POLITIK HUKUM
Hukum
Sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase.
Sejak zaman Yunani kuno, senantiasa menarik perhatian dan terus menerus menjadi wacana. Studi hukum telah berusia sangat lama sejak era Yunani kuno hingga era postmodern.
Pendekatan klasik yang melihat hukum dari sisi yuridis normatif an sich, Mahfud dan Harman melihat hukum dari sisi yuridis sosiopolitis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum.
Disiplin hukum
-
filsafat hukum (philosophy of law); ilmu hukum (science of law); teori hukum (theory ( theory of law); sejarah hukum (history ( history of law); law) ; sosiologi hukum (sociology of law); antropologi hukum (anthropology of law); perbandingan hukum (comparative of law); logika hukum (logic of law); psikologi hukum (psychology ( psychology of law); of law); politik hukum (politic of law).
Merupakan ilmu-ilmu bantu (hulpwetenschap ( hulpwetenschap )) yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan atau tool of analysis yang secara sinergis bekerja secara sistemik dan komprehensif untuk dapat menggali dan menjelaskan apa sesungguhnya hukum itu dan bagaimana proses-proses pembentukan hukum itu dapat dijelaskan secara baik.
Politik Hukum
Merupakan satu disiplin hukum yang tergolong paling muda dibandingkan dengan disiplin-disiplin hukum lain. Masih langkanya literatur-literatur ilmiah yang khusus membahas secara komprehensif disiplin politik hukum ini. Politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum bukan ilmu politik. Ada yang beperndapat bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik.
1|FAJRINBORNEO
Bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya.
Mahfud
Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis.
VARIABEL BEBAS
KONFIGURASI POLITIK
Benny K. Harman
VARIABEL TERPENGARUH
KARAKTER PRODUK HUKUM
DEMOKRASI
RESPONSIF/POPULISTIK
OTORITER
KONSERVATIF/ORTODOK S/ELITIS
Hubungan linier antara konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman: Apabila dalam suatu negara diterapkan suatu konfigurasi politik yang demokratis, karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan oleh konfigurasi politik semacam itu adalah karakter kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Begitu pula apabila yang diterapkan konfigurasi politik otoriter atau totaliter, yang dihasilkannya adalah karakter kekuasaan kehakiman yang tidak otonom atau tidak bebas.
2|FAJRINBORNEO
Dulu metode normatif dan dogmatis dipandang mencukupi kebutuhan (self- sufficient)
Donald H. Gjerdingen
Van Apeldoorn dalam buku klasiknya Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht
Hukum makin menjadi bidang yang esoteris, berhubung dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat keberhasilan dari modernisasi dan industrialisasi. Hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat.
Pendapat beberapa aliran hukum konvensional yang menganggap hukum otonom dari entitas bukan hukum sudah ketinggalan zaman karena tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Dengan menggunakan kerangka inilah kehadiran disiplin politik hukum dapat kita pahami.
Tidak pernah menyebutkan secara eksplisit istilah politik hukum dan ia tidak pernah pula menyebutkan bahwa politik hukum merupakan salah satu disiplin ilmu hukum, tetapi secara tersirat keberadaan politik hukum dapat dilihat dari bagian kedua klasifikasi Apeldoorn, yakni pada bagian seni dan keterampilan ketika kegiatan praktik untuk menemukan serta merumuskan kaidah hukum. Setidaknya untuk di Indonesia, wacana tentang disiplin politik hukum secara implisit telah ditemukan akar sejarahnya pada buku Apeldoorn tersebut.
Tulisan Soepomo tahun 1947
Berjudul: Soal-soal Politik Hoekoem dalam Pembangunan Negara Indonesia. Buku Soepomo dan Djoko Soetono berjudul Sejarah Politik Hukum Adat 1848-1928.
Bellefroid dalam bukunya berjudul Inleiding tot de Rechts- wetenschap in Nederland, tahun 1953.
Secara tegas telah menggunakan istilah politik hukum (de rechtspolitiek) sebagai sebuah istilah mandiri, ketika ia menjelaskan tentang cabang-cabang ilmu apa saja yang termasuk dalam ilmu pengetahuan hukum. “De rechtswetenschap is te verdelen in vijf afzonderlijke wetenschappen, die onderscheidenlijk tot voorwerp hebben de rechtsdogmatiek, de rechtgeschiedenis, de rechtsvergelijking, de rechtspolitiek en de algemene rechtsleer...."
3|FAJRINBORNEO
Istilah hukum di Indonesia diadopsi dari tradisi ilmu hukum Belanda
Seperti: hukum tata negara (staatrecht), hukum perdata (privaatrecht), hukum pidana (straafrecht), hukum administrasi (administratiefrecht) , politik hukum (rechtspolitiek ( rechtspolitiek ). ). Rechtspolitiek bukan politiekrecht/ politiekrecht/ hukum hukum politik/Hukum Tata Negara.
Achmad Ali dalam bukunya ―Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiotogis”
Lebih dari lima puluh defenisi dan pengertian tentang hukum sejak Aristoteles, Ibnu Khaldun hingga Dworkin berbeda satu sama lain. Lloyd yang mengatakan bahwa although 'much juristic ink' has been used in an attempt to provide a universally acceptable definition of law, there is little sign of the objective having been attained. Immanuel Kant, lebih dari satu abad lalu mengatakan ― noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von Recht”.
Sri Soemantri Martosoewignjo Politiek (dalam Politiek (dalam kamus bahasa Belanda van der Tas)
Girindro Pringgodigdo
Padmo Wahjono
Hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Mengandung arti beleid , dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy) (policy).. Membedakan kebijaksanaan ( policy; beleid) dan kebijakan (wisdom; wijsheid). wijsheid). Kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan di bidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan ialah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang hukum yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau lisan, yang antara lain berdasarkan kewenangan/kekuasaan diskresi (discretionary power/freies ermessen). Kedua istilah ini kerap dipakai dalam pengertian yang sama. Politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun bentuk maupun isi isi dari dari hukum yang yang akan dibentuk. Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum (rechtsvorming) , penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. Politik hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum); mengenai constituendum); mengenai nilai-nilai, penentuan, pengembangan dan pemberian bentuknya.
4|FAJRINBORNEO
Teuku Mohammad Radhie
Politik Hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Jadi, hukum apa dan yg bagaimana yg akan mengatur tata kehidupan masyarakat, bersumber pada Politik Hukum.
Pernyataan "mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya" mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan "mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun" mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).
Soedarto
Politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Selain itu, Politik Hukum merupakan usaha utk mewujudkan peraturan-peraturan yg baik sesuai dgn keadaan dan situasi pada suatu waktu.
Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
Soedarto tidak hanya berbicara pada kurun waktu apa hukum yang diterapkan (ius constituendum), tetapi tampaknya sudah pula menyinggung kerangka pikir macam apa yang harus digunakan ketika menyusun sebuah produk hukum.
Satjipto Rahardjo
Politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta caracara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik. 5|FAJRINBORNEO
Sunaryati Hartono
Politik Hukum merupakan perbuatan menentukan apa yg merupakan hukum positif atau hukum yg berlaku dgn memilih (partij kiezen) antara kaedah-kaedah hukum yg satu dgn kaedah hukum yg lain; perbuatan pilihan hukum (rechtskeuze).
. Politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Faktor-faktor yang menentukan politik hukum adalah apa yang kita citacitakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi dan juga kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum internasional.
Abdul Hakim Garuda Nusantara
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Solly Lubis
Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum terbentuk dari gabungan dua disiplin hukum, yaitu ilmu hukum dan filsafat hukum. Politik Hukum mencakup kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai. Politik Hukum merupakan kebijaksanaan politik yg menentukan peraturan hukum apa yg seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prospektif Hukum sbg system hukum yg menjadi idaman utk masa depan, yg diupayakan melalui pembinaan dan pembaharuan hukum, yg mampu merubah suasana hukum dari system hukum yg sedang berjalan kpd system hukum yg diinginkan dan berorientasi kpd pandangan hidup, wawasan dan kepentingan bangsa, sbg bangsa yg sedang membangun menurut suatu konsep pengelolaan nasional.
Samijo
Politik Hukum Nasional sebagai suatu kebijakan (policy) dari penguasa RI mengenai hukum yg berlaku di Negara Indonesia.
Kusumah
Politik Hkm Nas. secara harfiah dpt diartikan sbg kebijaksanaan hukum (legal policy) yg hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh satu pemerintahan negara tertentu.
6|FAJRINBORNEO
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari
Politik hukum secara singkat berarti kebijakan/kebijaksanaan hukum. Saukani: ―Politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum. politik hukum dalam buku ini diartikan sebagai "kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku. Yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan."
Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilainilai yang berlaku di masyarakat. Politik hukum bersifat lokal dan partikular (hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja), bukan universal (berlaku seluruh dunia).
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilainilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masyarakat tertentu dan berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka.
Ilmu hukum diarahkan pada cara untuk mencapai tujuan, filsafat hukum diarahkan untuk melihat tujuan yang diinginkan. Proses interplay antara "cara untuk mencapai tujuan" dan "melihat tujuan yang diinginkan‖ itulah kemudian yang melahirkan politik hukum, dengan catatan bahwa kata politik di sini dipahami dengan pengertian policy, bukan dalam pengertian cara untuk memperoleh kekuasaan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebijakan hukum (legal policy). Dengan kerangka berpikir seperti ini, mengutip Purnadi Purbacaraka, politik hukum dalam disiplin hukum bergerak pada tataran etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum.
7|FAJRINBORNEO
Politik hukum satu negara berbeda dengan negara yang lain Politik hukum merupakan bagian dari studi hukum
Politik hukum
Karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan dunia (world-view), sosio-kultural, dan political will dari will dari masing-masing pemerintah.
Pada kenyataannya ujung (core problem) dari studi poilitik hukum adalah hukum (peraturan perundang-undangan dalam berbagai bentuk dan levelnya).
Berbicara pada tataran empiris-fungsional dengan menggunakan metode teologis-konstruk teologis-konstruktif. tif. Artinya, politik hukum dalam pengertian sebagai etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding), lebih diarahkan untuk melihat sejauh mana hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses transformasi masyarakat yang diinginkan.
Apabila dihubungkan dengan praktik policy making dan policy executing di bidang hukum, politik hukum sebagai teori mengungkapkan policy evaluation dan policy approximation serta policy recommendation di recommendation di bidang hukum. Dengan demikian, politik hukum merupakan sistem ajaran tentang hukum sebagai kenyataan idiil dan riil. Politik hukum menganut prinsip double movement yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum ( legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di policy di atas.
1.
2. Ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum (Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari)
3. 4. 5. 6.
Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum; Proses perdebatan dan perumusan nilai-nil nilai-nilai ai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum; Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum; Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum; Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan; Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
8|FAJRINBORNEO
Teori keberlakuan hukum
Hukum yang baik harus memenuhi syarat sosiologis, filosofis dan yuridis.
Disiplin Politik Hukum
Mengajak kita untuk mengetahui bahwa hukum sarat dengan warna politik, sebagai hasil dari suatu proses politik (law as a product of political process). Hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Bilamana hukum dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, harus diperbarui dengan rumusan yang baru, agar hukum senantiasa sesuai dengan dinamika yang terus terjadi dalam masyarakat.
Politik hukum nasional
Adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan.
Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu (1) masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak; (2) penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut; (3) materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku; (4) proses pembentukan hukum; (5) dan tujuan politik hukum nasional. .
Hukum nasional
Hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia. bila hukum yang diberlakukan pada suatu negara tidak sesuai dengan — meminjam istilah Friedrich Karl von Savigny — volkgeist atau an expression of the common consciousness or spirit of a people , people , bisa jadi akan timbul penolakan atau setidaknya diabaikan oleh masyarakat.
9|FAJRINBORNEO
1. Pelaksanaan ketentuan hukum yg telah ada secara
Politik Hukum Nasional bisa meliputi (Kusumah)
Dasar-dasar Politik Hukum Nasional meliputi (I.G.N. Gde Djaksa)
Politik Hukum Nasional dpt diketemukan
Sistem Hukum Nasional
konsisten; 2. Pembangunan hukum yg intinya adalah pembangunan terhadap ketentuan hukum yg telah ada yg dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yg diperlukan utk memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat; 3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksanaan hukum dan pembinaan anggotanya; 4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambilan kebijakan.
1. UUD 1945 dgn Pancasila sbg sumber hukum; 2. Ketetapan MPR; 3. Kaidah-kaidah Hukum Adat yg dpt dijadikan sbg salah satu sumber hukum di Indonesia; 4. Yurisprudensi, doktrin dan keputusan hakim.
1. 2. 3. 4.
Kongres Pemuda 1928; UUD 1945; Tap-Tap MPR (S); Hasil Seminar Hukum Nasional.
Sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia. Apakah sistem hukum dalam kategori demikian itu telah terwujud di Indonesia? Jawabnya, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri, masih sebatas cita-cita.
Untuk tidak membatasi sumber-sumber hukum lain, yang barangkali lebih sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat, sebaiknya sistem hukum nasional selain dibangun berdasarkaa Pancasila dan Undang-Undang 1945, dapat juga bersunber dari hukum lain asal tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 10 | F A J R I N B O R N E O
De Facto, di Indonesia, terdapat, setidaknya
Tiga sistem hukum yang eksis ( living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khong Hoe Chu) dan Barat (Belanda), merupakan bahan baku pembangunan sistem hukum nasional; Kita di Indonesia, dalam tahap pembangunan hukum nasional, masih dalam tahap mencari-cari konsep hukum nasional yang akan benar-benar dapat menunjang segala usaha serta harapan bangsa yang sedang membangun. Masih ada kecenderungan para ahli hukum mempertentangkan ketiganya, bahkan mengunggulkan yang satu atas yang lain tanpa berusaha untuk mencari titik temu. Merumuskan dan menyusun hukum yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
Hukum Adat, Hukum Barat, Hukum Agama
Sistem Hukum Nasional
Arief Sidharta
Hasil seminar tentang Hukum Nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Tatanan Hukum Nasional Indonesia harus mengandung ciri: 1) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara; 2) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan; 3) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi; 4) Bersifat rasional yang mencakup m encakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai; 5) Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah; 6) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Hukum Nasional yang sedang dibangun haruslah: Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 1) Berlandaskan (konstitusional). mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, 2) Berfungsi mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.
