LAPORAN TUTORIAL BLOK PEDIATRI SKENARIO 2 “ANAKKU BATUK DAN SULIT BERNAFAS”
Kelompok A8 Johannes Ephan Bagus Kurnia
G0012101
Syarif Hidayatullah
G0012217
Alfian Satria Wicaksono
G0012011
Ilham Ramadhan
G0012095
Kenny Adhitya
G0012105
Yolanda Ravenia Saraswati
G0012235
Resti Nurfadillah
G0012177
Fatmanisa Laila
G0012077
Aniki Puspita
G0012017
Fenti Endriyani
G0012079
Sabila Fatimah
G0012199
Adhizti Naluriannisa Edya N
G0012003
Tutor : dr. Vitri Widyaningsih FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2015
1
BAB I PENDAHULUAN
SKENARIO 2
ANAKKU BATUK DAN SULIT BERNAFAS Kasus I Anto berumur 2,5 tahun. Ibunya membawa berobat ke Puskesmas karena batuk pilek selama 4 hari. Setelah memeriksa, petugas kesehatan menemukan nadi: 100x/menit, pernafasan: 32x/menit, suhu: 38,50 C. Dokter kemudian memberikan obat. Kasus II Seorang anak perempuanberusia 3 tahun dibawa oleh Puskesmas karena batuk sejak 2 hari yang lalu, berdahak putih. Keluhan disertai demam (+). Demam naik turun. Pada pemeriksaan fisik nadi: 120x/menit, pernafasan: 52x/menit, suhu: 380C. Saat ini anak tampak sulit bernafas dan lemah, terdapat retraksi dinding dada. Dokter kemudian melakukan tindakan dan merujuk pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dari dokter spesialis anak.
2
BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A.
Seven Jump 1. Langkah I:Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut: a. Retraksi
: penarikan dinding dada kea rah dalam saat bernafas disertai
dengan peningkatan frekuensi nafas. 2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut : Kasus I a. Mengapa pasien mengeluh batuk pilek selama 4 hari? b. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan nilai rujukannya? c. Apakah hubungan antara keluhan dengan usia pasien? d. Apakah obat yang diberikan oleh dokter? e. Apakah perbedaan fisiologi pernafasan antara anak dengan dewasa? Kasus II a. Mengapa pasien mengeluh batuk sejak 2 hari yang lalu disertai dahak putih? b. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan nilai rujukannya? c. Mengapa pasien mengeluh demam yang naik turun? d. Mengapa anak sulit bernafas serta lemah?
3
e. Mengapa terjadi retraksi dinding dada? f. Mengapa anak dirujuk ke spesialis anak?
3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2) a. Fisiologi pernafasan pada anak. b. Patofisiologi keluhan a. Batuk berdahak pada anak b. Demam naik turun c. Sulit bernafas d. Retraksi dinding dada c. Anamnesis, pemeriksaan fisik, vital sign. d. Diagnosis dan DD. e. Tatalaksana.
4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3 BASIC KNOWLEGDE Fisiologi pernafasan anak DIAGNOSIS Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
4
ETIOLOGI FAKTOR RISIKO
PATOGENESIS
PATOFISIOLOGI TATALAKSANA Promotif Preventif Kuratif Rehabilitatif 5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran a. Fisiologi pernafasan pada anak. b. Patofisiologi keluhan e. Batuk berdahak pada anak f. Demam naik turun g. Sulit bernafas h. Retraksi dinding dada c. Anamnesis, pemeriksaan fisik, vital sign. d. Diagnosis dan DD. a. Common cold (influenza) b. Pertusis c. Asma d. Bronchitis e. Bronkopneumonia
5
Batuk berdahak Demam naik turun Sulit bernafas Retraksi dinding dada
f. Pneumonia g. Tuberculosis anak e. Tatalaksana. 6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok 7. Langkah VII: Melakukan sintesa dan pengujian informasi yang telah terkumpul A. Fisiologi pernafasan pada anak.
Mekanisme ventilasi pada paru Udara masuk ke paru saat tekanan dalam rongga thorak lebih rendah daripada tekanan pada udara diluar ,saat inspirasi tekanan pada rongga thorak negatif akibat gerakan difragma ke bawah .otot –otot pernafasan
asesorius(
interkostal
interna
,skaleneus,
sternokleidomastoideus) tidak digunakan untuk pernafasan biasa hanya digunakan ketika sedang olahraga atau tubuh dalam keadaan sakit untuk meningkatkan volume paru .Exhalasi umumnya dilakukan secara pasif ,jika dilakukan secara atif melibatkan otot abdomen dan intercostals interna Resistensi jalan nafas dipengaruhi oleh diameter ,panjang saluran respratori , viskositas gas, dan sifat alami aliran udara ..Saat bernafas tenang aliran udara disaluran respiratori kecil dan bersifat laminar. Resistensi berbanding terbalik dengan diameter pangkat empat saluran respiratori .,sehingga perubahan sedikit saja diameter pada paru akan menimbulkan perubahan besar pada resistensi . Saat gaya gaya meknanis yang bekerja pada paru berada pada keseimbangan (diakhir suatu siklus pernafasan normal dan tenang )
6
,volume gas dalam paru disebut kapasitas residual fungsional . Volume udaara ini mempertahanankan pertukaran oksigen selama ekhalasi . Selama pernafasaan tidal normal ,volume paru biasaanya berada direntang tengah inflasi .Volume residual(VR) adalah volume gas yang tersisa didalam paru diakhir ekhalasi maksimal ,sedangkan kapasistas paru total ( KPT) adalah volume gas didalam paru saat inhalasi maksimal . Kapasitas vital (KV) adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru ( KPT- VR) Ventiasi alveolar adalah pertukaran gas karbondioksida antara alveoli dan lngkungan eksternal ,dalam keadaan normal 30% udara pernafasaan mengisi jalan nafas dan tidak berfungsi pada pertukaran udara ( ruang rugi anatomic) . karena ruang rugi ini bersifat konstan , peningkatan volume tidal dapat bmeningkatkan efisiensi ventilasi ,sebaliknya jika volume tidal berkurang ,rasio ruang rugi per volume tidal akan meningkat, sehingga ventiasi alveolar akan menurun.
Pertukaran gas pada sistem respiratori Pertukaran gas pada sistem respiratori tergantung pada ventilasi alveolar, aliran darah kapiler paru dan difusi melalu imembram alveolar kapiler. Pertukaran CO2 ditentukan oleh venti;asi alveolar sedangkan pertukaran O2 ditentukan oleh kesesuain ventilasi dengan aliran darah paru ,kesesuaian ini dikendalikan dengan cara vasokontriksi paru pada saat hipoksia yaitu konstriksi lokal pembuluh darah paru pada daerah yang megalami hipoventilasi
Mekanisme pertahanan pada saluran respiratori
7
Hidung merupakan filter utama terhadap partikel besar . epithel bersilia pada hidung memindahkan partikel yang telah terfilter menuju nfaring .sedangkan epithel mukosa pada faring sampai bronkiolus nterus mendorong lapisan tipis mucus menuju ke mulut .Sel makrofag alveolar dan polimononuklear memfagosit partikel-partikel dan pathogen yang sebelumnya sudah mengalamo psonisasi oleh antibody igA lokal atau antibody serum yang bertrandudasi pada saluran pernafasan Batuk berperan penting dalam melindungi paru ,adlah ekspirasi kuat yang dapat membersihkan jalan nafas dari debris dan sekret , batuk dpaat volunteer atau reflek yangditimbulkan dari iritasi hidung ,sinus ,faring ,trakea ,bronkus ,bronkious .Hilangnya kemampuan batuk dapat mengakibatkan penumpukan sekret yang menjadi faktor terjadinya ateletaksis serta pneumonia.
B. Patofisiologi keluhan a. Batuk berdahak pada anak Batuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik. Bila rangsangan pada reseptor batuk ini berlangsung berulang
maka
akan
timbul
batuk
berulang,
sedangkan
rangsangannya terus menerus akan menyebabkan batuk kronik.
