MASA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro
sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940,
pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara
sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika
Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin
menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika
melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk
industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Gambar : Rakyat yang bekerja sebagai Romusha
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan
strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan
armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang
mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18
kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut
perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur.
Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak
serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan
menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl
Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan
Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi
Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan
dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11
Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur.
Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo
memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang
terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur
diberangkatkan dalam dua gelombang.Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil
menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain.
Selain itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur
Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140
lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat
itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika
Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan
negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang
dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam,
terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung
industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi
militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
Sebelum meletusnya Perang Asia Timur Raya, Jepang memetakan wilayah
Asia Tenggara menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Wilayah A, yaitu beberapa koloni Inggris, Belanda dan Amerika Serikat
yang meliputi wilayah ; Semenanjung Melayu, Kalimantan Utrara, Philipina
dan Indonesia
2. Wilayah B, yaitu koloni Perancis yang meliputi Vietnam, Laos dan
kamboja
Jepang menguasai kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah A dengan tujuan ;
menjadikan kawasan Aasia Tenggara sebagai sumber bahan mentah bagi industri
perang dan pertahanannya. Jepang juga berusaha memotong garis perbekalan
musuh yang berada di wilayah ini.
Jepang memperoleh kemenangan mudah untuk menduduki Indonesia yang
dikuasai Belanda pada bulan Januari 1942. Dimulai dari wilayah Tarakan
(Kalimantan Timur) sebagai penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia,
berturut-turut kemudian wilayah Balikpapan, Ambon,Kendari, Pontianak dapat
dikuasai pada bulan yang sama. Pada bulan Pebruari 1942 Jepang berhasil
menguasai Palembang.
Untuk menguasai Indonesia, Jepang menggunakan 2 jalur, yaitu :
1 Lewat Philipina ; Tarakan, Balikpapan, Bali, Rembang Indramayu
2. Lewat Semenanjung Melayu ; Palembang, Pontianak, Tanjung Priok
Pada tanggal 5 Maret 1942 tentara Jepang berhasil menguasai Batavia.
Karena semakin terdesak serta tidak adanya bantuan dari Amerika Serikat
akhirnya Belanda terpaksa harus menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui
Perjanjian Kalijati (Subang Jawa barat) pada tanggal 8 Maret
1942. Perjanjian ini ditandatangani oaleh Jenderal Teerporten selaku wakil
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Indonesia (Tjarda Van Stackenborg
Stackhouwer) dengan Jenderal Immamura sebagai Pimpinan bala tentara Jepang
di Indonesia
Pemerintahan Jepang di Indonesia di bidang Milliter
Sebutan resmi pemerintahan milliter Jepang adalah Bala Tentara Nippon
memegang kekuasaan militer dan segala kekuasaan yang dulu dipegang oleh
gubernur Jendral (pada masa kekuasaan Belanda). Dalam pelaksanaan sistem
pemerintahan ini, kekuasaan atas wilayah Indonesia dipegang oleh dua
angkatan perang yaitu angkatan darat (Rikugun) dan angkatan laut (Kaigun).
Masing-masing angkatan mempunyai wilayah kekuasaan. Dalam hal ini Indonesia
dibagi menjadi tiga wilayah kekuasaan yaitu:
1. Wilayah I : Daerah Jawa dan Madura dengan pusatnya Batavia berada di
bawah kekuasaan Rikugun.
2. Wilayah II : Daerah Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu dengan
pusatnya Singapura berada di bawah kekuasaan Rikugun.
3. Wilayah III : Daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
Irian berada di bawah kekuasaan Kaigun.
Selain itu Jepang juga mendirikan berbagai organisasi kemilliteran seperti
:
1.Gerakan Tiga A, Gerakan ini disebut Gerakan Tiga A karena semboyannya
adalah Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia.
Gerakan ini dipimpin oleh Syamsuddin SH. Namun dalam perkembangan
selanjutnya gerakan ini tidak dapat menarik simpati rakyat, sehinnga pada
tahun 1943 Gerakan Tiga A dibubarkan dan dibagi dengan Putera.
2. Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), Organisasi ini dibentuk pada tahun 1943
dibawah pimpinan "Empat Serangkai", yaitu Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar
Dewantara, KH Mas Mansyur. Gerakan Putera ini pun diharapkan dapat menarik
perhatian bangsa Indonesia agar membantu pasukan Jepang dalam setiap
peperangan yang dilakunnya. Ternyata Gerakan Putera yang menjadi bentukan
Jepang ini ternyata menjadi bumerang bagi Jepang. Hal ini disebabkan oleh
anggota-anggota dari Putera yang memiliki sifat nasionalisme yang tinggi.
4. Pembela Tanah Air (PETA),
PETA merupakan sebuah organisasi bentukan Jepang dengan keanggotaanya
berisi pemuda-pemuda Indonesia. Dalam organisasi PETA ini para pemuda
bangsa Indonesia dididik atau mendapatkan latihan kemiliteran dari pasukan
Jepang. Pemuda-pemuda inilah yang menjadi tiang utama perjuangan
kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Gambar : Tentara PETA
Tujuan awalnya pembentuka organisasi PETA ini adalah untuk memenuhi
kepentingan peperangan Jepang di Lautan Pasifik. Namun karena PETA bersifat
nasional dan diaanggap sangat membahayakan kedudukan Jepang atas wilayah
Indonesia, maka pada tahun 1944 PETA dibubarkan. Berikutnya Jepang
mendirikan organisasi lainnya yang bernama Perhimpunan Kebaktian Rakyat
yang lebih terkenal dengan nama Jawa Hokokai. Kepemimpinan organisasi ini
berada di bawah Komando Militer Jepang.
Karena Pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia dipegang oleh
militer, maka semua jenis kegiatan diarahkan untuk kepentingan perang.
Sumber alam dan bahan makanan diperas oleh Jepang. Hal ini menyebabkan
rakyat sangat menderita serta kekurangan sandang dan pangan sehingga
terjadi kematian diberbagai tempat. Selain pemerasan dibidang pertanian,
Jepang juga mewaijibkan rakyat untuk menyerahkan besi-besi tua untuk
pembuatan senjata. Jepang juga merampas harta benda rakyat terutama emas.
Selain itu juga akibat pemerintahan kemilliteran Jepang,
Kebijakan pemerintah pada pendudukan Jepang antara lain berupa pengerahan
tenaga rakyat untuk melaksanakan kerja paksa. Selain itu, para pemuda juga
diwajibkan untuk masuk menjadi anggota organisasi militer maupun semi
militer yang dibentuk Jepang.
1. Romusha
Romusha adalah kerja paksa (tanpa dibayar) pada zaman penduduka
Jepang. Tujuannya adalah membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan
rakyat Jepang. Sarana dan prasarana tersebut antara lain jembatan, lapangan
terbang, serta gua-gua tempat persembunyian.
2. Kinrohosi
Kinrohosi adalah kerja paksa (tanpa dibayar) untuk para pamong
desa dan pegawair rendahan. Mereka diperlakukan sebagai tenaga romusha yang
lainnya. Para kinrohosi banyak yag dikirim ke luar Jawa untuk membantu
membuat pertahanan tentara Jepang.
3. Wajib Militer
Berikut ini wajib militer yang dibentuk untuk membantu Jepang
menghadapi Sekutu.
a) Seinendan (Barisan Pemuda), dibentuk tanggal 9 Maret 1943 dengan anggota
para pemuda usia 14-22 tahun.
b) Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), dibentuk tanggal 29 April 1943
dengan anggota para pemuda usia 23-25 tahun.
c) Fujinkai (Barisan Wanita), dibentuk pada bulan Agustus 1943, dengan
anggota para wanita usia 15 tahun ke atas.
d) Gakutotai (Barisan Pelajar), anggotanya terdiri dari murid-miridd
sekolah lanjutan.
e) Heiho (Pembantu Pranjurit Jepang), dibentuk pada bulan April 1943 dengan
anggota pemuda berusia 18-25 tahun.
f) PETA (Pembela Tanah Air), dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 dengan
tujuan untuk memoertahankan tanah air Indonesia dari penjajahan bangsa
Barat.
g) Jawa Hohokai (Kebaktian Rakyat Jawa), dibentuk pada tanggal 1 Maret 1944
dengan tujuan untuk mengerahkan rakyat agar mau membantu atau berbakti
kepada Jepang.
h) Suisyintai (Barisan Pelopor), dibentuk pada tanggal 24 September 1944
dan diresmikan pada tanggal 25 September 1944. Tujuannya untuk
meningkatkan kesiapsiagaan rakyat.
Perlawanan rakyat Indonesia terhadap Jepang
Karena rakyat Indonesia tidak terima terhadap pemerintahan Jepang dan
merasa tersiksa, banyak sekali terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai
daerah di Indonesia, antara lain adalah :
1.Perlawanan koreri di biak
Perlawanan ini dipimpin oleh L. Rumkorem, pimpinan Gerakan "Koreri" yang
berpusat di Biak. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat
yang diperlakukan sebagai budak belian, dipukuli, dan dianiaya. Dalam
perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban, tetapi rakyat melawan
dengan gigih. Akhirnya Jepang meninggalkan Pulau Biak.
2. Perlawanan Pang Suma
Perlawanan Rakyat yg dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan
Selatan. Pang Suma adalah pemimpin suku Dayak yg besar pengaruhnya
dikalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat
gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga
kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja pada
sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah
rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan
Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus
1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600
pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
3.Peristiwa Singaparna
Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Jawa Barat
(Singaparna) di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Beliau
menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk
melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar
Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Kewajiban
Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena
termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu beliaupun tidak
tahan melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah
mempersiapkan para santrinya yang telah dibekali ilmu beladiri untuk
mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang akhirnya mundur ke
Tasikmalaya. Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya
untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari
1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang
setelah salat Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan,
namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya
kemudian dibawah ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di
Ancol.
4. Peristiwa Indramayu, April 1944
Gambar : Rakyat Indramayu yang akan dipekerjakan sebagai Romusha
Peristiwa Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya
pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja
rodi/kerja paksa/Romusha yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat yang
berkepanjangan. Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-
kawan di desa Karang Ampel, Sindang Kabupaten Indramayu. Pasukan Jepang
sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan
Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahi
kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan.
5. Pemberontakan Teuku Hamid
Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton
pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi
pada bulan November 1944. Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang
melakukan ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau
menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah,
sehingga akhirnya dapat ditumpas. Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya
perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih yang dipimpin oleh kepala
kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara sukarela),
namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh
kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
6. Peristiwa Cot Plieng, Aceh 10 November 1942
Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru
mengaji di Cot Plieng Lok Seumawe. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama
tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta
sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan
sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul
mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan
serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan
terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin
pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan
musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang salat.
7. Pemberontakan PETA
Perlawanan PETA terjadi hingga 3 kali yaitu :
Perlawanan PETA (pusat tenaga rakyat) di Blitar (29 Februari
1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr.
Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi,
Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas
perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat
penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang
angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di
Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu
muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan
PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA
dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco
Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Perlawanan PETA di Meureudu, Aceh (November 1944)
Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun T. Hamid. Latar belakang
perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat
pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya.
Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco) Kusaeri bersama
rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945
diketahui Jepang sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945.
Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak
oleh Sekutu.
Dampak Pendudukan Jepang Di Indonesia
A. Aspek politik
Kebijakan pertama yang dilakukan Dai Nippon (pemerintah militer
Jepang) adalah melarang semua rapat dan kegiatan politik. Pada tanggal 20
Maret 1942, dikeluarkan peraturan yang membubarkan semua organisasi politik
dan semua bentuk perkumpulan. Pada tanggal 8 September 1942 dikeluarkan UU
no. 2 Jepang mengendalikan seluruh organisasi nasional.
Anda dapat membayangkan, keluarnya UU tersebut, praktis menjadikan
organisasi nasional yang pada saat itu sedang giat-giatnya memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia harus dilumpuhkan. Anda masih ingat perjuangan
Parindra dan GAPI? Perjuangan Parindra dan GAPI adalah Indonesia mulia dan
sempurna serta berusaha untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa
Indonesia. Parindra berusaha untuk mempersatukan persepsi/pandangan
organisasi pergerakan nasional dengan cara menggabungkan beberapa
organisasi. Sementara GAPI berjuang untuk mencapai kemerdekaan dengan jalan
perjuangan melalui tuntutan Indonesia berparlemen. Tentu saja perjuangan
Parindra dan GAPI akan membahayakan posisi Jepang yang baru saja
menginjakkan kakinya di Indonesia.
Dalam rangka menancapkan kekuasaan di Indonesia, pemerintah militer jepang
melancarkan strategi politisnya dengan membentuk gerakan Tiga A.
Gerakan ini merupakan upaya Jepang untuk merekrut dan mengerahkan
tenaga rakyat yang akan dimanfaatkan dalam perang Asia Timur Raya. Berbagai
propaganda akan dilakukan agar gerakan tersebut sukses dan Indonesia dapat
meyakini bahwa Jepang adalah bangsa Asia yang memiliki kelebihan dan dapat
diharapkan membebaskan Indonesia dari penjajahan Barat.
Gerakan Tiga A dalam realisasinya, tidak mampu bertahan lama, karena
rakyat Indonesia tidak sanggup menghadapi kekejaman militer Jepang dan
berbagai bentuk eksploitasi yang dilakukan bahkan jika boleh
mengistilahkan, "masih lebih baik dijajah oleh Belanda daripada dijajah
Jepang". Hal tersebut membuktikan kekejaman militer Jepang sulit
tertandingi.
Ketidaksuksesan gerakan Tiga A,membuat Jepang mencari bentuk lain
untuk dapat menarik simpati rakyat. Upaya yang dilakukan adalah menawarkan
kerjasama dengan para pemimpin indonesia untuk membentuk "Putera". melalui
Putera diharapkan para pemimpin nasional dapat membujuk kaum Nasionalis
sekuler dan intelektual untuk mengabdikan pikiran dan tenaganya demi
kepentingan perang melawan Sekutu.
Melihat peluang untuk melakukan perjuangan secara non kooperasi sulit
dilakukan, akhirnya para pemimpin mencoba memanfaatkan peluang kerjasama
tersebut, dengan harapan Putera dapat menjadi wadah untuk menggalang
prsatuan dan menjadi kekuatan tersembunyi. Paling tidak Putera akan menjadi
wadah untuk melakukan konsolidasi kekuatan minimal para pemimpin dapat
berdialog dengan rakyat melalui sarana/fasilitas yang dimiliki pemerintah
Jepang.
Keberhasilan organisasi Putera, tidak terlepas dari kemampuan para
pemimpin serta tingginya kepercayaan rakyat Indonesia pada para tokoh
nasional untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. Indikasinya dapat Anda
lihat dari kemajuan organisasi Putera sampai ke berbagai daerah dan
kemandirian Putera dalam menjalankan kegiatan operasional tanpa suntikan
dana dari pemerintah Jepang. meskipun Putera tidak mampu menghasilkan karya
konkrit bagi perjuangan pergerakan nasional namun, dengan adanya Putera
mentalitas bangsa Indonesia secara tidak langsung sudah dipersiapkan untuk
dapat memperjuangkan proklamasi kemerdekaan. Hal serupa dapat Anda lihat
pada pembentukan organisasi militer PETA.
Langkah pendudukan selanjutnya Jepang membentuk Dinas Polisi Rahasia
yang disebut Kempetai bertugas mengawasi dan menghukum pelanggaran terhadap
pemerintah Jepang. Pembentukan Kempetai ini menyebabkan tokoh-tokoh
pergerakan Nasional Indonesia memilih sikap kooperatif untuk menghindari
halhal yang tidak diinginkan, karena kekejaman Kempetai yang sangat
terkenal.
Diskriminasi politik tentara pendudukan juga diterapkan, untuk
membedakan wilayah Jawa dengan luar Jawa. Untuk pulau Jawa Jepang bersikap
lemah karena pertimbangan jauh dari Sekutu, sementara untuk luar Jawa
sebaliknya mendapat kontrol/pengawasan yang sangat ketat.