11 | F A J R I N B O R N E O
Politik Hukum Nasional — mengutip Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition: Toward Responsive Law
Bertujuan menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom, dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan reduksionistik. Negara yang paling berhak menentukan model hukum apa yang ingin diterapkannya
Karekteristik Hukum Menindas dan Hukum Otonom No 1
Perihal Tujuan Hukum
Tipe Menindas Ketertiban.
2
Legitimasi
Pertahanan Sosial dan Raison d’etaat.
3
Peraturan
Kasar dan terperinci, tetapi Sangat terurai, mengikat pembuat hanya mengikat pembuat maupun mereka yg diatur. peraturan secara lemah.
4
Penalaran (Reasoning)
Ad hoc, sesuai keperluan dan partikularistik.
Mengikatkan diri secara ketat kepada otoritas hukum, peka terhadap formalisme dan legisme.
5
Diskresi
Merata, Oportunistik.
Dibatasi oleh peraturan-peraturan, pendelegasian sangat terbatas.
6
Pemaksaan
Luas sekali, lemah.
Dikontrol oleh pembatasan hukum.
7
Moralitas
Moralitas komunal, moralitas Moralitas kelembagaan, yaitu diikat hukum, moralitas pemaksaan. oleh pemikiran tentang integritas dari proses hukum.
8
Kaitan Politik
Hukum ditundukkan politik kekuasaan.
9
Harapan terhadap Kepatuhan
Tidak bersyarat, ketidak patuhan dgn begitu saja dianggap menyimpang.
Bertolak dari peraturan yg sah, yaitu menguji kesahan UU dan peraturan.
10
Partisipasi
Tunduk dan patuh, dianggap tidak loyal.
Dibatasi oleh prosedur yg ada, munculnya kritik hukum.
12 | F A J R I N B O R N E O
Tipe Otonom Kesahan.
pembatasannya
kepada
kritik
Menegakkan Prosedur.
pembatasan-
Hukum bebas dari pemisahan kekuasaan.
politik,
Mengacu pada John Henry Merryman, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan tiga macam tradisi hukum
Strategi pembangunan hukum
tradisi hukum kontinental ( civil law), tradisi hukum adat (common law), dan tradisi hukum sosialis (socialist law).
Strategi pembangunan hukum ortodoks: peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dan monopolis dalam menentukan arah pembangunan hukum. strategi pembangunan hukum responsif: yang mempunyai peranan besar adalah lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Menghasilkan hukum yang bersifat positivisinstrumentalis, yaitu hukum yang berfungsi menjadi alat ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Dianut oleh Tradisi Hukum Kontinental (civil law) dan Tradisi Hukum Sosialis (socialist law).
Menghasilkan hukum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu di dalam masyarakatnya. Dianut oleh tradisi hukum adat (common law).
Dari pemberlakuan hukum
Terdapat dua jenis karakter produk hukum: - hukum imperatif, adalah kaidah-kaidah hukum yang secara a priori harus ditaati. Ia mempunyai kekuatan untuk memaksa dan mengikat secara mutlak. - hukum fakultatif, tidaklah secara a priori harus priori harus ditaati atau tidak a priori untuk dipatuhi, melainkan sekadar melengkapi, subsidair atau dispositif. Dalam hukum fakultatif masih terdapat ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya. Pada umumnya hukum publik relatif bersifat imperatif, sedangkan hukum privat bersifat fakultatif.
13 | F A J R I N B O R N E O
Studi terhadap proses penyusunan UU di DPR
Membuktikan secara nyata adanya relasi yang sangat erat antara produk hukum sebagai proses politik hukum dengan kepentingan politik.
Kondisi di atas sangat alamiah terjadi berdasarkan anggapan bahwa proses politik itu tidak bebas nilai (non-value-free). Sebaliknya, ia sarat dengan nilai (value loaded), yaitu perbedaan ideologi dan kepentingan politik itu sendiri. 1) Melindungi segenap bangsa ban gsa Indonesia dan seluruh sel uruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Cita-cita Bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945
Psl 2 TAP MPR No. III/2000: Tata Urutan Peraturan Perundangundangan
Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State
-
UUD 1945 TAP. MPR UU PERPU PP KEPRES PERDA
TAP MPRS No. XX/1966 - UUD 1945 - TAP. MPR - UU - PERPU - PP - KEPRES - PERATURAN PELAKSANAAN LAINNYA * Peraturan Menteri; Instruksi Menteri dll
The constitution in the formal sense is a certain solemn document, a set of legal norms that may be changed only under the observation of special prescriptions, the purpose of which it is to render the change of these norms more difficult. The constitution in material sense consists of those rules which regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes.
Bahwa konstitusi terdiri dari normna-norma hukum secara umum atau — sebagaimana dijelaskan Psl 3 (1) TAP MPR No. III/ MPR/2000 — UUD 1945 merupakan Hukum Dasar Tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara, tempat atau sumber rujukan utama atau guidance bagi proses perumusan dan penetapan peraturan perundangan yang lain (the constitution represents the highest level of positive law). Posisi UUD 1945 sebagai hukum dasar itulah yang memberikan legal consequence bahwa setiap materi yang diatur dalam peraturan per-uu-an yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan materi-materi yang terdapat dalam UUD 1945 (Pasal 4 ayat 2).
14 | F A J R I N B O R N E O
UUD 1945
Menentukan garis besar, arah, isi, dan bentuk hukum yang akan diberlakukan di Indonesia.
Contoh: Politik hukum nasional dalam bidang kekuasaan kehakiman (judicial power) yang terdapat dalam Bab IX UUD 1945 setelah diamandemen: Pasal 24: (1) Kek.kehakiman merupakan m erupakan kekuasaan yang merdeka m erdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kek.kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah M.Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kek.kehakiman diatur dalam UU. Pasal 24 A: (1) MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan per-uu-an di bawah uu terhadap uu, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh uu. (2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. (4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. (5) Sus-duk, keanggotaan, dan hk. acara MA serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Pasal 24B: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Pres. dgn persetujuan DPR. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Pasal 24C: (1) Mah.Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji uu terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran par-pol, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. (3) Mah.Konstitusi mempunyai 9 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Pres. yang diajukan masing-msng 3 org oleh MA, 3 org oleh DPR, dan 3 org oleh Pres. (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Sebelum terjadi amandemen, dua pasal saja, yaitu: Pasal 24: (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang". (2) Susunan dan kekuasaan Badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang". Pasal 25: Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-Undang.
15 | F A J R I N B O R N E O
a.l TAP MPR No. IV/MPR/1999 GBHN Pada BAB IV disebutkan tentang Arah Kebijakan bidang hukum
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam rangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. 2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundangan-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif , termasuk ketidadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia. 4. Melanjutkan ratifikasi konvensi k onvensi internasional, in ternasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang. 5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat-apar aparat-aparat at hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif. 6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. 7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. 8. Menyelenggarakan proses peradilan secara tepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tetap menjung tinggi asas keadilan dan kebenaran. 9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan. 10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas. Merupakan politik hukum nasional yang memuat secara komprehensif berbagai aspek yang berkaitan dengan pengembangan budaya hukum, penataan sistem hukum nasional, penegakan hukum, ratifikasi konvensi internasional, peningkatan sumber daya aparat-aparat hukum, kemandirian lembaga peradilan, pengembangan peraturan perundang-undangan, efisiensi proses peradilan, peningkatan penegakan hak asasi manusia dan proses peradilan terhadap elan ela n ara aran n huku hukum m dan dan hak asa asasi si ma manus nusia. ia.
16 | F A J R I N B O R N E O
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Ada empat keistimewaan yang dimiliki wilayah itu. Pertama, penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan beragama. Kedua , penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syariat tanpa mengabaikan kurikulum umum. Ketiga, pemasukan unsur adat dalam struktur pemerintahan desa. Dan keempat, pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pemerintah Provinsi NAD telah merilis 4 Perda, atau Qanun : - Qanun Qanun No. No. 3 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), - Qanun Qanun No. No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, - Qanun No. 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan - Qanun No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Adat.
Pasal 4 ayat (1) Qanun No. Qanun No. 5 Tahun 2000
.
Setiap pemeluk agama Islam wajib menaati, mengamalkan, menjalankan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna. Pasal berikutnya menyatakan: Pelaksanaan syariat Islam meliputi akidah, ibadah, muamalah, akhlak, pendidikan, dan dakwah, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembebasan Islam, qadha (peradilan), jinayat (pidana), munakahat (pernikahan), serta mawaris mawaris (hukum (hukum waris).
Peradilan negeri akan tetap ada tetapi hanya diperuntukkan untuk mengadili perkara perdata dan pidana yang melibatkan warga negara non-Muslim dengan menggunakan KUHPerdata dan KUHP sebagai materi hukumnya. Sedangkan perkara pidana di Mahkamah Syar'iyah akan menggunakan materi hukum pidana Islam (al-jinayah al- Islamiyyah). Keberadaan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang No. 18 Tahun. 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membuka jalan bagi proses pluralisme hukum di Indonesia.
17 | F A J R I N B O R N E O
Era Orde Baru
Wawasan politik hukum nasional yang dikembangkan saat itu adalah bahwa seluruh kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan hukum, dalam arti bahwa hanya satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.
Politik hukum nasional yang dikembangkan adalah politik hukum unifikasi. Namun, dengan berlakunya penerapan syariat Islam melalui lembaga Mahkamah Syar'iyah itu tampaknya ide tentang satu kesatuan hukum (unifikasi) itu lama-kelamaan akan kehilangan relevansinya atau runtuh dengan sendirinya. Kasus lain yang mirip dengan Aceh adalah Provinsi Papua, dimana tradisi atau adat setempat akan pula diangkat sebagai satu alat pemutus dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat Papua. Rumusan Politik Hukum Nasional yang terdapat dalam GBHN. Pada butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tentang Arah Kebijakan bidang hukum dikatakan:
TAP.MPR No. IV/MPR/ 1999 berbeda redaksinya dengan TAPTAP MPR sebelumnya, seperti. TAP MPR No.IV/MPR/1 978 butir (c) yang berbunyi:
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Berdasarkan kutipan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik: (1) sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu; (2)sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama dan hukum adat; (3) Melakukan pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.
Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidangbidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. Redaksi yang serupa TAP MPR No. II/MPR/1983 butir (c) : Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum, dengan antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. Tidak jauh berbeda TAP MPR No. II/MPR/1988 butir (c), yaitu: Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaruan hukum secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundangundangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan, serta tingkat kesadaran masyarakat.
18 | F A J R I N B O R N E O
Unifikasi Hukum ---Pluralisme Hukum
Tampaknya ada kecenderungan kuat Indonesia tidak lagi menganut politik hukum unifikasi, tetapi telah beralih ke pluralisme hukum; Berbeda dengan politik unifikasi yang cenderung ditinggalkan, politik hukum kodifikasi masih tetap dilakukan. Posisi penting pluralisme hukum dalam sebuah wadah negara yang majemuk seperti Indonesia. Adanya kenyataan pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisasi hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. Meminjam ungkapan Galanter — legal centralism tergambark centralism tergambarkan an dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Griffith menambahkan, pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan —legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion.
Kajian tentang pluralisme hukum biasanya masuk dalam disiplin antropologi hukum, sebuah disiplin ilmu yang kini marak dikaji oleh para ahli hukum di Barat, dan dianggap sebagai salah satu alat analisis yang cukup menjanjikan. Pertama kali digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa, disiplin ini berkembang dan digunakan pula untuk melihat tingkat kesejahteraan sosial masyarakat. Pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial —"by legal pluralism" I mean the presence in a social field of more than one legal order.
Griffith
Sulistyowati Irianto
Bukti nyata dari adanya pluralisme dalam Politik Hukum Nasional
Baik hukum negara maupun hukum kebiasaan atau agama, mengutip Hooker (1975), akan saling berinteraksi dan menciptakan keseimbangan sosial yang diharapkan. Bahwa kemudian hukum negara akan lebih dominan, sebenarnya itu hanya sebatas wewenangnya untuk memberikan batas apakah hukum adat masyarakat tertentu dapat diberlakukan kepada masyarakat yang lain.
Pernyataan butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tentang Arah Kebijakan bidang hukum yaitu: Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Pada TAP MPR MPR ini, kalimat kalimat unifik unifikasi asi sudah sudah tidak tidak be itu diton diton olka olkan. n.
19 | F A J R I N B O R N E O
TAP MPR No. IV/MPR/1978 butir (c)
Menonjolkan kodifikasi dan unifikasi hu kum: ―Peningkatan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat‖. Redaksi yang serupa TAP MPR No. II/MPR/1983 butir (c): Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum, dengan antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat. Tidak jauh berbeda, TAP MPR No. II/MPR/1988 butir (c), yaitu: Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaharuan hukum secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundangundangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan, serta tingkat kesadaran masyarakat.
Politik Hukum Nasional dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978 butir (c) dan TAP MPR No II/MPR/1983 butir(c) dan TAP MPR No. II/ MPR/1988 butir (c) tersebut,
Bahwa politik hukum unifikasi itu tidak bersifat mutlak atau berlaku untuk semua materi hukum. Unifikasi hanya berlaku terhadap materi hukum yang mungkin diunifikasikan atau —meminjam istilah Mochtar Kusumaatmadja —hukum yang bersifat netral seperti hukum pidana. Adapun berkaitan dengan materi hukum yang tidak netral seperti hukum keluarga (perkawinan; perceraian; pewarisan) tetap diatur sesuai dengan ketentuan agama masing-masing.
