ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS “MORBUS HANSEN”
Di susun oleh :
Rahmawati D.A 11.321.029 Riyandi Trisna R.H. 11.321.030 Sigit Rio Virnando 11.321.036 Yulita Lestari 11.321.040
Kelompok 3 Kelas VIA
S1 Keperawatan
SEKOLAH TINNGI ILMU KESEHATAN INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan terhadap kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan hidayah-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa adanya rintangan yang berarti. Makalah ini penulis susun dengan tujuan: 1.
Untuk melengkapi tugas mata kuliah Sistem Integumen II.
2.
Dapat mengetahui lebih lanjut tentang Morbus Hansen.
Sesuai dengan tujuan penulis tersebut maka penulis akan menyelesaikan dengan sebaikbaiknya meskipun masih banyak kekurangannya. Dan tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyak kepada: 1.
Dosen pembimbing akademik STIKES ICME JOMBANG.
2.
Hindyah Ike Suhariati, S. Kep., Ns. selaku dosen mata kuliah Sistem Integumen II.
3.
Semua pihak yang ikut serta berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Atas rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, penulis berharap Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Serta saran dan kritik penulis harapkan, karena penulis menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangannya dan masih belum sempurna.
Jombang,
Maret 2014
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India. Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi. Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Padatahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, World Health Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal, infeksi dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. bentuk lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria.
Diperkirakan penderita didunia ± 10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473 orang (data tahun 1992). Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005). Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsiJawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk. selanjutnya provinsi JawaBarat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2002). Insiden dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan pada bayi, laki-laki lebih banyak dibanding wanita. Mycobacterium Leprae ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia pada tahun 1873 dan memiliki sifat basil tahan asam dan tahan alkohol, obligat intraseluler, dapat diisolasi dan diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan, membelah diri antara 12-21 hari, masa inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010). Penularan Mycobacterium Leprae belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga menular melalui saluran pernapasan (droplet infection), kontak langsung erat dan berlangsung lama. Lepra merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar diseluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Maka sebagai perawat profesional harus memiliki kompetensi yang baik dalam menanggulangi kejadian penyakit morbus hansen untuk memperbaiki mutu kesehatan masyarakat
1.2. Tujuan Pembahasan 1.2.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui dan menganalisis tentang Morbus Hansen dan asuhan keperawatan pada klien dengan pruritus. 1.2.2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui definisi morbus hansen 2. Untuk mengetahui klasifikasi morbus hansen 3. Untuk mengetahui derajat cacat kusta morbus hansen 4. Untuk mengetahui etiologi morbus hansen 5. Untuk mengetahui manifestasi klinis (gejala dan tanda) morbus hansen 6. Untuk mengetahui patofisiologi morbus hansen 7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik morbus hansen 8. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis morbus hansen 9. Untuk mengetahui pencegahan morbus hansen 10. Untuk mengetahui komplikasi morbus hansen 11. Untuk mengetahui konsep askep morbus hansen
BAB II LANDASAN TEORI
2.1.
Definisi Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat. Penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998) Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2005). Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian atas kemudian menyerang organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Mansjoer Arif, 2000) Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas (COC, 2003)
2.2. Klasifikasi Beberapa klasifikasi Morbus Hansen antara lain: 2.2.1. Klasifikasi Internasional Madrid (1953) 1) Lepromatous ( L) 2) Tuberculoid (T) 3) Indeterminate (I) 4) Borderline (B) 2.2.2. Klasifikasi Ridley Jopling (1962) 1) Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT) 2) Tipe Borderline tuberkuloid (BT). 3) Tipe Borderline-Borderline (BB) 4) Tipe Borderline Lepromatous (BL) 5) Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL). 2.2.3. Menurut djuanda, A, 1997 jenis dari cacat kusta di kelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : 1) Cacat primer adalah kelompok cacat yang di sebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jarinagn terhadap M. Leprae. Yang termasuk ke dalam cacata primer adalah : a) Cacat pada fungsi saraf : b) Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat c) Cacat pada jaingan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata.
2) Cacat sekunder. Yang termasuk ke dalam cacata skunder adalah : a) Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, dan otonom. b) Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dn mudah terjadinya luka c) Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan terjadinya kreatitis d) Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas, akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi sekunder. 3. Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu: 1) Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) 2) Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
2.3.