Selain itu, Jepangpun melakukan propaganda untuk menarik simpati
bangsa Indonesia dengan cara:
a. Menganggap Jepang sebagai saudara tua bangsa Asia (ingat Hakko Ichiu)
b. Melancarkan semboyan 3A (Jepang pemimpin, Jepang cahaya dan Jepang
pelindung Asia)
c. Melancarkan simpati lewat pendidikan berbentuk beasiswa pelajar.
d. Menarik simpati umat Islam untuk pergi Haji
e. Menarik simpati organisasi Islam MIAI. (ingat modul 3, mengapa MIA tidak
dibubarkan)
f. Melancarkan politik dumping
g. Mengajak untuk bergabung tokoh-tokoh perjuangan Nasional seperti: Ir.
Soekarno, Drs. M. Hatta serta Sutan Syahrir, dengan cara membebaskan
tokoh tersebut dari penahanan Belanda.
Selain propaganda, Jepang juga melakukan berbagai tindakan nyata
berupa pembentukan badan-badan kerjasama seperti berikut:
a. Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tujuan membujuk kaum Nasionalis
sekuler dan intelektual agar menyerahkan tenaga dan pikirannya untuk
mengabdi kepada Jepang.
b. Jawa Hokokai (Himpunan kebaktian Jawa) merupakan organisasi sentral dan
terdiri dari berbagai macam profesi (dokter, pendidik, kebaktian wanita
pusat dan perusahaan).
Penerapan sistem Autarki (daerah yang harus memenuhi kebutuhan sendiri dan
kebutuhan perang). Sistem ini diterapkan di setiap wilayah ekonomi. Contoh
Jawa menjadi 17 daerah, Sumatera 3 daerah, dan Meinsefu (daerah yang
diperintah Angkatan Laut) 3 daerah.
Setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di Kalijati maka
seluruh daerah Hindia Belanda menjadi 3 daerah pemerintahan militer:
1. Daerah bagian tengan meliputi Jawa dan madura dikuasai oleh tentara
keenambelas denagn kantor pusat di Batavia.
2. Daerah bagian Barat meliputi Sumatera dengan kantor pusat di Bukit
tinggi dikuasai oleh tentara keduapuluhlima.
3. daerah bagian Timur meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusantara, Maluku dan
Irian Jaya dibawah kekuasaan armada selatan kedua dengan pusatnya di
Makassar.
Selain kebijakan politik di atas, pemerintah Militer Jepang juga melakukan
perubahan dalam birokrasi pemerintahan, diantaranya adalah pembentukan
organisasi pemerintahan di tingkat pusat dengan membentuk Departemen dan
pembentukan Cou Sang In/dewan penasehat. Untuk mempermudah pengawasan
dibentuk tiga pemerintahan militer yakni:
1. Pembentukan Angkatan Darat/Gunseibu, membawahi Jawa dan Madura dengan
Batavia sebagai pusat dan dikenal dengan tentara ke enam belas dipimpin
oleh Hitoshi Imamura.
2. Pembentukan Angkatan Darat/Rikuyun, yang membawahi Sumatera dengan pusat
Bukit Tinggi (Sumatera Barat) yang dikenal dengan tentara ke dua puluh
lima dipimpin oleh Jendral Tanabe.
3. Pembentukan Angkatan Laut/Kaigun, yang membawahi Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, Maluku dan Irian dengan pusatnya Ujung Pandang (Makasar)
yang dikenal dengan Armada Selatan ke dua dengan nama Minseifu dipimpin
Laksamana Maeda.
Untuk kedudukan pemerintahan militer sementara khusus Asia Tenggara
berpusat di Dalat/Vietnam.
Dengan sistem sentralisasi kekuasaan, Jepang mencoba untuk menanamkan
kekuasaan di Indonesia. Pulau Jawa menjadi pusat pemerintahan yang
terpenting, bahkan jabatan Gubernur Jenderal masa Hindia Belanda dihapus
dan diambil alih oleh panglima tentara Jepang di Jawa. Sementara status
pegawai dan pemerintahan sipil masa Hindia Belanda tetap diakui
kedudukannya asal memiliki kesetiaan terhadap Jepang. Status badan
pemerintahan dan UU di masa Belanda tetap diakui sah untuk sementara, asal
tidak bertentangan dengan aturan kesetiaan tentara Jepang.
Untuk lebih jelasnya, Anda dapat melihat struktur Birokrasi pemerintahan
Militer dan Sipil pada masa pendudukan Jepang dengan melihat bagan di bawah
ini.
Struktur pemerintahan sipil pada masa pendudukan Jepang
Dari penjelasan di atas, tentang kebijakan pemerintah militer Jepang
di bidang politik dan birokrasi dampak yang dirasakan bangsa Indonesia
antara lain terjadinya perubahan struktur pemerintahan dari sipil ke
militer, terjadi mobilitas sosial vertikal (pergerakan sosial ke atas dalam
birokrasi) dalam masyarakat Indonesia. Sisi positif yang dapat Anda
ketahui, bangsa Indonesia mendapat pelajaran berharga sebagai jawaban cara
mengatur pemerintahan, karena adanya kesempatan yang diberikan pemerintah
Jepang untuk menduduki jabatan penting seperti Gubernur, dan wakil
Gubernur, Residen, Kepala Polisi.
B. Aspek Ekonomi dan Sosial
Pada kedua aspek ini, Anda akan menemukan bagaimana praktek
eksploitasi ekonomi dan sosial yang dilakukan Jepang terhadap bangsa
Indonesia dan Anda bisa membandingkan dampak ekonomi dan sosial dengan
dampak politis dan birokrasi.
Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang
adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi
sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung
mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan, pabrik, Bank dan
perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkelai akibat titik
berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Kondisi
tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta
kemiskinan meningkat drastis.
2. Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi
pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada
penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga
untuk mencegah meningkatnya harga barang. Pengawasan perkebunan teh,
kopi, karet, tebu dan sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh,
kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan
perang. Monopoli tebu dan gula, pemaksaan menanam pohon jarak dan kapas
pada lahan pertanian dan perkebunan merusak tanah.
3. Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan
daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang). Konsekuensinya tugas
rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal
ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.
4. Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak,
sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat.
Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan
pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo
Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah. Dampak dari
kondisi tersebut, rakyat dibebankan menyerahkan bahan makanan 30% untuk
pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40% menjadi hak pemiliknya. Sistem
ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun,
kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir di setiap
desa di pulau Jawa salah satunya: Wonosobo (Jateng) angka kematian 53,7%
dan untuk Purworejo (Jateng) angka kematian mencapai 224,7%. Bisa Anda
bayangkan bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia
pada masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan makanan hewan seperti
keladi gatal, bekicot, umbi-umbian).
5. Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat
pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat
memprihatinkan. Pakaian rakyat compang camping, ada yang terbuat dari
karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung
tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup.
Demikian bentuk praktek-praktek eksploitasi ekonomi masa pendudukan
Jepang, yang telah begitu banyak menghancurkan sumber daya alam,
menimbulkan krisis ekonomi yang mengerikan dan berakhir dengan tingginya
tingkat kematian seperti yang terjadi juga pada bidang sosial di bawah ini,
khususnya pergerakan sosial yang dilakukan pemerintah Jepang dalam bentuk
Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa untuk
kepentingan perang.
Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga
kerja yang sebanyak-banyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-
kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan
jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di
Jawa yang padat penduduknya melalui suatu sistem kerja paksa yang dikenal
dengan Romusha. Romusha ini dikoordinir melalui program Kinrohosi/kerja
bakti. Pada awalnya mereka melakukan dengan sukarela, lambat laun karena
terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia
pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Banyak tenaga Romusha yang
tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat kondisi kerja yang sangat
berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang mencukupi. Kurang
lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian
dari ± 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam,
Malaya dan Serawak. (buku Sejarah kelas II Bumi Aksara).
Kondisi sosial yang memprihatinkan tersebut telah memicu semangat
Nasionalisme para pejuang Peta untuk mencoba melakukan pemberontakan karena
tidak tahan menyaksikan penyiksaan terhadap para Romusha.
Praktek eksploitasi/pengerahan sosial lainnya yang dapat Anda ketahui
adalah bentuk penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita
penghibur ( Jung hu Lanfu) dan disekap dalam kamp tertutup. Para wanita ini
awalnya diberi iming-iming pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko, atau
akan disekolahkan, ternyata dijadikan pemuas nafsu untuk melayani prajurit
Jepang di kamp-kamp: Solo, Semarang, Jakarta, Sumatera Barat. Kondisi
tersebut mengakibatkan banyak gadis yang sakit (terkena penyakit kotor),
stress bahkan adapula yang bunuh diri karena malu. (Sebagai gambaran Anda
masih ingat film "Romusha" dengan latar belakang penjajahan Jepang).
Adapun kebijakan pemerintah Jepang di bidang sosial yang dapat
dirasakan manfaatnya seperti pembentukan Tonarigami (RT), satu RT ± 10 – 12
kepala keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan
dan memudahkan dalam mengorganisir kewajiban rakyat serta memudahkan
pengawasan dari pemerintah desa.
Perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia terjadi pada masa
pemerintahan Jepang berupa diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam
pemerintahan di Indonesia sehingga terjadi perubahan dalam
institusi/lembaga sosial di berbagai daerah (lihat struktur pemerintahan
desa/sipil).
Kini, Anda telah dapat mengetahui informasi kondisi politik – ekonomi
dan sosial bangsa Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Untuk lebih luas
pemahaman Anda, silahkan Anda kaji materi di bawah ini yang khusus membahas
aspek kebudayaan.
C. Aspek kebudayaan
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan
adalah menghilangkan diskriminasi/perbedaan siapa yang boleh
mengenyam/merasakan pendidikan. Pada masa Belanda, Anda tentu masih ingat,
yang dapat merasakan pendidikan formal untuk rakyat pribumi hanya kalangan
menengah ke atas, sementara rakyat kecil (wong cilik) tidak memiliki
kesempatan. Sebagai gambaran diskriminasi yang dibuat Belanda, ada 3
golongan dalam masyarakat:
1. Kulit putih (Eropa)
2. Timur Aing (Cina, India dll)
3. Pribumi
Pola seperti ini mulai dihilangkan oleh pemerintah Jepang. Rakyat dari
lapisan manapun berhak untuk mengenyam pendidikan formal. Jepang juga
menerapkan jenjang pendidikan formal seperti di negaranya yaitu: SD 6
tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Sistem ini masih diterapkan oleh
pemerintah Indonesia sampai saat ini sebagai satu bentuk warisan Jepang.
Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah penerapan sistem
pendidikan militer. Sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk
kepentingan perang. Siswa memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar
kemiliteran dan mampu menghapal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan
para gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia
sebagai pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para
guru wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan.
Dengan melihat kondisi tersebut, Anda akan mendapatkan dua sisi, yaitu
kelebihan dan kekuarangan dari sistem pendidikan yang diterapkan pada masa
Belanda yang lebih liberal namun terbatas. Sementara pada masa Jepang
konsep diskriminasi tidak ada, tetapi terjadi penurunan kualitas secara
drastis baik dari keilmuan maupun mutu murid dan guru.
Kondisi di atas tidak terlepas dari target pemerintah Jepang melalui
pendidikan, Jepang bermaksud mencetak kader-kader yang akan mempelopori dan
mewujudkan konsep kemakmuran bersama Asia Timur Raya, namun dengan jalan
yang salah, karena harus melalui peperangan Asia Timur Raya.
Satu hal yang paling menarik untuk Anda cermati adalah pemaksaan yang
dilakukan oleh pemerintah Jepang agar masyarakat Indonesia terbiasa
melakukan penghormatan kepada Tenno ( Kaisar) yang dipercayai sebagai
keturunan dewa matahari ( Omiterasi Omikami). Sistem penghormatan kepada
kaisar dengan cara membungkukkan badan menghadap Tenno, disebut dengan
Seikeirei. Penghormatan Seikerei ini, biasanya diikuti dengan menyanyikan
lagu kebangsaan Jepang ( kimigayo) . Tidak semua rakyat Indonesia dapat
menerima kebiasaan ini, khususnya dari kalangan Agama. Penerapan Seikerei
ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang dilakukan KH.
Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah Jawa Barat.
Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Singaparna.
Ada hal yang dapat Anda ketahui dari kebijakan pemerintah Jepang di
bidang budaya yakni berkembangnya tradisi kerja bakti secara massal melalui
kinrohosi/ tradisi kebaktian di dalam masyarakat Indonesia. Adanya tradisi
kebaktian, kerja keras dan ulet dalam mengerjakan tugas. Nilai tradisi
Jepang dan kemiliterannya melaui semangat Bushido (semangat ksatria Jepang
akan dapat Anda ketahui dari analisa aspek militer).
E. Aspek Kehidupan Militer
Pada aspek militer ini, Anda akan memahami bahwa badan-badan militer
yang dibuat Jepang semata-mata karena kondisi militer Jepang yang semakin
terdesak dalam perang Pasifik.
Memasuki tahun kedua pendudukannya (1943), Jepang semakin intensif
mendidik dan melatih pemuda-pemuda Indonesia di bidang militer. Hal ini
disebabkan karena situasi di medan pertempuran (Asia – Pasifik) semakin
menyulitkan Jepang. Mulai dari pukulan Sekutu pada pertempuran laut di
Midway (Juni 1942) dan sekitar Laut Karang (Agustus '42 – Februari 1943).
Kondisi tersebut diperparah dengan jatuhnya Guadalacanal yang merupakan
basis kekuatan Jepang di Pasifik (Agustus 1943).
Situasi di atas membuat Jepang melakukan konsolidasi kekuatan dengan
menghimpun kekuatan dari kalangan pemuda dan pelajar Indonesia sebagai
tenaga potensial yang akan diikutsertakn dalam pertempuran menghadapi
Sekutu.
Di bawah ini Anda akan mempelajari bentuk-bentuk barisan militer yang
dipersiapkan oleh Jepang antara lain:
a. 9 Maret 1943 didirikan gerakan Seinendan (Barisan Pemuda). Pelantikannya
dilakukan 29 April 1943, dengan anggota ± 3500 pemuda. Tujuannya untuk
melatih dan mendidik para pemuda, agar mampu menjaga dan mempertahankan
tanah air dengan kekuatan sendiri. Persyaratan untuk menjadi Seinendan
adalah: pemuda berusia 14 – 23 tahun. Untuk lebih meningkatkan pemahaman
Anda. Simaklah gambar 4 diatas, selanjutnya simak uraian materi
berikutnya!
b. Pembentukan Barisan Pelajar ( Gokutai) untuk pelajar SD – SLTA.
c. Pembentukan Barisan bantu Polisi ( Keibodan), dengan syarat yang lebih
ringan dari Seinendan, usia yang diprioritaskan ± 23 – 25 tahun. Untuk
Keibodan ini ada keharusan untuk setiap desa (ku) yang memiliki pemuda
dengan usia tersebut dan berbadan sehat wajib menjadi Keibodan. Sistem
pengawasan Keibodan ini diserahkan pada Polisi Jepang. Ada beberapa
istilah Keibodan sesuai dengan wilayah atau daerahnya seperti di Sumatera
disebut dengan Bogodan sedangkan di daerah Angkatan Laut, khususnya di
Kalimantan disebut dengan Borneo Konon Hokokudan dengan jumlah pasukan ±
28.000 orang.
d. Pembentukan barisan pembantu Prajurit Jepang ( Heiho) April 1943.
