DIABETES MELITUS TIPE 1 A. PENDAHULUAN
Diabetes Tipe 1(DT1) adalah suatu penyakit autoimun yang mana system imun pasien merusak sekresi insulin oleh sel beta pancreas. DT1 merupakan penyakit autoimun multifaktorial yang dikarakteristikkan dengan adanya defisiensi insulin, dikarenakan perusakan sel beta pancreas yang dimediasi oleh sel T
1,2
. Hal ini tidak bisa diklasifikasikan secara tepat ke 2
dalam gen dominan, resesif maupun intermediet . Sebagian besar kasus yang terjadi diduga terjadi sebagai hasil proses interaksi antara genetic-lingkungan 1,2
. Sekitar 18 kelompok genom telah diketahui berhubungan dengan resiko
terjadinya DT1. Beberapa kelompok ini, dimana setiap kelompoknya dapat terdiri dari beberapa gen, yaitu di antaranya IDDM1 sampai IDDM18. Salah satu yang paling dimengerti sepenuhnya adalah IDDM1, yang mengandung 1
gen HLA (Human Leukocyte Antigen) yang mengkode protein respon imun . 1
Variasi dari gen-gen HLA merupakan faktor resiko yang penting . Selain itu, DT1 biasany juga dikarakteristikkan dengan adanya anti-GAD, sel islet maupun antibody insulin yang mengidentifikasi proses autoimun yang 3
menyebabkan menyebabkan terjadinya t erjadinya perusakan sel beta pancreas . DT1 diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu DT 1A (DT1 yang dimediasi imun/immune imun/ immune mediated ) dan DT 1B (DT1 yang tidak dimediasi imun/non-immune imun/ non-immune mediated )
B. DEFINISI
2,3
.
1,2,3
Istilah diabetes mellitus (DM) menggambarkan gangguan metabolic oleh karena multiple etiologi yang dikarakterisasikan dengan hiperglikemia kronik yang mengganggu metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan karena defek sekresi insulin, aktivitas insulin maupun oleh keduanya. Efek DM meliputi disfungsi, kegagalan dan kerusakan berbagai macam organ yang berlangsung lama. DMdapat muncul dengan gejala yang khas yaitu polidipsi, poliuri, polifagi (Trias Classic) serta pandangan kabur dan penurunan berat badan. Pada kondisi yang paling berat, dapat terjadi
ketoasidosis maupun hiperosmolar non-ketotik yang dapat memicu terjadinya stupor, koma, koma, dan kematian apabila terapi yang ya ng diberikan tidak efektif.
C.
INSIDENSI
Insidensi DT1 sebesar 10% dari semua kasus DM. Terdapat beberapa perbedaan insidensi berdasarkan geografisnya, dengan insiden rata-rata per tahun sebesar 40 per 100000 anak di Finlandia, <2 per 100000 anak di Jepang, sedangkan di Indonesia belum ada data insidensi yang akurat
1,2
. Insidensi pada
anak laki-laki sebesar 21,1 per 100000 anak, sedikit lebih tinggi daripada anak perempuan yaitu sebesar 19 per 100000 100000 anak 1. Bukti adanya etiologi autoimun DT1 ditemukan pada 95% kasus, sisanya sebanyak 5% tidak ditemukan adanya 2
marker autoimun, oleh sebab itu diklasifikasikan sebagai DT 1B . Berdasarkan 2
studi terbaru, insidensi DT1 meningkat sebesar 40% dari tahun 1997-2010 , atau meningkat sebesar 3% setiap tahunnya
1
. Peningakatan ini terutama
diduga karena adanya peranan lingkungan dalam epidemiologi DT1 1. DT1 lebih sering terjadi pada kelompok umur 10-13 tahun dan paling rendah pada kelompok umur 6-9 tahun. Kembar monozigotik memiliki insidensi terkena DT1 rata-rata 30%-50%, sedangkan kembar dizigotik memiliki rata-rata terkena DT1 sebesar 6%-10%. Sebanyak 18% kasus DT1 terjadi pada individu yang tidak meiliki riwayat DT1 pada keluarga. Perbedaan resiko yang terjadi juga dipengaruhi oleh orang tua yang menderita DM. Anak-anak yang ibunya terkena DT1 hanya beresiko sebesar 2% untuk terjadinya DT1, sedangkan anak-anak yang bapaknya menderita DT1 memiliki resiko sebesar 7% 1. D. PATOFISIOLOGI
DT1 merupakan tipe diabetes yang paling berat karena membutuhkan injeksi insulin seumur hidup. Sebagian besar kasus DT1 terbukti disebabkan karena destruksi sel beta yang dimediasi a utoimun (Tipe 1A), sekitar 10%-20% kasus tidak ditemukan adanya antibody (antibody negatif) sehingga disebut sebagai DT1 idiopatik (Tipe 1B). Penurunan sekresi insulin diteliti selama lebih dari 12 tahun sebelum terjadinya manifestasi klinis DT1. Inflamasi pada
sel islet pancreas pancr eas (insulitis) yang melibatkan limfosit CD4+ dan CD8+, CD8+, limfosit B dan makrofag 1,5 . Terdapat 2 mekanisme onset terjadinya DT1 tang dikemukakan. Mekanisme 1 menjelaskan bahwa faktor lingkungan memicu proses autoimun, yang sering terjadi pada anak-anak umur <10 tahun. Meskipun diagnosis DT1 biasanya didahului gejala yang tidak diketahui selama beberapa minggu, tetapi pada kenyataannya manifestasi klinisnya menjadi jelas hanya setelah periode prodormal yang panjang karena adanya destruksi sel beta pancreas secara bertahap. Mekanisme ke-2 menjelaskan bahwa terdapat suatu reaksi superantigen yang mengakibatkan dektruksi sel beta pancreas secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai 1 bulan, yang memulai onset klinis 1,2,4,5
.
Metabolisme yang mendahului diabetes tipe 1
4,5
Oresic et al membandingkan profil serum metabolit antara anak-anak yang memiliki diabetes tipe 1 dan mereka yang sehat dan walafiat bebas autoantibody. Analisa ini menemukan perubahan metabolic karakteristik hanya pada anak-anak yang kemudian muncul diabetes tipe 1, termasuk suksinat serum, foshaditilkolin, dan fosfolipid yang menurun, dan juga penurunan ketoleusin dan penungkatan asam glutamat. Masih belum jelas seberapa tinggi kadar glutamate, suksinat, ketoleusin, atau asam amino rantai bercabang yang normalnya dapat menyebabkan inisiasi diabetes tipe 1. Sulit juga untuk menggambarkan bagaimana perubahan ini dapat terjadi. Mereka dapat mencerminkan infeksi asimtomatik pada hepar atau otot, diet, atau gangguan metabolic dalam respon terhadap lingkungan. Glutamate, yang meningkat pada anak dalam perjalanan kea rah diabetes, terdapat dalam makanan, namun secara kunatitas tidak dapat meningkatkan kadar serum sampai berlebihan (32 kali di atas normal). Peningkatan glutamate serum bersamaan dengan penurunan -ketoglutarat
dapat juga diakibatkan dari peningkatan peningkatan katabolisme otot atau gangguan pada jalur glutamate-dehidrogenase hepar dan ureagenesis. Glutamine dan glutamate plasma hanya terdiri dari fraksi kecil kumpulan glutamate intraseluler total. Orang yang mengkonsumsi monosodium glutamate 10 g atau lebih memiliki kadar glutamate plasma normal dua kali lipat dan konsentrasi insulin yang lebih tinggi. Glutamat juga disintesa secara endogen sebanyak 48 g/hr pada orang dewasa. Sel dilengkapi dengan dengan reseptor dan dan transporter glutamate glutamate dan merespon glutamate dengan peningkatan sekresi insulin. Peningkatan glutamate dalam sel meningkatkan aktivitas GAD65, salah satu antigen sel utama. Maka, dapat disimpulkan bahwa peningkatan sementara glutamate dan peningkatan aktifitas GAD dapat dapat memicu atau meingkatkan kerusakan kerusakan sel melalui sitolitik atau proses autoimun. a utoimun. Glutamate penting dalam komposisi mikrobiom, dan beberapa penelti berspekulasi berspekula si bahwa E. coli bertahan bertaha n dalam usus dikarena kan GAD-ABC dan CadBA glutamate- dan lisin dependen acid-resistance sistem. Glutamine dan glutamate juga memiliki efek langsung la ngsung terhadap terhadap sistem imun. Peningkatan kadar lisofosfatidilkolin (LPC) ditemukan oleh Oresic et al di masa depan anak-anak diabetes tipe 1 saat lahir dan selama tahun pertama. Perubahan lipid ini mungkin diakibatkan dari peristiwa yang dimulai di uterus, kemungkinan terkait nutrisi dan metabolism ibu. Selain itu, PLC, yang merupakan produk bioaktif fosfolipase A2 (PLA2) dan konstituen Ox-LDL, dapat mempengaruhi kemotaktis subpopulasi leukosit ketika inflamasi. Dan kelompok VIA fosfolipase A2 (iPLA2) turut andil dalam sekresi insulin. Diabetes tipe 1 ± suatu gangguan autoimun
