BAB II
DASAR TEORI
II.1 Desain Jalur Terbang
Jalur terbang, dalam pengambilan jalur terbang biasanya diambil jarak
yang terpanjang untuk melakukan perekaman, hal ini untuk memperoleh
kestabilan pesawat disaat pemotretan.
Gambar 2.1 Desain Jaur Terbang (Nurdinansa, 2013).
Area yang bertampalan overlap dan Sidelap, Overlap merupakan daerah
yang bertampalan antara foto satu dengan foto yang lainnya sesuai dengan
nomor urutan jalur terbang. Besarnya tampalan antar foto tersebut umumnya
sebesar 60%. Misalnya foto X1 memiliki informasi yang sama dengan foto X2
sebesar 60%. Tujuan dari tampalan ini adalah untuk menghindari daerah yang
kosong disaat perekaman dikarenakan wahana pesawat terbang melaju dengan
kecepatan yang tinggi. Selain overlay foto udara juga harus sidelap.
Sidelap merupakan pertampalan antara foto udara satu dengan foto udara lain
yang ada diatas maupun dibawah area yang direkam. Sidelap ini terjadi pada
jalur terbang yang berbeda jadi suatu wilayah pada jalur terbang 1 yang
telah direkam akan direkam kembali sebesar 25% dari liputan jalur terbang
2. Berikut ini gambaran dari proses Overlap dan Sidelap. Tujuan dibuatnya
sidelap ini adalah untuk menghindari kekosongan foto antara jalur terbang.
Selain tujuan tersebut dibuatnya foto overlap dan sidelap adalah untuk
memperoleh kenampakan 3 dimensi ketika dilihat melalui sterioskop cermin
(Nurdinansa, 2013).
Gambar 2.2 Contoh hasil overlap dan sidelap pada kegiatan pemotretan udara
(Nurdinansa, 2013).
Gambar 2.3 Tampalan ke depan / overlap (Wijaya, 2012)
Keterangan :
G = ukuran bujur sangkar medan yang terliput oleh sebuah
foto tunggal
B = basis atau jarak antara stasiun pemotretan sebuah pasangan
foto stereo
PE = besarnya pertampalan pada umumnya dinyatakan dalam persen
Gambar 2.4 Tampalan ke samping / sidelap (Wijaya, 2012)
Keterangan :
PI dan PII = pesawat yang berbeda pada jalur terbang 1 dan 2
W = jarak antara jalur terbang yang beruntun
PS = besarnya tampalan samping dinyatakan dalam persen
II.2 Titik Kontrol Tanah (Ground Control Point)
Sebagai tahap awal dalam melakukan kegiatan foto udara, diperlukan
pembuatan premark (penandaan titik kontrol tanah) dan data koordinat titik
premark yang diukur menggunakan GPS di area yang akan difoto. Premark
biasanya dibuat dengan bentuk tanda silang dengan titik premark berada
tepat pada perpotongan tanda tersebut. Warna premak juga biasanya dipilih
warna yang mencolok agar terlihat pada saat pengolahan foto di studio.
" "
"Gambar 2.5 Pemasangan Premark (Anonim,2013) "
Ada 2 tipe premark dalam penggunaannya dalam proses pengolahan foto
yaitu :
1. Control Point / GCP
Digunakan untuk orientasi absolut / georeferensi dari blok foto. Harus
memiliki nilai koordinat tanah yang dapat dikenali pada foto.
2. Check Point
Digunakan untuk menguji kualitas hasil dan tidak diikutkan pada proses
pengolahan foto.
" "
"Gambar 2.6 Titik Premark (Anonim, 2013) "
Pengamatan titik premark dengan metode jaring dibuat dengan
mempertimbangkan kekuatan bentuk jaringan tersebut (strength of figure).
Standar kualitas pekerjaan mengacu pada SNI JKHN (Standar Nasional
Indonesia Jaring Kontrol Horisontal Nasional).
Gambar 2.7 Pengamatan Titik Premark (Anonim, 2013)
Proses pengolahan data foto udara terdiri dari proses orientasi dalam,
orientasi relatif, dan orientasi absolut.
