TUGAS BEDAH SYARAF CASE REPORT STUDIES CEDERA MEDULA SPINALIS
Oleh : Sarah Nabila Istiqomah, S.Ked
Perceptor : dr. Agung Sulistiono Sp. BS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD DR H ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2018
KATA PENGANTAR
Assalammu alaikum alaikum wr. wb. ’
Alhamdulillah, Alhamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun tugas Case Report Studies dengan judul Cedera Medula Spinalis.
Selanjutnya, tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik di RSUD Abdul Moeloek Stase Bedah bidang Bedah Saraf dengan pembimbing yaitu dr. Agung Sulistiono Sp.BS. Saya menyadari kekurangan dalam penulisan tugas ini, baik dari bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu, Saya mohon maaf atas segala kekurangan. Kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan, guna untuk kesempurnaan laporan ini dan perbaikan untuk kita semua.
Semoga karya ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita semua.
Wassalamu alaikum alaikum wr.wb. ’
Bandar Lampung,
April 2018
KATA PENGANTAR
Assalammu alaikum alaikum wr. wb. ’
Alhamdulillah, Alhamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun tugas Case Report Studies dengan judul Cedera Medula Spinalis.
Selanjutnya, tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik di RSUD Abdul Moeloek Stase Bedah bidang Bedah Saraf dengan pembimbing yaitu dr. Agung Sulistiono Sp.BS. Saya menyadari kekurangan dalam penulisan tugas ini, baik dari bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu, Saya mohon maaf atas segala kekurangan. Kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan, guna untuk kesempurnaan laporan ini dan perbaikan untuk kita semua.
Semoga karya ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu pengetahuan untuk kita semua.
Wassalamu alaikum alaikum wr.wb. ’
Bandar Lampung,
April 2018
Status Pasien Nama
:T
Umur
: 47 th
Pekerjaan
: Supir
Alamat
:
Jenis Kelamin: Laki-laki Bangsa
: Indonesia
Agama
: Islam
ANAMNESIS Keluhan Utama
Tidak bisa berjalan, kaki lemas sudah 2 bulan yang lalu, kaki terasa kebas Keluhan Tambahan
(-) Riwayat Penyakit
Pasien 3 bulan yang lalu memiliki riwayat mengangkat beban berat berupa kayu untuk bahan bangunan di bahu kanan, lalu terasa bunyi krek dan pasien merasakan nyeri pinggang. Nyeri terus menerus dirasakan, pasien telah berobat ke Rumah Sakit dan sudah dilakukan pemeriksaan MRI, diterapi fisioterapi selama 2 bulan namun pasien tidak bisa berjalan/ kelemahan kedua tungkai. Pasien mengaku telah melakukan urut 1 kali setelah kejadian. Riwayat Penyakit Dahulu
Darah tinggi (-), Kencing manis (-) Riwayat Pekerjaan
Pekerjaan sehari-hari sebagai supir kendaraan, ada riwayat mengangkat beban berat dan terjatuh terduduk dirumah (kaki (kaki mulai terasa lemah)
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN FISIK A. Status Present a. Status Umum
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang (GCS 15)
Kesadaran: Compos mentis Keadaan Gizi: Baik Kulit: Turgor kulit baik b. Pemeriksaan Fisik Tanda Vital
TD = 120/80 mmHg
HR = 94x/menit
RR = 20x/menit
T = 36oC
Kepala
: simetris, normocephal
Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor Telinga
: otorrhea (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung
: Deviasi septum nasi (-), deformitas os nasal (-)
Mulut: •
Bibir : bibir simetris, sianosis (-), mukosa lidah kemerahan
•
Lidah : lidah kotor (-), tremor (-)
•
Gigi
: gigi tanggal (-)
: simetris, pembengkakan KGB (-), peningkatan JVP (-)
Leher Thorax
I : Simetris, lesi (-)
P: Nyerti tekan (-), Fremitus taktil normal pada hemithorax kanan dan kiri
P: Sonor (+/+)
A : Bunyi nafas vesikuler(+/+)
Abdomen:
I: datar, massa (-), asites (-), laserasi (-), bekas operasi (-)
P: nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-), turgor baik
P: timpani
A: bising usus (+) normal
Regio Flank
I : jejas (-), massa (-), bekas operasi (-)
P : nyeri tekan (-)
P : nyeri ketok (-)
A : bruit (-)
Ektremitas:
Superior: akral hangat (+/+), CRT <2 detik, edema (-/-), sianosis
(-/-)
Inferior: akral hangat (+/+), CRT <2 detik, edema (-/-), sianosis
(-/-) Neuromuskular •
Sensoris: superior (+/+), inferior (+/+)
•
Motoris: superior (5/5), inferior (4/4)
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium Darah Rutin •
Hb
: 13,2 g/dL
•
Leukosit
: 17.250/uL
•
Eritrosit
: 3,7 juta/uL
•
Hematokrit
: 36 %
•
Trombosit
: 243.000/uL
•
MCV
: 97fL
•
MCH
: 36 g/dL
•
MCHC
: 37 g/dL
•
Hitung Jenis •
Basofil
: 0%
•