Akar-akar politik hukum pluralisme itu sudah tampak pada TAP-TAP MPR sebelum TAP MPR No. IV/MPR/1999, hanya diterapkan dalam konteks terbatas. Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, penerapan unifikasi hukum terbatas dengan sendirinya terhapus. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui Mahkamah Syar'iyah berhak untuk mengadili perkara-perkara pidana yang melibatkan umat Islam. Materi hukum yang digunakan adalah materi hukum pidana Islam (fiqh al-jinayah). Hal serupa juga tampaknya akan terjadi di Provinsi Papua dengan hukum adatnya.
20 | F A J R I N B O R N E O
"...menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat‖ dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tidak bisa lagi dipahami seperti pemahaman-pemahaman sebelumnya bahwa hukum agama dan hukum adat merupakan bahan baku pembentukan hukum nasional.
Namun, lebih sekadar itu, kedua sistem hukum itu diakui keberadaannya dan dapat saja diberlakukan secara positif bila masyarakat menghendakinya. Sehingga pemahaman kita terhadap pengertian unifikasi pun dengan sendirinya menurut penulis mengalami pergeseran pula. Apalagi bila fenomena itu dikaitkan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah itu mengamanatkan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk mengembangkan berbagai potensinya dan mengubah paradigma pemerintahan yang sangat sentralistik dan serba terpusat. Hanya bidang-bidang yang berkaitan dengan politik luar negeri, hankam, moneter, fiskal, peradilan, dan agama menjadi wewenang pusat, sisanya dikelola oleh daerah (Pasal 7 ) )..
Pemberlakuan syariah Islam di Aceh melalui pemberian status otonomi khusus, terlepas adanya unsur-unsur politis di dalamnya, adalah gambaran nyata bahwa era pluralisme hukum akan bergulir terus dan merupakan keniscayaan dari diberlakukannya otonomi daerah. Kodifikasi berasal Dari bahasa Inggris codification, yang menurut Black's Law Dictionary berarti: Dictionary berarti:
Mulyana W. Kusumah
The process of collecting and arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area subject of law or practice.
Kodifikasi ialah pembukuan hukum dalam artian menghimpun aturanaturan hukum yang sejenis ke dalam satu buku hukum baik secara tuntas maupun secara parsial, termasuk juga di dalamnya pembuatan peraturan tentang bidang-bidang tertentu. Pluralisme atau dualisme bukan cerminan kebijakan diskriminatif, melainkan diterima sebagai suatu kebijakan untuk mengakui keadaan golongan-golongan rakyat yang berbeda-beda (namun yang harus diakui sebagai berkedudukan sama).
21 | F A J R I N B O R N E O
Istilah kodifikasi kerap disamakan dengan istilah kompilasi
Soetandyo Wignjosoebroto — mengutip Harold J. Berman —
Kompilasi (compilation) adalah: A bringing together of preexiting statutes in the form in wich they were enacted, with the removal of section wich have been repealed and the substitution of amandement in an arrangement designed to facilitate their use. Secara singkat kodifikasi/kompilasi adalah pembukuan bahan-bahan hukum secara lengkap dan tuntas dalam buku hukum atau codex . Kodifikasi tidak bisa dilepaskan dari unifikasi, yaitu suatu upaya pemberlakuan suatu hukum untuk seluruh warga negara. Berkaitan dengan kodifikasi hukum, upaya ini sebagaimana diketahui, tidak dilakukan sejak Indonesia merdeka saja tetapi telah dilakukan sejak keberadaan pihak kolonial Belanda.
Kodifikasi dan unifikasi adalah bagian inheren dari cita-cita kaum liberal yang pengaruhnya dalam perkembangan politik kolonial pada abad XIX sedang benar-benar berada di atas angin. Kodifikasi diyakini akan memberikan kepastian hak (berdasarkan hukum) kepada individuindividu anggota masyarakat. Sedangkan unifikasi diyakini akan mematerialisasi ide-ide yang bermaksud memperlakukan seluruh penduduk negeri —yang dalam kehidupan masyarakat modern harus diukur menurut ketunggalan teritori, dan tidak menurut perbedaan golongan yang disebabkan keturunan atau afiliasi etnik — dengan sikap dan tindak-tindak perlakuan yang sama, tidak diskriminatif, dan memandang setiap orang berkedudukan sama dihadapan "dewi keadilan‖. Kaum liberal dalam percaturan politik di Negeri Belanda mendesak dilaksanakannya kodifikasi dan unifikasi hukum di tanah jajahan sebagai bagian dari upaya mereka untuk merealisa merealisasi si cita-cita yang mereka yakini bernilai universal. Namun demikian, upaya dari kaum liberal itu tidak pernah mendapatkan hasil yang memuaskan. Politik hukum atau kebijakan kodifikasi dan unifikasi hukum itu selalu menimbulkan masalah dalam perumusan dan penerapannya.
Pluralisme hukum rupanya tak hanya merupakan kenyataan objektif, akan tetapi juga termaknakan dan menjadi refleksi pengakuan subjektif pemerintah kolonial bahwa ada kebutuhan hukum yang beragam dan berbeda-beda di kalangan penduduk. Pluralisme hukum seperti ini di mata para yuris nasionalis Indonesia, yang aktivitasnya mulai menggebu pada dasawarsa 1930-an, pun terlihat sebagai kenyataan, dan boleh dipakai sebagai dalih untuk ―menolak‖ diberlakukannya hukum Barat untuk orang-orang pribumi. Pluralisme atau dualisme bukan cerminan kebijakan diskriminatif, melainkan diterima sebagai suatu kebijakan untuk mengakui keadaan golongan-golongan rakyat yang berbeda-beda (namun yang harus diakui sebagai berkedudukan sama).
22 | F A J R I N B O R N E O
Wacana tentang pluralisme hukum itu terus bergulir hingga sekarang.
Teuku Mohammad Radhie
Melihat fenomena demikian itu, berkaitan dengan politik hukum kodifikasi, maka tampaknya penyatuan antara kodifikasi dan unifikasi sebagaimana diinginkan oleh penguasa negara agar adanya kesatuan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia dalam pengertian sepenuhnya terlalu sulit untuk direalisasikan. Selalu saja ada upaya penentanganpenentangan masyarakat terhadap upaya unifikasi hukum tersebut. Dengan demikian, dalam buku ini politik hukum kodifikasi lebih dilihat sebagai upaya untuk menghimpun materi hukum tertentu (hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum perdata internasional), yang masing-masing harus terhimpun dan tersusun secara sistematis dalam kitab undangundang.
Agar tidak terjadi kemandekan hukum dan tidak menimbulkan konflik antar penduduk, politik hukum kodifikasi hendaknya menganut prinsip kodifikasi terbuka dan prinsip kodifikasi parsial. Kodifikasi terbuka adalah bahwa dimungkinkan di luar kitab-kitab undangundang terdagat aturan-aturan yang berdiri sendiri. Kodifikasi parsial ialah, dalam melaksanakan kodifikasi sesuatu cabang hukum pokok, kodifikasi tersebut dilakukan mengenai bagian-bagian tertentu saja. Menurut Radhie, seperti yang pernah dikemukakan Mochtar Kusumaatmaja, kodifikasi dilakukan hanya pada bagian- bagian yang tergolong hukum ―netral‖ dan tidak termasuk hukum yang berkenaan dengan kesadaran budaya atau kepercayaan agama. IMAM SYAUKANI & A. AHSIN THOHARI, apa yang dikemukakan Radhie itu barangkali didasarkan fakta bahwa kerapkali legislasi negara dalam bidang hukum agama yang ditujukan kepada komunitas agama tertentu dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Sebagai sebuah negara yang tidak menjadikan satu agama tertentu lebih dominan dibandingkan yang lain, maka memang setiap usaha untuk melakukan kodifikasi dan positivisasi hukum agama tertentu akan menjadi problem yang patut diperhitungkan. Oleh karena itu, di akhir tulisan ini barangkali pendekatan yang bijaksana patut dilakukan oleh semua pihak (pemerintah dan masyarakat) agar proses legislasi nasional dalam bentuk kodifikasi hukum tidak mengarah kepada perpecahan bangsa. Kedewasaan bernegara menjadi faktor penting untuk hal ini. Telah terjadi perubahan pola pandang di kalangan para ahli hukum dalam memahami hubungan antara hukum dan politik. Sebelumnya para ahli hukum memandang bahwa hukum bersifat otonom atau lepas dari pengaruh entitas-entitas bukan hukum, sekarang cenderung memandang bahwa antara hukum dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Perubahan atau pergeseran pemahaman itu menurut Satjipto Rahardjo, tidak bisa dilepaskan dari perubahan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dunia secara keseluruhan. Situasi itu pula yang sedikit banyak ikut serta mempengaruhi munculnya disiplin politik hukum.
23 | F A J R I N B O R N E O
SEMINAR HUKUM ADAT DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL di Yogyakarta 15-17 Jan.1975, diselenggarakan BPHN dan Fak. Hukum Univ. GAMA, 198 orang peserta (teorisiti, praktisi, perorangan ).
Dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kedudukan dan peranan Hukum Adat dalam pembinaan Hukum Nasional.
Hukum Adat diartikan Hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Kedudukan dan peranan Hukum Adat. 1. Hukum Adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju kepada Unifikasi Hukum dan yang terutama akan dilakukan melalui pembuatan peraturanperaturan perundangan, dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
Panitia Seminar: - Ketua Umum: J.C.T Simorangkir, SH - Sekretaris Umum: Ibnu Susanto, SH
2. Pengambilan bahan-bahan dari Hukum Adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti : a. penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari Hukum Adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang, dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Penggunaan lembaga-lembaga Hukum Adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman, tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya. c. Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas Hukum Adat ke dalam lembaga-lembaga hukum baru, dan lembagalembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 3. Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, Hukum Adat merupakan salah satu unsur, sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan nasional, merupakan intinya. 4. Dengan terbentuknya Hukum Nasional yang mengandung unsur-unsur Hukum Adat maka kedudukan dan peranan Hukum Adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.
24 | F A J R I N B O R N E O
Hukum Adat dalam perundang-undangan. Seminar Hukum dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta 1975
25 | F A J R I N B O R N E O
1. Hukum Adat, melalui perundang-undangan, putusan hakim dan ilmu hukum hendaknya dibina ke arah Hukum Nasional secara hati-hati. 2. Hukum Perdata Nasional hendaknya merupakan hukum kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia dan diatur dalam undang-undang yang bersifat luwes yang bersumber pada azas-azas dan jiwa Hukum Adat. 3. Kodifikasi dan Unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, hendaknya dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat nasional. Bidang-bidang hukum yang diatur oleh Hukum Adat atau hukum kebiasaan yang lain, yang masih bercorak lokal ataupun regional, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 serta tidak menghambat pembangunan masih diakui berlakunya untuk kemudian dibina ke arah unifikasi hukum demi persatuan bangsa. 4. Menyarankan untuk segera mengadakan kegiatankegiatan unifikasi hukum serta kekayaan adat yang tidak erat hubungannya dengan kehidupan spirituil dan hukum harta kekayaan barat, dalam perundang-undangan, sehingga terbentuknya hukum harta kekayaan nasional. 5. Menyarankan agar mengikhtiarkan pengarahan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan kepada unifikasi hukum nasional, dilakukan melalui lembaga peradilan. 2. Hendaklah dibuat undang-undang yang mengandung azas-azas pokok hukum perundangundangan yang dapat mengatur politik hukum, termasuk kedudukan hukum adat.
Hukum Adat dalam putusan Hakim (Seminar Hukum dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta 1975)
1. Hendaklah Hukum Adat kekeluargaan dan kewarisan, lebih diperkembangkan ke arah hukum yang bersifat bilateral/parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita. 2. Dalam rangka pembinaan Hukum Perdata Nasional, hendaknya diadakan publikasi jurisprudensi yang teratur dan tersebar luas. 3. Dalam hal terdapat pertentangan antara antara undang-undang dengan Hukum Adat hendaknya hakim memutus berdasarkan undangundang. 4. Demi terbinanya Hukum Perdata Nasional yang yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim yang berorientasi pada pembinaan hukum. 5. Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan setiap masyarakat, karena itu setiap sengketa hukum hendaklah diusahakan didamaikan. Catatan : Masih dipermasalahkan tentang : 1. Peranan Hakim sebagai pendamai. 2. Kedudukan Hakim perdamaian desa.
1. Pendidikan hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang memiliki pengetahuan tentang hukum dan lingkungan sosial, keterampilan teoritis dan praktis dan berkepribadian. Dalam pengajaran hukum, maka sepatutnya diajarkan pula metode dan teknik penelitian hukum sebagai mata kuliah tersendiri, supaya dapat menunjang penelitian hukum lainnya. Pengajaran dan penelitian. (Seminar Hukum dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta 1975)
2. Penelitian-penelitian Hukum Adat seyogyanya memprioritaskan identifikasi dan inventarisasi hukum adat masyarakat-masyarakat setempat, untuk kepentingan pembinaan hukum nasional maupun untuk kepentingan pelaksanaan penegakan hukum dan pendidikan pendidikan umum. Pelaksanaan hal-hal yang dinyatakan tadi dilakukan menurut tahap-tahap sebagai berikut: a. Identifikasi dan infentarisasi daerah-daerah yang Hukum Adatnya pernah diteliti dan belum pernah diteliti. b. Melakukan penelitian terhadap daerah-daerah yang belum pernah diteliti Hukum Adat-nya dan mengadakan penelitian kembali terhadap daerah yang pernah diteliti Hukum Adat-nya. c. Penulisan-penulisan monografis terhadap hasil-hasil penelitian sub b diatas, agar dapat dijadikan pegangan bagi pembentuk hukum, pelaksanaan hukum dan pendidikan hukum (ilmu pengetahuan hukum).
