BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia, bahkan komplikasi yang lebih parah yaitu stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer. Orang dengan CKD berada pada risiko nyata terhadap penyakit kardiovaskular, dan sering memiliki faktor risiko lain untuk penyakit jantung, seperti hiperlipidemia. Penyebab paling umum kematian pada orang dengan CKD karena penyakit kardiovaskular daripada kegagalan ginjal.
Penatalaksanaan terapi untuk penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) dengan penyulit penyakit arteri koroner (coronary artery disease/CAD) merupakan terapi yang kompleks. Pasien umumnya menerima terapi multiobat sehingga terdapat risiko terjadinya permasalahan terkait obat (DRPs, drug related problems). Perubahan fisiologi yang terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal juga menambah kerumitan terapi. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa insidensi kejadian terkait obat yang tidak diharapkan lebih tinggi pada pasien dengan CKD jika dibandingkan pasien tanpa gangguan ginjal. Pendekatan interdisiplin dengan keterlibatan apoteker klinis secara aktif diperlukan dalam penatalaksanaan penyakit ini. Suatu studi kajian sistematik menyatakan bahwa terdapat dampak positif dengan adanya keterlibatan langsung apoteker klinis dalam pelayanan terhadap pasien.
Studi kasus ini diamati di suatu rumah sakit daerah tipe B nonpendidikan. Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada apoteker klinis mengenai perlunya pemantauan terapi serta lebih kritis terhadap terapi yang diterima pasien, terutama pasien dengan kondisi khusus seperti gagal ginjal dengan komplikasi agar DRPs dapat dicegah. Selain itu, laporan kasus ini juga diharapkan dapat turut memberikan gambaran mengenai potensi munculnya DRPs di tengah berbagai keterbatasan fasilitas dan sarana-prasarana penunjang, serta pengaruh faktor finansial, seperti keterbatasan pembiayaan pelayanan kesehatan.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan Drug Related Problem?
Apa yang dimaksud dengan penyakit CKD/ chronic kidney disease ?
Apa yang dimaksud dengan CAD / coronary artery disease?
Bagaimana cara identifikasi Drug Related Problem?
Bagaimana penatalaksanaan terapi untuk studi kasus Drug Related Problem pada pasien penderita penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) dengan penyulit penyakit arteri koroner (coronary artery disease/CAD)?
1.3 Tujuan
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Drug Related Problem.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan dengan penyakit CKD/ chronic kidney disease .
Mengetahui apa yang dimaksud dengan dengan penyakit CAD / coronary artery disease.
Mengetahui bagaimana cara identifikasi Drug Related Problem.
Mengetahui penatalaksanaan terapi untuk studi kasus Drug Related Problem pada pasien penderita penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) dengan penyulit penyakit arteri koroner (coronary artery disease/CAD)
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian DRP (Drug Related Problem)
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan, berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan pada kenyataannya atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Drug Related Problem merupakan maslah yang terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan.
2.1.1 Komponen primer dari Drug Related Problems:
a. Pasien mengalami keadaan yang tidak dikehendaki.
Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit kerusakan, cacat atau sindrom dan dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisiologis, sosial, bahkan kondisi ekonomi.
b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.
Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug Related Problems (DRPs). Hubungan yang biasanya terjadi antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat adalah kejadiaan itu akibat dari terapi obat atau kejadian itu membutuhkan terapi obat( Cipolle et al., 1998). Drug Related Problems (DRPs) terdiri dari DRPs actual dan DRPs potensial. DRPs actual adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien (Yunita et al., 2004).
2.1.2 Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :
a. Membutuhkan obat tambahan.
Penyebabnya yaitu pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profil aksi atau pramedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinu, memerlukan terapi kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau potensiasi dan atau ada kondisi kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.
b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.
Hal ini dapat terjadi sebagai berikut: menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat, minum beberapa obat padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan atau minum obat untuk mengobati efek samping.
c. Menerima obat yang salah.
Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif, ketidaktepatan pemilihan obat, alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan atau obat bukan yang paling aman.
d. Dosis terlalu besar.
Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, dan jangka waktu tidak tepat.
e. Dosis terlalu kecil.
Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang diinginkan, jangka waktu terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan sediaan yang tidak tepat.
f. Pasien mengalami adverse drug reactions.
Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat yang tidak aman, pemakaian obat tidak tepat, interaksi dengan oba tlain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan adverse drug reaction dan atau pasien mengalami efek yang tak dikehendaki yang tidak diprediksi.
g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum obat secara benar (non compliance).
Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk tidak mau minum obat karena alas an pribadi dan atau pasien lupa minum obat (Cipolle et al., 1998).
Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs) tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data esensial dan farmasis bertugas menentukan data apa yang dibutuhkan (Cipolle et al., 1998).
2.1.3 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori :
a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras, sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.
b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.
c. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan, prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang yang merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis, data laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit(Yunita et al., 2004).
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu mudah dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas kesembuhannya. Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan konseling, edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle et al., 1998).
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien. Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
2.2 Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)
Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01) mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.
5. Interak siobat (Interaction)
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau potensial.
6. Masalah lainnya (Others)
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi DRP:
1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.
2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :
Amoksisillin
Parasetamol
Gliseril Guaiakolat
Deksametason
CTM
Luminal
Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.
Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.
Durasi dari terapi
Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA Pneumonia.
3. Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi pada setiap orang.
2. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup tipe berikut :
a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera (hipersensitivitas)
b. Tipe II, sitotoksik
c. Tipe III, serum
d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik, nefropati.
4. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena ketidakcukupan adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
Persepsi tentang kesehatan
Pengalaman mengobati sendiri
Pengalaman dengan terapi sebelumnya
Lingkungan (teman, keluarga)
Adanya efek samping obat
Keadaan ekonomi
Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :
a. Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat menyebabkan pasien enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM, arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping,
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal, pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan petunjuk penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan informasi tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan baik.
5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
6. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
1. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan gizi.
2. Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya, laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
3. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.
4. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
2.2 CKD (Chronic Kidney Disease)
CKD atau Gagal ginjal kronik merupakan suatu kondisi dimana ginjal mengalami penurunan kinerja secara progresif yang mengakibatkan penimbunan sisa metabolisme dan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan sehingga diperlukan adanya perawatan atau transplantasi ginjal/ penggantian ginjal. Ginjal adalah organ yang sangat penting. Dan merupakan organ vital. Beberapa fungsi ginjal diantaranya adalah menyaring darah, mengeluarkan zat-zat yang dapat merugikan tubuh, proses ulang zat, membantu menjaga keseimbangan kadar asam dan basa dalam tubuh, menghasilkan zat dan hormone, menjaga darah, dan masih banyak lagi fungsi ginjal yang sangat penting. Oleh karena itu sudah sepatutnya bagi kita untuk menjaga ginjal kita dengan baik.
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626). Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812). Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease ( CKD ),pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure ( CRF ), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat ( stage ) menggunakan terminology CCT ( clearance creatinin test ) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF ( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
ETIOLOGI
Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonephritis
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amyloidosis
Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% – 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.
Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG :
Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin – angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
Gangguan kardiovaskuler: Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
Gannguan Pulmoner: Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
Gangguan gastrointestinal: Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
Gangguan musculoskeletal: Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas).
Gangguan Integumen: kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
System hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum–sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :
Pemeriksaan lab.darah
Hematologi: Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
RFT ( renal fungsi test ): ureum dan kreatinin
LFT (liver fungsi test )
Elektrolit: Klorida, kalium, kalsium
koagulasi studi: PTT, PTTK
BGA
Urine
urine rutin
urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
pemeriksaan kardiovaskuler
ECG
ECO
Radidiagnostik
USG abdominal
CT scan abdominal
BNO/IVP, FPA
Renogram
RPG (retio pielografi)
2.3 CAD ( Coronary Disease)
Coronay Artery Disease (CAD) adalah kondisi dimana terjadi penumpukan plak pada arteri koroner yang menyebabkan arteri koroner menjadi menyempit. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh terkumpulnya kolesterol sehingga membentuk plak pada dinding arteri dalam jangka waktu yang cukup lama. Proses akumulasi tersebut disebut aterosklerosis. Seiring berjalannya waktu, PJK dapat menyebabkan otot jantung melemah, dan menimbulkan komplikasi seperti gagal jantung dan aritmia (gangguan irama jantung).
Penyakit jantung koroner / penyakit arteri koroner merupakan suatu manifestasi khusus dan aterosklerosis pada arteri koroner. Plak terbentuk pada percabangan arteri yang ke arah arteri kiri, arteri koronaria kanan dan agak jarang pada arteri sirkumflek. Aliran darah ke distal dapat mengalami obstruksi secara permanen maupun sementara yang disebabkan oleh akumulasi plak atau penggumpalan. Sirkulasi kolateral berkembang di sekitar obstruksi arteromasus yang menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke miokardium.
