BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sehubungan dengan tingginya kasus kriminalitas saat ini menimbulkan tingginya permintaan tindakan visum. Dalam setiap tindakan visum, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memperjelas dan membuktikan kebenaran suatu kasus. Karena sebenarnya, sebenarn ya, pada setiap kejadian kejahatan hampir selalu ada barang bukti yang tertinggal atau saksi diam. Bila saksi diam tersebut diteliti diteli ti dengan memanfaatkan berbagai macam ilmu forensik ( forensic sciences) sciences) maka tidak mustahil kejahatan tersebut akan dapat terungkap dan bahkan korban yang sudah membusuk atau hangus serta pelakunya akan dapat dikenali. Di dalam menghadapi kasus kriminal, pemakaian senjata api dan bahan pele dak sebagai alat yang dimaksudkan untuk melukai atau mematikan seseorang, maka dokter sebagai orang yang melakukan pemeriksaan, khususnya atas diri korban, perlu secara hati-hati, cermat dan teliti dalam menafsirkan hasil yang didapatnya (Idries, 1997). Kasus bahan peledak yang masuk dalam penanganan POLRI atau Penegak Hukum berjenis bahan peledak rendah (low exsplosive) exsplosive) dan bahan peledak kuat (high exsplosive). exsplosive). Perbedaan jenis bahan peledak tersebut didasarkan pada susunan substituen kimia dari bahan peledak itu sendiri. Pada tahun 2013 hingga 2015 kasus kasus yang paling banyak terjadi yaitu pada jenis low explosive. Contohmya adalah petasan atau mercon. Pembuat dan penjual petasan merupakan kegiatan yang bersifat illegal. ille gal. Kandungan pada bahan peledak low exsplosive antara lain Kalium klorat (KClO3), Kalium nitrat (KNO3), Sulfur (S), Alumunium (Al), dan Karbon (C). Contoh sederhana pada penggunaan KClO 3 adalah sebagai penyulut korek api gesek. High gesek. High explosive dapat digunakan untuk bom ikan yang terdapat kandungan Ammonium Nitric Fuel explosive dan Pb Azida. TNT selain untuk kalangan militer dapat juga untuk industry pertambangan dan pengeboran. Bahan yang digunakan pada pertambangan atau pengeboran selain TNT antara lain Pentaelythritol Tetranitrat (PETN), dinamit, 1,3,5-Trinitro-1,3,5triazacyclohexane
(RDX),
1,3,5,7-tetranitro-1,3,5,7-
tetrazacyclooctane
(HMX),
Nitrocellulosa (NC), ANFO, Ammonium Nitric Aluminium. Bahan peledak tersebut dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu bentuk padat (Kristal), cair (BBM), dan gas (LPG, LNG, asetilen, dan gas hidrogen). Bahan peledak berbentuk padat sangat sensitive terhadap tekanan, gesekan, benturan, dan panas. Adanya ledakan dapat terjadi melalui sumbu bakar (petasan), tumbukan, dan aliran listrik/ elektrik.
1
Di dalam dunia kriminal, senjata api secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu senjata api laras panjang dan senjata api laras pendek. Senjata api digunakan dalam tindak criminal menurut pembuatannya dibedakan menjadi senjata api rakitan dan senjat a api standart pabrik. Contoh senjata api laras panjang adalah shotgun, senjata api jenis ini memiliki perbedaan pada pelurunya. Shotgun memiliki peluru jenis pelet, dimana peluru ini berbentuk bulat yang berisi serpihan besi didalamnya. Senjata api laras pendek berisi peluru yang mengandung black powder dengan komponen kalium nitrat (KNO 3), anion NO3-, karbon ( C ), dan aluminium (Al). Laboratorium Forensik (Labfor) merupakan lembaga yang berwenang sebagai penyelidik yang berhak mencari mencari keterangan dan barang bukti atas kasus kriminal yang terjadi. Dalam penelitian kerja praktek ini akan dilakukan analisis kandungan pada residu setelah ledakan dari senjata api dan bahan peledak dalam pengungkapan tindak kriminal di Labfor Cabang Surabaya bidang balistik. Penelitian ini selain digunakan untuk menambah ilmu dan wawasan penggunaan alat-alat dan metode deteksi kimia pada sampel anorganik yaitu terutama penerapan bidang ilmu kimia analisis dan kimia anorganik. Selain itu penelitian ini dilakukan untuk pemenuhan mata kuliah praktek kerja lapang di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang.
1.2 Tujuan
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini bertujuan untuk : a. Mempelajari cara deteksi kandungan logam yang terkandung dalam berbagai sampel. b. Mengetahui dan mepelajari adanya perbedaan penanganan sampel yang berbeda pada deteksi tersebut. c. Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penangan sampel dan deteksi logam pada berbagai sampel. d. Mengetahui hasil uji kandungan logam pada selongsong peluru dalam menggunakan senjata api dan bahan peledak di Laboratorium Forensik Cabang Surabaya.
1.3 Kegunaan
1.3.1 Bagi Mahasiswa a.
Mengaplikasikan ilmu kimia yang diperoleh diperkuliahan untuk melakukan analisis kandungan dan distribusi logam pada senjata api dan bahan peledak dalam pengungkapan tindak kriminal di Laboratorium Forensik Cabang 2
Surabaya diharapkan dapat dapat memperoleh pengetahuan mengenai deteksi logam logam berdasarkan sampel selongsong peluru. b.
Memperluas pengetahuan, pengalaman dan wawasan sebelum terjun ke dunia kerja yang sangat kompetitif.
c.
Memperdalam dan meningkatkkan kualitas, keterampilan dan kreativitas.
d.
Melatih diri agar tanggap dan peka dalam menghadapi situasi dan kondisi lingkungan kerja.
e.
Mengukur kemampuan mahasiswa dalam bersosialisasi dan bekerja pada lembaga (institusi pemerintah atau swasta) diluar kampus.
f.
Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman sebagai generasi terdidik untuk terjun dalam masyarakat .
1.3.2 Bagi Perguruan Tinggi khususnya Jurusan Kimia a.
Mencetak tenaga kerja yang terampil dan jujur dalam menjala nkan tugas.
b.
Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi sampai sejauh mana kurikulum yang telah diterapkan sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja yang terampil di bidangnya.
c.
Sebagai sarana pengenalan instansi pendidikan perguruan tinggi khususnya Jurusan Kimia, pada institusi/lembaga pemerintah atau swasta, perusahaan yang membutuhkan lulusan, atau tenaga kerja yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
1.3.3 Bagi institusi/lembaga tujuan PKL a.
Memanfaatkan sumber daya manusia yang potensial.
b.
Sebagai
sarana
untuk
menjembatani
hubungan
kerjasama
antara
institusi/lembaga tujuan PKL dengan perguruan tinggi di masa yang akan datang, khususnya mengenai rekruitmen tenaga kerja. c.
Sebagai sarana untuk mengetahui kualitas pendidikan yang ada di perguruan tinggi.
d.
Membantu menyelesaikan pekerjaan yang terdapat pada institusi tempat mahasiswa melaksanakan Praktek Kerja Lapangan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ilmu Forensik 2.1.1 Definisi Ilmu Forensik
Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam ala m sesuatu sesuatu dianggap ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada fakta atau pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto 2000). Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu keharusan menerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah. Sehingga diharapkan tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan proses peradilan Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 yaitu: untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaran yang kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari sutau perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. dapat dipersalahkan. Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tidaklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam dalam penyidikan penyidikan dan menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud. Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal istilah ilmu forensik dan kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.
4
2.1.2 Ruang Lingkup Ilmu Forensik
Cabang-cabang ilmu forensik lainnya adalah: kedokteran forensik, toksikologi forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, antrofologi forensik, balistik forensik, fotografi forensik, dan serologi / biologi molekuler forensik. Biologi molekuler forensik lebih dikenal dengan ” DNA- forensic”. Kriminalistik merupakan penerapan atau pemanfaatan ilmu-ilmu alam pada pengenalan,
pengumpulan / pengambilan, identifikasi, individualisasi, dan evaluasi dari bukti fisik, dengan menggunakan metode / teknik ilmu alam di dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Sampurna 2000). Pakar kriminalistik adalah tentunya seorang ilmuwan forensik yang bertanggung jawab terhadap pengujian (analisis) berbagai je nis bukti fisik, dia melakukan indentifikasi kuantifikasi dan dokumentasi dari bukti-bukti fisik. Dari hasil analisisnya kemudian dievaluasi, diinterpretasi dan dibuat sebagai laporan (keterangan ahli) dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Eckert 1980). Sebelum melakukan tugasnya, seorang kriminalistik harus mendapatkan pelatihan atau pendidikan dalam penyidikan tempat kejadian perkara yang dibekali dengan kemampuan dalam pengenalan dan pengumpulan bukti-bukti fisik secara cepat. Di dalam perkara pidana, kriminalistik sebagaimana dengan ilmu forensik lainnya, juga berkontribusi dalam upaya pembuktian melalui prinsip dan cara ilmiah. Kriminalistik memiliki berbagai spesilisasi, seperti analisis (pengujian) senjata api dan bahan peledak , pengujian perkakas (”toolmark examination”), pemeriksaan dokumen, pemeriksaan biologis (termasuk analisis serologi atau DNA), analisis fisika, analisis kimia, analisis tanah, pemeriksaan sidik jari laten, analisis suara, analisis bukti impresi dan identifikasi. Kedokter an F orensi k adalah penerapan atau pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan
penegakan hukum dan pengadilan. Kedokteran forensik mempelajari hal ikhwal manusia at au organ manusia dengan kaitannya peristiwa kejahatan. , Toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek Toksik ologi F orensik berbahaya zat kimia (racun) terhadap mekanisme biologi. Racun adalah senyawa yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Lebih khusus, toksikologi mempelajari sifat fisiko kimia dari racun, efek psikologi yang ditimbulkannya pada organisme, metode analisis racun baik kualitativ maupun kuantitativ dari materi biologik atau non biologik, serta mempelajari tindakan-tidankan pencegahan bahaya keracunan.