26 | F A J R I N B O R N E O
SEMINAR HUKUM NASIONAL I TAHUN 1963 DI JAKARTA oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), 11-16 Maret 1963
Dinyatakan Presiden, sesungguhnya pembentuk hukum itu adalah rakyat sendiri, sendiri , sedangkan Presiden Sukarno adalah sekedar sebagai penyambung lidah rakyat yang telah menggali asas-asas dan dasar-dasar tata hukum nasional; nasional ; Seminar Hukum Nasinonal yang pertama, dilatarbelakangi oleh situasi Orde Lama.
Pokok-pokok Ajaran Hukum Indonesia Dasar pokok hukum nasional Republik Indonesia ialah Pancasila; Hukum nasional sebagai alat revolusi dengan arti tut wuri handayani serta sebagai ekspresi cita-cita politik rakyat berfungsi pengayoman dalam arti membina, mengatur, melindungi tertib masyarakat sosialis Indonesia dan tertib negara sosialis Indonesia, dimana terjamin keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat; Hukum nasional Indonesia mencerminkan sifat-sifat dari asas gotongroyong, kekeluargaan, toleransi, dan anti imperialisme, anti kolonialisme serta anti feodalisme dalam segala bentuk .
Pokok Pembinaan Hukum Indonesia Hukum Indonesia dibina sesuai dengan tingkat-tingkat revolusi; Pembinaan hukum diarahkan kepada unifikasi hukum dalam segala bidang dengan memperhatikan ciri-ciri khas dan tingkat perkembangan masyarakat sedaerah. Cara Pembinaan dan Pelaksanaan Hukum Nasional Di dalam pembinaan hukum nasional ditentukan prioritas dari masalahmasalah yang harus diatur; Pembinaan dan pelaksanaan hukum nasional Indonesia dilakukan dengan mempergunakan tenaga-tenaga yang mengerti dan meyakini jiwa dan semangat revolusi serta mempunyai kemampuan untuk memberikan sumbangan sebesar-besarnya bagi usaha mewujudkannya; Isi dan cara pemberian pelajaran ilmu pengetahuan hukum disesuaikan dengan jiwa dan semangat revolusi dan dilakukan oleh tenaga-tenaga pengajar yang cakap dan mengerti serta meyakini jiwa dan semangat revolusi dengan berpedoman pada wejangan Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi yang termuat dalam Tujuh bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi) (Tubapi),, Revolusi Sosialisme Pemimpinan (Resopim),, dan Tahun Kemenangan (Takem). (Resopim)
27 | F A J R I N B O R N E O
Bidang Kebudayaan Indonesia dan Realisasinya Dalam Hukum
Penyempurnaan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional, dalam rangka realisasi kebudayaan nasional Indonesia dalam hukum, antara lain menambahkan unsur-unsur tata hukum, sumber dan tujuan hukum sesuai dengan kesimpulankesimpulan yang bersangkutan dalam naskah-naskah prasaran dan pembahasan Penyusunan pedoman-pedoman bagi pelaksanaan pembinaan hukum nasional sebagai kelanjutan realisasi kebudayaan Indonesia dalam hukum . Pembinaan perundang-undangan nasional dalam bidang kebudayaan dalam arti luas: atas dasar pangkal pandangan dan isi yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan bangsa Indonesia dalam rangka yang berpangkal pada kepribadian Indonesia yang merupakan sumber agung yang menjiwai hukum nasional negara hukum Republik Indonesia yang berkebudayaan dalam rangka penyelesaian revolusi; sesuai dengan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Penyempurnaan tata hukum nasional sebagaimana yang telah diajukan oleh LPHN hendaknya dilengkapi dengan penelitian dan pengajian oleh tenaga-tenaga dan instansi-instansi yang berwenang di seluruh wilayah hukum NKRI dengan bimbingan dan pengawasan Mahkamah Agung, sejalan dengan anjuran Yang Mulia Menteri Kehakiman dalam pidatonya di Tretes pada tanggal 9 Desember 1961. Pendidikan mental rohani hendaknyalah dijalankan sedemikian rupa sesuai dengan panggilan budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan cita-cita moral rakyat yang luhur seperti yang tercantum dalam penjelasan resmi Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, sehingga jiwa 45 dapat digelorakan terus-menerus secara teratur demi kelancaran penyelesaian revolusi. Khusus guna membentuk manusia susila berwatak dan berperikemanuaiaan serta berkepribadian Indonesia, jangan hanya hanya intelek intelek tanpa tanpa watak, tanpa rasa rasa susila dan tanpa idealisme, idealisme , sebagaimana ketentuan dalam pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Adapun realisasinya dalam hukum sebagai dasar dan asas tata hukum nasional ialah, bahwa hukum mempunyai sifat paedagogis tutwuri handayani. Dalam rangka pembinaan hukum nasional hendaknya digunakan tata bahasa dan istilah yang tak beku dan tak kaku , melainkan yang memenuhi irama dari rasa pengertian selaras dengan revolusi. Dalam rangka pembinaan hukum nasional, hendaknya LPHN dapat menciptakan syarat-syarat riil bagi perkembangan kebudayaan daerah untuk mewujudkan dan memupuk kebudayaan nasional Indonesia. Hendaknya LPHN menyampaikan pernyataan dukungan kepada Menteri Agama akan adanya Undang-Undang Pokok Agama.
28 | F A J R I N B O R N E O
Bidang Dasar Pokok, Fungsi, Sifat-sifat dan Bentuk Hukum Nasional Dasar pokok hukum nasional ialah Pancasila yang sesuai dengan tafsiran penggalinya. 1. Hukum nasional berfungsi pengayoman , dengan pengertian bahwa di dalamnya terkandung dinamika dan aktivita. 2. Hukum nasional bersifat: Gotong-royong; Kekeluargaan; Toleransi yang berdasarkan perikemanusiaan; anti kolonialisme, anti imperialisme, dan anti feodalisme dalam segala manifestasinya; Pemersatuan guna nation building. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis . Selain hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosial Indonesia. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikas i. Bentuk-bentuk tertulis daripada hukum nasional dan cara pengundangannya supaya diselenggarakan sedemikian rupa hingga sebanyak mungkin terjamin kepastian hukum, perlindungan kepentingan rakyat dan sedikit mungkin birokrasi. Semua peraturan hendaknya dirumuskan secara sederhana dan terang , sehingga dapat dirasakan dan dimengerti oleh rakyat dan hendaknya berurat berakar pada bumi Indonesia sehingga dekat pada rakyat. rakyat . Pencipta dan pelaksana hukum harus memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hukum kolonial merupakan penghambat bagi pembentukan hukum nasional berdasarkan Pancasila, maka karena itu harus dihapuskan.
Bidang Asas-asas Tata Hukum Nasional Dalam Bidang Hukum Waris
Tujuan sosialisme Indonesia sebagai pancaran Pancasila hendaknya selalu menjiwai penyusunan Undang Undang Hukum Waris Nasional, dengan mengindahkan prinsip keseimbangan pembagian antara laki-laki dan perempuan. Kewarisan parental dalam menjalankannya belum tentu harus segera berakibat penarikan garis kekeluargaan parental seluruhnya. Karena itu dalam usaha menuju terlaksananya sistem kekeluargaan parental itu hendaknya kewarisan parental dilaksanakan dengan kebijaksanaan sesuai dengan perkembangan keadaan. Pada prinsipnya dapat diterima prasaran Prof.Dr. Hazairin, SH. mengenai hukum kewarisan yang meliputi hal-hal tersebut di bawah ini hukum kewarisan dalam kesatuan bulat tata hukum nasional; unifikasi dan kodifikasi hukum kewarisan; hukum kewarisan nasional berdasarkan Pancasila ; Hukum Adat yang tidak bertentangan dengan undang-undang kewarisan parental individual dan sosialisme Indonesia boleh berlaku terus; hukum kewarisan tertulis dari zaman kolonial dicabut seluruhnya; peraturan faraid untuk orang Islam diakui sebagai realisasi dalam sistem kewarisan parental individual;; untuk rakyat yang bukan beragama Islam tidak diadakan variasi dalam sistem individual kewarisan parental individual; hukum kewarisan Islam adalah parental individual, receptie theorie exit; hukum exit; hukum kewarisan parental individual untuk rakyat yang bukan beragama Islam, berlandaskan hukum adat yang sesuai dengan Pancasila; janda dan duda sebagai ahli waris waris;; sistem kewarisan parental untuk rakyat Indonesia harus individual ; tanggung jawab ahli waris secara terbatas; waktu berbagi selekas-lekasnya setelah empat puluh hari kematian; Pengluasan tugas Balai Harta Peninggalan :menurut Hukum Islam; menurut Hukum Adat; zakat Baitulmal; kewarisan si tunggal (mati punah sepunah-punahnya); suami/istri saling mewaris dalam monogami dan poligami. 29 | F A J R I N B O R N E O
Bidang Asas-asas Tata Hukum Nasional Dalam Bidang Hukum Perkawinan. Adanya pencatatan resmi dari semua perkawinan. Perkawinan bertujuan untuk membentuk brayat (keluarga) ; prinsipnya perkawinan adalah monogami tanpa menutup pintu poligami yang harus diatur sebaik-baiknya dalam peraturan perundang-undangan; tanggung jawab suami istri dalam brayat adalah seimbang seimbang;; perkawinan harus berdasarkan persetujuan bulat kedua mempelai;; kedua mempelai harus sudah mencapai umur yang minimumnya ditentukan dalam peraturan mempelai perundang-undangan; agar dimungkinkan kepada suami istri, membuat perjanjian tersendiri yang dianggap perlu;; agar dijamin jangan ada perceraian sewenang-wenang; akibat perceraian diatur seadil-adilnya; perlu pelanggaran hukum dalam hal perkawinan dan perceraian harus ditentukan sanksinya, bilamana perlu dengan sanksi pidana; agar Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) diperluas adanya dan diikutsetakan dalam segala kesulitan perkawinan serta diberi kedudukan hukum ; peraturan perkawinan tidak boleh melanggar asas-asas pokok dari suatu agama; Menganjurkan selekas mungkin diadakan Undang-Undang Perkawinan.
Bidang Tata Hukum Asas-asas Nasional Dalam Bidang Hukum Pidana Supaya rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan. Menganjurkan dalam KUHP baru itu bagian umum yang memuat asas-asas umum (fundamental) antara lain asas legalitas hendaknya disusun secara progresif sesuai dengan kepribadian Indonesia dan perkembangan revolusi, setelah mempelajari perkembangan aturan-aturan pidana umum dalam KUHP di lain-lain negara. Bagian umum dari KUHP tersebut, dalam pasal pertamanya memuat dasar dan tujuan hukum pidana Indonesia, yang rumusannya sebagai berikut : Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini ditentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan , yang tabu atau pantang serta ancaman-ancaman pidananya, apabila larangan-larangan itu dilanggar , dengan tujuan agar supaya dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa cita-cita bangsa Indonesia jangan dihambat dan dihalangi oleh perbuatan-perbuatan jahat tadi, sehingga baik negara, masyarakat dan badan-badan maupun warga negara serta penduduk lainnya mendapat pengayoman yang membimbing mereka ke arah masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, makmur, berdasarkan atas Pancasila dan Manipol/USDEK, Manipol/USDEK , sehingga dengan demikian penyelesaian revolusi dapat terjamin. Perbuatan-perbuatan jahat adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa. bangsa . Bagian umum hendaknya dimuat antara lain : Meskipun perbuatan secara formal termasuk rumusan delik, tetapi tidak merupakan bahaya bagi masyarakat, hal mana ditentukan oleh hakim, maka perbuatan itu tidak merupakan delik; pembelaan terpaksa; daya paksa; dasar pertanggungan jawab pidana, yaitu dengan sengaja dan kealpaan; tak mampu bertanggung jawab (non-compos mentis I); delik I); delik percobaan; delik penyertaan; jenis-jenis pidana, dan dasar serta tujuannya; consursus; ne bis in idem; gugurnya kewenangan untuk menuntut dan menjalankan pidana;lingkungan berlakunya undang-undang pidana Indonesia;mengenai bagian khususnya, yang tidak mengadakan lagi penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik (kejahatan dan pelanggaran) , maka disamping adanya delik-delik yang bersifat universal, hendaknya dimasukkan pula jenis-jenis delik seperti disarankan oleh saudara pemrasaran dalam cakupan prasarannya; bagian khusus antara lain memuat : delik-delik terhadap keamanan negara, antara lain : sabotase ekonomi dan perlindungan terhadap rahasia negara militer, dan diplomatik;delik-delik ekonomi, mismanagement, poor management, penyalahgunaan milik negara, kegagalan dalam melaksanakan syarat-syarat persetujuan dengan negara yang khususnya ditujukan terhadap mereka yang memegang pimpinan perusahaan negara; penciptaan delik-delik agama, antara lain blasphemy; peninjauan delik susila, antara lain pelacuran dilihat dari segi-segi: customer, pelacurnya sendiri, rumah atau tempat pelacuran dan exploitant -nya; -nya; perzinahan; unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam KUHP . Penerapan Hukum Pidana Militer terhadap orang-orang yang bukan militer, ditinjau lebih lebih lanjut.
30 | F A J R I N B O R N E O
SEMINAR HUKUM NASIONAL III TAHUN 1974 DI SURABAYA, 11-15 Maret 1974
Seminar Hukum Nasional III, dimaksudkan untuk menetapkan dasar-dasar pemikiran, permasalahan dan mekanisme usaha pembinaan hukum dalam rangka pembangunan nasional. Seminar Hukum Nasional yang ketiga, dilatarbelakangi oleh situasi Orde Baru setelah Pemilihan Umum yang kedua.