Orientasi dalam meliputi kegiatan reduksi kesalahan sistemik dari
kamera (lensa) yang digunakan.
Orientasi relatif merupakan proses tranformasi koordinat antara semua
foto agar menjadi satu kesatuan mosaik maupun titik-titik ketinggian
(pointcloud) dan didalamnya merupakan proses image matching
(pencocokan rona antar foto.)
Orientasi Absolut merupakan tahapan tranformasi koordinat dari sistem
koordinat foto ke sistem koordinat Tanah, disini diperlukan GCP
(Ground Control Point)
Keperluan GCP yang paling utama adalah untuk proses georeferensi hasil
olah foto yang telah menjadi satu (baik mosaik maupun point cloudnya).
Secara khusus GCP berfungsi pula sebagai:
1. GCP menjadi faktor penentu ketelitian geometris hasil olah foto
(ortofoto, DSM, DTM), semakin teliti GCP maka semakin baik pula
ketelitian geometris output (dengan kaidah-kaidah peletakan GCP yang
dipenuhi).
2. GCP berfungsi pula mempermudah proses orientasi relatif antar foto.
Keberadaan GCP bisa dijadikan pendekatan posisi relatif antar foto.
3. GCP digunakan pula untuk mengkoreksi hasil olah foto berupa ball
effect yaitu kesalahan yang mengakibatkan model 3D akan berbentuk
cembung ditengah area yang diukur.
4. GCP digunakan juga untuk menyatukan hasil olah data yang terpisah,
misal olah data area A dan area B dengan lebih cepat dan efektif,
daripada proses penyatuan berdasar seluruh pointcloud (jumlahnya
jutaan) yang akan memakan banyak waktu (Anonim, 2013).
II.3 Mosaik Foto
Mosaik foto udara adalah hasil perakitan dari dua atau lebih foto yang
saling overlap untuk membentuk suatu gambaran tunggal yang bersinambung
dari suatu daerah. Perakitan dilakukan dengan memotong dan menyambungkan
bagian-bagian foto yang overlap, secara hati-hati agar citra yang sama
berimpit sedekat mungkin pada batas sambungan. Mosaik udara umumnya dirakit
dari foto udara vertical, namun kadang-kadang juga dirakit dari foto miring
atau foto terestris. Jika dibuat dengan baik, akan memperlihatkan
penampilan seperti suatu foto tunggal yang sangat besar.
Overlap merupakan besar nilai pertampalanan antara foto / citra yang
satu dengan yang lain. Besar nilai overlap dapat diketahui dengan membagi
daerah pertampalan dengan panjang keseluruhan foto / citra dikali 100%.
Sidelap merupakan besar nilai pertampalan pada dua atau lebih foto /
citra yang berbeda jalur tebangnya. Besar nilai sidelap dapat diketahui
dengan membagi daerah sampingan pertampalan dengan panjang sampingan foto/
citra dikali 100%.
A. Kelebihan mosaik dibanding peta garis :
1. Memperhatikan letak planimetrik relatif dari objek-objek yang tak
terhingga banyaknya
2. Objek-objek mudah dikenali dari citra fotografiknya
3. Dapat dibuat dengan cepat dan mudah
4. Mudah dimengerti dan ditafsirkan oleh orang tanpa latar belakang
fotogrametri atau kerekayasaan
B. Kelemahan mosaik dibanding peta garis :
1. Tidak menyajikan posisi planimetrik secara benar
2. Terdapat pergeseran sitra dan variasi skala
3. Penyusutan dan pengembangan film, dan distorsi lensa kamera kecil (
Nugraha, 2013).
II.4 Macam-macam Mosaik
Mosaik foto udara pada umumnya dibedakan menjadi 3 kelas yaitu (Anonim,
2011) :
1. Mosaik tak terkontrol.
Dalam mosaik tak terkontrol ini digunakan foto-foto cetak yang belum
dikoreksi atau foto asli hasil pemotretan langsung. Tidak ada titik kontrol
yang digunakan untuk mengikatkan foto yang satu dengan foto lain yang
bertampalan. Yang digunakan untuk mengikat adalah detil-detil yang sesuai
yang terletak di daerah pertampalan, baik pertampalan depan maupun samping.