Derajat Cacat Kusta WHO ( 1995 ) dan djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke cacatan, yaitu: 2.3.1. Cacat pada tangan dan kaki tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis 2.3.2. Cacat pada mata tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus ) tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat menghitung jari pada jarak 6m )
Etiologi Cara penularannya belum diketahui dengan jelas, tapi diduga menular melalui salura pernapasan (droplet infection), pendapat lain mengatakan bahwa penularannya melalui kontak langsung, erat dan berlangsung lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit morbus hansen adalah: a. Umur Anak anak lebih rentan menderita kusta dari pada orang dewasa, rasio perbandingan penderita anak-anak dengan dewasa adalah 3:2 b. Jenis kelamin Laki-laki lebih mudah mengalami kusta dibanding dengan wanita karena laki-laki lebih banyak melakukan kontak. c. Ras Beberapa ras di Afrika dan Asia lebih banyak menderita kusta daripada suku bangsa Eropa. d. Genetik e. Lingkungan/sosio ekonomi Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara-negara yang tingkat ekonominya rendah. f. Kekebalan terhadap penyakit lepra (± 93 – 95 % kekebalan pada penyakit lepra)
2.4. Manifestasi klinis (Gejala dan Tanda) 2.5.1. Berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik menjadi 5 kelompok yaitu: 1) Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT) Lesi berupa makula hipopigmentasi
dengan permukaan kering dan
kadang
dengan skuama di atasnya. Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa.
Dapat berupa macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, gejalanya dapat disertai penebalan saraf perifer, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Jumlah biasanya yang satu denga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA (-) dan uji lepramin (+) kuat. Infiltrasi Tuberkoloid (+), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta. 2) Tipe Borderline tuberkuloid (BT). Lesi berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit dipinggirnya dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ), tetapi gambaran hipopigmentasi dan gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik, jika terletak didekat saraf perifer menebal. 3) Tipe Borderline-Borderline (BB). Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk macula infiltrat, permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa didapat lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah, merupakan cirri khas tipe ini. 4) Tipe Borderline Lepromatous (BL). Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda
khas
seperti
kerusakan
saraf
berupa
hilangnya
sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe Lepromatous (LL).
Lesi berupa infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit atau tidak ada, BTA (+) banyak, uji Lepromin (-). 5) Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL). Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap, terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung, dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis.
2.5.2. Sedangkan manifestasi klinis penggolongan kusta yaitu: 1) Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) Merupakan bentuk yang tidak menular Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadangkadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab.
Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi 2) Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.
Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.
Kelainan kulit bisa berupa bercak kemerahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga.
Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadangkadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung.
Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.
Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)
2.5.3. Lebih lanjut 1) Deformitas hidung 2) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis 3) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. 4) Penyakit progresif, makula dan popul baru. 5) Timbul lesi lama terjadi plakat dan nodus. 6) Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
2.5.4. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling) 1) Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal. 2) Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf. Tanda-tanda khas pada makula adalah 5 A (anastesi, achromi,atropi,anhidrosis, alopesia) 3) Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta. 4) Sebagian sembuh spontan.
2.5.5. Gambaran klinis organ lain 1) Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan 2) Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana 3) Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis 4) Lidah : ulkus, nodus 5) Larings : suara parau 6) Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi 7) Kelenjar limfe : limfadenitis 8) Rambut : alopesia, madarosis 9) Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial. 10) Testis : orchitis
2.5. Patofisiologi Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab. Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah dugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Menurut Shepard, jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10 juta organisme per hari.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
2.6. Pemeriksaan Diagnostik 2.7.1. Pemeriksaan Bakterioskopik Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling infiltratif. Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga. Denngan menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler. 2.7.2. Test Mitsuda Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan berarti lepromim test positif. 2.7.3. Indeks Bakteri (IB) Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut: 1) bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang 2) bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang 3) bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang 4) bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 5) bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 6) bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 7) bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
2.7. Penatalaksanaan Medis Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. 2.8.1. Obat-obatan umum yang biasa dipakai dalam pengobatan Morbus Hansen : 1) Obat primer : Dapsone, Clofasimin, Rifampisin, Etionamide, Prothionamide 2) Obat sekunder: INH, Streptomycine 3) PB ( Tipe kering ) Pengobatan bulanan :hari pertama : 2 Kapsul Rifampisin I Tablet Dapsone (DDS) Pengobatan harian : hari ke 2 – 28 : tablet Dapsone (DDS) Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6 – 9 bulan. 4) MB ( Tipe basah ) Pengobatan bulanan : hari pertama :2 Kapsul Rifampisin 3 Tablet Lamrene 1 Tablet Dapsone pengobatan harian : hari ke 2 – 28 :1 Tablet Lamrene 1 Tablet Dapsone (DDS) lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12 – 18 bulan 2.8.2. Dosis menurut rekomendasi WHO : 1) Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT) a) Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari b) Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6 dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam 2 tahun 2) Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL) a) Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan b) Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari c) Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari
Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi ± 5 tahun Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. 3) Dosis untuk anak a) Klofazimin: Umur dibawah 10 tahun : -
Bulanan 100mg/bln
-
Harian 50mg/2kali/minggu
Umur 11-14 tahun -
Bulanan 100mg/bln
-
Harian 50mg/3kali/minggu
b) DDS:1-2mg /Kg BB c) Rifampisin:10-15mg/Kg BB 2.8.3. Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam. 2.8.4. Putus obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.8.5. Efek Samping Obat 1) Rifampisin •
Pernapasan : Seperti terjadinya sesak dan collaps
•
Hepatitis, Ginjal.
