PENGARUH IDEOLOGI LIBERALISME TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA SOSIALIS
Disusun oleh :
1. Zahir Nasrudin (151110030)
2. Ardig Qoniah (151110049)
3. M. Aminuddin Fatah (151110072)
4. Rr. Vina Mutiara sari (151110073)
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ekonomi merupakan salah satu dari sekian pilar yang menopang berdiri
dan berkembangnya sebuah Negara. baik buruknya ekonomi dalam sebuah Negara,
di pastikan akan berdampak pada semua sendi kehidupan dalam Negara tersebut
termasuk diantaranya adalah stabilitas politik dan keamanan. Walaupun pada
dasarnya pilar dan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya pada
sektor ekonomi, seperti bidang Pendidikan, Politik, Hukum dan Stabilitas
Nasional. Namun kesemuanya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan
dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya bagaikan dua sisi mata uang.
Namun jika kita pahami, maka harus ada sebuah skala prioritas dalam upaya
pembangunan sebuah Negara berdasarkan kondisi dan tujuan pembangunan
nasional Negara tersebut. Katakanlah untuk negara – negara yang masih
menyandang kategori Negara berkembang, maka umumnya pembangunan ekonomi
menjadi prioritas utama sebelum membangun sektor – sektor yang lain.
Berbeda dengan negara-negara yang sudah masuk dalam kategori negara maju,
yang disebabkan sudah baiknya kondisi ekonomi maka negara – negara maju
akan cenderung mengembangkan sektor lain dengan tidak meninggalkan sektor
ekonomi atau mengutamakan pembangunan lainnya baik itu pengembangan sektor
Pendidikan ilmu dan teknologi, Pariwisata dan sebagainya.
Betapa berpengaruhnya ekonomi dalam sebuah Negara, sehingga beberapa
negara pernah tercatat dalam sejarah mengalami gejolak yang luar biasa
akibat adanya perubahan dan perkembangan sistem dan kondisi ekonomi.
Indonesia saja misalnya ketika pada awal–awal masa pemerintahan Orde Baru
yang selalu menekankan pembangunan ekonomi yang tidak di imbangi dengan
pembangunan mental bangsa melalui pendidikan maka rezim Orde Barupun jatuh
oleh suatu kultur yang di bangunnya sendiri ketika krisis moneter melanda
seluruh negara – negara di asia termasuk Indonesia.
Perkembangan yang sangat dinamis yang terjadi pada negara-negara Asia
seperti Cina dan India mengakibatkan banyak perubahan pada sendi
perekonomian dunia. Kebangkitan ekonomi Cina misalnya. yang diperkirakan
akan dapat mengakhiri sikap Unilateralisme Amerika serikat sebagai akibat
dari ketiadaan kekuatan baru yang mampu mengalahkan Amerika serikat pasca
runtuhnya Komunisme Uni soviet. Namun disisi lain progres positif dalam
bidang ekonomi Cina yang sangat signifikan ini bukan tanpa masalah. Cina
yang dalam perkembangannya mengalami sejarah panjang yang cukup luar biasa
dari mulai masa kekaisaran Dinasti, adanya revolusi yang dipimpin oleh Sun
Yat Sen yang sempat membawa Cina menjadi negara Republik dan tampilnya Mao
Zedong sampai pada munculnya tokoh seperti Deng Xiaoping, Cina akhirnya
menjadikan dirinya sebagai negara Republik sosialis atau Republik Rakyat
Cina. Sesuai dengan ideologi Negara sosialis. Maka sudah sepantasnya jika
seharusnya Cina juga menganut sistem politik dan ekonomi sosialis. Atau
dalam bahasa sederhana Ekonomi sosialis adalah rival dari sistem ekonomi
Liberal Kapitalis. Karena memang sudah menjadi sebuah partner yang akan
membersamai sistem ekonomi sosialis adalah Negara-negara Komunis dan
sebaliknya ekonomi kapitalis hanya akan ditujukan oleh Negara-negara
liberal kapitalis Barat. Maka ketika melihat Cina sebagai Negara Komunis
akan unik ketika memiliki sistem ekonomi yang kapitalis. Namun dalam
sejarahnya dahulu Cina belum menganut sistem kapitalis seperti sekarang
ini. Cina yang menggunakan sistem ekonomi sosialis ini seandainya disadari
sudah berakhir setelah wafatnya pemimpin sosialis Cina "Mao Zedong". Ketika
Mao Zedong wafat kemudian digantikan oleh Deng Xiaoping. Cina menjadi lebih
terbuka terhadap dunia barat. Bahkan ketika "Deng Xiaoping menggantikan Mao
Zedong, maka terjadi depolitisasi ajaran Mao di Negri Tirai bambu ini.
Sejak tahun 1978 Cina bahkan menjadi sebuah Negara dengan dua sistem;
secara politik tetap Komunis, namun secara Ekonomi Cina telah berubah
menjadi Negara yang kapitalis atau yang sering dikenal sebagai sistem
ekonomi. Seperti halnya telah kita ketahui bersama bahwasanya sejak
sepeninggalnya Mao Zedong, Cina menjadi lebih membuka diri terhadap dunia
barat. Sedangkan jika kita ketahui Negara-negara barat merupakan Negara-
negara yag menjadi kiblat bagi Negara yang menganut sistem Ekonomi Liberal
kapitalis.
Perekonomian negara sosialis seperti Cina yang dikenal luas sebagai
negara The Future Super Power sekarang ini mengalami perkembangan yang
sangat baik dengan sistem perekonomian sosialisme pasar. Dengan kondisi
perekonomian global masih cenderung variatif, Cina memainkan berbagai
peran, sebagai konsumen, suppliers, pesaing, pembaharu (innovator) dan
penyedia sumber daya manusia yang handal. Negara tersebut menjadi pemain
yang tangguh dalam penekanan biaya produksi, peningkatan teknologi dan
jasa, serta memiliki pertahanan yang kuat dalam memajukan negara. Cina juga
mendorong munculnya mengenai persaingan global dengan Amerika dan negara
–negara maju lain nya di masa depan.
Kesuksesan Cina, digadang-gadang karena Cina telah dengan berani
banting setir dari negara yang ditegakkan atas komunisme menjadi negara
yang didasarkan atas kapitalisme. Dimana di dalam salah satu hasil Konggres
Partai ke-16 (8-15 November 2002) tentang keputusan pemerintah Cina untuk
memasukkan ajaran tentang "tiga perwakilan" (san ge daibiao) ke dalam
Anggaran Dasar Partai, yang memutuskan bahwa Partai Komunis Cina tidak lagi
hanya menjadi wakil dari kelas proletar (seperti diajarkan oleh Lenin),
tetapi juga "kekuatan industri yang paling maju."[1] Ini menjadi sebuah
indikator yang jelas kepada para penguasa swasta atau kelas kapitalis bahwa
akhirnya Cina membuka pintu bagi mereka untuk memanfaatkan peluang di dalam
perekonomian Cina. Lantas yang perlu dibahas dalam makalah ini,
bagaimanakah alur cerita dari kebijakan Cina hingga akhirnya Cina bersedia
mengadopsi ide-ide Liberalisme ke dalam kehidupan perekonomiannya, yang
dalam tiga dekade sebelumnya Liberalisme merupakan ideologi yang paling
bertolak belakang dengan Komunisme yang telah lama mereka anut. Begitu juga
dengan hasil apa yang diperoleh Cina setelah menerapkan mekanisme pasar
bebas di dalam perekonomian negaranya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaruh dan dampak dari Liberalisme terhadap Perekonomian
Negara Sosialis seperti Cina ?
