Prof. Dr. M uladi , S.H.
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia
DEMOKRATISASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
Perpustakaan Nasional Indonesia : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Muladi Demokratisasi, Demokratisasi, hak asasi manusia, dan r eformasi eformasi hu kum di Indonesia/ penu lis, Mulad i; editor, Taftazani; Taftazani; Jaka rta , The Habibie Cen ter, 2002, 2002, -viii, 320 hal ; 21 cm. Bibliogra fi ; ha l 313 - 319 Tentang p enulis ; hal 368 ISBN
979-96962-1-6
1. Indon esia - Politik dan p emerinta han. I. Jud ul. II. Taftazan i. 320.959.8
DEMOKRATISASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
Penulis: Prof. Dr. Muladi, S.H. Editor: Taftazani Desain Desain samp ul dan layout: layout: Nink Hanibal Hak cipta ada p ada p enulis. Tidak boleh boleh direprodu ksi sebagian sebagian atau seluru seluru hnya dalam bentuk apap un tanp a izin izin tertulis dari penulis Diterbitkan oleh The H abibie Center, Jakar Jakar ta Cetakan P ertam a, 2002 2002
K a t a P e ng ng a n t a r
Untuk kesekian kalinya penulis memberanikan diri untuk men gkom pilasi tulisan-tulisan yang berisi pem ikiran-pemikiran yang telah penulis kemukakan dalam pelbagai forum baik di dalam maupun di luar negeri, dalam bentuk pelbagai makalah seminar, diskusi, ceramah, ceramah, pidato ilmiah, ilmiah, waw asan akad emis menyongsong suatu d raft raft akademis suatu rancangan rancangan u ndang-undang, bahan kuliah kuliah pasca sarjana, dan sebagainya. Tentu saja hal ini dilakukan setelah setelah merumuskannya secara sistemik dan menerjemahkannya dalam bahasa yang lebih lebih p opuler. Sebagian besar substansi buku ini berkaitan dengan masalahmasalah pembaharu an sistem sistem huku m, baik yang bersifat bersifat struktural, substantif, maupun kultural; persoalan-persoalan reformasi hukum dalam kerangka demokratisasi hukum yang merebak di Era Reformasi; masalah-masalah demokrasi dan HAM baik dalam konteks nasional maupun internasional sebagai refleksi proses globalisasi; globalisasi; d an ma salah-masalah aktu al lain lain seperti terorisme, tind tind ak pidana ekonomi kejahatan kejahatan transnasional, transnasional, dan sebagainya. sebagainya. Tema-tema penulisan tentu saja tidak bebas nilai, bahkan cenderung value loaded sekali sekalipun pun sudah diusahakan u ntuk bersif bersifat at obyektif. Tidak bebas nilai dalam arti bahwa sikap, persepsi, dan bahkan filosofi dimensi penulisan akan terpengaruh oleh latar belakang pengalaman penulis dalam meniti jenjang karir di masyarakat. Penulisan materi tentang pembaharuan hukum banyak dipengaruhi pengalaman penulis sebagai spesialis hukum pidana dalam rangka membantu Badan Pembinaan Hukum Nasional ii i
Departemen Departemen Kehakiman Kehakiman merum uskan p elbagai elbagai rancangan rancangan u ndangun dan g. Hal ini ini juga juga m erup akan refleksi refleksi pengalaman empiris penu lis lis semasa m enjabat enjabat sebagai Menteri Kehakiman d an Men teri Sekretaris Sekretaris Negara RI (1988-1999) serta mantan hakim agung MA (2000-2001) yang juga banyak bergelut dengan pelbagai proses pembentukan perundang-undangan, penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum m asyarakat. asyarakat. Semasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, penulis merasa mem peroleh blessing in disguise yang sangat besar, karena justru d alam jabatan jabatan yan g relatif singkat tersebut, p e n u l i s s e c a r a l a n g s u n g t e r l i b a t s e b a g a i stakeholder u n t u k menyelesaikan puluhan produk perundang-undangan sebagai tun tutan reformasi. Perund ang-und angan tersebut berkaitan berkaitan dengan peru nd ang-und angan d i bidan bidan g sosial sosial politik, politik, HAM, ekonomi pasar dalam rangka p roses globali globalisasi sasi,, pemberantasan KKN, KKN, yang semuan ya merupakan bagian usaha sistematis bangsa Indonesia untuk men gaktu alisasikan alisasikan nilai-nilai nilai-nilai dem okrasi sebagai tun tutan reformasi. Khusus di bidang HAM, penulis mengalami masa-masa yang cukup dramatis, sebagai anggota KOMNAS HAM (sub divisi pemantauan) tahun 1993-1998, karena harus mempromosikan dan melindungi HAM di masa pemerintahan Orde Baru yang represif dengan segala dinamika dan romantikanya. Dalam hal ini pula semasa m enjadi enjadi Menteri Kehakiman Kehakiman , penulis ditun juk sebagai Ketua Delegasi RI untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) di Roma (1998) yang kemudian menghasilkan Statuta Roma 1998. Penulis juga terlibat langsung dalam p enyusu nan RUU Pengadilan HAM dan sosialisasinya sosialisasinya dalam bentuk pelbagai penataran. Kedudukan sekarang sebagai Ketua Dewan Pengu rus The H abibie abibie Center merangkap sebagai Ketua Ketua Pu sat Demokrasi dan HAM akan lebih lebih m emperkuat n uansa d i atas. atas. Selanj elanjutnya utnya sepanjang sepanjang berkaitan berkaitan d engan sistem p eradilan eradilan pidana, hal ini banyak d ipengaru hi oleh oleh pengalaman p enulis semasa semasa men jabat s e b a g a i k o r e s p o n d e n n a s i o n a l R I p a d a “ Commission on Crime Prevention and Criminal Justice”, Ecosoc (1991-1998) yang banyak bergelut bergelut dengan instrumen-instrum instrumen-instrum en internasional internasional p encegahan encegahan kejahatan kejahatan d an sistem sistem peradilan pidana.
iv
Pembahasan substansi yang banyak bersentuhan dengan kehidupan peradilan dan pengadilan yang selalu menggelorakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, sedikit banyak dipacu oleh emosi penulis semasa menjabat sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung RI tahun 2000-2001. Perhatian terhadap relevansi antara hukum, demokrasi dan politik, yang menempatkan baik hukum sebagai variabel dependen maupun sebagai variabel independen banyak dipengaruhi oleh kedud ukan penulis baik baik sebagai anggota MPR (utusan d aerah) pada tahu n 19921992-19 1997 97 maup un pelbagai jabatan jabatan birokratis di atas. Namun demikian, obyektivikasi penulisan akan selalu menjadi pedoman penulis, sebab sebagai insan yang berasal dari kampus pergu ruan tinggi, baik sebagai sebagai dosen, sebagai sebagai mantan ketu a juru juru san, dekan dan rektor, penulis akan selalu selalu m enjun enjun jun g tinggi kebebasan kebebasan akademis (academic freedom) dan budaya akademis (academic culture) yang akan menjunjung tinggi kebenaran (truth) d a n b u k a n pembenaran (justification). Harapan penu lis, lis, Insya Insya Allah Allah p enulisan enulisan bu ku ini akan bermanfaat bagi pemerhati huku m khu susnya, dan p embaca embaca pada u mum nya.
Jakar ta, Okto ber 2002 Penulis,
Muladi
v
Da f t a r I s i
Kata Pengantar .........................................................................
iii
Daftar Isi ...................................................................................
vii
Bagian pertama: Reformasi Hukum, dan Hak Asasi Manusia Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman d i Era Reforma si ....................................................................... Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Penegakan H uku m Paska Reformasi .................................................................. Reformasi Hukum d an Proses Demokratisasi di Indonesia ......
3 21 28
Peranan Adm inistrasi Peradilan Dalam Sistem Perad ilan Pidana Terpad u ...................................................................
34
Analisis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana dan Hak Asasi Manu sia ..............................................................
41
Usaha Keluar dar i Lingkaran Abu -abu di Bidang H uku m dan H ak Asasi Manusia .......................................................
49
Diskriminasi Terhadap Wanita, Suatu Perspektif Hak Asasi Manu sia ..............................................................
54
Perlindungan Wanita, Terhadap Tindak Kekerasan .................
60
Beberapa Catatan Tentang Hu kum Acara Pengad ilan H ak Asasi Manu sia ............................................................................... 67 Asas Legalitas dan Pengadilan Hak Asasi Manusia..................
73
Perspektif Hak Asasi Manu sia Tentang Ilmu d an Etika Keilmu an ....................................................................
78
Format Penyelenggaraa n Negara di Bidang Pertahan an dan Keaman an ............................................................................
84
Proses Aktualisasi Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia ... vi
91
Bagian kedua: Faktor-faktor Global dan Ketegangan Hukum Nasional Int ernational Criminal Court Sebagai Karya Agung Ant ar ban gsa ........................................................................ 109
Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan Perlindu ngan hu kum Dalam Era Globalisasi ....................... 120 Hu kum Positif Indonesia Dalam Penanggu langan Kejaha tan Lintas Neg ara ...................................................... 129 Korporasi Transnasional dan Pengaru hny a Terhad ap Tind ak Pidan a Ekonom i di Indon esia .................................. 138 Penanggu langan Kejahatan Ekonomi dan Kejahatan Profesi dalam Mengantisipasi Era Globalisasi ................................. 151 Penerapan Tanggungjawab Korporasi Dalam Hu kum Pidana .................................................................... 157 Hakekat Terorisme dan Prinsip Pengatu ran d alam Kriminalisasi ........................................................................ 165 Aspek Internasional dari Kebijakan Kriminal Non Penal .......... 182 Beberapa Catatan Tentang Hukum Pidana Internasional ......... 190 Tindak Pidana Perlindungan Terhadap Konsumen Sebagai M ala Per Se ...... ......... ............ ......... ......... ......... ........
195
Kebijakan Kriminal Terhad ap Cybercrime..................................
200
Bagian ketiga: Sisi-sisi Problematik Hukum di Indonesia Kekuasaan Kehakiman Yang Merd eka dan Bertan ggu ngjawab ............................................................... Refleksi dan Rekonstruksi Wajah Hu kum Indonesia ................ Kontroversi Sepu tar Sistem Pembu ktian Terbalik ..................... Politik Hu kum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan De Kriminalisasi, serta Beberapa Asas Dalam RUU KUHP .. Politik, Hu kum , dan Politik Hu kum (I) .................................... Politik, Hu kum , dan Politik Hu kum (II) ................................... Politik, Huku m, d an Politik H uku m (III) ..................................
219 230 242 251 258 263 269 vii
Polisi da n Persepsi Keadilan ..................................................... Pertanggun gjawaban Komand o ............................................... Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Penyuapan Saksi Oleh Pengacara ............................................................................ Proses Peradilan In A bsentia: Konteks dan Permasalahannya ... Struktur Kekuasaan Lembaga Pengadilan dan Kejaksaan ........
274 280 293 299 306
Daftar Pus taka .......................................................................... 313 Tentang Penu lis ........................................................................ 320
viii
bagian 1 REFORMASI HUKUM, DAN H AK ASASI M A N U S I A
1
2
Pe r a n a n M a h k a m a h A g u n g d a n K e k u a s a a n K e h a k i m a n d i E r a R ef o r m a s i Pendahuluan Setiap warga negara yang sadar politik, pasti akan tertarik dan menaruh perhatian untu k mengkaji dan memantau implementasi Garisgaris Besar H aluan Nega ra Tahu n 1999-2004, Tap MPR No. IV/ MPR/ 1999, yang diwarnai oleh tekad bangsa Indonesia untuk mengatasi krisis mu lti dim ensi melalui reformasi di segala bidang kehid up an. Di dalam GBHN tersebut kebijakan di bidang hu kum diru mu skan sebagai bagian integral dari seluruh kebijakan sosial, yang pada dasarnya merup akan usaha sistematis dari seluruh bangsa untu k meningkatkan kesejahteraan seluru h w arganya d i pelbagai bidang kehidupan . Kondisi umum bidang hukum yang diidentifikasikan pada saat GBHN dirumuskan terasa cukup memprihatinkan, sebab kondisi tersebut telah dipandang sebagai penyebab berbagai pelanggaran HAM d alam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenangwen angan yang terjadi selama ini. Identifikasi kond isi um um tersebut secara singkat d apat digambarkan seperti sebagai berikut: Pertama, terdapat perkembangan yang kontroversial. Di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Tetapi di pihak lain peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan p eningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hu kum, kesadaran hu kum, mu tu pelayanan, serta tidak ad anya kepastian d an keadilan h ukum sehingga gagasan tentang perlunya m enegakkan supremasi hukum baru pad a tingkat retorika belaka, belum dapat diwujudkan secara nyata. Kedua, tekad untu k m emberantas segala bentuk penyelewengan — sesuai tun tutan reformasi — seperti KKN dan kejahatan ekonomi, 3
keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkahlangkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih dan kerancuan h uku m yan g acap terjadi, telah m engakibatkan terjadinya krisis hukum di hampir semua tingkatan. Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya masyar akat Indon esia yang d amai, demokra tis, berda ya saing, maju dan sejahtera, dalam wad ah N egara Kesatuan R.I. yang d iduku ng oleh manu sia Ind onesia yang man diri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengu asai iptek, memiliki etos kerja yan g tinggi serta berdisiplin. Untu k mewu jud kan visi tersebut, maka m isi yang d igariskan d alam GBHN juga m enggaris bawahi betapa pentingnya p erwujudan sistem hu kum n asional yang menjamin tegaknya suprem asi huku m dan H AM yang berlandaskan keadilan d an kebenaran. Atas dasar kondisi umum, visi dan misi di atas, maka arah kebijakan hu kum yang har us d icapai adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka sup remasi hukum dan tegaknya Negara huku m. 2. Menata sistem huku m nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan m enghormati agama dan hu kum adat serta memp erbaharui perun dang-un dangan warisan kolonial dan hu kum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 3. Menegakkan hukum secara konsisten u ntuk lebih m enjamin kepastian hu kum, keadilan d an kebenaran, sup remasi hukum serta menghargai HAM. 4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang bertalian dengan HAM sesuai dengan kebutuh an dan kepentingan bangsa dalam bentuk Undang-Undang. 5. M e n in g k a t k a n i n t eg r i ta s m o r a l d a n p r o fe s io n a li sm e a p a r a t penegak hukum, termasuk POLRI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif. 4
6. Mewujud kan lembaga peradilan yang mand iri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. 7. M e n g em b a n g k a n p e r at u r a n p e r u n d a n g - u n d a n g a n y a n g mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. 8. Menyelenggarakan p roses peradilan secara cepat, mud ah, murah dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran. 9. M e n i n g k a tk a n p e m a h a m a n , k e s a d a r a n , p e r l in d u n g a n , penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek kehidupan. 10.Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran huku m d an HAM yang belum d itangani secara tuntas. Untuk selanjutn ya den gan cara mengiden tifikasi peta kekuatan , kelemahan , peluang d an ancaman atau kend ala yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, harus segera diajukan pelbagai alternatif pemecahan guna meningkatkan peranan Mahkamah Agung dan kekuasaan kehak iman lainnya d i era reformasi. Kekuatan Derap reformasi yang mengawali lengsernya Ord e Baru pad a awal tahun 1998 pada dasarnya merupakan gerak kesinambungan yang m erefleksikan komitmen bangsa Ind onesia yang secara rasional dan sistematis bertekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi. Nilai-nilai dasar tersebut antara lain berupa sikap transparan dan aspiratif dalam segala pengambilan keputu san p olitik, pers yang bebas, sistem pemilihan umum yang jujur dan adil, pemisahan POLRI dan TNI, sistem otonomi daerah yang adil, dan prinsip good governance yang mengedepankan profesionalisme birokrasi lembag a eksekutif, keberad aan bad an legislatif yang ku at dan berwibawa, kekuasaan kehakiman yang independen d an impartial, partisipasi masyarakat yang terorganisasi dengan baik serta penghormatan terhadap su premasi hukum. Dalam hal yang terakhir ini (penghormatan terhadap supremasi hukum), di samping keharusan adanya kekuasaan kehakiman yang indep end en, harus d ijun jun g pu la nilai-nilai sebagai berikut; menjauhi hal-hal yang bersifat fragmentaris (ad hoc) dan mengedepankan 5
pendekatan sistematik, mengutamakan kebenaran dan keadilan, melakukan promosi dan perlindungan HAM, menjaga kesinambungan antara moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil, huku m tidak m engabdi kepada atau berada di bawah kekuasaan politik, sistem hukum yang kondusif untuk terciptanya supremasi hukum, kepemimpinan nasional yang mempunyai komitmen kuat terhadap tegaknya supremasi hukum, konsep kesadaran hu kum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa dan perasaan hukum masyarakat, proses pembuatan peraturan perund ang-und angan, proses penegakan dan p embudayaan huku m yang mempertimbangkan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional, penegakan hukum yang berorientasi pada penyelesaian konflik secara tuntas, perpaduan antara tindakan represif dan p reventif, dan perpad uan antara proses litigasi dan non litigasi (alternative dispute resolution) . Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi tersebut sebenarnya mem pu nyai basis kultural-historis yang sangat kuat, mengingat negara Republik Indonesia lahir melalui perjuan gan fisik yang teram at berat menentang penjajahan. Perjuangan itu mengandung pesan moral un tuk senantiasa menegakkan dan memp romosikan nilai-nilai HAM, sebab penjajahan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk p e l a n g g a r a n H A M b e r a t (gross violation of human rights) . Mempromosikan dan menegakkan HAM merupakan salah satu elemen utama supremasi hukum, dan supremasi hukum sendiri meru pakan salah satu inti nilai demokrasi. Semangat ini dengan jelas tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD 1945. Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (Rechtsstaat), tidak berd asar atas kekuasaan belaka (Machsstaat), serta pernyataan bahwa kekuasaan kehakiman m erupakan kekuasaan yang merd eka, mengand un g spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hu kum d an melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah dan menghind ari kegagalan pencapaian keadilan. Perlu dicatat bahwa prinsip independ ensi kekuasaan kehakiman meru pakan pr insip yang diakui sebagai salah satu instrumen HAM internasional yaitu UN Basic Principles on the Independence of t he Judiciary (1985). Dengan demikian dap at dikatakan bahwa usah a untuk melakukan 6
reformasi hukum sebenarnya telah terjadi sejak proklamaasi kemerdekaan, khususnya pada saat UUD 1945 disusun. UUD 1945 tidak hanya merupakan sistem normatif hukum dasar semata-mata, tetapi sarat dengan sistem nilai demokratis yang merupakan reaksi terhadap p enjajahan yang penu h d iwarnai dengan penindasan terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dan HAM. Rangkaian langkah reformasi tersebut terus berlanjut pada zaman Konstitusi RIS, UUD 1950 dan setelah kita k emb ali ke UUD 1945 melalui Dekr it Presid en 5 Juli 1959, sampai d engan p roses amandemen UUD 45 saat ini. Malpraktek, penyimpangan dan distorsi yang terjadi dalam praktek konstitusi biasanya lebih banyak diakibatkan oleh kecerobohan, kebodohan, kemiskinan, kurang pengalaman, kurang kemampuan dan ku rang pengetahuan, yang pada akhirnya banyak dim anfaatkan oleh elit-elit politik yang tid ak bertangg un gjawa b, yang berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan memaduk an ideologi tertentu yang d ianutnya dengan teror sistematis dan huku m yang sudah dikooptasi oleh kekuasaan. Dalam konteks ini dapat dipahami jika muncul apa yang diistilahkan dengan ‘crimes by government’ atau ‘top hat crimes’, suatu istilah yan g m elukiskan tentang praktek pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar d emokrasi dan HAM yang melibatkan unsur negara atau pemerintah . Setiap tahap pergantian rezim selalu mengandung harapanharapan baru berupa kehidup an yang lebih demokratis dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Jatuhnya Orde Lama yang digantikan Orde Baru, yang ditandai dengan ikutsertanya para teknokrat dari dunia akademis di pemerintahan, pada mulanya membawa angin segar dan harapan baru d alam kehidup an politik di Indonesia. Namun akibat inkonsistensi dalam sikap dan pemikiran dalam menegakkan nili-nilai dasar demokrasi, pada akhirnya Orde Baru terseret dalam praktek-praktek p emerintahan pragm atis d an otoriter. Akibatnya hukum ditundukkan untuk mengabdi kepada sistem keku asaan rep resif. Sebagai contoh ad alah peru nd angan UU No. 14 Tahu n 1970 yang m enggan tikan UU No. 19 Tahu n 1964. Dalam hal ini masyarakat hukum Indonesia mengharapkan adanya kehidupan hukum yang lebih responsif dan demokratis, karena banyak prinsip-prinsip “due process of law” yang d iadopsi. Namu n d emikian d i sisi lain masih terdapat pu la pasal-pasal yang tidak m enun jukka n k onsistensi, seperti Pasal 11 ayat (1) UU N o. 14 7
Tahun 1970 yang memungkinkan campur tangan departemendepartemen teknis (DEPKEH, DEPHANKAM dan DEPAG) untuk mengurus organisasi, administrasi dan finansial badan-badan kehakiman kecuali Mahkam ah Agu ng. Baru d engan UU No. 35 Tahun 1999, setelah melamp aui rentan g ham pir tiga dasaw arsa, hal ini secara bertahap d apat d ikoreksi. Dalam praktek terbukti bahwa inkonsistensi tersebut dimanfaatkan oleh kekuasaan eksekutif untuk melakukan intervensi ke dalam kekuasaan kehakiman, khususn ya dalam kasuskasus bernuansa politik yang diperkirakan baik langsung maupun tidak langsung akan merugikan pemerintah atau kekuasaan. Pengangkatan pimpinan Mahkamah Agung tidak terkecuali selalu direkayasa sehingga dijabat oleh mereka yang direstui penguasa. Demikian pula kehendak politik untuk mempertahankan berlakunya UU No. 11/ Pnps/ 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, dengan cara tidak m elaksanakan ketentuan -ketentuan sebagaimana tersu rat d an tersirat dalam UU N o. 5 Tahun 1969, yang pada akhirnya banyak memproduksi ratusan tapol dan napol (Catatan: UU No. 11/ Pnps/ 1963 telah dicabut melalui UU No. 26 Tahun 1999). Contoh lain adalah kegagalan Orde Baru untuk membuat TAP MPRS yang mengatur tentang HAM dengan alasan yang bersifat sangat partikularistik dan cenderung defensif. Selalu saja terbukti bahw a sikap tidak taat asas ternyata mem bawa bencana bagi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya pada dunia hu kum . Selama Orde Baru, HAM sipil dan p olitik banyak d ilanggar dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik demi kelancaran pem bangu nan ekonom i. KKN merajalela, peny alahgun aan kekuasaan meluas, hukum merupakan subordinasi dari kekuasaan politik, dan campur tangan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman sudah menjadi cerita biasa. Beberapa keputusan Mahkamah Agung jelas jela s m em p er lih at ka n p em ih ak an n ya te rhad ap kek u as aa n , m eski den gan akibat meru gikan rakyat kecil. Kebenaran da n keadilan sering dikesampingkan dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa, demi Pancasila, demi kepentingan umum, demi asas kekeluargaan dan sebagainyaa, meski semua itu m erugikan HAM. Terdapat pula sikap ambivalen akibat pengaruh universal dan global yang mengharuskan penguasa untuk mengadopsi kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, seperti tercermin pad a kasus – un tuk m enyebut beberapa 8
— diundangkannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan dibentuknya KOMNAS HAM d engan Kepp res No. 50 Tahun 1993 yang m embawa pesan-pesan demokratis (kedudukan Komnas HAM kemudian dip erkuat oleh UU No. 39 Tahu n 1999 tentang H AM). Marakny a aktivitas pelbagai LSM yang bergerak d i bida ng stud i dan advokasi hukum serta HAM, turut pula memberikan kontribusinya sendiri. Mereka berjuang tanpa lelah menembus kekakuan birokrasi, dibantu oleh tekanan masyarakat internasional yang cukup efektif. Cuku p lama kita merasakan bahwa w ajah hu kum kita berw ajah gand a. Tidak d apat d isangkal bahwa di samp ing krisis ekonomi yang dahsyat, sebenarnya langkah-langkah ambivalen tersebut merup akan rahmat tersembu nyi (blessing in disguise) dan turut and il dalam kejatuhan Ord e Baru. Kekuatan lain yang mem beri semangat reformasi hukum adalah proses globalisasi sebagai akibat p erkembangan teknologi komun ikasi, informatika dan transportasi modern, yang menyebabkan interdependensi antar bangsa semakin tak terhindarkan sehingga mengharu skan terjadinya harm onisasi hu kum yang intensif terhad ap ketentuan-ketentuan hu kum internasional. Harm onisasi tidak hanya melalui ratifikasi terhad ap pelbagai konvensi intern asional, tetapi juga terhadap sumber-sumber hukum internasional lain yang terbukti dalam p raktek telah d iterima sebagai hu kum , seperti huku m kebiasaan internasional, asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsab a n g s a b e r ad a b , d a n k e p u t u s a n p e n g a d i la n s e r t a p a n d a n g a n pand angan p enulis yang berkualitas dari p elbagai bangsa yang secara komplementer dap at didayagunakan untu k menegakkan sup remasi hu kum b aik nasional maup un internasional. Dalam hal ini Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4 mem berikan pem benaran bahw a Pemerintah Indonesia juga m embaw a misi untuk “ikut m elaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Bahk an p elbagai deklarasi, resolusi, standard min imum rules, model law/model treaties, code of conduct, guidelines dan hasil-hasil kongres internasional yang sering diselenggarakan oleh organisasi profesi hukum atau NGO’s, sering dimanfaatkan untuk acuan harmonisasi hukum. Sebagai contoh, untuk menggambarkan dampak keterlambatan dalam menyesuaikan diri dengan kecenderungan 9
internasional adalah maraknya tuntutan internasional terhadap mereka yang ditudu h m elakukan p elanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat 1998. Ancaman digelarnya international criminal tribunal, karena dipandang tidak memiliki kemauan dan kemamp uan u ntuk m engadili si pelanggar, mengharu skan kita untu k segera membentuk UU Pengadilan HAM, mengingat PERPU No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM telah ditolak DPR. Melalui pelbagai debat dan polemik, demi atas nama kehormatan bangsa, produk UU Pengadilan HAM yang sesuai dengan standar internasional tersebut memang tidak bisa lain harus ada. Mengingat gerakan reformasi hukum harus mencakup seluruh subsistem hukum (struktur, substansi dan kultur hukum) maka supresmasi tersebut juga akan mencakup pula seluruh aspek yang berkaitan dengan peradilan yang masu k wilayah kekuasaan eksekutif (seperti Polri dan Kejaksaan sebagai penegak hukum), kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan kehakiman). Bahkan aspek sosial yang sifatnya nongovernmental seperti profesi adv okasi dan m asyarakat luas (berkaitan dengan kesad aran huk um m asyarakat) haru s menjadi bagian sasaran reformasi hukum. Pembaharuan substansi hukum yang mencakup 67 Undangun dan g, 3 Perpu , 112 Peraturan Pemerintah, 253 Kepu tusan Presiden dan 31 Instruksi Presiden sejak lengsernya Ord e Baru bag aimanap un harus dilihat sebagai hal yang positif, dan kemajuan tersebut merupakan modal pembangunan hukum sebagaimana tercantum dalam GBHN 1999-2004. Demikian pu la tekad u ntu k m emberantas KKN d an tindak p idana ekonom i lainnya, termasu k keberadaan visi dan misi serta keberadaan arah dan kebijakan yang jelas dalam pembangun an hu kum, penting sekurangnya untu k d iapresiasi sebagai niat baik. Introspeksi atas Beberapa Kelemahan Kelemahan pembangunan bidang hukum Indonesia saat ini sebenarnya sudah dapat diidentifikasi dari kondisi umum, visi dan misi, serta kebijakan d i bidan g hu kum yang telah dirum uskan secara garis besar oleh perumus GBHN di atas. Faktor-faktor yang sangat menonjol dari rumusan itu antara lain berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 10
1. M a s ih d i p e r lu k a n n y a p e n i n g k a t a n in t e g r it a s m o r a l d a n profesionalisme ap arat huku m, kesadaran hu kum, m utu pelayanan hukum , kepastian d an keadilan hu kum; 2. Perlunya peningkatan tekad dan kesunggu han aparatur penegak hukum; 3. Masih adanya praktek campu r tangan dalam peradilan, sehingga perjuangan untuk menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman perlu terus dilakukan; 4. Masih adanya tump ang tindih dan kerancuan hukum; 5. Belum terwujud nya sistem huku m nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan d an kebenaran; 6. Masih diperlukannya ratifikasi konvensi internasional di bidang HAM; 7. M a si h k u r a n g n y a p er a t u r a n p e r u n d a n g - u n d a n g a n y a n g mendukung perekonomian dalam menghadapi perdagangan bebas, meskipun tan pa m elupakan kepentingan n asional; 8. Masih belum terwujud nya peradilan yang cepat, mu rah, mud ah, terbuka d an bebas dari KKN; 9. Promosi dan p erlindungan H AM yang masih perlu d itingkatkan, termasuk penegakan hu kum terhadap para p elanggar HAM. Di samping itu perlu masih harus dipikirkan secara mendasar, khu susnya d alam rangka melanjutkan p roses perubahan UUD 1945, yaitu belum mantapnya pengaturan Konstitusi (UUD 1945) yang berkaitan dengan prinsip keku asaan kehakiman y ang m erdeka. Prinsip un iversal ini ( UN Basic Principles on the Independence of Judiciary, 1985 ) tidak cukup d iuraikan dalam perund ang-und angan di bawah UUD. Prinsip ini mestinya dirumuskan dalam batang tubuh UUD 1945. Sayangnya, dalam proses amandemen UUD 45 prinsip ini tidak ditegaskan dalam Batang Tuhuh UUD 45. Dalam rangka ini pula, implementasi UU No. 35 Tahun 1999 harus dipercepat, khususnya pelbagai perubahan yang harus dilakukan terhadap perundangundangan yang bersumber pada UU No. 14 Tahun 1970 dan pelaksanaan pengaturan organisasi, administrasi dan finansial di bawah satu atap Mahkamah Agung. Dalam pengaturan tentang kekuasaan kehakiman, perlu d itegaskan kewenangan Mahkam ah Agu ng sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi 11
(supreme court) untuk melakukan uji materiil (judicial review) yang mencakup pula uji materiil terhadap undang-undang sebagai bagian prinsip check and balance dalam kehid up an dem okrasi, sebagai alternatif dari usulan u ntuk d ibentuknya Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) . Tidak benar apabila dikatakan bahwa hal ini — seperti d ikhawatirkan banyak orang — akan menempatkan Mahkamah Agu ng sebagai super legislature. Tujuannya semata-mata untuk melindungi konstitusi Indonesia dan sekaligus juga merup akan konsekuensi adanya tata uru tan p erund ang-undangan Repu blik Ind onesia. (catatan: dalam proses amandemen UUD’45 kedudukan Mahkamah Konstitusi diku kuh kan d alam Pasal 24 c). Selanjutnya dalam rangka mengimbangi tegaknya kekuasaan kehakiman yang bebas, usu lan adanya semacam lembaga pengaw as eksternal yang independen (Komisi Yudisial) perlu diatur untuk menjaga integritas Mahkam ah Agun g. Keberadaan Komisi Yud isial telah dikukuhkan dalam proses amandemen UUD’45, Pasal 24 b. Demikian p ula d engan u sulan agar d ibentuk divisi-divisi atau kamarkamar khusus di Mahkamah Agung guna meningkatkan kinerja Mahkamah Agung agar lebih profesional, khususnya dalam menghad api hubungan d an peristiwa hukum yang semakin kompleks akibat mod ernisasi dan globalisasi, harus ditanggap i secara p ositif. Belum mantapnya pengaturan organisasi profesi advokat atas dasar perundang-undangan baru yang lebih menjamin integritas, uniformitas, standardisasi profesi, kode etik dan peradilan disiplin merupakan permasalahan tersendiri. Kondisi semacam itu mengakibatkan profesi advokat belum sepenuhnya diperlakukan sebagai salah satu subsistem p eradilan. Bahkan tidak jarang, secara struktural dan individual penasehat hukum justru melakukan malpraktek dan turut andil dalam proses gagalnya pencapaian keadilan . Perilaku d i bawah stand ar p rofesi (professional malpractice) tersebut tidak h anya m enimbulkan kerugian p erseorangan, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan m asyarakat terhadap profesi huku m, dalam arti luas mengganggu proses pembangunan hukum nasional. Kedudukan hakim sebagai pegawai negeri dan keikutsertaan hakim sebagai anggota Muspida dan Mahkejapol yang cenderung m e n i m b u l k a n conflict of interest d a n m e n g g a n g g u p r i n s i p profesionalisme d an ind ependensi hakim harus diakhiri. Demikian p ula pr aktek penerbitan “sura t sakti” MA atas dasar alasan fungsi pem binaan 12
dan pengawasan MA tidak sepatutnya d ilakukan, kecuali atas dasar alasan yang transparan d engan pertimbangan adanya clear and present danger terhadap asas supremasi hukum. Lalu istilah-istilah klise atau jar gon -ja rgon yan g tid ak se la lu m u d ah d im en ger ti h en d akn ya dipraktekkan dengan indikator-indikator yang lebih jelas. Sebagai contoh, istilah “sistem peradilan pidan a terpad u”, orang cend erung sulit memahaminya dalam konteksnya yang operasional. Karena itu pelbagai ind ikator efektivitas kinerja operasionalnya h aru s lebih jelas seperti; crime rate yang rendah; clearance rate yang tinggi; conviction rate yang tinggi; reconviction rate yang rend ah; partisipasi pu blik yang tinggi; profesionalisme penegak h uku m; rendahn ya disparitas sanksi; s peedy trial (dalam GBHN dirumuskan lebih luas yakni cepat, murah, sederhana dan terbuka); sistem pendidikan terpadu antar penegak huku m; dan transparansi antar subsistem p eradilan pidan a. Sepanjang menyangku t indikator “pengadilan yang cepat” d apat dikemukakan bahw a suatu keterlambatan yang tidak beralasan dalam penan ganan proses peradilan ( un reasonable delay of just ice) merup akan pelanggaran HAM bagi pencari keadilan. Sehubungan dengan ini, ada kenyataan yang sangat memp rihatinkan yaitu stagnasi perkara di tingkat ka sasi (kuran g lebih 16.000 kasus). Untuk itu di satu pihak diperlukan langkah crash program yang bervariasi dengan m elibatkan “masyarakat huku m Indonesia” (seperti akademisi dan ad vokat), di lain pihak diperlukan p erundang-undangan yang dap at membatasi kasasi. Di samping itu perlu pula dikaji kemungkinan untuk menerapkan semacam pengadilan keliling (mobile court) MA ke pelbagai Pengadilan Tinggi un tuk m elakukan “jempu t bola” terhadap kasus-kasus yang d iajukan sebagai perkara kasasi. Masih terjadinya langkah ad hoc yang bersifat fragmentaris dan pragmatis, sebaiknya dikaji dan diuji terlebih dahulu atas dasar konsistensi sistem secara menyeluru h. Sebagai contoh adalah usaha untuk menghidupkan kembali lembaga sandera (gijzeling) dalam kasus utang piutang (perdata). Lembaga ini sejak tahun 1964 — dengan pertimbangan bertentangan dengan keman usiaan — atas pengarahan MA tidak digunakan kembali. Dalam suatu sistem yang tidak didukung oleh kualitas SDM yang berwawasan luas, kemungkinan penyalahgunaan lembaga ini besar sekali. Kriteria debitur yang beritikad “baik” da n “bur uk” sang at subyektif, apalagi dalam situasi krisis multidimensional seperti saat ini. Kondisi force majeure 13
merup akan sesuatu yang terlalu debatable. Kreditur yang “kuat” dengan mudah akan dapat merampas kemerdekaan debitur atas biayanya sendiri maksimum satu tahun. Padahal kebijakan pidana saat ini justru mengh indari short prison sentence di bawah satu tahun yang cenderu ng d ianggap meru sak. Secara empiris juga m embu ktikan bahwa lembaga sandera, atas dasar UU No. 19 Tahun 1997 tentang perpajakan, juga tak pernah diterapkan karena masih dapat diatasi dengan upaya lain seperti penyitaan jaminan pribadi dan lain-lain. Sekali lagi usaha untuk menghidupkan kembali lembaga sandera, harus d idahului dengan pertimbangan yang masak. Indikasi masih banyaknya koru psi di p engadilan ternyata tidak hanya menimbulkan keprihatinan negara per negara, tetapi juga di forum internasional. Korupsi di pengadilan tidak hanya merusak supremasi huku m atas dasar independensi kekuasaan kehakiman, tetapi dianggap p ula bertentangan d engan prinsip-prinsip demokrasi yang did asarkan atas kepercayaan. Tind akan tersebut berup a berbuat atau tidak berbuat sesuatu (omission) yang mengakibatkan atau bertujuan un tuk m engganggu kebebasan dan b ersifat tidak mem ihak pengadilan. Secara khusus korupsi terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan mencari atau m emperoleh keuntu ngan p ribadi d alam kaitan d engan kekuasaannya. Perbuatan-perbuatan tersebut dap at berupa penyu apan, penipuan, pembocoran informasi, memalsu atau merubah bahkan menghilangkan d okumen p engadilan d an sebagainya. Korupsi d i pengad ilan (istilah “mafia perad ilan” terkesan terlalu didramatisasi) juga terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan lainnya m elakukan perbuatan m elawan h ukum atas dasar pengaruh, rayuan , tekanan, ancaman atau camp ur tangan (langsung atau tidak langsung) sehingga menimbulkan benturan kepentingan. Faktorfaktor yang berpengaruh antara lain karena nepotisme, hubu ngan kawan, janji-janji berkaitan dengan prospek promosi, masa depan setelah pensiun, tekanan kekuasaan politik, hubungan yang salah dengan p rofesi huku m d an pihak yang berperkara atau calon pihak yang berperkara, hubungan yang salah d engan penegak hukum lain (misalnya jaksa) dan lain sebagainya. Guna mengatasi hal tersebut Center for the Independence of Judgesand Lawyers (CIJL), yang m erup akan su bsistem d ari the International Commission of Jurist (ICJ) telah memprakarsai pertemuan 16 Pakar di Jenewa pada tanggal 23-25 Pebruari 2000 (penulis merupakan salah 14
seorang yang diun dang). Rekomendasi penanggu langan yang d iajukan antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Perlunya mekanisme independ en untuk m enginvestigasi du gaan korupsi; 2. Menekankan betapa p entingnya “Judicial Ethics”, yang diduku ng sanksi yang tegas; 3. Perlu adanya ketentuan yang mengharuskan pengungkapan dan pemantauan kekayaan hakim dan pejabat pengadilan; 4. Perlu ad anya peranan aktif dari lembaga pengadilan untuk memberikan informasi kepada publik tentang terjadinya korupsi di pengadilan; 5. Perlu d isediakannya pembiayaan yang memadai untuk pengadilan; 6. Seleksi dan p romosi hakim d an pejabat pengadilan atas dasar merit system ; 7. Gaji dan kesejahteraan hakim dan pejabat pengadilan yang memadai; 8. Peranan organisasi profesi penasehat hukum untuk mendidik anggotanya dan masyarakat umum u ntuk menghindarkan diri dari koru psi di pengad ilan d an secara aktif mengambil langkah -langkah untuk mencegah, mengekspos dan mengambil tindakan disiplin. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa keberadaan UU Pemberantasan Tindak Pidan a Korupsi yang baru (UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 th. 2000) Komisi Penyidik Terpadu, UU Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN (UU No. 28 Tahun 1999), Lembaga Khusus Pendaftar Harga Kekayaan Penyelenggara Negara, Lembaga Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Independen Pemberantasan Korupsi, Majelis Kehormatan Hakim, UU Perlindungan Saksi (semacam Whistle Blower Act) d an UU tentang M oney Laun dering, diharapkan dapat meningkatkan kinerja pem berantasan KKN di m asa datan g. Selanjutn ya koord inasi antar lembaga-lembaga yang baru dengan yang sudah ada sangat dibutuhkan, sehingga tidak menimbulkan situasi ‘overorganized’. Masih ad anya kontroversi tentang keberadaan h akim non karir atau hakim adhoc harus diakhiri. Ketentuan yang terdap at di d alam Pasal 7 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 yang memungkinkan rekrutmen hakim non karir atau h akim adhoc atas dasar bakat dan keahliannya harus dikembangkan secara proporsional demi 15
peningkatan kinerja pengad ilan. Pend ayagun aan hakim adhoc sangat dibutuhkan dalam kasus-kasus yang membutuhkan pendekatan komprehensif dan kepakaran seperti kasus-kasus HAM, niaga, hak cipta, lingkungan hidup dan sebagainya. Salah satu kelemahan lain yang san gat dirasakan oleh p engad ilan adalah kualitas sumber daya manusia, khususnya penguasaan yang minim terhadap sum ber-sumber hu kum internasional dan instrumeninstrum en internasional lain sebagaimana telah disebutkan sebelumn ya. Penguasaan tersebut sangat p enting tidak han ya dalam kasus-kasus transnasional, tetapi juga dalam rangka harmonisasi keputusankeputusan hakim terhadap pelbagai kecenderungan yang diakui bangsa-bangsa beradab sehu bungan dengan proses globalisasi. Citra positif dalam hal ini dapat menumbuhkan kepercayaan asing, khususnya berkaitan dengan ekonomi pasar dan investasi. Usul rekru tmen h akim asing sangat berlebihan. Keterlibatan p ara ahli asing dap at dilakukan melalui prosedur kesaksian ahli ( expert testimony ) atau sebagai bagian kelomp ok pak ar. Dalam keran gka SDM ini pula p erlu disampaikan betapa pentingnya pengaturan sistem seleksi dan rekrutmen hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang transparan atas dasar kemampuan dan kualitas moral dan intelektual. Demikian pula sistem promosi hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang seharusnya dilakukan atas dasar merit system yang diharapkan akan mendorong dan memberi semangat mereka untu k menjalankan tu gasnya lebih baik. Peluang dan Ken dala Reformasi hukum termasuk reformasi di bidang kekuasaan kehakiman akan terus dilakukan secara berkesinambu ngan, baik yang berkaitan dengan stru ktur (kelembagaan ), substansi (huku m positif) mau pu n ku ltur (iklim). Di dalam masyarakat modern d an d emokratis, peranan pengad ilan — lebih-lebih Mahkam ah Agu ng — tidak hanya mengadili dan memberikan penilaian bagi pihak-pihak yang berperkara (fungsi yudisial). Begitu pula Mahkamah Agung tidak hanya dibebani tugas lain seperti fungsi ju dicial review, fungsi pembinaan dan pengawasan, fungsi pertimbangan dan fungsi mengatu r, tetapi juga fun gsi-fungsi lain yan g lebih luas d i masa d atang haru s pula diperhatikan, khususnya berkaitan d engan praktek negara dem okratis. Fungsi-fungsi yang haru s tercermin d ari keputu san hakim tersebut melipu ti; fungsi pend idikan hu kum bagi masyarakat; fungsi 16
untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan HAM; fungsi pembaharuan hukum melalui proses penemuan hu kum ( rechtsvinding); fungsi judicialization of politics atau fungsi policy m aking by judge; d an fungsi p enyelesaian konflik secara tu ntas. Untuk itu, jelas dibutuhkan kapasitas pengetahuan yang luas bahkan m encakup pu la pengetahuan ekstra yuridis, mengingat sistem yudisial merupakan subsistem dari sistem sosial yang lebih luas. Pelbagai pend apat agar Ketua Mahkamah Agu ng memb ebaskan diri dari fungsi mengad ili agar bisa menjaga independ ensinya serta dapat berkonsentrasi pada manajemen d an fungsi-fungsi Mahkamah Agu ng lain yang akan memberikan nuansa kehidupan politik, cukup layak untuk dipertimbangkan. Di samping spirit reformasi tersebut d i atas, proses globalisasi, independensi kekuasaan kehakiman yang semakin mantap, rekrutmen dan promosi atas dasar merit system yang menjamin terjadinya kom petisi ketat dan adil, penerap an p rinsip good governance yang konsisten, kesejahteraan d an p endidikan hu kum yang lebih baik, semuanya harus d ilihat sebagai peluang u ntuk m enempatkan huku m, keadilan dan kebenaran menjadi salah satu acuan utama dalam kehidup an bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendala-kendala yang akan dihadapi untuk mereformasi Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lain bersifat mu ltidimensional. Sebagian kendala telah dikem uka kan pad a analisis yang berkaitan den gan p elbagai kelemah an d i atas, yang m encakup hal-hal yang telah tersur at d an tersirat d alam GBHN 1999-2004 (baik yang berkaitan dengan struktur, substansi maup un kultur hu kum), seperti belum mantapnya pengaturan UUD 1945 yang berkaitan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman (termasuk lambatnya pelaksanaan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ), terbatasnya kewen angan uji materiil (hanya terhadap p eraturan-peraturan yang lebih rendah daripada UU), belum adanya lembaga pengawas internal yang independen, tidak adanya divisi-divisi spesialis di Mahkamah Agung yang lebih menjamin profesionalisme, Undan g-undang advokat yang sud ah ketinggalan jama n, ma sih ad an ya “surat sakt i” da ri MA dengan alas an p engawasan atau pembinaan yang selalu memperoleh reaksi negatif dari masyarakat, kedud ukan hakim sebagai pegawai negeri, kedud ukan 17
K et u a K P T/ K PN s e b ag a i a n g g o t a a t a u p e n a s e h a t M u s p i d a , keberadaan lembaga Mahk ejapol, besarnya jum lah tunggak an perkara di MA dan tiadanya pembatasan kasasi, masih adanya langkahlangkah adhoc yang tidak sistemik, masih maraknya korupsi di pengadilan, kurangnya kemampuan penguasaan hakim terhadap sumber-sumber hukum dan kecenderungan internasional, belum efektifnya tugas-tugas MA di bidang-bidang non yudisial, masih belum efektifnya peranan hakim n on-karir atau hakim adhoc d an sistem rekru tmen hakim d an p ejabat pengad ilan serta sistem prom osi yang cenderun g belum transparan. Bagaimanapun peningkatan peranan Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi sedikit banyak akan tergantung pada keberhasilan untuk mengatasi pelbagai kelemahan atau kendala di atas. Di luar itu terdapat hal-hal lain yang sifatnya lebih eksternal tetapi memiliki dam pak tersend iri terhad ap keku asaan kehakiman, m isalnya; • keberadaan pemimpin-pemimpin nasional di segala lini yang memiliki komitmen kuat dan konsisten terhadap supremasi hukum; • kualitas perundang-und angan yang aspiratif, baik dalam kaitannya dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran m aupu n aspirasi internasional; • tersedianya sarana dan prasarana yang relatif memadai, yang menjamin adan ya sistem informasi dan manajemen yang efisien dan efektif; • partisipasi masyarakat yang terorganisasi secara baik dan kritis (misalnya dalam bentu k judicial watch) dalam kerangka m asyarakat madani; • tersedianya sumber daya manusia yang memadai baik dari sisi mental maup un intelektual; • keberadaan Dewan Pakar yang dapat memberikan “policy advice” diminta atau tidak d iminta; • kelembagaan yang mangkus dan sangkil; • pelembagaan sistem penyelesaian sengketa alternatif yang bersifat komplementer terhadap sistem litigasi, mengingat sistem penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan dengan proses pen gad ilan. Dalam hal ini efektivikasi UU N o. 30 Tahun 1999 tentan g Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa harus d itingkatkan ; 18
•
•
•
•
•
kesediaan hakim d an para pejabat pengadilan untuk senantiasa meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan hukum yang baru, baik melalui studi lanjut, pelatihan, banyak membaca, maupun berpartisipasi dalam seminar-seminar ilmiah. Perlu d ipikirkan pu la adanya forum dialog reguler antara hakim dan advokat untuk membahas m asalah-masalah hu kum yang aktual; tersedianya lembaga khusus yang selalu mengkaji dan memantau perkembangan sumber-sumber hukum internasional, baik yang bersifat konvensi maupun bentuk lainnya. Dalam hal konvensi baik yang belum m aup un sud ah d iratifikasi serta tindak lanjutnya; s ik a p M a je li s Ke h o r m a ta n H a k i m y a n g te g as d a n t i d a k menimbu lkan kesan melindun gi hakim yang salah dengan alasan kesetiakawanan. Untuk itu perlu dikembangkan Pengadilan Disiplin yang transparan dan dilengkapi dengan unsur-unsur eksternal guna m enjaga obyektivitasnya; k eb er ad a an U U t en ta n g Contempt of Court yang mencegah terjadinya p erbuatan-perbuatan yang bernad a scandalizing the court , disobeying court order, disturbing justice and sub-judice rule; keberad aan Special Board untu k rekrutmen hakim yang anggotanya terdiri atas hakim, akademisi, advokat dan tokoh masyarakat, guna mencegah kemungkinan terjadinya KKN yang merusak kualitas SDM.
Penutup Atas dasar pen gamatan , kontam inasi kekuasaan p olitik otoriter terhadap kekuasaan kehakiman di masa lalu telah membuahkan kerusakan yang parah terhadap kekuasaan kehakiman. Belum lagi k e r u s a k a n -k e r u s a k a n y a n g d i t im b u l k a n o l e h b u d a y a t id a k bertanggungjawab akibat pengaruh materi dan konsu merisme yang menjadikan proses penyelesaian perkara di pengadilan tumbuh sebagai komoditi perd agangan. Mengingat ind epend ensi pengad ilan meru pakan salah satu pilar pokok demokrasi, maka penyehatan kekuasaan kehakiman merup akan tanggun gjawab kita semu a, khususnya p ara hakim, pejabat pengad ilan lain, penegak h uku m terkait, seperti jaksa d an lain-lain, profesi advokat, anggota masyarakat umum dan pencari keadilan, para akedem isi, med ia massa dan sebagainya. Untu k bisa berperan secara m aksimal sebagai pilar dem okrasi, haru s dilakukan reformasi 19
secara sistemik terhad ap kekuasaan kehakiman termasuk Mahkam ah Agung. Secara sistemik, reformasi hukum mengandung elemen struktu ral (kelembagaan yang terkait pad a sistem), elemen su bstansial (huku m p ositif yang m endasari jalannya sistem tersebut) dan elemen kultural (pandangan, sikap, bahkan filosofi yang mendukung efektivitas sistem tersebu t). Mengingat masalahnya d emikian komp leks maka p erlu ada skala prioritas yang disusun dengan mempertimbangkan desakan masyarakat terhadap tegaknya reformasi hukum dan reformasi kekuasaan kehakiman, khususnya Mahkamah Agung. Untuk itu program jangka pendek d an jangka menengah harus d iarahkan pad a aspek-aspek reformasi struktural dan substansial secara kasuistis. Sedangkan program jangka pan jang secara simu ltan diarahkan pad a aspek kultural. Jangka pendek bisa dilakukan antara 2-3 tahun, sedangkan jangka panjang paling lama 5 tahun. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. n
20
Peran Serta Masyarak at D a l a m P r o s e s Pe n e g a k a n H u k u m P a s c a Re f o r m a s i Pendahuluan Penggunaan istilah “pasca reformasi” sebenarnya mengandung kontrad iksi interm inis. Sebab secara hakiki “reformasi” ad alah sebuah proses yang tak pernah berhenti untuk menuju gambaran ideal tertentu. Penggunaan istilah itu, dalam konteks kita di Indonesia, agaknya dimaksudkan dalam pengertiannya yang kh as dan terbatas, yakni untuk melukiskan suatu babakan ru ntuhn ya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa empat tahun silam. Reformasi sebagai suatu era dan dalam pengertian p olitis sebagai tatanan atau rezim, harus diartikan sebagai usaha sistematis dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi; atau lebih luas lagi untuk mengaudit dan mengaktualisasikan indeks dem okrasi yang pad a orde lalu yang telah dimanipulasi. Demokrasi dapat digambarkan sebagai suatu piramida yang mengandung empat sub, yang masing-masing sub terdiri dari pelbagai indeks atau indikator kinerja yang dapat diaudit untuk menguku r seberapa jauh suatu negara benar-benar dem okratis. Di bawah ini akan diuraikan secara sepintas ke empat sub piramida dem okrasi tersebut. Pertama, adanya sistem pemilihan yang bebas dan adil (free and fair elections). Di dalam keran gka ini, ind ikator kinerjanya an tara lain mencakup ; pemilihan umu m yang berbasis pada komp etisi terbuka, hak pilih dan sistem pemilihan yang bersifat rahasia, pemberian kesemp atan yang sama un tuk mend ud uki jabatan-jabatan pu blik tanpa 21
diskriminasi, adanya pemerintahan yang ind ependen d an bebas dari penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh-pengaruh eksternal lain terhadap pemilih. Selanjutnya bisa disebutkan adanya akses yang adil dan sama dari partai dan kand idat untuk m enggunakan media dan sarana-sarana komun ikasi yang lain. Kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab dan bersifat responsif . Terkait di sini indikator-indikator seperti, keterbukaan informasi terhadap apa yang dilakukan penguasa, efek dari kebijakan, independensi sarana-sarana informasi milik pem erintah, efektivitas pengawasan terh adap pejabat pem erintah baik sipil maupun militer, efektivitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif, ketaatan eksekutif terhadap “the rule of law’, transparansi pengatu ran yang mengend alikan kekuasaannya, jaminan pengad ilan bahwa eksekutif taat pada hukum termasuk efektivitas acaranya, adan ya kekuasaan kehakiman yang merd eka dari pengaruh eksekutif dan pengaruh serta bentuk-bentuk campur tangan yang lain dan sampai seberapa jauh administrasi hukum terbuka bagi efektivitas pengawasan publik. Selanjutn ya, sebagai ind ikator perlu d ipertan yakan juga seberapa jau h m as ya rak at m em p er oleh ak ses u ntu k m em p er oleh ke ad ilan melalui pengadilan, ombudsman dan lain-lain, dalam rangka memperjuangkan hak-haknya akibat terjadinya “ mal administration” atau kegagalan pemerintah dan badan-badan publik untuk menjalankan tanggung jawab hukumnya. Kemudian masih dalam konteks indikator kinerja tadi, perlu dilihat pula seberapa jauh keterbukaan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat untuk menyampaikan opini publik dalam rangka pembentukan dan implementasi kebijakan dan perundang-undangan. Ketiga, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, khu susn ya hak-hak sipil dan politik. Hal ini mencakup ; seberapa jauh hukum mendefinisikan hak-hak sipil dan politik serta kebebasan warg a negara dan seberapa jauh pu la hal ini terlindu ngi; kebebasan dar i diskriminasi dalam men ikmati hak-hak tersebut; seberapa jauh keberadaan lembaga-lembaga sukarela dikembangkan d alam rangka pemantauan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut; seberapa jauh efektivitas prosedu r d an sistem sosialisasi hak-hak tersebut terh adap masyarakat; dan sampai seberapa jauh perlindungan terhadap pengungsi dan imigran yang membu tuhkan p erlindungan. 22
Keempat , adanya rasa percaya diri warga negara dalam kehidup an demokratis atas dasar kekuatannya sendiri untuk mempengaruhi pelbagai keputusan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam hal ini, ketiadaan d iskriminasi terhad ap m inoritas atas dasar kesepakatan nasional, pengawasan NGO’s , pluralisme media komu nikasi, partisipasi masyarakat dalam kehid up an ekonomi, sosial, budaya, politik atas dasar prinsip keterbukaan menjadi sangat penting. Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi sebagaimana dijelaskan di atas bersifat universal, indivisible dan interdepend en. Semuanya harus dilakukan secara simultan dan tidak boleh dilakukan dengan mengu tamakan salah satu atau beberapa indeks d i satu p ihak, seraya mengabaikan indeks-indeks. Prakondisi Penegakan H uku m Yang Dem okratis Dalam kerangka konseptual di atas, nampak bahwa indeks demokrasi yang berkaitan dengan penegakan hu kum di era reformasi adalah pelbagai indikator kinerja yang berada dalam sub piramida kedua, yaitu keberadaan pem erintahan yang terbuka, bertanggung– jaw ab d an re sp on sif, ya ng se car a ka tego ris ap ab ila d ikait ka n d en ga n penegakan hukum mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: a. Adanya prinsip keterbukaan informasi; dalam hal ini di samping perhatian terhadap HAM berup a “kebebasan berekspresi”, maka dalam pembatasannya jelas dibutuhkan apa yang dinamakan semacam “The Freedom of Information A ct” (FOIA). Prinsip keterbukaan ini seringkali dituntut masyarakat, acap disertai dengan prasangka telah terjadinya penyimpangan yang secara empiris telah banyak terjadi di masa lalu. Namun informasi juga mengenal pelbagai pengecualian (disclosure exemption). Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini perkecualian yang diatur di dalam US FOIA 1996 yang mengatur perkecualian sepanjang berkaitan d engan: keamanan nasional, rahasia-rahasia perd agangan, hak pr ivasi seseorang, laporan-laporan ban k, da ta-data tentang gas dan minyak bumi, catatan-catatan penegakan hukum, dan sebagainya. Berkaitan dengan “catatan-catatan penegakan hu kum ” (law enforcement records) , perkecualian-perkecualian tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: keterbukaan informasi dikhawatirkan akan terjadinya campur tangan terhadap proses 23
penegakan hukum; akan mengganggu atau membatasi hak seseorang atas dilaksanakannya p eradilan yang jujur (fair trial) d an tidak memihak (impartial adjudication); untu k melindu ngi kepentingan kerahasiaan pribadi (privacy interest) terhadap gangguan atau pelanggaran yang tidak beralasan (unwarranted invasion); untuk melind ungi identitas sumber-sumber yang dirahasiakan baik berup a negara atau badan intelijen, badan-badan daerah atau asing, lembaga swasta yang m emberikan informasi secara rahasia; un tuk melindungi kerahasiaan teknik dan prosedur investigasi dan penuntutan yang dapat menimbulkan risiko pengelakan hukum (circumvention of the law); dan untuk melindungi nyawa dan keamanan fisik seorang individu. b. Adanya jaminan ketaatan penguasa terhadap prinsip kedaulatan huku m atas dasar prinsip “equality before the law”. Dalam hal ini harus dicegah terjadinya penegakan hukum yang selektif dan mengandung hak-hak istimewa (privilege), misalnya banyak dipersoalkan apakah masih diperlukan izin atasan untuk memeriksa pejabat-pejabat tinggi baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Dipertanyakan p ula dalam h al ini keberadaan asas oportunitas yang memungkinkan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umu m. c. Ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab. Merdeka berarti bahwa dalam m elaksanakan judicial power, hakim haru s bebas dari pengaruh eksternal, seperti eksekutif, legislatif, kepentingan pribadi, kelompok, golongan, pengar uh p ers, pengaru h KKN; selain juga p engaru h internal dari lingkungan peradilan yang lebih tinggi. Akhir-akhir ini muncul pu la pend apat agar ind ependensi tersebut mencakup pu la seluru h jajara n sistem p erad ilan , se p erti jaksa pen untu t u mu m d an p olisi sebagai penegak hukum. Kekuasaan kehakiman, di samping memiliki ind epend ensi, juga haru s mem iliki tanggungjawab baik yang bersifat administratif, prosedural, maupu n substantif, dan akuntabilitas yudisial – baik berupa akuntabilitas politik, sosial atau p ublik, dan akun tabilitas hukum . Yang tak kalah pentingn ya adalah akun tabilitas vertikal: Tuh an! d . Adanya jaminan yang luas bagi warga negara untuk m emperoleh keadilan (access to justice) apabila terlanjur menjadi korban ak ibat malpraktek dalam penegakan hukum, baik berupa 24
“maladministration” maupun “miscarriage of justice” yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga publik. Di samping melalui lembaga-lembaga pengadilan, lembaga semacam “Ombudsman” d a n K o m n a s H A M m e n j a d i s a n g a t s t r a t e g i s keberadaannya. e. Diperlukan perund ang-undangan yang demokratis dan aspiratif; melalui koridor akademis, birokratis, sosial dan politik, akan terjaring secara p roporsional aspirasi suprastru ktur , infrastruktur dan aspirasi kepakaran. Selanjutn ya d alam era globalisasi harus dip erhatikan pu la aspirasi global yang d iakui oleh bangsa-bangsa beradab. Khusus d alam kerangka aspirasi lintas struktu ral, dalam kerangka otonom i daerah d an Tap.MPR RI No. III/ MPR/ 2000, perlu d iperhatikan aspirasi daerah dalan kerangk a Perda. Dalam rangka menghadapi “kondisi-kondisi yang luar biasa” seperti korupsi yang sistemik dan endemik, tidak mustahil diperlukan pula instrumen-instrumen yang luar biasa untuk menanggu langinya, seperti pendekatan sistem “p embuktian terbalik” (omkering van bewijslast) yang akan segera diberlakuka n. Begitu pula masalah lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap debitur yang beritikad bu ruk. f. Adanya sarana dan p rasarana yang memadai. Sarana dan prasarana ini mencakup aspek ma terial, finansial, dan kelembagaan yang b etulbetul memadai. Sebagai contoh adalah akan segera dibentuknya “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dan keberadaan “Pengadilan H AM” yang akan mengadili pelanggaran H AM berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada p ula usul untu k membentuk pengadilan khusus korupsi ( corruption court ). Hal yang secara khu sus berkaitan dengan p eran serta masyarakat yang terorgan isasi da n tertata den gan baik serta kualitas SDM yang diperlukan secara khusus akan diuraikan di bawah. Rambu-rambu Peran Serta Masyarakat Dari uraian tentang indeks d emokrasi di atas, khususnya sepan jang berkaitan dengan indikator kinerja dalam kerangka sub-piramid keempat (society w ith self- confidence citizens) telah d igambarkan betapa pentingnya hal ini ditumbuh kan d i dalam kehidupan yang d emokratis. Semangat ini tergambar d i dalam pelbagai perundang-und angan yang muncul setelah tahun 1998 (Pasca Orde Baru), yang sejak semula 25
dim aksud kan sebagai reaksi terhad ap masa lalu yang lebih menekankan pend ekatan mobilisasi dar ipada p artisipasi. Ketentuan yan g mencakup hal ini diatur di d alam Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang “Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan N egara”. Apabila digambarkan abstraksinya secara umum, “peran serta masyarakat” dalam konteks penyelenggaraan negara mengandu ng hak-hak dan kewajiban sebagai berikut: a. hak mencari, memperoleh dan m emberikan informasi mengenai pen yelenggaraan n egara (lihat FOIA di atas); b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara; c. hak menyampaikan saran dan pend apat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; d . h a k u n t u k m e m p e r ole h p e r li n d u n g a n h u k u m d a la m h a l melaksanakan haknya, dan apabila diminta hadir dalam proses peny elidikan, penyidikan d an di sidang pen gadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan k etentuan p eraturan perund ang-und angan yang berlaku. e. Hak-hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mantaati norma agama d an norm a sosial lainnya. Hal ini dimaksud kan d alam rangka menghind ari fitnah dan laporan yang tidak bertanggungjawab. (Di beberapa n egara pelakunya justru dapat dipidana). Dari sisi HAM, hak untu k berpartisipasi dalam p embangun an masuk kategori “Generasi HAM III”, yaitu “hak untuk pembangunan” (right to development ). Di samping p eran serta yang bersifat individu al, secara khu sus p erlu d itonjolkan peranan civil society y a n g d a p a t d i d e f i n i s i k a n s e b a g a i s u a t u o r g a n i s a s i kehidu pan sosial yang bersifat terbu ka, sukarela, “ self generatin g” atau sekurangnya “self supportjng”, otonom terhadap n egara, dan terikat pada suatu tertib hukum, berdiri di antara lingkungan swasta dan negara. Organisasi atau lembaga-lembaga bergerak dalam lingkup soal-soal publik yang beragam, mulai dari huku m, ekonomi, lingkungan, budaya, dan sebagainya. Gerakan civil society pada dasarnya bukanlah dimaksudkan untuk bersaing untuk mengalahkan negara, atau memupuk kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan negara secara 26
menyeluruh. Yang diharapkan oleh para aktor pendukungnya adalah semacam konsesi, kemanfaatan, perubahan kebijakan, pembaharuan kelembagaan, keadilan, dan akuntabilitas, yang kesemuanya d iorientasikan bagi pem enuh an hak-hak atau uru san pu blik d an bukan orang per orang atau kelompok eksklusif. f. Kesadaran hukum masyarakat dan para penegak hukum d alam semangat yang interaktif, antara kesadaran hu kum versi penguasa si satu sisi, dan p erasaan h ukum khusu snya persepsi keadilan yang bersifat spontan dar i masyarakat d i sisi lain. Kesimpulan Efektivitas penegakan huku m sedikit banyak tergantung p ada faktor-faktor di atas. Namun secara umum ada tiga faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pertama, adanya strategi penegakan hukum yang tepat dan dirumuskan secara komprehensif dan integral; kedua, adanya kehendak politik u ntuk melaksanakan strategi tersebut; dan ketiga, adanya pressure dalam bentuk pengaw asan masyarakat. Di samping tiga faktor di atas, selain diperlukan adanya faktor kepemimpinan yang committed terhadap su prem asi hu kum , juga etik kepemimpinan yang m encakup standar-standar sebagai berikut : a. Responsibility and A ccoun tabilit y ; hal ini memungkinkan yang bersangku tan dap at melakukan identifikasi secara terus meneru s terhadap kekuatan dan kelemahannya; b. Commitment; mencakup dedikasi, antusiasme terhadap perannya dalam organisasi, komitmen terhadap hukum dan peraturan perun dang- un dangan lain, serta standar profesi; c. Responsiveness; sifat peka d an fleksibel terhad ap p erubah an sosial dan kebutuhan publik; d . Knowledge and skills; dibangun melalui pendidikan dan pelatihan untuk menjawab kebutuhan akan ilmu pengetahuan d an teknologi yang bergerak secara dinamik; e. Conflicts of interest; dalam arti peka terhadap kemu ngkian benturan kepentingan, terutama antara kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi; f. Professional Ethics ; h a r u s s e l a l u m e l a k u k a n e v a l u a s i u n t u k mendeteksi seberapa jauh keputusan yang telah diambil sejalan dengan stand ar etika. n 27
Re f o r m a s i H u k u m d a n Pr o s e s D e m o k r a t i s a s i d i I n d o n e s i a Reformasi hu kum di Indonesia harus d ipand ang sebagai bagian integral dari proses demokratisasi yang tak boleh henti. Peralihan dari rezim pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Habibie – disebu t sebagai Kabinet Reformasi — yang beru mu r singkat sangatlah dramatik. Hal ini ditandai dengan peralihan rezim yang tidak demokratis, yang telah berku asa selama 32 tahun kepada suatu sistem politik yang dem okratis sebagai hasil gerakan reformasi yang d ipicu oleh merosotnya perekonomian pada triwulan pertama tahun 1998. Kemerosotan di bidang ekonomi pada gilirannya mendelegitimasi hamp ir seluru h basis sosial dan politik Orde Baru. Maka d alam tempo yang sangat singkat, krisis ekonomi itupun segera berubah menjadi krisis mu lti dim ensi yang teramat komp leks. Pada w aktu itu tingkat inflasi mencapai 78%; nilai tukar rup iah berada pada tingkat terendah, menembus angka Rp. 15.000,- untuk setiap dollar AS; nilai suku bun ga berad a d i atas 80%; dan kerusu han secara sporadis terjadi di sepanjang jalur distribusi utama di Jawa dan tempat-tempat lainnya d i Indonesia. Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan sebagai suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indon esia un tuk m engaktu alisasikan nilai-nilai dasar d emokrasi, yang di sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru terlanjur telah dimanipu lasikan d an diselewengkan. Berdasarkan interpretasi reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada upaya pengembangan yang terus ‘indeks demokrasi’ (indices of democracy). Indeks ini dapat d ikelompokan ke d alam empat aspek ke kehidupan berbangsa dan bernegara: Pertama, keberadaan sistem 28
p e m i l i l i h a n u m u m y a n g b e b a s d a n a d i l ; kedua, k e b e r a d a a n pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; ketiga, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa kecuali; dan k eempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya diri yang penuh. Dalam hu bungannya d engan reformasi hukum dalam kerangka empat aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara sistematis menerapkan reformasi yang didasarkan kepada elemenelemen konsep sistem huku m yaitu; (1) struktur h uku m (semacam suatu lembaga, mesin lintas sektoral dari sistem huku m, seperti potret yang membu at suatu gerakan m enjadi beku atau diam); (2) elemen substansi huku m (produ k dari mesin yaitu hukum , aturan-aturan yang aktual, norma d an pola perilaku d ari orang-orang dalam su atu sistem); dan (3) elemen bud aya huku m (perilaku orang terhadap huku m d an sistem hukum; iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan). Dengan mempertimbangkan konsep sistem huku m di atas, dan setelah mempertimbangkan pula arti dari reformasi serta kondisi domestik yang spesifik, pemerintah d an bad an p embentuk un dangundang memusatkan perhatian reformasi hukum terhadap lima kepentingan hukum berikut ini. Pertama, peraturan p erundan g-ud angan d i bidang sosial politik harus sedapat mungkin mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi, contohnya undang-undang tentang pemilihan umum yang jujur dan adil. Pemilihan um um haru s didasarkan p ada komp etisi terbuka, hak pilih yang un iversal, pem un gutan su ara yang rahasia dan bebas. Hal ini harus didukung oleh undang-undang tentang kebebasan berekspresi, kebebasan berkum pu l d an berserikat, kebebasan pers, netralitas politik dari pegawai negeri, polisi dan militer. Dalam konteks ini, pendirian suatu Komisi Pemilihan Umum yang lebih independen di m asa mendatang mu tlak diperlukan untuk memberikan jam inan d ar i sega la kem u ngk inan m an ip u lasi d an bentu k-b en tu k kecurangan lain yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Kedua, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan up aya pemulihan ekonomi, yang menekankan pad a persiapan un tuk menghadapi kecenderungan ekonomi pasar internasional yang tak terhindarkan, seperti Undang-undang tentang Bank Sentral yang 29
memberikan kewenangan kep ada Bank Indonesia un tuk m enjalankan kebijakan moneter secara independ en, un dang-un dang p erlind ungan konsumen, und ang-undang anti monopoli, und ang-undang kepailitan (yang juga berisikan ketentuan pendirian Pengadilan Niaga yang didasari prinsip pengadilan cepat), dan inisiatif untuk membangun program-program ekonomi yang bekerjasama dengan berbagai organisasi internasional. Ketiga, peraturan perundang-undangan tentang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia , seperti Undang-undang HAM, Und ang-und ang Pengadilan HAM untu k mengadili pelanggaran berat HAM, ratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia seperti “Konvensi PBB tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Pengh uku man yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat”, atau “Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras”, serta berbagai konvensi organisasi perbu ruh an internasional. Keempat, peraturan perund ang-und angan tentang pemerintahan yang bersih, akuntabel dan responsif. Dalam hal ini termasuk di dalamnya pembaharuan und ang-und ang p emberantasan korupsi, un dang-und ang tentang penyelenggara negara yang bersih d an bebas dari KKN (yang antara lain mencakup kewajiban penyelenggara negara untuk mengumumkan kekayaan dan aset-asetnya). Pembaharu an ‘Und ang-und ang Pokok Kekuasaan Kehakiman’ yang menyatu kan kekuasaan mengad ili dan penyelenggaraan administrasi peradilan di bawah satu atap (Mahkamah Agung), harus dapat dilakukan dalam rangka menegakkan p rinsip ind epend ensi kekuasaan peradilan eksekutif. Komitmen untuk memajukan dan memberdayakan parlemen adalah untuk m enghindari adanya kemungkinan campu r tangan dari eksekutif dan u ntu k mend orong terciptan ya sistem check and balances. Keputusan Presiden tentang Ombudsman juga telah d ikelu ar ka n untu k m engawasi kegagalan pejabat pemerintah d alam melaksanakan tanggungjawabnya secara hukum (maladministration). Beberapa waktu yang lalu sejumlah rancangan undang-undang untuk memperkuat penghapu san korupsi telah disampaikan kepada Dewan Perwak ilan Rakyat RI, beban p embu ktian terbalik, Rancangan Undang-und ang tentang Pencucian Uang, dan yang terakhir adalah tentang Pembentukan Komisi Independen Untuk Memberantas Korupsi. Komisi ini akan memiliki fungsi multidimensi, yaitu 30
melakukan fungsi-fungsi investigasi dan penuntutan, pendidikan, pencegahan dan legislasi. Kelima, peraturan perundang-undangan untuk melindungi dan memp erkuat masyarakat yang d emokratis sebagai masyarakat yang memiliki rasa percaya diri. Dalam hal ini, termasuk un dan g-und ang yang mem ajukan d an melindu ngi kebebasan pers, pluralisme med ia komunikasi dan kebebasan berekspresi. Pembatasan dan larangan terhadap pembentukan dan pengendalian organisasi profesi, termasuk serikat buruh, asosiasi jurnalis, dan asosiasi-asosiasi masyarakat sipil lainnya juga telah dicabut. Konsep “masyarakat mad ani” harus dikembangkan bukan untu k mendap atkan kendali atau posisi dalam negara, dan bukan pula un tuk mengatu r pemerintahan secara keseluruh an, melainkan bertind ak atas konsesi dari negara yang secara kritis berjuang untuk kepentingan peru bahan kebijakan, reformasi kelembagaan, p emu lihan, kead ilan dan akun tabilitas. Dengan kata lain hend ak d itekankan d i sini bahwa terdapat perbedaan khusus antara reformasi hukum pada kondisi yang normal (sebagai upaya untuk menggantikan hukum kolonial dengan h ukum nasional) dan reformasi hukum dalam arti gerakan reformasi yang h arus d iinterpretasikan sebagai demokratisasi huku m. Selama pemerintahan Habibie (22 Mei 1998 sampai dengan 14 Oktober 1999), telah dikeluarkan 67 Undang-undang, 3 Peraturan Pemerintah, 263 Keputusan Presiden dan 31 Instruksi Presiden. Keseluruhan kebijakan itu dimaksudkan sebagai bagian dari solusi un tuk m engatasi problem yan g berlangsung d alam situasi krisis tadi. Disadari atau tidak, banyak kemajuan yang telah dicapai, sehingga pada waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999), pemulihan ekonomi berlangsun g dengan baik, yang ditand ai dengan p eningkatan berbagai indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi 2 %, nilai tukar rup iah sebesar Rp. 6.700,- per dollar AS, dan suku bun ga 12 %. Secara jujur harus diakui, bahwa kerusakan sistemik dan multi dimensional warisan Orde Baru tidak mudah untuk diselesaikan dalam waktu singkat. Namu n rezim baru yang m enggantikan akan terasa tidak bijaksana jika setiap kali masih terus m enyalahkan Or de Baru d engan motif untu k menyembunyikan ketidakmamp uannya. Konflik regional d an horizontal, gerakan d isintegrasi, kekerasan politik, berlanjutnya krisis ekonomi dan keuan gan, kesenjangan antara 31
pusat dan daerah, disharmoni sosial, tingginya tingkat kejahatan, krisis kepercayaan da ri para don or dan investor internal dan eksternal, meningkat dan berlanjutnya praktek korupsi baik secara kuantitas maupun kualitas, berlanjutnya praktek mafia di pengadilan, amandemen Undang-undang Dasar 1945, harus dianggap sebagai proses yang tidak terhindarkan dalam iklim d emokrasi. Sekurangn ya begitulah fakta yang dap at kita saksikan. Di masa yang akan datang, agar gerakan reformasi da pat dilakukan secara lebih komprehensif, agaknya penting untuk mempertimbangkan beberapa persyaratan sehingga gerakan reformasi tidak identik dengan memunculkan gejala euforia , yang belakangan justru lebih banyak menimbulkan p erasaan tidak menentu k e t im b a n g h a r a p a n y a n g m e n ja n ji k a n . Pertama, h a r u s s e g e r a dirum uskan su atu strategi reformasi dan pemu lihan yan g terintegrasi dan komprehensif. Kedua, terdapat kemauan politik yang kuat — khu susny a dari para elite – un tuk segera keluar d ari krisis yang am at melelahkan ini. Ketiga, harus selalu ad a “tekanan sosial” (dalam ar ti positif) baik secara na sional maup un internasional. Keempat , didukung oleh watak kepem impinan yang p rofesional dan beretika pada semu a t i n g k a t a n p e m e r i n t a h a n . Kelima, k e i n g i n a n d a r i o r g a n i s a s i internasional untuk mendukung reformasi harus sepenuhnya didasarkan atas semangat kemitraan. Keenam, rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan berbagai masalah dan kasus-kasus yang d i l a k u k a n o l e h r e z i m O r d e B a r u . Ketujuh , k o m i t m e n u n t u k menjunjung prinsip supremasi hukum dan pemerintahan yang baik guna menjamin keadilan, keamanan dan kepastian berdasarkan hukum. Dalam hal penegakan supremasi hukum, ada beberapa langkah sistemik yang harus d ilakukan: 1. Pengadopsian semua aspirasi hukum sebagai sumber daya dalam up aya untu k melakukan reformasi huku m, yang melipu ti aspirasi suprastruktur, aspirasi infrastruktur, aspirasi kepakaran dan aspirasi internasional yang telah diterima oleh bangsa-bangsa beradab; 2. Menjunjung prinsip kebebasan dan ketidak berpihakan lembaga peradilan, bebas dari campur tangan kekuatan internal maupun eksternal; 3. Meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia; 32
4. Meningkatkan semangat profesionalisme aparat penegak hukum ; 5. P em b e n tu k a n K om i si Yu d i s ia l d e n g a n k e a n g g o t a a n y a n g komprehensif dalam rangka untuk mengawasi perilaku hakim dan pejabat peradilan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para hakim, dan menangani pengaduan terhadap hakim dan ap arat peradilan; 6. M e n d o r on g fu n g s i ko n t r o l m a s y a r ak a t te r h a d a p l em b a g a perad ilan (semacam Judicial W atch); 7. Meningkatkan pengimplementasian prinsip sistem lembaga peradilan terpadu ; 8. Secara sistematis memerangi korupsi di pengadilan dan dalam sistem p eradilan; 9. Rekrutmen kepemimpinan di bidang hukum atas dasar merit system. n
33
Pe r a n a n A d m i n i s t r a s i Pe r a d i l a n D a l a m S i s t e m P er a d i l a n P i d a n a T e r p a d u Pendahuluan Wacana tentang peradilan terpadu mengemuka sehubungan den gan ad anya TAP MPR-RI No. VIII/ MPR/ 2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2000. Tap MPR itu an tara lain men ekankan bahw a MA perlu melaksanakan asas-asas sistem peradilan terpadu. Peringatan ini menyadarkan kepada kita tentang kondisi obyektif sistem peradilan pidana yang tidak hanya terkesan fragmentaris dan berorientasi sektoral, tetapi juga cenderung mengganggu terhadap sistem secara keseluru han. Sistem p eradilan pidan a (terpad u) bisa berdimensi internal namu n bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal ap abila p erhatian ditujukan kepad a keterpadu an subsistem perad ilan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi eksternal lebih karena kaitanny a yang ham pir tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial yang lebih luas. Yang terakhir ini akan sangat b e r p e n g a r u h t e r h a d a p k e b er h a s i la n s is t em p e r a d i l an d a l a m pencapaian tujuannya, termasuk di sini budaya hukum kekuasaan dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi, sosial, iptek, pend idikan dan sebagainya. Contoh bud aya huku m kekuasaan adalah kecenderungan terjadinya politisasi hukum atau instrumentalisasi hukum baik dalam proses pembuatan UU maupun dalam praktek penegakan hu kum . (Tate and Vallind er, 1995) Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap meng ikuti karakter sistem yang bersifat umu m, yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem un tuk m encapai tujuan yang sama. 34
Dalam kerangka itu secara internal dan eksternal sistem peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama ( pu rposiv e behavior ) , pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation ), keterkaitan dan ketergantu ngan an tar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka p engendalian secara terpadu. Keterpadu an mengandun g makna fixed cont rol arrangements d an sekaligus koord inasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norm a d an n ilai ( shared norms and values). Sebagai contoh , adalah kenyataa n bahw a sistem perad ilan pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang. Karena itu ap abila mu ncul informasi yang m enyesatkan akan d engan sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan, misalnya berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan. Untuk dapat mengevaluasi atau mengau dit samp ai seberapa jauh sistem perad ilan pidana sudah bekerja d engan baik, perlu d irumuskan indeks sistem perad ilan pidan a yang pad a hakekatnya merup akan indikator kinerja sistem p eradilan pidan a, baik dalam tataran idiil, tataran asas mau pu n tataran operasional dan tataran penu njang. Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu: keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya kejahatan; dan keberhasilan sistem perad ilan p idana u ntuk m enciptakan kesejahteraan sosial. Ind eks pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang m erdeka, promosi dan perlind ungan HAM, berorientasi tidak hanya kepad a mod el rehabilitatif tetapi juga kepad a mod el restoratif. Pada level operasional, pelbagai indeks yang semakin konkrit mencakup antara lain; keberadaan “UU payung” ( umbrella act ) yang da pat m enciptakan sinergi positif antar su bsistem (semacam Wet RO, 1928 di masa lalu); berorientasi baik kepada tindak pidana, pelaku tindak pidana maup un p ada korban tindak pidana; keterukuran dari clearance rate, conviction rate, rate of recall to prison . Selanjutnya juga tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai sistem sanksi pidana alternatif, dan tingkat kecepatan penan ganan p erkara baik di lingkungan subsistem m aup un sistem secara keseluru han. 35
Pada tataran penu njang indeks terpenting namp ak pada ku alitas sum ber daya m anu sia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan terorganisasi dengan baik, kepemimpinan yang bertanggungjawab, par tisipasi masyarakat terhad ap sistem peradilan pidan a, dan sistem pelatihan terpadu antar penegak hukum . Adm inistrasi Peradilan Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama, bisa diartikan sebagai court administration, dalam arti pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan perad ilan. Kedua, dalam arti administration of justice yang mencakup proses penanganan perkara (caseflow management ) dan prosed ur serta praktek litigasi dalam keran gka kekuasaan m engad ili ( judicial power ) . Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan proses penegakan hu kum . Dua makn a tersebut berkaitan erat dengan kesatuan tanggungjawab yudisial yang mengandung tiga dimensi yaitu; (a) tanggungjawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial; (b) tanggungjawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hu kum acara yang d igunakan; dan (c) tanggungjawab substantif yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan huku m yang berlaku. Tanggungjawab mengandung dimensi hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan atau akuntabilitas yang bisa bersifat responsif (peka terhadap kebutuhan masyarakat), bersifat representatif (yang menu ntut sikap jujur d an tidak d iskriminatif) dan bersifat ekonomis (kesadaran ad anya p engawasan p ublik, khu susnya berkaitan dengan d ana-dan a masyarakat yang digu nakan ). (Shetreet and Deschenes, 1985) Pada era reformasi, kewenangan p enguasaan d ua d imensi makna administrasi peradilan di atas sangat dipersoalkan (sampai saat ini implementasinya belum selesai) sebab berkaitan dengan kebiasaan kekuasaan di era Orde Baru yang sering mengooptasi kekuasaan kehakiman sehingga tidak pernah tumbuh sebagai lembaga indep end en. Padah al, indep enden sinya lembaga kehakiman di negara manap un m erupakan salah satu uku ran yang paling menonjol untu k melihat apakah sebuah sistem kekuasaan demokratis atau otoriter. Betapa pentingnya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka ini namp ak d ari pernyataan-pernyataan sebagai berikut: 36
“The principle of complete independence of the judiciary from t he execut ive is the foundation of many t hings in our island life…..t he judge has not only to do just ice betw een man and man. He also has to do just ice betw een the citizens and the state. He has to ensure that the administ ration conforms w ith t he law and to adjudicate upon the legality of the exercise by the executive of its power.” (Sir W inston Churchil). “Fun damental rights and liberties can best be preserved in a society w here the legal profession and t he judiciary enjoy freedom from int erference and pressure (Louis Joined, UN Rapporteur on t he Independence of Judiciary).”
