LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DALAM KEGIATAN BISNIS
Disusun Oleh : 1. Immami (mimy)
2016353499
2. Sela Aliyanti
2016353479
3. Dwi Nur Vitayani
2016353367
Dosen Pembimbing : Bapak Muchtar
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN JAKARTA 2017
1
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan sehingga makalah yang berjudul “Larangan praktek monopoli dalam kegiatan kegiatan bisnis” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya dan sekalian umatnya hingga akhir zaman. Makalah ini merupakan ulasan dalam aspek hukum ekonomi bisnis terutama bagaimana monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan kemampuan yang sangat terbatas dan makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dalam pengetikan maupun isinya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah
ini
memberikan
informasi
dan
bermanfaat
untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita kita semua.
Jakarta, 11 Juni 2017 Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................ PENGANTAR...................................................... ............................................ .................................. ............ i DAFTAR ISI.......................................... ISI................................................................ ............................................ ..................................... ............... ii BAB I
PENDAHULUAN
A. BAB II
Latar Belakang Masalah.............................. Masalah................................................... ..................... 4
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha........... 5
B.
Asan dan Tujuan ............................................... ............................................................ ............. 6
C.
Kegiatan yan Dilarang.......................... Dilarang................................................ ........................... ..... 7
D.
Perjanjian yang Dilarang......................... Dilarang................................................ ......................... 8
E.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha........................... Usaha........................... 9
F. Sanksi........................................ Sanksi................................................................ ......................................11 ..............11 G. BAB III
Studi Kasus............................................ Kasus.................................................................. ........................ .. 13
PENUTUP
A.
Kesimpulan......................................................................
B.
Saran...............................................................................
14
15 REFERENSI ..................................................................................................
16
3
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif dan sangat esensial dalam dunia usaha.Dengan persaingan, para pelaku usaha akan berlombalomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli produk dengan harga murah dan kualitas terbaik. Seiring dengan berjalannya usaha para pelaku usaha mungkin lupa bagaimana bersaing dengan sehat sehingga muncullah persaingan-persaingan yang tidak sehat dan pada akhirnya timbul praktek monopoli. Dengan adanya pratek monopoli pada suatu bidang tertentu, berarti terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kantong sendiri. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Kalau mau silakan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain. Itulah citra kurang baik yang ditimbulkan oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang.
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Kata “ monopoli “ berasal dari kata Yunani yang berarti “penjual tunggal”. tunggal”. Disamping itu istilah monopoli sering disebut juga “Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “ antimonopoli “ atau istilah “dominasi” yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya sepadan dengan arti istilah “ monopoli “ di kekuatan pasar. Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu istilah monopoli, antitrust, kekuatan pasar dan istilah dominasi saling ditukarkan pemakaiannya.Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan pasar. Menurut UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 1 UU Antimonopoli, Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok usaha. Persaingan usaha tidak sehat (curang) adalah suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa dilakukan dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dalam
UU
nomor
5
tahun
1999
pasal
1
butir
6
UU
Antimonopoli,” Antimonopoli,”Persaingan curang (tidak sehat) adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha” usaha ”. 1.
Ruang Lingkup Aturan Antimonopoli Dalam Undang-undang Fair Trading di Inggris tahun 1973, istilah Monopoli diartikan sebagai keadaan di mana sebuah perusahaan atau
5
sekelompok perusahaan menguasai sekurang- kurangnya 25 % penjualan atau pembelian dari produk-produk yang ditentukan . Sementara dalam Undang-Undang
Anti
Monopoli
Indonesia,
suatu
monopoli
dan
monopsoni terjadi jika terdapatnya penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 % (lima puluh persen ) pasal 17 ayat (2) juncto pasal 18 ayat (2) ) Undang-undang no 5 Tahun 1999 Dalam pasal 17 ayat (1) Undangundang Anti Monopoli dikatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat”. Sedangkan dalam pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a)
Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya
b) Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama c)
Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengusasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
B. Asas dan Tujuan
Asas dan tujuan antimonopoli dan persaingan usaha berdasarkan Undang – Undang Repubik Indonesia No 5 Tahun 1999 adalah sebagai b erikut : 1)
Asas
Undang – Undang RI No 5 Tahun 1999 Pasal 1 “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umu” umu ”. 2)
Tujuan
Tujuan larangan praktek monopoli berdasarkan pembentukan Undang – Undang RI No 5 Tahun 1999 Pasal 3 ada 4 yaitu :
6
a)
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
b)
Mewujudkan
iklim
usaha
yang
kondusif
melalui
pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil c)
Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
d)
Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
C. Perjanjian Yang Dilarang
Salah satu yang diatur dalam UU Antimonopoli adalah dilarangnya perjanjian tertentu yang dianggap dapat menimbulkan monopoli atau persaingan curang. Dalam Dala m pasal 1 butir 7 UU Antimonopoli, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik secara tertulis maupun secara lisan. Perjanjian yang dilarang dalam hukum anti monopoli yang
dapat
mengakibatkan
praktik
monopoli
dan
persaingan
curang,diantaranya:
1) Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,sehingga mereka atau seseorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Menurut UU Antimonopoli pasal 4 ayat 1 dan2, pengertian oligopoli adalah: (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain secara bersama sama dalam melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang/jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan curang.