8
bila
Anatomi refleks batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk terletak dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya di gaster. Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada faring, laring, trakea, karina, dan bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang telinga tengah, pleura, dan gaster. Ujung saraf aferen batuk tidak ditemukan di bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru tidak mempunyai resptor batuk. Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas yang merangsang), atau secara termal (udara dingin). Mereka juga bisa terangsang oleh mediator lokal seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan lain-lain, juga oleh bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk, reseptor tersebut berada di dalam dan di luar rongga thorax, dimana merupakan serabut syaraf tak bermielin, terdapat antara lain pada, bronkus, karina, trakea, laring, juga ada pada telinga, snus paranasalis, pericardial, dan diagfragma. Reflek batuk yang ada tersebut kemudian disalurkan ke medulla oblongata oleh beberapa nervus, yaitu nervus vagus yang melanjutkan rangsang dari bronkus, trakea dan telinga. Nervus glossofaringeus melanjutkan rangsang dari faring, nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus phrenikus meyalurkan dari perikardium dan diagframa. Semua rangsang tersebut
kemudian
menuju
pusat
pernapasan
berupa
nukleus
retroambigualis, dan pusat motorik laring dan faring di nukleus ambigualis. Mekanisme batuk yaitu; 1. fase iritasi
9
Fase dimana reseptor batuk yang ada diberbagai lokasi disensititasi
atau
diiritasikan
oleh
berbagai
hal
yang
mempengaruhinya, baik mikroorganisme, benda asing, ataupun droplet dari hidung. 2. Fase inspirasi Katup glotis terbuka lebar akibat kontraksi muskulus abduktor kartilago aryhtenoidea. Inspirasi terjadi secara cepat dan dalam, denganterfiksirnya iga bawah maka volume yang tertampung dalam rongga dada menjadi lebih besar dibanding pada kondisi normal, hal ini akan memungkinkan proses pembersihan pada bagian ini. Volume bisa mencapai 200 sampai 3500 ml dari volume normal. 3. Fase kompresi Fase dimana glotis menutup akibat kontraksi muskulus adduktor kartilago arythneoidea, glotis menutup selama 0,2 detik, pada faseini tekanan intrathorak meningkat sampai 300cmH2O. Tekanan pleura tetap meninggi mencapai 0,5 detik setelah glotis terbuka. 4. Fase Ekspirasi/Ekspulsi Adalah fase dimana batuk terjadi, glotis yang terbuka tiba-tiba membuat udara di dalamnya keluar dengan cepat dan kuat, sehingga benda asing yang telah meniritasi bagian reptor tadi dapat dikeluarkan dengan adekuat. Proses ini sangat bergantung pada ada atau tidaknya sekret dan benda asing pada jalur napas. Sputum merupakan mucus yang diangkut menuju faring oleh gerakan silia, pembentukn mucus yang berlebih menandakan
10
adanya gangguan fisik ,kimia maupun infeksi pada membarm mukosa saluran pernafasan 1. Kuning infeksi 2. Hijau penimbunan nanah (bronkiestaksis) 3. Merah muda edema paru akut 4. Sputum berlendir lekat warna abu-abu putih bronchitis kronis ,infeksi virus 5. Berbau busuk abses paru
b. Demam naik turun Demam
merupakan
peningkatan
suhu
tubuh
akibat
adanya
peningkatan set point di hipotalamus. Adanya zat asing seperti infeksi bakteri atau virus bisa menyebabkan demam karena adanya endotoksin dari zat asing tersebut merangsang sel PMN untuk menghasilkan pirogen endogen yaitu IL-1, IL-6, atau TNF. Demam juga dapat diakibatkan oleh berbagai jenis penyakit inflamasi, trauma, atau kompleks antigen antibody yang dapat menginduksi IL_1, IL-6, TNF yang merangsang hipotalamus untuk meningkatkan set point ke level demam. Pirogen endogen
bekerja di hipotalamus dengan bantuan
siklooksigenase 2 (COX-2) membentuk prostaglandin E2. Hal ini menyebabkan peningkatan level prostaglandin E2 dari jaringan hipotalamus anterior dan ventrikel 3 dimana konsentrasi tertinggi berada di sekitar organ vasculosum lamina terminalis yang jaringan
11
kapilernya meluas ke sekeliling pusat termoregulasi hipotalamus. Interaksi
pirogen
dengan
endhotelium
pembuluh
darah
circumventricular hipotalamus adalah langkah awal meningkatkan set point ke level demam. Sitokin pirogenik seperti IL-1, IL-6, dan TNF dilepaskan dari sel dan memasuki sirkulasi sistemik menginduksi sintesis PGE 2 untuk mencetuskan demam, sitokin pirogenik juga menginduksi pembentukan PGE2 di jaringan perifer. PGE2 di perifer dapat berkomunikasi dengan otak secara tidak langsung untuk meningktakan set point hipotalamus melalui beberapa cara, diantaranya dengan menstimulasi serabut saraf otonom dan melalui rute vagal yang merupakan cara terbaik. Peningkatan PGE 2 di perifer juga menyebakan myalgia non spesifik dan artralgia yang sering menyebkan demam. Demam memiliki tiga fase klinis yaitu menggigil, febris, dan kemerahan. Pada fase menggigil, temperature inti tubuh naik menjangkau set point suhu baru dengan vasokontriksi perifer melalui mengurangi pengeluaran panas dan peningkatan aktivitas otot untuk meningkatkan produksi panas. Pada fase febris terjadi keseimbanagn antara produksi dan kehilangan panas pada set point yang meningkat. Kulit teraba hangat, kemerahan, dan kering. Ketika set point kembali normal, tubuh mempersipkan dirinya menjadi terlalu panas, sehingga mekanisme mengurangi panas dimulai melalui vasodilatasi perifer dan berkeringat. Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian. Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00-06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00-18.00. berikut ini adalah hasil pengukuran suhu tubuh sesuai dengan tempat pengukuran:
12
Tempat pengukuran
Rerata suhu
Demam (0C)
Aksila
normal (0C) 34,7 - 37,3
37,4
Sublingual
35,5 – 37,5
37,6
Rectal
36,6 – 37,9
38
Tabel 2.1 hasil pengukuran suhu tubuh sesuai lokasi Tipe demam Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, diantaranya anak sudah mendapat antipiretik sehingga mengubaha pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat berbeda. Akan tetapi, jika pola demam dapat diketahui meskipun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini bia menjadi petunujk diagnosis yang berguna. Penilaian pola demam melalui tipe awitan, variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama periode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi: 1. Demam kontinyu ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetapdengan fluktuasi maksimal 0,40C selama periode 24 jam. 2. Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,50C per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Variasi diurnal biasanya
13
terjadi, khusunya bila demam disebabkan oleh proses infeksi. 3. Demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umunya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang hari. Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis. 4. Demam septic terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. 5. Demam quotidian disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap hari. 6. Demam quotidian ganda memiliki 2 puncak dalam 12 jam 7. Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal. 8. demam lama (prolonged fever) menggambarkan suatu penyakit dengan lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas. 9. Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama atau sistem organ multiple. 10. Demam bifasik menunjukkan satu penyakti dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback fever pattern
14
atau saddleback fever). contohnya ialah poliomyelitis, leptospirosis, demam dengue, demam kuning. 11. Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau irregular. Tiap episode diikutisatusampaibeberapahari, beberapamingguataubeberapabulansuhu
normal.
Contohnyaialah malaria. 12. Relapsing
feveradalahistilah
yang
biasadipakaiuntukdemamrekuren
yang
disebabkanolehsejumlahborelia. c. Sulit bernafas Sulit nafas juga dapat diartikan sebagai suatu pengalaman subjektif seseorang akan ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari sensasi yang intensitasnya berbeda. Pengalaman itu merupakan interaksi
dari
fisiological,
psikologikal,
sosial,
dan
faktor
lingkungan,dan dapat diinduksi secara respon psikologikal dan kelakuan. Penyebab Sesak Napas dapat berasal dari berbagai tempat di paru Penyakit Saluran Napas asma, emfisema. Adult respiratory distress syndrome (ARDS) Penyakit Parenkimal Penyakit Vaskular Paru Hipertensi paru primerPenyakit pleura Pneumotoraks, Penyakit Dinding Paru trauma, bronkitis kronik, CHF , Kor pulmonal , Efusi pleura , kelainan tulangtertelan benda asing Pneumonia, Emboli paru, hemotoraks, neurologik sumbatan laring, Pulmonary infiltrates with eosinophilia (PIE). Penyakit venooklusiparu, fibrosis.
15
Klasifikasi Dispnea Dyspnea biasanya ditentukan dengan klasifikasi Hugh-Jones yang dapat dibagi menjadi Derajat 1
: kerja tampak sama dengan mereka yang memiliki usia
sama, berjalan, naik tangga mungkin seperti orang sehat lainnya. Derajat 2
: walaupun obstruksi tidak didapatkan, pasien tidak
dapat untuk berjalan seperti orang lainnya yang berusia sama. Derajat 3
: walaupun tidak dapat berjalan seperti orang sehat pada
level biasa,pasiennya masih dapat berjalan satu kilometer atau lebih dengan langkahnyasendiri. Derajat 4
: orang berjalan 50 m atau lebih membutuhkan istirahat
atau tidak dapat melanjutkannya. Derajat 5
: sesak napas terjadi ketika ganti baju atau istirahat; dan
orangtersebut biasanya tidak dapat meninggalkan rumah. Mekanisme Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebabkan gangguan pada pertukaran gasantara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis padas aluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat. Begitu juga jika terjadipeningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan jugadapat menebab kan dispnea.Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami
16
penurunan terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru makasemakin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang sama. Sumber penyebab dispnea termasuk:
Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dinding dada dalam teori tegangan panjang, elemen- elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya berperan penting dalam
membandingkan
tegangan
otot
dengan
derajat
elastisitasnya. Dispnea dapat terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot.
Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2.
Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkat nya rasa sesak napas.
Ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi
Patofisiologi Dispnea mungkin disebabkan gangguan fisiologis akut seperti asma bronchial, emboli paru, pneumotoraks, atau infark miokard. Serangan berkepanjangan
selama
berjam-jam
hingga
berhari-hari
lebih
disebabkan akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau prosesif dari efusi pleura atau gagal jantung kongestif.
17
d. Retraksi dinding dada Retraksi merupakan penarikan dinding dada kearah dalam saat bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas. Pada anak- anak lokasi terjadinya retraksi menentukan lokasi terjadinya serta beratnya kelainan. Retraksi subcostal dan substernal biasanya terkait dengan kelainan saluran nafas bawah. Retraksi suprasternal
menunjukkan
kelainan saluran nafas atas. Retraksi intercostals ssendiri menunjukkan keadaan yang fisiologis. Retraksi intercostral ditambah dengan retraksi pada subcostal serta substernal mengindikasikan kelainan respirasi yang sedang. Sedangkan jika keemmpat bagian yaitu substernal, suprasternal, subcostal, serta intercostals mengalami retraksi menunjukkan kelainan respirasi sangat berat. Pada pemeriksaan inspeksi sering dilihat adanya tanda retraksi pada dinding dada,retraksi ini timbul karena tekanan intrapleura yang semakin negatif selama inspirasi tubuh berupaya melawan resistensi paru yang tinggi pada jalan nafas usaha ini akan menyebabkan tertariknya jaringan ikat subkostal dan interkostal ,fossa subclavia dan suprasternal ,
C. Anamnesis, pemeriksaan fisik, vital sign. 1. Anamnesis Pasien dengan keluhan batuk maka tanyakan berapa lama batuk berlangsung, juga apakah batuk sering berulang atau kambuh.
18
Sifat batuk juga diteliti, apakah batuk bersifat spasmodic, kering, atau produktif. Dirinci pula sifat dahaknya: kekentalan, warna, bau, serta adanya darah pada dahak. Keluhan lainnya yang menyertai batuk penting diketahui: sesak nafas, mengi, keringat malam, sianosis, berat badan turun, apakah pasien memerlukan perubahan posisi, muntah, dsb. Terkadang anamnesis keluhan batuk sangat khas untuk diagnosis; misalnya batuk pada pertussis, bersifat spasmodic, non produktif, panjang, diselingi whoop pada saat inspirasi, dan seringkali disertai dengan muntah.