C. KERANGKA PEMIKIRAN
Menurut G.H. Sabine dalam A History of Political Theory, Liberalisme
memiliki 2 arti yaitu arti sempit dan arti luas. Dalam pengertian sempit,
Liberalisme menunjukkan posisi tengah antara konservatisme dan sosialisme.
Sedangkan dalam arti luas, Liberalisme memiliki pengertian suatu keyakinan
atas demokrasi rakyat yang menentang yang menentang kediktatoran, baik
fasis maupun sosialis. Walaupun demikian, masih terdapat ketidaksepakatan
yang besar di kalangan kaum liberal. Beberapa pemikir seperti Herbert
Spencer (1820-1903) yang menganut pandangan negatif tentang kebebasan,
mereka berpendapat bahwa untuk mendorong kebebasan adalah dengan cara
menjaga campur tangan negara maupun pihak lain seminimal mungkin dalam
kehidupan individu. Adapun peran negara hanya sebatas menegakkan hukum dan
ketertiban demi keamanan diri dan harta kekayaan individu. Di lain pihak
ada juga kaum liberal seperti L.T. Hobhouse (1864-1929) yang memiliki
pandangan posistif terhadap kebebasan, mereka berpendapat bahwa kebebasan
merupakan hal yang harus diperkirakan dan dikontrol agar tidak berpengaruh
buruk bagi orang lain. Adapun negara berkewajiban menjamin tersedianya
pilihan-pilihan tertentu, melalui kebijakan seperti pendidikan umum,
pelayanan kesehatan dan program kesejahteraan.
Ketidaksepahaman tersebut mengakibatkan paham Liberalisme tidak
selamanya mengalami perbedaan dengan paham sosialis. Ada kalanya paham
Liberalis bisa diterapkan pada negara sosialis, begitu pula sebaliknya. Hal
tersebut tergantung dari tuntutan yang terdapat pada suatu negara. Tuntutan
tersebut muncul didasarkan pada kondisi sosial yang muncul dalam
masyarakat,khusunya pada masa krisis. Contohnya adalah kondisi perekonomian
yang ada di Cina pasca revolusi yang dipimpin oleh Deng Xiao Ping. Cina
yang merupakan salah satu negara berpaham sosialis terbesar di dunia
memiliki potensi yang besar dalam sistem perekonomian internasional, hal
tersebut didukung oleh jumlah penduduk terbesar di dunia dan sumber daya
alam. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa perekonomian Cina mampu
berdiri tanpa ada ketergantungan terhadap sistem perekonomian
internasional.
Sistem perekonomian Cina yang menganut paham sosialis dikendalikan
oleh pemerintah secara keseluruhan. Sistem tersebut berjalan selama
bertahun-tahun tanpa adanya suatu pertentangan masyarakat yang signifikan.
Namun hal tersebut berubah ketika sistem tersebut menghadapi suatu kondisi
krisis yang tidak dapat ditanggulangi oleh sistem itu sendiri. Akibatnya
adalah muncul gerakan masyarakat yang bersifat dominan yang menuntut adanya
pembaharuan sistem, dalam kasus ini tuntutan agar negara mengurangi atau
bahkan menghilangkan peranannya dalam sistem tersebut. Hal ini berarti
bahwa masyarkat menuntut adanya keterbukaan paham sosialis dan memulai
upaya untuk memasukkan nilai-nilai liberalisme yang ditunjukkan dengan
tuntutan terhadap kebebasan individu untuk mendapatkan kesejahteraan tanpa
campur tangan negara.
Selain disebabkan oleh tuntutan masyarakat sebagai akibat dari suatu
kondisi krisis, masuknya paham liberalis ke dalam negara sosialis juga bisa
disebabkan oleh kepentingan nasional suatu negara. Menurut teori perjanjian
sosial, manusialah yang menciptakan negara dan kekuasaan yang diberikan
kepada negara merupakan suatu titipan yang diberikan oleh masyarkat. Dalam
kasus masuknya nilai-nilai liberalis ke dalam negara sosialis faktor
legitimasi menjadi salah satu penyebabnya. Kondisi krisis yang tidak dapat
ditanggulangi oleh sistem sosialis menyebabkan negara harus mulai membuka
diri demi menghindari dampak krisis yang lebih parah lagi. Di samping itu,
bila poses tersebut tidak dilaksanakan dikhawatirkan dapat menimbulkan
pergolakan dalam masyarakat yang menimbulkan ketidakstabilan hingga pada
suksesi pemerintahan.
Namun, perlu dipahami bahwa ideologi yang berlangsung di suatu negara
merupakan suatu hal yang telah mengalami dialektika pemikiran dan
kepentingan di suatu negara selama bertahun-tahun. Hal tersebut menyebabkan
ideologi menjadi sangat kental baik dalam kebudayaan maupun kehidupan
sehari-hari masyarakat. Sehingga akan sangat sulit bagi suatu ideologi baru
yang masuk untuk menggantikan posisi ideologi yang lama. Yang bisa
dilakukan ideologi baru adalah berusaha untuk mengisi bagian yang menjadi
celah dari ideologi lama sehingga menjadi suatu kesatuan sistem yang utuh
demi menciptakan kesejahteraan masyarakat. Seperti misalnya adalah yang
terjadi di Cina saat ini, paham liberalis muncul sebagai suatu pembaharuan
terhadap ekonomi Cina yang selama bertahun-tahun dikendalikan oleh ideologi
sosialis. Hal tersebut didorong oleh tuntutan dalam negeri maupun sistem
global yang berlangsung saat ini. Namun walaupun begitu, hal tersebut tidak
serta merta mengubah orientasi Cina secara keseluruhan. Paham liberalis
hanya diterapkan pada beberapa sektor saja seperti misalnya investasi dan
perdagangan, sedangkan pada sektor-sektor yang masih dianggap strategis
masih menggunakan paham sosialis.
D. HIPOTESIS
Ideologi Liberal yang masuk di suatu negara sosialis hanya akan
berperan sebagai pengisi celah yang kosong dalam ideologi sosialis demi
menghindarkan suatu negara dari kondisi krisis dan gejolak dalam masyarakat
yang tidak terkendali. Hal tersebut dikarenakan tuntutan yang berasal dari
masyarakat maupun tekanan yang berasal dari luar melalui sistem global.
Selain itu, ideologi juga telah mengalami dialektika pemikiran maupun
kepentingan selama bartahun-tahun, sehingga rasanya akan sangat sulit bagi
suatu ideolgi baru untuk mengubah ideologi lama di suatu secara keseluruhan
terutama pada sektor-sektor yang dianggap strategis.
BAB II
ISI
A. PEMBAHASAN
I. Sejarah Ekonomi Cina
Bila ditelusuri ke belakang keberhasilan ekonomi Cina sekarang ini
tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang masyarakat Cina dalam
berevolusi dalam bidang ekonomi. Kehebatan Cina di bidang ekonomi maupun
non ekonomi telah lama terekam dalam sejarah. Sebagaimana hasil observasi
The Economist, dinyatakan bahwa, "In fact, China was the largest economy
for much of recorded history . . . [and in] 1820 it still accounted for 30%
of world GDP".[2] Kemudian, sejarawan Arnold Toynbee menyatakan bahwa
berdasarkan catatan Cina, Cina adalah sebagai kekuatan stabilitas, sering
dikatakan bahwa Cina telah membawa dunianya menuju persatuan dan perdamaian
abadi.[3] Selain itu, Cina memiliki sumber-sumber filsafat yang baik secara
sosial bagi konstruksi perdamaian melalui Konfusianisme, Daoism dan
Buddhism. Secara definitif resmi, RRC merupakan suatu negara komunis karena
ia memang merupakan negara komunis pada kebanyakan abad ke-20 yang lalu.