2
Peran elemen turunan sumsusm tulang dalam pathogenesis penyakit ditunjukan dengan munculnya diabetes pada pasien yang menerima transplant sumsum tulang dari HLA kompatibel saudara kandung dengan diabetes tipe 1 dan sesuai dengan autoimunitas. Selain itu, inflamasi lokal, produksi
autoantibody, respon sel T spesifik, dan pengelompokan dengan gangguan autoimun lain semua mendukung pathogenesis pathogenesis autoimun. Insulitis merupakan penemuan yang penting ketika jaringan pankreas dari individu yang didiagnosa diabetes diperiksa. Autoimunitas didukung lebih jauh oleh fakta bahwa sel T ada dalam islet manusia dengan diabetes tipe 1 yang terkena dan mendominasi infiltrasi islet bahkan sebelum hiperglikemia terbukti. Selain itu, peningkatan ekspresi MHC menunjukan presentasi antigen aktif dapat terjadi dalam jaringan islet. Sesuai dengan penemuan ini, diabetes juga pernah dilakporkan pada resipien yang sebelumnya diabetic yang menerima transplant pankreas dari kembarannya yang non diabetic atau saudara kandungnnya dengan HLA identik. Dalam satu kasus, sel T diisolasi dari pankreas yang ditransplan segera setelah rekurensi penyakit. Meskipun tidak definitive, akumulasi sel T dan peningkatan regulasi MHC di dekat tempat penghancuran sel beta yang sangat mendukung mekanisme imun penting untuk munculnya diabetes. Autoantibody, yang disebut ICA (islet cell autoantibody), terdeteksi dalam individu diabetes tipe 1 dan memudahkan perjalanan klinis diabetes dipelajari dengan subjek manusia. Antibody yang diarahkan terhadap sel islet pertama kali ditemukan dengan serum inkubasi dari pasien diabetic tipe 1 dengan frozen section pankreas dari individu dengan darah normal kelompok O. GAD65 (glutamic acid decarboxylase), IA-2 atau ICA512 (insulinoma associated antigen-2) dan insulin (IAA) merupakan antigen sasaran paling sering. Glutamic acid decarboxylase mengubah asam glutamate menjadi GABA (asam g aminobutirat) neuron GABAergik dan sel beta islet. IA-2 adalah protein seperti tirosin fosfat yang ditemukan di sel a islet pankreas. Bertempat sama dengan granul sekresi islet dan difosforilasi ketika insulin disekresi. Berhubungan dengan sitoskeleton untuk membantu eksositosis. Autoantibody isulin ditujukan ke rantai b insulin atau proinsulin. Saat terapi insulin dimulai, antibody insulin bisa jadi merupakan marker yang tidak
bermanfaat karena beberapa pasien membentuk antibody terhadap insulin eksogen. Figure 1: The Immunopathology of Type 1 Diabetes. Resident antigen presenting cells phagocytose beta cells, become activated, and migrate to draining lymph nodes where they present antigen to circulating T cells. Upon activation beta cell specific T cells gain access to islet tissue through the vasculature and accumulate in the islet causing insulitis. Additional antigen presentation may occur locally leading to destruction of beta cells with subsequent subsequent hyperglycemia.
LADA (laten autoimun diabetes in adult), diabetes tipe 1.5, atau SPIDDM (slow progressive insulin dependent diabetes mellitus) merupakan bentuk variasi dari diabetes pada pasien dewasa, memiliki antibody terhadap GAD65 atau IA-2. Produksi autoantibody tampak meningkat (bulan sampai tahun) pada perubahan metabolic diabetes tipe 1 dan dapat dipakai untuk memprediksi
penyakit. Adanya 2 atau lebih spesifitas s pesifitas antibody yang berbeda berbeda sangat prediktif predi ktif untuk diabetes tipe 1 di masa mendatang (resiko lima tahun = 28-66%). Dua penelitian menggunakan tikus NOD yang mengalami defisiensi sel B perifer menunjukan kemungkinan peran autoantibody dalam penyakit. Namun, transfer autoantibody saja tidak menyebabkan penyakit pada tikus NOD sedikit B menunjukan bahwa kontribusi sel B terhadap pathogenesis penyakit tidak terbatas pada produksi autoantibody. Sel B juga berperan sebagai APC dengan kemampuan mempresentasikan set peptide yang unik. Adalah mungkin ketiadaannya menyebabkan perubahan pada presentasi antigen yang pengaruh sekundernya mengaktifkan sel T. Diabetes tidak dapat ditransfer
menggunakan
serum
dari
manusia
diabetic,
plasmaferesis
memberikansedikit manfaat terapeutik, dan eliminasi penyakit yang tidak sempurna terkadang terjadi pada tikus NOD dengan defisiensi sel B. Penyakit ini dapat muncul saat tidak adanya sel B dan autoantibody. Kemampuan antibody dengan afinitas tinggi terhadap insulin untuk meningkatkan onset diabetes
menunjukan
bahwa
autoantibody
dapat
jelas
mempengaruhi
perjalanan waktu perkembangan penyakit. Sel T ada dalam islet yang terinflamasi, kemampuan untuk mempelajari sel ini pada manusia terbatas karena aksesibilitas. Klon sel T dari tikus NOD terbukti bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman kami mengenai mekanisme potensial yang berperan pada diabetes manusia. Karena sel T spesifik islet dengan potensial diabetogenik kuat terdapat pada tikus NOD, kemungkinan sel T serupa menginfiltrasi jaringan islet manusia juga. Penelitian menunjukan bahwa sel T teraktivasi pertama di nodus limfe yang mengosongkan pankeras. Arsitektur nodus limfe mendukung akses cepat antigen pada APC professional ke sel T naïve sirkulasi. Sesaat setelah teraktifasi, sel T spesifik islet bergerak ke pankreas di mana mereka berproliferasi dan terakumulasi menyebabkan inflamasi spesifik organ. karena makrofag dan sel dendritik terdapat dalam jaringan islet yang terinflamasi
kemungkinan
fungsi
mereka
sebagai
APC
professional
mampu
mempresentasikan antigen dalam konteks molekul MHC kelas II dan mensekresi IL-12, yang mengaktifkan sel T CD4 spesifik antigen dan kemudian
menstimulasi
sekresi
interferon
gamma.
Interferon
gamma
merupakan sitokin kunci yang mampu menghambat produksi sitokin Th2 (IL4, -5, -10) oleh sel T lain dan meningkatkan IL-1, TNF-, dan produksi radikal bebas oleh makrofag. Kesemuanya toksik bagi sel beta islet, meskipun pre-sel beta beta tampak kurang kurang sensitive bagi sitokin yang memediasi memediasi destruksi destruksi dibandingkan sel a matur. Selain dari kerusakan sel beta langsung, interferon gamma meningkatkan sitotoksisitas sel T CD8. Sel CD8 dapat menyebabkan kematian sel beta langsung melalui pelepasan perforin dan granzime atau oleh apoptosis yang dimediasi Fas. Diabetes tipe 1 sering dikaitkan dengan penyakit autoimun lain seperti kronik tiroiditis, non-destructive Addison¶s disease, Celiac disease, dan Autoimun Poliendokrinopati Sindrom. Pengelompokan diabetes tipe 1 dengan penyakit autoimun autoi mun lain yang menunjukan kemungkinan kemungkina n defek defek pada regulasi regula si imun imun dapat berperan dalam pembentukan fenotip f enotip autoimun multipel. multipel.
Figure 2: Autoantigen presentation and lymphocyte activation occur in the lymph nodes draining the pancreas prior to diabetes development.
Figure 3: Local chemokine production attracts autoreactive lymphocytes that destroy beta cells. Death can be mediated by various mechanisms including FasFasL, perforin/granzymes, reactive oxygen species, and cytokines.