5
, bidang ilmu ini berkembang berdasarkan pada kenyataannya bahwa: Odontologi For ensik gigi, perbaikan gigi (dental restoration), dental protese (penggantian gigi yang rusak), struktur rongga rahang atas “sinus maxillaris”, rahang, struktur tulang palatal (langit-langit keras di atas lidah), pola dari tulang trabekula, pola penumpukan krak gigi, tengkuk, keriput pada bibir, bentuk anatomi dari keseluruhan mulut dan penampilan morfologi muka adalah stabil atau konstan pada setiap individu. Berdasarkan kharkteristik dari hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelusuran identitas seseorang (mayat tak dikenal). Sehingga bukit peta gigi dari korban, tanda / bekas gigitan, atau sidik bibir dapat dijadikan sebagai bukti dalam penyidikan tindak kejahatan. , seorang spikiater berperan sangat besar dalam bebagai pemecahan masalah Psik iatri for ensik tindak kriminal. Psikogram dapat digunakan untuk mendiagnose prilaku, kepribadian, dan masalah psikis sehingga dapat memberi gambaran sikap ( profile) dari pelaku dan dapat menjadi petunjuk bagi penyidik. Pada kasus pembunuhan mungkin juga diperlukan otopsi spikologi yang dilakukan oleh spikiater, spikolog, dan patholog forensik, dengan tujuan penelaahan ulang tingkah laku, kejadian seseorang sebelum melakukan tindak kriminal atau sebelum melakukan bunuh diri. Masalah spikologi (jiwa) dapat memberi berpengaruh atau dorongan bagi seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, atau perbuatan bunuh diri. Entomologi for ensik , Entomologi adalah ilmu tentang serangga. Ilmu ini memperlajari jenis-
jenis serangga yang hidup dalam fase waktu tertentu pada suatu jenasah di tempat terbuka. Berdasarkan jenis-jenis serangga yang ada sekitar mayat tersebut, seorang entomolog forensik dapat menduga sejak kapan mayat tersebut telah berada di tempat kejadian perkara (TKP). , adalah ahli dalam meng-identifikasi sisa-sisa tulang, tengkorak, dan Antr ofologi forensik mumi. Dari penyidikannya dapat memberikan informasi tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, dan waktu kematian. Antrofologi forensik mungkin juga dapat mendukung dalam penyidikan kasus orang hidup, seperti indentifiksi bentuk tengkorak bayi pada kasus tertukarnya anak di rumah bersalin. Bali stik f orensik , bidang ilmu ini sangat berperan dalam melakukan penyidikan kasus tindak
kriminal dengan senjata api dan bahan peledak. Seorang balistik forensik meneliti senjata apa yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut, berapa jarak dan dari arah mana penembakan tersebut dilakukan, meneliti apakah senjata yang telah digunakan dalam tindak kejahatan masih dapat beroperasi dengan baik, dan meneliti senjata mana yang telah digunakan dalam tindak kriminal tersebut. Pengujian anak peluru yang ditemukan di TKP dapat digunakan untuk merunut lebih spesifik jenis senjata api yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut.
6
Pada bidang ini memerlukan peralatan khusus termasuk miskroskop yang digunakan untuk membandingkan dua anak peluru dari tubuh korban dan dari senjata api yang diduga digunakan dalam kejahatan tersebut, untuk mengidentifikasi apakah memang senjata tersebut memang benar telah digunakan dalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini diperlukan juga mengidentifikasi jenis selongsong peluru yang tertinggal. Dalam penyidikan ini analisis kimia dan fisika diperlukan untuk menyidikan dari senjata api tersebut, barang bukti yang tertinggal. Misal analisis ditribusi logam-logam seperti Antimon (Sb) atau timbal (Pb) pada tangan pelaku atau terduga, untuk mencari pelaku dari tindak kriminal tersebut. Atau analisis ditribusi asap (jelaga) pada pakaian, untuk mengidentifikasi jarak tembak. , Seiring dengan pesatnya perkembangan bidang ilmu Ser ologi dan Bi ologi molekul er f orensik biologi molekuler (imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang ilmu ini dalam proses peradilan meningkat dengan sangat pesat. F armasi F orensik, Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat
dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Farmasi adalah seni dan ilmu meracik dan menyediaan obat-obatan, serta penyedian informasi yang berhubungan dengan obat kepada masyarakat.
Seperti
disebutkan
sebelumnya,
forensik
dapat
dimengerti
dengan
penerapan/aplikasi itu pada issu-issu legal, (berkaitan dengan hukum). Penggabungan kedua pengertian tersebut, maka Forensik Farmasi dapat diartikan sebagai penerapan ilmu farmasi pada issu-issu legal (hukum) (Anderson, 2000). Farmasis forensik adalah seorang farmasis yang profesinya berhubungan dengan proses peradilan, proses regulasi, atau pada lembaga penegakan hukum (criminal justice system) (Anderson, 2000). Domain dari forensik farmasi adalah meliputi, farmasi klinik, aspek asministrativ dari farmasi, dan ilmu farmaseutika dasar.
2.1.3 Peran Ilmu Forensik dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan
Perdanakusuma (1984) mengelompokkan ilmu forensik berdasarkan peranannya dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah hukum. Dalam kelompok ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana. Kejahatan sebagai masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak kriminal itu sendiri, karena kejahatan merupakan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. 2. Ilmu-Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis. Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi wujud perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan penganan secara teknis 7
dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana. Dalam kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik, fisika forensik, toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odontologi forensik, dan entomogoli forensik. 3. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah manusia. Dalam
kelompok
ini
termasuk
kriminologi,
psikologi
forensik,
dan
psikiatri/neurologi forensik. Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku dan objek penghukuman dari tindak kriminal tersebut adalah manusia. Dalam melakukan perbuatannya, manusia tidak terlepas dari unsur jasmani (raga) dan jiwa. Disamping itu, kodrat manusia sebagai mahluk sosial, yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan juga dipengaruhi oleh faktor internal (dorongan dari dalam dirinya sendiri) dan faktor eksternal (dipengaruhi oleh lingkungannya).
Berdasarkan klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan masalah / kasus-kasus kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan dari masalah teknis dan manusia. Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk kepentingan peradilan, khususnya perkara pidana.
2.2 Laboratorium Forensik MABES POLRI 2.2.1 Deskripsi Umum Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya
Laboratorium forensik merupakan salah satu laboratorium penelitian tindak pidana yang ada di Indonesia. Manfaat laboratorium forensik secara umum adalah untuk menganalisis berbagai macam barang bukti untuk membantu menyidik berbagai kasus kriminal. Adapun didirikannya laboratorium forensik memuat beberapa tujuan, yaitu : 1. pembuktian proses tindak pidana dengan dasar ilmu forensik; 2. pembuktian secara ilmiah setiap kasus melalui pemeriksaan tingkat laboratorium yang dilakukan oleh POLRI; 3. meningkatkan kinerja dan keahlian para ahli untuk menggali dan menerapkan ilmu forensik terhadap berbagai kasus kriminalitas secara empiris untuk membantu kepentingan menegakkan hukum. Laboratorium forensik (Labfor) pertama yang ada di Indonesia ada di Jakarta yang berdiri pada tanggal 15 Januari 1954 dengan dikeluarkan surat Kepala Kepolisian Negara Nomor : 1/VIII/1954, dibentuklah Seksi Interpol dan Seksi Laboratorium, di bawah Dinas 8
Reserse Kriminil. Akan tetapi pada tahun 1960, dengan peraturan Menteri Muda Kepolisian Nomor : 1/PRT/MMK/1960 tanggal 20 Januari 1960, Seksi Laboratorium dipisahkan dari Dinas Reserse Kriminil Markas Besar Polisi Negara dan ditempatkan langsung di bawah Komando dan Pengawasan Menteri Muda Kepolisian dengan nama Laboratorium Departemen Kepolisian. Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1963, dengan Instruksi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian No. Pol : 4/Instruksi/1963 tanggal 25 Januari 1963, dilakukan penggabungan Laboratorium Departemen Kepolisian dengan Direktorat identifikasi menjadi Lembaga Laboratorium dan Identifikasi Departemen Kepolisian. Perubahan kembali terjadi pada tahun 1964, dilakukan pemisahan kembali Direktorat Identifikasi dengan Laboratorium Kriminal dengan Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian No. Pol :11/SK/MK/1964 tanggal 14 Pebruari 1964. Pada tahun 1970, Laboratorium Kriminal yang berada langsung dibawah Kepala Kepolisian Negara dikembalikan di bawah Komando Utama Pusat Reserse dengan nama Laboratorium
Kriminil
Koserse
dengan
Surat
Keputusan
Menteri
Pertahanan
Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Nomor: Skep/A/385/VIII/1970. Pada tahun 1992 terjadi perubahan nama dari Laboratorium Kriminal menjadi Laboratorium Forensik berdasarkan Surat Keputusan Pangab No. Kep/11/X/1992, tanggal 5 Oktober 1992. Dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 terjadi perubahan nama dari Korserse menjadi Bareskrim maka sampai sekarang Puslabfor berkedudukan di bawah Bareskrim Polri atau menjadi Puslabfor Bareskrim Polri, dan sampai saat ini Puslabfor telah mempunyai 6 Laboratorium Forensik Cabang (Labforcab) yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: SKEP/1176/X/1999, yang tersebar dalam beberapa wilayah hukum sebagai berikut: 1. Labfor Cabang Medan meliputi Polda NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Riau 2. Labfor Cabang Palembang meliputi Polda Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, dan Bengkulu. 3. Labfor Pusat meliputi Polda Metro Jaya, Jawa Bar at, dan Kalimantan Barat. 4. Labfor Cabang Semarang meliputi Polda Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta. 5. Labfor Cabang Surabaya meliputi Polda Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. 6. Labfor Cabang Denpasar meliputi Polda Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
9
7. Labfor Cabang Ujung Pandang meliputi Polda Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.
Gambar 1. Wilayah Pelayanan Puslabfor di Indonesia http://www.labfor.polri.go.id
2.2.2 Sejarah Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya
Sejarah berdirinya laboratorium forensik polri cabang Surabaya berasal dari order kepala kepolisian negara NO. : 1/ VII / 1954 tanggal 15 Januari 1954, tentang pembentukan seksi laboratorium pada dinas reserse kriminal / DKN. Laboratorium forensik polri cabang Surabaya resmi berdiri dengan skep kepala kepolisian negara NO. : 26 / LAB / 1957 tanggal 16 April 1957, dengan init ial “LABORATORIUM KRIMINIL CABANG SURABAYA”. Tahun 1998 initial “LABORATORIUM KRIMINIL CABANG SURABAYA” diganti menjadi “LABORATORIUM FORENSIK POLRI CABANG SURABAYA”. Tugas pokok dan fungsi laboratorium forensik polri cabang Surabaya diantaranya, a.