2. Mosaik semi terkontrol.
Mosaik ini tersusun dari foto-foto udara yang sudah dan belum dikoreksi.
Mosaik ini diorientasikan terhadap sistem tanah dengan jalan mengikatkan
titik-titik kontrol yang ada di atas foto dengan titik-titik kontrol
tanahnya. Pengikatan antara foto dengan foto dilakukan dengan menempatkan
detil-detil yang sesuai.
3. Mosaik terkontrol.
Foto-foto yang dipergunakan untuk disusun menjadi mosaik adalah foto yang
telah dikoreksi (tilt telah hilang dan skala untuk seluruh bloknya telah
seragam) dengan cara rektifikasi. Pengikatan antar foto dilakukan
menggunakan titik-titik kontrol, baik titik kontrol minor maupun titik
kontrol tanah. Di sini mosaik yang terbentuk telah terikat atau
terorientasi terhadap sistem tanah. Bila dilihat dari proses rektifikasi
diferensial maka hasilnya adalah ortofoto, sehingga mosaiknya juga disebut
mosaik ortofoto, dan skalanya seragam.
Pembuatan mosaik merupakan penggabungan dua atau lebih foto udara yang
bertampalan sehingga diperoleh gambaran yang menyajikan suatu daerah yang
lebih luas. Pertampalan kedepan antara dua foto yang berturutan adalah
60% + 5%, sedangkan pertampalan ke samping pada jalur terbang yang
berdampingan adalah 30% + 5% untuk tinggi terbang lebih dari 1.500 m dan
30% + 10% untuk tinggi terbang kurang dari 1.500 meter. Setiap foto udara
yang akan di mosaik harus berada dalam satu sistem proyeksi peta dan
menggunakan datum yang sama. Metode pembuatan mosaik foto pada
penelitian ini menggunakan metode digital murni yaitu metode yang semua
proses penyambungan dilaksanakan sepenuhnya dengan bantuan komputer dan
datanya berwujud data digital.
Berdasarkan jenis foto udara yang digunakan, mosaik foto udara dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mosaik foto terektifikasi
Mosaik foto terektifikasi merupakan gabungan dua buah foto udara yang
telah direktifikasi atau lebih, sehingga membentuk gambar utuh suatu
medan. Pergeseran letak karena kesendengan sumbu kamera dapat terjadi
pada setiap foto pada saat pemotretan. Rektifikasi untuk menghapus
efek kesendengan sumbu akan menghasilkan ekivalen foto udara tegak,
namun masih memiliki skala yang beragam karena adanya letak gambar
yang disebabkan oleh perubahan relief. Untuk daerah yang relatif
datar, variasi skala ini tidak terlalu besar, sehingga mosaik foto
terektifikasi baik untuk pemetaan daerah ini.
2. Mosaik ortofoto
Mosaik ortofoto merupakan gabungan dua ortofoto atau lebih untuk
membentuk gambar utuh suatu medan. Ortofoto merupakan gambaran
ortografis medan yang dibuat dari foto udara tegak menggunakan
instrumen rektifikasi differensial, yang meniadakan pergeseran letak
gambar oleh kesendengan fotografik dan relief (Suharsana, 1999).
II.5 Digital Surface Modeling
DSM adalah sebuah model permukaan-pantulan gelombang pertama yang
memuat fitur-fitur elevasi terrain alami sebagai tambahan dari fitur-fitur
vegetasi dan budaya, seperti bangunan atau secara sederhana, DSM (Digital
Surface Model) dapat diartikan sebagai data ketinggian permukaan objek yang
ada di muka bumi seperti pepohonan dan bangunan.
Gambar 2.8 Perbedaan DTM dengan DSM (Ridwana,2012).