Gen-gen HLA dalam predisposisi DT1
1,2
:
Bukti terbaik mengenai komponen genetic terhadap DT1 didapatkan dari berbagai studi tentang gen HLA pada populasi keluarga dan binatang percobaan. Diperkirakan bahwa HLA (IDDM1) terdapat hingga 40%-50% pada kelompok familial DT1. HLA merupakan kelompok gen-gen yang berlokasi dalam MHC pada rantai pendek kromosom 6 (6p21 .3). Kelas-kelas HLA 1,2:
Dalam region HLA, dikelompokkan menjadi 3 kelas. a. Gen-gen kelas I, yaitu: (HLA-A, HLA-B dan HLA-C) mengkode antigenantigen HLA kelas 1, yang terletak pada permukaan semua sel berinti. b. Gen-gen kelas II, yaitu: (HLA-DR, HLA-DQ dan HLA-DP) yang memproduksi antigen-antigen HLA kelas II yang ditemukan secara khusus pada limfosit B, makrofag, sel-sel epithel pada sel islet pulau Langerhans dan limfosit T teraktivasi. Ekspresi-ekspresi gen-gen ini pada sel-sel lain mungkin diinduksi oleh beberapa sitokin s eperti interferon dan IFN-. c. Gen-gen kelas III: mengkode komponen-komponen komplemen (C2, properdin faktor B, C4A dan C4B), 21-hydrovylase dan produk-produk yang terlibat pada inflamasi yang dimediasi oleh sel T, seperti TNF- dan TNF-, dan protein fase akut.
Region HLA kelas II
1,2
:
HLA kelas II merupakan faktor genetic yang paling kuat yang berhubungan dengan DT1 yang disebabkan oleh alel-ale gen HLA kelas II secara statistic. Molekul HLA kelas II, terutama DR dan DQ, sekitar 40% dari seluruh gen yang beresiko mengalami DT1. Meskipun HLA memainkan peranan penting dalam hubungan ketidakseimbangan, akan tetapi hal ini sangat sulit untuk untuk diteliti mengenai efek masing-masing masing-masing gen HLA-DQ dan DR secara terpisah.
Spectrum haplotipe HLA yang beresiko DM
1,2
.
Beberapa loki di dalam maupun di dekat komplek HLA nampaknya memodulasi resiko terjadinya DM dan menambah kekomplekan dalam analisis DT1
lebih
lanjut.
Individu
dengan
resiko
tertinggi
menderita
DT1
emngekspresikan beberapa haplotipe predisposisi, di antaranya: DQA1*0501DQB1*0201 (DQ2), yang hampir selali diwariskan dengan DRB1* 0301 (DR3) dan DQA1*0301-DQBI*0302 (DQ8), diwariskan dengan DRB1*0401 atau DRB1*0402 (DR4). Individu ini telah dihubungkan dengan adanya heterozigot DR3/DR4 atau DQ2/DQ8. Jadi, sebagian besar pasien DT1 membawa gen HLA-DR3 atau DR4 antigen kelas II, dan sekitar 30% di antaranya memiliki heterozigot DR3/DR4. Genotip DR3/DR4 berperan memberikan resiko DM tertinggi dengan cara aksi sinergis, kemudian didikuti oleh homozigot DR4 dan DR3, secara berurutan. Berdasarkan rantai-rantai DNA, lokus HLA-DQ ditemukan memiliki hubungan paling kuat terhadap terjadinya DM. Mekanisme tepat tentang HLA-DQ yang mana yang menentukan kecenderungan terjadinya DM masih belum jelas. Lokus ini mengkode beberapa varian molekul HLA-DQ, suatu heterodimer yang terdiri dari 2 rantai glikoprotein ( dan ) yang memiliki andil dalam penngenalan imun dan presentas antigen pada sel T CD4. Pada bangsa Kaukasian, heterodimer HLA-DQ (rantai dinamakan DQA1 dan rantai sebagai DQB1) yang dikode oleh alel-alel DQA1*0301, DQB1*0302 dan DQA1*0501, DQB1*0201 memiliki hubungan terkuat pada terjadinya DM. Alel-alel ini berhubungan berhubungan dengan ketidakseimbangan pada alel-alel HLA-DR4 dan DR3. Menurut beberapa studi DQB1*0302 berbeda dengan DQB1*0301 pada posisi 57, yang mana pada posisi ini kurang akan residu asam aspartat. Alel DQB1*0201 juga kurang akan asam aspartat pada posisi 57, dan telah dikemukakan juga bahwa residu ini mengkin terlibat dalam mekanisme molekuler yang mendasari kode terjadinya DT1. Pada kenyataannya, residu asam amino pada posisi 57 dari rantai DQ- ini penting untuk pengenalan dan ikatan peptide. Residu rantai DQ- lainnya mungkin juga mempengaruhi
ikatan peptide dan menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya DM, khususnya kombinasi variasi residu pada posisi 57 dan 70 berhubungan kuat dengan resiko terjadinya DM. residu arginin rantai DQ- posisi 52 juga berhubungan dengan kerentanan terhadap terjadinya DM. meskipun demikian, beberapa DQB1 termasuk DQB1*0302/DQB1*0201 (DR7), DQB1*0201 (DR3)/DQB1*0201 (DR3)/DQ B1*0201 (DR3) dan
DQB1*0201 (DR3)/ DQB1*0201 (DR7)
memiliki resiko yang rendah. Haplotipe dari gen HLA kelas II tertentu menggunakan aksi proteksi untuk mnghambat perkembangan DM. Alel-alel HLA juga telah dihubungkan dengan
proteksi
terhadap
DT1,
haplotipe
DQA1*0102/DQB1*0602/DRB1*1501 telah diketahui memberi proteksi. Beberapa bukti menjelaskan bahwa proteksi tersebut dikode oleh alel DQB1*0601 dan bahkan antibody relative sel islet paling utama memiliki resiko rendah terhadap DM apabila memiliki DQB1*0601. Akan tetapi, efek proteksi ini tidak mutlak. Loki lain pada HLA kelas II juga dihubungkan dengan DT1 selain HLA-DQ dan DR. HLA-DPB1*0101, DPB1*0301 dan DPB1*0202 dialporkan memiliki hubungan positif, sedangkan DPB1*0402 memiliki hubungan negative.
Region HLA kelas I 1
Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa gen-gen kelas II menerangkan semua HLA berhubungan dengan DT1. Ada bukti bahwa beberapa alel pada loki HLA B dan C kelas I mempengaruhi kerentanan terhadap DM sebagaimana onset umur dan kecepatan destruksi sel beta. Di samping itu, rantai kelas I related gen-gen MIC-A dan MIC-B yang terletak di antara HLA-B serta gen TNF juga juga memiliki efek t erhadap DT1.
1
Region HLA kelas III :
Gen TNF ( tumor tumor necrosis factor) adalah kandidat utama dari kelas III, karena polimorfisme fari gen ini dapat mempengaruhi produksi TNF, suatu sitokin poten, sehingga mempengaruhi potensial respon imun. Telah dilaporkan bahwa
polimorfisme
TNF
dihubungkan
dengan
onset
umur
dan
mempengaruhi proses inflamasi yang mengawali terjadinya destruksi sel beta pancreas dan perkembangan DT1. Terlepas dari menentukan resiko DT1, gen-gen HLA juga mampu mengatur gambaran penyakit, seperti onset umur maupun hasil dari autoimunitas seluler aktif. Jadi, kombinasi kombinasi antara haplotipe DR3 dan DR4 tidak hanya mempredisposisi kuat terhadap DT1 tetapi juga mempercepat onset penyakit. Sebaliknya, jarang seorang individu yang menderita DT1 meskipun memiliki alel DQB1*0602 yang secara umum memperlihatkan onset penyakit yang sangat lama. Kesimpulannya, hubungan HLA dengan DT1 merupakan sesuatu yang kompleks, dengan banyak haplotipe yang mempengaruhi resiko terjadinya DM.
IDDM2: Gen Insulin
1
Insulin tersusun dari 2 rantai polipeptida yang berbada, yaitu rantai A dan rantai B, yang saling dihubungkan dengan ikatan disulfide. Beberapa protein yang mengandung subunit, subunit, seperti hemoglobin, hemoglobin, merupakan produk dari beberapa gen. Meskipun demikian, insulin merupakan produk dari 1 gen, yaitu INS.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Nakayama
dkk
secara
kuat
memperlihatkan bahwa insulin merupakan autoantigen utama dalam permulaan derajat DM. Juga, mendukung bukti ini adalah adanya antibody insulin dalam darah pada pasien prediabetik dan diabetic. Gen insulin merupakan hal kedua yang menetukan kerentanan lokus DT! Pada kromosom 11p15.5. Hal ini berperan sekitar 10% kea rah terjadinya DT1.