Melaksanakan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP & Laboratoris Kriminali stik Barang Bukti
b.
Melaksaan pembinaan dan pengembangan sumber daya Labfor meliputi SDM, Sismet, Matfasjas dan instrument dalam rangka menjamin mutu pemeriksaan
c.
Menyelenggarakan pembinaan teknis fungsi labfor kepada polri dan pelayanan umum fungsi labfor kepada masyarakat.
10
2.2.3 Struktur Organisasi Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya
KALABFOR CAB WAKALABFOR CAB
KASUBBAG RENMIN
SUBBID DOKUPALFOR
SUBBID BALMETFOR
PAUR KEU
SUBBID FISKOMFOR
SUBBID NARKOBAFOR
SUBBID KIMBIOFOR
2.2.4 Visi dam Misi Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya
A. Visi : “Sanyata Karya Dharma” Labfor Cabang Surabaya sebagai fungsi forensik yang mendukung pelaksanaan penegakkan hukum dengan berbasis sains dan teknologi melalui sinergi komunitas forensik untuk memberikan kepastian hukum serta mewujudkan aparat penegak hukum dan masyarakat yang berwawasan forensik.
B. Misi Berdasarkan pernyataan visi yang dicita-citakan tersebut diatas, selanjutnya diuraikan dalam misi Labfor Cabang Surabaya yang mencerminkan koridor tugas sebagai berikut: 1)
Melaksanakan pembangunan kekuatan Labfor Cabang Surabaya baik sistem dan metode personel, materiil, fasilitas, jasa dan kesejahteraan.
2)
Memelihara dan meningkatkan profesionalisme personel, meningkatkan upaya pemeliharaan dan operasional peralatan, serta mengupayakan tercapainya sistem dan metode pemeriksaan ilmiah yang standart sehingga mampu memberikan hasil pemerikasaan yang valid (akurat, teliti, dan reproducible).
3)
Melaksanakan penggunaan kekuatan Labfor Cabang Surabaya dalam upaya pembuktian secara ilmiah sehingga tercipta kepastian hukum bagi masyarakat.
11
4)
Melaksanakan pemeriksaan laboratoris barang bukti dan pemeriksaan teknis di TKP dalam memberikan dukungan penyelidikan dan penyidikan kepada jajaran polri serta instansi lain yang terkait.
5)
Menyelenggarakan pembinaan teknis fungsi laboratorium forensik kepada aparat penegak hukum melalui sosialisasi dan bimbingan teknis berdasarkan petunjuk petunjuk bidang laboratorium forensik.
6)
Menyelenggarakan sosialisasi fungsi forensik kepada instantsi di luar Polri maupun masyarakat, sehingga terwujud masyarakat yang berwawasan forensik.
7)
Menyelenggarakan kerjasama dengan instansi terkait berupa MoU dalam rangka pemeriksaan barang bukti dan Olah TKP guna mencapai Grand Strategi Polri pada tahap Partnership Building di tahun 2012.
2.2.5 Bidang-bidang Pemerikasaan pada Labfor Cabang Surabaya a. Sub Bidang Narkoba Forensik (Subbid Narkobafor)
Subbid Narkobiofor menangani pemeriksaan narkotika, psikotropika, dan obat berbahaya lainnya. b. Sub Bidang Kimia Biologi Forensik (Subbid Kimbiofor)
Menangani pemeriksaan berupa bahan kimia (pemalsuan hasil/produk industri); biologi atau serelogi (darah, sperma, urin, air liur); DNA dan toksikologi (keracunan / peracunan, pencemaran limbah industri) c. Sub Bidang Dokumen Palsu Forensik (Subbid Dokupalfor)
Menangani pemeriksaan teknis TKP dan analisis laboratorium barang bukti berupa dokumen palsu, produk cetak, tanda tangan dan tulisan tangan, sampel, ijasah, kartu kredit, keping CD, dan fotografi untuk membantu proses penyelidikan tindak pidana. d. Sub Bidang Balistik Metalurgi Forensik (Subbid Balmetfor)
Menangani pemeriksaan balistik metalurgi forensik berupa senjata api, peluru, logam palsu, nomor mesin, nomor rangka kendaraan bermotor dan nomor mesin kendaraan, serta bahan peledak. e. Sub Bidang Fisika Komputer Forensik (Subbid Fiskomfor)
Menangani pemeriksaan berupa tool mark , kendaraan dan pembakaran, laka lantas dan laka kerja, kebohongan (lie detector), serta komputer forensik. Pemeriksaan terhadap Barang Bukti harus didahului adanya pengajuan permintaan Barang Bukti. Adapun yang berwenang mengajukan permintaan pemeriksaan barang bukti yaitu: 12
1. Penyidik POLRI 2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 3. Polisi Militer (TNI) 4. Kejaksaan / Jaksa 5. Pengadilan Negeri / Hakim Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk pemeriksaan barang bukti adalah: a. Surat permintaan yang jelas b. Lampiran surat-surat formal / yuridis / otentik: a) Laporan Kejadian/ Laporan Polisi / Berita Acara Pemeriksaan TKP /Laporan Kemajuan b) Berita Acara Penyitaan Barang Bukti c) Berita Acara Penyisihan Barang Bukti d) Berita Acara Pembungkusan dan Penyegelan. e) Bila hasil otopsi, sertakan visum et repertum, contoh bahan pengawet dalam kasus yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia f) Berita acara / surat mengenai keaslian bahan pembanding dalam kasus pemalsuan hasil industri, pemalsuan dokumen g) Surat-surat lain yang dianggap perlu h) Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis barang bukti tetapi ketentuan tersebut dikhususkan berdasarkan jenis barang buktinya.
2.3 Bahan Peledak 2.3.1 Pengertian Bahan Peledak
Bahan peledak dapat di defenisikan sebagai suatu bahan atau campuran bahan yang dengan spontan dapat berubah secara kimia tanpa suplay oksigen dari luar dan melepaskan energi dalam jumlah besar yang ditandai dengan pengembangan gas panas, atau dengan kata lain adalah suatu bahan kimia berupa senyawa tunggal atau campuran yang berbentuk padat atau cair yang apabila dikenai oleh suatu aksi panas , benturan, gesekan atau ledakan awal akan berubah menjadi bahan-bahan yang lebih stabil yang sebagian atau seluruhnya dalam berbentuk gas dan disertai dengan tekanan dan panas yang sangat tinggi. Secara legal bahan peledak banyak digunakan dalam dunia industri yang digunakan dalam pertambangan seperti pada pengeboran minyak, mmenghancurkan batu-batuan dipegunungan dan kebutuhan pertambangan lainnya, demikian juga banyak digunakan untuk kepentingan militer misalnya sebagai demolisi, roket, propellant dan kebutuhan militer yang 13
lain, dimana bahan peledak untuk kedua kegunaan tersebut diatas setelah diproduksi secara berkala dianalisa untuk quality control. Akan
tetapi secara illegal bahan peledak juga
digunakan oleh kelompok terorist dan pelaku-pelaku kriminal untuk pembuatan bom rakitan yaitu dengan rancangan sedemikian rupa dengan bahan- bahn lain secara tidak sah untuk tujuan dapat menimbulkan ledakan (Lentz, R. Robert 1976). Pada prinsipnya suatu ledakan adalah merupakan reaksi kimia yang terjadi secara spontan dimana pada umumnya kita mengenal reaksi kimia dapat terjadi secara termodinamika dan termokinetika. Namun demikian pada reaksi kimia bahan peledak terjadinya suatu reaksi juga sangat dipengaruhi oleh adanya suatu energi gelombang yang dikenal dengan shock wave dimana jenis reaksi ini dikenal dengan sono chemistry karena terjadinya reaksi kimia adalah disebabkan oleh energi gelombang dan reaksi ini umumnya dikelompokkan dalam reaksi detonasi yaitu merupakan reaksi kimia sangat cepat dan biasanya berada dalam wilayah kecepatan subsonic yang diawali dengan panas, disertai dengan shock compression dan membebaskan energi yang mempertahankan shock wave serta berakhir dengan ekspansi hasil reaksi, tetapi apabila reaksi yang terjadi berada pada kecepatan dibawah subsonic dikenal dengan deflagrasi (deflagration) yang umumnya terjadinya reaksi disebabkan oleh adanya konduksi panas. Bahan peledak secara umum dapat dikelompokkan menjadi bahan peledak organik misalnya TNT, PETN, RDX, Nitrogliceryne dan lain-lain yang dapat meledak berupa senyawa tunggal tanpa membutuhkan penambahan reduktor karena pada reaksinya terjadi autoredoks, sedangkan bahan peledak anorganik biasanya berfungsi sebagai bahan peledak berupa campuran senyawa misalnya campuran kalium nitrat, belerang dan karbon black powder, campuran kalium klorat dan aluminium powder ( flash powder) yang mana reaksinya adalah berupa reaksi reduksi-oksidasi antara oksidator dan reduktor. Demikian juga sebagai pemicu ledakan dari kedua jenis bahan peledak ini berbeda yaitu untuk senyawa organik ledakan terjadi dengan adanya shock wave sedangkan untuk senyawa anorganik ledakan yang terjadi pada umumnya dipicu oleh adanya konduksi panas (Siegel J,A.,at al. 2000).
2.3.2 Penggolongan Bahan Peledak
Penggolongan bahan peledak bukan hanya ditentukan berdasarkan kedua jenis tersebut diatas tetapi juga dapat dilakukan berdasarkan struktur kimia, kegunaannya, penempatannya dalam rantai detonasi dan berdasarkan sifat-sifat ledakannya yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
14
a. Berdasarkan struktur kimianya
1) Bahan peledak nitro organik yang umumnya terdiri dari : - Nitro Aromatis : asam pikrat, TNT, 2,4 DNT dan lain-lain. - Nitrate ester : ethyleneglycol Dinitrate (EGDN), Glycerol Trinitrate (NG), Penta Eryhrithol Tetra Nitrat (PETN) dan lain-lain. - Nitramine : 1,3,5 trinito 1,3,5 triazacyclo hexane (RDX),1,3,5,7 tetra nitro- 1,3,5,7 tetraza cyclooctane (HMX). 2). Peroksida organik : TATP, HMTD dan lain-lain. 3). Garam organik : ammonium nitrat. 4). Campuran oksidator dan reduktor, black powder, propellant dan lain- lain.
b. Berdasarkan kegunaannya
1). Bahan peledak militer : TNT, PETN, RDX. 2). Bahan peledak industri dinamit, amonium nitrat, emulsion explosives. 3). Bahan peledak improvisasi pembuatan illegal : kalium klorat dan gula ; kalium klorat, sulfur dan aluminium powder dan lain-lain.
c. Berdasarkan penempatan dalam rangkaian detonasi
1). Primary Explosive : mercury fulminate, lead azide, dan lain-la in. 2). Booster : PETN 3). Main charge : TNT, RDX, black powder, flash powder .
d. Berdasarkan sifat ledakannya
1). High explosive : TNT, RDX. 2). Low explosive : black powder, smokless powder.