Eosinofil
: 0%
•
Batang
: 0%
•
Segmen
: 95%
•
Limfosit
: 3%
•
Monosit
: 2%
•
LED
: 25 mm/jam
•
CT
: 12 menit
•
BT
: 3 menit
•
SGOT
: 28 U/L
•
SGPT
: 43 U/L
•
GDS
: 197
2. Radiologi
DIAGNOSIS
HNP Lumbal (L4-L5)
TATALAKSANA
IVFD RL 20 tpm
Ranitidin
Dexamethason
Ceftriaxon
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera
medula
spinalis
adalah
masalah
kesehatan
mayor
yang
mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap negara, dengan perkiraan 10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar 75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, selain itu banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka tembak.
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada daerah servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah paling rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral pada area ini. Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).
Kecelakaan medula spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, tempat yang paling sering terkena cidera adalah regio servikalis dan persambungan thorak dan regio lumbal. Lesi trauma yang berat dari medula spinalis dapat menimbulkan transaksi dari medula spinalis atau merobek medula spinalis dari satu tepi ke tepi yang lain pada tingkat tertentu disertai hilangnya fungsi. Pada tingkat awal semua cidera akibat medula spinalis / tulang belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek. Fungsi sensori dan autonom juga hilang, medula spinalis juga bisa menyebabkan gangguan sistem perkemihan, disrefleksi otonom atau hiperefleksi serta fungsi seksual juga dapat terganggu.
Perawatan awal setelah terjadi cidera kepala medula spinalis ditujukan pada pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi. Langkah-langkahnya terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal, tindakan bedah untuk membebaskan kompresi spina.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dibentuknya referat ini adalah : 1. Untuk mengetahui definisi cedera medula spinalis 2. Untuk mengetahui etiologi cedera medula spinalis 3. Untuk mengetahui klasifikasi cedera medula spinalis 4. Untuk mengetahui penegakan diagnosa cedera medula spinalis 5.
Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera medula spinalis
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Trauma/Cedera Medula Spinalis
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen inverterbra. Terdapat 8 pasang saraf servikalis, 12 pasang torakalis, 5 pasang lumbalis, 5 pasang sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis.
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord. .Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan. (Muttaqin, 2008).
Trauma Medula Spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebebkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Fransisca B.Batticaca,2008 : 30).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001). Trauma medulla spinalis adalah kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai : a.
Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
b.
Tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang
yaitu
terjadinya
fraktur
pada
tulang
belakang,
ligamentum
longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk ke kanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus. Cedera medula spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini seringkali mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena tetraplegia atau paraplegia.
Trauma tulang belakang adalah cedera pada tulang belakang (biasanya mengenai servikal dan lumbal) yang ditandai dengan memar, robeknya bagaian pada tulang belakang akibat luka tusuk atau fraktur/ dislokasi di kolumna spinalis. (ENA, 2000 ; 426) Trauma spinal cord adalah cedera yang mengakibatkan fungsi konduksi saraf terganggu, reflex dan fungsi motorik berkurang, terjadi perubahan sensasi, dan syok neurogenik. (Campbell, 2004 ; 130) Trauma Medulla Spinalis adalah Trauma yang terjadi pada jaringan medulla spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau
Beberapa yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti : a.
Quadriplegia
adalah
keadaan
paralisis/kelumpuhan
pada
ekstermitas dan terjadi akibat trauma pada segmen thorakal 1 (T1) keatas. Kerusakan pada level akan merusak sistem syaraf otonom khsusnya syaraf simpatis misalnya adanya gangguan pernapasan. b.
Komplit Quadriplegia adalah gambaran dari hilangnya fungsi modula karena kerusakan diatas segmen serfikal 6 (C6).
c.