Anggota Heiho adalah pemuda berusia ± 18 – 25 tahun, dengan pendidikan
terendah SD. Mereka akan ditempatkan langsung pada angkatan perang Jepang
(AL – AD). Walaupun berstatus pembantu prajurit tetapi mereka dilatih
untuk mampu menggunakan senjata dan mengoperasikan meriam-meriam
pertahanan udara. Bahkan saat perang semakin hebat mereka diikutsertakan
bertempur ke front di Solomon dan tempat lain. Disinilah para pemuda kita
mendapat tempat latihan militer yang sesungguhnya dengan kemampuan yang
tinggi.
e. Pembentukan Barisan Semi Militer khusus direkrut dari golongan Islam
dengan nama : Hizbullah (Tentara Allah) diantaranya tokoh Otto
Iskandinata dan Dr. Buntaran Martoatmojo
f. Pembentukan Pasukan Pembela Tanah Air ( PETA) tanggal 3 Oktober 1943
dilakukan oleh Letjen Kumakici Harada melalui Osamu Seiri no. 44 yang
mengatur tentang pembentukan PETA. Pembentukan PETA ini, Jepang bercermin
dari Perancis saat menguasai Maroko dengan memanfaatkan pemuda Maroko
sebagai tentara Perancis.Secara khusus penjelasan tentang PETA, akan
lebih diperluas, karena peranan anggota PETA ini sangat besar dalam upaya
memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya. Disinilah inti dari
kekuatan militer RI nantinya (sering diistilahkan dengan embrio dari
TNI).
g. Pembentukan Jawa Hokokai
Memasuki tahun 1944 kondisi Jepang bertambah buruk. Satu persatu
wilayahnya berhasil dikuasai Sekutu, bahkan serangan langsung mulai
diarahkan ke negeri Jepang sendiri. Melihat kondisi tersebut pada tanggal
9 September 1944 PM Kaiso mendeklarasikan janji kemerdekaan untuk
Indonesia di kemudian hari. Janji ini semata-mata untuk memotivasi bangsa
Indonesia agar tetap setia membantu perjuangan militer Jepang dalam
menghadapi Sekutu. Beberapa hari sesudah janji kemerdekaan dibentuklah
Benteng perjuangan Jawa ( Jawa Sentotai) ini merupakan badan perjuangan
dalam Jawa Hokokai, bahkan organisasi lainpun dibentuk seperti Barisan
Pelopor ( Suisyintai) dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno, Sudiro, RP.
Suroso, Otto Iskandardinata dan Dr. Buntaran Martoatmojo.
Melalui bentuk-bentuk pelatihan militer di atas, Anda akan dapat
memahami sisi positif dan negatif yang dapat dirasakan para pemuda
Indonesia. Para pemuda kita tidak hanya dilatih kemampuan dan keterampilan
militernya dalam menggunakan senjata tetapi sikap dan mental merekapun
tanpa sadar dibentuk dengan suatu semangat Bushido (sikap para ksatria
militer Jepang) baik disiplin, keuletan/daya juang yang tinggi, kerja
keras, jujur dan berani menghadapi tantangan serta memiliki tanggung jawab.
Sikap mental yang seperti ini akan menjadi kekuatan tersendiri dari
para pemuda Indonesia dalam menghadapi kekejaman tentara Jepang seperti
dalam pemberontakan PETA. Di sisi lain akan menjadi bekal dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi tentara Sekutu, baik yang
tergabung dalam laskar-laskar rakyat maupun yang akan menjadi tentara Inti
Republik Indonesia.
PERISTIWA SEKITAR PROKLAMSI
Perjuangan melawan penjajahan itu mencapai puncaknya dengan pernyataan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan
pernyataan itu, bangsa Indonesia menyatakan kebebasannya sebagai bangsa
yang merdeka dan berdaulat. Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia
kemudian diwujudkan dengan pembentukan negara kebangsaan Indonesia.
Gambar : Sidang Pembentukan BPUPKI
A. PEMBENTUKAN BPUPKI
Pada tahun 1944, Saipan jatuh ke tangan Sekutu, Amerika Serikat.
Demikian juga dengan pasukan Jepang, Dai Nippon yang berada di Papua
Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshall berhasil dipukul mundur
oleh pasukan Sekutu. Dengan demikian, seluruh garis pertahanan Jepang di
Pasifik-Oceania sudah mulai mengalami kehancuran dan baying-bayang
kekalahan Jepang sudah mulai tampak. Selanjutnya, Jepang mengalami serangan
udara di Ambon, Makassar, Manado, dan Surabaya. Bahkan, pasukan Sekutu
telah mendarat di daerah-daerah penghasil minyak, seperti Tarakan dan
Balikpapan.
Dalam situasi yang kritis tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945 Letnan
Jenderal Kumakici Harada, pemimpin pemerintahan pendudukan Jepang di Jawa,
mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pembentukan badan ini bertujuan
untuk menyelidiki hal-hal penting yang menyangkut pembentukan negara
Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus BPUPKI diumumkan pada tanggal 29
April 1945. Dr. K.R.T. Radjiman Wedjodiningrat diangkat sebagai ketua
(Kaico), sedangkan yang duduk sebagai ketua muda (Fuku Kaico) pertama
adalah seorang Jepang bernama Ichibangase. R.P. Suroso diangkat sebagai
kepala secretariat dengan dibantu oleh Toyohoto Masuda dan Mr. A.G.
Pringgodigdo.
B. SIDANG-SIDANG BPUPKI
Pada tanggal 28 Mei 194 dilangsungkan upacara peresmian BPUPKI
bertempat di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon (sekarang Gedung
Departemen Luar Negeri), Jakarta. Upacara peresmian itu dihadiri pula oleh
dua pejabat militer Jepang, yaitu Jenderal Itagaki (Panglima Tentara Ke-7
yang bermarkas di Singapura) dan Letnan Jenderal Nagano (Panglima Tentara
Ke-16 yang baru). Pada kesempatan itu dikibarkan bendera Jepang, Hinomaro,
oleh Mr. A.G. Pringgodigdo yang kemudian disusul dengan pengibaran bendera
Merah Putih oleh Toyohito Masuda. Peristiwa tersebut membangkitkan semangat
para anggota dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
I. Perumusan Dasar Negara Indonesia
Persidangan BPUPKI untuk merumuskan undang-undang dasar diawali dengan
pembahasan mengenai persoalan "dasar" bagi negara Indonesia merdeka. Untuk
itulah pada kata pembukaannya, Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedjodiningrat
meminta pandangan para anggota mengenai dasar negara Indonesia merdeka
tersebut. Tokoh yang pertama kali mendapatkan kesempatan untuk mengutarakan
rumusan dasar negara Indonesia merdeka ialah Mr. Muh Yamin. Pada hari
pertama persidangan pertama tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh Yamin mengemukakan
lima "Asas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia" sebagai berikut.
1.) Peri Kebangsaan
2.) Peri Kemanusiaan
3.) Peri Ketuhanan
4.) Peri Kerakyatan
5.) Kesejahteraan Rakyat
Dua hari kemudian, pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Mr. Supomo
mengajukan dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut.
1.) Persatuan
2.) Kekeluargaan
3.) Keseimbangan
4.) Musyawarah
5.) Keadilan Sosial
Keesokan harinya, pada tanggal 1 Juni 1945, berlangsunglah rapat terakhir
sidang pertama. Pada kesempatan itu, Ir. Soekarno mengemukakan pidatonya
yang kemudian dikenal sebagai "Lahirnya Pancasila". Keistimewaan pidato Ir.
Soekarno selain berisi pandangan mengenai dasar negara Indonesia merdeka,
juga berisi usulan mengenai nama bagi dasar negara, yaitu Pancasila,
Trisila, atau Ekasila. Selanjutnya, sidang memilih nama Pancasila sebagai
nama dasar negara. Lima dasar negara yang diusulkan oleh Ir. Soekarno
adalah sebagai berikut.
1.) Kebangsaan Indonesia
2.) Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3.) Mufakat atau Demokrasi
4.) Kesejahteraan Sosial
5.) Ketuhanan Yang Maha Esa
Persidangan pertama BPUPKI berakhir pada tanggal 1 Juni 1945. Sidang
tersebut belum menghasilkan keputusan akhir mengenai dasar negara Indonesia
merdeka. Selanjutnya diadakan masa reses selama satu bulan lebih.
Pada tanggal 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang
beranggotakan 9 orang. Oleh karena itu, panitia ini juga disebut sebagai
Panitia Sembilan. Anggota-anggotanya adalah:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Moh. Hatta
3. Mr. Muh Yamin
4. Mr. Ahmad Subardjo
5. Mr. A.A. Maramis
6. Abdulkadir Muzakkir
7. K.H. Wachid Hasyim
8. K.H. Agus Salim
9. Abikusno Tjokrosujoso
Musyawarah Panitia Sembilan menghasilkan suatu rumusan yang
menggambarkan maksud dan tujuan pembentukkan negara Indonesia merdeka. Oleh
Mr. Muh. Yamin rumusan itu diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Rumusan rancangan dasar negara Indonesia merdeka itu adalah sebagai
berikut.
a. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya,
b. (menurut) dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab,
c. persatuan Indonesia,
d. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan,
e. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
II. Rancangan Undang-Undang Dasar
Pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana Undang-Undang Dasar,
termasuk soal pembukaan atau preambule-nya oleh sebuah Panitia Perancang
Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 21
orang. Pada tanggal 11 Juli 194, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar
dengan suara bulat menyetujui isi preambule (pembukaan) yang diambil dari
Piagam Jakarta.
Selanjutnya panitia tersebut membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-
Undang Dasar yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Supomo dengan anggotanya Mr.
Wongsonegoro, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H.
Agus Salim, dan Sukiman. Hasil perumusan panitia kecil ini kemudian
disempurnakan bahasanya oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari
Husein Djajadiningrat, Agus Salim, dan Supomo.
Persidangan kedua BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1945,
dengan Ir. Soekarno sebagai ketua panitia perancang Undang-Undang Dasar
melaporkan tiga hasil, yaitu sebagai berikut:
1.) Pernyataan Indonesia Merdeka,
2.) Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan
3.) Undang-Undang Dasar (batang tubuh).
C. AKTIVITAS GOLONGAN MUDA
Sebelum BPUPKI dibentuk, pada tanggal 16 Mei 1945 di Bandung telah
diadakan Kongres Pemuda Seluruh Jawa yang diprakarsai oleh Angkatan Moeda
Indonesia. Organisasi tersebut sebenarnya dibentuk atas inisiatif Jepang
pada pertengahan tahun 1944. Akan tetapi kemudian berkembang menjadi suatu
pergerakkan pemuda yang sangat anti terhadap Jepang. Kongres pemuda ini
dihadiri oleh sekitar 100 orang lebih utusan pemuda, pelajar, dan mahasiswa
dari seluruh tanah Jawa di antaranya Djalam Ali, Chairul Saleh, Anwar
Tjokroaminoto, Harsono Tjokroamiinoto serta sejumlah mahasiswa yang berasal
dari Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) yang berada di Jakarta.
Kongres ini menghimbau para pemuda di Jawa hendaknya bersatu dan
mempersiapkan diri untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan yang bukan
merupakan hadiah dari tangan Jepang. Setelah tiga hari berlangsung kongres
akhirnya diputuskan dua buah resolusi, yaitu sebagai berikut.
a. Semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda dipersatukan dan
dibulatkan di bawah satu pimpinan nasional.
b. b.Dipercepatnya pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun demikian, kongres akhirnya menyatakan dukungan sepenuhnya dan
kerja sama yang sangat erat dengan Jepang dalam usaha mencapai kemerdekaan.
Pernyataan tersebut tidak memuaskan beberapa tokoh pemuda yang hadir.
Mereka bertekad untuk menyiapkan suatu gerakan pemuda yang lebih radikal.
Untuk itulah pada tanggan 3 Juni 1945 diadakanlah suatu pertemuan rahasia
di Jakarta untuk membentuk suatu panitia khusus yang diketuai oleh B.M.
Diah, dengan anggotanya Sukarni, Sudiro, Sjarif Thajeb, Harsono
Tjokroaminoto, Wikana, Chairul Saleh, P. Gultom, Supeno, dan Asmara Hadi,
yang kemudian disebut dengan istilah Kelompok Sepuluh.
Hasil kerja kelompok tersebut dilaporkan pada rapat tanggal 15 Juni
1945. Pada rapat itu berhasil dibentuk Gerakan Angkatan Baroe Indonesia.
Kegiatan-kegiatan gerakan ini banyak dikendalikan oleh para pemuda dari
Asrama Menteng 31. Tujuan dari gerakan ini menunjukkan sifat gerakan yang
lebih radikan, yakni antara lain sebagai berikut.
a. Mencapai persatuan yang kompak di antara seluruh golongan masyarakat
Indonesia.
b. Menanamkan semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran mereka
sebagat rakyat yang berdaulat.
c. Membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Mempersatukan Indonesia dengan bahu-membahu dengan Jepang tetapi gerakan
sebenarnya bermaksud untuk mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya
sendiri.
D. PEMBENTUKAN PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya,
pemerintah pendudukan Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebanyak 21 anggota PPKI yang
terpilih tidak hanya terbatas pada wakil-wakil dari Jawa yang berada di
bawah pemerintahan Tentara Jepang Ke-16, tetapi juga dari berbagai pulau,
yaitu 12 wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatra, 2 wakil dari Sulawesi,
seorang wakil dari Kalimantan, seorang wakil dari Sunda Kecil (Nusa
Tenggara), seorang dari Maluku, dan seorang lagi dari golongan penduduk
Cina. Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua PPKI dan Drs. Moh. Hatta ditunjuk
sebagai wakil ketuanya, sedangkan Mr. Ahmad Subardjo ditunjuk sebagai
penasihatnya. Namun, seiring dengan harusnya keterlibatan akan
sepengetahuan Jepang, maka anggota PPKI ditambah 6 orang lagi, sehingga
menjadi 27 orang.
Sedangkan untuk anggota-anggota PPKI itu sendiri, sudah saya pribadi
cantumkan di sini, antara lain sebagai berikut.
1. Ir. Sukarno. (Ketua)
2. Drs. Muhammad Hatta. (Wakil Ketua)
3. Anang Abdul Hamidan
4. Andi Pangeran Pettarani
5. Bandoro Pangeran Hario Purubojo.
6. Bendoro Kanjeng Pangeran Ario Suryohamijoyo.
7. Dr. G.S.S.J. Ratulangie.
8. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat.
9. Dr. M. Amir.
10. Drs. Yap Tjwan Bing
11. Haji Abdul Wahid Hasyim.
12. Haji Teuku Mohammad Hasan
13. Ki Bagus Hadikusumo.
14. Ki Hajar Dewantara.
15. Mas Sutarjo Kartohadikusumo.
16. Mr. Abdul Abbas.
17. Mr. I Gusti Ketut Puja.
18. Mr. Raden Ahmad Subarjo.
19. Mr. Raden Iwa Kusuma Sumantri.
20. Mr. Raden Kasman Singodimejo
21. Mr. Yohanes Latuharhary.
22. Muhammad Ibnu Sayuti Melik.
23. Prof. Dr. Mr. Raden Supomo.
24. Raden Abdul Kadir.
25. Raden Adipati Wiranatakusuma.
26. Raden Oto Iskandardinata.
27. Raden Panji Suroso.
Kepada para anggota PPKI, Gunseikan Mayor Jenderal Yamamoto menegaskan
bahwa para anggota PPKI bukan hanya dipilih oleh pejabat di lingkungan
Tentara Jepang Ke-16, melainkan juga dipilih oleh Jenderal Besar Terauchi
yang menjadi penguasa perang tertinggi di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Dalam rangka pengangkatan itu, Jenderal Besar Terauchi memanggil tiga
tokoh pergerakan nasional, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr.
Radjiman Wedjodiningrat. Pada tanggal 9 Agustus 1945, mereka berangkat
menuju markas besar Terauchi di Dalat, Vietnam Selatan. Dalam pertemuan di
Dalat tersebut pada tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Besar Terauchi
menyampaikan kepada ketiga tokoh itu bahwa Kekaisaran Jepang telah
memutuskan untuk memberikan suatu kemerdekaan kepada Indonesia.
Pelaksanaannya dapat dilakukan segera setelah segala persiapannya selesai
oleh PPKI. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia-
Belanda.
Ketika ketiga tokoh itu pulang kembali menuju Jakarta pada tanggal 14
Agustus 1945, Jepang telah dijatuhi bom atom oleh Sekutu di kota Hiroshima
dan kota Nagasaki. Bahkan, Uni Soviet mengingkari janjinya dan menyatakan
perang terhadap Jepang serta melakukan penyerbuan ke Manchuria. Dengan
demikian, dapat diramalkan bahwa kekalahan Jepang akan segera terjadi.
Keesokan harinya, pada tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno-Hatta tiba kembali
di tanah air. Dengan bangganya Ir. Soekarno berkata, "Sewaktu-waktu kita
dapat merdeka; soalnya hanya tergantung kepada saya dan kemauan rakyat
memperbarui tekadnya meneruskan perang suci Dai Tao ini. Kalau dahulu saya
berkata 'Sebelum jagung berbuah, Indonesia akan merdeka sekarang saya dapat
memastikan Indonesia akan merdeka, sebelum jagung berbuah." Perkataan itu
menunjukkan bahwa Ir. Soekarno pada saat itu belum mengetahui bahwa Jepang
telah menyerah kepada Sekutu.
E. PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA GOLONGAN TUA DAN GOLONGAN MUDA
Berita tentang kekalahan Jepang diketahui oleh sebagian golongan muda
melalui radio siaran luar negeri. Pada malam harinya, Sutan Syahrir
menyampaikan berita tersebut kepada Moh. Hatta. Syahrir juga menanyakan
mengenai kemerdekaan Indonesia sehubungan dengan peristiwa tersebut. Moh.
Hatta berjanji akan menanyakan hal itu kepada Gunseikanbu. Setelah yakin
bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Moh. Hatta segera mengambil
keputusan untuk dengan cepat mengundang para anggota PPKI.
Selanjutnya golongan muda mengadakan rapat di salah satu ruangan
Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta. Rapat dilaksanakan
pada tanggal 15 Agustus 1945, pukul 20.30 waktu Jawa. Rapat yang dipimpin
oleh Chairul Saleh itu menghasilkan keputusan "kemerdekaan Indonesia adalah
hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan pada orang
dan negara lain. Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari
Jepang harus segera diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakan
perundingan dengan golongan muda agat mereka juga diikutsertakan dalam
pernyataan proklamasi kemerdekaan."
Keputusan rapat itu disampaikan oleh Wikana dan Darwis pada pukul
22.30 waktu Jawa kepada Ir. Soekarno di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur
56, Jakarta. Kedua utusan tersebut segera menyampaikan keputusan golongan
muda agar Ir. Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa
menunggu hadiah dari Jepang. Tuntutan Wikana yang disertai dengan suatu
ancaman bahwa akan terjadi pertumpahan darah apabila Ir. Soekarno tidak
menyatakan proklamasi keesokan harinya telah menimbulkan ketegangan.
Kemudian, Ir. Soekarno marah dan berkata "Ini leher saya, seretlah saya ke
pojok itu dan sudahilah nyawa saya mala mini juga, jangan menunggu sampai
besok. Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai ketua PPKI.
Karena itu saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok." Ketegangan itu
juga disaksikan oleh golongan tua lainnya, seperti Drs. Moh. Hatta, Dr.
Buntara, Dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo, dan Iwa Kusumasumantri.
Dalam diskusi antara Darwis dan Wikana, Moh. Hatta berkata, "Dan kami
pun tak dapat ditarik-tarik atau didesak supaya mesti juga mengumumkan
proklamasi itu. Kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggung
memproklamasikan. Cobalah! Saya pun ingin melihat kesanggupan Saudara-
saudara!" Utusan itu pun menjawab "Kalau begitu pendirian Saudara-saudara
berdua, baiklah! Dan kami pemuda-pemuda tidak dapat menanggung sesuatu,
jika besok siang proklamasi belum juga diumumkan. Kami pemuda-pemuda akan
bertindak dan menunjukkan kesanggupan yang saudara kehendaki itu!"
F. PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Gambar : Peristiwa Rengasdengklok
Rumah tempat tinggal Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ketika dijauhkan oleh para
pemuda (golongan muda) dari pengaruh Jepang.
Sekitar pukul 24.00, kedua utusan, Wikana dan Darwis meninggalkan
halaman rumah Ir. Soekarno dengan diliputi perasaan kesal memikirkan sikap
dan perkataan Soekarno-Hatta. Sesampainya mereka di tempat rapat, mereka
melaporkan semuanya. Menanggapi hal itu, golongan muda kembali mengadakan
rapat pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 di Asrama Baperpi, Jalan
Cikini 71 Jakarta. Selain dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat
sebelumnya, rapat ini juga dihadiri oleh Sukarni, Yusuf Kunto, Dr. Muwardi
dari Barisan Pelopor, dan Syudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta Syu.
Rapat ini memutuskan untuk "menyingkirkan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta
ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala mepgaruh
Jepang". Untuk menghindari kecurigaan dari pihak tentara Jepang, Syudanco
Singgih yang diberi kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut dibantu
oleh Sukarni dan Jusuf Kunto.
Rencana ini berjalan lancer karena mendapat dukungan dan perlengkapan
tentara PETA dari Syudanco Latief Hendraningrat yang pada saat itu sedang
menggantikan Daidanco Kasman Singodimedjo yang sedang bertugas ke Bandung.
Oleh karena itu, pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 waktu Jawa,
sekelompok pemuda membawa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota
menuju Rengasdengklok, sebuah kota kawedanaan di pantai utara Kabupaten
Karawang. Alasan yang mereka kemukakan, bahwa keadaan di kota sangat
genting sehingga keamanan Soekarno-Hatta di dalam kota sangat terancam.
Tempat yang dituju merupakan kedudukan sebuah Syudan (Kompi) tentara PETA
Rengasdengklok dengan Komandannya Syudanco Subeno.
Sehari penuh Ir. Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok.
Kewibawaan yang besar dari kedua tokoh ini membuat para pemuda segan untuk
melakukan penekanan lebih jauh. Namun, dalam suatu pembicaraan berdua
dengan Ir. Soekarno, Syudanco Singgih beranggapan Ir. Soekarno bersedia
untuk menyatakan proklamasi segera setelah kembali ke Jakarta. Oleh karena
itu, para tengah hari Singgih kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana
proklamasi kepada kawan-kawannya.
Sementara itu di Jakarta para anggota PPKI yang diundang rapat pada
tanggal 16 Agustus memenuhi undangannya dan berkumpul di Gedung Pejambon 2.
Akan tetapi, rapat ini tidak dihadiri oleh pengundangnya Soekarno-Hatta
yang sedang berada di Rengasdengklok. Mereka pun merasa heran. Satu-satunya
jalan untuk mengetahui keadaan Soekarno dan Hatta adalah melalui Wikana,
salah satu utusan yang bersitegang dengan Soekarno-Hatta malam harinya.
Oleh karena itu, Mr. Ahmad Subardjo mendekati Wikana. Selanjutnya antara
kedua tokoh golongan tua dan golongan muda itu tercapai kesepakatan bahwa
proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Karena adanya
kesepakatan tersebut, Yusuf Kunto dari golongan muda bersedia mengantar Mr.
Ahmad Subardjo bersama sekretarisnya, Sudiro (Mbah) ke Rengasdengklok.
Rombongan mereka ini tiba pada pukul 18.00 waktu Jawa. Selanjutnya, Ahmad
Subardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa proklamasi
kemerdekaan akan diumumkan pada keesokan harinya, yakni pada tanggal 17
Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan adanya jaminan
tersebut, komandan kompi PETA Rengasdengklok Syudanco Subeno bersedia
melepaskan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta untuk pergi kembali ke Jakarta.
G. PERUMUSAN TEKS PROKLAMASI
Rombongan Ir. Sokarno tiba kembali di Jakarta pada pukul 23.30 waktu
Jawa. Setelah rombongan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta singgah di rumah masing-
masing, rombongan kemudian menuju ke rumah Laksamana Tadashi Maeda di jalan
Imam Bonjol No.1, Jakarta. Hal itu disebabkan Laksamana Tadashi Maeda telah
menyampaikan kepada Ahmad Subardjo bahwa ia menjamin keselamatan mereka
selama berada di rumahnya.
Sebelum mereka memulai merumuskan naskah proklamasi terlebih dahulu
Ir. Soekarno dan Moh. Hatta menemui Somubuco (Kepala Pemerintahan Umum)
Mayor Jenderal Nishimura untuk menjajaki sikapnya mengenai proklamasi
kemerdekaan. Mereka ditemani oleh Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima,
Tomogero Yoshizumi, dan Miyoshi sebagai penerjemah. Pertemuan itu belum
mencapai suatu kesepakatan. Nishimura menegaskan bahwa garis kebijakan
Panglima Tentara Jepang Ke-16 di Jawa adalah "dengan menyerahnya Jepang
kepada Sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan
lagi mengubah status quo (status politik Indonesia). Sejak tengah hati
sebelumnya, tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat Sekutu dan
diharuskan tunduk kepada Sekutu". Berdasarkan garis kebijakan itu,
Nishimura melarang Soekarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka
proklamasi kemerdekaan.
Sampailah Soekarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi
membicarakan kemerdekaan Indonesoa dengan pihak Jepang. Akhirnya, mereka
hanya mengharapkan pihak Jepang tidak menghalangi pelaksanaan proklamasi
yang akan dilaksanakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Mereka kemudian
kembali ke rumah Laksamanan Maeda. Sebagai tuan rumah, Maeda mengundurkan
diri ke lantai dua, sedangkan di ruang makan, naskah proklamasi dirumuskan
oleh tiga tokoh golongan tua, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr.
Ahmad Subardjo. Peristiwa itu disaksikan oleh Miyoshi sebagai orang
kepercayaan Nishimura, bersama dengan tiga orang tokoh pemuda yaitu
Sukarni, Mbah Diro, dan B.M. Diah. Sementara itu, tokoh-tokoh lainnya, baik
dari golongan muda maupun golongan tua menunggu di serambi depan rumah.
Ir. Soekarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi, sedangkan Drs.
Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan.
Kalimat pertama dari naskah proklamasi merupakan saran dari Mr. Ahmad
Subardjo yang diambil dari rumusan di BPUPKI, sedangkan kalimat terakhir
merupakan sumbangan pikiran dari Drs. Moh. Hatta. Hal ini disebabkan
menurut beliau perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan
(Transfer of Sovereignty).
Pada pukul 04.30 waktu Jawa, konsep naskah proklamasi telah selesai
disusun. Selanjutnya, mereka menuju ke serambi depan menemui para hadirin
yang menunggu. Ir. Soekarno memulai membuka pertemuan dengan membacakan
naskah proklamasi yang masih konsep tersebut. Ir. Soekarno meminta kepada
semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil
bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Moh. Hatta dengan mengambil
contoh naskah Declaration of Independence dari Amerika Serikat. Usulan
tersebut namun ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena mereka beranggapan
bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah "kepanjangan tangan" dari
Jepang. Selanjutnya, Sukarni, salah satu seorang tokoh golongan muda,
mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi cukup Ir. Soekarno
dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Setelah usulan Sukarni itu disetujui, Ir. Soekarno meminta kepada
Sayuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangan Ir. Soekarno tersebut
dengan disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati. Ada tiga
perubahan yang terdapat pada naskah ketikan Sayuti Melik, yaitu kata
"tempoh" diganti menjadi "tempo", sedangkan kata "wakil-wakil bangsa
Indonesia" diganti menjadi "Atas nama bangsa Indonesia". Perubahan juga
dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu "Djakarta, 17-8-05" diubah
menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen '05". Kemudian, timbul persoalan
mengenai tempat proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa
Lapangan Ikada (yang sekarang adalah bagian tenggara lapangan Monumen
Nasional) telah dipersiapkan bagi kumpulnya masyarakat Jakarta untuk
mendengarkan pembacaan naskah proklamasi. Akan tetapi, Ir. Soekarno
menganggap Lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang dapat
menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Oleh
karena itu, Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi dilaksanakan di
rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, dan disetujui oleh para
hadirin.
H. PELAKSANAAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Proses pelaksanaan Proklamsi yang juga diikuti oleh pengibaran bendera
Merah Putih. Bendera Merah Putih ini sebelumnya telah dijahit dan disiapkan
oleh Ibunda Fatmawati.
Pada pukul 05.00 waktu Jawa tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin
Indonesia dari golongan tua dan golongan muda keluar dari rumah Laksamana
Maeda. Mereka pulang ke rumah masing-masing setelah berhasil merumuskan
naskah proklamasi. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan
pada pukul 10.30 waktu Jawa (pukul 10.00 WIB sekarang). Sebelum pulang,
Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja di kantor berita dan
pers, terutama B.M. Diah untuk memperbanyak teks proklamasi dan
menyiarkannya ke seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia.
Pagi hari itu, rumah Ir. Soekarno dipadati oleh massa yang berbaris
dengan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan proklamasi, Dr.
Muwardi (Kepala Keamanan Ir. Soekarno) meminta kepada Syudanco Latief
Hendraningrat untuk menugaskan anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah
Ir. Soekarno, sedangkan Wakil Walikota Suwirjo memerintahkan kepada Mr.
Wilopo untuk mempersiapkan pengeras suara. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo
kemudian pergi ke rumah Gunawan, pemilik took radio Satria di jalan Salemba
Tengah 24, untuk meminjam mikropon dan pengeras suara. Sudiro yang pada
waktu itu juga merangkap sebagai sekretaris Ir. Soekarno memerintahkan
kepada S. Suhud (Komandan Pengawal Rumah Ir. Soekarno) untuk menyiapkan
tiang bendera. Suhud kemudian mencari sebatang bamboo di belakang rumah.
Bendera yang akan dikibarkan telah dipersiapkan oleh Ibu Fatmawati.
Menjelang pukul 10.30, para pemimpin bangsa Indonesia telah
berdatangan ke Jalan Pegangsaan Timur, antara lain Mr. A.A. Maramis, Ki
Hajar Dewantara, Sm Ratulangi, K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, M. Tabrani,
dan A.G. Pringgodigdo. Adapun susunan acara yang telah dipersiapkan adalah
sebagai berikut.
a. Pembacaan Proklamasi.
b. Pengibaran Bendera Merah Putih.
c. Sambutan Walikota Suwirjo dan Muwardi.
Lima menit sebelum acara dimulai, Bung Hatta datang dengan berpakaian
putih-putih. Setelah semuanya siap, Latief Hendraningrat memberikan aba-aba
kepada seluruh barisan pemuda dan mereka pun kemudian berdiri tegak dengan
sikap sempurna. Selanjutnya, Latief mempersilahkan kepara Ir. Soekarno dan
Moh. Hatta. Dengan suara yang mantap, Bung Karno mengucapkan pidato
pendahuluan singkat yang dilanjutkan dengan pembacaan teks proklamasi.
Acara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. S. Suhud
mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatkannya
pada tali dengan bantuan Syudanco Latief Hendraningrat. Bendera dinaikkan
perlahan-lahan. Tanpa dikomando, para hadirin spontan menyanyikan Lagu
Indonesia Raya. Acara selanjutnya adalah sambutan dari Walikota Suwirjo dan
Dr. Muwardi.
Berita proklamai yang sudah meluas di seluruh Jakarta disebarkan ke
seluruh Indonesia. Pagi hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di
tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei, Waidan B. Palenewen.
Ia segera memerintahkan F. Wuz untuk menyiarkan tiga kali berturut-turut.
Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita itu, tiba-tiba tanpa diundang
masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah kagak jelas,
orang Jepang itu memerintahkan agar penyiaran berita itu dihentikan, siapa
kamu?? Hehehe… Tetapi Waidan memerintahkan F. Wuz untuk tetap
menyiarkannya. Bahkan berita itu kemudian diulang setiap setengah jam
sampai pukul 16.00 saat siaran radio itu berhenti. Akibatnya pucuk pimpinan
Tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita itu. Pada hari
Senin tanggal 20 Agustus 1945, pemancar itu kemudian disegel dan pegawainya
dilarang masuk.
Walaupun demikian, para tokoh pemuda tidak kehilangan akal. Mereka
membuat pemancar baru dengan bantuan beberapa orang teknisi radio, seperti
Sukiman, Sutamto, Susalahardja, dan Suhandar. Alat-alat pemancar mereka
ambil bagian demi bagian dari Kantor Berita Domei kemudian dibawa ke Jalan
Menteng 31 sehingga tercipta pemancar baru. Di sanalah seterusnya berita
proklamasi disiarkan.
Berita proklamasi juga disiarkan melalui pers dan surat selebaran.
Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945
memuat berita proklamasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
seperti surat kabar Soeara Asia di Surabaya dan harian Tjahaja di Bandung.
PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN PERTAMA RI
Sehari setelah proklamasi dikumandangkan, para pemimpin bekerja keras
membentuk lembaga pemerintahan sebagaimana layaknya suatu negara merdeka.
PPKI kemudian menyelenggarakan rapat pada 17 Agustus 1945. Atas inisiatif
Soekarno dan Hatta, mereka merencanakan menambah sembilan orang sebagai
anggota baru yang terdiri dari para pemuda, seperti Chairul Saleh dan
Sukarni. Namun, para pemuda memutuskan untuk meninggalkan tempat karena
menganggap PPKI adalah bentukan Jepang.