1
The variable number of tandem repeats (VNTRs) :
Area resiko pada lokus ini terletak pada sisi gen insulin yang mengandung DNA rantai pendek yang diulang-ulang beberapa kali. Karena rantai yang diulang-ulang diikuti oleh satu sama lain di belakang ((in in tandem/ dua-dua) dua-dua) dank arena jumlah gen yang ya ng diulang bervariasi antar individu, maka fenomena ini dinamakan VNTRs. Polimorfisme VNTRs dikategorikan ke dalam kelas I-III. 1.
Kelas I memiliki alel yang berbaris dari unit 26-63 yang diulang.
2.
Kelas II memiliki alel yang rata-rata berada pada unit 80 ya ng diulang.
3.
Kelas III memiliki alel yang berbaris dari unit 141-209 yang diulang. Rata-rata kejadian VNTR pada populasi Kaukasoid kira-kira sebesar
70%, sedangkan pada VNTR III sebesar 30%. VNTR II sangat jarang terjadi. Kelas VNTR dihubungkan dengan kerentanan terhadap DT1. Alel pendek pada kelas I dihubungkan dengan resiko yang lebih tinngi untuk terjadinya DT1, sebaliknya alel-alel yang lebih panjang pada kelas III bersifat protektif. Adanya apling tidak satu alel kelas III dihubungkan dengan reduksi resiko terhadap DT1 sebesar tiga kali lipat mekanisme mengenai polimorfisme insulin VNTR yang mana yang mempengaruhi resiko terjadinya DT1 tidak jelas. Jumlah HLA dan insulin pada agregrasi DT1 familial hampir sebanyak 60%-70%. Pada beberapa populasi, efek gabungan antara HLA dan insulin memainkan peran sebesar <50% pada peningkatan resiko diabetic familial. Oleh karena itu, beberapa studi tenteang berbagai macam genom telah
dilakukan untuk menmgidentifikasi kandidat region yang dapat mengandung gen-gen sukseptibilitas yang belum teridentifikasi.
Antigen Limfosit T Sitotoksik-4 (cytotoxic T-Lymphocyte Antigen-4 (CTLA1
4))
CTLA-4 diekspresikan saat sel T telah teraktivasi setelah presentasi antigen. Karena CTLA-4 ini hanya diekspresikan oleh sel T yang teraktivasi, hal ini mungkin sekali bahwa CTLA-4 memiliki peran dalam melindungi terhadapautoimunitas. Tidak adanya gen ini dapat mengakibatkan sel T teraktivasi melawan antigen sensiri. Tentu saja, variasi genetic CTLA-4 telah dihubungkan dengan gangguan autoimun. Gen CTLA-4 terletak pada lengan panjang kromosom 2 (2q 33) dan region genetic ini, IDDM 12, yang sebelumnya ditemukan dihubungkan dengan predisposisi DT1. Beberapa bukti juga telah diungkapkan untuk menjelaskan bahwa polimorfisme CTLA-4 CTLA-4 dapat mempengaruhi ekspresi gen. tiga polimorfisme telah diketahui pada CTLA-4, termasuk A/G SNPin exon 1, C/T SNP pada intron pertama kali dan mikrosatelit yang diulang pada 3 region yang tidak ditranslasikan. CTLA-4 CTLA-4 yang diekspresikan pada permukaan sel dari sel T teraktivasi bertanggung jawab dalam pelemahan respon imun dengan mengikat pada ligan CD80 atau CD86 yang diekspresikan pada permukaan APC (Antigen (Antigen Presenting Cell). Cell) . Interaksi CTLA-4-CD80/CD86 CTLA-4-CD80/CD86 menurunkan sintesis IL-2
atau dapat
menginduksi menginduksi apoptosis pada sel yang sebelumny s ebelumnyaa teraktivasi. t eraktivasi.
rotein P rotein
1
tyrosine phosphate non-receptor type 22 ( P T P N 22) : P T
Hal keempat yang mendukung lokus sukseptibilitas/kerentanan terhadap DT1 pada manusia adalah PTPN22. PTPN22 mengkode suatu protein limfoid tirosin kinase (LYP) yang penting pada kontrol negative dari aktivasi dan perkembangan sel T. Satu-satunya polimorfisme nukleotid pada nukleotid 1858 dalam PTPN22 dihubungkan dengan DT1. Gen LYP, disebut juga sebagai PTPN22, merupakan limfoid tirosin fosfat yang terletak pada kromosom 1 p13. Menarik bahwa PTPN22 memiliki besar efek yang sama
pada polimorfisme gen insulin. Sama halnya dengan CTLA-4, PTPN22 merupakan lokus sukseptibilitas yang dibagi oleh beberapa organ spesifik dan penyakit autoimun sistemik.
Interleukin (IL)
1,2
:
Telah diketahui dengan baik bahwa IL-2 memiliki fungsi paradox pada homeostasis sel T, beraksi sebagai growth faktor sel T selama inisiasi respon imun dan memiliki fungsi penting dalam terminasi respon sel T dan menjaga toleransi diri. Fungsi terakhir telah dikemukakan dikarenakan perlunya sinyal IL-2 IL-2 untuk untuk perkembangan perkembangan dan fungsi meskipun sinyal IL-2
sel T regulator.,
tidak diperlukan diperlukan bagi perkembangan mereka sendiri sendiri
pada jaringan thymus. Pada tingkat ini mungkin mempengaruhi sukseptibilitas terhadap penyakit melalui mekanisme yang menjaga homeostasis imun. Telah dibuktikan bahwa meskipun tingkat sel T regulator CD4+ dan CD25+ normal pada pasien dengan DT1, kemampuan mereka untuk mensupresi proliferasi sel T ditandai menurun dibandingkan dengan subjek kontrol. Dari hasil ini, bahwa region yang mengandung gen IL-2RA yang mengkode rantai dari reseptor IL-2 (CD25) pada kromosom 10p15-p14 dapat menjadi lokus sukseptabilitas kelima terhadap terjadinya DT1. IL-6 merupakan suatu sitokin yang telah dilibatkan pada sejumlah penyakit yang dimediasi imun. Terdapat polimorfisme pada posisi 174 dari region promoter dari gen IL-6 yang dapat mengubah ekspresi gen. Gen IL-6 dapat memiliki andil dalam da lam sukseptibilitas genetic terhadap DT1.
IDDM 3-IDDM 18 1:
Awalnya IDDM3 dilaporkan terletak di dekat petanda D15 S107 pada kromosom 15q 26 dan sejauh ini tidak ada gen sukseptibilitas DM yang telah diidentifikasi pada lokus IDDM3. IDDM4 merupakan suatu region pada kromosom 11q13 dan satu dari gen-gen ini mungkin berhubungan dengan predisposisi genetic terhadap
terjadinya DT1 yang dapat dikoding pada FADD, suatu molekul yang terlibat dalam proses apoptosis. Region dari kromosom 6q25 yang mengandung lokus IDDM5 termasuk
gen-gen
Mn-superoksida
dismutase
(MnSOD).
MnSOD
memetabolisme oksigen radikal bebas berbahaya dan mengubahnya menjadi molekul yang kurang reaktif dan kurang berbahaya. Polimorfisme yang mempengaruhi fungsi MnSOD dapat membuat sel beta lebih rentan terhadap kerusakan akibat oksigen radikal bebas. Beberapa kandidat gen-gen sukseptibilitas terhadap DT1 telah diidentifikasi pada lokus IDDM6. Termasuk gen yang berhubungan dengan cancer kolorektal yang dapat dihubungkan dengan penyakit autoimun, suatu gen yang mengkode ikatan tangan domain DNA (ZNF 236) yang dihubungkan dengan penyakit ginjal diabetic, dan sebuah molekul yang melawan apoptosis (bCl-2). Dalam lokus IDDM7 pada kromosom 2q 32 terdapat beberapa gen kandidat resiko DM. salah satunya adalah NEUROD 1, suatu faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen insulin dan memainkan peran penting dalam perkembangan perkembangan sel beta pancreas. IDDM8 ditemukan pada kromosom 6q 25-q 27. Sekarang ini tidak terdapat gen kandidat yang diketahui pada region 6q 25-q 27. IDDM9 belum sepenuhnya disetujui. Lokus sukseptibilitas lainnya mungkin terdapat pada kromosom 10p11-q11, dan telah dinamai sebagai IDDM10. Gen GAD2 sangat berhubungan dengan region dari kromosom 10. Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) mengkataliasasi oembentukan neurotransmitter GABA. Sasaran enzim ini oleh autoantibodi telah dilibatkan dalam pathogenesis DT1. IDDM11 nampaknya berada pada kromosom 14q 24.3-q31. Dua gen kandidat telah dipetakan pada region kromosom ini. Gen ENSA mengkode endosulfin, suatu regulator endogen dari saluran K (ATP) sel beta. Rekombinan -endosulfin telah diperlihatkan menginhibisi ikatan sulfonylurea pada membrane sel beta, untuk menurunkan arus aliran K (ATP) dan untuk
menstimuli sekresi insulin. Gen SEL-1L mengkode regulator negative yang mana hal ini dibutuhkan untuk diferensiasi dan maturasi sel sebagaimana interaksi
sel-sel
selama
perkembangan.
