PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN
PERKOTAAN DI INDONESIA
Orasi Ilmiah
Disampaikan pada Sidang Universitas Airlangga
dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Airlangga ke-59
di Surabaya pada hari Senin Tanggal 11 November 2013
Oleh
PURNAWAN BASUNDORO
Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
Assalamu alaikum Wr.Wb.
Yang terhormat:
Ketua dan Sekretaris beserta Anggota Senat Akademik Universitas Airlangga
Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Airlangga
Dekan dan Wakil Dekan Fakultas di Universitas Airlangga
Para Guru Besar Universitas Airlangga
Para Guru Besar Tamu,
Rekan Dosen, Tenaga Kependidikan, serta Civitas Akademika Universitas
Airlangga.
Dan seluruh undangan yang saya muliakan,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT, karena
sampai detik ini kita masih diberi kenikmatan kesehatan dan kesempatan,
sehingga kita bisa hadir dalam forum yang sangat mulia ini. Selanjutnya
saya mengucapkan Dirgahayu Universitas Airlangga, semoga almamater kita
tetap menjadi universitas yang Excellent With Morality (universitas yang
terkemuka berlandaskan pada moralitas yang tinggi) menuju World Class
University (universitas bertaraf internasional).
Saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia Dies Natalis Universitas
Airlangga ke-59 karena telah memberikan kehormatan yang amat tinggi kepada
saya untuk memberikan orasi ilmiah dalam Rapat Senat Akademik Universitas
Airlangga kali ini.
Hadirin yang saya muliakan,
Selanjutnya, perkenankan saya untuk menyampaikan orasi ilmiah pada mimbar
akademik yang mulia ini dengan judul
"Perebutan Ruang Kota: Problem Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Perkotaan di Indonesia "
Orasi ilmiah akan saya awali dengan sebuah ilustrasi yang merupakan
pengalaman pribadi saya ketika awal kuliah di Yogyakarta duapuluh tiga
tahun yang lalu. Pada tahun 1991, tanpa sebuah kesalahan apapun, saya
bersama beberapa teman "diusir" dari kost saya di Terban (Yogyakarta) oleh
pemilik kost, dengan alasan bahwa tempat tersebut akan direnovasi. Tempat
kost yang sangat sederhana, yang hanya berdinding gedhek, yang sudah saya
tempati selama satu tahun pun akhirnya saya tinggalkan. Pada sore hari
setelah maghrib, dengan diangkut dua buah becak, saya pindahan ke kost baru
di Blimbingsari. Sebagai seorang pendatang yang belum begitu paham dengan
seluk-beluk dan kondisi kota Yogyakarta, saya memilih pindah ke kampung
Blimbingsari, yang berjarak sekitar satu kilometer dari kampus tempat saya
kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Pilihan untuk tinggal
di Blimbingsari semata-mata karena jarak ke kampus tidak terlalu jauh,
sehingga tidak memerlukan ongkos tambahan untuk naik angkutan kota. Cukup
berjalan kaki sekitar lima belas menit, sudah sampai di kampus. Maklum,
uang saku bulanan sangat terbatas.
Beberapa saat sesudah saya tinggal di Blimbingsari, suatu sore saya
duduk-duduk dengan beberapa kawan di depan kamar kost. Tempat yang
digunakan untuk duduk-duduk adalah sebuah tempat duduk memanjang yang
terbuat dari beton cor. Semula saya mengira bahwa yang saya duduki benar-
benar dibuat untuk tempat duduk-duduk santai. Namun, beberapa saat kemudian
saya mulai curiga karena tempat duduk tersebut salah satu ujungnya
membentuk lengkungan, persis seperti makam untuk orang Tionghoa. Kecurigaan
saya pun akhirnya terjawab, ketika pada suatu kesempatan saya bertanya
kepada teman-teman yang lebih dahulu tinggal di tempat tersebut. Mereka
menjawab bahwa tempat yang kami gunakan untuk duduk-duduk memang sebuah
bangunan makam Tionghoa. Saya baru sadar, bahwa kampung Blimbingsari adalah
bekas makam Tionghoa yang diakuisisi oleh para pendatang ilegal untuk
dijadikan tempat tinggal. Makam Tionghoa tersebut kemudian berkembang
menjadi perkampungan di sebelah barat Universitas Gadjah Mada, dan banyak
berdiri tempat kost untuk mahasiswa.[1]
Beberapa tahun kemudian, setelah saya intensif mempelajari ruang-
ruang perkotaan dari perspektif sejarah, saya baru paham bahwa terbentuknya
kampung Blimbingsari merupakan hasil dari sebuah perebutan ruang. Walaupun
kawasan Blimbingsari pada awalnya adalah sebuah makam, bukan berarti
perebutan ruang yang terjadi di kawasan tersebut adalah antara yang telah
mati dengan yang telah hidup. Blimbingsari adalah hasil dari sebuah
pertarungan antara para pewaris dari yang telah dimakamkan, dengan para
pendatang yang membutuhkan tempat tinggal. Kekalahan para pewaris telah
menyebabkan leluhur mereka merana di dalam makam, karena di atas mereka
telah muncul kehidupan baru yang tidak layak muncul di tempat tersebut.
Hadirin yang saya hormati,
Ilustrasi yang agak berbeda terjadi pula di Kota Surabaya. Pada tahun
1970-an untuk keperluan pembuatan film yang berjudul Marabunta, yang
mengambil lokasi di kota Surabaya, diperlukan sebuah adegan perkelahian di
sebuah makam yang sepi dan terkesan angker. Tanpa sebuah pengamatan
terlebih dahulu pada siang hari, kru pembuatan film tersebut pada suatu
malam mendatangi sebuah makam terbesar di kota tersebut yaitu makam Kembang
Kuning. Mereka berharap akan menemukan sebuah suasana yang menyeramkan
sesuai dengan tuntutan skenario, serta agar proses pengambilan gambar tidak
diganggu oleh orang-orang yang tinggal di sekitar makam. Dalam bayangan kru
pembuat film makam Kembang Kuning adalah sebuah lokasi yang sepi karena
jauh dari perkampungan.
Ketika semua persiapan pengambilan gambar sudah siap, lampu-lampu
penyorot dinyalakan, dan sutradara mengambil aba-aba agar adegan
perkelahian dimulai, tiba-tiba dari balik nisan muncul "manusia-manusia
kuburan" yang kaget karena ketenangan mereka dalam beristirahat terganggu
dengan adanya aktivitas pengambilan gambar tersebut. Alih-alih akan
mendapatkan sebuah suasana kuburan yang sepi dan menyeramkan, ternyata
proses pengambilan adegan perkelahian justru menjadi tontonan para penghuni
kuburan Kembang Kuning.[2]
Manusia-manusia kuburan yang kaget karena ketenangan mereka terusik
bukanlah makhluk halus atau roh yang tinggal dibalik batu nisan makam
Kembang Kuning. Mereka adalah kelompok penduduk miskin kota yang tersisih
dari kehidupan yang wajar dan tidak memperoleh ruang yang layak di kota
Surabaya sehingga akhirnya menjadi gelandangan yang tidak memiliki rumah.
Dengan kata lain, mereka adalah kelompok masyarakat yang kalah ketika
memperebutkan ruang-ruang yang layak dan manusiawi di belantara kota.
Ketika mereka tidak mampu mengalahkan manusia yang hidup maka jalan satu-
satunya adalah mencoba mengalahkan manusia yang telah mati, yang tidak
mungkin melakukan perlawanan.
Realitas yang terjadi di makam Blimbingsari (Yogyakarta) dan makam
Kembang Kuning (Surabaya) adalah contoh betapa proses perebutan ruang di
kota besar sudah melembaga sedemikian keras, sehingga makam yang mestinya
menjadi tempat yang tenang untuk tempat beristirahat orang-orang yang sudah
pergi ke "alam sana" masih harus terganggu dengan kehadiran manusia-manusia
kuburan. Bisa jadi mereka yang tengah istirahat di alam lain tidak lagi RIP
dalam arti rest in peace (istirahat dalam kedamaian), tetapi rest in panic
(istirahat dalam kepanikan) karena ruang mereka tergusur oleh pendatang
lain, yaitu para gelandangan. Blimbingsari dan Kembang Kuning adalah contoh
perebutan ruang yang sudah mencapai taraf excessive (keterlaluan) karena
sudah melewati batas-batas kewajaran moral secara umum jika dipandang
melalui kacamata orang-orang yang bisa memperoleh ruang yang wajar, baik
dari segi tempat maupun dari segi kelayakan.[3]
Hadirin yang terhormat,
Berubahnya makam Blimbingsari dan Kembang Kuning menjadi pemukiman
yang terjadi secara paksa merupakan bagian dari kenyataan ketika kota-kota
berkembang tidak terkendali, akibat kenaikan jumlah penduduk yang terjadi
secara simultan dan tidak dibarengi dengan kebijakan untuk membagi dan
menata ruang secara adil oleh pemegang otoritas kota.[4] Ketika para
penghuni kota atau orang-orang yang tertarik untuk tinggal di kota
dibiarkan untuk bersaing secara bebas, maka akan terjadi proses dimana
ruang-ruang kota yang masih terbuka diperebutkan secara bebas pula.[5]
Bahkan tidak jarang ruang kosong yang sudah memiliki legalitas klaim, yang
mestinya bukan lagi ruang kosong secara hukum, karena sudah ada otoritas di
tempat itu, diabaikan begitu saja oleh individu atau kelompok yang merasa
memiliki kekuatan untuk menduduki ruang tersebut.[6]
Menilik kenyatan tersebut maka sejatinya antara kenaikan jumlah
penduduk yang tidak terkendali yang berujung pada kebutuhan akan ruang,
ruang kota yang terbatas, dan kekuatan (powers) yang dimiliki oleh kelompok
maupun individu penghuni kota, memiliki keterkaitan yang erat yang berujung
pada klaim terhadap ruang kota. Jika klaim dilawan oleh klaim yang lain,
maka sebuah proses perebutan ruang kota tengah terjadi. Proses semacam ini
hampir melanda semua kota di dunia dimana kenaikan jumlah penduduk kota
tidak terkendali, dan tidak diikuti kebijakan untuk membagi ruang kota
secara adil dan legal. Pembagian ruang kota secara adil mustahil dilakukan
manakala kota hanya memiliki ruang yang amat terbatas sementara ruang
tersebut tidak ubahnya sebagai sebuah komoditi.[7] Dalam hukum komoditi
maka siapa yang memiliki modal yang lebih besar dan lebih baik, apapun
bentuknya, maka dialah yang akan berhasil menguasai ruang tersebut.