Inkomplit Quadriplegia adalah hilangnya fungsi neurologi karena kerusakan dibawah segmen serfikan 6 (C6).
d.
Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yang terjadi pada serfikal pada bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan pernapasan.
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis
Cedera Medula Spinalis disebapkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang dimana trauma tersebut melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf di dalamnya. Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat be ru ypa me ma r, co nt usio , kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan
peredaran
darah,
atau
perdarahan.Kelainan
sekunder
pada
sums um bel akang dapa t doi seb abkan hipok semi a dana iskemia.iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Etiologi cedera spinal adalah: 1. Trauma misalnya kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kegiatan olah raga, luka tusuk atau luka tembak. 2. Non trauma seperti spondilitis servikal dengan myelopati, myelitis, osteoporosis, tumor.
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari cedera medulla spinalis adalah 1.
Kecelakaan dijalan raya (penyebab paling sering).
2.
Olahraga
3.
Menyelan pada air yang dangkal
4.
Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5.
Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
6.
Kejatuhan benda keras
7.
Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono, 2000).
8.
Luka tembak atau luka tikam
9.
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis slompai, yang seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non infeksi osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra, singmelia, tumor infiltrasi maupun kompresi, dan penyakit vascular.
10. Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik
11. Infeksi 12. Osteoporosis 13. Mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan saat mengendarai mobil atau sepeda motor. Faktor-faktor yang mempengaruhi trauma medulla spinalis 1. Usia Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. 2. Jenis Kelamin Belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria kar ena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause). 3. Status Nutrisi 2.3 Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan / menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmentransversa, hemitransversa, kuadran transversa). hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat di substansia grisea. Trauma ini bersifat “whiplash “yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks columna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.
Kerusakan medula spinalis berkisar dari komosio sementara (dimana pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medula (baik salah satu maupun kombinasi). Sampai transeksi lengkap medula (yang membuat pasien paralisis dibawah tingkat cidera).
Bila hemoragi terjadi pada daerah spinalis, darah dapat merembes ke extradural subdural atau daerah subarahnoid pada kanal spinal. Segera Setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cidera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansia griseria medula spinalis menjadi terganggu tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cidera pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadiankejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan keruskan mielin dan akson.
Reaksi sekunder ini, diyakini penyebab prinsip desenerasi medula spinalis pada tingkat cidera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cidera. Untuk itu jika kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti inflamasi lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya, masuk ke dalam kerusakan total dan menetap
Akibat suatu trauma mengenai vertebrata mengakibatkan patah tulang belakang. Paling banyak servikalis, lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana kompresi dislokasia, sedangkan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar / kontusio laserasi dengan / tanpa perdarahan. Blok syaraf simpatis pelepasan mediator kimia iskemia, dan hipoksemia, syok spinal, gangguan fungsi kandung kemih. Lokasi cedera medula spinalis umumnya mengenai C1 dan C2,C4,C6, dan T11 atau L2. Trauma medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5 1. Lesi L1: Kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong.
2. Lesi L2: Ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha. 3. Lesi L3: Ekstremitas bagian bawah. 4. Lesi L4: Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha. 5. Lesi L5: Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi, trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi – deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba – tiba.
Kerusakan medula spinalis terjadi akibat kompresi tulang, herniasi disk, hematoma, edema, regangan jaringa saraf dan gangguan sirkulasi pada spinal. Adanya perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusi vaskuler dan menurunkan kadar oksigen dan menyebabkan iskemia pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengakibatkan edema sel dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali menjadi normal kurang lenih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang terjadi adalah meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar oksigen secara cepat 30 enit setelah trauma, meningkatnya konsentrasi norephineprine. Meningkatnya norephineprine disebabkan karena efek sikemia, ruptur vaskuler atau nekrosis jaringan saraf.
Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock) yaitu terjadi jika kerusakan secara tranversal sehingga mengakibatkan pemotongan komplit rangsangan. Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi reflektorik pada semua segmen di bawah garis kerusakan akan hilang. Fase renjatan ini berlangsung beberpa minggu sampai beberapa bulan (3 – 6 minggu).
Trauma pada daerah leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur kolumna vertebra, kompresi diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan kompresi medula spinalis pada setiap sisinya dapat menekan spinal dan bermanifestasi pada kompresi radiks, dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal.