SEL-1L
secara
berlebihan
mengekspresi hanya pada pancreas, dan saat ini telah diperlihatkan bahwa SEL-1L berperan penting dalam perkembangan pancreas dan s el beta. Beberapa gen-gen kandidat IDDM13 telah dihubungkan dengan DT1. IDDM14 belum sepenuhnya disetujui. Lokus IDDM15 telah dihubungkan dengan DT1 dan mutasi di dekat region ini dihubungkan dengan suatu bentuk DM yang langka yang disebut transient neonatal diabetes. Satu dari gen kandidat pada lukos IDDM16 adalah immunoglobulin rantai berat. Immunoglobulin (antibodi) memiliki peran sentral dalam respon imun melawan antigen asing dan apabila ada kesalahan dapat melawan antigen sendiri, mengakibatkan terjadinya penyakit autoi mun. Peta IDDM17 terletak pada lengan panjang kromosom 10 (10q 25). Hal ini berhubungan dengan DT1, akan tetapi gen kandidatnya belum diketahui. IDDM18 diidentifikasi dan dipetakan pada kromosom 5q 31.1-q33.1, akhiran gen pada subunit P40 dari gen IL-12, Il-12B. Produksi IL-12 P40 mempengaruhi respon sel T, dan oleh karena itu penting ddalam sukseptibilitas DT1.
Faktor Lingkungan
1,2,4
Penelitian pada kembar dizigotik dan monozigotik monozigotik sesuai dengan fakta bahwa lingkungan penting pada resiko diabetes tipe 1. Sejumlah penelitian kasus kontrol mengenai hubungan kejadian luarbiasa infeksi virus mumps, coxsackie B, Echo virus, dan onset diabetes tipe 1 telah disiarkabarkan. Bukti paling
nyata
ialah
rubella
congenital,
yang
berkaitan
kuat
dengan
kemunculannya pada anak yang terkena. Penelitian terbaru menunjukan bukti bahwa infeksi enterovirus maternal meningkatkan resiko diabetes tipe 1 pada anakan. Baru-baru ini ditunjukan bahwa paparan intrauterine terhadap enterovirus juga berhubungan dengan peningkatan resiko anakan terjadi diabetes tipe 1. Diperkirakan bahwa kombinasi gen susceptible dan faktor
li
t t
E
i i i i t i
DIAGNOSIS
it
t
l
t
i
li
6
Kr it it r i di
i unt untuk di
t
melit melitus us ti e 1 hampi hamp ir sama sama
dengan di diabet abetes mellit mellitus us ti pe pe 2, yait yaitu u; 1.
jala Ge ja
k lasi as ik diabet abe tes (poli (poliur ur ia, poli polid di psi psi, poli poli agi agi, dan penurunan bera t
badan tanpa sebab yang je jelas) dit ditambah ambah dengan konsent konsen trasi rasi glukosa darah sewak tu >200 mg/ mg/dl (11,1 mmol/l mmol/l)) 2.
Gula
3.
Gula
darah puasa > 126 mg/ mg /dl (7,0 mmol mmo l) darah 2 jam jam post post prandi prandial > 200 mg/ mg/dl (11,1 mmol/l mmo l/l)) sel selama oral oral
l ose t ol erance erance t est est (O (OGTT).
¡
¢
Tes
dil d ilakukan akukan sesuai sesua i prosedur WHO, yait ya itu u
menggunakan gl glukosa sebanyak 75 g gl g lukosa anhi anhidrat drat dilaru ilaruttkan dal da lam ai air. 4. Hb A1C A1C > 6,5%
Oleh karena kr iter iter ia yang di d igunakan sama, penti pen ting ng unt un tuk menget mengetahui ahui perbedaan karak ter istik tik di d iabet abe tes mellit me llitus us ti pe pe 1 dan ti pe pe 2 7
, yait yaitu u : No
Karak ter istik tik
1
Onset Onset usi usia
2 3
4
Berhubungan dengan obesit obesitas as Kecenderungan ter jad jadii ket ketoasi oasidosi dosis yang membut membu tuhkan insuli nsulin n sebagai sebaga i cont control rol dan survi survive Kadar insuli nsulin n dal dalam pl plasma
DM ti
pe 1
Umumnya < tahun Tidak
M ti pe pe 2 D 30
Ya
Sangat Sangat rendah mungk in sampai sampa i tidak tidak tt erdet erdeteksi eksi
Umumnya > 30 tahun Ya Tidak
Var iati ; dapat dapat rendah, normal norma l, atau meni meningkat ngkat,
5
6 7
8
9
Berhubungan Berhubungan dengan antigen HLA-D spesifik Antibodi sel islet pada diagnosis Patologi sel islet
tergantung pada derajat resistensi insulin dan defek sekresi insulin Tidak
Ya
Ya
Tidak
Insulitis, kehilangan sel beta secara selektif
Kecenderungan terjadi komplikasi (retinopati, nefropati, neuropati, aterosklerosis, dan penyakit cardiovascular ) Respon terhadap obat oral antihiperglikemia
Lebih kecil, normal sel islet ; umumnya deposisi amyloid Ya
Ya
Tidak
F. MANAJEMEN DAN TERAPI
Ya
8
Manajemen pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 ini dilakukan secara multidisipliner, multidisipliner, yaitu pendekatan oleh dokter, perawat, dan ahli gizi. A. Diet Langkah pertama untuk mengatur diabetes mellitus tipe 1 adalah kontrol diet. Menurut ADA (American (American diabetes association), association) , terapi diet adalah berdsarkan penilaian status gizi dan tujuan dari terapi itu sendiri. Diet harus dibuat sesuai dengan kebiasaan makan dan gaya hidup pasien. 1. Manajemen banyaknya,
diet
termasuk
serta
edukasi
komposisi
tentang
makanan
waktu,
yang
besarnya,
dimakan
untuk
menghindari terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia setelah makan. Pasien yang menggunakan insulin harus mendapat diet yang komprehensif termasuk kebutuhan kalori sehari-hari ; kebutuhan karbohidrat, lemak, dan protein; protein ; dan pembagian kalori antara makan dan snack. 2. Distribusi
kalori
sangat
penting
pada
pasien
DM
tipe
1.
Pembagiaannya didasarkan pada kebutuhan kalori pasien selama satu hari. Jumlah yang disarankan adalah 20% untuk makan pagi, 35% untuk makan siang, 30% untuk makan malam, dan 15% untuk snack sore. 3. Kebutuhan protein minimal adalah 0,9 g/kg/hari 4. Kebutuhan lemak dibatasi sampai 30% atau kurang dari total kalori dan rendah kolesterol 5. Pasien disarankan mengkonsumsi sediaan sukrosa dan meningkatkan konsumsi sayur. Snack diberikan di antara makan pagi-siang dan makan siang-malam siang-malam untuk mencegah hipoglikemia. B. Aktivitas Olahraga sangat penting sebagai manajemen pasien diabetes. Pasien harus dimotivasi untuk olahraga secara teratur. Edukasi terhadap pasien tentang efek olahraga terhapa kadar gula darah. Olahraga terlalu berlebih selama 30 menit dapat menimbulkan hipoglikemia pada pasien. Untuk menghindarinya maka pemberian dosis insulin dikurangi 10-20% atau dengan pemberian snack tambahan. Pasien juga harus memperhatikan kebutuhan kebutuhan cairan selama sela ma olahraga. C. Pasien DM tipe 1 membutuhkan terapi insulin untuk mengontrol hiperglikemia serta serta memelihara kadar elektrolit dan cairan dalam serum. serum.