7
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa
2) Penetapan harga(price fixing)
Perjanjian penetapan harga yang dilarang dalam UU anti monopoli meliputi empat jenis perjanjian yaitu: a) Penetapan harga (price fixing) b) Diskriminasi harga(price discrimination) c) Penetapan harga dibawah harga pasar atau jual rugi (predatory pricing) d) Pengaturan harga jual kembali (resale price maintenance)
3) Pembagian Wilayah
Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 Pasal 9 tentang pembagian wilayah yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya terj adinya praktek monopoli dan atau persaingan atau persaingan usaha tidak sehat”.
4) Perjanjian pemboikotan (Group Boycot)
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu strategi yang dilakukan diantara pelaku usaha lain dari pasar yang sama. UU No 5 Tahun 1999 Pasal 10 1 0 Ayat 1 dan 2 (1) “Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.” negeri.” (2) “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain, sehingga perbuatan tersebut : (a) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain (b)Membatasi (b)Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
8
5) Perjanjian Kartel
Larangan perjanjian kartel diatur dalam UU no.5 tahun 1999 pasal 11 yang berbunyi “Pelaku “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau atau persaingan usaha tidak sehat”. Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang kerap kali terjadi dalam praktek monopoli.
6) Trust
Dalam pasal 12 disebutkan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa. Misalnya pelaku usaha yang bersaing antara P dan Q yang
menyatakan
penggabungan
perusahaan
orang
tersebut,
Namun
kebenarannya P dan Q dikelola sebagai 2 perusahaan yang berbeda.
7) Oligopsoni
Dalam pasal 13, Oligopsoni merupakan dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam suatu pasar komoditas. Sebagai contoh perusahaan sirup A,B, dan C bersama-sama berjanji untuk menyerap 80% Pasokan Buah. Buah.
8) Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. Misalnya ialah kasus yang diputus oleh KPPU adalah apa yang dikenal dengan kasus Abacus yaitu Putusan No. 01/KPPU-L/2003.Terlapor dalam kasus ini adalah PT. (Persero) Perusahaan
9
Penerbangan Garuda Indonesia (disingkat“Garuda Indonesia”).Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut. Bahwa Terlapor adalahbadan usaha yang berbentuk badan hukum dengan kegiatan usaha antara lain melaksanakan penerbangan
domestik
dan
internasional
komersial
berjadwal
untuk
penumpang serta jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan dengan penerbangan. Untuk mendukung kegiatan usaha penerbangannya tersebut, Terlapor
mengembangkan
sistem
ARGA
sebagai
sistem
informasi
pengangkutan udara domestik. Sedangkan untuk untuk sistem informasi penerbangan internasional,Terlapor bekerjasama dengan penyedia CRS dalam bentuk perjanjian distribusi Sistem informasi ini digunakan oleh biro perjalanan wisata untuk melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan Terlapor secaraonline . Bahwa akibat ak ibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, semakin menambah beban keuanganTerlapor yang memaksanya untuk melakukan pemotongan biaya-biaya.Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb terminal Terlapor disetiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan sistem ARGA di dalam terminal Abacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000, Terlapor dan Saksi Imenyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di wilayah Indonesia hanya dilakukan dengan dual access
melalui
terminal
Abacus.
