1. W/P Ratio Menurut Van Noort (2013), rasio W/P yang tepat untuk manipulasi resin akrilik adalah 2,0/1,0 wt%; 1,6/1,0 vol.%. Pada percobaan digunakan rasio W/P yang sudah tepat, yakni 2,5 ml cairan monomer dan 5 gr serbuk polimer. Penentuan W/P ratio yang sesuai akan memungkinkan fase dough tercapai dough tercapai tepat pada waktunya. 2. Fase Dough Pada percobaan manipulasi resin akrilik polimerisasi kimiawi, fase dough dicapai dalam waktu 2 menit 2 detik. Menurut MacCabe dan Walls (2008), setelah pencampuran monomer dan polimer akan terbentuk fase dough yaitu fase ketika material bersifat plastis dan tidak dapat melekat pada sisi stellon pot, serta dapat dimanipulasi dengan mudah. Pada proses manipulasi resin akrilik polimerisasi kimiawi (kuring dingin), fase dough dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Berdasarkan spesifikasi ANSI/ADA No. 12 menyatakan bahwa pada penggunaan klinis manipulasi sebagian besar resin mencapai fase dough dalam waktu kurang dari 10 menit (Anusavice dkk., 2013). Pada percobaan fase dough dicapai pada waktu 2 menit 2 detik, sehingga dapat disimpulkan bahwa fase dough sesuai dengan spesifikasi ANSI/ADA. Menurut Noort (2007), pada resin akrilik kuring dingin ukuran partikel polimer lebih kecil dibandingkan resin akrilik kuring panas. Hal ini bertujuan untuk memudahkan disolusi monomer untuk menghasilkan konsistensi dough. Tercapainya fase dough dough sesuai dengan teori karena metode pencampuran dan w/p ratio yang ratio yang digunakan sudah sesuai dengan petunjuk praktikum. Berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis pada manipulasi resin akrilik polimerisasi kimiawi menunjukkan hasil bahwa terdapat banyak porusitas internal. Menurut Anusavice dkk. (2013), porusitas adalah adanya rongga kecil atau lubang yang terdapat baik di permukaan maupun di dalam plat resin akrilik. Menurut McCabe dan Walls (2008), porusitas dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : porusitas granular yang disebabkan w:p ratio yang terlalu besar sehingga permukaan resin terlihat berbecak putih, porusitas kontraksi yang disebabkan karena adonan resin didalam mould terlalu sedikit sehingga beberapa bagian resin terlihat berlubang, dan porusitas gaseous gaseous yang disebabkan suhu saat polimerisasi denngan kuring panas terlalu tinggi sehingga monomer menguap dan meninggalkan lubanglubang kecil tersebar didalam resin.
Porusitas pada resin akrilik dapat terjadi karena adanya udara yang terperangkap saat penuangan dan pengadukan awal. Pada saat melakukan percobaan, stellon pot sering dibuka untuk memastikan fase dough adonan. Hal tersebut dapat memungkinkan adanya penguapan monomer sehingga mengakibatkan udara masuk dan terjadi porusitas. Porusitas pada resin akrilik juga dimungkinkan karena pada saat packing, tekanan yang diberikan melewati waktu yang seharusnya, sehingga adonan mengalami polimerisasi lebih dulu disebelum dilakukan pressing. Menurut Anusavice dkk. (2013), porusitas kemungkinan disebabkan kurang homogennya pencampuran serbuk dan cairan, ketika hal ini terjadi sebagian massa resin akan mengandung lebih banyak monomer dari pada bagian lainnya. Menurut Noort (2007), ketidaksesuaian w:p ratio akan menimbulkan porusitas. Ketika terlalu banyak serbuk polimer yang dicampurkan monomer tidak dapat mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel serbuk. Hal ini mengakibatkan porusitas. Selain itu, porusitas dapat terjadi karena kurang homogen atau meratanya pengadukan. Hal tersebut sesuai dengan
teori Anusavice dkk. (2013) yang menyatakan bahwa kurang
homogennya pencampuran serbuk dan cairan mengakibatkan porusitas. Menurut Anusavice (2003), porusitas dapat diminimalisir dengan memastikan campuran resin akrilik homogen yaitu memperhatikan
rasio dari monomer dan polimer serta prosedur
pengadukan yang benar.
Pada percobaan didapatkan waktu setting resin akrilik polimerisasi kimiawi