D. Terapi insulin awal pada pasien dewasa: dosis harian awal dihitung berdasarkan berat badan pasien. Dosis diberikan terbagi, setengah dosis diberikan sebelum makan pagi, seperempat dosis diberikan sebelum makan malam, dan seperempat lagi diberikan sebelum tidur. Setelah menentukan dosis awal, pengaturan jumlah, tipe, dan waktu pemberian tergantung pada kadar glukosa darah. Pengaturan dosis insulin bertujuan untuk mempertahankan glukosa darah sebelum makan antara 80-150 mg/dl. Dosis insulin dinaikkan 10% setiap waktu, dan efeknya dievaluasi setelah tiga hari. Pemberian insulin yang berlebih dapat menyebabkan hipoglikemia. E. Terapi insulin awal pada anak-anak 1. Anak-anak dengan hiperglikemia sedang tanpa ketonuria atau asidosis diawali dengan dengan dosis tunggal
insulinkerja insulinkerja sedang per per hari secara
subkutan sebanyak 0,3-0,5 unit/kg 2. Anak-anak dengan hiperglikemia dan ketonuria tetapi tanpa asidosis atau dehidrasi dapat diberikan dosis awal insulin kerja sedang sebanyak 0,5-0,7 unit/kg dan diberikan secara subkutan sebanyak 0,1 unit/kg secara teratur dala m interval 4-6 4-6 jam. F. Regimen insulin untuk Diabetes mellitus tipe 1
7
Regimen diberikan dari dua kali per hari dengan dosis kombinasi (misal insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang) sampai lebih fisiologis regimen bolus-basal menggunakan injeksi multipel harian (misal dosis tunggal insulin kerja panjang untuk basal dan dosis insulin kerja cepat untuk post post prandial, prandial, sebagai contoh contoh humulin dan novolin) atau dengan menggunakan syringe pump. Pada syringe pump digunkan insulin kerja cepat. Insulin diberikan secara bolus dengan dosis yang ditentukan melalui monitoring glukosa darah pre prandial (sebelum randial (sebelum makan). Metode ini lebih baik dalam mengkontrol dibandingkan injeksi multiple tetapi risiko hipoglikemia lebih banyak terjadi oleh karena itu diperlukan juga
monit monitor or ing ket ketat glukosa darah set se telah pember ian terapi erapi. Pengobat Pengobatan intensi ensi dengan monit monitor or ing gl g lukosa darah empat empat kali kali atau lebi ebih sehar i dan tiga tiga kali ka li atau lebi ebih in jeks jeksii insuli nsulin n atau dilan ilan ju jutkan dengan infus, ternyat ernyata lebi ebih efek tif tif di bandi bandingkan dengan pengobat pengoba tan konvensi konvens ional onal (1-2 ka ka li in jeks jeksii insuli nsulin n dengan at a tau tanpa monit monitor or ing). Akan tetapi ap i terapi erapi intensi ensif lebi ebih ser ing meni menimbul mbulkan hi hi pogli poglikem kemiia dan kenai kena ikan berat berat badan.
erapi Terapi
intensi ensif umumnya efek tif tif di ber ber ikan pada pasi pas ien yang dapat dapa t mengont mengontrol ro l kesehat kesehatan di dir inya sendi sendir i terhadap penyak it it ini. Secara umum, kebanyakan pasi pas ien DM ti pe pe 1 dapat dapat memul memulai dosi dosis terapi erapi insuli nsulin n 0,2-0,8 unit/ unit/kg kgBB/ BB/har har i. Pada pasi pasien dengan obesit obes itas as membut membutuhkan dosi dosis awal awa l yang lebi ebih tingg tinggii. erapi Terapi
f isiologi ogis yait yaitu u dengan insuli nsulin n ker ja ja sedang at a tau ker ja ja
pan jang jang ber tu juan juan unt untuk memper tahankan kebut kebu tuhan gl glukosa darah basal basa l ser ta pember ian insuli nsulin n ker ja ja cepat cepat atau singkat ngkat unt untuk memper tahankan tif bil ja glukosa darah post ost prand ial Terapi erapi ini lebi ebih efek tif b ilaa dosi dosis insuli nsulin n ker ja £
cepat cepat atau si s ingkat ngkat dengan enggunakan s enggunakan sli lid d ing scal scal e. Dosi Dosis dapat dapat di ber ber ikan sebanyak 1-2 unit un it insuli nsulin n seti setiap ap kenai kena ikan at atau penr p enruna unan n 50 mg/ mg /dl (2,7 mmol mmol.l) dar i target arget glukosa.
Terapi erap i
ini lebi ebih mengunt menguntungkan karena pasi pas ien
dapat dapat memepercepat memepercepat atau mengat mengatur wak tu makan dan men jaga jaga keadaan normogli normoglikem kemiia. Belum ada regi regimen insuli nsulin n lain t erbuk ti ti lebi ebih efek tif. tif. Terapi erapi
ini direkomendasi rekomendas ikan sebagai sebagai inisial terapi erapi DM ti pe 1, set setelah itu itu
terapi erapi disesuai sesua ikan dengan respon f isiologi ogis tubuh pasi pasien terhadap terapi erapi awal awal dan tergant ergantung kepada dok ter yang merawat merawat. Onset, Peak, and Duration of Action of Human Insulin Preparations*
nsulin n Preparati Preparation on Insuli
Onset Onset of Acti Action on
Peak Acti Action on
Durati Duration on of Acti Action on
45±75 min
3±5 h
R api apid-acti d-acting ng Lispro, aspar t, gl glulis lisine Shor t-acti -acting ng
5±15 m in
R egul egular (R (R ) ermediat e-acti e-acting ng Intermedi
30±60 m in
NPHÁ
2±4 h
6±8 h
t2h 3±4 h
4±12 h Abou 8±12 h
18±26 h 12±18 h
4±8 h
10±16 h
16±20 h
1±2 h 1±2 h
No peak No peak
24 h 14±24 h
Long-acti Long-acting ng
Glargi argine
Det Detemi emir Premi Premi ed 70% NPH/ NPH/30% R 50% NPH/ NPH/50% R 75% NPL/ NPL/25% lispro lispro
Dual Dua l (NPH & R ) 10±16 h Dual Dua l (NPH & R ) 10±16 h Dual Dua l (NPL & 10±16 h lispro) lispro) 70% NPA/ NPA/30% aspar t 5±15 mi min Dual Dua l (NPA & 10±16 h aspar t) R = R = regul regular; NPH = neut neutral ral prot protami amine Hagedorn; NPL = neut neu tral ral prot protami amine lispro; lispro; NPA = neut neutral ral prot protami amine. *Times are approxi approx imat mate, assume subcut subcu taneous admi administrati ration, on, and may vary with ith in jec jecti tion on techni echni ue and fact factors inf luenci uencing absorpti absorption. on. L ispro and aspar t are al also avail ava ilab ablle in premi premixed forms wit with h intermedi ermediate-acti e-acting ng insuli nsulins. ns. ÁAl ÁAlso exi exists in premi premixed form (NPH/R (NPH/R ). ). abel Tabel G.
30±60 mi min 30±60 mi min 5±15 min
2. Beberapa regi regimen insuli nsulin n
Wak tu pember ian insuli nsulin n 1. In jeks jeksii
insuli nsulin n
11
yang
di di ber ber ikan
berguna
unt un tuk
mengont mengontrol ro l
hi pergli perglikem kemiia set set elah makan dan unt untuk memper tahankan gl glukosa darah normal norma l har ian. Ris Risikonya adal ada lah ter jad jadii hi pogli poglikem kemiia, oleh karena itu itu per lu adanya edukasi edukas i t erhadap pasi pas ien unt untuk menganti mengantissi pasi pasi r isiko tersebut ersebut. 2. Sek itar itar 25% dar i total dosi dosis insuli nsulin n sel selama sehar i di ber ber ikan sebagai sebaga i insuli nsulin n ker ja ja sedang saat saa t akan tidur tidur dengan dosi dos is tambahan insuli nsulin n ker ja ja cepat cepat seti setiap ap sebel sebelum makan. Pasi Pasien mungk in membut membutuhkan tambahan terapi erapi insuli nsulin n ker ja ja sedang at a tau ker ja ja pan jang jang pada pagi pagi har i
untuk mempertahankan glukosa basal selama satu hari penuh. Pasien sebaiknya mengatur dosis harian mereka berdasarkan monitoring glukosa sebelum makan dan akan tidur. Pasien juga sebaiknya menkontrol glukosa darah mereka pada pagi hari paling sedikit sekali seminggu selama beberapa minggu terapi awal dan setelahnya bila ada indikasi. H. Terapi Pembedahan
12
Pembedahan yang dilakukan adalah transplantasi pankreas, transplantasi pancreas-ginjal secara simultan, transplantasi islet. Tujuan dari terapi tranplantasi pancreas adalah untuk mencegah komplikasi dari diabetes mellitus seperti gagal ginjal, komplikasi mikrovaskular atau makrovaskular. Transplantasi pankreas-ginjal pankreas-ginjal lebih menguntungkan karena pembedahan ini bertujuan untuk menurunkan pembatasan diet dan mampu mengkontrol normoglikemia tanpa injeksi insulin lagi oleh karena dengan tranplantasi ini dapat mempertahankan sekresi insulin lebih lama dan efektif. Transplantasi islet merupakan prosedur yang minimal invasive, hanya membutuhkan waktu satu jam operasi, insisi abdomen sepanjang tiga inchi, dan perawatan satu hari di rumah sakit. Sel islet diproleh dari donor pancreas dengan menggunakan proses isolasi dan purifikasi yang kompleks sehingga enzim keluar menghancurkan jaringan di sekitar sel islet. Sedangkan menurut Guidelines for Adolescent Adolescent Nutrition Services (2005), manajemen DT1 meliputi 9: 1. Terapi Insulin Insulin merupakan satu-satunya medikamentosa yang efektif dalam menurunkan kadar gula darah pada pasien DT1. Penggunaan insulin memerlukan manajemen harian mengenai faktor-faktor yang dapat memepengaruhi dosis insulin yang dibutuhkan dibutuhkan seperti makanan, aktivitas aktivitas fisik, penyakit, stress. Insulin kerja cepat dapat diberika sebelum, saat
maupun segera setelah makan. Pemberian insulin setelah makan membantu menurunkan menurunkan hiperglikemia postprandial postpra ndial yang berhubungan berhubungan dengan makanan kaya lemak.