Konsentrasi penduduk di kota-kota besar di negara-negara Dunia Ketiga
sudah sejak awal abad ke-20 terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi,
seiring dengan pertumbuhan kota-kota tersebut menjadi kota industri.
Sayangnya, pertumbuhan penduduk yang besar tidak sebanding dengan
pertumbuhan industrialisasi. Para ahli menyebut fenomena tersebut sebagai
"urbanisasi berlebih" (over-urbanization), "urbanisasi semu" (pseudo-
urbanization), atau "hiper-urbanisasi" (hyper-urbanization).[8] Kondisi
semacam itu, menurut Gilbert dan Gugler telah melahirkan pengangguran,
setengah pengangguran, dan pekerjaan keliru. Mereka adalah orang-orang
miskin di perkotaan yang kemudian menjadi beban dari kota tersebut,
terutama berkaitan dengan bagaimana dan di mana mereka harus hidup.[9]
Rakyat miskin adalah kelompok yang memiliki modal yang amat minimal.
Di kota-kota yang dikembangkan dengan mengedepankan ide-ide liberal dan
kapitalis maka orang miskin adalah beban bagi sebuah kota. Tidak ada tempat
yang layak bagi orang miskin untuk menempati ruang kota. Jika kenyataannya
sampai saat ini mereka masih bisa mempertahankan diri untuk tinggal di
kota, maka hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, kota telah
menjadi tempat yang nyaman untuk hidup dan bertempat tinggal dibandingkan
dengan kawasan lain, katakanlah desa. Kedua, tidak ada pilihan lain selain
bertahan di kota dengan segala resiko yang harus terus-menerus dihadapi,
yaitu bertahan atau melawan. Eksistensi rakyat miskin di kota merupakan
bagian dari paradoks kota. Pada satu sisi kota dianggap menghasilkan dan
menjadi sumber dari peradaban, tetapi pada saat yang bersamaan kota juga
melahirkan masyarakat yang "kurang beradab". Kenyataan semacam ini bukanlah
kenyataan sesaat tetapi lahir melalui proses sejarah yang amat panjang
melalui persaingan antara yang "beradab" dan yang "tidak beradab". Dalam
proses sejarah yang panjang itulah proses bertahan dan melawan dalam rangka
memperoleh ruang untuk hidup terus-menerus dilakukan. Perjuangan rakyat
miskin kota dalam rangka memperoleh ruang untuk hidup muncul dalam bentuk
yang amat beragam, terutama di negara-negara dunia ketiga, dimana kemampuan
negara untuk mengelola rakyat miskin di perkotaan masih amat terbatas,
serta tingginya angka urbanisasi di kota-kota besar. Kasus-kasus semacam
ini banyak muncul di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Tenggara, serta di
Afrika.[10]
Hadirin yang saya muliakan,
Kota-kota di Jawa mulai mengalami berbagai persoalan ketika terjadi
perubahan yang amat drastis, dari kota tradisional menuju ke kota modern.
Menurut seorang sosiolog dari Belanda, W.F. Wertheim, kota-kota di
Indonesia mengalami loncatan perubahan yang mendasar setelah tahun 1870.
Liberalisasi ekonomi yang dimulai setelah diundangkannya Undang-Undang
Agraria dan Undang-Undang Gula, telah meningkatkan perdagangan dan
industri, memperluas administrasi sipil, dan mengakibatkan kenaikan cepat
jumlah penduduk perkotaan di Jawa.[11] Sensus penduduk tahun 1920 mencatat
bahwa 6,63 persen penduduk Jawa tinggal di kota, dan pada sensus penduduk
tahun 1930 penduduk yang tinggal di kota melonjak menjadi 8,7 persen. Dari
jumlah tersebut, 3,8 persen tinggal di kota-kota yang berpenduduk lebih
dari 100.000 jiwa.[12]
Tingginya pertumbuhan penduduk kota sebelum Indonesia merdeka
disebabkan karena tingginya arus migrasi dari desa ke kota. Penghitungan
penduduk tahun 1940 mencatat, bahwa lebih dari setengah penduduk kota
Bandung, Batavia, dan Surabaya dilahirkan di luar batas kota tersebut,
namun mayoritas dilahirkan di propinsi di mana kota tersebut terletak.[13]
Melonjaknya kedatangan orang-orang Eropa ke kota-kota di Indonesia bisa
jadi merupakan faktor penentu yang melahirkan modernisasi kota. Keputusan
mereka untuk memilih tinggal di sebagian besar kota-kota di Indonesia telah
melahirkan tuntutan adanya otonomi kota yang direalisasikan dengan
dibentuknya pemerintahan kota yang otonom (gemeente) yang didasarkan pada
Undang-Undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet) 1903 yang mulai
dilaksanakan pada tahun 1905.[14] Modernisasi kota-kota itulah yang pada
akhirnya memancing proses migrasi yang lebih besar. Orang-orang dari desa
berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari penghidupan baru yang lebih
menjanjikan, sekaligus menikmati kota yang telah melahirkan imajinasi-
imajinasi baru bagi kaum pendatang.
Hadirin yang terhormat,
Uraian di atas menunjukkan bahwa sudah sejak sebelum perang jumlah
penduduk di kota-kota besar di Indonesia sudah sangat tinggi. Sebagai
contoh, sejak awal abad ke-20 penduduk Kota Surabaya terus-menerus
mengalami kenaikan, dsebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:
Penduduk Kota SurabayaTahun 1906-1940
"Tahun "Eropa "Cina "Arab "Timur "Bumiputra "Jumlah "
" " " " "Asing " " "
"1906 "8.063 "14.843 "2.482 "327 "124.473 "150.188 "
"1913 "8.063 "16.685 "2.693 "374 "105.817 "133.632 "
"1920 "18.714 "18.020 "2.593 "165 "148.411 "187.903 "
"1921 "19.524 "23.206 "3.155 "363 "146.810 "193.058 "
"1922 "20.105 "27.595 "3.410 "504 "148.000 "199.614 "
"1923 "20.855 "30.653 "3.639 "644 "149.000 "204.791 "
"1924 "22.153 "32.005 "3.818 "847 "150.000 "208.823 "
"1925 "23.314 "32.868 "3.922 "870 "196.825 "257.799 "
"1926 "24.372 "33.370 "4.040 "981 "188.977 "251.740 "
"1927 "23.782 "35.077 "4.078 "1.008 "188.977 "252.922 "
"1928 "24.625 "36.850 "4.208 "1.039 "188.977 "255.699 "
"1929 "25.346 "38.389 "4.610 "1.167 "188.977 "258.489 "
"1930 "26.502 "42.768 "4.994 "1.303 "265.872 "341.493 "
"1931 "27.628 "43.288 "5.298 "1.384 "265.872 "343.470 "
"1932 "26.411 "40.781 "5.634 "1.444 "274.000 "352.129 "
"1933 "26.882 "39.792 "5.227 "1.521 "280.000 "357.362 "
"1934 "27.297 "40.533 "5.175 "1.519 "286.000 "365.524 "
"1935 "27.599 "41.749 "5.209 "1.152 "290.000 "370.709 "
"1936 "28.548 "43.650 "4.998 "900 "294.000 "377.096 "
"1937 "29.783 "46.219 "4.961 "890 "294.000 "380.853 "
"1938 "30.687 "43.779 "4.921 "929 "294.000 "390.989 "
"1939 "32.601 "45.767 "5.148 "968 "300.000 "390.394 "
"1940 "34.576 "47.884 "5.242 "1.027 "308.000 "396.720 "
Sumber:
G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie's voornaamste
koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931,
(Surabaya: Boekhandel en Drukkerij, 1936); Verslag der Gemeente Soerabaja
over het Jaar 1940; Bureau van Statistiek Soerabaja, Statistische berichten
der Gemeente Soerabaja jaarnummer 1931, ('s-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1932), hlm. 1
Namun perubahan yang amat drastis terjadi setelah Indonesia berhasil
keluar dari peperangan pasca proklamasi kemerdekaan. Selama periode perang
penduduk di beberapa kota besar di Indonesia dengan terpaksa harus keluar
dari kota mereka ke daerah-daerah pengungsian. Beberapa peristiwa yang
menyebabkan penduduk di beberapa kota besar harus keluar dari kota mereka
antara lain, pertama, ketika kota Surabaya diserang oleh pasukan Sekutu
selama bulan Oktober dan Nopember tahun 1945. Perang besar yang berkobar di
kota ini telah menyebabkan ribuan penduduk harus menyelamatkan diri ke
daerah yang lebih aman di luar kota. Bahkan pemerintahan kota dan propinsi
yang berkedudukan di kota Surabaya juga harus mengungsi.[15] Kedua, sebagai
konsekuensi dari perjanjian Renville, tentara yang masih berada di luar
wilayah Republik Indonesia harus keluar dari wilayah tersebut menuju ke
kantong-kantong republik. Akibatnya, kota Jakarta dan Bandung ditinggalkan
oleh sebagian besar tentara dari Divisi Siliwangi beserta keluarga-keluarga
mereka dalam jumlah yang cukup besar (hijrah).[16]
Namun, setelah perang berakhir gerakan untuk memasuki kota berlangsung
kembali bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
jumlah penduduk kota yang keluar ketika terjadi pengungsian. Ketika kota-
kota mulai aman dan aktivitas perekonomian mulai bergerak kembali, kota
menjadi salah satu tujuan dari masyarakat pedesaan untuk mengadu dan
mengubah nasib. Kondisi ini telah menyebabkan jumlah penduduk di kota besar
terutama di Jawa mengalami lonjakan yang cukup tajam.[17]
Penduduk Kota Surabaya Tahun 1945-1958
"Tahun "Eropa "Cina "Arab "Timur "Bumiputra "Jumlah "
" " " " "Asing " " "
"1945 "n.a. "n.a. "n.a. "n.a. "n.a. "618.369 "
"1946 "n.a. "n.a. "n.a. "n.a. "n.a. "171.715 "
"1951 "32.392 "109.551 "7.811 "2.660 "703.477 "855.891 "
"1955 "24.568 "110.336 "7.691 "2.584 "783.624 "928.803 "
"1956 "18.701 "114.649 "8.057 "2.136 "821.662 "960.126 "
"1957 "17.556 "118.285 "8.189 "2.137 "866.436 "1.012.617 "
"1958 "16.482 "120.096 "8.302 "2.281 "896.122 "1.043.283 "
Sumber:
"Kantor voor Bevolkingszaken Soerabaja, 23 Agustus 1946," dalam Procureur-
General bij het hooggerechtshof Nederlandsch-Indie 1945-1950. Koleksi
Nationaal Archief Den Haag No. Inventaris 1135;
Perdamaian, 4 Januari 1951; Perdamaian, 28 April 1955; Perdamaian, 7
Nopember 1956; Suara Rakjat, 26 Agustus 1957; Harian Umum, 21 Januari 1958
Sejak jaman kolonial sampai awal kemerdekaan, baik pemerintah kolonial
Belanda maupun pemerintah Indonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan
jumlah penduduk di perkotaan yang sangat cepat tersebut, baik yang bersifat
preventif dengan cara membatasi jumlah kelahiran dan mengurangi arus
migrasi, maupun dengan cara menaikan daya dukung kota. Padahal kenaikan
jumlah penduduk tersebut berakibat cukup fatal pada kondisi kesejahteraan
masyarakat terutama masyarakat kelas bawah. Kenaikan jumlah penduduk yang
tidak diikuti dengan daya dukung kota yang memadai akan memicu timbulnya
kemiskinan. H.F. Tillema seorang apoteker di kota Semarang pada awal abad
ke-20 amat tertegun ketika menyaksikan kota-kota di Indonesia ternyata
dihuni oleh sebagian besar penduduk pribumi yang amat miskin. Kemiskinan
mereka terlihat dengan jelas pada kondisi pemukiman-pemukiman pribumi di
berbagai kota di Indonesia, terutama di kota Surabaya dan Semarang.[18]
Beberapa kota besar di Indonesia harus menanggung beban yang lebih
berat akibat kenaikan penduduk terutama yang disebabkan oleh arus migrasi.