Secara resmi ia masih dikenal sebagai negara komunis, meskipun sejumlah
ilmuwan politik kini tidak mendefinisikannya sebagai negara komunis. Tiada
definisi yang tepat yang dapat diberikan kepada jenis pemerintahan yang
diamalkan negara ini, karena strukturnya tidak dikenal pasti. Salah satu
sebab masalah ini ada adalah karena sejarahnya, Cina merupakan negara yang
diperintah oleh para kaisar selama 2000 tahun dengan sebuah pemerintahan
pusat yang kuat dengan pengaruh Kong Hu Cu. Setelah tahun 1911, Cina
diperintah secara otokratis oleh KMT dan beberapa panglima perang, dan
setelah 1949 didobrak partai komunis Cina yang dimotori oleh Mao Zedong.
Pasca Perang Dunia II, Perang Saudara Cina antara Partai Komunis Cina
dan Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai Cina
Daratan dan Kuomintang menguasai Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas
pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan Republik
Rakyat Cina dan mendirikan sebuah negara komunis. Para pendukung Era
Maoisme, yang terdiri dari kebanyakan rakyat Cina miskin dan lebih
tradisional atau nasionalis dan pemerhati asing yang percaya kepada
komunisme, mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan kedaulatan Cina
dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, dan
terdapat perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan,
yang mereka percayai telah membantu meningkatkan standar hidup rakyat.
Mereka juga yakin bahwa berbagai kampanye yang dilakukan menjanjikan suatu
Lompatan Jauh ke Depan, dan Revolusi Kebudayaan menjadi sesuatu yang
penting dalam mempercepat perkembangan Cina serta akan menjernihkan
kebudayaan mereka. Di tahun-tahun pertama rezim baru ini ditandai dengan
pembangunan kembali Cina secara besar-besaran, dan kemakmuran baru serta
stabilitas negara sangat berbeda dengan masa huru-hara dan penderitaan
sekian dasa warsa sebelumnya. Tidak lama kemudian, pemimpin Cina
melancarkan kampanye melawan "musuh-musuh negara", dan memulai proses
reformasi tanah (land reform) pada tahun 1950 melalui Undang-Undang
Pembaharuan Agraria. Di era ini telah berakhir sistem kepemilikan tanah
individu yang telah berlangsung selama berabad-abad. Cina dengan sistem
Maois merubah model kepemilikan perseorangan menjadi model kolektivisasi
Sovyet pada masa Stalin. Program ini dilakukan dengan kekerasan dengan
tujuan untuk menciptakan kembali penduduk petani yang jumlahnya sangat
banyak di Cina. Salah satu doktrin inti Mao adalah bahwa petani-petani dan
pekerja-pekerja Cina perlu dibentuk menjadi tenga kerja yang dapat
dimobilisasi dengan mudah, bukan dalam arti bahwa mereka dapat dipindah ke
mana-mana secara geografis, melainkan untuk kampanye-kampanye ideologis dan
untuk kebijakan-kebijakan ekonomi yang berubah dan didasari pengetahuan
politik dalam Partai tersebut. Buruh pedesaan di Cina ditempatkan di tanah
mereka di mana mereka dapat memainkan peran sebagai "tentara cadangan"
untuk diminta bertindak kalau dibutuhkan Partai tersebut untuk proyek-
proyek industrialisasi.[4]
Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis pada awal 1960-an, Mao mundur
dari jabatannya sebagai ketua umum Partai Komunis Cina. Kongres Rakyat
Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi ketua
partai namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan
lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, dan lainnya yang memulai
reformasi keuangan. Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang
dilihat lawannya (termasuk analis Barat dan banyak remaja Cina kala itu)
sebagai balasan terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para remaja
untuk mendukung pemikirannya dan menyingkirkan kepemimpinan yang lunak pada
saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang sebagai sebuah percobaan
demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan
pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Cina. Kekacauan pun timbul namun hal
ini segera berkurang di bawah kepemimpinan Zhou Enlai di mana para kekuatan
moderat kembali memperoleh pengaruhnya. Setelah kematian Mao, Deng Xiaoping
berhasil memperoleh kekuasaan dan janda Mao, Jiang Qing beserta rekan-
rekannya, Kelompok Empat, yang telah mengambil alih kekuasaan negara,
ditangkap dan dibawa ke pengadilan.
Sejak saat itu, pihak pemerintah telah secara bertahap (dan telah
banyak) melunakkan kontrol pemerintah terhadap kehidupan sehari-hari
rakyatnya, serta telah memulai perpindahan ekonomi Cina menuju sistem
berbasiskan pasar. Para pendukung reformasi keuangan–biasanya rakyat kelas
menengah dan pemerhati Barat berhaluan kiri-tengah dan kanan–menunjukkan
bukti terjadinya perkembangan pesat pada ekonomi di sektor konsumen dan
ekspor, terciptanya kelas menengah (khususnya di kota pesisir di mana
sebagian besar perkembangan industri dipusatkan) yang kini merupakan 15%
dari populasi, standar hidup yang kian tinggi (diperlihatkan melalui
peningkatan pesat pada GDP per kapita, belanja konsumen, perkiraan umur,
persentase baca-tulis, dan jumlah produksi beras) dan hak dan kebebasan
pribadi yang lebih luas untuk masyarakat biasa. Para pengkritik reformasi
ekonomi–biasanya masyarakat miskin di Cina dan pemerhati Barat berhaluan
kiri, menunjukkan bukti bahwa proses reformasi telah menciptakan
kesenjangan kekayaan, polusi lingkungan, korupsi yang menjadi-jadi,
pengangguran yang meningkat akibat PHK di perusahaan negara yang tidak
efisien, serta telah memperkenalkan pengaruh budaya yang kurang diterima.
Akibatnya mereka percaya bahwa budaya Cina telah dikorupsi, rakyat miskin
semakin miskin dan terpisah, dan stabilitas sosial negara semakin terancam.
Meskipun ada kelonggaran terhadap kapitalisme, Partai Komunis Cina
tetap berkuasa dan telah mempertahankan kebijakan yang mengekang terhadap
kumpulan-kumpulan yang dianggap berbahaya, seperti Falun Gong dan gerakan
separatis di Tibet. Pendukung kebijakan ini – biasanya penduduk pedesaan
dan mayoritas kecil penduduk perkotaan, menyatakan bahwa kebijakan ini
menjaga stabilitas dalam sebuah masyarakat yang terpecah oleh perbedaan
kelas dan permusuhan, yang tidak mempunyai sejarah partisipasi publik, dan
hukum yang terbatas. Para pengkritik – umumnya minoritas dari rakyat Cina,
para rakyat pelarian Cina di luar negeri, penduduk Taiwan dan Hong Kong,
etnis minoritas seperti bangsa Tibet dan pihak Barat, mengatakan bahwa
kebijakan ini melanggar hak asasi manusia yang dikenal komunitas
internasional, dan mereka juga mengklaim hal tersebut mengakibatkan
terciptanya sebuah negara polisi, yang menimbulkan rasa takut. Cina
mengadopsi konstitusi pada 4 Desember 1982 yang hingga kini digunakan.
Rezim PRC sering dikatakan sebagai otokratis, komunis dan sosialis. Ia juga
dilihat sebagai kerajaan komunis. Anggota komunis yang bersayap lebih ke
kiri menjulukinya negara kapitalis. Memang, negara Cina semakin lama
semakin menuju ke arah sistem ekonomi bebas. Dalam suatu dokumen resmi yang
dikeluarkan baru-baru ini, pemerintah menggariskan administrasi Negara
berdasarkan demokrasi, meskipun keadaan sebenarnya di sana tidak begitu.