2. Pemeriksaanfisik a. Inspeksi
Bentuk toraks o Emphisema : bentuk thoraks dari depan dan dari samping sama o Funnel-shape chest : bentuk seperti cerobong, sternum masuk ke dalam o Pigeon chest : terdapat penonjolan pada sternum o Adanya rochitis rosary : sambungan tulang rawan tulang keras bentuk seperti tasbih karena defisiensi vitamin D o Adanya penonjolan pada sambungan tulang rawan tulang keras, karena riwayat kekurangan vitamin A
19
o Retraksi pada daerah intercostalis : disebabkan infeksi, atelektasis o Adanya bulging/penonjolan: adanya cairan dalam paru/darah o Chest indrawing : tarikan subcostal ke dalam (diantara dada dan perut) kemungkinan terjadi pneumonia. Normal: menarik napas dinding dada & perut bagian atas dan bawah bergerak keluar.
Tipe pernapasan o Cheyne stokes
Bernapas dalam dan cepat diikuti napas pelan, lalu tidak bernapas (apnea)
Gerakan teratur
Normal padi bayi preterm (neonatus prematus)
Patologis:peningkatan tekanan intracranial, pada bayi yang lebih besar o Khusmaull
Bernapas dalam dan cepat
Gerakan teratur
Pada dehidrasi berat yang akan asidosis o Biot
20
Seperti cheyne stokes tapi gerakannya teratur o Dispnea
Dapat dilihat dari napas cuping hidung (flaring of ala nasi)
Retraksi intercostal : penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam bersama dengan peningkatan frekuensi napas
Pada pneumonia
b. Palpasi Dengan telapak tangan, yakinkan dengan jari jari, dapat mengetahui :
Posisi scapula
Posisi clavicula
Asimetris dinding dada
Ada/tidaknya fraktur, biasanya pada bayi baru lahir disebabkan oleh trauma waktu persalinan o Tractile fremitus (fremitus suara)
Dengan merasakan getaran pada tangan, terasa sebagai getaran yang menyebar ke seluruh dinding dada
Fremitus akan jelas terasa bila diperiksa pada orang dewasa jarang pada anak karena sulit dilakukan palpasi
21
Pada anak yang besar, disuruh bicara “wolong poloh wolu” jangan delapan puluh delapan
Pada anak kecil terdengar ketika menangis
Normal,
tidak
terjadi
pada
pasien
bila
tidak
mengeluarkan bunyi apapun
Berguna untuk mengetahui keadaan mukus : kasar -> mukus ada di saluran napas atas, no fremitus-> mukus ada di bagian bawah o Fremitus suara menurun pada:
Obstruksi airway : penyumbatan jalan napas
Efusi pleura : terkumpulnya cairan pleura di kavum pleura
Tumor o Fremitus
meningkat
pada
consolidation/
pneumonia o Rib interspace (sela interspace) terdapat pada:
Retraksi intercostalis : disebabkan oleh beban yang bertambah pada saat bernapas
Bulging/ penonjolan intercostalis selama ekspirasi: menunjukkan adanya obstruksi pada saat ekspirasi
22
Paralitik otot otot intercostal, ditunjukkan oeh gerakan sela sela iga yang berkurang, aktivitas pernapasan yang menurun
c. Perkusi
Langsung : dengan mengetukkan jari pada tubuh anak secara ringan dengan jari telunjuk/tengah, dilakukan setiap ½ inci dengan tepat
Tidak langsung : seperti pada orang dewasa. Dengan meletakkan 1 jari secara mantap pada dinding dada, jari telunjuk atau jari tengah kanan yang lain untuk mengetuk.
Hal hal yang diperhatikan dalam perkusi tidak langsung : o Jari tangan diletakkan secara mantap pada dinding dada o Hanya satu jari yang menyentuh dinding dada o Pasien
dapat
duduk,
berbaring,
berdiri
pada
punggung atau perutnya o Jari tangan yang melakukan perkusi bergerak secara ringan dan terbatas pada sendi o Perkusi pada anak lebih akurat daripada pada dewasa, karena dinding dada masih tipis o Normal sono : pada daerah pulmo (karena terisi gas)
23
o Normal redup pada daerah: diafragma, hepar, jantung, scapula o Posterior :perkusi dari bahu ke bawah, redup pada kosta 8-10 karena terdapat diafragma o Anterior : mulai dari bawah clavicula, pada costa 6 mulai terdengah redup tapi masih relativ karena paru masih menutupi hepar. Pada costa 8 terdengar redup absolut karena organ hanya hepar saja o Penurunan resonansi (terdengar redup karena padat) terdapat pada : o Pneumonia/konsolidasi paru : terkumpulnya sel sel radang o Atelektasis : kolaps lobus atau segmen paru karena sumbatan pada bronkus lobularis dan segmentalis o Pulmonary edem: edema pada paru paru o Efusi pleura :terkumpulnya cairan pleura pada cavum pleura o Emphiema : paru terisi oleh pus o Perbesaran jantung: intercostal 2-5 o Hipersonor (karena terlalu banyak udara) : o Emfisema :peningkatan volume gas pada paru
24
o Pneumothorax : peleburan rongga pleura karena terisi udara o Lung cyst o Diafragmatika hernia : suara usus terdengar pada dinding thorax d. Auskultasi
Suara napas dasar o Bronkovesikuler Dinamakan bronkovesikuler karena dinding tipis, pada deasa disebut suara vesikuler karena dinding dada lebih tebal o Bronkial Normal pada intercostal III parasternal o Amphories Terdapat cavernae TB, banyak pada orang dewasa, anak jarang. o Suara napas tambahan o Ronki Basah 1. Coarse/kasar: bila ada kelainan pada bronkus, misalnya bronkitis
25
2. Halus: terdapat kelainan pada bronkus kecil (misalnya pneumonia, brokiolitis) Kering : bersin, wheezing (pada asma) o Pleural friction Karena pergerakan pleura, pada pleuritis o Kresipitasi Terdengar pada belakang bawah, paru kolaps dan ada pada pneumonia o Vocal resonance/bronchophony Didapat dengan mendengar suara napas paru, hampir sama seperti fremitus, hanya saja ini berupa suara, fremitus adalah getaran.
3. Vital sign a. Tekanan Darah Pengukuran seperti pada dewasa, tetapi memakai manset khusus untuk anak, yang ukurannya lebih kecil dari manset dewasa. Besar manset antara setengah sampai dua per tiga lengan atas. Tekanan darah waktu lahir 60–90 mmHg sistolik, dan 20–60 mmHg diastolik. Setiap tahun biasanya naik 2–3 mmHg untuk kedua-duanya dan sesudah pubertas mencapai tekanan darah dewasa. b. Nadi
26
Perlu diperhatikan, frekuensi/laju nadai (N: 60-100 x/menit), irama, isi/kualitas nadi dan ekualitas (perabaan nadi pada keempat ekstrimitas c. Nafas Perlu diperhatikan laju nafas, irama, kedalaman dan pola pernafasan. d. Suhu Pengukuran suhu tubuh dapat dilakukan dengan beberapa cara :
Rectal Anak tengkurap di pangkuan ibu, ditahan dengan tangan kiri, dua jari tangan kiri memisahkan dinding anus kanan dengan kiri, dan termometer dimasukkan anus dengan tangan kanan ibu.
Oral Termometer diletakkan di bawah lidah anak. Biasanya dilakukanuntuk anak > 6 tahun.
Aksiler Termometer ditempelkan di ketiak dengan lengan atas lurus selama 3 menit.Umumnya suhu yang diperoleh 0,5 lebih rendah dari suhu rektal.
D. Diagnosis dan Diagnosa Banding
27
1. Common cold (influenza) Merupakan infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering dijumpai pada bayi dan anak. Dibedakan istilah nasofaringitis akut untuk anak dan common cold untuk orang dewasa karena manifestasi klinis penyakit ini pada anak dan dewasa berlainan. Pada anak infeksi lebih luas, mencakup daerah sinus paranasalis, telinga tengah di samping nasofaring, disertai demam yang tinggi. Pada orang dewasa infeksi mencakup daerah terbatas dan biasanya tidak disertai demam yang tinggi. a. Etiologi Penyebab penyakit ini ialah virus, dengan masa penularan beberapa jam sebelum gejala timbul sampai 1-2 hari sesudah hilangnya gejala. Komplikasi ini timbul akibat invasi bakteri patogen biasanya Pneumococcus, Streptococcus dan pada anak kecil H. Influinzae dan Staphylococcus.
b. Faktor predisposisi Kelelahan, gizi buruk, anemia, kedinginan. Walaupun umur bukan faktor ynag menentukan daya rentan, namun infeksi sekunder purulen lebih banyak dijumpai anak kecil. Penyakit ini sering diderita pada waktu pergantian musim.
c. Patologi anatomis
28
Submukosa hidung edematous disertai vasodilatasi pembuluh darah. Terdapat infiltrasi leukosit mula-mula sel mononukleus, kemudian sel PMN. Sel epitel superfisial banyak yang lepas. Regenerasi sel epitel baru terjadi setelah lewat stadium akut.
d. Gejala klinis Berupa gejala nasofaringitis dengan pilek, batuk sedikit dan kadang-kadang bersin. Dari hidung keluar sekret cair dan jernih yang dapat kental dan pururlen bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus. Sekret ini sangat merangsang anak kecil. Kongesti hidung menyebabkan anak bernafas melalui mulut dan anak menjadi gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang didapatkan nyeri pada otot, pusing, dan anoreksia. Kongesti hidung disertai selaput lendir tenggorok yang kering menambah rasa nyeri.
e. Komplikasi
Sinusitis paranasal Gejal umum lebih berat, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya di daerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar. Proses sinusitis sering menjadi kronis dan gejala malise, cepat lelah dan sukar berkonsentrasi pada anak besar. Kadang-kadang disertai sumbatan hidung dan nyeri kepala yang hilang timbul, bersin yang terus menerus disertai sekret purulen dapat
29
unilateral maupunn bilateral. Komplikasi sinusitis harus dipikirkan apabila didapat pernafasan melalui mulut ynag menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas.