Hal ini disebabkan karena pada periode kolonial sampai awal kemerdekaan
ketika kota yang berkembang baru sedikit, arus migrasi hanya menuju ke
sedikit kota besar sehingga terjadi penumpukan orang-orang miskin di kota-
kota tersebut.[19] Penelitian demografis yang dilakukan di beberapa kota
seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan
Makassar setelah perang mengungkapkan keadaan yang bahkan lebih buruk
dibandingkan dengan kondisi di Jakarta (Batavia) pada tahun 1930-an.[20]
Kondisi ini terjadi karena kota-kota di Indonesia sebenarnya tidak pernah
dirancang untuk menampung lonjakan penduduk dalam jumlah yang demikian
tinggi. Pada awal abad ke-20 misalnya, para perancang kota bahkan merancang
dan mengangankan kota Batavia hanya untuk 900.000 orang.[21] Pada
kenyataannya apa yang diangankan oleh perancang kota tersebut tidak pernah
terwujud. Kota Batavia, yang kemudian berubah nama menjadi Jakarta, pada
perkembangannya menjadi kota yang mendapat tekanan jumlah penduduk paling
kuat. Pada tahun 1954 kota ini telah berpenduduk 1.800.000 orang, dan pada
tahun 1980 penduduk kota Jakarta telah melonjak menjadi 6.500.000
orang.[22] Bahkan saat ini, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
penduduk Jakarta sudah mencapai 9.604.329 orang.
Kecilnya jumlah penduduk yang diharapkan tinggal di kota-kota di Jawa
terkait erat dengan keterbatasan jumlah lahan yang bisa diakses sebagai
tempat tinggal yang layak. Akibatnya, ketika tekanan penduduk semakin
tinggi maka problem utama yang timbul di kota-kota besar di Jawa adalah
masalah pemukiman. Penduduk asli yang tidak mampu membangun pemukiman yang
layak maupun para pendatang yang tidak bisa ditampung dalam rumah-rumah
yang memadai, akhirnya harus rela tinggal di pemukiman-pemukiman miskin
(low cost housing) dengan bahan seadanya dan sebagian lagi bahkan harus
rela hidup tanpa pemukiman sama sekali (pavement dwellers). Kondisi ini
telah mengakibatkan tumbuhnya kantong-kantong kemiskinan di berbagai kota
di Indonesia yang nyaris tidak bisa diatasi sampai saat ini.
Hadirin yang saya muliakan,
Keberadaan pemukiman-pemukiman miskin di kota kemudian berkembang
menjadi salah satu simpul dari problem perkotaan yang lebih luas yang tidak
hanya mencakup permasalahan pemukiman itu sendiri tetapi juga mencakup
banyak dimensi yang menurut Hernando de Soto bersifat informal.[23] Hal itu
terjadi karena pemukiman miskin di perkotaan secara umum akan menciptakan
persebaran kemiskinan dalam bentuk-bentuk yang beraneka ragam seperti
sistem ekonomi perkotaan yang bersifat informal berskala kecil dalam bentuk
pedagang asongan, pemulung, tukang rombeng, pedagang kaki lima, tukang
sayur keliling, tukang minyak, tukang reparasi sepeda, dan sebagainya.
Pemukiman miskin juga menghasilkan sistem transportasi yang bersifat
informal seperti tukang becak, tukang ojek, taksi gelap, dan sebagainya.
Keberadaan sektor informal di kalangan masyarakat miskin perkotaan
disebabkan karena rendahnya ketrampilan yang dimiliki oleh para pendatang
serta jumlah mereka yang tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja
di kota.[24]
Munculnya berbagai dimensi yang bersifat informal di perkotaan
mengindikasikan bahwa sistem yang ada tidak dirancang untuk menerima para
pendatang dalam skala besar karena ruang kota memang terbatas. Terbatasnya
ruang kota membawa konsekuensi bahwa penggunaan ruang yang berlangsung
secara terus-menerus akan melibatkan ketegangan di antara sejumlah kelompok
kepentingan karena tingginya permintaan akan ruang baik oleh perorangan
maupun oleh kelompok tertentu. Oleh karena itu konflik yang menyangkut
penggunaan suatu lokasi tertentu dapat timbul dengan mudah. Freek
Colombijn, antropolog dari Vrije Universiteit Amsterdam, mengemukakan bahwa
persaingan untuk mendapatkan ruang di sini dianggap sebagai suatu
perlombaan dan hadiahnya adalah ruang tersebut. Tidak semua pemain atau tim
dalam perlombaan ini sama pentingnya, kelompok-kelompok yang paling
strategis adalah yang paling berpengaruh, sedangkan sebagian besar anggota
masyarakat yang lainnya harus menyesuaikan diri dengan keadaan supaya
mereka dapat menemukan ruang (niche) untuk mereka.[25]
Persaingan untuk mendapatkan ruang di kota biasanya melibatkan hampir
semua unsur yang menginginkan atau berkepentingan atas ruang tersebut.
Menurut Ramlan Surbakti, untuk kasus-kasus kontemporer, sebagian besar
perebutan ruang kota secara umum biasanya terjadi antara pemerintah kota
dengan masyarakat, yang polanya cukup beragam. Dalam kasus di Indonesia, ia
mengelompokan pola perebutan ruang kota menjadi delapan kategori umum,
yaitu:
1. Pemerintah kota dengan warga yang timbul karena perubahan peruntukan
tanah yang tidak transparan;
2. Pemerintah kota dengan perusahaan swasta akibat tindakan swasta
menyerobot tanah milik pemerintah kota;
3. Warga dengan investor;
4. Pemerintah kota dengan warga karena pembangunan fasilitas umum;
5. Pemerintah kota dengan legislatif karena pengalihan lahan tanpa
persetujuan kedua belah pihak;
6. Warga, investor, dan pemerintah kota (berdimensi segi tiga);
7. Warga dengan developer berkaitan dengan pembangunan fasilitas umum di
pemukiman;
8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi yang salah.[26]
Dalam konteks persaingan inilah kelompok masyarakat miskin di kota
juga harus ikut berkompetisi untuk mendapatkan ruang terutama untuk
memenuhi kebutuhan primer mereka, yaitu tempat bermukim dan mencari
penghidupan.
Salah satu kota di Indonesia yang menjadi ajang perebutan ruang yang
masif adalah kota Surabaya. Surabaya merupakan kota terbesar di Indonesia
pada akhir abad ke-19 yang menjadi pusat ekonomi yang paling dinamis,
karena memiliki kawasan hinterland yang subur, dan juga telah tumbuh
menjadi kota industri terkemuka di Indonesia. Sebagai kota yang tumbuh
dinamis dan sebagai kota industri, Surabaya sejak lama telah menjadi tujuan
utama kaum pendatang dari pedesaan di wilayah-wilayah sekitar.[27]
Akibatnya, baik mereka yang sudah lama menetap maupun para pendatang, di
kota Surabaya menghadapi permasalahan yang sama, yaitu tempat tinggal.
Penduduk yang telah lama menetap, terutama dari kelas bawah, tidak memiliki
sumber daya yang memadai untuk membangun pemukiman yang layak, baik dari
segi kesehatan maupun estetika. Rumah-rumah tampak seadanya, bahkan Von
Faber, dalam publikasinya yang terbit tahun 1936, menyebut rumah-rumah
tersebut hanya layak untuk kandang ternak.[28] Para pendatang yang lebih
belakangan, terutama dari kalangan Bumiputra, menghadapi masalah yang lebih
berat lagi. Mereka rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kemampuan
ekonomi rendah sehingga tidak mampu mengakses tempat tinggal yang layak.