Republik Rakyat Cina mencirikan ekonominya sebagai Sosialisme dengan
ciri Cina. Sejak akhir 1978, kepemimpinan Cina telah memperbaharui ekonomi
dari ekonomi terencana Soviet ke ekonomi yang berorientasi-pasar tapi masih
dalam kerangka kerja politik yang kaku dari Partai Komunis dengan istilah
"sosialisme dengan karakteristik Cina". "Karakteristik Cina" adalah suatu
tema umum yang digunakan dalam upaya negara melakukan adaptasi terhadap
dunia modern. Setelah Cina mendapat predikat "the sick man of Asia" sebagai
hasil dari agresi imperialisme orang-orang Eropa dan Jepang, kekuatan
revolusioner bergerak dan kemudian memordenisasi filsafat Marxisme untuk
mempertahankan Negara mereka. Untuk itu para pejabat meningkatkan
kekuasaan pejabat lokal dan memasang manajer dalam industri, mengijinkan
perusahaan skala-kecil dalam jasa dan produksi ringan, dan membuka ekonomi
terhadap perdagangan asing dan investasi. Pemerintah terus berupaya
menambah pegawai pada wilayah setempat dan pengurus kilang dalam industri,
membolehkan pelbagai usahawan dalam layanan dan perkilangan ringan, membuka
ekonomi perdagangan dan membuka pelabuhan bagi pihak asing. Pengawasan
harga juga telah dilonggarkan. Ini mengakibatkan Cina daratan berubah dari
ekonomi terpimpin menjadi ekonomi campuran.
Pemerintah RRC tidak lagi menekankan kesamarataan saat mulai membangun
ekonominya, sebaliknya pemerintah menekankan peningkatan pendapatan pribadi
dan konsumsi serta memperkenalkan sistem manajemen baru untuk meningkatkan
produktivitas. Pemerintah juga memfokuskan diri dalam perdagangan asing
sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan ekonomi. Untuk itu mereka
mendirikan lebih dari 2000 Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones,
SEZ) di mana hukum investasi diregulasi untuk menarik modal asing.
Terkait dengan wilayah penopang kegiatan ekonomi nasional, Republik
Rakyat Cina mempunyai kontrol administratif terhadap 22 provinsi.
Pemerintah RRC menganggap Taiwan sebagai provinsi ke 23. Pihak pemerintah
juga mengklaim Kepulauan Laut Cina Selatan yang kini masih diperebutkan.
Selain dari provinsi-provinsi tersebut, terdapat juga 5 daerah otonomi yang
berisi banyak etnis minoritas; 4 munisipaliti untuk kota-kota terbesar Cina
dan 2 Daerah Administratif Khusus (SAR) yang diperintah RRC.
Sementara itu bila dilihat dari sisi pendapatan masyarakat, jurang
kesenjangan kekayaan di antara pesisiran pantai dan kawasan pendalaman Cina
masih amat besar. Untuk mengatasi keadaan yang berpotensi mengundang bahaya
ini, pemerintah melaksanakan strategi Pembangunan Cina Barat pada tahun
2000, Pembangunan Kembali Cina Timur Laut pada tahun 2003, dan Kebangkitan
Kawasan Cina Tengah pada tahun 2004. Semuanya itu bertujuan untuk membantu
kawasan pedalaman Cina dapat turut membangun bersama.
Dari sisi demografi-ekonomi, secara resmi RRC memandang dirinya
sebagai bangsa multi-etnis dengan 56 etnisitas yang diakui. Mayoritas etnis
Han menyusun hampir 93% populasi; bagaimanapun merupakan mayoritas dalam
hanya hampir setengah daerah Cina. Penduduk bangsa Han sendiri heterogen,
dan bisa dianggap sebagai kumpulan pelbagai etnik yang mengamalkan budaya
dan bercakap bahasa yang sama. Kebanyakan suku Han bertutur macam-macam
bahasa Tionghoa yang diucapkan, yang bisa dilihat sebagai 1 bahasa atau
keluarga bahasa. Subdivisi terbesar bahasa Tionghoa yang diucapkan ialah
bahasa Mandarin, dengan lebih banyak pembicara daripada bahasa lainnya di
dunia. Versi standar Mandarin yang didasarkan pada dialek Beijing, dikenal
sebagai Putonghua, diajarkan di sekolah dan digunakan sebagai bahasa resmi
di seluruh negara.
Negara ini telah lama mengalami masalah pertumbuhan penduduk. Dalam
usaha membatasi perkembangan populasinya, RRC telah mengambil kebijakan
yang membatasi keluarga di perkotaan (etnis minoritas seperti Tibet
dikecualikan) menjadi 1 anak dan keluarga di pedalaman 2 anak saat yang
pertama wanita.
II. Kegagalan, Kejatuhan, dan Reformasi
Keruntuhan Uni Soviet tidak serta merta diikuti melemahnya ideologi
sosialisme. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya Cina. Negara sosialis ini
muncul dan menggeliat menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru dunia.
Produk-produk Cina bermunculan menjadi kompetitor produk ekonomi Asia atau
pabrikan Barat lainnya. Barang elektronik dan otomotif dari Cina telah
merambah ke berbagai penjuru dunia. Ini adalah contoh bahwa Cina mulai
menunjukkan kekuatan ekonominya di dunia.[5]
Rezim Cina juga barangkali akan terlempar andaikan ia tidak
menggunakan kekuatan brutal untuk menekan gerakan kebebasan yang menemukan
ekspresinya di lapangan Tiananmen tahun 1989. Kehadiran Deng Xiaoping,
sebagai perintis reformasi Cina, dikenal dengan visi kreatifnya, yang
mengawinkan sosialisme yang sudah mendarah daging dengan sisi positif
kapitalisme. Sistem ekonomi sebagai produk perkawinan yang dikenal sebagai
"sosialisme dengan karakteristik Cina"[6] adalah sistem ekonomi sosialisme
dan kental dengan perencanaan sentralistik menuju sistem ekonomi pasar.
Cina, yang boleh disebut sebagai raksasa terakhir pengemban komunisme
di muka bumi ini, dalam kenyataannya tidak lagi sepenuhnya komunis. Memang
kekuasaan tunggal masih di tangan satu partai, Partai Komunis, tetapi
realitas Cina lebih menampilkan sebuah variasi yang mengisyaratkan secara
nyata bahwa Cina sudah mengalami berbagai perubahan. Perusahaan-perusahaan
milik Negara memang tetap menjadi pemain inti bagi ekonomi Cina, tetapi
investasi asing mengalir masuk dengan lancar, dan perusahaan-perusahaan
swasta tumbuh pesat. Akibatnya, wajah Cina tampil sebagai campuran
sosialisme dan kapitalisme.
Cina membangun sebuah 'ekonomi pasar sosialis', sebuah sistem ekonomi
di mana kepemilikan publik merupakan arus utama, disamping itu
perusahaanperusahaan negara yang ada dikembangkan agar mendapat untung dan
berjalan efisien seperti perusahaan-perusahaan swasta. Dalam jangka
panjang, Cina—dengan kran investasi asing dan campur tangan negara--telah
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Cina.