Atas dasar pengalaman dan praktek demokrasi di pelbagai negara, terdapat suatu hipotesa bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa yang antara lain d itandai dengan m enjunjung asas kekuasaan kehakiman yang merd eka, akan lebih efektif daripad a usaha un tuk m enghind ari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif dengan cara menyatukan “administrasi peradilan” dan “kekuasaan pengadilan” dalam satu kekuasaan: Mahkamah Agung. Pengalaman di Indonesia sejak kemerdekaan, kemud ian disusul Orde Lama dan Or de Baru, menun jukkan bahwa p emisahan du a kekuasaan tersebut di du a lembaga yaitu di lembaga eksekutif (Departemen Kehakiman, Departemen Hankam dan Departemen Agama) untuk aspek “administrasi peradilan” (organisasi, adm inistrasi dan finansial) dan d i lembaga yu dikatif (Mahkamah Agu ng) untuk aspek judicial power , sangat rawan terhadap gangguan bagi asas kekuasaan kehakiman yang merdeka. Seperti diutarakan pada bagian awal, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu karakteristik sistem perad ilan terpad u p ada tataran asas . Dari uraian selanjutnya akan namp ak bahwa mengingat bud aya hukum demokrasi yang belum melembaga di Indonesia, maka menempatkan hukum sebagai instrumen (instrumentalisasi hukum) untuk melindungi kekuasaan kehakiman yang merdeka akan lebih efisien dan efektif daripada mempercayakan mekanisme perlindungannya kepada budaya hukum yang masih diragukan. Dalam hal ini ada pendapat yang menarik, dan ada baiknya dikemukakan , yaitu usul perluasan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka agar diperluas mencakup perlindungan integritas keseluruhan sistem peradilan pidana yang mencakup independensi adm inistrasi perad ilan , termasuk ind epend ensi penyelidik, penyid ik dan p enuntut umu m sebagai penegak hukum. 37
Di samping keterkaitannya d engan p rinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka baik buruknya kinerja administrasi peradilan akan merupakan variabel independen terhadap promosi dan perlindu ngan HAM dalam ad ministrasi perad ilan pidan a. Dalam hal ini penghayatan terhadap p edoman yang tersurat dan tersirat dalam pelbagai instrumen internasional tak dapat dihindarkan. Fungsionalisasi Ad min istrasi Peradilan Administrasi peradilan, baik dalam arti court administration mau pu n sebagai refleksi judicial power , hanya akan berperan m aksimal dan bermakna terhadap sistem peradilan p idana terpadu apabila d apat mengelola jati dirinya sebagai pendukung prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berhasil mempromosikan serta melindungi HAM dalam administrasi peradilan pidana. Dalam konteks court administration guna menegakkan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka di era reformasi, maka atas dasar amanat TAP MPR RI No. X/ MPR/ 1998 yang m engamanatkan p emisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dengan meng alihkan org anisasi, adm inistrasi dan finansial badan-bad an perad ilan yang semula berada d i bawah d epartemen-departemen m enjadi berada di bawah MA, maka diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubaha n Atas UU No. 14 Th. 1970 tentan g Ketentuan -ketentu an Pokok Kekuasaan Kehakiman. Untuk pelaksanaannya secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak UU tersebut berlaku (31 Agustus 1999). Menyadari di masa lalu MA boleh dikatakan telah mengalami kerusakan sistemik, maka usaha untuk memperbaikinya harus dilakukan secara sistemik pula guna menyongsong dua wewenang yang di masa datang akan berada di bawah kekuasaannya. Selanjutnya d alam ruang lingku p p emaham an ad ministrasi peradilan sebagai adminstration of justice maka pengamanan harus dilakukan dengan melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan yang dap at m encederai integritas ad ministrasi peradilan pidan a tersebut. Kelompok tindak pidana yang masuk kategori offences against the admin istration of justice antara lain mencakup tindak-tind ak pidana seperti; menolak un tuk m emban tu p olisi, lari dar i penjara, membu ang atau m enggelapkan alat atau barang bu kti, mengh alangi penahanan atau penu ntutan, sump ah dan kesaksian palsu, menyamp aikan buktibukti palsu, mempengaruhi saksi dengan penyuapan (koruptif), 38
menghambat atau menggangggu proses kesaksian, melakukan pembalasan terhadap saksi, melakukan intimidasi, menyuap untuk mempengaruhi pejabat pengadilan dengan tujuan untuk memaksa pejabat yang bersangkutan untuk tidak melakukan atau melakukan tugasnya secara tidak benar (termasuk p ula d i sini pejabat pengad ilan yang menerima suap), melakukan pembalasan terhadap pejabat pengad ilan sehubu ngan d engan pelaksanaan tugas pejabat yang lain, melakukan perbuatan tidak patut di depan pengadilan, dan merendahkan m artabat pengadilan ( contempt of court ). Khusus mengenai promosi dan perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana, mencakup di dalamnya usaha untuk selalu mencapai atau m endekati standar um um kemajuan sebagaimana ditentukan oleh pelbagai instrum en internasional yang mencakup an tara lain, penegakan persamaan hukum dan pencegahan diskriminasi baik secara tertulis mau pu n prak tis, perlindu ngan asas legalitas, hak un tuk hidu p d an bebas dari pemidanaan yang kejam d an tidak biasa, hakhak kebebasan dan hak terpidana ( prisoners rights), hak untuk diadili secara ad il, adm inistrasi peradilan bagi anak r emaja ( A dministration of Juv enile Justice), kekuasaan kehakiman yang merdeka; pelbagai Kode Etik untuk para p enegak hukum ; dan lain sebagainya. Kesimpulan 1. Kualitas adm inistrasi peradilan baik dalam bentuknya sebagai court administration maupu n sebagai administration of justice dalam kerangka kekuasaan m engadili ( judicial power ) sangat berarti bagi terciptanya sistem peradilan pidana terpadu; 2. Untuk dap at berperan efektif dan m aksimal terhad ap sistem peradilan pidana terpadu, dua dimensi makna administrasi peradilan harus dapat mncerminkan pelbagai indeks sistem peradilan pidana terpadu pad a umu mnya baik yang berada pad a tataran ideal, tataran asas, tataran operasional dan tataran penunjang, maupun promosi dan perlindungan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan H AM pada khusu snya; 3. Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu, khususnya untuk mengh indari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif, maka dua dimensi administrasi peradilan harus berada dalam satu kekuasaan yaitu MA. Dengan demikian UU No. 35 Tahun 1999 haru s dilaksanakan secara sistematik dan kon sisten; 39
4. U n t u k d a p a t m e n e r im a t u g a s n y a y an g b e r at d a l am r a n g k a menyatukan kekuasaan mengadili, dan court administration , MA dengan segala jajarannya harus membenahi diri secara sistemik y a n g m e n c a k u p p e r b a i k a n s t r u k t u r a l , su b s t a n t i f, k u l t u r a l , kepemimpinan, keterbukaan akan kritik dan peningkatan kesejahteraan pejabat-pejabat pengad ilan; 5. Mengingat makna dari administrasi peradilan yang mencakup p ula ‘administration of justice’ dalam arti luas, maka di samping d u k u n g a n l e g is l a si y a n g m e m a d a i (U U N o . 3 5/ 1 99 9 d a n kriminalisasi perbu atan yang menggan ggu), diperlukan sem angat para pemegang peran d i dalamnya untuk m emperluas pengertian ‘the independence of judiciary’ menjadi ‘the independence of the administration of justice’; 6. Di samping kualitas penguasaan konseptual, perlu diperhatikan pelbagai faktor-faktor decisive lain seperti kualitas perundangundangan, ketersediaan prasarana penunjang, kualitas SDM, partisipasi masyarakat, kualitas kepemimpinan d i bidang h uku m, dan kondisi sosial ekonomi yang kondusif. n
40
A n a l i s i s Gijzeling d a r i S i s i H u k u m P i d an a dan Hak Asasi Manusia Pendahuluan Surat Edaran Mah kamah Agun g (SEMA) No. 2 Tahu n 1964 dan No.2 Tahu n 1975 telah m emerintahkan kep ada Ketua Pengad ilan d an Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai gijzeling (upaya p aksa badan) yang d iatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB/ HIR), dan Pasal 242 sampai d engan Pasal 258 Reglemen H uku m Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (RBg) karena dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Seperti diketahui, surat edaran di atas sempat menimbulkan kontroversi karena landasan huku m p embekuan ketentuan HIR dan RBg tentang gijzeling melalui SEMA dianggap tidak memadai dan bisa menimbulkan preseden hukum yang buruk. Mestinya pertimbangan kebutuhan huku m, keadilan, perikemanusiaan dan hak asasi manusia harus dijadikan semangat bagi para hakim untuk mengembangkan dan menggali nilai-nilai keadilan masyarakat d alam penerapan hukum. Dengan demikian tercermin upaya lebih serius untuk melaksanakan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka (the independece of judiciary ) sebagaimana diaman atkan oleh Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 Melalui Peraturan Mahkamah Agun g N o.1 Tahun 2000, kedua SEMA di atas dinyatakan tidak berlaku lagi atas dasar pertimbangan bahwa p embekuan lembaga gijzeling dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan untuk penegakan huku m dan keadilan dalam konteks pembangun an bangsa Indonesia. Selanjutnya pertimbangan Mahkamah Agung dalam Peraturan MA (PERMA) No. 1 Tahun 2000 untuk tidak lagi 41
mengartikan gijzeling sebagai sandera (hostage) atau penyanderaan (taking of hostages) dan d iganti dengan p aksa badan ( imprisonment for civil debts) sangat tepat. Sesuai dengan prinsip u niversal, imprisonment haru s diartikan sebagai lawful imprisonment. Menggun akan penjelasan Black: “penahanan seseorang bertentangan dengan keinginannya. Undang-undang menempatkan atau membatasi seseorang dalam penjara. Pengekangan atas kebebasan p ribadi seseorang; paksaan yang dilakukan atas seseorang untuk mencegah penggunaan kebebasan berg erak . (Black, 1998). Istilah sand era atau p enyanderaan selalu mengand ung konotasi negatif dalam arti false imprisonment yang di dalamnya terkandung unsur tidak mengindahkan hu kum, tanpa surat perintah, dan dengan paksaan. Di Amerika Serikat, penyanderaan diperlakukan sebagai federal crime. Dalam KUHP Indonesia hal semacam ini diatur d alam pasal-pasal yang m enyangkut kejahatan terhadap kemerdekaan orang (Bab XVIII). Gijzeling dalam Kerangka Huk um Pidana Istilah imprisonment for civil debt akan memberi kesan terjadinya intervensi hukum pidana sebagai bagian hukum publik terhadap masalah-masalah perdata dalam batas-batas tertentu memang bisa dibenarkan, mengingat sikap kom plementer yang dem ikian itu bu kan sesuatu yang asing lagi dalam kehidu pan h uku m d i Ind onesia. Sebagai contoh adalah sanksi berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 34 c UU no.3 tahun 1971, yan g kemu d ian dilanjutkan da lam Pasal 18 ayat (10 hu ru f b UU no.31) Tahun 1999 yang kedu anya m engatur tentang p emberantasan tindak pidana korupsi. Dalam RUU KUHP (2000) disebutkan pengaturan pidana tambahan berupa ganti rugi. Sifat komplementer juga terjadi antara hu kum pidan a dan hu kum administrasi dalam bentuk “administrative penal law” yang semakin marak dalam kehidupan modern. Dalam hal ini nampak semakin intensifnya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya masuk wilayah hukum administrasi. Dalam konteks ini dibutuhkan sanksi pidana un tuk memp erkuat sanksi adm inistrasi dalam rangka mend orong seseorang untuk tetap taat terhadap norma-norma yang mendasarinya, seperti dalam masalah lingkungan hidup, perpajakan, kearsipan, p erlindun gan konsumen, d an sebagainya. 42
Di dalam hukum pidana sering kali orang sulit membedakan antara persoalan hukum perdata dengan persoalan hukum pidana. Definisi tentang kejahatan ekonom i yang d igunakan oleh The A merican Bar A ssociation d a p a t d i j a d i k a n a c u a n , m e n g i n g a t s a l a h s a t u karakteristik kejahatan ekonom i adalah tind ak pidan a yang dilakukan dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan send irinya meru pakan, atau paling tidak dianggap sebagai kegiatan bisnis yang legal dan normal. Disebutkan bahwa tindak pidana ekonomi adalah kegiatan ilegal dan tanpa kekerasan yang pad a dasarnya mengandu ng u nsur penipuan, mispresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, pengelakan atau penggunaan dalih yang tidak sah menurut hukum. Dengan demikian keberadaan unsur-unsur tadi merupakan kata-kata kunci untuk menentukan apakah suatu perbuatan di bidang ekonomi merupakan perbuatan yang mengandu ng un sur sifat melawan hu kum (pidana) ataukah perbuatan melanggar h uku m yan g bersifat perd ata (Clinard and Yeager, 1989). Apabila hu kum perdata d engan sanksi berupa ganti rugi berusaha untu k melindu ngi hak-hak sipil/ privat, maka huku m pidana melalui proses kriminalisasi dan sanksi yang lebih berat (pidana m ati, penjara, kurungan dan atau denda serta pidana tambahan) berusaha untuk melind ungi tidak h anya kepentingan p ribadi, tetapi juga kep entingan pribadi d alam kaitannya d engan kepentingan m asyarakat luas, seperti kepentingan umum dan kepentingan negara. Dalam hal ini dikenal istilah mala in se (suatu perbuatan yang salah dan immoral pada dirinya) dan mala prohibita (hal-hal yang dilarang undang-undang sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut dilarang). Yang terakhir ini menu njukkan kemu ngkinan bergesernya pand angan tradisional huku m p idana tentang unsur kebejatan moral. Dengan perkem bangan d i atas, sekalipu n agak aneh, tetapi atas dasar asas komplementer antara hukum p erdata dan huku m pidana, pendayaguaan imprisonment (yang merupakan sanksi hukum pidana) sebagai upaya paksa badan ( gijzeling) terhadap debitur yang beritikad tidak baik, masih dapat dibenarkan sejauh didasarkan atas alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemberlakukan upaya paksa badan tadi pad a d asarnya merup akan kriminalisasi terbatas . Disebut kriminalisasi terbatas sebab dalam hal ini muncul istilah atau jenis kejahatan baru yakni civil offenses sebagaimana diatur di Arizona, yakni ketika misalnya seseorang atau orang tua gagal untuk 43
membayar bantuan terhadap anak yang ditetapkan oleh pengadilan (Child Support Arrest Warrant). Kriminalisasi dapat diartikan sebagai berikut; (a) proses menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana; (b) mengaktualisasikan ketentuan hukum pidana yang semula dianggap sebagai ultimum remedium menjadi pri m um rem ediu m; (c) perluasan subjek hukum pidana mencakup pidana atas dasar prinsip komplementer terhadap pelanggaran norma-norma hukum perdata ( civil offense) dan hukum administrasi (Muladi, 1990). Salah satu syarat k riminalisasi adalah keberad aan korban , baik korban aktual maup un korban potensial. Imprisonment for debts jelas mengandung dua jenis korban tersebut. Syarat lain adalah apakah fungsi subsidair dipenuhi, dalam arti tidak adanya cara lain yang lebih efektif dan p enggu naan cost and benefit analysis. Kapasitas atau kelayakannya untu k d iterapkan meru pakan faktor penting yang harus diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan kesan adanya overkrimina lisasi. Kriminalisasi tidak boleh b ersifat adhoc d an terlebih lagi dimaksudkan sebagai tindakan pembalasan semata-mata. Ringkasnya, kriminalisasi tetap harus berpijak pada tujuan-tujuan positif. (Mc Lean, 1999) Khusus mengenai fungsi subsidair, gijzeling merupakan reaksi terhadap sistem alternative dispute resolution yang tidak memu askan dan proses hukum perdata yang berlarut-larut dan bertentangan dengan prinsip pengadilan yang cepat. Alasan penolakan terhadap imprisonment for debts seperti yang terjadi di Texas, berkaitan d engan pemikiran bahwa memenjarakan, mengurung, atau bahkan mengancam pemenjaraan dan pengurungan terhadap proses penyelesaian hutang seorang debitur yang beritikad baik, adalah langkah yang tidak beradab d an sama sekali tidak dibenarkan. Alasan lain, dikaitkan dengan pengalaman empiris, bahwa sekalipun penerapan hu kum p idana dalam kasus-kasus perdata didasarkan atas keinginan penuntut umum untuk menyatakan perang melawan pengusaha yang terlibat dalam perselisihan kontrak demi mencari keadilan, namun ternyata eksesnya adalah pemerasan (exortion) terhadap pengusaha yang jujur yang tidak mam pu untuk menerima stigma atau nod a akibat pem enjaraan. Di samping itu alasan kemamp uan atau ketidakmam pu an d ebitur 44
untuk memenuhi kewajibannya yang terkait dengan persoalan finansial, seringkali menimbulkan penegakan hukum pidana yang diskriminatif yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila kinerja debitur didasarkan pada un justifiable standard d an arbitrary classification. Bagi mereka yang terkena, langkah pemenjaraan akan dianggap sebagai tindakan h uku m yang tiranik dari sebuah sistem kekuasaan yang arogan akibat penerap an teori rekayasa sosial yang berlebihan. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat memang terdapat Constitutional and Statutory Restriction untuk tidak menerapkan penah anan seseorang atas dasar m asalah perd ata, kecuali atas dasar dua hal. Pertama, kasus-kasus yang mengandung unsur penipuan atau kecurangan atau yang secara sengaja ingin menimbulkan kerugian terhadap orang lain, yang seringkali antara keduanya dipisahkan atau d ibedakan satu sama lain. Jika pemaham an terhadap unsu r “kecurangan” d apat m engacu p ada d efinisi kejahatan ekonomi dari American Bar Association di atas , maka unsur “dengan sengaja” yang biasa digunakan dalam hukum pidana mencakup tujuan atau kesengajaan un tuk m elakukan p erbuatan. Sekalipun tidak mengandu ng kesengajaan jahat, orang yang bersangkutan menghendaki dan mengetahui segala sesuatu yang akan d ilakukan termasuk akibatnya, sebagai seseorang yang bebas. Unsur “dengan sengaja” tadi menjadikan perbuatan seorang debitur sebagai kejahatan, misalnya seseorang sebenarnya mam pu u ntuk m embayar, tetapi dengan sengaja (menghendaki d an mengetahui) menolak kewajiban tersebut, meskipu n ia tahu menyangkut hak orang lain. Dalam hal ini perbuatan seorang debitur melebihi batas dan m asuk ke d alam lingkup pidana. Kedu a, Hu tang debitur yang termasuk dalam kategori not ordinary debts, yaitu ap abila dengan itikad buru k ia sengaja tidak ingin dibayar, akan bertentangan dengan kesejahteraan um um atau bertentangan dengan good morals and fair dealing atau d engan sengaja ingin merugikan hak orang lain atau berlawanan dengan norma-norma sosial yang fundamental. Mungkin “kondisi negara dalam keadaan krisis mu ltidim ensional” masuk dalam kategori ini. (Androp hy, 2001). Gijzeling dalam konteks HAM Sejak gerakan reformasi bergulir, yang ditandai dengan lengsernya rezim Orde Baru (Mei 1998), maka segala indeks 45
demokrasi seolah-olah berlomba untuk diaktualisasikan. Pelbagai indeks tersebut p ada d asarnya bersumber pad a empat h al yaitu; (a) pemilihan u mu m yang jujur d an ad il; (b) pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan responsif; (c) penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik; (d) pemenuhan terhadap ciri-ciri yang diperlukan bagi masyarakat yang demokratis (Beetham , 1999). Kekuasaan d i Indonesia p asca Orde Baru nam paknya san gat serius terhadap p romosi dan p erlindu ngan HAM. Hal ini nampak dari produk peru nd ang-und angan yang dihasilkannya tegas-tegas mengakomod asi elemen-elemen HAM yang penting, seperi sebagai berikut: Pertama, Pasal 3 Piagam HAM PBB (the Universal Declaration of Hum an Rights) yang mengatur bahwa “setiap orang berhak atas penghidu pan, kemerdekaan d an keselamatan seseorang” ; Gijzeling pada dasarnya adalah perampasan kemerdekaan yang tidak boleh diingkari dengan semena-mena. Ini diperku at dengan penjelasan Pasal 9 Piagam HAM PBB bahwa “tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang”. Kedua, Pada Pasal 11 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa “setiap orang yang ditun tut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka, dan di d alam sidang itu d iberikan segala jaminan yan g perlu untuk pembelaannya”. Gijzeling y a n g m a s u k k a t e go r i imprisonment for civil debt meru pakan bagian dari kriminalisasi terbatas. Apabila pelaksanaannya tidak didasarkan atas keputusan pengadilan maka merupakan pelanggaran HAM. Hal ini nampaknya sudah diantisipasi oleh peru mu s Perma N o.1 Tahun 2000. Pasal 6 Perma tersebut mengatu r bahwa putusan tentang “paksa badan”, ditetapkan bersama-sama dengan p utu san pokok perkara terhad ap d ebitur yang beritikad tidak baik dan mempunyai hutang kepada negara atau yang dijamin oleh negara, dan dilaksanakan secara serta merta. Pelaksanaan putusan yang menyangku t “paksa badan” dilakukan dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini perlu d ipikirkan agar dengan syaratsyarat tertentu, perbuatan debitur yang tidak memenuhi kewajibannya dijadikan tindak pidan a (kriminalisasi penu h). Syaratsyarat tersebut antara lain berkaitan dengan unsur penipuan dan kecurangan disertai unsur kesengajaan dilengkapi dengan standar 46
kejahatan ekon omi dari The A merican Bar A ssociation; hutang d ebitur nakal yang bersangkutan term asuk kategori “utang yang tidak biasa” dan dipen uh inya dengan syarat-syarat kriminalisasi yang lain. Ketiga, Pasal 29 ayat (2) Piagam Ham PBB yang secara tegas menyatakan bahw a di dalam m enjalankan hak dan kewajibannya yang ditetapkan oleh undang-undang, setiap orang tunduk hanya pada batasan-batasan yang ditetapkan oleh und ang-und ang dengan m aksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak d an kebebasan orang lain, dan u ntu k memenu hi syaratsyarat kesusilaan, kesejahteraan umum yang adil dalam suatu masyar akat d emokrasi. Hal seperti ini juga d iatur d alam Pasal 73 UU No.39 Tahun 1999 yang m enegaskan bahwa hak d an kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan und ang-undan g, semata-mata untu k menjamin pengakuan dan p enghormatan terhad ap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban u mu m, d an kep entingan bangsa. Sesuai d engan Pasal 4 ayat (2) Kovenan Intern asional Tentang H akhak Sipil dan Politik, maka masalah kemerd ekaan d an kebebasan tidak termasuk d alam non derogable rights, sehingga dapat dibatasi dengan und ang-und ang atas dasar alasan-alasan yang d idasarkan pad a baik Pasal 29 ayat (2) piagam HA M PBB atau Pasal 73 UU N o. 29 Th 1999. Dengan d emikian perkeculian tertera dalam Pasal 2 PERMA no.1 tahun 2000 bahw a di samp ing gijzeling harus d idasarkan pada ketentuan Pasal 209 samp ai deng an Pasal 224 HIR, dan Pasal 242 samp ai den gan Pasal 2558 RBg, masih m un gkin d ikecualikan d alam h al yang d iatur secara khusus dalam PERMA tersebut perlu dipertanyakan. Keempat, Pasal 11 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa “tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh d ipidana penjara atau kuru ngan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang”. Mengingat sifat hak kemerdekaan merupakan derogable rights, maka d apat d iperlakukan kemun gkinan restriksi dan limitasi atas dasar Pasal 29 ayat (2) Piagam HAM PBB da n Pasal 73 UU No. 39 Tahu n 1999. Dengan d emikian p ertimba ngan normatif dari PERMA No. 1 Tahun 2000 (keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangun an ekonomi bangsa Indonesia) harus kompatibel dengan istilah “debitur yang beritikad tidak baik” sebagaimana beberapa 47
kali disebut dalam batan g tubu h Perma, konsep emp iris yang berkaitan dengan syarat penerapan imprisonment for debts, standar pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Piagam HAM PBB, dan Pasal 73 UU N o.39 tah un 1999. Kesimpulan dan Rekomendasi (1) D e n g a n p e r s y a r a t a n t e o r i t ik d a n k o n s e p t u a l y a n g je l as , k e b e r ad a a n l em b a g a gijzeling (lembaga paksa badan) atau imprisonment for debts dapat dibenarkan. (2) P e n d a y a gu n a a n s a n k s i p i d a n a p e r a m p a s a n k e m e r d e k aa n (imprisonment) secara konseptual tidak bertentangan d engan p rinsip hukum atas dasar asas komplementer ( principle of complimentary) dalam rangka m enegakkan kebenaran dan keadilan d i masyarakat. (3) Gijzeling atau lembaga paksa badan atau imprisonment for debt pada hakekatnya merupakan proses kriminalisasi terbatas . Peningkatannya menjadi kriminalisasi penuh untuk memenuhi asas legalitas dalam bentuk civil offence dapat dilakukan dengan menggabungkan persyaratan kriminalisasi yang bersifat umum (adan ya korban , analisa biaya dan h asil, efektivitas penerap an, tidak bersifat ad hoc dan bu kan pemb alasan semata-mata, fungsi subsidair hukum pidana dan tidak menimbulkan kesan “overcriminalization” dengan stand ar yang telah ada (seperti menggunakan acuan definisi economic crimes dari the American Bar Association ). (4) Persyaratan yang tersebut d alam bu tir (3) harus sesuai dengan pertimbangan diterbitkannya Perma No.1 Tahun 2000 dan ratifikasi dan limitasi HAM yang tecantum dalam Pasal 29 ayat (2) Piagam H AM PBB d an Pa sal 73 UU No. 39 tahun 1999. (5) Sebagai hak asasi, kemerdekaan seseorang bisa dibatasi dengan syarat-syarat tersebut pad a bu tir (4), karena liberty tidak termasu k kategori non derogable rights. Sehubungan dengan itu sebenarnya langkah administratif yang hanya dibatasi pada hutang kepada negara atau yang dijamin oleh negara tidak perlu dilakukan, sepanjang p ersyaratan tersebut pad a bu tir (3) dan (4) bisa d ipenuhi. (6) Sesuai dengan p ersyaratan restriksi dan limitasi yang hanya bisa dilakukan atas dasar Undang-undang, maka pengaturan pelaksanaan p aksa badan terhad ap d ebitur yang beritikad tidak baik, tidak boleh diatur secara khusus dalam Perma dan menyimp ang d ari ketentuan H IR dan RBg. (lihat Pasal 2 Perma No.1 tahun 2000). n 48
U s a h a K e l u a r d a r i L i n g k a r a n A b u -a b u di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Mengkaji dan mengamati perkembangan hukum sejak pasca kemerdekaan samp ai dengan perkemban gannya saat ini memberikan sum ber inspirasi dan mengand ung p elajaran yang mend alam. Tanpa terasa, sejak kemer dek aan Bangsa Indo nesia telah meng alami 3 (tiga) orde dengan masing-masing karakteristiknya sendiri yaitu, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Hipotesis bahwa suatu orde atau suatu tatanan politik akan mempengaruhi sistem hukum yang berlaku, baik secara substantif, struktural, maupun kultural banyak benarnya. Orde Lama yang m erupakan kelanjutan dari orde p emerintahan pasca kemerdekaan, sarat dengan spirit untuk mencari bentuk pemerintahan yang cocok untu k N egara Republik Indonesia. Spirit pencarian itu dilatarbelakangi oleh pelbagai usaha untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang tengah diuji oleh pelbagai gerakan separatis dan subversif. Perubahan konstitusi, mulai dari UUD 1945, Konst itu si RIS, UUD 1950, d an k em bali lagi ke UU D 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 memberikan gambaran utu h tentang proses pencarian jati diri tersebut. Pada m asa pencarian itu tak dapat dihindari terjadinya euphoria kemerdekaan yang seringkali menimbulkan efek kebiasaan menerabas hukum dengan alasan bahwa p elbagai hu kum yan g ada merup akan prod uk kolonial. Dalam situasi d an kon disi semacam itu namp ak p elbagai gejala yang m engambarkan praktek-praktek pelanggaran p rinsip hu kum, seperti kecenderungan kekuasaan eksekutif melakukan kooptasi terhadap kekuasaan yudikatif dan legislatif. Contohnya adalah keberadaan UU No.19 Tahun 1964 yang memungkinkan campur 49
tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman demi kepentingan revolusi, dan pembiaran kedudukan MPR dan DPR yang bersifat sementara dalam kurun waktu yang relatif lama. Demikian pula dengan keberadaan UU No.11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang p enuh dengan nuan sa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), meningkatnya peraturan-peraturan huku m pidana yang represif, dan bayang-bayang kegiatan intelijen yang bersifat eksesif karena kemungkinannya dapat terlibat melakukan crimes by government dengan dalih keamanan, ketertiban, dan seterusnya. Setelah Ord e Lama jatuh , mun cul Orde Baru yang d iwarnai oleh semangat u ntuk menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murn i dan konsekuen, suatu semangat yang lama diabaikan d an d ipandang menjadi sebab paling p enting kejatuhan Orde Lama p ada tah un 1966. Dekade pertama d ari Orde Baru ini diwarnai oleh semangat p romosi dan perlindu ngan HAM, supremasi hukum dan demokratisasi melalui Pemilu 1971. Tetapi nam pakn ya sp irit tersebut tak berlangsung lama, karena segera setelah itu, yang dapat kita saksikan adalah beroperasinya sebuah sistem kekuasaan dan kepemimp inan nasional yang bersifat tertutup, melupakan tekad awal untuk menjalankan UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan di atas segalanya, merebaknya praktek-praktek KKN yang berlangsung begitu luas dan dalam jangka waktu yang lama pula . Usaha untuk merumuskan TAP MPRS tentang HAM sejak tahun 1966 gagal dilakukan, dan supremasi hukum tinggal kenangan akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak berhasil diwujudkan, karena UU No.14 Tahun 1970 yang diund angkan membuka kemungkinan untu k campu r tangan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman melalui kewenangan Menteri Kehakiman, Menteri Hankam d an Menteri Agama u ntuk tetap campu r tangan d i bidan g adm inistrasi perad ilan (adm inistrasi, finansial dan person al). Pemilu 1971 dan seterusny a sulit dikatakan “jujur dan adil” – meskipun istilah ini menjadi semboyan resmi di sepanjang pemilu Orde Baru — karena ditandai oleh pelbagai rekayasa untuk kepentingan politik pengu asa saat itu. Apa yang d isebut praktek KKN ternyata sudah demikian sistemik dan endemik sifatnya. Yang sangat mengherankan adalah munculnya usaha untuk melestarikan UU No.11 tahun 1963 (melalui UU No.5 tahun 1969 menjadi UU No.11 PNPS tahun 1963), yang ternyata menimbulkan 50
ekses luar biasa mahal berupa “kematian” hak-hak politik dan kem ud ian membaw a banyak korban dalam bentuk meningkatnya jum lah tahanan politik dan narap idana politik. Padahal un dang-und ang tersebut pada masa Ord e Lama telah banyak m engantarkan tokoh-tokoh Ord e Baru ke penjara. Kelak, dengan praktek-praktek semacam itu, Orde Baru yang pad a mu lanya ditunggu hasil positifnya dengan p enuh h arapan, pada akhirnya menampakkan bentuknya sebagai orde yang hampir selalu diliputi oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power ) d a n banyak terlibat dalam p raktek pelanggaran HAM. Pada mulanya langkah-Iangkah yang menekan hak-hak sipil dan politik dengan d alih p erlunya keamanan d an ketertiban m asyarakat demi pembangu nan ekonomi tidak terlalu d irasakan karena didu kung oleh kond isi ekonom i yang baik. Nam un begitu krisis ekonom i terjad i pad a tahun 1997, maka tuntutan-tuntutan u ntuk m enegakkan hak-hak sipil dan politik melalui gerakan reformasi meledak tak tertahankan dan berujung pad a jatuhnya Orde Baru pad a bu lan Mei 1998. Ord e Reformasi yang d imulai pad a Mei 1998 belajar bany ak d ari ord e-ord e sebelumny a. Langkah sistematis dilakukan un tuk bangkit kembali dari krisis mu ltidimensional yang m engawali kekuasaannya. Reform asi diletakkan m akna op erasionalnya sebagai usaha sistematis bangsa Ind onesia untu k m engaktualisasikan kem bali nilai-nilai dasar demokrasi. Reformasi hukum yang pada orde-orde sebelumnya diartikan sebagai usaha untuk menggantikan pelbagal perundangundangan kolonial dengan hukum nasional, diposisikan sebagai proses demokratisasi hukum dengan memperhatikan baik aspirasi nasional maup un global. Konsentrasi pembaharuan huku m d iarahkan pad a pelbagai kelemahan p ada m asa lalu yang mencakup sistem hu kum dan kehidupan sosial, politik dan HAM, pemberantasan KKN, dan yang mengatur bidang ekonomi untu k menghad api era pasar bebas. Und ang-und ang yang mengatu r Pemilu dan Partai Politik disesuaikan dengan dengan cara mengakomodasi aspirasi demokrasi yang berkembang. UU tentang HAM d irumu skan, diikuti dengan ratifikasi terhadap HAM Internasional. UU tentang pemberantasan tindak pidan a korup si diperbaiki, dan penciptaan pem erintahan yang bersih dan bebas KKN terus diusahakan. Undang-und ang anti m onopoli, kepailitan, perlindungan konsumen, perbankan — yang antara lain mengatur independensi Bank Indonesia dan lain-lain dibentuk — jug a d isemp u rn ak an . Yang ta k ka lah p en tin gn ya ad ala h UU No.35 51
Tahun 1999 yang mengatur “kekuasaan kehakiman” di bawah satu atap Mahkamah Agung juga diundangkan, dengan maksud utama un tuk mengh alangi kooptasi kekuasaan eksekutif terhad ap kekuasaan yu dikatif. Belum lagi yang mengatu r kebebasan pers serta pencabu tan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi yang disusul dengan pembebasan ratusan tahan politik dan narapidana politik. Tetapi, seperti kita tahu, oleh sebab-sebab politik yang tak terhindarkan berupa gugatan-gugatan terhadap legitimasi yang menopangnya terutama menyangkut UUD 45, selain karena kasus skandal perbankan dan soal jajak pendapat Timor Timur, Orde Reformasi ini pad a akhirnya jatuh juga. Ord e Reformasi lanjutan di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid – dikenal dengan Kabinet Persatuannya — yang dimulai pada bulan Oktober 1999 berusaha terus un tuk m elanjutkan d an meng oreksi Ord e Reformasi sebelum nya. Tetapi, kabinet inipun tidak berlangsun g lama. Abdu rrahm an Wahid dilengserkan pada bulan Juli 2001 akibat tuduhan KKN terutama dalam skandal Bulogate I dan juga faktor krisis multidimensional yang hamp ir tidak menu njukkan tand a perbaikan di sepanjang masa kepemimpinannya. Untuk keluar dari kemelut di atas, agaknya sulit dibayangkan tanpa m engand alkan suatu sistem p emerintahan yang m emiliki basis legitimasi yang luas d an d ipilih secara langsung melalui p emilu yang terbuka, jujur dan demokratis, baik untuk Presiden dan wakil Presiden, m aup un bagi anggota DPR dan DPRD. Sistem yan g d emikian lebih memungkinkan bagi terciptanya pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab d an responsif dalam kerangka penegakan n egara huku m, promosi dan p erlindun gan Hak Asasi Manusia, terutama hakhak sipil dan politik yang pad a masa lalu banyak terabaikan. Partisipasi masyarakat dalam rangka pembentukan masyarakat madani yang ditandai dengan apa yang d isebut “ self confidence citiz ens”, juga sejalan karena sistem pemilu yang bersifat langsung memberikan akses langsung bagi hak p olitik rakyat untuk m engontrol pemerintahannya, baik yang d i lembaga legislatif, yud ikatif mau pu n d i eksekutif. Khusus di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia, diperlukan kepemimpinan d i bidang hukum yang moralis dan kuat, disamping dibutuhkan adanya strategi kebijakan yang komprehensif dan profesional, kehendak politik dan pengawasan masyarakat yang berkelanjutan. 52
Pada akhirnya hasil-hasil amandemen terhadap UUD 1945 (IIV) — yang belakangan sempat memicu kontroversi — secara sistematis dan profesional harus dilaksanakan mengingat sebagian sumber dari segala kemelut bangsa ini, termasuk di bidang hukum dan Hak Asasi Manu sia terkait dengan sifat UUD 1945 yang terlalu singkat dan umum sehingga mudah diberikan interpretasi atau bahkan d imanipu lasi sesuai dengan selera dan kepentingan tertentu. Tanpa ada langkah-langkah terobosan yang lebih konkrit dan menyeluruh serta tahapan-tahapan yang jelas, sulit dibayangkan dapat segera keluar dari lingkaran yang serba samar ini. n
53
Di s k r i m i n a s i T e r h a d a p W a ni t a , S ua t u P e r s p e k t i f H a k A s a s i M a n u s i a Proses globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi tetapi ju g a d i b id a n g sosia l bu d ay a, ip tek, p oli tik , d a n sebag ain ya. Globalisasi di bidang politik antara lain d itandai dengan merebaknya isu tentang tran sparan si, dem okratisasi, hak asasi manusia, keadilan gender, dan sebagainya. Dalam konteks kita di Indonesia, karena alasan-alasan kekuasaan isu-isu seperti itu sempat tertahankan di zaman Orde Baru, tetapi baru kemudian muncul sebagai isu atau tuntu tan yang terbuka segera setelah sistem kekuasaan Orde Baru itu ru ntu h. Selanjutn ya, yang dap at kita saksikan ad alah serangkaian kontroversi-kontroversi, karena era pemerintahan yang menggantikannya sering tidak memiliki perangkat yang memadai (SDM, hukum, UU, dsb) untuk memberikan jawaban terhadap tuntu tan-tuntu tan tersebut. Salah satu dari sekian banyak kontroversi itu adalah tentang pengaturan hak asasi manusia terhadap wanita, yang belakangan sempat ramai diperdebatkan. Sejumlah pihak berpandangan bahwa “konvensi khusus” tentang hak-hak wanita sebagai hal yang tidak ada urgensinya mengingat hak-hak tersebut sudah tercakup dan dilindungi oleh instrumen-instrumen internasional yang ada yang bersumber dari ‘The International Bill of Human Rights’. Sementara itu, terdapat kelompok lain yang secara bersemangat memandang sebaliknya, bahwa konvensi khusu s itu p erlu diadakan justru karena instrumen-instruemn HAM yang ada terlalu umum dan tidak rinci. Apabila membicarakan konvensi HAM tentang wanita (T he International Convention on t he Elimination of A ll Forms of Discrimination against W oman/ CEDA W yang d iratifikasi deng an UU No.7 Tahu n 1984 54
d an ‘Convention on the Political Rights of Woman’ yang d iratifikasi den gan UU No.68 Tahun 1958), secara komprehensif harus dikaitkan pula dengan Piagam PBB dan dokumen-dokumen HAM Internasional lain seperti: Convention on the Rights of Child (CRC) ; The V ienna Declaration and Programme of Action (1993) yang antara lain menegaskan bahwa “hak asasi manusia wanita/ perempuan merupakan bagian integral yang tak terpisahkan d ari hak asasi manusia; ‘Beijing Declaration and Platform for A ction’ (1995); Declaration on the Protection of Woman and Children in Emergency and Armed Conflict; Convention Consent to Marriage, minimum Age for Marriage and Registration of Marriage; Perjanjian tentan g Persam aan pem bayaran Gaji Bagi Wanita dan Pria u ntu k Pekerjaan yan g Sama, di Jenewa (diratifikasi den gan UU N o.80 tahu n 1957). Di samp ing itu, sebagai konsekuensi dari negara berdau lat maka segala pembicaraan tentang hak-hak wanita haru s mengacu p ula pad a hu kum positif nasional seperti: • Pasal 27 UUD 1945, memberikan landasan pemikiran bahwa wanita dan pria memiliki hak dan kewajiban (rights and duties) yang sama d alam keluarga, masyarakat dan p embangunan; • GBHN 1993 (Tap MPR/ II/ 1993) yang menegaskan bahwa wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai daya insani pemban gun an, mempu nyai hak dan kewajiban serta kesemp atan yang sama dengan p ria dalam p embangunan d i segala bidang; • Kebijaksanaan mengenai peranan wanita dalam Repelita VI yakni peningkatan kualitas wan ita sebagai insan maup un su mber daya pembangunan; • UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pembangunan Nasional, khusu snya yang mengatur tentang wajib belajar p endidikan d asar 9 tahun yang dimu lai tahun 1994, menegaskan bahwa oran g tua dianjurkan menyekolahkan anaknya baik wanita ataupun pria sekurang-kuran gnya samp ai menyelesaikan SLTP; • Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-O3/ MEN/ 1989 dan No.PER-O4/ MEN/ 1989, masing-masing m engenai larangan pemberh entian hubu ngan kerja bagi wan ita karena perkaw inan, hamil dan melahirkan dan aturan (tata cara) untuk melindungi tenaga kerja wan ita yang bekerja pad a malam h ari. Aturan-aturan huku m positif seperti dikemukakan d i atas penting un tuk dijadikan acuan, sebab sekalipun HAM m emiliki sifat un iversal, 55
nam un — sebagaimana negara-negara berkembang yang lain — dalam imp lementasinya dikena l pu la “asas relativisme kultu ral” yang secara universal juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh pen ggun aan asas “relativisme kultu ral” tersebut tidak bertentangan dengan p rinsip dan hakekat HAM yang universal. Pentingnya untu k tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerap an HAM, nampak pad a contoh sebagai berikut: 1. The Jakarta Message (1992), but ir 18 antara lain menegaskan bahw a: “ N o coun try howev er, shou ld use its power dictate it s concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others ..”. 2. Deklarasi Kuala Lum pur (1993) tentang H AM yang d irumuskan oleh ‘A sean Inter Parliamentary Organiz ation’ (AIPO) antara lain menegaskan: “ the peoples of Asean accept that human rights exist in a dynamic and envolving context and that each country has inherent historical experiences, and changing economic, social, political and cultu ral realities and value system which should be taken into account”. 3. Deklarasi Bangkok 1993 yang d irumu skan oleh negara-negara Asia yang menyatakan bahwa: “ while human rights are universal in nature, they m ust be considered in the context of a dynamic and evolving process of international normsetting, bearing in mind the significance of national and regional peculiaritiers and various historical, cultural and religious backgroun ds.” 4. Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh Konferensi Dun ia tentang H ak Asasi Manusia yang meru mu skan bahwa: “ A ll hum an rights are u niv ersal, indiv isible and interdependent and interrelated While the significant of national and regional particularities and various historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and fun damental freedoms.” Apapun rumu sannya, pelbagai negara di d unia sepakat bahwa HAM adalah hak yang melekat ( inherent ) secara alamiah pada diri manusia sejak manusia lahir dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tu mbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. Tanpa 56
HAM, manusia tak dapat mengembangkan bakat-bakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, meliputi hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonom i, bud aya serta hak un tuk berkem bang. Sepanjang menyangkut diskriminasi terhadap wanita, pelbagai data baik nasional maupun internasional menunjukkan bahwa perjuangan untuk menegakkan HAM wanita masih merupakan perjuangan yang berat, sebab masih terdap at kesenjangan yan g cukup memprihatinkan antara “hukum dalam buku” dan “hukum dalam pra ktek”. Ratifikasi terhad ap kon vensi internasional tentan g wan ita tidak secara otomatis akan men gakhiri pelbagai tind ak d iskriminatif. Implementasinya masih harus menuntut perjuangan secara berkelanjutan, sebab masalah yang terkandung di dalamnya tidak sekedar melulu persoalan yuridis tetapi juga mengandung aspek politik, ekonomi, sosial bud aya, pend idikan d an sebagainya. Pengertian diskriminasi sendiri dapat dikaji dari Pasal 1 ‘Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman’ (1979) yang m enyatakan bahw a: “For the purpose of the present convention, the term “discrimination against woman” shall mean any distinction, exclusion or restriction m ade on the basis of sex w hich has the effect or pu rpose of impairing or nu llifyin g the recognit ion, enjoyment or exercise by w oman, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of hum an rights and fu ndamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civ il or any ot her field”.
Secara u niversal d iskriminasi d iiden tifikasikan sebagai praktekpraktek yang meliputi; aborsi selektif dengan teknik-teknik cangggih un tuk m emp erbaiki rasio laki-laki dan wan ita (China, Ind ia dan Korea Utara); pembunuhan bayi wanita (India Selatan); penyunatan yang sangat kejam (Afrika); diskriminasi kesehatan terhadap anak-anak wanita (Bangladesh); kawin muda; penyimpangan seksual dan perkosaan; pelacuran anak-anak; diskriminasi wanita di bidang penguasaan hak pekerjaan, pendidikan, upah, perlindungan kerja; dan sebagainya. Kemudian dalam Fourth World Conference on Woman di Beijing tanggal 4-15 September 1995, diidentifikasikan beberapa “wilayah kritis” yang berkaitan den gan w anita dan h arus secara berkelanjutan diperjuangkan, meliputi; wanita dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan bagi wanita, wanita dan kesehatan, kekerasan terhadap wan ita, wan ita dan konflik bersenjata, wan ita dan ekonom i, wan ita d a n k e k u a s aa n d a l am p e n g a m b i la n k e p u t u s a n , m e k a n is m e 57
kelembagaan bagi peningkatan w anita; hak asasi wanita; wan ita dan lingkungan, dan termasuk wanita yang masih anak-anak. Secara nasional, diskriminasi terhadap wanita di Indonesia nampak pada ‘Hasil Survei Sosial Ekonomi’ (Susenas) 1994 yang dilakukan oleh Biro Pu sat Statistik yang antara lain m engambar kan; tingkat buta huruf wanita lebih tinggi daripada pria; kemampuan berbahasa Indon esia lebih rend ah d ari laki-laki; jam kerja w anita lebih pend ek daripad a pria; jum lah pegawai negeri sipil wanita sepertiga dar i jum lah seluruh pegaw ai negeri sipil; pegawai n egeri sipil wan ita yang mem pu nyai kedud ukan tinggi masih sedikit; jum lah wanita yang menjadi anggota lembaga tinggi negara masih sedikit; pengu rus p artai sebagian besar adalah pria; pengurus maupun anggota organisasi profesi lebih sedikit d ari pad a p ria; penegak hu kum wanita jauh lebih sedikit dibandingkan penegak huku m p ria. Selanjutnya dari riset yang dilakukan oleh “Convention Watch”, suatu kelompok kerja yang dibentu k d i Program Studi Kajian Wanita (PSW) Pasca Sarjana Universitas Ind onesia, memu at pen jelasan ad anya sejumlah diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita, seperti; hak kesemp atan kerja yang sama an tara perem pu an d an laki-laki; kebebasan memilih profesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan; hak dalam memperoleh upah yang sama terhadap pekerjaan yang sama nilai (perempuan selalu dianggap lajang); hak dalam menikmati jaminan sosial; hak terhad ap kesehatan d an keselamatan kerja; hak u ntu k tidak diberhentikan d ari pekerjaan (dan mend apat tun jangan) karena kawin dan m elahirkan; hak haid, hamil dan m elahirkan; hak un tuk mend apat fasilitas umum dan sosial, khususnya tempat penitipan anak. Dalam kerangka untuk melakukan akselerasi tercapainya pemenuhan hak-hak wanita sebagaimana tercantum di dalam dua Konvensi Internasional dan hukum positif Indonesia, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Perlu ditingkatkan sosialisasi Konvensi Internasional tentang wan ita serta peratur an-peraturan hu kum p ositif yang menu njang; b. Perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan penelitian kond usif untuk meningkatkan perlindungan atas hak-hak kewajiban wanita; c. Perlu ditingkatkan usaha untuk m enyusun Buku Pedoman Latihan Sosialisasi Konven si Wan ita; d . Perlu ditingkatkan peranan NGO’s untu k m engkaji, mendesiminasi dan mengimplementasikan HAM wanita; 58
e. Perlu d itingkatkan kerjasama pelbagai pihak un tuk melakukan perlindu ngan terhadap Wanita; f. M e n in g k a t k a n k e p e lo p o r a n P u s a t -p u s a t Ka ji a n W an i t a d i Perguruan Tinggi dalam rangka menegakkan HAM Wanita; g. Perlu ditingkatkan usaha untuk melakukan pembaharuan hukum dan harmonisasi hukum nasional sehingga sejalan dengan dokum en-doku men internasional tentang HAM Wanita; h. Perlu ditingkatkan kerjasama regional dan internasional untuk meningkatkan penghayatan terhadap HAM Wanita baik yang m e n y a n g k u t “institutional arrangement ” m a u p u n “ fi n an cial arrangement ” . i. Perlunya pula sosialisasi dari “ Beijing Declaration and Platform for A ction ” yang d ihasilkan oleh Fourth W orld Conference on W oman d i Beijing (1995). n
59
P e r l i n d u n g a n Wa n i t a T e r h a d a p T i n da k K e k e r a s a n Masalah kekerasan terhadap wanita saat ini tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional, tetapi sudah merupakan masalah global. Dalam hal-hal tertentu bahkan dapat dikatakan sebagai masalah transnasional. Banyak istilah-istilah yang digun akan untu k melukiskan perhatian terhadap problem ini, seperti “ violence against woman”, “gender-based violence”, “gender violence”, “ female-focused violence”, “ domestic violence”, dan sebagainya. Disebut sebagai masalah global karena terkait d i sini isu global tentang h akhak asasi man usia (HAM), yang p er definisi diartikan sebagai hakhak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak manusia dilahirkan dan tanpa itu m anusia tidak dap at hidup sebagai manu sia secara wajar. Hak-hak tersebu t meliputi h ak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi dan bud aya serta hak untu k berkembang. Kaitannya dengan HAM nampak dari pelbagai pernyataan, antara lain bahw a kekerasan terhadap wanita merupakan rintangan (barrier ) t e r h a d a p p e m b a n g u n a n , s e b a b k e k e r a s a n i t u d a p a t menimbulkan akibat kumulatif yang tidak sederhana, seperti dapat mengurangi kepercayaan diri kaum wanita, menghambat kemam pu an wanita untu k berpartisipasi penuh d alam kegiatan sosial, mengganggu kesehatan wanita, mengurangi otonomi wanita baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan seterusnya. Dalam pelbagai pertemuan internasional bahkan dikatakan hal ini ada hubungannya dengan “indeks perkembangan manusia” (human development index ). Dokumen-dokumen HAM yang terkait antara lain: Piagam H AM PBB, Kovenan Internasional tentan g H ak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sosial Ekonom i 60
dan Bud aya, Konvensi Internasional untu k Menghap uskan (eliminasi) Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (1979), Deklarasi terhad ap Pengh apu san Kekerasan Terhad ap Wan ita (1993). Pertemuan-pertemuan internasional untuk membahas penanggulangan kekerasan terhadap wanita juga semakin banyak dilakukan d i berbagai negara, seperti; seminar di Den H aag pad a tahu n 1993 den gan tema “ Calling for Change: International Strategies to End Violence A gainst W oman ”; Workshop Internasional d i China (1990); Pertemuan Internasional tentang Kesehatan Reproduksi Wanita di Indon esia (dispon sori oleh the Population Council and the Epidemiology N etwork ) yang mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita sebagai salah satu bidang prioritas; Konferensi (dua tahunan) yang diselenggarakan oleh the Association of Woman in Development (1991), yang m engidentifikasi kekerasan terhad ap w anita sebagai salah satu masalah kesehatan yang penting; Pertemuan yang disponsori oleh the National Coun cil for Woman’s Rights d i Brazil (1986) da n Kon ferensi Internasional HAM PBB di Wina pada tahun 1993, yang mengakui kekerasan terhadap wanita sebagai pengingkaran H AM wanita. Beberapa p ertemuan atau kon ferensi lain, meskipu n sebagian tidak secara langsung berhubu ngan d engan tema kekerasan terhad ap wan ita tetapi sangat relevan, di antaranya; Pertemuan tingk at Menteri di Napoli tentang kejahatan transnasional yang terorganisasi di Napoli; Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidan a di Kairo, serta Sidan g keemp at Komisi Pencegahan Kejahat an dan Peradilan Pidana (semuanya pada tahun 1994). Demikian pula Forty-Seventh W orld Health A ssembly (1994), Forth U N W orld Conference on Woman, Action for Equality , Development and Peace di Beijing (1995). Kekerasan terhadap wanita juga menjadi substansi utam a d alam Final Declaration dari Konferensi Internasional tentang Perlindungan terhadap korban perang di Jenewa (1993), yang berkaitan dengan hukum humaniter. Pelbagai peristiwa di atas semakin menjadi jelas bahwa pergeseran pandangan telah terjadi secara drastis dalam masalah kekerasan terhadap wanita. Semula masalah kekerasan terhadap wanita dilihat sebagai kejahatan terhadap badan d an mu ngkin nyawa sebagai bentuk kejahatan penganiayaan dan pembunuhan biasa; demikian pula tentang pelecehan seksual dan sebagainya. Dalam perkembangannya kemudian nampak bahwa kekerasan terhadap 61
wan ita tidak hanya m erup akan persoalan yuridis semata-mata, tetapi di belakangnya ada su atu sp irit yang besar yang berkaitan d engan HAM. Seperti diketahui, HAM m encakup dimensi p olitik, ekonomi, sosial budaya, pend idikan dan sebagainya yang haru s ditelaah secara komprehensif dan integral. Anatomi Kekerasan Terhadap Wanita Pada tah un 1993, Sidang Umu m PBB meng adop si deklarasi yang menentang kekerasan terhadap wanita yang dirumuskan p ada tahun 1992 oleh Komisi Status Wanita PBB. Pada Pasal 1 dinyatakan bahwa kekerasan terhadap wanita mencakup : setiap p erbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau pend eritaan terhadap wanita baik fisik, seksual atau psikis, termasuk ancaman perbuatan tersebut; dan paksaan atau p erampasan kem erdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat. Pasal 2 Deklarasi menyatakan bahwa definisi tersebut hend aknya d ipahami un tuk m eliputi, dan tidak terbatas pada kekerasan fisik, seksual dan psikis yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, termasuk penganiayaan, perlakuan seksual secara salah terhadap anak w anita, kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin ( dowry related violence), perkosaan dalam perkawinan ( marital rape), penyun atan wanita yang mengganggu kesehatan ( female genital mutilation ) dan pr aktek-praktek tradisional lain yan g m erugikan wanita, kekerasan d i luar hu bungan perkawinan, kekerasan yang bersifat eksploitatif, pelecehan wanita secara seksual (sexual harrasment ) dan intimidasi di lingkungan kerja, dalam lembaga pendidikan, perdagangan wanita, pemaksaan untuk melacur, d an kekerasan yang d ilakukan oleh penguasa. Definisi ini secara tegas menu njuk akar kekerasan pad a hub un gan g e n d e r (gender-based roots). Lalu sejumlah aktivis LSM wanita men gemba ngkan lebih lanjut definisi tersebut secara lebih luas, yakni mencakup akses yang terbatas dalam bidang sumber daya sosial ekonomi, seperti lapangan kerja, dan sejenisnya sebagai bentukbentuk lain dari kekerasan yang memang berkaitan dengan HAM (sipil, politik, sosial ekonomi dan budaya serta hak untuk berkembang). Bentuk-bentuk yang lebih spesifik di p elbagai negara adalah incest , serangan seksual, perkosaan, pembunuhan, penganiayaan, “ foot62
binding” di China pad a masa lalu, “stove death” dengan cara dibakar d i Pakistan, penganiayaan karena mahar di India dan Bangladesh serta Pakistan baik di desa mau pu n d i kota. Di Banglad esh dikenal adany a perusakan muka wanita dengan melempar bahan kimia. Di Afrika terjadi penyunatan wanita yang melebihi batas toleransi kesehatan, perdagangan w anita untuk p elacuran termasuk an ak-anak di bawah u m u r (white slavery ), penganiayaan isteri, perkosaan dan kekerasan lain di lingkungan keluarga (domestic violence), kekerasan terhadap karyawan wanita, pornografi, kawin paksa ( force marriage), serangan serangan psikis dan emosional lain, diskriminasi ekonom is, pelecehan seksual, intimid asi di lingku ngan kerja. Dari sisi siklus kehidupan manusia kekerasan terhadap wanita dapat diidentifikasikan sebagai berikut: - Sebelum kelahiran: aborsi (Cina, atas India, dasar seleksi kelamin Korea), penganiayaan pada saat hamil, pemaksaan kehamilan seperti perkosaan masal pad a saat perang. - Pada saat bayi: pembunu han bayi (wanita), perlakuan salah baik emosional dan psikis, perbedaan perlakuan d alam bidang makanan dan kesehatan terhadap anak w anita. - Pada usia anak: kawin anak, penyunatan, perlakuan seksual baik oleh keluarga mau pu n orang lain, pelacuran an ak. - Pada usia remaja: kekerasan pada saat bercumbuan (date rape) , perlakuan seks terpaksa karena tekanan ekonomi, pelecehan seksual di tempat kerja, perkosaan, pelacuran dipaksa, perdagangan wanita. - Masa reproduksi: Kekerasan oleh pasangan intim, marital rape, pembunuhan atau kekerasan karena mahar, pembunuhan oleh pasa ngan , perlaku an salah psikis, pelecehan seksual di temp at kerja, perkosaan, kekerasan terhadap wanita cacat. - Usia tua: Kekerasan terhadap janda, kekerasan terhadap orang tua. Identifikasi Kausa Pada dasarnya secara umu m d apat dikatakan bahwa akar kausa terjadinya kekerasan terhadap wan ita adalah “bud aya dom inasi lakilaki” atau “bud aya p atriakhi”. Dalam struktu r d ominasi ini kekerasan seringkali digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendap at, untuk menyatakan rasa tidak p uas, dan kadangkala untuk 63
mend emonstrasikan d ominasi semata-mata. Segala bentuk kekerasan seringkali tanpa disadari merupakan refleksi dari sistem patriarkhi tersebut. Pendekatan “akar bud aya” tentang praktek-praktek merugikan terhadap w anita ( culture-bound practices harmful to women ), sering kali digunakan untuk menggantikan istilah yang lebih dangkal yang digun akan PBB, yakni apa yan g d isebut “p raktek- praktek tradisional yang merugikan wanita” (traditional practices harmful to woman ) . Sebagai contoh, penghargaan terhadap “keperawanan”, diidentifikasikan sebagai sebab pendorong terjadinya perkawinan pad a usia sangat mu da. Begitu p ula tentang “penyun atan” (dilakukan dengan cara yang dap at mengganggu kesehatan) diarahkan u ntuk cepat kawin muda. Di beberapa negara Afrika penyunatan yang sangat kejam dengan mengangkat sebagian klitoris dilakukan dengan motivasi menghindarkan penyelewengan wanita. Hal ini dapat mengakibatkan infeksi, tetanus keracunan d arah karena d igunakann ya alat-alat pemotong yang tidak steril. Seringkali di Sierra Leonne hal ini dilakukan tanpa anastesi dan mengakibatkan shock . Bedah plastik dan diet patologis, serta pelbagai tindakan lain yang sering tanpa disadari hanya d imaksudkan u ntuk pemuasan kaum laki-laki, sering menimbu lkan deritanya send iri bagi kaum w anita. Di beberapa negara konsep tentang kehormatan seringkali menstimulasi terjadinya kekerasan terhadap wanita. Bagi suatu masyarakat tertentu, karena alasan-alasan tradisional yang terlanjur melekat, kehilangan keperawanan hanya d apat ditebus dengan d arah. Di Mesir misalnya sekalipun hilangnya keperaw anan itu terjadi karena perkosaan, kehormatan keluarga diangap lebih penting daripada keadilan individ ual wan ita. Di Banglad esh dan Ind ia, korban p erkosaan seringkali dipaksa kawin dengan pemerkosanya. Di Pakistan p erkosaan dianggap sebagai jinah ( etramarital sex ). Dalam hu kum Islam, perkosaan haru s dap at d ibuktikan d engan keterangan 4 saksi laki-laki, kalau tidak, si wanita dapat d ipidana karena dianggap jinah. Kekerasan terhadap wanita seringkali tidak dianggap sebagai masalah besar karena beberapa alasan: pertama, ketiadaan data statistik yang akurat; kedua, ada anggapan bahwa kekerasan tersebut adalah masalah “tempat tidur” yang sangat pribadi dan berkaitan dengan kesucian rumah ; ketiga, berkaitan denga n keterkaitan dengan b u d a y a (cultural sovereignity ) seperti telah diuraikan di atas; dan 64
keempat karena ketakutan terhadap suami. Seringkali faktor-faktor tersebut terpadu satu sama lain. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa tindak kekerasan terhadap wan ita seringkali berkaitan p ula dengan instabilitas di rum ah dan di m asyarakat. Hal ini namp ak d ari tiga kategori sebagai berikut; Pertama, kond isi kemiskinan cend erun g mend orong perilaku agresif dan sasarannya hampir selalu diarahkan kepada kelompok yang lemah, yakni wanita dan anak-anak. Kedua, dalam masyarakat yang penuh instabilitas, budaya kekerasan akan mudah berkembang. Ketiga, dalam m asyarakat yang bergolak kekerasan meru pakan bagian senjata yang digunakan u ntuk p erang. Kondisi-kondisi seperti di atas menggambarkan bahwa isu kekerasan terhadap wanita bergeser, yang semula lebih bersifat individu al berubah men jadi isu kolektif dan politis. Namu n d emikian, dari segi pandangan hukum pidana, kriminologis dan viktimologis, pendekatan yang berorientasi pada hubungan pelaku dan korban (offender victim oriented ) harus dilakukan. Dalam kerangka ini identifikasi tentang korban kekerasan dapat dikategorikan sebagai berikut: (a) Korban serta merta (unrelated victim ), karena nasib. (b) Korban yang turut memp rovokasi ( provocativ e v ictim ). (c) Korban yang turu t mendorong, tanpa harus memprovokasi ( precipitative victim ). (d) Korban yang secara fisik lemah (biologically weak victim ), seperti anak, wan ita, orang cacat. (e) Korban yang lemah secara sosial (socially weak victim) , misalnya kelompok imigran, minoritas. (f) Korban politis (g) Korban laten, yakni mereka yang m empu nyai karakter perilaku yang selalu m enjadikannya korban . Dalam tipologi semacam itu tidak mustahil terjadi tanggungjawab renteng (shared responsibility ) baik yang bersifat individual maupun sosial. Penanggulangan Dari uraian di atas nampak bahwa permasalahan kekerasan terhadap wan ita merup akan m asalah interdisipliner, baik p olitis, sosial budaya, ekonomis maupun aspek-aspek lainnya. Atas dasar kajian65
kajian lintas disiplin, misalnya saja da pat d ipred iksi bahw a kekerasan akan ban yak terjadi jika; dimana ad a kesenjangan ekonomis antara laki-laki dan wan ita, dom inasi laki-laki dalam ekonom i keluarga d an pengambilan keputusan yang berbasis pada laki-laki. Sebaliknya dalam kond isi diman a perempu an memp un yai aktivitas di luar rumah, berkembangnya perlindu ngan sosial, keluarga d an kaw an terhadap k e k e r as a n , k e m u n g k i n a n t e r ja d i n y a k e k e r a s a n s a n g a t d a p a t diprediksi akan rendah. Dari pengalaman pelbagai negara dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap wanita, pada umu mnya mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan kesadaran wanita terhadap hak dan kewajibannya di dalam huku m melalui latihan d an penyu luhan (legal training). Pendidikan sebagai sarana pemberdayaan wanita dilakukan dalam tema yang u niversal. (2) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya usaha u ntuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap wanita, baik dalam kon teks individual, sosial maup un institusional. (3) Mengingat masalah kekerasan terhadap wanita sudah merupakan isu global, maka perlu koordinasi antar negara u ntuk m elakukan kerjasama p enanggulangan. (4) Meningkatkan kesadaran para p enegak hukum, agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap wanita, dalam satu spirit bahwa m asalahnya telah bergeser menjadi masalah global. (5) Peningkatan bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap wanita. (6) Peningkatan kesadaran m asyarakat secara nasional dengan kampanye yang sistematis didukung jaringan yang mantap. (7) Meningkatkan peranan media massa. (8) Perbaikan sistem peradilan pidana, dimulai dari pembaharuan huku m yang kondu sif terhadap terjadinya kekerasan. (9) Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondu sif untuk penanggulangan kekerasan terhadap wanita. (10) Secara terpadu meningkatkan p rogram p embinaan korban d an pelaku. n
66
B e b e r a p a Ca t a t a n T e n t a n g H u k u m A c a r a P e n g a d i l an H a k A s a s i M a n u s i a Penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM menyatakan bah wa kejahatan genosida dan kejahatan terhad ap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rom e St atute of International Criminal Court (ICC), Pasal 6 dan Pasal 7. Dengan d emikian untuk memahami kedua jenis tindak pidana tersebut mau tidak m au haru s mengkaji dengan teliti legal spirits dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya menyangkut elemen-elemen kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam ICC . Hal ini akan berdampak dalam pembuktian nantinya, baik yang bersentuhan dengan huku m pidana materiil maupun hukum pidana formil. Mengingat dugaan kejahatan yang terjadi dalam kasus Timor Timur hanya berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, maka u raian selanjutnya akan d iarahkan lebih berkaitan den gan jenis kejahatan ini. Uraian secara singkat akan dititikberatkan pada persoalan-persoalan pembu ktian, baik yang berkaitan d engan hu kum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Sebab dalam pembuktian, yang harus dibuktikan adalah sampai seberapa jauh terdakwa telah bersalah m elakukan tindak pidana yang d idakwakan (pembuktian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang) atas dasar tata cara dan penilaian alat-alat bukti yang ditentukan un dang-und ang. Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam UU ini, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana”. Dengan demikian apabila tidak ditentukan lain, maka hu kum acara yang berlaku adalah Kitab UU Hu kum Acara 67
Pidana (UU N o. 8 tahun 1981 beserta Peraturan Pelaksanaannya serta perundang-undangan positif lain yang terkait). Namun demikian, apab ila KUHAP d ll. dan UU No. 26 Th.2000 tidak m engatu r, tidak ad a salahnya kita, atas dasar Int ernational Customary Law mengadopsi hal-hal yang diatur d alam ICC beserta segenap aturan d an p rosedu r sebagai lampiranny a. Unsur-unsur Kejahatan Terhadap Kem anusiaan Secara um um u nsur -unsur kejahatan ini mencakup un sur obyektif dan unsu r subyektif. Unsur obyektif (criminal act, actus reus) berupa adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hu kum serta tidak ad anya alasan pembenar. Unsur subyektif (criminal responsibility , mens rea) meliputi unsur kesalahan dalam arti luas, yang meliputi unsu r kemamp uan bertanggu ngjawab dan adan ya unsu r kesengajaan atau kealpaan serta tidak ad anya alasan pemaaf. Khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan HAM berat yang lain, terdapat prinsip um um bahwa u nsurun sur kejahatan terdiri atas : (a) un sur m aterial yang berfokus p ada perbuatan (conduct ) , akibat (consequences) dan keadaan-keadaan (circumstances) yang menyertai perbuatan; (b) unsur mental yang relevan dalam bentu k kesengajaan ( intent ) , pengetah uan ( knowledge) atau keduanya. Ada kesengajaan apabila sehubungan dengan perbuatan tersebut si pelaku berniat untuk melakukan/ turut serta melakukan p erbuatan tersebut, dan berkaitan dengan akibat si pelaku berniat untuk m enimbulkan akibat tersebut secara sadar bahw a pad a umumnya akibat akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut. Sedangkan “pengetahuan” diartikan sebagai kesadaran bahwa suatu keadaan terjadi, atau akibat pad a umu mnya akan timbul sebagai akibat kejadian tersebut. Tahu dan mengetahui harus ditafsirkan dalam kerangka tersebut. (Dalam hukum pidana kita secara doktriner dirumuskan sebagai unsur “menghendaki” dan “mengetahui”). Yang harus mendapat perhatian khusus dalam setiap kejahatan terhadap kemanusiaan (dalam UU No. 26 Th. 2000 terd ap at 10 jenis tindak p idana, ICC 11 jenis), adalah du a elemen terakh ir yang haru s ada d an haru s dibuktikan dari setiap kejahatan terhadap kemanusiaan yang manggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan terjadi. Dua elemen tersebut adalah (a) perbu atan tersebut dilakukan sebagai 68
bagian dari suatu serangan yang meluas ( widespread ) atau sistematik (systematic) dan d itujukan p ada p endud uk sipil; dan (b) keharusan adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Hal lain yang harus dicermati adalah bahwa telah ditegaskan adanya eliminasi secara tegas hubungan antara kejahatan terhadap kemanu siaan dengan konflik bersenjata ( armed conflict ) , karena d alam hukum kebiasaan internasional kejahatan kemanusiaan dapat juga terjadi d i masa d amai. Hal ini dilakukan oleh Dewan Keaman an PBB pad a saat merumu skan Statuta Tribunal Internasional untuk Rwand a (ICTR) dan selanjutnya diakui pula oleh Majelis Banding dari International Criminal Tribunal for Former Y ugoslavia ( ICT Y ) dalam kasus Tadic. Perkembangan ini dilembagakan oleh Statuta Roma 1987 Art. 7 yang diawali dengan paragraph yang menyatakan: ” For the purpose of this Statute, “crimes against humanity ” means any of the following act when comm itted as part of a widespread or syst ematic attack directed against any civilian population, with the knowledge of the attack” . Pengertian “attack ” tersurat dan tersirat pada Art. 7.2.a. yang menyatakan bahwa “the term of attack is defined as a course of conduct involving the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 against any civilian population, pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such attack”. Dengan demikian secara implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak memerlukan karakter sebagai suatu serangan m iliter. Selanjutnya dari k a t a ‘organizational policy ’ dapat disimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanu siaan d alam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh “aktor non negara”. Demikian pu la mengenai korban, sekalipu n ad a istilah meluas atau sistematik, korbannya bisa hanya satu dan tidak haru s lebih d ari satu, asalkan syarat lain dipenu hi. Mengenai ‘policy to commit such attack’, harus dipahami bahwa negara atau organisasi aktif mempromosikan dan m endorong serangan terhadap pend ud uk sipil tersebut. Selanjutnya adanya persyaratan bagi pelaku yang h arus m emiliki “ p e n g e t a h u a n t e n t a n g p e n y e r a n g a n ” , h a r u s d i a r ti k an s e b ag a i kesengajaan khusus (specific intent ) . Misalnya seseorang yang turut serta melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa 69
pembunuhan, tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian dari suatu serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, tetap dapat dinyatakan salah telah melakukan pembunuhan tetapi tidak dalam kerangka kejahatan terhadap kemanusiaan melainkan merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) sebagaimana diatur dalam Pasal 338 dan 340 KUHP. Perlu p ula diingat bahwa un tuk d apat dipidana karena melakukan kejahatan terhad ap keman usiaan, tidak d isyaratkan bahwa si pelaku telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti dari perencanaan atau dari negara atau organisasi tersebut. Persyaratan yang berkaitan dengan alasan/ sebab kejahatan, sekalipun tidak tercantum dalam definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan, di samping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau proporsional. Contohnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan, dicantumkan motif berupa perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agam a, jenis kelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hu kum internasional. Tanggungjawab Indiv idual dan Umum Sesuai dengan kerangka teoritik tentang penyertaan tindak pidana, maka tanggungjawab individual tidak hanya menyangkut pelaku yang secara langsung melakukan kejahatan, tetapi berlaku juga bag i setiap oran g yang secara tid ak lan gsu ng b erp artisip asi d alam perencanaan p ersiapan atau pelaksanaan kejahatan. Pasal 55 dan 56 KUHP mengenal istilah “p elaku”, “menyu ruh lakukan”, “turu t serta melakukan”, “penganjuran” dan “pembantuan”. Hal ini sejalan den gan hu kum kebiasaan internasional. Persyaratan yang berkaitan dengan ‘actus reus’ ad alah bahw a partisipasi tersebut haru slah bersifat langsung d an m engand un g efek substansial. Selanjutnya persyaratan yang berkaitan d engan ‘mens rea’ adalah “there must be awareness of the act of participation coupled with a conscious decision to participate by planning, instigating, ordering, commit ting or otherwise aiding and abett ing in the commission of a crime”. Sepanjang mengenai “command and superior responsibility ”, bisa dalam bentuk perbuatan positif (direct command responsibility ) atau 70
dalam bentuk ‘culpable omissions’. Dengan demikian atasan dapat dimintai pertanggungjawaban tidak hanya karena telah memerintahkan, menganjurkan atau merencanakan tindak pidana yang dilakukan bawahan, tetapi juga apabila atasan tersebut gagal mengam bil tindakan un tuk mencegah atau mengh entikan perbuatan yang melawan hu kum yang dilakukan bawahan. Seorang komandan militer dianggap berpartisipasi atau mengan jurkan kejahatan ap abila tidak mengambil tindakan terhadap bawahan yang melakukan kejahatan, atau m embiarkan baw ahann ya melakukan kejahatan. Tiga persyaratan yang haru s terbukti adalah; (a) adan ya hubu ngan atasan bawahan baik langsung atau tak langsung, baik de jure maupun de facto; (b) atasan tahu atau seharusnya beralasan untuk mengetahui bahw a tindak pidan a sedang dilakukan atau telah dilakukan d an; (c) atasan gagal mengambil tindakan yang perlu dan beralasan untuk mencegah tind ak pidan a atau m enghu kum si pelaku (lihat Ps 42 UU No. 26 Th. 2000). Perlindungan Perlindu ngan terhadap korban dan saksi, sekalipun su dah d iatur dalam Pasal 34 UU No. 26 Tahu n 2000, tetapi peng aturan nya tidak tun tas dan d iserahkan lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah. Di dalam Statuta Roma 1998 dimu ngkinkan ad anya penyimp angan d ari asas terbuka un tuk u mum demi kepentingan saksi dan korban atau un tuk melindun gi informasi konfidensial atau sensitif yang d iajukan sebagai alat bukti da lam bentuk k amera (aud io visual dan sejenisnya yang berhubungan teknologi) atau mengijinkan ‘the presentation of evidence by electronic or other special means ’ (recorded audio or video testimony of witness) . Dalam hal ini sidang juga dapat dinyatakan tertutup. Sesuai dengan stelsel pembuktian berdasarkan u ndan g-und ang yang bersifat negatif yang kita anut, maka atas dasar Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa kesalahan terbukti dengan sekurangkurangnya d ua alat bukti yang sah, dan hakim m emperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang m elakukannya. Hal ini secara konsisten juga d ianut oleh ICC, sekalipun di dalamnya dimasukkan lembaga Common Law berupa lembaga ‘guilty plea’, tetapi tidak diartikan sebagai ganti berupa komitmen dari jaksa untuk tidak mempidana berat dan bentuk 71
dakw aan. Dalam pengertian Contin ental Law hal ini harus dipand ang dengan hati-hati dan curiga, sebab yang dicari adalah kebenaran materiil. Kesalahan atau tidak harus didasarkan pada alat bukti minimu m yang cuku p (menuru t Ps.184 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakw a baru m erup akan salah satu alat bukti). Dalam hal ini berlaku prinsip yang d isebut ‘beyond reasonable doubt’. Beberapa prinsip ICC lain yang perlu diperhatikan dalam pengadilan HAM sebagai hukum kebiasaan atau hukum konvensi internasional adalah: • Tidak dikenal peradilan ‘in absentia’ kecuali terdakwa mengacaukan jalan nya p ersid an ga n (d ala m hal ini d ap at d igu nak an tek nologi komu nikasi jika dipand ang p erlu); • H a k -h a k t er d a k w a , s a ks i d a n k o r ba n h a r u s d ili nd u n g i d a n dihormati; • Memberikan perlindungan informasi yang bersifat peka dan rahasia, contohnya un tuk keaman an nasional; • Pembuktian terbalik tidak diperbolehkan; • La r an g a n p e r m ak s aa n u n t u k m e m b e ri ka n k e sa k si an y a n g memberatkan dirinya , untu k diam ( right to silence) atau mengaku bersalah.; • Sepanjang relevan d an diperlukan, atas dasar prinsip kepercayaan, maka tidak ada larangan u ntuk m enyampaikan ‘ hearsay or indirect evidence’; • A p a bi la t er d a k w a n ek a d t id a k m a u d id a m p i n gi p e n ga ca r a (a stubborn defendant ) maka pengadilan dapat menunjuk seorang ‘amicus curiae’ (friend of the court) un tuk menjamin bahwa keadilan akan d itegakkan, dengan cara menyamp aikan hasil observasi baik tertulis atau lisan. • Dimungkinkan d emi efektivitas atau kepentingan korban, korban d a p a t m e n u n ju k legal representatives y a n g w a j i b h a d i r d a n berpartisipasi dalam persidangan. • Larangan ‘self incrimination by a witness’. n
72
Asas Legalitas dan P en g a d i l a n H a k A s a s i M a n u s i a Pendahuluan Asas legalitas tum buh m enjadi asas fun dam ental hu kum pidana di sebagian besar sistem perad ilan p idana d i dun ia dimulai pada akhir tahu n 1800-an sebagai akibat perubah an p emikiran politik d i Eropa dan filsafat huku m yang berkembang pada abad p encerahan . Asas tersebu t terd iri atas : (1) nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa und ang-undang); (2) nu lla poena sin e lege (tiada pidana tanpa und angundang); dan (3) nulla poen a sine crim in e ( t i a d a p i d a n a t a n p a kejahatan). Asas ini mencakup pula asas derivatif seperti ‘nullum crimen sine lege praevia’ (tiada kejahatan tanpa undang-undang sebelumnya) dan ‘nullum crimen sine poena legali’ (tiada kejahatan tanpa pidana). Asas lain yang terkait di sini adalah larangan untuk menerapkan ‘ex post facto criminal law’ d a n k a i t a n n y a d e n g a n pemberlakuan surut hu kum pidana dan sanksi pidana ( non retroactive application of crimin al laws and crimin al sanctions). (Bassiou ni, 1992) Sekalipun asas legalitas berkaitan dengan pembatas legislatif (legislative constraint ) , hal tersebut menyentuh pula aturan tentang penafsiran yudisial, yakni larangan atau pembatasan penggunaan analogi. Dalam pelbagai kesempatan p ara sarjana hu kum menegaskan pula berlakunya asas ‘lex-certa’ , b a h w a u n d a n g - u n d a n g h a r u s dirum uskan sejelas dan setajam m ungkin serta haru s dap at d ipercaya. Dalam hal ini terkait dua fungsi sekaligus; yakni fung si melind un gi (maksudnya melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas), dan fungsi instrumental (dalam batas-batas yang ditentukan un dan g-undan g, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas d iperbolehkan ). (Schaffmeister dk k, 1995) 73
Secara keseluruhan tujuan dari asas legalitas adalah: (1) memperkuat kepastian hukum; (2) menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa; (3) mengefektifkan fungsi pencegahan (deterrent funtion ) dari sanksi pid ana; (4) mencegah p enyalahgun aan kekuasaan; dan (5) memperkokoh penerapan rule of law. Asas Legalitas Dalam Hu ku m Pidana N asional Penerapan asas legalitas memiliki variasi yang beragam antar satu negara dengan negara lainnya, tergantung apakah sistem pemerintahan yang berlaku di negara bersangkutan bersifat dem okratis atau tiranis. Variasi juga tergantu ng pad a keluar ga huku m yang d ianut. Sistem Eropa Kontinental cend erung m enerapkan asaas legalitas lebih kaku daripada penerapannya di negara-negara yang menganut sistem Common Law , karena di negara-negara Eropa Kontinental asas legalitas m enjadi alat u ntu k m embatasi kekuasaan negara. Di pelbagai negara, berkembang ragam diskresi peradilan yang memu ngkinkan analogi un tuk tindak pid ana ringan bagi pelaku remaja, ekstradisi sehubungan dengan asas “ double crimin ality ” dan diskresi dalam p enerapan pidana yang berorientasi pada pelaku dan pidana alternatif. Di negara-negara yang menggunakan sistem Common Law asas legalitas tidak begitu m enonjol, karena p rinsip-pr insip rule of law telah tercapai dengan berkembangnya konsep due process of law y a n g diduku ng oleh hu kum acara yang baik (bahkan sud ah dimu lai pada tahun 1215 dengan dirumuskannya Magna Carta). Dalam hal ini, analogi tidak hanya diijinkan tetapi bahkan menjadi basis pembaharuan Common Law. Amerika Serikat lebih ketat dalam membatasi analogi dan berlakunya asas retroaktif hanya dalam hukum acara, khususnya hukum pembuktian. Uni Soviet (Sosialisme Mar xist) sebelum tahu n 1976 menera pk an apa yang disebut “socialist justice” yang menolak asas legalitas, khusu snya untu k tindak-tindak pidana yang d ikategorikan “socially dangerous”. Tetapi sejak 1976 negara ini sudah mulai menyesuaikan diri dengan negara-negara Eropa Barat. Walaupun sudah menjadi prinsip huku m yang berlaku u mu m, di negara-negara Asia dan Afrika yang tidak dijajah oleh negara-negara Eropa Barat, dalam praktek asas legalitas tersebut m asih banyak d isimp angi.
74
Asas Legalitas dalam Hu ku m Pidan a Internasional Hu kum internasional di samping berasal dari prod uk kebiasaankebiasaan yan g sering dip raktekkan oleh negara-negara, juga berasal dari apa yang dinamakan certain basic national principles, kaidah-kaidah dasar yang masuk kategori “asas-asas umum” (general principles). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan asas legalitas tidak sama ketatnya antara huku m nasional dan h uku m internasional mengingat kekhasan masing-masing negara. Yang menonjol dari hukum internasional adalah proses kriminalisasi yang terjadi jauh dari kebijakan dan standar legislatif. Hukum pidana internasional lebih bersifat konvensional, biasanya dalam bentu k ratusan instru men yang dibangun oleh organisasi-organisasi internasional yang pada kenyataannya tidak luput dan bahkan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan politik. Lebih dari itu, dalam praktek seringkali tanp a disertai dengan teknik peran cangan yang konsisten, sehingga dapat berakibat tidak memenuhi standar legalitas. Para perancang pada umumnya terdiri dari diplomat-diplomat yang seringkali bukan ahli hukum pidana internasional dan huku m pidan a perbandingan. Penting untuk diperhatikan bahwa produ k formulasi norma-norma yang d ihasilkannya tidak langsung d iarahkan u ntuk diterapkan pada individu-individu melalui pengadilan pidana internasional. Dengan demikian norma-norma tersebut lebih merupakan rangkaian kewajiban bagi negara-negara untuk menggun akannya sebagai bahan pembaharu an huku m pidana nasional di masing-masing negara. Perumu san kejahatan internasional biasanya d ilukiskan d engan sangat umum dan luas dan acap melupakan elemen-elemen tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana sebagaimana tercantum dalam bagian um um hu kum pidan a nasional. Seringkali juga d ijum pai bahwa hu kum pidana internasional tidak m engatur sanksi pidana. Oleh karenanya, praktek hukum kebiasaan internasional tidak memasukkan asas nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undangundang). Disini nampak adanya artikulasi dari asas nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang) menjadi nullum crimen sine iure (tiada k ejahatan tanp a hu kum ) yang menjadi inti asas legalitas dalam hukum pidana internasional, seperti nampak dalam banyak konvensi-konvensi hukum pidana internasional. Dalam konteks ini, dimu ngkinkan penggu naan analogi dipertautkan dengan 75
hukum nasional negara yang terkait. Asas larangan berlaku surut jug a d iak u i da lam hu ku m p id an a inter nasion al sebagai ha sil inter aksi antara traktat dan p raktek diplomatik serta yud isial. Khusus men genai kasus kejahatan terhad ap keman usiaan yang banyak berkaitan dengan pelanggaran HAM dianggap tidak melanggar standar asas legalitas di dalam hukum pidana international, sebab kejahatan tersebut semata-mata merupakan perluasan yuridiksi dari kejahatan perang, dan hukum international melarang perbuatan tersebut. Apa yang dilakukan oleh International M ilitary Tribunal di Nu remberg tidak akan menimbulkan preseden karena hal tersebut tidak m enciptakan huku m baru, tetapi semata-mata menerapkan hukum yang sudah ada di dalam Kesepakatan Internasional tentang kejahatan p erang. Argumen lain yang akan muncul adalah bahwa asas nullum crimen sine lege ( t i a d a k e j a h a t a n t a n p a u n d a n g - u n d a n g ) t i d a k merupakan batasan kedaulatan, tetapi harus dipandang sebagai “prinsip keadilan” yang harus ditegakkan. Sebab, adalah tidak adil apabila orang yang ny ata-nyata bersalah d ibiarkan bebas ( impunity ). Dalam hukum pidana internasional, sejak 1946 perkembangan asas legalitas terjadi melalui pelbagai instrumen dan bahkan dapat dikatakan telah memp eroleh pengakuan independ en. Hal ini namp ak dari pelbagai instrumen sebagai berikut: a. Artikel II, para 2 Deklarasi HAM PBB (1948) : “Seseorang tidak dapat dituduh bersalah dengan kesalahan pidana atas dasar tindakan atau kelalaian yang tidak termasuk kejahatan pidana, baik di bawah h uku m nasional maup un internasional, pad a saat dilakukan. Hu kum an yang lebih berat juga tidak bisa dijatuhk an dibanding hukuman yang yang bisa diterapkan pada saat kejahatan pidana dilakukan”. b. Artikel 15, Kovenan Inetrnasional tentang Hak-hak Politik dan Sipil: (1) Seseorang tidak dapat dituduh bersalah dengan kesalahan tind ak pidan a atas dasar tindakan atau kelalaian yang tidak termasuk kejahatan pid ana, baik di bawah hu kum n asional mau pu n internasional, pad a saat dilakukan. (2) Tidak ad a dalam artikel ini yang menganggap adanya p engendalian dan huku man bagi seseorang karena sebuah tindakan mapun kelalaian yang, pada waktu hal tersebut dilakukan, merupakan kejahatan menu rut asas huku m um um yang diakui oleh komunitas sebuah negara. 76
c.