Dapat terjadi penutupan Tuba Eustachii dengan gejala tuli atau infeksi menembus langsung daerah telinga tengah dan menyebabkan otitis media akut (OMA). Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai suhu badan yang mendadak tinggi, kadang-kadang menyebabkan kejang demam. Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau memegang telinganya yang nyeri. Kadang-kadang hanya ditemukan gejala demam, gelisah dan kadang-kadang disertai gejala muntah dan diare.
Penyebaran infeksi nasofaring ke bawah dapat menyebabkan radang saluran nafas bagian bawah seperti laringitis, trakeitis, bronkitis, dan bronkopneumonia.
f. Pengobatan Hanya simptomatik, yaitu diberikan ekspektoran untuk mengatasi abtuk; sedativum untuk menenangkan dan antipiretikum untuk menurunkan demam. Obstruksi hidung pada bayi sangat sukar diobati. Pengisapan lendir dari hidung dengan berbagai alat tidak efektif dan biasanya berbahaya. Cara terbaik penyaluran sekret ialah dengan mengusahakan posisi bayi dalam “prone position”. Pada anak besar dapat diberikan tetes hidung larutan efedrin 1%. Bila ada infeksi sekunder hendaknya diberikan antibiotika. Batuk
30
yang produktif merupakan kontraindikasi pemberian antitusif (kodein) karena terjadi depresi pusat bauk dan pusat muntah, mudah terjadi penumpukan sekret sehingga terjadi bronkopneumonia. 2. Pertusis Pertusis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas. Diperkirakan pada tahun 2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara sedang berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak. Masa inkubasi pertusis 9–10 hari (6–20 hari) yang terbagi atas 3 stadium, yaitu: 1) stadium kataral (2-7 hari); 2) stadium paroksismal (1-2 minggu, namun bisa mencapai 8 minggu) adalah karakteristik “batuk pertusis” terutama pasien anak usia 6 bulan s/d 5 tahun; dan 3) stadium konvalesens. Masa stadium kataral sampai konvalesens dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Sindrom pertusis memberikan tanda dan gejala mirip dengan pertusis, namun manifestasi klinisnya ringan dan tidak memiliki stadium sebagaimana yang disebabkan B. pertussis.
Penyebab sindrom pertusis adalah virus dan bakteri
lain diluar B. pertussis. Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu yang belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai angka 100%. B. pertussis merupakan patogen eksklusif
pada
manusia,
sedangkan
B.
bronchiseptica,
B.
parapertussis, dan B. holmesii mampu mengakibatkan infeksi saluran napas baik pada manusia maupun mamalia. B. bronchiseptica umumnya menyerang yang imukompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Dalam beberapa dekade terakhir, program imunisasi
31
pertusis pada bayi menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam menurunkan kejadian pertusis berat di seluruh dunia. Pada tahun 2008, sekitar 82% bayi menerima 3 dosis vaksin pertusis dan diharapkan mampu menekan angka kematian. (IDAI,2011). a. Diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Kontak
diimunisasi/imunisasi tidak adekuat Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium: 1. Stadium kataral Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa
dengan
penderita
pertusis
dan
belum
demam; rinorea; anoreksia; frekuensi batuk bertambah 2. Stadium paroksismal Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping); post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka merah atau sianosis; mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena leher selama serangan; apatis; penurunan berat badan. 3. Stadium konvalesens: gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus. Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan gejala: Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran
klinis Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic spell, tanpa disertai whoop.
32
Tabel 2.2 gejala pertusis sesuai stadium b. Tata Laksana Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika
dibutuhkan) Observasi
mencegah/mengatasi terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan
ketat
diperlukan
pada
bayi,
untuk
sampai 5-7 hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik tidak berkurang, namun
terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5 Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti
efektif sebagai terapi pertusis. Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik, hipoksia dan/ atau dehidrasi (IDAI,2011)
3. Asma
33
Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi khusus pada penatalaksanaannya. Pengetahuan dasar tentang masalah sensitisasi alergi dan inflamasi khususnya, telah banyak mengubah sikap kita terhadap pengobatan asma anak, terutama tentang peran anti-inflamasi sebagai salah satu dasar pengobatan asma anak. Oleh karena itu pengertian yang lebih baik tentang peran faktor genetik, sensitisasi dini oleh alergen dan polutan, infeksi virus, serta masalah lingkungan sosioekonomi dan psikologi anak dengan asma diharapkan dapat membawa perbaikan dalam penatalaksanaan asma. a. Patogenesis Reaksi inflamasi Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai bronkokonstriksi akibat proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran napas. Karena itu pemberian antiinflamasi memegang peranan penting pada pengobatan dan kontrol asma. Terlihat bahwa setelah pemberian inhalasi kortikosteroid akan terjadi penurunan bermakna sel inflamasi dan pertanda permukaan sel pada sediaan bilas dan biopsi bronkoalveolar. Pemberian bronkodilator saja tidak dapat mengatasi reaksi inflamasi dengan baik.
34
Pada tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta rangsang infeksi maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor kemotaktik yang menimbulkan migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul terjadi pelepasan berbagai mediator serta ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh sel yang saling bekerjasama tersebut yang akan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar pengaruh sel Th2 sebagai regulator penghasil sitokin yang dapat memacu pertumbuhan dan maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak kerusakan epitel serta sebukan sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan mungkin terjadi rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertrofi otot polos.
Sensitisasi Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan antara proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi yang dikenal sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara klinis allergic march terlihat berawal sebagai alergi saluran cerna (diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran napas(asma bronkial, rinitis alergi). Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia kurang dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok anak dengan mengi yang tidak
35
menetap. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi yang akan berkembang menjadi asma terbukti mempunyai kemampuan untuk membentuk respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi berbagai stimuli. Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa kehidupan, secara bertahap mulai dari rangsang alergen makanan dan infeksi virus, sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan mempengaruhi modul respons imun yang akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2. Kecenderungan aktivitas Th2 akan menurunkan produk IL-2 dan IFN-γ oleh Th2. Terbukti bahwa anak dengan respons IFN-γ rendah pada masa awal kehidupannya akan lebih tersensitisasi oleh aeroalergen dan menderita asma pada usia 6 tahun dibandingkan dengan anak dengan respon IFN-γ normal. telah kita ketahui bahwa diagnosis asma pada anak tidak selalu mudah untuk ditegakkan. Beberapa kriteria diagnosis untuk itu selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi umumnya disepakati bahwa hiperreaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif yang perlu untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma pada anak. Gejala klinis utama asma anak pada umumnya adalah mengi berulang dan sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan satu-satunya gejala klinis yang ditemukan. Biasanya batuk kronik itu berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Selain itu harus dipikirkan pula kemungkinan asma pada anak bila terdapat penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik atau gejala batuk malam hari.
36
Mengi pada bayi Sebagian besar manifestasi akan muncul sebelum usia 6 tahun dan kebanyakan gejala awal sudah ditemukan pada masa bayi, berupa mengi berulang atau tanpa batuk yang berhubungan dengan infeksi virus. Hubungan antara mengi semasa bayi dengan kejadian asma pada masa kehidupan selanjutnya telah banyak dibahas, para peneliti umumnya melaporkan bahwa hanya sebagian kecil saja (3-10%) dari kelompok bayi mengi yang
berhubungan
dengan
infeksi
virus
tersebut
akan
memperlihatkan progresivitas klinis menjadi asma bronkial. Infeksi virus semasa bayi yang menimbulkan bronkiolitis dengan gejala mengi terutama disebabkan oleh virus sinsitial respiratori
(RSV),
virus
parainfluenza,
dan
adenovirus.
Kecenderungan bayi mengi untuk menjadi asma sangat ditentukan oleh faktor genetik atopi. Sebagian besar bayi tersebut jelas mempunyai riwayat keluarga atopi serta menunjukkan positivitas lgE anti-RSV serum, dibandingkan dengan bayi mengi yang tidak menjadi asma. Kemampuan bayi untuk membentuk lgE anti RSV ini diyakini sebagai status sensitisasi terhadap alergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu atopi yang mengandung lgE anti-RSV tersebut sudah dalam keadaan tersensitisasi, dan hal ini merupakan faktor risiko terjadinya asma. Sejalan dengan hal itu maka banyak peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik terhadap berbagai alergen (susu, kacang, makanan laut, debu rumah, serbuk sari bunga) pada bayi merupakan faktor risiko dan prediktor untuk terjadinya asma. Para peneliti tersebut juga menyatakan semakin dini terjadi sensitisasi maka risiko
37
untuk menjadi asma menetap juga semakin besar. Dengan demikian maka tidak begitu penting hubungan antara saat timbul mengi pada bayi dengan besarnya risiko terjadinya asma, karena yang menentukan sebetulnya adalah seberapa dini tejadi sensitisasi alergen pada bayi mengi tersebut. Penelitian umum bayi mengi memperlihatkan bahwa kejadian asma akan lebih kerap pada bayi yang mulai mengi pada usia lebih besar, berbeda dengan perkiraan sebelumnya bahwa semakin muda timbulnya mengi maka risiko untuk kejadian asma semakin besar.