Dengan mempertimbangkan : bahwa hukum merupakan salah satu sarana penting bagi pembangunan, yaitu yaitu baik sebagai penjamin kepastian dan ketertiban dalam proses pembangunan, maupun sebagai alat untuk mengadakan perubahan-perubahan ke arah kemajuan untuk membina masyarakat yang dicita-citakan; karenanya pembinaan hukum dalam arti yang seluas-luasnya merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan; bahwa pembinaan dan pembaharuan hukum bukanlah merupakan beban pemerintah semata-mata, melainkan kewajiban seluruh masyarakat khususnya para ahli dan sarjana hukum. Pendidikan Hukum 1. Agar lembaga pendidikan hukum secara langsung bekerjasama dengan Departemen Kehakiman cq. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan departemen-departemen, instansi-instansi lainnya untuk melaksanakan tugas-tugas penelitian dan perumusan- perumusan ―naskah ilmiah‖ dari rancangan peraturan umum yang diperlukan dalam pembangunan, atas saran-saran dan polapola (kerja) yang disarankan oleh Subkonsorsium Ilmu Hukum. 2. Agar lembaga-lembaga pendidikan hukum membuka pintu kerjasama seluas-luasnya dengan setiap instansi pembentuk, pelaksana maupun penegak hukum di pusat dan daerah agar dapat dihindari kesalahpahaman dalam penafsiran dan dapat dicapai kesatuan bahasa, dalam pembinaan, dan pembaharuan hukum nasional. 3. Agar lembaga-lembaga pendidikan hukum dalam membentuk dan membina tenaga ahli/sarjana hukum untuk pembangunan (hukum) dimungkinkan untuk mensinkronisasikannya dengan melalui penataran dalam lingkungan Departemen Kehakiman khususnya dan departemen serta instansi lain pada umumnya. 4. Agar dalam meningkatkan keterampilan dan kepribadian tenaga sarjana/ahli dan mahasiswa yang dilakukan dengan sistem pendidikan klinis (clinical legal education), lembaga pendidikan hukum perlu bekerja sama dengan kalangan profesi (konsumen tenaga hukum pada umumnya). 5. Agar setiap lembaga pendidikan hukum yang menyediakan diri untuk menjadi lembaga dokumentasi hukum dalam arti seluas-luasnya dengan menekan pada fungsi informatif daripada lembaga tersebut. 6. Agar lembaga pendidikan hukum dalam usaha kerja sama luar negeri menitikberatkan pada halhal yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan kemungkinan pembaharuan dan pembinaan hukum nasional. 7. Agar kepada seorang yang yang mengadakan penelitian hukum untuk pembuatan disertasi diberikan fasilitas seperlunya. 8. Bahwa dalam melakukan pembinaan persoalan (baik panitera maupun hakim) perlu diadakan usaha-usaha sebagai berikut: a. melakukan pendidikan intern selama menjadi calon hakim (atau panitera); b. diadakannya kursus penyegaran (refreshing course) bagi hakim; c. diadakan up-grading up-grading yang yang dikaitkan pada suatu sistem promosi.
31 | F A J R I N B O R N E O
Perundang-undangan
A.
B.
C.
D.
1. Dasar Pembinaan Hukum Nasional adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1954 dan GarisGaris Besar Haluan Negara. 2. Pembinaan Hukum Nasional meliputi seluruh hukum positif Indonesia, baik hukum sipil maupun hukum militer, militer, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Penemuan dan pembentukan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah tugas badan-badan legislatif, eksekutif, dan peradilan dalam bentuk perundang-undangan, keputusan-keputusan, dan dalam putusan-putusan hakim. 1. Perundang-undangan terutama dalam masyarakat dinamis dan yang sedang berkembang, merupakan sarana untuk merealisasi kebijaksanaan-kebijaksanaan negara dalam bidangbidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan/keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dan pentahapan pembangunan nasional. 2. Dalam era pembangunan yang sedang dialami bangsa Indonesia sekarang ini pembentuk undang-undang disamping harus cukup mampu untuk meletakkan landasan hukum yang kokoh untuk usaha-usaha pembangunan, juga harus dapat memberikan jaminan hukum untuk terlaksananya tahap-tahap pembangunan secara tertib serta teratur dengan mengurangi penyimpangan-penyimpangan serta penyalahgunaan sejauh mungkin. 3. Dalam rangka tugas-tugas : inventarisasi peraturan-peraturan hukum positif, seleksi, dan sistematika peraturan-peraturan hukum, menyiapkan konsep-konsep Rancangan UndangUndang, mensistematisasi, dan membentuk kelancaran mekanisme perundang-undangan, maka kegiatan LPHN perlu ditingkatkan. ditingkatkan . Dalam penyelenggaraan tugas-tugas tersebut supaya bekerja sama dengan departemen-departemen atau lembaga-lembaga negara yang bersangkutan, dengan universitas-universitas dalam hal ini fakultas-fakultas hukum, dan dengan organisasi-organisasi profesi hukum. Untuk dapat lebih meningkatkan segi yuridis daripada perundang-undangan, sebaiknya pembuatan konsep RUUdikoordinasikan oleh Menteri Kehakiman . Berhubung masih ada perundang-undangan yang memuat materi dan ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan, maka perlu diadakan penelitian-penelitian dan penyempurnaanpenyempurnaan. Berhubung banyak peraturan perundangan yang berasal dari zaman sebelum Republik Indonesia masih diperlukan, maka untuk memudahkan pelaksanaan dan pembaharuanpembaharuannya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan dilakukan kesejajaran (nivellering ( nivellering ) terhadapnya. 1. Untuk lebih dapat mencapai keseragaman dalam rumusan serta bentuk peraturan perundangan, perlu dikeluarkan petunjuk-petunjuk lebih lanjut mengenai mekanisme dan teknik perundangundangan.. undangan Karena undang-undang harus dapat mencakup jangka waktu yang cukup panjang dan berlaku untuk masyarakat umum, maka peraturan materinya harus padat dan perumusannya harus jelas, dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan mudah dimengerti umum. 1. Kebijaksanaan perundang-undangan dan kesadaran hukum masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mengisi dan saling menyempurnakan, sehingga kedua-duanya secara serentak perlu dibina dalam rangka pembangunan hukum nasional . Perlu ditetapkan pedoman dan pengarahan guna penyuluhan rakyat dalam rangka peningkatan kesadaran hukum dalam masyarakat. Untuk pembinaan hukum administrasi negara perlu dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengenai peradilan tata-usaha negara.
32 | F A J R I N B O R N E O
Dokumentasi Hukum
Perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional untuk menyusun sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum dan agar dapat secepatnya berfungsi. Dalam tahap permulaan perlu dilakukan usaha-usaha sebagai berikut: Untuk mempermudah pencarian dan penemuan kembali peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, serta bahan-bahan hukum penting lainnya, agar dilakukan: perbaikan cara pengundangan dan penerbitan peraturan perundangundangan melalui Lembaran Negara dan Lembaran Daerah; perbaikan serta penyeragaman cara penerbitan peraturan-peraturan departemen; penerbitan secara berkala dan konsolidasi dari peraturan perundangundangan tertentu; penerbitan katalog bulanan dan tahunan yang berisi daftar peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah; penerbitan secara teratur dan tetap yuriprudensi dalam jangka waktu tertentu dari yurisdiksi tertentu dengan bantuan fakultas-fakultas hukum; penerbitan secara teratur dan tetap bahan-bahan hukum penting lainnya , dengan disertai katalog bulanan yang berisi daftar bahan-bahan menurut sumber penerbitan. Untuk dapat mulai secepatnya mendayagunakan semua informasi hukum yang telah ada, perlulah: segera disusun, dibina, dan dikembangkan sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum; segera ditentukan suatu Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informaasi Hukum untuk mengkoordinasikan dan membina kebijaksanaan nasional dalam pengelolaan informasi hukum melalui unit-unit perpustakaan fakultas-fakultas hukum; segera ditentukan beberapa perpustakaan fakultas hukum sebagai unitunit yang bertanggung jawab dalam pengumpulan, penyimpangan, pengolahan, dan penyebaran informasi hukum dalam rangka jaringan di atas; segera ditentukan bahwa sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum ini dibina, dikembangkan oleh serta diberi alokasi biaya dari Departemen Kehakiman dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dalam tahun 1974 diselenggarakan suatu lokakarya yang akan mempersiapkan sarana yang dibutuhkan agar sistem jaringannya tersebut di atas telah mulai berfungsi dalam Pelita II.
33 | F A J R I N B O R N E O
Peranan peradilan
Perlu diadakannya inventarisasi dan dokumentasi hukum yang meluputi : Yursprudensi, yaitu putusan-putusan pengadilan dalam tingkat pertama sampai dengan Mahkamah Agung (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung) yang sudah mempunyai kekuatan pasti/tetap, dan dilakukan dengan bantuan fakultas-fakultas hukum setempat; Tulisan-tulisan, komentar-komentar serta karangan-karangan para ahli/sarjana hukum mengenai segala masalah yang menyangkut bidang hukum. Mengadakan publikasi yang teratur dan pembentukan perpustakaan-perpustakaan yang up to date. Personalia a. Bagi para calon hakim perlu diadakan seleksi mengenai : kemampuan teknis hukumnya; kepribadian dan moral. Dalam segi pengalaman harus melalui praktek sebagai pembantu Jaksa, pembantu Advokat, dan sebagai Panitera. b. Untuk mendapatkan suatu pengertian dalam melaksanakan profesinya masing-masing perlu diadakan penataran bersama antara Hakim, Jaksa, Polisi, dan Advokat. Penyempurnaan diferensiasi pengadilan yang terdiri dari bagian waris hubungan kekeluargaan, perdagangan, dan lain-lain. Lain-lain Perlu adanya keseragaman istilah/bahasa hukum sehingga satu istilah mempunyai satu pengertian; karena itu perlu ditunjuk satu badan khusus yang menyusun dan mengembangkan istilah bahasa hukum tersebut. Peradilan-peradilan semua (quasi rechtspraak) seperti Panitia Perumahan, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Panitia Urusan Piutang Negara, dan sebagainya agar dihapuskan dan tugasnya dilimpahkan kepada peradilan umum. Agar jangan dibentuk (di- kiir ) peradilan diluar lembaga-lembaga peradilan seperti yang sudah diatur dalam Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No.14 Tahun 1979). Perlu segera direalisasikan peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Kehakiman. Untuk kepastian hukum agar segera dibentuk Hukum Acara (Pidana/Perdata) yang bersifat nasional. Agar hakim dan penegak hukum lainnya mempergunakan yurisprudensi sebagai sumber hukum disamping sumber hukum lainnya. Setiap orang yang profesinya di bidang hukum, terutama yang yang bertugas di lingkungan peradilan agar selalu mawas diri, dan melaksanakan profesinya secara jujur untuk untuk mengabdi mengabdi kepada kepada hukum dan cita-cita cita-cita keadilan. keadilan. Perlu dipertimbangkan adanya suatu undang-undang yang mengatur secara tuntas mengenai kedudukan, hak/wewenang dan kewajiban Hakim, Jaksa, Polisi, dan Advokat di dalam proses peradilan demi kepastian hukum dan kelancaran pelaksanaan tugasnya masing-masing. 34 | F A J R I N B O R N E O
Penelitian Hukum Bidang organisasi Dewasa ini dikonstatir bahwa penelitian hukum, dilakukan oleh lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Penyelenggaraan penelitian hukum yang tersebar diantara badan-badan ini menimbulkan persoalan tentang efisiensi dan efektivitas penelitian hukum itu sendiri, seperti duplikasi, pemborosan tenaga dan dana, hal mana tidak dapat dibiarkan pada masa pembangunan nasional. Agar penelitian dalam pembinaan dan pembaharuan hukum nasional dapat efisien dan efektif perlu diadakan penyempurnaan peraturan lingkungan kerja badan-badan tersebut dalam bidang penelitian hukum. Selanjutnya untuk memungkinkan pemanfaatan secara maksimal potensi penelitian hukum bagi kepentingan pembinaan dan pembaharuan hukum nasional, maka perlu diciptakan suatu pola nasional dalam bidang penelitian hukum yang berkaitan dengan tujuan pembangunan nasional dalam keseluruhan. Bahwa dalam rangka penciptaan pola umum nasional di bidang penelitian hukum yang berhubungan dengan pembinaan dan pembaharuan hukum perlu dengan segera ditegaskan fungsi serta kedudukan baru bagi Lembaga Pembinaan Hukum Nasional. Bidang Materi/Objek Mengenai materi atau objek penelitian dalam kerangka program penelitian hukum nasional, perlu ditentukan suatu rancangan pembinaan dan pembaharuan hukum nasional yang menyeluruh. Namun demikian, mendahului adanya rancangan tersebut perlu didahulukan : inventarisasi hukum positif;penelitian tentang kesadaran hukum rakyat yang sedang dalam masa transisi; penelitian tentang kemampuan dan kewibawaan para penegak hukum. Bidang Sarana Penyelenggaraan penelitian bidang hukum secara baik membutuhkan adanya sarana yang cukup . Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa keadaan sarana untuk untuk penelitian di bidang hukum dewasa ini masih kurang, hal mana terlihat diantaranya dalam :tenaga peneliti;perpustakaan;dokumentasi;pembiayaan. Khusus mengenai tenaga peneliti, perlu mendapat perhatian masalah kaderisasi dan pembinaannya.Dalam hal ini perlu diciptakan pula suasana yang dapat menimbulkan gairah karya dalam bidang penelitian. Bidang Publikasi Untuk dapat memanfaatkan hasil penelitian dan demikian pula untuk dapat mengevaluasi serta menggerakkan komunikasi ilmiah, maka hendaklah setiap hasil penelitian dituangkan dalam suatu laporan menurut pola yang telah lazim dalam ilmu pengetahuan, untuk dipublikasi. Lain-lain Berkenaan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak asing di bidang hukum, perlu ditentukan pedoman-pedoman sebagai berikut : Sasaran penelitian diarahkan kepada kepentingan pembinaan dan pembaharuan hukum nasional di Indonesia; Penelitian dilakukan dengan mengikutsertakan tenaga peneliti Indonesia; Laporan hasil penelitian agar disampaikan kepada instansi yang berwajib di bidang penelitian hukum untuk dipublikasikan di Indonesia. 35 | F A J R I N B O R N E O
Peranan Profesi Hukum
1.Tugas membina & memperbaharui hk nasional adalah tugas bersama, terutama tugas para ahli/sarjana hukum. 2. Organisasi-organisasi profesi hukum dapat memberikan sumbangan besar dalam pembinaan hukum nasional melalui perundang-undangan baru, yurisprudensi-yurisprudensi, uraian-uraian, tulisan-tulisan atau karangankarangan di bidang hukum sesuai dengan apa yang digariskan dalam Repelita II mengenai bidang hukum. 3. Semua profesi hukum melalui organisasinya masing-masing agar memberikan bahan-bahan pada LPHN sebagai sumbangan yang konkrit dalam pembinaan dan pembaharuan hukum nasional. 4. Perlu adanya pengaturan advokat dan notaris yang memuat juga a.l pengawasan oleh instansi tertentu terhadap pelaksanaan tugas advokat dan notaris di luar bidang peradilan, izin praktek bagi advokat dan keharusan advokat diambil sumpahnya. 5. Diusulkan agar RUU ttg advokat dan Lembaga Bantuan Hukum yang pernah dibahas dalam Kongres Peradilan tahun 1973 segera dibahas dan diajukan oleh pemerintah kepada DPR.