Artikel 99 dari Konvensi Jenewa Ketiga, 12 Agustus 1949: “Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau d ipidana karena perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum atau oleh hukum internasional yang berlaku pada saat tindakan tersebut dilakukan”. Demikian pula yang tercantum dalam A rt icle 2 © Protocol additional to Geneve Convention 1945 (Protocol I) dan Article 6 © Protocol II . (Kedua yang terakhir juga melarang penggunaan hukum secara ex post facto atau pemberlakuan hu kum surut). Sejak pengad ilan Nurem berg dan Tokyo, beberapa negara telah mengatur secara nasional untuk mengadili kasus-kasus kejahatan terhadap kemanu siaan. Israel menu ntu t Adolf Eichmann p ada tahu n 1960, Perancis mengadili Klaus Barbie pada tahun 1988, Kanada mengad ili Imre Finta p ada tahun 1989. Dalam hal ini para ah li ada yang menolak terhadap praktek pemberlakukan hu kum secara surut dalam mengadili kasus-kasus tadi. Argumen untuk menolak kritik tersebut adalah bahwa tidak ada hukum kejahatan baru; yang diterapkan adalah hukum pidana yang terdapat dalam hukum internasional. Disebutkan: “it has not violated any prohibition against the ex post facto application of criminal laws which may exist in international law ”. (Bass iou ni, 1992). n
77
Pe r s p e k t i f H a k A s a s i M a n u s i a T e n t a n g I l m u d a n Et i k a K e i l m u a n Istilah etika keilmuan mengantarkan kita untuk melakukan kontemp lasi mengen ai hakekat, proses pemb entukan , lembaga yang memp rodu ksi ilmu , lingkungan yang kond usif dalam pengembangan ilmu , serta moralitas dalam memp eroleh dan m endayagu nakan ilmu tersebut. Semuanya harus dicermati mengingat fenomena global bahwa perkembangan dunia serta perubahan sosial yang cepat sebenarnya merupakan akibat perkembangan pengetahuan, dan setiap bangsa dan n egara, baik secara send iri-send iri mau pu n kolektif (transnasional ) s a d a r b e t u l b a h w a k e u n g g u l a n k o m p a r a s i d a n keunggulan kompetitif hanya dapat dicapai dengan bantuan dan p e n g u a s a a n p e n g e t a h u a n (knowledge based development ) , b a i k pengetahuan alam (natu ral science) maupu n p engetahuan sosial ( social science). Ilmu harus dilihat sebagai cabang pengetahuan yang mend asarkan pada logika tentang apa yang benar dan salah. Cabang pengetahuan yang lain mencakup pengetahuan tentang baik dan buruk (etika) dan pengetahuan tentang indah dan jelek (estetika). Dengan demikian istilah etika keilmuan sekaligus merupakan kombinasi antara dua kategori pengetahuan yaitu ilmu yang berbasis pada logika, ilmu yang berbasis pada etika atau moralitas yang memp ersoalkan baik atau bu ruk. Sejak lama disadari bahwa keberadaan Perguruan Tinggi dan lembaga-lembaga riset, menem pati kedud ukan yan g strategis untu k bertindak sebagai produsen ilmu. Namun demikian, dalam prakteknya, karena kompleksitas ilmu dan keilmuan menyebabkan bidang ini tidak hanya bersentuhan dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dengan segala kedaulatan yang dimilikinya, 78
masyarakat akademis, kebebasan akademik (academic freedom ) dan budaya akademik, tetapi juga menyentuh bidang-bidang lain yang lebih luas. Era reformasi menyadarkan kepada kita bahwa masalah keilmuan, dengan segala kompleksitasnya itu, akan bersentuhan secara langsung dan tidak langsung dengan bangu nan yang besar, yaitu nilai–nilai dasar atau indeks d emokrasi. Sejak bergulirnya gerakan reformasi di Indonesia di p enghu jun g tahu n 1988, seluru h elemen bangsa Indonesia, baik individu al maup un kolektif, berusah a mengkaitkan d iri atau kelomp oknya — dalam arti introspeksi — den gan mu lai mem pertany akan apakah reformasi perlu pu la dilakukan d i lingkungann ya, mengingat reformasi mengand ung nuansa multi dimensional, seiring dengan reaksinya terhadap kompleksitas krisis yang melanda bangsa Indonesia. Namun demikian perlu disepakati terlebih dahulu makna reformasi itu sendiri. Reformasi pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali ind eks atau nilai-nilai dasar dem okrasi yang telah mengalami distorsi yang berat pad a era Orde Baru dengan diterapkannya ideologi pembangunan. (Muladi, 1977). Indeks demokrasi tersebut sekalipun cuku p banyak, namu n pad a dasarnya d apat d ikelompokkan d alam empat kategori elemen sebagai berikut: 1). Keberadaan sistem pem ilihan u mu m y ang jujur dan adil; 2). Adan ya pemerintahan yan g transparan , akun tabel dan resp onsif; 3). Adanya kemauan dan langkah politik untuk selalu melakukan prom osi dan p erlind un gan HAM, khusu snya hak-hak sipil dan politik; 4). Adanya masyarakat demokratik yang terrefleksi dalam sikap percaya diri, antara lain d alam bentu k pelbagai assosiasi masyarakat ma d ani (Beetham , 1999) Elemen bu tir 2, 3 dan 4 terkait secara fun dam ental denga n top ik pembicaraan tentang etika keilmuan, karena akan terbukti bahwa etika keilmu an tidak d apat d ilepaskan d ari hakekat ilmu sendiri yang p a d a d a s a r n y a m e r u p a k a n b a n g u n a n t e r or g a n is a s i te n t a n g p e n g e t a h u a n (the organized body of knowledge), yang seharusnya mencakup pula perilaku dan metoda yang membentuk ilmu pengetahuan tersebut. Pengalaman di pelbagai negara yang pernah mengalami pemerintahan yang otoriter membuktikan, bahwa perkembangan ilmu dan keilmuan tidak mu ngkin bisa terbentuk d an tumbuh dengan baik bilamana kehidupan politik tidak kondusif, 79
kebebasan akademik d itekan, kultur akademik yang mend ambakan kebenaran terancam. Kaitan ilmu/ keilmuan, kebebasan akademik dan kultur akademik dengan HAM tidak dapat dihindari dan bahkan memperoleh pengaku an un iversal. Karena, ilmu p ada akh irnya harus d iekspresikan dan diinformasikan untu k kemaslahatan man usia. Terkait di sini apa yang d inamakan “kebebasan u ntuk berekspresi” atau “menyatakan pendapat” yang diatur di dalam Deklarasi HAM PBB tahun 1948 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) Pasal 19, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/ keterangan d an segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya. Selanjutnya di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonom i, Sosial dan Bud aya (1966) Pasal 15 ditegaskan bah wa , para negara peserta perjanjian (state parties) harus mengakui hak setiap orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu dan penerapannya serta memperoleh manfaat perlindungan atas kepentingan moral dan material yang terdapat pada segala karya ilmiah, sastra atau seni yang telah d iciptakanny a, termasu k langkahlangkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu dan kebudayaan. Yang tak kalah pentingnya adalah ad anya janji untu k mengh ormati kebebasan yang m utlak yang diperlukan untuk peneliti ilmiah dan kegiatan yang kreatif untuk menghindarkan praktek-praktek diskriminasi yang dap at meru sak hakekat pendidikan. Pada tahun 1960 telah dirumuskan konvensi melawan diskriminasi dalam pendidikan. Sebenarnya masih dapat disebutkan instrum en-instrum en HAM — baik nasional maupun internasional — yang memberikan perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan proses untuk mem bentuk ilmu tersebut, seperti “Deklarasi Wina” (Program Aksi) tentang HAM, yang dirumuskan dalam “Konferensi Dunia tentang HAM” tah un 1993, dan sebagainya. Yang selalu haru s diingat d alam hal ini adalah p engalaman m enunjukkan bahwa m asyarakat akademis sebagai konsum en sekaligus prod usen d an d isseminator ilmu , sangat rentan terhadap pelbagai tekanan politik maupun ekonomi. Pada Era Ord e Baru , sebagai insan Pergur uan Tinggi kita tidak 80
pernah bisa lupa terhadap pelbagai restriksi terhadap aktivitas akademik dan kebebasan berekspresi, seperti keharusan untuk memperoleh ijin riset yang berbelit-belit baik dari lingkungan Perguru an Tinggi maup un dari Direktorat Sospol jajaran Depd agri, keharusan untuk memperoleh ijin dari Polri baik daerah maupun pu sat apabila akan men yelenggarakan seminar atau kon ferensi. Istilah “ blacklist ” dari aparat militer dan intelijen sangat populer saat itu. Sensor preven tif dar i rektor terhad ap top ik-topik tertentu yang akan diangkat dalam seminar sangat lazim dilakukan, bahkan seringkali berujung pada penundaan atau pembatalan. Interogasi, intimidasi yang bersifat ekstra yud isial sering terjadi, apalagi bila menyan gkut pembicara asing. Di era d emokrasi, pembatasan-pembatasan tersebut tidak selayaknya lagi dilakukan, sebab bukan tanpa alasan hukum jika t ind ak an d em ikia n d ian gg ap seb ag ai “ kejahatan ya ng d ilak u ka n oleh penguasa”. (baca: “ A cademic Freedom in Indonesia, Dism antling Soeharto-Era Barriers” dalam Hu man Right W atch 1998). Khusus mengenai indeks demokrasi berupa keberadaan “masyarakat yang penuh percaya diri”, sebagian tercermin dalam bentuk assosiasi-assosiasi, seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PERSAHI (Persatuan Sarjana H uku m Indon esia), dan sebagainya, bisa saja beberap a jenis assosiasi tersebut akan b erperan tidak saja menjaga standardisasi kualitas ilmu, tetapi juga sebagai kompetitor bagi lembaga-lembaga pemerintah dalam melaksanakan pembangu nan di bidangnya masing-masing, baik secara konseptual maupun praktis. Dalam kerangka “kebebasan akademik” dikenal pula istilah “hak kebebasan berserikat” (the right to freedom association). Sesuai dengan hakekat ilmu yang berbasis logika untuk menyatakan benar atau salah, sud ah seharusn ya “bahasa ilmu” tidak perlu dibebani dengan segala bentuk tata krama pengucapan (euphemisme) yang sama sekali tidak ada relevansinya. Watak ilmu harus berburu “kebenaran” dan m enentang “pembenaran” yang tidak did uku ng oleh logika yang rasional. Inilah yang d inamak an kejujuran ilmiah (academic honesty ) , s e k a l i p u n s e s e o r a n g i l m u w a n y a n g profesional misalnya saja bekerja pada suatu lingkungan korporasi atau pemerintah (organic intellectual ), dan bukan sebagai ilmuwan murni (traditional intellectual ). Seorang ilmuwan yang beneran harus s i ap b e r d i r i d i a n t a r a k e s e p i an (loneliness ) d a n k e b e r p i h a k a n (alignment ) . 81
Selanjutnya ilmu wan acap pu la digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki kantor un tuk berlind un g atau teritori un tuk melakukan konsolidasi. Dalam kehidu pan m odern ilmuwan tidak lagi dipand ang semata-mata hidup di menara gading yang bertugas hanya untuk pengembangan ilmu atau sering disebut “ilmuwan kutu buku” yang hanya mau terikat dengan literatur (closed literature scientist ), tetapi jug a har u s berp eran pu la seb ag ai ag en peru ba han sosial. D ala m hal terakhir ini, yang membed akan antara kebenaran dan pembenaran adalah kemampuan untuk memberikan alternatif-alternatif pemecahan, bukan satu pemecahan yan g bersifat m utlak, seolah-olah paling benar. Sebab, yang d emikian itu bertentangan d engan h akekat ilmu yang watak dasarnya dinamis dan anti “status quo”. Dalam h al ini patut dikutip p ernyataan d ari salah seorang pemenang H adiah Nobel untuk DNA, Francis Crick, yang menyatakan bahwa sopan santun ( politeness) merupakan racun (poison ) bagi semua kerjasama yang baik di bidang ilmu. Jiwa kerjasama adalah kejujuran dan keterusterangan (candor ) , dan bila perlu kasar (rudeness). Di dalam ilmu, kritik merupakan pertanda tingginya ukuran persahabatan. Di dalam Dekralasi Lima tentang Kebebasan Akademik dan Otonomi Lembaga Pendidikan Tinggi yang dirum uskan d an diterima dalam Sidang Umum ke 68 “World University Service” pada tahun 1988, di samping memuat penjelasan pelbagai kebebasan dan hak dari Pendidikan Tinggi, secara tersurat dan tersirat tercantum pelbagai prakond isi yang d iperlukan bagi keberadaan etika keilmuan , seperti: perkembangan paripurna kepribadian manusia, harga diri, penghormatan terhadap HAM, kebebasan asasi dan perdamaian, semangat toleransi, anti-diskriminasi, perlindungan lingkungan, instrumen perubahan sosial yang positif, kebebasan berpikir, berkontemplasi, beragama, berekspresi, berkumpul dan berserikat, hak atas kebebasan d an keamanan seseorang d an kebebasan bergerak, akses pada komunitas akademis, hak untuk mengadakan kerja penelitian tanpa camp ur tan gan, mengikuti prinsip-prinsip u niversal dan metode penelitian saintifik, hak mengkomunikasikan hasil penelitian secara bebas dan mempublikasikannya tanpa sensor, kebebasan untuk berhubungan dengan koleganya d i belahan d unia manapun, merespon masyarakat kontemporer, menjalankan pelaksanaan HAM masyarakat, berusaha untuk mencegah penyalahgunaan sains dan teknologi, memberikan solidaritas bagi 82
institusi lain dan anggota komu nitas akdemis, partnership yang setara dalam mencari dan menggunakan pengetahuan, mendorong korporasi akademis dan tingkat otonomi institusi yang tinggi. Uraian di atas sekali lagi menggambarkan bahw a etika keilmuan penuh dengan nuansa “hak” dan “tugas”. Suatu lembaga yang b e r n a m a “ In ter A ction Coun cil” yang anggota-anggotanya secara selektif terdiri dari m antan-man tan Presiden d an Kepala Pemerintahan (mantan Presiden BJ. Habibie, termasuk di dalamnya) telah merum uskan sebuah d raft, “the Draft Universal Declaration of Human Responsibilities”, sebagai pasangan dari UN Declaration of Human Right. Di dalam p asal 13 dinyatakan bah wa: “Tidak satup un p olitisi, pegaw ai negri, pim pinan bisnis, saintis, pen ulis atau seniman d ikecualikan da ri standar etika umu m. Begitu juga d engan ahli fisika, pengacara d an p rofesional lain yang mem iliki tugas khu sus bagi klien. Profesional dan kode etik lain haru s mencerminkan prioritas standar um um seperti standar kebenaran dan keadilan.”
Sejalan dengan itu, ketentuan tentang “kebebasan menyatakan pendap at” sebagaimana telah d iuraikan d i atas, mengandu ng p ula batasan-batasan dan moralitas untuk selalu menghormati hak-hak dan rep utasi orang-orang lain serta perlind ungan terhadap keaman an nasional atau ketertiban u mu m, atau kesehatan um um dan kesusilaan. Di dalam seminar di Lund disinggung batasan-batasan seperti larangan riset yang m erusak lingkungan hidup dan membahayakan kehidupan manusia dan riset yang menunjang terciptanya senjatasenjata yang terlarang dan melanggar hu kum . Selanjutn ya di d alam Deklarasi Lima tersebu t d i atas secara eksklusif diwajibkan menjaga standar profesional dan stand ar ilmiah yang tertinggi. Kemud ian di dalam Deklarasi Dar es Salaam (1990) ditegaskan adanya batasanbatasan bahwa kebebasan akademik tidak boleh melakukan diskriminasi dan mengobar kan kebencian agama, etnik, nasionalitas dan gender. Selanjutnya dirumuskan pula bahwa usaha-usaha pencegahan penyalahgunaan sain dan teknologi, keharusan untuk memecahkan masalah-masalah actual dan kontemporer, menjaga kemamp uan , integritas, semangat toleransi melalui debat d an d iskusi yang d emokratis serta m enjaga asas-asas dan standar etik d an p rofesi. Di dalam Deklarasi Kamp ala (1990) juga ditegaskan betap a p entingnya semangat kesetaraan, non diskriminasi, dan demokrasi. n
83
Format Penyelenggaraan Negara di Bidang Pertahanan dan Keaman an Diskursus tentang masalah “pertahanan” dan “keamanan” (hankam) negara betapapun secara konseptual sulit dilepaskan dari kajian tentang kon stitusi. Lebih d ari itu, hakekat “hankam ” itu send iri, meskipun sudah menjadi istilah yang lazim digunakan, dalam arti seperti memiliki pengertiannya yang baku, tetapi untuk benar-benar bisa memahaminya secara lebih konseptual ia harus dimulai dengan kajian tentang hakekat “pertahanan dan keamanan nasional” (national defense and security). Dalam hal yang disebut terakhir ini (keamanan nasional) sungguh bukan hal yang m ud ah un tuk memberikan batasan pengertian yang bersifat baku mengingat dinamika pengukuran (security yardstick) yang begitu cepat berubah, baik secara nasional, regional mau pu n global. Di lain pihak istilah p ertahanan d an keaman an nasional merup akan kon sekuensi logis yang har us d ikaji apabila secara konseptual hakekat dan kondisi pertahanan dan keamanan suatu negara sudah dirumuskan secara jelas. Kajian terhadap konstitusi akan dapat memberikan gambaran betapa p entingnya aspek p ertahanan d an keamanan bagi suatu bangsa, terutama bagi bangsa-bangsa tertentu yang karena sebab-sebab historis yang dimilikinya masing-masing diwarnai perjuangan dan bahkan konflik bersenjata, seperti Ind onesia, Vietnam, Aljazair d an Am erika Serikat. Bagi bangsa-bangsa dengan latar belakang seperti ini – atau bangsa-bangsa pada umumnya di dunia – kewajiban warga negara untuk menjaga dan mempertahankan keamanan nasional, lebih dari kewajiban-kewajiban lainnya, sangat fund amental sifatnya. Contohnya adalah Am erika Serikat. Dalam bagian pem bukaan Konstitusi negara tersebut d inyatakan bahwa salah satu dari tujuan Pemerintah Federal 84
yang baru ad alah “menciptakan pertahanan bersama” (comm on defence). Perlu ditegaskan di sini, bahw a penetapan tu juan tersebut men dah ului tujuan lain yang bahkan sebenarnya juga sangat penting, yaitu “memajukan kesejahteraan umum” (general welfare) . Pada saat tujuan tersebut d irumu skan, kita yakin bahwa yang ada d i balik para peru mu s konstitusi tersebut ad alah bayangan bahaya atau ancaman fisik dari kekuatan-kekuatan Eropa yang bermu suhan dengan Amerika Serikat dan masih memp unyai tempat berpijak di Amerika Utara. Demikian pula dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945). Dalam bagian Pembukaan ditegaskan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia d an seluruh tump ah d arah Indonesia….”. Perumu san ini juga m endahu lui tujuan lain yang pad a dasarnya juga berkaitan dengan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Penyebutan fungsi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” lebih dahulu daripada “membentuk pemerintah Indon esia”, bukanlah h al yang kebetulan. Seperti halnya d i Amerika Serikat, para pen d iri Repu blik ini secara rasional d an emosion al telah dengan sadar menempatkan aspek yang bernuansa “keam anan nasional” dan bahkan “keamanan bangsa-bangsa di dunia” dalam kedud ukannya yang strategis, kalau bukan paling strategis. Seperti diketahui, aspek pertahanan dan keamanan nasional yang secara riil dihadapi Indonesia saat itu (sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan) banyak bersentuhan dengan perjuangan fisik baik untu k merebut dan memp ertahankan kemerdekaan, maup un menghadapi bahaya disintegrasi bangsa sebagai wilayah kesatuan dan persatuan RI. Jika saja fungsi “pertahanan dan keamanan” itu diberikan tafsir berdasar konteks situasi sekarang m aka hamp ir pasti elemen-elemen kebijakan yang harus dihadapi akan jauh lebih komp rehensif dan luas. Perumu san Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 bahwa tiap-tiap w arga negara berhak d an wajib ikut serta dalam u saha bela negara, ad alah refleksi nuan sa kejiwaan saat itu. Bela negara, bukan saja dihayati sebagai hak, tetapi sudah merupakan kewajiban dan bahkan kehormatan. Dengan perspektif konstitusi seperti ini maka dapat disimpulkan bahwa soal pertahanan dan keamanan nasional, faktor perekatnya terletak pad a Pembu kaan UUD 1945. 85
Faktor perekat lain yang bersifat internal tetapi juga sekaligus universal adalah komitmen untuk melindungi dan mempromosikan nilai-nilai hak asasi man usia (HAM). Tak bisa dip un gkiri bahwa setiap bentuk p engingkaran d an p elanggaran HAM, tidak saja m erupakan tragedi yang d irasakan secara individu al tetapi juga m erup akan atau dapat menimbulkan derita sosial dan politik yang luas, seperti tersemainya benih-benih konflik dan kekerasan d i segala tingkatan: lokal, nasional dan bahkan internasional. Karena itu tak dapat diragukan kebenaran salah satu bun yi pernyataan Piagam H AM PBB, 1948, bahwa: “menghorm ati hak asasi dan martabat m anu sia adalah landasan bagi terciptanya kebebasan, keadilan, dan kedamaian di du nia”. Kajian terhadap Pembukaan UUD 1945 mengantarkan p ada suatu kesimpu lan pasti bahwa p erjuan gan gigih merebut kemerd ekaan Indonesia adalah reaksi terhadap pelanggaran HAM yang berat: penjajahan, dengan segenap kekerasan yang ada di dalamnya. Piagam HAM PBB, 1948, yang kemudian dielaborasi ke dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dengan tegas menyatakan bahwa h idup , kebebasan, dan keamanan seseorang merupakan hak absolut yang harus dihormati bahkan dalam kondisi darurat sekalipun. Betapa pentingnya arti keamanan nasional juga n amp ak dalam pelbagai instrum en HAM internasional, yang bahkan dalam beberapa hal digunakan sebagai syarat restriksi dan limitasi bagai penerapan hak asasi yang lain. Hal ini antara lain nampak dalam beberapa artikel dari kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yakni bahwa restriksi terhadap beberapa hak d apat saja dilakukan dengan u ndang-und ang atas pertimbangan un tuk melind ungi keamanan nasional. Aktualisasi analisis terhadap ancaman keam anan nasional di atas sangat pen ting untu k melakukan generalisasi terhad ap elemen-elemen kebijakan pertahanan dan keamanan nasional seakurat dan seantisipatif mungkin. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut perlu dirumuskan manajemen dan organisasinya melalui Departemen Pertahanan dan MABES POLRI yang secara konseptual berfungsi untuk merumuskan doktrin, strategi, rekrutmen, pelatihan, sistem penunjang apabila terjadi konflik bersenjata dan perang, penggelaran dan pemeliharaan kekuatan, pengad aan d an pem eliharaan m ateriil. Dalam banyak hal sulit untu k melepaskan d iri dari duku ngan terhadap kebijakan luar n egeri dan 86
kebijakan departemen lain. Selanjutnya, sebagai negara yang menga nu t prinsip demokr asi, maka p raktek konsultasi dan p enjelasan yang lebih persuasif kepada masyarakat luas tak dapat dihindari, seperti media m assa, kalangan LSM, parlemen, kalangan Perguru an Tinggi, dan kelompok-kelompok sosial yang tertarik pada masalah kajian keamanan nasional. Untuk menentukan u nsur-unsur yang harus diperhatikan dalam menentukan kebijakan pertahanan dan keamanan nasional harus secara akurat dan komprehensif diidentifikasikan pelbagai kendala signifikan yang secara aktual dan potensial dapat membahayakan keaman an na sional, baik secara geografis maup un fungsional. Setelah itu baru lah dap at dikaji faktor-faktor organisasional dan m anajerial dalam ran gka memformu lasikan d an melaksanakan kebijakan hankam nasional. Indonesia, tentu tidak d apat begitu saja meniru k ebijakan Am erika Serikat yang karena kekuatan nasionalnya menerapkan wawasan global. Mengkaji peng alaman n egara ad idaya itu, kita melihat bahwa elemen-elemen kebijakan keamanan nasional yang ditempuh tidak hanya mendasarkan diri pada kepentingan militer, tetapi juga kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya yang dinilai strategis. Elemen-elemen tesebut melipu ti: 1. Identifikasi terhadap negara-negara yang d apat dikategorikan sebagai “mu suh utam a” dalam kancah internasional, baik secara militer maupun kemungkinan terjadinya intimidasi politik; dengan sendirinya menggunakan standar kekuatan politik, ekonomi dan militer. 2. Hal-hal yang dapat membahayakan kondisi ekonomi Amerika serikat, termasuk kemungkinan ganggu an terhadap penyediaan energi dari negara lain yang bagi AS dip and ang sangat strategis bagi keamanan nasional. 3. Masalah perkembangan bahaya persenjataan nuklir di negaranegara lain. 4. Pengembangan dan p embagian tanggungjawab dengan sekutusekutu militer, seperti NATO. 5. Efisiensi dan efektivitas manajemen dan organisasi Departemen Pertahanan. 6. Ba s is p o li ti k d o m e st ik y a n g k o n d u s i f u n t u k m e n u n ja n g perum usan d an pelaksanaan kebijakan keamanan n asional. 87
7. Strategi politik, militer dan ekonomi secara terpad u d alam kebijakan pengend alian persenjataan. 8. Kem a mp u an m ilit er . 9. Kepentingan keamanan d i pelbagai wilayah di dunia, seperti di Asia Timu r, Timu r Tengah, Afrika, dan Amerika Latin 10. Penemu an-penemuan baru d i bidang industri strategis dan indu stri persenjataan. 11. Kehand alan diplomasi internasional. 12. Kemampu an un tuk mengontrol perbatasan wilayah nasional (Amerika samp ai saat ini sangat disibukkan oleh imigran-imigran gelap da ri negara-negara lain). 13. Pembinaan sum berdaya man usia secara mem adai. Kebijakan keamanan nasional mensyaratkan strategi militer yang membutuhkan struktur militer yang harus dibiayai, dilengkapi dan diperkuat dengan staf serta personil yang profesional. 14. Kualitas pemimp in sipil dan m iliter yang handal dan memp unyai komitmen terhad ap kebijakan keaman an nasional. Dengan demikian — menggunakan rumusan Brown (1977) — secara umu m ap a yang dinamakan keamanan n asional dapat diartikan: “the ability to preserve the national physical integrity and territory; to maintain it’s economic relations with the rest of the world on reasonable terms; to protect its nature, institution, and governance from disruption from out side, and t o control its border ” Melihat perkembangan konseptual dan empiris, baik internal mau pu n eksternal saat ini, Indonesia yang tengah berada d alam situasi reformasi menuju masyarakat yang lebih demokratis, sungguh memerlukan pengujian terhadap doktrin dan kebijakan hankamnasnya selama ini sebagai langkah adaptasi menghadapi fenomena sebagai berikut: 1. Proses globalisasi yang antara lain memu nculkan fenomena “ new global players” berupa organisasi-organisasi “quasi regional” atau “quasi supranasional” seperti NATO, WTO, IMF, Euro Union, dan sebagainya, yang disadari atau tidak turut menentukan kebijakan nasional suatu bangsa. Pengalaman m enunjukkan bah wa proses kematian ind ustri-ind ustri strategis Ind onesia, antara lain diakibatkan oleh ad anya larangan lembaga d onor internasional untu k menggunakan bantuan / pinjaman finansial bagi pembiayaan 88
2.
3.
4.
5.
6.
7.
industri-industri tersebut. Padahal pad a p roporsinya yang benar industri-indu stri strategis itu sangat d iperlukan untu k m enunjang kebijakan keamanan nasional. Munculnya gerakan-gerakan separatis dengan pelbagai latar belakang dengan menyalahtafsirkan prinsip HAM: “hak untuk menentukan nasib sendiri” sebagai tertera dalam kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Padahal hak tersebut h anya bisa diterapkan dalam konteks rakyat yng berada di bawah dom inasi asing d an sama sekali tidak dap at diterapkan kepada bagian dari warga/ rakyat suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat yang merupakan inti dari keutuhan bangsa. Perkembangan internasional memang menunjukkan bahwa implikasi dari hak tersebut dapat dipahami dalam konteks “otonomi” dalam lingkup “domestic constitutional arrangement ” . Gerakan separatis tersebut antara lain bermula dari rasa ketidakadilan, baik ekonomi, politik maup un yang lainnya. Basis politik dalam negeri yang kurang kondusif dan diliputi kecurigaan terhadap TNI/ Polri akibat terkooptasinya ked ua institusi tersebut ke dalam sistem kekuasaan yang tidak demokratis di masa lalu sehingga mud ah ditud uh m isalnya terlibat dalam kegiatan politik praktis, penyalahgunaan kekuasaan, dan melakukan pelanggaran HAM. Peralatan militer yang sudah tidak memadai, baik jumlah maupun mutunya (penting dicermati keluhan korps marinis kepada Presiden baru-baru ini ihwal peralatan m iliter tahun 1960 yang masih digunakan). Kurangnya kemampuan u ntuk mengawasi wilayah perbatasan yang mem ang sangat luas (salah satun ya karena peralatan tadi). Banyak infiltrasi asing tak mudah dideteksi, dan ini sungguh berbahaya terutama bagi sejum lah wilayah yang sed ang bergolak, seperti Aceh, Maluku , dan sebagainya yang raw an bagi terhadap penyelundupan senjata dari luar. Krisis ekonomi yang belum kunjung d apat dipulihkan sering menimbulkan kerawanan sosial dan politik. Lebih dari itu juga menimbulkan ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitas SDM TNI dan Polri. Lalu rendahnya tingkat kesejahteraan cend erung m endorong m ereka pada perbu atan-perbuatan tercela. Proses reformasi dan reposisi di tubuh TNI/ Polri yang tidak 89
tuntas seringkali dap at menimbu lkan fragmentasi pemikiran dan langkah kedu anya. 8. Pemahaman terhadap hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia yang masih rendah, dapat dengan mudah menjebak m e r e k a (a n g g o t a TN I / P o lr i ) u n t u k m e l a k u k a n t i n d a k pelanggaran HAM, atau sekurangn ya menimbulkan kegamangan yang sering menimbu lkan kesan tidak p rofesional. 9. Pengamanan yang belum m emadai terhadap kekayaan sumber daya alam, sehingga potensial menggang gu keaman an nasional. 10. K h u s u s m e n g e n a i P o lr i , k e l em a h a n y a n g t e r a s a a d a l a h menonjolnya fungsi authoritative intervention d an symbolic justice. Pemahaman kedu anya di segala tingkatan haru s diperluas ke arah “ management of crime” yang menempatkan kedua fungsi tadi di bawah “crime prevention ”. n
90
P r o s es A k t u a l i s a s i H u k u m Pi d a n a L i n g k u n g a n di Indonesia Beberapa dekade terakhir ini, tindak pidana lingkungan hidup semakin marak menjadi isu sosial ekonomi d an bahk an juga politik. Tind ak pidana lingkungan hid up , apabila dikaitkan dengan masalah hak-hak asasi manusia, tidak saja merupakan persoalan negara per negara, tetapi juga m enjadi p ersoalan regional bahkan internasional (antar bangsa). Hal ini namp ak dar i program kerja The Commission on Crime Prevent ion and Criminal Justice 1992-1996 yan g m enyor oti secara khusus keterkaitan antara masalah lingkungan hidup dengan sistem peradilan pidana. Atas dasar itulah, Kongres ke 9 PBB tentang Pencegahan Kejahatan d an Pembinaan Para Pelaku pad a tanggal 29 April-8 Mei 1995 di Kairo, menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu agenda utama. Di dalam draft resolusi yang diajukan, yang kemudian menjadi resolusi, sepanjang menyangkut “perlindungan lingkungan” diajukan beberapa proposal sebagai berikut: (a) The right to enjoy an adequate env ironm ent and the duty to preserve the environment should be established in all legislations at the national level; (b) A chapter concerning environmental offenses should be included in penal codes; (c) The neccesary measures should be int roduced to ensu re that damage to the environment is repaired, either by the transgressors themselves or by the State; (d) Cooperation agreement s should be established between states, including provisions for the exchange of experiences on prevention programm es and legislative effectiveness; 91
(e) Subject of env ironmental protection should be included at all educational level, and specifically in curriculla for the study of criminal law, and hum an resources should also be developed to deal with these new problems, by means of degree courses, post-graduate courses, seminars and any other form of training; (f) Not only should env ironm ent offences be established as a class of offence in penal codes, but also, in the administrative area, offending enterprises should be subject to financial penalties; (g) Regarding penal sanctions t hemselves, the principle of subjective culpability should be maintained.
Sehubu ngan d engan itu, para anggota PBB diminta u ntu k: (a) To consider enacting environm ental protection legislation reflecting t he importance of a healthy environment, in order to preserve and protect the environment; ((b) To cons ider enactin g penal provis ions on th e protection of the environment and to consider the protection of endangered species and cultural property under similar provisions; (c) To consider the creation of special bodies in the protection of the environment, such as special prosecutors or specialized investigative bodies, bearing in mind the role such bodies can play in developing skills and raising public awareness; (d) To consider encouraging t he inclusions of the role of criminal law in the protection of the environment as a subject in curricula for t he study of criminal law and the training of law enforcement and criminal justice personn el; Hal di atas tidak berkelebihan, sebab hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu hak asasi yang diatur di dalam Universal Declaration of Human Right, 1948 (Art. 25) jo. A rt. 11 International Conv enant on Economic, Social and Cultural Rights (1966). Demikian pula di dalam Paragraf 1 UN Conference on the En vironm ent di Stockholm th. 1972, The Optional Protocol d a r i Int ernational Conv enant on Economic, Social and Cult ural Right s, Art. 12, dan Laporan Akhir (1985) dari the World Expert Group on Env ironment al Law kepada the Brundtland Commission (Art. 1 dan 2), hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat selalu ditegaskan. Penegasan secara global terjadi p ad a The UN Conference 92
on Environment and Development di Rio de Janeiro, pad a tah un 1992. Kaitan antara masalah lingkungan hidup dengan HAM secara lebih mendalam tercantum dalam laporan akhir tentang “ Human Rights and the Environment ” dari Commission on Human Rights, Ecosoc , PBB (Doc. E/ CN.4/ sub.2/ 1994/ 9, 6 Juli 1994). Dalam laporan ini ditegaskan bahw a efek lingkungan hidu p terhadap HAM berkaitan dengan: (a) Right to self-determination and permanent sovereignity over natural resources; (b) Right to life; (c) Right to health; (d) Right to food; (e) Right to safe and healthy working conditions; (f) Right to housing; (g) R ight to in formation; (h) Popular participation; (i) Freedom of association; (j) Cultural rights. Latar belakang legislatif lain yan g d apat dikemu kakan d i sini adalah apa yang tercantum di dalam Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order (UN, 1985) yang m enegaskan bah wa: “7. In view of the characteristics of contemporary post industrial’ society and the role played by growing industrialization, technology and scientific progress, special protection against criminal negligence should be ensured in matters pertaining to public health, labour condit ions, the explotation of natural resources and t he environment and the provision of goods and services to consumers”. The Council of Europe Resolution 77 (28) juga m enegaskan per luny a kontribusi huku m p idana dalam rangka p roteksi terhadap lingkungan hidup. Demikian pula UN General Assembly Resolution No. 45/ 121 tahu n 1990 yang m enerima resolusi tentang p roteksi lingku ngan h idup dengan hu kum pidana yang d iajukan oleh the Eighth UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. R ek o m e n d a s i d a r i the AIDP Preparatory Colloquium on the A pplication of Crimin al Law to Crime A gainst the Env ironment yang diselenggarakan d i Ottawa, Kanada (2-6 Nop ember 1992) menegaskan perlunya dipertimbangkan penggunaan hukum pidana untuk melind un gi kelestarian lingkungan h idup . Selanjutnya di dalam The V ienna Declaration and Programme of A ction yang dirumuskan p ada World Conference on Human Rights dinyatakan bahwa: “11. The right to development should be fulfilled so as to meet equitably the developmental and environmental needs of present and future generations. The World Conference on Human Rights recognizes that illicit du mpin g of toxic and dangerous substances and waste potent ially constitutes a serious threat to human rights to life and health of everyone”. 93
Pada bulan Maret 1994, di Portland, Oregon, USA, te lah diselenggarakan Int ernational M eetin g of Expert s on Env ironm ental Crime. Dalam pertemuan itu dibahas tentang penggunaan sanksi kriminal dalam kerangka perlindungan lingkungan dalam lingkup internasional, regional dan domestik yang kemudian menghasilkan ‘The Portland Draft’. Yang lebih mem prihatinkan ad alah, bahwa kejahatan lingku ngan dalam bentuk illegal disposal of dangerous waste di pelbagai negara sud ah menjurus ke arah kejahatan transnasional yang terorganisasi dan secara serius hal ini dibahas dalam The World Ministerial Conference on Organized Transnational Crimes di Napoli pada 21-23 Nopember 1994. Secara konseptual hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tindak pidana yang melanggar ketentuan tentang perlindungan lingku ngan m erupakan salah satu kejahatan kriminal di samp ing 21 kejahatan yang lain. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kejahatan lingkungan seringkali mempunyai dampak internasional atau tran snasional. Dalam huku m internasional, un sur internasional dalam hal ini sering berkaitan d engan kategorisasi delik lingkun gan sebagai perbuatan yang menyebabkan “indirect threat to world peace and security, conduct affecting more than one state, conduct including or affecting citizens of more than one state”, sehingga m emerlukan metode kerjasama antar n egara untuk penanggulangannya. Sebelumnya di Rio de Janeiro, Brazil, sejak tanggal 5 sampai 10 Septem ber 1994 telah d iselenggar akan The X Vth. International Congress of Penal Law yang antara lain secara khusus membahas crimes against environment . Dalam kon gres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan para Pelaku ke-9 sebagaimana tersebut di atas, United N ations Interregional Crime and Justice Research Institu te (UN ICRI), telah menam pilkan hasil riset tentang Env ironment al Protection at N ational and International Levels: Potentials and Limits of Criminal Justice (Case Studies). Sebagaimana m asalah nasional, secara yu ridis p ersoalan kejahatan lingkungan dikategorikan sebagai tindak pidana administratif atau tindak p idana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana ini semakin p opuler dengan d iundangkannya UU N o. 4 Th. 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jangka waktu pemberlakuan selama 12 tahun menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa pengaturan tindak pidana 94
lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat melakukan rekayasa sosial, masih memerlukan penyempurnaan ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni: perumu san tindak p idana, pertanggungjawaban pidana d an sanksi baik yang merup akan pidana m aupu n tindakan tata tertib. Di lain pihak, usaha untuk memperbaharui kodifikasi hukum pidana nasional (menggantikan WvS) terus dilakukan dan ada kesepakatan dari Tim Perumus untuk memberikan muatan-muatan hu kum pidan a n asional dengan elemen-elemen: (1) cita-cita nasional sebagaimana tersu rat d an tersirat d alam Ideologi Bangsa; (2) kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa dan (3) kecenderungankecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Mengingat konsep Rancangan KUHP tersebut sud ah meru pakan dra ft akademis, maka su dah selayaknya ap abila segala pem bicaraan tentang perencanaan peraturan pidana (termasuk aspek hukum pidana dalam pengelolaan lingkungan) secara sistemik membahas pula Konsep Rancangan KUHP tersebut, khususnya sepanjang berkaitan dengan Ketentuan Umumnya yang akan berlaku tidak hanya ke dalam tetap i juga keluar KUHP. Tentu saja perkem bangan internasional yang berkembang harus dijadikan acuan, mengingat secara konseptual Rancangan KUHP baru yang disusun sejak lama bisa juga ketinggalan zaman. Secara umum pembaharuan hukum dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pend ekatan yakni (a) pend ekatan global ( global approach), yang mengatu r secara tersendiri materi hu kum di luar kodifikasi yang ada, dengan kemungkinan terjadinya banyak penyimpangan; (b) P e n d e k a t a n e v o l u s i o n e r ( evolusionary approach ) , d e n g a n c a r a menyempurnakan atau menambahkan pasal-pasal tertentu dalam KUHP yang ada; (c) Pendekatan kompromis (compromise approach) dengan m enambahkan suatu Bab baru dalam kodifikasi yang ad a. Beberapa Permasalahan (1) Perlunya penegasan secara konsisten asas-asas dasar (general principles ) y a n g d a p a t m e m b e r i k a n p e m b e n a r a n t e r h a d a p penggunaan hukum pidana dalam rangka perlindungan dan pelestarian lingkungan h idup . (2) Perlunya penegasan tentang konsep korban dalam tindak p idana lingkungan, untuk memberikan pembenaran tentang 95
(3)
(4)
(5)
(6)
kemungkinan penjatuhan pidana yang lebih proporsional bagi pelaku tindak p idana lingkungan. Di samping itu p erlu penegasan tentang konsep kerugian dan kerusakan (harm ) sebagai akibat tindak pidana lingkungan. Perlunya arahan tentang stelsel dan sistem sanksi tindak pidana lingkungan, baik yang merupakan pidana ( punishmen t) maupun tindakan tata tertib ( treatment ) . Dalam hal sanksi pidana, sejauh mungkin mencakup jenis pidana (strafsoort) berat ringannya (strafmaat ) dan cara pelaksanaan ( strafmodus) pidana tersebut. Samp ai seberapa jauh konsep pertanggun gjawaban korporasi dalam tind ak pid ana lingkungan. Dalam hal ini timbu l masalah apakah korp orasi mencakup pu la organisasi yang tidak berbentuk badan hukum. Usaha untu k merumu skan kembali tindak pidana lingkungan atas dasar asas legalitas yang men un tut ad anya kepastian d an kejelasan (lex certa). Perlukah dibedakan antara generic crimes d an specific crimes. Menegaskan kedu du kan tindak pidana lingkungan d alam sistem hukum pidana. Apakah tindakan pidana lingkungan merup akan tindak pidana yang berdiri sendiri atau tergantun g pad a bidang hukum lain.
Asas-asas Umu m Asas pert ama yang menonjol adalah asas legalitas, yang di dalamnya terkandung asas kepastian hukum dan kejelasan serta ketajaman dalam merumuskan peraturan dalam hukum pidana, khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the environment dan sanksi yang perlu d ijatuhkan agar si pelaku m entaati norm anya. Dalam hal ini terkait akurasi proses kriminalisasi den gan segala persyaratannya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah a d a n y a k o r b a n / k e r u g i a n y a n g je la s d a n s i fa t enforceable d a r i perum usan tersebut. A s a s y a n g kedua a d a l a h a s a s p e m b a n g u n a n y a n g berkesinambu ngan, yang diterima oleh The General A ssembly PBB pa d a tahun 1992 yang menegaskan bahw a pemban gun an ekonomi jangan sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat. Asas yang ketiga adalah asas pencegahan, yang dikemukakan 96
dalam Konperensi PBB tentang lingku ngan hidu p d an pem bangun an tahun 1992 di Rio de Janeiro dan kemudian diadopsi oleh Sidang Umu m PBB. Asas ini menegaskan bahw a apabila terjadi bahay a atau ancaman terjadinya kerusakan yang serius dan irreversible, maka kekurangsempurnaan kepastian ilmiah hendaknya jangan dijadikan alasan un tuk menund a cost effective measures dalam rangka m encegah terjadinya degradasi lingkungan hidup. A s a s y a n g keempat a d a l a h a s a s p e n g e n d a l i a n y a n g j u g a meru pakan salah satu syarat kriminalisasi, yang meny atakan bahw a sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata d an ad ministrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif un tuk menan gani tind ak-tind ak pidana lingkungan tertentu. Dalam hu kum pidan a, dalam hal ini dikenal asas subsidiaritas atau “ultima ratio principle” atau asas “ ultimum remedium ”. Pendayagunaan peradilan ad ministrasi dan huku m pidana tidak a k a n m e r u p a k a n “ne bis in idem ”, tetapi sebaiknya hal tersebut dilakukan setelah mempertimbangkan tingkat kesalahan si pelaku dan berat ringannya kerusakan terhadap lingkun gan akibat tindak pidan a yang d ilakukan. Di sinilah letak pentingnya p eranan p enyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Konsep Korban Dalam Tindak Pidana Lingkun gan Untuk memahami konsep “korban” yang bersifat khusus ini, pertama-tama harus dikaji makna korban sebagaimana dirumuskan dalam Declaration on Basic Principles of Justice for V ictims of Crime and A buse of Power, yang telah diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1985. Dijelaskan bahwa yang dinamakan korban (victims) adalah: “ persons who, indiv idually or collectiv ely, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.” Pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat juga bersifat perorangan atau kolektif, bahkan bentuknya dapat merupakan kejahatan korp orasi ( corporate crim es). Sorotan terhad ap k ejahatan dari aspek korban (victim oriented analysis) sangat penting sehubungan dengan pertumbuhan viktimologi sejak tahun 1947. Dalam hukum pidana modern perhatian terhadap korban kejahatan tidak hanya 97
ditekankan terhad ap p roses kriminalisasi, tetapi juga berkaitan erat dengan p edoman p emidanaan, konsep pertanggungjawaban pidana, dan u saha untuk m encantumkan ganti rugi ( restitution ) sebagai sanksi pidana. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, antara lain muncul konsep shared responsibility apabila si korban juga tu rut berperan untu k terjadinya kejahatan tersebut. Analisis terhadap korban kejahatan sangat penting untuk menentukan politik kriminal yang paling tepat dalam rangka penanggu langan kejahatan. Dalam tindak p idana lingkun gan, hal yang p aling mend asar adalah kualifikasinya sebagai tindak pidana ekonomi (economic crimes) yang secara umu m d irumuskan sebagai “ any n on-violent, illegal activity which principally involves deceit, misrepresentation, concealment, manipulation, breach of trust, subterfuge or illegal circumvention ”. Istilah non-violent sendiri sangat relatif, karena tindak pidana lingkungan hidup dap at menyebabkan orang luka, mati, pingsan atau tidak berdaya, yang secara yuridis disamakan dengan kekerasan. Dalam konotasi politis tindak p idana ekonom i diistilahkan sebagai whit e collar crime dan secara sosial disebut sebagai socio-economic crime. Apapun istilahnya, di sini nam pak korban pertam a dari tind ak pidana lingkungan sebagai tindak pidana ekonomi adalah kepentingan negara dan kepentingan masyarakat, karena tindak pidana ekonomi selaku berkaitan d engan sistem ekonomi suatu bangsa. Dengan d emikian tindak pidana ekonomi sering disebut juga sebagai crimes against constitution . Kemungkinan korban kedua adalah manusia perorangan atau kolektif yang menderita baik fisik maupun mental, dan korban selanjutnya adalah p erusahaan saingan yang kalah efisien karena taat pada peraturan lingkungan yang m engharuskan adanya pengolahan limbah dengan biaya yang besar. Korban potensial lain adalah karyawan, karena bekerja p ada su atu lingkungan yang tidak aman/ tidak sehat. Apabila hal-hal di atas merupakan korban yang bersifat langsun g maka ada pula proses viktimisasi akibat tindak pidana lingkungan yang bersifat tidak langsung dalam bentuk kerugian negara berupa biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan pidana, yang tentu saja lebih kompleks dan otomatis lebih mahal dibanding dengan tindak pidana biasa. Di samping itu d apat berupa kerugian sosial, karena sebagai tindak pid ana ekonomi mengand un g 98
pu la apa yang dinamakan corrosive effect terhadap standar m oral yang seharusnya d itaati dalam m enjalankan usaha. Persoalan lingkun gan m enjadi semakin kom pleks. Tidak han ya bersifat pr aktis atau konseptu al ekonomi saja tetapi juga meru pakan masalah etika baik sosial maup un bisnis. Yang d ilindu ngi oleh huku m (pidana) tidak hanya alam, flora dan fauna ( the ecological approach ), tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the anthropocentric approach ). Dengan demikian muncul istilah “the environmental laws carry penal sanctions that protect a multitude of interest”. Konsep korban dalam tindak pidana lingkungan berkaitan erat dengan konsep tentang kerugian dan kerusakan lingkungan . Hal ini meliputi kerugian dan kerusakan nyata (actual harm ) dan ancaman kerusakan (threatened harm ). Sebab harus dipahami bahwa kerugian atau kerusakan dalam tind ak pidan a lingku ngan seringkali tidak terjadi seketika atau dap at d ikuantifikasi dengan m ud ah. Dengan d emikian ada kategori korban yan g bersifat konkrit dan ada korban yang bersifat abstrak. Di sinilah pembicaraan sering bersinggungan dengan tindak pidana formil dan tindak pidan a materiil; tind ak pidana spesifik d an tindak p idana generik. Masalahnya p erbuatan seseorang tidak h anya “ causes impairment of the quality of the natural environment ”, tetapi juga “ is likely to cause impairment of the quality of the natural environment ”. Stelsel dan Sistem Sanksi Tind ak Pidana Lingkun gan Berbicara tentang pem idan aan, pertam a kali har us d ikaji falsafah suatu bangsa tentang pemidanaan. Dengan falsafah p engayoman yang dianut oleh sistem pemasyarakatan saat ini, maka pemidanaan di Indonesia tidak boleh mend eritakan dan merendahkan martabat manusia. Untuk menerjemahkan asas-asas dan tujuan pemidanaan yang d ianut oleh pelbagai negara ( protection of the public, retribution or punishment, rehabilitation and reform and deterrence), masyarakat hukum Indonesia telah merumuskan tujuan pemidanaan dalam Konsep Rancangan KUHP sebagai berikut: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma huku m d emi pengayoman m asyarakat; b. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak p idana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa dam ai dalam masyarakat; 99
c. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga mejadi orang yang baik dan berguna; dan d. membebaskan rasa bersalah pad a terpidana. Untuk memenuhi tujuan integratif di atas, perlu disediakan pelbagai alternatif yang d apat d ipilih oleh hakim d alam menentu kan jenis-jen is p id an a ya ng pan tas d itera p ka n kep ad a si p elaku d en ga n mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan perbuatann ya, orangnya, kesan m asyarakat terhadap kejahatan, berat ringannya korban/ kerugian, dan p royeksi efektivitas pemidanaan. Dalam tind ak pidana lingkungan , beberapa tujuan yan g hendak d i c a p a i d a l a m p e m i d a n a a n a d a l a h ; pertam a, u n t u k m e n d i d i k masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang; kedua, mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian secara antisipatif sebenarnya secara konseptual tidak ada masalah seandainya ancaman pidana dalam tindak pidana lingkungan akan dikembangkan d an tidak hanya mencakup p idana penjara dan atau den da sebagaimana d iatur d i dalam Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982. Atas dasar kecenderungan internasional, di samping pidana kemer dek aan, perlu dip erhatikan jenis sanksi-sanksi finansial, seperti denda, sanksi bisnis misalnya penutupan perusahaan, dan sanksi alternatif misalnya kompen sasi terhad ap korban d an perbaikan yang haru s dilakukan atas kerusakan . Hal ini did asarkan atas pengalaman bahwa tindak pidana lingkungan biasanya dilakukan atas dasar alasan-alasan ekonom is dan d alam kerangka aktivitas bisnis. Pertanggungjawaban Korporasi Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak p idana sud ah d iatur dalam hukum positif Indonesia, khususnya dalam beberapa tindak pidan a di luar KUHP. Dalam ius constituendum , pertanggungjawaban korporasi ini ditingkatkan kedu du kannya m enjadi ketentuan yang brsifat um um (masuk Buku I KUHP). Di dalam UU No. 4 Th. 1982, pertanggungjawaban korporasi jug a d ikenal w ala upu n d ar i segi teknik legislative drafting kuran g baik. Hal ini namp ak dari pencantum annya yang hanya d itemp atkan dalam penjelasan Pasal 55 UU tersebut. Di samping itu pengatu rann ya terlalu sederhan a, yang seringkali menimbu lkan pelbagai penafsiran. Atas 100
dasar pengalaman pengaturan huku m positif, dan pemikiran yang berkembang pada saat penyusunan Rancangan KUHP serta memperhatikan pula kecenderungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Korporasi mencakup baik badan hukum maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; b. Korporasi dap at bersifat privat dan d apat pula bersifat pu blik; c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employees) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-punishment provision ); d . Terdap at kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision ; e . P er t a n gg u n g ja w a b an b a d a n h u k u m d i la k u k a n te r le p a s d a r i apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan hu kum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntu t dan dipidana; f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara; g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan; h . P em i d a n a an t e r h a d a p k o r p or a si h e n d a kn y a m e m p e r h at ik a n kedud ukan korporasi untuk m engendalikan p erusahaan, melalui kebijakan p enguru s atau p ara pengu rus yang memiliki kekuasaan untu k memu tuskan dan keputusan tersebut telah d iterima oleh korporasi tersebut. Perumusan dan Keduduk an Tin dak Pidana Lingkungan dalam H u k u m P id a n a Atas dasar UU NO. 4 Tahun 1982 beserta pelbagai peraturan pelaksanaannya nampak bahwa karakteristik yang nyata adalah bahwa kategori suatu tindakan sebagai tindak pidana lingkungan erat hubungannya dengan tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban administrasi, seperti tercantum di dalam izin atau lisensi. Masalah yang sering terlontar adalah, apakah huku m p idana lingkungan hanya berfungsi apabila kepentingan hu kum adm inistrasi terganggu atau kah huku m p idana harus lebih aktif melind ungi lingkungan hidup sebagai kepentingan hukum yang strategis. Hal ini misalnya saja dengan 101
mengatur delik lingkungan dalam KUHP, apakah dalam bentuknya sebagai tindak pidana yang membahayakan keamanan umu m bagi orang, barang dan lingkun gan hidu p ataukah sebagai Bab tersend iri yang memu at tind ak pidana lingku ngan hidu p secara sistematis dan lengkap. Tindak pidana lingkungan di Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai administ rative penal law atau public welfare offenses (Ordnungswidrigkeiten) yang memberi kesan ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma hukum adm inistrasi. Dengan dem ikian keberadaan tindak p idana lingkungan sepenuhnya tergantung pad a huku m lain. Kondisi semacam itu wajar, namun mengingat betapa p entingnya lingkungan h idup yang sehat dan baik dan kedud ukannya sebagai t i n d a k p i d a n a e k o n o m i s e r t a k o m p l ek s i ta s k e p e n t i n g a n y a n g dilindu ngi tersebut d i atas baik yang bersifat antrop osentris maup un ekosentris, maka ketentuan khusus ( specific crimes) perlu dilengkapi dengan tindak pidana lingkungan yang bersifat umu m d an mand iri terlepas dari hu kum lain ( delictum sui generis), yang d inamakan generic crimes atau core crimes. Dalam m erumu skan tindak pidan a lingkun gan, hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak han ya yang bersifat nyata, tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial, baik terhadap lingkungan h idup maup un kesehatan umu m. Hal ini disebabkan karena keru sakan tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan ini untuk generic crime yang relatif berat sebaiknya m emang d irumuskan sebagai tind ak pidan a m ateriil, dalam hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namu n u ntuk tindak p idana yang bersifat khusus yang m elekat pada hukum adminstratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat formil tanpa m enun ggu p embu ktian akibat yang terjadi dapat dilakukan. Sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana tersebut dapat men cakup perbu atan sengaja ( dolus, knowingly ), senga ja dengan kemungkinan (dolus eventualis, recklesness ), dan kealpaan (culpa, negligence). Pengkajian terhadap Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982 menunjukkan bahwa pasal tersebut banyak kelemahannya ditinjau dari ukuran -ukuran di atas. 102
Dalam meru mu skan tind ak pidana lingkun gan hend aknya selalu dipertimbangkan adanya dua macam elemen yakni elemen material dan elemen m ental. Elemen m aterial mencaku p: (1) ada nya p erbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang menyebabkan terjadinya tindak pidana; atau (2) perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar atau bertentangan d engan standar lingkungan yang ada. Elemen mental mencakup pengertian bahwa berbuat atau tidak berbuat tersebut dilakukan dengan sengaja, recklessness (dolus event ualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence). Pembagian ini biasa dikenal dalam Sistem H uku m An glo Saxon. Sedangkan hu kum kita yang banyak dipengaruhi oleh Sistem Hukum Kontinental membed akan kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Ditinjau dari perkembangan internasional, perumusan di atas perlu disempurnakan, karena masih kelihatan bahwa lingkungan hidu p sebagai kepentingan huku m belum memp eroleh perlind ungan secara eksplisit. Kesehatan umum dan nyawa manusia jauh lebih sempit apabila dibandingkan dengan pengertian lingkungan hidup yang luas. Karena itu, pada masa mendatang, pengaturan tindak pidana lingkungan hidup, hendaknya menyesuaikan diri dengan kecenderu ngan internasional (AIDP Preparatory Colloquium on the A pplication of Criminal Law to Crimes A gainst t he Environment di Ottawa pada 2-6 Nopember 1992, In t ern ation al M eeti n g of Ex perts on Env ironment al Crime d i Oregon 19-23 Maret 1994 yan g men gha silkan The Portland Draft , dan X Vth In ternational Congress of Penal Law di Rio de Janeiro pad a tanggal 5-19 September 1994) yang m embeda kan an tara “ Generic Crimes” d a n “Specific Crimes”. Seperti dinyatakan di atas, sifat dari “generic crimes” adalah independen (otonom) dan perumu sannya merup akan d elik materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur yang hakiki (material endangerment offences atau concrete gevaarzettings-delicten ). Dalam hal ini teori kausalitas sangat p enting. Selanjutn ya kar akteristik “ specific crime” adalah sifatnya yang d ependent terhadap aturan-aturan lain dan perumusannya bersifat formil dalam hal mana akibat bukan merupakan unsur hakiki (abstract endangerment offenses atau abstracte gevaarzettings-delicten ) dan teori kausalitas tidak menjadi penting.
103
Perkembangan H uku m Pidana Lingkun gan dalam UU No. 23 tahu n 1997 Dalam UU N o. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingku ngan Hidu p, khusu snya p ada Pasal 41 sampai d engan Pasal 48 sepanjang mengenai tindak pidana lingkungan dirumuskan jauh lebih baik daripad a peru mu san semacam dalam UU No. 4 tahun 1982. Beberapa perkembangan yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana lingkungan tidak mengatur tentang “ strict liability ” karena semu a tindak pidana lingkun gan d ilihat sebagai kejahatan. Dengan dem ikian u nsur kesalahan (dalam bentu k kesengajaan d an kealpaan) merupakan unsur yang hakiki ( liability based on fault ); 2. Tind ak pidana lingkun gan terbagi dalam 2 (du a) kategori yaitu tindak p idana gen erik yang meru pakan delik materiil (Pasal 41 dan Pasal 42) dan tindak pidana spesifik yang merupakan delik formil (Pasal 43 dan Pasal 44). Perumu san d elik m ateriil did asarkan atas konsep viktimisasi yang bersifat aktual, sedangkan p erumu san d elik formil dilandasi konsep viktimisasi yang bersifat p otensial (potential harm atau threatened harm); Dalam pr oses pembu ktian delik materiil teori hukum pidana tentang kausalitas menjadi sangat penting. 3. Baik delik materiil mau pu n delik formil dap at berupa delik kesengajaan d an d elik kealpaan dan khusu s mengenai delik formil (yang merupakan kejahatan spesifik), mensyaratkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan p erundan g-und angan yang ada terlebih dahulu; 4. Jenis-jenis delik materiil melipu ti perbuatan baik sengaja mau pu n alpa yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup. Akibat berupa orang mati atau luka berat merupakan alasan pemberatan pidana; 5. Jenis delik-delik formil mencakup p elbagai perbuatan baik sengaja mau pu n alpa berup a: (1) melepaskan atau m embuan g zat, energi, dan/ atau komponen lain yang berbahaya atau beracun m asuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan; (2) melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut; (3) menyimpan bahan tersebut; (4) menjalankan instalasi yang berbahaya; Di samping terdapat syarat perlunya melanggar ketentuan perun dang-und angan yang berlaku, terdap at perumu san unsur yang d ikulpakan (pro parte dolus pro parte culpa) yaitu si pelaku mengetahu i atau sangat beralasan untu k mend uga 104
bahwa p erbuatan tersebut dapat m enimbulkan pencemaran dan/ atau p erusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umu m atau nyawa orang lain; 6. Dalam d elik formil yang berupa delik kesengajaan diatur p ula delik berupa dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan delik kesengajaan tersebut dalam bu tir (5) di atas, pad ahal mengetahu i atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain; 7. Sanksi pidana p enjara dan d enda d irumuskan secara kumu latif, yang secara imp eratif haru s diterapkan hakim ; 8. Definisi “pencemaran lingkungan hidup ” d iatur d alam Pasal 1 butir (12) yaitu “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain d i dalam lingkungan hidu p oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peru ntukan nya; Dalam Pasal 1 butir (14) “perusakan lingkungan h idup ” dirumu skan sebagai tindakan yang menimbulkan p erubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayati yang mengakibatkan lingku ngan hidu p tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; catatan: ada keluhan dari penegak hukum bahwa kalimat “yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam m enun jang p embangu nan yan g berkelanjutan” terlalu abstrak dan bersifat akademis, sehingga menimbulkan kendala terhadap penegakan hukum ; 9. UU No. 23 tahu n 1997 secara eksklusif mengatu r pertanggu ng– jaw aban korp or asi d ala m h u ku m p id an a (corporate criminal responsibility), yaitu dalam Pasal 45 sampai d engan Pasal 47. Dengan demikian, korporasi (yang meliputi badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organ isasi lain) tidak hanya d ipand ang dapat melakukan tindak pidana, tetapi juga dapat dipertanggun gjawabkan dalam hu kum p idana serta dap at dijatuhi pid ana dan/ atau tindakan. Catatan: Penjelasan tentang hal ihwal pertan ggun gjawaban k orporasi dap at dikaji dari bagian lain buku ini; 105
10.Sanksi yang dap at dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana, di samping denda yang diperberat dengan sepertiga (Pasal 45), juga sanksi berupa tindakan tata tertib (tuchtmaatregel ) seperti: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau p enutupan seluruh nya atau sebagian perusahaan; dan atau p erbaikan akibat tindak pidana; dan atau mewajibkan mengerjakan apa yang d ilalaikan tanpa hak; dan/ atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/ atau menempatkan peru sahaan di bawah p engampu nan paling lama 3 (tiga) tahun. Penutup Mengingat semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap konsep pembangunan yang berkelanjutan, maka peranan hukum pidana dalam m elindun gi lingkungan hidup semakin p enting. Bahkan dalam kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidu p yang berat, sifatn ya sebagai “pimum remedium” semakin nam pak. Sekalipu n demikian, efektivikasinya akan banyak tergantung pada kualitas mental dan intelektual para penegak hukumnya, terutama untuk memahami spirit dan substansi hukum pidana lingkungan yang cukup kompleks. Pemahaman ini antara lain dilakukan d enga mengadakan stud i banding dengan p enerapan hukum pidana lingkungan d i negara lain yang sudah banyak pengalaman dalam penegakan hukum pidana lingku ngan. Pend ayagunaan saksi ahli akan sangat membantu untu k selalu m enjaga keseimbangan antara kepastian hu kum , kemanfaatan, kebenaran dan kead ilan. n
106
bagian 2 FAKTOR-FAKTOR GLOBAL DAN KETEGANGAN HUKUM NASIONAL
107
108
I n t e r n a t i o n a l Cr i m i n a l Co u r t Se b a g a i K a r y a A g u n g A n t a r B a n g s a Ide untuk mengadili mereka yang telah terlibat melakukan kekejaman dan pelanggaran HAM berat telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman itu telah terjadi penuntutan terhadap mereka yang melakukan kekejaman dalam konflik bersenjata yang brutal atas dasar standar nilai dan norma kemanusiaan yang bersum ber pad a filsafat dan agam a. Pada tahu n 1474 hu kum an mati bahkan telah dijatuhkan kepada Peter von Hagenbach, pelaku kekejaman pada saat pendudukan Breisach, oleh suatu pengadilan internasional. Dalam sejarah perang saudara di Amerika, Abraham Lincoln telah melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan sanksi berat, termasuk pidana mati terhadap pelakunya. (Schabas, 2001) Setelah p erjanjian p erdam aian Wesph alia tahu n 1648, secara grad ual desakan un tuk m elakukan p roses penu ntutan internasional terhadap para pelaku pelanggaran hukum humaniter mulai berkembang. Kodifikasi penting dalam bentuk perjanjian internasional yang mengatur hukum perang terjadi pada tahun 1889 dan 1907, yaitu Konvensi Den Haag ( the Haque Convention ) yang menegaskan betapa pentingnya perlindungan terhadap pend ud uk sipil, kehidup an manu sia, hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga, serta keyakinan agama. Baik penduduk maupun pihak yang berperang tetap harus mend apatkan perlind ungan atas dasar asas-asas hukum internasional yang berlaku sebagai kebiasaan d i masyarakat yang beradab, hu kum kemanu siaan, dan h ati nu rani. Konvensi tersebut lebih diarahkan p ada kewajiban dan tugas-tugas negara, dan tidak dimaksudkan untuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara individual. 109
Perkembangan untuk merumuskan kejahatan perang yang memun gkinkan p ara pelakunya u ntuk d ituntut semakin m elembaga setelah Perang Dunia I sampai dengan terbentuknya Pengadilan Pidana Internasional ( International Criminal Law ) dalam bentuk Statuta Roma pada tahun 1998. Dari sisi hukum pidana internasional, terbentuknya statuta ini sangat menarik, sebab sampai saat ini, dalam penegakan hukum secara umum berlaku ‘indirect enforcement method’ atas dasar kon vensi internasional, yang m engharuskan negara-negara untuk melakukan ratifikasi konvensi tersebut dan menerapkannya melalui hukum nasional. Penegakan hukum yang bersifat langsung (direct enforcement model ), hingga saat ini, secara eksplisit hanya diterapkan secara adhoc dengan tempos d an locus tertentu. Statuta Roma 1998 tentang ICC justru mengembangkan ‘direct enforcement model’ dalam peng adilan yan g bersifat perm anen. (Bassiouni, 1993) Proses Pembentukan Pengadilan Internasional Pada tanggal 17 Juli 1998, di gedung markas besar FAO ( Food and Agriculture Organization ) PBB di Rom a, delega si 120 negar a, melalu i p e m u n g u t a n s u a r a s ep a k a t u n t u k m e n g a d o p s i R ome S tatute of Int ernbational Criminal Court (ICC). Perjanjian yan g bersifat kom pleks dan terperinci ini menetapkan pembentukan “Pengadilan Pidana Internasional” dengan w ewenang dan kekuasaan u ntuk m engadili dan memidana p elanggaran HAM yang sangat berat dalam kasuskasus apabila sistem peradilan pidana nasional gagal menjalankan peranannya. ICC berkedudukan di Den Haag, ibu kota Kerajaan Belanda, berdamp ingan dengan pasangannya yang telah lama berd iri, yaitu Mahkamah Internasional (ICJ: the International Court of Justice). ICJ merup akan p engadilan dimana negara-negara mengajukan perkara yang berkaitan dengan perselisihan dengan negara lain (Art.34). Peranan individu di depan ICJ terlalu kecil. ICC melakukan penuntu tan dan pemidanaan terhadap individu , di samping itu juga menghargai peran serta yang sah dari individu sebagai korban, khu susnya d alam kasus pelanggaran HAM berat. Sementara itu ICJ banyak sekali mengadili perselisihan antar negara yang berkaitan dengan p enetapan batas antar negara dan zona p erikanan d an kasuskasus semacamnya. Dalam p erkembangann ya, ICJ juga melibatkan diri dalam kasus-kasus yang bernuan sa HAM seperti genocide di bekas 110
Yugoslavia, pen ggu naan senjata nu klir, hak men entu kan nasib sendiri di Timor Timur, imunitas dari para penyelidik HAM internasional dan penerapan pidana mati di Amerika. Apabila ICC dibentuk atas d asar Statuta Roma 1998, maka ICJ dibentu k atas d asar Piagam H AM PBB sebagai “ principal judicial organ ” PBB. Apabila yurisdiksi dari ICC menyangkut perkara pokok pelanggaran berat HAM, seperti kejahatan perang, ge nosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi, maka yurisdiksi ICJ menyangkut pelbagai perselisihan hukum (legal disputes) mengenai: the interpretation of a treaty; any question of international law; the existence of any fact w hich, if established, would constit ut e a breach of an international obligation; the nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation (Art.36). Sebagai contoh ad alah p erselisihan antara Indon esia d an Malaysia mengenai kedau latan (sovereignty) atas pu lau Ligitan d an p ulau Sipad an. Tentang hukum yang digunakan (applicable law ), dalam Pasal 38 Statuta ICJ ditentukan sebagai berikut: (a) international convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; (b) international custom, as evidence of a general practice accepted as law; (c) the generals principles of law recognized by civilized nations; (d) subject to the provisions of Art. 59, judicial decisions and the teachings of most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Pada ICC, hu kum yang d iterapkan d iatur dalam Pasal 21 Statuta Roma, yaitu: ( a) in the first place, this Statue, Elements of Crime and its Ru les of Procedure and Evidence; (b) in the second place, where appropriate, applicable treaties and the principles and rules of international law or armed conflict; (c) Failing that, general principle of law derived by Court from national laws of legal systems of the world including, as appropriate, the national laws of states that would normally exercise jurisdiction over the crime, provided that those principles are not inconsistency with this Statute and with international law and internationally recognized norms and standards. Terbentukn ya ICC pada tahu n 1998 meru pakan bu ah dari usaha yang panjang dan sarat dengan kendala, bahkan tragedi-tragedi kemanusiaan di dunia. Usaha tersebut dimulai pada tiga perempat abad yang lalu, yaitu p ada tahu n 1919 di Versailles saat berakhirnya Perang Dunia I, yang sebenanrnya d iharapkan sebagai “the war to 111
end all wars”. N a m u n y a n g t e r j a d i a d a l a h s e b a l i k n y a , y a i t u meledaknya Perang Du nia II yang m enimbulkan akibat lebih d ahsyat da n m engerikan d ari sisi kemanu siaan. Sejak itu boleh d ikatakan telah terjadi ku rang lebih 250 konflik dalam segala bentukn ya dan proses viktimisasi yang dilakukan oleh rezim-rezim tiranis yang mengorbankan lebih kurang 170 juta orang. Yang teramat meng ejutkan ad alah bahw a sebagian besar pelaku genosida, kejahatan terhadap kemanu siaan d an kejahatan perang d iuntungkan m elalui praktek “impunity” (membebaskan tanpa memberikan h ukum an). Dalam kurun waktu sejak tahun 1919 masyarakat internasional sud ah m endesak untu k d ibentuknya “Pengadilan Pidana Internasional” (ICC) yang bersifat permanen. Bahkan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir telah terbentuk 4 tribunal adhoc dan 5 “komisi pemeriksa” (investigatory commissions). Keempat tribunal ad hoc tersebut adalah; a). the International Military Tribunal (IMT) yang berkedudukan di Nu remberg; b). the International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) yang berked ud ukan d i Tokyo; c). the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia di Den Haag, dan d ). the International Criminal Tribunal untuk Rwanda (ICTR) di Arusha. (Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa di samping peng adilan militer di Nurem berg dan d i Tokyo pasca Perang Dun ia II, langkah-langkah penuntutan yang bersifat nasional atas dasar Control Council Law No. 10 juga terjadi di Republik Federal Jerman, Kanada, Perancis dan Israel. Australia dan Inggris juga m elakukann ya sekalipu n han ya satu orang yan g diad ili. Apa yan g terjadi d i Tokyo dan Nuremberg sangat berarti karena berhasil diciptakan sebagai presed en dalam sistem perad ilan pid ana internasional, yakni dalam bentuk norma-norma hukum baru dan standar pertanggungjawaban pidana kepala negara atau kepala pemerintahan). Seda ngka n kelima Komisi Pemeriksa d i atas terd iri d ari: a). the 1919 Commission on the Responsibilities of the Authors of War and on Enforcement of Penalties, yang men ginvestigasi pelbagai kejahatan yang terjadi selama PD I; b). the 1943 UN War Crime Commission , yang menginvestigasi kejahatan peran g Jerman selama PD II; c ) the 1946 Far Eastern Commission , yang menginvestigasi kejahatan perang Jepang selama PD II; d). the Commission of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution 780, yang menginvestigasi pelanggaran hukum humaniter di bekas negara Yugoslavia; dan e). the Independence Council Resolution 935, the 112
Rwanda Commission , yang m enginvestigasi pelanggar an yang d ilakuk an selama perang saud ara ( civil war ) di Rwand a. Sebenarnya setelah PD I the Treaty of Versailles menetapkan pula keberadaan tribunal ad hoc, namun tidak pernah terlaksana dan atas persetujuan tentara sekutu penuntutan dilakukan secara nasional di Jerman. Baru setelah 75 tahun kehendak masyarakat internasional untu k membentuk pengadilan p idana permanen terlaksana, sekalipu n hanya terbatas pad a pertanggu ngjawaban kr iminal secara individual. Konsep tentang ‘state criminal responsibility’ belum pernah d iterapkan (kecuali dalam perad ilan N urem berg). Dalam hal ini faktor political will sangat m enonjol. Apabila setelah PD I terjadi kom prom i untu k kepentingan kebijaksanaan politik, maka pasca PD II kehendak politik —terutama negara-negara pemenang perang-- sangat berkeinginan un tuk m enciptakan kead ilan intern asional yang efektif. Hal ini sering dinamakan “victor justice over the defeated ’ sekalipun bisa dibuktikan b a h w a p e n g a d i l a n t e r s e b u t “were not unjust ” dan bahkan bisa mendemonstrasikan peranannya sebagai lambang keadilan internasional d an kejujuran. Terbentuknya ICC boleh dikatakan sepenuhn ya merup akan buah perjuangan baik ind ividu , NGO’s, pemerintah negara-negara m aupu n lembaga-lembaga lainnya yang semuanya mengharap kan terciptanya rule of law di level inetrnasional . Tahun 1989 – 1998 merupakan saatsaat yang paling dramatis. Harapan yang sudah tipis untuk membentu k ICC antara tahu n 1989 – 1992 (kuru n berakhirnya perang ding in antara Blok Barat d an Blok Timu r), den gan terjadinya p eristiwa yang men gerikan di Yugoslavia dan Rwand a, kemu dian d igalakkan lagi yang disusul dengan langkah Dewan Keamanan PBB untuk membentuk Tribunal Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili pelanggaran HAM berat di kedua wilayah tersebut. Dalam kurun waktu itu pula, dalam suasana dan iklim dukungan publik internasional yang kuat, akhirnya terbentuk pengadilan permanen ICC pad a tan ggal 17 Juli 1998 di Roma . Yurisdik si ICC Yurisd iksi ICC berkaitan deng an pelbagai param eter huku m sebagai berikut: 1. Yurisdiksi yang berkaitan dengan pokok perkara; ini mencakup pelbagai kejahatan y ang sangat berat sep erti genosida (genocide) , 113
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) , kejahatan p erang ( war crime) dan agresi. Sepanjang menyan gkut kejahatan agresi, pengadilan hanya akan menerapkan yur isdiksinya setelah ada kesepakatan terhad ap d efinisi kejahatan agresi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan pengadilan menerapkan konsisten dengan Piagam PBB (Pasal 5) dalam kerangka Pasal 121 dan 123 Statuta, yang m engatur aman dem en melalui “Review Conference” yang dap at dilakukan setelah 7 tahun sejak berlakunya Statuta secara efektif. 2. Yurisdiksi yang berkaitan dengan waktu (temporal jurisdiction ); ditegaskan bahwa ICC merup akan lembaga prospektif yang tidak dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelum Statuta ICC berlaku (entry into force). Dalam hal ini asas “nullum crimen nulla poena sibe lege ” tetap dipandang sebagai asas fundamental. Terhadap kejahatankejahatan yang terjadi sebelumnya, maka penyelesaiannya diserahkan kepada hukum nasional masing-masing. Apabila negara–negara tersebut menolak maka mekanisme universal dap at d itetapkan. Berlakunya asas legalitas tersebut m engandu ng perkecualian, yaitu apabila negara yang bersangkutan telah membuat suatu pernyataan (adhoc declaration) bahwa negara tersebut dap at menerima p elaksanaan yu risdiksi oleh p engadilan yang berkaitan dengan kejahatan bersangkutan yang dilakukan di masa lalu. Terhad ap kejahatan-kejahatan yan g sud ah d imulai sebelum Statuta berlaku secara efektif dan berlanjut sesud ahnya (continues crimes) , penyelesaian diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan pengadilan. 3. Yu r i sd i k si t er it o ria l (space/territorial jurisdiction); pengadilan mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara peserta, tanpa mempertimbangkan kewargan egaraan si pelaku, termasu k pu la kejahatan d i wilayah negara yang m enerima yurisdiksi atas dasar p ernyataan ad hoc dan di atas wilayah yang ditentukan oleh Dewan Keamanan. Wilayah d alam hal ini mencakup p ula kapal dan p esawat terbang yang d idaftarkan di negara peserta. 4. Yu r i sd i k si p e r so n a l/ i n d iv id u a l ; d i t en t u k a n b a h w a I CC mempu nyai yurisdiksi terhadap warganegara negara peserta yang dituntut atas suatu kejahatan. ICC dapat juga mempunyai 114
yurisdiksi warga negara bukan negara peserta yang telah menerima yu risdiksi yang bersifat ad hoc atau mengikuti Dewan Keaman an PBB. Prinsip “equally to all persons”, “irrelevance of official capacity” diterapkan, termasuk mereka yang berkedudukan sebagai “kepala negara” atau “kepala pemerintahan”. Imunitas atas dasar hu kum internasional tidak m enghalangi yurisd iksi ICC. Selanjutnya diatur pula apa yang disebut “responsibility of commanders and the superiors”, termasuk d i sini perbuatan berup a “disregarded information” yang m enjuru s pad a kejahatan om isionis (pembiaran). Hub ungan ICC dengan Pengadilan Nasional Hubungan ICC dengan yurisdiksi sistem peradilan pidana nasional bersifat komplimenter. Hal ini mengandung arti, bahwa suatu kasus tidak dap at diterima ( inadmissible) apabila: a) kasus tersebut sedang disidik dan d ituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi, kecuali negara tersebut sungguh-sungguh tidak mau atau tidak mampu melakukan penyidikan dan penuntutan; b) kasus tersebut telah d isidik oleh negara yang memiliki yurisdiksi dan n egara tersebut telah memu tuskan untu k tidak m enuntut si pelaku, kecuali keputu san tersebut sebagai akibat ketidakm auan atau ketidakmampuan negara yang sungguh-sungguh untuk menuntut; c) si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sama, kecualui t e r j a d i a p a y a n g d i n a m a k a n “ p e r a d i l a n p u r a - p u r a ” ( sham pr oceedin g ) : p r o s e s p e r a d i l a n d i m a k s u d k a n u n t u k t u j u a n melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau proses peradilan tidak dilaksanakan secara merd eka atau bersifat imparsial sesuai dengan norma-norma “due process” yang diakui oleh hu kum internasional serta tidak kon sisten den gan tujuan u ntu k mengad ili si pelaku); d 0. k as u s t er seb u t t id a k cu k u p m em a d ai u n tu k m em b er ik an pembenaran langkah-langkah lanjutan.
Selanjutnya, ukuran yang digunakan untuk menentukan “ketidakmauan” ( unwillingness) meliputi: (a) proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan, ditujukan untuk 115
melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b) terjadi keterlambatan proses peradilan yang dasarnya tidak dapat dibenarkan ( unjustified delay ); (c) proses p eradilan tidak dilaksanakan secara merdeka. Sedangkan ukuran untuk menentukan “ketidakmampu an” (inability ) dalam kasus-kasus tertentu, yakni apabila pengadilan (ICC) mempertimbangkan bahwa telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial atau ketiadaan/ ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka, atau bukti-bukti dan kesaksian, atau tidak m amp u u ntu k menyelenggarakan proses peradilan. Urgensi Keberadaan ICC Dalam rangka operasionalisasinya, efektivitas ICC tidak dapat dilepaskan d ari legal spirit yang melatarbelakangi mengapa ICC diperlukan. Secara um um spirit itu berup a semangat un iversal untuk mengamankan p enghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar, terutama dalam situasi konflik. Sedangkan spiritnya yang bersifat khu sus m encakup h al-hal sebagai berikut: a. Menciptakan keadilan bagi semu anya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahw a ICC sebenarnya merup akan “the missing link” dalam sistem huku m internasional yang samp ai saat terbentuknya ICC didom inasi oleh Mahkam ah Internasional (ICJ). b. Untuk mengakhiri praktek impunity . Dalam h al ini konsep individual crime responsibility diterapkan secara merata dan tan pa perkecualian karena hirarki, baik di lingkungan sipil mau pu n m iliter. c. ICC merupakan mekanisme yang diperlukan guna membantu mengakhiri konflik. Keberadaan ICC – sebagimana pelbagai tribunal ad hoc yang ada – diharapkan dap at menimbulkan efek pencegahan ( deterrent effect ) dan mengakh iri pelbagai konflik yang terjad i yang sering kali disertai kekerasan dan kekejaman , misalnya pembersihan etnik. d . Be r u s a h a m e m p e r b a ik i k e k u r a n g a n d a n k e le m a h a n d a r i pengadilan atau tribunal ad hoc, yang sering ditudu h m enerapkan keadilan selektif den gan locus d an tempos delik tertentu ; di samp ing itu diharapkan mengakhiri apa yang disebut “tribunal fatigue” setelah Tribunal Rwanda yang memakan waktu dan energi yang cukup signifikan. e. Mengambil alih, seandainya atas d asar prinsip komplementer 116
f.
g.
h.
i.
j.
lembaga pengadilan nasional tidak m au atau tidak m ampu berbuat atau tidak berdaya. Untuk mencegah terjadinya kejadian serup a di masa datang; effective deterrence i n i m e r u p a k a n s a l a h s a t u t u j u a n u t a m a pembentukan ICC. Dengan mengkombinasikan antara nilai-nilai kemanusiaan d an pertimbangan kebijakan, maka ICC diharapkan tidak hanya penting untuk pencapaian keadilan, perbaikan dan pencegahan, tetapi juga beru saha un tuk m eberikan p erlindu ngan, restorasi, dan pemeliharaan perdamaian. Karena perhatiannya yang terfokus pada pada perlindu ngan dan restorasi korban, termasuk pemberian restitusi, kompensasi dan rehabilitasi, maka ICC dapat dikatakan tidak hanya merupakan simbol keadilan tetapi jug a meru pak an yu disial yang efektif, yakn i secara adil men erapk an kead ilan retributif dan restoratif sekaligu s. ICC diharapkan merupakan warisan moral ( moral legacy ) bagi mereka yang mendambakan sistem peradilan pidana internasional yang permanen, efektif dan secara politik tidak mengenal kompromi. ICC m er u p aka n “landmark” dalam hukum internasional yang penting dalam hubungan internasional. Dalam hal ini Sekjen PBB (Kofi Annan ) menggambar kanny a sebagai “a gift of hope to future generations, and a giant step forward in the march forward universal human right and the rule of law”. Bahkan seorang penulis seperti Robert C. Johansen menyebutnya sebagai ‘the most important instit utional inn ovation since the foun ding of the Un ited N ations”.
Tetapi, penting dikemukakan bahwa akhir-akhir ini muncul perkembangan yang ku rang mengu ntungkan bagi kewibawaan ICC. Dalam rangka m elindu ngi tentaranya yang melakukan tugas bantuan internasional (peacekeeping operations) dari kemungkinan penuntutan ICC, secara mengejutkan Presiden Amerika, George W. Bush, menyetujui suatu un dang-un dan g yang berjud ul “ the A merican Service M embers Protection A ct of 2002 ”, yang pada intinya mengandung substan si sebagai berikut: 1. T id a k a d a l e m b a g a p e m e r i n t a h a n A m e r i k a Se r i k at b o l eh bekerjasama dengan ICC. 2. Tidak ada agen ICC boleh melakukan kegiatan investigasi di Amerika Serikat. 117
3. Presiden akan menjamin bahwa semua resolusi Dewan Keamanan PBB yang membentuk “ peacekeeping operations” secara permanen mengecualikan anggota-anggota angkatan bersenjata Amerika Serikat dari penu ntu tan oleh ICC. 4. Amerika Serikat tidak akan berpartsipasi pad a setiap misi perd amaian kecuali Presiden m enyatakan kepad a Kongres bahwa personil militer Am erika Serikat dikecualikan d ari penu ntu tan ICC. 5. Tidak ad a informasi keamanan n asional yang bersifat rahasia dap at ditransfer langsung atau tidak langsung kepad a ICC atau kepad a negara yang menjadi pihak d ari Statuta Roma. 6. Amerika Serikat tidak akan m emberikan bantuan militer, termasuk pelatihan , kepa da n egara-negar a yang mera tifikasi perjanjian ICC, kecuali negara-negar a anggota NATO, dan “ major non NATO allies” (Austr alia, Mesir, Israel, Jepa ng, Repu blik Korea, Taiwan, d an N ew Zeland). 7. Presiden diberi wewenang untu k menggunakan “segala yang diperlukan dan tepat” (all means necessary and appropriate) untuk membebaskan personil Amerika Serikat atau sekutunya yang ditahan atau dipidana bertentangan dengan kehendaknya oleh atau atas nam a ICC. Secara tradisional bahasa ini meliputi keku atan militer, termasuk ancaman eksplisit untuk menginvasi Belanda, sekutu NATO. 8. Pengecualian d imungkinkannya d engan syarat-syarat yang sangat ketat (misalnya atas d asar kepentingan nasional). Keberadaan undang-undang di atas dirasakan sangat meresahkan karena dianggap bertentangan dengan kehendak masyarakat internasional untuk menegakkan supermasi hukum. Di samping itu merup akan kenyataan bahwa sebagian besar pend uku ng adalah negara-negara yang demokrasinya masih rentan dan baru bangkit dari krisis pelanggaran HAM. Yang menarik adalah bahwa Amerika Serikat tetap akan membantu usaha internasional untuk membawa ke pengadilan para pelaku genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk u saha dari ICC. Menanggapi perkembangan di atas, nampaknya Dewan Keamanan PBB tetap konsisten terhadap keberadaan ICC. Pada tang gal 12 Juli 2002, Dewan Keamanan men geluark an resolusi un tuk menolak pengecualian perma nen Amerika Serikat terhad ap yu risdiksi 118
ICC, dengan cara menunda hanya satu tahun setiap investigasi dan penuntutan ICC terhadap pasukan perdamaian (peacekeepers) d a r i negar a-negara yan g belum m eratifikasi per janjian ICC. Ha l ini sesuai deng an Pasal 16 ICC, walaup un pasal ini sebenarnya berlaku terh adap “ a particular case” d a n b u k a n “category of people” seperti pasukan perdamaian. Kesimpulan • ICC hanya dapat memenuhi misi yang diembannya, baik yang berupa “general spirit ” maupun “specific spirit”, apabila ICC tetap bersifat ind epend en, efektif, tidak mem ihak, jujur d an ad il. • Adopsi terhadap Statuta ICC pada tanggal 17 Juli 1998, di samping merupakan berakhirnya perjuangan yang panjang untuk pembentu kannya, juga m erup akan titik awal pencapaian sasaran yang b aru , yakni berlakun ya ICC secara efektif setelah diratifikasi oleh 60 negara (dapat dikemukakan bahwa sejak 31 Desember 2000 sebanyak 130 negara, kecuali Indonesia, telah menandatangani Statuta Roma dan 52 negara telah meratifikasinya). • Statuta Roma merupakan bentuk keseimbangan antara peranan lembaga nasional dan lembaga internasional atas dasar prinsip insentif dan komp lementer. Sebagai perjanjian m ultilateral Statuta Roma membutuhkan dukungan luas tanpa mengorbankan efektivitas dan keadilan. • M em a h a m i St a tu t a Ro m a 1998 te n ta n g P en g a d il an P id a n a Internasional (ICC), secara simultan harus dilakukan pula pemahaman terhadap 2 dokumen yang terkait dalam sat u kesatuan, yaitu dokumen yang menguraikan “the elements of crimes” d a n d o k u m e n y a n g m e n g a t u r “rule of procedures and evidence”. n
119
Menjamin Kepastian, Ket ertiban, Pe n e g a k a n d a n P e r l i n d u n ga n H u k u m Dalam Era Globalisasi Pendahuluan Perubahan sosial yang cepat akibat proses modernisasi sudah dirasakan sebagai sesuatu yang secara potensial dap at menimbu lkan keresahan dan bahkan ketegangan sosial. Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntu t adanya norma-norma kehidup an sosial baru, yang menyibu kkan badan legislatif, lembaga-lembaga penyelesaian sengketa dan segenap usaha untuk melakukan sosialisasi hukum. Sinisme masyarakat yang meluas terhadap du nia hukum mu ncul dalam ragam p andangan, seperti hukum ditudu h telah ketinggalan zaman, tidak memenuhi rasa keadilan, penegak hukum dianggap tidak pr ofesional, sasaran (adressat) norma dianggap tidak sadar hukum, lembaga peradilan didakwa tidak dapat menggali nilai-nilai dalam masyarakat, diskresi-diskresi muncul secara tidak terkendali, DPR dilecehkan, hakim didakwa menyalahgunakan kebebasan, delegated legislation s e m a k i n m e r e b a k , d o k t r i n d a s a r t e r d e s a k o l e h prag matisme, otonomi p rofesional berjuan g m elawan legislasi, dan sebagainya. Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat ditemukannya alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan teknologi informatika modern, isu mod ernisasi menjadi mend un ia dan memunculkan fenomena baru berupa globalisasi yang menuntut perubahan struktur hubungan hukum, substansi-substansi baru pengaturan hu kum d an bud aya hukum yang sering sama sekali baru. Tanpa adanya perubahan sistem hukum tersebut, akibat-akibat selanjutny a yang lebih ru mit dap at dipastikan akan m un cul. Misalnya, persepsi publik yang terlanjur menganggap bahwa penguasa tidak 120
dapat menjamin kepastian hu kum akan dap at menimbulkan bahaya lenyapnya ketenteram an d alam pelbagai kehidup an sosial. Segalanya terasa serba tidak p asti. Praktek penegakan h uku m yang terjadi semakin jauh d ari penegakan h uku m yang diid ealkan , dan hu ku m ha ny a ak an berpihak melindu ngi orang-orang yang berkuasa d an para p elanggar hak asasi manu sia, dan seteru snya. Di sinilah masalah kepastian hu kum , ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang p ada d asarnya mengandun g du a hal sekaligus, yakni, rasa aman (jasmaniah) dan tentram (batiniah), yang kedu anya tercakup dalam tujuan hukum: kedamaian!. Tiga Ko nsep Huku m Penegakan hu kum tidak bisa lain haru s diartikan d alam kerangka tiga konsep yang saling berhu bungan, yakni (1) konsep penegakan hu kum yang bersifat total ( total enforcement concept ), yang menu ntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali; (2) yang bersifat pen uh ( full enforcement concept ), yang menyad ari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan h uku m acara dan sebagainya demi p erlind ungan kepentingan individual; dan (3) konsep penegakan huku m aktual ( actual enforcement concept ), yang m un cul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasanketerbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumberdaya m anusia, kualitas perund ang-und angannya, dan miskinnya partisipasi masyarakat. Apapun konotasinya, perubahan sosial akibat modernisasi dan globalisasi tidak m erup akan sesuatu yang bersifat fakultatif dan tidak dap at dihinda ri. Kedu anya, modern isasi dan g lobalisasi, meru pakan sesuatu yang alamiah yang timbul serta merta akibat kompleksitas dan heterogenitas hubu ngan an tar manu sia sebagai makh luk sosial, terutama d i abad teknologi modern seeperti sekarang ini. Globalisasi mengandung makna dan implikasi yang dalam. Dalam perdagangan misalnya, globalisasi tidak hanya sekedar melakukan praktek perdagangan di beberapa negara di du nia, tetapi ia harus d itafsirkan sebagai berdagang d i seluru h d unia d engan cara baru, menjaga keseimbangan kualitas global hasil produksi atau pelayanan dengan kebutuhan-kebutuhan yang khas (unique needs) yang berbasis pad a pelbagai macam konsu men lokal. Lebih jauh lagi globalisasi mem atahkan kualitas-kualitas yang m elekat p ada bisnis 121
yang sudah terbentuk atas dasar pandangan-pandangan kultural etnosentrik yang sempit tanpa memandang nasionalitasnya. Globalisasi melibatkan tenaga-tenaga tertentu yang m emiliki keahlian khusus dari perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia, tanpa melihat kewarganegaraannya. Penghargaan terhadap staf tersebut sepenuhnya didasarkan atas semata-mata karyanya yang hebat serta usahanya u ntuk m enciptakan kemajuan p erusahaan yang tanpa batas. Melakukan bisnis dalam nu ansa ini mau tidak mau mengharuskan para pelaku bisnis mempertimbangkan pendekatan global terhadap hasil produksi dan jasa untuk melayani konsumen atau langganan, yang kemu ngkinan juga beroperasi (dalam bentuk kontrak-kontrak) di seluruh dunia. Mereka, baik secara individual maupun kolektif, melalui sistem informasi yang canggih mengharapkan standar produ ksi dan pelayanan yang sama, di manapu n mereka berada ( the global traveler ) . Dalam kond isi global seperti ini terbuka kemu ngkinan yang luas bagi mereka u ntuk berkompetisi, mengikuti perkembangan teknologi, dan menggali keuntun gan d ari pelbagai kesempatan bisnis yang ada. Dari segi hukum, hal-hal di atas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kehidup an um at manu sia yang d idasarkan atas pemikiran yang bersifat global dengan segala komp leksitasnya, tidak d apat d ibiarkan berjalan tanpa norma d an tanpa rule of law . Persiapan masing-masing negara, baik secara internal maup un eksternal harus dilakukan ap abila bangsa dan negara tersebut ingin menjadi independent variable dalam era globalisasi. Harus segera d ikatakan bahwa apa yang d inamakan globalisasi tidak hanya terjadi d i bidang ekonomi (Uruguay Roun d, NAFTA, APEC dan sebagainya). Globalisasi juga terjadi d i bidang-bidan g iptek (ISO 9000), pend idikan d alam ben tuk kelas-kelas paralel pend idikan jarak jau h ( distance education ) yang menemp atkan aktivitas pendidikan sebagai komoditi perd agangan , sistem informasi melalui internet yan g sering dinam akan “ library in t he sky”, masalah sosial budaya (misalnya isu tentang lingkungan hidup), masalah politik (demokratisasi dan HAM), dan sebagainya. Nampaknya usaha u ntuk mempertahankan pola-pola kehidupan yang bersifat domestik, jargon-jargon politik yang bersifat nasional, dan aktivitas ekonomi yang eksklusif tidak dapat dipertahankan lagi. Kecenderungan global di pelbagai kehidu pan d i atas tidak berd iri tetapi saling terkait satu sama lain. 122
Yang menjadi pertanyaan kunci adalah seberapa jauh doktrindoktrin dasar setiap bangsa (Untuk Indonesia: Pancasila dan UUD dengan segala refleksi pengaturannya) dalam konteks kehidupan global tidak d ianggap justru sebagai kend ala globalisasi. Sebaliknya, seberapa jauh pu la aspirasi-aspirasi global dalam pelbagai kehidu pan tersebut dapat dimanfaatkan tanpa harus mengorbankan jati diri bangsa. Sebagai contoh d apat d ikemukakan di sini, apakah kejahatan ekonomi pad a masa mend atang masih d apat d ikualifikasikan sebagai “kejahatan m elawan konstitu si” (inga t Ps. 33 UUD 1945) atau malah ju st ru se ba lik n ya m en jad i “k eja h ata n m elaw an sist em ek on om i global”. Di sinilah hukum ditantang untuk berperanan sebagai mekanisme pengintegrasi, mempersatukan pelbagai dimensi kepentingan; seperti antar kepentingan internal bangsa, antara kepentingan n asional d engan kep entingan internasional, antar sektor kehidupan nasional, dan sebagainya. Kepentingan internal bangsa mencakup; (1) kepentingan individual yang berkaitan dengan kepribadian (fisik, kebebasan, reputasi dan kehormatan, rahasia pribadi, kepercayaan dan pend apat), hubu ngan d omestik (perkaw inan, keluarga), kepentingan substantif (hak m ilik, kebebasan indu stri, kontrak, hubu ngan dengan orang lain, kebebasan berkum pu l, pekerjaan); (2) kepentingan um um yang terdiri atas kepentingan negara sebagai badan hukum (intergritas dan kebebasan serta kehormatan bangsa, kedudukan sebagai organisasi politik, korporasi den gan tu juan -tujuan tertentu) dan negara sebagai pelindung kepentingan sosial; (3) kepentingan masyarakat yang terdiri atas keamanan u mu m (keamanan, kesehatan, kedamaian dan ketertiban, transaksi umum), keamanan lembagalembaga sosial (lembaga domestik, lembaga keagamaan, lembaga politik dan lembaga ekonomi), moral masyarakat, perlindungan sumberdaya sosial (sumber daya alam, perlindungan bagi yang lemah), kemajuan umum (ekonomi: penggunaan hak milik, perdagangan, industri, hak milik intelektual), kemajuan politik (kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi), kemajuan kultural (kebebasan iptek, surat-menyu rat, seni, promosi pend idikan dan belajar, keindahan) dan kehidupan individual (tuntutan, kesemp atan dan kondisi kehidup an).