2.3.3 Sifat-sifat Fisik Bahan Peledak
a. Density Massa jenis bahan peledak merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan efek ledakan. Makin tinggi massa jenis makin terpusat energi dalam bahan peledak tersebut sehingga makin besar efek ledakannya. Untuk menunjukkan massa jenis kadang-kadang ditemukan istilahh cartridge count , ialah angka yang menunjukkan jumlah cartridge bahan peledak. Loading density (de) adalah berat peledak per satuan panjang muatan dan dalam
15
satuan British dinyatakan dalam lb/ft. Sedang diameter muatan ( De) dinyatakan dalam inci. Dengan sendirinya makin rendah massa jenis makin tinggi cartridge count.
b. Sensitifity Sensitifitas adalah sifat yang menunjukkan tingkat kemudahan inisiasi bahan peledak atau kemudahan bagi suatu reaksi kimia bahan pele dak yang terjadi dalam lubang tembak untuk menjalar melalui seluruh muatan. Sifat sensitif bahan peledak bervariasi tergantung pada komposisi kimia bahan peledak, diameter, dan temperatur.
c. Water Resistance Ketahanan bahan peledak terhadap air adalah ukuran kemampuan suatu bahan peledak untuk melawan air disekitarnya tanpa kehilangan sensitifitas atau efisiensi. Contoh bahan peledak yang mempunyai ketahan terhadap air yang buruk adalah ANFO, sedangkan untuk bahan peledak jenis emulsi, watergel dan bagah peledak berbentuk cartridge sangat baik daya tahannya terhadap air.
d. Chemical Stability Kestabilan kimia bahan peledak maksudnya adalah kemampuan untuk tidak berubah secara kimia dan tetap mempertahankan sensitifitas selama dalam penyimpanan di dalam gudang dengan kondisi tertentu. Faktor-faktor yang mempercepat ketidakstabilan kimiawi antara lain panas, dingin, kelembaban, kualitas bahan baku, kontaminasi, pengepakan, dan fasilitas gudang bahan peledak. Tanda-tanda kerusakan bahan peledak dapat berupa kenampakan kristalisasi, penambahan viskositas, dan penambahan densitas.
e. Characteristics of Fumes (Karakteristik Gas) Detonasi bahan peledak akan menghasilkan fume, yaitu gas-gas, baik yang tidak beracun (non-toxic) maupun yang mengandung racun ( toxic). Gas-gas hasil peledakan yang tidak beracun seperti uap air (H2O), karbondioksida (CO 2), dan nitrogen (N2), sedangkan yang beracun adalah nitrogen monoksida (NO), nitrgen oksida (NO2), dan karbon monoksida (CO)
2.3.4 Detonasi.
Pada suatu proses pembakaran biasanya terjadi diakibatkan oleh adanya konduksi panas terhadap suatu bahan peledak , sedangkan pada proses detonasi umumnya reaksi terjadi diakibatkan adanya aliran shock wave yang melewati bahan peledak tersebut sehingga dapat 16
diartiakan bahwa mekanisme suatu pembakaran pada prinsipnya berbeda dengan mekanisme detonasi. Pergerakan shock wave dalam bahan peledak tersebut mempunyai kecepatan setidaktidaknya sama dengan kecepatan suara di dalam bahan peledak itu sendiri dimana kecepatan suara dalam suatu bahan peledak disekitar 1800 m/det adalah ditentukan
sebagai batas
kecepatan minimum terjadinya suatu proses detonasi, namun demikian pada literatur lain ada juga yang menetapkan batas minimum suatu proses detonasi adalah 1500 m/det. Pada suatu proses detonasi maupun energi yang dilepaskan dalam suatu detonasi dapat dijelaskan dengan Gambar : 2.4 berikut ini.
Shockwave diudara dari gelombang detonasi pada ledakan Gambar 2. Proses detonasi suatu bahan peledak
Mekanisme yang terpenting pada proses detonasi antara lain adalah adanya suatu kondisi compress adiabatic diantara rongga mikroskopis serta effek batas kristal untuk menghasilkan keadaan hot spot yang bertumbuh sebagai suatu tekanan intensive dari shock wave yang melewati suatu bahan peledak dimana
energi yang dilepaskan dan gas yang
dihasilkan dalam zona reaksi selanjutnya segera didetonasi pada shock front. Zona reaksi yang mempertahankan tekanan dalam shock front menghasilkan suatu keadaan kecepatan steady-state yang dikenal dengan kecepatan detonasi atau disebut velocity of detonation (VOD). Berikut ini diberikan beberapa nilai parameter yang berkaitan dengan kecepatan detonasi untuk bahan peledak senyawa tunggal seperti yang terlihat pada Tabel : 2.1 berikut ini.
17
Tabel 1. Parameter Detonasi dari beberapa bahan peledak
Ketebalan zona reaksi antara lain tergantung pada bahan peledak tersebut seperti tipe ledakannya yang berhubungan dengan secepat apa secara kimia dapat terjadi dan juga pada ukuran muatannya yang secara umum hanya beberapa milimeter. Bentuk atau model shock wave front tergantung pada garis pemisah muatan, dan secara teoritis ukuran muatan dan titik inisiasi tidak dapat ditentukan karena shock front segera menyebar keluar se cara radial (Siegel J,A.,at al. 2000).
2.4 Analisa Kualitatif 2.4.1 Berdasarkan sifat fisik bahan
Sebelum kita melakukan penentuan sifat fisis berupa penentuan titik leleh dan bentuk kristal untuk sampel padat dan penentuan titik didih dan indeks bias untuk sampel cair, lakukanlah terlebih dahulu analisis pendahuluan. Untuk sampel padat analisis pendahuluan meliputi: warna, bau, bentuk, kelarutan, pemanasasan dalam tabung uji serta tes nyala. Sedangkan untuk sampel cair analisis penaduluan meliputi: warna, bau, kelarutan serta keasaman.
2.4.2 Identifikasi Kation
Dalam analisis kualitatif sistematis, kation-kation diklasifikasikan dalam lima golongan, berdasarkan sifat-sifat kation itu terdapat beberapa reagensia. Reagensia yang umum dipakai diantaranya : asam klorida, Hidrogen sulfide, Amonium sulfide, dan Amonium karbonat. Klasifikasi kation berdasarkan atas apakah suatu kation bereaksi dengan reagensia, reagensia ini dengan membentuk endapan atau tidak boleh dikatakan bahwa klasifikasi kation yang paling umum didasarkan atas perbedaan kelarutan dari klorida, sulfide, dan karbonat dari kation tersebut. 18
Reagensia yang dipakai untuk klasifikasi kation yang paling umum adalah:
HCl
H2S
(NH4)2S
(NH4)2CO3 Klasifikasi ini didasarkan atas apakah suatu kation bereaksi dengan reagen-reagen sia ini
dengan membentuk endapan atau tidak. Klasifikasi katipon yang paling umum didasarkan atas perbedaan kelarutan dari klorida, sulfat dan karbonat dari kation tersebut Kelima golongan kation dan ciri-ciri khas golongan-golongan ini adalah sebagai berikut:
GOLONGAN I Kation golongan I : Timbel(II), Merekurium(I), dan Perak(I)
Pereaksi golongan : Asam klorida encer (2M) Reaksi golongan : endapan putih timbal klorida (PbCl 2), Merkurium(I) klorida (Hg 2Cl2), dan perak klorida (AgCl) Kation golongan I membentuk klorida-klorida yang tak larut, namun timbale klorida sedikit larut dalam air, dan karena itu timbal tak pernah mengendap dengan sempurna bila ditambahkan asam klorida encer kepada suatu cuplikan ion timbal yang tersisa itu diendapkan secara kuantitatif dengan H2S dalam suasana asam bersama-sama kation golongan II. Nitrat dari kation-kation golongan I sangat mudah larut diantara sulfat-sulfat, timbal praktis tidak larut, sedang perak sulfat jauh lebih banyak. Kelarutan merkurium(I) sulfat terletak diantara kedua zat diatas. Bromide dan iodide juga tidak larut. Sedangkan pengendapan timbal halida tidak sempurna dan endapan itu mudah sekali larut dala m air panas.sulfida tidak larut asetat-asetat lebih mudah larut, meskipun perak asetat bisa mengendap dari larutan yangagak pekat. Hidroksida dan karbonat akan di endapkan dengan reagensia yang jumlahnya ekuivalen.tetapi pada reagensia berlebih, ia dapat bergerak dengan bermacam-macam cara dimana ada perbedaan dalam sifat-sifat zat ini terhadap ammonia.
GOLONGAN II Kation golongan II : Merkurium(II), timbal(II), bismuth(III), tembaga(II), cadmium(II), arsenic(III) dan(V), stibium(III), dan timah(II)
19
Reagensia golongan : hydrogen sulfide(gas atau larutan-air jenuh) Reaksi golongan : endapan-endapan dengan berbagai warna HgS (hitam), PbS (hitam), Bi 2S3 (coklat), As2S3 (kuning), Sb 2S3 (jingga), SnS2 (coklat) dan SnS 2 (kuning)
Kation-kation golongan II dibagi menjadi 2 sub golongan, yaitu sub. Golongan tembaga dan sub. Golongan arsenic. Dasar pembagian ini adalah kelarutan endapan sulfide dalam ammonium polisulfida sub. Golongan tembaga tidak larut dalam reagensia ini. Sulfide dari sub. Golongan arsenic melarut dengan membentuk garam tio.