Atopi Sebagian sangat besar asma pada anak mempunyai dasar atopi, dengan alergen merupakan pencetus utama serangan asma. Diperkirakan bahwa sampai 90% anak pasien asma mempunyai alergi pada saluran napas, terutama terhadap alergen dalam rumah (indoor allergen) seperti tungau debu rumah, alternaria, kecoak, dan bulu kucing. Telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar pasien asma berasal dari keluarga atopi, dan kandungan IgE spesifik pada seorang bayi dapat menjadi prediktor untuk terjadinya asma kelak di kemudian hari. Karena itu sangat penting untuk menelusuri dan membuktikan faktor atopi sebagai pendekatan diagnosis klinis pada anak dengan gejala klinis yang sesuai dengan asma bronkial. Riwayat atopi dalam keluarga, riwayat penyakit atopi sebelumnya pada pasien, petanda atopi fisis pada anak, petanda laboratorium untuk alergi, dan bila
38
diperlukan uji eliminasi dan provokasi, dapat menunjang diagnosis asma pada anak tersebut. b. Tata laksana Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi, dan perilaku yang memberi peluang sangat besar bagi kita untuk melakukan upaya pencegahan, kontrol, self-management, dan pengobatan asma. Walaupun medikamentosa selalu merupakan unsur penting pengobatan asma anak, harus tetap diingat bahwa hal tersebut hanyalah merupakan salah satu dari berbagai komponen utama penatalaksanaan asma. Penatalaksanaan asma yang baik harus disokong oleh pengertian tentang peran genetik, alergen, polutan, infeksi virus, serta lingkungan sosioekonomi dan psikologis pasien beserta keluarga. Pendidikan dan penjelasan tentang asma pada pasien dan keluarga merupakan unsur penting penatalaksanaan asma pada anak. Perlu penjelasan sederhana tentang proses penyakit, faktor risiko, penghindaran pencetus, manfaat dan cara kontrol lingkungan, cara mengatasi serangan akut, pemakaian obat dengan benar, serta hal lain yang semuanya bertujuan untuk meminimalkan morbiditas fisis dan psikis serta mencegah disabilitas. Bila ditangani dengan baik maka pasien asma dapat memperoleh kualitas hidup yang sangat mendekati anak normal, dengan fungsi paru normal pada usia dewasa kelak walaupun tetap menunjukkan saluran napas yang hiperresponsif.
4. Bronchitis a. Patofisiologi
39
Mukosiliar clearance merupakan mekanisme pertahanan yang penting yang melindungi paru-paru dari efek berbahaya dari polutan yang dihirup, alergen, dan patogen. Disfungsi mukosiliar adalah fitur umum dari penyakit saluran napas kronis. Aparatus mukosiliar terdiri dari 3 kompartemen fungsional: silia, lapisan lendir pelindung, dan airway surface liquid (ASL) lapisan saluran napas, yang bekerja sama untuk menghilangkan partikel inhalasi dari paru-paru. Data studi telah mengidentifikasi peran penting untuk ASL dehidrasi dalam patogenesis disfungsi mukosiliar dan penyakit saluran napas kronis. [5] deplesi ASL mengakibatkan berkurangnya clearance mukus dan histologis tanda-tanda penyakit saluran napas kronis, termasuk obstruksi mukosa, hiperplasia sel goblet, dan kronis infiltrasi sel inflamasi. Hewan studi mengalami penurunan izin bakteri dan kematian paru tinggi sebagai hasilnya. Peran paparan iritan, terutama asap rokok dan udara partikulat, dalam berulang (serak) bronkitis dan asma menjadi lebih jelas. Kreindler et al menunjukkan bahwa fenotipe transportasi ion sel epitel manusia normal bronkus terkena ekstrak asap rokok adalah mirip dengan cystic fibrosis epitel, dimana sodium diserap dari proporsi klorida sekresi dalam pengaturan peningkatan produksi lendir. [6 ] Temuan ini menunjukkan bahwa efek negatif dari asap rokok pada clearance mukosiliar dapat dimediasi melalui perubahan dalam transportasi ion.
b. Etiologi
40
Virus merupakan penyebab tersering. Sebagai contoh Rhinovirus, Respiratory sintyval virus (RSV), virus influensa, para influensa, Adenovirus, dan Coxsackie virus. Bronkitis akut selalu terdapat pada anak yang menderita morbili, pertusis, dan infeksi Mycoplasma pneumonea. Belum ada bukti yang menunjukkan bahawa penyakit ini disebabkan bakteri. Di lingkungan sosio ekonimi buruk biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. c. Gejala Klinis Biasanya dimulai ole tanda tanda infeksi saluran napas atas oleh virus. Batuk mula mula kering, setelah dua tiga hari menjadi berdahak dan terdengar suara lendir. Dahak mukoid kental sering tidak keliatan karena tertelan. Dahak mungkin kental dan kuning, tetapi tidak berarti adanya infeksi bakteri sekunder. Anak mula mula tidak napas dan pada anak besar mengeluh rasa sakit retrosternal. Beberapa hari pertama tidak timbul kelainan pada pemeriksaaan dada, tetapi kemudian dapat timbul ronki basah kasar dan suara napas kasar. Batuk kemudian hilang selama satu dua minggu. Bila dalam dua minggu selanjutnya masih tetap batuk, mungkin ada kolaps paru segmental atau infeksi bakteri sekunder. Mengi (wheezing) dapat terjadi pada penderita bronkitis, akibat bronkitis atau terdapat kemungkinan terjadinya asma. d. Penatalaksanaan Berhubungan penyebab adalah virus, maka pengobatan kausal belum ada yang perlu diberikan. Antibiotik tidak ada gunanya. Tapi bila batuk terjadi selama 2 minggu atau lebih maka bisa diberikan
41
antibiotik untuk membunuh bakteri sekunder itu misalnya amoksisilin, kotrimoksasol, dan golongan makrolid.
5. Pneumonia dan Bronkopneumonia Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan
paru
dan
gangguan
pertukaran
gas
setempat (Bradley et.al., 2011) a. Klasifikasi Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. Berdasarkan lokasi lesi di paru : Pneumonia lobaris, Pneumonia
interstitialis, Bronkopneumonia Berdasarkan asal infeksi : community acquired pneumonia =
CAP & hospital-based pneumonia Berdasarkan mikroorganisme penyebab : Pneumonia bakteri,
Pneumonia virus, dll Berdasarkan karakteristik penyakit : Pneumonia tipikal,
Pneumonia atipikal Berdasarkan lama penyakit : Pneumonia akut, Pneumonia persisten.
b. Bronkopneumonia Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang
42
biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa. c. Epidemiologi Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011). d. Etiologi Penyebab
bronkopneumonia
yang
biasa
dijumpai
adalah(Bradley et.al., 2011) : 1. Faktor Infeksi a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV). b. Pada anak-anak dan bayi : 1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV 2) Organisme
atipikal
: Mycoplasma
pneumonia,
Chlamidia trachomatis, Pneumocytis 3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis, Streptokokus
43
pneumoni, Haemofilus
influenza, Mycobacterium tuberculosa, Bordetellapertusis c. Pada anak besar – dewasa muda : 1) Organisme atipikal: Mycoplasma
pneumonia, C.
trachomatis 2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella
pertusis, M.
tuberculosis 2. Faktor Non Infeksi. Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus. e. Patogenesis Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya
44
hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intraalveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunancompliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian
menyebabkan
terjadinya
hipoksemia.
Selanjutnya
desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 810 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan. Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu : 1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti) Disebut hiperemia,
mengacu
pada
respon
peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
45
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 3. Stadium III (3-8 hari berikutnya) Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. 4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya) Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. f. Manifestasi klinik
46
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013). Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,
interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama
inspirasi
melawan
resistensi
tinggi
jalan
nafas
menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan
lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua. Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”,
47
yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”,
adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai. Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah
tekanan negatif faring selama inspirasi. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena
tidak
menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis)
maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembunggelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
g. Pemeriksaan radiologi
48
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013). h. Kriteria diagnosis Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :
Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan
tarikan dinding dada Panas badan Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles) Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus Leukositosis (pada infeksi virus tidak
melebihi
20.000/mm3dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.00040.000/mm3neutrofil yang predominan) i. Komplikasi Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis)
atau
penyebaran
bakteremia
dan
hematologi.
Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi. j. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus. 1. Penatalaksaan Umum a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit à sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
49
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit. c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena. 2. Penatalaksanaan Khusus a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal. b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung c. Pemberian penyebab
antibiotika dan
berdasarkan
manifestasi
mikroorganisme klinis. Pneumonia
ringan àamoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan
epidemiologis Berat ringan penyakit Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis Ada tidaknya penyakit yang mendasari Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia
pada anak harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia. 1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : a. ampicillin + aminoglikosid b. amoksisillin - asam klavulanat c. amoksisillin + aminoglikosid d. sefalosporin generasi ke-3 2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) a. beta laktam amoksisillin b. amoksisillin - asam klavulanat c. golongan sefalosporin d. kotrimoksazol
50
e. makrolid (eritromisin) 3. Anak usia sekolah (> 5 thn) a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin) b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun). Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam àganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik
tidak
efektif).
6. Tuberculosis anak Penyakit tuberkulosis (TB) pada anak walaupun dikatakan merupakan “Self limited disease” atau “Stable disease” sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negaranegara berkembang. Indonesia merupakan negara dengan proporsi TB tertinggi nomer 3 (tiga) setelah India (30%) dan Cina (15%) yaitu sebesar 10. Angka kesakitan tuberkulosis anak merupakan parameter berhasil tidaknya pemberantasan tuberkulosis di suatu daerah. Dan perlu diingat pula bahwa tuberkulosis anak merupakan penyakit sistemik.
a. Klasifikasi tb anak
51
1. TB Primer -
Komplek Primer
-
Komplikasi paru dan alat lain (sistemik)
2. TB Post Primer -
Re infeksi endogen (karena daya tahan tubuh turun, kuman yang indolen aktif kembali)
-
Re infeksi eksogen
Komplek Primer : Di paru basil yang berkembang biak menimbulkan suatu daerah radang yang disebut afek/fokus primer dari Gohn. Basil akan menjalar melalui saluran limfe dan terjadi limfangitis dan akan terjadi limfadenitis regional. Pada lobus atas paru akan terjadi pada kelenjar limfe pada trakheal, sedangkan pada lobus bawah akan terjadi pada kelenjar limfe hiler. Komplikasi Paru dan alat lain Dapat terjadi penyebaran secara limfogen hematogen akan terjadi TB milier, meningitis TB, bronkogenik, pleuritis, peritonitis, perikarditis, TB tulang dan sendi. b. Diagnosis tb anak
Test Tuberkulin Ada 2 macam tuberkulin yang dipakai yaitu Old tuberkulin dan Purified protein derivate dengan cara Mantoux. Yaitu dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan bawah.Reaksi dilihat 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Uji Tuberkulin positif menunjukkan adanya
52
infeksi TB. Reaksi ini akan bertahan cukup lama walaupun pasien sudah sembuh sehingga uji Tuberkulin tidak dapat digunakan untuk memantau pengobatan.