Akibatnya, mereka harus rela tinggal di berbagai tempat dengan kondisi yang
menyedihkan, bahkan sebagian besar tinggal di tempat-tempat dengan status
ilegal, menggelandang atau menjadi jembel. [29]
Ingleson memberi gambaran bahwa di salah satu kampung di kota Surabaya
terdapat satu rumah yang dihuni oleh 23 pekerja pendatang Bumiputra,
padahal rumah tersebut hanya memiliki lebar 3 meter dan panjang 8 meter,
serta tinggi 1,7 meter. Rumah tersebut dibangun dari bambu dengan lantai
tanah yang amat kotor. Tempat tinggal itu dikelilingi oleh rumah-rumah
dengan kondisi serupa, baik yang ditempati oleh orang-orang yang sudah lama
menetap di kota itu, maupun para pendatang yang bersifat temporer. Sebuah
catatan perjalanan yang dibuat oleh salah seorang warga Semarang ketika
berkunjung ke kota Surabaya menyebutkan bahwa kota Surabaya merupakan kota
tercantik di Hindia Belanda, namun ia menyayangkan bahwa di banyak tempat
terdapat orang-orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal, yang hanya
membangun "rumah" manakala matahari tenggelam dan membongkarnya kembali
manakala matahari terbit. Mereka itulah orang-orang yang tidak beruntung
ketika mengadu nasib di kota besar.[30]
Penambahan pemukiman-pemukiman miskin di kota Surabaya diperkirakan
terjadi sejalan dengan kenaikan jumlah penduduk.[31] Secara teoretik,
penambahan pemukiman memiliki konsekuensi terhadap ruang perkotaan, karena
ruang perkotaan tidak akan pernah bisa bertambah sejalan dengan
karakteristik tanah yang tidak bisa tumbuh melebar. Akibatnya, terjadi
perebutan ruang yang terus-menerus antara berbagai pihak yang juga memiliki
kepentingan serupa terhadap tanah di perkotaan. [32] Pada hakekatnya
perebutan ruang di perkotaan adalah perebutan ruang untuk hidup. Beranjak
dari pemukiman-pemukiman miskin, perebutan ruang-ruang perkotaan biasanya
akan merambah pada ruang lebih luas. Uraian sebelumnya mengemukakan bahwa
pemukiman miskin akan menciptakan persebaran kemiskinan dalam berbagai
bentuk aktivitas yang berkaitan dengan sektor informal yang juga
membutuhkan ruang untuk kegiatan di sektor tersebut. Pengasong, pedagang
kaki lima, tukang reparasi, tukang becak, tukang ojek semuanya membutuhkan
ruang untuk aktivitas mereka.
Upaya orang-orang miskin di kota Surabaya untuk membangun tempat
tinggal yang layak terkendala dengan ketidakmampuan mereka untuk
mendapatkan ruang yang memadai dan legal, serta ketidakmampuan mereka untuk
membangun tempat yang akan mereka huni dengan bahan-bahan yang memenuhi
syarat.[33] Oleh karena itu, jika di sudut-sudut kota Surabaya ditemukan
area pemukiman yang terbuat dari bahan apa adanya dan berdiri di tempat-
tempat yang tidak lazim, maka hal tersebut merupakan konsekuensi dari
ketidakmampuan orang miskin di kota tersebut untuk membangun tempat tinggal
secara normal.
Kawasan semacam itu belum tentu merupakan hasil akhir dari sebuah
jalan panjang rakyat miskin di kota Surabaya dalam memperjuangkan tempat
hidup mereka, karena pemukiman-pemukiman miskin non-permanen selalu
bersifat sementara dan rentan terhadap pengusiran oleh kekuatan lain. Hal
itu menjadi gambaran paling umum di kota Surabaya, dimana rakyat miskin di
kota tersebut sering berada dalam bayang-bayang perebutan ruang dari waktu
ke waktu baik antar pendatang dengan penduduk setempat, antara pendatang
dengan pendatang, antara rakyat miskin dengan institusi negara, serta
antara rakyat miskin dengan kelompok-kelompok lain.
Kasus-kasus Kontemporer dan Masa Depan Ruang Perkotaan
Setelah saya meninjau kasus-kasus perebutan ruang perkotaan di masa
lampau, marilah kita meninjau perebutan ruang kota pada periode
kontemporer. Perebutan ruang kota pada periode kontemporer atau pada
periode masa kini tidak kalah sengitnya dengan yang telah terjadi pada masa
lalu. Beberapa tahun yang lalu bahkan Universitas Airlangga juga terlibat
dalam aksi-aksi perebutan ruang perkotaan yang melibatkan para pedagang
kaki lima. Pada awal tahun 2000-an di sepanjang trotoar Jalan Airlangga (di
depan kantor rektorat lama di kampus B) bercokol puluhan pedagang makanan
yang menggelar dagangannya di kawasan tersebut. Beberapa kali keberadaan
pedagang tersebut diusir, beberapa kali pula mereka kembali berjualan di
tempat tersebut. Pihak Universitas Airlangga kemudian memagar kawasan di
sepanjang trotoar, namun di beberapa tempat pagarnya malah dijebol dan
pedagang kembali lagi ke tempat tersebut. Pihak Universitas Airlangga
kemudian berinisiatif memasang plang bertuliskan "Di larang berjualan di
depan kantor." Beruntung para pedagang tidak membalas dengan memasang
tulisan "Di larang berkantor di belakang orang jualan." Dengan pendekatan
persuasif para pedagang di sepanjang trotoar Jalan Airlangga akhirnya dapat
dipindahkan, walaupun saat ini ada tanda-tanda mereka datang lagi.
Di Jakarta, beberapa waktu yang lalu dua orang janda mantan istri
pejuang dan pensiunan pegawai PT Pos Indonesia harus duduk di meja
pesakitan karena dituduh menempati secara tidak sah rumah dinas mereka,
padahal lembaga tempat suaminya pernah bekerja membutuhkan tanah tempat
berdirinya rumah tersebut untuk pengembangan kantor. Di Surabaya, beberapa
waktu yang lalu pula, ratusan penghuni stren kali di Jagir Wonokromo sisi
selatan digusur secara paksa oleh Satuan Polisi Pamongpraja Kota Surabaya
karena dianggap menempati lahan yang bukan lahan hunian secara tidak sah.
Kasus-kasus serupa maupun yang mirip juga muncul di berbagai kota besar di
Indonesia.
Kasus di trotoar di sepanjang Jalan Airlangga yang melibatkan pihak
Universitas Airlangga dengan pedagang kaki lima menunjukkan bahwa trotoar
tersebut merupakan sepenggal ruang kota yang diperebutkan. Kasus serupa
terjadi di banyak tempat baik di Kota Surabaya maupun di kota-kota lain.
Penggusuran pemukiman kawasan Danau Sunter dan Danau Rio-Rio di Jakarta
maupun tarik ulur antara Gubernur Jakarta, Joko Widodo, dengan para
pedagang kaki lima yang berjualan di jalan-jalan di kawasan Pasar Tanah
Abang menunjukkan bahwa betapa mahalnya harga ruang di perkotaan, sehingga
ruang-ruang perkotaan akan senantiasa berada dalam ketegangan karena
diperebutkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan atas ruang tersebut.
Eksekusi sebuah lahan di Kota Makassar pada tanggal 21 Oktober 2013 juga
berakhir ricuh karena ratusan warga yang telah puluhan tahun mendiami lahan
tersebut menolak eksekusi. Mereka melawan proses eksekusi dengan cara
melempari petugas dengan bom molotov dan panah.[34] Di Batam, sengketa
perkampungan padat di kawasan Kampung Tua, Tanjung Uma malah berkembang
menjadi konflik dengan kekerasan dan mengarah pada isu bentrok antar suku
yang mengkhawatirkan.[35] Jika trend kenaikan penduduk di perkotaan terus
terjadi, dan tidak ada solusi untuk mengatasinya terkait dengan
aksesibilitas ruang kota oleh semua penduduk secara merata, maka kasus-
kasus serupa akan terus terjadi.
Mengapa hal tersebut terjadi? Prins dan Nas dalam artikelnya yang
berjudul "The Struggle for The Third World City" mengemukakan bahwa semua
kegiatan manusia harus menggunakan ruang. Hubungan-hubungan sosial dibangun
di atas landasan struktur ruang (spatial structure), dan hubungan-hubungan
ini, demikian juga struktur ruang, selalu dilanda ketegangan.[36] Pemikiran
tersebut menjadi landasan dasar dalam menganalisis penggunaan ruang-ruang
perkotaan. Semakin banyak individu atau kelompok ingin mengakses ruang yang
sama, maka semakin tinggi ketegangan yang melanda kawasan ruang tersebut.
Jika kota diasumsikan sebagai ruang yang paling banyak diminati oleh
manusia maka ketegangan di kota jauh lebih besar dan lebih intensif jika
dibandingkan dengan tempat lain.[37]
McKenzi mengistilahkan proses perebutan ruang kota sebagai invasi atas
ruang. Menurutnya proses invasi dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu initial
stage (tahap permulaan), secondary stage (tahap lanjutan), dan climax stage
(tahap klimaks). Proses permulaan invasi ditandai adanya gejala ekspansi
geografis dari satu grup sosial dan kemudian menemui tantangan dari
penduduk yang ada pada daerah yang terkena ekspansi. Pada tahapan lanjutan
persaingan semakin seru yang kemudian diikuti proses displacement
(perpindahan), selection (seleksi), dan assimilation (asimilasi).
Intensitas proses displacement, selection, assimilation sangat ditentukan
oleh sifat yang mengekspansi maupun yang diekspansi. Kelompok-kelompok yang
terpaksa kalah bersaing akan menempati/mengadakan ekspansi ke wilayah lain
yang lebih lemah dan kemudian akan diikuti oleh suksesi baru. Pada saat
terakhir tersebut akan tercapai tahapan klimaks.[38] Tahapan klimaks dapat
dicapai setelah tercapai equilibrium (keseimbangan) antar kelompok-kelompok
yang saling bersaing untuk mendapatkan ruang tersebut. Equilibrium dapat
tercapai ketika semua kelompok sudah mendapatkan bagiannya masing-masing
dari ruang yang diperebutkan tersebut, walaupun hal tersebut sangat sulit
terwujud.
Hadirin yang sangat saya muliakan,
Pada masa-masa mendatang konflik-konflik terkait perebutan ruang
perkotaan pasti akan mengalami peningkatan. Hal tersebut terkait erat
dengan, pertama, jumlah penduduk kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan tajam. Kenaikan penduduk ini selain dipicu oleh
kenaikan penduduk alamiah (natalitas berbanding mortalitas) juga karena
tekanan urbanisasi. Setiap hari peristiwa kelahiran terus-menerus terjadi
di perkotaan. Rumah sakit bersalin dan dokter kandungan laris-manis di
berbagai kota di Indonesia. Pada saat yang sama jumlah orang-orang desa
yang ingin mengadu nasib di kota-kota besar juga terus mengalami
peningkatan. Arus urbanisasi mengalami peningkatan drastis biasanya pasca
Hari Raya Idul Fitri. Ketika kaum urban kembali ke kota, tidak jarang
mereka membawa sanak keluarga dengan harapan mereka dapat bekerja di kota
untuk memperbaiki nasib.