GOLONGAN III Kation golongan III : Fe 2+ , Fe 3+ , Al 3+ , Cr 3+ , Cr 6+ , Ni 2+ , Cu 2+ , Mn 2+ , dan Mn 7+ , Zn 2+
Reagensia golongan : H 2S(gas/larutan air jenuh) dengan adanya ammonia dan ammonium klorida atau larutan ammonium sulfide Reaksi golongan : endapan dengan berbagai warna FeS (hitam), Al(OH) 3 (putih), Cr(OH)3 (hijau), NiS (Hitam), CoS (hitam), MnS (merah jambu), dan Zink sulfat (putih)
Logam golongan ini tidak diendapkan oleh reagensia golongan untuk golongan I dan II tetapi semua diendapkan dengan adanya ammonium klorida oleh H 2S dari larutan yang telah dijadikan basa dengan larutan ammonia. Logam-logam ini diendapkan sebagai sulfide, kecuali Al3+ dan chromium yang diendapkan sebagai hidroksida, karena hidroksida yang sempurna dari sulfide dalam larutan air, besi, aluminium, dan kromium(sering disertai sedikit mangan) juga diendapkan sebagai hidroksida oleh larutan amonia dengan adanya ammonium klorida, sedangkan logam-logam lain dari golongan ini tetap berada dalam larutan dan dapat diendapkan sebagai sulfide oleh H 2S. maka golongan ini bisa dibagi menjadi golongan besi(besi, aluminium, mangan dan zink) atau golongan IIIB.
GOLONGAN IV Kation golongan IV : Barium, Stronsium, dan Kalsium Reagensia golongan : terbentuk endapan putih Reaksi golongan : terbentuk endapan putih Reagensia mempunyai sifat: - tidak berwarna dan memperlihatkan reaksi basa 20
- terurai oleh asam-asam(terbentuk gas CO2) - harus dipakai pada suasana netral/ sedikit basa Kation-kation golongan IV tidak bereaksi dengan reagen HCl H 2S, ataupun ammonium sulfide, sedang dengan ammonium karbonat (jika ada ammonia atau i on ammonium dalam jumlah yang sedang) akan terbentuk endapan putih (BaCO 3, SrCO3, CaCO3).
GOLONGAN V Kation golongan V : Magnesium, Natrium, Kalium dan Amonium Reagensia golongan : tidak ada reagen yang umum untuk ketiga golongan V ini Reaksi golongan : Tidak bereaksi dengan HCl, H 2S, (NH4)2S, atau (NH4)2CO3 Reaksi-reaksi khusus dan uji nyala dapat dipakai untuk mengidentifikasi ion-ion dan kation golongan ini. Mg memperlihatkan reaksi-reaksi yang serupa dengan reaksi-reaksi dari golongan keempat. Magnesium karbonat dengan adanya garam ammonium dapat larut. Reaksi magnesium tak akan mengendap bersama kation golongan IV. Reaksi ion ammonium sangat serupa dengan reaksi-reaksi ion kalium, karena jari-jari ion dari kedua ion ini hamper identik (Vogel, 1990).
2.4.3 Identifikasi Anion
Analisis anion diawali dengan uji pendahuluan untuk memperoleh gambaran ada tidaknya anion tertentu atau kelompok anion yang memiliki sifat- sifat yang sama. Selanjutnya diikuti dengan proses analisis yang merupakan uji spesifik dari anion tertentu. Pemisahan secara fisik dari anion umumnya tidak penting, karena uji spesifik anion hanya peka terhadap anion tertentu dan tidak peka untuk anion lainnya. Hanya bila terjadi interferensi atau gangguan dalam suatu analisis anion oleh anion lain maka diperlukan langkah awal proses pemisahan. Beberapa uji pendahuluan dan uji identifikasi atau uji spesifik dapat dilakukan dalam fasa padatan, tetapi untuk memperoleh validitas pengujian yang tinggi biasanya dilakukan dalam keadaan larutan. Kelarutan bahan-bahan organik terutama garam akan s angat membantu dalam menetapkan kombinasi antar anion dan kation. Misalnya, jika larutan zat yang tidak diketahui ditemukan mengandung ion karbonat (CO 32-), maka hanya dimungkinkan ada kation-kation tertentu seperti K +, Na+ , NH4+, sebab garam karbonat dari kation lain tidak larut dalam air. Jika zat yang tidak diketahui tidak larut dalam air, harus dilakukan perlakuan tertentu dengan pereaksi kimia agar menjadi larut. Beberapa anion tidak stabil dalam larutan asam, atau bereaksi satu sama lain dalam suasana asam. Bila terjadi keadaan tidak stabil suasan asam, maka analisis anion harus dilakukan dalam suasana basa. 21
Penyelidikan sampel dari padatan yang tidak larut untuk analisis anion, dilakuakn dengan mendidihkan padatan dalam larutan jenuh natrium karbonat. Perlakuan ini digunakan untuk mengubah anion ke dalam bentuk garam natrium yang larut d an menyisakan kationnya sebagai karbonat yang tidak larut atau produk dari hidrolisisnya. Perlakuan dengan natrium karbonat juga dilakaukan untuk campuran yang mengandung logam berat tertentu, agar tidak terjadi interferensi dalam uji anion. Analisis anion yang sering dilakukan meliputi 11 anion yang paling umum, yaitu anion sulfida (S 2-), sulfit (SO32-), karbonat (CO32-), nitrit (NO2-), iodida (I), bromida (Br -), klorida (Cl-), fosfat (PO43-), kromat (CrO42-), nitrat (NO3-), dan sulfat (SO42-).
2.5 Analisa Bahan 2.5.1 Kalium Klorat Secara kimia kalium klorat adalah suatu senyawa yang mengandung Kalium, Klorida dan Oksigen dengan rumus molekul KClO3, mempunyai berat molekul 122,6, titik leleh 370oC dan berat jenis 2,34 g/cm,3 titik didih 400oC dan titik nyala 400 oC. Dalam bentuk murni kalium klorat berupa kristal monoklinik berwarna putih dan digolongkan dalam senyawa oksidator kuat. Kalium klorat sedikit larut dalam air dingin dan segera larut dalam air panas, tetapi tidak larut dalam alkohol (Kohler and Meyer, 1993).
Kalium klorat sangat reaktif dan peka terhadap panas yang apabila diberi panas akan terurai menjadi kalium klorida dan gas oksigen.
2 KClO3
2 KCl + 3 O2
Kalium klorat juga dapat bereaksi dengan beberapa logam tertentu dalam fase padat (serbuk halus) sambil melepaskan energi, yaitu antara lain dengan logam aluminium, magnesium dan logam-logam yang segolongan dengannya. KClO3 + 2 Al
KCl + Al2O3
Reaksi lainnya dari kalium klorat yang berkaitan dengan sifat ledakannya adalah reaksi dengan Sulfur melalui tahapan reaksi dengan oksigen dari udara yaitu melalui pembentukan SO2 dimana akan memberikan implikasi sifat ignisi spontan pada reaksi campuran antara klorat dan sulfur yang reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut: S + O2 2KClO3 + SO2 4S + 2ClO2
SO2 K 2SO4 + 2 ClO2 2SO2 + S2Cl
22
Reaksi tersebut diatas adalah merupakan salah satu kemungkinan mekanisme reaksi pada ignisi spontan yang terjadi antara kalium klorat dengan sulfur yang mana dapat dilihat bahwa 1 mol sulfur dapat menghasilkan 2 mol gas SO 2 (B.J.Kosanke at al, 2004). Klorin dioksida (ClO 2) mempunyai sifat reaktifitas sangat tinggi, mempunyai titik didih 110C, bersifat paramagnetik. Klorin dioksida cair dapat meledak pada suhu diatas - 40 0C, dan dalam bentuk gas pada tekanan partial > 55 mm Hg apabila bercampur dengan reduktor akan segera terdetonasi dan terjadi ledakan yang kuat. Klorin dioksida adalah molekul berelektron ganjil yang sangat reaktif dan cenderung tetapi tidak memebentuk dimer seperti molekul-molekul berelektron ganjil lainnya, hal ini disebabkan oleh karena dapat disetabilkan energi resonansinnya (J.D.Lee, 1994). Secara komersil dalam industri dan di kehidupan sehari – hari kalium klorat banyak digunakan sebagai komponen utama pembuatan korek api, desinfektan, penghasil oksigen dan juga untuk pembuatan petasan serta kembang api. Suatu campuran kalium klorat dengan tepung (serbuk) logam (misalnya : aluminium, magnesium) dikenal dengan flash powder . Campuran ini sangat peka terhadap panas maka dengan memberi sedikit panas akan terjadi reaksi spontan atau mengalami deflagrasi. Jika reaksi terjadi dalam wadah tertutup akan menimbulkan ledakan yang berkekuatan rendah atau bersifat low explosive. Beberapa campuran kalium klorat yang sudah dikenal antara lain adalah dengan gula pasir disebut sugar bomb, dan beberapa formulasi yang dimodifikasi yaitu menggunakan antimoni sulfida sebagai pengganti sulfur, magnesiun atau suatu alloy aluminium – magnesium (magnalinium) sebagai pengganti alluminium. Juga ditemukan bahan peledak flash powder yang diproduksi secara illegal yang dikenal dengan M-805 dan M-1005 ( Saferstein Richard, 2002) . Komposisi bahan peledak kalium klorat lainnya yang telah dikenal adalah berupa kalium klorat 9 bagian dicampur dengan 1 bagian vaseline atau petroleum jelly, kemudian diberi shock wave maka campuran ini akan terdetonasi dan ledakannya lebih kuat dari peledak black powder dan sifat ledakannya high explosive (The Terrorist Handbook, Gunzenboom 2002).