Keadaan umum anak Curiga adanya TB anak bila :
-
Sering panas
-
Sering batuk pilek (batuk kronis berulang)
-
Nafsu makan menurun
-
Berat badan tidak naik
Laboratorium hematologi Tidak banyak membantu. Laju endap darah meninggi pada keadaan aktif dan kronik. Pada stadium akut bisa terjadi lekositosis dengan sel polimorfonuklear yang meningkat selanjutnya limfositosis. Gambaran hematologik dapat membantu mengamati perjalanan penyakitnya. Gambaran darah yang normal tidak / belum dapat menyingkirkan diagnosis tuberkulosis.
Foto Rontgen Foto thoraks yang khas adalah : -
Fokus primer
-
Limfadenitis pada trakhea -
Limfangitis
Foto thoraks yang jelas : -
TB milier
-
Bronkhogenic Spread
Foto Rontgen thoraks tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal
53
Pemeriksaan bakteriologis Merupakan diagnosis pasti bila ditemukan kuman basil tahan asam, tetapi sulit pada bayi dan anak. Bahan pemeriksaan dapat diambil dari sputum (pada anak besar), bilasan lambung pagi hari atau dari cairan lain : LCS, Cairan pleura, cairan pericard. Pemeriksaan dapat dilakukan cara langsung, biakan dengan metode lama, radiometrik (Bactec), PCR
Pemeriksaan histopatologi Jarang dilakukan pada anak, dilakukan dengan biopsi misalnya dari kelenjar limfe
Pemeriksaan fungsi paru Pada umumnya fungsi paru tak terganggu kecuali pada bronkhiektasis hebat. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada TB anak yang memerlukan tindakan operatif.
Pemeriksaan terhadap sumber penularan Dicari sumber infeksi baik dari keluarga maupun orang lain,
dilakukan
pemeriksaan
sputum,
foto
paru,
pemeriksaan darah. Bila positif sebaiknya diisolasi untuk mengurangi kontak dan dilakukan pengobatan.
Serologi : hasil kurang memuaskan dan masih kontroversi, hasil tergantung dari :
-
Umur
-
Status imunisasi
-
Mycobacterium atypic
-
Tidak dapat membedakan infeksi dan sakit
Interfedon γ Problem utama dan penatalaksanaan TB anak adalah :
54
a. Diagnosis : -
Gejala klinik tidak specifik sehingga sering terjadi over / under diagnosis dan over/under treatment
-
Belum ada alat diagnostik yang pasti
-
Infeksi TB atau sakit TB tidak ada alat diagnostik yang dapat membedakan
b. Kepatuhan berobat -
Banyak terjadi putus obat yang berakibat kegagalan pengobatan
SISTEM SKORING TB ANAK IDAI GEJALA Kontak Tes Tuberkulin BB
0 Tidak jelas -
Panas Batuk Pembesaran kelenjar
< 3 mg
1 Bbm
2 BTA (-) Gizi buruk
3 BTA (+) Positif -
BB Penyebab
-
-
SKOR
tdk jelas ≥ 3 mg > 1 kel ≥ 1 cm
Tulang / Sendi Foto thorax
Normal
tdksakit Bengkak Sugestif TOTAL Tabel 2.2 sistem skoring TB anak IDAI
c. Pengobatan tb anak
55
Tujuan pengobatan TB anak adalah : -
Menurunkan / membunuh kuman dengan cepat
-
Sterilisasi kuman untuk mencegah relaps dengan jalan pengobatan Fase intensif (2 bulan) : mengeradikasi kuman dengan 3 macam obat : INH, Rifampisim dan PZA Fase pemeliharaan (4 bulan) : akan memberikan efek sterilisasi untuk mencegah terjadinya relap : menggunakan 2 macam obat : INH & RIF
-
Mencegah terjadinya resistensi kuman TB
PRINSIP PENGOBATAN TB ANAK -
Kombinasi lebih dari satu macam obat. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap obat
-
Jangka panjang, teratur, dan tidak terputus. Hal ini merupakan masalah kadar kepatuhan pasien.
-
Obat diberikan secara teratur tiap hari
OBAT YANG SERING DIGUNAKAN PADA TB ANAK OBAT INH
Rifampicim
SEDIAAN
DOSIS (mg/kg BB) 5 – 15 mg
Tablet 100 mg
DOSIS MAKS 300 mg
ESO Hepatitis, neuritis
Tablet 300 mg
perifer
Sirup 10 mg/ml Kapsul/ kaplet
hipersensitif Urine/sekret merah
10 - 15
600 mg
150,300,450,600
hepatitis, mual
Sirup 20 mg/ml
flulike reaktion
56
Pirazinamid
Tablet 500 mg
Etambuzol
25 – 35
Tablet 500 mg
15 – 20
2g
Hepatitis
2,5 g
hipersensitif Neurilis optika ggn visus /warna ggn
Streptomisin
Injeksi
15 - 40
1 gram
saluran cerna Ototoksis
nefrotokis Tabel 2.3 Obat TB anak E. Tatalaksana. 1. Nebulizer Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui penghisapan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai macam obat seperti antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi. Untuk mencapai sasaran di paru-paru, partikel obat asma inhalasi harus berukuran sangat kecil (2-5 mikron). Keuntungan terapi inhalasi ini adalah obat bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan asma karena setelah dihisap, obat akan langsung menuju paru-paru untuk melonggarkan saluran pernapasan yang menyempit. Selain itu memerlukan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama, dan harga untuk setiap dosis lebih murah. Untuk efek samping obat minimal karena konsentrasi obat di dalam rendah.
57
Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup larutan obat yang telah diubah menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok digunakan untuk anak-anak, usila dan mereka yang sedang mengalami serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa kompresor dan ultrasonic. Tidak ada kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer, karena pasien cukup bernapas seperti biasa dan kabut obat akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Satu dosis obat akan terhirup habis tidak lebih dari 10 menit. Contoh produk yang bisa digunakan daengan nebulizer: Bisolvon solution, Pulmicort respules, Ventolin nebulas. Anak-anak usia kurang dari 2 tahun membutuhkan masker tambahan untuk dipasangkan ke nebulizer. Untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas untuk mengobati bronkospasme akut, produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak napas dan epiglottis. Keuntungan nebulizer terapi adalah medikasi dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan rendah. Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik. Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat daripada rute lainnya seperti subkutan/oral. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat membantu mengeluarkan sekresi bronkus.
58
Indikasi:
Rasa tertekan di dada
Peningkatanproduksi secret.
Pneumonia ( kongesti) danatauatelektasis.
Kontraindikasi:
Pasien yang tidak sadar/confusion tidak kooperatif dengan prosedur
ini,
membutuhkan
mask/sungkup,
tetapi
mask
efektifnya berkurang secara spesifik.
Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak ada/berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat menggerakkan/memasukkan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.
Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus dengan perlahan. Ketika diinhalasi katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan menimbulkan disritmia.
Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/Intermittent Positive Pressure Breathing, Sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronkhospasme.
Peralatan:
59
Nebulizer dan tube penghubung
Cannula oksigen
Tube berkerut, pendek
Sumber kompresi gas/O2/udara/compressor udara
Medikasi/obat yang diberikan melalui nebulizer.
Persiapan:
Tempatkan pasien pada posisi tegak/40-90 derajat yang memungkinkan klien ventilasi dan pergerakan diafragma maksimal.
Kaji suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum medikasi diberikan.
Kaji heart rate selama pengobatan, jika heart rate meningkat 20x per menit, hentikan terapi nebulizer, pada pasien hamil, heart fetus harus dikaji.
Instruksikan pasien untuk mengikuti prosedur dengan benar, lakukan perlahan, napas dalam dam tahan napas saat inspirasi puncak beberapa saat.
Tahapan prosedur:
60
Berikan oksigen suplemen, dengan flow rate disesuaikan menurut kondisi/keadaan pasien, pulse oxymetri/ hasil AGD. Inhalsi katekolamin dapat merubah ventilasi-perfusi paru dan memperburuk hipoksemia untuk periode singkat.
Pasang nebulizer dan tube dan masukkan obat ke dalam nebulizer sesuai program (obat-obat bronchodilator ada yang berupa cairan untuk pengobatan hirup, cairan bronchodilator sebanyak 0,3-0,5 ml).
Ditambahkan /dicampur sejumlah normal saline steril sebanyak 1 ml sampai 1,5 ml ke nebulizer sesuai program.
Hubungkan nebulizer ke sumber kompresi gas, berikan oksigen 6-8 liter/menit, sesuaikan flow rate oksigen sampai kabut yang keluar sedikit tipis, jika terlalu kuat arusnya obat dapat terbuang sia-sia.
Pandu pasien untuk mengikuti tehnik bernapas yang benar.
Lanjutkan pengobatan sampai kabut tidak lagi diproduksi.
Kaji ulang suara napas, pulse rate, saturasi oksigen dan respiratory rate.
Pemberian
mungkin
membutuhkan
waktu
selama
10-15
menit/30-40 menit. Komplikasi/efek samping obat berupa nausea, vomit, tremor, bronkospasme, takikardia.
61
2. OTC (Over The Counter) Mechanisms of Action of Common OTC Products This section briefly reviews the principal mechanisms of action of some of the most common active ingredients found in OTC pain relievers and products used to treat symptoms of the common cold, the flu and allergies. Pain Relievers Three types of pain relievers are used in OTC products: salicylates (of which aspirin is the most widely used); propionic acid derivatives (ibuprofen [Advil, Menadol, Motrin], naproxen sodium [Aleve], ketoprofen [Orudis KT]), and aminophenols (of which only acetaminophen [Panadol, Tempra, Tylenol] is widely used as a pain reliever)? Table 2 gives dosages for these OTC pain relievers. The therapeutic effects of aspirin and the propionic acid derivatives, also known
as the
non- steroidal
anti-inflammatory
drugs
(NSAIDs), result from the inhibition of prostaglandin synthe- sis. Prostaglandins, which regulate many homeostatic processes, are produced locally at sites of tissue injury, where they sensitize nerve endings to painful stimuli and also produce inflammation.6 In the central
nervous
system
(CNS),
prostaglandins
and
similar
substances (collectively referred to as prostanoids) regulate sleep, body temperature and pain. There are several different types of prostaglandins, but they are all synthesized from a common precursor
(arachidonic acid)
enzymes. NSAIDs
inhibit
62
by the
the
cyclooxygenase
enzymatic
activity
of
(COX) COX,
preventing the synthesis of prostaglandins. Acetaminophen relieves pain and reduces fever, but has little or no anti-inflammatory effect. The precise mechanism by which acetaminophen produces analgesia is not well understood. It has long been known that it inhibits
the
synthesis of prostaglandins
in
the
CNS.’