± 2 injeksi perhari mixed insulin (insulin cepat a. Conventional therapy atau kerja pendek dan insulin kerja menengah) sebelum sarapan dan makan malam. b. Conventional therapy with a split night -time dose ± 1 kali injeksi mixed insulin sebelum sarapan, 1 kali injeksi insulin kerja cepat atau kerja pendek sebelum makan malam dan 1 kali injeksi insulin kerja menengah sebelum makanan ringan menjelang tidur. Regimen ini digunakan untuk menurunkan hiperglikemia puasa yang berhubungan dengan jangka waktu wa ktu yang panjang panja ng antara sarapan sara pan dan makan maka n malam, serta durasi kerja insulin kerja menengah dan untuk memfasilitasi manajemen fenomena dawn.
Multiple daily injections ( MDI) MDI) of rapid - or short-acting short-acting insu insulin c. Multiple before
every
meal
(and
sometimes
large
snacks ) snacks )
with
intermediate- or long-acting insu insulin once or twice a day . Pemberian insulin kerja cepat atau kerja pendek sebelum makan siang membantu menurunkan
pre-su pper
hiperglikemia
dengan
sedikit
resiko
hipoglikemia yang berhubungan dengan dosis insulin kerja menengah sebelum sarapan yang terlalu tinggi. Dengan pengecualian makanan ringan (snek) saat akan tidur untuk mencegah hipoglikemia saat malam hari, snek biasanya tidak diperlukan dengan MDI- suatu keuntungan bagi remaja yang sibuk dan bagi remaja yang berharap berat badan targetnya tetap terjaga. Hal ini dapat disebut sebagai terapi intensif yang bergantung pada kadar glikemia kontrol yang ditargetkan. d. I ntensive ntensive therapy with a continu contin uous subc utaneou taneous insu insulin inf usion
(CS II II or insu insulin pu pump )± insulin kerja capat diberikan secara konstan sesuai kebutuhan basal tubuh untuk menekan produksi glukosa oleh hati. Dosis insulin bolus diberikan sebelum makan dan snek berdasarkan jumlah karbohidrat yang dimakan dan kadar gula darah yang diukur.
Regimen ini ditujukan untuk remaja yang berharap melakukan tes secara frekuen (>4x perhari), memonitor intake karbohidrat secara akurat, penambahan dosis insulin.
Dosis insulin tergantung pada kebutuhan basal, intake makanan (terutama jumlah total karbohidrat) dan jumlah aktivitas fisik. Perubahan dalam insulin kerja cepat atau kerja pendek dapat dibuat berdasarkan sliding scale yaitu meningkatkan dosis pada kadar gula darah yang meningkat dan menurunkan menurunkan dosis saat gula dara h turun. Di samping itu, rata-rata kadar gula darah pada berbagai macam waktu dalam sehari dapat dihitung untuk rekomendasi pemberian dosis insulin lebih lanjut. Tes kadar gula darah sendiri direkomendasikan sebelum setiap kali makan dan saat snek menjelang tidur untuk membantu menaksir dosis dan membuat perubahan apabila diperlukan. Tes kadar gula darah pada jam 02.00-03.00 bermanfaat untuk mengevaluasi hipoglikemia saat malam hari dan hiperglikemia puasa (fenomena da wn). 2. Terapi Nutrisi Medis Intake makanan mempengaruhi jumlah insulin yang diperlukan untuk mencapai tujuan target gula darah. Diet karbohidrat paling mempengaruhi kadar gula darah posprandial dan merupakan penentu utama kebutuhan meal-related insulin.
karbohidrat drat disesuai sesua ikan menurut menurut beberapa kondi kondisi yang lain, Intake karbohi misal salnya ak tiv tivitas itas f isik yang meni meningkat ngkat dan kadar gul gu la darah yang merunun sebel sebelum snek mal ma lam unt untuk menurunkan resi res iko kadar gul gu la darah yang rendah. Unt Untuk ak tiv tivitas itas f isik yang meni meningkat ngkat mel melampaui ampaui ak tiv tivitas itas f isik har ian ruti rutin, n, yait ya itu u dengan makan at a tau minum 15 gram gra m karbohi boh idrat drat tiap tiap j jam am sebel sebelum ak tiv tivitas itas ekst ekstra. Lebi Lebih lan ju jut, unt un tuk l uk latihantihan-llatihan tihan yang lebi ebih berat bera t (>1 jam), jam), dit ditambahkan ambahkan prot protein dengan karbohi karboh idrat drat. Pedoman ini bersi bersifat fat sangat sangat indi ndividual dual tergant ergantung regi regimen insuli nsulin, n, kadar gul gu la darah sebel sebelum latihan tihan dan int ensit ensitas as latihan. tihan. Unt Untuk kadar gul gu la darah yang turun sebel sebelum snek mal ma lam, yait ya itu u apabil apabilaa gul gula darah ant antara 70-100 -10 0 mg/ mg /dl, makan at atau
minum 15 gram karbohidrat tambahan dengan snek malam reguler. Apabila gula darah <70 mg/dl, seimbangkan gula darah yang rendah pertama kali dengan 15 gram karbohidrat atau glukosa ; tunggu selama 15 menit dan lakukan tes kembali; kembali; makan atau minum 15 gram karbohidrat lagi apabila kadar gula darah masih <70 mg/dl. Sebaliknya, makanlah snek malam reguler dengan ta mbahan 15 gram karbohidrat.
Rekomendasi gizi untuk remaja sama dengan anak-anak muda yang lain. Distribusi makronutrien sebaiknya diperkirakan terdiri dari 50%-60% karbohidrat, 10%-20% protein dan 30% lemak. Lemak jenuh sebaiknya dibatasi sampai <10% dari total kalori serta diet kolesterol sampai <300 mg/dl
untuk
membantu
menurunkan
resiko
terjadinya
penyakit
kardiovaskuler. Penyesuaian intake lemak lebih lanjut dapat diperlukan dengan kadar lemak l emak yang tinggi dan/atau dan/ atau berat bada n tidak ideal yang naik. naik. Pedoman diet garam dan serat sama dengan populasi pada umumnya.
Bukti ilmiah tidak lagi mendukung mengenai perlunya pembatasan sukrosa dan makanan yang mengandung sukrosa dalam menurunkan hiperglikemia. Bahkan, remaja dapat melanjutkan memakan semua makan yang umu, seperti sereal dengan pemanis, cookies, brownies, dan es krim, dalam batasan rencana makan yang sehat selama mereka memperkirakan jumlah karbohidrat yang dimakan dan membuat penyesuaian yang tepat.