TABEL Kondisi Patologis Saraf Spinal Akibat Cedera
Batas Cedera
Fungsi yang Hilang
C1 – C 4
Hilangnya fungsi motorik dan sensorik leher ke bawah. Paralisis pernafasan, tidak terkontrolnya bowel dan blader.
C5
Hilangnya fungsi motorik dari atas bahu ke bawah. Hilangnya sensasi di bawah klavikula. Tidak terkontrolnya bowel dan blader.
C6
Hilangnya fungsi motorik di bawah batas bahu dan lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan jempol.
C7
Fungsi motorik yang kurang sempurna pada bahu, siku, pergelangan dan bagian dari lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan tangan dibandingkan pada C6. Yang lain mengalami fungsi yang sama dengan C5.
C8
Mampu mengontrol lengan tetapi beberapa hari lengan mengalami kelemahan. Hilangnya sensai di bawah dada.
T1-T6
Hilangnya kemampuan motorik dan sensorik di bawah dada tengah. Kemungkinan beberapa otot interkosta
mengalami
kerusakan.
Hilangnya
kontrol bowel dan blader. T6 – T12
Hilangnya kemampuan motorik dan sensasi di bawah pinggang. Fungsi pernafasan sempurna tetapi hilangnya fngsi bowel dan blader.
L1 – L3
Hilannya fungsi motorik dari plevis dan tungkai. Hilangnya sensasi dari abdomen bagian bawah dan tungkai. Tidak terkontrolnya bowel dan blader.
L4 – S1
Hilangnya bebrapa fungsi motorik pada pangkal paha, lutut dan kaki. Tidak terkontrolnya bowel dan blader.
S2 – S4
Hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor. Hilangnya sensai pada tungkai dan perineum. Pada keadaan awal terjadi gangguan bowel dan blader.
Trauma pada servikal bisa menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak stabil. Cedera stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan biasanya resikonya lebih rendah. Cedera tidak stabil adalah ceder a yang dapat mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior dari diskus intervertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (dua-pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebralis, dan ligamen longitudinal anterior).
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala kebelakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga kepala itu membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin mengalami kerusakan. Pada cedera fleksi akan meremukan badan vertebra menjadi baji; ini adalah cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebral yang paling sering ditemukan. Jika ligamen posterior tersobek, cedera bersifat tak stabil dan badan vertebra bagian atas dapat miring ke depan diatas badan vertebra dibawahnya.
Cedera vertebra torako-lumbal bisa disebabkan oleh trauma langsung pada torakal atau bersifat patologis seperti pada kondisi osteoporosis yang akan mengalami fraktur kompresi akibat keruntuhan
tulang belakang. Fraktur
kompresi dan fraktur dislokasi biasanya stabil. Tetapi, kanalis spinalis pada segmen torakalis relatif sempit, sehingga kerusakan korda sering ditemukan dengan adanya manifestasi defisit neurologis.
Kompresi vertikal (aksial); suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi pecah (burst). Pada kondisi ini terjadi Burst Fracture, kerusakan pada badan tulang belakang dan medula spinalis secara klinis akan lebih parah di mana apabila ligamen posterior sobek maka akan terjadi fraktur spinal tidak stabil.
Hiperekstensi. Jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia dewasa yang memiliki perubahan degenerative vertebra,usia muda yang mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengendarai kendaraan, dan usia muda yang mengalami cedera leher saat menyelam.Jenis cedera ini menyebabkan medulla spinalis bertentangan dengan ligamentum flava dan mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebra.Transeksi lengkap dan medulla spinalis dapat mengikuti
cedera hiperekstensi.Lesi lengkap
dari
medulla
spinalis
mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter menurun pada daerah lesi dan kehilangan fungsi reflex pada isolasi bagian medulla spinalis.
Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat dari ketinggian dengan posisi kaki atau bokong (duduk). Tekanan mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medulla spinalis .Diskus dan fragmen tulang dapat masuk ke medulla spinalis .Lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medulla spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
Trauma pada medula spinalis dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur kolumna vertebra, kompresi diskus, sobeknya ligamentum servikalis, torakalis, lumbal dan sakral, serta kompresi medula spinalis pada setiap sisinya yang dapat bermanifestasi pada kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang.