•
Saluran cerna : Nyeri, mual, muntah, diare.
•
Kulit : urticaria.
•
Flu syndrom : Demam, menggigil, sakit tulang,
2) DDS (Diamino Difenil Sulfon) •
Dermatitis exfoliatif.
•
Hepatitis, Ginjal.
•
Sal cerna : Anorexia,mual,muntah.
•
Anemia.
•
Saraf : neuropati perifer, sakit kepala, vertigo, psikosis, sulit tidur, penglihatan kabur.
3) Lamprene •
Saluran cerna : Diare, nyeri lambung
2.8. Pencegahan a. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutic. b. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra c. Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak mengandung pelembab, bukan detergen. d. Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas. e. Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
f. Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari pertolongan medis. g. Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
2.9. Komplikasi Pada kasus lepra, mungkin mengakhibatkan: a. Kerusakan tersering timbul pada tangan. b. Trauma dan infeksi kronik skunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jemari atau ekstremitas bagian distal. c. Sering menyebabkan kebutaan d. Hilangnya hidung pada kasus LL
2.10. Konsep Askep 2.10.1. Pengkajian a.
Biodata Klien dan Penanggungjawab Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b.
Riwayat Kesehatan a) Keluhan Utama Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan ( mati rasa pada daerah yang lesi ) b) Riwayat Penyakit Sekarang Klien dengan morbus hansen yang datang ke pihak pelayan kesehatan biasanya datang dengan demam dan mati rasa, karena masa inkubasi M. Lepra bisa sampai 5 tahun atau lebih, maka klien dan keluarga tidak menyadari jika tengah menderita morbus hansen. c) Riwayat Penyakit Dahulu Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang kurang baik. Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d) Riwayat Penyakit Keluarga Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi anggota keluarga ada yang mempunyai penyakit morbus hansen maka akan memperbesar kemungkinan untuk tertular penyakit yang sama. c.
Pola aktivitas Sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
d.
Pola Psikososial Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita
e.
Pola Spiritual Umumnya, klien dengan diagnosa morbus hansen mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan spiritual terlebih kegiatan keagamaan yang dilakukan bersama dengan masyarakat umum, karena klien merasa malu dan minder.
f.
Pemeriksaan Fisik a) Keadaan Umum Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik bisaanya dilakukan dengan tes GCS (Glasscow Comma Scale), dengan kriteria: 15 s/d 12 = composmentis
7 s/d 4
= apatis
11 s/d 8 = somnolen
3
= coma
b) Tanda-tanda Vital Pengukuran tanda-tanda vial klien yang meliputi: TD :
mmHg
N
:
kali/detik
RR :
kali/detik
t
0
:
C
c) Sistem Kardiovaskular Selama tidak ditemui indikasi terganggunya sistem kardiovaskuler, maka klien dengan diagnosa morbus hansen tidak mengalami masalah. d) Sistem Respirasi Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan. e) Sistem Gastrointestinal Umumnya klien dengan diagnosa morbus hansen tidak mengalami keluhan pada sistem pencernaannya. f) Sistem Urinaria Seperti halnya sistem pencernaan, morbus hansen juga tidak menimbulkan gangguan pada sistem perkemihan klien. g) Sistem Muskuloskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi. h) Sistem Reproduksi Jika morbus hansen menyerang daerah testis (pria), maka umumnya klien mengalami penurunan sensitifitas seksual, selain itu juga menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan seksual klien morbus hansen.
i) Sistem Neurosensori Kerusakan Fungsi Sensorik Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok. Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). Kerusakan fungsi otonom Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, tebal, mengeras dan akhirnya dapat pecahpecah. j) Sistem Endokrin Umunya tirjadi hipopigmentasi pada kulit klien morbus hansen karena terganggunya prroduksi hormon pigmentasi. k) Sistem Integumen Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerahmerahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
g.