2.5.2 Aluminium
Aluminium dalam bentuk serbuk halus (tepung) biasanya ditambahkan kedalam bahan peledak dan propellant
untuk menambah atau menaikkan efisiensinya. Pada reaksinya
umumnya tidak terbentuk gas, tetapi dihasilkan aluminium oksidasi dalam bentuk padat, tetapi panas pembentukan oksida tersebut sangat tinggi, yaitu 396 kca/mol = 1658 kJ/mol; 3883 23
kcal/kg = 1620 kJ/kg. Penambahan aluminium diperkirakan akan menaikkan panas ledakan dan memberikan uap panas dengan suhu sangat tinggi dan dapat diyakini bahwa dalam gelombang detonasi pertama aluminium tidak beraksi sempurna, tetapi reaksi kemudian sempurna pada zone uap ( post-heating ). Jika jumlah aluminium dalam campuran bahan peledak relatif tinggi akan dihasilkan pengaruh suatu gas impact, selanjutnya bagian dari campuran yang tidak bereaksi dari uap dengan oksigen di udara kemungkinan menghasilkan suatu penundaan ledakan kedua . Aluminium sudah digunakan luas sebagai campuran bahan peledak antara lain pada amatol, DBX, HBX-1, hexal, minex, minol, tarpex, trialenes, tri toral dan hexotonal. Pengaruh yang tampak dihasilkan oleh serbuk aluminium sering digunakan dalam slu rries dan juga dalam composite propellants. Karakteristik yang sangat penting dari s erbuk aluminium adalah bentuk dan ukuran butiran kecil dan keras (Kohler and Meyer 1993). Ada beberapa reaksi aluminium yang erat kaitannya dengan proses pembakaran dan ledakan sehingga reaksi ini dikelompokkan dalam reaksi yang mempunyai resiko berbahaya dan secara umum digambarkan sebagai berikut: Aluminium + X
Combustion/explosion X = Bahan oksidator
Reaksi ini dapat melibatkan air, pembakaran spontan, material pyrotechnic sebagai sumber ignisi dalam korek api. Beberapa contoh jenis reaksi aluminium adalah : a. Reaksi Thermite. Reaksi ini jika di peragakan termasuk reaksi yang mengandung resiko berbahaya. 2 Al (s) + Fe 2O3 (s)
2 Fe + Al2O3
panas reaksi = - 848 kJ. b. Reaksi Pyrotechnic. Reaksi ini umumnya melibatkan oksidator kuat. 6 NH4ClO4 + 10 Al
5Al2O3 + 6HCl + 3N 2 + 9H2O
Campuran ini juga dapat dijadikan sebagai suatu sumber ignisi seperti pada pembuatan korek api. c. Aluminium khususnya dalam bentuk serbuk dapat bereaksi dengan air dan jika ada asam atau basa kuat akan menghasilkan gas hidrogen. 2Al + 2NaOH + 6 H 2O
2NaAl(OH)4 + 3H2 NaAlO2. 2H2O + 3H2 24
2Al + 6 H+
2Al+3 + 3H2
Beberapa contoh dari reaksi model ini adalah terdapat pada korek api, statik spark, sinar cosmis dan lain-lain. Dalam reaksi ini tidak dapat digunakan counter ion oleh karena reaksi oksidasi suatu logam umumnya menghasilkan gas H 2 . Aluminium foil dapat dilarutkan dalam asam atau basa kuat dalam ruang yang confined (padat/sempit) dan dapat menghasilkan panas tinggi yang sangat cepat dalam pembakaran dari hidrogen, hal ini juga dapat menjelaskan bahwa dengan adanya air dalam b ahan peledak maka sifat ledakan tersebut menjadi makin rendah. Umumnya korek api yang digolongkan kedalam pyrotechnic adalah mengandung bahan phospor dan sebagai ignisiasi adalah sulfur yang ditambah dengan zat oksidator kuat untuk pembakarannya. Aluminium pada kenyataannya adalah suatu logam yang sangat reaktif dan flamable, sehingga umumnya dilindungi dengan suatu pelapis yang tidak reaktif (innert ) dari aluminium oksida. Selanjutnya dengan melarutkan oksida tersebut akan memperlihatkan suatu permukaan aluminium yang cerah yang mana dapat bereaksi dengan air maupun dengan udara.
2.5.3 Belerang
Belerang atau sulfur bersama dengan charcoal telah lama digunakan sebagai komponen bahan bakar dalam black powder . Sulfur mempunyai berat atom 32,07, berat jenis 2,079/cm 3, titik leleh 1130C sedangkan titik didih 445 0C. Sulfur atau belerang banyak ditemui di alam dalam bentuk α-sulfur yang mengandung cincin S8 dan biasanya belerang berbentuk padat warna kuning muda, tidak berasa dan tidak berbau. Sulfur mempunyai beberapa bentuk struktur yang dikenal dengan allotropic yaitu bentuk rombis, monoklinik, polimer dan bentuk lainnya akan tetapi struktur yang paling sering ditemukan adalah bentuk belah ketupat. Setiap bentuk allotropic dari sulfur tersebut memeberikan sifat-sifat yang berkata baik dalam kelrutan, bobot, kristal dan konstanta fisiknya, namun berbagai allotrop juga bisa eksis bersama-sama dalam keseimbagan dalam proporsi tertentu tergantung pada suhu dan tekanan. Bentuk belah ketupat dari kristal monoklim sulfur terdiri dari delapan atom belerang (sulfur) membentuk struktur cincin. Pada suhu kurang dari 95,40 0C dengan tekanan tertentu kristal belah ketupat tersebut stabil tetapi pada suhu 118,9 0C kristal akan mencair sedangkan 25
pada suhu 1600C atau lebih , maka kedelapan anggota cincin molekul sulfur akan pecah dan rantai cincin menjadi terbuka kemudian rantai molekul sulfur yang terbentuk akan bergabung membentuk suatu struktur polimer bercabang melalui mekanisme radikal bebas. Pada temperatur tinggi, kristalin yang dibentuk oleh polimer sebagai rantai panjang sering berorientasi membentuk heliks melingkar kedalam membentuk sudut ikatan kepada delapan anggota cincin. Disamping dalam bentuk padat sulfur juga dapat ditemukan dalam bentuk gas yaitu untuk S2 (disulfur), S3 (trisulfur), dan S 4 (tetrasulfur). Demikian juga dalam bentuk padat sela in S-8 juga dikural siklo S -5 (penta sulfur), siklo S-6 (hexa sulfur) dan siklo S -7 (hepta sulfur) sedangkan untuk S-8 dapat dibagi menjadi α sulfur, β sulfur, φ sulfur. Siklo S -8 α sulfur juga dikenal dengan “orthoromic sulfur” dan secara rumus lebih stabil terhadap panas hingga 95 0C dan pada suhu 95,3 0C berubah menjadi β sulfur adalah kristal kuning dengan bentuk kristal monoclinic dan lebih sedikit dari α sulfur dan h anya stabil setelah 95,30C sebelumnya adalah dalam bentuk α sulfur, titik didih dari β sulfur adalah berkisar pada 119,6 - 119,8 0C, sedangkan τ sulfur dikenal dengan “nacrus sulfur” mother of pearl sulfur” GerNezl’s sulfur ditemukan dalam bentuk padat bewarna kuning cerah ditemukan dari alam sebagai mineral rosickyfe.
Gambar 3. Bentuk Struktur S 8 Flat dan S8 3 Dimensi
2.6 Analisa Instrumen 2.6.1 FTIR
Septroskopi FTIR adalah teknik pengukuran untuk mengumpulkan spektrum inframerah. Energi yang diserap sampel pada berbagai frekuensi sinar infremerah direkam, kemudian diteruskan ke interferometer. Sinar pengukuran sampel diubah menjadi interferogram. Perhitungan secara matematika Fourier Transform untuk sinyal tersebut akan menghasilkan spektrum yang identik pada spektroskopi inframerah. 26
Gambar 4. Prinsip Kerja FTIR
FTIR terdiri dari 5 bagian utama, yaitu (Griffiths, 1975): a.
Sumber sinar, yang terbuat dari filamen Nerst atau globar yang dipanaskan menggunakan listrik hingga temperatur 1000-1800 oC.
b. Beam splitter , berupa material transparan dengan indeks relatif, ehingga menghasilkan 50% radiasi akan diteruskan. c.
Interferometer, merupakan bagian utama dari FTIR yang berfungsi untuk membentuk interferogram yang akan diteruskan menuju detektor.
d.
Daerah cuplikan, dimana berkas acuan dan cuplikan masuk ke dal am daerah cuplikan dan masing-masing menembus sel acuan dan cuplikan secara bersesuaian.
e.
Detektor, merupakan piranti yang mengukur energi pancaran yang lewat akibat panas yang dihasilkan. Detektor yang sering digunakan adalah termokopel dan balometer. Mekanisme yang terjadi pada alat FTIR dapat dijelaskan sebagai berikut. Sinar yang
datang dari sumber sinar akan diteruskan, kemudian akan dipecah oleh pemecah sinar menjadi dua bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan oleh dua cemin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Sinar hasil pantulan kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk saling berinteraksi. Dari pemecah sinar, sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan dan sebagian menuju sumber. Gerakan cermin yang maju mundur akan menyebabkan sinar yang sampai pada detektor akan berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin memiliki jarak yang sama terhadap detektor, dan akan saling melemahkan jika kedua cermin memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi sinar yang sampai pada detektor ini akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram. Interferogram 27
ini akan diubah menjadi spektra IR dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika (Tahid, 1994).
28
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Pelaksanaan
Praktek Kerja Lapang dilaksanakan selama 3 pekan mulai tanggal 22 Januari – 11 Februari 2015, yang disesuaikan dengan hari kerja efektif Laboratorium Forensik Cabang Surabaya. Ketentuan jam kerja (utama ataupun lembur) bagi mahasiswa peserta Praktek Kerja Lapang disesuaikan dengan peraturan di Laboratorium Forensik Cabang Surabaya.
3.2 Tahapan Kerja 3.2.1 Studi Literatur
Tahapan ini dilakukan untuk menambah wawasan mengenai klasifikasi bahan peledak low explosive maupun high explosive serta cara identifikasi. Media untuk memperoleh informasi dapat berupa media buku, e-book, maupun internet.
3.2.2 Identifikasi Masalah
Setelah dilakukan studi literatur, identifikasi masalah dapat dilakukan dengan mempelajari berkas kasus yang telah tersedia pada Laboratorium Forensik Cabang Surabaya.
3.2.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengidentifikasi barang bukti (BB). Hasil identifikasi tersebut dapat berupa hasil positif atau negatif komponen-komponen dalam bahan peledak yaitu oksidator, kalium, klorat, nitrat, logam aluminium, sulfida, dan karbon.
3.2.4 Laporan
Tahap akhir yaitu pembuatan laporan hasil identifikasi masalah, dan pengumpulan data. Laporan dibuat setelah praktek kerja lapang selesai dilakukan.