36 | F A J R I N B O R N E O
Pembaharuan Hukum dan Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat
Kesimpulan-kesimpulan Pembinaan hukum nasional harus memperhatikan Hukum Adat yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the ( the living law). law) . Untuk itu pendekatan yang tepat adalah pendekatan sosiologis yang dapat dijadikan alat untuk mengadakan analisa sosial. Atas dasar analisa sosial tersebut diadakan proyeksi sosial. Oleh karena itu, maka penelitian hukum juga harus menggunakan pendekatan yang tidak hanya bersifat ilmu hukum, melainkan juga menggunakan pendekatan interdisipliner yang menggunakan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai penunjang. Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-undangan dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas. Dalam rangka memperhatikan skala prioritas yang demikian, maka bidangbidang hukum yang sifatnya universal dan netral, yaitu bidang-bidang hukum yang berhubungan dengan kepentingan publik dan sosial dan bidang-bidang hukum yang langsung menunjang pembangunan kemajuan ekonomi dan pembangunan, perlu diprioritaskan dalam pembentukannya. Sedangkan bidangbidang hukum yang erat hubungannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual dan kehidupan budaya bangsa memerlukan penggarapan yang seksama dan tidak tergesa-gesa . Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum nasional khususnya dan pembangunan nasional umumnya, dengan mengingat kebutuhan yang mendesak, maka usaha kearah kodifikasi dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu secara bertahap, baik dengan undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Pengambilan/pengoperan hukum asing yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional kita. Perlu digiatkan penelitian, terutama di bidang Hukum Adat di seluruh daerah, untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan nyata tentang Hukum Adat yang benar-benar hidup di seluruh tanah air. Sebab, kenyataan yang hidup di daerah itulah yang patut di abstraksikan dalam norma-norma hukum umum yang dapat diterima oleh seluruh rakyat. Penelitian secara menyeluruh mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (the (the living law) yang meliputi daerah-daerah di seluruh Indonesia itu dapat dipergunakan untuk mengadakan pemecahan persoalan ( problem solving), dengan jalan : penemuan hukum (rechtvinding); ( rechtvinding); pembentukan hukum (rechtvorming); ( rechtvorming); pengembangan hukum (rechtsuitbouw). ( rechtsuitbouw). Akselerasi pembinaan hukum nasional hendaknya dibarengi dengan usaha peningkatan taraf penghidupan masyarakat yang relevan untuk berkonvergensi dengan bangsa lain. Keterbelakangan dan pluriformitas tata kehidupan masyarakat yang pada pokoknya disebabkan oleh kekuranglancaran komunikasi perlu diatasi dengan ekstensifikasi pendidikan, baik formal maupun nonformal dan penyuluhan hukum ( legal information) secara horisontal, simultan dengan pembangunan prasarana dan sarana komunikasi. Saran-saran Pembinaan hukum nasional hendaknya melalui : perundang-undangan; yurisprudensi; penetapan-penetapan lembaga eksekutif; pendidikan hukum. Setiap peraturan yang diadakan, hendaknya didukung oleh penelitian. Penelitian demikian hendaknya dilakukan tidak hanya melalui ‖pure research‖ tetapi juga melalui penelitian yang bersifat ―mission o riented research‖ (dalam rangka pembinaan hukum nasional) yang dilakukan, baik oleh fakultas -fakultas hukum maupun lembaga non fakultas. Pelaksanaan penelitian yang termaktub dalam kesimpulan nomor 6 tersebut di atas agar segera mulai direalisasikan. Perlunya usaha penyusunan kompendium nasional yang meliputi semua bidang hukum dalam rangka pembinaan dan dokumentasi hukum. Usaha-usaha pembinaan hukum seperti tersebut diatas tidak akan dapat tercapai tanpa adanya biaya yang memadai. 37 | F A J R I N B O R N E O
SEMINAR HUKUM NASIONAL IV TAHUN 1979 DI JAKARTA, diadakan 26-30 Maret 1979; Dilatarbelakangi oleh situasi Orde baru setelah Pemilihan Umum yang ketiga; oleh ketiga; oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Setelah mempertimbangkan bahwa : Dalam rangka peningkatan usaha pembinaan hukum nasional perlu diadakan penilaian terhadap hasil-hasil kegiatan pembinaan hukum nasional selama Pelita II untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi usaha memantapkan kerangka pembangunan hukum dalam masa Pelita III sesuai dengan arah kebijaksanaan dan tujuan yang digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV Tahun 1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara; Disamping itu berbagai masalah pokok dalam pembinaan hukum nasional perlu mendapat pembahasan secara luas baik yang menyangkut batang tubuh hukum nasional itu sendiri maupun menyangkut unsur-unsur hakiki dari paham negara hukum yang sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tinjauan umum Pembinaan Hukum Nasional
Umum Dalam melaksanakan tugas pembentukan hukum ( law making) BPHN hendaknya memperhatikan skala prioritas dengan mengutamakan bidang-bidang hukum yang bersifat netral sesuai dengan ketentuan GBHN, Repelita serta kedelapan jalur pemerataan yang digariskan oleh pemerintah. Dengan adanya Program Legislatif Nasional yang mencakup kegiatan perencanaan bidang-bidang hukum yang diprioritaskan dalam Repelita III sebagaimana yang telah disepakati bersama/dikukuhkan oleh departemen-departemen dan lembaga-lembaga nondepartemen yang bersangkutan, diharapkan agar ketentuan/mekanisme perundang-undangan yang digariskan dalam Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 lebih ditingkatkan oleh departemen-departemen/lembagalembaga non departemen serta Sekretariat Kabinet. Seacara umum kegiatan BPHN dalam Perencanaan Hukum dan Kodifikasi Penelitian dan Pengembangan Hukum serta Dokumentasi dan Publikasi Hukum dinilai positif, maka kegiatan tersebut hendaknya ditingkatkan dan dikembangkan. Sepanjang mengenai kegiatan pembinaan hukum hukum nasional diluar tugas Badan Pembinaan Hukum Nasional, namun ada kaitannya dengan tugas tersebut, disarankan : Dalam rangka penegakan hukum ( law onforcement) agar lembaga-lembaga penegak hukum lebih meningkatkan fungsinya sebagaimana telah ditetapkan dalam GBHN dan Repelita sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, antara lain : penanggulangan perkara yang masih lambat; penahanan, penyitaan, dan penggeledahan belumdilaksanakan belumdilaks anakan sesuai dengan peraturan yang berlaku; mekanisme administrasi peradilan yang belum tertib yang menyangkut hubungan fungsional kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan; dan lain-lain; Dalam menerapkan hukum positif, para penegak hukum wajib mendasarkan pelaksanaannya pada penghayatan dan pengamalan Pancasila. 38 | F A J R I N B O R N E O
Tinjauan umum Pembinaan Hukum Nasional
Khusus Evaluasi pelaksanaan kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam bidang : Pusat Perencanaan Hukum dan Kodifikasi Sejumlah hasil rencana kodifikasi dan naskah akademik yang telah dihasilkan sejak tahun 1974 mengenai bidang-bidang hukum yang diprioritaskan Program Legislatif Nasional, hendaknya benar-benar diproses menjadi undang-undang dalam waktu yang singkat. Kegiatan perancangan naskah akademik yang akan datang hendaknya memperhatikan bidang hukum yang yang diprioritaskan dalam Program Legislatif Nasional, dengan memperhatikan delapan jalur pemerataan yang digariskan oleh pemerintah dan hasil tersebut hendaknya dimanfaatkan oleh departemen yang bersangkutan. Penyusunan naskah akademik hendaknya didasarkan pada penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kegiatan penyusunan naskah akademik dan pengajian hasil naskah akademik hendaknya dimanfaatkan seluas-luasnya tenaga-tenaga ahli baik dari kalangan teoritisi maupun praktisi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Sejumlah kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan Badan Pembinaan Hukum Nasional bertalian dengan bidang-bidang hukum dalam lapangan Program Legislatif Nasional hendaknya dimanfaatkan dalam bidang-bidang hukum yang bersangkutan. Kegiatan Penelitian hukum hendaknya lebih ditingkatkan untuk menunjang kegiatan pembinaan hukum nasional. Pusat Dokumentasi Hukum Kegiatan di bidang publikasi dan dokumentasi hendaknya lebih ditingkatkan. Kegiatan dalam bidang bibliografi dan katalogisasi perlu ditingkatkan dan dikembangkan meliputi peraturan daerah dan peraturan departemen. Penterjemahan buku-buku bahasa Belanda dan bahasa asing lainnya di bidang hukum dipergunakan untuk menunjang kegiatan penelitian dan pendidikan hukum. Peraturan perundang-undangan dalam bahasa Belanda yang dianggap perlu hendaknya segera diterbitkan terjemahan resminya. Pembentukan perpustakaan hukum nasional dan penyelenggaraan sistem jaringan informasi hukum hendaknya dilaksanakan.
Lain-lain a. Disarankan agar Badan Pembinaan Hukum Nasional mengangkat penasehatpenasehat ahli bidang-bidang hukum tertentu. b. Pembinaan tenaga dibidang penelitian, penelitian, perencanaan hukum dan kodifikasi serta dokumentasi hukum/perpustakaan hendaknya lebih ditingkatkan. c. Disarankan hasil penelitian dan naskah akademik dipublikasikan secara selektif untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. 39 | F A J R I N B O R N E O
Sistem Hukum Nasional
I. Pencerminan Nilai-nilai Pancasila Dalam Perundang-undangan a. Pancasila yang mengandung m engandung nilai-nilai kejiwaan k ejiwaan bangsa Indonesia merupakan dasar tertib hukum Indonesia, pedoman dan penunjuk arah perkembangannya dengan sistem yang terbuka dan adalah batu ujian mengenai kepatutan dan perundang-undangan. b. Dalam menyusun undang-undang, pembentuk undang-undang perlu dengan tepat menunjukan nilai-nilai Pancasila, yang mendasari ketentuan undang-undang itu. Dengan demikian peraturan –peraturan hukum merupakan pelaksanaan undang-undang itu tidak tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan bertentangan dengan Pancasila. c. Pencerminan nilai-nilai Pancasila di dalam perundang-undangan merupakan hakekat pembentukan pembentukan sistem hukum nasional. II. Mengenai Sistem Hukum Nasional Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia. Landasan Hukum Nasional ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Asas-asas umum dari hukum nasional adalah asas-asas yang tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978), yaitu : Asas Manfaat; Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan; Asas Demokrasi; Asas Adil dan Merata; Asas Perikehidupan Dalam Keseimbangan; Asas Kesadaran Hukum; Asas Kepercayaan Pada Diri Sendiri; Fungsi Hukum Nasional ialah pengayoman. Dalam rangka menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk memperlancar pembangunan nasional, hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Di samping itu hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional. Untuk memelihara persatuan dan kesatuan, hukum nasional dibina ke arah unifikasi dengan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, khususnya dalam bidang-bidang yang erat hubungannya dengan kehidupan spiritual. Untuk membulatkan sistem hukum nasional yang dicita-citakan diperlukan persiapan dan pembahasan yang lebih mendalam. Mengenai berbagai subsistem dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mem-perhatikan hal-hal berikut : Hukum Pidana Sistem pidana harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Hukum acara Pidana Dalam pembuatan Undang-undang Hukum Acara Pidana didasarkan pada asas perikemanusiaan yang adil dan beradab. Hukum Acara Perdata Untuk lebih menjamin penyelesaian perkara secara cepat, sederhana dan biaya ringan, disarankan antara lain pengaturan tentang : Lembaga Prorogasi (loncat tingkatan); Undang-undang Arbitrase. Lembaga Peradilan Untuk melancarkan penyelesaian perkara dalam lingkungan peradilan tingkat pertama disarankan diadakan pengadilan spesialisasi/kamar untuk perkara-perkara khusus. Lembaga-lembaga Adat yang dibeberapa daerah masih berfungsi untuk mendamaikan sengketa hendaknya dimanfaatkan. Hukum Perdata Penyelenggaraan unifikasi di bidang hukum perdata perlu memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. III. Inventarisasi Masalah Untuk memberikan pedoman dalam menentukan sistem hukum nasional, Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) perlu segera diganti. Dalam Pembinaan Hukum Nasional untuk lapangan-lapangan tertentu dimungkinkan kodifikasi, namun hendaknya diperhatikan agar kodifikasi itu tidak menghambat dinamika masyarakat. Sifat terbuka dari sistem hukum nasional memungkinkan pemantapan sub-subsistem hukum baru sejalan dengan pembangunan. Ada pendapat yang mempermasalahkan apakah ada relevansi pembedaan antara Hukum Publik dan Hukum Privat untuk sistem hukum nasional.