Dengan demikian, perekonomian Cina menggambarkan secara jelas upaya-
upaya yang dijalankan untuk menggairahkan ekonomi Cina. Pemerintah membuka
peluang lebih luas bagi perusahaan-perusahaan swasta dengan menutup atau
menjual perusahaan-perusahaan milik negara. Lebih dari 50.000 perusahaan
Negara sudah dijual, menyebabkan 25 juta orang menganggur. Angka
pengangguran ini menyulut kekhawatiran akan terjadinya gejolak-gejolak
sosial. Dalam kaitan ini, pengelolaan perusahaan negara dan swasta telah
mengalami banyak perubahan. Antara tahun 1989 sampai 2001, jumlah
perusahaan negara anjlok dari 102.300 buah menjadi 46.800. Sedangkan jumlah
perusahaan swasta meledak dari 90.000 buah menjadi lebih dari 2 juta
buah.[7]
Bersamaan dengan langkah seperti itu, pemerintah mempertahankan
kepemilikan oleh negara dengan cara[8]:
1. Pengusaha swasta tidak boleh masuk ke dalam sekitar industri kunci
yang semuanya dimonopoli oleh negara, seperti perbankan; listrik;
telekomunikasi; pos; kereta api; penerbangan; dan persenjataan.
Pengusaha swasta juga tidak boleh masuk dalam produksi banyak barang
lain, seperti tembakau; baja; kimia berbahaya; minyak dan gas; emas
dan perak; beberapa jenis obat; rekaman film; produksi senjata mainan;
seragam untuk angkatan bersenjata; dsb.
2. Pengusaha swasta tidak boleh ikut dalam jual-beli partai besar barang-
barang yang di bawah monopoli negara. Barang yang ada di perencanaan
negara, juga barang-barang yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak,
seperti buku; majalah; obta-obatan dari Barat, dsb.
3. Pengusaha juga dilarang menjual eceran barang-barang seperti buku
impor; katun; sutera; obat pertanian; benda-benda kebudayaan; mutiara;
kristal; dsb.
4. Diberi ruang sempituntuk terjun dalam pasar internasional dalam hal
pemberian hak untuk ekspor dan impor.
5. Pengusaha tidak boleh membeli tanah, mereka harus membayar mahal
barang maupun jasa kebutuhan umum (listrik, air)
6. Dalam hal keuangan, bank-bank di Cina yang merupakan milik negara
tidak memberikan pinjaman jangka kepada pengusaha swasta untuuk
investasi dalam fixed assets. Pinjaman yang diberikan cuma pinjaman
jangka pendek yang disertai persyaratan yang ketat.
Namun para pengusaha tidak habis akal dan melakukan perlawanan kepada
pemerintah. Menurut studi yang dilakukan oleh Margaret Pearson,
memperlihatkan bagaimana para pengusaha memakai strategi "merembesi"
birokrasi pemerintah maupun Partai. Seorang pengusaha memberikan sogokan
kepada sebuah kantor lokal atau RT untuk mendirikan perusahaan yang nyata
atau sebenarnya tidak ada. Dengan kata lain, para pengusaha swasta mencari
aneka macam jalan bagaimana dapat membengkokkan peraturan-peraturan yang
ada. Semua ini tentu saja diklasifikasikan "tidak legal." Lalu tentang
masuknya pengusaha swasta ke dalam Partai, seorang pengusaha swasta pasti
melihat kalau dia dapat masuk ke dalam tubuh Partai Komunis Cina, ia tidak
hanya dapat mengembangkan bisnisnya, tetapi juga mempengaruhi pembuatan
kebijakan.[9]
Zhu Rongji, Perdana Menteri Cina, dinilai paling berjasa dalam
mentransformasi Cina menuju perekonomian pasar. Setidaknya, ini ditulis
dalam buku karya Pamela C.M. Mar dan Frank Jurgen Richter berjudul Cina:
Enabling A New Era of Changes (2003). Zhu berkeyakinan, pasar harus
memainkan peran utama, namun perlu didukung dengan corporate governance
dengan paying kepastian hukum. Zhu dinilai berhasil mengantar managed
marketization bagi ekonomi Cina. Ia tegas menolak anjuran IMF untuk
mendevaluasi renminbi ketika krisis ekonomi melanda Asia. Sebagai seorang
insinyur yang memiliki latar belakang perencanaan negara, Zhu menerapkan
strategi intervensi khas Negara sosialis bersamaan dengan pengendalian
makro (hongguan tiaokong) lewat kebijakan fiskal, moneter, dan pangan.
Tujuan utamanya adalah menggenjot investasi dan konsumsi. Ia membuat
"aturan main" yang jelas dan tegas bagaimana mengelola negara yang tumbuh
paling cepat dan penduduknya terbesar di dunia. Dikeluarkannya Undang-
Undang (UU) Anti Persaingan Tidak Sehat, UU Kebangkrutan untuk Perusahaan
Negara, dan UU Perusahaan menunjukkan komitmen Zhu.[10]
III. Politik dan Reformasi Sistem Ekonomi Cina
Perubahan ideologi komunis tentu saja tidak terjadi dalam semalam. Uni
Soviet dan negara-negara yang menjadi satelitnya di Eropa Timur memang
mencampakkan ideologi komunis dalam sekejap. Cina tidak demikian. Tabel 1
di bawah ini menggambarkan pergeseran ideologi itu.
Tabel 1
Evolusi Ideologi di Cina 1978-2003
"1978-1987 "Komunisme "
"1987 "Konggres XIII menyatakan "Sosialisme tahap awal" "
"1992 "Konggres XIV mengesahkan "Teori Deng Xiaoping" "
"1993 "Pleno III, "Ekonomi Pasar Sosialis" "
"1997 "Konggres XV, "Sosialisme tahap awal" ditegaskan "
" "sekali lagi "
"1999 "Amandemen Pasal 11, UUD 1982, mengakui hak milik "
" "swasta "
Selama kurang lebih 10 tahun, pada awal Reformasi (1978-1987), pihak
pemimpin Partai tidak berani mengutik-utik ideologi resmi Partai maupun
negara. Den Xiaoping juga tidak berani. Ketika para mahasiswa
berdemonstrasi menuntut liberalisasi politik dan demokrasi, pada tahun 1979
Deng dengan tegas mengeluarkan fatwa tentang "Empat Prinsip Dasar," yang
pada pokoknya tetap mempertahankan ideologi komunisme.
Pemikiran Deng Xioping yang dikenal dengan Deng Xioping Theory
kemudian dinyatakan sebagai "Sosialisme dengan Karakteristik Cina".
Konsepsi ini terus dipertahankan dalam kepemimpinan Jiang Zemin.[11] Kalau
Mao Zedong mempunyai teori "Socialist Revolution", Deng Xioping mempunyai
teori Chinese Socialisme. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai pimpinan
Cina generasi ketiga, Jiang Zemin mengenalkan teori untuk menghadapi abad
XXI dengan teori Three Representative (3 Perwakilan), yaitu; Conception
Patriotism, the Communist Parties Role, and Building of a Socialist Market
Economy in Cina.
Posisi Jiang Zemin, sebagai pemimpin ideologi pengganti Deng Xioping,
mampu mengantarkan Cina menuju kemajuan abad 21. Kegagalan kedua
pendahulunya, yaitu; Hu Yaobang (1987) dan Zhao Ziyang (1989) yang dipecat
dari kedudukannya sebagai Sekjen PKC karena "genggaman atas peradaban
materi terlalu ketat, sedangkan peradaban spiritual terlepas". Kata-katanya
di depan Asosiasi Pengarang Cina "janganlah menyebut-nyebut lagi tentang
pemberantasan polusi spiritual maupun liberalisasi borjuis". Dalam
memperhatikan sosialisme sebagai ideologi, terdapat dua kelompok besar yang
mempunyai pendekatan yang berbeda.[12]
Golongan konservatif senantiasa berusaha agar sosialisme tidak memudar
sebagai akibat kemajuan yang dicapai oleh kebijakan keterbukaan dan
reformasi. Di lain pihak golongan reformis dengan gigih berusaha untuk
mengembangkan sosialisme modern agar proses reformasi dapat berkelanjutan.