123
Integrasi Antara Kepentingan N asional dan Internasional Integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan internasional sangat penting sebagai bahan pertimbangan akad emis mengingat interdepend ensi, interaksi dan interkoneksi antar negara cenderung semakin meningkat dalam pelbagai aspek kehidupan. Pendekatan partikularistik relatif harus lebih dikembangkan dalam bentuk strategi yang tetap berpijak pada jati diri bangsa, tanpa mengesampingkan kecenderungan global sepanjang tidak bertolak belakang dengan pand angan hidu p bangsa. Kepentingan internasional tersebut tersurat dan tersirat dalam instrumen-instrumen dan dokumen-dokumen internasional berupa konvensi, model treaties, standar minimum rules, resolusi, deklarasi, dan sebagainya yang dihasilkan oleh organisasi-organisasi internasional terutama PBB. Kebutuhan ini dapat diatasi dengan ratifikasi, perjanjian bilateral, regional, harmonisasi hukum dan seterusnya. Dalam konteks ini relevan dengan salah satu tujuan nasional bangsa yaitu ikut serta dalam menciptakan ketertiban d un ia. Tetapi, di atas segalanya yang lebih penting adalah keberanian para penegak hukum untuk menjadikan instrumen-instrumen dan dokumen-dokumen internasional tersebut sebagai acuan penegakan h uku m, di samping perund ang-undangan, kebiasaan, yurisprud ensi dan doktrin. Integrasi antar pelbagai aspek kehidup an n asional merup akan atau harus dipandang sebagai refleksi dari Doktrin Ketahanan Nasional. Pemahaman terhadap refleksi ketahanan nasional dalam kaitannya dengan integrasi dan harm onisasi antar pelbagai aspek kehidup an akan lebih mudah dipahami dalam hubungan sentral antara hukum dan politik dalam kehidupan masyarakat. Seni untuk menyerasikan aktualisasi nilai-nilai atau karakteristik pelbagai bentuk masyarakat, pada d asarnya merupakan usaha untuk men yerasikan hubun gan antara kesejahteraan dan keamanan d alam pelbagai aspek kehidup an n asional. Di bawah ini adalah tab le karakter istik dar i suatu sistem sosial tertentu . Kristalisasi dari uraian d i atas adalah bahwa yang d isebut h uku m nasional dalam era globalisasi di samping m engand un g karakteristik lokal, seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungankecenderun gan internasional yang d iakui oleh m asyarakat d unia yang beradab. Yang menjadi masalah adalah sampai seberap a jauh kecend erun gan-kecend erung an internasional ini mem berikan warna 124
dalam kehidu pan h ukum nasional baik dalam pembentukan huku m, penegakan hukum mau pun kesadaran hukum. Dalam pembentukan dan pembaharuan hukum, aspirasi yang perlu diperhatikan adalah aspirasi suprastruktur, infrastruktur, ekpertis dan asp irasi masyarakat internasional, di samping tentu saja proses legal drafting yang berkualitas harus dapat dipenuhi. Untuk penegakan huku m sud ah seharusnya ada transparasi antar keluarga-keluarga huku m (legal family ) dengan maksud agar tidak diikuti lagi secara kaku. Keluarga-keluarga hukum tersebut antara lain keluarga hukum Anglo-Saxon, keluarga hukum Kontinental, keluarga huku m Sosialis, keluarga huku m Timur Tengah dan keluarga hu kum Timu r Jauh . Yurispru densi misalnya, sud ah saatnya m enjadi sumber hukum yang representatif, tanpa harus memandangnya sebagai tradisi yang hanya ada di sistem Common Law. Selanjutnya Doktrin-doktrin hukum dari para pakar kiranya dapat mengisi kekosongan hukum yang ada. Persepsi teoritik di samping dapat mengg ambarkan , menjelaskan, mengu ngkap , juga dap at mempred iksi secara lebih aku rat apa yang akan terjadi di masa d epan. Dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum harus tergambar pula karakteristik hukum modern, yang merupakan landasan sistem huku m d alam menyongson g globalisasi yang semakin meningkat di masa datang. Tidak mustahil sasaran ( adressat ) norma hu kum nasional suatu ban gsa, karena aktivitas transnasional, adalah bangsa lain yang ada di negara yang berlainan sebagaimana tergambar dalam hakekat globalisasi di atas. Karakteristik hukum modern adalah bahwa hukum harus (a) seragam dalam dalam aplikasi; (b) transaksional; (c) un iversalistik; (d) hira rkis; (e) organiz ed bureau-critically; (f) rasional; (g) profesion al; (h) dapat diamandemen; (i) politik; (j) pemisahan lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif. Aspirasi infrastruktur baik dalam pembentu kan huku m mau pu n penegakan hukum harus diperhitungkan sebagai salah satu aspek penen tu efektivitas huku m. Sebagai illustrasi dapat d ikemukakan di sini hasil riset di pelbagai negara yang menyimpulkan, bahwa seringkali pemidan aan terhadap pelaku tindak pid ana ekonomi tidak dapat efektif karena mereka merasa dirinya bukan penjahat. Hanya karena kesalahan yang tidak seberapa mereka haru s masuk pen jara. Tidak ad a stigma sosial yang diberikan oleh lingkun gann ya. 125
Dalam kehidup an global yang saat ini dan d i masa datang akan banyak d itandai oleh profesionalisme, maka d ituntu t adany a sistem pend idikan huku m yang semakin m enunjang berupa sekolah-sekolah pr ofesional yang terdiversifikasikan secara baik, semakin spesialis, pendidikan penegak hukum yang terintegrasi, badan-badan dan lembaga-lembaga khusus yang menangani kasus-kasus yang sarat d e n g a n k e r u m i t a n d a n s a r a t i p t e k . P e n g e m b a n g a n para legal nampaknya harus dilihat sebagai tuntutan yang tidak berlebihan. Dalam kerangka ini pula mu ncul kode etik, yang keberadaan nya sud ah merupakan tuntutan nasional maupun internasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini bahwa di tingkat internasional saat ini terdapat: (a) kode etik untuk perusahaan transnasional; (b) kode etik untuk untuk para penegak hukum; (c) pr insip-prinsip dasar bagi peran pengacara; (d) pan du an tentang Jaksa Penuntut; dan sebagainya. Ketaatan seseorang pad a kod e etik h arus mend apatkan penghargaan yang memad ai, mengingat sanksi dalam masalah norma susila sangat lemah dibanding sanksi hukum. Yang harus dihayati adalah bahwa dalam hal ini terkait tiga komponen sekaligus, yakni komp onen m ental, intelektua l dan seman gat alruistik yang memad ai. Standar-standar tersebut sangat penting (apalagi bila didukung oleh p eradilan disiplin d an organisasi profesi yang h andal), di samping dap at memp erkuat, memperlemah atau menghapu skan sifat melawan hukum dalam suatu kasus perbuatan, standar-standar tersebut juga dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktek profesional atau tidak. Dikatakan ada malpraktek apabila seorang p rofesional, dalam menjalankan kewajibannya telah bertind ak di bawah standar (substandar ) profesinya sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya ( causation ). Perlu d isadari pula bahwa m enegakkan huku m d engan semangat dan jiwa yang sud ah tidak sesuai dengan perkemban gan zaman , secara konseptual merup akan m alpraktek juga. Dalam hal ini harus d ibedakan antara jiwa und ang-undang ( the legal spirit ) sebagaimana tersurat d an tersirat dalam konsiderans dan penjelasan um um perund ang-undangan tersebut, dengan jiwa penegakan hu kum ( the spirit of law enforcement ) yang berdasar kan Pasal 27 ayat 1 UU no. 14 th 1970 yang h aru s selalu digali oleh hakim pada saat mengadili perkara tersebut di dalam masyarakat. Semangat ini harus mewarnai juga segala sub sistem 126
perad ilan p idana lain. Doktrin yang menyatakan bahw a apabila terjadi benturan antara hukum dan keadilan maka keadilanlah yang harus diutamakan atas dasar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan atas dasar ajaran sifat melawan h uku m m ateriil. Dalam era globalisasi orang tidak mungkin lagi hanya mengop erasionalkan nilai-nilai dom estik. Sebagai contoh ad alah u saha dunia internasional melalui PBB untuk melindungi apa yang dinamakan ju ral post ulates of civ iliz ation (JPC) yang mendasari pernyataan bahwa ada 22 kejahatan yang dipertimbangkan sebagai kejahata n intern ational. JPCs tersebut ad alah : (a) Ancam an langsu ng terhadap kedamaian dan keamanan dunia; (b) Ancaman tidak langsung terhadap kedam aian d an keamanan du nia; (c) Shocking to the conscience of humanity; (d ) Conduct affecting more than one state; (e) Conduct in cluding or affecting citiz ens of more than one state; (f) Means or methods transcend national boundaries; (g) Cooperation of States Necessary to enforce. Dalam aktivitas manusia maupun kelembagaan yang bersifat global, khususnya globalisasi politik yang bernuansa perlindungan HAM dan d emokratisasi. Manu sia dan lembaga tersebut haru s sadar bahwa segala bentuk norma-norma HAM, baik hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi d an ku ltural serta hak k olektif untuk berkembang mengenal restriksi-restriksi dan limitasi yang diakui secara universal. Restriksi dan limitasi tersebut adalah harus menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral umum, menghormati ketertiban umum, menghormati kesejahteraan u mum , menghormati keamanan umu m, menghormati keamanan nasional dan keamanan masyarakat, menghormati kesehatan umu m, menghindari penyalahgunaan hak, menghormati asas-asas demokrasi dan menghormati hukum positif. Sebaliknya, hak negara untuk mengurus dan mengatur serta menyelenggarakan p emerintahan, juga dihadap kan p ada restriksi dan limitasi, seperti asas legalitas, asas negara hukum, martabat kemanu siaan, asas bahwa pem batasan merup akan perkecualian, asas persamaan dan non diskriminasi, asas non retroaktif dan asas personalitas. Restriksi dan limitasi baik bagi negara mau pu n w arga negara dan pendu du k suatu negara, menun jukkan kepada kita bahwa sesuai dengan isyarat yang terkandung dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, setiap orang tidak hanya memiliki hak persamaan di depan 127
hukum tetapi juga sama-sama mempunyai kewajiban untuk menjunjung hu kum d an pemerintahan, tanpa ad a pengecualian. Di samp ing penegakan hu kum yang bersifat represif dan p reventif yang sudah banyak diuraikan di atas dengan pelbagai asas pembatasnya, dekade terakhir diwarnai oleh m unculnya d imensi baru dalam p eradilan, yakni dimensi korban khususnya dalam kasus-kasus pidana. Dimensi baru ini tidak hanya menimbulkan gerakan untuk lebih memp erhatikan korban u ntuk mend apatkan akses keadilan, tetapi mun cul gerakan untuk m enumbuhkan apa yang dinamakan restorative just ice yang menempatkan peradilan pada posisi mediator. Model konsensus dianggap m enimbulkan konflik baru dan harus d igantikan dengan acensus model yang m ementingkan d ialog antara yan g berselisih un tuk menyelesaikan masalahnya. Lalu mu ncul istilah ADR ( alternative dispute resolution), yang dalam hal-hal tertentu dianggap lebih memenuhi tuntutan keadilan dan efisiensi. Akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa sebenarnya penegakan hu kum yang dap at menjamin kepastian hu kum , ketertiban dan perlindungan hukum pada zaman modern dan era globalisasi ini, hanya d apat terlaksana apabila pelbagai dimensi kehidup an h uku m selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sosial, mor alitas kelembagaan d an mor alitas sipil yang d idasark an oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab, baik nasional maupun internasional. Dengan demikian kerjasama internasional sangat dibutuhkan, tidak hanya untuk membuat rambu-rambu pergaulan internasional, tetapi juga u ntu k meng atasi secara bersama-sam a apabila terjadi perbuatan-perbu atan menyimp ang yang berdimensi transnasional dan mu ngkin juga ekstrateritorial. Suasana nasional sangata kondusif untuk memberikan peranan terhadap huku m d alam era globalisasi. Huku m saat ini ditemp atkan secara terhormat sebagai Bidang p embangu nan d alam GBHN dan tidak sekedar sebagai sektor pembangunan politik seperti pada masa lalu. Globalisasi haru s d ilihat sebaga i suatu sistem, baik sebagai sistem abstrak yang penu h d engan sistem nilai baru m aup un sebagai sistem fisik dalam bentuk mobilitas barang, orang dan jasa yang menggu nakan stand ar-standar baku yang bersifat global. Untuk itu sistem hukum, baik struktur, substansi maupun kulturnya harus disiapkan un tuk m enghadapinya. n
128
H u k u m Po s i t i f I n d o n e s i a D a l a m Pe n a n g g u l a n g a n K e j a h a t a n Lintas Negara Pendahuluan Pada saat orang membicarakan proses mod ernisasi dan d ampak serta p erubahan sosial yang d iakibatkannya du a d ekade yang lalu, banyak orang diliputi rasa keprihatinan yang mendalam. Sistem hu kum baik substantif, struktu ral maupu n kultural dirasakan sangat ketinggalan d ibandingkan d engan pelbagai kebutuhan h ukum yang berkembang akibat p erubahan sosial. Diskrepansi tersebut cenderu ng menu mbu hkan kritik yang tajam terhadap lembaga-lembaga hukum , baik yang terlibat langsung d alam p roses pembu atan und ang-undang, yang melaksanakan proses penegakan hukum, maupun lembaga peradilan yang harus menerapkan hukum dalam peristiwa yang konkrit dalam kerangka kehidupan nasional sehari-hari. Kemudian, pada dekade terakhir orang juga nyaris semakin terpana oleh fenomena proses globalisasi sebagai dampak dari perkembangan teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern yang dahsyat. Proses globalisasi antara lain memunculkan fenomena berupa erosi kedaulatan nasional, munculnya konsepkonsep kesejahteraan regional dan global, berlakunya pelbagai standar baku di pelbagai bidang yang bersifat global seperti rezim WTO, HAM dan sebagainya. Sementara itu mobilitas sosial yang semakin tinggi yang ditandai munculnya global travellers, ju ga mem un culkan serangkaian akibat-akibat lain yang tak terbayangkan sebelumnya, seperti melemahn ya ikatan-ikatan etnosentrik, peranan swasta yang semakin besar yang beriringan d engan m eningkatnya peranan dan pem anfaatan informasi yang luar biasa (Daniels, 1994). Globalisasi sebagai proses perubahan sosial yang tak terhindarkan, di samping m embawa kemaslahatan manu sia d i dun ia 129
dalam bentuk pelbagai kenikmatan d an kemu dahan, ternyata juga menimbu lkan mud arat yang bersifat eksesif dalam bentuk kehancuran bagi negara-negara yang tidak siap, perusakan lingkungan hidup, runtuhnya tradisi-tradisi nasional yang bersifat partikularistik, berkem bangn ya jenis-jenis kejahatan b aru ya ng bersifat transnasional dengan memanfaatkan perkembangan alat transportasi, komun ikasi dan informatika modern d an sebagainya. Reaksi-reaksi keras yang terjadi terh adap globalisasi yang d ilakukan oleh sejum lah kalangan NGO’s akhir-akhir ini, pada d asarnya m enun tut agar globalisasi juga menghormati supremasi hukum dan HAM. Ringkasnya, globalisasi tidak hanya mengandung kesempatan emas, tetapi juga m engandu ng p elbagai bahaya d an ancaman bagi kehidupan manusia. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ekonomi global berarti semakin mudahnya perdagangan wanita dan anak-anak untuk kerja paksa d an p rostitusi, semakin m ud ahnya p enyelund up an narkotik dan senjata, semakin mudahnya menghindari pengadilan, dan lebih banyak bisnis yang menghasilkan penyuapan. (Handelman, 2000). Globalisasi tidak hanya bersifat kriminogin yang menimbulkan bentuk kejahatan-kejahatan lintas negara dan munculnya jenis-jenis kejahatan baru, tetapi juga memicu berkembangnya kejahatan yang terorganisasi (organized crimes), bahkan yang bersifat transnasional (organized transnational crimes ). Problem yang ditimbu lkan oleh kejahatan yang disebut terakhir ini ( transnasional ) semakin meningkat dan harus dicermati betul, karena d ari pelbagai riset nam pak terbu kti adanya kaitan erat antara kejahatan terorisme d engan kejahatan terorganisasi. PBB mengan ggap fenom ena d i atas sebagai sesuatu yang terlalu serius untuk diabaikan karena akan membahayakan keamanan, stabilitas nasional dan internasional, dan tertib hukum serta HAM. Beberapa kriteria untuk melakukan kategorisasi adanya kejahatan internasional adalah bahaya yang ditimbulkannya baik langsung maupun tidak langsung terhadap perdamaian dan keamanan, pelanggaran terhadap nurani kemanu siaan, pengaruhnya terhadap warga lebih dari satu negara, cara dan alatnya yang bersifat lintas batas, dan kerjasama antar negara yang menan gani (Bassiouni, 1990). Perkemban gan kejahatan lintas negara yang terorgan isasi tersebut begitu meresahkan pelbagai negara mengingat dimensi-dimensi keorganisasiannya yang begitu canggih dan motifnya yang bersifat mu ltidimensional seperti motif ekonom is, politis atau kom binasi antara 130
keduanya. Untuk itu cara penanggulangannya tidak bisa lain harus pula dilakukan secara transnasional dalam bentuk kerjasama yang komprehensif antar negara (internasional, regional, bilateral dan mu ltilateral) baik preventif mau pu n represif, baik dengan saran a penal (melalui sistem peradilan pidana) maupun dengan sarana non penal. Kejahatan Lintas Negara Kejahatan lintas negara baik yang bersifat individual maupun yang terorganisasi dapat berup a: pemalsuan d an p enipu an, korupsi yang terkait dengan kejahatan terorganisasi, penyelund up an berlian, rentenir, perd agangan d an penyelund up an imigran gelap, pencucian uang, penipuan dalam telemarketing, pemalsuan melalui internet, terorisme, perdagangan manu sia (wanita dan anak-anak) untuk kerja paksa dan prostitusi, penyelundupan obat dan senjata api, perdagangan ilegal spesis hewan dan tumbuh-tumbuhan yang mem bahayakan , pelanggaran atas warisan bud aya, agresi, kejahatan perang, apartheid , penyadap an kabel bawah laut, dan lain-lain. Untuk m embedakan nya den gan kejahatan individu al, kejahatan terorganisasi mempunyai karakteristik sebagai berikut: kelompok tersebut memiliki sedikit banyak struktur yang hirarkis dengan komposisi yang relatif konstan; sistem kontrol yang diberlakukan bersifat paksaan; pad a batas tertentu, sebagian keuntu ngan d ari hasil kejahatan diinvestasikan pad a kegiatan-kegiatan legal; tindak pidan a yang dilakukan lebih dari satu atau sejenis; menyuap pegawai pem erintah atau peru sahaan swasta. (Nilson, 1995). Di dalam N aples Political Declaration and Global Action Plan against Organized Transnational Crimes yan g d isetujui oleh SU PBB 23 Desember 1994 kejahatan terorganisasi (transnasional) diru mu skan sebagai berikut: “ ….organisasi/ kelompok u ntuk melakukan kejahatan; hubungan hirarkis atau personal yang memungkinkan para p emimpin mengontrol kelompok (kekerasan, intimidasi dan kerupsi digunakan untuk m e n d a p a t k a n k e u n t u n g a n a t a u m e n g o n t r o l w i la y a h a t a u p a s a r ); pencucian hasil tindaka n ilegal baik untu k kegiatan kejahatan m aup un untuk menginfiltrasi kegiatan ekonomi yang legal; potensial untuk melakukan ekspansi ke dalam kegiatan-kegiatan baru d i luar batasbatas negara; dan terbuka un tuk kerja sama d engan dengan organisasi kelomp ok kejahatan transnasional”.
Dari sisi normatif dan penegakan hukum, ada usaha untuk menyederhanakan pengertian kejahatan terorganisasi — agar para 131
pen egak hu ku m lebih fleksibel — men gingat d efinisi yang ada terlalu kriminologis, kompleks dan seringkali sempit. Sebagai contoh, di Kanada, perubahan yang dilakukan menyangkut ciri-ciri kejahatan terorganisasi antara lain mencakup : (1) mengu rangi jum lah orang yang terorganisasi dari lima menjadi tiga orang; (2) Jaksa tidak lagi diwajibkan u ntu k menu njukkan bahw a organisasi kejahatan tersebut terlibat dalam pelaksanaan serangkaian kejahatan u ntuk kepentingan organisasi tersebut selama lima tahun terakhir; (3) memp erluas ruan g lingku p kejahatan yang d idefinisikan dalam organisasi kejahatan dan meliputi semua kejahatan berat. Padah al sebelumnya han ya mencakup serangan atau tindakan yang dapat dituduhkan (indictable offenses ) yang dipidana m aksimu m lima tahun atau lebih. Definisi tentang “kelompok kejahatan yang terorganisasi” dan “kejahatan transnasional terorganisasi” ( transnational organiz ed crime) menjadi semakin mantap dengan diadopsinya konvensi PBB untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisasi, di Palermo (disebut Konvensi Palermo), oleh the General Assembly pada bulan Nopember 2000 dan terbuka untuk ditandatangani di Palermo , Desember 2000. Konvensi ini berlaku setelah diratifikasi oleh 40 negara. Dalam Konvensi ini, Organized Criminal Group dirumuskan sebagai: “kelompok terstruktu r yang terdiri dari tiga orang atau lebih, berada untuk suatu masa d an berbuat dalam satu kesatuan dengan tujuan un tuk m elakukan lebih dari satu kejahatan serius yang diatur dalam konvensi, untuk memperoleh, langsung atau tidak langsung, keuntu ngan finansial atau m ateri yang lain”. Sedangkan ru ang lingku p penerap an konvensi tersebut mencakup pen cegahan, investigasi d an penuntutan meliputi kejahatan-kejahatan sebagai berikut: (a) berpartisipasi dalam organisasi kelompok kejahatan; (b) pencucian hasil tindak kejahatan; (c) korupsi; (d) mengganggu proses untuk mendap atkan keadilan; (e) tindak pidana berat sebagaimana d idefinisikan d alam Artikel 2 Konvensi tersebut. Selanjutnya di dalam Artikel 3.2. dinyatakan bahwa kejahatan tersebut d ikategorikan bersifat transn asional apabila: (a) dilakukan di lebih d ari satu negara; (b) dilakukan d i sebuah negara tetapi p ersiapan dan pengen daliannya d ilakukan d ari negara lain; (c) dilakukan di sebuah negara, tetapi melibatkan kelompok organisasi kejahatan yang terlibat dalam tind ak kejahatan d i lebih dari satu negara; atau (d) dilakukan d i satu negara tetapi menimbulkan efek substansial di negara lain. 132
Di samping pelbagai kejahatan di atas, terdap at tiga protokol, yakni; (1) protokol yang menentang penyelundupan migran melalui darat, udara dan laut; (2) protokol untuk mencegah, memberantas dan memidana p erdagangan m anusia, khusu snya wanita dan anak; dan (3) protokol yang menentang pembuatan dan perdagangan senjata api, bagian-bagian atau komp onen dan am un isinya. Hanya saja dalam Pasal 37 ditegaskan bahwa suatu negara harus terlebih dahulu meratifikasi Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi sebelum menjadi peserta suatu protokol di atas. Hal ini berarti bahwa setiap protokol harus d ibaca dan diterapk an dalam kerangka Konvensi Utama. Kasus di Indonesia Data yang tercatat pad a Mabes POLRI pad a tahu n 2000/ 2001 tentang keterlibatan orang asing dalam tindak pidana menunjukkan fakta-fakta sebagai beriku t:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
No Tindak Pidana Kasus Penipuan Penggelapan Perbuatan tidak menyenangkan Keimigrasian/imigran gelap Narkotika Pencurian/pencurian dg. pemberatan Penganiayaan Penghinaan Pengrusakan Pemerasan Uang palsu Unjuk rasa Kesusilaan Lalu lintas Perlindungan konsumen Pembunuhan Pemalsuan Perjudian Penyelundupan Pengrusakan Pembakaran rumah Janji palsu Pemilikan senjata api secara ilegal Mempekerjakan anak di bawah umur Jumlah
Keterangan 25 17 5 68 32 23 11 3 2 2 5 2 ? 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1
Pasal 378 KUHP Pasal 372 KUHP Pasal 335 KUHP UU No.9 Th 1992
Psl. 359 KUHP
Psl.328 KUHP
212 133
Data di atas secara sekilas menunjukkan bahwa pelbagai kejahatan yang melibatkan orang asing di Indonesia lebih bersifat perorangan. Sekalipun ada kemu ngkinan bahwa tindak pidana keimigrasian, imigran gelap, tindak pidana narkotika dan tindak pidana uang palsu kemungkinan berkaitan dengan kejahatan transnasional yang terorganisasi, namun nampaknya hal ini belum pernah terungkap. (Karena keterbatasan waktu, penulis belum memp eroleh d ata tentang keterlibatan warga n egara Indonesia dalam tindak pidan a di luar n egeri, yang kemungkinan berkaitan d engan kejahatan transn asional yang terorgan isasi). Dengan semakin meningkatnya kejahatan lintas negara terutama yang terorganisasi dalam bentu k sindikat baik regional maup un global, maka d i samping u saha p eningkatan kebijakan kriminal dom estik (baik preventif maupun represif), masih diperlukan kerjasama antar negara yan g inten sif. Kerjasam a tersebu t bisa bersifat bilateral (mis. per janjian ekstradisi antara du a negara, bahkan forum seperti The Canada—US Cross-Border Crime Forum) dan bisa pula bersifat multilateral. Yang terakhir ini bisa bersifat global (atas dasar UN Convention Against Transnational Organized Crimes, Interpol) d an bisa pula bersifat regional (mis. The Asean Plan of Action to Combat Transnational Crime d a n SARPCCO: the Southern African Police Chiefs Cooperation Organization yang salah satu tujuannya adalah memerangi kejahatan lintas negara yang terorganisasi. Demikian pula keberadaan A seanapol). Kerjasama tersebut mencakup ruang lingkup yang luas seperti pertu karan informasi, kerjasama d i bidang huku m seperti kriminalisasi dan harmonisasi hukum , kerjasama di bidang p enegakan hu kum seperti ekstradisi, mutual assistance, transfer of proceeding, investigasi bersama, pelatihan, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan kerjasama ekstra regional. Dalam hal ini berlaku doktrin bahwa “tak satupun suatu bangsa d apat m enyelesaikan soal kejahatan secara send irian!” Kesiapan h uku m positif Berbicara tentang kaitan antara kejahatan lintas negara — khu susnya yang terorganisasi— dengan h uku m positif, mau tid ak mau akan mengantarkan kita pada hakekat hukum pidana dengan tiga permasalahan pokoknya, yaitu; adanya perbuatan yang bersifat melawan huku m (actus reus) yang dilakukan baik oleh orang d an atau korporasi; adanya kesalahan yan g melekat pada si pelaku ( mens rea); 134
dan adanya sanksi baik pidana (pu nishm ent ) maupun tindakan (treatment ). Dalam hal ini akan terkait pula persoalan kriminalisasi, baik dalam arti perumusan tindak pidana baru, maupun perluasan berlakun ya hukum p idana seperti pengatu ran corporate criminal liability. Dalam Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional terorganisasi, liability of legal persons tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana, tetapi juga h uku m p erdata d an hu kum adm inistratif (Art. 10). Dalam konteks Ind onesia, persoalan yang p erlu diajukan adalah samp ai seberapa jauh telah d ilakukan kriminalisasi terhad ap tind ak pidana d alam kategori sebagai berikut: tindak pidana berupa tu rut berpartisipasi dalam kelompok organisasi kejahatan; tindak pidana pen cucian u ang hasil kejahatan ( money laundering) dan tind ak pidana korup si; tindak pidana gangguan terhad ap proses untuk mem peroleh keadilan; dan pelbagai kejahatan berat (yang d iancam d engan p idana peram pasan kemerd ekaan paling sedikit emp at tahun atau lebih berat) yang bersifat transnasional dan melibatkan kelompok organisasi kejahatan. Jawabannya adalah Indonesia secara eksplisit belum mempunyai perundang-undangan yang mengkriminalisasikan kejahatan-kejahatan berpartisipasi dalam kelompok organisasi kejahatan d an kejahatan “ obstruction of justice”. Untuk tindak p idana koru psi relatif telah d iatur secara lengkap dalam UU. no 31 th. 1999, namun di luar kaitannya dengan sifat transnasional dan dengan kelompok kejahatan terorganisasi. Sedan gkan tind ak pidan a “ money laundering” (UU. no 15 th, 2002) masih harus diuji seberapa jauh kesesuaiannya d engan d engan stand ar internasional. Sepanjang men yangku t kejahatan penyelund upan imigran (human cargo), trafficking in persons d an trafficking in firearms sekalipun jauh dari memadai, kita mempunyai Pasal 324 KUHP, Pasal 297 KUHP dan UU No.1 Drt. Th. 1951. Nam un sekali lagi nu ansa tr ansnasional dan kaitannya d engan organisasi kejahatan belum ad a p engaturannya. Terhadap tindak-tindak pidana berat yang lain, juga banyak yang belum dikriminalisasikan, apalagi jika dikaitkan dengan kelompok kejahatan terorganisasi dan sifat tran snasional. Dari pelbagai contoh kejahatan lintas n egara sebagaimana tersebut di atas, secara d omestik sudah banyak diatur (sekalipun ancaman pidananya ada yang lebih ringan d ari empat tah un penjara), tetapi sekali lagi itu tidak terkait dengan sifat transnasional dan hubungannya dengan organisasi kejahatan. Belum lagi menyangkut jenis-jenis kejahatan serius lain, 135
s e p e r t i “ k e j a h a t a n m a y a ” (cybercrimes ) y a n g r u a n g l i n g k u p pengaturannya begitu luas seperti tercermin secara tersurat dan tersirat dalam Konvensi Eropa tentang Kejahatan Maya tahu n 2001 ( European Conv ent ion on Cybercrime 2001), dan terorisme (hanya beberapa d ari 12 Konvensi Internasional yang men entang terorisme telah d iratifikasi). Selanjutnya, dengan sendirinya persoalan akan bersentuhan dengan h uku m p idana formil, yakni tata cara untu k memp ertahankan hu kum pidana materiil. Yang p erlu dicermati di sini adalah ketentuan tentang perlindungan saksi dan perlindungan korban, mulai dari perlindu ngan fisik, relokasi, samp ai dengan p enyembu nyian identitas. Korban dalam hal ini harus dilihat pula sebagai saksi, di samping ketentuan tentang “ obstruction of justice”. Pada akhirnya yang harus diperhatikan adalah hukum pelaksanaan p idana yang berkaitan d engan jenis pidananya (strafsoort ), kemudian berat ringannya pidana (strafmaat ), dan cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus). Contoh yang menarik adalah Kanada. Pada bulan April 1997, terjadi amandemen KUHP yang mengatur anti gang measure yang memidana maksimum 14 tahun penjara terhadap mereka yang berpartisipasi terhadap organisasi kriminal. Selanjutnya terdapat ketentuan dalam Corrections and Conditional Act (CCRA), yang m enentu kan bahw a terpidan a kejahatan yang berkaitan deng an organisasi kejahatan tidak berhak m engajukan parole , semacam pelepasan bersyarat. Dalam UU tentang ekstradisi yang baru d itentukan kemungkinan bagi saksi untuk m enggunakan video and audio-link technology dalam m emberikan kesaksian baik yang ada d i Kanada mau pun di luar Kanada. Kesimpulan Dalam rangka penanggulangan kejahatan lintas negara yang terorganisasi yang membah ayakan keamanan d an kehidup an nasional, regional maupu n internasional diperlukan langkah-Iangkah strategis dan kerjasama baik dom estik, bilateral, regional m aup un internasional. Dari sisi kehidu pan masing-masing negara p aling sed ikit dip erlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut: a. Melakukan kajian dan ratifikasi terhadap UN Conventions A gainst Transnational Organized Crime, d i s u s u l k r i m i n a l i s a s i d a n harmonisasi pengaturan tentang tindak-tindak pidana terkait. 136
b. c. d.
e.
f.
Memperluas jangkauan perjanjian ekstradisi dan kerjasama yang lain. M e la k u k a n u s a h a p er l in d u n g a n sa k s i d a n k o r ba n se ca r a maksimal. Mendorong dan memp ererat kerjasama domestik, bilateral, regional dan internasional untuk mengefektifkan penan ggulangan kejahatan transnasional terorganisasi kejahatan terkait. Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui sosialisasi substansi Konvensi termasu k dimen si bahaya yang d itimbu lkan kejahatan transnasional terorgan isasi. M er u m u s k a n k e b ija k an k r i m in a l y an g k o m p r e h en s if, b aik preventif maupun represif. n
137
K o r p o r a s i T r a n s n a s i o n a l d a n Pe n g a r u h n y a T e r h a d a p T i n d a k P i d a n a Ek o n o m i d i I n d o n e s i a Dalam uraian di bawah ini, pengertian tindak pidana ekonomi dimaksudkan dalam p engertiannya yang luas, tidak hanya terbatas pada pen gertiannya sebagaiman a diatur d alam UU No.7 Drt.tahun 1955, yang dengan UU Pabean baru semakin kehilangan p amornya. Dalam tu lisan ini tind ak pid ana ekonom i lebih diartikan sebagai “kegiatan ilegal tanp a kekerasan yang pada dasarnya melibatkan unsur penipuan, mispresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, pengingkaran atau p enggun aan d alih tidak sah” (Andenaes, 1977). Istilah “tiadanya unsur kekerasan” (non violent ) bukan hanya kabur p engertiannya tetapi juga p roblematis jika dihubu ngkan d engan munculnya gejala malpraktek yang terkait dengan perusahaanperusahaan multi nasional dengan segala dampak buruk yang ditimbu lkannya; contohn ya, kecelakaan mobil akibat kesalahan d esain yang m engakibatkan matinya ribuan orang; ribuan orang m ati karena pengaru h rokok (cigarette-induced disease); ribuan orang mati karena asbestos-related cancer , meningkatnya sakit paru coklat (brown-lung) pad a buru h-buruh pabrik tekstil; meningkatnya p enyakit paru-hitam (black lung) pada buruh-buruh tambang; kasus union carbide yang menyebabkan ribuan orang mati dan luka-luka; kasus Thalidomide yang m engakibatkan ribuan bayi m engalami cacat; kasus agent orange yang mencederai veteran perang Vietnam. Belum lagi kasus-kasus tindak pidana berup a pencemaran lingkun gan yang semakin merebak (Mokh iber, 1988). Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dalam pengertiannya yang luas, tindak pidana ekonomi pada hakikatnya mengandung paling ku rang tiga elemen sebagai berikut: 138
a) Tind ak pidana ekonomi adalah tindak pidan a yang dilakukan dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan sendirinya merupakan, atau paling tidak dianggap, sebagai kegiatan bisnis yang legal dan wajar. Tidak termasuk di dalamnya kegiatan ekonom i yang bersifat ilegal, seperti perjud ian ilegal, perdag angan narkotik, atau prostitusi yang terorganisasi. b) Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang bukan hanya individu yang m enjadi korban, tetapi juga m erugikan kepentingan negara atau m asyarakat secara um um . Kejahatan ekonom i adalah kejahatan bisnis, meski tidak berarti semu a kejahatan bisnis adalah kejahatan ekonom i. Kasus-kasus penipu an atau penggelapan biasa tidak termasuk dalam kategori ini. c) Tindak pidana ekonomi mencakup p ula di dalamnya tindak pidana yang d ilakukan du nia bisnis atas perusah aan bisnis yang lain, atau individu-ind ividu , atau sekurangn ya beberapa tindak p idana yang sejenis. (And enaes, 1977). Mengaitkan korporasi transnasional dengan tindak pidana ekonomi memerlukan kesepakatan-kesepakatan dalam mengartikan terminologi yang digun akan. Istilah yang biasa digun akan d i tingkat organisasi internasional adalah M ultinasional Enterprises (MNEs) yan g secara yuridis dirumuskan sebagai “perusahaan-perusahaan asing yang dikendalikan dari negara asal dan terlibat dalam kegiatankegiatan ekonomi yang p enting di negara lain, yang d isebut negaranegara tu an r um ah” (Galbraith, 1988). Yang m embedakannya dari aktivitas bisnis d ari perusahaan yang lain adalah kemampuannya u ntuk m enerapkan kekuatan pasar dan mempengaruhi negara-negara tuan rumah melalui apa yang dinamakan remote control. Di dalam dunia yang terbagi-bagi dalam kedaulatan teritorial dan yurisdiksi, penerapan pengaruh kekuatan pasar yang bersifat ekstrateritorial tadi memerlukan pengaturan tersendiri dan berbeda dengan pengaturan perusahan domestik. Kondisi semacam itulah yang mendorong organisasi-organisasi internasional seperti PBB (ECOSOC) dan OECD (organization for Economic Cooperation and Development) untuk mengatur kode etik tersendiri bagi MNEs. Kode ini, yang oleh UNECOSOC diru mu skan pada 1979 (Horn, 1980), memuat antara lain aspek-aspek dan ketentuan sebagai berikut: 139
1. Kegiatan Perusahaan Transnasional. a. Umum d an Politik; menghormati kedaulatan negara dan patuh pad a huku m, peraturan dan p raktek-praktek adm inistratif negara setempat; berpegang pada tujuan-tujuan ekonomi dan sasaransasaran serta prioritas kebijakan p embangu nan; berpegang pad a nilai sosio kultural; menghormati HAM; tidak campur tangan uru san politik intern; dan tidak terlibat dalam praktek koru psi. b. Ekonomi, Finansial, dan Sosial ; melipu ti ketentuan kepemilikan dan pengawasan; neraca pembayaran d an keuangan; transfer pricing, perpajakan; persaingan dan praktek-praktek bisnis terbatas; transfer tekonologi; lapangan kerja dan pekerjaan; perlindungan konsumen; dan perlindungan terhadap lingkungan. c. Penyingkapan Informasi. 2. Perlakuan Terhadap Perusahaan Transnasional. Hal-hal penting yang perlu mend apatkan perh atian dalam ketegori ini di antaranya; perlakuan umum Perusahaan Transnasional oleh negara-negara tuan rum ah; nasionalisasi dan kom pensasi; yurisdiksi. 3. Kerjasama antar Negara. Keberadaan kode tersebut merefleksikan hasil riset bahwa perusahaan-perusahaan besar yang tetap survive sampai ratusan tahun pada u mum nya adalah perusahaan-perusahaan yang patuh p ada etika bisnis. Dalam konteks ini penting d isadari bahw a setiap aspek mem iliki disiplin dan logikanya sendiri-send iri; misalnya soal teknik dasarn ya adalah fakta, ilmu pengetahuan dan logika; ekonomi d idasarkan atas kebutuhan dan penawaran; sosial tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan kelompok dan lembaga-lembaga; segi-segi psikologis berdasarkan kebutuhan kesejahteraan umum dari negara; estetika didasarkan atas keind ahan; etika didasarkan atas apa yan g dianggap benar; dan spiritual didasarkan atas wahyu. (Blomstrom, 1990). Apabila MNEs di atas lebih d ikaitkan d alam pengertiannya y ang positif atau sah (legalized ) , maka istilah tersebut bisa pula d ikaitkan dengan sesuatu yang negatif, yakni kejahatan korporasi y a n g dilakuka n secara terorganisasi. Dengan kata lain, pengertian tind ak pidana ekonomi (UU No.7 Drt. Th. 1955) dalam kaitan dengan korp orasi, istilah korpora si diartikan lebih luas dar ipad a pengertian korporasi dari segi huku m p erdata. 140
Dalam h ukum pidana, korporasi bisa berbentuk badan h ukum atau n on bad an h uku m. Dalam p asal 15 UU No.7 Drt. Th 1955 tentang Tind ak Pidana Ekonomi ayat (1) diny atakan bah wa “Jika suatu tind ak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum , suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka…”. Dengan demikian bisa terjadi bahwa pengertian korporasi dalam tindak pidana ekonomi, bisa mengandung organisasi yang sah d an bisa pula yang bersifat tidak sah. Yang p ertama d apat d ikategorikan sebagai crimes for corporation, sedang yang terakhir ini bisa disebut corporate criminal, yakni korporasi yang d ibentuk untu k melakukan kejahatan. Tetapi secara transn asional, yang terlibat dalam kejahatan terorganisir bisa juga mencakup kedua-duanya asalkan memenuhi karakteristik sebagaiman a dirum uska n di dalam Rencana Aksi Global Melawan Organisasi Kejahatan Transnasional yang dihasilkan oleh Konferensi Tingkat Menteri Dun ia tentang Organisasi Kejahatan, d i Nap oli (November, 1994), yang r um usan nya sebagai berikut: “Untu k memeran gi organisasi kejahatan d engan efektif, negara harus mempertimbangkan karakteristik struktural dan modus operandinya dalam m erumuskan strategi, kebijakan, perund ang-undangan dan langkah-langkah lainnya. Meskipun tidak m encerminkan d efinisi legal yang kompr ehensif atas fenomena tersebut, sifat-sifat berikut merup akan b a g i a n d a r i k a r a k t e r i st i k n y a , y a i tu ; o r g a n i s a s i k e lo m p o k u n t u k melakukan tindak p idana; hubu ngan hirarkis atau hubu ngan personal yang memungkinkan seseorang yang disebut pemimpin dapat mengontrol kelompok; kekerasan, intimidasi dan korupsi yang dilakukan untuk untuk mendapatkan keuntungan atau mengontrol wilayah d an p asar; pencucian u ang hasil kejahatan d engan d alam rangka menjalankan kegiatan tindak p idana dan untuk menyusup kedalam kegiatan ekonomi yang legal; potensi untu k ekspansi ke dalam kegiatan-kegiatan baru dan d i luar p erbatasan negara; serta kerjasama dengan kelompok-kelompok organisai kejahatan transnasional yang lain”.(Genera l Assem bly, UN , 1994: hal 9-10).
Dalam Konvensi Palermo Th. 2000 tentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi, terdapat sejum lah jenis kejahatan yang diidentifikasi masuk dalam kategori “transnational organizes crimes” yaitu: korupsi, pencucian u ang, berpartisipasi dalam kelompok kejahatan, d an obstruction of justice. Disebut bersifat transnasional kejahatan itu m emiliki karakteristik sebagai berikut: (1) perbu atan dilakukan di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara
141
tetapi bagian substantif dari persiapan, perencanaan, dan pengendaliannya dilakukan dari negara lain; (3) dilakukan di satu negara tetapi m elibatkan su atu kelomp ok organisasi kejahatan di lebih dari satu negara; atau (4) dilakukan di satu negara tetapi efek substansialnya mengimbas ke n egara-negara lain. Jadi, sepanjang MNEs terlibat dalam usaha-usaha dengan karakteristik d i atas, maka ia mem enuhi syarat u ntuk disebut sebagai telah melakukan kejahatan transnasional yang terorganisasi. Konsekuensinya adalah berlakunya corporate liability, baik bagi pejabat eksekutif korporasi maupun korporasinya sendiri, sejauh memenuhi prasyarat dalam kaitannya dengan functional criminal liability of natural persons. Keterlibatan MNEs di atas, antara lain bisa dalam bentuk pencucian uang hasil kejahatan , khususnya dalam bentuk integration (Waling d kk., 1994: hal 1072-1073). Dalam h al ini ten tu saja asas lega litas tetap harus d iperhatikan. Dan agar tetap dapat dipertanggungjawabkan, un dang-und ang haru s secara eksplisit mengaturn ya. Di samping kemungkinan terlibat secara langsung dengan kejahatan transnasional terorganisasi, secara kolektif dan mandiri MNEs dapat pula melakukan tindak pidana ekonomi secara tidak langsun g di negara di man a MNEs beroperasi, seperti menimbu lkan kerusakan lingku ngan h idu p, pelanggaran p ajak, hak milik intelektual (lihat UU Pabean yang baru), perbu ruh an, perlind un gan konsum en, korupsi d an sebagainya. Khusus dalam kaitannya dengan korupsi, ada kasus yang menarik, yakni apa yang d ilakukan oleh Am erika Serikat dalam rangka menanggulangi pembayaran-pembayaran yang tidak sah yang dilakukan oleh MNEs Amerika di negara-negara di mana mereka beroperasi, termasuk penyuapan terhadap pejabat-pejabat setempat dalam bentuk penyuapan, pemerasan, pembayaran kembali, biaya silum an u ntu k korup si politik, dan sebagainya. Banyak negar a-negara maju semula menganggap bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan bagian dari strategi kompetisi dengan MNEs negaranegara lain yang beroperasi di negara-negara berkembang, sehingga tindakan yang demikian cenderung dianggap bukan merupakan kewajiban negara bersangkutan (tuan rumah) untuk menegakkan integritas pegawai-pegawai negara lain. Amerika serikat sejak semula menganggap bahwa perbuatan seperti disinggun g d i atas merup akan p erbuatan tercela. Di dalam Tax 142
Reform Act 1976 , penyuapan terhadap pejabat asing ( trading in influ ence) di negara asing oleh MNEs dapat mengakibatkan konsekuensi pajak yang b erat. Selanjutn ya d i dalam Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang ditandatangani pada tahun 1977 (bab 103 dan 104), pelaku penyuapan tersebut (untuk perusahaan) dapat dijatuhi denda 1 juta dollar dan bagi individu denda 10.000 dollar dan pidana 5 tahun. (Seymour, 1977; hal 220-223). Langkah ini secara global memperoleh tanggapan, yang ditand ai dengan d isusunnya kode etik untu k M N Es dan diterimanya resolusi tentang “Tindakan Memerangi Korupsi”, yang telah mengadopsi Kode Etik Internasional untuk Para Pejabat Publik pad a sidang kelima Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di Wina, 21-31 Mei 1996 yang lalu. Yang p erlu d ikemukakan di sini bahwa “penyuapan untuk pejabat publik asing” (bribery of foreign pu blic officials) bersama-sama dengan tindak pidana lingkungan, pem alsuan dan sebagainya, termasuk kategori kejahatan internasional (Bassiouni, 1989). Beberap a kon vensi intern asional terkait d alam hal ini antara lain: EU Conv ention on the Fight Againts Corruption (1977), Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999), dan OECD Anti-Bribery Convention (2000). Ke b e r ad a a n s t a n d a r - st a n d a r i n t er n a s i on a l m e n d a m p i n g i aktivitas manusia yang juga semakin mengglobal akibat kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informatika modern. Sulit dapat dibayangkan betapa kacaunya tatanan dunia ini (karena globalisasi ekonomi yang d itand ai oleh m eningkatnya peranan mod al swasta, interdepedensi peru sahaan-perusahaan swasta antar negara, peranan m odal asing yang semakin besar, tumbuhnya perusahaanperusahaan raksasa) apabila tidak d ibarengi dengan tegaknya huku m (Ohmae, 1995). Dalam kerangka ini semua negara harus segera menyadari bahw a tidak ada satu negara pu n secara sendiri-sendiri dapat secara efektif mengatasi kejahatan yang berkaitan dengan negara lain. Untuk itu diperlukan jaringan kerjasama internasional untuk pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Korban Kejahatan Korporasi Istilah kejahatan pada judul di atas mengandung makna yang khas, karena cakupan pengertiannya lebih luas dari pada sekedar hanya mengaitkannya dengan h uku m p idana dan kriminologi. Dalam hal ini Clinard dan Yeager menyatakan bah wa “kejahatan korp orasi 143
adalah tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam hukuman di bawah hukum pidana, perdata atau administratif” (Clinard and Yeager , 1980). Dalam p engertian yang kurang lebih sama jug a d in ya ta ka n oleh Box s ebag ai beriku t: “Kejahatan korporasi adalah kejahatan, terlepas dari apakah yang hanya diancam huku man d i bawah bad an adm inistratif, atau apakah hanya sekedar m elanggar hak-hak sipil…mu ngkin menjadi pertanyaan m e n g a p a b a n y a k k e ja h a t a n k o r p o r a s i d i t a n g a n i b a d a n - b a d a n adm inistratif bukan pen gadilan p idana. Tetapi itu tida k menjastifikasi pengecualian tindakan-tindakan korporasi yang diatur oleh badanbad an ad ministratif dar i kajian kejahatan korp orasi. (Box, 1983).
Hal di atas nampaknya berkaitan erat dengan p enyataan bahwa dalam “kejahatan kerah putih”, baik perum usan hu kum m aup un status kriminal si pelaku bersifat mendu a . Ini berarti bahwa d alam kejahatan tersebut (yang mencakup pula kejahatan korporasi), terdapat batas yan g semp it antara legalitas, ilegalitas dan kr iminalitas. Pada kejahata n organisasional, landasan nasional dalam penggunaan hukum pidana bukan semata-mata didasarkan atas pertimbangan bah wa p erbuatan tersebut secara moral salah, tetapi demi perlindungan hu kum p idana tindak pidana semacam itu disebut mala prohibita dan bukan mala in se. Croal menyatakan bahwa tindakan yang demikian sering dipandang sebagai “nyata-nyata pidan a”, dan tersangka dap at mengklaim bah wa kejahatan tersebut merupakan hasil kesalahan yang tidak disengaja atau semacam keteledoran teknis, sehingga dap at dibedakan dengan tind ak p idan a yang sebenarn ya (Croall, 1992). Permohonan di atas secara menarik dinyatakan oleh Clinard dalam kaitannya dengan pembelaan diri dari pelaku kejahatan korporasi yang mengakibatkan efektivitas sanksi hukum menjadi berkurang. Ia mengutip hasil riset dari Silk d a n Vogel (1976), khususnya tentang keyakinan pada level atas manajer korporasi, sebagai berikut: 1. Semua tindakan hukum yang diusulkan menggambarkan campur tangan pem erintah d alam sistem perdagangan bebas; 2. Peraturan-peraturan pemerintah tidak dapat dibenarkan karena biaya tambahan d engan adanya peraturan d an prosedu r birokrasi akan mengurangi keuntungan; 3. Peraturan cacat karena kebanyakan p eraturan pemerintah tidak mud ah dipahami dan sangat kompleks;
144
4. Peraturan tidak perlu karena menyangkut masalah-masalah yang tidak penting; 5. Terdapat unsur kesengajaan yang ringan dalam p enyelewengan korpor asi; banyak d iantaranya beru pa kesalahan omisionis karena kelalaian ketimbang kesalahan yan g d isadari; 6. Masalah lain yang berkaitan dengan bisnis adalah pelanggaran huku m, d an jika p emerintah tidak bisa mencegah situasi ini, tidak ada alasan mengapa perusahaan yang bersaing juga tidak boleh mengambil keuntungan melalui tindakannya yang serupa; 7. Meskipun benar, seperti dalam kasus price fixing , bahw a sejum lah penyelewengan korporasi melibatkan jutaan dolar, kerugian begitu menyebar di kalangan konsumen sehingga secara individu al kerugian tersebut san gat kecil; 8. Ji ka t id a k a d a p e n a m b ah a n k e u n t u n g an b a g i p e r u s ah a a n , pelanggaran dianggap tidak salah; 9. Perusahaan pad a hakekatnya dimiliki oleh warga negara biasa, sehingga klaim bahwa bisnis besar d apat m endom inasi masyarakat dan m elanggar huku m d engan bebas adalah tidak benar; 10. Pelanggaran disebabkan oleh kebutuhan ekonomi: tujuan untuk melindungi nilai saham, untuk memastikan pengembalian yang memad ai bagi pemegang saham d an un tuk melindun gi kepastian pekerjaan bagi para pekerja d engan menjamin stabilitas finansial peru sahaan. (Clinard, 180) Pemahaman di atas akan berkaitan erat dengan p elbagai usaha untu k menghentikan viktimasi yang terus akan terjadi — karena sulit diharapkan adanya kesadaran si pelaku terhadap kesalahannya — selama credo and belief semacam itu masih tetap bersemayam dalam sanubari pimpinan-pimpinan korporasi. Bud aya korporasi yang bersifat negatif men amp akkan diri berup a penekanan prioritas keuntungan dalam bentuk pertumbuhan, pengend alian pasar sebagai tujuan organisasional, ambisi pribadi d ari pimpinan korp orasi yang tanpa batas, penegakan hu kum yang lemah, pengawasan yang kend ur, subkultur tidak bermoral yang melanda masyarakat, merupakan serangkaian gejala yang akan menambah mar aknya kejahatan kor porasi d i masyarakat m odern . (Box, 1983) Berdasarkan hasil riset terhad ap perilaku top management , sederet pemicu kejahatan korporasi masih dapat disebut di sini, misalnya kompetisi dan kerakusan, tipe industri dengan m argin keun tungan 145
yang rend ah atau tipe ind ustri yang sangat kom petitif, riwayat sosial korpor asi, prak tek dagang yang tidak jujur dari peru sahaan saingan, budaya korporasi, adalah faktor-faktor kriminogen dari kejahatan korporasi. (Clinard, 1983) Jika hendak dikaji lebih jauh, apa yang dinamakan “kejahatan kerah putih” pada umumnya, dan kejahatan korporasi pada khu susny a, biasanya m elukiskan karakteristik sebagai berikut: tingkat kelayakan yang rendah, kompleks, difusi tanggungjawab, difusi viktimisasi, sulit untuk m end eteksi dan mengu sut, sanksi yang lemah, hu kum yang men du a, dan status p idana yang am bivalen (Croal, 1992). Khusu s yang disebut “d ifusi viktimisasi”, pen ting dicermati karena menu njukkan p erbedaannya d engan korban kejahatan konvensional yang biasanya dengan mu dah dap at d iidentifikasikan. Pada kejahatan korporasi seringkali sosok korban bersifat abstrak dan tidak mu dah diidentifikasi, seperti pemerintah, perusahaan, atau konsumen yang jum lah n ya ban ya k — se d an gk an se cara in d iv id u al ker u gian n ya mungkin sangat sedikit. Para korban kejahatan korporasi, demikian kata Clinard dan Yeager, acap tidak menyad ari bahwa m ereka menjadi korban, seperti pada contoh p emegang saham yang menerima balance sheet palsu, konsum en yang membayar tinggi sebuah p rodu k karena kolusi anti trust , atau kerugian yang ditanggung konsumen (biaya, kesehatan) karena sebuah iklan produ k yang m enyesatkan. Kompleksitas masalah yang berkaitan dengan pelaku, korban dan kejahatan korp orasi tersebut tidak boleh menyu rutkan langkah atau kebijakan kriminal dalam rangka menanggulangi kejahatan korporasi yang d amp aknya sangat lu as. Secara internasional hal ini jug a d iw asp ad ai, sep erti tercerm in p ad a ‘Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a new Int ernational Economic Order ’ yang kemu dian d iadopsi oleh Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku ke VII di Milan (1985), yang antara lain menegaskan sebagai berikut: “Due consideration should be given by Member States to making criminally responsible not only those persons who have acted on behalf of an institution, corporation or ent erprise, or w ho are in a policy-m aking or execut ive capacity , but also the inst itu tion, corporation or enterprise itself, by devising appropriate measures that would prevent or sanction the furt herance of criminal activit ies”.
Perhatian masyarakat internasional terhadap k ejahatan korp orasi, secara jelas nampak pula dari usaha dunia internasional untuk menangkal perilaku negatif dari perusahaan-perusahaan 146
multinasional. Usaha tersebut merupakan hasil kerjasama i n t e r n a s i o n a l d a l a m b e n t u k ‘Code of Conduct of Transnational Corporations’ (UN, Ecosoc, 1979), yang antara lain mengatur : (1) Aktivitas kerjasama transnasional; 2) Treatment kerjasama transnasional; dan (3) Kerjasama an tar p emerintah (Hor n, 1980). Dari uraian di atas semakin disad ari bahwa p ersoalan kejahatan korporasi tidak sekedar merupakan masalah h ukum belaka (pidana, perdata, administrasi), tetapi juga masalah etika berbangsa dan bernegara dan hubungan antar bangsa. Secara ideal, di dalam masyarakat modern, kegiatan bisnis yang diharapkan oleh masyarakat seharusnya mem enuh i harap an-harapan sebagai berikut: 1. Tempat yang baik bagi kegiatan investasi; 2. Tempat yang baik untuk bekerja; 3. Dukungan yang kuat bagi etika yang luhur; 4. Perusahaan yang baik untuk menjual; 5. Perusahaan yang baik untuk membeli; 6. Pembayar pajak yang baik dan pendukung pemerintah; 7. Tetangga yang baik di dalam masyarakat; 8. Penyumbang yang baik bagi kebutuhan-kebutuhasn sosial, kepentingan pu blik d an kemajuan man usia. (Blomstrom, 1985). Penanganan yang fragmentaris, setengah-setengah dan tidak sistematis terhad ap kejahatan korp orasi deng an dam pak yang sangat luas dapat dinilai sebagai kedunguan (collective ignorance) yang tak termaafkan. Seperti diungkapkan Box (1983): “ .... by corporate crime, and amongs t he “knowledgeable” minority , m ajority of those interviewed were not familiar with the extent of, or damaged caused, few w ere able to define it wit h any precision. Public awareness of corporate crimes has certainly increased recently, but none the less there is still more misinformation and m yst ification about this t ype of crime than convent ional crime.”
Dalam kond isi semacam itu, korban tind ak pidan a korporasi tidak lagi dap at dikualifikasikan sebagai korban yan g tidak ad a kaitannya dengan pelaku, tetapi dapat diidentifikasi sebagai korban yang berpartisipasi (participating vict ims) terhadap terjadinya kejahatan korpor asi dengan sifat perilaku yan g pasif (collective ignorance); ata u d a p a t d i s e bu t p u l a s e b a ga i pr ecit it ativ e v ict im s , y a k n i k a r e n a perilakunya yang sembrono dan pasif mendorong terjadinya kejahatan korporasi. Dalam kondisi semacam ini terjadi apa yang 147
dinam akan “keterbagian tanggun gjawab” ( shared responsibility ) antara pelaku dengan korban baik individual maupun kolektif. (Karmen, 1984, Separovic, 1985). Pemahaman terhadap spektrum korban tindak p idana korporasi dap at dikaji langsun g dari pihak-pihak yang memp unyai tujuan dan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan korp orasi yang bersifat menyimpang, yakni tujuan dan kepentingan organisasional berupa prioritization of profit . Sebab d ari kontrad iksi kepen tingan inilah mu ncul jenis-jenis tind ak p idan a yan g sang at kom pleks (Box, 1983 ). Pihak-pihak tersebut adalah : 1. Perusahaan saingan (competitors) sebagai akibat kejahatan dari kejahatan spionase indu stri yang m elanggar hak m ilik intelektual, komp etisi yang tidak sehat, praktek-pr aktek monop oli. Tind akan meru gikan perusahaan lain tersebut akan m enjadi semakin parah dengan berkembangnya pemikiran untuk menerapkan strategi perang dalam persaingan korporasi (corporate conflict ) y a n g berintikan ciri-ciri seperti, menyerang musuh (pesaing), unsur kejutan , melakukan man uver, d an ciri-ciri lainya sebagai yang biasa dijum pai dalam peperangan. (Rams ey, 1987 ) 2. N eg ara (State) sebagai akibat kejahatan korp orasi seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi. 3. Ka ry aw a n ( Employees), sebagai akibat kejahatan korp orasi berup a lingku ngan kerja yang tidak sehat dan tidak am an, pengekangan hak un tuk membentuk organisasi buruh, tidak d ipenuhinya upah minimum , PHK yang melanggar hukum . 4. Ko n su m e n (Consumers) , s e b a g a i a k i b a t a d v e r t e n s i y a n g menyesatkan menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya. 5. M as ya ra ka t (Public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penggelapan, dan penghindaran pajak. Kerugian-kerugian dalam kaitannya dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ini dapat bersifat penderitaan fisik sampai kematian. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran definisi “kejahatan ekonomi” atau “kejahatan kerah putih” dan termasuk “kejahatan korporasi”. Unsur non violent menjadi sam a sekali kabur p engertiannya. Demikian pu la dalam hal keamanan dan k esehatan kerja ini semua d ikenal den gan apa yang d inamakan 148
corporate violence yang oleh Clinard dan Yeager (1980) diru mu skan sebagai: “behavior producing an unreasonable risk of physical harm to consumers, employees, or other persons as a result of deliberate decision making by corporate executives or culpable negligence on their part
Apabila proses viktimisasi di atas bersifat langsung (direct victimization ) maka terd apat p ula p roses viktimisasi yang bersifat tidak langsung ( indirect victimization ) dalam bentu k, (1) Kerugian n egara berup a biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan pidana ( cost of criminal justice) terhad ap kejahatan korp orasi yang sangat kompleks lebih besar daripada biaya peradilan pidana kejahatan konvensional; (2) Kerugian sosial (social damages) dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini Conklin menggambarkan, “such offenses are the most threatening of all - not just because they are so expensive, but because of their corrosive effect on the moral standards by which business is conducted. ( Box, 1983). Sebagai catatan, di Australia, korporasi yang m elakukan tindak pidan a lingkun gan d apat dijatuhi p idana u ntuk mengganti biaya-biaya p enyidikan. Ringkasnya, terdapat perbedaan antara kejahatan biasa dengan kejahatan ekonomi. Kejahatan ekonomi selalu berkaitan d engan sistem ekonomi yang dianut oleh suatu bangsa dan karena itu kejahatan ekonomi dianggap menyerang secara langsung ekonomi nasional. Akibat lebih lanjut p ada akh irnya akan m empengar uh i kepercayaan masyarakat terhadap korporasi dan kehidupan bisnis. Atas dasar kerugian-kerugian baik fisik, sosial mau pu n ekonom i dari kejahatan korporasi, maka sangat sangat beralasan jika kebijakan kriminal (criminal policy ) diorgan isasikan secara sistematis gun a penan ggu langan kejahatan korpor asi. Kebijakan tersebut haru s mengg un akan secara berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hu kum pidana) maupun langkahlangkah non-yuridis, yakni dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam rangka mengatasi kendala-kendala di atas. Dalam kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umu mnya pendayagunaan hukum p erdata dan huku m administrasi merupakan primu m remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium , namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan halhal sebagai berikut : 149
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Tingkat kerugian yang diderita publik; Tingkat keterlibatan corporate managers; Lamanya masa pelanggaran; Frekuensi pelanggaran oleh korporasi; Bukti-bukti kesengajaan tindak pidana; Bukti telah terjadinya penyuapan; Reaksi negatif dari media massa; Pr esed e n d a la m hu k u m ; Riwayat kejahatan serius yang dilakukan korporasi; Kemungkinan pengaruh pencegahan; Tingkat kerjasama yang d itunjukkan oleh korporasi (Clinard and Yeag er, 1980).
Dalam hal hu kum pidana yan g dipilih, sepanjang huku m p ositif memu ngkinkan, maka sanksi-sanksi yang dap at dimanfaatkan adalah sebagai berikut: (1) denda; (2) pidan a bersyarat/ pidan a pengaw asan; (3) pidan a kerja sosial; (4) pengu mu man kepu tusan hakim (5) ganti ru gi; dan (6) pelbagai sistem tind akan ta ta tertib. n
150
P en a n g g u l a n g a n K e j a h a t a n E k o n o m i d a n K e j a h a t a n Pr o f e s i d a l a m M e n g a n t i s i p a s i E r a Gl o b a l i s a s i Untuk d apat mem aham i hakekat “kejahatan ekonomi” ( economic crime) dikenal pelbagai pendekatan. Apabila yang digun akan ad alah pendekatan teknis (technical approach), maka batasan sebagaimana dirumuskan oleh “Pengadilan Khusus” tentang kejahatan ekonomi di Jerma n (Gerichtsverfassungsgesetz) akan terasa relevan. Pelbagai perund ang-und angan yang m engatur hal ini menyebutkan beberapa jenis tin d ak p id an a ya ng terca ku p d i d ala m nya , sep erti: kejahatan kep ailitan (b ankruptcy crime) , pelanggaran p ajak, pelanggaran statuta tentang p erusahaan , penipu an, pencurian, serta kejahatan-kejahatan tradisional lain yang menyangkut harta benda yang sejauh terkait dengan kehidu pan bisnis. Perumusan yang lebih menonjolkan istilah “business crime” daripada “economic crime” tersebut juga secara lebih luas d ilakukan oleh “ A merican Bar A ssociation ” yang m enyatakan bah wa: “kejahatan ekonomi adalah bentuk kegiatan ilegal dan tanpa kekerasan yang pada dasarnya melibatkan unsur penipuan, misrepresentasi, penyem bun yian, man ipulasi, pelanggaran kepercayaan, pengingkaran atau dalih tidak sah”. Definisi ini m irip den gan definisi “kejahatan kerah putih” (white collar crime) sebagaimana dirumuskan dalam “ Handbook on Whit e Colar Crime”. Yang p erlu ditegaskan d alam hal ini adalah, bahw a istilah “economic crime” lebih banyak digunakan un tuk mengh indari konotasi politik yang melekat pad a “white collar crime”. Kejahatan ini antara lain adalah korupsi, penipuan dan pemalsuan, kejahatan komputer, penggelapan pajak, kejahatan terhadap konsumen, kejahatan yang menyangkut persaingan jujur, polusi, keamanan kerja, dan “ insider trading” d i Bur sa Efek. 151
Pendekatan lain yang bisa digunakan adalah pend ekatan m oral atau politik ( moral and political approach ). Pend ekatan ini lebih m enitikberatkan pada kepentingan kejahatan, yakni melanggar kepentingan negara atau masyarakat secara umum, tidak hanya individu saja yang menjadi korbannya. Di samping d ua pend ekatan di atas, ada pu la yang memp erluas elemen kejahatan ekonomi dengan memasu kkan kejahatan-kejahatan yan g dilakukan di dalam kehidup an bisnis terhadap p erusahaan atau perorangan yang lain, misalnya p enipu an terhadap masyarakat dengan menggun akan prospektus yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian dalam meru mu skan kejahatan ekonomi paling tidak harus memperhatikan elemen-elemen sebagai berikut: a. Kejahatan ekonomi dilakukan d alam rangka aktivitas ekonomi yang pad a d asarnya merupakan aktivitas bisnis normal dan sah; b . K eja h a t a n e k o n o m i m e r u p a k a n k e ja h a t a n y a n g m e l an g g a r kepentingan n egara dan masyarakat secara um um, tidak hanya korban individual; c. Termasuk pu la dalam h al ini kejahatan di lingkungan bisnis terhadap p erusahaan lain atau terhadap perorangan. Dibandingkan d engan kejahatan trad isional yang lain, khu susnya yang m enyangkut kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak bergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat. Baik sistem ekonomi kapitalis yang lebih menekankan kompetisi bebas dan campu r tangan minimum dari negara, maup un sistem ekonomi sosialis yang mengatur bahwa semua perusahaan merup akan milik negara, atau m odel gabungan antara kedu anya, akan memiliki pengaturan tersend iri tentang apa yang d inamakan kejahatan. Tipologi kejahatan ekonomi akan berkaitan dengan dua hal: tujuan pengaturan, dan struktur motivasi dilakukannya kejahatan. Dalam hal yang p ertama (tujuan pengaturan ), dap at dibedakan empat hal sebagai berikut: 1). Pengaturan tidak dimaksudkan untuk mencampuri ekonomi pasar, tetapi mencoba menjadikan kompetisi juju r d an efek tif sert a m en cegah pen ya lah gu naa n, sep er ti UU an ti monop oli, perlindun gan konsumen, perlindu ngan lingkun gan hidup dan bu ruh ; 2). Pengaturan yan g mencamp uri ekonomi pasar, seperti pengawasan harga, pengawasan uang, dan pengawasan impor ekspor; 3). Kejahatan fiskal; dan 4). Korupsi, misalnya suap menyuap. 152
Dalam hal yang kedua (struktur motivasi) terdapat kategorikategori sebagai berikut: • Kajahatan atas dasar basis individual, misalnya penipuan kartu kredit, pelanggaran pajak pendapatan; • K aja h a t a n ja b a ta n y a n g m e n g h i a n a t i k e p e r ca y a a n s ep e r t i, pelanggaran p erbankan, pemalsuan biaya perjalanan; • Kejahatan insidental dalam bisnis, tetapi tidak berkaitan dengan tujuan u tama bisnis, misalnya koru psi, pencemaran lingkun gan; • Kejahatan ekonomi sebagai bisnis atau sebagai aktivitas sentral, contohnya penipuan asuransi, penyelundupan. Kejahatan ekonomi atau “white collar crime” mencakup pula kejahatan korporasi, yakni setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam sanksi, baik itu hu kum adm inistrasi, hu kum perdata atau hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crimes for corporations” atau “corporate crim inal”. Sedangkan “ crimes against corporations” lebih bersifat “kejahatan okupasional” un tuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang p erusahaan. Kejahatan okup asioanal ini bisa pu la dilakukan oleh lebih dari satu orang. Bisa pula terjadi kejahatan korporasi dilakukan dengan kombinasi okup asional. Yang menarik adalah bahwa dalam kejahatan ekonomi seringkali terdap at batas yan g semp it antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bu kan “ mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan “sunggu h-sunggu h jahat” tetapi lebih karena kesialan ( unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbu at apa yang diharu skan ( technical omission ). Perumu san tind ak pidana cenderung d ianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas dalam perdagangan bebas, pend ekatannya tidak kompreh ensif, dan p engaturan yan g terlalu ketat memperberat beban perusahaan. Ringkasnya adalah terjadi “overkriminalisasi” atau kriminalisasi yang berlebihan . Kejahatan ekonomi, khusu snya kejahatan korp orasi, telah menjadi perhatian nasional maupun internasional karena dimensinya cukup luas dilihat dari sudut korban yang menanggung akibatnya (viktimologi), seperti perusahaan saingan, negara, karyawan, konsumen, masyarakat, dan pemegang saham. Belum lagi kerugian tidak langsung seperti biaya sistem peradilan yang mahal, karena biasanya kasus dan sasaran korbannya juga sangat komp leks. Bahkan 153
beberapa kejahatan ekonom i telah d ikategorikan sebagai “kejahatan internasional”, seperti kejahatan lingkungan , pemalsuan d an p enipuan, p e n y u a p a n d i l u a r n e g e r i , s e h i n g g a t u n d u k p a d a “universal jurisdiction”. Faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya kejahatan ekonomi karena ciri-ciri sebagai berikut: kom pleks, difusi tanggung jawab, difusi korban, sulit dideteksi, sanksi kurang berat serta hukum dan status pelaku yang mendu a. Hak ekat Kejahatan Profesional Di dalam kriminologi apabila kita berbicara tentang kejahatan di bidang ekonomi dan bisnis, di samping “white collar crime” seperti disinggung di atas, terdapat jenis kejahatan lain yang tak kalah berbahayanya ( victimizing), yakni kejahatan di lingkun gan p rofesional (the professional fringe violator ) . Profesional di bidang ekonomi dapat mencakup akuntan d alam kasus “pencucian uang” atau bersekongkol dengan wajib pajak, notaris yang melakukan penipuan , lawyer dalam “kejahatan yang terorganisasi” , ahli komp uter dalam cyber crimes d an kejahatan perbankan, korupsi, dan sebagainya. Jenis-jenis kejahatan ini sangat men arik karena beberap a cirinya yan g khas, seperti; pelaku kejahatan merupakan anggota profesi yang sah; oleh anggota lain perbuatan tersebut dianggap tidak d apat d iterima; perbuatan d ilakukan dengan bersekongkol dengan kalangan profesional lain; pelaku menganggap d irinya melakukan pelayanan kepentingan u mu m; dan sanksi organisasinya bersifat ambivalen d emi alasan kesetiakawa nan. Dari sudut pandang viktimologi, korban dari kejahatan profesional tidak hanya terbatas pada klien, tetapi juga masyarakat (kepercayaan), negara (kebijakan pu blik) dan organisasi profesi itu send iri. Seorang pr ofesional yang melakukan kejahatan pad a dasarn ya melakukan “ professional malpractice” yang haru s ditangani, baik dari segi hukum disiplin, kode etik, maupun hukum (legal responsibility ), baik hukum pidana, perdata maupun administratif. Seorang pr ofessional mempu nyai karakteristik; 1) adan ya persyaratan “latihan yang ekstensif” sehingga menghasilkan kemampuan yang didasari pen getahu an teoritik yang baik; 2) latihan tersebut m enghasilkan segisegi intelektual yang signifikan; 3) semangat mengab di m asyarakat (altruistic service); dan 4) tunduk kepada kode etik profesi. Karena itu malpraktek profesional harus dibuktikan dalam bentuk: “duty, breach of duty damage/harm/injury and causation”. 154
Sebagaimana pelaku kejahatan ekonomi, penjahat profesional melakukan perbu atannya atas dasar tujuan keun tungan — baik pribadi maupun organisasi — atas dasar karakteristik individual yang semuanya m enciptakan su bkultur imm oral, tidak bertanggungjawab, dan merasa bahwa segalanya bisa diselesaikan dengan uang ( crimes of the powerful). Kejahatan jenis ini muncul karena beberapa sebab, seperti lemahnya “law enforcement’ akibat korbannya tidak peduli, pid ana yang r ingan, ketiadaan stigma, reaksi sosial yang lemah, da n lemahnya pengawasan. Hakekat Globalisasi dan Perkembangan Kejahatan Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat ditemukannya alat-alat komunikasi, transportasi dan informatika modern, hal ini menuntut nilai-nilai dan norma-norma baru dalam kehidup an nasional dan antar bangsa. Di bidan g ekonomi pendoron g utama globalisasi adalah meningkatnya arus informasi, uang dan barang serta komunikasi dan konsumerisme melalui perusahaanperu sahaan m ultinasional yang bergerak cepat m elalui pasar bebas, arus m odal dan p enanam an mod al dari luar n egeri. Yang jelas dap at dikatakan bahwa globalisasi tidak bersifat fakultatif (change is not optional). Globalisasi bukan lagi merupakan sebuah fenomena yang ada “di seberang sana” tetapi sudah merupakan fenomena “di seberang sini” yang memp engaru hi iden titas persona l man usia. Orang tentu lebih mengenal Ronaldo, pemain bola kesohor asal Brazil daripad a tetangganya sendiri. Globalisasi mengandu ng imp likasi makna yang dalam d i segala aspek kehid up an. Dalam d un ia bisnis, globalisasi tidak han ya sekedar berdagang di beberapa negara di dunia, tetapi berdagang dengan cara yang sama sekali baru, yang menjaga keseimbangan antara kualitas global dengan kebutu han k has lokal. Saling ketergantu ngan antar bangsa meningkat. Standar-standar baku antar bangsa diberlakukan. Peran perusahaan -perusahaan sw asta (MNC) semakin meningkat ikatan-ikatan ethnosentrik, nasional mengalami pelemahan dan muncul ikatan regional atau global. Informasi muncul sebagai kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Maka, dapat dibayangkan globalisasi tanpa rule of law ?. Globalisasi di samping membawa manfaat bagi umat manusia, ju ga m em ba w a m asa la h se riu s bar u , an ta ra la in d ala m ben tu k 155
kejahatan-kejahatan ekonomi yang lebih canggih. Mobilitas sosial yang cepat menimbu lkan masalah sistem pengam anan, kompleksitas dalam pemasaran dan distribusi. Kemakmuran yang melimpah mem buat orang semakin ingin melindu ngi hartanya, karena kemajuan teknologi juga berakibat munculnya kejahatan berbasis teknologi tinggi, seperti cyber crimes, pemalsuan uang, pemalsuan kartu kredit dan sebagainya, penyelund up an dan p encurian pasir laut dengan kap al canggih, money laundering, dan pelbagai jenis kejahatan-kejahatan canggih lainnya yang belum pernah ada presedennya. Belum lagi pengaturan yang kompleks dan birokratis di banyak negara, mengundang suap dan perbuatan menyimpang. Pelbagai kejahatan canggih tersebut tidak m ungkin terjadi tanpa bantuan dari m ereka yang memiliki profesionalisme yang tinggi. Politik Krimin al Apapu n bentukn ya, politik kriminal yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan baik sarana penal maupun sarana non penal ( prevent ion wit hout pun ishment) . Sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan pelaksanaan pidana. Sedangkan sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik sampai dengan p embaharuan hu kum perdata dan hu kum administrasi. Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam kategori berikut: 1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan, dengan target masyarakat umum. 2. Secondary prevention ; targetnya ad alah calon-calon p elaku. 3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan kejahatan.