40 | F A J R I N B O R N E O
HakHa k-ha hak k Asa Asasi si War War a Ne Ne ar ara a / Man Manus usia ia I. Masalah Hak-hak Asasi Warga Negara / Manusia
Dicapai konsensus, bahwa Hak Asasi Warga Negara/Manusia diakui dan telah cukup dijamin dalam Hukum Tata Negara menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dilengkapi penjabarannya dalam perundang-undangan pelaksanaannya. Sementara perundangundangan pelaksanaan tersebut belum lengkap, semua pihak wajib menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi warga negara/manusia. Karena Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan-ketetapan Majelis Per-musyawaratan Rakyat dan perundang-undangan lainnya cukup menjamin hak-hak asasi warga negara/manusia, maka Universal Declaration of Human Rigths tidak perlu dijadikan lampiran dari Undang-Undang Dasar 1945. Hak-hak Asasi Warga Negara/Manusia hanya dapat dibatasi untuk kepentingan umum, keharusan menghormati orang lain, perlindungan/kepentingan keselamatan bangsa, moral umum, dan ketahanan nasional berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang. Negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum dalam arti yang luas, yang menjamin hak-hak dan kewajiban asasi warga negara/manusia, memajukan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, diperlukan pelaksanaan hukum dan perundang-undangan untuk menegakkan hukum dan keadilan, melindungi harkat serta martabat manusia. Dalam rangka ini, perlu segera diundangkan Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk menggantikan Hukum Acara yang lama, yang lebih menjamin hak-hak asasi dan kepastian hukum, dan yang antara lain memuat : asas praduga tak bersalah, asas kebebasan berkomunikasi, asas hak untuk menunjuk sendiri pembela. Pada umumnya dianggap bahwa hak uji material terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung dan adanya Mahkamah Konstitusi atau badan lain yang dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, adalah tidak sesuai dengan sarana pengawasan perundang-undangan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ada pula pendapat yang menyatakan supaya hak uji material yang ada pada Mahkamah Agung lebih disempurnakan. II. Masalah Peradilan Tata Usaha Negara Dalam hal urusan tata usaha negara, diperlukan pengaturan yang lebih tegas tentang tanggung jawab aparatur aparatur negara negara dalam dalam bidang dan dan batas-batas batas-batas kewenangan kewenangan masing-masin masing-masing. g. Untuk dapat lebih menjamin terlaksananya negara hukum serta negara kesejahteraan Indonesia dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban asasi warga negara/manusia, perlu segera diundangkan undang-undang tentang Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini ada dua pendapat yang intisari perbedaannya adalah sebagai berikut : Pendapat pertama : sebagai dasar daripada peradilan tata usaha negara adalah Ketetapan Pejabat Pemerintah yang menimbulkan perkara; ruang lingkup dari peradilan tata usaha negara hanya terbatas pada perselisihan hukum (rechtvragen) saja; dikenal adanya peradilan tata usaha negara yang murni dan yang semu; perselisihan antara instansi pemerintah termasuk yurisdikasi peradilan tata usaha negara. Pendapat kedua : yang dijadikan sebagai dasar peradilan tata usaha negara adalah setiap tindakan pejabat/aparatur negara yang menimbulkan kerugian pada pihak rakyat dalam bidang tata usaha negara; ruang lingkup dari peradilan tata usaha negara mencakup baik rechtsvragen maupun doelmatigheidsvragen ;; tidak mengenal peradilan tata usaha negara yang semu; doelmatigheidsvragen perselisihan antara instansi pemerintah tidak termasuk yurisdiksi peradilan tata usaha negara, karena termasuk kompetensi instansi atasan yang bersangkutan. Perbedaan pendapat tersebut di atas mengakibatkan perbedaan juga pada bidang organisasi prosedur kerjanya. 41 | F A J R I N B O R N E O
Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum
Pedahuluan Di dalam GBHN telah ditetapkan bahwa salah satu wawasan pembangunan nasional adalah kesatuan hukum yang didasarkan pada kesadaran hukum masyarakat. Adanya kesatuan hukum seyogyanya dicerminkan oleh adanya penegakan hukum yang mantap, yang didukung oleh penegak hukum yang berwibawa dan masyarakat yang menyakini kewibawaan tersebut. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk menelaah secara mendalam fakta, masalah-masalah dan cara-cara untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penegakan hukum dan kesadaran hukum. Permasalahan Pokok Sebagai permasalahan pokok dalam soal penegakan hukum dan kesadaran hukum dapat dikemukakan kurangnya kaitan yang serasi antara peraturan perundang-undangan, perilaku penegak hukum, fasilitas penegak hukum dan harapan masyarakat. Dalam hubungan ini ada empat faktor utama yang harus diperhatikan. Perundang-undangan Perundang-undangan yang dewasa ini mengatur proses penegakan hukum kurang lengkap, kurang jelas, kurang sinkron, kurang serasi, dan kurang memadai. Misalnya : HIR jo. Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kepolisian Negara RI; Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman RI. Sehingga dapat memberi peluang bagi pelaksanaan yang berbeda-beda menurut masing-masing pelaksana, dan juga tidak memberikan jaminan bagi kesatuan kontinuitas dalam tugas justisi. Perilaku Penegak Hukum Terdapat petunjuk bahwa sebagian penegak hukum tidak/kurang memahami dan menyadari fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya, sehingga mengakibatkan menurunnya wibawa penegak hukum di mata masyarakat. Fasilitas Terbatasnya tenaga penegak hukum baik kuantitas maupun kualitas. Terbatasnya sarana prasarana baik kuantitas maupun kualitas serta kurangnya dana bagi lembaga. Kesejahteraan yang kurang memadai bagi penegak hukum. Hal-hal tersebut di atas mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Masyarakat Terlihat gejala-gejala adanya kegelisahan dan keresahan pada sebagian anggota masyarakat disebabkan antara lain oleh:
yang
kurang adanya jaminan perlindungan hukum; kurang adanya perlakuan yang sama di dalam hukum; penyelesaian perkara yang kurang cepat, tepat dan murah. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang kurang sehat, kurangnya penyuluhan hukum dan kurangnya itikat dari sebagian masyarakat untuk mematuhi hukum. Hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan masyarakat mencari pemyelesaian masalahnya di luar saranasarana hukum yang tersedia ataupun menyalahgunakan sarana-sarana hukum tersebut .
42 | F A J R I N B O R N E O
Cara Mengatasi masalah
a. Perundang-undangan Dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan disarankan agar lebih diperhatikan rasa keadilan masyarakat dan kepentingan nasional sehingga mendorong kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhinya. Pembentukan hukum cara baru yang berisi prinsip-prinsip antara lain : keserasian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara unsur penegak hukum agar terjamin kontinuitas dalam pelaksanaan tugas yudisial; yang menghormati harkat dan martabat warga masyarakat serta menjamin hak-hak dan kepentingannya. b. Perilaku Meningkatkan pembinaan integritas, kemampuan/ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari pelaksanaan penegak hukum. Dalam melaksanakan tugasnya penegak hukum benar-benar melaksanakan asas persamaan hak di dalam hukum bagi setiap anggota masyarakat. c. Fasilitas Mencukupi kebutuhan personal, sarana, dan prasarana serta dan untuk pelaksanaan penegakan hukum. Meningkatkan kesejahteraan. d. Cara Mengatasi Masalah Dalam Masyarakat 1. Menyediakan bantuan hukum bagi si miskin dan buta hukum. 2. Melaksanakan asas proses yang tepat, cepat, dann biaya ringan di semua tingkat peradilan. 3. Memberikan pendidikan dan penyuluhan hukum baik formal maupun informal secara berkesinambungan. IV. Inventarisasi Pendapat Mengenai pengertian penegakan hukum ada pendapat-pendapat sebagai berikut : Penegakan hukum adalah keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggaraan/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing dengan fungsinya secara adil dan merata, dengan aturan hukum dan peraturan hukum dan perundang-undangan yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
43 | F A J R I N B O R N E O
Peranan Hukum Dalam Pembangunan
Dikonstatir bahwa, Fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan adalah sebagai berikut : pengatur, penertib, dan pengaman kehidupan masyarakat; penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial ekomoni lemah; penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan; pengaruh masyarakat pada nilai-nilai yang mendukng usaha pembangunan; faktor menjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat; faktor integrasi antara berbagai subsistem budaya bangsa. Sesuai dengan fungsi tugas peranan hukum termaksud maka sarjana hukum dalam pembangunan dapat berperan sebagai : pelaksana dan penegak hukum; penegak keadilan; penyelesaian persoalan ( problem solvers ); ); penyuluh hukum; peneliti hukum; perancang hukum ( law drafters ); ); perencana hukum (legal planners);; planners) Hukum belum berpartisipasi dalam pembangunan sebagaimana mestinya. Di samping hukum harus menunjang pembangunan, hukum itu sendiri maih harus dibangun dan dibina pula sebagai unsur ketahanan nasional dan bagian integral dari pembangunan nasional.
44 | F A J R I N B O R N E O
Kesimpulan dan saran-saran
Sebagai konsekuensi dari multifungsi hukum dalam pembangunan, pem bangunan, maka hukum nasional Indonesia harus merupakan hukum pembangunan (development law), yang dalam Repelita III perlu berpartisipasi dalam hal menyelesaikan berbagai masalah pembangunan yang menyangkut delapan jalur pemerataan, khususnya dalam hal pemerataan kesempatan memperoleh keadilan dan bantuan hukum pada golongan masyarakat yang kurang mampu. Disamping partisipasi hukum dalam berbagai sektor pembangunan, diperlukan juga partisipasinya dalam bidang pembangunan lintas sektoral terutama yang dominan seperti masalah kependudukan, teknologi, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Sarjana hukum perlu diikutsertakan sejak awal proses perencanaan pembangunan seperti dalam lembaga-lembaga perencanaan di pusat dan daerah agar dapat dihindarkan akibat-akibat sampingan yang tersebut dalam pembangunan. Dengan meningkatkan partisipasi hukum dalam pembangunan, melalui peraturan perundangundangan, yurisprudensi, dan keputusan pejabat administrasi negara, yang mengembangkan pranata-pranata dan lembaga-lembaga hukum, maka sekaligus akan terbentuk sistem hukum nasional yang dicita-citakan. Dalam hubungan ini diperlukan adanya suatu sistem informasi hukum yang baik. Namun demikian, penyusunan sistem hukum nasional dan partisipasi hukum dalam pembangunan tidak akan terselenggara secara memuaskan, apabila tidak ditunjang oleh tenaga, anggaran, peralatan, dan sarana-sarana fisik lain yang memadai. Pendidikan hukum adalah sarana khusus untuk pembentukan warga masyarakat yang tinggi kesadaran hukumnya dan penciptaan tenaga sarjana hukum yang dapat memenuhi berbagai fungsi yang diharapkan oleh masyarakat, seperti yang dirumuskan disini dan dalam kesimpulan Seminar Evaluasi Pembaharuan Pendidikan Hukum di Denpasar (17 – 19 Mei 1978). Pada umumnya sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang perlu diberikan dalam pendidikan hukum yang formal adalah :pengetahuan umum tentang hukum positif, sejarah hukum, sosiologi hukum, dan filsafat hukum; kemampuan berfikir secara losis, sistematis, dan kreatif; kemampuan analisa dan penalaran; ketrampilan dasar yang dibutuhkan dalam berbagai peranan sarjana dan profesi hukum; perhatian dan kesadaran terhadap keseluruhan lingkungan nonhukum; kemampuan melakukan penilaian yang wajar dan objektif; kemampuan mengantisipasi berbagai masalah pembangunan dan kebutuhan masyarakat di masa mendatang dan merencanakan hukum secara tepat; pengembangan watak dan kepribadian (mental) yang tangguh dan berwibawa. Untuk menyelenggarakan pendidikan hukum yang baik, maka diperlukan reorientasi terhadap:kurikulum minimal; silabus; metoda belajar mengajar; perpustakaan; penelitian; pengabdian masyarakat terhadap sikap mental dan para pendidikan sendiri, sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan yang telah dicapai menjelang Pelita III serta kebutuhan hukum di masa yang akan datang.Dalam datang. Dalam rangka ini perlu diperhatikan program pendidikan pustakawan hukum, pembinaan perpustakaan hukum, dan tersediannya suatu majalah hukum yang bermutu. Selanjutnya diperlukan syarat-syarat khusus dalam pembinaan tenaga pengajar dan mahasiswa.Penyelenggaraan mahasiswa. Penyelenggaraan pendidikan sarjana hukum perlu ditingkatkan menurut kurikulum silabus yang kurang lebih mencerminkan kriteria sebagai berikut:Dalam jenjang pendidikan sarjana muda (Semester I-IV) diberikan mata kuliah yang mencerminkan asas-asas dan pengertian dasar dari hukum pada umumnya dan mata kuliah lain yang merupakan pelengkap seperti bahasa Indonesia dan bahasa asing (antara lain Belanda dan Inggris) dan ilmu-ilmu sosial lainnya;Dalam jenjang pendidikan Sarjana I (Semester VIIVIII) diberikan mata kuliah tentang hukum positif, keterampilan penegak hukum positif (pendidikan klinis) dan hukum internasional dan bidang-bidang hukum baru;Dalam jenjang pendidikan Sarjana (Semester IX-X) diberikan bidangbidang pendalaman masalah-masalah dan cara-cara pembaharuan hukum dan masalah-masalah hukum di masa depan.Pendidikan depan. Pendidikan tersebut adalah sedemikian rupa, minimal sampai tingkat sarjana muda dipertahankan keseragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tetapi sesudah pendidikan sarjana muda kepada Fakultas Hukum diberikan keleluasaan untuk berkembang sesuai dengan pola ilmiah pokok perguruan tinggi yang bersangkutan dan kemampuan tenaga pengajarnya. Dengan timbulnya berbagai masalah pembangunan dan masalah sosial yang baru, dibutuhkan spesialisasi dalam pendidikan hukum yang dapat diajarkan dalam program pasca sarjana (S2). Sedang pengadaan tenaga peneliti dan perencanaan hukum dapat dipenuhi oleh program doktor (S3), di samping program pasca sarjana (S2) yang khusus bagi tenaga peneliti dan pengajar hukum. Instruksi sistem kredit dalam pendidikan hukum diperlukan untuk memungkinkan pengembangan kurikulum dan persiapan pengembangan karir bagi calon sarjana hukum.Untuk hukum.Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap lingkungan dan berbagai masalah kemasyarakatan, diperlukan peningkatan riset mengenai berbagai masalah hukum dan nonhukum yang timbul di dalam masyarakat oleh tenaga pengajar dan/atau mahasiswa. Peningkatan kegiatan riset dan penulisan karya ilmiah ini sekaligus akan juga meningkatkan dan menyegarkan (up to date- kan kan ) pengetahuan dan kemampuan penalaran para mahasiswa.Bantuan mahasiswa.Bantuan hukum dan penyuluhan (KKN) merupakan bentuk-bentuk pengabdian masyarakat SEMINAR hukum HUKUM NASIONAL bagi mahasiswa hukum dan pengajar hukum. Pengabdian masyarakat turut membina penambahan pengetahuan dan 1963 – 1979 pembentukan watak sarjana hukum yang ber-Pancasila, dan sebagai orang yang berperan dalam profesi hukum menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan hak-hak asasi manusia. Pendidikan hukum nonformal diperoleh masyarakat melalui penyuluhan hukum. Untuk menjamin kelangsungan dan kesinambungan pendidikan hukum perlu diperhatikan pembentukan kader tenaga pengajar dalam jumlah yang cukup. Program pembaharuan dan pengembangan pendidikan hukum seyogyanya diserahkan kepada perguruan tinggi, dalam hal ini Fakultas-fakultas Hukum bersama-sama dengan Konsorsium Ilmu Hukum sebagai unit yang mempunyai otoritas bidang.