Acetaminophen is thought to have little or no effect on the activity of COX or the production of prostaglandins in the peripheral tissues, although it has been suggested that the drug may affect a subtype of the COX enzyme that is distinct from the subtypes that are inhibited by the NSAIDS.~ Because of its relative lack of effect on COX in peripheral tissues such asthe kidneys or gastrointestinal (GI) tract, aceta- minophen is less likely than the NSAIDs to cause adverse renal or GI effects. Even among patients who have consumed very large doses of acetaminophen, few cases of acute renal failure have been reported? For this reason, acetaminophen is considered an alternative to aspirin or NSAIDs for patients who are at risk of renal side effect.
Antihistamines Histamine in an inflammatory mediator
that
is associated with
fatigue, itching, irritation of the nasal passages, sneezing and the production of nasal mucus. Hist- amine acts by binding to and stimulating histamine H, receptors found on nerve endings, smooth muscle cells and glands. Besides blocking the H, receptors and
preventing
hista- mine
from
stimulating
them,
thefirst-
generation antihistamines also exert anticholinergic or serotonergic effects, as well as local anesthetic and sedative effects.” Commonly
63
used OTC Allergy,
antihistamines
include
Banophen, Diphenhist),
diphenhydramine (Benadryl brompheniramine (Dimetapp
Allergy) and chlor- pheniramine (Aller-Chlor, Chlo-Amine, ChlorTrimeton Allergy).
While
these drugs
are commonly
used in
combinationcough and cold medications, their usefulness in the treatment of upper respiratory infections (URIS) is limited to relieving rhinorrhea. Decongestants Only
one
Genaphed,
oral
decongestant,
Sudafed),
Pseudoephedrine
is
pseudoephedrine (Allermed,
currently approved
is an alpha- adrenergic
agonist.
by the FDA. It acts
on
adrenergic receptors in the blood vessels of the nasal mucosa to produce vasoconstriction, resulting in decreased blood flow and shrinkage of tissue in the nasal passages.” Cough Medications Cough medications are classified as antitussives and expectorants. Antitussives, such as dextromethorphan (Drixoral, Pertussin CS, Robi- tussin Pediatric) or codeine, work by directly affecting CNS sites
that
guaifenesin
regulate the
cough
reflex. Only
(Guiatuss, Robitussin, Tusibron),
one
expectorant,
is used
in OTC
products. It is thought to thin bronchial secretions and make coughing more productive, although these effects are not well supported by the medical literature. Side Effects OTC medications possess a low risk of side effects when used at therapeutic doses. When used occasionally by healthy adults,
64
serious negative side effects are not a major issue. That said, these drugs are not risk free. Certain subsets of patients, such as the very young, the elderly, those with impaired renal function and those taking multiple medications, are at an increased risk of injury caused by OTC pain relievers, antihistamines, the decongestant pseudoephedrine, and antitussives and expectorants. Pain Relievers Aspirin and the NSAlDs On the whole, intolerable side effects caused by aspirin are unusual, and the drug is well tolerated by the vast majority of patients who use it. Several side effects have been reported, however, including cardiovascular effects (dysrhythmias, hypotension, tachycardia), fluid and electrolyte imbalances, and hearing loss or tinnitus. These effects are dosage-related and are more
common at
the
high
dosages
used to
produce
anti-
inflammatory effects than at the dosages usually used for relief of transient
symptoms.‘ The principal
hazard with
aspirin
is GI
irritation and bleeding, and it is for this reason that the newer NSAIDs have largely taken over aspirin’ s one-time role as the OTC analgesic of choice. As discussed previously, aspirin and NSAIDs relieve pain and inflammation
by
inhibiting
the production
of
prostaglandins.
Prostaglandins are responsible for regulating physiologic processes important to the health of the gastric mucosa, such as maintaining the protective mucous layer and regulating pH, the secretion of bicarbonate and the flow of blood to the tissues. By inhibiting these
processes,
gastrointestinal
aspirin and NSAIDs can produce a variety complications,
65
ranging from
relatively
of mild
dyspepsia
to
more
severe problems
such
as gastrointestinal
hemorrhage. Although the risk of serious adverse events for an individual patient is generally small, the large number of people who use these pain medications on a regular basis implies that many potentially serious adverse events occur each year. With respect to ibuprofen, the probability of GI bleeding or ulceration is proportional to the dose taken and especially to the duration of treatment. Gastropathy can happen with OTC doses of ibuprofen, although it is not likely in less than two weeks of treatment. GI effects are more likely to occur in older people. Ketoprofen and naproxen
sodium, though
less
studied than
ibuprofen,
are
associatedwith a higher risk of side effects than placebo.16 In a recent study of the factors that contribute to GI bleeding, use of OTC NSAIDs was identified as a significant risk factor.16 For study participants who used an OTC NSAID (aspirin, ibuprofen, naproxen sodium), the risk of GI bleed was about three times as high as it was for those who did not. When data from this study were statistically adjusted for a number of other risk factors, such as age, sex, alcohol
use, previous
GI
bleed and
the presence of
dyspepsia, the odds of GI bleed in patients who used aspirin or ibuprofen increased as the daily dosage increased. Aspirin and NSAIDs are also associated with the formation of esophageal strictures.” In one small study (n = 79), patients undergoing endoscopy for gastroesophageal reflux disease (GERD) were considered to be NSAID users if they used these medications at least twice a week for a period of at least six months before endoscopy. Those who had strictures that required dilation were significantly more likely to be NSAID users (63.6 percent) than
66
those who had strictures that did not require dilation (26.1 percent). This was true even for those who weretaking low-dose aspirin daily. These findings sug- gest that regularity of NSAID exposure is a stronger predictor of stricture formation than dosage. Several factors are associated with an increased risk of NSAIDinduced gastropathy: * Age * Daily NSAID dosage * History of prior ulcer, GI hemorrhage, dys- pepsia and/or previous NSAID intolerance * Use of corticosteroids * Use of anticoagulants * Poor general health Even low-dose
aspirin, which
is often
used to help prevent
cardiovascular disease, may be associated with a significant risk of adverse GI effects in certain patients. In one study, those who used aspirin were two to three times as likely to be hospitalized for GI bleed as those who did not, and those who used aspirin in combination with other NSAIDs were even more likely to be hospitalized than those who used aspirin alone. The increased risk was similar whether enteric-coated aspirin or non-coated aspirin was used and was observed almost exclusively in patients who were over the age of 60.
67
Individuals who are at high risk of developing NSAID-related gastropathy may benefit from con- current use of gastroprotective medication. Misoprostol (Cytotec), proton-pump inhibitors such as omeprazole (Prilosec) and high dosages of histamine H, receptor antagonists such as famotidine (Pepcid) have all been investigated for the reduction of adverse GI effects of NSAIDs. Misoprostol has been shown to
reduce
the incidence of ulcers when used
prophylactically, although it is expensive and is associated with side effects of its own, especially diarrhea. Proton-pump inhibitors and histamine H, receptor antagonists have also been shown to be effective
in
healing
lesions, but
only
misoprostol reduces
complications associated with ulcers. Topical NSAIDs, which are commonly used to provide pain relief for arthritis and other diseases that cause painful joints, can produce local reac- tions such as itching, rash and eczema in a relatively small number of individuals. It should be noted that topical application of NSAIDs does result in some degree of systemic absorption
and diffusion. Systemic
effects such
as an
increased risk of GI bleeding and renal impairment have been reported, although rarely, with topical NSAID use, and there is little information about the long-term adverse effects associated with these agents.** A review of topical NSAID use, both acutely (for musculoskeletal pain) and chronically, found that topical NSAID application
may produce
little
therapeutic benefit beyond that
produced by placebo; however, it does appear to be associated with a lower risk of systemic adverse effects than oral NSAID use. NSAIDs can produce a number of adverse effects on kidney function and, indirectly, on the cardiovascular system. The renal
68
effects of NSAIDs can vary from mild peripheral edema to irreversible renal damage or renal failure, which are less common. Under normal circumstances, the production of prostaglandins plays a relatively minor role in kidney function, but prostaglandin synthesis becomes more important under conditions of increased renal stress. By inhibiting prostaglandin synthesis, NSAIDs can disturb electrolyte balance, can cause vasodilation and can cause the release of renin (which exerts a number of effects including production of aldosterone and increases in potassium secretion, blood pressure and renal perfusion). Some clinical manifestations of the effects of NSAIDs on kidney function include edema and weight gain. Signs of acute kidney failure include elevated serum creatinine, blood urea nitrogen, serum potassium and weight gain. Other conditions such as nephrotic syndrome with acute interstitial nephritis or renal papillary necrosis have been reported but are quite rare with normal NSAID use. Like aspirin, NSAIDs may also exacerbate hypertension or interfere with the effectiveness of blood pressure medications, although NSAIDs do not appear to elevate blood pressure in normotensive individuals. There have also been reports of
hepatic injury with
aspirin
or
nonsalicylate NSAID use. The risk of this type of injury is thought to be low for most individuals, but it is greatest for those who take high doses of aspirin, especially if there is pre- existing liver disease, juvenile arthritis or rheumatic fever. Acetaminophen The long-term use of high dosages of analgesics, especially combination products that also contain caffeine or codeine, can
69
cause
a specific
nephropathy. This
form
of renal
disease is
disease
characterized
known by
as analgesic
renal
papillary
necrosis and chronic interstitial nephritis. It is different from NSAID-related renal toxicity, which is associated with acute renal failure. Analgesic nephropathy is a chronic, progressive disorder that develops with years or decades of analgesic use. It appears to require daily consumption of analgesics for a period of at least five years. It was initially attributed to the use of the analgesic phenacetin, which was withdrawn from the market in the United States and other countries in the 1980s. However, it has also been observed with acetaminophen and aspirin, especially when the two drugs are used in combination. Symptoms of analgesic nephropathy include headache, malaise, weight loss, flank pain and dyspepsia. Signsinclude hypotension, mild proteinuria and impaired urinary concentration. Analgesics and caffeine may exert direct toxic effects on kidney cells. In one study that examined the effects of aspirin, NSAIDs, acetaminophen and caffeine, either alone or in combination, on renal medullary cells in a cell culture system, all of these drugs were directly toxic to cultured renal inner medullary cells.2’ The combination
of
aceta- minophen
and caffeine produced a large
synergistic effect, a finding that seems to fit well with the role of caffeine-containing products in the risk of analgesic nephropathy. This effect did not appear to be caused by COX inhibition, because the concentration of drugs required to produce toxicity was an order of magnitude greater than the con- centration required to completely inhibit the enzyme. The effect of analgesic exposure appeared to be primarily limited
70
to a small number
of rapidly
dividing
cells, which
appears only
after
may explain why a long
period
analgesic nephropathy of exposure
at
high
concentrations. Finally, drug concentrations in this study were comparable to those that might be observed in the kidneys of persons taking high doses of medication. Although these studies show that analgesic use can have adverse effects on renal function under some circumstances, one large, long-term prospective study suggests that even long-term exposure to moderate levels
of NSAIDs or acetaminophen does not
significantly affect kidney function in most individualszh The ongoing Physicians’ Health Study, which includes more than 11,000 healthy male physicians, has examined the effects of aspirin, NSAID and acetaminophen use over a period of 14 years. After adjustments were made for changes in renal function with age, no signifi- cant effect on creatinine level or creatinine clearance was observed as a function of NSAID or acetaminophen use, even among subjects who consumed the most medication (an average of three to four pills per week over the 14-year period). Nor was renal function affected among the oldest par- ticipants, who might have been expected to be at the greatest risk. The results of this study underscore the fact that for the large majority of normal users of pain relievers, these agents can be used safely and are not likely to produce clinically significant effects on renal function. However, it should be noted that the subjects in this study were, in the aggregate, in significantly better health than a true cross section sample
of American men of
the same age. A
more
recently
published epidemiologic study found an association between the long-term use of acetaminophen or aspirin and chronic renal failure.