3. Terapi dengan pertimbangan tertentu a. Hipoglikemia (kadar gula darah <70 mg/dl) 1) Juga disebut sebagai gula darah yang rendah, reaksi insulin maupun syok insulin. 2) Biasanya dikarenakan makanan yang terlalu sedikit, terlalu banyak insulin, aktivitas fisik ekstra maupun tertundanya tertundanya makan atau ata u snek. 3) Dapat terjadi setiap saat, tetapi hampir sering sebelum makan, selama waktu aktivitas puncak insulin dan selama atau s etelah latihan.
b. Penambahan berat badan yang tidak diinginkan
Remaja yang meningkatkan gula darah kontrol mereka dapat mengalami peningkatan berat badan yang tidak diinginkan meskipun program makan dan aktivitas rutin telah dimodifikasi. Bahkan, mereka dapat mengalami hipoglikemia lebih sering sehingga membutuhkan karbohidrat tambahan dan menambahkan kalori. Hal ini merupakan problematika terutama pada remaja putrid yang mulai mengurangi dosis insulin atau bahkan menghilangkan dosis sama sekali. Perhatian teratur pada pola peningkatan maupun penurunan berat badan remaja sangat penting. Para remaja perlu bekerja sama dengan tim diabetes untuk menentukan bagaimana menyesuaikan dosis insulin dan intake makanan. Kontrol buruk yang kronik dengan laporan penggunaan insulin dosis tinggi dan penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya dapat mengindikasikan under-dosing insulin yang disengaja maupun penghilangan penghilangan dosis dengan tujuan menurunkan berat badan.
c. Penggunaan alcohol Meskipun banyak minuman beralkohol b eralkohol mengandung karbohidrat, alcohol tidak diubah menjadi glukosa. Alcohol cenderung menghambat glukoneogenesis dan mengakibatkan respon counter-regulatory ke arah hipoglikemia. Pedoman untik mencegah kadar gula darah yang rendah pada penggunaan alcohol meliputi: 1) Jangan meninggalkan makan maupun snek saat mengemudi 2) Mengkonsumsi karbohidrat tambahan apabila meminum minuman yang setara dengan lebih dari 2 minuman beralkohol. 3) Memberitahu seseorang yang bersamamu bahwa kamu menderita diabetes. 4) Jangan mengemudi setelah minum. 5) Jangan mengambil dosis ekstra insulin saat mengemudi.
d. Mengemudi
1) Bawalah makanan yang mengandung karbohidrat (tablet glukosa, jus, permen keras, soda biasa) di mobilmu setiap waktu. 2) Kenakan kalung yang ada tanda ta nda pengenalnya.
e. Kehamilan 1) Wanita muda dengan diabetes perlu diberi edukasi mengenai kontrasepsi. Pada umumnya digunakan kontrasepsi hormonal yang aman dan tidak mempengaruhi kadar gula darah. 2) Para dokter seharusnya mempertimbangkan kehamilan awal dalam diferensial
diagnosis
dari
hipoglikemia
yang
tidak
diketahui
penyebabnya. 3) Wanita muda dengan diabetes supaya dirujuk pada program tentang manajemen insulin int ensif segera setelah mereka sadar bahwa mereka hamil.
4. Strategi Motivasi untuk remaja dengan DT1 (terutama bagi remaja dengan gula darah terkontrol t erkontrol buruk) a. Identifikasi alasan mengenai kontrol yang buruk dan menegosiasikan mengenai program dan rencana dengan remaja. b. Menetukan satu alasan dan tujuan tindakan (jumlah tes gula darah, mencatat karbohidrat saat makan, penyesuaian dosis insulin berdasarkan gula darah atau intake karbohidrat). c. Mengidentifikasi keuntungan segera yang relevan pada remaja, seperti kurangnya hipoglikemia, kurangnya frekuensi nokturia, meningkatnya performa fisik, dan sebagainya. d. Memberikan feedback yang lebih sering. Menemui remaja l ebih sering. e. Menemukan seberapa besar supervise dan dukungan yang diberikan ornag tua. Meminta orang tua lebih terlibat. terlibat.
G. SKRINING 10
1. SKRINING UNTUK DIABETES MELLITUS MELLITUS Faktor-faktor yang perlu perlu dipertimbangkan dipertimbangkan untuk mencapai mencapai skrining yang tepat: a. Sensitivitas, spesifisitas, spesifisitas, dan harga har ga prediksi dari tes skrining b. Keefektifan biaya dan sumber daya manusia dibtuhkan dalam metodologi metodologi skrining c. Gambaran target populasi yang akan diskrining d. Follow-up yang cukup dan efektif serta peduli terhadap individu yang memiliki hasil tes positif Efek samping dari skrining : a. Stres psikologi, psikologi, biaya bertambah bila dijumpai hasil tes negatif palsu b. Ketidaknyamanan bila hasil tes negatif palsu c. Komplikasi medis dari tes skrining dan kebutuhan untuk follow-up pada skrining yang positif d. Komplikasi medis dari intervensi orang-orang yang terdiagnosis diabetes dapat dibuktikan dengan biaya lebih tinggi tinggi 2. PENDEKATAN SKRINING a. Skrining populasi Berkaitan dengan epidemiologi. Dapat digunakan Intolerance Glucose Impairing dan Oral Glucose Tolerance Test. Srining pada anak dan remaja penting pada skrining skr ining diabetes mellitus tipe 1. b. Skrining selektif Skrining dilakukan pada populasi populasi atau tempat di mana prevalensi terjadinya diabetes mellitus tipe 1 cukup tinggi.
c. Skrining oportunistik Terjadi ketika populasi yang memiliki risiko tinggi terjadinya diabetes mellitus tipe 1 sadar dan aktif untuk melakukan skrining terhadap diri mereka sendiri. 3. SKRINING PADA DIABETES MELLITUS TIPE 1 Skrining hanya boleh dilakukan guna tujuan penelitian dalam rangka pencegahan diabetes mellitus tipe tipe 1. Parameter yang digunakan untuk skrining yaitu; yaitu; a. Riwayat keluarga b. Marker genetik (Human Leukocyte Antigen [HLA]) c. Marker risiko imunologi (antibody sitoplasma sel islet, autoantibodi insulin, antibodi terhadap dekarboksilase glutamat) d. Marker risiko metabolik : skrining pada presimptomatik diabetes mellitus tipe 1 dan individu dengan risiko tinggi.
(Guidelines for the prevention, prevention, management, and care of diabetes mellitus, 2006,WHO) H. PROGNOSIS
11
Gula darah, HbA1c, kolesterol, tekanan darah, dan berat badan yang terkontrol sangat sangat penting sebagai faktor penentu penentu prognosis dan dan perkembangan penyakit
diabetes
sendiri
terutama
komplikasi
makrovaskular
dan
mikrovaskular. Pasien DM tipe 1 yang dapat survive dapat survive dalam waktu 10-20 tahun setelah onset tanpa komplikasi, pasien tersebut memiliki prognosis yang baik. Factor lain yang berpengaruh terhadap prognosis penyakit ini adalah edukasi dan motivasi, kesadaran pasien, pas ien, serta tingkat pendidikan pendidikan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Genetics of Type 1 Diabetes Mellitus Address Address corres pondence to: Dr. Hanan F Al-Mutairi, Al-Mutairi, P.O.BOX 49634, A 49634, Al-Omariya, l-Omariya, Kuwait 85157, E-mail:
[email protected]
Hanan F Al-Mutairi1, Ameer M Mohsen 1, Zaidan M Al-Mazidi2 1
Department of Pediatrics, Farwaniya Hospital, Kuwait
1.
2
Department Department of Pediatrics, Endocrine Unit, Al -Sabah Hospital, Kuwait Kuwait
Kuwait Medical Journal 2007, 39 (2):107-115
TYPE 1 DIABETES MELLITUS: PATHOGENESIS AND ADVANCES IN THERAPY R Khardori*, ME Pauza** I NT. J. D I A B. DEV. COUNTR I ES (200 ES (2003), 3), VOL. 23
Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications Report of a WHO Consultation
Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus World Health Organization Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva.1999
Type 1 Diabetes Åke Lernmark Clinical Chemistry 45, No. 8(B), 1999
Causes of early-onset type 1 diabetes: toward data-dr iven environmental approaches Pierr e Boug n è r es es and Alain -Jacques Va lleron JEM
VOL. 205, December 22, 2008
(American
Diabetes
Association,
21
September
2009http://care.diabetesjournals.org/content/27/supp 2009http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5/T2.expansion l_1/s5/T2.expansion.html .html ) (Crandall, 2007. Diabetes Mellitus. http://www.merck.com/mmpe/sec12/ch158/ch158b.html.. ) http://www.merck.com/mmpe/sec12/ch158/ch158b.html
DIABETES MELLITUS: TYPE 1 AND TYPE 2 Emily Loghmani Stang J, Stor y
M (eds) Guidelines for Adolescent N utrition Services (2005) http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.shtm
(Guidelines for the prevention, prevention, management, and care of diabetes mellitus, 2006,WHO) (Hussain, 2010 . Diabetes Mellitus, Type 1: Treatment & Medication,
http://emedicine.medscape.com/article/117739-treatment (Pancreas and Islet Transplantation for Patients with Type 1 Diabetes. University of Cincinnati College of Medicine. 2001.www.health-alliance.com/e-book 2001.www.health-alliance.com/e-book file)