1. Pengesahan UUD 1945
Rapat pertama PPKI untuk mengesahkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945
dilaksanakan di Pejambon Jakarta. Sebelumnya, Soekarno dan Hatta meminta Ki
Bagus Hadikusumo, K.H.Wachid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr.Teuku
Mohammad Hassan untuk mengkaji rancangan pembukaan UUD. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam Piagam Jakarta yang dianut oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945,
khususnya berkaitan dengan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya".
Hal ini perlu dikaji karena pemeluk agama lain merasa keberatan jika
kalimat itu dimasukkan dalam UUD. Akhirnya, setelah dilakukan pembicaraan
yang dipimpin oleh Hatta, dicapai kata sepakat bahwa kalimat tersebut
dihilangkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Rapat pleno
dimulai pada pukul 11.30 di bawah pimpinan Soekarno dan Hatta. Dalam
membicarakan UUD ini, rapat berlangsung lancar.
Rapat berhasil menyepakati bersama rancangan Pembukaan dan UUD Negara
Republik Indonesia. Rancangan yang dimaksud adalah Piagam Jakarta yang
dibuat oleh BPUPKI dengan sedikit perubahan disahkan menjadi UUD. Isi dari
UUD meliputi Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 37 Pasal, 4 Pasal
Aturan Peralihan, dan 2 Ayat Aturan Tambahan disertai dengan penjelasan.
Dengan demikian, Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat dalam hidup
bernegara dengan menentukan arahnya sendiri.
2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Pada hari yang sama, dalam rapat untuk memilih presiden dan wakil
presiden, tampil Otto Iskandardinata yang mengusulkan agar pemilihan
dilakukan secara mufakat. Ia sendiri mengajukan Soekarno dan Hatta masing-
masing sebagai presiden dan wakil presiden. Tentunya hal ini sesuai dengan
UUD yang baru disahkan.
Dalam musyawarah untuk mufakat, secara aklamasi peserta sidang
menyetujui dan menetapkan Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil
presiden pertama Republik Indonesia, diiringi dengan lagu kebangsaan
"Indonesia Raya".
3. Pembagian Wilayah Indonesia
Rapat PPKI pada 19 Agustus 1945 memutuskan pembagian wilayah Indonesia
menjadi delapan provinsi di seluruh bekas jajahan Hindia Belanda. Kedelapan
provinsi tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Borneo
(Kalimantan), Maluku, Sulawesi, Sunda Kecil (Nusa Tenggara), Sumatra, dan
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.
4. Pembentukan Kementerian
Setelah rapat menetapkan wilayah, Panitia Kecil yang dipimpin oleh Mr.
Ahmad Soebardjo menyampaikan laporannya. Panitia Kecil mengajukan tiga
belas kementerian. Sidang kemudian membahas usulan tersebut dan menetapkan
perihal kementerian. Selanjutnya, rapat memutuskan adanya dua belas
departemen dan satu kementerian negara.
1. Menteri Luar Negeri Mr. Achmad Soebardjo
2. Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakoesoema
Wakil Menteri Dalam Negeri Mr. Harmani
3. Menteri Keamanan Rakyat Soeljadikoesoemo
4. Menteri Kehakiman Prof. Dr. Soepomo
5. Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin
Wakil Menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo
6. Menteri Keuangan Dr. Samsi Sastrawidagda
7. Menteri Kemakmuran Ir. Soerachman Tjokroadisoerjo
8. Menteri Pekerjaan Umum Abikoesno Tjokrosoejoso
9. Menteri Perhubungan Abikoesno Tjokrosoejoso
10. Menteri Sosial Iwa Koesoemasoemantri
11. Menteri Pengajaran Ki Hadjar Dewantara
12. Menteri Kesehatan Dr. Boentaran Martoatmodjo
Menteri Negara :
Mohammad Amir
Wahid Hasjim
Mr. Sartono
A. A. Maramis
Otto Iskandardinata
Pejabat setingkat menteri
Ketua Mahkamah Agung Dr. Koesoema Atmadja
Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja
Sekretaris Negara Abdoel Gaffar Pringgodigdo
Juru bicara negara Soekarjo Wirjopranoto
5. Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat
Pada 22 Agustus 1945, PPKI kembali menyelenggarakan rapat pembentukan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang akan menggantikan PPKI.
Soekarno dan Hatta mengangkat 135 orang anggota KNIP yang mencerminkan
keadaan masyarakat Indonesia. Seluruh anggota PPKI, kecuali Soekarno dan
Hatta menjadi anggota KNIP. Mereka kemudian dilantik pada 29 Agustus 1945.
Susunan pengurus KNIP adalah sebagai berikut.
Ketua KNIP : Mr. Kasman Singodimejo
Wakil Ketua I : Sutarjo Kartohadikusumo
Wakil Ketua II : Mr.J.Latuharhary
Wakil Ketua III : Adam Malik
Tugas dan wewenang KNIP adalah menjalankan fungsi pengawasan dan
berhak ikut serta dalam menetapkan GBHN.
6. Membentuk Kekuatan Pertahanan dan Keamanan
Pada 23 Agustus Presiden Soekarno mengesahkan secara resmi berdirinya
BKR sebagai badan kepolisian yang bertugas menjaga keamanan. Mayoritas
angota BKR terdiri dari mantan anggota PETA, KNIL, dan Heiho. Terpilih
sebagai pimpinan BKR pusat adalah Kaprawi.
Dalam perkembangannya, kebutuhan untuk membentuk tentara tidak dapat
diabaikan lagi. Apalagi setelah Sekutu membebaskan para serdadu Belanda
bekas tawanan Jepang dan melakukan tindakan-tindakan yang mengancam
pertahanan dan keamanan. Soekarno kemudian memanggil mantan Mayor KNIL
Oerip Soemohardjo dari Yogyakarta ke Jakarta. Oerip Soemohardjo diberi
tugas untuk membentuk tentara nasional.
Berdasarkan maklumat Presiden RI, pada 5 Oktober berdirilah Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Soepriyadi (tokoh perlawanan tentara PETA terhadap
Jepang di Blitar) terpilih sebagai pimpinan TKR. Atas dasar maklumat itu,
Oerip Soemohardjo segera membentuk Markas Besar TKR yang dipusatkan di
Yogyakarta.
Pada perkembangannya, Tentara Keamanan Rakyat berubah menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat pada 7 Januari 1946. Nama itu berubah kembali menjadi
Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 24 Januari 1946. TRI berubah nama
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947. Dengan demikian,
hingga pertengahan 1947 pemerintah telah berhasil menyusun, mengonsolidasi,
sekaligus menyatukan alat pertahanan dan keamanan.
RIWAYAT HIDUP TOKOH-TOKOH PEMUDA MASA PROKLAMASI
Berikut ini adalah biografi beberapa tokoh pelopor terjadi peristiwa
rengasdengklok yang terjadi pada tanggal 16 agustus tahun 1945 pukul 03.00
wib:
1. CHAERUL SALEH
Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo atau lebih dikenal dengan nama
Chaerul Saleh lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada tanggal 13
September 1916. Ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan tokoh politik
Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil perdana menteri,
dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Chaerul Saleh menempuh
pendidikan SR (Sekolah Rakyat) di Medan dan diselesaikannya di
Bukittinggi (1924-1931).
Setelah tamat ia melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School) bagian B
di Medan dan diselesaikannya di Jakarta (1931-1937). Melanjutkan lagi ke
Fakultas Hukum di Jakarta (1937-1942). Menjabat Ketua Persatuan Pemuda
Pelajar Indonesia (1940-1942), dan setelah Jepang masuk jadi anggota dari
panitia Seinendan, membentuk Barisan Banteng, dan anggota PUTERA dan
Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Selanjutnya ia menjadi
wakil ketua pada Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda. Bersama-sama dengan
temannya turut aktif dalam persiapan proklamasi kemerdekaan RI. Ia
bersama pemuda lainnya dari Menteng 31 yang menculik Soekarno dan Hatta
dalam Peristiwa Rengasdengklok agar kedua tokoh ini segera menyiarkan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah kekalaha Jepang dari Sekutu pada
tahun 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan RI ia menjadi wakil ketua dan
sekretaris Pusat Pemuda yang diketuai oleh Wikana kemudian menjadi ketua
Komite van Actie yang kemudian diganti menjadi Angkatan Pemuda Indonesia
(API) di Menteng Raya 31. Pada saat diadakan Kongres Pemuda di
Yogyakarta, ia terpilih jadi ketua. Selanjutnya, menjadi Ketua Dewan
Politik Lasykar Rakyat Jawa Barat akan tetapi, ketika ia menjadi ketua
Biro Politik Perjuangan yang diprakarsai oleh Tan Malaka, ia ditahan oleh
pemerintah RI, setahun.
Akhirnya setelah dibebaskan bersama Dr. Muwardi membentuk Gerakan
Revolusi Rakyat. Ketika terjadi Agresi Militer II Chairul Saleh turut
bersama Divisi Siliwangi melakukan Long March dari Yogyakarta ke Karawang
dan Sanggabuana. Akhirnya ia bergabung dengan Divisi Tentara Nasional 17
Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution, setelah di
bawah pimpinan Mayor Sambas Atmadinata. Oleh karena tidak setuju dengan
adanya KMB, Chairul Saleh dari Jakarta melarikan diri ke Banten bersama
anggota kesatuan lainnya yang menyebabkan terjadinya Peristiwa Banten
Selatan. Bulan Februari 1950-1952 ia dipenjara karena dianggap sebagai
pelanggar hukum Pemerintah RI, setelah bebas melanjutkan sekolah di
Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat (1952-1955). Di sini, ia
menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI).
Setelah kembali pada Desember 1956 ia diangkat menjadi wakil ketua
umum Legiun Veteran RI. Tanggal 9 April 1957 diangkat menjadi Menteri
Veteran dalam Kabinet Karya, pada tanggal 10 Juli 1959 diangkat pada
kementrian Perindustrian Dasar dan Pertambangan dan Migas. Pada tanggal
13 November 1963 diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri III. Tanggal 8
Februari 1967 ia meninggal dunia. Untuk mengenang jasanya di bidang
kemiliteran, pangkat terakhir yang diperoleh adalah Jenderal Kehormatan
TNI AD, sedangkan bintang jasa yang diperoleh antara lain Bintang
Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya
Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu
Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.
2. JUSUF KUNTO
Jusuf Kunto lahir di Salatiga pada tanggal 8 Agustus 1921. Jusuf
Kunto sebenarnya bernama asli Kunto. Namanya berubah menjadi Jusuf Kunto
sejak tahun 1937, diambil dari nama depan keluarga kakak sepupunya, Mr.
Jusuf Suwondo. Jusuf Kunto merupakan salah satu tokoh yang ikut menculik
Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Dia
bersama Sukarni dan beberapa anggota PETA yang menjemput dan membawa
Soekarno dan Hatta menuju Rengasdengklok. Jusuf Kunto pernah tinggal di
Pangkalpinang, Bangka, karena ia mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai
mantra kesehatan di Tambang Timah Bangka. Ia menempuh pendidikan
formalnya di Hollandsch Chinesche School, sekolah khusus untuk orang-
orang keturunan Cina.
Perkenalannya dengan kaum pergerakan Indonesia dimulai ketika ia
bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang pada tahun 1933. Ia
pernah menusuk seorang polisi Belanda yang ingin menangkapnya karena ia
sering melakukan pertemuan-pertemuan dengan para kaum pergerakan lainnya.
Sebelum menjadi tokoh pejuang muda di Indonesia pada masa perjuangan
kemerdekaan RI, Jusuf Kunto pernah menjadi seorang tentara Jepang. Hal
itu bermula ketika ia diselundupkan ke Jepang karena ia menjadi buronan
Politieke Inlichting Dienst (PID), polisi dinas keamanan negara. Di
Jepang, ia menyelesaikan studinya di Politeknik Waseda University, Tokyo.
Ia merupakan rombongan terakhir pemuda-pemuda Jepang yang direkrut
menjadi pilot pesawat tempur Jepang di California, Amerika Serikat.
Bahkan ia pernah masuk dalam skuadron pesawat tempur Jepang dan juga
pernah ikut menyerang kepulauan Hawaii dan beberapa kepulauan lainnya di
wilayah Pasifik.
Ia juga pernah terlibat dalam tugas pengintaian dan pemboman Port
Moresby, Papua Nugini. Karir militernya bersama pasukan udara Jepang
harus terhenti ketika pesawat yang ditumpanginya tertembak saat terjadi
pertempuran udara di Morotai dan Halmahera, Maluku. Jusuf Kunto menderita
cukup parah dan harus dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Cipto
Mangunkusumo. Ketika dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, ia mulai menjalin
hubungan baik dengan para pejuang Indonesia yang sebagian besar berasal
dari kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran di Jakarta. Salah satu
kenalannya dan kemudian menjadi istrinya adalah Prof. dr. Murtiningrum,
anak Kunto Tjokrowidagdo, seorang pegawai tinggi Perumka saat itu. Jusuf
Kunto akhirnya disersi sebagai tentara Jepang dan membantu perjuangan
pemuda Indonesia secara sembunyi-sembunyi. Tahun 1944, ia pernah memasok
satu kompi amunisi dan senjata untuk para pemuda di Bandung dan melatih
mereka. Ia juga sangat pintar dalam memecahkan sandi tentara Jepang
karena pengalaman dan kemampuan yang ia dapat selama ia bergabung bersama
tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Jusuf Kunto bergabung bersama Badan
Keamanan Rakyat. Ia lebih memilih terjun dalam bidang intelijen bersama
dengan Zulkifli Lubis. Ia pun pernah menjadi Staf Oemoem I (SO I) pada
Markas Besar Tentara (MBT) di Benteng Vredenburg, Yogyakarta. Jusuf Kunto
saat itu berpangkat mayor. Mayor Jusuf Kunto sempat memindahkan markas
daruratnya dari Yogyakarta ke Pakem pada saat sebelum Agresi Militer
Belanda. Ia melakukan penyamaran ketika itu untuk dapat menyampaikan
informasi atau bahan obat-obatan serta beberapa kebutuhan lainnya untuk
para pejuang di Yogyakarta. Jusuf Kunto meninggal dunia pada 2 Januari
1949 akibat kelelahan dan sakit radang paru-paru serta kurangnya bantuan
medis terhadap dirinya. Saat itu usianya belum genap 28 tahun. Ia
akhirnya dimakamkan di pemakaman umum Badran, yang terletak di dekat
sebuah kuburan Cina di sebelah barat Stasiun Tugu, Yogyakarta. Perjuangan
Jusuf Kunto dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI memang
sangat jarang diungkap secara lebih jelas. Padahal menurut Maroeto
Nitimihardjo, salah seorang tokoh pemuda pada masa sekitar proklamasi,
Jusuf Kunto adalah seorang tokoh pemuda yang diberi tugas ke sana-kemari,
termasuk membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok lalu membawanya
sampai esok subuh ke rumah Laksamana Maeda.
3. WIKANA
Wikana lahir di Sumedang, Jawa Barat, 18 Oktober 1914 adalah
seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Bersama pemuda-pemuda lainnya dari
Menteng 31, mereka menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa
Rengasdengklok dengan tujuan agar kedua tokoh ini segera memproklamasikan
kemerdekaan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Wikana terlahir dari
keluarga menak Sumedang, ayahnya bernama Raden Haji Soelaiman. Sebagai
anak priayi, Wikana punya hak untuk mengenyam pendidikan.
Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak
raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi
standar utama. Wikana memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS.
Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari
sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.
Pada peristiwa Proklamasi 1945 Wikana memainkan peran penting
karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi
1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang
terjamin keamanannya. Lalu Wikana mengatur semua keperluan Pembacaan
Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan, ia juga tegang saat melihat
Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan
Proklamasi. Wikana kasak kusuk ke kalangan militer Jepang untuk tidak
mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi.
Setelah kemerdekaan jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap
terlibat peristiwa Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran
tentara. Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia
menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap
kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2
Februari 1955.
Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir
dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif, ini sama saja
dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex Digulis oleh anak-anak muda
PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang
lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di
daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara
karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung
Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota
MPRS. Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana
hilang begitu saja.
PERUBAHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA
TAHUN 1945 – 1950
Pada dasarnya, perkembangan situasi politik dan kenegaraan Indonesia
pada awal kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh pembentukan KNIP serta
dikeluarkannya Maklumat Politik 3 November 1945 oleh wakil Presiden Moh.
Hatta. Isi maklumat tersebut menekankan pentingnya kemunculan partai-partai
politik di Indonesia. Partai politik harus muncul sebelum pemilihan anggota
Badan Perwakilan Rakyat yang dilangsungkan pada Januari 1946.
Adapun masalah birokrasi politik mulai muncul pada saat perumusan
dasar Negara dalam sidang PPKI pertama, 18 Agustus 1945. Soekarno dan Moh.
Hatta dipilihi sebagai Presiden dan Wakil Presiden. kemudian wilayah
Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi dan masing-masing seorang Gubernur,
antara lain:
1.Sumatera : Tengku Mohammad Hasan
2.Jawa Barat : Sutarjo Kartohadikusuma
3.Jawa Tengah : R. Panji Suruso
4.Jawa Timur : R.M. Suryo
5.Sunda Kecil : Mr. I Gusti Ketut Puja
6.Maluku : Mr. J. Latuharhary
7.Sulawesi : Dr. G.S.S.J. Ratulangi
8.Kalimantan : Ir. Pangeran Mohammad Noor
Pembentukan KNIP
Pada tanggal 19 Agustus 1945, presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh.
Hatta, Mr. Sartono, Suwiryo, Otto Iskandardinata, Sukarjo Wiryopranoto, dr.
Buntaran, Mr. A.G. Pronggodigdo, Sutarjo Kartohadikusumo dan dr. Tajaddin
berkumpul di jalan Gambir Selatan No. 10 membahas mengenai orang-orang yang
akan menjadi anggota KNIP. KNIP bertugas sebagai penasehat presiden sebelum
dibentuk MPR dan DPR. Anggota KNIP berjumlah 60 orang diketuai oleh Kasman
Singodimedjo dan Suwiryo, sebagi sekretaisnya yang dilantik pada tanggal 29
Agustus 1945 di Gedung Komedi, Pasar Baru, Jakarta.
Pada tanggal 16 Oktober 1945, KNIP mengadakan rapat pleno dan dihadiri
pula Wakil Presiden Moh. Hatta, beliau mengeluarkan Keputusan Presiden No.
X, isinya tentang memberikan kekuasaan dan wewenang legislative kepada KNIP
untuk ikut serta menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Atas
desakan dari Syahrir, maka Wakil Presiden mengeluakan maklumat Walik
Presiden 3 November 1945, yang isinya:
1. Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik, sebagai wadah
aspirasi rakyat.
2. Pemerintah berharap agar partai-partai politik telah tersusun sebelum
pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946.
Partai yang muncul, yakni Masyumi, PNI, PKI, PBI, Partai Katholik,
Partai Kristen, dan Partai Sosialis.
Pada tanggal 25-26 November 1945, Sutan Syahrir mengesarkan progja BP
KNIP, sebagai berikut:
1. Kedudukan komite nasional
2. Pembentukan partai-partai politik
3. Penetapan bersama pemerintah mengenai politik dalam dan luar
negeri.
4. Usul tentang perubahan pemerintahan lama yang disertai dengan
pertanggungjawaban kementrian dan susunan Dewan Kementrian baru.
5. Penyusunan dan penyempurnaan peran KNIP dari presidensil menjadi
parlementer.
Keragaman Ideologi Partai Politik di Indonesia
Maklumat Politik 3 November 1945, yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta,
hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan
mengakomodasi suara rakyat yang majemuk. Akibatnya, munculah partai-partai
politik dengan berbagai ideologi. Partai-partai politik tersebut mempunyai
arah dan metode pergerakan yang berbeda-beda.
Di antaranya adalah partai politik berhaluan nasionalis, yaitu PNI
penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan
Gabungan Republik Indonesia yang berdiri pada 29 Januari 1946, dipimpin
oleh Sidik Djojosukaro.
Gambar : Banyaknya Partai Politik
Kemunculan partai-partai berhaluan sosialis-komunis pada walnya
merupakan bentuk pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Namun, seiring
perkembangannya, partai ini menerapkan cara revolusioner yang tidak dapat
diterima oleh masyarakat Indonesia.
Hubungan antara KNIP dan Lembaga Pemerintahan
Dilatarbelakangi oleh berbagai situasi negara yang genting, seperti
keadaan Jakarta di awal 1946, yang sangat rawan oleh teror dan intimidasi
pihak asing , mengharuskan para petinggi bangsa untuk memindahkan ibu kota
negara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 untuk sementara waktu.
Pada dasarnya, posisi wewenang KNIP dikukuhkan melalui Maklumat X, 16
Oktober 1945, yang memberikan kuasa legislatif terhadap badan tersebut.
Dengan maklumat itu, KNIP yang dibentuk pada 22 Agustus 1945, berposisi
seperti layaknya Dewan Perwakilan Rakyat untuk sementara waktu sebelum
dilaksanakannya pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang sebenarnya. Tugas Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah
membantu dan menjadi pengawas kinerja presiden dalam melaksanakan tugas
pemerintahan. KNIP mempunyai kuasa untuk memberikan usulan kebijakan kepada
presiden dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Sementara itu, Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) bertugas untuk membantu dan mengawasi
jalannya kinerja pemerintahan di tataran lebih rendah daripada presiden,
seperti gubernur dan bupati.
Hubungan antara Keragaman Ideologi dan Pembentukan Lembaga Kepresidenan
Terdapatnya keragaman ideologi yang terbagi ke dalam golongan
nasionalis, agama, dan sosialis-komunis pada era awal kemerdekaan ternyata
mengandung implikasi yang signifikan terhadap struktur kepemimpinan negara.
Perubahan otoritas KNIP dan munculnya berbagai partai politik di Indonesia
menjadi dua katalisator utama terhadap perubahan struktur kekuasaan
pemerintahan. Naiknya Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri Indonesia juga
memiliki andil dalam perubahan itu.
Lembaga kepresidenan sendiri telah dibentuk pada 2 September 1945,
pada kesempatan itu, Presiden Soekarno membentuk susunan kabinet sebagai
pelaksana eksekutif dari lembaga kepresidenan Indonesia. Hal itu merupakan
manifestasi dari penguatan lembaga kepresidenan untuk dapat melaksanakan
tugas negara dengan optimal.
Susunan kabinet yang dibentuk pada 2 September 1945, pada dasarnya,
mencerminkan komposisi yang mewakili keragaman ideologi di Indonesia.
Meskipun partai-partai politik baru bermunculan, setelah dikeluarkannya
Maklumat 3 November 1945, kondisi keragaman ideologi ini telah berperan
besar dalam susunan lembaga kepresidenan negara.
Menteri-menteri Departemen
1. Menteri Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Kusumah
2. Menteri Luar Negeri : Mr. Ahmad Subardjo
3. Menteri Keuangan : Mr. A.A. Maramis
4. Menteri Kehakiman : Prof. Mr. Dr. Supomo
5. Menteri Kemakmuran : Ir. Surahman T. Adisujo
6. Menteri Keamananan Rakyat : Supriyadi
7. Menteri Kesehatan : Dr. Buntaran
Martoatmojo
8. Menteri Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
9. Menteri Penerangan : Mr. Amir Syarifudin
10.Menteri Sosial : Mr. Iwa Kusuma Sumantri
11.Menteri Pekerjaan Umum : Abikusno Cokrosujoso
12.Menteri Perhubungan : Abikusno Cokrosujoso
13.Menteri Negara : Wachid Hasyim
14.Menteri Negara : Dr. M. Amir
15.Menteri Negara : Mr. R.M. Sartono
16.Menteri Negara : R. Otto Iskandardinata
Militer
Militer memiliki peran yang sangat penting bagi Negara yang baru
memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka. Mereka bertugas melindungi
rakyat dan mempertahankan kemerdekaan. Cikal bakal pembentukan militer di
Indonesia erupakan inisiatif dari para pemuda untuk membentuk "Tentara
Keamanan Indonesia", tetapi ternyata usulan trsebut ditolak oleh
pemerintah. pada awal kemerdekaan. Pada tanggal 22 Agustus 1945
dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat).
Para pemuda kurang setuju dengan BKR, mereka menginginkan suatu badan
yang benar-benar bisa melindungi keutuhan Negara. Kemudian mereka tergabung
dalam Komite van Aksi dan kelompok perjuangan lainnya. Mereka melakukan
tindakan provokatif sehingga menyadarkan pemerintah untuk membentuk tentara
regular. Maka presiden Soekarno memanggil Mayor KNIL Urip Sumohardjo dan
menugaskannya untuk membentuk Tentara Nasional. Maka tanggal 5 Oktober 1945
dikeluarkan maklumat Presiden yang berbunyi, "Untuk memperkuat perasaan
keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat". pimpinan TKR
pertama Supriyadi sedangkan Menteri Keamanan dipegang oleh Moh.
Suroadikusumo. Karena Supriyadi tidak muncul, maka posisinya digantikan
oleh Sudirman. Ia dilantik tanggal 18 Desember 1945.
Pada bulan Januari 1946, TKR berganti nama menjadi TRI (Tentara
Republik Indonesia). Tanggal 10 November 1945, badan-badan perjuangan
mengadakan Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Yogyakarta dipimpin oleh
Chairul Saleh. Kongres tersebut sepakat untuk membentuk BKPI (Badan Kongres
Pemuda Indonesia). Antara BKPI dan BKR diintegrasikan menjadi TNI pada
bulan Juni 1947.
PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP SEKUTU DAN NICA / BELANDA SECARA
MILITER DAN DIPLOMASI
A. PERJUANGAN SECARA FISIK
1. Peristiwa 10 November di Surabaya
Surabaya merupakan kota pahlawan. Surabaya menjadi ajang pertempuran
yang paling hebat selama revolusi mempertahankan kemerdekaan, sehingga
menjadi lambang perlawanan nasional. Peristiwa di Surabaya merupakan
rangkaian kejadian yang diawali sejak kedatangan pasukan Sekutu tanggal 25
Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby.
Gambar : Pertempuran 10 November
Setelah mendarat di Surabaya, NICA berusaha menjadikan Hotel Yamato
sebagai markas. Mereka mengibarkan bendera Belanda, "merah-putih-biru" di
tiang puncak hotel Yamato. Hal ini sontak membuat para pemuda marah. Secara
spontan mereka menyerbu masuk hotel dan menurunkan bendera itu, kemudian
merober bagian yanf berwarna biru lalu bendera pun dikibarkan lagi menjadi
merah putih. Sejak saat itu bentrokan antara pejuang dan pasukan Sekutu
terjadi hampir di tiap sudut kota Surabaya.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Gedung
Bank Internatio di Jembatan Merah. Pertempuran itu menewaskan Brigjen
Mallaby. Akibat meninggalnya Brigjen Mallaby, Inggris memberi ultimatum,
isinya agar rakyat Surabaya menyerah kepada Sekutu. Secara resmi rakyat
Surabaya, yang diwakili Gubernur Suryo menolak ultimatum Inggris. Akibatnya
pada tanggal 10 November 1945 pagi hari, pasukan Inggris mengerahkan
pasukan infantri dengan senjatasenjata berat dan menyerbu Surabaya dari
darat, laut, maupun udara.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya telah menciptakan pekik
persatuan demi revolusi yaitu merdeka atau mati. Di samping itu juga
merupakan titik balik bagi Belanda karena mengejutkan pihak Belanda yang
tidak menyangka kekuatan RI mendapat dukungan rakyat.
Rakyat Surabaya tidak takut dengan gempuran Sekutu. Bung Tomo memimpin
rakyat dengan berpidato membangkitkan semangat lewat radio. Pertempuran
berlangsung selama tiga minggu. Akibat pertempuran tersebut 6.000 rakyat
Surabaya gugur. Pengaruh pertempuran Surabaya berdampak luas di kalangan
internasional, bahkan masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB tanggal
7-13 Februari 1946.
2. Bandung Lautan api
Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Sekutu
pada bulan Oktober 1945. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh ultimatum
Sekutu untuk mengosongkan kota Bandung. Pada tanggal 21 November 1945,
Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama isinya kota Bandung bagian Utara
selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh para pejuang.
Ultimatum tersebut tidak ditanggapi oleh para pejuang. Selanjutnya tanggal
23 Maret 1946 Sekutu mengeluarkan ultimatum kembali. Isinya hampir sama
dengan ultimatum yang pertama. Menghadapi ultimatum tersebut para pejuang
kebingungan karena mendapat dua perintah yang berbeda. Pemerintah RI di
Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung.
Sementara markas TRI di Yogyakarta menginstruksikan agar Bandung tidak
dikosongkan. Akhirnya para pejuang mematuhi perintah dari Jakarta. Pada
tanggal 23-24 Maret 1946 para pejuang meninggalkan Bandung. Namun,
sebelumnya mereka menyerang Sekutu dan membumihanguskan kota Bandung.
Tujuannya agar Sekutu tidak dapat menduduki dan memanfaatkan sarana-sarana
yang vital. Peristiwa ini dikenal dengan Bandung Lautan Api. Sementara itu
para pejuang dan rakyat Bandung mengungsi ke luar kota.
Dalam peristiwa Bandung Lautan Api gugur seorang pahlawan yang bernama
Moh. Toha. Untuk mengabadikan terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api,
seorang komposer yang bernama Ismail Marzuki menciptakan lagu "Halo- Halo
Bandung".
3. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi tanggal 20 November sampai tanggal 15
Desember 1945, antara pasukan TKR dan Pemuda Indonesia melawan pasukan
Sekutu (Inggris). Pertempuran Ambarawa dimulai dari insiden yang terjadi di
Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945. Pada tanggal 20 November 1945 di
Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor
Sumarto melawan tentara Sekutu. Pertempuran Ambarawa mengakibatkan gugurnya
Letkol Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Posisi Letkol Isdiman kemudian
digantikan oleh Letkol Soedirman. Kota Ambarawa berhasil dikepung selama 4
hari 4 malam oleh pasukan RI. Mengingat posisi yang telah terjepit, maka
pasukan Sekutu meninggalkan kota Ambarawa tanggal 15 Desember 1945 menuju
Semarang. Keberhasilan TKR mengusir Sekutu dari Ambarawa menjadi salah satu
peristiwa penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.
Pertempuran di Ambarawa sering dikenal dengan peristiwa "Palagan
Ambarawa". Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Monumen Palagan
Ambarawa di tengah kota Ambarawa.
4. Medan Area 1 Desember 1945
Pada tanggal 9 Oktober 1945 tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA
mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Awalnya mereka
diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan
tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden
terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu
seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana
Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan
para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel
yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu
memasang papanpapan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di
berbagai sudut kota Medan. Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal.
Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik
yang berada di kota Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan
TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada
tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-
komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan
Area.
5. Peristiwa Merah putih di Manado
Kabar tentang proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal
Pejuanggal 17 Agustus 1945 sampai ke Manado. Kabar itu membuat para pemuda
dan pejuang di Manado gembira. Di lain pihak, pasukan sekutu yang membara
serta NICA masuk ke Manado dan berusaha untuk membebaskan pasukan KNIL yang
menjadi tawan perang. Tetapi NICA lalu mempersenjatai para mantan pasukan
KNIL itu. Pasukan itu dijuluki "Pasukan Tangsi Putih".
Setelah sekutu resmi menyerahkan Manado ke tangan kekuasaan NICA pada
bulan Desember 1945, NICA langsung melakukan pembersihan dengan menangkap
para pemimpin pergerakan perjuangan agar kedudukan mereka di Manado aman.
Pasukan KNIL di Manado tidak seluruh loyal pada NKRI, merekan dijuluki
"Pasukan Tangsi Hitam".
Pasukan Tangsi Hitam bergabung dengan Pasukan Pemuda Indonesia (PPI)
dan merencanakan untuk mengusir NICA dari Manado. Tetapi, rencana PPI itu
tercium oleh NICA, akhirnya para pemimpin PPI ditangkap serta seluruh
peluru dan amunisi Pasukan Tangsi Hitam disita oleh NICA., pasukan tetap
punya senjata tetapi tanpa peluru dan amunisi.