Kota-kota besar mengalami lonjakan penduduk yang luar biasa. Kota
Jakarta yang pada tahun 2000 berpenduduk 8.347.083 orang, sepuluh tahun
kemudian (2010) melonjak menjadi 9.604.329 orang. Bahkan pada siang hari
bisa melonjak sampai 12-13 juta orang, karena ditambah jumlah penduduk
ulang-alik yang bertempat tinggal di kawasan seputar Jakarta (hinterland)
namun mencari penghidupan di Kota Jakarta. Kota Surabaya yang pada tahun
2000 berjumlah 2.444.976 orang saat ini (2013) melonjak menjadi 3.186.595
orang. Dan jika siang hari melonjak sampai 5 juta orang karena masuknya
orang-orang dari daerah sekitar ke Kota Surabaya untuk mencari sesuap nasi.
Kita bisa saksikan dan bisa rasakan bahwa kota kita semakin penuh sesak. Di
banyak ruas jalan, trotoar diakuisisi untuk berjualan oleh para pedagang
yang ingin mengais rezeki dari kota.
Kenaikan jumlah penduduk di dua kota terbesar di Indonesia yang
drastis tersebut (dan di kota-kota besar lainnya) tentu saja membawa dampak
yang serius bagi ruang kota, karena setiap pertambahan penduduk pasti
memerlukan penambahan ruang untuk hidup mereka. Padahal, ruang tidak pernah
bisa ditambah secara drastis karena bumi tidak pernah bisa memperluas
dirinya. Konsekuensi lebih lanjut dari kondisi tersebut adalah, jatah
setiap orang akan ruang kota akan semakin mengecil. Jika dulu ketika
penduduk kota masih jarang jalanan di kota tampak lengang, sehingga masing-
masing pengguna jalan memperoleh ruang yang cukup longgar, maka saat ini
jalanan menjadi begitu padat dan jatah orang akan ruang jalan menjadi
menyempit. Lahan-lahan parkir menyempit yang memaksa pemerintah kota
memberlakukan kebijakan ekstrem, misalnya dengan menggembosi roda kendaraan
bermotor yang parkir sembarangan. Kita bisa saksikan dan bisa rasakan juga
di kampus kita tercinta, terutama di Kampus B. Penambahan jumlah mahasiswa
yang cukup tinggi telah berakibat penuhnya lahan-lahan parkir di kawasan
tersebut. Jika siang hari mencari tempat untuk parkir terasa susah,
sehingga kita harus berebut dengan pengguna parkir lainnya.
Persaingan untuk memperebutkan ruang kota akan semakin ketat dan
semakin keras yang ditandai dengan konflik-konflik yang tajam antar orang-
orang yang berkepentingan terhadap ruang kota. Di Jakarta, untuk
mempertahankan tanah yang dimiliki agar tidak diserobot orang lain, maka
disewalah preman untuk menjaganya. Kondisi tersebut tidak jarang mendorong
terjadinya "perang antar preman" pembeking tanah milik orang kaya. Untuk
mengurangi benturan antar kelompok dan individu yang berkepentingan
terhadap ruang kota, maka perlu ada pembagian ruang kota yang berkeadilan
dan tentu saja harus ada regulasi yang memadai yang mengatur ruang kota.
Hadirin yang saya hormati,
Apakah perebutan ruang kota dapat diakhiri? Sebagaimana telah saya
utarakan pada bagian sebelumnya bahwa ketegangan-ketegangan akibat
perebutan ruang kota akan berakhir jika sudah mencapai tahap klimaks.
Tahapan klimaks dapat dicapai setelah tercapai equilibrium (keseimbangan)
antar kelompok-kelompok yang saling bersaing untuk mendapatkan ruang
tersebut. Equilibrium dapat tercapai ketika semua kelompok sudah
mendapatkan bagiannya masing-masing dari ruang yang diperebutkan tersebut,
walaupun hal tersebut sangat sulit terwujud. Pertanyaannya adalah,
mungkinkah semua kelompok akan memperoleh ruang yang cukup dan layak di
perkotaan? Pada kenyataannya jumlah penduduk kota terus dan terus bertambah
tanpa bisa dikendalikan sama sekali, apalagi dihentikan. Kondisi ini tentu
saja menjadi amat mustahil untuk menjadikan kota berada pada posisi
equilibrium dalam hal keruangan. Namun demikian langkah ke arah tersebut
harus terus diupayakan.
Beberapa pemimpin kota di Indonesia saat ini sedang berupaya
menyeimbangkan ruang kota dengan cara mereka masing-masing. Hal tersebut
didasari pemikiran bahwa kota adalah ruang publik, sehingga siapapun
memiliki hak untuk mengakses ruang tersebut.[39] Di Kota Jakarta upaya
untuk memindahkan orang-orang yang menempati ruang publik secara tidak sah
terus dilakukan. Hal ini merupakan salah satu upaya agar ruang kota bisa
terbagi secara proporsional sesuai dengan peruntukannya. Hal yang sama juga
sedang dilakukan oleh Walikota Surabaya dalam menata kota Surabaya.
Tamanisasi yang indah, rencana pemindahan lokalisasi Dolly dan pembangunan
jalan-jalan baru merupakan upaya serius agar kota bisa dinikmati oleh semua
golongan dengan nyaman.
Jika yang dilakukan oleh pemangku Kota Jakarta dan Kota Surabaya
diikuti oleh para pemangku kota-kota lain, niscaya kota-kota di Indonesia
akan berkembang menjadi kota yang manusiawi karena ruang kota terbagi
secara proporsional. Orang kaya dan orang miskin bisa menikmati ruang kota
secara adil tanpa perkecualian. Namun upaya pembagian ruang kota secara
proporsional hendaknya diikuti dengan dijalankannya peraturan perundangan
tentang pemanfaatan ruang kota secara ketat. Jika tidak, niscaya gejala
perebutan ruang kota secara masif akan terus terjadi yang tentu saja
berdampak terhadap kurang nyamannya kehidupan di perkotaan.
Demikianlah sedikit pemikiran dari saya, semoga yang sedikit ini
bermanfaat secara akademis, terutama dalam bidang sejarah perkotaan,
sosiologi perkotaan, maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Dan saya juga
berharap, semoga sedikit pemikiran ini juga bermanfaat secara pragmatis,
terutama sebagai landasan pembangunan kota-kota di Indonesia mendatang.
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada hadirin sekalian, yang
dengan penuh kesabaran telah mendengarkan orasi saya.
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.
Daftar Pustaka
Abdulgani, Roeslan. 1964. Api Revolusi di Surabaja. Surabaja: Ksatrya
Abeyasekere, Susan. 1987. Jakarta: A History. Singapore: Oxford University
Press
Achdian, Andi. 2009. Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa
Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: Kekal Press
Akhudiat. 2008. Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik.
Surabaya: Henk Publica
Alisjahbana. 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota: Resistensi Sektor
Informal dalam Perspektif Sosiologis. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo
Basundoro, Purnawan. 2011. "Status Sosial-Ekonomi sebagai Basis Pembagian
Ruang Kota." dalam Budi Mulyono (ed.). Ruang Kota. Yogyakarta:
Ekspresi Buku
Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak, 2012
Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota
Surabaya 1900-1960an. Jakarta: Marjin Kiri
Brand, W. 1969. "Some Statistical Data on Indonesia." dalam Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125
Colombijn, Freek. 2006. Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di
Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota. Yogyakarta: Ombak
De Haas, J.H. 1939. "Sterfte naar leeftijdsgroepen in Batavia in het
bijzonder op den konderleeftijd," dalam Geneeskundig Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, Vol. VI
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel.1931. Volkstelling 1930,
Java en Madoera. Batavia Centrum: Landsdrukkerij
De Soto, Hernando.1991. Masih ada Jalan Lain: Revolusi tersembunyi di
Negara Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Dickenson, J.P. et al.1986. A Geography of the Third World. New York:
Methuen & Co.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1989
Giap, The Siauw. 1959. "Urbanisatieproblemen in Indonesia", dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 115
Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Tiara Wacana
Haryono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta: Bumi Aksara
Hassan, A. 2001. Tarjamah Bulughul Maraam Berikut Keterangan dan
Penjelasannya. Bangil: Pustaka Tamam
Heeren, H.J. 1955. "The Urbanisation of Djakarta." dalam Ekonomi dan
Keuangan Indonesia, Vol. VIII
Heuken, Adolf dan Grace Pamungkas. 2001. Menteng: Kota Taman Pertama di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka
Hugo, Graeme J. 1980. "Population Movements in Indonesia during the
Colonial Period," dalam J.J. Fox et al. (ed.), Indonesia: Australian
Perspectives, (Canbera: Research School of Pasific Studies, ANU
Ingleson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat
Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu
Jellinek, Lea. 1994. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung
di Jakarta. Jakarta: LP3ES
Jones, Gavin. 1986. "Demografi dalam Kemiskinan di Kota." dalam Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti (peny.), Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Kementrian Penerangan. 1952. Djawa Timur. Djakarta: Kementrian Penerangan
Kerchman, F.W.M. 1930. 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-
1950. Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen
Koesmen, Sjamsu dan Pangestu B.W. 1957. Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja.
Surabaya: Djawatan Penerangan Kota Besar Surabaja
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan.
Jakarta: Gramedia
Madanipour, Ali. 1996. Design of Urban Space: An Inquiry into a Social-
Spatial Process. New York: John Wiley & Son
McAuslan, Patrick. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata.
Jakarta: Gramedia
McKenzie, R.D. 1967. "The Ecological Approach to the Study of the Human
Community." dalam R.E. Park, E.W, Burges, dan R.D. Mckenzie. The City.
Chicago: University of Chicago Press
Prins, Wil J.M. and Peter J.M. Nas. 1983. "The Struggle for The Third World
City" dalam G. Ansari and P.J.M. Nas (ed.). Town-Talk: The Dynamics of
Urban Antropology. Leiden: Brill
Sarjita. 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka
"Sengketa Lahan: Warga Bentrok di Kampar dan Makassar," Kompas, 22 Oktober
2013.