Mengingat dalam era globalisasi jenis-jenis kejahatan memiliki dimensi internasional dan transnasional, maka untuk menanggu langinya diperlukan kerjasama internasional yang intensif. Kerjasama internasional tersebut bisa dalam bentuk pelatihan teknis, ekstradisi, mutual legal assistance, transfer of proceeding, transfer of prisoners, penyidikan bersama, dan sebagainya. n
156
Penerapan Tanggungjawab Korporasi Da l a m H u k u m P i d a n a Pada saat dirumuskan, para penyusun KUHP (1886) menerima asas apa yang disebut “societas/universitas delinquere non potest” yang artinya badan hukum/ perkumpu lan tidak dapat melakukan tindak pidana. Hal ini merupakan reaksi terhadap praktek-praktek kekuasaan yang absolut sebelum Revolusi Perancis 1789, yang memu ngkinkan terjadinya “ collective responsibility ” terhadap kesalahan seseorang. Dengan d emikian m enuru t konsep d asar KUHP, bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah (natuurlijke persoon ). Dalam hal ini terkandung dua hal: pertam a, menyangkut apakah korp orasi dap at melakukan tindak pidana; kedua, menyangkut dapat dipertanggungjawabkannya korporasi dalam hukum pidana dan d apat dijatuhi sanksi, apakah pidana dan/ atau tinda kan (Sud arto,1981). Prinsip di atas secara tersurat d an tersirat tercantum dalam Pasal 51 (lama) WvS Belanda atau Pasal 59 KUHP yang berbunyi: “Jika ditentukan p idana karena pelanggaran bagi penguru s, anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas anggota pen gur us atau kom isaris, jika terang bahw a pelanggaran itu terjadi bukan karena kesalahannya”. Baik Aliran Klasik ( D aadStrafrecht), Aliran Modern ( Dader-St rafrecht ) , maupun Aliran NeoKlasik (Daad-daderstrafrecht ) melihat individu sebagai pelaku atau subyek hu kum sentral (Muladi,1984). Dalam perkembangannya kemudian timbul kesulitan dalam praktek, sebab di dalam pelbagai tindak pidana khusus timbul perkembangan yang pada dasarnya menganggap bahwa tindak pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi, mengingat kualitas 157
keadaan yang hanya dimiliki oleh badan hukum atau korporasi tersebut. Hal ini dimu ngkinkan atas dasar Pasal 91 KUHP Belanda atau Pasal 103 KUHP Indonesia yang memungkinkan peraturan di luar kodifikasi menyimpang d ari Ketentuan Umu m Buku I. Pasal 15 ayat (1) Wet Economische Delicten (WED) 1950 Belanda (kemudian ditiru Indonesia melalui UU No.7 Drt. Tahun 1955) mengatur bahwa dalam tindak pidana ekonomi, korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dap at d ipidana. Prof.BVA. Roling pad a tahun itu juga mendesak untuk memperluas sistem tersebut agar berlaku u ntuk semu a tindak pidana, sehubungan dengan fungsi sosial korporasi dalam masyarakat (theorie van het fun ctioneel daderschap). RAV van Haersolte dalam bukunya “Personifikatie van Sociale Systemen ” (1971) menyatakan bahwa setelah beberapa ind ividu hidu p bersama, bekerja bersama, dan berjuang bersama demi kepentingan tertentu atau untuk memenuhi beberapa keinginan tertentu untuk bertahan d alam pengh idup an, dengan send irinya lahir sistem kerjasama dan sebagainya (misalnya keluarga, marga, suku, bangsa, dsb.) yang dap at melaksanakan d engan bersama tind akan tertentu, dan juga d apat dilakukan oleh individu sendirian dan kepadanya hukum menghubu ngkannya dengan konsekuensi menurut p eraturan-peraturan hukum tertentu. Karena para individu bertindak bersama dalam berbagai perikatan dan korporasi, mereka merasakan hubungan itu sebagai suatu kesatuan khusu s, dalam w ujud personifikasi dari sistem yang kemu dian juga m emasuki bidang hu kum (van Bamm elen, 1983). Kelompok yang menentang (misal Remmelink) mengajukan argu mentasi yang melekat pad a sifat dasar m anu sia alamiah, seperti kesengajaan d an kealpaan, tingkah laku m aterial, pidan a dan tind akan. Argumentasi yang lain adalah kemungkinan pemidanaan korporasi dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan kesulitan m enentukan batas antara penguru s dan korporasi. Alasan-alasan lain berkaitan dengan p endap at bahwa teori huku m pidana d ibangun atas dasar man usia alamiah sebagai pembu at tindak pidana h anya sebagian sistem p emidanaan yang d apat d iterapkan, terjadi pergeseran “tan ggun g akibat” orang ke korporasi, melanggar asas ne bis in idem, dan membahayakan para p egawai korporasi. Baru pada tahun 1976 melalui UU tanggal 23 Juni 1976, Stb.377 yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal 51 Sr.Bld. yang berbunyi: 158
1. Tindak pidana dap at dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; 2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan huku m, dapat dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana d an tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: badan hukum atau terhadap yang “memerintahkan ” melakukan p erbuatan itu; terhadap m ereka yang bertind ak sebagai “pemimp in” melakukan tindakan yan g dilarang itu; atau terhadap “badan hukum” dan “yang memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama. 3. Bagi pemakai ayat selebihnya d isamakan dengan badan huku m: perseroan tanp a badan h ukum , perserikatan, dan yayasan. Dengan diundan gkanya und ang-undan g di atas, semua peraturan dalam und ang-und ang khusus m engenai dapat dipidananya korporasi dan pengu rusn ya (misalnya Pasal 15 WED Belanda), dihapu s karena dipand ang tidak perlu lagi (overbodig vervallen ). Menu ru t Prof.Dr. S. Schaffmehter , UU. tah un 1976 disebut seba gai “telah menghentikan pertumbuhan secara liar dari peraturanperatur an yang timbul dalam tahap-tahap sebelumnya (sesudah PD I 1976). Hal ini merupakan sumbangan nyata dalam memajukan kesatuan hu kum ” (Schaffmether d kk., 1985). Persoalan pertanggungjawaban korporasi dalam h ukum pidana jug a te rjad i d i ne ga ra -neg ar a yan g m en ga nu t sistem Common Law. Di pelbagai negara tersebut aspek viktimologis yang besar (misalnya kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan, karyawan, pemegang saham, dan penegakan huku m yang sangat mahal) mendorong penguasa un tuk mengatur ap a yang disebut “ criminal liability of corporation”. Kejahatan korporasi baik dalam bentuk kejahatan bag i korporasi maupun kejahatan korporasi mengandung korban potensial yang luas seperti tersebut di atas. Perkembangan hukum posistif di Indonesia menampakkan halhal yang sama, yaitu melalui 3 (tiga) tahap perkembangan yang berkisar pad a: hal dapat d ipidananya p erbuatan oleh korp orasi; hal dapat dipertanggungjawabkannya korporasi; dan kemun gkinan d apat dipidananya korporasi. Perkembangan pada tahap pertama menunjukkan bahw a keduanya hanya dapat d ilakukan oleh m anusia alamiah. Pada tahap ked ua, korporasi dap at melakukan tind ak pidana, 159
tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya manusia alamiah. Dan dalam tahap ketiga, baik manusia alamiah maupun korporasi dap at melakukan tindak pidana d an dap at dipertanggungjawabkan serta dipidana. Hal yang terakhir nam pak antara lain dalam UU N o. 11 PNPS 1963, UU N o. 7 Drt th. 1955, da n UU N o. 31 th. 1999. Sebenarnya (menuru t penu lis) terdap at perkembangan tahap ke emp at, seperti juga d i Belanda, yaitu melembagakan p erkembangan yang ada di luar KUHP, dengan mengatur pertanggungjawaban korporasi secara umu m d alam Buku I KUHP, sehingga berlaku u ntuk semua tindak pidana. Pembicara korporasi sebagai subyek hu kum (Normadressat) akan menyentuh persoalan u tama, yaitu kapan d an apa u kurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Sekalipu n ada p end apat bahw a hal yang demikian harus d ilihat secara kasus p er kasus, sesuai deng an sifat kekhasan d elik tertentu (misalnya delik fungsional yang lebih bersifat administratif dan delik non fungsional yang lebih bersifat fisik), namu n sebagai ped oman dap at dikemukakan pelbagai pemikiran sebagai berikut: 1. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan huku m, apabila perbuatan -perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum. 2. Apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menun jukkan indikasi untuk p erbuatan pidana, untuk p embuktian akhir pembu at pidan a, di samping apakah p erbuatan tersebut sesuai dengan tujuan statuta d ari badan hu kum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan, maka yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari badan hu kum . 3. Badan huku m dap at diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana bilamana perbuatan yang terlarang yang untuk pertanggungjawabannya dibebankan atas badan huku m d ilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/ atau pencapaian tujuantujuan badan huku m tersebut. 4. Badan hu kum baru dapat d iberlakukan sebagai pelaku tindak pidana apabila badan tersebut “berwenang untuk melakukannya terlepas dari terjadi atau tidak terjadinya tindakan, dan di mana tindakan dilakukan atau terjadi dalam operasi usaha pada um um nya” dan “d iterima atau biasanya diterima secara demikian” oleh bad an h uku m (Ijzerd raad -arrest HR. 1954). Syarat keku asaan 160
(machtsvereiste) mencakup : wewenang mengatur/ menguasai dan/ atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang tersebut; mamp u m elaksanakan kewenangannya dan pad a dasarnya mam pu m engambil keputu san-keputu san tentang hal yang bersangkutan; dan mamp u mengu payakan kebijakan atau tind akan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang; Selanjutn ya syarat p enerimaan (aanvaardingsvereiste), hal ini terjadi apabila ada kaitan erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan d i dalam badan huku m dengan tindakan terlarang tersebut. Juga ap abila ada kemampu an u ntuk mengawasi secara cukup. 5. Kesengajaan badan hu kum terjadi apabila kesengajaan itu pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang n yata dari perusahaan, atau berada d alam kegiatan yang nyata dari perusahaan tertentu. Dalam kejadiankejadian lain penyelesaian harus dilakukan dengan konstruksi pertanggungjawaban, kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang berbuat atas nama korp orasi sehingga dianggap juga dapat menimbulkan kesengajaan badan hukum; 6. Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat d ipertanggung– jaw ab ka n secara h u ku m . Dala m h al-h al te rt en tu , kesen ga jaan d ar i seorang bawahan , bahkan dari orang ketiga, dapat m engakibatkan kesengajaan badan hukum; 7. Pertanggungjawaban juga bergantung d ari organisasi internal dalam korporasi dan cara bagaimana tanggungjawab dibagi; dem ikian pu la apabila berkaitan d engan kealpaan; 8. Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dap at dianggap sebagai kesengajaan badan huku m; bahkan sampai pad a kesengajaan kem ungkinan.
Di Amerika Serikat, “M odel Penal Code” menentukan syarat bahwa untuk adanya “ corporate liability ” maka “ the commission of the offense was authorized, requested, commanded, performed or recklessly tolerated by board of directors or by a high managerial agent acting in behalf of the corporations within the scope of his office or employment”. Di dalam hal ini berlaku doktrin “respondent superior rule: let the master answer. Hal ini bisa ber sifat “ vicarious liability ” apabila dilakukan oleh pegaw ai yang bertindak dalam kerangka kewenangannya dan atas nama 161
korporasi, tetapi bisa juga bersifat “non-vicarious liability ” apabila pelakunya adalah “directors and managers who represent the directing min d and will of the company and control what it does”. Limitasi d idasarkan atas doktrin “ ultra v irez ”, yakni apabila perbuatan d ilakukan d i luar ruang lingkup kekuasaan korporasi. Ada p ula istilah “ statutory liability of officers ”, apabila tind ak pidan a tersebut terjadi/ dilakukan dengan persetujuan atau kerjasama atau diakibatkan oleh keteledoran seorang m anajer, direktu r atau p ejabat lain yang sederajat, sehingga orang-orang tersebut dan korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Termasuk di sini “ failure t o supervise t he subordinate appropriately and an omission to discharge a specific duty of affirmative performance imposed on corporations by law”. Di dalam “Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999) ditegaskan bahw a: “legal persons can be held liable for t he criminal offence….comm itt ed for their benefit by any n atural person, acting either indiv idually or as part of an organ of the legal person, who has a leading position within the legal person, based on: a power of represent ation; or an authority to t ake decisions on behalf of the legal person; or an aut hority to exercise control wit hin the legal person as well as for involvement of such a natural person as accessory or instigator in the above-ment ioned offence”.
Dalam rangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umu mnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan “primum remedium” dan hu kum p idana sebagai “ultimum remedium”, namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan halhal yang dikemu kakan Clinard dan Yeager (1980) sebagai berikut: 1. the degree of loss to the public; 2. the level of complicity by high corporate managers; 3. the duration of the violation; 4. the frequency of the violation by the corporations; 5. Evidence of intent to violate; 6. Evidence of extortion, as in bribery cases; 7. the degree of notoriety engendered by the media; 8. Prcedent in law; 9. the history of serious v iolation by the corporation; 10. Deterrence potential; 11. the degree of cooperation evinced by t he corporation”. 162
Sering dikatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana denda (fine) , tetapi apabila dijatuhkan sanksi berupa penutupan seluruh korporasi, maka pada dasarnya merupakan “corporate death penalty”. Sedangkan sanksi berupa segala bentuk pembatasan terhad ap aktivitas korporasi, maka sebenarnya mempu nyai hakekat yang sama dengan p idana penjara atau ku run gan, sehingga ada istilah “corporate imprisonment”. Pidan a tambahan dalam h al ini tetap bisa dijatuhkan . Bahkan p idana tambah an berupa pengumuman keputusan hakim, merupakan sanksi yang sangat ditakuti oleh korporasi. (Brickey, 1995). Prospek pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana di Indonesia nampaknya cukup positif. Dalam RUU KUHP th. 1999/ 2000 yang d ipublikasikan oleh Departemen Kum dan g, pertanggungjawaban tersebut akan diintegrasikan dalam Buku I KUHP (Ketentuan Umu m) sebagaimana yan g telah terjadi d i Belanda pada than 1976. Dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 berturutturut dirumuskan bahwa: 1. Ko r p o ra s i d a p a t d i p e r ta n g g u n g ja w a b ka n d a l a m m e l ak u k a n tindak pidan a (Pasal 44); 2. Jika tindak pidana d ilakukan oleh atau u ntuk korporasi, penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengu rusn ya (Pasal 45); 3. Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untu k dan atas nama korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana d itentukan dalam anggaran d asar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangku tan (Pasal 46); 4. P er t a n g gu n g ja w a b a n p i d a n a k o r p o r a si d i b a ta s i se p a n ja n g pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi (Pasal 47); 5. D ala m m e m p e r tim b a n gk a n s u a tu t u n t u ta n p i d a n a, h a ru s dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindu ngan yang lebih berguna daripada menjatuhkan p idana terhad ap suatu korp orasi (Pasal 48, ayat (1)); 6. Pertimbangan sebagaimana d imaksud ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim (Pasal 48 ayat (2)); 7. Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh 163
pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, dap at diajukan oleh korp orasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan d engan perbuatan yang didakwakan pad a korporasi (Pasal 49). (Dalam Pasal 161 ditegaskan bahw a “setiap orang ad alah orang perseoranga n, termasuk korp orasi”. Sedan gkan d alam Pasal 162 disebutkan bahwa “korp orasi adalah kum pu lan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupu n bukan badan hukum ”). n
164
H a k e k a t T e r or i s m e d a n P ri n s i p Pe n g a t u r a n d a l a m K r i m i n a l i s a s i Pendahuluan Wacana dan p raktek pengaturan un tuk mencegah dan memerangi terorisme baik secara internasional, regional maupun negara per negara tid ak h anya terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 yang meluluhlantakkan World Trade Centre. Jauh sebelum p eristiwa itu, baik masyara kat internasional mau pu n regional serta pelbagai negara telah berusaha u ntuk melakukan kebijakan kriminal ( criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik d an komp rehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme. Usaha untuk melakukan kebijakan kriminal dan kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif tersebut didasari oleh kenyataan terjadinya proses viktimisasi perbuatan terorisme, yang secara faktual dan potensial sangat besar dan bahkan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah, termasuk wanita dan anak-anak sebagai kelompok yang paling rentan. Persyaratan kriminalisasi yang lain sudah cukup memadai, seperti; kedud ukan h ukum pidana sebagai “ultimum remedium” (ultima ratio principle) terpenuhi mengingat alternatif usaha lain yang tidak memadai; analisa biaya dan hasil yang didapat; dukungan publik yang kuat baik nasional maupun internasional; prediksi penegakan hukum yang memadai (enforceability ) mengingat jaringan kerjasama internasional dan sifat terorisame yang dapat dikategorikan mengandu ng bahaya terhadap demokrasi, supremasi hukum , HAM dan stabilitas. (Kofi Anan , 2001). Dalam ‘SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism’ (1988), terorisme bahkan dikategorikan sebagai perbuatan yang d apat menimbulkan damp ak yang merugikan 165
terhadap perdamaian, kerjasama, persahabatan, hubungan baik bertetangga, dan dap at mencederai kedaulatan dan integritas suatu negara. Yang patu t m enjadi p ertimbangan kr iminalisasi yang lain adalah pertimbangan yang ditegaskan d alam ‘Convention of the O rganisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism ‘(1999) yang m enyatakan “Recoqnizing the growing links between terrorism and organized crime, including illicit trafficking in arms, narcotics, human beings and money laundering”. Dari sisi kebijakan kr iminal, dengan meng ingat komp leksitas dan h akekat terorisme yang bersifat multidimensional, maka istilah ‘memerangi terorisme’ , ‘membasmi terorisme’ dan ‘eliminasi terorisme’ yang bersifat represif harus disertai dengan langkah-langkah pencegahan yang memadai seperti pengamanan wilayah teritorial dari pemanfaatan praktek terorisme, kerjasama antar negara, menyempurnakan sistem deteksi terhadap sarana terorisme, memperkuat sistem dan prosedur pengawasan, memperkuat mekanisme pengamanan orang-orang penting dan instalasi vital, peningkatan perlindungan diplomat dan konsul atau misi internasional yang lain, peningkatan sistem koordinasi dan pengamanan serta informasi, dan sebagainya. Langkah-langkah preventif atas dasar kenyataan sosial di bawah ini juga perlu diperhatikan. Sebagai ilustrasi dap at digambarkan h ubu ngan antara h ak asasi man usia, kewajiban asasi manu sia ( human responsibility ) dan keamanan asasi manusia (human security ). Dikatakan bahwa penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar serta martabat manusia merupakan landasan terciptanya kemerdekaan, keadilan dan perdam aian d i dunia. Namun demikian HAM d an kebebasan dasar yang bersifat relatif ( derogable), dap at dibatasi dengan u nd ang-undang demi p enghormatan HAM orang lain, ketertiban u mum , keamanan nasional dan kesejahteraan um um di d alam masyarakat demokratis. Namun demikian realisasi penuh dan keseimbangan antara HAM dan kew ajiban asasi mem erlukan prakon disi yang disebut keaman an asasi manusia, yang harus d ipertimbangkan sebagai “sasaran antara”. Keamanan asasi meru pakan segala usaha dan langkah-langkah yang sistematik dan sungguh-sungguh untuk mengeliminasi pelanggaran HAM yang secara nyata masih banyak terjadi, baik yang bersifat individual maupun kolektif, dan bahkan dapat saja pelanggaran itu 166
dilakukan oleh suatu bangsa atau n egara terhadap ban gsa yang lain. Diskriminasi, rasialisme, kolonialisme, dom inasi dan p endu du kan asing, agresi, campur tangan asing, ancaman terhadap kedaulatan, kesatuan, dan integritas nasional, ancaman perang dan penolakan terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri akan menyebabkan tidak hanya traged i perorangan, tetapi juga d apat m emicu keresahan sosial dan politik, kekerasan serta konflik di dalam dan antar masyarakat d an ban gsa. Apabila hal-hal semacam ini masih terjadi, maka d alam peng ertian keadilan yang bersifat un iversal, dalam halhal tertentu dap at dipaham i bahwa p engertian teroris dan terorisme tetap merupakan pengertian yang subyektif dan relatif. Pemikiran seperti di atas tidak jarang menumbuhkan sikap ambivalen dan standar ganda. Bagi suatu negara yang berdaulat, apakah p emerintahan bersifat fasis atau d emokratis, akan mem and ang kombatan melawan pemerintah cenderung sebagai teroris (crime against governm ent ) . Sebaliknya, dari sud ut p andan gan kombatan yang menen tang pem erintah yang rasial, tindakan r epresif dar i pengu asa akan d ilihat sebagai kejahatan yan g d ilakukan oleh p emerintah ( crime by government or state crime or state-organized crime). Penting untuk diperhatikan bahwa pad a tahu n 1973 Majelis Um um PBB menyetujui suatu asas yang melindungi HAM para “pejuang kebebasan” yang menjadi kombatan terhadap pemerintahan kolonial dan rezim yang fasis. Kombatan yang tertangkap haru s diberi status sebagai tawan an per ang a tas d asar Konven si Jenew a Ketiga (1949). Dalam h al ini, maka tidak heran bahwa seseorang, bagi suatu negara tertentu disebut teroris tetapi bagi negara lain ia diangga p sebagai pah lawan. Suicide bomber Palestina bagi Israel ad alah teroris, tetapi bagi oran g Palestina mereka adalah pahlawan. Beberapa waktu yang lalu, Presiden Libanon Emile Lahoud menolak keras daftar yang dipublikasikan Washington yang memasu kkan H ezbollah sebagai kelomp ok teroris dan aset globalnya harus dibekukan di AS. Hezbollah dan yang lain dianggap sangat berjasa membebaskan wilayah Libanon yang diduduki Israel. (Lembah Bekka, Arab N ews, 18 November 2001). Fenomena berupa kasus-kasus terorisme yang terjadi di dunia membenarkan pendapat bahwa terorisme tidak identik dengan aktivitas agama tertentu (Islam). Di samping kelompok-kelompok yang d ikategorikan sebagai teroris yang berbau agama, maka terdap at 167
pula kelompok teroris yang bersifat ‘non agama’ seperti “ A frican N ational Congress” (Afrika Selatan) yang semula berjuang di dalam sistem u ntuk m emperjuangkan h ak-hak kulit hitam, tetapi akhirnya m e n e m p u h j a l a n t e r o r ; “ A rm ed Forces for N ational Liberat ion “ (FALN:US ) yang memperjuangkan lepasnya Puerto Rico dari U S dominion ; “ A rmed Revulu tionary Forces of Columbia” (FARC:Columbia) yang merupakan sayap militer partai komunis; “ A rmed Revolutionary N uclear” ( N A R: It aly) yang berjuang untuk mengembalikan fasisme d i Itali; “ Basque Fatherland and Liberty” ( ET A ) gerilya marxist untuk memerdekakan Basque dari Spanyol; IRA ( Irish Republican Army ) yang merupakan refleksi konflik berdarah antara Katolik dan Protestan; “ Japanese Red A rm y” ( JRA ) yang merupakan kelompok teroris internasional yang memp erjuangkan revolusi du nia dan meruntu hkan monarki Jepang. Dari pelbagai instrum en yang berkaitan dengan p encegahan d an perang terhad ap terorisme, terbukti bahwa du nia Islam juga sangat konsisten m engutuk terorisme. The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (Cairo, 1998) da n Conv ention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism (Ougadougou, 1999), merupakan du a peristiwa penting untuk membuktikan kepedu lian du nia Islam – wilayah yang kerap mend apat stigma sebagai “sarang” atau sekurangnya acuh dalam m asalah terorisme — terhadap masalah terorisme. Dalam perkembangannya, terorisme memang dikategorikan sebagai pelanggaran H AM yang berat, sehingga d ikategorikan juga sebagai kejahatan internasional dan bahkan transnasional. Dalam diskusi-diskusi pembentukan “the International Criminal Court” ( ICC, Statuta Roma 1998), setelah tu juh tahu n berlaku efektif, dalam ‘ Review Conference’, banyak negara yang mengusulkan agar kejahatan terorisme dimasukkan sebagai salah satu yurisdiksi materi ICC , d i samping kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi. Terorisme merupakan kejahatan internasional di antara 22 kejahatan yang masuk kategori tersebut karena dinilai dapat m engancam p erdamaian dan keamanan du nia, menggoncangkan hati nur ani manu sia, mempengaru hi lebih d ari suatu negara atau w arga negara lebih d ari satu negara, alat dan caranya melalui batas negara, dan mem erlukan kerjasama antar n egara untu k men gatasin ya (Bassiouni, 1985). 168
Dalam Konvensi Palermo, 2000, tentang “kejahatan tr ansn asional yang terorganisasi” dinyatakan, bahwa suatu kejahatan d apat d isebut bersifat tr ansnasional apabila m emiliki karak teristik; (1) d ilakukan di lebih dari satu negara ; (2) dilakukan d i satu negara tetapi persiap an, perencanaan dan p engendaliannya mengam bil tempat d i negara lain; (3) dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara, atau; (4) dilakukan di satu negara tetapi secara substansial efeknya men gimbas sampai ke negara lain. Di samping terorisme yang bersifat internasional dan transnasional, terdapat pula terorisme yang bersifat nasional atau domestik, termasuk di dalamnya apa yang dinamakan “ single issue terrorist”, yang menunjuk pad a kelompok yang menggunakan taktik ekstrimis untu k mend ukun g satu isu tertentu. Contohnya adalah “ the unabomber” di Am erika Serikat (1995), yang m enemp atkan Universitas dan Airlines sebagai target sasaran dengan motif ketidaksenangan terhadap teknologi. Di samping itu, ada pula yang dinamakan “ hate crime”, y a i t u s e r a n g a n t e r h a d a p s a s a r a n b e r u p a o r a n g a t a u kekayaannya atas dasar ras korban, warna kulit, agama, asal usul nasional, etnik, jenis kelamin a tau orientasi seksual, seperti “ skinheads” dan N eo Nazi. Sejarah dan Tipologi Terorisme Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme (bentuk pertama) terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. H a l i n i d i l a k u k a n u n t u k m e l a w a n a p a y a n g m e r e k a ( A lgerian nationalist ) sebut sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka, pembunu han d engan tujuan u ntuk mend apatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa. Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, beru pa seranga n acak atau random terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. “The Bush Commission” (Wakil Presiden AS, 1986) men yebu tny a sebagai “teater politik”, contoh dari “ propaganda by deed ” . Dalam masyarakat yang 169
sebagian besar buta hu ruf dan apatis, seruan atau perjuangan melalui hu ruf-huru f tertulis dam pakn ya sangat kecil, sehingga lebih efektif menerap kan “filsafat bom”, yakni bersifat eksplosif dan san gat sulit untu k m engabaikannya. Seorang Brazilia, Carlos Marighela, menu lis bu ku tentang teori mod ern tentang teror yang berjud ul “ M inimanual of the Urban Guerilla” yang kemud ian dijadikan buku pegangan gerakan teror di seluruh du nia. Dia mengatakan bah wa un tuk mem berikan informasi tentang aksi-aksi revolusioner cukup dengan menjadikan media massa modern sebagai sarana penting untuk propaganda. Bahwa perang psikologis, lanjut Carlos, merup akan su atu teknik un tuk berjuang atas dasar penggun aan langsung atau tidak langsung media massa. Bentuk ketiga (terorisme media) ini berkembang melalui tiga sumber; pertama, kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM; kedua, pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fund amentalisme agam a, radikalisasi setelah era p erang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota; dan ketiga, kemajuan teknologi seperti satelit, peningkatan lalu lintas ud ara d an p enemu an senjatasenjata canggih. Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejum lah versi p enjelasan, diantaranya tipologi yang dirumuskan oleh “ N ational A dv isory Committee” dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terrrorism (1996), yang m engemu kakan sebagai berikut: 1. Te ro ris m e p o lit ik ; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan kekerasan yang d idisain terutama untu k menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis. 2. Terorisme non politik; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan pribad i, termasu k aktivitas kejahatan terorganisasi. 3. Q u a s i t er o r is m e ; m e n g g a m b a r k a n a k t iv i ta s y a n g b e r s if at insidental un tuk m elakukan kejahatan kekerasan yan g bentuk dan caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya. Dalam kasus pembajakan ud ara atau p enyand eraan misalnya, para p elaku lebih tertarik kepada u ang tebusan d aripad a motivasi id eologis. 4. Terorisme politik terbatas; menunjuk kepada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk 170
menguasai pengendalian negara. Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vendetta-type executions). 5. Terorisme pejabat atau negara ( official or state terrorism ); terjadi d i suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan. Yang terakhir ini (official or state terrorism) harus dibedakan dengan “ state-sponsored terrorism” y a n g d a p a t d i a r t i k a n b a h w a n e g a r a mend uku ng terorisme sebagai bagian atau taktik “ war on the cheap”, seperti ditud uh kan Am erika kepad a Irak, Sur iah, Afganistan (Taliban) Libia, Kuba, Korea Utara, Sudan dan sebagainya (tetapi ironisnya bahwa mereka yang dituduh sebagai teroris adalah mereka yang semasa perang dingin mendapatkan latihan ‘ counterinsurgency skills’ di Fort Benning, Georgia Amerika yang terkenal sebagai ‘ school for dictators’. Pada saat itu Amerika banyak mendukung rezim yang represif karena mereka anti komunis). Dalam hal ini perlu diperhatikan “UN Resolution 2625 (XXV)” yang antara lain mengharuskan setiap negara untuk menahan diri dari perbuatan mengorganisasi, menggerakkan, membantu atau berperanserta dalam perbuatan perang saudara, atau perbuatan teroris di negara lain, atau secara diam -diam terlibat dalam ak tivitas terorganisasi di dalam wilayahnya ditujukan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini ditegaskan kembali di dalam Declaration on M easures t o Eliminate Int ernational Terrorsim , 1994. Definisi dan Unsur Tind ak Pidana Terorism Tindak pidana terorisme merupakan tindak p idana murn i (mala per se) yang dibedakan dengan administrative criminal law ( mala prohibita). Kriminalisasi tind ak pid ana terorisme sebagai bagian d ari perkembangan h ukum pidana d apat dilakukan m elalui banyak cara, seperti; (a) melalui sistem evolusi beru pa am and emen terhad ap p asalpasal KUHP; (b)melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya; dan (c) sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang “kejahatan terorisme”. Untuk memahami makna terorisme, kiranya perlu dikaji terlebih dulu makna atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa p enulis, yaitu: 171
1. US Central Intelligence Agency (CIA). Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan d engan du kungan p emerintah atau organisasi asing dan/ atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintahan asing 2. US Federal Bureau of Investigation (FBI). Terorisme ad alah penggun aan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik. 3. US Departments of State and Defense. Terorisme ad alah kekerasan yang berm otif politik dan dilakuka n oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mem peng aruh i audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang m elibatkan warga negara atau w ilayah lebih d ari satu negara. 4. Black’s Law Dictionary . Tind akan terorisme adalah kegiatan yang m elibatkan u nsur kekerasan atau yang m enimbulkan efek bahaya bagi kehidup an man usia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimak sud kan u ntu k; (i) mengintimidasi pend ud uk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pem bunu han. 5. St ates of the South A sian A ssociation for Regional Cooperation (SAARC ) Regional Convention on S uppression of Terrorism . a. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditand atangan i di Hagu e pad a 16 Dsember 1970; b. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untu k Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Penerbangan Sipil”, ditand atangan i di Montreal pad a tanggal 23 September 1971; c. Kejahatan dalam lingkup ”Konvensi tentang Pencegahan d an Hukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-orang yang Secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-agen Diplomatik”, ditandatan gani d i New york, 14 Desember 1973; d . Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun d imana negaranegara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan angota-anggotanya u ntuk menuntu t atau melakukan ekstrad isi; 172
e. Pembunu han, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan p eledak d an bahan -bahan lain yan g jika digunakan untu k melakukan kejahatan d apat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pad a harta milik; f. Usaha untu k melakukan kejahatan, atau turut sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut; g. Usaha atau konspirasi untuk m elakukan kejahatan (yang dijabarkan pada bagian (f) membantu, memudahkan atau mengan jurkan kejahatan tersebut atau berpartisipasi sebagai kaki tangan dalam kejahatan yang digambarkan. 6.
The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998) Terorisme adalah tind akan atau ancaman kekerasan, apap un motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut d engan m elukai mereka, atau mengancm kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, at au bertujuan untu k m enyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga bahw a tindak kejahatan terorisme ad alah tindak kejahatan d alam rangka m encapai tujuan teroris di n egara-negara yang menjalin kontak, atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya, yang diancam hu kuman dengan hu kuman domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensikonvensi berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negaranegara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka, juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris: a. Konvensi Tokyo tentang Tindak Kejahatan d an Tindakan-Tindakan tertentu Lain yang Dilakukan di Kabin Pesawat, September 1963; b. Konvensi Hague untuk Pembasmian Perampasan Pesawat Tidak Sah, pada 16 Desember 1970; c. Konvensi Montreal untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerban gan Sipil, pad a tangg al 23 Septem ber 1971, dan Protok olnya p ad a 10 Mei 1984; 173
d . Konvensi tentang Pencegahan dan Hu kuman Tindak Kejahatan terhad ap Oran g-Orang yang Dilind un gi Secara Internasional, termasu k Agen-Agen Diplomatik, pad a 14 Desember 1973; e . Ko n v e n s i I n t e r n a si o n a l t e r h a d a p P e n y a n d e r a a n , p a d a Desem ber 1979; f. Ketetapan-Ketetapan Konvensi PBB tentang Huku m Laut, tahu n 1982, yang berhu bun gan den gan pem bajakan di atas laut; g. Serangan atas Raja, Kepala Negara atau Penguasa Negaranegara yang Menjalin Kontrak atau atas Pasangan dan Keluarganya; h. Serangan atas Pangeran, Wakil Presiden, Perdana Menteri di Negara y ang Menjalin Kontrak; i. Se r a n g a n a t a s or a n g - or a n g y a n g m e m i l ik i k ek e b a la n diplomatik, termasuk d uta besar dan diplomat yang bertugas di negara-negara yang menjalin kontrak; j. Pem bu nu han atau p en curia n ya ng d iren can ak an yang d iiku ti dengan penggunaan kekerasan yang ditujukan kepada individu, otoritas atau alat-alat transportasi dan komunikasi; k. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang diperu ntukan bagi pelayanan p ublik, bahkan jika dimiliki oleh negara yang m enjalin kontr ak; l. Pembuatan, penjualan ilegal atau kepemilikan senjata, amu nisi atau bahan peledak, atau bahan-bahan lain yang bisa digunakan untuk melakukan tindak kejahatan teroris. 7.
174
Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan ilegal yang diancam hukuman di bawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan pu blik, memp engaruh i pengam bilan kebijakan oleh penguasa atau menteror pendud uk, dan mengambil bentuk: a. kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi huku m; b. menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain; c. menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat;
d. mengancam kehidup an negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut; e . m e n y e r an g p e r w a k i la n N e g a r a a s in g a t a u s t a f an g g o t a organisasi internasional yang dilind un gi secara internasional, begitu juga temp at-tempat bisnis atau kend araan orang-orang yang d ilindu ngi secara internasional; f. tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah perund ang-und angan n asional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme (Catatan: (1) Dalam rangk a ekstrad isi, negara-negara p ihak tidak akan mem perlaku kan perbu atan tersebut, selain sebagai kriminal; (2) Muncul istilah baru yaitu “technological terrorism ” yakni penggu naan atau ancaman p enggunaan senjata nuklir, radiologi, bahan kimia atau bakteri dalam rangka p erbuatan terorisme) 8.
Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999. Terorisme berarti tind akan kekerasan atau ancaman tind akan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidu pan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negaranegara yang merdeka. Tindak kejahatan teroris berarti tindak kejahatan yang dilakukan, dimulai atau dilibatkan untuk mewujudkan tujuan teroris di negara yang menandatangani kontrak atau kepada warga n egara, aset atau kepentingan atau fasilitas asing d an w arga negara yang tinggal di wilayahnya yan g diancam hu kum an oleh hukum internnya. Kejahatan-kejahatan sebagai berikut juga dikategorikan sebagai kejahatan teroris kecuali yang d ikeluark an oleh un dan g175
un dan g negara yang bersangkutan atau yan g belum d iratifikasi : a. Konvensi tentang Kejahatan dan Tindakan lain yang Dilakukan d i Kabin Pesaw at Terba ng (Tokyo, 14.9.1963); b. Konvensi tentang Pembasmian Peramp asan Pesawat Terbang Yang Menyalah i Hu ku m (The H agu e, 16.12.1970); c. Konvensi tentang Pembasmian Tindakan Menyalahi Huku m Terhad ap Keselamatan Penerbangan Sipil yang ditandatan gani di Montreal pada 23.9.1971 dan Protokolnya (Montreal 10.12.1984); d . Ko n v e n si t en t a n g P e n ce g a h an d a n H u k u m a n Ti n d a k Kejahatan Terhadap Orang-Orang Yang Memiliki Imunitas Internasional, Termasu k Agen-Agen Diploma tik (New York, 14.12. 1973); e. Konvensi Internasioanal Terhadap Penyanderaan (New York, 1979); f. Huku m Konvensi Laut PBB tahun 1988 dan pasal-pasalnya yang berkaitan dengan pembajakan di laut.; g. Konvensi tentang Perlindu ngan Fisik Bahan Nu klir (Vienna, 1979); h. Protokol Pembasmian Tindak Kekerasan Menyalahi Hu kum di Bandara Yang Melayani Penerbangan Sipil Internasional Suplemen bagi Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Huku m Terhad ap Keselamatan Penerbangan Sipil (Montr eal 1988); i. Protokol untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Huku m Terhadap Keselamatan Platform Tetap tentang Dasar Kontinen tal (Roma , 1988); j. Kon vensi untu k Pem ba sm ian Tind ak an Menya lah i H u ku m Terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Roma, 1987); k. Konvensi Internasional untuk Pembasmian Pemboman Teroris (New York , 1997); l. Ko n ve ns i t en t an g Plastic Exsplosive untuk Tujuan Deteksi (Montr eal, 1991); m. Agresi terhadap p ara raja dan kepala negara negara-negara yang menandatangani kontrak atau terhadap pasangan, tanggungan atau keturunan m ereka; n. Agresi terhadap pangeran atau wakil presiden atau wakil kepala pemerintahan atau p ara menteri di negara-negara yang menand atangani kontrak; 176
o . A g r es i t er h a d a p o r a n g -o r a n g y a n g m e m i l ik i im u n i t as internasional termasuk para duta besar dan diplomat di negara-negara yang Menandatangan i Kontrak atau d i negaranegara yang diakui; p. Pembunuhan atau p erampokan dengan kekerasan terhadap individu atau otoritas atau alat-alat transport dan komu nikasi; q. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang diperuntu kkan bagi pelayanan pu blik, bahkan meskipun milik negara-negara yang m enandatangani kontrak.; r. Tindak kejahatan pembuatan, penyelund upan atau pemilikan senjata dan amunisi atau bahan-bahan peledak atau bendabenda lain yang disiapkan untuk tindak kejahatan teroris; s. Semua bentuk kejahatan internasional, termasuk perdagangan ilegal narkotika dan manusia serta pencucian uang yang bertujuan membiayai tujuan-tujuan teroris harus dianggap sebagai tindak kejahatan teroris. (Catatan: (1) Perjuan gan bersenjata melawan p end ud uk an, agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan terorisme; (2) Pelbagai tindak pidana terorisme di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan p olitik; (3) Tind ak p idana butir xiii-xviii tidak d apat diang gap sebagai kejahatan politik sekalipu n bermotif politik; (4) Dalam definisi terorisme motif politik). 9.
Organisation of African Unity (OA U), 1999 Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana “negara anggota” dan bisa membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan, atau menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang atau menyebabkan atau d apat m enyebabkan kerugian bagi harta, sum ber alam atau lingku ngan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau dimaksudkan untuk: (a) mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan atau mempengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat, untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan, atau untuk mengadopsi atau meninggalkan p endirian tertentu, atau untuk bertindak menurut prinsip-prinsip tertentu; atau 177
(b) menggan gu p elayanan pu blik, pemberian pelayanan esensial kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik; atau (c) menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara ; (d) promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha, ancaman, konspirasi, pengorganisasian, atau perekrutan seseorang, dengan niat untuk melakukan tindakan yang d isebutkan pad a paragraf (a) samp ai (c) (Catatan: (1) Perjuangan bersenjata sesuai dengan hukum internasional dalam ran gka kemerdekaan atau menentukan nasib sendiri, terhadap agresi, pendu du kan, kolonialisme d an d ominasi asing dikecualikan dari perbuatan terorisme. (2) Motif politik, filosofis, ideologis, rasial, ethnik, agama atau motif lain tidak dap at digunakan u ntuk pem benaran terhad ap perbuatan terorisme). 10. Terrorism A ct 2000, UK. Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri: (a) aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidu pan seseorang, bukan kehidup an orang yang m elakukan tindakan , menciptakan risiko serius bagi kesehatan atau keselamatan p ublik atau bagian tertentu d ari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik; (b) penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; (c) penggun aan atau ancaman d ibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi; (d) penggu naan atau ancaman yan g masuk dalam subseksi (a) yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. Catatan: Di UK mereka yang dalam aktivitas organisasi terlarang dapat dipidana keterlibatan -- bisa dalam bentuk keanggotaan, membantu d alam bentuk uang atau kekayaan atau memp ersiapkan rapat organisasi terlarang, memakai seragam organisasi terlarang di muka umum dan membantu pengumpulan dana. Suatu organisasi dianggap terlibat dalam terorisme apabila berpartisipasi dalam terorisme, mempersiapkan terorisme, menggalakkan d an m empromosikan terorisme.
178
11. European Conv ention on the Su ppression of Terrorism (1977) a . K eja h a t a n d a la m l in g k u p K o n v en s i u n t u k P e m b a s m ia n Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatan gani di H ague p ada Desember 1970; b . K eja h a t a n d a la m l in g k u p K o n v en s i u n t u k P e m b a s m ia n Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditand atangan i di Montreal pad a 23 September 1971; c. Kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidu pan atau kebebasan orang-orang yang dilindu ngi secara internasional, terma suk agen -agen diplomatik; d . Kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak sah; e. Kejahatan yang m elibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis atau surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain; f. Usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut; g. Kejahatan serius yang melibatkan tindak kekerasan, selain da ri yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), atas integritas fisik dan kehidupan atau kebebasan seseorang; h. Kejahatan serius yang melibatkan tindakan atas harta, selain dari yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), jika tindakan menimbu lkan bahaya k olektif bagi orang lain; i. Usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut. Catatan: (1) Terhadap pelbagai tindak pidana terorisme tersebut ditegaskan bahwa untuk tujuan ekstradisi pelbagai tindak pidana tersebut tidak boleh dianggap sebagai tindak pidana politik atau sebagai suatu tindak pidana yang berkaitan dengan suatu tindak pidana politik atau sebagai suatu tindak pidana yang d iilhami oleh motif politik. Dengan demikian menurut penulis tidak dapat dikategorikan sebagai “non-extraditable crimes ”; (2) Bentuk tindak pid ana terorisme antara lain selalu dikaitkan dengan salah satu atau beberapa Konvensi internasional ( international treaties ) dari kurang lebih 12 konvensi internasional tentang terorisme yang su dah ada (mestinya yan g sud ah d iratifikasi oleh negara yang bersangku tan). 179
Menurut penulis, UU No. 2 Th. 1976 yang telah meratifikasi 3 Konvensi internasional tentang kejahatan penerbangan (Den H aag, Montreal dan Tokyo) yang kemu dian d isusul dengan keluarnya UU No. 4 Th 1976 berupa penambahan Bab XXIXA KUHP tentang Kejahatan Penerbangan d an Kejahatan terhadap Sarana Penerbangan dap at dijadikan contoh untu k dikategorikan sebagai tindak p idana terorisme; (3) Percobaan disamakan dengan delik selesai dan pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Baik konsiderans maupun penjelasan umum harus m e n g g a m b a r k a n s e ca r a k o m p r e h e n s if legal spirit y a n g d a p a t memberikan pembenaran keberadaan UU p emberantasan terorisme; termasu k d i sini alasan kriminalisasi seperti timbulnya k orban yan g tidak bersalah, besarnya d uku ngan pu blik nasional dan internasional, bahaya bagi demokrasi, HAM, supremasi hukum dan stabilitas, bahaya terhadap perdam aian, persahabatan, kerjasama antar bangsa mengingat sifatnya yang bisa internasional dan transnasional, bahaya terhadap kedaulatan dan integritas negara dan perlunya kerjasama internasional. Demikian pula kaitannya d engan kejahatan berat yang lain seperti pencucian uang, p erdagangan senjata, kejahatan narkoba, dan kejahatan terorganisasi. Dasar pertimbangannya adalah: (a ) A g a r Ti d a k m e n im b u l k a n s u b y ek t iv i ta s p e n a fs ir a n d a n menimbulkan permasalahan dalam ekstradisi, maka pemikiran y a n g b e r k e m b a n g p a d a A n glo-A m erican Law y a n g t i d a k membed akan antara kejahatan p olitik yang dilakukan atas dasar tujuan ideologis dengan kejahatan tradisional dapat dipertimbangkan. Hukum pidana h anya memp erhatikan sikap batinnya (intent ) bukan m otif, sebab ap akah m otifnya baik atau buruk tidak menentukan kesalahan. (b ) P e lb a g a i k o n v e n s i i n t er n a s i o n a l y a n g b e r k ai t a n d e n g a n pencegahan d an p emberantasan terorisme yang telah d iratifikasi perlu d icantu mkan d an d itegaskan sebagai kejahatan terorisme; (c) M en gin ga t p ela ku ( perpetrator ) kejahatan bisa individual atau kelompok, perlu d iatur tentang corporate liability ; (d) Perlu diatur tentang skema perlindungan terhadap para saksi dan korban kejahatan; (e) Perlu diatur tentang kejahatan “obstruction of justice”; sebab soal 180
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
(k)
ini lebih luas daripada ketentuan tentang perlindungan bagi penyelidik d an p enyidik. Perlu diatur ketentuan bahwa perjuangan bersenjata ( freedom fighters) melawan kolonialisme, pendu du kan, dominasi dan agr esi asing tidak merupakan tindak pidana terorisme; ini penting nantinya dalam h ubun gan dengan ekstradisi dan kemun gkinan dimasukkannya kejahatan terorisme sebagai kejahatan internasional (asas un iversalitas); Kepentingan huku m yang dibahayakan oleh terorisme jangan hanya dibatasi terhadap nyawa, harta benda, kebebasan pribadi d an rasa takut m asyarakat. Sesuai dengan perkembangan internasional perlu dipertimbangkan perlindungan terhadap: integritas nasional dan kedau latan, fasilitas internasional, diplomat asing, kepala negara d an wakil kepala negara, instalasi pu blik, lingkun gan h idup , sumber daya alam nasional dan tran sportasi serta komu nikasi. Sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, maka dalam merumuskan tindak pidana harus memegang teguh asas legalitas dan asas ‘lex certa’ (perumusan hukum harus jelas dan tajam serta dapat dipercaya); Penyimpan gan terhadap hu kum acara yang berlaku sejauh m ungkin d ihindari. Di samping langkah-langkah represif, perlu d iatur tentang langkah-langkah preventif (counter-terrorism measures) yang komp rehensif, seperti pen cegahan infiltrasi elemen teror is dari negara lain, kerjasama dan koordinasi dengan negara-negara sahabat, pengembangan sistem seleksi dan manajemen senjata api dan bahan peledak, pengawasan perbatasan dan tempat masuk orang asing, pengembangan sistem pengawasan, peningkatan pengamanan instalasi vital, perlindungan orangorang penting dan diplomat, penyempurnaan organisasi intelijen, pen ciptaan ‘database’ dar i elemen d an jaringan teroris. Menegaskan perlunya keterlibatan perguruan tinggi untuk mengkaji masalah-masalah terorisme (semacam ‘the Terrorism Research Center ’); Pengaturan tentang keterlibatan dalam organisasi terlarang yang terlibat terorisme p erlu d ijajagi (seperti d i Inggris). n
181
A s p e k I n t e r n a s i o n al d a r i K e b i j a k a n K r i m i n a l N o n P e n al Kebijakan krim inal adalah u saha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal di samp ing dap at dilakukan secara repr esif melalui sistem peradilan p idana (pendekatan penal) dapat pula d ilakukan d engan sarana “non p enal” melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa haru s menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum , pembaharuan huku m perdata dan huku m administrasi, dan sebagainya. Pendekatan dengan menggunakan sarana penal terus menerus dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana, baik dari aspek legislasi (kriminalisasi, dekr iminalisasi dan d epenalisasi), perbaikan sarana-prasaran a sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan partisipasi masyarakat d alam sistem perad ilan p idana. Secara sistemik, sistem p eradilan p idana ini mencakup suatu jaringan sistem p eradilan (dengan sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan) yang mendayagunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Hukum pidana dalam hal ini mencakup hukum pidana materiil, formil dan hukum pelaksanaan pidana. Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan kejahatan (crime prevention ) yang sangat luas dan mencakup baik kebijakan m aup un praktek. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara yang satu d engan negara yan g lain sesuai dengan latar belakang kultural, politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat. Di satu negara tertentu kewenangan untuk merencanakan dan mengkoordinasikan biasanya berada pada “forum interdepartemen” 182
(semacam N ational Crime Prevention Councils) yang beranggotakan luas, baik yang berasal dari bad an pu blik atau p rivat. Sedangkan di negara lain pencegahan kejahtan m erupakan tanggungjawab departemen atau lembaga tertentu, seperti kepolisian atau kejaksaan. Dalam perkembangannya, kebijakan kriminal berkembang ke arah tind akan-tind akan p roaktif yang terny ata, selain terbuk ti lebih mu rah (dibandingkan biaya yang haru s dikeluarkan p olisi, pengad ilan dan penjara), juga menjanjikan hasil yang lebih baik d alam mem erangi kejahatan. Tanggungjawab p encegahan kejahatan diperluas m encakup lembaga-lembaga dan individu di luar sistem peradilan pidana. Kejahatan d ianggap perm asalahan masyarakat ( common public concern ) dan pencegahannya tidak lagi dianggap wilayah eksklusif dari spesialis, sekalipun hubungan antara pencegahan kejahatan dan peradilan p idana cukup erat. Di beberapa negara Eropa Timu r, pencegahan kejahatan terkait satu sama lain. Pengadilan tidak hanya berfungsi yudikatif tetapi ju g a m en g id en t if ik asi d an m em u tu sk an p en y eba b ter ja d in y a kejahatan. Dalam kasus p encurian d i temp at kerja misalnya, pimpinan instansi dapat diperintahkan un tuk m encegah terjadinya p engulangan kejahatan. Apabila tidak diindah kan maka yang bersangku tan dap at dijatuhi sanksi. Contoh lain keterlibatan masyarakat adalah keberadaan semacam informal tribunal yang dapat menyelesaikan kasus-kasus di sekolah, tempat kerja atau di lingkungan tetangga. Kasus-kasus seperti ini cenderung diselesaikan oleh anggota masyarakat biasa, sehingga ada kaitan antara sistem pencegahan kejahatan yang formal dengan kontrol sosial masyarakat. Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari kebijakan kriminal. Sekalipun demikian harus diakui bahwa konsep dan definisinya masih terlalu lemah, sehingga orang cenderung untuk membicarakan pencegahan kajahatan dalam kerangka pendekatan dan model. Secara tradisional, tujuan sistem peradilan pidana bersifat represif dan berkaiatan erat dengan pencegahan kejahatan setelah suatu kejahatan telah terjadi. Konsep pencegahan kejahatan sendiri memfokuskan d iri pada campu r tangan sosial, ekonomi dan pelbagai area kebijakan p ublik dengan maksu d mencegah kejahatan sebelum kejahatan dilakukan. Dengan d emikian pencegahan kejahatan pada dasarnya adalah segala tindakan yang tujuan kh usu snya adalah untu k membatasi meluasnya kekerasan dan 183
kejahatan, apakah melalui pengu rangan kesempatan u ntuk m elakukan kejahatan atau dengan cara mempengaruhi pelaku potensial dan masyarakat umum. Umumnya strategi preventif terdiri atas tiga kategori yang mend asarkan diri pada “ public health model ” yakn i; (a) pencegahan kejahatan primer ( primary prevention ); (b) pencegahaan sekund er ( secondary prevention); da n (c) da n p encegahan tersier ( tertiary prevention ). Pencegahan primer adalah strategi yang dilakukan melalui kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain yang diorientasikan untuk mempengaruhi situasi kriminogenik dan akar kejahatan (pre-offence in tervent ion ), seperti kebijakan di bidang pendidikan, perumahan, lapangan kerja, rekreasi, dan sebagainya. Sasaran utama dari model kebijakan ini adalah masyarakat luas. Pencegahan sekunder dapat ditemukan di dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya bersifat praktis, seperti yang biasa dapat disaksikan pad a peranan polisi dalam p encegahan k ejahatan. Sasarannya ditujukan kepada mereka yang dianggap cenderung melanggar. Sedangkan pencegahan tersier terutama diarahkan p ada residivisme (oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana) dan sasaran utamanya adalah m ereka yang telah m elakukan kejahatan. Di lain pihak d ibedakan p ula antara “p encegahan sosial” ( social crime prevention ) yang diarahkan pada akar kejahatan, “pencegahan situasional” (situational crime prevention ), yang diarahkan pada pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan, dan “ p e n c e g ah a n m a s y a r a k a t ” (community based prevention ), yakni tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan cara meningkatkan kemampuan mereka untuk menggunakan kontrol sosial. Pelbagai pendekatan tersebut bukan merupakan pemisahan yang tegas, namun saling mengisi dan berkaitan satu sama lain. Terdapat kecenderungan untuk meningkatkan keseimbangan antara p encegahan kejahatan yang berorientasi pad a pelaku ( offendercentered crime prevention ) dan yang berorientasi pad a korban (victim centered crime prevention ). Internasionalisasi Kejahatan Saat ini sulit sekali un tuk m embeda kan antar a kejahatan yan g terjadi di negara-negara maju dan kejahatan yang terjadi di negara-negara 184
berkembang. Aspek-aspek ku ltural, politik dan sosial yang p ada masa lalu biasa dijadikan faktor pembeda, kini hampir tidak mungkin dilakukan. Dalam era globalisasi hubu ngan an tara bangsa men jadi sangat mu dah sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang transportasi, komun ikasi dan jaringan kompu ter, dan hal ini sangat mempengaruh i gejala internasionalisasi kejahatan. Munculnya istilah “ shared characteristics” adalah menggambarkan meningkatnya kejahatankejahatan kekerasan dan p embun uh an yang m erata di kota-kota besar di du nia. Contoh yang paling nyata dan sekaligus amat merisaukan ad alah kejahatan obat bius. Dengan d emikian n amp ak bahw a m obilitas besarbesaran individu d ari negara-negara berkemban g ke negara-negara maju atau sebaliknya merupakan faktor kriminogin, yang pada perkembangannya memunculkan gejala baru berupa bentuk-bentuk kejahatan terorganisasi. Dari p elbagai pertemu an internasional d apat dirasakan keprihatinan pelbagai negara di dunia akibat eskalasi peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah bentuk-bentuk “organisasi kejahatan transnasional” yang m elamp aui batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional dan internasional. Persoalan yang dimunculkan oleh “kejahatan transnasional terorganisasi” semakin diwaspadai, karena pelbagai penelitian menu njukkan adan ya kaitan erat antara terorisme dengan kejahatan terorganisasi, khu susn ya deng an sifat-sifatnya yang transna sional dan di luar hukum, seperti penggunaan kekerasan fisik, perdagangan senjata dan obat bius, money laundering, transaksi gelap, penculikan, penggelapan, pemalsuan, peramp asan dan pemerasan. Tindak p idana tersebut dapat pula berupa perdagangan wanita, imigran gelap, perjudian, tindak pidana lingkungan dan pencurian benda-benda budaya, bahkan muncul indikasi mulai dilakukannya perdagangan unsur-unsur nuklir (uranium). PBB bahkan menganggap fenomena itu sebagai kejahatan yang dapat membahayakan keamanan dan stabilitas nasional dan intern asional, dem okrasi, tertib huku m, HAM dan pembangunan ekonomi serta sosial. Sidang Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di Wina, (21-31 Mei 1996), jug a m ember ikan p enegasan bahw a kejahatankejahatan yang harus diwaspadai saat ini meliputi kejahatan transn asional (terorganisasi), kejahatan ekon omi termasu k pem utihan uang, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan perkotaan, kejahatan kekerasan, kejahatan yang dilakukan remaja, perdagangan senjata 185
api, kekerasan terhadap w anita, anak-anak, penyelun du pan imigran gelap d an tindak p idana korupsi. Sepanjang pembahasan tentang kemungkinan hubungan antara kejahatan transnasional terorganisasi dan terorisme, terdapat dua p a n d a n g a n y a n g b e r b e d a , y a i t u ; pert ama n e g a r a - n e g a r a y a n g berpendap at keduanya memiliki kesamaan elemen, metod e, aktivitas, dan kemungkinan hubungan yang langsung terjadi antara keduanya. Kedua, negara-negara yang menyatakan bahwa walaupun bentuk terorisme dapat d imasukkan dalam d efinisi kejahatan tran snasional yang terorganisasi, namu n terdap at perbedaan yang jelas dalam tujuannya, yaitu terorisme m empu nyai motif dan tujuan p olitik sedan gkan kejahatan terorganisasi hanya m empu nyai tujuan ekonomi semata. Diskusi mengenai terorisme berulangkali menekankan adanya ancaman yang kuat terhadap p erdamaian dan pembangu nan. Hampir semua negara p eserta pad a prinsipnya mengu tuk kejahatan terorisme dalam segala bentuknya, walaupun beberapa negara lainnya, khususnya Iran, Suriah, Libanon dan Libia, menekankan perlunya pembedaan antara kejahatan tersebut dengan perjuangan rakyat untuk membebaskan wilayahnya dari pendud ukan. Strategi Kebijakan Krimin al Internasional Dari perkembangan-perkembangan kejahatan aktual di atas Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana ECOSOC menekankan betapa pentingnya hal-hal sebagai berikut: a. Perlun ya peningkatan efisiensi, kejujuran dan peningkatan manajemen dan administrasi peradilan pidana dan sistem yang terkait, dengan menekankan pad a usaha memperkuat kemamp uan nasional di negara-negara berkembang dalam rangka koleksi, kolasi (pemeriksaan), analisis dan p enggunaan data kriminal guna pengem bangan d an implementasi kebijakan kriminal yang tepat. b. Perlunya disusun su atu d aftar dari inisiatif nasional yang berhasil dalam upaya mencegah kejahatan perkotaan, kenakalan remaja dan kejahatan kekerasan. c. Perlunya segera disusun langkah-langkah, strategi dan kegiatan yang p raktis d i bidang pencegahan kejahatan dan peradilan p idana untu k menghapu skan tindak kekerasan terhadap w anita. d. Peningkatan upaya intensif berupa pelatihan dan pendidikan manajemen peradilan pidana. 186
e. Perlu u paya konkrit internasional untuk m emerangi korupsi guna meningkatkan citra pejabat pemerintah yang bersih dan berwibawa. f. Sehubungan dengan semakin meningkatnya pemakaian senjata api dalam kegiatan kejahatan, d iusulkan p elbagai hal sebagai berikut: • Perlunya pertemuan-pertemuan informal para penegak hukum dan pejabat bea cukai negara-negara untuk membahas usaha menyeragamkan atau harm onisasi huku m mengenai pengaturan penggunaan senjata. • Perlu ditingkatkan perundang-undangan nasional di bidang pengaturan senjata api yang lebih komprehensif dan dapat diimp lementasikan secara efektif. • P e r lu d i ti n g k at k a n n y a k e r ja s a m a b il a te r a l, r eg i on a l d a n internasional untu k mencegah lalu lintas gelap senjata api, yang cenderun g meningkat akibat kurang harm onisnya peru ndangundangan nasional, peraturan dan kebijaksanaan. • Perlunya up aya meningkatkan informasi dan perbaikan statistik penggu naan senjata api serta upaya un tuk m elakukan tinjauan yang komprehensif perkembangan peraturan penggunaan senjata api di du nia. g . M e n g g a r is b a w a h i p e n i n g k a ta n k e r ja s a m a t e k n ik d i b i d a n g pencegahan kejahatan dan peradilan pidana sebagai bagian dari proses pembangun an secara menyeluruh d ari suatu n egara. Untuk ini harus d ibentuk kelompok kerja. h . P em b e r ia n p r i o ri ta s u t a m a p a d a “edvisory services” sebagai tanggapan terhadap permintaan internasional, khususnya dari negara-negara berkembang atau negara d engan ekonom i transisi. i. Perlu d itingkatkannya kerjasama dengan badan-badan lain seperti Department for Development Support and M anagement Services , United N ations Int ernational Drug Cont rol Program , Centre for Human Rights, Unit ed N ations dan badan-badan regional dan internasional terkait. j. N eg ara-n eg ar a m en ek ankan p en tin gn ya st and ar -sta nd ar d an aturan -aturan PBB di bidang pencegahan kejahatan d an p eradilan pidan a dan imp lementasinya dalam praktek. Beberapa instrumen diusulkan untuk ditinjau kembali mengingat perbedaan sistem huku m sering d ianggap sebagai kendala. k. Sehubun gan d engan kejahatan transnasional, negara-negara meman dan g perlu adany a jaringan yang efektif un tuk penegakan 187
huku m dan untuk meyakinkan bahwa tidak ad a pelaku kejahatan yang d apat menghind ari proses peradilan. l. Diperlukan peningkatan mekanisme pertukaran informasi dan pengalaman, evaluasi dan pengembangan langkah-langkah legislatif serta kerjasam a teknik. Dalam h al ini pertem ua n kelomp ok ahli antar pemerintah dapat menjadi forum yang diharapkan. m . P e r l u s e g er a d i b e n t u k s u a t u p u s a t “repository ” i n f o r m a s i internasional mengenai langkah-langkah yan g telah d iambil oleh negara anggota d an organisasi dalam ran gka memeran gi kejahatan transn asional terorganisasi. Untu k itu d iperlukan ad anya “ United N ations Crim e and Justice Information N etwork ” . Dalam hal ini per lu dihindari adanya tumpang tindih dengan repository yang sudah a d a d a r i Commonwealth d a n the International Criminal Police Organization (ICPO/ Interpol). n. Khusus mengenai kekerasan terhadap wanita dan anak-anak ditegaskan p erlunya: • Pen cap aian “gender quality ” dan peningkatan status wan ita. • Pembaharuan hukum terhadap perlindungan wanita. • Pelatihan khusus bagi praktisi, pusat bantuan dan pemberian nasehat untu k membantu korban. Bantuan m edia massa sangat diperlukan u ntuk menghindari “gender stereotyping”. • D ip e r lu k a n l an g k ah -la n g ka h u n t u k m e m b a n tu k e lo m p o k kelompok wanita yang rentan. o. Khusus mengenai anak sebagai korban dan pelaku tindak pidana diusu lkan antara lain: • Perlunya konvensi internasional khusus yang mengacu p ada “ the Inter A merican Convention on Int ernational Traffic in M inors”. • Ratifikasi terhadap instrumen peradilan remaja. p. Perlu dilanjutkan pengembangan UN Crime and Just ice Information N etwork (UNCJIN) yang berkaitan dengan UN On -Line Crime and Justice Clearing House (UNOJUST) dalam rangka meningkatkan pelaksanaan sistem p eradilan pid ana yan g efektif. q. Negara-negara perlu mendu kung 15 resolusi sebagai berikut: • Peranan hukum pidana dalam perlindungan lingkungan hidup. • Tindakan untuk mengatur senjata api. • Deklarasi tentang pembentukan kelompok ahli di bidang korban kejahatan. • P em b in aa n p ar a p ela ku . 188
• • •
• • • • • • • •
Administrasi peradilan remaja. T in d a k a n u n t u k m e la w a n k o r u p s i, s eb a g a im a n a t el ah diadopsinya The International Code of Conduct for Public Officials. Kerjasama teknik dan layanan antar regional. Dalam hal ini diperlukan kontribusi terhadap UN Crime Prevention and Criminal Justice Fund . Eliminasi terhadap kekerasan terhadap wanita. Ke k er a s an i n t er n a s io n a l d a n b a n t u a n m a n a je m e n s is t em peradilan p idana. Tindakan pencegahan terhadap perdagangan gelap anak. Kejahatan dan keamanan publik. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Manajemen strategis dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Pid an a m ati. Im p lem en ta si d ar i The Naples Political Declaration and Global A ction Plan A gainst Organized Transnational Crime. n
189
B e b e r a p a Ca t a t a n T e n t a n g H u k u m Pi d a n a I n t e r n a s i o n a l Dampak m odernisasi dan globalisasi yang m elanda du nia karena kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informatika, tidak hanya membawa m anfaat dalam kehidupan umat m anusia tetapi juga menimbu lkan mu darat yan g tidak sederhana. Sebagian ini diakibatkan oleh ulah manusia yang seringkali memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memu dahkan perilaku jahat yang tidak d ikend alikan oleh akal dan hati nurani. Sebaliknya, tidak jarang orang justru menggun akan alat-alat teknologi modern untu k m elakukan kejahatan yang bahkan kerap disertai dengan kekerasan yang bertentangan dengan p eradaban um at manu sia. Contohnya adalah kejahatan perang, agresi, kejahatan terhad ap keman usiaan, genosida, pembajakan ud ara, da n lain-lain. Bahkan di an tara kejahatan-kejahatan tersebut tidak jarang pu la mengandu ng karakteristik sebagai kekerasan yang didu kung negara (state-sponsored violence). Hukum pidana internasional yang membahas kejahatan internasional dan kejahatan transn asional semakin penting u ntuk dibahas secara akadem is. Problem jenis kejahatan seperti ini bahkan cend erun g tumbuh sebagai disiplin hukum tersendiri mengingat eskalasi pen ingkatanny a baik dari segi jum lah, intensitas mau pu n ancaman yang ditimbulkannya terhadap perdam aian dun ia serta keselamatan individu seluruh du nia, cenderu ng m eningkat. Bahaya ini bisa berasal dari negaranegara, perseorangan, atau d ari kelomp ok dengan alasan dan m otifnya yang bervariasi, seperti motif politik, ekonomi, etnis dan sebagainya. Tuntutan yang semakin meningkat un tuk m engadakan kod ifikasi kejahatan -kejahatan interna sional tersebut disertai den gan kebutu han untuk mengadakan kerjasama internasional dalam aspek prosedural 190
sebagai sarana penegakan hukum. Melalui kerjasama tersebut diharapkan dap at diciptakan mekanisme internasional dan yurisdiksi pidana internasional untu k d iterapkan (langsung atau tidak langsung) terhadap kejahatan-kejahatan di atas guna melindungi hak-hak fundamental (baik individual maupun kolektif) terhadap segala bentuk an caman dan pelanggaran d ari segala sum ber kejahatan, baik pu blik mau pu n p rivat. Belum lagi harus menghad api corak kejahatan lain yang ‘direstui n egara’ atau state sponsored violations. Berkembangnya pelbagai bentuk kejahatan internasional dan transnasional (misalnya kejahatan kom pu ter dan cybercrimes, kejaha tan finansial dan ekonomi, kejahatan lingkungan dan terorisme) harus diimbangi pula dengan perkembangan sistem pengaturan dan pengendalian. Mengingat dimensi bahayanya, saat ini hukum pidana internasional dengan kom ponen H AM-nya m erupakan disiplin yang cukup banyak menarik perhatian sejumlah kalangan, baik pakar, pengajar hukum, pemerintah, organisasi serta lembaga-lembaga baik internasional maupun regional. Orang-orang tersebut terus mendiskusikan teori, doktrin, kerangka, kebijakan untuk melakukan kriminalisasi, teknik dan persyaratan formal kodifikasi, dan aspekaspek prosedu ral dalam penegakan huku m. Hal ini dimaksudkan u ntuk menghindari p elbagai pendap at yang bersifat adhoc yang seringkali menimbulkan inkonsistensi, ketidakpastian, sulit diprediksi, dan pertentangan dalam menggunakan konsep hukum dan terminologi serta drafting dalam merumuskan konvensi internasional. Dengan demikian pembicaraan tentang hukum pidana internasional ham pir pasti akan menyentuh tiga substansi pokok yaitu: (1) kejahatan; (2) prosed ur h uku m; dan (3) penegakan h uku m p idana interna sional itu send iri. Sepan jang m engena i “kejahatan”, atas dasar perkembangan konvensi internasional dan hukum kebiasaan internasional serta paling tidak satu dari 10 karakteristik, dapat d i i d e n t i f ik a s i k a n 2 2 k e ja h a t a n i n t e r n a s i o n a l d a n k e ja h a t a n transnasional. Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi; agresi, kejahatan perang, p enggun aan senjata ilegal, kejahatan terhad ap kemanu siaan, genosida, diskriminasi ras dan aparth eid, perbudakan dan kejahatankejahatan sejenis, pen yiksaan, eksperimen tasi tida k sah atas man usia, perompakan, pembajakan, ancaman dan penggunaan kekerasan terhadap orang-orang yang secara internasional dilindungi, menjadikan warga sipil sebagai sandera, kejahatan obat bius 191
penghancuran atau pencurian atas hazanah warisan nasional, pencurian benda-benda nuklir, penggunaan email secara tidak sah, intervensi terhadap kawat bawah laut, pemalsuan, penipuan dan penyuapan pegawai publik asing. Asas-asas umum dan opini para juri juga merupakan sumber, tetapi harus dirumuskan dalam konvensi internasional. Yang jelas basis d oktrinal un tuk mengelompokkan kejahatan d alam kategori kejahatan inter nasional lebih bersifat emp iris d an atas dasar kon vensi atau k ebiasaan internasional. Dalam hal ini paling tidak terdap at tiga persyaratan, yaitu harus berisi baik elemen internasional atau transnasional, atau sebagian dari keduanya, dan disertai dengan e l e m e n k e b u t u h a n (necessity) untuk mengkategorikan sebagai kejahatan internasional. Jadi meru pakan perp adu an antara kejahatan t e r h a d a p m a s y a r a k a t i n t e r n a s i o n a l ( delicto jus gentium ) d a n pengaruhnya menjangkau kepentingan lebih dari satu negara. Elemen internasional terdiri atas ancaman baik langsung mau pu n tidak langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; dan menim bulkan perasaan tergu mcang terhadap n ilai-nilai kemanu siaan. Sedan gkan elemen tran snasional, mengan du ng ciri-ciri; menim bulkan pengaruh bagi lebih dari satu negara; menimbulkan pengaruh terhadap warga n egara lebih dari satu n egara; dan memiliki metode yang melampaui batas-batas bangsa atau negara. Merujuk pada konvensi PBB tentang “Kejahatan Transnasional Terorganisasi” di Palermo, tahun 2000, kejahatan transnasional mencakup empat karakteristik sebagai beriku t; 1) dilakuk an d i lebih dari satu n egara; 2) dilakukan d i satu negara tetapi bagian substansial dari persiapan , perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain; 3) dilakukan di sebuah negara tetapi melibatkan organisasi kejahatan yang terlibat dalam tindak kejahatan di lebih dari satu negara; atau 3) dilakukan di satu negara tetapi menimbulkan efek sub stansial bagi negar a-negara lain. Selebihnya, elemen necessity lebih berkaitan d engan kebutuhan untu k kerjasama antar negara. Sehubungan dengan konvensi internasional dapat dikatakan bahw a kejahatan internasional adalah tindakan yang d ianggap sebagai kejahatan d alam konvensi-konvensi mu ltilateral yang d iakui negaranegara dalam jumlah yang signifikan, asalkan instrumennya mencakup satu dari sepuluh karakteristik pidana sebagaimana digambarkan di bawah ini; 192
1)
pengakuan secara eksplisit bahwa p erbuatan terlarang tersebut merupakan kejahatan internasional, atau kejahatan di bawah huku m internasional atau suatu kejahatan; 2) pengakuan implisit tentang hakekat perbuatan d engan m elakukan larangan, pencegahan, penuntutan, pem idanaan atau sebangsanya; 3) melakukan kriminalisasi perbuatan yang dilarang tersebut; 4) kewajiban dan hak untuk menuntut; 5) kewajiban dan hak untuk memidana; 6) kewajiban dan hak untuk mengekstradisi; 7) kewajiban dan hak untuk bekerjasama di dalam penuntutan, pemidanaan (termasuk bantuan yudisial di dalam proses peradilan pidana); 8) pengaturan tentang landasan yurisdiksi pidana, baik teoritis maupu n praktis; 9) r e ko m e n d a si u n t u k m e m b en t u k se b u a h p e n g a d il an p i d a n a internasional atau m ahkam ah internasional dengan karakteristik khusus; 10) eliminasi pembelaan diri atas perintah atasan. Dalam kaitannya dengan aspek prosedural dari hukum pidana internasional, terkait di sini tidak hanya yang diterapkan terhadap kejahatan internasional dan kejahatan transnasional, tetapi juga kejahatan nasional mu rni dengan syarat bahwa di dalam p enuntu tan dan penegakan hukumnya diperlukan kerjasama internasional sebagaimana yang berlaku bagi kedu a yang lain. Dalam hal ini dikenal istilah ‘indirect enforcement methods’ yang menunjuk pada bahwa penegakan hu kum terhad ap kejahatan internasional harus berdasarkan konvensi dan dipercayakan kepada negara-negara pendukung konvensi tersebut untuk melakukan kriminalisasi penuntutan, pemidanaan, ekstradisi dan menyediakan bantuan yudisial dan kerjasama dengan negara pihak yang lain untuk menuntut atau memidana si pelaku. Maka yang harus ditegaskan tidak hanya memidana (Hugo grotius, aut dadere aut punire) sebagai salah satu konseku ensi saja, tetapi juga cara-cara yu ridis yang haru s dilalui atas dasar asas prad uga tidak bersalah (aut dadere aut judicare) mencakup yurisdiksi dan p engecualiannya, bantuan yu disial, pengakuan terhadap keputusan hakim negara lain, transfer dokumen proses pengadilan, transfer terpidan a, memperoleh bukti d ari negara lain, dan ekstradisi. 193
Selanjutnya, sepanjang m enyangkut p enegakan huku m, ia harus merujuk pada apa yang dinamakan ‘ direct enforcement model’. Apabila yang disebut terakhir ini (direct enforcement model) bersifat ganda (dual nature) karena kaitannya dengan kejahatan nasional (melalui r a t i f i k a s i ) , m a k a ‘indirect enforcement’ secara eksplisit hanya diterap kan terhad ap kejahatan internasional. Sebagai contoh ad alah pengad ilan p asca Perang Dunia I dan pengad ilan p asca Perang Dunia II yang terjadi d i Nur emberg d an Tokyo, yang semuanya bersifat adhoc. Dapat disebutkan p ula di sini Mahkamah Internasional untu k Rwanda dan negara-negara bekas Yugoslavia. Bahkan saat ini masyarakat internasional telah berhasil merumuskan Statuta Roma 1998 tentang ‘ International Criminal Court’ yang memp unyai yurisdiksi un tuk m engad ili kasus-kasus kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi serta gangguan terhadap pengadilan yang kemungkinan terjadi. Dapat pula dicatat di sini bahwa saat ini berkembang pula pelbagai norma yang diarahkan untu k m elindungi H AM individu al di dalam konteks proses peradilan pidana. Hal ini dapat berupa konvensi, standar aturan minimum, kode etik, resolusi, dan sebagainya. Dari uraian d i atas nampak bahwa huku m pidana internasional pada dasarnya merupakan perpaduan ( convergence) antara d ua disiplin hukum yang berbeda yang pada akhirnya harus mengembangkan sikap saling mengisi (complementary ). Dua disiplin hukum tersebut terdiri dari aspek hukum pidana dari hukum internasional seperti kriminalisasi pelbagai kejahatan internasional atau transnasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional. n
194
Tindak Pidana Perlindungan Terhadap Konsum en S e b a g a i M a l a P e r Se Pembangunan nasional yang semakin meningkat tidak selalu membawa kebahagiaan. Tanpa disertai dengan peningkatan pembangunan kualitas sumber daya manusia maka pembangunan just ru ak an m em u ncu lkan h as il sa m p in ga n (by-product) b e r u p a kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya. Sebagai contoh adalah tindak pidana perlindu ngan terhadap konsum en. Tindak p idana perlindu ngan terhadap konsumen yang d ilakukan oleh pelaku usah a, baik yang bersifat individu al maup un kolektif dalam bentuk kejahatan korporasi (corporate crime) jelas merupakan “tindak pidan a ekonomi” — un tuk m engganti istilah “kejahatan kerah putih” yang sering berkonotasi p olitik (political overtones) sebagaimana pad a saat dicetuskan oleh Edw in H. Suth erland p ada ta hu n 1939. Yang jelas hal ini terkait dengan status si pelaku yang “terhormat” d an karakter okupasional dari tind ak pidana (the occupational charter of the offence). Kejahatan ekonomi meru pakan kejahatan yang d ilakukan “tan pa kekerasan” (nonviolent), d i s e r t a i d e n g a n k e c u r a n g a n (deceit), penyesatan (misprecentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipu lasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akalakalan (subterfuge) atau pengelakan terhadap peraturan (illegal circumvention) (Muladi, 1977). Di balik itu semua, apa yang terjadi sebenarnya merupakan praktek bisnis yang tidak jujur . Dalam hal perlindu ngan konsumen, sebenarnya istilah “non violence” terlalu kabur, kalau tidak disebut menyesatkan, mengingat dalam prakteknya konsum en seringkali terancam bah aya jiwa dan badann ya karena produ k-produk tertentu yang tidak d ijamin segi keamanannya, misalnya produk makanan yang beracun. 195
Hukum Perlindun gan Konsumen memang merup akan peraturan yang relatif baru, tetapi tidak berarti bahwa tindak p idana p elaku usaha yang dikategorikan sebagai kejahatan korporasi ini meru pakan “mala prohibta” (menjadi tindak p idana karena d ilarang un dang-und ang). Tindak p idana lingkun gan tetap jelas meru pakan “mal per se” (crimes against conscience) yang sepenuhnya tak bisa dibenarkan, karena hakekat perlindungan konsumen ad alah p erlindungan konsumen terhadap praktek bisnis yang mengand un g sifat penyalahgun aan, tidak jujur dan m emperd ayakan. Hal ini didasarkan atas asas bahwa transaksi penjualan haru s didasarkan pad a prinsip “caveat emptor” yang artinya: biarkan pembeli sadar! . Tuntutan pidan a, sanksi adm inistratif dan gugatan perd ata dilandasi oleh p elbagai konsep dan teori hukum, seperti konsep “corporate liability”, “breach of warranty”, “negligence” dan “strict liability”. (Cheesem an, 2000). Kriminalisasi tindak pidana perlindungan terhadap konsumen memiliki cukup alasan karena d i samping sifatnya sebagai mala per se, juga karena viktimisasinya yang cukup besar, dukungan publik yang ku at, tidak bersifat ad hoc, tetapi terpad u dengan hu kum p erdata dan hukum administrasi serta etika bisnis. Yang harus dituntut sekarang ad alah bukti sekaligus juga m erup akan syarat kriminalisasi yang lain adalah law enforcement. Salah satu Pasal yang menarik un tuk d iberi perhatian ad alah Pasal 19 ayat (4) yang menegaskan bahwa: “pemberian ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat m e n g k o n s u m s i b a r a n g d a n a t a u j a sa y a n g d i h a s il k a n a t a u diperdagangkan, tidak menghap uskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian kesalahan”. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum administrasi tidak menjadikan “ne bis in idem” proses peradilan pidana. Dengan demikian sifat “primum remedium” hu kum pidana mu lai kelihatan. Bahkan sistem pembu ktian kesalahan dilakukan secara terbalik (reverse burden of proof). Hal menarik lainnya adalah kecenderungan penerapan “strict liability” d a l a m p e r u m u s a n d e l i k , s e h i n g g a u n s u r k e s a l a h a n (kesengajaan atau kealpaan) tidak tercantum dalam rumusan delik. Demikian pu la unsu r sifat melawan h uku m. Pasal 63 sebenarnya berisi tindakan tata tertib yang juga terkait dengan “corporate penalty” dalam kerangka “corporate criminal liability”. Contohnya adalah pencabutan ijin usaha, perintah penghentian kegiatan tertentu yang merugikan konsumen, dan p enarikan barang dari peredaran. 196
Kejahatan korp orasi, seperti tindak p idana terhad ap p erlind un gan konsum en, terjadi akibat adanya kontradiksi antara tujuan korporasi yang menyimpang — berupa prioritas yang berlebihan pada keuntungan melalui pertumbuhan dan pengendalian pasar ditopang oleh karakteristik ind ividual yang bersifat serakah — dengan kebutuhan konsum en. Di pelbagai negara kejahatan korp orasi terhad ap konsu men antara lain bisa berupa produk-produk yang mengandung bahaya, penetapan h arga, iklan yang m enyesatkan konsum en, dan sebagainya (Box, 1983). Menging at tind ak pid ana tersebu t biasanya d ilakukan o leh orang-orang yang cukup pandai, maka pengungkapan kejahatankejahatan yang terkait menjadi tidak mudah. Jenis kejahatan seperti ini biasanya mem iliki karakteristik sebagai berikut: a. Kejahatan tersebut sulit diamati, karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem organ isasi yang kom pleks; b. Kejahatan tersebut sangat kompleks karena selalu berkaitan dengan kebohongan, kecurangan, penipuan dan seringkali juga berkaitan d engan sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, melibatkan ban yak orang , serta berjalan sud ah lama; c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab ( diffusion of responsibility ) yang sem akin luas akibat kom pleksitas organisasi; d . Penyebaran korban (dalam hal ini konsumen) yang luas dan secara individual seringkali tidak menyadari atau masa bodoh bahwa dirinya merupakan korban tindak pidana ( unware crime victim ); e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang an tara penegak hu kum dan pelaku tindak pidana. Seringkali penegakan hukum ini juga menjadi mahal; f. Peraturan yang tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan dalam penegakan hukum ; g. Ambiguitas status pelaku tindak pidana. Dalam tindak pidana ekonomi para p elaku seringkali merasa bahwa p erbuatannya secara moral tidak salah (malaprohibita), karena telah melanggar peratur an yang dibuat negara untu k melindu ngi ketertiban kehidupan modern (Weston, 1987); mereka merasa telah men jalankan pr insip ekonom i dan negara sebenarnya telah terlalu banyak melakukan campur tang an d alam p asar beba s (Silk and Vogel, 1986). 197
Kejahatan ekonom i, baik yang b ersifat pr ibadi ( occupational crime) mau pu n yang bersifat korporatif, tidak semata-mata han ya berkaitan dengan hu kum (hukum p idana, perdata dan h ukum administratif), tetapi juga bersentuh an d engan etika bisnis. Secara ideal, di d alam masyarak at modern , lembaga dan kegiatan bisnis selalu diharap kan un tuk m enjadi: tempat yan g menyenan gkan bagi investasi; enak un tuk bekerja; ditopang oleh etika yang luhu r; baik un tuk m embeli mau pu n menjual; memperhatikan kepentingan publik; pembayar pajak; dan sebagainya (Blomstrom, 1995). Khusus mengenai tindak pidana perlindungan konsumen, pertama kali yang menanggun g langsung kerugian adalah konsumen, t e r m a s u k p e r u s a h a a n s a i n g a n (competitors ) yang menjalankan usah anya d engan jujur. Tetapi lebih dari itu, sebenarnya terjadi p ula proses kerugian secara tidak langsu ng ( indirect victimization ) berup a: a. Kerugian negara dalam bentuk waktu dan biaya-biaya penegakan hu kum ekonomi (termasu k kejahatan korp orasi) yang lebih lama dan lebih mahal dibandingkan d engan penegakan hu kum tindak pidana konvensional, mengingat kompleksitasnya baik dalam penyelidikan, penyidikan penuntu tan mau pun persidangan di pengadilan; b. Kerugian sosial (social damage) dalam kehidupan bisnis yang menopang perekonomian negara, dalam bentuk efek merusak terhad ap stand ar m oral bisnis (Box, 1983). Menjalankan bisnis, bekerja, meningkatkan standar hidup termasuk di dalamnya penggunaan dan peningkatan penggunaan teknologi canggih merupakan hak asasi manusia setiap orang di bidang ekonomi dan sosial. Namun demikian, pada saat yang sama pelaksanaan HAM harus pula mempertimbangkan atau tidak boleh bertentangan d engan hak-hak orang lain, seperti ketertiban u mu m, rasa aman, moral, dan sebagainya. Untuk itu sangat tepat apabila dalam UU No.8 Tahun 1999 diatur secara terperinci hak-hak dan kewajiban serta tanggun gjawab baik berkaitan dengan p elaku usaha maupun konsumen. Bersama-sama dengan sistem pembinaan dan pengaw asan, ketentuan pencantu man klausu l baku, keberad aan Badan Perlind un gan Konsumen N asional, Lembaga Perlind un gan Konsumen Swadaya Masyarakat, Badan penyelesaian Konsumen dan adanya ancaman pidana, semuanya menggambarkan kebijakan kriminal 198
(criminal policy ) yang komprehensif baik yang bersifat preventif maupun represif, bahkan rehabilitatif melalui proses alternatif penyelesaian sengketa atau gugatan perdata. Dengan ad anya PERMA tentang Class Action tahun 2002 baru-baru ini, maka ketentuan ini dap at diman faatkan masyarakat atas d asar Pasal 46 ayat (1) huru f b, UU N o. 8 Tahu n 1999. Di masa depan kita harus lebih waspada karena era globalisasi yang ditu njang alat komun ikasi, transp ortasi dan informatika mod ern, pasti akan dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang jahat untuk meman ipulasi bud aya konsum erisme den gan cara-cara yang melawan hukum. Globalisasi tidak hanya akan mempermudah dan menyejahterakan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang bersamaan, terutama bagi sebagian besar masyarakat yang belum siap, globalisasi juga akan mendatangkan banyak kemudaratan. Dengan demikian globalisasi harus diartikan dalam konteks menciptakan keamanan bersama (Habibie, 2002). Akhirnya perlu diingatkan bahwa efektivitas perundangund angan tidak hanya tergantung pad a kualitas perundang-undangan positif yang ad a, tetapi juga tergantu ng pu la pada sarana-prasar ana pendukung, partisipasi masyarakat, kualitas penegak hukum (termasu k PPNS sebagaimana d iatur d alam Pasal 9 UU No.8 tahun 1999) baik moral, mental maupun intelektualitas, kualitas kepemimpinan, kehendak politik penguasa, dan kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat. Yang terakhir ini penting menjadi perhatian semua pihak, terutama para elite, bahwa dalam kondisi ekonomi yang buruk orang mudah tergoda untuk melakukan tindakan-tindakan melawan huku m. Ini sud ah m enyerupai “huku m besi” masyarakat yang terjadi di manapun. n
199
K e b i j a k a n K r i m i n a l T e r h a d ap C y b e r c r i m e Persoalan “ cyberlaw/internet/cyberspace law” dalam d ekade terakhir menjadi semakin marak dibicarakan banyak kalangan. Sebagai gambaran, dalam “ A nn ual Meeting Am erican Busin ess Law Association” tahun 2000, hampir separu h kertas kerja yang d ikemu kakan m embahas atau sekurangnya berkaitan d engan m asalah cyberlaw. Padahal sebelumnya yang m engemukakan banyak berkaitan d engan p ersoalan employment law . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cyberlaw telah menjadi medan hukum yang hangat belakangan ini. Hal ini dimungkinkan mengingat dampak dari perkembangan komputer/ internet sebagai basis dari “cyberspace” dan “cyberlaw ” menjangkau hampir semua segi kehidupan, seperti di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Sebenar nya berbicara tentan g kebijakan kr iminal sebagai “ science of response” bukanlah p erkara yang sederhana sebab akan mencakup disiplin yang luas. Hal ini disebabkan oleh luasnya kau sa dan motif berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini (cybercrime/computer crime/computer misuse/computer abuse/computer related crime). Karena itu cybercrime bukan melulu persoalan yuridis belaka, sebab di dalamnya terkait unsur-unsur seperti, kultur tidak bertanggungjawab si pelaku, kecongkakan intelektual si pelaku, “ anomie of success”, sikap tertutup si korban, di samping lemahnya huku m d an pengawasan. Dengan demikian akan nampak nan ti bahwa hu kum , khusu snya huku m pidan a, hanya merup akan salah satu saja sarana kebijakan kriminal. Yang akan tampak dalam kebijakan kriminal adalah penonjolan dari kepentingan hukum yang harus dilindungi – dalam arti kepentingan hukum yang sah (legitimate 200
interests) — baik dari negara, masyarakat maupun kepentingan pribadi, khususnya dalam kaitannya dengan kerahasiaan, integritas dan ketersediaan baik berupa sistem komputer, sistem jaringan, maup un d ata komputer sendiri. Berbicara tentang kebijakan kriminal (criminal policy ) yang mencakup p endekatan p enal melalui sistem peradilan pidana, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggu ngjawaban p idana, dan sanksi yang dapat d ijatuhk an, baik b e r u p a p i d a n a ( pu n is hm en t ) m a u p u n t i n d a k a n (treatment ) . Kriminalisasi tentu harus dilakukan secara ekstra hati-hati, jangan sampai justru menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultim um remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bum erang dalam kehidu pan sosial, yaitu berup a krimininalisasi yang berlebihan yang just ru m en gu ran gi w ib aw a h u ku m . Krim in alis as i d alam hu ku m pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. Kriminalisasi harus memenuhi pelbagai syarat, antara lain bahw a p erbuatan tersebut benar-benar menamp akkan korban (victimizing) baik aktual mau pu n p otensial, konsistensi penerapan asas ultimum remedium , d u k u n g a n p u b l i k y a n g k u a t , b e r s i f a t komprehensif, dan tidak bersifat ad hoc. Di era demokratisasi seperti saat ini, meru mu skan peratu ran hu kum harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi persoalan. Semu a aspirasi (sup rastruktu r, infrastruktur , kepakaran d an aspirasi internasional) dan pelbagai kepentingan harus diselaraskan dan diserasikan. Persoalan komunikasi massa menempati posisi yang strategis dalam kehidu pan d emokrasi, dan ini akan bersentuhan secara langsung tidak hanya d engan persoalan supremasi huku m yang bersifat “ top down ” — misalnya un tuk kepentingan keamanan negara, persatuan dan kesatuan nasional – tetapi juga sebaliknya, “ bottom up ”, sebab orang cenderung akan melemparkan banyak pertanyaan kritis dan tidak begitu saja menerima suatu produk hukum. Di sini orang akan mempersoalkan hak-hak warga seperti kebebasan berekspresi, kebebasan media, dan masalah-masalah HAM yang lain: persoalan privasi, hak untuk memperoleh informasi, dan sebagainya yang saat ini sangat diperhatikan dalam legislasi positif nasional. Di sinilah relevansi persoalan hak dan kewajiban manjadi penting. 201
Orang masih mencoba menggunakan “soft law ” dalam bentuk “code of conduct ” atau “code od ethics” sep erti misalnya di Jepang (199 (1996) 6) dan di Singapura Singapura dalam bentuk “Internet Code of Conduct ”. Bisa juga dalam bentuk hukum administratif yang bersifat “ semi hard law ” berupa “code of practice” seperti yang diru mu skan oleh oleh the Australian 1999 19 99. . S aran a terakh ir adalah k rimin alisai Int ernet Indust ry A ssociatio ssociation, n, berupa penerapan “hard law ” seperti di Singapura dalam bentuk Computer Misuse Act (CMA), 1993 dan di Malaysia dalam bentuk Computer Crimes Act , 1997. Code of conduct, code of ethics d an code of practice sudah masuk wilayah kebijakan kriminal yang kedua yakni penggunaan sarana non penal (prevention without punishment) , d i samp ing langkah-langkah langkah-langkah yeng bernu ansa teknologis teknologis yang komp leks (techno-prevention ) . M e n g i n g a t s if i f a t k e ja ja h a t a n t e l e k o m u n i k a s i/ i/ i n t e r n e t y a n g cenderung bersifat lintas negara maka langkah kebijakan kriminal, baik yang bersifat bersifat penal maup un non-penal, memerlukan kerjasama kerjasama internasional; apakah beru pa “ mutual assistance”, ekstradisi, ekstradisi, mau pu n bentuk-bentuk kerjasama lainnya. Karena itu dibutuhkan langkahlangkah harmonisasi hukum antar bangsa sebagai bagian dari kerjasama kerjasama internasional d alam kaitannya “double “double criminality crimin ality principle”. Hukum yang mengatur komunikasi massa mencakup area yang luas, mulai dari media cetak, media penyiaran maupun media telekomunikasi telekomunikasi// internet. internet. Uraian Uraian di bawah ini akan difokuskan difokuskan p ada kebijakan kriminal yang berkaitan dengan jenis kejahatan yang berbasis berbasis pad a med ia terakhir terakhir tersebut ( cyber media). P e n g a t u r a n k o m u n i k a s i m a s s a t e r m a s u k “cyberlaw ” d a n “ cybercrime” sangat penting, karena baik korban aktual maupun korban p otensialnya otensialnya sangat luas. Demikian Demikian pu la jangkau jangkau anny a, sangat luas dan heterogen dengan kualitas dan persepsi yang berbeda. Substansinya pun beragam, meliputi segala aspek kehidupan baik yang bersifat bersifat positif maup un negatif. Ia juga juga bersifat bersifat lintas negara. Penyebarannya cepat dan berlipat ganda, dan informasi muatannya ada yang masih berupa konsep, isu, data, fakta gagasan yang bisa bersifat obyektif da n bisa p ula bersifat subyektif. Ada yan g bersifat mengajak dan tidak jarang bersifat provokatif. Kepentingan yang terkait bisa kepentingan negara, kepentingan umum, dan bisa pula kepentingan kelompok atau bahkan pribadi.