Tetapi rencan perlawan pada NICA tetap dilaksanakan. Dengan
perencanaan yang matang, serangan ke markas NICA dan Pasukan Tangsi Putih
di Teling di lancarkan. dengan bergerak di malam hari membuat formasi huruf
"L", Pasukan PPI berhasil masuk ke markas NICA dan berhasil menguasai
markas serta membebaskan para pemimpin PPI yang ditawan NICA. para pejuang
merobek bagian biru Belanda sehingga sang merah putih berkibar di sana.
Para pejuang juga berhasil mengalahkan NICA di Tomohon dan Tondano.
Setelah kebehasilan itu, para pejuang langsung membentuk pemerintahan
sipil dengan B.W. Lapisan sebagai Residennya kabar kemenangan ini segera di
kiri ke Yogjakarta. Kabar ini juga sekaligus menipis propaganda Belanda
bahwa Proklamasi Kemerdekaan RI hanya berlaku di Jawa saja, dan klaim akan
mitos Verbond Minahasa – Nederland (persahabatan Belanda-Minahasa) yang
telah ada sejak 10 Januari 1969 gugur sudah.
B. PERJUANGAN SECARA DEPLOMATIK
1. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tangga 10 November 1946 di
Linggarjati, dekat Cirebon. Dalam Perjanjian ini, Indonesia diwakili oleh
Perdana Menteri Sutan Syahrir sedangkan Belanda diwakili oleh Prof.
Scermerhorn. Perjanjiantersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang
diplomat Inggris. Berikut ini beberapa keputusan Perjanjian Linggarjati.
a. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia meliputi Jawa,
Madura, dan Sumatra.
b. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah
satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
c. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Dalam perkembangan
selanjutnya, Belanda melanggar ketentuan Perjanjian tersebut dengan
melakukan agresi militer I tanggal 21 Juli 1947.
Meskipun isi Perjanjian Linggarjati tidak menguntungkan bagi
Indonesia, namun berhasil mengundang simpati internasional. Hal ini
terbukti dengan adanya pengakuan kedaulatan oleh Inggris, Amerika
Serikat, Mesir, Lebanon, Suriah, Afghanistan, Myanmar, Yaman, Saudi
Arabia, dan Uni Soviet.
2. Perjanjian Renvile
Dalam upaya membantu menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan
Belanda maka DK PBB mendesak diadakannya gencatan senjata yang terjadi 4
Agustus 1947 serta membentuk komisi tiga Negara (KTN), Negara-negara
tersebut adalah :
a. Australia (tunjukan Indonesia), diwakili oleh Richard Kirby.
b. Belgia (tunjukan Belanda) diwakili oleh Paul Van Zeelan.
c. Amerika Serikat (netral), diwakili oleh Dr. Frank Graham.
Atas usul KTN maka pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan
Perjanjian antara Indonesia dan Belanda di atas kapal Renville milik AS
yang sedang berlabuh di Jakarta.
Delegasi Indonesia terdiri atas PM. Amir syarifuddin, Mr. Ali
Sastroamidjoyo, Dr. Tjoa sik len, Mr. Roem, Haji Agus Salim, Mr. Nasrun dan
Ir. Djuanda. Delegasi Belanda terdiri atas Abdul Kadir Widjoyoatmojo, Jhr.
Van Vredenburgh, Dr.Soumokil, Pangeran Kartanegara dan Zulkarnaen.
Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal 8 Desember
1947 sampai 17 Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Pokok-pokok
isi persetujuan sebagai berikut:
a. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai
kedaulatannya diserahkan kepada RIS yang segera dibentuk.
b. RIS mempunyai pendudukan yang sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni
Indonesia-Belanda.
c. RI akan merupakan Negara bagian dari RIS
d. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya
kepada pemerintahan federal sementara.
e. Pasukan RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI
Kerugian-kerugian yang diderita Indonesia dari perjanjian Renville adalah :
a. Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Negara Indonesia serikat
melalui masa peralihan.
b. Indonesia kehilangan sebagian daerahnya karena garis Van Mook terpaksa
harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda
c. Pihak republik harus menarik seluruh pasukannya yang ada di daerah
kekuasaan Belanda dan dari kantong-kantong gerilya masuk daerah RI.
Akibat buruk bagi pemerintah RI dengan penandatanganan perjanjian ini
adalah :
a. Wilayah RI menjadi semakin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah
kekuasaan Belanda.
b. Timbulnya reaksi keras dikalangan pemimpin-pemimpin RI mengakibatkan
jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin yang dianggap telah menjual Negara
kepada Belanda.
c. Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda.
d. Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militer dari
daerah-daerah gerilya, kemudian hijrah ke wilayah RI yang berdekatan.
Kabinet Amir syarifuddin jatuh dan digantikan kabinet Hatta. Amir
syarifuddin yang kecewa akhirnya menjadi oposisi kabinet Hatta dan bersama
Muso mengobarkan pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948,
saat bangsa Indonesia sibuk menghadapi ancaman agresi militer Belanda II.
3. Perjanjian Roem-Royen
Perjanjian ini merupakan Perjanjian pendahuluan sebelum KMB. Salah
satu kesepakatan yang dicapai adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB yang
akan dilaksanakan di Den Haag negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB
dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang bertujuan untuk mengadakan
pembicaraan antara badan permusyawaratan federal (BFO/Bijenkomst Voor
Federal Overleg) dengan RI agar tercapai kesepakatan mendasar dalam
menghadapi KMB.
Komisi PBB yang menangani Indonesia digantikan UNCI. UNCI berhasil
membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949 yang
dikenal dengan persetujuan Roem-Royen (Roem-Royen Statement) yang isinya
antara lain :
a. Belanda harus pergi meninggalkan daerah Yogyakarta
b. Presiden dan wakil presiden kembali ke Yogyakarta
c. Panglima mengembalikan mandatnya kepada pemerintah Presiden Soekarno
4. Konferensi Inter Indonesia
Bersamaan dengan di adakannya Konferensi Inter Indonesia , di Jakarta
berlangsung prtemun wakil-wakil republic Bijeenkomst voor Federal Overleg
(BFO) atau Badan Permusyawaratan dengan Belanda dibawah pengamatan UNCI.
Pertempuran tersebut menghasilkan penggentian permusuhan kedua belah pihak
. Presiden Soekarno sendiri pada 3 Agustus 1949 melalui radio mengeluarkan
Radio untuk menghentikan tembak-menembak. AHJ lovink, Wakil Tinggi Mahkota
Kerajaan Belanda sebagai Panglaima Tertinggi Angkatan Perang Belanda
Indonesia, di hari yang sama, memerintahkan kepada pasukan untuk meletakkan
senjata. konferensi Inter-Indonesia sendiri berlangsung di Yogjakartapada
tanggal 19-22 Juli 1949, dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta.
Konferensi empat hari ini menghasilkan beberapa keputusan, yaitu:
a. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang berdasarkan demokrasi dan federalism
b. RIS akan dipimpin oleh seorang presiden dan dibantu oleh mentri-mentri
c. RIS akan menerima kedaulatan baik dan Republik Indonesia Maupun Kerajaan
Belanda
d. Angkatan perang semata-mata hak pemerintah RIS
e. Negara-negara bagian tidak akan mempunyai angkatan perang sendiri
Pertemuan ke-dua konferensi Inter-Indonesia diadakan di Jakarta pada
30 Juli 1949, dan menghasilkan beberapa keputusan yaitu:
a. bendera RIS adalah sang Merah-Putih
b. lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya
c. Bahasa resmi RIS adalah Bahasa Indonesia
Wakil RI dan BFO ber hak memilih Presiden RIS. Negara bagian yang
berjumlah 16 berhak mengisi keanggotaan di Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS). Kedua Majelis ini juga setuju untuk membentuk panitin
persiapan nasional, yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu berkaitan
dengan pelaksanaan KMB. Selain itu, dibicarakan soal posisi TNI yang
menjadi inti dari pembentukan Angkatan Parang Republik Indonesia Serikat
(APRIS) yang anggota-anggotanya terdiri atas bekas koninklijk Nederlands
Leger (KNIL) dan anggotanya Koninklyeke Leger (KL) akan kembali ke Belanda.
Saat itu, terjadi pembrontakan di berbagai daerah, seperti pemberontakan
KNIL di Bandung, APRA-nya Westerling, Pembeontakan Andi Aziz di Makassar,
dan Pemerontakan RMS.
5. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan
Roem-Royen. Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO
(Badan Permusyawaratan Federal). Pertemuan ini dikenal dengan dengan
Konferensi Inter-Indonesia (KII) Tujuannya untuk menyamakan langkah dan
sikap sesama bangsa Indonesia dalam menghadapi KMB.
Gambar : Sidang KMB
Pada bidang pertahanan diputuskan:
a. Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan
Perang Nasional,
b. TNI menjadi inti APRIS, dan
c. negara bagian tidak memiliki angkatan perang sendiri.
KMB merupakan langkah nyata dalam diplomasi untuk mencari penyelesaian
sengketa Indonesia – Belanda. Kegiatan KMB dilaksanakan di Den Haag,
Belanda tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Dalam KMB tersebut
dihadiri delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan perwakilan UNCI.
Berikut ini para delegasi yang hadir dalam KMB:
a. Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr.
Soepomo
b. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
c. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
d. UNCI diwakili oleh Chritchley.
Dalam KMB terdapat beberapa permasalahan yang sulit dipecahkan yaitu
masalah Uni Indonesia- Belanda, masalah hutang, permasalahan Irian Barat,
dan delegasi Indonesia menghendaki istilah pengakuan kedaulatan.
Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang, akhirnya KMB menghasilkan
beberapa keputusan berikut:
a. Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
b. Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember
1949.
c. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun
setelah pengakuan kedaulatan RIS.
d. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia
Belanda yang dikepalai Raja Belanda.
e. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan
beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
f. Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang Tentara
Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa para
anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.
Pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penandatanganan pengakuan
kedaulatan secara bersamaan di Belanda dan di Indonesia. Di negeri Belanda,
Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Dress, Menteri Seberang Lautan Mr.
A.M.J. A. Sassen, dan Drs. Moh. Hatta, bersama menandatangani naskah
pengakuan kedaulatan. Sedangkan di Jakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink menandatangani naskah
pengakuan kedaulatan.
SEJARAH TNI DAN KESATUAN AKSI / LASKAR RAKYAT
MASA REVOLUSI FISIK TAHUN 1945-1950
Pada revolusi fisik, laskar bermakna satuan bersenjata di laur tentara
reguler, yang secara umum berafiliasi pada kepentingan politik tertentu.
Bibit dari pada laskar rakyat di Indonesia dianggap bermula dari sikap
gerakan-gerakan politik tertentu terhadap kolonialisme Belanda dan fasisme
Jepang. Contohnya PNI Baru yang dibetuk akhir tahun 1931 pimpinan Hatta-
Sjahrir dan Gerindo (Gerakan Indonesia Raya), yang didirikan 24 Mei 1937,
yang mengambil sikap anti fasis dan anti kolonialisme.
Paska kemerdekaan 17 Agustus 1945, anggota gerakan-gerakan bawah tanah
itu dan pemuda-pemuda Indonesia lainnya mengalami euforia politik setelah
hidup di bawah bayang-bayang penjajahan dan merasa terpanggil untuk
menyelamatkan revolusi serta membela republik dengan membentuk beberapa
gerakan yang sesuai dengan afiliasi politiknya.
Pada awal revolusi, Pemerintah Indonesia tidak membentuk tentara
resmi. Elemen pembentukan BKR, TKR, TRI hingga TNI dibangun dengan tiga
unsur utama yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda yakni
mantan anggota KNIL, mantan anggota PETA, dan laskar rakyat.
Pada September 1945, para pemimpin RI meresmikan pembentukan Lasjkar
Rakjat Alasannya, perjuangan nasional lewat diplomasi tidak akan berhasil
tanpa perjuangan rakyat di desa dan kota. LR diharapkan akan bisa
menyatukan semua organisasi para militer dan mendukung Tentara Keamanan
Rakyat. Pada akhir November 1945, para pemimpin pusat di Jakarta menyatakan
bahwa pembentukan organisasi itu resmi disahkan.
Sembilan organisasi bekerja sama erat dalam kegiatan militer: (1)
Angkatan Pemoeda Indonesia (2) Angkatan Pemoeda Indonesia Ambon (3) PKI (4)
Gaboengan Gerakan Pegawai Angkatan Moeda (5) Partai Rakjat Djelata (6)
Pelopor (7) Ikatan Peladjar Indonesia (8) TKR (9) KRIS. Sekalipun
persenjataannya kurang mobilisasi massa yang sampai di kampung-kampung
telah membuat LR suatu kekuatan yang hebat.
Pada mulanya, LR dibentuk untuk menyatukan berbagai kesatuan
perjuangan, tapi setelah beberapa bulan jelas terlihat keengganan untuk
itu. Lebih lagi, cabang-cabang LR mempunyai susunan organisasi yang berbeda
hingga menyulitkan penyeragaman dan koordinasi. Guna memperkuat organisasi,
suatu kongres nasional diselenggarakan pada akhir Februari 1946. Dalam
kongres itu dinyatakan bahwa LR adalah federasi dari berbagai kesatuan
perjuangan dan merupakan bagian khusus dari Persatuan Perdjuangan, yang
menjadi payung dari semua badan perjuangan.
Hisbullah dibentuk atas anjuran Masjoemi pada 21 Juli 1945. Selain
untuk dipertahanan Pulau Jawa, organisasi ini juga ditujukan untuk membela
dan menyebarkan Islam. Pedoman llmu yang ditentukan oleh Masjoemi, sedang
pimpinannya dipegang oleh ulama dan kiai. Sebagian besar anggotanya berasal
dari pesantren dan madrasah. Dalam kongres Masjoemi. pada 7 dan 8 November
1945, diputuskan untuk membentuk suatu badan perjuangan lain, Sabilillah.
Pimpinannya terdiri dari K.H Masjkoer, Wondoamiseno, H. Hasjim dan Soelio
Adikoesoemo. Pria di bawah usia 35 tahun menjadi anggota Hisbullah, sedang
yang berumur di atasnya masuk Sabilillah. Organisasi untuk pemuda adalah
GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).
Dalam 3 bulan pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan, BPRI (Barisan
Pemberontak Republik Indonesia) menjulang tinggi dan menyebar luas ke
seluruh Jawa. Pusatnya di Surabaya sedang kegiatannya terutama bertumpu
pada pemimpinnya, Bung Tomo — 24 tahun – yang sangat populer berkat pidato-
pidato radionya yang bersemangat dan membakar. Bung Tomo dan pengikutnya
bangga dengan julukan mereka "kaum ekstremis". Ideologi mereka yang ekstrim-
revolusioner diterima oleh masyarakat luas termasuk pengikut Masjoemi. Pada
kenyataannya, berkat agitasi massanya yang terus menerus, BPRI berhasil
memainkan peranan sebagai pemersatu. Perkembangannya yang cepat menimbulkan
juga kekacauan organisasi seiring dengan kecondongan anarki mereka.
Beberapa cabang di Jawa Barat pernah dituduh menjadi tempat penampungan
perampok dan penjahat.
Gambar : Pelatihan BKR
Radikal Revolusioner Barisan Banteng Republik Indonesia, juga
disingkat Barisan Banteng, semula dibentuk atas anjuran penguasa Jepang.
Pada Desember 1942, Soekarni diminta oleh Shimizu dari Sendenbu (Biro
Propaganda) untuk membentuk suatu organisasi yang tujuannya membangkitkan
semangat rakyat dan melakukan latihan militer. Organisasi ini, Barisan
Pelopor, berkembang menjadi barisan penggempur yang memperoleh latihan
militer yang intensif. Segera setelah Proklamasi, Barisan Pelopor bersama
Seinandan dan Kebodan dimobilisasikan untuk menjaga keamanan dan ketertiban
serta melakukan tugas kepolisian Pada Desember 1945 namanya diubah menjadi
Barisan Banteng RI. Pimpinannya ditunjuk Presiden Soekarno, antara lain
Soepeno, Singgih. Moeffreni Moe'min, Asmara Hadi, Sajoeti Melik dan
Moewardi sebagai komandannya.