Sumber data DSM meliputi :
1. FU stereo
2. Citra satelit stereo
3. Data pengukuran lapangan: GPS, Theodolith, EDM, Total Station,
Echosounder
4. Peta Topografi
5. Linier array image
6. Data hasil DTM atau DEM
7. Pengukuran langsung di lapangan
Atau dapat pula bersumber dari :
1. Data bersumber dari Teknologi Pemetaan dengan Airborne IFSAR.
2. Data bersumber dari informasi tematik satu lembar peta dapat
diturunkan dari Citra SAR
Titik kontrol tanah (Ground Control Point) berfungsi sebagai titik
titik sekutu antara sistem koordinat foto dengan sistem koordinat
peta,sedangkan titik ikat (TP) merupakan titik sekutu antara foto yang
saling bertampalan. GCP diadakan dengan 2 cara,yaitu secara pre-marking
atau post-marking. pre-marking adalah mengadakan titik target sebelum
pemotretan udara dilaksanakan, sedangkan post-marking adalah
mengidentifikasi obyek yang terdapat pada foto udara baru kemudian
ditentukan koordinat petanya. Untuk TP selalu diadakan dengan cara post-
marking, yaitu mengidentifikasi obyek yang sama yang terpotret pada daerah
bertampalan. GCP umumnya diusahakan menyebar di pinggir foto,sedangkan TP
dibuat sebanyak 6 buah per model dengan distribusi mengikuti aturan Gruber.
Nilai koordinat UTM diperoleh dari pengecekan dipeta, penentuan TP
dilakukan secara manual ,yaitu dengan cara identifikasi visual obyek-obyek
yang tampak jelas pada daerah pertampalan antar foto. Teknik ini
menghasilkan akurasi yang cukup baik, terutama jika di bantu dengan
fasilitas zooming dan penampilan secara tiga dimensi.tetapi teknik ini
memiliki kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama, apabila jumlah foto
yang akan diproses cukup banyak. Ada teknik lain yang dapat dipergunakan
untuk mengidentifikasi TP secara otomatis, yaitu dengan menggunakan cara
korelasi silang. Pada prakteknya, teknik ini dapat mengidentifikasi obyek
yang tidak terletak di daerah pertampalan,sehingga masih perlu dilakukan
manual editing untuk menjamin ketepatannya (Ridwana,2012).
II.6 Layout Peta
Merancang tata letak peta merupakan tahapan kerja yang penting
diperhatikan bagi setiap orang yang akan menggambar peta. Hal itu
dimaksudkan agar peta benar-benar komunikatif, mudah dibaca dan
ditafsirkan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna peta.
Adapun unsur-unsur peta yang perlu ditata posisinya adalah:
1. Judul Peta, lebih dominan dari nama Kelurahan. Tujuannya adalah
memberikan identitas yang menonjol atas tema yang dimaksud. Yang
sering dijumpai di lapangan adalah nama kelurahan/desa lebih
menonjol dari pada judul itu sendiri.
2. Legenda, hampir semua peta yang disusun telah memiliki legenda
namun belum teratur. Secara substantif dalam penyusunan legenda
hendaknya disusun berdasarkan urutan: titik, baru garis, baru
area.
a. Informasi titik seperti: kantor-kantor (kecamatan,
kelurahan, pos, polisi), tempat ibadah (gereja, masjid,
pura), sekolah,
b. Informasi garis seperti, batas desa, batas kecamatan, jalan
(jalan kampung, jalan setapak, jalan, sungai, jaringan
irigasi, jaringan drainase, jaringan telpon.
c. Informasi area, misalnya danau, genangan, sultan ground,
area/kawasan, lapangan
d. Jika merujuk pada simbol baku, maka dapat menggunakan
Lampiran PP no 10 tahun 2000 mengenai simbolisasi peta yang
telah dikoreksi oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional (Bakosurtanal) tahun 2003. Kalo jalan itu ya…
merah, kalo badan air/sungai itu biru dan lain sebagainya.
Universal. Simbolisasi tadi sudah diperhitungkan mengenai
korelasi skala peta, ukuran dan jenis simbol.