202
Beberapa M odel Regulasi Pengaturan tentang cybercrime pada hakekatnya merupakan pengaturan aspek hukum pidana dari cyberlaw . Boleh dikatakan bahwa sampai saat ini tidak ada definisi yang seragam tentang cybercrime, baik nasional maupun global. Sekalipun demikian, kita bisa mengidentifikasi beberapa karakteristik tertentu dan merum uskan suatu definisi definisi.. Cybercrime merupakan su atu istil istilah ah u mum yang pengertiannya pengertiannya m encakup encakup pelbagai pelbagai tindak tindak pidana yang dapat diketemukan dalam KUHP atau perundang-undangan pidana lain yang menggunakan teknologi komputer sebagai suatu komponen sentral. Dengan demikian cybercrime bisa berupa: tindakan sengaja meru sak prop erti, masu k tanp a ijin, ijin, pencurian hak milik milik intelektual, intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencur ian, dan beberapa beberapa tindak tindak pidana lainnya. lainnya. Cybercrime pada hakekatnya merupakan “sisi negatif” dari teknologi komp uter, dalam arti bahwa ternyata ia juga juga rentan terh adap perilaku kriminal. Sebagai contoh adalah praktek-praktek implantasi virus yang mencederai komputer di seluruh dunia. Beberapa virus hany a bersifat bersifat menggan ggu, tetapi jenis jenis viru viru s lain lain d apat m enimbu lkan kerusakan yang sangat signifikan signifikan terhadap d ata, program dan hardware. Bank-bank dan pelbagai lembaga keuangan telah kehilangan uang dalam jumlah besar; ada yang melaporkan perbuatan tersebut tersebut tetapi ada pula yang merahasiakannya dengan alasan reputasi. Beberapa kejadian kejadian d i negara maju, maju, data tentang keam anan n asional dan rahasia dagang p erusahaan secara secara melawan hu kum telah telah didownload oleh oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab dan dijual kepada dinas intelijen asing. Yang sangat dirugikan juga para pemilik hak atas kekayaan intelektual intelektual yang k aryanya d iakses tanpa mem bayar royalti. Belum lagi pelbagai tindak pidana lain, yang melalui pelbagai sarana teknologi canggih para pelakunya dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan melakukannya dari negara-negara negara-negara yang belum m emiliki emiliki huku m yang mengatur “cyberlaw” atau “cybercrime”. Istil Istilah ah yan g d igunakan un tuk m elukiskan elukiskan jenis jenis “kejahatan “kejahatan m aya” ini bermacam-m bermacam-m acam. Singapu ra dalam UU-nya m enggu nakan istilah “ computer misuse”, sedangkan Malaysia dalam UU-nya secara tegas menggu nakan istilah istilah “ computer crimes”. Persoalan Persoalan juga juga tim bul apa kah kedua istil istilah ah tersebut diarahkan kepad a kejahatan kejahatan terhadap kompu ter (crimes directed at computers), kejahatan yang mendayagunakan 203
komputer (crimes utilizing computers), atau semata-mata kejahatan y a n g b e r k a i t a n d e n g a n k o m p u t e r (crimes related to computers) . Semuanya terbukti selalu memberikan gambaran yang tidak pas. Tetapi, istilah apapun yang dipakai, pelbagai pihak telah berusaha membu at d efinis efinisii kerjanya kerjanya sendiri. The The OECD misalnya m erumu skan bahwa: “Computer abuse (use in the same fashion as ‘computer related crimes’) is considered as any illegal, unethical or unauthorized behaviour relating to the automatic processing and the transmission of data”. Di Amerika Amerika Serika Serikatt terdapat pelbagai peru nd ang-und angan yang mengatur “cybercrime” d alam kaitannya dengan internet, internet, seperti seperti : 1. A cce ccess Device Device Fraud raud A ct of of 1984 1984 (18 US C Sectio Section n 1029); 2. Comput Comput er Fra Fraud ud and and A buse A ct of of 1986 1986 (18 (18 USC Section Section 1030); 1030); 3. W ire Fraud raud Statute of of 1952 1952 (18 (18 USC Sectio Section n 1343); 1343); 4. Criminal Infringement Infringement of a Copyright Copyright (the Copyright Copyright A ct of of 1976) 1976) (18 USC Section 506 (a)); 5. Coun Coun terfe terfeit Trademark Trademarkss (the Trade Trademark mark Co Coun terfe terfeit A ct of of 1984) 1984) (USC Section 2320); 6. Mail Mail Fra Fraud ud (18 USC Sectio Section n 1341); 1341); 7. Conspir Conspira acy to Defra Defraud ud the US Government Government (18 USC 371); 371); 8. False Statements Statements (18 (18 USC Sectio Section n 1001); 1001); 9. Identity Identity Theft Theft and Assumption Deterre Deterrence nce A ct of of 1998 1998 (18 USC Sectio Section n 1028); 10. The Racke Racketee teerr Influenced Influenced and and Corrupt Organizatio Organiz ations ns A ct (RICO) (18 USC Section 2511); Di samping itu terdapat perundang-undangan lain, di antaranya sebagai berikut: 1. W ire and Electro Electronic nic Comm Comm un ications ications Intercep Interception tion of of Oral Oral Comm Comm un ications ications (18 U SC Section Section 2511); 2. Unlawful Acce Access to Store Stored d Commu Commu nicatio nications ns (18 USC 2701); 2701); 3. Transportatio Transportation n of Stolen Stolen Goods, Goods, Securitie Securities, s, Moneys (18 USC Section Section 2314); 4. Traffic Trafficking king in Counterfeit Counterfeit Goods Goods and and S ervices rvices (18 USC S ection ction 2320); 5. Extortio Extortion n and Threa Threats (18 USC Sectio Section n 875); 875); Mengenai perjudian melalui internet, ini merupakan persoalan tersendiri. Di satu p ihak Pemerintah Federal bisa menerapkan The Wire A ct, The Travel Travel A ct, The Profe Professio ssional nal and A mateur Sports Protec Protection tion A ct 204
, namun di Int erstate te Transportation of Wag W ageri ering ng Paraphernalia Paraphernalia A ct d an the Intersta lain pihak merupakan kenyataan bahwa pelbagai negara bagian mengaturnya sendiri-sendiri. Bahkan di lingkungan reservasi Indian dikecualikan dari pengaturan negara bagian atau Federal. Jadi persoalan yang timbu l bersifat bersifat yurisdiksional; apalagi kalau si penjud i melakukan perbuatannya melalui desktop dari ru mah yang relatif sulit diketahu i dan bahka n pr ivasinya dilind dilind un gi konstitusi. Lebih Lebih sulit lagi lagi apabila pusat p erjud erjud ian terjadi terjadi d i luar luar y urisd iksi (offshore betting) yang just ru m engijink en gijink an d an m engg en gg alakk ala kk an p erju d ian . Cor ak p erju d ian ini merupakan rival kasino, khususnya yang berkaitan dengan pajak (revenue). Diperkirakan saat ini di AS terdapat 14 juta online gamblers yang p erkiraan erkiraan revenue-nya ku rang lebih lebih 1 milliar milliar d ollar ollar US. Perhatian Perhatian juga juga banyak d itujukan itujukan p ada p ersoalan ersoalan perbu atan cabul adult entertainm entertainm ent and cyberpo cyberporn, rn, khusu snya pornografi (obscenity) dan adult pornografi anak. Dalam Dalam hal ini bisa bisa disebutkan ad anya ketentuan tentang Federal Obscenity Law , berupa “ Transportation Trans portation of Obscene Matt ers for for Sale S ale or Dist ribution” (18 USC Section Section 1465) d an “ Communications Decency Act of 1996”. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menganut sistem terbuka dalam regulasi internet, sehingga sehingga regulasi yang b ersifat ersifat sensor rep resif sangat menonjol. Di Jerman pada tahun 1997 diundangkan “the Information and Communica Commu nications tions S ervices ervices Act ”. ” . Undang-und Undang-und ang ini memungkinkan sensor terhad terhad ap p ropagand a neo-Nazi, neo-Nazi, pornografi dan kekerasan. kekerasan. Convention on Cybercrime dari Council of Europe terbuka untuk ditand atangani mu lai tanggal 23 Novem ber tahu n 2001 2001 di Bud Bud apest. Konvensi ini akan berlaku secara efektif efektif deng an k ond isi 5 ratifi ratifikasi kasi termasuk paling tidak 3 negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang luas, bahkan mengandung kebijakan k r i m in in a l y a n g b e r t u ju j u a n u n t u k m e l in in d u n g i m a s y a r a k a t d a r i “ cybercrime” b a i k m e l a l u i u n d a n g - u n d a n g m a u p u n k e r j a s a m a internasional internasional.. Hal ini ini dilakukan d engan penu h kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi dan globalisasi globalisasi yang berkelanjutan berkelanjutan dari jaringan jaringan komp uter. Jaringan Jaringan komp uter dan informasi elektroni elektronik k menu rut peng alaman dap at juga juga diman faatkan untu k melakukan tind ak pidan a (bersif (bersifat at kriminogin). kriminogin). Melihat Melihat sifat sifat lintas lintas negara d ari jaringan jaringan kom pu ter dan informasi elektronik, maka diperlukan peningkatan yang efektif, cepat, 205
fungsional dan dapat dipercaya dari kerjasama internasional. Tak terkecuali, termasuk kalangan industri harus secara bersama-sama memerangi cybercrime. Dengan Dengan d emikian emikian kepentingan yang sah d alam memanfaatkan dan mengembangkan teknologi informasi dapat terlindungi. Lebih dari itu kerjasama internasional ini dipandang sangat penting penting tidak hanya u ntuk m emerangi cybercrime, tetapi juga un tuk meningkatkan pem ahaman internasional tentang hal tersebut. Pemahaman bersama bersama ini penting penting d an d iperlukan iperlukan untuk merumu skan reaksi bersama ( common responses) terhadap perkembangan teknologi teknologi baru informatika informatika atas dasar stand ar d an n ilai ilai yang sama. Kriminalisasi Kriminalisasi terhad ap p elbagai perbu atan yang m asuk kategori cybercrime dan keberadaan pelbagai institusi yang mempunyai kekuasaan un tuk melakukan p enyelidikan, enyelidikan, investigas investigasii dan penu ntutan (baik (baik domestik maup un internasio internasional) nal) sangat sangat d iperlukan iperlukan dan diyakini dapat merupakan langkah pencegahan dan perlindungan terhadap confidentiality, integrity d a n availability d a r i s i s t e m k o m p u t e r . Pengembangan kerjasama internasional di bidang pidana sangat bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas investigasi dan proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan s i s t e m k o m p u t e r (computer related crime) d a n m e m u n g k i n k a n pengumpulan alat bukti tindak pidana dalam bentuk elektronik. Kriminalisasi atas dasar konvensi antar negara juga relevan untuk mendekatkan satu sama lain pelbagai hukum pidana domestik, sehingga memu dah kan kerjasama kerjasama internasional. internasional. Dalam pengaturan tentang cybercrime hendaknya selalu dijaga keseimbangan keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum d an penghorm atan terhadap HAM yang fund amental sebagaimana sebagaimana diatur dalam p elbagai elbagai instrumen internasional, seperti penegasan hak setiap orang untuk mengemukakan pendapat tanpa tekanan, hak untuk berekspresi, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi, informasi, dan hak-hak yang berkaitan berkaitan d engan pengh ormatan p rivasi. rivasi. Cybercrime, Council Coun cil of Europe ini, sepanjang Dalam Konvensi tentang Cybercrime, berkaitan dengan jenis-jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam hukum pidana substantif adalah sebagai berikut : 1. Tindak Tindak p idana yang berkaitan berkaitan dengan kerahasiaan, kerahasiaan, integri integritas tas dan keberadaan data dan sistem kompu ter: a. Akses Akses yang yang tidak tidak sah sah (illegal access ); b. Interse Intersepsi psi sec secara tidak tidak sah (illegal interception ); 206
c. G an an g gu gu a n p a d a d at a t a (data interference); d. Gangguan Gangguan pada sis siste tem m (system interference); e. Salah alah penggunaan penggunaan alat alat ( misuse of devices). 2. Tind Tind ak pidana yang berkaitan berkaitan dengan komp uter ( computer-related offences ) : a. Pemalsuan Pemalsuan melal melalui ui komputer (computer-related forgery); b. Penipuan Penipuan melal melalui ui komputer (computer related fraud) ; 3. Tindak Tindak pidana yang berkaitan berkaitan dengan pornografi anak (offences related to child pornography). 4. Tind Tind ak pidana yan g melanggar hak cipta cipta dan hak-hak yang terkait (Offences related to infringements of copyright and related rights ). Dalam Konvensi juga direkomendasikan agar pemidanaan dilakukan dilakukan terhadap tindak pidana yang dilakukan dilakukan dengan sengaja sengaja dan termasuk d i dalamnya dalamnya bentuk-bentuk tindak tindak p idana pembantuan (aiding or abetting ) dan p ercobaan ercobaan (attempt ). ). Khusu s mengenai kerjasama kerjasama internasional, hal ini mencakup an tara lain: perjanjian ekstradisi, “mutual assistance in criminal matters ” , pemberian informasi secara secara spontan, dan pembentu kan jaringan jaringan yang dikelola oleh tenaga-tenaga profesional dalam rangka menjamin terselenggaranya bantuan segera untuk kepentingan investigasi dan peradilan atau untuk kepentingan pengumpulan alat bukti elektronik. Bantuan tersebut meliputi pula pemberian fasilitas atau bantuan lain sepanjang diijinkan diijinkan oleh hu kum nasional masing-masing. Dalam Dalam h al ini diatur p ula tentang pertangungjawaban pertangungjawaban korp orasi (corporate liability) baik dalam hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Ditekankan pula kemungkinan penjatuhan sanksi yang bersifat efektif, proporsional dan dissuasive, termasuk perampasan kemerdekaan. Sedangkan mengenai perbuatan melawan huku m berup a ancaman ancaman atau serangan terhadap sistem informasi, sebuah komisi yang dibentuk oleh Masyarakat Eropa Eropa m enggambarkan beberapa spesifikasi spesifikasi perbuatan sebagai berikut: (u naut horized acc access ess 1. Akses secara secara tidak sah dalam sistem sistem informa informa si (unaut to information systems); 2. Gangguan terhadap sistem sistem (misal (misalnya nya serangan serangan memu tus pelayanan); pelayanan); 3. Memasukkan perangkat perangkat lunak lunak jahat jahat yang merubah atau atau merusak Love Y ou”, data misalnya memasukkan virus seperti virus “I Love “Mellisa” d an “Kournikova”; 207
4. Intersepsi terhadap komunikasi atau pengupingan . Hal ini bisa membahayakan kerahasiaan dan integrita “users” ; 5. Penyajian yang keliru d an atau p emalsuan identitas misalnya. Untuk mengatasi hal-hal seperti di atas, komisi berpendapat bahw a di samping diperlukan nya informasi dan statistik yang akurat tentang fenomena kejahatan komputer, dipertimbangkan betapa pentingnya “rencana aksi” untuk memperkuat jaringan pengaman dan menciptakan suatu pendekatan koordinasi untuk menghadapi cybercrime (The Feira Summit of the European Council, June 2000). Di dalam publikasi yang diterbitkan Komisi yang berjudul “ Creating a Safer Information Society by Improving the Security of In formation Infrastru ctu res and Combating Comput er-related Crim e” dikemukakan betapa pentingnya hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya pendekatan yang seimbang untuk mengatasi “ cybercrime” dengan memperhitungkan pandangan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk lembaga penegak hukum, service providers, operator jaringan, kelompok-kelompok industri dan konsumen, dan sebagainya, khususnya dalam rangka meru mu skan langkah-langkah legislatif dan non-legislatif; 2. Kebijakan keamanan bersama dan penerapan suatu jaringan yang aman untuk pertukaran informasi administratif; 3. Langkah-langkah efektif untuk menghadap i ancaman terhadap authenticity, integrity, confidentiality d an availability sistem dan jarin gan infor masi; 4. Sistem hukum yang mampu melindu ngi sistem informasi dalam bentuk pengaturan yang antara lain mengharuskan agar providers dapat menjamin keamanan dan kerahasiaan pelayanan melalui tindakan teknis dan organisasional yang tepat; 5. P e n t in g n y a k e b er a d a a n , p e n g e m b a n g a n , p e n y e ba r a n d a n penggunaan yang efektif dari teknologi pencegahan serta pendidikan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko yang ditimbulkan oleh kejahatan komputer, meningkatkan promosi keamanan teknologi informasi, pengembangan sarana dan tata cara efektif untuk memerangi kejahatan komputer, dan menggalakkan pengembangan lebih lanjut d ari mekanisme peringatan d ini;
208
6. Pentingnya kebutuhan apa yang dinamakan “approximation of substantive criminal law”. A p p r o x i m a s i t e r s e b u t m e n c a k u p kemungkinkan keberadaan pengaturan hukum pidana nasional yang relatif komprehensif untuk menghadapi segala bentuk serangan terha dap sistem informasi. Kesenjangan d an perbed aan yang signifikan pengaturan hukum pidana di pelbagai negara dapat merintangi perjuangan untuk melawan kejahatan. Pengaturan yang seragam antar negara d engan d efinisi cybercrime yang relatif tepat d apat m enjamin p rinsip dual criminality dalam kerangka mutual assistance dan ekstradisi, mengingat kejahatan terhad ap sistem informasi cend erun g bersifat transnasional. Dalam hal yang terakhir ini perlu pula dipikirkan kemungkinan polisi internasional dan kerjasama yu disial (terorisme berup a p erusakan fasilitas infrastruktu r vital, tidak mu stahil pu la berupa p erusakan sistem informasi yang dapat membahayakan nyawa atau menimbulkan kerugian ekonomi yang besar). Di Singapu ra, terd apat perkem bangan yan g menarik. Atas dasar The Computer Misuse Act 1993, terdapat 4 tipe utama tindak pidana, sebagaimana tersura t d an tersirat p ada Bab (Section) 3 - 7 yang intinya adalah sebagai berikut: 1. “Hacking”, yang mengakibatkan suatu komputer menghasilkan suatu fungsi dengan maksud untuk menjamin akses tanpa hak terhadap suatu program atau data yang disimpan oleh di suatu komputer; 2. “ Unauthorized access” dengan maksud untuk melakukan atau memu dah kan pelaksanaan suatu kejahatan yang berkaitan dengan harta kekayaan, penipuan, ketidakjujuran atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian/ kerusakan jasmaniah; 3. Modifikasi secara sengaja dan tidak sah mu atan/ kandun gan/ isi suatu komp uter (data, program p erangkat lunak komp uter, dan databases deng an cara misalnya, memasu kkan virus ke dalam sistem komputer; 4. M en g g u n ak a n a ta u m e m i n ta s (intercepting) suatu pelayanan komputer tanpa hak; ini semacam mencuri pelayanan komputer atau waktu (theft of a computer service or time) ; 5. Membantu atau mencoba melakukan perbuatan di atas;
209
(Yang dipidana tidak hanya tindak pidana yang dilakukan terhadap komputer dari dalam Singapura, tetapi juga dari luar Singapura dan tindak-tindak pidana yang dilakukan terhadap komp uter d i luar n egeri. Polisi bahkan diijinkan un tuk m enahan tanpa surat perintah terhadap tersangka yang kuat diduga melakukan tindak p idana). Pada tahun 1998 CMA mengalami amandemen, yang melalui pemberatan pidana dan penciptaan tindak pidana baru berusaha untuk memperkuat perlindungan terhadap sistem komputer yang diatur CMA 1993. Tindak pidan a baru tersebut meliputi: 1. Mengganggu atau menggunakan komputer atau secara tidak sah mangungkap access codes atau d engan sarana lain gu na memp eroleh keuntungan atau tujuan yang tidak sah; 2. Membuka/ mengungkap password , kode akses atau dengan cara lain m emperoleh akses terhadap program atau data yang d isimpan di suatu komputer. Dalam hal ini pemikiran sampai pada “ confidentiality law”; 3. T in d a k p i d a n a y a n g m e l an g g a r “ prot ected compu ters” untuk kepentingan pertahanan, keamanan, hubungan internasional, eksistensi dan identitas rahasia tentang sumber informasi dalam rangka penegakan hukum pidana, pengaturan tentang infrastruktur komu nikasi, perbankan d an p elayanan keuangan d an keamanan publik. (Di pelbagai negara di Asia Pacific sudah terdapat pengaturan yang maju tentang E-comm erce Law. Bahkan UNCITRAL: United N ations Comm ission on Intern ational Trade telah mengeluarkan UNCITRAL’s Model Law on Electronic Commerce). Beberapa Bentuk Kebijakan Kriminal Sekalipun pelbagai negara sudah menunjukkan usaha untuk menuntut dan memidana pelaku tindak pidana cybercrime, pelbagai organisasi dan institusi internasional, dalam rangka kerjasama internasional memand ang p erlu juga u ntuk memberikan rekomend asi gun a m engatasi perkembangan baru kejahatan tersebut. The G-8 dalam suatu “Communique” tertanggal 9-10 Desember 1997, dalam rangka “ the M eeting of Just ice and Int erior M inisters of the Eight ”, menyam paikan 10 butir rencana tentang asas-asas dan aksi sebagai berikut:
210
• •
• •
•
•
•
•
•
•
Tidak akan ada tempat perlindungan yang aman bagi mereka yang menyalahgu nakan teknologi informasi; Penyidikan dan penuntutan terhadap high-tech crimes internasional harus dikoordinasikan di antara negara-negara yang menaruh perh atian, tanp a melihat d i mana akibat yang merugikan terjadi; A p a r at p e n eg a k h u k u m h a r u s d ila t ih d a n d i le n g ka p i d a la m menghadapi high-tech crimes; Sistem hukum harus melindu ngi kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem dari perbuatan yang tidak sah dan menjamin bahwa penyalahgunaan yang serius harus dipidana; Sistem hukum harus mengijinkan perlindungan dan akses cepat terhadap data elektronik, yang seringkali kritis bagi suksesnya penyidikan kejahatan; Pen gatu ran “ mutual assistance” harus dap at menjamin pengump ulan dan pertukaran alat bukti tepat pad a waktunya, dalam kasus-kasus yang berkaitan d engan high-tech crime; Akses elektronik lintas batas oleh penegak hukum terhadap keberadaan informasi yang bersifat umum tidak memerlukan pengesahan d ari negara di mana data tersebut berada; Standar forensik untuk mendapatkan dan membuktikan keaslian data elektronik dalam rangka penyidikan tindak pidana dan penuntu tan harus dikembangkan dan digunakan; Untuk kepentingan praktis, sistem informasi dan telekomunikasi harus didesain untuk membantu mencegah dan mendeteksi penyalahgun aan jaringan, dan harus juga memfasilitasi pencarian penjahat dan p engum pu lan alat bukti; Bekerja di lingkungan ini harus berkoordinasi dengan pekerjaan lain di e ra informasi yang relevan u ntuk menghind ari du plikasi kebijakan.
Rencana Aksi yang d irumu skan ad alah sebagai berikut: 1. Penggunaan jaringan p ersonil yang berpengetahuan tinggi untuk menjamin ketepatan waktu, reaksi efektif terhadap kasus-kasus high-tech transnasional dan mendesain point of contact yang siap selama 24 jam ; 2. Mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa personil penegak hukum yang terlatih dan dilengkapi cukup jum lah nya u nt uk menjalankan tu gas mem era ngi high-tech crime dan membantu badan penegak hukum di negara lain; 211
3. Meninjau sistem hukum yang ada untuk m enjamin bahwa telah terjadi kriminalisasi yang memadai terhadap penyalahgunaan sistem telekomunikasi dan komputer serta mempromosikan penyidikan terhadap high-tech crimes; 4. Mempertimbangkan pelbagai isu yang d itimbulkan oleh high-tech crimes sepan jang relevan saa t bernegosiasi tentang p erjanjian mutual assistance; 5. Melanjutkan untu k memeriksa dan mengembangkan solusi yang dapat dilakukan sehubungan dengan pengamanan bukti-bukti s e b el u m m e la k s a n a k an d a n m e m e n u h i p e r m i n t a a n m u t u a l assistance, penyelidikan lintas batas, dan penelusuran data kompu ter di man a lokasi data tidak d iketahui; 6. Mengembangkan prosedur cepat untu k memperoleh lalu lintas data dari seluruh jaringan dan mata rantai komunikasi dan mengkaji jalan untuk secara cepat menyampaikan data tersebut secara internasional; 7. Bekerjasama dengan indu stri untu k menjamin bahwa teknologi baru dap at memfasilitasi usaha u ntuk m emerangi high-tech crimes dengan cara melindu ngi dan m engump ulkan bukti yang berbahaya; 8. Menjamin bahwa dalam kasus-kasus penting dan cocok, menerima dan menanggapi untuk saling membantu, permintaan yang berkaitan d engan high-tech crime melalui sarana kom unikasi yang cepat dan dipercaya, termasuk voice, fax , atau e-mail, dengan konfirmasi tertulis sebagai tind ak lanjut bilamana diperlukan ; 9. Menggalakkan lembaga-lembaga internasional yang d iakui d i bidang telekomu nikasi dan tekn ologi informasi untuk m elanjutkan penyediaan d i lingkungan sektor pu blik d an p rivat, standar bagi teknologi komunikasi dan proses data yang aman dan dapat dipercaya; 10.Mengemban gkan dan m enggu nakan stand ar forensik yang cocok guna mendapatkan dan membuktikan keaslian data elektronik yang digunakan untuk penyidikan dan penuntutan. Hal yang sama dilakukan oleh “ Council of Europe” yang pada tahun 1995 mem berikan rekom end asi sebagai berikut: 1. Penggeledahan dan p enyitaan (Search and Seizure). Dalam hal ini dewan m enekankan bahwa p erbedaan dilakukan antara the search of computer systems d an seizure of stored data d an the interception of 212
2.
3.
4.
5.
6.
7.
data. Huku m acara pidana harus m engijinkan lembaga pemerintah yang berwenang untuk memeriksa dan menyita data tersebut sepanjang dimungkinkan oleh hukum nasional; hak tersebut tund uk pad a ketentuan perlindu ngan yang pantas; Pengawasan teknis (technical surveillance) . Direkomenda sikan bahwa hu kum tentang pengaw asan teknis agar ditinjau kembali dan bahw a hal ini harus memu ngkinkan penyidik untuk mengambil tindakan un tuk mengu mp ulkan lalu lintas data dalam penyidikan kejahatan; Kewajiban untu k bekerjasama d engan lembaga. Penyelenggara pelayanan internet diharuskan untuk memungkinkan penyidik memp eroleh informasi berkenaan dengan identitas users; petu gas sistem komputer yang menyampaikan data jelas-jelas di bawah kontrol mereka; dan jaringan telekomun ikasi haru s menyed iakan peralatan teknologi yang memu ngkinkan mereka un tuk m elakukan intersepsi terhadap komunikasi; Bukti elektronik (Electronic evidence). Prosedur pengumpulan, pengamanan dan presentasi bukti-bukti elektronik diatur dalam hukum acara pidana; Use of encryption . Dewan menekankan kebutuhan untu k membatasi penggunaan secara tidak sah dari bahasa sandi (cryptography) berkaitan d engan penyidikan tindak pidan a; R is e t , s t a t is t i k d a n p e l at i h a n . Le m b a g a p e m e r i n t a h h a r u s menyelenggarakan riset, mengu mp ulkan statistik dan melakukan pelatihan yang tepat; Kerjasama internasional. Dewan m endesak negara-negara untu k ikut dalam persetujuan mengenai bagaimana, kapan dan dalam rangka apa p emeriksaan dan perampasan sistem komp uter asing dilakukan. Kerjasama hendaknya merupakan pertukaran bukti yang cepat apabila dibutu hkan oleh negara lain.
Pada tahu n 1983 OECD telah m engkaji harmonisasi huku m p idana dan pada tahun 1986 mempublikasikan laporan tentang “Computer Related Crime: A nalysis of Legal Policy ” yang mengkaji huk um tentang internet dan merekomendasikan kepada anggota-anggotanya agar mengatu r hal-hal tertentu secara minimal. Pada tahu n 1992 diadop si Guidelines for the Security of Information Systems dalam hukum pidana t e n t a n g “cyberabuses”. Pada tanggal 27 Maret 1997 diterbitkan Guidelines for Cryptography Policy. 213
Kemu dian, dalam manu al tentang p encegahan dan pengend alian kejahatan yang berkaitan dengan komputer, PBB menekankan kebutuhan adanya usaha internasional baik di negara maju maupun negara berkembang. Dalam stud i dikemukakan bahwa ad a du gaan keras bahwa kejahatan komputer telah banyak ditutupi oleh para k o r b a n , k h u s u s n y a k o r p o r a s i- k or p o r a s i t i d a k b e r n i a t u n t u k mengun gkap kerentanan mereka terhadap “cyberhackers”. Tipe-tipe kejahatan komp uter u tama yang terjadi ad alah “ fraud, comput er forgery, damage to or modifications of computer data or programs, unauthorized access to computer systems and service, and unauthorized reproduction of legally protected computer programs”. Prospek Kebijakan Kriminal di Indonesia Pengaturan di Indonesia tentang komunikasi massa yang mencakup m edia cetak, media p enyiaran d an telekomun ikasi/ internet masih bersifat terfragmentasi. Sebelum ketiga hal tersebut diatur secara sistematis diperlukan semacam “umbrella Act ” yang komp rehensif dan dapat menjamin kepentingan yang multidimensional. Sebagai contoh bisa dikaji UU No. 36 Tahun 1999, dalam mengatur tindak pidana terhadap telekomunikasi yang intinya adalah cybercrim e nampak sangat sumir dan kurang sistematis serta menimbulkan keengganan dalam penerapannya. Yang diancam pidana adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut; penyelenggarakan telekomunikasi tanpa ijin; penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak m enjamin kebebasan p enggun a mem ilih jaringan telekomunikasi lain; penyelenggaran telekomuniukasi tidak memberikan prioritas pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi yang penting; tanpa hak, tidak sah atau memanipulasi akses ke jaringan telekomu nikasi atau akses ke jasa telekomu nikasi dan atau akses ke jar in ga n te lek om u n ikas i khu su s; p en yam bu n ga n te leko m u n ikas i khusus ke jaringan lain; memperdagangkan, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi tidak sesuai dengan persyaratan teknis; penggunaan sp ektrum radio dan orbit satelit tanpa ijin; penggu naan sp ektrum radio d an orbit satelit tidak sesuai dengan peruntu kannya d an saling m engganggu; kapal berbendera asing dan pesawat udara asing menggunakan frekuensi radio di luar peruntukannya; gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap peny elenggaraan telekomunikasi; p enyadapan informasi yang 214
disalurkan melalui jaringan telekomunikasi; penyelenggara jasa telekomu nikasi atau d iterima p elanggan; tidak menjaga kerahasiaan informasi yang d ikirim. Sekalipun demikian, dengan melihat sifatnya yang lintas negara dan dimensinya yang luas, secara futuristik Indonesia harus mulai mengkaji kebijakan kriminal untuk menghadapi cybercrimes di atas. Secara um um , uraian di atas dap at dirum uskan h al-hal sebagai berikut: 1. Pendekatan Penal (Menggunakan Sistem Peradilan Pidana): a. Merumuskan sistem peradilan pidana yang tepat, mu lai dari kriminalisasi yang rasional sampai dengan merumuskan elemen-elemen hukum acara yang kondusif; Sebagai contoh adalah pengaturan yurisdiksi sebagaimana tercantum dalam “ Council of Europe Convention ”, di samping penerapan asas teritorialitas, juga menerapkan yurisdiksi terhadap warga negara yang melakukan tindak pidana di tempat di mana perbuatan tersebut juga diancam pidana dan di luar teritorial negara dan juga sama sekali di luar teritorial negara lain. Di Singapu ra bahkan berlaku bagi mereka yang dari luar Singapu ra melakukan perbuatan yang m erugikan komp uter di Singapura dan pelaku di Singapura yang m erugikan komp uter luar negeri; b. Sejauh mu ngkin dihindari kemu ngkinan terjadinya over kriminalisasi; c. Perumusan kriminalisasi harus dilakukan secara komprehensif sehingga menggam barkan appr oximasi hukum p idana sebagai “safeguard ” yang sesuai dengan standar antar bangsa; d . Dalam kriminalisasi harus diperhitungkan keselarasan antara HAM dan Kewajiban Asasi; e . P e rl u d i k a ji t en t a n g “corporate criminal responsibility “ d a n perluasan yu risdiksi. 2. Pendekatan N on-penal (Prevention Without Punishment ): a. Perlu dirumuskan terlebih dahulu Um brella Act yang mengatur kebijakan tentan g kom un ikasi massa, baik yang bersifat cetak, penyiaran maupu n cyber ; a. Perlu d irumuskan secara profesional penyusunan Kode Etik, Code of Conduct and Code of Practice t e n t a n g p e n g g u n a a n teknologi informatika; b. Perlu kerjasama antar segala pihak yang terkait termasuk kalangan indu stri untuk m engembangkan preventive technology 215
4.
5.
216
menghadapi cybercrime. Sebagai contoh ad alah dikemban gkann ya cyber patrol software yang dap at digunakan oleh Int ernet Service Provider (ISP) atau In ternet Content Prov ider (ICP) untuk menyaring atau memblok akses ke situs tertentu secara otomatik apabila situs tersebut telah m asuk black list . Internet meman g bukan jaringan yang aman. Kerjasama Internasional. Mengingat sifat cybercrime yang transn asional, maka d iperlukan kerjasama internasional yang intensif, baik dalam penegakan huku m pidan a maup un d alam bidang teknologi berupa jaringan informasi yang kuat (mis. 24 hours point of contact ) untuk menghad api kejahatan cybercrime, pelatihan personil yang memad ai, harmon isasi huku m d an penyebarluasan kesepakatankesepakatan internasional; Sebagai contoh adalah apa yang dinamakan “ spontaneous information” yakni suatu komitmen un tuk tanpa diminta segera menyebarluaskan informasi bilamana ditemukan hal-hal negatif yang dapat dijadikan bahan investigasi, pembuktian, proses peradilan tentang “cybercrime” bagi negara lain. Secara nasional perlu disusun suatu Rencana Aksi Nasional ( N ation al Plan of A ction ) untuk menanggulangi cybercrime mengingat luasnya proses viktimisasi kejahatan tersebut dan sifatnya yan g transn asional. n
bagian 3 SISI-SISI PROBLEMATIK HUKUM DI I N D O N E S I A
217
218
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggungjawab “Prinsip “Prinsip keman dirian kehakiman yang terbebas dari camp camp ur tangan eksekutif merupakan landasan bagi banyak hal dalam kehidupan kita. Hakim tidak hanya menegakkan keadilan antara orang p erorang tetapi juga juga an tara warga d an negara. Ia Ia jug a ha ru s m en jam in ba h w a a d m inist in istra ra si s esu ai d en ga n hu ku m dan u ntuk m enjatuhkan enjatuhkan vonis atas legali legalitas tas penggun aan kekuasaan bagi pihak eksekutif” eksekutif” (W. Gurchill). Gurchill). “Pelbagai “Pelbagai hak dan k ebebasan asasi dap at dengan baik dipelihara dalam masyarakat dimana p rofesi rofesi huku m d an sistem sistem yu ridis ridis terbebas dari campur tangan dan tekanan” (Louis Joinet, UN Rapporteur Rapporteur on the Independence Independence of t he Judicia Judiciary ry ). Pendahuluan Analisis Analisis terhadap terhadap topik bahasan d i atas tidak tidak m ungkin d ilakukan ilakukan secara secara segmen tal, meng ingat begitu banya k variabel yang terkait di dalamn ya dan satu sama lain saling saling berhu bun gan. Karena Karena itu analisis analisis tidak bisa lain harus dilakukan secara sistemik, komprehensif dan integral. integral. Pend Pend ekatan dan metode bahasan sistemik sistemik dan kom prehensif integral mengandung keharusan untuk memperhatikan elemen purposive be behavior havior ), elemen elemen d asar sistem sistem yaitu; orientasi pad a tujuan ( purposive ), bersifat menyeluruh ( wholism ), keterbukaan ( openness), transformasi (transformation ), saling keterkaitan (interrelatedness) dan mekanisme pengendalian. Pertama-tama harus disadari bahwa membicarakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab tidak mungkin 219
dilepaskan dari (bahkan merupakan salah satu sub sistem) kondisi um um , visi visi dan misi pemban gunan huku m d i era era reformasi reformasi saat ini, yang secara keseluruhan merupakan bagian integral dari visi dan misi pembangunan nasional. nasional. Dalam GBHN GBHN 1999-2 1999-2004 004 (TAP MPR NO. IV/ MPR 1999) 1999) digambarkan digambarkan betapa parahnya kondisi umu m bidang hu kum, khususnya menyangkut integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran kesadaran h ukum , mutu pelayanan pelayanan serta tidak tidak ad anya kepastian kepastian hu kum dan keadilan keadilan hu kum, sehingga sehingga mengakibatkan mengakibatkan supremasi huku m belum belum terwujud. Demikian pula masih kuat dirasakan belum mantapnya langkah-l langkah-langkah angkah nyata d an kesungguh an p emerintah, emerintah, khususnya aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Gejala campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih serta kerancuan hu kum yang acap masih banyak dijum dijum pai, telah telah mengakibatkan terjadinya terjadinya krisis huku m yang berkepanjangan. berkepanjangan. Salah satu satu elemen pendu kung bagi terwujudnya visi pembangun an nasional berupa terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, dem okratis, okratis, berdaya berdaya saing, maju maju d an sejahtera sejahtera dalam w adah Negara Kesatuan RI, adalah manusia Indonesia yang berkesadaran hukum. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan dalam GBHN juga melihat betapa pentingnya perwujudan sistem hukum nasional, yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berland berland askan keadilan dan kebenaran. Dalam Dalam hal ini salah salah satu Arah Kebij Kebijakan akan Hu kum yang haru s d icapai icapai adalah “mewu jud kan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh p enguasa dan p ihak manap un”, d i samping kebijakan kebijakan lain lain baik yang berkaitan berkaitan d engan aspek institusional, instrumental maupun kultural. Para pendiri Republik Indonesia jauh-jauh sudah menyadari betapa strategisnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab. Dalam penjelasan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 1945 ditegaskan bah wa: “kekuasaan kehakim an ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undangund ang tentang tentang kedu kedu du kan para hakim”. hakim”. Persepsi dari para p endiri Repu Repu blik blik tersebut tepat, karena ternyata bahwa p ersoalan ersoalan kekuasaan kehakiman yang m erdeka juga juga d ianggap sebagai salah salah satu persoalan hak asasi manu sia yang bersifat bersifat un iversal, iversal, khususnya di bidang hak sipil dan politik. Baik Piagam PBB (The 220
Charter of the UN )1945, Piagam HAM PBB (The Universal Declaration of Hu man Right s) 1948 maupun The International Convenant on Civil and Political Political Right s, 196 1966, 6, menggam barkan secara secara tersur at d an tersirat betapa kekuasaan kehakiman yang merdeka penting sekali untuk mencapai sistem sistem keadilan dan perd amaian, pemeliharaan kehormatan individu individu dan tertib tertib sosial, sosial, perlindu perlindu ngan h ukum yang setara; bahwa tertuduh harus dianggap tidak bersalah hingga dapat dibuktikan, dalam pemeriksaan yang jujur dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten, mandiri, dan adil yang yang d iatur iatur oleh und ang-undang; dan bahwa tidak seorangpu seorangpu n menderita karena karena penangkap an, penah anan atau pembuangan sewenang-wenang. Bahkan seringkali dikatakan bahw a hak-hak yudisial manu sia seperti perad ilan ilan dan p emeriksaan yang jujur, bebas dari penahanan yang sewenang-wenang, tidak hanya merupakan asas tetapi tetapi sudah merup akan hukum (judicial rights as a matter of law, not just principle). Di dalam Beijing St atement of Principles of the Independence the Lawasia Lawasia regio region n of the J the Judiciary udiciary d i Manila, 28 Agu stu s 1997 1997,, dinyata kan antara lain: 1. Kehakiman Kehakiman meru pakan institusi nilai yang tertinggi tertinggi pada setiap setiap masyarakat. 2. K em e m e r d e k a a n h a k im im m e m p e r s y a r a t k a n b a h w a ; h a k i m memutu skan sebuah sebuah perkara sepenuhn sepenuhn ya atas dasar pemahaman und ang-undang d an terbebas terbebas dari pengaruh dari manapu n, baik baik langsung ataupun tidak langsung; hakim memiliki yurisdiksi, langsung maupun tidak langsung, atas segala segala isu yang memerlukan keadilan. 3. Mempertahankan Mempertahankan kemandirian kemandirian kehakiman kehakiman adalah sesuatu sesuatu yang esensial esensial untuk m encapat encapat tujuan d an m elaksanakan elaksanakan fungsinya yang tepat dalam masyarakat yang bebas dan menghormati hukum. Kemand irian tersebut tersebut har us d ijamin ijamin oleh negara melalui konstitusi dan und ang-undang. ang-undang.
Selanjutnya untuk memahami ruang lingkup kekuasaan Principles of Judiciary’ Judiciary’ kehakiman yang m erdeka dap at dikaji dikaji ‘ UN Basic Principles (1985). Dalam hal ini diuraikan bahwa hal-hal yang terkait di sini adalah sebagai berikut: a. Kemerdekaan Kemerdekaan hakim (antara (antara lain lain haru s dijamin dijamin negara dan diabadikan dalam konstitusi, dihargai oleh pemerintah dan 221
b.
c. d.
e.
lembaga lain, lain, sikap sikap tidak m emihak dan bebas dari segala segala pengaru h, pembatasan, tekanan langsung atau tak langsung, mempunyai yur isdiksi atas segala segala persoalan dan kew enangan eksklusif un tuk memu tus berdasarkan berdasarkan hu kum yang berlaku, berlaku, hak stake holder harus dihormati dan proses peradilan harus dilakukan secara jujur, negara harus m enyediakan pelbagai sumber d aya secara secara memad ai yang memungkinkan peradilan melaksanakan fungsinya); Kebebas Kebebasan an meneyatakan meneyatakan pendapat dan berkump ul (sepert (sepertii anggota masyarakat lain mempunyai kebebasan untuk berekspresi, berkeyakinan/ berkeyakinan/ kepercayaan, berserikat berserikat dan berkump ul, hakim bebas untuk membentuk dan ikut dalam asosiasi hakim atau organisasi lain untuk menyalurkan kepentingan, meningkatkan kemampuan dan melindungi kebebasan yudisialnya); Kwalifi Kwalifikasi, kasi, seleksi, seleksi, dan training (haru s didasarkan atas integritas dan kemampu an serta bebas dari d iskrimi iskriminasi) nasi);; Profesional Profesionalisme isme dan imu nitas (imu (imu nitas personal dalam arti imunitas dari gugatan perdata atas kerugian finansial akibat perbu atan tidak benar atau perbu atan omisi dalam melaksanakan fungsi yu disial); disial); Disi Disipli plin, n, penskors penskorsan, an, pemindahan/ pemindahan/ pemotongan pemotongan (harus (harus d idasarka idasarkan n atas prosedur dan standar yang jujur, adil dan tepat serta dilakukan atas dasar tinjauan yang independen).
Kekuasaan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Dalam hal sistem sistem p emerintahan n egara, dalam pen jelasan elasan UUD 1945 antara lain ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang Rechsstaa at), berdasar atas atas hukum ( Rechssta t), tidak berdasarkan atas kekuasaan M achssta chsstaa at). Sepanjang berkaitan d engan kebebasan k ekuasaan belaka ( Ma kehakiman , doktrin konstitusional tersebut tersebut d alam sejarah sejarah keku asaan kehakiman Indonesia selalu mengalami pasang surut, tergantung kondisi sosial politik yang merupakan “super sistem” yang melingkupi sistem sistem perad ilan ilan dan kekuasaan kehakiman. Dr. Pompe secara komprehensif telah menggambarkan sejarah Mahkam ah Agun g Repu Repu blik blik Indonesia selama selama 50 tahu n. Digambarkan Digambarkan bahw a kooptasi politik politik terhad terhad ap kehakiman telah dimulai semenjak semenjak kemerdekaan sebagai akibat semangat revolusioner di era baru kemerd ekaan. Begitu Begitu p ula p ad a era Dem okrasi Terpimp in (195 (19599-19 1965 65)) yang d itandai oleh oleh UU no. 19/ 19/ 1964 1964 yang memu ngkinkan campu r 222
tangan eksekutif terhadap peradilan demi kepentingan revolusi. Demikian Demikian p ula dengan UU no. 13/ 13/ 1965 1965 yang m ewajibkan ewajibkan hakim un tuk memihak pad a kebenaran kebenaran sebagaimana dirum uskan d alam Pancasil Pancasilaa dan Manipol/ Manipol/ Usdek. Usdek. Selanjutnya elanjutnya d i era Orde Baru, pada tahu n 1970 1970 mun cul UU no. 14/ 14/ 1970 1970 yang menemp atkan kekuasaan kehakiman dalam posisi ju dicial power berada di bawah MA, namun dalam ambigu: segi judicial kerangka adm inistrasi inistrasi peradilan, kewenangan finansial, finansial, administratif administratif dan personalia, berada di bawah Departemen Kehakiman, Departemen Hankam, dan Departemen Agama. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya kooptasi politis terhadap kekuasaan kehakiman . Di era era reformasi, pad a tahu n 1999 1999 atas dasar UU no. 35/ 35/ 1999 1999 du alisme alisme ini d iakhiri, iakhiri, namu n sam pai saat ini UU tersebut belum diimp lementasikan dengan alasan yang tid ak jelas. jelas. Kondisi tersebut tersebut tidak mustahil terjadi karena sistem sosial dan sistem politik akan cenderung mempengaruhi sistem sistem hu kum yang berlaku. berlaku. Selain itu pengertian “negara hukum” harus diartikan secara dinamis dalam kerangka komparasi dengan konsep Supremacy of General Law yang berkem bang d i Erop Erop a Kontinental. Kontinental. Di dalam sistem Anglo Saxon, asas stare decisis m e m u n g k i n k a n h a k i m u n t u k membentuk hukum ( judge made law lain p ihak p rinsip Rechsstaa law ). Di lain Rechsstaat lebih dekat pada prinsip Supremacy of General Law di dalam sistem kontinental kontinental,, yang pad a d asarnya tidak tidak m emungkinkan hakim u ntuk menciptakan menciptakan huku m. Namun demikian pandangan seperti itu sebenarnya sudah berubah. Pandangan Pandangan bahwa m asyarakat asyarakat dilind dilind ungi huku m tidak lagi berlaku, karena masyarakat juga meminta perlindungan terhadap hu kum . Huku m tidak lagi semata-mata semata-mata difungsikan sebagai kekuasaan yang berdaulat, tetapi tetapi harus p ula dipertanyakan hakekat dan substansi dari huku m tersebut. Dengan demikian demikian hakim haru s difungsikan difungsikan pu la pseudo legis legisla lator tors. s. peranannya sebagai sebagai deputy legislators atau pseudo Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan hak asasi man usia, nam un simu ltan dengan kemerdekaan tersebut manu sia juga mempertanyakan sampai seberapa jauh kemerdekaan tersebut juga mengandu ng tanggu ng jawab kekuasaan kehakiman. kehakiman. Tanggung jawab jawab y u d i s ia i a l p a d a d a s a r n y a m e r u p a k a n value laden concept y a n g merefleksi merefleksikan kan hu bun gan tertentu antara subyek — khusu snya hakim – dengan nilai-ni nilai-nilai lai sosial sosial.. Dalam Dalam h al ini terkand terkand un g d ua h al penting: 223
kekuasaan kehakiman dan aku ntabilitas ntabilitas dalam p enggunaan keku asaan tersebut. Kekuasaan kehakiman mengandung pengertian tidak hanya otoritas hukum tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fun fun gsi pemerintahan berup a mengadili dan m emutu s. Adjudikasi tersebut secara luas mencakup tiga hal: tanggungjawab administratif (manajemen perkara), tanggungjawab prosedural (manajemen peradilan atas dasar hukum acara yang berlaku) dan tanggu ngjawab substantif (yang berkaitan berkaitan den gan pengkaitan antara fakta fakta dengan h ukum yang berlaku). berlaku). Sedangkan akuntabilitas yudisial dapat diperinci dalam empat hal sebagai berikut: (a) akuntabilitas politik politik baik d ari hakim secara secara pribadi maupun kelompok dalam kerangka konstitusi; (b) akuntabilitas sosial atau publik dari hakim, baik pribadi maupun kelompok; (c) (c) akun tabilitas tabilitas huku m sebagai wakil ( vicarious) negara; dan akuntabilitas hukum (personal) dari hakim baik kriminal, sipil maup un disipli disiplin. n. Kedudukan hakim dan kekuasaan kehakiman di Indonesia menjadi semakin berat sebab mencakup tanggungjawab horizontal dan vertikal sekaligus. Hal ini tersurat dan tersirat dalam irah-irah pu tusan hakim: “Demi Keadilan Keadilan Berdasarkan Berdasarkan Ketuhan Ketuhan an Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) (1) UU no. 14/ 14/ 1970 1970), ), d isamp ing su mp ah ata u janji menu rut agaman ya sebelum sebelum meman gku jabatan, jabatan, un tuk setia setia kepada Dasar Negara, Konstitusi dan perundang-undangan serta jujur, seksama, tidak diskriminatif d an adil. (Pasal (Pasal 9 ayat (1) UU no. 14/ 1985). Kekuasaan Kekuasaan Kehakiman d an D emokrasi emokrasi Usaha untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjwab menjadi semakin membesar dalam era reformasi mengingat reformasi send send iri harus d iartikan iartikan sebagai usaha rasional dan sistematik dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengak tualisasikan tualisasikan n ilaiilai-nilai nilai dasar dem okrasi. Beetham d alam hal ini berpendapat bahwa masyarakat yang demokratis menyerupai bentu k piramid yang d itopang oleh 3 (tiga) (tiga) pilar utam a yaitu, sistem sistem pemilihan pemilihan u mu m yang jujur jujur d an adil; jaminan terhad ap hak-hak d an kebebasan sipil serta serta politik; politik; dan sistem sistem p emerintahan yang terbu ka, 224
akuntabel dan responsif. Tiga pilar tersebut oleh Beetham dioperasionalkan dalam bentuk 30 indeks demokrasi, dan apa yang disebutnya “independence of judiciary from the executive and from all forms forms of of interfe interference rence” ” masu k dalam kategori indeks pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif. responsif. Elemen lain dari pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif yang relevan adalah seberapa jauh eksekutif tunduk pada rule of law , transparasi peraturan dalam menjalankan kekuasaan, peranan kontrol masyarakat dalam dalam administrasi administrasi hukum dan akses akses masyarakat untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan lembaga peradilan lain apabila terjadi maladministrasi. Dalam pendekatan sistem, suasana reformasi — baik nasional maupun global— dipandang sebagai masukan lingkungan strategis yang harus diperhitungkan dengan seksama. Di samping masukan lingkungan strategis nasional dan global tersebut harus selalu diperhatikan sistem kendali nasional dalam bentuk perundangund angan p ositif ositif yang kond usif. usif. Yang h arus d ikaji ikaji pertama-tama ad alah keberadaan Pasal 24 24 dan Pasal 25 UUD 1945 1945 beserta p enjelasann enjelasann ya sebagaim ana telah d iura ikan di atas. Selanjutnya bisa disebutkan di sini TAP MPR RI Nomor X/ MPR/ 1998 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Reformasi Pembangu nan Dalam Rangka Penyelamatan Penyelamatan dan Norm alisasi alisasi Kehidup Kehidup an N asional Sebagai Sebagai Haluan N egara, yang antara lain lain memerintahkan ad anya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif yang pada akhirny a mengh asilkan UU no. 35/ 35/ 1999 1999 yang akan m enjadikan enjadikan kekuasaan mengadili dan administrasi peradilan dalam kekuasaan satu atap Mahkamah Agung. Selanjutn elanjutn ya haru s diperh atikan pu la TAP TAP MPR No. VII VIII/ I/ MPR/ 2000 2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Lembaga-lembaga Tinggi Tinggi N egara pad a Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Penting pula diperhatikan Rekomendasi Rekomendasi MPR terhadap terhadap Mahkamah Agu ng : “Mahkamah Agung perlu segera melaksanakan UU no. 35/ 35/ 1999 1999 tentang Perubah an atas UU No. 14/ 14/ 1970 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman d an Mahkamah Agung perlu memantapkan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah Agung bebas dari KKN”. Keprihatinan dunia internasional terhadap kondisi hukum 225
Indonesia termasuk terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman, nampak antara lai lain n d ari suatu suatu buku yang berjud berjud ul The Ruler’s Law yang merupakan laporan dari the International Commission of Jurist tentang Indonesia (Oktober 1999). Dalam kaitannya dengan kebebasan kekuasaan kehakiman antara lain disoroti Pasal 11 UU 14/ 14/ 1970 1970 (sebelum (sebelum d iubah oleh UU no. 35/ 35/ 1999 1999), ), usu lan dibentukn ya Mahkamah Konstitusi, usulan dibentuknya komisi yudisial, kedudukan hakim sebagai pegawai negeri sipil, usulan keberadaan hakim non karir, pemberantasan korupsi di pengadilan dan sebagainya. Kerusakan Sistemik dan Usaha Perbaikan Data awal tentang tentang kond isi kekuasaan kehakiman yang d ilakukan ilakukan Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman nampak dari pendapat dan rekomendasi MPR-RI terhadap Laporan Tahunan Mahkamah Agung-RI dalam Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000. Dalam hal ini MPR berpendapat bahwa laporan Mahkamah Agung masih bersifa bersifatt normatif dan secara secara u mum kurang m engungkapkan daya dan penegakan supremasi hukum. Di sampimg itu terjadinya penum pukan perkara disebabkan disebabkan karena kinerj kinerja Mahkamah Agung yang lamban, kecenderungan pengajuan proses hukum di tingkat kasasi, kurang profesionalnya penanganan perkara di MA, terdapatnya indikasi KK KKN dan pengaruh pihak-pihak pihak-pihak lain lain d i luar MA. Selanjutn elanjutn ya MPR mem berikan rekomen dasi sebagai berikut: 1. M a h k a m a h Ag A g u n g , u n t u k m e n i n g k a t k a n k i n e r ja ja n y a d a l a m penegakan hu kum , perlu segera melakukan pem benahan, misalnya; misalnya; a. Mahkamah Mahkamah Agung perlu perlu secara secara terus terus menerus menerus mening meningkat katkan kan kualitas sum sum ber daya m anusia bagi seluruh seluruh jajaran ajaran hakim d i semua tingkatan agar integritas, moralitas, wawasan, profesionalisme dan keterampilannya mendukung pelaksanaan tugasnya; b. Mahkamah Mahkamah Agung perlu perlu segera segera menyel menyelesai esaikan kan tunggakantunggakantunggakan p erkara dengan m eningkatkan eningkatkan jum jum lah dan kualitas kualitas putusan; c. Mahkamah Agung Agung perlu perlu segera segera menerapkan asasasas-asas asas siste sistem m peradilan peradilan terpad u (integrated judiciary system) ; d . Mahkama Mahkamah h Agung perl perlu u membuat perat peraturan uran untuk membat membatas asii masuknya perkara kasasi. 226
2. Mahkamah Agung perlu segera segera melaksanaka melaksanakan n UU no. 35 35/ 1999 1999 tentang p erubah an atas UU no. 14/ 14/ 1970 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 3. Mahkamah Agung Agung perlu memantapkan kemandiri kemandiriannya annya dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah Agung bebas dari KKN. Melihat pendapat dan rekomendasi MPR terhadap kiner ja Mahkamah Agung di atas, sebenarnya dengan jujur harus diakui bahwa telah terjadi kerusakan sistemik (systemic damage) a t a s kekuasaan kehakiman d i Ind Ind onesia onesia baik yang berkaitan berkaitan d engan aspek struktur al institusio institusional, nal, aspek aspek su bstantif-i bstantif-instrum nstrum ental maup un aspek kultural. Pelbagai kerusakan tersebut pada akhirnya akan mengganggu sistem sistem p eradilan eradilan secara secara keseluruhan keseluruhan dan semuanya akan merupakan penyebab terhadap terhadap kekuasaan kekuasaan kehakiman yang m erdeka dan bertan ggun gjawab. gjawab. Prinsip Prinsip ini baru bisa tegak apabila apabila didu kun g oleh oleh struktur, substansi dan kultur hu kum yang kondu sif. sif. Dalam rangka membangun kembali citra positif kekuasaan kehakiman kehakiman pada um umn ya, dan Mahkamah Agung pad a khususnya, terapi yang har us d ilakuka ilakuka n juga juga h aru s bersifat bersifat sistemik sistemik dan bersifat komp rehensif. rehensif. Hal ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut berikut : 1. Aspek Struk Struk tural Institusional . (board of experts) expert s) di Mahkamah a. Perl Perlu u d ibentukny bentuknyaa dewan pakar pakar (board Agun g yang dap at memberikan “saran kebijakan” kebijakan” kepad a Ketua Ketua MA, diminta atau tidak diminta; b. Perlu segera segera direalisasikan direalisasikan terbentu terbentu knya Komisi Komisi Yud isial isial dengan kenggotaan yang komp rehensif rehensif dan independ en, yang yang mengawasi perilaku hakim dan pejabat lain di lingkungan kekuasaan kehakiman; c. Perl Perlu u segera segera dibentuk dibentuk badan independen dengan keanggot keanggotaan aan yang komp rehensif rehensif yang menangani rekrutmen, promosi dan mutasi hakim dan pejabat lain di lingkungan kekuasaan kehakiman; d . Perlu Perlu d iaktuali iaktualisasi sasikan kan mekanisme insti institusional tusional yang menangani eksaminasi eksaminasi keputusan hakim; e. Perlu Perlu d ibenahi ibenahi dan d itingkatkan itingkatkan kualitas kualitas siste sistem m jaringan jaringan informasi dan dokumentasi hukum, pusat pendidikan dan latihan latihan hakim hakim d an p usat pengolahan pengolahan d ata di MA; 227
f. Perl Perlu u diti ditingkat ngkatkan kan perana peranan n “public relation” yang dengan cepat dan profesional dapat menjawab keluhan-keluhan masyarakat terhadap bad an-badan an-badan p eradilan; eradilan; 2. Aspek Substantif-Instrum ubstantif-Instrum ental . a. Perlu Perlu segera segera d iimp iimp lementasi lementasikannya kannya UU no. 35 35 tahun 1999 1999;; b. Perlu Perlu seger segeraa dibuat UU tenta tentang ng Contempt of Court ; c. Perl Perlu u seger segeraa d ilaks ilaksanaka anakan n revis revisii perundang-undangan yang mengatur bad an-badan an-badan peradilan; peradilan; d. Perl Perlu u seger segeraa dibuat dibuat UU UU payung (umbrella act) yang mengatur “integrated “integrated judiciary system” sy stem”, semacam wet R.O. di masa lalu; e. Mendorong sege segera ra terbent terbentuknya uknya UU Advokat Advokat yang yang baru; 3. Aspek Kultural. a. Mendorong semangat semangat reformasi reformasi dan spirit spirit perubahan yang yang positif di Mahkamah Agung; b. Menggalak Menggalakkan kan semangat semangat profesi profesional onalis isme me yang bertump bertump u pad a ekspertif, tanggungjawab sosial, kesejawatan, ketaatan pada kode etik dan ekonomi; c. Menggal Menggalang ang semangat semangat kebangg kebanggaan aan korps; korps; d . Memerangi sec secara ara preventif preventif dan represif KKN di lingkungan lingkungan kekuasaan kehakiman dan melakukan kampanye anti KKN secara berkesinambungan (sustainable clean hand campaign) ; 4. Aspek Kepemimpinan; Kepemimpinan; dilakukan dilakukan dengan membenahi struktur dan personalia kepemimpinan di lingkungan kekuasaan kehakiman atas dasar reward and punishment principle (merit system ). 5. Aspek Partisipasi Partisipasi Masyarakat; membu ka akses seluas-l seluas-luasnya uasnya kepada masyarakat untuk mengawasi kinerja badan-badan di lingkun lingkun gan kekuasaan kehakiman; 6. Peningkatan Peningkatan Kesej Kesejahteraan ahteraan Hakim d an Tenaga Administrasi Administrasi;; peningkatan kesejahteraan di lingkungan kekuasaan kehakiman perlu dilakukan melalui cara dan dari sumber-sumber yang sah. Penutup 1. Kekuasaan ekuasaan kehaki kehakiman man yang merdeka dan berta bertanggungj nggungjawab awab meru pakan bagian dari pilar dem okrasi yaitu pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; responsif; 2. Kekuasaan ekuasaan kehaki kehakiman man yang merdeka dan berta bertanggungj nggungjawab awab tidak mungkin terwujud tanpa dukungan yang kondusif dan memadai dari aspek-aspek struktural-institusional, substantif228
instrumental, kultural, kepemimp inan yang baik dan partisipasi masyarakat serta kesejahteraan yang memadai dari hakim dan pejabat-pej pejabat-pejabat abat lain d i lingku lingku ngan kekuasaan kehakiman; 3. Kekuasaa ekuasaan n kehakima kehakiman n yang merdeka dan berta bertanggungj nggungjawab awab harus dipahami dan dihormati oleh siapa saja, baik internal kekuasaan kehakiman maupun eksternal kekuasaan kehakiman y a n g s e ca ca r a p o t e n s ia ia l b ia ia s a m e n g g a n g g u / m e m p e n g a r u h i kekuasaan kehakiman kehakiman yang merd eka dan bertanggungjawab. 4. Dalam Dalam membangun membangun kekuasa kekuasaan an kehaki kehakiman man yang merdeka dan bertanggungjawab, perlu dilakukan usah a untu k mencapai standar standar internasional yang sudah diadopsi PBB (UN Basic Principles on the Independence of Judiciary, 1985) . n
229
Re f l e k s i d a n Re k o n s t r u k s i W a j ah H u k u m I n d o n e s i a Pendahuluan Sebenarnya obsesi bangsa dan negara Indonesia untuk menjadi negara bangsa yang modern dan demokratis sudah nampak pada saat UUD 1945 diru mu skan. Prinsip kedau latan rakyat di tangan MPR dan prinsip negara hukum merupakan beberapa contoh dari sekian keinginan tersebut. Nam un faktor-faktor obyektif dan subyektif yang ada ternyata m emberikan w arna yang sama sekali berbeda dari yang d icita-citakan s ejak sem ula. Faktor-faktor obyektif pada masa pra-kemerdekaan antara lain tercermin dalam keinginan u ntuk membentuk negara kesatuan, yang dalam praktek sering dihadapkan dengan fakta-fakta yang tak terelakkan, seperti gerakan separatisme dan primordialisme, situasi perekonomian yang sangat lemah d an sukar bersaing, mental bangsa terjajah yan g rend ah d iri dan terbelakang, euforia kemerd ekaan yang seringkali diwarnai dengan kebanggaan apabila bisa melanggar hu kum yang d iciptakan p enjajah, perjuangan fisik untu k m erebut Irian Barat, konsep pembangunan politik yang masih bersifat trial and error mulai dari penerap an d emokrasi liberal sampai dengan d emokrasi terpimp in, konsepsi “revolusi belum selesai” yang menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat dominan terhadap kekuasaan yang lain, ambisi untuk menjadi pelopor dari negara-negara berkembang, dan lain lain perbuatan dalam kerangka nation and character building. Faktor suby ektif terletak pad a karakter figur p impinan nasional yang p enuh heroisme dan semangat revolusioner ingin menemp atkan bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju yang lain di dunia, meski dengan taruhan biaya yang sangat mahal. 230
Apabila hal-hal di atas d apat dikategorikan sebagai faktor-faktor internal bangsa dan negara Indonesia, maka faktor eksternal juga berpengaruh besar untuk membentuk kepribadian sistem politik. Faktor eksternal tersebut berupa dahsyatnya situasi perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur u ntu k menanam kan pen garuh nya di pelbagai negara berkembang, yang ternyata juga sangat m ewarnai perkembangan nasional. Dalam situasi dem ikian, pelbagai kebijakan h aru s secara simu ltan dilakukan, dan dengan alasan menerapkan prinsip negara hukum maka pelbagai kebijakan tersebut diterjemahkan dalam bentuk produ k hukum . Agar produk-produ k hukum tersebut sesuai dengan selera kekuasaan, maka dimulailah kooptasi kekuasaan terhadap huku m, yang m emungkinkan terjadinya instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum dalam kehidupan sosial. Instrumentalisasi dan politisasi hukum yang menempatkan hukum tidak hanya sebagai dependent variable tetapi juga sebagai independent variable merupakan hal yang wajar baik di negara dem okratis maup un d i negara otoriter, (pen: pemerintah d i negara paling otoriterpu n akan m engaku d irinya sebagai negara demokratis), sebab hukum pad a dasarnya meru pakan hasil dari p roses interaksi politik. Namun harus tetap disadari bahwa instrumentalisasi dan politisasi hukum hanya sah apabila dikendalikan oleh asas-asas hukum demokratis yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Instrumentalisasi hu kum dan p olitisasi hukum dap at dilakukan baik melalui proses pembentukan undang-undang (law making process), p r o s e s p e n e g a k a n h u k u m (law enforcement process ) d a n p r o s e s p e n a n a m a n k e s a d a r a n h u k u m ( legal awareness process ). Instrumentalisasi hukum yang sehat harus mendasari ketiga proses tersebut d engan asas-asas yang bersifat un iversal. Pada era Soekarn o (Orde Lama), karena p engaru h faktor obyektif da n su byektif serta faktor internal dan eksternal d i atas, telah terjad i langkah-langkah p raktis dan pragmatis dengan m enerapkan konsep instrum entalisasi dan politisasi hukum secara tidak sehat yang p ada akhirnya m enamp ilkan sosok wajah hu kum yang rep resif. Salah satu alasan utam a yang mendasarinya, adalah mengam ankan “kepentingan revolusi”, yang saat itu menjadi “tesis perjuan gan politik” Soekarno. Sebagai contoh, d i dalam UU N o. 19 tahun 1964 diatur bahw a d emi kepentingan revolusi Presiden dap at mencampuri u rusan p engadilan; 231
Ketua Mahkamah Agung m erupakan anggota kabinet; dan m unculnya Penpres 11 tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversif yang sangat rep resif dan inkonstitusional. Belajar d ari peng alaman d i era Soekarno, mak a pad a era Soeharto (Orde Baru), terutama pada masa-masa awal kekuasaannya, ada itikad untuk menampilkan wajah hukum yang lebih demokratis. Masyarakat hukum pasca 1966, dengan penuh optimisme mengumand angkan gagasan sup remasi hukum yang tak jarang pula dilipu ti nuansa prom osi dan perlindun gan HAM. Misalnya, pada saat itu sudah muncul Konsep TAP MPRS tentang HAM; lalu UU No. 14 Th. 1970 yang menggantikan UU No. 19 Th. 1964 (tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman) telah men gatur Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan sebagainya. Namun demikian kondisi sosial ekonomi internal yang moratmarit dan faktor-faktor subyektif kepemimpinan nasional yang ingin berkuasa terus menerus, pada akhirnya menumbuhkan sikap-sikap kekuasaan yang hampir selalu bersifat ambivalen, sepert; Undangundang Pemberantasan Kegiatan Subversi tetap dipertahankan; meningkatnya jum lah nap ol dan tapol, TAP MPRS tentang H AM tidak pern ah terselesaikan; pen dekata n represif semakin men ingkat; kooptasi terhad ap kekuasaan kehakiman d emi kepentingan p olitik semakin besar. Dengan dalih “pembangunan ekonomi” yang membutu hkan ketertiban, hak-hak sipil dan politik diberangus. Instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum semakin meningkat tanp a terkendali. Semua langkahlangkah negatif ini dapat digambarkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, dan KKN – isu yang kelak justru menjadi tema perjuangan m ahasiswa dan masyar akat paling dom inan untuk menjatuhkannya d ari kekuasaan. Era Reformasi Di era reformasi, kejatuhan Orde Baru pada penghujung tahun 1998, memberikan land asan p engalaman bagi sebuah “kesepakatan baru” bahw a proses demokratisasi harus berjalan d i bawah p ayung supremasi hukum. Dengan kata lain, hukum haruslah memberikan jam inan ba gi te rs elengg ar an ya s ist em ya ng leb ih d em ok ra tis . Kare na itu aspek perundang-undangan di bidang sosial politik, HAM, p e m b e r a n t a s a n K KN , k e m e r d e k a a n k e k u a s a a n k e h a k i m a n , penyesuaian terhad ap standar -stand ar baku internasional, perangkat 232
hukum menghadapi pasar bebas, terus dilakukan untuk sesegera mungkin mengatasi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM dan memberantas KKN agar dapat menumbuhkan kepercayaan di dalam dan di luar negeri sebagai pra-kondisi untuk masuk secara terhormat dalam pergaulan internasional. Instrumentalisasi dan politisasi hu kum diusahakan u ntuk selalu mem atuhi asas-asas hukum , dengan keyakinan bahwa suatu sistem politik yang baik akan menghasilkan prod uk h ukum yang baik pu la. Namu n demikian p enting d ikemu kakan, bahwa keinginan ideal seperti di atas, dalam p rakteknya – terlebih d i tengah euforia politik yang tak kunjung mereda – bukan perkara yang mudah ditegakan mengingat berbagai hambatan yan g dijum pai di lapangan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. P r ed i k s i K e h id u p a n H u k u m Apa yang akan terjadi di bidang hukum pada tahun-tahun mend atang tidak akan terlepas dari wajah hu kum masa lalu d an masa kini yang tengah kita jalani. Indikator-indikator yang dapat digeneralisasai untuk menggambarkan telah terjadinya kerusakan sistemik di dalam kehidup an hu kum sebagai warisan Orde Baru m asih nam pak jelas kelihatan . Ind ikator-ind ikator tersebut antar a lain belum terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, karena kesan instrumentalisasi dan politisasi hukum yang menyimpang dari asas hukum masih saja terjadi. Ada kesan yang muncul di tengah masyarakat bahwa hukum masih “pilih kasih”. Independensi penegakan hukum dari kekuasaan eksekutif masih terus dipertanyakan. Tekanan politis baik terhadap proses pembuatan undang-undang dan penegakan hukum dilakukan secara tidak profesional dan seringkali mengabaikan asas-asas hukum dengan alasan perlunya p enerapan ‘transitional justice’ dalam era reformasi yang sebenarnya lebih mengesankan layman justice. Yang lebih memp rihatinkan lagi, para ah li hu kum , baik teoritisi mau pu n p raktisi kurang memberikan reaksi secara proporsional dan profesional; semacam “keacuhan kolektif”, yang pada gilirannya memicu krisis terhadap asas-asas hukum. Sinyalemen masih terjadinya ‘mafia peradilan’ muncul sebagai sinisme yang meluas di tengah masyarakat tanpa ada langkahlangkah yang signifikan untuk mengatasinya. Ini dapat berakibat 233
munculnya reaksi untuk menentang usaha pengaturan tentang contempt of court yang sebenarnya sangat penting di negara d emokrasi, yang selalu mengandalkan adanya du kungan w ibawa d an martabat lembaga perad ilan yang bersih. Kesadaran hukum baik di lingkungan para penegak hukum maupun masyarakat masih terasa sangat lemah. Kegagalan menciptakan keadilan oleh penegak hukum masih sering terjadi, dibarengi dengan masih banyaknya terjadi tindakan anomis serta p e r b u a t a n m a i n h a k i m s e n d i r i (eigen richting ) d i l i n g k u n g a n masyar akat. Yang terakhir ini, sebagian menggam barkan sikap u mu m masyarakat yang semakin luruh kepercayaannya terhadap aparat penegak hu kum . Sistem p eradilan yang terpadu , juga tidak ku njun g dap at ditegakkan, yang u jungn ya selalu menimbu lkan ketidakp uasan bagi pencari keadilan d i satu sisi, dan ru saknya citra penegak h uku m d i sisi yang lain. Masih langkanya panutan dan idola kepemimpinan di bidang penegakan hukum yang diharapkan dapat menjadi prime mover , adalah sisi kelemahan yang lain lagi. Perjalanan sejarah bangsa m enu njukkan bahwa efektivitas suatu sistem m asih banyak d itentukan oleh ku alitas kepemimpinan sebagai pemegang peran utama sistem tersebut. Kehidupan civil society di bidang hukum, cenderung lebih melahirkan sikap “memusuhi” aparat penegak hukum ketimbang sikap komplementer yang diperlukan. Fungsi legislatif DPR yang secara konstitusional semakin kuat, tetapi karena kurang didukung dengan profesionalisme yang cukup telah mengakibatkan peranan eksekutif tetap saja dominan . Keterlambatan d alam hal ini tidak h anya menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum, tetapi juga mengu rangi wibawa hukum , baik di mata bangsanya sendiri maup un bang sa-bangsa lain. Sebagai contoh aktu al, tud ingan semen tara pihak di luar n egeri bahwa Ind onesia d ianggap sebagai negara yang tidak koperatif karena belum mempunyai UU tentang money laundering, terasa m erendahkan kalau bukan menyakitkan. Lalu tindakan represif dan koersif yang dilakukan sering tidak berimbang dengan tindakan preventif, misalnya dalam kasus penanganan pelanggaran tata tertib perkotaan. Sikap pemberitaan sejumlah media massa juga terkesan mengembangkan character assasination , stigmatisasi, dan mengabaikan prinsip praduga tidak bersalah, dan bahkan sebaliknya menggunakan p endekatan “prad uga 234
bersalah”. Sementara itu, harmonisasi hukum terhadap standarstandar baku universal di bidang HAM, baik menyangku t hak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya dan hak atas pembangunan, masih jauh d ari memad ai. Ratifikasi terhadap konvensi internasional lebih mengesankan sebagai langkah windowdressing, ketimbang sebagai langkah-langkah sistematis yang serius. Atas dasar fakta-fakta tersebut, hal-hal yang harus dikembangkan dan dilakukan di masa datang, di samping memperbaiki secara ad hoc kelemahan-kelemahan di atas, secara sistemis haru s dilembagakan p emikiran-pemikiran sebagai berikut ; 1. H u k u m d a l am k e h id u p a n m o d e r n h ar u s m e n d a y ag u n a k a n peranann ya sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam hal ini huku m selain bisa bersifat defensif melembagakan perubahan sosial (dependent variable), juga bisa bersifat aktif bahkan sebagai alat peru bahan sosial (independent variable) atas dasar asas-asas huku m yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; mencakup proses pembuatan hukum, proses penegakan hukum, dan proses penanaman kesadaran hukum ; 2. Hukum tetap harus dipandang dan difungsikan secara konsisten sebagai salah satu unsur utama demokrasi dalam kera ngka pemerintahan yan g transparan , akun tabel dan r esponsif, di samp ing adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil, perlindungan terhadap H AM dan keberadaan m asyarakat yang demokratis dan percaya diri. Dalam hal ini hu kum haru s bisa memberikan land asan hu kum yang m emadai bagi elemen-elemen d emokrasi tersebut; 3. Sebagai unsur u tama demokrasi hukum harus menjamin bahwa para p enyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya secara transparan tundu k pada p rinsip rule of law ; 4. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pelbagai pengaruh baik internal maupun eksternal, khususnya pengaruh eksekutif harus ditegakkan; 5. Administrasi hukum d an peradilan harus transparan terhadap pengawasan masyarakat yang efektif; 6. A k s e s y a n g t e r b u k a b a g i m a s y a r a k a t u n t u k m e n c a r i d a n memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan lembaga-lembaga lain, khususnya terhadap maladministrasi dan kegagalan badan publik dalam menjalankan tanggungjawab hukumnya. 235
Yang sangat memprihatinkan saat ini adalah masih belum tuntasnya proses amandemen terhadap UUD 1945 dan proses pembentukan Mahkam ah Konstitusi yang keduanya akan m erupakan batu p enguji mantap atau tidaknya sistem hu kum nasional. P e n e g ak a n H u k u m Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan kebijakan penerap an substansi hukum oleh pengu asa atau rezim sesuai dengan kebijakan sosial yang telah d igariskan. Sesuai d engan konteks u raian di atas, maka penegakan hukum pada dasarnya merupakan instrumentalisasi huku m atau p olitisasi hukum , sebab apap un w arna kekuasaan dan corak rezim yang berlaku, hukum selamanya merupakan instrumen yang efektif untuk mengamankan kebijakan sosial yang d igariskan. Dalam hal ini istilah ‘sup rema si huku m’ yang merupakan salah satu simbol demokrasi selalu dimanfaatkan untuk menjaga citra ke dalam m aup un ke luar negeri. Padah al baik buru knya masih tergantung pad a kualitas demokrasi yang dianut oleh penguasa atau rezim yang bersangkutan. Rezim yang baik pasti akan menghasilkan penegakan hukum yang baik pula. Rezim paling otoriterpun akan m endayagu nakan hu kum sebagai instrumen d engan d alih su premasi hu kum dan demokratisasi. Sejarah kehidu pan huku m yang terurai di atas menggambarkan dengan jelas pelbagai manipulasi proses instrumentalisasi hukum. Proses instrumentalisasi hukum tidak hanya bersifat nasional untuk percepatan pencapaian tujuan-tujuan politik penguasa atau untuk mem berikan pembenaran terhadap kebijakan-kebijakan pen guasa atau untuk melindungi kepentingan penguasa baik pribadi maupun kolektif. Penjajah Beland a di m asa lalu, memp engaru hi sistem hu kum yang berlaku di Indonesia (sekaligus mendukung kebijakan sosialnya), melalui asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin hu kum yang d iajarkan oleh para sarjana hu kum Belanda. Pengaru h tersebut samp ai saat ini masih terasa akibatnya. Selain berdimen si nasional, instru men talisasi atau p olitisasi hu kum dap at pu la bersifat internasional sehu bun gan d engan p roses globalisasi yang sarat d engan kep entingan p olitik, ekonom i dan sebagainya. Proses globalisasi yang menggeser orientasi konsep kepentingan dan kesejahteraan n asional menjadi konsep k epentingan d an kesejahteraan regional dan global, jelas didominasi atau bias kepentingan “negara236
negara kuat”di bidang ekonomi. Standar-standar baku yang lebih mengun tungkan kepentingan mereka secara sistematis diterapkan ke seluruh dunia. Standar baku tersebut tidak hanya berkaitan dengan kehidupan ekonomi, tetapi juga di bidang politik sebagai kerangka dasarn ya. Sebagai contoh, pasar bebas han ya mu ngkin terjadi d i dalam kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi promosi dan perlindungan HAM, pemerintahan yang transparan dan akuntabel serta kehidup an masyarakat mad ani yang sehat. Untuk itu, secara sistematis pelbagai negara du nia pad a akhirnya harus meratifikasi konvensi internasional yang mengatur standarstandar baku tersebut serta mendayagunakan ‘dispute settlement bodies’ yang tersedia guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul, tentu dengan pelbagai konsekuensi bagi yang tidak mentaatinya. Tidak begitu peduli apakah suatu bangsa sudah siap atau belum. Sebagai contoh adalah stigma “negara non koperatif” bagi negara-negara yang tidak segera mengatur ‘money laundering’ — yang sebenarnya membu tuhkan persiapan-persiapan yang matang — deng an sendirinya menan ggun g konsekuensi akibat beban stigma tadi. Contoh lain adalah betapa tergopoh-gopohnya Indonesia mengatu r Pengad ilan H AM — sekalipu n Ind onesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 – hanya karena tekanan internasional untuk menggelar Pengad ilan Internasional ap abila Indon esia dinilai tidak mamp u d an tidak mau u ntuk mengadili pelanggaran HAM berat. Instrumentalisasi huku m secara internasional bisa d alam bentuk direct enforcement seperti pengadilan HAM internasional ad hoc (Pengadilan ini mempunyai sifat ‘pimacy’ terhadap pengadilan nasional, sedangkan Statuta Roma 1998-ICC- menggunakan istilah complementary ), bisa juga dalam bentuk indirect enforcement melalui ratifikasi konvensi internasional, hukum kebiasaan internasional, penerapan asas-asas umum , keputusan h akim d an pand angan para hakim. Atau bisa juga melalui keterpaksaan untuk melakukan harmon isasi huku m internasional. Kemudian, instrumentalisasi hukum bisa melalui hukum pidana, huku m perd ata maupu n huku m ad ministrasi. Bahkan bisa pu la melalui kebijakan p enyelesaian sengketa d i luar peng adilan ( alternative dispure resolution ) atau kebijakan yang bersifat ad hoc. Yang penting adalah sampai seberapa jauh instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum tidak menimbulkan kesan telah terjadinya kegagalan penguasa untuk 237
menciptakan keadilan ( miscariage of just ice) yang bertentangan d engan keadilan yang m enjunjung tinggi prinsip fairness dan mutual respect. Batas-batas In strumentalisasi Huk um Di atas telah diuraikan bahwa instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum sulit terhindarkan, mengingat hukum hanya dapat operasional melalui kekuasaan. Hanya saja harus diusahakan agar huku m d an kekuasaan “menyatu”, dalam arti tidak terpisah dari dan tidak di bawah (subordinated ) kekuasaan politik. Kedudukan yang dem ikian berperan sebagai sarana pengintegrasi pelbagai kepentingan agar secara proporsional hukum dapat mengendalikan sistem check and balances secara sehat . Untuk menghindarkan d iri dari penyalahgunaan h ukum sebagai instrum en politik, hanya pem ikiran d an asas-asas hu kum yang bersifat universal yang dap at d ijadikan p edoman atau p engendali. Pemikiranpemikiran dan asas-asas hukum tersebut meliputi; (1) keberadan substansi hukum baik materiil maupun formil yang aspiratif (suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan internasional); (2) kekuasaan kehakiman yang m erdeka dan akuntabel, selain perlu pu la dikembangkan apa yang dinamakan administrasi peradilan dan penegakan hukum yang merdeka dan akuntabel; (3) promosi dan perlindun gan H AM; (4) keterpad uan sistem p eradilan; (5) perpad uan tindakan preventif dan represif; (6) perpaduan proses litigasi dan non-litigasi; (7) asas non-retroaktif (misalnya evaluasi Amdal Pantai Indah Kapu k, jangan samp ai merugikan konsum en. Kalau ada yang salah, pengem bangn ya yang haru s diberi sanksi restoratif; (8) sistemik dan menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc; (9) pembudayaan saksi ahli; (10) persamaan di muka hukum dan menghindari pilih kasih; (11) legitimasi h arus diimbangi oleh komp etensi, akuntabilitas d an keadilan; (12) pendidikan hukum masyarakat harus menjaga keseimbangan antara kesadaran huku m yang bersifat top down d an perasaan huku m spontan m asyarakat yang bersifat bottom up; (13) secara proporsional melihat sumber-sumber hukum internasional sebagai bagian hukum nasional; (14) menghindarkan diri dari miscarriage of justice dan selalu m enjaga konsistensi dan keseragaman dalam pengambilan keputusan terhadap peristiwa hukum yang mem pu nyai karakter yang sam a; (15) lingku ngan sosial yang kond usif dan demokratis; (16) kepemimpinan hukum di semua lini yang 238
profesional, berkualitas baik moral maupun intelektual; (17) keberadaan elemen-elemen civil society yang secara komplementer berjuang bersama p enguasa un tuk merealisasikan sup remasi hukum ; (18) keberadaan sistem p endidikan hu kum dan pelatihan hu kum yang terpadu dan dap at menjamin kualitas pengetahuan, keteramp ilan d an kepekaan sosial lulusann ya serta sikap-sikap profesional yang otonom , ahli, penuh rasa tanggungjawab sosial, taat kepada kode etik dan menghormati kesejawatan; (19) keberadaan “pakar hukum” yang selalu menyerukan kritik dan kebenaran atas dasar kebebasan akademik dan bud aya akademik. Instrumentalisasi hukum yang taat asas akan menimbulkan kepercayaan bagi pencari keadilan baik d ari dalam m aup un luar negeri, dan pada gilirannya dapat memberikan sumbangan dalam reformasi.Tidak dipenuhinya pelbagai standar di atas akan mengakibatkan bahw a total enforcement yang kemudian berkembang menjadi full enforcement setelah d ibatasi oleh hu kum akan cend erun g memunculkan actual enforcement yang penu h d engan diskresi yang legal . Sistem Sosial Hal lain yang perlu dikaji adalah kenyataan bahwa sistem penegakan hukum pada dasarnya merup akan subsistem sosial. Dalam instrumentalisasi hukum diharapkan agar hukum sebagai sarana pengintegrasi dapat mempengaruhi perkembangan sosial. Namun kenyataannya, efektivikasi hukum justru lebih sering dipengaruhi secara signifikan oleh perkem bangan sosial, persis seperti yang kita rarasakan saat ini di Indonesia. Dalam kasus Bulogate II misalnya, unsur “permainan politik” sangat transparan dalam tarik ulur pembentukan Panitia Khusus. Praktek lobbi-lobbi politik dalam penegakan hu kum , inkonsistensi dalam penegakan hu kum (misalnya tersangka yang kasusnya lebih ringan ditahan, yang sangat berat tidak d itahan) hamp ir menjadi berita sehari-hari. Demikian pu la ributribut tentang KPP HAM Trisakti, akibat DPR terlanjur (atau kebablasan) menetapkan tidak adanya pelangaran HAM berat, pad ahal substansinya menyangkut w ewenang p enyidik. Selama Polri sebagai penegak hukum, dan Jaksa Agung masih menjadi bagian eksekutif di bawah Presiden maka kemungkinan timbulnya kesan intervensi eksekutif terhadap administrasi peradilan tetap akan terjadi. Contohnya ad alah bantuan beberapa mobil dari suam i Presiden 239
kepada Polri melalui Presiden telah dikhawatirkan akan memp engaruhi independ ensi Polri terhadap eksekutif dan keluarga Presiden. Pengaruh politik saat ini sangat kuat dengan semakin kuatnya Badan Legislatif (DPR) sebagai representasi partai-partai yang mempunyai fungsi-fungsi pengawasan, budget dan legislasi. Seperti diuraikan di atas, fungsi legislasi merupakan salah satu kendaraan yang kuat untuk melakukan politisasi hukum. Di bidang sosial budaya muncul rupa-rupa gejala yang terasa mencemaskan, seperti mengu atnya ikatan prim ordial yang diwarnai oleh kerusu han-kerusu han etnis, antar pem eluk agama, separatisme, penafsiran otonomi yang sempit, kecemburuan sosial karena kesenjangan ekonom i, yang seluruh nya sering memu nculkan sikapsikap anomis. Penegakan hukum sering kelihatan ragu-ragu, dan dalam banyak kasus — karena d ipandang m embawa dam pak p olitik — cenderung diselesaikan di luar pengadilan. Belum lagi masalah pornografi dan narkoba yang m erajalela di lingku ngn p ergaulan anak muda, yang penegakan hukumnya terasa kurang disemangati kerjasama yang baik. Usul untuk membentuk semacam D ru g Enforcement A dmin istration (DEA) dengan kewenangan yang luas seperti di USA mungkin dapat dipertimbangkan. Sikap feodalistik dan paternalistik di lingkungan birokrasi juga masih sangat berpengaruh. Contohnya ad a Rektor sebuah PTN yang enggan atau malu untuk melaksanakan keputusan PTUN yang memenangkan mahasiswanya. Dia tidak sadar bahwa “penyepelean” keputusan pengadilan sebenarnya merup akan contempt of court juga. Di bidang ekonomi kondisinya jauh lebih gawat lagi, bahkan dap at dikatakan bahwa krisis mu ltidim ensional sebenarnya pertam a kali justru dipicu oleh krisis ekonomi yang berkelanjutan. Pengan ggu ran yan g men capai 40 juta or ang jelas sangat eksp losif da n dap at mendorong kenekatan yang membabi buta untuk m elakukan tind ak pid ana. Selanjutn ya krisis BLBI den gan p erlakuan y ang sang at lunak (perpanjangan PKPS) jelas akan menimbulkan reaksi sosial terhadap lemahnya penegakan hukum, sebab para ahli hukum beranggapan bahwa secara selektif kasus tersebut dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dan pelanggaran BMPK. Soal keamanan tidak kalah seriusnya. Saat ini apar at keaman an dalam banyak hal terlihat menjadi semakin “bingung” d an “gam ang”. Penjelasan ap a yang bisa diberikan jika tewasnya seorang p anglima 240
gerakan separ atis bersenjata dalam kontak senjata justru menimbu lkan simpati dan menyalahkan aparat keamanan? Sistem pendidikan hu kum dan p elatihan hu kum dituduh turut andil dalam kekacauan penegakan hukum saat ini. Persoalan standard isasi dan disparitas kualitas masih m enonjol antara PTN d an PTS, antara PT di Jawa dan luar Jawa. Sulitnya mencari dana penataran nasional, tidak berkembangnya asosiasi-asosiasi profesi dosen, terbatasnya dana beasiswa untu k p endidikan lanjut sangat dirasakan. Belum lagi kelangkaan dana riset, sudah menjadi cerita lama yang terus berulang. Tuntu tan adanya one roof training bagi penegak huku m termasuk peng acara agaknya perlu m ulai dipikirkan secara lebih serius. Dengan demikian mereka mempunyai visi, misi dan persepsi yang sama tentang sistem huku m di Indonesia, sedangkan di p engadilan han ya terjadi kompetisi pembuktian untuk mencapai kebenaran materiil. Untuk menutup bagian akhir tulisan ini, penulis merasa perlu mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut: (1)Pendapat tentang perlunya d iadakan Indonesian Law Su mm it harus ditanggapi secara positif, sekalipun hal tersebut bukan merup akan ide yang baru. Seminar Hukum Nasional yang sudah diselenggarakan beberapa kali juga dicatat telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang strategis. Apap un namanya pertemuan tersebut, harus dapat menghasilkan Rencana Aksi Nasional di bidang huku m yang operatif dalam suasana reformasi hukum. (2)Pemberantasan KKN yang efektif hanya dapat terjadi bilamana (a) adanya kemauan politik yang kuat; (b) adanya perencanaan strategis yang baik dan komp rehensif; (c) adanya kep emimp inan yang profesional dan bermoral di semua lini; dan (d) adanya tekanan sosial yang terus menerus. Salah satu langkah strategis yang dapat diterapkan adalah ditanamkannya agen-agen anti korup si secara rah asia di instansi-instansi dan lembaga-lembaga yang rawan korupsi. Di samping itu keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi, semoga saja dapat membawa harapan baru. n
241
Kontroversi S ep u t a r S i s t e m P e m b u k t i a n T e r b a l i k Pendahuluan Semangat untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan bagian tak terpisahkan dari tuntutan reformasi yang harus dilakukan secara menyeluruh pasca runtuhnya sistem kekuasaan otoriter Orde Baru. Setiap orang ten tu m emiliki tafsir dan pengertiannya sendiri tentang reformasi, termasuk m akna p raksisnya dalam konteks Indon esia saat ini. Tetapi penu lis sendiri cend erun g lebih memahaminya sebagai tekad yang dibarengi dengan segenap usaha sistematis dan mendasar dari bangsa Indonesia untuk men gaktu alisasikan secara simu ltan nilai-nilai da sar dem okrasi, yang pad a ujungnya berm uara p ada emp at nilai dasar yaitu; (a) asas-asas umum masyarakat demokratis; (b) pemilihan umum yang jujur dan ad il; (c) pem erintahan yan g terbuka, akunta bel dan oton om; dan (d) prom osi dan p erlind un gan terhadap hak asasi man usia (HAM). Dalam butir ketiga, terkait semangat untuk menciptakan ‘ good governance’, yang antara lain berupa gerakan u ntuk pemberantasan KKN. Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, segenap upaya untuk menekan bentuk-bentuk penyimpangan kekuasaan yang d i era Orde Baru lazim dilakukan, telah diupayakan dan diharapkan sedapat mu ngkin memberikan kerangka bagi tindakan-tindakan p encegahan baik secara substantif, struktu ral, mau pu n ku ltural. Secara substan tif perubahan dimu lai dengan terbitnya TAP MPR RI No. XI/ MPR/ 1998 tentang Pen yelenggaran N egara Yang Bersih d an Bebas KKN yan g ditindaklanjuti dengan UU No.28 Tahu n 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih d an Bebas KKN. Selanjutn ya d iund angkan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 242
Sebagai pelengkap diterbitkan PP No.65 Tahun 1999 dan PP No.66 Tahun 1999 yang kedu anya m engatur tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Serta Pemberhentian An ggota Komisi Pemeriksa dan Keppres tentang Pengangkatan Anggota Komisi tersebut. Secara substantif, saat ini juga sedang disiapkan RUU tentang M oney Laundering dan RUU tentang perlindungan saksi, semacam ‘Whistleblower Act’ atau ‘Protection of Informers di beberapa negara. Dalam hal ini usaha-usaha untuk mengadakan perjanjian ekstradisi d an mutual legal assistance dengan negara-negara lain harus terus diusahakan, mengingat korupsi dapat pula bersifat transnasional, sebagaimana nampak dari rekomendasi yang dikemukakan oleh pelbagai pertemuan internasional ( A nti-Corruption Summit Conference) termasuk apa yang telah dirumuskan oleh OECD (Organization of Economic Cooperation and Development ) berupa OECD A nti Corruption Convention , 1999. Secara struktural, di samping dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang saat ini sudah mulai melaksanakan tu gasnya, dibentuk p ula Komisi Ombud sman N asional dengan Keppres No.44 Tahun 2000, yang melalui peran serta masyarakat akan m embantu m enciptakan d an atau mengembangkan kondisi yang kondu sif dalam m elaksanakan pemberantasan KKN dan meningkatkan perlindu ngan hak-hak masyarakat agar memp eroleh pelayana n um um , keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik. Pada dasarnya lembaga ini berusaha untu k memp romosikan ‘administrative fairness’ dalam rangka mencapai birokrasi yang bersih dan transparan. Dalam kaitannya den gan asp ek struktu ral — atas dasar Pasal 43 ayat (4) UU No.31 Tahun 1999 – sudah semestinya harus segera dibentu k Komisi Pemberan tasan Tind ak Pidana Korup si yang bersifat independen, yang pada h akekatnya merup akan koordinator seluru h penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam batas-batas wewenang yang ditentukan dalam UU (RUU tentang Pembentukan Komisi ini sedang disiapkan oleh suatu tim yang dikoordinasikan oleh Departemen Kehakiman dan HAM). Komisi semacam ini sudah dikenal di beberapa negara seperti Hongkong (Independence Commission A gainst Corruption ), Malaysia ( A nt i Corruption A gency), Singap ur a (Singapore’s Corruption Prevention and Investigation Bureau ) , T h a i l a n d (Thailand’s N ational Counter 243
Corruption Comm ission) dan sebagainya. Fun gsi lembaga-lembaga ini tidak terbatas pada fungsi investigasi dan penuntutan tetapi juga mencakup fungsi-fungsi seperti pendidikan dan peningkatan kesadar an, fungsi p reventif, da n fun gsi legislatif. Secara ku ltural, kamp anye anti korup si terus d ilakukan dan secara sistematis lemba ga-lembaga pen gaw as seperti BPK (Bad an Pengaw as Keuangan) dan sejenisnya, juga lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, terus melakukan langkah-langkah preventif, represif dan kur atif un tuk m emberantas KKN. Apabila pengertian korup si secara komprehensif telah diatur dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan kolusi dan nepotisme telah dikriminalisasikan melalui UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih d an Bebas Dari KKN. Prospek Pengaturan Pembuk tian Terbalik Masalah “pembuktian terbalik” atau “pembalikan beban pembuktian” (omkerinl van bewijalast ) — suatu ide yang sebenarnya bukan sama sekali baru — dapat dinilai sebagai kemauan politik sehubungan dengan p ernyataan Presiden RI pada saat menyamp aikan pidato pengantar dalam rangka menjawab Memorandum I DPR beberapa waktu yang lalu, yang disusul dengan perintah kepada Menteri Kehakiman dan HAM untuk menyiapkan rancangan perundang-undangannya. Dalam hal ini ada p ilihan yang m engandu ng konsekuensi; apakah akan diatur dengan PERPU atau dalam bentuk Undang-undang. Pengaturan dengan PERPU mengandung resiko, karena atas dasar TAP MPR No. III/ MPR/ 2000 kedu du kan PERPU secara hirarkis berada d i bawah Un dan g-und ang (Pasal 2). Pengaturan p embu ktian terbalik PERPU d engan sendirinya secara vertikal akan bertentan gan baik dengan KUHAP yang membeban kan pembu ktian kepada jaksa penuntut umum, maupun dengan UU No.31 Tahun 1999 yang menganu t sistem pembu ktian terbalik terbatas, dalam arti terdakwa dap at membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak p idana korupsi. Apabila terdakwa dap at membu ktikan h al tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan koru psi, sebab jaksa penun tut u mu m m asih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya (Penjelasan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999). Di samping itu, penggu naan PERPU m emerlukan alasan berupa 244
“hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang sekaligus bersifat debatable — d a n k a r e n a n y a d a p a t d i d u g a k a l a n g a n D P R a k a n memperdebatkannya. Mengingat kedudukan PERPU di bawah Undang-undang, maka Mahkamah Agun g tentu d apat mengujinya secara mat eriil. Tetapi, bagaimanapun juga masalah “pembuktian terbalik” merupakan sesuatu yang bersifat urgen. Karena itu sebaiknya pengaturannya memang melalui und ang-und ang yang dipersiapkan secara matang (misalnya melalui draft akademis) sehingga tidak terkesan serampangan atau biasa disebut “ panic regulation” , yang ciri-cirinya berupa tidak sistemik, adhoc, jangkauannya pendek, bersifat semata-mata retributif, dan raw an terhad ap p elanggaran asas hu kum d an HAM. Pengaturan tentang pembu ktian terbalik cenderu ng untu k d iatur sebagai bagian integral dari amand emen terhadap UU No.31 tahu n 1999 tentang “Pemberan tasan Tindak Pidan a Korup si”, yang antara lain juga menambahkan pasal tentang “Ketentuan Peralihan” yang belum d iatur oleh Und ang-undang tersebut. Terlepas d ari debat mengenai bentuk peru nd ang-undangann ya, yang harus dihargai adalah filosofi di belakang ide tersebut mengandung semangat untuk memberantas KKN. Dalam konteks ini penting u ntuk dikemukakan bahw a berdasarkan p enelitian yang dilakukan oleh Transparancy International dan PBRC (Political and Econ omi c Risk Con su lt ancy ) y a n g b e r k e d u d u k a n d i H o n g k o n g , Indonesia selalu menempati ranking yang memprihatinkan karena masuk dalam ketegori sebagai negara rawan korupsi. Lepas dari kelemahan-kelemahan m etodologis – karena itu sempat men imbu lkan keberatan sejum lah pihak – dari pen elitian itu, kita haru s mengaku i fakta-fakta yang menyakitkan ini bahwa koru psi di Indonesia meman g sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga memerlukan instrumen-instrumen hukum luar biasa untuk menanganinya, tentu sepanjang tidak menyimpang dari pelbagai standar yang berlaku secara universal. Hakekat Pembuktian Terbalik Dalam sistem peradilan pidana sering dikatakan bahwa sistem pem buktian m erup akan titik paling strategis, sebab ia sangat rawan terhadap segala bentuk pelanggaran HAM. Kalau huku m acara pidana secara keseluruhan disebut sebagai “filter” yang menjaga 245
keseimbangan antara kekuasaan negara dengan perlindungan terhadap h ak-hak individu, maka sistem pembu ktian meru pakan “inti filter” itu send iri, sebab melalui pr oses pembu ktian akan d itentukan apakah kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti (tersebut dalam Pasal 184 KUHAP) akan menjadikan seorang terdakw a d ibebaskan, dilepaskan d ari segala tuntutan, ataukah d ipidana. Secara universal atas dasar asas praduga tidak bersalah, beban pem buktian dalam kasu s kriminal terletak di tangan jaksa penun tut umum sebagai aparat yang berwenang mewakili pemerintah (kekuasaan p ublik) untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang did akwakan . Setiap un sur tindak p idana haru s dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Dalam hal ini keterangan terdakwa yang dikemukakan d i sidang pengadilan m erupakan salah satu alat bukti yang sah. Keterangan tersebut bisa atas inisiatif sendiri atau merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, penuntut umum atau penasehat hukum. Isi keterangan bisa berupa pengakuan bisa pula berupa pengingkaran. Sesuai d engan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan terdak wa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, karena itu harus disertai dengan alat bukti yang lain. Hal ini sesuai dengan asas minimum pembuktian bahwa untu k menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, sekurang -kurangny a dibutu hkan d ua alat bukti yang sah. (Pasal 183 KUHAP). Persoalan muncul sehubungan dengan tuntutan untuk menerapkan asas pembuktian terbalik yang harus dilakukan oleh seorang terdakwa, yang juga diterapkan d i beberapa n egara sebagai lex apecialis, mengingat sifat beratnya kejahatan-kejahatan tertentu (seperti korup si, perp ajakan, narkotika, perlindu ngan kon sum en dan sebagainya) yang dianggap sebagai extraordinary crimes sehingga penanganannyapun membutuhkan extraordinary instruments. Dikatak an terda kwa, sebab secara universal tidak d ikenal pembu ktian terbalik yang bersifat um um , sebab hal ini sangat rawan terhadap pelanggaran HAM. Seseorang tidak dapat dituduh melakukan korupsi di luar proceeding (dalam kedu du kan sebagai terdakwa) hanya karena yang bersangkutan tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya. Dengan demikian sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga bersalah; dalam arti diduga melakukan korupsi tetapi beban 246
pembu ktian terbalik tersebut haru s d alam kerangka proceeding kasus atau tindak pidan a tertentu yang sedan g diadili berdasarkan Undan gun dan g Pemberantasan Tind ak Pidan a Korup si yang berlaku. Tanpa adanya pembatasan semacam ini maka sistem pembuktian terbalik pasti akan menimbu lkan miscarriage of justice yang bersifat kriminogin. Hal ini penting untuk diperhatikan, sebab fungsi kekuasaan atau penegakan hukum disamping harus mengendalikan kejahatan juga tetap harus melindungi hak-hak individu. Dalam hal ini terkait dengan penyimpangan terhadap asas praduga tidak bersalah dan asas non self incrimination . Pengaturan hukum pidana tidak boleh mengesankan adanya kepanikan yang m enyimpang dari asas-asas hukum tanpa d asar dan tanpa restriksi serta limitasi. Sikap berlebihan justru akan menimbulkan ketidakadilan karena mengesankan terjadinya overkriminalisasi dan pengaturan yang tidak proporsional serta membuka peluang untuk terjadinya ekses, seperti pemerasan (extortion) d an r a s a w a s - w a s d i m a s y a r a k a t y a n g c e n d e r u n g menyimp ang d ari tujuan h uku m, yakni rasa kepastian, keadilan, dan sebagainya. Sebagai pembanding di bawah ini akan digambarkan sistem pembuktian terbalik yang berlaku di Britania Raya, Republik Singapura, dan Malaysia. Di Britania Raya, atas dasar Prevention of Corruption Act 1916 terdapat pengaturan apa yang dinamakan praduga korupsi un tuk kasus-kasus tertentu yang bunyinya adalah sebagai berikut: “Jika dalam kasus d akwaan terhad ap seseorang karena kejahatan d i bawah Undan g-undan g 1906 tentang Pencegahan Korupsi, atau UU 1889 tentang Pelbagai Praktek Korupsi Badan -badan Publik, terbukti bahwa uang, hadiah, atau upah lain dibayar atau diberikan kepada atau d iterima oleh seseorang yang m emiliki jabatan d i lingkun gan Kerajaan atau Departemen Pemerintahan atau Badan Publik dari seseorang, atau suatu agen yang memiliki atau berusaha mendap atkan kontrak d ari Raja atau Departem en Pemerintahan atau Bada n Publik, maka uang, had iah atau upah tersebut d ianggap sebagai pemberian atau p embayaran d an p enerimaan yang bersifat korup si sebagaimana disebutkan d alam u ndan g-undang, kecuali terbukti sebaliknya”.