Pemeriksaan Penunjang Data dari hasil pemeriksaan laboratorium yang diperoleh dengan metode pemeriksaan bakterioskopik, test Mitsuda dan Indeks Bakteri (IB)
2.10.2. Diagnosa Keperawatan 1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan pigmentasi. 2. Resiko cidera berhubungan dengan disfungsi imun 3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan umum
2.10.3. Intervensi 1. Diagnosa : Kerusakan integritas kulit yang b.d. perubahan pigmentasi. NOC :
Integritas Jaringan : kulit dan membran mukosa Kriteria Hasil -
Integritas kulit yang baik
-
Tidak ada lesi pada kulit
-
Perfusi jaringan baik
-
Mampu melindungui dan mempertahankan kelembaban kulit
NIC:
Manajemen tekanan -
Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang longgar
-
Hindarkan klien dari tempat tidur
-
Jaga kebersihan kulit agara tetap bersih dan kering
-
Ubah posisi klien setiap dua jam sekali
-
Monitor kulit adanya kemerahan
-
Oleskan minyak/baby oil pada bagian yang tertekan
2. Diagnosa : Resiko cidera berhubungan dengan disfungsi imun NOC
Kontrol Resiko (Risk control) Kriteria Hasil -
Mengetahui faktor resiko
-
Mengetahui faktor resiko lingkungan
-
Mengetahui faktor resiko kebiasaan
-
Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko
-
Mengetahui tindakan pencegahan
-
Menjelaskan perubahan status kesehatan
NIC :
Meditation facilitation -
Siapkan lingkungan yang tenang
-
Ajarkan pasien untuk duduk secara perlahan pada posisi yang nyaman
-
Ajarkan pasien untuk tenang
-
Informasikan pada pasien untuk berlatih sehari 2 kali
Guide imagery -
Jelaskan kemampuan yang dilakukan pasien dalam tindakan non keperawatan
-
Anjurkan pasien untuk mendapat posisi yang nyaman
-
Berikan masukan agar pasien tenang
-
Ajarkan pasien untuk berlatih
-
Ajarkan pasien tindakan pencegahan
3. Diagnosa : Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan umum. NOC :
Penyimpanan Energi Kriteria Hasil -
Berpartisipasi dalam aktivitas fisik
Perawatan diri : Aktivitas Sehari-hari Kriteria Hasil -
Mampu melakukan aktivitas sehari-hari
NIC:
Manajemen Energi -
Observasi pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
-
Kaji faktor yang menyebabkan kelelahan
-
Monitor nutrisi dan sumber nutrisi yang adekuat
-
Monitor klien akan adanaya kelelahan fisik secara berlebihan
-
Monitor pola istirahat/tidur klien
Terapi aktivitas -
Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medis dalam merencanakan progam terapi yang tepat
-
Bantu klien mengidentivikasi aktivitas yang mampu dilakakukan
-
Bantu klien memilih aktif=vitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan klien
-
Banut klien untun mendapatkan alat bantuan seperti kursi roda dan kruk
-
Bantu klien untuk melakukan aktivitas yang mampu dilakuakan dan yang disukai klien.
-
Bantu klien membuat jadwal latihan di waktu luang
-
Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
-
Monitor respon fisik, emosi, sosial, dan spiritual klien
BAB III PENUTUP 3.1.
Kesimpulan Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Gejala klinis dapat berupa kelainan saraf tepi (kerusakaan dapat bersifat sensorik, motorik, san aautonomik). Kerusakan Sensorik : hipoanastesi, anastesi pada lesi. Motorik : kelemahan otot (ekstremitas, muka, otot mata). Autonomik : Persarafan kelenjar keringat sehingga lesi terserang nampak lebih kering. Morbus Hansen jika didiagnosis dini dan pengobatan tepat dan segera menghasilkan prognosis baik.
DAFTAR PUSTAKA Mansjoer, Arif, (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta. http://iranners.blogspot.com/2013/07/askep-kusta-morbus-hansen_7904.html http://utamiderlauw.wordpress.com/2010/06/08/asuhan-keperawatan-morbus-hansen/ http://dr-suparyanto.blogspot.com/2012/03/penyakit-kusta-atau-lepra.html?m=1 http://dhanwaode.wordpress.com/2011/03/01/lepra/
diprint di kertas A4 margin kanan atas dan bawah 2, kiri 3 spasi 2,0 dijilid warna biru katanya PJ