3. Orientasi, menunjukkan arah mata angin. Arah utara selalu berada
pada sisi atas peta. Entah kesepakatan dari mana, tetapi lazim,
dan hampir semua peta menggunakan utara pada bagian atas. Hal
ini penting untuk menentukan posisi suatu titik terhadap titik
yang lain misal sebelah barat-nya, timur-nya, dsb.
4. Skala peta, Sering dijumpai dilapangan bahwa peta yang ada masih
menggunakan skala numerik. Hal ini memiliki kelemahan.
Setidaknya terdapat dua jenis pen-skala-an: Skala numerik.
Misalnya 1:20.000, artinya 1 cm di peta sebanding 20.000 cm di
lapangan. Skala jenis ini memiliki kelemahan saat peta
diperbesar atau diperkecil. Ukuran peta mengecil/membesar
sementara skala tetap. Menurut saya, skala skala numerik hampir
tidak cukup operasional, mengingat dokumen yang tidak sama
ukurannya. Dengan demikian, secara substantif tidak mendukung
informasi dari peta-peta RPP. Dan Skala garis. Skala ini jarang
ditemui dilapangan. Skala ini lebih operasional. Skala peta akan
menyesuaikan jika diperbesar atau diperkecil. Secara kartografis
skala ini lebih presisi. Permasalahan yang ada adalah bagaimana
membuat skala garis tanpa ada skala numerik sebelumnya. Yang
dapat dilakukan adalah: (a) Ukur atau cari informasi jarak salah
satu ruas jalan yang sudah diketahui secara pasti di lapangan.
(b) Ukur jarak ruas tersebut dalam peta. Perbandingkan antara
jarak dalam peta terhadap jarak ruas jalan tersebut dalam satuan
yang sama. Misal 4cm : 200m –> 4:2000 –> 1:500. Kemudian
pindahkan dalam bentuk garis dengan ruas 1 cm. Tentusaja hal ini
mudah bagi yang bisa, namun belum tentu pada tingkat fasilitator
dan lapangan. Mestinya si-Faskel sudah dibekali kan?
5. Batas wilayah dan wilayah sekitar, Boundary batas desa penting
untuk menunjukkan batas wilayah kajian. Kemudian dilengkapi
dengan kelurahan/kecamatan yang berbatasan langsung desa/kel
tersebut.
6. Sumber peta, menunjuk sumber dari peta yang sudah dipakai.
Misal, (1) Peta dasar Kelurahan Patehan, 2006. (2) Pemetaan
Swadaya Kelurahan Patehan Kec. Kraton Kota Yogyakarta, 2008.
Tujuannya adalah mengetahui riwayat peta yang dibuat.
7. Penyusun/Dibuat oleh:, menunjuk pembuat peta. Misal: TIP
Kelurahan Patehan, Kec. Kraton, 2008. Bisa digunakan klaim
sekaligus menunjukkan reputasi
8. Toponimi. Istilah untuk penamaan suatu titik/area misal berupa
nama jalan, nama RW/dusun, nama sungai, Alun-alun dan wilayah
sebelahnya. Kelengkapan suatu peta ditujukan untuk memberikan
informasi yang jelas mengenai peta dimaksud. Sehingga pembaca
peta dapat memperoleh informasi dalam satu lembar peta yang
sedang dibaca. Fungsi kedua adalah, jika peta tersebut terlepas
dari dokumen perencanaan, masih dapat dibaca. Bukan untuk
mempersulit.
Unsur-unsur tersebut sedapat mungkin ditempatkan pada komposisi yang
seimbang (balance) dalam tata letak informasi tepi. Selain itu ukuran huruf
(text), tipe huruf (style) perlu dipertimbangkan besar-kecilnya.
Penyajian unsur-unsur permukaan bumi diatas peta dibatasi oleh garis
tepi kertas, grid, dan gratikul serta penyajian layout. Penyusunan dan
penempatan keterangan tepi bukan merupakan pekerjaan yang mudah, oleh
karena semua informasi yang terletak disekitar peta harus memperlihatkan
keseimbangan (Anonim, 2011).