Di Singapu ra, atas dasar Prevention of Corruption A ct (Chapter 241) ditegaskan sebagai berikut: 247
“Jika dalam kasus d akwaan terhad ap seseorang karena kejahatan d i bawah pasal 5 atau 6 terbukti bahwa iming-iming diberikan kepad a atau d iterima oleh seseorang yang m emiliki jabatan d i lingkun gan pemerintah atau departemen tertentu atau badan publik atau suatu agen yang berusaha untuk mendapatkan kontrak d ari Pemerintah atau Departemen Pemerintah an atau bad an pu blik, maka iming-iming atau pemberian tersebut dianggap sebagai pembayaran dan penerimaan yang bersifat korupsi sebagai pelicin sebagaimana disebutkan sebelum nya kecuali terbukti sebaliknya”.
Di Malaysia atas dasar The statutes of Prevention of Corruption (1961) diatur pula apa yang d inamakan Presumption of corruption in certain cases yang bunyinya sebagai berikut: “Jika dalam kasus d akwaan terhad ap seseorang karena kejahatan d i bawah p asal 3 atau 4 terbukti bahwa iming-iming atau sesuatu d ibayar atau d iberikan kepad a atau diterima oleh seseorang yang m emiliki jab at an d i lin gku n gan bad an p u bl ik , im in g-im in g at au p em be ria n tersebut dianggap sebagai pemberian atau pembayaran yang bersifat korup si sebagai pelicin sebagaimana d isebutkan sebelumn ya, kecuali terbukti sebaliknya”.
Selanjutn ya atas d asar Und ang-un dan g Akta Malaysia 575, Akta Pencegahan Rasuah 1997 ada kewajiban bagi pegawai bad an aw am untuk melaporkan transaksi penyogokan dengan ancaman pidana berat bagi yang melakukannya (maksimum 100,000 ringgit atau penjara maksimum atau kedua-duanya). Di Singapu ra ada ketentuan ap a yang dinamakan N on Acceptance of Gifts yang dikeluarkan oleh suatu lembaga atau badan yang memiliki tugas investigasi terhadap korupsi (Corrupt Practices Inv estigation Bu reau ), sebagai berikut: “ P a r a p e g a w a i p u b l i k t id a k d i b en a r k a n u n t u k m e n e r im a h a d i a h apapun dalam bentuk uang mau pun barang dari orang-orang yang memiliki kontak resmi dengan mereka. Mereka juga tidak d ibenarkan untuk menerima perlakukan istimewa yang menempatkan mereka berada d i bawah kewajiban yan g mengikat. Jika seseorang m emberikan hadiah kepad a orang yang m emiliki hubu ngan resmi dengannya, ia harus menolaknya. Dalam kondisi yang tidak termasuk kategori ini, pegawai tersebut dapat menerima hadiah d an menyerahkannya kepad a kepala depa rtemennya. Tetapi pegawai tersebut d ibenarkan memiliki hadiah tersebut jika ia membayarnya dengan harga yang ditentukan oleh akun tan pu blik”. 248
Sebagai catatan p erlu d ikemukan , yaitu ap abila akan d iatur sistem pembuktian terbalik hendaknya tidak berlaku surut, sebab akan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), di samping bertentangan dengan instrumen-instrumen HAM internasional. Model sebagaiman a diterapkan d alam Peradilan ad hoc yang berlaku surut hend aknya merupakan yang pertama d an terakhir mengingat sifatnya sebagai bagian d ari the international customary law . Kesimpulan 1. Pengaturan sistem p embuktian terbalik dap at dilakukan, sebab hal ini juga dikenal di beberapa negara, dan harus dipertimbangkan sebagai lex specialis dengan menerapkan asas pradu ga bersalah. 2. Pengaturan sistem pembuktian terbalik tidak dap at dilakukan secara um um sebab rawan terhadap p elanggaran HAM, sehingga diperlukan restriksi dan limitasi bahwa seseorang harus dalam kedudukan terdakwa terlebih dahulu dalam kerangka proses peradilan dalam kasus atau tindak pidana tertentu, sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku. 3. Di pelbagai negara ketentuan tentang asas pembuktian terbalik berkaitan tindak pidana korupsi tertentu, khusu snya tindak pidana suap atau pemberian lainnya yang terkait dengan jabatan dimilikinya un tuk melakukan tran saksi dengan si pemberi. 4. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik akan berkaitan dengan sistem kewajiban melapor telah terjadinya suap atau pemberian lainnya yang di pelbagai negara dilakukan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidan a Korupsi. 5. D a la m h a l te r d a k w a d a p a t m e m b u k t i ka n b a h w a i a t id a k melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh p engadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa d akwaan tidak terbukti. 6. Dalam kaitannya d engan UU No.31 Tahun 1999, pem buktian tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber p enambahan kekayaannya, keterangan tersebut d igunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (tindak pidana pokok) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 249
UU No. 31 Tahun 1999. Dalam h al ini jaksa p enu ntu t um um tetap wajib membuktikan dakw aannya. 7. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik cenderung diintegrasikan ke dalam undang-undang yang mengatur peru bahan atas UU N o.31 Tahu n 1999. Pengaturan melalui Perpu hendaknya dihindarkan mengingat kedudukan Perpu berada di bawah Undang- undang, di samping adanya persyaratan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang bersifat debatable. 8. Ketentu an tentang sistem pem buktian terbalik hend aknya tidak berlaku surut, sebab akan bertentangan dengan UUD 1945 dan Instrumen HAM nasional maupun internasional. n
250
P o l i t i k H u k u m Pi d a n a , D a s a r K r i m i n a l i s a s i d a n De K r i m i n a l i s a s i , s e r t a B e b e r a p a A s a s Da l a m R U U K U H P Berbicara tentang p olitik huku m p idana (criminal law politics) pada dasarnya meru pakan aktivitas yang menyang kut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Dengan demikian terkait di sini proses pengambilan kepu tusan atau pemilihan melalui seleksi di antara pelbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan dari sistem huku m p idana mend atang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusunlah pelbagai kebijakan yang berorientasi pad a pelbagai perm asalahan pokok d alam huku m p idana (perbuatan yang bersifat melawan hu kum , kesalahan/ pertanggu ngjawaban pidan a dan pelbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maup un tindakan). Dalam kerangka di atas, didengar pelbagai aspirasi yaitu dari sisi suprastruktural, Infrastruktural, akademisi, dan kecenderungan internasional yang sejauh mungkin selalu berorientasi pada tujuan publik (public goals) dan menjauhi tujuan individual yang bersifat subyektif (private goals). Dalam merumu skan pembaharuan hu kum p idana (criminal law reform) yang bersifat sistemik, tidak bersifat ad hoc dan tam bal sulam, bukanlah pekerjaan yang ringan mengingat sifat multidimensi masyarakat Indonesia, yang di satu pihak ingin terus mem perhitungkan aspek-aspek partikularistik yang melekat pada agama, etika, moral bahkan kepercayaan pada kekuatan gaib yang bersifat pluralistik, dan d i lain p ihak menginginkan keberadaan huku m p idana modern yang memenuh i standar baku pergaulan antar bangsa dalam rangka hu bun gan internasional dan proses globalisasi. Pemilihan yang didasarkan atas pendapat konseptual keahlian 251
yang berlaku juga tidak mudah mengingat banyaknya aliran dalam huku m p idana, asosiasi profesional hukum pidana yan g berkembang, dan p erbedaan sistem hu kum atau keluarga huku m yang ada. Dengan demikian m elalui metode perbandingan hu kum dan sistem hukum antar negara — yang juga pernah mengalami pembaharuan hukum pidana — sejauh mungkin dapat digali common denominators d an pelbagai kecend erungan jangka p anjang yang d apat d iadopsi setelah melalui adaptasi yang akurat. Sepanjang mengenai perbandingan hukum, pelbagai KUHP negara-negara m odern telah d ikaji, baik yang m asuk dalam kategori keluarga hukum Eropa Continental, Negara-negara Anglo Saxon, Sosialis, Timu r Tengah d an Timu r Jau h, kecend erun gan Intern asional diamati m elalui p elbagai konvensi internasional, model-law , resolusi PBB, code of condu ct , standard minimum rules, deklarasi, asas-asas, rules, safeguards, basic principles, guidelines, model treaty , hasil pelbagai kongres internasional, hasil seminar asosiasi hukum pidana, krimin ologi, viktimologi internasional, jur nal-jur nal ilmiah da n ha silhasil riset dari lembaga-lembaga terkem uka. Melakukan pembaharuan terhadap kodifikasi hukum pidana yang telah berumur lebih dari 100 tahun bukanlah pekerjaan yang gampang (N ederlandse W etboek van Strafrecht lahir berdasarkan UU tan ggal 2 Maret 1881 Stb. 35 d an m ulai berlaku tang gal 1 Septem ber 1886 atas dasar Undang-undang pengesahan ( Invoeringswet ) tanggal 15 Apr il 1886 Stb. 64). KUHP Beland a ini mem pen garu hi hu ku m p idan a Indonesia secara mendasar melalui tiga jalur yaitu; (a) melalui asas konkord ansi zaman H india Belanda; (b) melalui doktrin hu kum yang berkemba ng p ad a saat KUHP tersebu t disusu n (MvT); da n (c) melalui text book huku m p idana yang ditulis oleh para sarjana hu kum Beland a serta melalui kajian yu risprud ensi. Di samping itu tak dapat dikesampingkan p erkembangan d alam suasana kemerd ekaan pasca UU No.1 Tahun 1946 dan perkembangan akibat harmonisasi dengan perkembangan internasional. (Di era reformasi “criminal law reform” mend apat misi baru yaitu melakukan demokratisasi hukum pidana seperti promosi dan p erlindun gan HAM dan sebagainya). A l ir a n H u k u m Untuk dapat m emahami hukum pidana yang berlaku d i suatu bangsa 252
(huku m p ositif) termasu k “ius constitu endum ” hukum pidana Indonesia berupa RUU KUHP Indonesia, secara strategis perlu dipahami aliran huku m pidana yang dianut d an tujuan pemidanaan yang d iadopsi. Aliran p ertama yang tu mbu h sebagai reaksi tersebut ancien regime yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis adalah aliran klasik. Karakteristik aliran ini adalah: (a) legal definition of crime; (b) let the punishment fit the crime, (c) doctrine of free will; (d) death penalty for some offense; (e) anecdotal method no empirical research; (f) definite sentence. Aliran ini sangat mew arnai KUHP Belanda pad a saat pem bentu kann ya, sebagai pengar uh KUHP Perancis, tentun ya den gan beberapa m odifikasi sebagai akibat pengaru h Aliran Modern. Hu kum pidana dalam kerangka Aliran Klasik d isebut “Daadstrafrecht” atau “Tatsstrafrecht” yakni hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan (offense-oriented). Aliran yang kedua adalah “Aliran Modern” yang timbul pada abad 19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat (offender-oriented). Aliran ini sering juga disebut “aliran positif”, karena dalam m encari sebab kejahatan menggu nakan m etode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan memp engaruhi penjahat secara p ositif sejauh masih dap at d iperbaiki. Karakteristik “Aliran Modern” adalah: (a) rejected legal definition of crime and substituted natural crime; (b) let the punishment fit the criminal; (c) doctrine of determinism; (d) abolition of the death penalty; (e) empirical research: use of inductive method; (f) indeterminate sentence. Sekalipun KUHP secara sistemik didominasi “Aliran Klasik”, namun secara sporadis juga sudah dipengaruhi Aliran Modern, seperti pengaturan tentang pidana bersyarat, masuknya sistem tindakan, dan sebagainya. Aliran Modern disebut sebagai “daderstrafrecht” atau “taterstrafrecht”. Aliran yang ketiga adalah aliran “Neo Klasik”. Aliran ini berkembang bersamaan dengan aliran modern dan berd asarkan juga pada “Doctrine of Free Will” dengan modifikasi. Aliran ini berusaha secara simultan u ntuk m emperhatikan baik perbuatan mau pu n si pelaku (offence-offender oriented ) . Karakteristiknya adalah: (a) modifikasi dari “doctrine of free will” y a n g d a p a t d i p e n g a r u h i o l e h p a t o l o g i , ketidakmampuan, penyakit jiwa, atau keadaan lain; (b) diterima b e r l a k u n y a k e a d a a n - k e a d a a n y a n g m e r i n g a n k a n (mitigating circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental; (c) modifikasi doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan 253
pidan a dengan pertanggu ngjawaban ngjawaban sebagian di dalam hal-hal khu sus seperti gila, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat memp engaruhi pengetahuan dan niat seseora seseorang ng p ada saat terjadinya terjadinya kejahatan; (d) diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert ngjawaban. Aliran Aliran Neo testimony) un tuk menentu kan derajat pertanggu ngjawaban. Klasik Klasik pad a dasarnya m erup akan gabun gan un sur-unsu r positif positif Ali Aliran ran Klasik Klasik dan Aliran Aliran Mod ern dan banyak d ianut pelbagai negara di du nia. Masih bisa dicatat di sini aliran-aliran lain seperti “Aliran Perlindu Perlindu ngan Masyarakat” Masyarakat” (de leer van de Defense Sociale), “Aliran P e r l i n d u n g a n M a s y a r a k a t B a r u ” d a n “Mazhab Utrecht” y a n g menganggap kejahatan sebagai suatu gejala manusiawi dan perny ataan seluru seluru h kepribadian pelaku. Sesudah Sesudah d iadili dan kemu dian dipidana atau diperbaiki, selanjutnya harus dipupuk dan dikembangkan. Kepada para penjahat, Aliran Perlindungan Masyarakat ingin memberikan kekuatan “mengekang diri sendiri” dan memupuk perasaan tanggungjawab penjahat, sebagai p e r t a n g g u n g j a w a b a n s e s a m a m a n u s i a t e r h a d a p p e n j a h a t ( de “verantwoordelijkheid van de medemens” tegenover de delinquent). Dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan, maka pemahaman akan aliran-aliran aliran-aliran tersebut akan membaw a pembu at kebij kebijakan kepad a cakrawala hu kum yang lebih lebih luas sebelum sebelum m engambil putusan tentang tujuan p emidanaan yang akan digariskan. Dari Pasal Pasal 50 50 RUU RUU KUHP namp ak bahw a secara secara selektif selektif para p erancang ingin ingin m engadopsi teori gabungan dari “Teori Absolut” yang berorientasi pada pembalasan dan “Teori Relatif” yang bernuansa kemanfaatan, dengan menyertakan p ula pengalaman “sistem pemasyarakatan” yang telah diterapkan di Indonesia selama bertahun-tahun. Pandangan penyelesaian konflik dalam kerangka ekuilibrium mendapatkan pembenaran dari pandangan adat. Teori Pembalasan tidak nampak secara eksplisit, sebab secara implisit pembalasan da lam arti konstruk tif dan positif (yang dibatasi oleh kesalahan si pelaku dan tidak membabi buta) dianggap telah tercakup dalam tujuan pemidanaan yang lain. Tujuan pemidanaan yang pertama berupa mencegah mencegah d ilakukannya ilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat merupakan refleksi dari teori “Prevensi General” (menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma). Di sini sekaligus dimasukkan fungsi perlindungan (de beveiligende 254
werking). Sedangkan tujuan yang kedua berupa memasyarakatkan terpidana terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga sehingga m enjadi enjadi orang yang ba ik dan bergu na, mencerminkan “Teori Prevensi Spesial”, Spesial”, yaitu untuk mendidik dan m emperbaiki. emperbaiki. Tujuan Tujuan pemid anaan ketiga ketiga (menyelesaikan (menyelesaikan konflik konflik yan g d itimbu itimbu lkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa dam ai dalam masyarakat) disamping mend apatkan du kungan kultural hukum adat berupa mengembalikan “evenwicht”, nampaknya secara konseptual mengadopsi pandangan LHC Hulsam yang menyatakan bahwa dua tujuan penting dari pidana adalah mempengaruhi tingkah (gedragbeinv invloe loeding ding en conflict conflictoplo oplossin ssing) g) . laku d an penyelesaian penyelesaian perselisihan perselisihan (gedragbe Hal ini mencakup memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh suatu perbuatan, memperbaiki hubungan yang putus dan mengembalikan kepercayaan kepercayaan terhadap sesama sesama m anusia. Tujuan Tujuan p idana yang keempat (membebaskan rasa bersalah bersalah pad a terpidana) mengandung makna destigmatisasi, di samping mengad opsi pandan gan mereka yang menganut “Teori Perlindu Perlindu ngan Masyarakat” di atas, yakni bagaimana memupuk perasaan tanggungjawab penjahat sebagai pertanggungjawaban sesama manusia. Salah satu tokohnya, Kempe, menyatakan: “jika pada si penjahat timbu timbu l perasaan bersalah, sehingga dengan menyesal dap at menerima menerima bahw a ia merupakan pelaku pelaku perbuatan tersebut” tersebut” (wanner bij de dader schuldbewutszijn onstaat, zodat de dader zichzelf bereouwvol kan aanvaarden als de dader van zijn daad). Kriminalisasi Makna asli d ari kriminalisasi (criminalization) adalah proses proses untu k menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Dekriminalisasi adalah sebaliknya. Dalam perkembangan selanj selanjutnya utnya kriminalisasi kriminalisasi dapat d iartikan iartikan p ula sebagai mengaktualisasikan peraturan hukum pidana agar lebih efektif. Contohnya adalah kalau delik lingkungan pada masa lalu dianggap sebagai “ultimatum remedium”, t e t a p i t u n t u t a n i n t e r n a s i o n a l menghend aki agar fun fun gsi hukum pidana d alam kejahatan kejahatan lingkun lingkun gan menjadi “primum remedium”. Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai usaha u ntuk m emperluas berlakunya huku m p idana. Sebagai Sebagai contoh diaturnya “corporate criminal liability” yang bersifat umum da lam RUU KUHP seper ti Pasal 51 51 KUHP KUHP Beland Beland a saat ini. 255
Konsep Konsep “tindak pidana” yang d ianut tetap mempertahankan asas legalitas, legalitas, deng an p erkecualian erkecualian diaku inya secara secara p ositif ositif huku m yan g hidup atau hukum adat, walaupu walaupu n perbuatan tersebut tersebut tidak tidak d iatur iatur dalam p eraturan p erund ang-undan gan. Pasal Pasal 1 RUU, RUU, dan selanjutnya selanjutnya dalam Pasal 15 15 RUU, RUU, sej sejauh menyangku t u nsur sifat sifat melawan huku m maka dimasukan unsur materiil berupa “bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat”. Dan apabila terjadi benturan antara keadilan dan kepastian hukum, hakim sejauh mungkin harus mengutamakan rasa keadilan di atas kepastian hukum, seperti dilukiskan dalam sebuah adagium: “Penegakan hukum tanpa moral merupakan kezaliman, sebaliknya penegakan moral tanpa hukum merup akan anarki”. anarki”. Mengenai ukuran kriminalisasi dan deskriminalisasi secara doktrinal harus berp edoman pad a hal-hal sebagai sebagai berikut: berikut: a ) k r im i m i n a li l i sa sa s i ti ti d a k b o le le h t e r k es es a n m e n i m b u l k an an “overkriminalisasi” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”; b) kriminal kriminalis isasi asi tidak tidak boleh boleh bersif bersifat at ad hoc; c) krimina kriminali lisas sasii harus harus mengandung mengandung unsur korban korban (victimizing) baik aktual maup un potensial; potensial; d ) kriminal kriminalis isasi asi harus memperhitungkan memperhitungkan analisa analisa biaya biaya dan hasil hasil dan prinsip ultimum remedium; e) kriminal kriminalis isasi asi harus menghasil menghasilkan kan peraturan peraturan yang yang “enforceable”; f) krimina kriminali lisa sasi si harus memperol memperoleh eh dukungan publik publik ; g ) k r im i m i n al a l is is a si s i h a r u s m en e n g a n d u n g u n s u r “subsosialiteit” (mengakibatkan b ahaya bagi m asyarakat, sekalipu sekalipu n kecil kecil sekali); sekali); h) kriminali kriminalisasi sasi harus memperhatikan peringatan peringatan bahwa setia setiap p peraturan pidana m embatasi kebebasan kebebasan rakyat dan memberikan memberikan kemungkinan kepada kepada aparat penegak hukum untuk m engekang engekang kebebasan itu. Sepanjang menyangkut dekriminalisasi, di samping pedoman kriminalisasi tersebut yang secara terbalik bisa bisa dima nfaatkan, kiranya perlu diingat bahwa Pasal V UU No. 1 Tahun 1946 yang memberlakukan WvS ke seluruh seluruh wilayah Indonesia juga juga memberikan uku ran sebagai sebagai berikut: berikut: “Peraturan Peraturan huku m p idana, yang seluruh seluruh nya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedu du kan RI sebagai sebagai negara negara merdeka, atau atau tidak tidak m empun yai 256
arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku”. Hal-hal lain lain yang d apat d itonjolkan itonjolkan antara lain adalah: 1. P en ga ga k u an an hu hu ku ku m a d at at ; 2. Penon Penonjjolan olan kea keadi dillan diat diatas as kepas kepasti tian an hukum; hukum; 3. D en en d a d e ng ng an an si sis te te m k at at eg eg or or is is ; vicarious liability liability dan st rict liability liability dalam h al tertentu; 4. D ia t u r n y a vicarious tertentu; 5. D ia t u r n y a corporate criminal liability secara secara umu m; 6. Dirumusk Dirumuskann annya ya tuj tujuan uan pemidana pemidanaan an sec secara ara jel jelas as;; 7. D ir ir u m u sk sk an an n ya ya pe ped o m an an p em em b er er ia ia n p id id a na na (standar guidelines of sentencing); 8. Penga Pengatura turan n sis siste tem m ti tindakan ndakan sec secara ara tegas tegas;; 9. Diaturnya Diaturnya sanksi sanksi alte alternat rnatif if berupa berupa pidana kerj kerja sos sosia iall dan pidana pengawasan serta serta pidana tutup an (custodia honesta); 10. P id id a n a t am am b a h an an b e ru ru p a g a n ti t i ke k e ru r u g ia i a n d a n p e m en en u h a n kewajiban adat; 11. 11. Pidana Pidana mini minimum mum khusus untuk tindak tindak pidana pidana tert tertent entu; u; 12. 12. Pidana Pidana mati sebaga sebagaii pidana perkec perkecuali ualian an dan diatur diatur pula pidana pidana mati bersyarat (conditional capital punishment); 13. 13. Ada pengatura pengaturan n khusus tent tentang ang pidana pidana dan tindakan tindakan bagi bagi anak; anak; ditentukan pu la batas batas usia bagi tanggu ngjawab pidana: 12 12 tahu n; sanksi alternatif sangat d ikembangkan bagi anak an tara 12-18 12-18 tahun; 14. 14. Pengerti Pengertian an “barang” “barang” meliputi meliputi benda benda berwujud berwujud termasuk termasuk air air dan uang giral, giral, dan benda tidak berwujud termasuk aliran listri listrik, k, gas, data dan program komputer, jasa, jasa telepon, jasa telekomu telekomu nikasi atau jasa jasa komp uter; 15. 15. Surat selain selain yang yang tertulis tertulis di atas kertas, kertas, juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain. n
257
P ol ol i t i k , H u k u m , d a n P o l i t i k H u k u m ( II)) “Bad laws are the worst sort of tyranny” (Edm (Edm und Burke)
Hu bungan antara tiga variabel variabel di atas (politik, (politik, huku m, dan politik politik huku m), penting penting u ntuk diletakkan diletakkan dalam konteks diskursus proses dem okratisasi okratisasi dan reformasi reformasi d i Indonesia, karena karena r eformasi eformasi sendiri pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar (core values) atau indeks demokrasi. Nilai-nilai dasar demokrasi tersebut bertump u pad a lima lima ind eks utama yaitu: sistem sistem pemilihan pemilihan yan g jujur jujur dan adil untu k jabatan-j jabatan-jabatan abatan pu blik; blik; keberadaan p emerintah yang terbuka, akuntabel dan responsif; responsif; promosi dan p erlindun erlindun gan hak asasi manusia (khususnya hak sipil dan politik); keberadaan masyarakat yang penu h p ercaya ercaya diri (civil society ); dan eksistensi eksistensi kepemimp inan yang “committed” pad a nilai-nil nilai-nilai ai dasar d emokrasi. Tanpa adanya komitmen terhadap nilai-nilai universal mudah politicall malpra malpractice ctice” yang bersifat subyektif, sub-standard , yang terjadi “ politica semua itu hanya akan merugikan kehidupan bangsa dan negara. Dalam Dalam p raktek, raktek, tanpa adanya standar yang baku d an d iakui sec secara ara universal, negara yang paling otoriter sekalipun akan menyatakan dirinya sebagai negara d emokratis. emokratis. Secara ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin politi politik, k, tetapi tetapi juga juga m engandung pand angan hidu p suatu m asyarakat. asyarakat. Tinggi Tinggi rendah nya stand ar demokr asi tergantu ng dari pelbagai faktor pendukung, seperti tingkat kemajuan sosial-ekonomi, kualitas golongan menengah , kualitas kualitas kepemimpinan , dan yang p enting juga juga 258
disebut ad alah penafsiran tentang m akna r elativi elativisme sme ku ltural. Seperti Seperti kata sebuah sebuah u ngkapan : “there is probably no single word which has been more meanings than democracy ” (Cord . dk k, 1999 1999). ). Pemahaman tentang demokrasi ini akan membawa kita pada disku rsus tentan g tiga variabel jud jud ul d i atas. Istilah Istilah “politik” dapat diartikan sebagai “the human interactions involved in the authoritative alloca allocations tions of values for society society . It inv olves people people deciding deciding,, or havin g decided decided for for them, how how to distribute material material goo goods and service services, s, or even sym bolic bolic values, and it includes the procedures and power plays involved in reaching, those decisions”. (Medelros, 1991). Politik dan kekuasaan tak dapat dipisahkan, sebab politik akan selalu selalu m elibatkan elibatkan kelomp ok-kelomp ok-kelomp ok orang den gan p elbagai konflik konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa yang membedakan politics of the state) dan “politik “politik negara” ( politics “politik organisasi” lain lain d alam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya dengan menggunakan atau m enerapkan enerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang sah berdasarkan berdasarkan huku m. Dalam sistem politik para pengambil keputusan selalu mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompokkelompok kelompok kepentingan dan d uku ngan masyarakat yang percaya percaya pada ligitimasinya. ligitimasinya. Setelah Setelah melewati proses konversi, mereka meru mu skan keluaran keluaran berup a keputusan-keputu san dan tindakan-tindakan, antara antara lain dalam bentuknya yang utama yaitu berupa pelbagai produk huku m d an kebijakan kebijakan um um. Apabila Apabila ingin ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme untuk menyerap umpan balik. balik. Kesi Kesimp mp ulannya, ingin ingin d itegaskan itegaskan bahw a “hu kum ” d an “p olitik olitik hukum” (legal policy ) pada dasarnya merup akan produ k dari sistem sistem politik. politik. Dengan demikian namp ak bahwa warn a dan kualitas hu kum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem p olitik olitik yang berlaku. Sebagai Sebagai contoh: “ haatzaai artikelen ” warisan kolonial; UU No. 19 tahu n 1964 1964 yang mem un gkinkan Presiden demi kep entingan revolusi mencamp mencamp uri p engadilan, engadilan, UU N o. 11 11 PNPS 1963 pada zaman Orde Lama dan diteruskan zaman Orde Baru, digunakan untu k kooptasi kekuasaan kekuasaan eksekutif eksekutif terhadap kekuasaan yu dika tif atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No . 14 14 Tahu Tahu n 1970 1970 dan lain lain. Ingat pula pengaruh hukum Belanda yang secara sistematis 259
dilakukan melalui asas konkordansi, yurisprudensi, dan doktrin hukum. Politisasi huk um terjadi d i semua lini aktivitas huku m, baik proses pembuatan hukum ( law making process), proses penegakan huku m ( law enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law awareness process) . Di atas disebutkan bahwa keluaran tidak hanya berup a keputu san hukum, tetapi juga tindakan. Dalam sistem politik atau suatu rezim yang berlaku, maka aparatur pendukung biasanya sudah dibentuk untuk secara konsisten mempertahankan jiwa dan semangat sistem politik tersebut, termasuk p ara hakim yan g mestinya merup akan deputy legislators ikut serta dalam semangat mesin politik. Karena itu tidak heran apabila dalam sistem politik yang buruk muncul malpractice of law atau miscarriage of justice berupa pelanggaran hukum dan HAM, yang dalam istilah politik biasa d isebut crimes by government atau political crimes yang bersifat ekstra yu disial. Praktek p enyimpangan itu biasanya baru teru ngkap setelah terjadi pergan tian rezim. Yang men arik adalah para p enentang rezim otoriter yang sedang berkuasa d inyatakan telah melakukan crimes against government . Uraian di atas menempatkan hukum sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable. Dalam m asa transisi dari suatu rezim otoriter menu ju r ezim dem okratis terjadi p ergeseran nilai yang mengakibatkan hu kum mempu nyai “fungsi ganda” (dual function ). Artinya proses politisasi hukum tetap terjadi oleh rezim baru yang reformis dan demokratis, di mana hukum digunakan untuk membongkar d an m empengaruh i agar tatanan sosial menjadi aspiratif dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum sebagai independent variable terhadap kehidu pan sosial politik. Dalam hal ini bisa dilihat pelbagai prod uk p erund ang-und angan yang mu ncul setelah TAP MPR-RI No. X/ MPR/ 1998 tentang “Pokok-Pokok R ef o r m a s i P em b a n g u n a n D a l a m R a n g k a P e n y e l a m a t a n D a n Nor malisasi Kehidu pan N asional Sebagai Haluan N egara”. TAP MPR tersebut antara lain memuat politik dan strategi reformasi sistem hukum, baik yang bersifat struktural, substantif, maupun kultural . Non et (1988) dan McLean (1999) mengid entifikasikan bahw a baik menempatkan hukum sebagai independent variable maupun sebagai dependent variable sama-sama mengu ndang bahaya dengan konotasi yang berbeda-beda. Dalam rezim yang otoriter yang memp raktekkan mod el 260
hukum yang represif nampak beberapa karakteristik sebagai berikut: hukum berburu ketertiban dan mengesampingkan keadilan; hukum diciptakan dan digunakan secara ad hoc dengan pendekatan yuridis dogm atis; pengatu ran tersubord inasikan p ada keku asaan politik; diskresi bersifat opor tun istik; mor alitas komu nal/ institusional lebih ditonjolkan den gan m engorban kan m oralitas sipil. Di sini terjad i suatu kond isi yang disebut “tirani huku m”, how the law is taking away our liberties . Di dalam masyarakat demokratis yang mendayagunakan huku m yang responsif dan otonom, karakteristik hubungan hukum dan kehidu pan sosial berusah a digeser, legitimasi dan kom petensi menjadi menonjol; kejujuran prosedural dan keadilan substantif mulai dibicarakan; pend ekatan hu kum bersifat sistemik, meng acu pad a asas dan kebijakan yang terpad u; pendekatan sosial dalam hu kum (yuridis sosiologis) dilakukan; d iskresi berorientasi pad a tu juan ; moralitas sipil membatasi kekuasaan negara; dan terjadi integrasi antara aspirasi hukum dan politik. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa tindakan yang terlalu bersemangat dalam hal ini juga dapat menimbulkan ekses berup a kond isi overregulasi, dan dalam h ukum pidana lebih khusus disebut “overcriminalization ” yakni berupa salah penggun aan sanksi pidana. Hal ini pada dasarnya juga merupakan sisi lain d ari “tirani hu kum ”, yang karakteristiknya ad alah sebagai berikut: • hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan manusia; • semboyan yang berkembang adalah “there is no problem on earth that ca not be solved by legislation”; • orang menjadi tidak bahagia karena hukum mencampuri aspekaspek yang kecil dan sangat pribadi dalam kehidupan manusia (ingat istilah “victimless crimes”); • hukum positif menjadi semakin banyak dan ada kecenderungan untuk menggunakan huku m pidana sebagai “penekan”; • alasan reformasi dan supremasi hukum sering digunakan sebagai pembenaran; • s et ia p p e ja b a t b a r u m e n ja d i ka n p r o d u k p e n g a t u r a n s eb a g ai ind ikator kinerja; • terjadi suasana: banyak sekali hukum tapi sedikit sekali keadilan (more laws but less justice); • t i m b u l s ik a p n e g a ti f d a n n o n k o p e r a t if m a s y a r a k at d a l am penegakan hu kum bahkan menjurus kurang menghargai hukum (wibawa hu kum merosot); 261
•
• •
•
•
pelanggaran hukum d an pemidanaan (misalnya dalam tindak pid ana ekonom i) sering dihayati sebagai kesialan ( unlucky ) bahkan si pelaku sering menyebut dirinya sebagai “korban dari sebuah sistem huku m yang tidak adil”; hukum kehilangan kredibilitasnya; apa yang dikatakan sebagai “ widespread distrust of the law ” menggejala; a la s an k e p e n ti n ga n u m u m y a n g l eb ih l u a s d ija d i ka n a la s an peng aturan yan g merug ikan hak-hak ind ividual; (misalnya distorsi terhadap prinsip hak m ilik memp un yai fun gsi sosial); h u ku m k eh ila ng an moral and social framework , toleransi dan akal manusia dikalahkan oleh the single-minded social engineering instincts; Mana yan g “legal”, man a yang “m oral” menjadi tidak jelas. (dikatak an Austin, bahwa “the only behind the law is physical force, not moral and ethical ”. Selanjutnya Lord Devlin dalam hal ini mengatakan “ there is no longer a moral obligation to obey the law in all circumstances. ”; Ingat dalam h al ini perkembangan konsep “ strict liability = liability without mens rea” dalam “administrative criminal law ”; tujuan hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian (keeping the peace), bahkan menuju ke negara polisi; ( McLean :”Western countries are sleepwalking to a police state” ).
Sebagai catatan penting dikemukakan bahwa dalam hukum pidana berkembang konsep yang memberikan pedoman tentang “syarat kriminalisasi”, seperti perbuatan haru s victimizing baik aktual mau pu n p otensial, tidak boleh bersifat ad hoc, penerapan p rinsip cost and benefit analysis; “ ultima ratio principle”; du kungan masyarakat, tidak semata-mata bersifat retributif, dan memadukan pandangan prag matis dan akad emis serta aspirasi internasional. Politisasi hu kum oleh kekuasaan juga terjadi d i du nia internasional. Dewan Keaman an PBB melalui instru men h uku m internasional (misalnya resolusi) bisa menekan negara-negara tertentu u ntu k kepentingan politik negara-negara adi kuasa yan g sering tidak konsisten. Contohnya p elbagai pengad ilan HAM yang digelar secara selektif. Pengalaman kita di era reformasi, cukup banyak dalam membuat pelbagai perundangun da ngan , baik di bidang sosial politik, HAM, KKN, ekonom i di bawah “tekanan halus” IMF melalui “ Letter of Intent” (LOI). Belum lagi tun tutan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi hukum antar bangsa dalam rangka kerjasama internasional di era globalisasi. n 262
P ol i t i k , H u k u m , d a n Po l i t i k H u k u m (I I ) Politik dan politisasi tidak har us berkonotasi negatif. Politik haru s jug a d ilih at seba ga i the process of government, dan politisasi harus dipand ang sebagai the giving of a political character to something. Teori politik bahkan penuh dan sarat dengan studi tentang falsafah kenegaraan dan pemerintahan serta pemikiran-pemikiran yang terkait. Istilah “politik” sering berkaitan deng an p emerintahan deng an lembaga-lembaganya. Di bidang hukum, apapun kedudukan variabel politik, apakah sebagai dependent atau independent variable pada akhirnya sebagai keluaran (output). Hu kum sebagai kebijakan meru pakan p ilihan dari sekian alternatif yang mungkin terjadi, setelah melalui proses interaksi dalam sistem perjuangan politik. Langkah-langkah untuk menghasilkan kebijakan merupakan perjuangan politik yang berat, sebab seperti pernah dibahas politics is the struggle over the allocation of values in society . Terkandung di sini unsur lobbi, tekanan, ancaman, tawar-menawar d an kompromi. Peranan komun itas hukum adalah menjaga agar pelbagai proses tersebut tidak keluar dari prinsip hukum. Sebagai contoh adalah debat tentang berlakunya secara retroaktif UU Pengad ilan H AM ad hoc dalam p elanggaran HAM berat di m asa lalu. Seleksi melalui DPR atas d asar political wisdom merupakan jalan tenga h. (a d a ya ng m en gk ritis i sebag ai impun ity by parliament ). Di tingkat internasional pemberlakuan secara retroaktif hukum pidana d alam Tribunal Ad H oc (Nu rm berg, Tokyo, Form er Yug oslavia, Rwanda dll) didasarkan atas international customary law d a n the principles of just ice). Berbicara tentang politik selalu menarik, sebab aspek politik tidak 263
hanya berup a pengam bilan kepu tusan, tetapi juga talk, expression, picture, and image (drama and entertainment) . Dan yang lebih m enarik lagi adalah pemanfaatan komunikasi massa, baik media cetak, media penyiaran mau pu n media telekomunikasi/ internet untuk kepentingan politik. Dalam h al ini fungsi media massa dalam p olitik merupakan stud i tersendiri yang pada dasarnya mencakup fungsi-fungsi: pembuatan berita, interpretasi, sosialisasi, persuasi, dan perancangan agenda. Pendayagunaan media massa ini secara konseptual harus tetap dilakukan setelah p roses politik menghasilkan kebijakan d an tindak an dalam r angka sosialisasi dan d iseminasi. Di bidan g hu kum misalnya, hal ini sangat penting u ntuk m embentuk kesadaran hu kum. Betapa kuatnya aroma politik dalam kehidupan hukum terlihat dalam proses pembuatan un dang-und ang dan pelembagaan sistem checks and balances dalam pem erintahan yang demokratis serta praktek penerapan kekuasaan birokrasi. Di Indonesia proses pembu atan und ang-undang m enempuh proses dan aktivitas yang kompleks mulai dari penyusunan rancangan akademis yang penuh dengan nuansa academic reasoning seperti idealisme, hasil riset norm atif dan em piris; kajian kecenderu ngan internasional, tanpa mengesampingkan aspirasi supra dan infrastruktural; kajian prinsip-prinsip hukum juga sangat menonjol. (Catatan : Para sarjana hukum saat ini dinilai dilanda legal principles crises). Proses ini akan dilanjutkan dengan proses birokratik untuk menjaga sinkronisasi vertikal dan horizontal perun dang-und angan, serta konsistensi model perundang-undangan, termasuk struktur dan terminologi. Proses terakhir yang p aling komp leks adalah pr oses sosial-politik di parlemen. Paling kompleks, karena parlemen sebagai lembaga politik sangat heterogen ba ik dari segi aspirasi politik (mu lti partai), latar belakang sosial, aspirasi daerah, mau pu n d isiplin ilmu. Hal ini disertai keharusan untuk selalu melihat skala prioritas (program legislasi) yang juga p enuh dengan nu ansa p olitis. Pengalaman di negara demokrasi seperti di Amerika Serikat menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks. Proses pengenalan RUU (int roduction of bill) d i Congress (House of Representatives and Senate) sampai dengan Rancangan menjadi UU (bill becomes law) melalui persetujuan Presiden setelah dicapai komp romi baik di House mau pu n di Senat, selalu m elalui debat yang pan jang d an m elelahkan. Sebagai gambaran, setiap tah un Kongres menerima kur ang lebih 264
10.000 RUU dan yang menjadi undang-undang kurang lebih hanya 400. Digambarkan bahwa proses tersebut kompleks dan membosankan (complicated and tedious) . Lebih-lebih di Senat yang digambarkan bahw a d ebat tersebut pasti tiada h abisnya. Sistem checks and balances dalam kehidupan demokrasi sangat penting dan didisain untuk menjamin bahwa secara konstitusional tiga cabang kekuasaan dari pemerintahan nasional (Legislatif, Eksekutif and Yudikatif) bisa saling membatasi dan mengawasi kekuasaann ya satu sama lain, dan mencegah konsentrasi kekuasaan politik di salah satu kekuasaan. Gegap gempita Amandemen UUD 1945 saat ini, pada dasarnya sedang mencari bentuk yang mantap tentang sistem checks and balances tersebut. Sistem masa lalu (Orba) diiden tifikasikan sebagai executive heavy , sehingga menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Saat ini ada yang mengkritisi sebagai legislative heavy . Di Amerika Serikat dapat kita lihat praktek penerapan sistem check and balances; bahwa sekalipun suatu RUU (Bill) tidak akan menjadi Undang-undang tanpa persetujuan Kongres (House dan Senate) , n a m u n P r e si d e n d a p a t m e n g a ju k a n “ v e t o” t e r h a d a p keputusan Kongres tersebut. Sebaliknya Kongres dapat menolak (override) veto Presiden d engan 2/ 3 suara di House dan Senat. Di samping iu Presiden juga d apat mengusulkan un dang-und ang kepada Kongres dan mengun dang Kongres untu k melakukan sidang khusu s. Selanjutnya dapat dilihat bahwa kekuasaan Presiden untuk menunjuk kabinet d an d uta besar harus memperhatikan konfirmasi dar i Senat. Presiden juga h arus m enden gar nasehat d an persetujuan Senat m engen ai segala perjanjian (treaties) yang dibuat. Kemudian, sekalipun Presiden harus melaksanakan Undangund ang, tetapi yang m enyediakan anggaran ad alah Kongres. Presiden dan lembaga eksekutif lain dilarang menggunakan uang tanpa persetujuan Kongres. Kongres juga mempunyai wewenang untuk membentuk departemen dan badan-badan eksekutif. Selanjutnya Kongres juga m emiliki wewenang u ntuk melakukan impeachment dan mencopot Presiden d ari jabatann ya karena telah melakukan kejahatan dan p elanggaran berat. Mahkamah Agung ditunjuk oleh Presiden, dengan konfirmasi Senat. Secara tradisional, Mahkam ah Agu ng m emiliki 9 anggota, tetapi Kongres dapat menentu kan jumlah hak im. Lebih penting lagi, Kongres 265
dapat membentuk pengadilan federal tingkat bawah maupun pengadilan banding. Kongres harus membentuk pula jumlah hakim dan menentukan yurisdiksi pengadilan federal. Namun demikian yang sangat menarik adalah bahwa Mahkamah Agun g memp unyai wewenang untu k melakukan Judicial Review. Judicial R eview secara spesifik tidak diatur dalam konstitusi. Kekuasaan ini mencakup wewenang untuk menyatakan bahwa Undang-undang yang dibuat Kongres dan kebijakan Presiden m elanggar konstitusi. Catatan : Perlu d ikaji samp ai seberapa jauh sistem checks and balances terjadi pasca sistem bikameral (MPR terdiri atas DPR dan PDP); Bandingkan judicial review dengan wewenang Constitutional Court d i Jerman dan hak u ji materiil (materiele toetsingsrecht) di Ind onesia. Pengadilan –khususnya nampak dari penampilan Mahkamah Agung– pada dasarnya memiliki “status ganda”. Status pertama merupakan political body , sebab pengad ilan meru pakan bagian integral dari sistem pemerintahan, sehingga perdefinisi pengadilan merupakan institusi politik. Begitu pula proses penunjukan hakim agung tidak bisa lepas dari persaingan politik di DPR. Sulit untuk mem ahami Mahkamah Agung kecuali dalam konteks proses politik. Belum lagi peran annya sebagai pembu at kebijakan m elalui interpretasi hukum apakah kebijakan pemerintah bertentangan dengan UUD. Contoh: hak uji materiil dan PTUN. Status kedua sebagai instansi h u k u m . Se k a li p u n d i u s a h a k a n b e r l a k u n y a the principle of the independence of judiciary , tetapi hakim tidak memutus perkara dalam ruang yang hampa. Pengadilan tetap merupakan sub-sistem sosial. Hukum yang diterapkan juga merupakan hasil dari proses politik. Aroma politik dalam praktek birokrasi berkaitan erat dengan kenyataan bahwa perjuangan politik (political battles) tidak akan berhenti di lembaga parlemen. Hal ini bertentangan dengan teori bahwa “democracy is institutionalization of conflicts” (Emerso n, 1998). Yang d apat d ikatakan adalah telah terjadi p ergeseran p erjuangan politik dari arena politik ke arena administratif. Kepentingankepentingan yan g terorganisasi tidak akan pu as hanya den gan telah berhasil diun dan gkannya suatu Und ang-und ang sebagai hasil proses politik. Mereka mulai mengamati medan perjuangan baru yaitu implementasi hukum dan penggunaan uang oleh aparat birokrasi. Kekuatan birokrasi sangat meyakinkan . Secara p olitis meman g Presiden dan Parlemen menentukan keberadaan Undang-undang, 266
tetapi secara adm inistratif dan imp lementatif yang berp eran ad alah birokrasi. Sebagai contoh d i Amerika Serikat; dengan 3 juta pegaw ai pemerintah federal, birokrasi federal setiap tahun mengeluarkan 60.000 halaman p eraturan birokrasi (overregulation). Mereka bahkan independen terhadap Kongres, presiden, pengadilan dan rakyat. Bahkan boleh dikatakan bah wa Civil Service bureaucracy is a major base of power in society . Birokrasi tumbu h bersamaan d engan berkembangnya teknologi dan kompleksitas masyarakat. Pengaruh teknokrat sangat dirasakan baik di sektor publik (pemerintahan) dan sektor privat (korporasi). Sektor publik mencakup pengaturan tentang waktu, energi, lingkungan hidup, komunikasi, penerbangan dan sebagainya. Semu anya m embu tuh kan sp esialis. Kekuatan birokrasi lain terletak pada kenyataan bahwa Undang-undang yang dihasilkan oleh Presiden d an p arlemen seringkali bersifat samar atau tidak jelas dan mendua (vague and ambiguous) . Tegasnya bersifat simbolik. Justru birokrasilah yang mempu nyai kesemp atan dan kewenan gan melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri untuk memutuskan apakah yang seharusnya dilakukan. Dalam kerangka ini sangat mudah bagi para politisi untuk menyalahkan birokrasi. Dalam perkembangannya kemudian birokrasi sendiri semakin besar peranannya dalam lobby-lobby terbentuknya UU termasuk pendanaan. (bureaucracy is self perpetuating). Parlemen sebagai lembaga p olitik sebenarn ya memp un yai senjata atau cara u ntu k mem batasi kewenangan birokrasi, seperti (a) melalui undang-undang yang membatasi kewenangan birokrasi; (b) mengurangi budget birokrasi; (c) melalui dengar pendapat umum dengan pemberitaan med ia massa luas tentang suatu kebijakan yang dianggap unpopular ; dan (d) mendiskusikan keluhan-keluhan yang diarahkan terhad ap birokrasi. Terlepas dari motif politik yang diarahkan untuk membatasi kewenangan birokrasi, namun secara obyektif kecenderungan terjadinya overregulasi (contoh di bidang ekonomi dan industri) sebagai pod uk birokrasi patut diwaspad ai, sebab akan m enimbulkan: (1) Peningkatan biaya (terutam a d i bidang bisnis) baik bagi pelaku bisnis maup un konsu men apabila peraturan ekonom i yang komp leks ditaati; (2) The cost of compliance dengan adan ya peraturan baru sulit ditimbang dibandingkan dengan keuntungan masyarakat; (3) 267
Overregulasi menciptakan kend ala bagi berkembangn ya inovasi dan produktivitas; dan (4) Mengurangi kemampuan untuk berkompetisi secara sehat, sebab birokratisasi hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang besar dan kuat. Catatan: Di pelbagai negara termasu k Indonesia pasca 1998 muncul gerakan deregulasi dan debirokratisasi, khususnya di bidang ekonomi. Langkah ini pada dasarnya bertujuan to determine the most cost-effective approach for meeting any regulatory objective and not to issue regulations unless the potent ial benefits to society outw eight t he potential costs. (Reagan , 1988). n
268
P ol i t i k , H u k u m , d a n Po l i t i k H u k u m (I I I ) Politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan negara (public policy) di bidang hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial yaitu usaha setiap masyarakat/ pemerintah untu k meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bisa mengand ung du a d imensi yang terkait satu sama lain, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan perlindu ngan sosial (social defence policy). Dengan demikian tidak mun gkin merumu skan politik huku m yang tepat tan pa m engkaji secara aku rat kebijakan sosial; sebab justr u aka r perm asalahan yang akan diatasi dengan p olitik hu kum terd apat dalam masyarakat, berup a kebutuhan -kebutu han strategis masyarakat yang memerlukan perlindungan dan pengaturan hukum dalam kerangka menciptakan kedam aian masyarakat. Kebutuh an strategis tersebut bisa bersumber dari kehidup an politik, kehidu pan bu daya, kehidu pan sosial atau kehidupan ekonomi, yang seringkali antara satu dengan yang lain terjadi interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Dengan demikian tidak berkelebihan untuk menyatakan bahwa hukum mempunyai fungsi strategis dalam masyarakat, yaitu sebagai mekan isme pengintegrasi. Juga tid ak berkelebihan a pabila ada h ipotesis bahwa antar hu kum dan ilmu-ilmu sosial harus ada kemitraan yang simbiotik. Kemitraan tersebut h arus d ibangun atas dasar p rinsip saling menghormati (resiprocalinfluences) dan bu kan dalam bentuk peningkatan intra-disciplinary communication dan m engurangi inter-disciplinary exchanges dalam pem ikiran. (Chin an d Choi, 1998). Hukum dan kebijakan publik mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur d an diarahkan. Dengan 269
demikian sangat penting untuk menyad arkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik, bahwa hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di bidang sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi baik dalam pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua disiplin tersebut (huku m d an ilmu sosial), sehingga p elbagai informasi yang bersum ber dari kedu anya tidak selalu bertemu (converge) bahkan seringkali tidak sama dan sebangun (incongruent). Riset di bidang hukum mempunyai landasan asas-asas dan penerapan hukum, dan dalam hal ini yang tidak menguntungkan adalah ketiadaan p engetahuan untu k menyesuaikan kemanfaatan dan kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah. Di lain pihak ahli-ahli ilmu pengetahuan sosial secara relatif memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap perubahan so sial, ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan cenderung lebih ilmiah d alam mengemban gkan d an m enguji teori. Sekalipun dem ikian, yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perubahan huku m dan kebijakan yang konkrit, sehubu ngan d engan kelemahan teknis di bidang huku m yang m enyebabkan kurang percaya untu k mengajukan konsep perubahan. Memang spesialisasi dan independ ensi telah m eningkatkan int ra-disciplinary comm un ication , tetapi sekaligus juga meman gkas inter-disciplinary exchanges in ideas . Bahkan fakultas huku m dan fakultas ilmu sosial secara eksklusif terpisah d an sebagai hasilnya, para m ahasiswa m asing-masing fakultas tidak dapat menghormati kebutuhan dan kegunaan untuk menjembatani dua disiplin tersebut. Sebagai contoh adalah perkembangan pemahaman tentang “politik reformasi hukum” (the politics of law reform) . Sebelum era reformasi, pem baharu an hu kum selalu diartikan sebagai usaha sistematik untuk menggantikan pelbagai produk hukum kolonial dengan produk hukum nasional. Setelah refomasi, disamp ing usaha tersebut dilanjutkan mu ncul dimensi baru dari reformasi hukum , yakni sebagai usaha sistematik un tuk m elakukan demokratisasi sistem hukum. Hal ini mencakup langkah-langkah mendasar berupa amandemen konstitusi, mengatur sistem politik, menciptakan good governance, melakukan promosi dan perlindungan HAM, meningkatkan p artisipasi masyarakat, dan sebagainya. Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam kerangka sistem hukum yang mencakup elemen-elemen sebagai 270
berikut: Pertama, Elemen struktu r huk um ya ng terdiri atas misalnya jenis-jenis p era dilan , yur isd iksin ya, proses ban ding , kasa si, pen injau an kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan kejaksaan dan sebagainya. Dengan demikian struktur diartikan sebagai a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes the action . (Friedman, 1979). Dengan demikian elemen struktur hukum merupakan semacam mesin. Kedua, Elemen substansi hukum yang dapat diartikan sebagai pelbagai peraturan, norm a dan perilaku orang-orang d i dalam sistem. Pada intinya merup akan hu kum yang mengatur p elbagai norma, nilai dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan huku m. Termasuk di sini living law yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan diskresi. Substansi hukum bisa dipahami dengan melihat misalnya berapa orang yang ditahan karena tindak p idana narkotika per tahun , gambaran statistik kejahatan seksual d i suatu daerah, d an sebagainya. Dengan d emikian legal substance berkaitan erat dengan apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas. Ketiga, Elemen kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s attitu des toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. Dengan kata lain, h al ini merup akan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum. Misalnya saja pernyataan bahwa masyarakat bawah tidak percaya pada polisi; para pengusaha banyak menyelesaikan perkara di luar pengadilan; untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kejahatan komputer di lingkun gan p erbankan banyak yang tidak dilaporkan; hal ini semu a merup akan refleksi dari bud aya huku m. Dengan demikian legal cult ure merupakan whatever or whoever decides to turn the machine (the legal structure) on and off, and determines how it will be used . Setiap m asyarakat, setiap negara, setiap komu nitas memp un yai suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan terhadap hukum (attitudes and opinions about law). Harus dipahami pu la berkembangnya p elbagai sub ku ltur (misalnya d i Amerika), sub kultur orang hitam d an pu tih, tua d an mu da, Kristen dan Islam, kaya dan miskin, pengusaha dan pejabat, desa d an kota d an sebagainya. Salah satu subku ltur yang penting untu k diperhatikan adalah the legal culture of insiders, misalnya saja kultur yang d ihayati oleh hakim d an penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri. Hal ini akan banyak berarti bagi efektivitas sistem huku m tersebut. 271
Secara operasional ketiga elemen sistem hukum tersebut diterjemahkan sebagai proses pembuatan undang-undang (dalam kerangka substansi huku m), proses penegakan hu kum (dalam konteks struktur hukum) dan proses penciptaan kesadaran hukum (dalam kaitannya dengan bud aya hukum ), baik dalam bidang huku m pidan a, hukum perdata maupun hukum administrasi. Yang perlu dicatat adalah bahwa p embidangan hu kum tersebut semakin tidak absolut, karena di negara-negara modern transparansi dan p endayagun aan hukum secara simultan untuk mengatasi perbuatan-perbuatan yang merugikan atau potensial dapat merugikan kepentingan individual, kepentingan sosial dan kepentingan negara, saling kait mengkait, sehingga semua elemen hu kum harus d idayagunakan untu k mencegah dan mengatasinya. Sebagai contoh ad alah didayagun akannya sanksi perdata dalam tindak pidana korupsi dan kejahatan korporasi. Selanjutnya adanya kecenderungan untuk memanfaatkan sanksi hu kum p idana dalam huku m adm inistrasi. Demikian pula penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana lingkungan h idup. Unsur sifat melawan hukum dap at digali dari pelanggaran terhadap norm a-norma hukum p erdata atau hukum administrasi. Teori dan asas hukum merup akan mekanisme pengend ali un tuk secara relatif menjaga agar sup aya distorsi terhad ap p enday agun aan hukum sebagai kebijakan dan langkah politik tidak terjadi, dan mem fungsikan hu kum secara konsisten sebagai salah satu pilar utama demokrasi. Teori, yang meru pakan hubu ngan an tar variabel yang telah didu kun g oleh riset ilmiah, baik yang bersumber p ada d isiplin ilmu p engetahuan yang baku maup un yang bersumber pada pelbagai ilmu bantu , secara sistemik dan berkelanjutan ak an terus m emp erkaya kebijakan sosial, baik yan g beru pa kebijakan kesejahteraan mau pu n kebijakan perlindungan. Fungsi teori tidak hanya menggambarkan, menjelaskan, merenungkan, mengungkap, tetapi juga memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Integritas teori dijamin dari karakteristik intelektual yang mengh ormati kebebasan akadem is dan budaya akademis yang diharapkan selalu memberikan pencerahan atas dasar kebenaran dan bu kan pembenaran. Selanjutnya asas-asas hu kum merup akan u kuran legitimitas dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum (Sudarto, 1981). Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari 272
undantg-undang dan penguasa. Asas-asas hukum tidak bersifat transcendental, atau melampaui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh pan ca indera. Asas-asas ini bersifat open-ended, mu ltiinterpretable, d an Gesellschaftsgebunden dan bukannya bersifat absolut. Hal ini kadan g-kadan g berkonotasi negatif karena konstelasi politik di suatu saat bisa berpengaru h. Ingat konsep negara integralistik yang mendistorsi asas negara hukum (equaity before the law). Asas-asas hukum adalah tendens-tendens, yang dituntut dari hukum oleh rasa susila kita, yang dapat diketemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggapan yang mem ancarkan p engaturan suatu lapangan hu kum (Paul Scholten). Asas-asas hukum adalah ungkapan-ungkapan hu kum yang sangat umu m sifatnya, yang bertumpu pada perasaan , yang hidu p di setiap orang, dorongan-dorongan batin dari pembentuk undang-undang, ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut bekerja d alam mewu jud kan u nd ang-undang (De Langen). Asas-asas hukum itu untuk sebagian d apat d iketemukan d engan menyelidiki pikiran-pikiran yang memberi arah/ pimp inan, yang menjadi dasar kepada tata huku m yang ad a, sebagaimana dipositifkan dalam perund ang-undangan d an yurisprudensi, dan u ntuk sebagian berasal dar i kesadaran hu kum atau keyakinan kesusilaan kita, yang secara langsu ng d an jelas sekali menonjol kepad a kita (Wiard a). n
273
P o l i s i d a n Pe r s e p s i K e a d i l a n Disadari atau tidak, apabila kita berpikir tentang polisi maka yang muncul dalam bayangan kita adalah apa yang dinamakan konsep ‘authoritative intervention’ dan konsep ‘symbolic justice’. Yang pert ama , p e n g g a m b a r a n u s a h a s e t i a p s a a t d a r i p o l i s i u n t u k memperbaiki ketertiban, bersifat reaktif (tidak atau kurang antisipatif) serta kad ang-kad ang saja terjadi. Karena bersifat rutin, tidak terlintas untuk memikirkan kondisi-kondisi yang ada di belakang peristiwa yang mendorong polisi untuk melakukan intervensi dengan menggun akan kewenangannya. Sedangkan yang kedua, pengambaran yang bersifat d emonstratif un tuk menu njukkan kepad a pelaku tind ak pidana (baik aktual maupu n potensial) dan pu blik pada u mum nya bahwa ada tatanan huku m yang harus dihormati. Hal ini juga cenderung merupakan sikap reaktif yang dicapai melalui penegakan hukum. Langkah-langkah yang bersifat antisipatif juga tidak tergam bar secara langsun g p ada jenis yang kedu a ini. Hal di atas menimbulkan kesan bahw a langkah-langkah p olisi untuk menanggulangi dan mencegah kejahatan dilakukan dengan cara menimbulkan efek pencegahan ( deterrence) terhadap tindak pidana yang telah terjadi melalui sistem perad ilan p idana, dan karenanya sangat ku rang menyentuh kebijakan kriminal dalam arti luas yang sistemik, baik yang bersifat pr eventif mau pu n r epresif. Hal ini perlu dipikirkan, sebab secara konseptual masyarakat menu ntut lebih besar terhadap peranan p olisi. Dalam hal pencegahan kejahatan misalnya, masyarakat secara konseptu al menginginkan kebijakan yang kom preh ensif baik dalam bentuk pencegahan primer yang diarahkan kepada masyarakat 274
umum, pencegahan sekunder yang targetnya adalah para pelaku potensial, dan pencegahan tersier yang diarahkan kepada mereka yang terlanjur telah melakukan tindak pidana. Dalam bentuk lain kita semu a menghen daki bahwa p encegahan kejahatan d ilakukan baik secara sosial yang d itujukan untu k m engatasi akar kejahatan, secara situasional untuk mengurangi kesempatan melakukan tindak pidana dan pencegahan yang bersifat community based , yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengurangi tindak pidana dengan cara meningkatkan kapasitas mereka untuk mengem bangkan kontrol sosial yang bersifat informal. Dalam kehidupan demokratis pelbagai usaha di atas sering membaw a konsekuensi yang hamp ir tak terhindarkan, sebab polisilah sebagai penyidik yang menghadapi langsung tindak pidana di lapangan baik secara faktual mau pu n secara yuridis. Kedu du kannya yang demikian menyebabkan polisi sangat rawan terhadap pelanggaran HAM dan bahkan dapat dikatakan bahwa polisi merupakan potential offender terhadap HAM. Konsekuensi seperti itu tidak p erlu haru s d ilihat sebagai kend ala, tetapi harus dipandang sebagi tantangan untuk menjadikan polisi lebih profesional. Disebut sebagai kendala mengingat semakin vokalnya para penasehat hukum dan aktivis LSM dalam menyoroti kinerja para penegak hukum sebagi konsekuensi proses dem okratisasi, yang antara lain menu ntut ad anya pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif. Pergeseran Wacana Sejauh mungkin polisi dalam keadaan apapun juga harus menghindarkan diri dari police m isconduct , yang dapat diartikan sebagai penyimpangan prosedur oleh polisi yang kadang-kadang disertai penggunaan kekuasaan secara tidak p ada temp atnya. Harus disadari betul bahwa kecenderungan perilaku yang demikian mempunyai dampak yang bersifat luas, seperti merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi, memperburuk keresahan sosial, mengh ambat efektivitas penun tutan di p engadilan, menjauh kan polisi dar i masyarakat, salah menentu kan tersangka, menelantarkan korban, merusak konsep dan citra penegakan hukum, membuka kesemp atan med ia untuk terus mengkritik p olisi, dan pada akhirnya jug a men gk rit ik atau ba hka n m en ekan pem erinta h. 275
Sebaliknya, kredo yang mungkin harus dikembangkan adalah menjadikan polisi “bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi berada d i garis terd epan d alam memp erjuan gkan HAM”. Ini akan menjadi kun ci yang menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti kepercayaan masyarakat meningkat disertai peningkatan sikap kooperatif mereka, penyelesaian konflik dapat dilakukan secara dam ai, dan p roses yuridis ke pengad ilan dap at berhasil dengan ba ik. Lalu citra positif polisipu n melekat d i benak m asyara kat, seperti; polisi dilihat sebagai bagian m asyarakat dalam melaksanakan fungsi sosial, administrasi peradilan dilakukan secara jujur dan adil, memberi contoh kepada masyarakat untuk menghargai hukum, kebijakan proaktif dapat dikembangkan dengan baik dengan bantuan masyarakat dan d ukun gan media massa. Di era demokrasi terjadi pergeseran konseptual pelbagai hal secara men dasar. Di era yang tidak dem okratis seperti di jaman Ord e Baru , kalau kita berbicara tentang kejahatan politik, maka konotasi yang muncul di permukaan adalah konsep “kejahatan melawan pemerintah” (crimes against government ) seperti pembun uh an politik, protes atau d emonstrasi menentang pemerintah, makar, spionase dan terorisme. Sebaliknya di era reformasi berkembang konsep kejahatan yang d ilakukan oleh pem erintah (crimes by governm ent ) atau state crimes atau political policing atau govermental crimes seperti pelanggaran, aktivitas dari p olisi rahasia (penyad apan telpon, p elanggaran privasi, pengawasan illegal). Perubahan wacana tersebut tidak merubah konsep dasarnya yang menggambarkan tentang kejahatan politik, yakni tindak pidana yang dilakukan untuk tujuan ideologis, dan mereka p ercaya bahw a telah mengikuti nu rani yang lebih tinggi, atau moralitas masyarakat yang ada beserta perangkat hukum nya. Pasal 16 RUU tentang KUHP (1999-2000) menegaskan, bahwa dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Subtan si pasal tersebut har us d irenungkan dan d ihayati secara proaktif oleh seluru h jajaran p enegak hu kum sebagai bagian d ari sistem n ilai di lingkungan peradilan. Mengejar kepastian hukum yang dalam kenyataannya bersifat abstrak dan seringkali ketinggalan jaman, hanya akan menghasilkan ketidakadilan. Dalam kerangka ini terdapat suatu konsep yang terus 276
berkembang, yaitu konsep yang menggambarkan pelbagai kemungkinan yang dapat menggagalkan usaha untuk menciptakan keadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Walker dan Stamer. Disebutkan bahwa pengertian “keadilan” ( justice) harus dipahami sebagai bentuk distribusi nilai yang disebut fair treatment di dalam menyelenggarakan sistem peradilan dalam negara yang demokratis. Negara harus memperlakukan semua individu atas dasar prinsip kesetaraan. Pemberlakuan hak individu tersebut tidak bersifat absolut, sebab hak-hak tersebut tetap dibatasi untuk kepentingan perlindungan terhadap hak-hak orang lain atau hak-hak yang bersaing. Dalam hal ini setiap p enerapan hak h arus d itolak bilamana biaya-biaya sosial yang dapat ditimbulkannya jauh lebih besar dibandingkan biaya yang harus dibayar untuk menerapkan hak original. Biaya sosial tersebut bahkan dapat berupa bencana (catastrophic damage) apabila hak ind ividu al tersebut d iterapkan dalam masyarakat yang damai dan d emokratis. Kegagalan Menegakkan Keadilan Dengan semboyan fiat just itia, ruat caelum (tegakkan keadilan meskipun langit akan ru ntuh) namp ak bahwa sistem p eradilan pidan a merup akan p engendali agar hak-hak individual tidak digun akan secara absolut, dengan konsekuensi bahwa sebenarnya penerapan sistem peradilan pidana tersebut jika dilakukan secara tidak hati-hati, secara potensial dapat m emb ahayakan hak-hak individual. Dengan demikian negara dituntu t untu k mend ayagunakan sistem tersebut secara adil dan jujur. Atas d asar p emikiran ter sebu t ( individualistics rights-based approach ) dikembangankan konsep miscarriage of justice (MoJ), yakni ihwal kegagalan dalam menegakkan keadilan. MoJ dapat terjadi apabila tersangka, terdakwa atau terpidana diperlakukan oleh n egara dengan melanggar hak-haknya, khusu snya d alam hal-hal sebagai berikut: a. Perlakuan yang tidak adil. Contohnya adalah penangkapan dan penahan an tanp a alasan kuat. Demikian pula perilaku polisi yang tidak adil setelah penahanan, seperti pemaksaan pengakuan, pemalsuan bukti-bukti forensik, dan sebagainya. Hal ini dapat pula terjadi dalam hal penasehat hukum gagal untuk melakukan pem belaan secara efektif karena kur ang siap atau pen amp ilan yang dibawah standar p rofesi, sehingga p emidanaan d irasakan tidak ad il. Kegagalan atau kesesatan h akim yang terlanjur m embebaskan 277
b.
c.
d.
e.
f.
terdakwa bukan karena betul-betul alpa ( really innocent ) tetapi karena kesalahan teknis, termasuk d alam kategori perlakukan tidak adil. Peraturan hu kum yang tidak adil semata-mata demi kepastian hukum; contohnya hukum apartheid di Afrika Selatan pad a masa lalu, atau d i Indonesia seperti korban UU subversi sebelum dicabut; Tidak adanya pembenaran faktual dalam p enerapan pidana dan tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap orang yang tidak salah akibat kesalahan dalam sistem pembu ktian, seperti adanya kesaksian palsu akibat rekayasa dan sebagainya yang semuanya m asuk kategori wrongful imprisonment . Perlakuan yang merugikan dan tidak proporsional terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana, dibandingkan dengan kebutuh an un tuk m elindu ngi hak-hak orang lain; contohnya adalah tindakan yang keras terhadap perilaku anti sosial yang ringan. Demikian pu la pemidan aan yang b ersifat eksesif, termasuk disini kondisi penjara yang bersifat mendegradasikan harkat dan martabat manu sia; Hak-hak orang lain (baik korban aktual maup un p otensial) tidak dilindungi secara efektif dan proporsional oleh negara terhadap pelaku tind ak pidana. Hal ini ditujukan terhadap keamanan um um yang secara preventif menjadi tanggungjawab polisi. Sebagai catatan perlu dikemukakan adanya konsep self responsibility for security b a g i p e n g a n u t neo liberalism. T e r m a s u k d i s i n i ketidaksediaan polisi untuk memproses perkara akibat pengaruh politik atau korupsi (penyuapan), bahkan melakukan intimidasi terhadap korban. Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak kond usif; ini bisa berkaitan d engan hu kum formil mau pu n materiil.