3.3 Uji Kualitatif 3.3.1 Uji Oksidator Sam el
Ditambah difenilamin
Ditambah H2SO4
Hasil
29
Saat ditetesi H2SO4 terbentuk warna biru pekat. Pada sampel berwarna abu-abu terjadi sedikit nyala api yang diduga adanya klorat
3.3.2 Uji Kalium (K +) Sam el
Diletakkan pada object glass
Ditambah 1 tetes asam pikrat (warna kuning)
Dicampur
Diamati dalam mikroskop
6+
Jika terdapat Kristal seperti jarum maka positif mengandung kalium
3.3.3 Uji Klorat (ClO3-)
Cara 1 Sam el
Dilarutkan dengan aquades dalam tabung reaksi
Ditambah NaNO2
Disaring dengan kertas saring dalam tabung reaksi
Ditambah AgNO 3
Hasil
Jika terbentuk endapan putih maka positif mengandung klorat
Cara 2 Sam el
Diambil seujung lidi ke dalan cawan petri
Ditambah gula seujung lidi
Ditambah 1 tetes H2SO4
Hasil
Jika terdapat percikan api maka positif mengandung klorat
30
3.3.4 Uji Nitrat (NO 3-) Sampel
Diletakkan di Erlenmeyer
Dilarutkan dengan aquades
Ditambah FeSO4
Disaring ke tabung reaksi
Ditambah H2SO4 pada dinding tabung reaksi
Hasil
Jika terbentuk cincin coklat maka positif mengandung nitrat
3.3.5 Uji logam Aluminium (Al)
Cara 1 : dengan uji fisik
Cara 2
Al
berwarna abu-abu
Sam el
Dilarutkan dengan aquades dalam tabung reaksi
Ditambahkan larutan HCl
Disaring dengan kertas saring dalam tabung reaksi
Filtrate ditambah larutan KOH
Hasil
Jika terbentuk endapan putih maka positif mengandung Al
3.3.6 Uji Sulfida (S2-) Sampel
Dilarutkan dengan aquades dalam tabung reaksi
Ditambahkan larutan asam pekat (HCl/H2SO4)
Ditutup dengan kertas saring
Kertas saring ditetesi larutan timbal asetat
Hasil
Jika terdapat bercak coklat pada kertas saring maka positif mengandung sulfur
31
3.3.7 Uji Nitrit Sampel
Ditambah α naftilamin
Ditambah asam sulfanilat
Hasil
Jika hasil berwarna merah maka positif mengandung nitrit
3.3.8 Uji Karbon (C)
Pengujian adanya karbon dengan cara organoleptik yaitu jika dilihat dari fisiknya berwarna hitan dan apabila diusap di jari maka akan membekas
32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Hasil Pengamatan
1. Barang Bukti (BB) Mercon Pra Ledakan dari Sumenep (29-30/01/15) BB
Oks
K +
ClO3-
S
Al
NO3-
C
008A
+
+
+
+
+
-
-
008B
+
+
-
+
+
+
+
008C
+
+
-
+
-
-
+
009A
+
+
+
+
+
-
-
009B
+
+
-
+
+
+
+
010
+
+
+
+
+
-
-
011
+
+
-
+
-
+
+
Ket.:
008 = Petasan jadi 009 = Petasan setengah jadi 010 = Isian petasan warna abu-abu 011 = Isian petasan hitam
2. Barang Bukti (BB) dari Malang (02/02/15) BB
Oks
K +
ClO3-
S
Al
NO3-
C
004
+
+
+
+
-
-
+
005
+
+
+
+
+
-
-
006A
+
+
+
+
+
-
-
006B
+
+
+
+
-
-
+
007
+
+
+
+
+
-
-
Ket. :
004 = Sumbu 005 = Isian Petasa (warna abu-abu) 006A = Sumbu 006B = Petasan warna abu-abu 007 = Petasan Bawang
3. Barang Bukti (BB) Mercon Pasca Ledakan dari Malang (03/02/15) BB
Oks
K +
ClO3-
S
Al
NO3-
C
Urea
012
-
-
-
+
-
-
-
-
013
-
-
-
-
-
-
-
+ 33
014
-
-
+
+
+
-
+
-
015
+
+
+
+
-
-
-
-
016
+
+
+
+
-
-
+
-
017
+
+
+
+
+
-
-
-
018
+
+
+
+
+
-
-
-
019
+
+
+
+
+
-
-
-
Ket. :
012 = Serbuk Warna Kuning 013 = Serbuk Warna Pink 014 = Serbuk Warna Hitam 015 = Kristal Putih 016 = Petasan 017 = Residu 018 = Botol Plastik 019 = Serpihan Plastik Warna Hitam
4. Isian Detonator (04/02/15)
Pengujian dengan FTIR Sampel :
A = TNT, ClO3B = PETN C = Pb azida D = Heklorit, KClO3
Pengujian dengan Sabre Pengujian dengan sabre menggukan kertas swabs yang telah di swab pada meja atau dinding yang terkontaminasi dengan kandungan bahan peledak. Kertas swabs dimasukkan ke dalam sabre sehingga akan terdeteksi kandungannya. Pada uji ini mengandung TNT dan PETN
5. Ion Scan ( 05/02/15) Pengujian dengan ion scan prinsip kerjanya sama dengan sabre, yaitu menggunakan kertas swabs yang telah diswab pada meja atau dinding yang terkontaminasi kandungan peledak. Kertas swabs dimasukkan ke dalam ion scan sehingga akan terdeteksi bahan yang terkandung dalam ion scan, pada pengujian ini bahan yang terdeteksi adalah TNT 6. Uji Balistik/Senjata Api (SenPi) (05/02/15) Residu hasil tembakan dilakukan pengujian oksidator, sulfur, dan nitrit sehingga mghasilkan uji positif.
34
7. Pengambilan Sampel untuk AAS di Kampus (09/02/15) 8. Barang Bukti (BB) dari Bondowoso (10/02/15) BB
Oks
K +
ClO3-
S
Al
NO3-/NO2
027
+
+
+
+
+
-
028A
+
+
-
+
-
+
028B
+
+
-
+
-
+
028C
+
+
+
+
+
-
028D
+
+
+
+
+
-
029
+
+
+
+
+
-
030
+
+
-
+
-
-
031
+
+
+
+
+
-
Ket. :
027 = Bondet 028 = Petasan 029 = Serbuk berwarna abu-abu 030 = Serbuk berwarna kuning 031 = serbuk berwarna abu-abu
9. Uji Balistik dari Residu Peluru ( 11/02/15) Pengujian balistik residu dari senjata api menggunakan KIT dengan pengujian revolver dan pistol yang menghasilkan uji positif. Pengujian pakaian korban dari tindakan kriminal penembakan positif mengandung nitrit dan sulfur.
4.2 Analisis Barang Bukti Bahan Peledak pada Petasan
Analisis komponen kimia barang bukti petasan dilakukan dengan membandingan komponen bahan peledak pada petasan setelah ledakan kasus Malang yang kemudian disebut dengan BB 1 dengan sebelum ledakan kasus Sumenep yang kemudian disebut BB 2, serta serbuk bahan peledak yang belum sempurna. Analisis yang dilakukan pada BB 1 dan BB 2 adalah uji S (sulfur), ClO 3- (korat), K + (kalium), NO3- (nitrat) serta Al (aluminium). Analisis sulfur pada BB 1 dan BB 2 dilakukan dengan pembentukan senyawa PbS yang berwarna hitam. Metode ini dilakuan dengan menambahakan asam pekat (H 2SO4 atau HCl) sehingga sulfur yang terdapat pada sampel menjadi gas H 2S. Gas H2S yang lepas kemudian ditangkap dengan kertas saring yang telah ditetesi Pb asetat untuk membentuk senyawa PbS dengan reaksi sebagai berikut
35
2HCl + FeS2- H2S↑ + FeCl H2S↑ + Pb(CH 3COO-)2 PbS ↓hitam + 2CH 3COOH
Hasil analisis yang didapatkan adalah pada BB 1 dan BB 2 terbentuk endapan hitam PbS pada kertas saring sehingga kedua barang bukti tersebut positif mengandung Sulfur.
Analisis K + (kalium) sulfur pada BB 1 dan BB 2 dilakukan dengan metode spesifik yaitu dengan pembentukan Kristal K 2[PtCl6] yang berbentuk jarum. Metode ini dilakuan dengan cara sederhana yaitu dengan melarutkan sampel pada aqudes kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang didapatkan mengandung ion K + yang terlarut kemudian dipipet dan diteteskan diatas objec glass dan ditambahkan asam pikrat, penambahan asam pikrat tersebut akan menginisiasi pembentukan Kristal K 2[PtCl6] ynag berbentuk jarum yang akan dianalisis secara mikroskopik. Reaksi pembentukan Kristal tersebut dapat dituliskan sebagai berikut
2K + + [PtCl6]2- K 2[PtCl6] ↓kuning Hasil pengamatan menggunakan mikroskop diketahui terbentuk kristal bebentuk jarum K 2[PtCl6] pada BB 1 dan BB 2, sehingga kedua barang bukti tersebut posistif mengandung Kalium. Uji adanya NO3- (nitrat) dalam BB dilakukan dengan prinsip pembentukan cincin coklat yang merupakan senyawa Fe[NO] 2+. BB yang diduga mengandung nitrat dilarutkan kedalam aquades dan disaring mengguanakn kertas saring. Filtrat yang mengandung nitrat kemudian ditambahkan besi (II) sulfat yang akan mengakibatkan besi (II) teroksidasi menjadi besi (III), dan Nitrat tereduksi menjadi NO setelah penambahan asam pekat H 2SO4. Besi (II) yang tidak teroksidasi akan bereaksi dengan NO dan membentuk Fe[NO] 2+ berwarna coklat yang terbentuk diantara permukaan lapisan H2SO4 dan permukaan filtrat. Reaksi pembentukan cincin coklat adalah sebagai berikut
NO3-(aq) + 3Fe2+ + 4H+ 3Fe3+ + NO + 2H2O Fe2+ + NO(aq) [Fe(NO3)]2+ cincin coklat Hasil analisis pada BB 1 terbentuk cincin coklat [Fe(NO3)]2+ yang mengindikasikan terdapat kandungan nitrat pada BB 1, sedangkan pada BB 2 tidak terbentuk cincin coklat 36
Uji adanya ClO3- dilakukan dengan cara metode pengendapan senyawa AgCl. BB yang diduga mengandung klorat dilarutkan menggunakan aqudes dan ditambahkan reagen Natrium Nitrit (NaNO2). Penambahan ini menyebabkan ClO 3- (Klorat) tereduksi menjadi Cl-. Setelah tercampur sempurna, BB disaring menggunakan kertas saring dan didapatkan filtrat yang mengandung ion Cl -. Pada filtrat tersebut ditambahakan AgNO 3 yang bereaksi dengan ion Cl dan membentuk endapan putih AgCl. Reaksi pembentukan endapan puth AgCl adalah sebagai berikut ClO3- + NO2- Cl- + NO3Cl- + Ag+ AgCl ↓putih
Uji adanya ClO3- (Klorat) juga dapat dilakukan secara sederhana yaitu dengan uji ledakan. Uji ini dilakukan dengan menambahakan KClO 3 dengan gula (sukrosa) dan menambahkan asam sulfat pekat (H2SO4). Reaksi yang terjadi adalah ketika asam sulfat ditambahakan kedalam campuran KClO3 dan gula (sukrosa) reaksi terkatalsis menghasilkan panas dan menimbulkan ledakan kecil dan warna nyala berwarna ungu. Reaksi ini dapat terjadi karena KClO 3 merupakan spesi kimia pengoksidasi sedangkan gula (sukrosa) merupakan spesi kimia yang mudah dioksidasi. Maka ketika asam sulfat pekat ditambahkan Kalium klorat (KClO 3) terdekomposisi menghasilkan oksigen.