Golongan reformis menekankan kepada kekuatan sistem hukum untuk menjamin
ketahanan ideologi rakyat serta hukum pula yang mengatur pembagian
kewenangan di antara lembaga Partai Komunis Cina dan pemerintahan.[13]
Ketidak-lestarian kebijakan perekonomian sosialis telah terbukti dan
dikonfirmasikan secara empiris. Indikatornya adalah sistem sosialis
berimplikasi negatif dan berakhir dengan kemiskinan, kesengsaraan dan
kehancuran. Di lain pihak suatu rezim partai--apapun basis ideologinya--
yang menggabungkan politik otoriter yang bersifat monopolistik dengan
kebijakan ekonomi pasar memiliki peluang yang baik untuk survive, seperti
yang kita saksikan di Cina.[14]
Reformasi-reformasi ekonomi tidak disertai dengan demokrasi politik.
Kediktatoran politik dan penindasan politik telah melumpuhkan reformasi
ekonomi dan tidak mengizinkannya berjalan secara penuh. Reformasi-reformasi
mengambil arah yang sesuai dengan kepentingan tetap rezim-rezim penindas.
Pelaksanaan reformasi yang parsial dan setengah-setengah tidak dapat
mengarah pada revitalisasi ekonomi yang diperlukan. Dengan begitu, tujuan-
tujuan tetap tidak terwujud. Korupsi dan inefisiensi juga terlalu banyak
menyedot sumber daya yang mengarah pada kekurangan dan kesulitan yang
serius.
Namun demikian, sekalipun reformasi ekonomi tersebut dibarengi dengan
demokrasi politik, ia tetap tidak mencukupi. Penggantian cara kerja
birokrasi yang lambat dengan desentralisasi dan aturan-aturan pasar tidak
diragukan akan membantu memperkenalkan efisiensi yang lebih besar dari
alokasi sumber daya, tetapi tidak lebih dari apa yang ada dalam industri-
industri negara di negara-negara ekonomi pasar. Ketiadaan pemilikan swasta
atas sarana produksi dan inisiatif yang diciptakannya, akan tetap
menyakitkan.
Apalagi, keadilan yang lebih besar, yang bahkan ekonomi pasar telah
gagal memenuhinya, tidak dapat dicapai melainkan jika reformasi yang
direncanakan oleh sosialisme pasar telah didesain dalam kerangka suatu
pandangan dunia yang memungkinkan. Hanya ini yang akan memungkinkan
beroperasinya mekanisme filter, sistem motivasi, dan restrukturisasi sosio-
ekonomi dan keuangan yang dikehendaki bagi terealisasinya tujuan. Sebuah
strategi efektif dengan begitu tidak dapat dikembangkan. Negara-negara ini,
karenanya, tidak sekedar tidak mampu memenuhi semua kebutuhan, tetapi juga
terperangkap dalam sejumlah problem makroekonomi yang telah dianggap oleh
kaum sosialis dengan ciri-ciri kapitalisme, yakni defisit anggaran,
inflasi, pengangguran dan hutang luar negeri yang tinggi. Karenanya,
ketidakmerataan yang juga timbul melahirkan kekacauan sosial.
Tabel 2
Evolusi Sistem Ekonomi
"1978-79 "Ekonomi terencana "
"1979-84 "Ekonomi terencana didampingi dengan regulasi pasar "
"1984-87 "Ekonomi komoditas terencana "
"1987-89 "Ekonomi dimana negara mengatur pasar dan pasar mengatur "
" "perusahaan "
"1989-91 "Ekonomi dengan integrasi organis antara ekonomi terencana "
" "dan regulasi pasar "
"1992 "Ekonomi pasar sosialis dengan ciri khas Cina "
"1994 "Reformasi di bidang hak milik (property rights) "
IV. Dampak Reformasi Ekonomi Cina
1. Politik Pintu Terbuka
Dengan reformasi sistem ekonomi, Cina berhasil menerapkan politik
"pintu terbuka", modal asing diundang masuk dengan diberi banyak kemudahan.
Untuk perizinan cukup menghubungi Kantor Investasi Asing. Untuk investasi
minimal US$30 juta, aplikasi investasi baru harus mendapat izin dari pusat.
Namun, di bawah jumlah itu, cukup menghubungi Kantor Investasi Asing di
daerah. Waktu persetujuan investasi asing maksimal tiga hari. Bila lebih
dari tiga hari tidak ada pemberitahuan dari kantor ini, otomatis permohonan
investasi dianggap diterima. Selain itu, modal asing diperkenankan memiliki
aset 50 hingga 70 tahun.
Akibatnya memang luar biasa. Investasi asing langsung (FDI) berbondong
masuk ke Cina.[15] Pada 1998-2001 saja, FDI mencapai lebih dari US$ 73
milyar. Tahun 2002 meningkat 20%.[16] Cina mulai menggantikan Amerika
Serikat sebagai tempat paling menarik bagi FDI. Rekor FDI yang masuk ke
Cina terbukti paling tinggi dibandingkan seluruh negara di kawasan
Asia.[17] FDI ini secara geografis terkonsentrasi di kawasan pesisir timur
dan selatan Cina, terutama di Delta Sungai Pearl dan Sungai Yangtze.
Kota metropolitan di Provinsi Guangdong ini berpenduduk sekitar 10
juta jiwa. Gedung-gedung pencakar langit dan fly over menghiasi cakrawala
kota terbesar nomor lima di Cina ini. Hotel, diskotek, dan pub--demikian
juga waralaba seperti McDonald's, Kentucky, Pizza Hut--bertebaran di
seluruh penjuru kota. Pertumbuhan bangunan modern difokuskan di bagian
timur, sedangkan dimensi tradisional dipertahankan bagian barat kota.
Apalagi Cina dengan penduduk 1,3 milyar jiwa, Cina dikenal sebagai
Negara dengan populasi terpadat di dunia. Apalagi negeri ini tumbuh pesat
di atas 7 % per tahun selama 10 tahun terakhir. Bagi investor dan
perusahaan mana pun, ini berarti pasar megabesar dan menggiurkan. Ini
ditambah dengan kebijakan pemerintah yang amat terbuka dalam menarik
investor asing, serta antikorupsi.
2. Privatisasi
Reformasi penting yang lain adalah privatisasi[18] besar-besaran atas
badan usaha milik negara (BUMN). Pemerintah Cina sadar bahwa BUMN yang
tidak efisien menimbulkan beban bagi APBN dan pertumbuhan ekonomi. Untuk
itu, strategi reformasi BUMN yang terpenting adalah "memisahkan
administrasi dari perusahaan", artinya, negara menarik diri dari semua
sektor di mana sistem pasar lebih efektif, menghilangkan monopoli BUMN,
membiarkan mekanisme pasar dalam alokasi sumber daya, serta mendorong
reorganisasi seluruh sektor dan komersialisasi perusahaan. Di bawah rezim
penganut sosialisme yang fanatik, tadinya terdapat ribuan BUMN. BUMN yang
kecil–kecil dan tidak efisien mengalami program privatisasi dan
restrukturisasi aset. Hasilnya, sekarang tinggal sekitar 500 BUMN dengan
skala besar dan strategis, terutama yang memberikan pelayanan publik. Tak
kalah penting adalah rekor Cina dalam memberantas korupsi.
Diyakini bahwa sumber korupsi akibat adanya "monopoli administratif".
Dengan kata lain, pemerintah berperan sebagai regulator, wasit, dan pemain
sekaligus. Maka, ketiga komponen ini perlu dipisah. Biarkan pemerintah
tetap sebagai regulator dan wasit, tapi pemainnya diserahkan kepada swasta.