"Sengketa Lahan: Warga Kampung Tua Akan Aksi Damai," Kompas, 23 Oktober
2013.
Si Tjerdik Jr. 1931. Melantjong ka Soerabaia. Semarang: Boekhandel
Kamadjoean
Soemitro, R. 1950. "Zuigelingensterfte te Makassar," Vol. III,
Soetanto, Himawan. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor versus
Jenderal Sudirman. Jakarta: Gramedia
Surbakti, Ramlan. 1996. "Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya,"
PRISMA No. 9
Taylor, Jean Gelman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia. Jakarta: Masup
Jakarta
Tillema, H.F.1915-1923. Kromoblanda: Over 't Vraagstuk van "het Wonen" in
Kromo's Grote Land, 6 Jilid. 's-Gravenhage: uden Masman, De Atlas dan
Adi Poestaka
Von Faber, G.H. 1936. Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie's
voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling
1906-1931. Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij
Wertheim,W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan
Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
RIWAYAT HIDUP
"Data Pribadi "
"Nama ":"Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum. "
"NIP ":"197105271999031001 "
"Tempat/Tanggal ":"Banjarnegara, 27 Mei 1971 "
"lahir " " "
"Agama ":"Islam "
"Pekerjaan ":"Dosen Departemen Ilmu Sejarah, "
" " "Fakultas Ilmu Budaya, Universitas "
" " "Airlangga "
"Pangkat/Golongan ":"Pembina Tingkat I / IV A "
"Jabatan ":"Lektor Kepala "
"Alamat Rumah ":"Surya Asri 2 Blok F 1 No. 2, Sidoarjo"
"Alamat Pekerjaan ":"Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas "
" " "Ilmu Budaya, Jl. Dharmawangsa Dalam "
" " "Selatan Surabaya "
" "
"Riwayat Pendidikan "
"1. Pendidikan Dasar dan Menengah "
"Tahun 1984 ":"Tamat Sekolah Dasar Negeri 3 Karangsari, "
" " "Punggelan "
"Tahun 1987 ":"Tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, "
" " "Punggelan, Banjarnegara "
"Tahun 1990 ":"Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 1, "
" " "Banjarnegara "
" "
"2. Pendidikan Tinggi "
"Tahun 1996 ":"Lulus Sarjana Sastra (Jurusan Sejarah), "
" " "Fakultas Satra, Universitas Gadjah Mada "
"Tahun 1999 ":"Lulus Pascasarjana S2 Program Studi "
" " "Sejarah, Universitas Gadjah Mada "
"Tahun 2011 ":"Lulus Pascasarjana S3 Program Studi "
" " "Sejarah, Universitas Gadjah Mada (Cum "
" " "Laude) "
" "
"3. Pendidikan Tambahan "
"Tahun 2000 ":"Mengikuti Pelatihan Metode Belajar "
" " "Mengajar (Applied Approach Method), "
" " "Universitas Airlangga "
"Tahun 2004 ":"Workshop on Street Image Universitas "
" " "Gadjah Mada-Universitas Leiden "
"Tahun ":"Sandwich-Like Program, Vrije University "
"209-2010 " "Amsterdam, Belanda "
" " " "
" "
" "
"Riwayat Jabatan "
"Tahun 2003-2005 ":"Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah, "
" " "Fakultas Ilmu Budaya "
"Tahun 2005-2007 ":"Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas "
" " "ilmu Budaya "
"Tahun ":"Ketua Unit Penelitian, Penerbitan, "
"2012-sekarang " "dan Dokumentasi (UP2D) Fakultas Ilmu "
" " "Budaya "
"Sejak Tahun 2013 ":"Ketua Departemen Ilmu Sejarah, "
" " "Fakultas Ilmu Budaya "
"Sejak Tahun 2013 ":"Anggota Tim Pendamping Kemahasiswaan "
" " "Universitas (TPKU) "
" "
"Pekerjaan Lain "
"Tahun ":"Tim Penilai Buku Teks dan Non-teks "
"2004-sekarang " "Pelajaran Sejarah, Pusat Kurikulum "
" " "dan Perbukuan, Balitbang Kementrian "
" " "Pendidikan dan Kebudayaan "
"Sejak Tahun 2013 ":"Tim Pengembang Penilaian Buku Teks "
" " "Pelajaran Sejarah, Pusat Kurikulum "
" " "dan Perbukuan, Balitbang Kementrian "
" " "Pendidikan dan Kebudayaan "
" "
" "
"Kegiatan Pendidikan dan Pengajaran "
"Tahun ":"Dosen Tetap pada Departemen Ilmu "
"1999-sekarang " "SejarahFakultas Ilmu "
" " "BudayaUniversitas Airlangga "
" "
" "
"Kegiatan Pengelolaan Majalah Ilmiah "
"Tahun ":"Pemimpin Redaksi Jurnal Mozaik, "
"2012-sekarang " "Fakultas Ilmu Budaya Universitas "
" " "Airlangga "
"Tahun ":"Mitra Bestari Jurnal Humaniora, "
"2011-sekarang " "Fakultas Ilmu Budaya Universitas "
" " "Gadjah Mada "
"Tahun ":"Mitra Bestari Jurnal Paramita, "
"2012-sekarang " "Jurusan Pendidikan Sejarah, "
" " "Universitas Negeri Semarang "
" "
"Kegiatan Lainnya "
"Tahun ":"Peneliti tidak tetap pada Lembaga "
"2000-sekarang " "Studi Pengembangan Etika Usaha "
" " "Indonesia (LSPEU Indonesia) Jakarta "
Karya Ilmiah
Buku:
Purnawan Basundoro dan Sutekad Mujiraharjo, Mengawal Lembah Serayu: Polres
dan Kapolres Banjarnegara sampai Tahun 2007, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007)
Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Kolonial
sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009)
Purnawan Basundoro, Imam Akhmad, dan Kholid Novianto, Melayani Rakyat
Menjaga Negara: Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi PT Pos Indonesia
(Persero), (Jakarta: PT Pos Indonesia dan LSPEU Indonesia, 2011)
Purnawan Basundoro, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012)
Purnawan Basundoro, Sejarah Pemerintah Kota Surabaya Sejak Masa Kolonial
sampai Masa Reformasi (1906-2012), (Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah Unair
dan Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, 2012)
Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya
1900-1960an, (Jakarta: Marjin Kiri, 2013)
Jurnal, Editor, dan Kontributor Buku:
1. " Pengaruh Modernisasi Transportasi terhadap Pola Perkembangan Kota-kota
di Karesidenan Banyumas," Jurnal Penelitian Dinamika Sosial, Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga, Vol. 2 No. 2, 2001
2. "Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Respon Masyarakat: Studi Kasus
Kota Gresik," Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, Vol. XIII, No. 2, 2001
3. "Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Perubahan Sosial Masyarakat
Kota Gresik," Jurnal Studi Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas
Terbuka, Vol. 12, No. 2, September 2002.
4. "Reaksi terhadap Kedatangan Sekutu: Pemogokan Etnis Tionghoa di Surabaya
Tahun 1946," Jurnal Mozaik, Komunitas Kajian Kebudayaan dan Masyarakat
Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Vol.1, No.1, Januari 2003.
5. "Problem Pemukiman Pascarevolusi Kemedekaan: Studi tentang Pemukiman
Liar di Kota Surabaya 1945-1960," Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Volume 16, Nomor 3, Oktober 2004.
6. "Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri: Pancaroba Usaha Pertambangan Minyak
di Indonesia 1945-1960," LEMBARAN SEJARAH, Jurusan Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Vol.7, No.1, 2004
7. "Problem Pemukiman Pasca Revolusi Kemerdekaan: Studi tentang Pemukiman
Liar di Kota Surabaya 1945-1960" dalam Freek Colombijn, Martine Barwegen,
Purnawan Basundoro, Johny Alfian Khusairi (ed.), Kota Lama Kota Baru:
Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Yogyakarta: Ombak dan Jurusan Ilmu
Sejarah Universitas Airlangga, 2005
8. Editor Buku, Sejarah Ekonomi Kota Surabaya, Surabaya: Intelektual, 2005
9. Editor Buku, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia,
Yogyakarta: Ombak dan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, 2005
(Bersama Freek Colombijn, Martine Barwegen, Johny Alfian Khusairi)
10. "Kereta Api Lembah Serayu pada Masa Kolonial," dalam Purnawan
Basundoro dkk, Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007)
11. Editor Buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007)
12. "Menggagas Historiografi (Indonesia) yang Demokratis," MOZAIK Jurnal
Ilmu-Ilmu Humaniora, Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2007
13. "Ekonomi Kota Malang pada Awal Kemerdekaan sampai Tahun 1950-an,"
Jurnal Kependidikan dan Kebudayaan, Jilid 25, No. 1, April 2007
14. "Gerakan Protes Rakyat Miskin di Kota Surabaya pada Awal Abad Ke-20,"
dalam M. Nursam dkk (ed.), Sejarah yang Memihak: Mengenang Sartono
Kartodirdjo, (Yogyakarta: OMBAK, 2008)
15. "Dinamika Pengangkutan di Banyumas pada Era Modernisasi Transportasi
pada Awal Abad ke-20," Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada, Volume 20, Nomor 1, Februari 2008.
16. "Pemanfaatan Sungai Serayu pada Abad ke-19," DIAKRONIK Jurnal Pemikiran
dan Penelitian Sejarah Vol. 3 No. 1, Januari 2008, Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta
17. "Antara Eupseong Hanyang (Seoul) Dengan Beteng Keraton Yogyakarta:
Sebuah Perbandingan Historis" Korean Studies in Indonesia, Vol. 1 No. 1,
2009
18. "Dari Listrik Kolonial ke Listrik Nasional: Studi Awal tentang NV.