2KClO3(s) + panas — > 2KCl(s) + 3O2(g)
Gula (sukrosa) akan terbakar dengan adanya oksigen dan menghasilkan ledakan kecil disertai warna nyala ungu akibat adanya unsur Kalium. Analisis klorat pada BB 1 dan BB 2 terbentuk endapan putih
AgCl dengan metode
pengendapan dan menghasilkan ledakan kecil dengan metode uji ledakan, hal ini menunjukkan adanya kandungan klorat pada barang bukti yang dianalsis.
Analisis logam Aluminium pada BB 1 dan BB 2 dilakukan dengan metode pengendapan senyawa Al(OH)3 yang berwarna putih. Uji ini dimulai dengan penambahan HCl guna merubah Al menjadi Al3+. Al3+ yang terbentuk kemudian direaksikan dengan KOH untuk mendapatkan endapan putih Al(OH)3. Reaksi uji Al dapat dituliskan sebagai berikut:
37
2 Al + 6 HCl
2 Al3+ + 3 H2 + 6 Cl-
Al3+ + 3 OH Al(OH)3
Analisis Al pada BB 1 dan BB 2 keduanya positif mengandung unsur Al dengan terbentuknya endapan putih Al(OH)3.
Dari hasil analisis diketahui isian petasan kasus Sumenep mengandung oksidator, kalium, klorat, nitrat, sulfur, dan aluminium. Hasil yang sama juga didapatkan pada analisis isian petasan pada kasus Malang namun tidak ditemukan adanya kandungan nitrat pada petasan yang dianalisis. Dengan demikian maka proses ledakan yang terjadi secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: Kalium klorat sangat reaktif dan peka terhadap panas yang apabila diberi panas akan terurai menjadi kalium klorida dan gas oksigen.
2 KClO3 2 KCl + 3 O 2
Kalium klorat juga dapat bereaksi dengan beberapa logam tertentu dalam fase padat (serbuk halus) sambil melepaskan energi, yaitu antara lain dengan logam aluminium, magnesium dan logam-logam yang segolongan dengannya.
KClO3 + 2 Al
KCl
+ Al 2O3
Reaksi lainnya dari kalium klorat yang berkaitan dengan sifat ledakannya adalah reaksi dengan Sulfur melalui tahapan reaksi dengan oksigen dari udara yaitu melalui pembentukan SO2 dimana akan memberikan implikasi sifat ignisi spontan pada reaksi campuran antara klorat dan sulfur yang reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut: S + O2 SO2 2KClO3 + SO2 K 2SO4 + 2 ClO 2 4S + 2ClO2 2SO2 + S2Cl Reaksi tersebut diatas adalah merupakan salah satu kemungkinan mekanisme reaksi pada ignisi spontan yang terjadi antara kalium klorat dengan sulfur yang mana dapat dilihat bahwa 1 mol sulfur dapat menghasilkan 2 mol gas SO 2 (B.J.Kosanke at al, 2004).
38
4.3 Analisis Barang Bukti Bahan Peledak pada Detonator
Dalam detonator terdapat komponen kimia berupa TNT, PETN, dan KCLO 3. Analisis ini dilakukan dengan instrument FTIR . Hasil analisis yang didapatkan berupa TNT, PETN, KClO3, dan Pb azida. Persamaan reaksi detonasi TNT yang diberikan oleh Kistiakowsky dan Wilson yang telah disempurnakan oleh Springall Robert adalah sebagai berikut :
C7H5 N3O6 7CO2 + 21/2H2O + 11/2 N2 – 101/2O
Persamaan untuk detonasi PETN adalah sebagai berikut : C5H8 N4O12 5CO2 + 4H2O + 2N2 – 2O KClO3 merupakan senyawa yang sangat reaktif dan peka terhadap gesekan dan apabila diberi panas akan terurai menjadi kalium klorida dan gas oksigen.
2 KClO3 2 KCl + 3 O 2
4.4 Analisis Barang Bukti Residu setelah Ledakan pada Senjata Api
Analisis residu hasil ledakan senjata api dilakukan pada dua jenis barang bukti ((BB) yang berbeda. Barang bukti satu berupa pakaian dari korban, yaitu kemeja dan celana. Barang bukti kedua berupa sasaran tembak senjata. Analisis yang dilakukan pada barang bukti pertama adalah uji kandungan S dan NO 2-. Uji sulfur dilakukan dengan metode pengendapan senyawa PbS yang berwarna hitam pada kertas saring. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : 2HCl + FeS2- H2S↑ + FeCl H2S↑ + Pb(CH 3COO-)2 PbS ↓hitam + 2CH 3COOH
Uji nitrit dilakukan dengan reagen asam sulfafanitat-α-naftilamin. Uji berdasarkan reaksi diazolisasi asam sulfanilat oleh asam nitrit (HNO2) yang diikuti dengan reaksi coupling dengan α-naftilamin membentuk suatu zat pewarna azo merah.
39
Hasil analsisis didapatkan bahwa BB 1 mengandung S dan NO 2- diindikasikan dengan terbentuknya endapan hitam PbS dan reaksi nitrit berwarna merah. Analisis pada BB 2 adalah analisis senjata api dari residu pada sasaran tembak. Terdapat dua bekas sasaran tembak yang dianalisis menggunakan KIT, yaitu suatu larutan yang digunakan untuk menentukan kandungan peluru dan jenis senjata yang digunakan pada saat penenmbakan. Sasaran tembak yang pertama menghasilkan warna merah yang menyatakan bahwa peluru tersebut mengandung timbal (Pb). Kandungan timbal pada anak peluru mengindikasikan bahwa senjata yang digunakan adalah revolver. Pada sasaran tembak yang kedua menghasilkan warna biru yang menyatakan bahwa peluru tersebut mengandung tembaga (Cu). Kandungan tembaga ini mengindikasikan bahwa senjata api yang digunakan adalah jenis pistol.
40
BAB V KESIMPULAN
Hasil analisis terhadap barang bukti (BB1) berupa petasan setelah ledakan kasus Malang diketahui komposisi bahan kimia dalam petasan adalah oksidator , KClO3, Urea, S, Al serta C (karbon), hasil analisis barang bukti (BB2) berupa petasan sebelum ledakan kasus Sumenep diketahui komposisi bahan kimia dalam petasan adalah oksidator, KClO 3, KNO3, S, Al serta C (karbon). Analisis detonator rakitan menggunakan intrumen FTIR didapatkan kandungan kimia pada detonator rakitan adalah TNT, PETN, KClO 3, dan Pb azida. Analisis barang bukti hasil tembakan pada baju dan celana korban diketahui bahwa kandungan kimia yang tersisa setelah penembakan adalah S dan NO 2-, sedangkan analisis hasil tembakan pada sasaran tembak diketahui kandungan kimia yang tersisa adalah timbal ( Pb) dan tembaga (Cu).
41
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, P D., 2000, An Overview of Forensic Pharmacists Practice, Journal of Pharmacy Practice. Beveridge, A. 2012. Forensic Investigation of Explosions, Second edition. CRC Press. USA. Eckert, W.G. 1980. Introduction to Forensic sciences. The C.V. Mosby Company, St. Louis, Missori. Girard, J.E. 2011. Criminalistics: Forensic Science, Crime, and Terrorism. Sudbury, MA: Jones & Bartlett Learning. Grffiths.P.R., 1975, Chemical Infrared Fourier Transform, Toronto : John Willey & SMS. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik . Edisi I. Jakarta: Binarupa Aksara. Kohler, J and Rudolf Meyer, 1993, Explosives, Fourth, Revised and extended edition, VCH. Kosanke. B. J, B. Sturman, K.Kosanke, I. Von Maltilz, T. Shimizu, M.A. Wilson, N. Kubota, C. Jennings-White, D. Chapman, 2004, Journal of Pyrotechnics, Inc. 1775, Blair Road, Whitewater, CO 81527 USA. Lee. J.D, 1994, Concise Inorganig Chemistry, Fourth Edition Chapman & Hall. Lentz, R. Robert, 1976. Explosives and Bomb Disposal Guide. Charles C Thomas Publisher. USA. Murray S G, 2000. Mechanism of Explosion. in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al. Perdanakusuma, P., 1984, Bab-bab tentang kedokteran forensik , Ghalia Indonesia, Jakarta. Purwandianto, A. 2000. Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik. Jakarta: Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia. Sampurna, B., 2000, Laboratorium Kriminalistik Segabai Sarana Pembuktian Ilmiah , dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta. Saferstein. Richard, 2002, Forensic Science Hand Book 2nd Edition. Prentice Hall. Tahid, 1994, Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier No II Th VIII , Bandung : Warta Kimia Analitis. “The Terorist Handbook,” (2002), Gunzenbom Pyro -Technologies a division of Chaos Industries, Canada.Vogel. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jilid II. PT. Kalman Media Pusaka. Jakarta. 42
LAMPIRAN
Sampel (Baranng Bukti)
Detonator
Uji Oksidator
43
Uji Kalium
Uji Sulfur
44
Uji Nitrat
Uji Nitrit
Pengujian dengan FTIR
45