Sebagai wasit, ia harus bersih. Karena itu, agar bersih, tiap bulan para
pejabat Cina harus melaporkan asetnya kepada publik. Begitu terbukti
korupsi, hukuman tembak mati sudah menunggu.
3. Masuknya Cina ke dalam WTO
Akhirnya Cina dinyatakan secara resmi menjadi anggota WTO, pada 17
September 2001 di Genewa, dimana pada tahun 1989 Cina sempat menjadi
anggota bahkan salah satu negara pendiri dari GATT pada tahun 1948 yang
waktu itu diwakili oleh "Republik Cina" di Taiwan. Namun, Cina terpaksa
keluar. Tahun 1987 Cina ingin bergabung kembali ke dalam GATT lewat
perundingan yang hampir mencapai tahap yang cukup matang tetapi harus
terhenti akibat Peristiwa Tian'anmen pada 4 Juni 1989. Dan akhirnya Cina
kembali mengajukan lamaran untuk kedua kalinya pada tahun 1992, dan baru
diterima tahun 2001 menjadi anggota WTO (GATT menjadi WTO pada tahun 1995).
Keuntungan yang ingin dikejar dengan masuknya WTO mula-mula bersifat
ekonomi semata, yaitu sebagai sarana untuk mencapai indutrialisasi yang
cepat.yaitu meningkatnya pendapatan lewat ekspor yang tinggi serta modal
dari luar, juga masuknya teknologi maju.
Namun, Cina juga menikmati keuntungan yang tidak dapat disentuh
(intangible). Dengan menancapkan dirinya ke dalam rezim maupun organisasi
internasional, pemerintah Cina akan memperoleh prestise internasional dan
dengan demikian memperkuat legitimasinyya baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Apalagi kalau di lihat dalam kerangka persaingan dengan
Taiwan. Lalu, bagi kelompok reformis dalam Cina sendiri, integrasi ke dunia
luar memperkuat posisi mereka untuk melawan kelompok konservatif.
Sementara itu, negara-negara maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang) juga
menginginkan agar Cina ikut masuk dalam ekonomi internasional. Begitu juga
bagi para pelaku bisnis. Mereka dapat menikmati barang-barang ekspor dari
Cina yang murah dan permintaan barang-barang impor yang tinggi oleh
konsumen Cina. Para investor asing mengincar kemungkinan memproduksi produk-
produk yang low-cast di dalam Cina yang dapat diekspor dan dibuang ke pasar
domestik.
Sebelum diterima sebagai anggota WTO, Cina berjanji dan menyatakan
committed untuk membuka pasarnya. Cina setuju memangkas tarif untuk produk
pertanian sampai 15% dan produk industri sampai 8,9%. Cina juga setuju
untuk menghapuskan semua kuota, lisensi, kewajiban tender, dan banyak
hambatan non-tarif lainnya pada impor. Selain itu Cina juga setuju untuk
mengubah import registration system sehinggan konsisten dengan WTO
Agreement on Import Licensing .
Untuk bidang pertanian, Cina juga memperlihatkan komitmen yang tinggi
akan free trade sebagai nampak dari rendahnya tarif pada impor produk
pertanian, yaitu 1 persen. Tarif rendah ini dikenakan bagi impor gandum,
jagung, beras dan katun untuk impor fixed initial quantity. Kuota ini
kemudian dinaikkan pada tahun 2004 (kecuali untuk minyak kacang pada 2006).
Di samping barang, Cina juga setuju untuk membuka pasar jasanya,
termasuk telekomunikasi, bank, asuransi, securities, audiovisual dan jasa
profesional lainnya. Lebih penting lagi Cina juga menyetujui untuk
memberikan hak berdagang dan hak distribusi bagi perusahaan asing. Ini
berarti perusahaan-perusahaan asing boleh mengimpor dan mengekspor juga
masuk dalam perdagangan partai besar dan eceran, memberikan after-sale
service, perawatan dan transportasi.
Dalam hal perbankan, setelah Cina masuk WTO, Cina diwajibkan untuk
mengurangi berbagai restriksi bank-bank asing secara bertahap. Jumlah kota
dimana bank asing dapat memberikan domesic currency services ditambah, dan
pada Januari 2005 restriksi geografis ini dihapus sama sekali. Pada waktu
itu bank-bank asing boleh memberikan domestic currency services. Serta
tidak ada pembatasan jumlah atas bank asing yang diberi lisensi. Bank
sentral Cina harus memberi lisensi kepada semua pelamar yang memenuhi
kriteria.
Namun, setelah dua tahun menjadi anggota WTO, Cina masih belum berbuat
banyak untuk merealisasikan janji-janjinya. AS paling lantang mengkritik
Cina di dalam laporan U.S. Chamber of Commerce dimana Cina tidak mematuhi
WTO dalam lima hal pokok:
a. Pembajakan hak kekayaan intelektual;
b. Tidak adanya distribusi bebas barang-barang impor;
c. Non-tarif barrier pada pertanian;
d. Tidak adanya transparansi dalam pembuatan peraturan;
e. Tingginya syarat kapitalisasi bagi bank asing maupun perusahaan
asuransi serta penyedia pelayanan telkom.[19]
Dengan dikirimnya laporan tersebut, lantas tidak membuat Cina untuk
cepat taat pada peraturan. Cina berdalih dengan alibi bahwa negara-negara
barat juga banyak melanggar WTO di bidang non-tariff barrier dan bidang
pertanian.
4. Ambiguitas Ideologi
menurut World Bank, Cina tidak menyelesaikan transisi secara tuntas. Cina
pada saat ini masih belum mengatasi masalah bagaimana menempatkan peran
pemerintah. Di satu pihak, Cina telah menyatakan komitmen untuk menerapkan
sistem pasar, dan di lain pihak, Cina masih mengizinkan masuknya peran
negara (yang diistilahkan "kontrol makro-ekonomi).
5. Kerusakan Lingkungan
Kerusakan lingkungan yang menimpa Cina amat serius. Bersamaan dengan laju
pertumbuhan ekonomi, urbanisasi dan industrialisasi selama hampir tiga
dekade, meningkat juga tingkat polusi air dan udara yang tinggi.
6. Income Security dan Meningkatnya Pengangguran
Masuknya kekuatan pasar di Cina telah menyebabkan kompetisi antar
perusahaan, dan ini diiringi dengan risiko besar, terutama masalah
penyediaan lapangan kerja dan pendapatan.
7. Jaminan Pasokan Pangan
Untuk dapat mencukupi diri sendiri, Cina harus menemukan cara bagaimana
memberi makan kepada 20 persen dari penduduk dunia sementara hanya tersedia
7 persen dari bagian dunia yang dapat ditanami. Sementara ini pemerintah
Cina telah berussaha menggenjot berbagai macam kebijakan di bidang
pertanian, seperti memperluas infrastruktur pertanian, pemakaian air yang
lebih efisien dan pengendalian banjir yang lebih cepat.
8. Melebarnya Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial semakin melebar seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Bank Dunia, Koefisien Gini (angka untuk mengukur tingkat
ketimpangan dari 0-1) Cina pada 1985 adalah 0,3 dan pada 1995 telah
meningkat mendekati 0,4, dan pada tahun 2005 menajam ke angka 0,5.
9. Korupsi
Korupsi di Cina biasanya sulit untuk dilacak. Pejabat negaranya berkolusi
dengan orang Partai yang semestinya mengawasi korupsi. Apalagi sejak
diperkenalkannya sistem ekonomi pasar pada tahun 1980-an, korupsi di Cina
semakin luas menjalar ke segala sudut kehidupan, yaitu[20]:
a. Korupsi memperebutkan jatah apartemen tempat tinggal
b. Korupsi dalam perbankan dan keuangan
c. Korupsi dalam penarikan pajak
d. Korupsi dalam law enforcement
e. Korupsi dalam penerapan UU Keluarga Berencana
f. Korupsi menjual-belikan jabatan.