ANIEM Surabaya," INDIKATOR Vol. IX No. 1, Maret 2009, Universitas Flores,
NTT
19. "Memerahkan Kota Pahlawan: Pergulatan Partai Komunis Indonesia di Kota
Surabaya 1955-1965," dalam Sri Margana dan M. Nursam (ed.), Kota-kota di
Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak,
2010)
20. "Penduduk dan Hubungan antar Etnis di Kota Surabaya pada Masa
Kolonial," INDIKATOR Vol. XII No. 2, September 2010, Universitas Flores,
NTT
21. "Dari Kampung Desa ke Kampung Kota: Perubahan Ekologi Kota Surabaya
dalam Perspektif Permukiman pada Masa Kolonial," Jantra Vol. V, No. 10,
Desember 2010
22. "Status Sosial-Ekonomi Warga sebagai Basis Pembagian Ruang Kota,"
Epilog dalam Anna Nurlaila Kurniasari dkk, Ruang Kota, (Yogyakarta:
Ekspresi Buku, 2011)
23. "Kisah Hidup Mantan Tahanan Politik Pulau Buru di Pedesaan Kabupaten
Banjarnegara Tahun 1979-2004," dalam Agus Suwignyo, Abdul Wahid, Widya
Fitria Ningsih (ed.), Sejarah Sosial (di) Indonesia: Perkembangan dan
Kekuatan, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2011)
24. "Situs Industri Kota Surabaya: Warisan dari Masa Kolonial sampai Awal
Kemerdekaan," dalam Sri Margana dan Heri Priyatmoko, Kolonialisme.
Kebudayaan, dan Warisan Sejarah, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2011)
25. "Antara Baju Loreng dan Baju Rombeng: Kontrol Tentara terhadap Rakyat
Miskin di Kota Surabaya Tahun 1950-an," MASYARAKAT, KEBUDAYAAN DAN
POLITIK, Vol. 24, Nomor 4, Oktober-Desember 2011, FISIP Universitas
Airlangga
26. "A.R. Baswedan: dari Ampel ke Indonesia," LAKON Vol. 1 No. 1, Juli
2012, Magister Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga
27. Editor Buku Potret Tatanan: Ruang Publik, Ekopolitik, dan Budaya Jawa
Timur, (Surabaya: UK2JT FIB Unair dan Elmatera, 2012)
28. "Penguasaan Tanah di Kota Surabaya sejak Masa Kolonial sampai Awal
Kemerdekaan," dalam Purnawan Basundoro dan Johny a. Khusyairi (ed.),
Potret Tatanan: Ruang Publik, Ekopolitik, dan Budaya Jawa Timur,
(Surabaya: UK2JT FIB Unair dan Elmatera, 2012)
29. "Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya Tahun 1900-1960-
an." MASYARAKAT INDONESIA MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL Vo. 38, No. 2,
Desember 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta
30. "Prolog: Mengintip Dinamika Keseharian Masyarakat Surabaya," dalam Arya
W. Wirayuda dan Bachtiar Ridho E (ed.), Mengeja Keseharian: Sejarah
Kehidupan Masyarakat Kota Surabaya, (Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah
Universitas Airlangga, 2013)
Artikel di Surat Kabar dan Majalah:
1. "Analisis tentang Kerusuhan Sosial," Yogya Post, 24-25 Oktober 1997
2. "Menanggapi Mundurnya Amien Rais ICMI," Yogya Post, 12 Februari 1998
3. "Radikalisme Masa Pinggiran," Jawa Pos, 8 November 1999
4. "Menjadikan Guru sebagai Peneliti," Kompas Jatim, 19 September 2004
5. "Valentine's Day dan Ancaman Seks Bebas," Jawa Pos Metropolis, 13
Februari 2006
6. "Menjelang Lapindo Lempar Handuk," Jawa Pos Metropolis, 24 Agustus 2006
7. "Laundry," Kompas Yogya, 3 Oktober 2007
8. "Strategi Menghidupkan Museum," Kompas Yogya, 4 Maret 2008
9. "Tan Malaka: Spesialis Bawah Tanah," Intisari, Mei 2009
10. "Bung Hatta: Proklamator Sederhana Nyaris Jadi Ulama," Intisari, Juli
2009
11. "Kemerdekaan: Semangat Perubahan untuk Indonesia yang Lebih Baik,"
Gapura, Vol. XLIV, No. 54, September 2011
12. "Sumbangsih PUSURA (Putra Surabaya) Bagi Perjuangan Bangsa Indonesia,"
Pusar, No. 1 Vol. 1 Tahun 2011
13. "Banjarnegara dari Waktu ke Waktu," Derap Serayu, Edisi Khusus hari
Jadi Ke-181 Kabupaten Banjarnegara, 2012
14. "Madhege Kabupaten Banjarnegara," Ancas, Februari 2013
Karya Ilmiah Lain dan Penelitian Terakhir:
1. "Pembangunan Kota dan Perebutan Ruang: Studi tentang Pemukiman Liar di
Kota Surabaya 1930-1960." Penelitian Bersama dengan Freek Colombijn dari
KITLV, Leiden Belanda, 2003. Dipresentasikan dalam forum "The First
International Conference on Urban History," Surabaya 23-25 Agustus, 2004.
2. "Perempuan dan Parlemen: Kajian Tentang Posisi Dan Peran Perempuan
Dalam Politik Lokal Jawa Timur." Dibiayai oleh DP3M Dirjen Dikti ,
Departemen Pendidikan Nasional, 2004
3. "Menghadirkan Imajinasi (Rakyat) dalam Ruang Publik: Makna Simbolik Alun-
alun Kota Malang 1930-1960." Dibiayai oleh NIOD, Belanda, 2004-2005
4. "Nasionalisasi dengan Jalan Damai: Indonesianisasi Usaha Pertambangan
Minyak di Indonesia." Dipresentasikan pada "Workshop on the Economic
Side of Decolonization," Yogyakarta, 18-19 Agustus 2004
5. "Kehidupan Mantan Tahanan Politik G 30 S/PKI Di Pedesaan Kabupaten
Banjarnegara Pada Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi (1979-2002)."
Dibiayai oleh DP3M Dirjen Dikti , Departemen Pendidikan Nasional, 2005
6. "Kajian Strategi Dan Kemungkinan Implementasi Pengamanan Swakarsa
(Pamswakarsa) Dalam Menangkal Aksi Terorisme Di Propinsi Jawa Timur."
Penelitian Kerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat (Kesbanglinmas) Propinsi Jawa Timur, 2006
7. "From State Alun-Alun To Public Place: Seizing For Two Alun-Aluns In
Malang City 1930 – 1960" dipresentasikan pada The conference on The
Decolonisation of the Indonesian city (1930-1960) in (Asian and African)
Comparative Perspective, Leiden 27-28 April 2006
8. "Kebijakan Pemerintah Terhadap Kinerja Pemerintahan Desa Di Jawa
Timur." Penelitian Kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Propinsi Jawa Timur, 2006
9. "Perencanaan Penanganan Urbanist di Jawa Timur." Penelitian Kerjasama
dengan Dinas Kependudukan Propinsi Jawa Timur, 2006-2007
10. "Sejarah Wakaf di Kota Surabaya dalam Dimensi Sosial-Ekonomi."
Penelitian Kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007
11. "Antara Mitos dan Realitas Masa lalu di Sepanjang Sungai Brantas."
Penelitian untuk Penulisan Perubahan Lingkungan DAS Brantas dalam
Perspektif Sejarah, dengan Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat
Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
Jakarta 2007
12. "Dari Listrik Kolonial Ke Listrik Nasional: Studi Awal Tentang NV.
Aniem Surabaya". Makalah dipresentasikan pada Para-konferensi "Ekonomi,
Identitas Kultural dan Demokrasi Politik di Indonesia, 1945-1960an".
Yogyakarta, 11 Agustus 2008.
13. "Pilar Simbolik Penopang Kekuasaan Suharto". Makalah untuk diskusi buku
karya Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar
Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Syarikat,
2008), yang diselanggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Airlangga, Surabaya, 6 Nopember 2008
14. "Tan Malaka, Persatoean Perdjoeangan, dan Historiografi Indonesia
Kontemporer." Makalah untuk diskusi buku karya Harry A. Poeze, Tan
Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia dan KITLV Jakarta, 2008), yang diselengggarakan oleh
Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya,
18 Nopember 2008
15. "Ibnu Sutowo: Bidan Perusahaan Minyak Nasional," Makalah untuk Diskusi
Buku karya Ramadhan KH, Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita, (Jakarta:
National Press Club, 2008), diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga bekerja sama dengan National Press Club, Surabaya,
12 Mei 2009
16. "Pemukiman Miskin dan Perebutan Ruang di Kota Surabaya 1920-1970-an,"
Penelitian Hibah Doktor, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Gadjah Mada 2009
17. "Sejarah Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur," Penelitian Kerjasama
Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dengan Dinas Peternakan
Propinsi Jawa Timur, 2012
18. "Sejarah Pemerintah Kota Surabaya sejak Masa Kolonial sampai Masa
Reformasi," Penelitian Kerjasama Departemen Ilmu Sejarah dengan Badan
Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, 2012
Konferensi:
"No. "Nama Konferensi "Judul Makalah "Waktu "
" " " "Pelaksanaan "
"1 "Konferensi Nasional "Penduduk dan Hubungan antar "5-7 Juli "
" "Sejarah IX "Etnis di Kota Surabaya pada "2011, MSI dan"
" " "Masa Kolonial "Direktorat "
" " " "Jenderal "
" " " "Kebudayaan "
" " " "Jakarta "
"2 "The 3rd International"Poor People and the Struggle"8-9 November "
" "Graduate Student "for Urban Space in Surabaya "2011, UGM "
" "Conference on "1900-1960s "Yogyakarta "
" "Indonesia " " "
"3 "Conference on Urban "History of Surabaya City "21-22 Oktober"
" "History " "2012, Nagoya "
" " " "University, "
" " " "Jepang "
Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat:
" " " " "
"No. "Tahun "Judul Pengabdian Masyarakat " "
" " " " " "
"1. "2012 "Ceramah Nilai-nilai " " "
" " "Kepahlawanan di Dinas Sosial " " "
" " "Kota Surabaya " " "
"2 "2013 "Ceramah Jurnalistik Online di " " "
" " "SMA St Carolus Surabaya " " "
"3 "2013 "Tim Juri Lawatan Sejarah Dinas " " "
" " "Kebudayaan dan Pariwisata " " "
" " "Propinsi Jawa Timur " " "
"4. "2011-seka"Tim juri lomba penulisan naskah" " "
" "rang "kesejarahan Dinas Kebudayaan " " "
" " "dan Pariwisata Propinsi Jawa " " "
" " "Timur " " "
-----------------------
[1] Kisah ini sudah saya tulis dan dimuat dalam Purnawan Basundoro,
"Status Sosial-Ekonomi sebagai Basis Pembagian Ruang Kota," dalam Budi
Mulyono (ed.), Ruang Kota, (Yogyakarta: Ekspresi Buku, 2011), hlm. 205-206
[2] Akhudiat, Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik,
(Surabaya: Henk Publica, 2008), hlm. 32
[3] Baik para penganut agama maupun para pengemban tradisi yang
berakar dari kesukuan, makam biasanya dianggap sebagai tempat yang keramat
dan harus dihormati karena di tempat tersebut berbaring makhluk sejenis
yang akan menghadap Sang Pencipta. Dalam agama Islam misalnya terdapat
petunjuk, aturan sopan-santun, perilaku, atau adab di makam, antara lain
dilarang duduk-duduk di atas makam. Terdapat hadist nabi yang mengatakan
bahwa melompati atau menduduki makam adalah perbuatan yang tidak disukai
atau makruh. Masyarakat penganut tradisi Jawa sangat percaya bahwa makam
adalah salah satu tempat keramat yaitu tempat tinggal roh-roh nenek moyang,
sehingga pada hari-hari tertentu harus dibersihkan serta dibacakan doa-doa.