Trauma pada medula spinalis bisa menyebabkan cedera spinal stabil maupun tidak stabil. Cedera stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang tidak rusak dan risikonya lebih rendah. Cedera tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, komponen pertengahan dan kolumna anterior. Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal pada C5 dan C6. Jika mengenai spina torakalumbar, terjadi pada T12L1. Fraktur lumbar adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakng bagian bawah. Bentuk cedera ini mengenai ligamen, fraktur vertebr a, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis.
Mekanisme Terjadinya Cedera Medulla Spinalis
1. Fleksi Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi 2. Fleksi dan rotasi Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi. Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan kedepan/dislokasi vertebra di atasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.
3. Kompresi Vertikal (aksial) Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil 4. Hiperekstensi atau retrofleksi Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra torako-lumbalis.
Ligamen anterior dan diskus dapat
mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil. 5. Fleksi lateral Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra, dan sendi faset. 6. Fraktur dislokasi Suatu trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang
Berikut ini adalah mekanisme cedera tumpul spinal menurut Campbell (2004 ; 131) : 1. Hiperektensi Kepala dan leher bergerak ke belakang / hiperektensi secara berlebihan. 2. Hiperfleksi Ke pala di atas dada bergerak ke depan / heperfleksi dengan berlebihan. 3. Kompresi Bobot tubuh dari kepala hingga pelvis mengakibatkan penekanan pada leher atau batang tubuh
4. Rotasi Rotasi yang berlebih dari batang tubuh atau kepala dan leher sehingga terjadi pergerakan berlawanan arah dari kolumna spinalis. 5. Penekanan ke samping Pergerakan ke samping yang berlebih menyebabkan pergeseran dari kolumna spinalis. 6. Distraksi Peregangan yang berlebihan dan kolumna spinalis dan spinal cord.
Klasifikasi Cedera Medulla Spinalis
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst fracture hebat. 1. Cedera stabil Bila kemampuan fragmen tulang tidak memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus neural intak serta ligament yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligament longitudinal posterior tidak robek. Cedera stabil disebabkan oleh tenga fleksi, ekstensi, dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampakd pada daerah toraks bawah serta lumbal (fruktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan oleh fleksi akut pada tulang belakang). a. Fleksi Cedera
fleksi
akibat
fraktura
kompresi
baji
dari
vertebra
torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika
baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim ditemukan. b. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang dibutuhkan. c. Kompresi Vertikal Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu. Meskipun fraktura ”ledakan” agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejalagejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra
yang
digunakan
selama
3
atau
4
bulan
direkomendasikan. Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
2. Cedera Tidak Stabil Fraktur memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh. Hal ini disebabkan oleh adanyan elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau
ekstensi yang cukup untuk merobek ligament longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi apofiseal. a. Cedera Rotasi – Fleksi Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan
dengan
insiden
yang
tinggi
dari
gangguan
neurologik. Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan
stabilisasi
spinal
menggunakan
berbagai
alat
metalik
diindikasikan. b. Fraktura ”Potong” Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-rotasi. c. Cedera Fleksi-Rotasi Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.
2.4.Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Kerusakan
meningitis;lintang
memberikan
gambaran
berupa
hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak
sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang sekonyong-konyong di hiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1 dan 2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
Manifestasi Klinis Trauma Medula Spinalis (Brunner dan Suddarth, 2001) a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena b.
Paraplegia
c.
Tingkat neurologik
d.
Paralisis sensorik motorik total
e.
Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f.
Penurunan keringat dan tonus vasomoto
g.
Penurunan fungsi pernafasan
h.
Gagal nafas
i.
Pasien biasanya mengatakan takut leher atau tulang punggungnya patah
j.
Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar
k.
Biasanay terjadi retensi urine, dan distensi kandung kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan tekana darah diawalai dengan vaskuler perifer.
l.
Penurunan fungsi pernafasan sampai pada kegagalan pernafasan
m. Kehilangan kesadaran n.
Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas bawah
o.
Penurunan keringat dan tonus vasomotor
Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai berikut: 1) Pernapasan dangkal 2) Penggunaan otot-otot pernapasan 3) Pergerakan dinding dada 4) Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg) 5) Bradikardi 6) Kulit teraba hangat dan kering 7) Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan) 8) Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak 9) Kehilangan sensasi 10) Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia 11) Adanya spasme otot, kekakuan
Menurut menurut Campbell (2004 ; 133) 1) Kelemahan otot 2) Adanya deformitas tulang belakang 3) Adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak 4) Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera 5) Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, 6) Terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)
2.5. Pemeriksaan Diagnostik dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik Meliputi: a.
Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di rumah sakit
b.
Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan, gangguan gerakan(terutama leher)
c.
Pemerikaan Radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
d.
Bila hasil meragukan lakukan ST-Scan,bila terdapat defisit neurologi harus dilakukan MRI atau CT mielografi.
Pemeriksan penunjang a. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi b. CT-Scan Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural c. MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi d. Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
e. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis) f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal). g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi h. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt. i. Urodinamik, proses pengosongan bladder.
2.6 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Kedaruratan Pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik. Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara, Trauma olahraga kontak, jatuh, atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. 1)
Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal (punggung), dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit.
2)
Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
3)
Tangan
ditempatkan
pada
kedua
sisi
dekat
telinga
untuk
mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang. 4)
Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hatihati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais
ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan Trauma medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadangkadang tindakan ini tidak benar. Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur dibawahnya.
Penatalaksanaan medis
1. Terjadi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atau cedera lain yang menyertai, mencegah, serta metu rnengobati komplikasi dan kerusakan neurallebih lanjut. Reabduksi atau sublukasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang-ed). Untuk mendekopresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk melindungi koral spiral. 2. Operasi
lebih
awal
sebagai
indikasi
dekompresi
neural,
fiksasi
internal,atau debridement luka terbuka. 3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidak stabilan tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang belakang, progresif, cedara yang tak dapat di reabduksi, dan fraktur nonunion. 4. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaikan aliran darah koral spiral. Dosis tertinggi metil prednisolin/bolus adalah 30 mg/kg BB diikuti 5,4 mg/kgBB/jamberikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi sensorik, motorik, dan penting untuk melacak defisit yang progresif atau asenden. 6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan mecak keadaan dekompensasi. 7. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktur proses transverses, spinous,dan lainnya. Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap. 8. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan. a.
Metode reabduksi antara lain: a)
Traksi memakai sepit (tang) mental yang dipasang pada tengkorak. Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang mulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1
b.
b)
Menipulasi dengan anestensi umum
c)
Reabduksi terbuka melalui operasi
Metode imobilisasi antara lain: a)
Ranjang khusu,rangka, atau selubung plester
b)
Traksi tengkorak perlu beban sedeng untuk mempertahankan cedera yang sudah direabduksi
c)
Plester paris dan splin eksternal lain
d)
Operasi
9. Cedera stabil diseratai defisit neurologis. Bilafraktur stabil, kerusakan neurologis disebabkan oleh: a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular. b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti spondiliosis servikal. c. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spiral.
2.7 Prognosis
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri 1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang sangat terbatas 2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan recovery yang sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama lebih dari 72 jam. 3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes 4. Prognosis
untuk
cervical
spine
fractures
and
dislocations
sangat bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatan neurologis 5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya kerusakan saraf tulang belakang pada saat onset. 6. Selain
disfungsi
neurologis,
prognosis
juga
ditentukan
oleh
pencegahandan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya, pneumonia, dan infeksisaluran kemih. 7. Secara
umum,
sebagian
besar
individu
mendapatkan
kembali
beberapafungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama, meskipun mungkinada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati diamati di tahun akan dating.(Tidy, 2014)
2.10 Komplikasi
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord
spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.(Wikipedia, Maret, 2009). 1. Pendarahan mikroskopik Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi perdarahan perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat. 2. Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks. Pada cedera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan refleks setinggi dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontrol sensorik dan motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah. 3. Syok spinal. Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.
4. Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis. Dengan diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah sistem
Adapun komplikasinya adalah sebagai berikut : 1. Neurogenik shock 2. Hipoksia 3. Gangguan paru-paru 4. Instabilitas spinal 5. Orthostatic hypotensi 6. Ileus paralitik 7. Infeksi saluran kemih 8. Kontraktur 9. Dekubitus 10. Inkontinensia bladder 11. Konstipasi 12. Trombosis vena profunda 13. Gagal napas 14. Hiperefleksia autonomik 15. Infeksi
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut : 1. Cedera medulla spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. 2. Cedera medulla spinalis dapat terjadi karena trauma dan non-trauma medula spinalis. 3. Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan dengan cedera medula spinalis stabil dan tidak stabil 4. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pemeriksaan penunjang memegang peranan begitu penting dalam menegakan diagnosis pada cedera medulla spinalis 5. Penatalaksanaan dari cedera medulla spinalis terbagi menjadi operatif dan non-operatif.