Berikut tabel kasus korupsi oleh kader partai, 1992-1998
"Kasus yang dilaporkan oleh warga "75.500.000 "
"Kasus yang diterima oleh KDIP "873.000 "
"Kasus yang ditutup "790.000 "
"Kader yang dijatuhi tindakan disiplin dan "789.300 "
"administratif " "
"Dipecat dari partai "121.500 "
"Dipecat dari partai dan dijatuhi hukuman "37.492 "
"kriminal " "
"Pejabat tingkat kabupaten/departemen "24.265 "
"Pejabat tingkat biro "1.977 "
"Penjabar tingkat provinsi/menteri "84 "
10. Masalah Perburuhan
Sebenarnya di Cina telah banyak ditetapkan UU tentang Perburuhan, tetapi UU
tersebut tidak dapat diimplementasikan secara pasti. Ada dua institusi yang
dapat diharapkan dapat memainkan peran sebagai pengawas, tetapi mereka
tidak dapat berbuat banyak. Pertama, PKC sebagaimana direpresentasikan
dalam diri Sekretaris Partai bagaikan macan ompong, dan kedua, serikat
buruh juga setali tiga uang. Buruh pada akhirnya berhadapan langsung dengan
manajer dan manajer dengan segala kekuasaan yang dimiliki dapat bertindak
sewenang-wenang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, nampak bahwa yang terjadi saat ini di Cina
sebenarnya lebih kompleks dan rumit daripada yang nampak dari luar saja.
Tuntutan rakyat terhadap pemerintah untuk mendatangkan kemakmuran material
itu semakin mendesak karena kedudukan Partai Komunis Cina yang sebenarnya
telah kehilangan legitimasi akibat berbagai macam malapetaka yang terjadi
pada zaman Mao Zedong berkuasa (terutama Lompatan Jauh ke Depan dan
Revolusi Kebudayaan).[21] Partai Komunis Cina tidak mempunyai jalan lain
kecuali berjanji membawakan kemakmuran material, kalau ia mau tetap
bertahan dalam kekuasaannya sebagai partai tunggal.
Tetapi ekonomi atas pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan angka
kenaikan PDB (atau GDP) terbukti membawa banyak korban di seluruh dunia.
Hal ini disebabkan perhitungan PDB yang dihitung hanya total output tanpa
menghiraukan banyak hal.[22] Jadi, ketika perhitungan itu memperlihatkan
angka naik, angka tersebut tidak memasukkan faktor-faktor tadi. Bisa
terjadi pertumbuhan ekonomi yang amat positif, tetapi pendapatan buruh
malah merosot, disusul dengan ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin.
Yang paling dahsyat tetapi tidak segera nampak, pertumbuhan ekonomi yang
biasanya diiringi dengan kehancuran ekologi yang tinggi pula.
Jadi, tidak mengherankan bahwa saat ini terjadi sebuah paradoks besar:
dengan memacu pertumbuhan ekonomi, sekaligus juga muncul akumulasi masalah
sosial dan ekologis yang seperti disebutkan di atas. Para petinggi terus-
menerus mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi tinggi, tak lupa juga
menyebutkan membanjirnya investor asing ke Cina. Tetapi, sekaligus juga
kelihatan jurang antara yang kaya dan yang miskin akan semakin lebar, yang
kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Petani dan buruh yang
merupakan mayoritas penduduk Cina hidup dalam harapan terus-menerus bahwa
pada suatu nanti "akan" menikmati kemakmuran. Sementara itu, sungai, danau,
mengalami pencemaran, begitu pula udara di kota-kota besar.
Maka, dapat disimpulkan bahwa gemerlap kota-kota besar dengan highway
yang meliuk-liuk, belumlah tanda sebuah keberhasilan, apalagi sebuah
"keajaiban ekonomi" (economic miracle). Cina menyembunyikan serangkaian
penderitaan dan siksaan yang tak terungkapkan. Cina mungkin akan menjadi
economic superpower, tetapi hanya sebagian (kecil) saja, yang sebagian
besar lain hidup dalam pesimisme total.
B. SARAN
Partai Komunis Cina sebagai Partai Tunggal dan pemegang Birokrasi
teratas di pemerintahan, harus mengubah teori pembangunan yang dianut bila
ingin menyelamatkan Cina. Yaitu meninggalkan teori atas dasar pertumbuhan
ekonomi. Misalnya, dengan menempuh teori yang berpihak pada lingkungan.
-----------------------
[1] I Wibowo, 2005, Belajar Dari Cina. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Bab
"Cina Sudah Berubah Menjadi Kapitalis?", hlm 49.
[2] A Survey of the World Economy - The Real Great Leap Forward', The
Economist, 2 October 2004, p. 5.
[3] Arnold J. Toynbee, Change and Habit: The Challenge of Our Time, Oxford
University Press,
London, 1966, p. 158 dalam Rosita Dellios, The Rise of China as a Global
Power, The Culture
Mandala, Volume 6 No 2, Copyright © Rosita Dellios 2004-2005.
[4] Dorothy Solinger, Contesting Citizenship in Urban China:Peasant
Migrants, the State, and the
Logic of the Market, Berkeley, University of California Press, 1999, p.27
dalam Ted C. Fishman,
China Inc., Elex Media Komputindo, 2007, hal. 36.
[5] Idrus Affandi, "Pendidikan Bela Negara", dalam crossmedia@pikiran-
rakyat.com (25
Maret 2008).
[6] John Lee, "the False Promise …", 25.
[7] Mudrajad Kuncoro, "Politik Reformasi ala Cina", dalam Gatra (31 Juli
2004).
[8] I Wibowo, 2005. Belajar Dari Cina. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Bab
"Cina Sudah Berubah Menjadi Kapitalis?", hlm 54-55
[9] Ibid. hlm. 56-57.
[10] Mudrajad Kuncoro, "Politik Reformasi ala Cina", dalam Gatra (31 Juli
2004).
[11] A. Kustia, "Hubungan Indonesia dan Republik Rakyat China", dalam
Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia, Laporan KBRI-Beijing (Jakarta: Deplu, 2001).
[12] Ibid.
[13] Yuian Wang, Business Culture in China (Singapore: BH Asia, 1998).
[14] Rainer Adam, "Chaves atau Kematian", dalam Kedai-Kebebasan.org, (28
Maret 2008).
[15] Cuneyt Koyuncu dan Pasim Yilmaz, "Can China help Lower World
Inflation", Emerging Market Finance and Trade, vol. 42, no. 2 (March-April
2006), 93.
[16] Bank of China Group, "Is Deflation Made in China", dalam
www.tdctrade.com/
econforum/boc/boc021001.htm (October 2007).
[17] Koyuncu, "Can China help …", 94.
[18] Marangos, "Was Market …", 71.
[19] "The One-Two Punch," Far Eastern Economic Review (2 Oktober 2003),
hlm. 26-28.
[20] Lu Xiaobo, 2000. Cadres and Corruption. Stanford, CA: Stanford
University Press, hlm. 195-227.
[21] X.L. Ding, The Decline of Communism in China. Legitimacy Crisis, 1977-
1989 (Cambridge: Cambridge University Press, 1994).
[22] Ted Halstead dan Clifford Cobb, "The Need for New Measurement of
Progress," dlm. Jerry Mander dan Edward Goldsmith (eds.), The Case againts
the Global Economy (San Fransisco: Sierra Club Books, 1996), hlm. 197-217.