45 | F A J R I N B O R N E O
-
POLITIK HUKUM
Kongres Pemuda 1928
Kongres Pemuda 1928 UUD 1945 Tap-Tap MPR (S) Hasil Seminar Hukum Nasional
Salah satu dasar keyakinan Indonesia adalah Hukum Adat
persatuan
bangsa
Dasar Persatuan Bangsa Indonesia yg lain: Kemauan, Sejarah, Bahasa, Pendidikan dan Kepanduan
Ajaran tentang Filsafat Hukum Nasional Pembukaan Penjelasan bagian Umum Ajaran tentang Sistem Hukum Nasional - Psl II Aturan Peralihan (Psl I & II AP amand. ke-4) - Penjelasan bagian Umum Ajaran tentang Undang-Undang Pasal 5, 20 dan 21 (stlh amandemen) Penjelasan bagian Umum Ajaran ttg Pengetrapan Hukum dan UU Pasal 1 (3) (amandemen ketiga) Pembukaan 4 butir Penjelasan UUD yg disebut Rechtsidee -
UUD 1945
46 | F A J R I N B O R N E O
Ajaran Filsafat Hk Nasional dalam Pembukaan UUD 1945
Alinea pertama: pertama : ―Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa‖. Kata ―bahwa sesungguhnya‖ menunjukkan keyakinan mengenai hakekat hukum dan bagaimana hukum yang universil itu yang berlaku bagi setiap bangsa sebagai suatu kelompok manusia. Dalam hukum itu primer dilihat bukan hubungan individu, akan tetapi hubungan masyarakat dengan masyarakat yaitu rakyat Indonesia yang merupakan kesatuan. Filsafat universil yang dianut disitu ialah kebersamaan, bukan individualisme. Inti hukum diletakkan pada ―kemerdekaan‖ sebagai hak asasi setiap bangsa, dan merupakan hukum universil yang dasarnya ialah perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan hukum memberikan kedamaian dengan a.l melindungi kemerdekaan orang atau masyarakat.
Alinea ketiga: ―Maka rakyat Indonesia menyatakan dgn ini kemerdekaannya‖. Kemerdekaan itulah sbg Hukum Dasar. Kemerdekaan itu bukan suatu chaos, anarchie, tetapi suatu kosmos, suatu yg tersususn tertib seperti dapat dibaca pd alinea keempat.
Alinea keempat: keempat : ‖Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi rakyat Indonesia‖. Alinea ini menjelaskan bahwa tertib hukum kita terutama tertib dimana kemauan rakyat adalah kekuasaan yang tertinggi yang menentukan secara mutlak oleh karena berdaulat. Kemauan rakyat itu tidak sembarang kemauan atau semaunya berdaulat akan tetapi harus berdasarkan pada Pancasila. Kedaulatan Rakyat yang berdasar pada lima asas itulah yang merupakan Hukum Dasar kita. Pengertian Kerakyatan merupakan unsur yang asasi. Unsur yang mewajibkan bahwa Hukum Nasional kita adalah hukum dari rakyat yaitu hukum yang bersumber dan timbul dari keyakinan dan kesadaran Hukum Rakyat Indonesia.
47 | F A J R I N B O R N E O
Hukum kerakyatan
Ringkasnya , Ringkasnya, ajaran UUD ‘45 ttg Filsafat Hk Nasional
Hukum yang merupakan hasil pikiran dan perasaan hukum dari seluruh rakyat. Jadi, hukum yang merupakan aspek budaya rakyat kita seluruhnya. Karena hanya dengan demikian hukum itu hidup dan dihayati oleh rakyat seluruhnya, dan oleh karenanya juga mudah diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh rakyat. Mengenai hukum yang kerakyatan tidak lain dari pada apa yang dinamakan Hukum Adat oleh karena model hukum inilah yang menurut kenyataannya sepanjang sejarah adalah berada dan berasal dari perasaan dan cita-cita Hukum Rakyat Indonesia dan bersumber kepada budaya rakyat kita. Hal ini diakui pula oleh pelopor kemerdekaan kita yang dinyatakan dengan tegas dalam Putusan Kongres Pemuda tahun 1928. Persoalan pikiran dan perasaan hukum dari rakyat sudah diberikan jawabannya dalam pasal 3 UUD 1945, didalam mana MPR selain menetapkan UUD, juga menetapkan GBHN yaitu yang menjadi pernyataan dari kehendak rakyat dalam lima tahun sekali tentang haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk dikemudiannya. Dilihat dari ini, Hukum nasional kita adalah bersifat dinamis. Setiap lima tahun, apa yang telah diselenggarakan dengan menggunakan UU ataupun dengan hukum tidak tertulis ataupun dengan lain-lain peraturan diwajibkan untuk diadakan peninjauan dan evaluasi dengan memperhatikan dinamik dari masyarakat. Dari ini UUD 1945 melihat hukum sebagai hidup dan terus berkembang sesuai dengan tuntutan masa. Sehubungan dengan itu UUD menganut ajaran tentang sistem hukum tertulis yang supel (elastic) dan tidak lekas usang yaitu dengan jalan membuat instruksi-instruksi pokok saja yang diambil dari Hukum Dasar yang tidak tertulis. Selanjutnya menyerahkan detail penyelenggaraannya kepada UU dengan pengertian khusus.
1. Pangkal pikirannya ialah hukum kodrat bersama; 2. Bagi Hukum Kodrat Bersama yang terpokok adalah kemerdekaan bersama yaitu sebagai hak; 3. Kemerdekaan bersama itu bukan bukan berada dalam chaos, tetapi merupakan suatu kosmos, suatu tertib; 4. Tertib tersebut berdasar idee kedaulatan rakyat, dan ini bukan sembarang kedaulatan; 5. Kedaulatan rakyat yang dimaksud ialah yang bersumber kepada lima sila (Pancasila) yang mengarah kepada; 6. Tercapainya masyarakat yang aman, tenteram, sejahtera sejahtera lahir dan batin.
48 | F A J R I N B O R N E O
Ajaran ttg Sistem Hk Nasional
Penjelasan Umum UUD 1945
UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya. Terdapat 4 pokok pikiran dalam Pembukaan dan 37 pasal lama + pasal baru amandemen. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (UUD) maupun hukum yang tidak tertulis. 1. UUD adalah hanya merupakan sebagian saja dari Hukum dasar yaitu pokok-pokok saja yang mengenai penyelenggaraan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial; Lain-lainnya diisi dan ditentukan oleh bagian Hukum Dasar yang tidak tertulis. Dalam pengertian UUD adalah undang-undang yang terletak pada tingkatan yang tertinggi disamping Hukum Dasar yang tidak tertulis. 2. Penyelenggaraan pokok-pokok tersebut dalam banyak hal diserahkan kepada undang-undang yang diisi dengan semangat hukum yang tidak tertulis. UU merupakan UU organik. 3. UU dijalankan oleh peraturan yang lebih rendah yaitu PP. Dalam pelaksanaannya sesuai dengan ajaran tersebut ini dijiwai oleh Hukum Dasar yang tidak tertulis.
Ajaran tentang UU
Pembentuk UU: Pasal 5 & 20 UUD 1945 Isi UU: Penjelasan Umum IV, alinea kedua disebutkan ―aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok diserahkan kepada UU‖ sebagai perincian lebih lanjut untuk menyelenggarakan perintah pasal-pasal dari UUD. - Sifat Undang-Undang: Penjelasan Umum IV dimana UU itu dituntut agar bersifat mudah membuatnya, mudah merubah dan juga mudah dicabut. dicabut.
49 | F A J R I N B O R N E O
Ajaran tentang Pengetrapan Hukum dan UU
-
Pasal 1 (3) Pembukaan 4 butir Rechtsidee dlm Penjelasan Umum.
Pasal 1 (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Menurut ajaran UUD 1945, pengetrapan hukum tertulis ditentukan oleh semangat para penyelenggaranya yaitu hukum yang tidak tertulis yang hidup dan menjiwai para penyelenggara negara. Hukum tidak tertulis itu dalam ajaran UUD dalam pokok-pokoknya digambarkan dalam bagian Pembukaan dari UUD, merinci dirumuskan didalam 4 butir Rechtsidee pada Penjelasan bagian Umum, dan kemudian lebih dipertegas pada pasal 18b & 28 I (3) perubahan kedua UUD 1945. Setiap aturan hukum tertulis menurut ajaran UUD 1945 harus dilihat dan dipahami dengan latar belakang dan dalam hubungan ajaran Rechtsidee itu. Menurut ajaran UUD 1945, hukum tertulis itu bukan untuk diinterpretasikan sebagaimana dalam ilmu hukum barat, akan tetapi dicarikan dan ditemukan hubungannya yang tepat dengan Rechtsidee-nya. Kemudian setelah itu menjelmakan secara konkrit tentang bagaimana bunyi aturan tertulis itu setelah diolah dengan hukum yang tidak tertulis, yang termuat didalam Rechtsidee itu.
UUD 1945
Tidak mengenal apa yang disebut Kitab Undang-Undang atau Kodifikasi. Kenyataan menunjukkan, kodifikasi yg dianggap lengkap ternyata tidak lengkap juga, terutama akibat masyarakat berkembang seirama dgn perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
50 | F A J R I N B O R N E O
PAHAM KODIFIKASI
:
Kenyataan menunjukkan
1. Intinya adalah pelaksanaan nyata dari filsafat hukum kodrat barat yang individualistis, bukan hukum kodrat yang kolektivistis/ kebersamaan. 2. Pangkal pikiran filsafat hukum kodrat yang individualistis itu adalah filsafat yang mengagungkan dan menghargai hak individu. 3. Filsafat hukum kodrat ini lebih lanjut menjelaskan tentang apa yang diperlukan bagi individu a.l tentang kepastian hukum, hak dan kewajiban. 4. Dari itu lalu timbul dan berkembang faham kodifikasi yang memandang undang-undang adalah hukum dan bukan pedoman, dan sejak itu dapat dikumpulkan dalam kitab undang-undang. Tidak ada hukum diluar kitab undang-undang. Dan untuk kepastian hukum sekali itu tertulis, tak ada tawar menawar. 5. Dari itu sifat kodifikasi adalah secara konsekwen menulis seluruh ketentuan-ketentuan hukum itu secara lengkap merinci, dalam bentuk pasal-pasal yang berhubungan logis satu dengan lainnya dalam satu kitab undang-undang untuk sesuatu lapangan hukum.
Kodifikasi yang dianggap lengkap ternyata tidak lengkap juga terutama akibat masyarakat berkembang seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Hasil Kongres Pemuda 1928, UUD 1945, TapTap MPR (S) & Hasil Seminar Hukum Nasional
Mengakui dan menghormati keberadaan Hukum Adat, dan menjadikannya sebagai sumber dan landasan pembentukan Hukum Nasional serta sekaligus dilihat sebagai bagian dari Hukum Nasional itu sendiri.
Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 (Perubahan Keempat UUD 1945)
UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal, tidak ada lagi Penjelasan Umum.
51 | F A J R I N B O R N E O