Kelompok sosialis tidak membentuk badan perjuangan. Yang dimiliki
adalah suatu organisasi pemuda, Pemoeda Sosialis Indonesia atau Pesindo
yang kemudian berkembang menjadi badan perjuangan. Organisasi ini dibentuk
dalam kongres Nasional Pemuda pada 10 dan 11 November 1945 di Yogyakarta.
Revolusi Dalam Revolusi Sejak akhir 1946 Pesindo berpaling ke kiri dan
bergabung pada Sayap Kiri, yang terdiri dari PKI, PBI (Partai Buruh) dan
Lasjkar Rakjat yang dibentuk pada 11 Desember 1945 oleh Cordian, seorang
anggota Barisan Banteng dan sekaligus juga anggota PKI.
Sekitar akhir masa pendudukan Jepang, kelompok Manado di bawah
pimpinan Maramis membentuk suatu organisasi pemuda bernama Angkatan Moeda
Soelawesi yang kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor. AMS memainkan
peranan penting dalam kesatuan tempur ini karena ketrampilan militer
sebagian anggotanya. Setelah Proklamasi, AMS dilebur dalam BKR, karenanya
kemudian dibentuk suatu organisasi baru: KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia
Soelawesi). Patut dicatat, KRIS bekerjasama erat dengan badan-badan pro-
Republik lain seperti Pemoeda Indonesia Maloekoe, Ikatan Perdjoeangan
Kalimantan dan Gerakan Rakjat Indonesia Soenda Ketjil.
Di samping Pesindo sebagai anggota Dewan Pimpinan Perserikatan Pemoeda
RI, ada 131 badan perjuangan dan parpol kiri yang hadir dalam konperensi di
Solo pada 15-16 Januari 1946. Program yang minimum yang diusulkan Tan
Malaka diterima bulat. Begitu juga usulnya untuk mengubah nama Front
Persatuan menjadi Front Rakyat. Program itu antara lain meliputi (1)
kemerdekaan 100% (2) pembentukan pemerintahan rakyat (3) pembentukan
tentara rakyat, (4) nasionalisasi modal Belanda. Program itu merupakan
tantangan pada pemerintah, malah pelaksanaannya akan berarti "revolusi
dalam revolusi". Ini merupakan konfrontasi langsung antara Tan Malaka dan
Soekarno. Tatkala dihadapkan pada pilihan antara keduanya, sebagian besar
peserta dipimpin oleh Bung Tomo dari BPRI dan Ibnu lama dari Pesindo
memihak Soekarno-Hatta. Ini mengakibatkan pecahnya Front Persatuan.
Dari BKR ke TKR
Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai bagian
daripada Badan Pertolongan Korban Perang. BKR bukan badan militer dan
semata-mata semacam Hansip Wanra saja saat itu. Pada tanggal 5 Oktober
1945, B.K.R ini dengan maklumat Pemerintah no.6, telah ditransformasikan
menjadi T.K.R (Tentara Keamanan Rakyat). Isi maklumat : untuk memperkuat
perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat. Pada
tanggal 6 Oktober 1945 keluar maklumat tambahan yaitu, sebagai menteri
keamanan rakyat diangkat Soeprijadi. Ternyata Soeprijadi sang tokoh
pimpinan pemberontakan PETA Blitar ini, tidak pernah muncul. Namun
Pemerintah tetap mempertahankan namanya sampai nanti Soedirman diangkat
sebagai Panglima T.K.R.
Gambar : Prajurit TKR sedang Bergerilya
Perihal TKR ini dibicarakan untuk pertama kali oleh kabinet R.I
pertama (Kabinet Presidentiel dipimpin Presiden Soekarno) pada tanggal 15
Oktober 1945 bertempat dirumah Soekarno jalan Pegangsaan Timur no.56
Jakarta. Semua menteri hadir kecuali Soekarno. Para mantan tentara KNIL
(tentara Hindia Belanda) yang hadir adalah Oerip Soemohardjo, Soedibjo,
Samidjo dan Didi Kartasasmita. Mantan PETA yang hadir adalah Dr Soetjipto
dan Kafrawi. Saat itu berhasil ditetapkan bahwa Oerip Soemohardjo, mantan
mayor KNIL yang sudah pensiun, sebagai Kepala Markas Besar Oemoem dan juga
sebagai formatir organisasi. Markas besar T.K.R (MBT) segera dibentuk
dengan kota Yogya sebagai pusatnya. Untuk pengembangan di Sumatera, pada
tanggal 5 November 1945 Dr AK Gani diangkat sebagai organisator dan
koordinator T.K.R diseluruh Sumatrera.
Tanggal 20 Oktober 1945, Kementerian Keamanan Rakyat mengumumkan
secara resmi pengangkatan Soeprijadi selaku Panglima dan Oerip Soemohardjo
sebagai Kepala Staf. Nama lain yang disebut-sebut adalah Moehamad
Soeljoadikoesoemo sebagai menteri keamanan ad interim. Tapi karena
penolakan dari berbagai pihak dia tidak pernah memangku jabatan tersebut.
Menteri Keamanan Rakyat baru diisi oleh Amir Sjariifudin dalam Kabinet
Sjahrir pertama (kabinat RI ke II) pada Bulan Oktober 1945.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 Pemerintah mengeluarkan maklumat tentang
T.K.R. yaitu sebagai bagian dari maklumat pemerintah tentang pemberian
perintah dan petunjuk kepada penduduk. Dikatakan : Pemerintah R.I lagi
berusaha menyusun secepat-cepatnya TENTARA KEAMANAN RAKYAT untuk menanggung
kemanan Dalam Negeri….. Kemudian agar para pemuda yang berminat
berpartisipasi pada lembaga militer ini.
Pada tanggal 2 Nopember 1945, pemerintah nasional kota Jakarta
misalnya, memang menyerukan agar para bekas PETA, HEIHO, militer Hindia
Belanda, Pelopor, Hisbullah, dan para pemuda lainnya yang berumur 18 tahun
keatas supaya mendaftarkan namanya bagi tentara keamanan rakyat.
Pendaftaran dilakukan dibalai agung kota (kira-kira sekarang kator DKI
Jaya), Gambir Selatan no.9. mulai tanggal 3 November 1945 jam 8 pagi sampai
jam 2 siang.
Konferensi TKR
Intinya, untuk mengisi kekosongan pos panglima tertinggi TKR (karena
Supriyadi yang tak kunjung muncul), Markas Besar Tertinggi TKR yang
diorganisir Kepala Staf Letjen Urip Sumohardjo mengundang para pimpinan TKR
se-Jawa dan Sumatera. Mereka yang mendapat fax kawat undangan adalah para
komandan resimen dan Divisi. Saat itu di Jawa ada 10 Divisi dan Sumatera
ada 6 Divisi. Sementara resimen jumlahnya puluhan.
(Yang masih menjadi tanda tanya, ketika itu pada struktur di atas Divisi
ada institusi yang diberi nama Komandemen. Jika Divisi dikepalai kolonel,
maka Komandemen dikepalai seorang jenderal mayor. Jawa Barat misalnya, 3
divisi yang ada di situ dibawah Komandemen I yang dipimpin Didi
Kartasasmita. Namun, dalam literatur manapun hak suara seorang kepala
komandemen pada Konperensi TKR 1945 tak disebutkan sama sekali. Dan
kemudian makin janggal, karena di antara nama-nama yang muncul sebagai
kandidat panglima TKR nanti, tak satupun dari kepala komandemen.)
Pada hari H, 12 November bermunculan-lah para komandan TKR disertai
pengawalnya di Jogja. Tak komplet memang. Sebagian komandan dari Jawa Timur
tidak datang, karena masih sibuk menghadapi Inggris dalam peristiwa 10
November di Surabaya. Sedangkan dari 6 divisi di Sumatera, ternyata
diwakili oleh satu perwira yakni Kolonel Moh Noeh. Walaupun demikian
konperensi tetap dibuka pada pukul 10.00 WIB.
Urip Sumohardjo menjadi pimpinan rapat di sesi pertama. Saat memasuki
agenda pemilihan panglima TKR, rapat menjadi ricuh karena masing-masing
komandan tak siap membawa usulan siapa yang akan dijadikan panglima besar
TKR. Dalam situasi ini, Sudirman yang saat itu komandan Divisi V melakukan
interupsi. Ia mengusulkan agar rapat di-skors sementara yang lalu disetujui
perwira. (Keberanian Sudirman mengusulkan skors, bisa jadi poin tersendiri
bagi kemenangannya dalam bursa calon panglima TKR, mengingat terbatasnya
waktu yang dimiliki para komandan untuk men-scan calon pilihannya.)
Rapat sesi kedua dipimpin oleh Letkol Holland Iskandar. Kali ini
jalannya rapat lebih lancar. Di papan tulis, beberapa nama terpampang masuk
bursa calon panglima TKR. Persisnya ada 8 nama; (1) M Nazir – KNIL laut?
(2) Sri Sultan HB IX – KNIL KMA Breda (3) Wijoyo Suryokusumo – ? (4) GPH
Purwonegoro – ? (5) Urip Sumohardjo – KNIL Meester Cornelis (6) Sudirman –
PETA (7) Suryadi Suryadarma – KNIL KMA Breda (8) M Pardi – KNIL Laut?.
Setelah disaring lewat beberapa tahapan, mengkerucutlah pada 2 nama
yakni Sudirman dan Urip. Setelah di-voting diperoleh hasil 22 suara
mendukung Sudirman, sedangkan Urip didukung oleh 21 suara. Satu suara
tambahan lagi diperoleh Sudirman dari wakil Sumatera, Kolonel Moeh Noeh
yang mengaku mengantungi mandat 6 kepala divisi se-Sumatera. Jadilah
Sudirman sebagai pemenang. Rapat juga memutuskan Urip tetap sebagai kepala
staf dan yang tak diduga – karena bukan kewenangan tentara -, juga menunjuk
Sri Sultan HB IX sebagai menteri pertahanan.
Terpilihnya Sudirman memang mengejutkan. Namun dalam buku tersebut,
Sardiman juga menulis Sudirman bukanlah sosok coming from behind. Bakat
kepemimpinannya sudah dikenal luas di kalangan perwira PETA, rekan satu
korpsnya dulu. Dia lah perwira PETA yang mampu menjinakkan pemberontakan
PETA Gumilir agar tak bernasib sama seperti pemberontakan PETA Blitar –
yang berakhir dipenggalnya 6 perwira PETA. Sudirman pula yang memimpin para
perwira PETA kharismatis yang tengah diisolasi Jepang di Bogor melarikan
diri dari kamp, pada saat terjadinya proklamasi 1945.
Dan yang juga tak boleh diabaikan, kenyataan bahwa para komandan TKR
pada saat berlangsungnya konperensi hampir semuanya alumnus PETA. Ambilah
sampel komposisi panglima16 divisi, hanya 2 yang berasal dari KNIL, yakni
Divisi III Kolonel AH Nasution dan Divisi IV Kolonel Jatikusumo. Itupun
Jatikusumo tak sepenuhnya beraoroma KNIL, karena ia pun sempat menjalani
pendidikan PETA di Bogor. Para komandan dari PETA ini sebagian besar jelas
ragu untuk memilih Urip mengingat ia sekian lama mengabdi untuk Belanda.
Bagi mereka, lebih aman memilih Sudirman yang sesama PETA.
Sungguh pun demikian bukan berarti segalanya berjalan mulus.
Pemerintah pusat rupanya ragu dengan pilihan para tentara. Baik Soekarno
maupun PM Sjahrir tak yakin, Sudirman yang baru 2 tahun menjadi tentara
bisa memanggul tugas berat memimpin TKR. Karenanya, dibutuhkan waktu lebih
dari 1 bulan untuk melantik Sudirman. Itupun sebelum pelantikan, Soekarno
konon meminta bicara 4 mata dengan Urip Sumohardjo mengenai kapabilitas
Sudirman. Baru setelah Urip – yang mungkin sudah mengatasi kekecewaannya
tak jadi panglima – menggaransi, Soekarno akhirnya mau melantik Sudirman
pada 18 Desember 1945.
Meskipun Kepala Staf dan MBT sudah ada tapi Panglima T.K.R baru saja
terpilih pada tgl 12 November 1945 dalam konperensi tentara di Yogya.
Kolonel Soedirman mantan Daidancho PETA dan komandan batalyon Banyumas
terpilih secara aklamasi dalam konperensi T.K.R di Yogyakarta itu. Tapi
dirinya baru pada tanggal 18 Desember 1945 atau dalam masa pemerintahan
kabinet Sjahrir I, resmi ditetapkan sebagai Panglima Besar. Penundaan
pelantikan ini menurut Anderson menandakan adanya persaingan dan
pertentangan antara pemerintah dan komando tertinggi militer.
Dari TKR menjadi TRI
Soedirman sendiri setelah konperensi TKR di Yogya sempat kembali
dahulu kepada induk pasukannya di Kroya dan memimpin pertempuran di
Ambarawa. Bintangnya memuncak naik ketika sebagai Panglima Perang berhasil
dengan gemilang mengusir tentara Sekutu dari Ambarawa pada tanggal 15
Desember 1946. Organisasi T.K.R awal sangat besar. Organisasi ini menganut
konsep struksur organisasi KNIL yaitu berbentuk Komandemen, Divisi, dan
Resimen. Komandemen yang telah dibentuk saat itu adalah Komandemen
Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komandemen membawahi
sejumlah Divisi. Misalnya Jawa Barat yang dipimpin oleh jenderal mayor Didi
Kartasasmita dan bermarkas di Purwakarta, memiliki tiga Divisi. Dibawah
Divisi terdapat sejumlah resimen dan selanjutnya. Baik Komandemen maupun
Divisi pada dasarnya sudah menganut konsep teritorial. Selama Pemerintahan
Sjahrir, tentara berhasil mengkonsolidasikan diri dengan baik dan menuju
kesempurnaan organisasi. Pada tanggal 7 Januari 1946 dikeluarkan maklumat
no.2 tentang perubahan nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara
Keselamatan rakyat (juga disingkat T.K.R). Kementerian keamanan diganti
namanya menjadi kementerian pertahanan. Tanggal 25 Januari 1946 T.K.R
dirubah lagi menjadi T.R.I (Tentara Republik Indonesia).
Gambar : Jenderal Soedirman sebagai Panglima Tertinggi
Sementara itu TKR diganti menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia).
Perpecahan di berbagai badan perjuangan di pusat kemudian menyebar ke
daerah dan cabang. Persaingan keras muncul antara BPRI dan Pesindo di suatu
pihak, dengan Barisan Banteng dan Lasjkar Rakjat di pihak lain. Peristiwa
Cirebon merupakan puncak permusuhan. Antara 8-10 Februari 1946, Mohamad
Jusuf menyelenggarakan kongres Front Persatuan di Cirebon tanpa mengundang
badan-badan perjuangan dan pemuda yang mendukung pemerintah Soekarno-Hatta.
Sekitar 200 anggota pasukan Lasjkar Merah hadir. Tatkala Mohamad Jusuf
memerintahkan agar bendera nasional diturunkan, TRI bertindak dan
pertempuran terjadi. Baru pada 14 Februari, dengan datangnya bala bantuan,
TRI berhasil merebut kembali Cirebon. Pertikaian antara kelompok Tan Malaka
dan kelompok PKI belum berakhir. Yang satu tergabung dalam Gerakan Rakjat
Revolusi sedang yang lain dalam Front Demokrasi Rakjat. Dalam Peristiwa
Madiun FDR berusaha merebut kekuasaan dengan senjata.
Bentrokan akibat pertikaian antara kekuatan pemerintah terutama TRI
dengan organisasi-organisasi kiri antara lain Lasjkar Rakjat terjadi di
banyak tempat. Di timur Jakarta, pengikut-pengikut Tan Malaka menyusupi
banyak badan perjuangan, khususnya Lasjkar Rakjat Djakarta Raja. Salah satu
tokoh organisasi ini adalah Soetan Akbar yang pernah beberapa kali ditahan
oleh TRI. Memimpin Lasjkar Rakjat, ia menyerang TRI pada Maret 1947 tatkala
ia menentang perundingan Indonesia-Belanda. Setelah kalah, ia bergabung
dengan TNI namun secara diam-diam membentuk pasukan Bamboe Roentjing di
Jawa Barat. Dia juga terlibat dalam perdagangan senjata yang menguntungkan.