Apa yang tercantum dalam bu tir a - f diatas disebut sebagai direct MoJ . Di samping itu ada bentuk ketujuh yang disebut indirect MoJ yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini harus diartikan bahwa segala hal yang disebut direct miscarriage of justice tersebut secara tidak langsung m erupakan perongrongan terhadap integritas moral sistem peradilan pidana dan pelanggaran terhadap asas legitimasi peradilan. Persoalan yang timbu l di pelbagai negara adalah bagaiman a usaha 278
untu k mengatasi praktek-praktek MoJ di atas yang berdam pak luas seperti konsep indirect M oJ diatas. Salah satu contoh ekstrim ad alah apa yang terjadi di Haiti pasca pemerintahan otoriter selama tiga tahun akibat kudeta tahun 1991. Pada masa itu pelanggaran HAM oleh polisi dan militer san gat intensif, sehingga citra p olisi di H aiti demikian buruk. Setelah itu pemerintahan demokratis dibantu masyarakat internasional (AS dan PBB) berusaha menciptakan polisi nasional baru melalui Akademi Polisi Nasional d engan seleksi yang ketat. Dalam hal ini pendidikan yang baik ternyata menghasilkan kinerja p ositif, yang mem bangkitkan citra p ositif terhadap polisi. Beberapa materi pend idikan yang sangat memep engaruhi kinerja polisi di Haiti antara lain adalah Int ernational H um an R ights Law, t he Law on Criminal Procedure, Haiti Constitution, Police Work in a Democracy , dan materi-materi teknis kepolisian yang lain. Sebagai standar training, perlu dikaji materi pelatihan HAM untuk polisi dari PBB yang secara lengkap menguraikan betapa pentingnya tugas-tugas polisi berkaitkan dengan masalah HAM internasional, dem okrasi, etika profesional, perhatian terhad ap r emaja dan korban kejahatan, aturan penggunaan kekuatan senjata api dan sebagainya. Hal ini sangat penting mengingat ap a yang telah d iuraikan di atas, bahwa ap a yang dinam akan MoJ didasarkan atas pem ahaman justice atas dasar individualistic rights-based approach. n
279
Pe r t a n g g u n g j a w a b a n K o m a n d o Pengantar Diskusi tentang doktrin “pertanggungjawaban komando”, khususnya dalam hukum pidana, akan selalu menarik mengingat perkembangannya yang penuh perdebatan baik dalam hukum internasional maupun dalam pelbagai hukum nasional yang berkemban g. Sekalipu n makn anya tidak sesederh ana sebagai “ military commanders are responsible for the acts of their subordinates”, sebenarnya hal ini bukan sebagai suatu hal yang baru. Pada kira-kira tahun 500 BC, Sun Tzu m enulis dalam “the Art of War ” bahw a: “When troops flee, are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault of the general. N one of these disorders can be attributed to natu ral causes.” Nap oleon Bonap arte menegaskan dalam hal ini den gan mengatak an bahwa: ” There are no bad regiments; they are only bad colonels ”. Begitu pula King Charles VII of Orleans, mengeluarkan dekrit yan g berisi bahwa “komandan militer dapat dipertanggungjawabkan bilamana di dalam komandonya terjadi kejahatan terhadap penduduk sipil; tidak peduli apakah komand an tersebut berpartisipasi dalam p elaksanaan kejahatan ”. Begitu pula Hugo Grotius dalam bukunya yang legendaris “De Jure Belli A c Pacis” (1615) menegaskan eksistensi doktrin tersebut: “ we must accept the principle that he who knows of a crime, and is able and bound to prevent it and fails to do so, himself commits a crime ”. Dalam periode yang sama (1621) King Gustavus Adolphus dari Swedia mengumumkan “Articles of Military Lawwes to be Observed in the Warres”. Di situ dinyatakan bahwa “ N o Colonel or Captain shall comm and his soldiers to do any unlawful thing which who so does, shall be punished according to the discretion of the Judges......”. 280
Di Amerika Serikat, “ the Article of War ” yang dikeluarkan pad a tanggal 30 Jun i 1775 mengatur bahw a : “ Every Officer comm anding, in quarters, or in a march, shall keep good order, and to the ut most of his power, redress all such abuses or disorders which may be comm itt ed by any Officer or Soldiers under his command; if upon complaint made to him of Officers or Soldiers beating or otherwise ill-treatin g any person, or committing any kind of riots to the disquieting of the inhabitants of this cont inent , he, the said comm ander, who shall refuse or omit to see Just ice done to t his offender or offenders, and raparation m ade to the party or parties injured, as soon as the offenderr’s wages shall enable him or them, upon due proof thereof, be punished, as ordered by General Court M artial, in su ch mann er as if he himself had committed the crimes or disorders complained of”.
P a d a t a h u n 1 8 6 3 , A m e r i k a S e r i k a t m e n g u m u m k a n “the Instructions for Governm ent of A rmies of the US in the Field ” yang kemudian terkenal sebagai “ Lieber Code”. Prof Albert Lieber ad alah seorang Profesor dari Colum bia University yang berperan men yusu n ketentuan tersebut. Art. 71 menegaskan: “ W hoever intentionally inflicts additional wounds on an enemy already wholly disabled, or kills such an enemy, or who orders or encourages soldiers to do so, shall suffer death, if duly convicted, whether he belongs to the Army of the ES, or in an enemy captured after having committed his misdeed.” Pada akhir abad 19 (1895), dalam tulisannya M ilitary Law and Precedents, Winthrop menulis: “It is indeed the chief duty of the commander of the army of occupation to maint ain order and the public safety, as far as practicable wit hout oppression of the population, and as if the district were a part of the domain of his own nation. A ll officers or soldiers offendin g against the rule of imm un ity of noncombatans or private persons in war forfeit their right to be treated as belligerents, and together with civilians similarly offending, become liable to the severest penalties as violators of the laws of w ar”.
Dalam hukum internasional yang bersifat konvensional yang mengatu r p erilaku konflik bersenjata, Art. 1 dar i Konvensi Den H aag 1907 yang kem ud ian d iatur p ula d alam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol 1977, dirumu skan kond isi dalam h al mana kombatan h arus menghormati hak-hak hukum dari negara yang berperang. Ditentukan p ula syarat adanya tentara yang “ commanded by a person responsible for his subordinates ” . P e r s y a r a t a n i n i m e n e g a s k a n tanggungjawab komando secara terperinci.
281
Hal semacam juga muncul dalam laporan “Commission of the A uthors of the W ar and on En forcement of Penalties” (1919) setelah PD I, “ Tr eaty of Versaiiles”, dan sebagainya. Masalah tanggungjawab koman do m enjadi sangat aktual seusai PD II dengan diad ilinya para penjahat Perang Dunia II melalui Pengadilan Militer Internasional seperti d i Nu remberg (IMT) dan di Timur Jauh (IMTFE) yang an tara lain mengad ili Jend eral Tomoy uki Yamash ita, di samp ing peng ad ilan pelbagai negara yang mengadili para penjahat perang seperti di Kanada, Israel, Amerika Serikat, Perancis dan sebagainya, yang banyak mengembangkan hukum kebiasaan internasional. Masalah command responsibility ja d i m en g h an g a t k em b a li sehubungan d engan pengaturannya dalam Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (1994) dan Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) serta Rome St atute of the International Criminal Court (1998). Dalam kerangka pengatu ran tentang Individual Criminal Responsibility Art. 7 Statu ta ICFY men egaskan ; (i) A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime; (ii) The official position of any accused person, whether as Head of State or Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate pun ishment; (iii) The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he know or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof; (iv) The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of superior shall not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice requires.” Hal yan g sam a juga d iatur d alam Art. 6 ICTR. Penjelasan yang lebih lengkap d an agak berbeda d engan du a Statuta di atas tersurat da n tersirat d alam Pasal 28 Statuta Roma ten tang International Criminal Court . Dalam Pasal 28 tersebut d ijelaskan seperti berikut: a. A military comm ander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court comm itted by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may 282
be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where; b. That milit ary commander or person either knew or, owin g to the circumstances at the time, should have known that the forces ere committing or about to commit such crimes; and c. That m ilitary comm ander or person failed to t ake all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution. d. W ith respect to superior and subordinate relationship not described in paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by sub ordinates under his or her effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise control properly over such subordinate, where; e. The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that the subordinates were committing or about to commit such crimes; f. T he cri m es con cern ed act iv it ies t hat w ere wit hin the effectiv e responsibility and control of the superior; and g. The superior failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
Dalam hal ini dapat diidentifikasikan elemen utama dari pertanggungjawaban komando yaitu: (1) adanya hubungan antara bawahan -atasan; (2) atasan mengetahu i atau beralasan u ntuk mengetahu i bahwa telah terjadi atau sedang d ilakukan; dan (3) atasan gagal un tuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana atau menghukum pelaku. Hubungan atasanbawahan bisa de jure, de facto atau kombinasi antara keduanya. Jenderal Arne Willy Dahl (Hakim dari Norwegia) (2001) memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan, bahwa kagagalan komandan untuk mengendalikan anak bu ahnya berkaitan erat dengan nama baik dan repu tasi serta kehormatan pasukann ya; atau bahkan dari negaranya serta berkaitan dengan keprihatinan mendalam dari semua orang yang memiliki kehendak baik. Hal ini jug a be rk ait an er at d en ga n ko d ra t or ga nisa si m iliter send iri ya ng membedakan antara kesatuan militer yang sah dan sekumpulan 283
individu pasu kan liar atau gerilyawan (franc-tireurs). Di dalam “the US Army Field Manual ” antara lain disebutkan bahw a ; “Command is a specific and legal position unique to the military. It’s where the buck stops ….Command is a sacred trust. T he legal and moral responsibilities of commanders exceed those of any other leader of similar position and authority”. Karakter Yuridis Pertanggungjawaban Komand o Doktrin bahw a para komand an m iliter d an orang-orang lain yang menduduki posisi dan kewenangan yang lebih tinggi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum dari anak buahnya, sudah d imantapkan dalam norma huku m kebiasaan d an p erjanjian hu kum internasional. Melihat pelbagai perumusan di atas nampak bahwa pertanggungjawaban pidana ini bisa bersumber dari “actus reus” baik berupa perbuatan positif dar i koman dan atau su perior (kadan g-kadang d isebut sebagai “ direct command responsibility ”) maupun atas dasar kelalaian yang bersifat omisionis (culpable omissions). Dengan d emikian seorang komandan atau sup erior tidak hanya bisa d ipertanggungjawabkan dalam hukum pidana karena “ ordering, instigating or planning” tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya, tetapi juga karena kegagalan un tuk m engambil tindakan-tind akan un tuk m encegah atau menahan perbuatan melawan huku m bawahan tersebut. Perbedaan antara kedu a tipe pertanggungjawaban terletak pada kenyataan bahwa dalam hal perbuatan positif para komandan, mengikuti apa yang d inamakan “ principles of accomplice liability ” dalam kerangka teori penyertaan ( complicity, deelneming ). Sedangkan yang k e d u a b e r k a i t a n d e n g a n a p a y a n g d i n a m a k a n “ the principle responsibility for omissions” yang bisa terjadi apabila terdapat suatu kewajiban hu kum untuk berbuat (legal obligation to act ). Sehubungan den gan ha l ini dalam Pasal 87 A dditional Protocol I menyatakan bahwa: “ int ernational law imposes an affirmative dut y on su periors to prevent persons under their control from committing violations of international humanitarian law, and it is ultimately this dut y t hat provides the basis for, and defines the contours of, the imputed criminal responsibility under Art 7(3) of the Statut e”. D o k t r in m o d e r n t e n t a n g “command responsibility ” b o l e h dikatakan berakar dari Konvensi Den Haag 1907. Baru pada tahun 1919 (Preliminary Peace Conference, Commission on the Responsibility of 284
the Authors of the War and on Enforcement of Penalties) merekomendasikan pembentukan suatu tribunal yang dapat menuntut dan memidana mereka yang: “ordered, or with knowledge thereof and with power to intervene, abstained from preventin g or taking measures to prevent, put ting an end to or repressing violations of the laws or customs of war.” Baru setelah PD II doktrin pertanggungjawaban komando yang bersifat “culpable ommisions” (failure to act) memperoleh pengakuan dalam konteks internasional. Di Perancis (1944) masuk kategori “tolerated the criminal acts of their subordinates” dalam “the Suppression of War Crimes”. Selanjutnya Chinese Law (1946) yang mengatur “the Trial of War Criminals” hal ini masuk kategori Persons who have not fulfilled their duty to prevent crimes from being committed by their subordinates shall be treated as the accomplices of such war criminals. Prof. Bassiouni m engiden tifikasi bahw a “ failure to act depends on knowledge and opportunity to act ” adalah sebagai berikut: (1) in the prevention of the criminal act; (2) subsequent to the act if the superior failed to supervise, discover and take remedial action as needed under the circumstances; and (3) prosecute and if found guilty, punish the violator. Beberapa Pedoman Konseptual dan Emp iris 1. The bottom-line for criminal liability is blameworthiness. Menurut Prof. Nico Keijzer, yang banyak m engkaji pan dan gan Grotius, dalam h al ini terdap at 3 kondisi pertanggun gjawaban p idana komand an atas perbuatan bawahannya: (a) Seseorang m empu nyai “control” atas orang lain; (b) Seseorang hanya bertanggun gjawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang diketahuinya (knowledge); dan (c) Seseorang tidak han ya haru s tahu, tetapi juga harus mamp u untuk mencegah. Dengan demikian “military subordination is a comprehensive but not conclusiv e factor in fix ing criminal responsibility”. Dalam perang modern, banyak langkah-langkah desentralisasi komando, sehingga kemungkinan Komando tinggi tidak dapat selalu m emp eroleh informasi lengkap d an d etail da ri operasi militer. Contohnya ad alah Presiden Am erika sebagai “Commander in Chief” sulit dijadikan obyek dari “theory of subordination”. Dalam hal ini harus terbukti bahwa ia mengetahui atau dap at dikaitkan dengan kejahatan baik atas dasar “ participation” atau p ersetujuan diam-diam (criminal acquiescene; The H igh Comm and Case). Dalam A rt. 87 Protocol I ada istilah “commensurate with their level of responsibility”; 285
2. Berlakunya doktrin atau p endekatan “strict liability” (liability without mens rea). Hal ini muncul dalam Peradilan Yamashita, di mana ja k sa su li t m em b u k t ik a n b a h w a Jen d er a l Yam a sh it a t ela h memerintahkan kekejaman terhadap p endu du k Philipina dan p ara tawanan orang-orang Amerika dalam pendudukan Jepang. Nam un Yamashita sebagai Commanding General bala tentara Jepan g di Philipina sekaligus sebagai gubernu r m iliter “haru s tahu ” atas t e r j a d i n y a k e k e j a m a n y a n g m e l u a s ( widespread ) d a n b e s a r (enormity ), seperti perkosaan, pembun uh an, pembun uhan massal, perusakan harta benda yang meluas baik dalam konteks waktu maupun wilayah. Kejadian tersebut tidak bersifat sporadis dan dalam banyak kasus justru dihadiri dan diawasi oleh perwiraperwira Jepang. Sebagai komandan seharusnya m elakukan kontrol efektif, karena kon disi tertentu.Pemikiran rasional menyimp ulkan telah terjadinya perencanaan sengaja; Yamashita didakwa telah melakukan “unlawfully disregarded and failed to discharge his duty as commander to control the operations of the members of his command, permitting them to commit brutal atrocities and other high crimes”; 3. The comm anding general of occupied territory has the dut y and responsibility for maintaining peace and order, and the prevention of crime. He cannot ignore obvious facts and plead ignorance as a defence; (The High Command Case); 4. Bukti-bukti yang menu njukkan bahwa telah terjadi lebih dari satu kejahatan perang dar i kesatuan di bawah komand o dan kehadiran seorang perwira atau “non commission officer” pada saat atau sebelum kejahatan terjadi sangat menentukan pertanggung– jaw ab an ko m an d o. Ku rt Meyer, d i Penga d ilan Militer Kan ad a, dipidana karena anak buahnya telah melakukan pembunuhan terhadap tahanan; 5. Komand an tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman; cukup apabila d ia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam p roses melakukan kejahatan atau telah melakukan kejahatan dan yang bersangkutan gagal mengam bil langkah-langkah yan g diperlukan atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau mem idana p ara pelaku. Hal ini sesuai pula den gan Art. 86 para. 2 Protocol I; 6. “Position of responsibility ” bisa juga berkaitan dengan “civilian authorities ”. Dalam Rwand a Tribun al, seorang d irektur p abrik teh 286
dituntut d an d ipidana karena tidak melakukan tindakan campu r tangan dan pencegahan kejahatan genosida yang dilakukan bawah annya d i luar jam kerja; 7. Pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap “formal commanders”, tetapi juga terhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana dia bisa menggunakan kekuasaannya sebagai seorang komandan. Hal ini bisa terjadi dalam perang saudara (civil war). Dalam Tribunal Yugoslavia, seorang yang bertindak sebagai komandan penjara di Bosnia, sekalipun secara formal tidak p ernah d itunjuk d alam jabatan tersebut, tetapi secara de facto dia adalah komandan yang tidak melakukan pencegahan pembunu han-pembunu han dan penyiksaan yang d ilakukan oleh p ara penjaga penjara; 8. A ta s d a s ar “case law ” dar i du a tribunal d an juga Pasal 28 Statuta ICC, kontrol yan g efektif secara u mu m d itafsirkan sebagai suatu kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasaannya bilamana dia menginginkannya. Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material ability” untuk mencegah dan menahan tindak pidana. Apakah seseorang berada d alam posisi untu k m engontrol atau tidak akan tergantung p ada apakah seseorang m empun yai kekuasaan untuk mengeluarkan perintah yang mengikat bawahannya dan untuk mencegah atau menghukum setiap pelaku tindak pidana yang mungkin dilakukan. Dengan demikian kontrol harus diartikan sebagai sambungan atau akibat komando (sequel of command). Perkecualian bisa terjadi apabila komandan tidak mempunyai kontrol efektif, misalnya karena komunikasi terputus, pemberontakan (mutiny), atau sebab-sebab lain yang sulit dihind ari. Kontrol tidak haru s berasal dari koman do militer, tetapi jug a b isa bera sal d ar i or an g yan g b erw en an g, m isa lnya p im p inan politik atau pejabat pem erintah. Tingkatan koman do d an kontrol bervariasi; bisa op erasional, taktis, administratif, eksekutif dalam teritori di bawah kontrol atasan. Tanggungjawab atasan akan banyak tergantun g pad a derajat kontrol dan cara pelaksanaannya; 9. Seorang staf sekalipun memiliki pengaruh besar, belum tentu mampu mencegah kejahatan. Sebagai contoh adalah kasus yang diadili Trial Chamber ICTY. Seseorang yang bertindak sebagai “co-ordinator of logistic support ” tetapi tidak dalam posisi sebagai 287
“superior authority ” t e r h a d a p p e l a k u k e j a h a t a n , s e h i n g g a dibebaskan; Kasus lain yang menarik dalam hal ini adalah apa yang terjadi d alam Tokyo Tribun al yang m engad ili Letjen Akira M u t o , y a n g b e b a s d a l a m k a s u s R ape of N an ki n g , k a r e n a kedu du kannya sebagai seorang perw ira staf dari Jenderal Iwane Matsui. Muto kemudian dipromosikan menjadi Chief of Staff Jend eral Yamash ita di Filipina. Dalam ka sus k ekejaman di Filipina, Muto tidak bebas dari pertanggungjawaban komander (shares responsibility) karena dia dalam posisi yang dapat mempengaruhi kebijakan (in a position to influence policy); 10.Istilah “cognitive element ” mencakup tiga derajat kesadaran : (1) ”actually knew; (2) deliberately took the risk that this would happen, if not knowing it ; dan (3) he should have known that such crimes were about to occur”. Yang pertama mengan du ng pengertian “he must have known ” seperti dalam kasus Yamashita d i mana kejahatan jum lahnya sangat besar. Contoh lain adalah Kasus ICTY tentang pem bunu han di camp penjara. Dalam hal ini ada p erbedaan an tara peru mu san ICTR dan ICTY di satu p ihak yang m enggu nakan istilah “had reason to know” dan Statuta ICC di lain p ihak yang m enggun akan istilah “owing to the circumstances at the time, “should have known” that the forces were comm itt ing or about to comm it su ch crimes”. Dalam hal ini Trial Chamber menentukan bahwa “had reason to know” berlaku dan atasan bertanggungjawab apabila informasi sudah diberikan kepad anya, yang menemp atkan dia dalam posisi “deliberately taken the risk that the crimes might occcur”. Istilah “should have known ” dalam Statuta ICC berkaitan dengan standar komand er yang selalu memp unyai kewajiban untuk selalu memiliki informasi tentang kinerja anak buahnya. Dua kriteria “deliberately t aking a risk” dan “the should have known test” terdapat dalam Statuta Roma Art. 28. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara “military superiors” d a n “non military superiors”. “Non military superiors” tidak akan bertanggungjawab secara pidana sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan bawahannya, kecuali mereka “consciously disregarded information” yang jelas-jelas diberikan bahwa bawahannya melakukan tindak pidana. Dalam hal terdakwa “a military superiors”, berlaku syarat “owing the circumstances at the time, he should have known that the forces w ere comm itting or about to commit such crimes”. Dalam hal ini seorang komandan militer dapat dituntut karena “negligence”, 288
sedangkan un tuk superior sipil harus menggu nakan standar yang lebih tinggi, yaitu dia harus memiliki pengetahuan aktual atau konstruktif bahwa kejahatan sedan g d ilakukan. 11.Dalam kerangka elemen operasional, terkait suatu persyaratan bahwa atasan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana atas kegagalannya untuk campur tangan mencegah atau menahan kejahatan. Dalam kasus ICTY yang menyangkut pembunuhan di camp penjara, memang bisa dibuktikan bahwa komandan penjara telah mengeluarkan p erintah bahwa tidak seorangpu n boleh disiksa, namun dia alpa untuk melakukan p engecekan apakah perintahnya dipatuh i. Haru s dicatat bahwa hal ini tetap ad a batasnya; 12.Untuk mengukur apakah telah terjadi “failed in his duty” untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah atau menghuku m p elaku tindak p idana, yang d ijadikan ukuran adalah apakah seseorang telah bertind ak sesuai dengan “reasonable person” dalam posisinya sebagai komandan. Contohnya adalah seorang komandan dalam tentara El Salvador yang telah dianggap berpartisipasi membunuh petugas gereja Amerika, karena gagal memenuhi kewajibannya seperti tersebut di atas. Sebagai komandan ia “should have known” apa yang harus d ilakukan para petu gas gereja dan aktivis; 13.Ruang lingkup tanggungjawab individual yang mencakup pu la Head(s) of State or Government atau responsible Government official (s) di dalam A rt 7(2) mengindikasikan bahwa penerapannya jauh lebih luas daripada sekedar komandan militer dan bisa mencakup pimpinan politik dan atasan sipil lainnya sebagai atasan yang berw enang. Semua di baw ah “doctrine in certain circumstances”. Contohnya adalah apa yang terjadi pada IMTFE yang mengadili kasus “rape of Nanking ”. Dalam hal ini yang d ipidana tid ak hany a Jenderal Iwane Matsui, tetapi juga Menteri Luar Negeri Jepang Koki Hirota yang dianggap gagal menjalankan tugasnya untu k mengambil langkah-langkah u ntuk m engamankan dan mencegah pelanggaran terhadap hukum perang, padahal yang bersangkutan telah memperoleh laporan tentang kekejaman yang terjadi waktu tentara Jepang memasuki Nanking. Pengadilan menyatakan bahwa “his inaction amounted to criminal negligence”. Demikian pula terhadap Perdana Menteri Hideki Tojo dan Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu karena dianggap melakukan “ omissions to prevent or punish the criminal acts ” dari tentara Jepang; 289
14.Atas dasar pengalaman du a tribunal ad hoc, dalam hal ketiadaan bukti-bukti langsung tentang pengetahuan superior tentang kejahatan yang dilakukan bawahan, pengetahuan tersebut tidak boleh diperkirakan, tetapi harus dikaitkan d engan bu kti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence) berupa pengetahuan tertentu seperti: “the number of illegal acts; the type of illegal acts; the scope of illegal acts; the time during which the illegal acts occurred; the number and type of troops involved; the logistics involved, if any; the geographical locations of the acts; the widespread occurance of the acts; the tactical tempo of operations; the modus operandi of similar illegal acts; the officers and staff involved; theblocations of the commander at the time.”; 15.Hubungan sebab akibat antara “superior’s omission” d e n g a n kejahatan yang terjadi tidak perlu dibuktikan sebagai unsur terpisah dari pertanggungjawaban komando. Hal ini dianggap sudah melekat dalam persyaratan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan dan kegagalan atasan untuk mengambil tindakan dalam rangka kekuasaannya untuk mencegah. Namun demikian harus d ipahami bahwa pertanggungjawaban komand o baru bisa dilakukan apabila telah d ibuktikan telah terjadinya “core crimes”, baik dalam bentuk kejahatan perang, kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal “core crimes” ini, sepanjang mengenai elemen material dan elemen mental perlu dikaji ketentuan yang berlaku secara u niversal, misalnya ap a yang diatur dalam dokumen “the Elements of Crimes”, Statuta Roma tentang ICC, 1998. Sekalipun demikian pemahaman mengenai syarat pemidanaan yang berlaku dalam hukum nasional akan sangat membantu, baik yang berkaitan d engan unsu r perbuatan maupun unsur kesalahan; 16.Bilaman a p ersyaratan “actus reus” (elemen ma terial) telah diu raikan dalam bagian II makalah ini, maka prasyarat “ mens rea” (elemen mental) namp ak dari hal-hal sebagai berikut: “(1) actual knowledge established through direct evidence; or (2) actual knowledge established through circumstancial evidence, with a presumption of knowledge where the crimes of subordinates are a matt er of public notoriety, are num erous, occur over a prolonged period, or in a wide geographical area; or (3) wanton disregard of, or failure to obtain information of a general nature within the reasonable access of a commander indicating the likelihood of actual or prospective criminal conduct on the part of his subordinates.” 290
Penutup Indonesia telah memiliki UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam merumuskan kejahatan yang termasuk yur isdiksinya tegas-tegas dinyatakan telah m engikuti Statuta Roma th. 1998. Hany a sayangnya, du a d okum en lainnya yang m elekat tidak pernah d isebutkan yaitu dokum en tentang “ Elements of Crimes” dan dokumen tentang “Rules of Procedures and Evidence”. Juga sangat disayangkan tidak d imasukkannya ketentuan ICC tentang “kejahatan perang” d alam yurisdiksi Pengad ilan HAM. Di samp ing itu pelbagai rumusan lain dalam Pengadilan HAM juga mengadopsi apa yang diatu r oleh ICC. Contohn ya adalah Pasal 42 yang mengatu r tentang Pertanggungjawaban Komando. Sebagai suatu n orma yang baru , kita haru s mengk aji baik secara teoritik maupu n emp iris apa yang telah terjadi dalam p raktek huku m internasional yang cenderung sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebenarnya p elbagai diskusi d i atas dap at d itemp atkan dalam k erangka Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang men gatur tentan g Penyertaan ( deelneming), sekalipun terd apat h al yang relatif baru yaitu “crimes by omission ” atau “culpable omission ”. Dikatakan relatif baru, karena secara konseptual kejahatan omisionis juga dikenal seperti pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 berupa pembu nuh an dengan sengaja dengan cara tidak memberikan bantuan makanan atau kesehatan atau melalaikan hak POW untuk diadili secara ad il. Dalam kerang ka ini dipertimbangkan b etapa pen tingnya studi perbandingan huku m antar negara. Dalam hal ini Prof. Nico Kaijzer menyatakan bahwa pelbagai uraian di atas tidak hanya terbatas pada kejahatan perang, tetapi harus dilihat sebagai salah satu bentuk “ criminal participation ” atau “ participation by omission ” d an d apat berkaitan d engan d elik-delik yang lain secara umum. “ The A merican M odel Penal Code” (Section 2.06(3)) menentukan bahwa “a person is an accomplice of another in the commission of a crimin al offence, inter alia, if he , having a legal duty to prevent the commission of the offence, fails to make proper effort to do so ”. Dalam Parag raf 13 KUHP Jerman yang m engatur pertanggun gjawaban pid ana terhadap m ereka yang mengabaikan untuk mencegah kejahatan agar tidak terjadi, padahal yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk melakukannya. “Participation by omission” juga dikenal dalam 291
yurisprudensi (case law ) Belanda sebagai landasan pertanggung– jaw ab an p id an a. Sebagai rekomendasi dapat dikemukakan agar antar negara terjadi harm onisasi mengen ai “military codes” d an “rule of engagement” (semacam Brit ish M anual of M ilit ary Law atau the US Army Field M anual), meng ingat telah terbentukny a ICC yang bersifat perman en dan memu ngkinkan dibentuknya peradilan pidana ad hoc oleh Dewan Keamanan PBB yang secara komplementer dapat mengambil alih fungsi perad ilan p idana nasional apabila diidentifikasikan telah terjadi “sham proceeding”. n
292
Tinjauan Yuridis T e r h a d a p K a s u s Pe n y u a p a n S a k s i O l e h Pe n g a c a r a Dunia p rofesi huku m akh ir-akhir ini mengalami cobaan luar biasa. Indikasi terjadinya kebohongan publik dalam proses peradilan, dibunuh nya hakim agun g d engan disertai pelbagai aroma bau yang tidak sedap, hakim yang diadili karena mafia peradilan, dan yang terakhir adalah ditangkapnya seorang hakim yang sedang menjalankan profesinya karena dugaan suap terhadap saksi, adalah serangkaian kisah nyata yang sungguh sangat memprihatinkan masyarakat. Kasus yang disebut terakhir ini bahkan telah menarik perhatian publik yang luas karena disertai dengan dilakukannya peradilan disiplin profesi yang penu h p erdebatan dan kontroversi menyangkut eksistensi dan validitasnya. Kasus seorang pengacara yang ditahan karena d ugaan melakukan suap terhadap saksi dalam suatu kasus, mengharuskan kita untuk melakukan kontemp lasi tentang hakekat perbuatan suap ( bribery act ). Dan sepan jang berkaitan d engan p roses perad ilan, jelas kasus tersebut tidak sekedar menyan gkut isu su ap, tetapi juga berkaitan erat dengan tindak pidana ganggu an terhadap p roses untu k memp eroleh keadilan (obstruction of justice) dan lebih luas lagi merupak an kejahatan terhad ap administrasi peradilan pidana. Perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibita. Konsep mala per se yang d iland asi oleh p emikiran natural wrongs mengan ggap bahw a kejahatan-kejahatan tertentu merup akan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah. Contohnya adalah pembunu han, perkosaan, pencurian dan juga p enyuapan (bribery). 293
Sedan gkan konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bah wa perbuatan d ianggap tercela atau salah karena p erundang-und angan telah melarangnya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contohnya adalah pelbagai peraturan tata tertib di pelbagai bidang kehidupan yang diperlukan dalam rangka untuk menegakkan tertibnya kehidupan m odern. Tindak pidana suap m erupakan mal per se karena penyu apan selalu mengisyaratkan adanya maksud u ntuk memp engaruhi (influencing) agar yang d isuap (misalnya menyangku t d iri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau ju ga kar en a yan g d is u ap tela h m el aku kan ses u atu atau tid ak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal ini nampak dari perumusan Pasal 209 KUHP dan Pasal 419 KUHP (penyu apan aktif dan p asif terhad ap p ejabat) serta Pasal 210 KUHP dan Pasal 420 KUHP (penyuapan aktif dan pasif terhadap hakim). Dengan d emikian baik “aktor intelektual” maup un “aktor pelakunya” telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan dan k esopanan). Mengingat tind ak pidana su ap terhad ap p ejabat dan terhadap h akim masuk kategori tindak pidana korup si, maka menuru t UU No. 31 Tahun 1999 diatur pu la tentang tanggu ngjawab kejahatan korp orasi ( corporate criminal responsibility ). Dalam kasus ini penyu apan tidak hanya berupa pemberian atau janji untuk memberikan uang atau baran g, tetapi juga berup a gratifikasi, kemud ahan, entertainment , keuntungan, hadiah, honorarium dan sebagainya. Di dalam sistem C ommon Law , sepanjang menyangkut pejabat publik, intisari dari kejahatan adalah untuk merusak keadilan (to pervert justice). Dalam Pasal 418 KUHP bahkan segala hadiah atau janji yang diketahui atau sepatutnya haru s d iduga ad a kaitannya d engan kekuasaan atau kewenangan yang berhubu ngan d engan jabatannya dilarang. Lima Pasal KUHP tersebut d ikategorikan sebagai tind ak pida na koru psi. (UU Njo. 31 Tahun 1999). Khusus berkaitan dengan Pasal 419 KUHP di Singapura terd apat ketentuan yang lebih keras berupa N on-Acceptance of Gifts yang p ada prinsipnya setiap pejabat dilarang m enerima hadiah, souvenir dan lain-lain sepanjang d apat menem patkan yan g bersangkutan pada suatu kewajiban terhadap orang yang mempunyai hubungan dengan pekerjaannya. Pemberian tersebut haru s dilaporkan d an kalau ingin memilikinya, harus membayar setelah d itaksir harganya. 294
Kejahatan p enyuap an d ianggap meru sak integritas kemanusian, kehormatan, demokrasi, kepercayaan, moralitas, keadilan dan kebenaran, dan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara pejabat dan warga negara, tetapi juga antar warga negara yang berkaitan dengan kepentingan umum. Hal ini nampak dari pengembangan kriminalisasi terhadap tindak pidana p enyuapan yang berkaitan dengan kepentingan umum (UU No. 11 Tahun 1980), penyuapan dalam pemilihan umum baik supaya orang tidak menjalankan hakn ya untu k memilih m aupu n sup aya ia menjalankan hak nya d engan cara tertentu (Pasal 73 UU No. 3 Tahu n 1999). Tindak pidana p enyuapan terhadap an ggota dewan komisaris, direksi atau pegaw ai bank sebagai lex specialis jug a diatu r dalam UU N o. 10 Tahun 1988 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dunia internasional, dipelopori oleh OECD (Organization of Economic Cooperation and D evelopment) telah mendorong agar negaranegara industri segera melakukan kriminalisasi terhadap apa yang disebut “korupsi komersial” untuk memerangi penyuapan terhadap para pejabat publik di negara lain d alam transaksi bisnis internasional. Dalam hal ini telah diad akan OECD’s ‘Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions’ . Di USA sangat terkenal apa yang dinamakan “ the Foreign Corrupt Practices Act” (FCPA), 1977. Kesemua itudimaksud kan untu k m enjawab keprihatinan terhad ap masalah politik dan m oral dalam kerangka usaha penciptaan pemerintah yang baik, pembangu nan ekonomi, dan distorsi kondisi persaingan bisnis internasional yang nampaknya sudah merasakan betapa p erlunya kerjasama internasional un tuk mengatasinya. Suap-menyuap yang berkaitan dengan pejabat publik, ternyata dap at berkaitan dengan kejahatan yang sangat berat yaitu “kejahatan transnasional terorganisasi” (transnational organized crimes: TOC ) . Dalam UN Convention Against Transnational Organized Crimes, Palermo , 2000, TOC melipu ti pencegahan, investigasi dan p enu ntu tan terhad ap perbu atan berup a partisipasi dalam kelomp ok kejahatan terorganisasi, kejahatan p encucian uang, kejahatan koru psi — khususnya p enyuap an terhadap pejabat publik, langsung atau tidak langsung, kejahatan obstruction of justice dan kejahatan berat yang lain yaitu kejahatan yang diancam p idana perampasan kemerdekaan m aksimum empat tahun atau lebih. 295
Kasus penyuapan terhadap saksi, apabila benar-benar terjadi sud ah meru pakan tindak p idana berat, sebab tidak h anya berkaitan dengan tindak pidana suap d i luar ketentuan perun dang-und angan yang su dah ada (UU No. 11 Tahu n 1980) terhadap seseorang, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu d engan maksud untu k membu juk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu d alam tugasnya (yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyan gkut kepentingan u mu m), tetapi juga berkaitan dengan asas peradilan yang jujur d an d an tindak pidana berupa gangguan terhadap proses memperoleh keadilan yang juga masuk kategori transnational organized crimes (Palermo Convention , 2000). Lebih luas lagi termasu k kategori kejahatan m elawan ad ministrasi peradilan. Pengadilan yang Fair Prinsip pengadilan yang fair dapat dikaji tidak hanya melalui hukum nasional (KUHP, KUHAP dan Perundang-undangan yang berkaitan d engan sistem peradilan, yurispru densi, hukum kebiasaan), tetapi juga dari instrumen-instrumen (HAM) internasional, hukum kebiasaan internasional, asas-asas huku m u mu m internasional, doktrin dan kepu tusan hakim (landmark court decisions) . Hal ini bisa berkaitan dengan tahap-tahap; pre-trial seperti, larangan penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, hak untuk mengetahui alasan penangkapan, hak untuk memperoleh bantuan hukum, hak untuk memp eroleh kepastian tentang sahnya penangkap an dan p enahanan, larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, larangan incommunicado detention ; tahap hearing berupa persamaan di depan hu kum , hak un tuk d iadili secara terbuka dan secara adil, hak un tuk diadili berdasarkan hukum oleh pengadilan yang kompeten, independen d an tidak memihak, praduga tidak bersalah, hak untuk segera mengetahui hakekat dari dakw aan, hak untu k diberikan waktu cukup dan fasilitas gun a memp ersiapkan p embelaan, hak un tuk d iadili tanpa d itunda-tunda secara tidak beralasan, hak untu k membela diri baik sendiri maupun oleh penasehat hukum, hak untuk memeriksa saksi-saksi, hak untuk memperoleh penerjemah, larangan self incrimination, larangan pemberlakuan hukum pidana yang berlaku surut, dan ne bis in idem . Kemud ian tahap post-trial, mencakup hak untuk naik banding dan hak u ntuk m emperoleh kompensasi apabila terjadi kegagalan dalam men entukan keadilan. 296
Semua tahapan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi, khususnya keberadaan pem erintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif, di samping keharusan terus menerus untuk mempromosikan dan melindungi HAM. Penyuapan terhadap saksi jelas akan merusak integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi. Tindak pidana penyuapan terhadap saksi pada dasarnya merupakan tindak pidana gangguan terhadap hak untuk mendapatkan keadilan (obstruction of justice) yang dalam Palermo Convention d irumuskan sebagai berikut: a. “The use of physical force, threats or intim idation or the promise, offering or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding in relation to the commission of offenses covered by this Convention”; b. The use of physical force, threats or intim idation to int erfere with the exercise of official dut ies by a ju stice or law enforcement official in relation to the commission of offenses covered by this convention. Dalam kerangka obstruction of justice ini orang akan selalu teringat pidato Rep. Christopher Cannon (Januari 1999), seorang anggota Kongres dari Utah, di depan Senat AS dalam proses impeachment Presiden Clinton. Dia menyatakan bahwa kejahatan obstruction of justice mencakup; a. design to delay, impede, cover up and conceal the existence of evidence and testimony; b. to use of force or threats, or to otherwise act corruptly, in order to influence, obstruct or impede the due administration of justice; c. witness tampering to influ ence, delay or prevent the testimony of any person in an official proceeding; or to cause another person to withhold an object from an official proceeding; or to give wrongful testimony. Mengenai “kejahatan melawan administrasi peradilan”, dapat dikaji sebagai model apa yan g telah dirum uskan dalam Statuta Roma, 1998 tentang In tern ational Crim inal Cour t . Pada Pasal 70 hal ini mencakup perbuatan yang dengan sengaja: a. Giving false testimony when under an obligation pursuant to Art . 69, to tell the truth; b. Presenting evidence that t he party knows is false or forged; c. Corruptly influencing a witness, obstructing or interfering with t he attendance or testimony of a witness, retaliating against a witness for 297
giving testimony or destroying, tampering with or interfering with the collection of evidence; d. Impeding, int imidating, or corruptly influencing an official of the court for the purpose of forcing or persuading t he official not t o perform, or to perform improperly, his or her dut ies; e. Retaliating against an official of the court on accoun t of duties performed by that or another official; f. Soliciting or accepting a bribe as an official of t he court in conn ection with his or her official duties. Uraian atas dasar instrum en internasional dan negara lain di atas penting untuk menggambarkan bahwa perbuatan penyuapan merupakan mala per se dan dikriminalisasikan secara universal. Sepanjang menyangkut penyuapan terhadap saksi, akan berkaitan dengan delik yang lebih spesifik dan penting yaitu “obstruction of justice” d a n “offenses against the administration of justice”. Dampak viktimisasinya bersifat multidimensional, sehingga alasan kriminalisasinyapu n sangat ku at. Dalam kaitan dengan hukum pidana positif Indonesia, kasus penyuapan terhadap saksi oleh seorang pengacara akan dapat dipidana atas dasar UU No. 11 Tahun 1980 tentang “tindak pidana suap” yang menyangkut kepentingan umum. Di samping itu dapat pu la dikaitkan d engan tindak pidana p enganjuran untuk melakukan su mp ah p alsu (Ps. 55 aya t (1) ke-2 Jo. Pasal 242 KUH P). Yang tera kh ir ini sesuai d engan Pasal 174 KUHAP m emerlukan acara khu sus. Sebagai catatan, khusus berkaitan dengan kasus yang dialami pengacara di atas, sehubu ngan d engan telah dilakukan nya perad ilan kode etik terhadap tersangka oleh asosiasi profesi dalam bentuk “ disciplinary proceedings” dan dinyatakan salah serta telah dijatuhi sanksi teguran keras, maka sesuai dengan dokumen internasional (Basic Principles on the Role of Lawyers, 1990) tindakan yang d emikian sudah benar. Namun karena persoalannya berkaitan dengan pelanggaran etika, dan tid ak berkaitan dengan m alpraktek maka apa yang telah diputuskan “pengadilan disiplin” tersebut tidak bersifat interdepend en d engan p roses perad ilan p idana. Hanya saja d ari sisi pem buktian un sur sifat melawan hu kum , secara komplementer hasil peradilan disiplin tersebut dapat dikaitkan dengan unsur sifat melawan hukum materiil yang dapat memperkuat unsur sifat melawan hukum formil. n 298
Proses Peradilan In Absentia: K o n t e k s d a n P e r m a s a l a h a n n ya Negara demokratis yang harus selalu berusaha m emenuh i ind eks demokrasi, para p enguasanya akan selalu sadar bahw a keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif serta selalu mempromosikan dan melindungi HAM, merupakan hal-hal yang bersifat imperatif dan bukan fakultatif. (Beetham, 1999). Termasuk dalam pengertian imperatif tadi adalah peradilan yang adil (dalam konteks perlindungan HAM) dalam ad ministrasi peradilan pidana. Pelbagai norma, nilai dan standar terus dikembangkan baik secara universal maupun secara nasional. Menurut pengalaman, perkembangan tersebut melalui tahap-tahap: enunciative, declarative, prescriptive, enforcement and criminalization ”. (Bassiouni, 1994). Dalam kerangka universal sangat penting untuk diperhatikan pelbagai perjanjian internasional tentang H AM, terutam a yang sud ah diratifikasi oleh suatu negara dan norma-norma hukum kebiasaan internasional yang sudah diadopsi oleh bangsa-bangsa beradab. Sedangkan dalam kerangka hukum nasional sangat penting untuk diperhatikan dan dikaji terus menerus konstitusi negara, khususnya sepanjang berkaitan d engan H AM, dan sistem p eradilan di Indonesia tidak bisa mengabaikan TAP MPR No. XVII/ II/ MPR/ 1998 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Selanjutn ya p elbagai ketentu an y ang tersurat dan tersirat dalam KUHP dan KUHAP serta pelbagai perundang-undangan yang mengatur sistem peradilan pidana, seperti, UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan pelbagai Perundangundangan yang mengatur badan peradilan, selain tidak kalah pentingnya pelbagai yurisprudensi atau landmark court decisions — meminjam istilah dari negara-negara yang mengan ut Common law . 299
Keberadaan peradilan in absentia bisa dikaji dari tiga sisi. Sisi pertama memand ang peradilan in absentia sebagai bagian dari asasasas peradilan yang adil. Sisi kedua melihat peradilan in absentia sebagai bagian dari perlindungan HAM dalam sistem Administrasi Peradilan Pidan a ( The Protection of Hum an Rights in the Adm inistration of Crimin al Just ice). Seda ngk an sisi ketiga, per ad ilan in absentia sebagai lembaga hukum akan bersentuhan dengan asas-asas ekstradisi. Hak-hak yang Harus Dilindungi Asas-asas perad ilan yang ad il mem bentang m ulai dari saat investigasi dilakukan samp ai dengan d igelarnya peradilan secara terbuka, termasuk proses banding, kasasi serta peninjauan kembali, sehingga keputusan hakim memp eroleh kekuatan yang tetap. Hal ini mencakup p erlindu ngan hak pad a tahap-tahap pra peradilan ( pre trial stage), tahap proses pera dilan (the actual trial stage) dan tahap pasca peradilan ( post trial stage). Di baw ah ini adalah hak-hak yang haru s dilind ungi pad a masing-masing tahap. 1. Tahap Pra Peradilan: a. larangan penangkapan atau penahanan sewenang-wenang; b. hak untuk mengetahui alasan penahan; c. hak untuk mendapat jasa pengacara; d. hak untuk hadir di hadapan hakim untuk menguji keabsahan penangkapan atau penahanan; e. larangan penyiksaan dan hak untuk mendapatkan perlakukan manu siawi selama masa penahan an pra p eradilan; f. la ra ng an p en ah an an incommunicado ( y a n g m e m u t u s k a n hubu ngan d engan orang lain). 2. Ta ha p Per ad ila n; a. akses yang sama di hadapan pengadilan; b. hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil (a fair hearing); c. hak untuk mendapatkan pemeriksaan publik (a public hearing); d. hak untuk diadili pada pengadilan yang tidak memihak, independen, dan kompeten sebagaimana diatur dalam undang-undang; e. hak untuk mendapatkan perlakuan praduga tak bersalah; f. hak untuk mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai alasan tuduh an pidana; g. hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai untuk persiapan penahanan; 300
h. hak untuk memeriksa para saksi; i. hak untuk mendapatkan penerjemah; j. lar an ga n m elib at ka n seseor an g ya ng m em bera tk an ; k. larangan penerapan hukum-hukum pidana yang berlaku surut; l. larangan dalam bahaya yang berlipat (double jeopardy ) 3. Tahap Pasca Peradilan; a. hak untuk mengajukan peninjauan; b . h a k u n t u k m e n d a p a t ka n g a n ti r u g i k a r en a k e sa la h a n peradilan. Dalam kerangka tahapan di atas, peradilan in absentia berkaitan erat dengan butir 2 (I) di atas mengenai ‘ the right to defend oneself in person or through legal councel ’. Dalam h al ini terjadi p ro d an kon tra antara yang menolak perad ilan in absentia (NGO’s dan Statuta Roma) dan yang m e n d u k u n g (H uman Rights Commit tee-HR C ) . Yang terakhir ini menegaskan bahwa peradilan in absentia dibolehkan dalam kondisi tertentu jika negara dipandang telah cukup melakukan usaha untuk menginformasikan terdakwa tentang proses peradilan yang akan berlangsung, sehingga memu ngkinkan m elakukan persiapan pembelaan. Mengenai perlindungan HAM di dalam Administrasi Peradilan Pidana, hal ini mencakup lingku p yan g sangat luas d an seringkali juga bersentuhan dengan asas-asas peradilan yang adil di atas. Promosi dan perlindu ngan H AM mencakup ru ang lingkup sebagai berikut: a. pencegahan diskriminasi; b . a sa s le ga lit as ; c. non wrga negara dan pengungsi; d . hak untuk hidup dan bebas dari hukuman yang kejam dan tidak wajar; e. hak untuk mendapatkan hak dan kebebasan sebagai tahanan; f. hak untuk mendapatkan peradilan yang adil; g. Administrasi peradilan remaja ( A dmin istration of Juv enile justice); h. kebijakan peradilan pidana; i. tata ter tib; j. hak (ko rb an ) u ntu k m en d ap at ka n p en go ba ta n; k. prosedur untuk menyampaikan keluhan dan laporan (complaints and reporting procedures); l. Derogasi; m . k e r ja s a m a i n t e r n a si on a l d a l a m h a l- h a l p id a n a , t e r m a s u k perjanjian-p erjanjian (treaties model ). 301
Dalam ruang lingkup ini peradilan in absentia berkaitan erat dengan “hak u ntuk m endapatkan peradilan yang fair”, khususnya Pasal 14 (3) (d ) Konv ensi Intern asional tenta ng H ak Sipil d an Politik yang mengatur “jaminan minimum”, dalam hal persamaan secara penuh disebutkan: “Untuk diadili dengan kehadiran terdakwa d an untu k membela dirinya sendiri atau melalui bantuan huku m yang dipilihnya sendiri; untu k diberitahukan haknya, jika ia tidak m emiliki bantuan hu kum; dan untu k mendapatkan bantuan huku m yang ditunjuk untu knya dalam hal di mana p eradilan membutuh kannya, tanpa dibayar jika ia tidak mamp u membayarnya”.
Mengenai hal di atas Hu man Rights Comm ittee of t he International Convenant on Civil and Political Rights memberikan komentar sebagai berikut: “Tertud uh atau pengacaranya harus dibenarkan bertind ak sungguhsungguh d an tanpa rasa takut dalam melakukan pembelaan dan hak untuk menguji keabsahan peradilan jika mereka percaya (peradilan) tidak melakukan deng an ad il. Jika peradilanin absentia dilakukan karena alasan-alasan yang d apat d ibenarkan, hak-hak p embelaan tertuduh harus tetap d iperhatikan….Komisi menetapkan bahwa h ak un tuk m e n d a p a t k a n p e r a d i l a n s e ca r a t e r b u k a t i d a k m e l a r an g t u d u h a n t u d u h a n in absentia. Komisi menyatakan bahwa tuduhan in absentia dibolehkan d alam adm inistrasi perad ilan yang tepat, misalnya ketika tertuduh telah diinformasikan mengenai tuduh an-tuduh annya lebih d u l u t e t ap i k e m u d i a n m e n o l a k p e n g g u n a a n h a k n y a u n t u k h a d i r . Putusan yang sah in absentia mengharuskan pengambilan langkahlangkah untuk menginformasikan tertuduh lebih dahulu mengenai tud uh an-tud uh annya, terutam a syarat-syarat pad a ps. 14 (3) (a): un tuk diberitahukan dengan segera dan rinci dalam bahasa yang bisa dimengerti mengenai alasan tuduhan terhadapnya. Tujuan pemberitahuan adalah untuk m emberikan kesempatan kepad a tertuduh menggunakan haknya secara efektif di bawah pasal 14. Untuk memenu hi tujuan ini, pemberitahuan h arus menginformasikan kepad a t e r t u d u h m e n g e n a i t a n g g al d a n t e m p a t p e r a d i l an , d a n m e m i n t a kehadirannya.”
Dikaitkan dengan masalah ekstradisi, dapat dikaji M odel Treaty on Ext radition. Di dalam pasal 3 yang mengatu r M andatory Grounds for Refusal huruf (g), ditegaskan hal ini bisa terjadi bila: “Keputusan negara yang meminta telah memutuskan in absentia, tertuduh tidak mendapatkan pemberitahuan peradilan yang memadai, atau 302
kesempatan untuk mengatur pembelaannya, dan ia tidak memiliki kesempatan lagi agar kasusnya diadili dengan kehadirannya”. Didalam KUHAP, untuk acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan acara singkat, tidak dibenarkan menerapkan peradilan in absentia. Dengan demikian kehadiran terdakwa d alam persidangan meru pakan keharu san. Hal ini tersirat d alam Pasal 154 KUHAP yang mengatur tentang proses menghadirkan terdakwa d alam persidangan, dan bila perlu dihadirkan secara paksa (Pasal 154 ayat 6 KUHAP). Persidangan tidak dapat dimulai sampai penuntut umum berhasil menghad irkan terdakwa di persidangan . Sebagai catatan, perkecualian bisa saja terjad i dalam pem eriksaan perkara cepat, m isalnya perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Dalam hal ini bisa d ilakukan “quasi keperdataan” d an p erkecualian terhad ap asas in absentia . U n d a n g - u n d a n g t i d a k m e w a j i b k a n t e r d a k w a menghadap in person di sidang pengadilan dan ia dapat menunjuk wakilnya. (Harahap, 2000). Dalam beberapa peru ndang-und angan d i luar KUHP, atas dasar asas lex posteriori derogat legi priori diatur p eradilan in absentia, seperti UU No.3 Tahun 1971 tentang “Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi” Pasal 23 ayat (1), yang kemu dian ditegaskan k embali oleh UU p engga ntin ya yaitu UU No .31 Tahu n 1999 Pasal 38 ayat (1). Dalam hal ini dinyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak had ir dalam sidang pengadilan dan tanp a memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tan pa kehadirann ya. Sayangnya pengecualian yan g signifikan semacam ini tidak disertai dengan “standar hukum” dan “petunjuk um um ” tentang tata cara untu k melaksanakan perad ilan “in absentia”. Petunjuk umum semacam ini bisa disusun oleh Mahkamah Agung, misalnya pernyataan bahw a Mahkamah Agun g dap at mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini sama persis dengan apa yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agu ng baru -baru ini melalui PERMA No.1 Tahun 2002 tentang “Acara Gugatan Perwakilan Kelompok”. Pedoman Umum Keberadaan “p edoman um um ” melalui PERMA tentang standar yuridis dan tata cara melaksanakan peradilan in absentia sangat 303
penting, melihat kemungkinan viktimisasi terhadap tiga dimensi kepentingan dalam peradilan in absentia diatas. Pedoman semacam ini harus bisa menjawab: a. Hakekat peradilan in absentia sebagai ex parte hearing dalam konteks sistem peradilan pidana; b . P er ad ila n in absentia merupakan peradilan perkecualian dengan syarat-syarat yan g jelas (reasonable cause sebagai bagian minimum guarantees); c. A p ak a h p er ad i la n in absentia hanya berkaitan dengan sidang pengad ilan ataukah bisa juga mencakup ketidakh adiran terdakw a dalam keseluruhan proses sistem peradilan pidana (mulai penyid ikan sampai dengan sidang peng adilan). Dengan kata lain a p a k a h d i m u n g k i n k a n p e n y i d i k a n in absentia s e h i n g g a menghasilkan dakwaan fiktif (fictional indictment) ; d . Sampai seberapa jauh hakim d apat menolak kehadiran penasehat hukum dalam peradilan in absentia, lebih-lebih ap abila terdakw a in absentia diancam d engan pidana berat; e. Sampai seberapa jauh dimungkinkan terjadinya persidangan ulangan, sehingga yang bersangkutan mempunyai kesempatan untuk melakukan pembelaan. Beberapa hal yang bisa dijadikan bahan perumusan standar huku m dan pedoman p eradilan in absentia adalah sebagai berikut: a. Dalam tindak pidana tertentu, pada d asarnya setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak un tuk d iadili (the right to be tried in his presence), kecuali yang bersan gkutan secara su karela melepaskan haknya, atau yang bersangkutan melarikan diri, atau dengan sengaja yang bersangkutan memilih untuk tidak bersedia hadir; b. Persidangan in absentia hanya dap at dilakukan atau d iperbolehkan demi kep entingan keadilan, apabila terdakwa yang telah d iberi informasi sebelum nya secara patut, tidak mau atau mu ndu r d ari haknya untuk hadir; c. Proses pemidanaan pada dasarnya merupakan penghukuman secara formal ( formal condemn ation ) setelah terjadi penyelidikan, seleksi dan evaluasi yang akurat terhadap alat-alat bukti yang mendu kung. Sedangkan dakwaan hanya merupakan tud uhan yang belum terbukti (unproved charge) dan bukan m erupakan konklusi final tentang kesalahan. Dengan demikian peradilan in absentia 304
d.
e.
f.
g.
haru s sudah m elalui eksaminasi permu laan yang cuku p terhadap alat-alat bukti yang dapat m enduku ng d akwaan; Peradilan in absentia bisa mensyaratkan bahwa terdakwa pada permulaan pernah hadir (initial presence), tetapi bisa juga tanpa syarat tersebut asal tidak d iragukan lagi bahwa terdakw a telah memu tuskan secara sukarela dengan kesadaran penu h un tuk tidak melaksanakan haknya untu k hadir; Sekalipun peradilan in absentia dilaksanakan, maka terdakwa haru s dapat diwakili oleh penasehat hukum yang diberinya kuasa. Dengan alat-alat komunikasi modern memungkinkan penasehat huku n berkomun ikasi dengan terdakw a setiap saat; Apabila pelbagai persyaratan peradilan in absentia tidak dipenuhi, maka harus dimungkinkan peradilan ulangan (retried ) dengan kehadiran terdakwa, sebab bagaimanapun juga keterangan terdakwa secara pribadi tetap m erupakan alat bukti penting; Persyaratan p ersidangan u langan haru s didasarkan alasan-alasan yang m asuk akal seperti: • Hambatan terhadap kehadiran kuasa hukum; • Panggilan tidak sah atau tidak patut; • Ketidakhadiran terdakwa alasannya cukup m emadai; • Terdakwa sedang melaksanakan kewajiban hukum lain yang setara. n
305
St r u k t u r K e k u a s a a n L e m b a g a Pe n g a d i l a n d a n K e j a k s a a n Sejak jatuhnya pem erintahan otoriter Ord e Baru setelah berku asa selama lebih d ari tiga dasawarsa, pelbagai hal yang berkaitan d engan asas-asas um um dan nilai-nilai dasar dem okrasi secara simu ltan dan mendasar ditinjau kembali, seperti soal transparansi dalam proses pengambilan keputusan politik, kebebasan pers, pemilihan umum yang jujur d an ad il, pemerintahan yan g bersih dan bebas dar i KKN atau good governance, prinsip check and balance, supermasi hukum, dan sebagainya. Dalam kerangka penegakan supermasi hukum, muncul di tengah masyarakat pandangan-pandangan kritis agar sistem peru nd ang-und angan yang dibangun d iupayakan seaspiratif mu ngkin, melakukan promosi dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dan menegakkan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Diskursus yang kerap m engemuka tentang struktur dan kekuasaan badan-badan p engadilan d an kejaksaan juga agaknya dimaksud kan dalam kerangka menegakkan sup ermasi hukum tersebut. Jika kita cerma ti, pasal 24 dan 25 UUD 1945 beserta p enjelasan nya , sebenarnya cukup melukiskan kesadaran d an visi jauh ke depan yan g dimiliki para founding fathers kita ihwal pentingnya un tuk m enegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dengan cara menempatkannya di bawah Mahkamah Agung. Persoalan sekitar kekuasaan kehakiman yang merdeka itu baru kemudian m uncul justru setelah perun dang-und angan p elaksanaan dibuat, baik yang berkaitan dengan hakekat kekuasaan kehakiman maupun muatan dan penerapannya. Berkaitan den gan h al di atas, alangkah baiknya ap abila hal-hal pokok yang berkaitan d engan “prinsip kekuasaan kehakiman yang 306
merdeka” yan g secara un iversal telah d iakui sebagai instrum en H AM dan sudah diadopsi oleh PBB itu diatur oleh UUD 1945 dan bukan oleh Undang-undang. Sesuai dengan standar universal (UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary , 1985) paling tidak diperlukan adanya pengaturan pokok dalam UUD yang berkaitan dengan asas-asas um um kekebasan p eradilan, kebebasan m enyatakan pendapat dan berasosiasi, kualifikasi, seleksi dan pelatihan hakim, kerahasiaan profesional dan imunitas serta pengaturan tentang tindakan d isiplin, susp ensi dan p emindah an. Selanjutn ya, di bawah ini akan d ikemu kakan pelbagai pandangan tentang praktek konstitusi di Indonesia yang dianggap tidak lagi sesuai dengan stand ar-standar demokrasi universal, baik yang datang d ari dalam negeri maup un luar n egeri, seperti “ the International Comm ision of Jurist ”. Penting segera disada ri bahw a ambivalensi – jika tidak d isebut kekacauan — dalam menafsirkan kemand irian kekuasaan keh akiman yang sudah diakui tersebut muncul setelah secara emosional para penyelenggara negara mulai mengelaborasi konsep “negara integralistik”. Konsep ini bertolak dari pandangan dasar bahwa negara merupakan kesatuan organik yang diasosiasikan – tentu den gan akibat penyederh anan yang keterlaluan — layaknya sebuah kehidup an keluarga: apap un yan g dilakukan bapak (pengu asa) harus dipahami sebagai bertujuan untuk kepentingan semua anggota keluarga (rakyat). Karena itu dalam kon sep negara integralistik, un sur harmoni, kebersamaan, sangat amat ditonjolkan. Sebaliknya, segisegi yang m elekat pada h ak-hak ind ividu al warga negara – kemud ian dipersepsikan sebagai “ancaman” terhadap tatanan harmoni, kebersamaan, stabilitas — harus ditundukkan dalam kerangka kepentingan n egara. Segala tind akan w arga negara yan g tidak selaras dengan kepentingan negara, mudah ditafsirkan sebagai pembangkangan atau subversif. Konsep di atas juga menimbulkan implikasi yang sangat problematik dalam dunia hukum di Indonesia. Pernyataan bahwa I n d o n e s i a m e r u p a k a n “ n e g a r a h u k u m ” (rechstaat ) , m e s t i n y a menempatkan pengadilan dalam posisi strategis, dan bahkan dapat memberikan kepastian bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif pun tak terkecuali harus tegak d i atas landasan hu kum yang berlaku. Karena itu, di pelbagai negara demokratis berkembang apa yang disebut “ judicialization of politics” atau “ policy making by judges”. Maka, jika su atu 307
ketika misalnya terjad i “perten tang an konstitusi” ( constitutional conflict ) pengadilan yang merdekalah yang harus menyelesaikannya, bukan yang lain. Prinsip yang demikian tidak terjadi di era Orde Baru. Kedu du kan p engadilan yang mand iri, juga sering dikacaukan dengan cara mengintrodusir istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang membingungkan, seperti pernyataan bahwa kita tidak menganut prinsip “separation of power ” tetapi “devision of power ” . Kemu dian, ketentuan p asal 4 ayat (3) Und ang-un dan g No 14 Tahun 1970 yang m enyebutkan bah wa: “Segala camp ur tangan dalam u rusan perad ilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan k ehakiman d ilarang (pen: mestinya d i sini titik) kecuali dalam h al-hal tersebut d alam UUD”, menyediakan alasan bagi pihak penguasa untuk memberikan tafsir menu rut visi dan kep entinganny a sendiri. Kata “kecuali dalam h al-hal tersebut d alam UUD”, mu dah dimanipulasi, misalnya d ikaitkan d engan “hak preogratif Presiden” (Pasal 14 UUD 1945), untuk melakukan campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman yang man diri. Demikian pula dengan pernyataan bahwa: “penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan sesuai dengan perasaan hukum bangsa Indonesia d an Masyarakat” yang kerap kita dengar di sepanjang era kekuasaan Orde Baru, lebih merup akan slogan yang mengabu rkan prinsip-prinsip universal tentang kebebasan peradilan. Sepanjang menyangkut pemisahan lembaga eksekutif dan yu dikatif sebagaimana dikehendaki TAP MPR (No. X/ MPR/ 1998) sebagai permulaan keberadaan UU No. 35 Tahun 1999, cukup memadai, setidaknya sebagai kehendak politik. Namun demikian ketentuan pengalihan organisas i, adm inistrasi dan finansial yang dijadwalkan p aling lama 5 tahun sebaiknya bisa dilaksanakan lebih cepat. Sebab penu nd aan dengan alasan-alasan yang bersifat teknis justru hanya akan m engaburkan pr insip universal tentang keman dirian kekuasaan kehakiman . Demikian pula dengan usul untuk melakukan perubahan pelbagai perundangundangan tentang kekuasaan kehakiman — yang merupakan turunan dari UU No.14 Th. 1970 – dan pendayagunaan “Dewan Kehormatan Hakim” serta pembentukan “Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta Penyelenggara N egara”, haru s dap at segera dilakukan . Selain itu , usul u ntu k m emben tuk ‘Komisi Yud isial’ sebagaiman a banyak d isuarakan m asyarakat, khusu snya kalangan LSM, dapat saja dipertimbangkan. Dalam usul itu, Komisi Yudisial, yang para anggotanya diangkat oleh DPR, diharapkan dap at mengemban fungsi 308
pokok antara lain u ntuk melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim Agung dan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Agun g. Usul ini sejalan dengan d engan rekomend asi ‘the International Comm ision of Jurit’ (1999). Keberad aan lem baga ini p enting untuk m emberantas “judicial corrupt ion” – yang di negeri ini terasa sudah amat merisaukan – bersama-sama dengan lembaga-lembaga lain, seperti Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta Penyelenggara Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, Dewan Kehormatan Hakim, Ombudsman. Fungsi lembaga-lembaga seperti ini juga memiliki relevansi dengan kem un gkinan akan d iaturnya ‘Perlind un gan Saksi’ dan keberadaan Kode Etik yang menegaskan betapa pentingnya kebebasan peradilan, integritas, ketekunan, persamaan, sikap tidak memihak (impunity ), dan sebagainya. Mengenai persoalan hak untuk menguji secara materiil dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Th. 1970, nampakn ya haru s dirombak secara mend asar karena han ya dibatasi terhadap produ k perund ang-undangan d i bawah UU, sering dengan alasan yang dibuat-buat yang sebenarnya untuk mempertahankan pemerintahan yang arbitrair, seperti alasan tidak sesuai dengan “konsep negara integralistik”, “division of power ” , kedu du kan “hakim sebagai pegawai negeri”, dan sebagainya. Sebab di dalam prinsip demokrasi hanya mengenal dua alternatif: memperkuat kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan uji materiil terhadap UU d an peraturan perund ang-undangan lain, atau membentuk Mahkamah Konstitusi (Constitut ional Court). Kewenan gan yang sangat strategis seperti ini tidak cuku p han ya diatur d alam UU tetapi harus diatur d alam UUD. Ada sesuatu celah yang bersum ber dari kewenangan pengaw asan Mahkamah Agung, yakni kebiasaan Mahkamah Agung untuk memberikan perintah kepada pengadilan bawahan dengan alasan pengawasan untu k menund a atau tidak melaksanakan keputusannya, bahkan juga keputusannya sendiri dengan alasan yang tidak transparan. Dalam hal ini harus ada rambu-rambu untuk mencegah atau m embatasi kewenangan mereka. Lalu kedud ukan hakim sebagai pegawai negeri harus segera diakhiri, karena jelas-jelas akan menimbulkan “conflict of interest” bagi hakim dan rentan terhadap man ipulasi oleh keku asaan eksekutif, apalagi jika masih haru s menjadi anggota Korpri seperti yang p ernah d ipraktekkan d i jaman Orde Baru. 309
Pendayagunaan hakim adhoc, khususnya di Mahkamah Agung, harus dilakukan mengingat penunjukannya didasarkan atas pertimbangan keahliannya sesuai d engan kasus-kasus yan g d ihadapi, seperti menyangku t hak cipta, kepailitan, dan sebagainya. Masukn ya “hakim non karir” seperti ini ke dalam Mahkam ah Agun g sebaiknya dimu ngkinkan dengan berpedom an pad a peraturan yang jelas, baik yang berasal dari kalangan akademisi maupun dari praktisi hukum dengan perimbangan komposisi keanggotaan: 75% hakim karir dan 25% hakim non karir. Untuk menegaskan betapa strategisnya kedudukan Mahkamah Agung dalam kehidupan demokrasi, maka selain fungsi-fungsinya yang sud ah d iatur dalam UU N o. 14 Th. 1985 perlu p ula diatur p eranan Mahkamah Agung (melalui keputu san yang d ibuatnya) menyangkut hal-hal sebagai berikut: memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat; sarana pembaharuan hukum; mempromosikan prinsip kemand irian kekuasaan kehakiman d an hak asasi manusia; mend orong tegaknya demokrasi; dan memberikan solusi final terhadap konflik yang terjadi. Sedangkan dalam kerangka “the administration of justice system” perlu adanya pengaturan yang dapat menampung dan memberikan pembenaran secara komperhensif atas perkembanganperkembangan baru dalam bentuk pengadilan khusus, seperti “Pengad ilan Niaga”, “Pengad ilan HAM”, “Pengad ilan Hak Cipta”, dan sebagainya, yang sering kali memu at un sur p enyimpangan baik d ari sisi prinsip-prinsip hukum materiilnya maupun hukum acaranya. Dalam kerangka globalisasi perlu ad anya pengatu ran yang d apat menstimulasi para hakim untuk memperhatikan sumber-sumber hu kum internasional baik berup a “konvensi internasional” yang sudah diratifiksai, “huku m kebiasaan internasional” ( international customary law), “asas-asas hukum umum yang sudah diterima oleh bangsabangsa beradab”, “instrumen-instrumen HAM”, dan lain sebagainya, termasuk “Perda” untuk mengantisipasi berlakunya “otonomi daerah” (UU No. 22 dan 25 Th. 1999). Hal penting yang lain, perlu diadakan sosialisasi bahwa tidaklah mungkin prinsip-prinsip “UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary” tanpa adan ya ketaatan para pengacara terhadap “ UN Basic Princples on t he Role of Lawyers”. Bahkan saat ini PBB sedan g m erancang adanya sebuah deklarasi tentang “ Independence of Justice” Sosialisasi ini juga sebenarn ya perlu d ilakukan kepa da lembaga-lembaga lain yang 310
secara p otensial dap at “m empengaru hi” kebebasan peradilan, seperti lembaga ekseku tif, legislatif, pers, NGO’s, dan sebagainya. Kemud ian, pengaturan yang memungkinkan adanya “spesialisasi hakim” untuk mengantisipasi penanganan kasus-kasus hukum yang semakin kompleks, khususnya di bidang komersial dan ekonomi yang berkembang demikian cepat, juga p erlu mend apatkan p ertimbangan. Khusus mengenai kejaksaan, harus segera disadari bahwa lembaga ini merup akan bagian penting dari sistem p eradilan pidana. Secara idiil, dalam p engaturan susunan dan kekuasaannya, selain haru s memperhatikan aspirasi nasional, juga harus dikaji nilai-nilai universal seperti, “Guidelines on the Role of Prosecutors ” yang diadopsi oleh Kongres ke 8 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” di Havana pada tahun 1990. Pengaturan susunan dan kekuasaan kejaksaan h aruslah m encakup hal-hal sebagai berikut: - Persyaratan untu k menjadi jaksa harus didasarkan atas integritas dan kemamp uan melalui p elatihan kualifikasi; - Kriteria seleksi tidak boleh mengandung un sur diskriminasi, kecuali soal nasional; - Pendidikan harus mengandung unsur etika dan perlindungan terhad ap hak-hak asasi terdakwa serta hak korban kejahatan yang diakui oleh huku m nasional dan internasional; - Jaksa adalah salah satu unsur utama dari “agent of the administration of justice” yang haru s menjaga martabat dan profesinya; - Negara harus menjamin keamanan jaksa agar bebas dari pelbagai gangguan dalam menjalankan profesinya; - P r om o s i te r h ad a p ja k sa h a r u s d i d a s a r ka n a t a s k ri te r ia y a n g obyektif; - Sebagai warga negara, jaksa harus diberi hak kebebasan untuk berekspresi, berkum pu l, berorganisasi, deng an berpedom an pad a huku m dan etika; - Kantor jaksa harus terpisah dari fungsi-fungsi yudisial; - Ja k sa h a r u s a k t if d a la m p r o s e s p er a d i la n p i d a n a , t e rm a s u k mengawasi pelaksanaan keputusan hakim; - Jaksa harus menghormati martabat HAM dan bertindak adil, konsisten dan cepat; - Jaksa harus menghindarkan d iri dari sifat diskriminatif dan tidak boleh memihak; - Menjaga rahasia jabatan, kecuali demi kepentingan keadilan; 311
-
-
-
-
-
-
Memperhatikan hak-hak korban; Jaksa tidak akan melakukan atau meneruskan penuntutan apabila penyid ikannya ternyata terbukti tidak n etral (memihak) dan tidak berdasar; Jaksa harus memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang melibatkan pejabat — khususnya yang berkaitan dengan kewenangan yang dimilikinya, apakah sudah ditangani sesuai hukum yang seharusnya atau sebaliknya; Apabila jaksa mengetahui bahwa bukti-bukti diperoleh secara melawan hukum, maka dia harus menolaknya atau memberi informasi kepada pengadilan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membawa yang bertanggungjawab ke pengadilan; Dengan mempertimbangkan hak-hak tersangka dan korban, jaksa harus menjajagi kemungkinan penerapan “alternative prosecution ” atau “divesrion”; Untuk menjaga kejujuran dan keadilan dan efektivitas penuntutan, jaks a har u s kerjas am a d en ga n p olis i, p en ga d ilan, p en ga car a, d an lembaga-lembaga lain yan g relevan; Tindakan disiplin terhadap jaksa harus diproses secara adil sesuai dengan prosedur dan ada jaminan untuk ditinjau secara independen.
Salah satu keberatan dalam negara demokrasi adalah adanya pelanggaran terhadap p rinsip “persamaan di d epan hu kum”. Dalam kaitan dengan tu gas kejaksaan, masalah ini berhubu ngan d engan “asas peluang” (opportunity) yang memberikan kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan penyimpangan perkara demi kepentingan u mum (deponering), sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU No 5 Th. 1991. Dalam era demokrasi, sudah sepantasnya ketentuan semacam ini dihapuskan. Bahkan rekomendasi untuk menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang m andiri dan tidak menjadi bagian dari anggota kabinet, patut d iduku ng. n
312
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Nabil R., Dogramaci, Oktay, Gangopadhyay, Aryya,Yesha, Yelena, “Electronic Commerce, Technical, Business, and Legal Issues, Prentice Hall”; PTR, N ew Jersey , 1999. Barr y, Brian , “Justice as Impartiality”, Oxford University Press, 1995. Bassiouni, M, Cherif, “International Criminal Law, Vol I” (Crimes), Tran s. Inc., New York , 1985. Bassiou ni, M. Cher if, “Crimes Against Humanity in International Criminal Law”, Martinus Nijhof Publ., London, 1992. Bau mer, David and Poind exter, J.C., “Cyberlaw and E-Commerce”, Mc Graw -Hil Com p any , New York, 2002l. Bayley, David H., “Police for the Future”, Oxford University Press, New York , 1994. Beetham , David, “Democracy and Human Rights”, Blackw ell Pub l. Ltd London, 1999. Bequai, Augu st, “Organized Crime”, Lexing ton Books , Toro nt o, 1989. Bick, Jona tha n, “101 Things You Need ton Know About Internet Law”, Three Rivers Press, New York, 2000. Birnie, Patricia W. And Boyle, Alan E., “International Law the Env ironment ”, Clarend on Press, Oxford, 1994. Biro Pusat Statistik, “Wanita dan Pria di Indonesia”, 1995 Box, Steven, Power, “Crime, and Mystification, Tavistock Studies in Sociology”, Tavistock publ. London, 1991. Brickey, Kath leen F, “Corporate and White Collor Crime”, Little, Brow n and Comp any, Lond on, 1995 Brow n, Seyom, “Internatinal Relations in a Changing Global System”, Westview Press, Oxford, 1992 Buergenthal, “International Hu man Rights”, West Pu bl.Co., Minn., 1988 Capp elletti, Maur o, “Who Watches the W atches: a Comparative Stu dy on Jud ici al R espon si bil it y” , d a l a m : Jud icial In dep en den ce : t he Contemporary Debate (Shetreet.s and Deschenes j.), Martinus N ijho ff Pu bl.,1985. 313
Chaikin, David, “Tracking the Proceeds of Organized Crime- the Marcos” (Paper), Canberra, 2000. Chester L, “Sociology”, Fifth Intern ational Book Com pan y, Clinnov d, Mar shall, B and Yeager, Peter c, “Corporate Crim e”, Lond on, Collor Mc Millan Publ., 1980 Cohen, Cynthia Price, “UN Convention on the Rights of the Child Int roductory N ote”, d alam : The Review ICJ, No.44, 1990. Cyber Crime, CDPC, Strasbourg, 2000. “Confronting Cross Border Crime”, Time Europe, Vol. 1. Daniels, John L. and Daniels, Caroline , “Global V ision”, M cGraw-H ill Int ernational Edition, Toron to, 1993. Dan iels, John , “Global V ision”, Mc Graw H ill, Int. Edition, N ew York, 1994. Departemen Kehakiman, Rancangan KUHP (Baru), 1993 Depar tmen t of State, USA, “International Strategy Against Corruption”, 1999. Dias, Clarence J. and Gilles, David, “Human Rights, Democracy, and Development ”, ICHRDD, National Library of Canad a, Montreal, 1993. Draft Resolution XVth, International Congr ess of Penal Law: “Crimes A gaint s the Env ironment-Application of the General Part”, Rio de Janeiro, Brazil 9-10 September 1994. Drucker, Peter F, “Managing in Turbulent Times”, Harper Business, New York , 1991. Endeshaw, Assafa, “Internet and E-Commerce Law, With a Focus on A sia Pacific”, Pren tice Ha ll, Mont real, 2001. Estrin, David an d Swaigen, John, “Environment on Trial, Handbook of Ontario Environmental Law”, Revise Edition, Toronto 1988. Ghai, Yash, “Human Rights and Governance: The Asia Debate” , dalam buku: The Australian Year Book of International Law, Vol. 15, The ANU, Sydney, 1994. Girasa, Roy J, “Cyberlaw, National and International Prerspectives”, Prentice Hall, New Jersey, 2002. 314
Goldstein, Joseph , “Criminal Just ice, Law and Politics” (George Cole), 1976. Goldw in, Robert A, Scham bra, William A, “How Does the Constitut ion Secure Rights?”, American Enterprise Inst. for Public Policy Research, Washin gton DC, 1985. Graham, John, “Crime Prevention Strategies in Europe and North A merica”, Heuni, Helsinki 1996. Hagan, Frank E, “Political Crime, Ideology and Criminality” , Allyn a Bacon, Singapore, 1997. Hagan, Frank E, “Political Crime”, Allyn and Bacon, Singap ore, 1997 Hagan, Frank E., “ Political Crime, Ideology & Crimin ality” , Allyn and Bacon, Boston, 1997. Handelman, “Confronting Cross Border Crime, Time Europe”, Vol 1 No . 16, 2000. Heise, Lori L. dkk , “Violence Against Woman, Hidden Health Burden”, World Bank Discussion paper, WB. Washington DC, 1994. Helmu t EPP, “Crime by Government”, Association Internationale de Droit Penal, 1994. Hendriks, LEM en Woretshofer, J, Milieustrafrecht, “WEJ Tjeenk Willink Zwolle“, 1995. Holms & Burke, “Terrorism, Today’s Biggest Threat to Freedom”, Kensington Publ. Corp., New York, 1994 Hoogers h.g. and Warmelink h.g., Rechtsstaatprinciples”, 1999.
“The Compatibility of
http:/ / www.eur.nl/ frg/ iacl/ papers/ warmhoog.html, hal. 13. International Criminal Court, “Rome Statute, Rome, 1988. International Review of Penal Law, 3’ et 4’ trimestres 1994, “Crimes A gaints Env ironment , General Part Preparatory Colloqium”, Sction 1, Ottawa (Canad a), Novem ber 2-6, 1992. Ishikawa, Hiroshi, “Characteristic A spect of Jaspanese Criminal Justice System- A Successful of Example of Integrated Approach” , Jakarta, 1984.
315
Jorgensen , N ina H.B., “The Responsibility of States for International Crimes”, Oxford University Press, London , 2000 Kaiser, G dkk., “Victims and Criminal Justice” Kriminologische Forschu ngs berichte, Part I, Max-Planck Institu te, Freibu rg, 1991. Kelomp ok Kerja Conv ention Watch, Lap oran Seminar: Imp lement asi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Dalam Dunia Kerja Serta Usaha Mengantisipasi Situasi Kerja Pad a Era Pa sar Bebas, Jakar ta, 1995 K l i p , A n d r e a n d S l u i t e r , G o r a n , “A nn otated Leading Cases of Int ernational Crimin al T ribun als” (ICTY 1993-1998), Hart Publ. Vienna , 1999. Komnas HAM, “ Laporan Lokakarya Kejahatan terhadap Kemanusiaan”, Jakarta, 2002. Kumpulan makalah pada Seminar “Calling for Change: International Strategies to End Violence Againt Woman” , tanggal 6-9 Juni 1993, Den Haag. Lessig, Law rence, “Code and Other Laws of Cyberspace”, Basic Books New York , 1999. Na isbitt, John , “Global Paradox”, Avon Books, New York, 1995. Nilson, Hans, G, “Future Corruption Control in Europe” , Fifth Intern ational Anti 12. Corru ption Con ference, Am sterd am , 1992. Ohmae, Kenichi, “The End of the Nation State”, The Free Press, Singapore, 1955. Hoogers h.g. and Warmelink h.g., “The Compability of Rechstaatprinciples”. Pom pe, S. van Ho eij Schiltouw er, “ the Indonesian S upreme Court , Fifty Years of Judicial Development”, 1996. The Universal Declaration of Human Rights, Art. 10 d an the Int ernational Covenant on Civil and Political Rights, Art. 14(1).
Pollock, Joycelyn M, “ A ethics, Crime and Just ice”, Wadsworth Publ. Company, Washington, 1998. Robertson, Geoffrey, “Crimes Against Hu manity”, Penguin Books, New Delh i, 1999.
316
RUU KUH P, DEPKUMDAN G, 1999-2000. RUU tentang KUHP (1999-2000) DEPKUMDANG Schabas, William A , “An Introduction to the International Criminal Cour t”, Cambr idge University Press, 2001. Schaffmeiter S dkk , “Hukum Pidana”, diterjemah kan o leh JE Sahetap y, Konsorsium Ilmu Hukum Dep. P&K, 1995 Schiltz, Michael E., “Ethics and Standards in Institutional Research” , Jossey-Bass Publ., 1992. Schwartau , Winn, Cybershock, “Surv iving H ackers, Phreackers, Identity Thieves, Internet Terrorist and Weapons of Mass Disruption” , Thun der’s Mouth Press, New York, 2000. Sheley, F. Josep h, “Exploring Crime”, Wadsw orth Pu bl.Coy. California, 1987. Shr od e, Wiliam A a nd Voich, Jr, “Organization and M anagement : Basic System Concepts”, Irwin Book Company, Malaysia, 1994. Smith, JC and Hogan, Brian, “Criminal Law”, F i f t h E d i t i o n , Butt erw orths, 1997 Statu ta ICTY, 1993. Statuta ICTR, 1994. Statu ta Roma, 1998. Steiner, Henry J, and Alston Philip, “International Human Rights in Context, Law Politics Morals”, Clarendon Press Oxford, 1996 Sterling , Bruce, “The Hacker Crackdown, Law, Disorder on the Electronic Frontier”, Banta m, Au ckland , 1992. The Portland Draft, “Proposed M odel for a Domestic Law or Crimes A gaints the Environment”, Oregon, USA March 23, 1994. Triffterer, Otto, “Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court”, Bad en 999. UN Convention Against Terrorism. UN Convention A gainst Transnational Organized Crimes, United Nations, 2000.
317
UN Decade A gainst D rug Abuse, Political Declaration and Global Program of Action, 1991-2000.
UN Min isterial Meeting, “Conference on Organized Transnational Looking at the Present to prepare for the Future” , Napels, 1994. UN , “Hum an Rights and Law Enforcement”, Profesional Trainin g Series No . 5, Geneve, 1997. UNIFEM, “CEDA W and W omen’s Rights”, 1995. UNIFEM, “Women’s Rights and Children Rights”, 1995. United Nations, “A Compilation of international Instruments, Human Rights”, Volu me I (first p art), N ew York , 1993. United Nations, “A Compilation of International Instruments, Volume I and II (Second Part)”, New York, 1993. United Nations, “Instruments related to the Prevention and Suppression of International Terrorism”, New York, 2001. United N ations, “Preliminary Report : Env ironmental crime sectioning strategies and sustainable development”, commission on Crime Preven tion a nd Crimin al Jus tice, Vienn a, 21-30 Ap ril 1992 (Doc. E/ CN 15/ 1992/ CRP4). United Nations, “Report of the Fourth World Conference on Woman” , Doc. A/ CONF.177/ 20, 17 Oktober 1995. United Nations, “Report of the Ninth United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” , Cairo, 29 Ap ril – 8 May 1995, (Doc. A/ CON F. 169 16, 12 May 1995). United Nations, “UN Convention Against Transnational Organized Crime”, 2000. U n i t ed N a t i o n s , “World Conference on Human Rights” , Vienna Declaration an d Program me of Action, 1993. United Nation s, Ecosoc, “Human Rights and the Environment”, Doc. E/ CN.4/ Sub .2 1994 9, 6 July 1994. Universitas Mercu Buana, “Aktualisasi Pengamalan Pancasila dan UUD 1945 Dalam Era Globalisasi”, Jakarta 1995. UU No. 26 Th. 2000.
318
Van Bemmeien, “Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian umum”, (terjemahan), Binacipta, 1984 Van Dijk, Jan JM, “Victim Rights: A Right t o Better Service or A Right t o The A ctive Participation”, Criminal Law in Action, Goud a Qu int bv, Arnhem, 1986. Walker, Clive an d Starm er, Keir, “Miscarriage of Justice”, Blackstone Press Limited, London, 1999. Wallingto n, Peter & Lee, Robert G., “Statutes on Public Law and H um an Rights”, 2001-2002, 11 th Edition, Blackstone’s Press. Work Programme to Implement he Asean Plan of Action to Combat Int ernational Crime, Asean Secretar iat, 2001.
Yates, Gayle kond usif Graham , “What Woman Want”, The Ideas of the Movem ent, Harv ard University Press, Lond on, 1977.
319
Tentang Penulis Prof. Dr. Muladi S.H. lahir di Solo, Jawa Tengah , 26 Mei 1943. Menyelesaikan gelar doktor dalam bidang Ilmu Hukum di UNPAD Bandung pada 1984. Dalam perjalanan karirnya sebagai ahli hukum pidana, Muladi pernah menjabat sebagai Dekan FH UNDIP (1986-1992); Rektor UN DIP (1994-1998); Anggota Komn as H AM (1993-1998); N ational Correspondent RI pada “Commission on Crime Prevention and Criminal Justice”, ECOSOC UN (1991-1998); Menteri Kehakiman RI (1998-1999); Menteri Sekretaris Negara RI (1999); Hak im Agu ng (2000-2001). Ia pern ah m end apat p engh argaan Bintang Mahap utra Adi Prad ana kelas II (1999).
Saat ini, selain menjabat sebagai Ketua Dew an Peng ur us The Hab ibie Center d an Ketua Dewan Penasehat Indonesian Police Watch , ia juga men jad i Dosen Pasca Sarjana di beberap a Pergur ua n Tinggi (UNDIP, UNILA, UNSRI, UNISBA, UNPAD, STHM, UNISULA, UBAYA, PTIK). Selain itu, Mulad i jug a aktif men gikuti p elbagai kegiatan ilmiah (dalam dan luar negri) baik sebagai peserta maupun sebagai narasumber. Beberapa buku yang ditulisnya antara lain: Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana; Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana; dan Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, dan lain-lain.
320