71
In this study, all of the patients had pre- existing renal or systemic disease. This may explain in part why this study produced different findings than those of the Physicians’ Health Study. Acetaminophen use is associated with much lower risk of GI effects, including GI bleed, presumably because the drug has little effect on prostaglandin synthesis. Antihistamines and Pseudoephedrine First-generation
antihistamines
are especially sedating and can
significantly impair a person’ s ability to drive and operate machinery-in some cases even more so than alcohol at a blood alcohol concentration level of 0.1 percent. In one study, participants took the recommended adult dosage (50 mg) of diphenhydramine and then completed driving simulation tests. Drivers’ self-ratings of drowsiness were only weakly correlated with
their driving
performance, suggesting that individuals who use antihistamines may not be aware that their performance is being affected. Use of antihistamines is often discouraged among the elderly because of an increased risk of falls. All antihista- mines can cause dryness of the mouth or eyes. The decongestant pseudoephedrine, in oral formulations,
is associated
with
side effects
related to CNS
activation, including nervousness, dizziness and sleeplessness. It can also cause appetite sup- pression, palpitations, increased blood pressure, hyperglycemia, increased intraocular pressure in persons with narrow-angle glaucoma and urinary retention. In very young children, pseu- doephedrine should be used with extreme caution, if at all, because the range between therapeutic and toxic dosages is very narrow. When used by women during the first trimester of
72
pregnancy, this drug is associated with an increased risk of infant gastroschisis (abdominal wall defect). Antitussives and Expectorants The
most
common
side effects of
codeine when used as an
antitussive are nausea, vomiting, sedation and constipation. With dextromethorphan, sedation and GI disturbances are less common, but patients may experience confusion, excitation, nervousness and irritability.”
At
high
dosages, guaifenesin can cause
nausea,
vomiting, dizziness, headache, rash and abdominal pain. OTC use in children Parents often have questions about the best way to manage pain, fever and other symptoms associated with the flu, the common cold and allergies in children. While some parents are reluctant to give their children any medication, physicians can reassure them that, when used appropriately, OTC pain relievers pose very little risk and can improve quality of life for both the child and the parents. In terms of pain relief, acetaminophen and ibuprofen are the most often recommended, and recent reviews have suggested that acetaminophen should be considered first-line treatment in pediatric patients. The use of aspirin should be avoided in children under the age of 18 because of the risk of Reye’ s syndrome. There are fewer data available on the safety and efficacy of ibuprofen use in children, but onerecent randomized trial showed that among very young children
(less
than
two
years of
age) who received either
acetaminophen or ibuprofen for fever, the risk of serious adverse events was small and did not vary by medication choice. Some suggest that ibuprofen be avoided in children who are dehydrated.
73
Allergic responses have been reported when ibuprofen is used by children who are allergic to aspirin or who have asthma. As with any medication, parents should be alerted to symptoms that suggest an allergic reaction, such as hives, shortness of breath or facial swelling, and instructed to discontinue the use of ibuprofen and contact a physician immediately if these symptoms are noted. They should also be encouraged to initiate and maintain clear communication with the child’ s other caregivers to minimize the risk of inadvertent “ double dosing.” One tool to facilitate such communication and enable documentation of a child’ s medication history is a medication log (see Keeping Track of Your Child’ s Medicine). Fever itself rarely requires treatment and, with rare exceptions, is not harmful to the child. Parents should understand that a temperature ashigh as 101°F should not be considered dangerousand that other means of lowering the child’ s tem-perature (e.g., clear liquids, a tepid bath) may helpwithout the need to use medication. Pseudoephedrine
has
been associated
with
halucinations,
hypertension and dystonic reactionswhen used in children and can also cause irritability and hyperactivity. OTC medications containing pseudoephedrine are available for very youngchildren, but because the range between therapeutic and toxic dosage is very narrow in this group,decongestants should be used with extreme care,
if at all. Narcotic
antitussives
such as
codeine are
notrecommended in young children and are reportedto have caused fatalities, especially when used in infants.
74
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Pada skenario kasus I diketahui bahwa pasien datang dengan keluhan batuk pilek mengindikasikan dugaan pasien menderita common cold. Selain itu, hasil pemeriksaan fisik yang didapat menunjukkan adanya demam serta peningkatan laju pernafasan. Hal ini semakin menguatkan bahwa pasien menderita common cold yang disebabkan oleh virus. Penatalaksaan pada kasus I ini, karena penyakit ini disebabkan oleh virus sehingga terapinya berupa self limitting. Selain itu, untuk mengurang keluhan batuk dapat diberikan antitusif serta demam dapat diberikan antipiretik. Pada skenario kasus II diketahui bahwa pasien mengeluh batu pilek dengan dahak putih mengindikasikan adanya proses inflamasi atau infeksi pada sistem pernafasan. Ditambah lagi hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya demam serta peningkatan laju pernafasan. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien menderita pneumonia akut. Hal ini diperkuat dengan pasien yang sulit bernafas serta adanya retraksi dinding dada.
75
Penatalaksanaan yang diberikan bergantung pada hasil pemeriksaan penunjang. Akan tetapi, sebaiknya ketika menunggu hasil pemeriksaan penunjang maka pasien dapat diberikan terapi simptomatik berupa antitusif serta antiiretik. Dikarenakan pneumonia terbanyak disebabkan oleh bakteri maka dapat diberikan antibiotik.
B. SARAN 1. Sebaiknya untuk pasien kasus I dapat diberikan terapi simptomatik. Untuk kasus II dapat diberikan terapi simptomatik terlebih dahulu serta diberikan oksigen untuk menghindari adanya syok sebelum dirujuk ke spesialis anak. 2. Sebaiknya peserta diskusi lebih mendalami materi yang akan didiskusikan agar diskusi lebih lancar.
DAFTAR PUSTAKA Akib, A. Asma pada Anak. Sari Pediatri 2002; 4; 78-82.
76
Anonymous. Dyspnea: How to Assess and Palliate Dyspnea (Air-Hunger). 2006. Diunduh dari: http://summit.stanford.edu/pcn/M07_Dyspnea/pathophys.html. akses pada tanggal 12 Maret 2015. Behrman. 1999. NELSON: IlmuKesehatan Anak. Jakarta: EGC. Eddy Widodo. 2003. Tuberkulosis Pada Anak : Diagnosis dan Tata Laksana Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Jakarta: IDAI Jaya. Hassan, R. Husein A. 1998. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Penerbit FK UI. Malmstrom K, Sorva R, Silvasti M. Application and efficacy of the multidose powder inhaler, easyhaler, in childrenwith asthma. Pediatr Allergy Immunol 1999; 10:66-70. Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH [editor]. Pathophysiology of Dyspnea. N Engl J Med 1995; 333:1547-1553. Mark
P. Bowes, Ph.D and friends. 2002. Appropriate
Use of Common OTC
Analgesics and Cough and Cold Medications, Monograph No.1. American Academy of Family Physician. Matondang, C. Wahdiyat, I. Sastroasmoro, S. 2003. Diagnosis Fisik pada Anak. Jakarta: Sagung Seto. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70. “Batuk Kronik pada Anak : masalah dan tatalaksana
77
Sherwood,L (2008). Human physiology : From cells to systems, 7th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.
Supriyatno, B. Nataprawira, H. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari Pediatri 2002; 4:67-73.
T, Nishino. Dyspnoea: Underlying Mechanisms and Treatment: Mechanisms of Dyspnoea. Br J Anaesth. 2011;106(4):463-474.
78