Anak-anak yang tiba-tiba sakit sering dikait-kaitkan dengan para "penunggu"
di makam-makam keramat. Makam adalah salah satu tempat yang harus dihormati
selain masjid. Lihat A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maraam Berikut Keterangan
dan Penjelasannya, (Bangil: Pustaka Tamam, 2001), hlm. 261. Clifford
Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1989), hlm. 91-103
[4] Sebagian besar bagian ini diambil dari buku Purnawan Basundoro,
Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak, 2012), Bab VIII
[5] Sejak merdeka, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara
khusus mengatur penggunaan tanah di perkotaan. Undang-undang pertanahan
yang telah ada beserta peraturan di bawahnya sangat dipengaruhi oleh
semangat pengaturan tanah untuk pertanian, bukan pengaturan tanah untuk
tempat bermukim di perkotaan. Akibatnya pada setiap masa selalu muncul
kasus-kasus pertanahan di perkotaan yang selalu berakhir dengan konflik
antar individu atau kelompok yang memperebutkan tanah tersebut.
[6] Legalitas klaim atas tanah biasanya dibuktikan dengan kepemilikan
sertifikat, pethok D, letter C, dan lain-lain. Namun legalitas yang paling
kuat dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat tanah. Sarjita, Masalah
Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Tugu
Jogja Pustaka, 2005)
[7] Dalam kasus Indonesia berbagai kebijakan yang memiliki muatan
untuk membagi ruang secara fisik hanya bisa diberlakukan di daerah
pedesaan karena konteks pembagian ruang tersebut lebih bernuansa agraris.
Beberapa undang-undang yang mengatur pembagian ruang secara fisik (tanah)
yang cukup monumental antara lain Agrarisch Wet 1870 dan Undang-Undang
Pokok Agraria 1960. Bahkan aturan tentang pembagian tanah (landreform)
yang digariskan dalam UUPA 1960 tidak pernah bisa dijalankan lagi secara
wajar, walaupun di pedesaan, sejak undang-undang tersebut diundangkan.
Artinya, terdapat problem yang mendasar berkaitan dengan proses pembagian
ruang secara fisik, sekalipun di desa yang masih memiliki ruang yang
relatif luas. Lihat Andi Achdian, Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform
pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965, (Bogor: Kekal Press, 2009).
[8] Lihat Alan Gilbert dan Josef Gugler, Urbanisasi dan Kemiskinan di
Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)
[9] Ibid., hlm. 84
[10]. Lihat Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi
tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1991), Petrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata,
(Jakarta: Gramedia, 1986), terutama Bab IV.
[11] W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi
Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 138.
[12] Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling
1930, Java en Madoera, (Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1931). W. Brand
dalam salah satu artikelnya menyodorkan data yang cukup luas sebagai
perbandingan. Pada tahun 1930 jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di
kota mencapai 3,8 persen, dari jumlah tersebut penduduk yang tinggal di
kota-kota di Jawa dan Madura mencapai 4,7 persen dan di kota-kota pulau-
pulau lain hanya 2 persen. Prosentase tersebut meningkat tajam pada tahun
1961. Pada tahun tersebut penduduk Indonesia yang tinggal di kota mencapai
14,8 persen, khusus kota-kota di Jawa dan Madura dihuni oleh 15,6 persen
dan di kota-kota pulau pulau lain melonjak sampai 13,3 persen. W. Brand,
"Some Statistical Data on Indonesia," dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.
[13] Ibid., hlm. 259; Graeme J. Hugo, "Population Movements in
Indonesia during the Colonial Period," dalam J.J. Fox et al. (ed.),
Indonesia: Australian Perspectives, (Canbera: Research School of Pasific
Studies, ANU, 1980), hlm. 95-136.
[14] F.W.M. Kerchman, 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie
1905-1950, (Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen, 1930)
[15]. Lihat Roeslan Abdulgani, Api Revolusi di Surabaja, (Surabaja:
Ksatrya, 1964), hlm. 43, Kementrian Penerangan, Djawa Timur, (Djakarta:
Kementrian Penerangan, 1952).
[16] Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor
versus Jenderal Sudirman, (Jakarta: Gramedia, 2006), Bab 4
[17] W. Brand, "Some Statistical Data on Indonesia," dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.
[18] H.F. Tillema, Kromoblanda: Over 't Vraagstuk van "het Wonen" in
Kromo's Grote Land, 6 Jilid, ('s-Gravenhage: uden Masman, De Atlas dan Adi
Poestaka, 1915-1923).
[19] Lihat Gavin Jones, "Demografi dalam Kemiskinan di Kota," dalam
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (peny.), Kemiskinan di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 38-56
[20] Lihat misalnya studi dari The Siauw Giap, "Urbanisatieproblemen
in Indonesia", dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel
115, 1959, untuk melihat kondisi perkotaan di Jawa. Untuk penelitian
terhadap kondisi demografi di Makassar setelah periode perang lihat R.
Soemitro, "Zuigelingensterfte te Makassar," Vol. III, 1950. Untuk kondisi
Jakarta setelah perang lihat H.J. Heeren, "The Urbanisation of Djakarta,"
dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. VIII (1955). Pada tahun 1930-an
J.H. de Haas melakukan penelitian demografi di Jakarta (Batavia). Ia
menemukan kondisi yang amat buruk bagi penduduk pribumi di kota tersebut,
dan menemukan korelasi positif antara kondisi pemukiman dengan kondisi
kesehatan para penghuninya. Penduduk pribumi yang rata-rata miskin dan
tinggal di pemukiman-pemukiman miskin pula memiliki resiko kematian paling
tinggi diantara penduduk Eropa, Tionghoa, dan pribumi. Lihat J.H. de Haas,
"Sterfte naar leeftijdsgroepen in Batavia in het bijzonder op den
konderleeftijd," dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie,
Vol. VI, 1939.
[21] Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, Menteng: Kota Taman Pertama di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2001).
[22] Lihat Susan Abeyasekere, Jakarta: A History, (Singapore: Oxford
University Press, 1987), hlm. 245
[23] Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi Tersembunyi di
Negara Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), bab 2 sampai
4.
[24] Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah
Kampung di Jakarta, (Jakarta: LP3ES, 1994), terutama pada bab 3.
[25] Freek Colombijn, Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di
Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, (Yogyakarta: Ombak,
2006), hlm. 3
[26] Ramlan Surbakti, "Perebutan Ruang di Perkotaan dan
Pembenarannya," PRISMA No. 9, 1996. Menurut Patrick McAuslan, pola
perebutan ruang kota secara garis besar hanya melibatkan sedikit kelompok
kepentingan, antara lain pemerintah kota, investor, rakyat. Patrick
McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata, (Jakarta:
Gramedia, 1986), Bab IV dan Bab IX
[27] John Ingleson misalnya menemukan bahwa pada periode antara tahun
1910 sampai tahun 1920-an sebagian besar tenaga kerja, dari sekitar 10.000
tenaga kerja di pelabuhan Surabaya, adalah para pendatang dari Madura. John
Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan
Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004). hlm. 6
[28] G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie's
voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-
1931, (Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1936), bab 3.
[29] Ingleson, op. cit., hlm. 8.
[30] Si Tjerdik Jr, Melantjong ka Soerabaia (Semarang: Boekhandel
Kamadjoean, 1931), hlm. 33
[31] Kecenderungan semacam itu hampir selalu terjadi di kota-kota di
negara berkembang. Lihat J.P. Dickenson et al., A Geography of the Third
World, (New York: Methuen & Co., 1986), Chapter 7.
[32] Salah satu studi kontemporer tentang perebutan ruang kota oleh
para pelaku ekonomi informal di perkotaan adalah yang dilakukan oleh
Alisjahbana, Sisi Gelap Perkembangan Kota: Resistensi Sektor Informal dalam
Perspektif Sosiologis, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2005).
[33] Gejala semacam ini di kota Surabaya mengalami peningkatan yang
amat tajam setelah Indonesia merdeka. Sjamsu Koesmen dan Pangestu B.W.,
Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja, (Surabaya: Djawatan Penerangan Kota
Besar Surabaja, 1957)
[34] "Sengketa Lahan: Warga bentrok di Kampar dan Makassar," Kompas,
22 Oktober 2013.
[35] "Sengketa Lahan: Warga Kampung Tua Akan Aksi Damai," Kompas, 23
Oktober 2013.
[36] Wil J.M. Prins and Peter J.M. Nas, "The Struggle for The Third
World City" dalam G. Ansari and P.J.M. Nas (ed.), Town-Talk: The Dynamics
of Urban Antropology, (Leiden: Brill, 1983), hlm. 158-167
[37] Ibid.
[38] R.D. McKenzie, "The Ecological Approach to the Study of the Human
Community." dalam R.E. Park, E.W, Burges, dan R.D. Mckenzie, The City,
(Chicago: University of Chicago Press, 1967)
[39] Paulus Haryono, Sosiologi Kota untuk Arsitek, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), hlm. 133; Ali Madanipour, Design of Urban Space: An Inquiry
into a Social-Spatial Process, (New York: John Wiley & Son, 1996), hlm. 167