Kebijakandual
access tersebut
tidak
dituangkan dalam perjanjian tertulis. Hal ini telah diakuioleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang diserahkan oleh Saksi I kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas ditempuh karena biaya transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacus lebih murah. Dual access hanya diberikan kepada Saksi I sebagai penyedia sistem sist em Abacus bertujuan agar. Terlapor dapat mengontrol biro perjalanan wisata diIndonesia dalam melakukan reservasi r eservasi danbooking tiket penerbangan. Semakinbanyak biro perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacusuntuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional Terlaporyang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan internasional Terlapor. Terlapor hanya akan menunjuk biro perjalanan wisata yang menggunakansistem Abacus sebagai agen pasasi domestik. Posisi Terlapor yang menguasai penerbangan domestik dan kemudahan untuk menjadi agen
10
maskapai lain, menjadi daya tarik bagi biro perjalanan wisata untuk menjadi agen pasasi domestik Terlapor. Bahwa sistem ARGA yang hanya disertakan pada terminal Abacus mengakibatkan sistem lain mengalami kesulitan untuk memasarkanke biro perjalanan wisata karena biro perjalanan wisata lebih memilih sistemAbacus yang memberi kemudahan untuk memperoleh sambungan sistem ARGA.Untuk mendukung kebijakan dual access , Terlapor menambahkan persyaratanbagi biro perjalanan wisata agar dapat ditunjuk sebagai agen pasasi domestik,yaitu menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu untuk selanjutnya mendapatkan terminal ID biro perjalanan wisata yang bersangkutan/dibuka sambungan kesistem ARGA ( persyaratan Abacus connection ). KPPU Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Pasal 14UU NO. 5 tahun 1999 karena telah melakukan penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses berlanjutatas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasivertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Dengan kegiatan usaha Terlapor adalah melaksanakan penerbangan
komersial
berjadwal
untuk
penumpang
domestik
dan
internasional dengan mengoperasikan pesawat sebagai sarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara ini, penguasaan proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh Terlapor adalah penguasaan proses yangberlanjut atas layanan informasi dan jasa distribusi tiket penerbangan domestik dan internasional Terlapor.
9) Perjanjian Tertutup
Dalam pasal 15 disebutkan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
11
10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Dalam pasal 16 disebutkan Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Contohnya ialah Kasus perjanjian antara Astro All Asia Network dan PT Direct Vision dengan ESPN Star Sport dalam hak-hak siar eksklusif Barcalys Premiere League. League. Astro All Neteork dan EPN Star Sport telah membuat perjnajian untuk penunjukan langsungkepada PT Firect Vision yang mendapatkan s atu-satunya hak siar atas Barcalys Premiere LeagueI di Indonesia. Atas penunjukan langsung kepada satu-satunya pelaku usaha maka akan mengganggu atau menghambat operator televisi di Indonesia lainnya untuk bersaing.
D. Kegiatan Yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999, kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan
pasal
24.
Undang
undang
ini
tidak
memberikan
defenisi
kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak. Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu : 1) Monopoli
Menurut UU No 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 1 Ayat 1, monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Sedangkan Pasal 1 ayat ayat 2 menyatakan bahwa bahwa praktek monopoli monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
12
Dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli diatas disinggung mengenai persaingan tidak sehat. Dimana persaingan usaha merupakan persaingan antara penjual didalam merebut pembelian bangsa pasar. Disebutkan pula dalam Undang-Undang Anti Monopoli Pasal 1 Ayat (6) bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
2) Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan dimana satu pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.Kondisi Monopsoni sering terjadi didaerah-daerah Perkebunan dan industri hewan potong (ayam), sehingga posisi tawar menawar dalam harga bagi petani adalah nonsen. Perlu diteliti lebih jauh dampak fenomena ini, apakah ada faktor-faktor lain yang menyebabkan
Monopsoni
sehingga
tingkat
kesejahteraan
petani
berpengaruh. Monopsoni termasuk kegiatan yang dilarang, UU No.5 1999 pasal 18 ayat 1, Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa jas a dalam dala m pasar bersangkuta bersa ngkutan n yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli monopoli dan atau persain pers aingan gan
usaha usa ha
tidak tid ak
sehat. seh at.
Ayat Aya t
2
,Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan p asokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih d ari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertent ter tentu. u.
Mengenai ciri-ciri dari praktek/ pasar monopsoni yaitu : a) Hanya ada satu pembeli. b) Pembeli mempengaruhi harga
13
c) Pembeli bukan konsumen tapi pedagang/produsen. d) Barang yang diperjualbelikan adalah bahan baku
Dan kelebihan pasar monopsoni yaitu: a) Kualitas produk lebih terpelihara b) Penjual akan hemat biaya produksi.
Sedangkan kekurangan pasar monopsoni yaitu: a) Pembeli bisa seenaknya menekan penjual. b) Produk yang tidak sesuai keinginan pembeli tidak akan dibeli dan bisa terbuang.
3) Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah kemampuan pelaku usaha, dalam mempengaruhi pembentukan harga, atau kuantitas produksi atau aspek lainnya dalam sebuah pasar. Aspek lainnya tersebut dapat berupa, namun tidak terbatas pada pemasaran, pembelian, distribusi, dist ribusi, penggunaan, atau akses atas barang atau jasa tertentu di pasar bersangkutan. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha, baik bai k sendiri s endiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 rnerumuskan pengertian pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiaran, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu: a)
Dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk rnelakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau menolak
b)
Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
14
c)
Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkuran; atau melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dari bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu: a)
Menolak, menghalangi, atau menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b)
Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungaa usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c)
Membatasi peredaran, penjualan, atau peredaran dan penjualan barang, jasa, atau barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
d)
Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4) Persengkongkolan
Persekongkolan
berarti
berkomplot
atau
bersepakat
melakukan
kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb: a)
Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur
dan
atau
menentukan
pemenang
tender
sehingga
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. b)
Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
c)
Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.
15
5) Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam dala m kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha
mempunyai
posisi
tertinggi
diantara
pesaingnya
di
pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu. Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb: a)
Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
b)
Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.
6) Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila: a)
Berada dalam pasar bersangkutan yang sama.
b)
Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha.
c)
Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
7) Pemilikan Saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, s ama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut mengakibatkan persentase penguasaan
16
pasar yang dapat dikatakan menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).
8) Penggabungan, Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Pengambilalihan
Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang
melakukan
tindakan
penggabungan
,
peleburan,
dan
pengambilalihan yang berakibat praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28). Hanya penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.
E. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat UndangUndang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut: a)
Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan pemasaran barang atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
b)
Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
c)
Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya
untuk
membatasi
pasar,
menghalangi
konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
17
hak-hak
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian perseillegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan. Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat: a)
Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker.
b)
Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan.
c)
Efisiensi alokasi sumber daya alam.
d)
Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli.
e)
Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
f)
Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
g)
Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
h)
Menciptakan inovasi dalam perusahaan.
F. Sanksi dalam Monopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasa l 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
18
a) Pasal 48
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 6 (enam) bulan. 2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana penjara pengganti denda selamalamanya 5 (lima) bulan. 3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
b) Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : 1. Pencabutan izin usaha; atau 2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selamalamanya 5 (lima) tahun; atau 3. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
19
G.
Studi Kasus KASUS MONOPOLI PASAR STUDI KASUS CARREFOUR INDONESIA
Bisnis ritel atau perdagangan eceran memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan bisnis di Indonesia, baik ditinjau dari sudut konsumen maupun produsen.
Dari sudut produsen, pedagang eceran dipandang sebagai ujung
tombak perusahaan yang akan sangat menentukan laku tidaknya produk perusahaan. Melalui pengecer pula para produsen memperoleh i nformasi berharga tentang komentar konsumen terhadap barangnya seperti bentuk, rasa, daya tahan, harga dan segala sesuatu mengenai produknya.
Sementara jika dipandang dari
sudut konsumen, pedagang eceran juga memiliki peranan yang sangat penting karena bertindak sebagai agen yang membeli, mengumpulkan, dan menyediakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan atau keperluan pihak konsumen. Seiring dengan perkembangan, persaingan usaha , khususnya pada bidang ritel diantara pelaku usaha semakin keras. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan hadirnya undangundang tersebut dan lembaga yang mengawasi pelaksanaannya, yaitu KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat bersaing secara sehat sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih efisien dan memberi manfaat bagi konsumen. Di dalam kenyataan yang terjadi, penegakan hukum UU praktek monopoli dan persaingan
usaha
tidak
sehat
ini
masih
lemah.
Dan
kelemahan
tersebut ”dimanfaatkan” oleh pihak CARREFOUR CARREFOUR Indonesia Indonesia untuk melakukan ekspansi bisnis dengan mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk. Dengan mengakuisisi 75 persen saham PT Alfa Retailindo Tbk dari Prime Horizon Pte Ltd dan PT Sigmantara Alfindo. Berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU, pangsa pasar Carrefour untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap wajar, sehingga berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
20
Pembahasan
Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. 1999. Salah satu aksi perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi. Akuisisi
biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan
kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition atau take over . pengertian acquisition atau take over adalah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut. Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2 ) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat
rancangan
pengambilalihan,
tetapi
dilakukan
langsung
melalui
perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih. Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha.
21
Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan. majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat A yat 2 UU No.5 Tahun 1999. Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, Komisi, tidak berdaya menolak menolak kenaikan tersebut karena nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.
22
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan dan Saran
1. Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 2. Undang-Undang Anti Monopoli Monopoli No 5 Tahun 1999 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
23
REFERENSI
Barthos, B. 2004. Aspek hukum : Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Bumi Aksara. Ruslie, H. 1996. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common law. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penilisan Kar ya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi,
Artikel,
Makalah,
Laporan
Universitas Negeri Malang.
24
Penelitian.
Edisi
Kelima.
Malang:
25