lari ketakutan. Hang Tuah jugalah yang dapat membunuh orang itu. Hang Tuah lalu diangkat menjadi biduan istana (pelayan raja). Saat itu dia diminta menyerang ke Palembang yang diduduki orang Siantan dan Jemala. Hang Tuah sukses, lalu dia diangkat menjadi Laksamana. Berkali-kali Hang Tuah diutus ke luar negeri; ke Tiongkok, Rum,
Majapahit, dan dia pernah pula naik haji. Akhir hayatnya, Hang Tuah berkhalwat di Tanjung Jingara.
-
HIKAYAT RADEN KIAN SANTANG Kian santang adalah Tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya melogenda khususnya di hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf di tanah air pada umumnya. Tokoh kian-santang ini pertama kali berhembus di kisahkan oleh raden CAKRABUANA atau pangeran walangsungsang ketika menyebarkan islam di tanah cirbon dan pasundan.pangeran cakrabuana adalah anak dari prabu sili-wangi atau jaya dewata raja pajajaran, yang di lahirkan dari permisuri yang bernama nyai subang larang ,subang-larang sendiri anak dari mubaliq kondang yaitu syeh maulana-hasanudin atau terkenal dengan syeh kuro krawang Mulanya yaitu ,Ketika raden walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan galuh pakuan atau pajajaran ,yang di sbeapkan oleh keberbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang memeluk agama ”shangyang” , diriwayatkan beliau berkelana mensyi’arkan islam bersama adiknya yaitu rara santang (ibu dari syarif hidayatullah atau ”sunan gunung jti”).dengan membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal-bakal kerajaan cirebon atau kasunanan cirebon yang sekarang adalah ”cirebon” Logenda kian-santang sendiri diambil dari referensi kisah nyata, dari tanah sunda tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi di perpustakaan kerajaan pajajaran. Karena pajajaran adalah yang menyatukan kerajaan ”galuh” dan kerajaan ”pakuan”,yang dimana kerajaan galuh adalah pecahan dari kerajaan ”sundapura” tempo dulu , dan sunda pura sendiri adalah pecahan kerajaan taruma negara, yang di masa prabu PURNA-WARMAN yaitu raja ketiga dari kerajaan taruma negara yang di pecah menjadi dua yaitu tarumanegara dan sundapura. yang secara historic pajajaran masih menjadi pewaris dari taruma negara Di mana di kisahkan pada waktu itu yaitu abad ke 4m atau tahun 450m pernah terdapat putra mahkota yang sakti mandraguna bernama GAGAK LUMAYUNG yang dalam ceritanya ”di tataran suda dan sekitarnya, tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya .hingga suatu saat datang pasukan dari dinasti TANG yang hendak menaklukkan kerajaan tarumanegara. namun berkat gagak lumayung ,pasukan TANG dapat di halau dan tunggang-langgang . semenjak itu raden gagak lumayung di beri sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan tang” Di ceritakan sang kiansantang ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya sendiri.
Sampailah di suatu ketika sa’at dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwah di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna Konon : dengan Ajian Napak Sancangnya Raden Kian Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. ”Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek ,dan padanya dia minta untuk di tunjukan di mana orang sakti yang kian santang maksud tersebut”. Dan dengan senang hati si-kakek tersebut menyanggupinya dan sementara dia mengajak beliau ”Raden Kian Santang” untuk mampir dulu ke rumahnya. Al-kisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta raden Kian Santang untuk mengambilkanya, konon dikisahkan si-kian santang tak mampu mencabutnya sampai tanganya berdarah-darah ,disitulah kian santang baru sadar kalau kakek itu adalah orang yang di carinya. Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang di ajarkan sang kakek tadi ”yang akhirnya menjadi guru spiritualnya” tongkat tersebut dapat di cabut .dan siapakah kakek tersebut ?, ya dia adalah Syaidina ali r.a menantu dari baginda Nabi Muhamad s.a.w. Cerita tersebut membumi sekali cerita tersebut di kisahkan oleh Raden Walang Sungsang atau Pangeran Cakrabuana sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi cirebon Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka raden walangsungsang adalah kian santang bahkan ada yang menafikan Kian Santang adalah adik Cakrabuana dan kakak dari Rara Santang. Raden Walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan Kerajaan Pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya Yang di mana kian santang setelah pulang dari arab dia ingin meng-islamkan ayahnya prabu purnawarman namun di tolaknya dan kian santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya yaitu darmayawarman Begitu pula raden walang sungsang yang pernah merantau ke arab dan meningkahkan adiknya rara santang dengan saudara anak sepupu darinya pernikahan berlangsum di mesir yang dari perkimpoian ini lahirlah raden syarif hidayatullah atau sunan gunung jati. Keinginan Walangsungsang untuk meng-islamkan Prabu Siliwangi di tolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau bertapa ”konon beliau menjelma macan putih” Pengambilan kisah seperti ini pernah pula terjadi di kerajaan panjalu atau kediri, suaktu panjalu menaklukkan jenggala yang dimana dulunya jenggala dan panjalu adalah kerajaan satu yaitu kahuripan yang di bagi dua oleh prabu airlangga karena kedua anaknya menginginkan tahta semuanya :jenggala dan panjalu . Pada waktu panjalu menaklukkan jenggala rajanya adalah prabu jayabaya .atas permintaanya di suruhlah empu panuluh untuk menjiplak kitab maha barata namun di verifikasi gaya jawa.
Sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara panjalu atas jenggala. Juga kisah serupa pernah hadir ketika gerakan penyebar islam WALI SONGO menurut banyak kalangan membuat cerita al-halaq versi indonesia yaitu Syeh Siti Jenar. Yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.