SHOLEHAH DWI PUTRANTI (09/282071/KU13208)
Deklarasi Djuanda Deklarasi Djuanda adalah suatu perjuangan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai aspek, yaitu politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, diantara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritime Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut disekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut disekeliling sejauh 3 mil diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Deklarasi D juanda tersebut berisi, antara lain : “ Demi kesatuan bangsa, integritas wilayah, serta kesatuan ekonomi, ditarik garis-garis pangkal
lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis pangkal lurus termasuk
dasar laut dan tanah dibawahnya serta ruang udara di atasnya, dengan segala kekayaan didalamnya. Laut teritorial seluas 12 mil diukur dari pulau terluar. Hak lintas damai kapal asing melalui perairan Nusantara (Archipelago waters) dijamin tidak
merugikan kepentingan negara pantai, baik keamanan keamanan maupun ketertibannya.” ketertibannya.”
Perjuangan yang ditempuh bangsa Indonesia dengan mengikuti Konverensi Hukum Laut yang diadakan oleh PBB dalam UNCLOS I (United Nation Convention On The Low of Teh Sea) di Jenewa pada tahun 1958. Pada tahun 1960 Indonesia mulai mengajukan Deklarasi Djuanda di UNCLOS II. Perjuangan di forum Internasional itu belum berhasil. Namun Pemerintah berusaha menciptakan landasan hukum yang kuat bagi Deklarasi Djuanda pada tanggal 18 Februari 1960. Meskipun pada awalnya Deklarasi Djuanda banyak ditentang oleh beberapa negara, namun pemerintah Indonesia terus berjuang agar deklarasi yang mempergunakan Archipelago Principle atau Wawasan Nusantara ini dapat diterima oleh dunia Internasional. Adapun dasar-dasar pokok pertibangan penetapan wilayah perairan tersebut antara lain :
Bentuk geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri
Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat.
Penentuan batas laut teritorial seperti yang dimaksud dalam TZMKO 1939 artikel 1 ayat (1), tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian yang terpisah dengan perairan teritorialnya sendiri Deklarasi Djuanda tersebut menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara
kepulauan (Archipelagic State) yang saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, yang isinya sebagai berikut :
Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah, dan kesatuan ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari kepulauan terluar.
SHOLEHAH DWI PUTRANTI (09/282071/KU13208)
Termasuk dasar laut dan tanah bawahnya maupun ruang udara diatasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Jalur laut wilayah laut teritorial selebar 12 mil diukur dari garis-garis lurusnya.
Hak lintas damai kapal asing melalui perairan nusantara (Archipelagic waters) Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km
2
2
menjadi 5.193.250 km (terdiri dari daratan dan lautan) dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara Internasional. Hal ini berarti bertambah 2
3.106.163 km atau kira-kira 145%. Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar (kecuali Irian Jaya) terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut. Perundingan bilateral Malaysia dengan Indonesia mengenai Selat Malaka, Laut Natuna dan Selat Malal. Perundingan ini berlangsung di Kuala Lumpur tanggal 17 Maret 1970 dengan menghasilkan garis-garis batas wilayah baik daratan maupun laut, yang dikukuhkan dengan UndangUndang RI Nomor 2 Tahun 1971. Pada tanggal 2 Mei 1973 Indonesia mengadakan perjanjian dengan Singapura di Jakarta dengan hasil garis batas wilayah laut Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Sigapura yang sempit (kurang dari 15 mil) adalah suatu garis yang terdiri atas garis lurus yang ditarik dari titik koordinatnya tercantum dalam perjanjian tersebut. Hasil perjanjian itu dikukuhkan dengan UU No.7 tahun 1973. Pada tangal 21 Mei 1980 pemerintah Indonesia justru mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu wilayah laut sekitar 200 mil diukur dari garis pangkal. Segala sumber hayati maupun sumber alam lainnya yang berada di bawah permukaan laut, di dasar laut, dan di bawah laut dasar laut, menjadi hak eksklusif Negara RI. Segala kegiatan ekonomi, eksplorasi, serta penelitian di ZEE harus mendapat izin pemerintah Indonesia. Pada tanggal 30 April 1982 bangsa Indonesia tetap berjuan di UNCLOS IV, di Markas PBB New York. Dalam konverensi itu telah disetujui sebuah rancangan Konvensi Hukum laut yang baru, yang terdapat dalam rumusan wilayah nusantara sesuai dengan konsep kenusantaraan Indonesia. Akhirnya Konverensi Hukum laut tersebut telah ditandatangani oleh 130 negara dalam UNCLOS V di teluk Montenegro, Kingston, Jamaica, pada tanggal 6-10 Desember 1982, yang memutuskan beberapa ketentuan :
Batas laut teritorial selebar 12 mil
Batas zona besebelahan adalah 24 mil.
Batas ZEE adalah 200 mil.
Batas landas benua lebih dari 200mil
Selanjutnya deklarasi ini dipertegas dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penentapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional. Dalam GBHN yang ditetapkan dalam TAP MPR NO.II/MPR/1988 disebutkan bahwa selain merupakan suatu kesatuan wilayah NKRI yang berdasarkan Wawasan Nusantara juga mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan yang merupakan kesatuan utuh dan tidak dapat dipisahkan-pisahkan.