Apa saja tanda-tanda dan gejala PJK?
Gejala dan keluhan awal yang paling jelas adalah nyeri yang teramat sangat pada bagian dada alias Angina (nyeri dada). Angina terjadi saat otot jantung tidak mendapatkan pasokan darah kaya oksigen yang cukup. Pasien akan merasa dicubit atau merasakan suatu tekanan yang berat di dada. Perasaan dicubit tersebut dapat menyebar ke pundak, lengan, leher, dan punggung kiri atau bisa juga seperti menembus dari depan dada ke punggung. Rasa nyeri dapat muncul dan menjadi lebih parah saat pasien sedang melakukan aktivitas, misalnya berolahraga. Tekanan mental psikologis dan emosi yang kuat tersebut dapat menyebabkan Angina. Salah satu gejala lain adalah kesulitan bernapas, jantung tidak menyebarkan darah kaya oksigen yang dibutuhkan tubuh mual, muntah, dan keringat dingin. Selain itu, cairan berkumpul di paru-paru menyebabkan kesulitan bernapas bertambah parah.
Masih terdapat juga beberapa ciri dan gejala yang tidak disebutkan di atas. Apabila Anda memiliki keluhan yang sama, tolong konsultasikan kepada dokter.
Faktor-faktor risiko
Apa yang meningkatkan risiko saya mengalami PJK?
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi PJK:
Usia. Semakin tua, arteri semakin menyempit dan rapuh
Gender. Pria memiliki risiko PJK lebih tinggi daripada wanita
Riwayat keluarga. Apabila ada anggota keluarga Anda menderita gangguan jantung, maka risiko PJK meningkat
Merokok. Nikotin pada rokok dapat menyebabkan penyempitan arteri dan carbon monoxit menyebabkan kerusakan vaskular
Memiliki riwayat tekanan darah tinggi, kadar lemak darah yang tinggi
Anda memiliki trauma mental atau stres psikologis pada jangka waktu panjang
Tidak adanya risiko tidak berarti Anda bebas dari kemungkinan terpapar gangguan. Ciri dan gejala yang dituliskan hanya untuk referensi. Anda perlu berkonsultasi dengan dokter untuk informasi lebih lanjut.
2.4 Obat
2.4.1 Ringer Asetat
Komposisi: Per liter:CaCl2 0,2 g ; KCl 0,3 g ; NaCl 6 g ; Na Acetate 3,8 g
Bentuk Sediaan: Flexy bag 500 mL.
Farmakologi: Ringer acetate digunakan untuk resusitasi pada kondisi dehidrasi, syok yang disertai asidosis dan digunakan sebagai cairan intraoperatif. Acetate dimetabolisme lebih cepat (3-4 x) daripada lactate. Sebagai cairan intraoperatif, ringer acetate diketahui lebih efektif mempertahankan suhu tubuh.
Indikasi: Dehidrasi isotonis dengan asidosis karena kehilangan bicarbonate.
Dosis: Disesuaikan dengan kebutuhan cairan, umumnya 30-40 mL/kgBB/hari pada dewasa.
Kontra Indikasi : Keadaan hiperhidrasi, hipernatremia, hiperkloremia, dan hiperkalemia tanpa pemberian kalium secara simultan dan insufisiensi hati berat.
Peringatan dan Perhatian: Gangguan ginjal.
Efek Samping: Demam, infeksi, flebitis, nyeri pada tempat suntikan, ekstravasasi.
2.4.2 NaCl 0.9%
Komposisi : sodium chloride 0.9%
Bentuk sediaan : larutan infus euro-med 0.9% x 1 liter
Indikasi : pengganti cairan plasma isotonic yang hilang,pengganti cairan pada kondisi alkalosis hipokloremia
Dosis : DL : 1000 ml/70 kgbb per hari dengan kecepatan infus sampai dengan 7.7 ml/kgBB perjam
Kontra Indikasi : hypernatremia,asidosis,hypokalemia
Perhatian : gagal jantung kongestif,gangguan fungsi ginjal,toxemia pada kehamilan,pediatric,geriatric,monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Efek samping : demam,iritasi atau infeksi,thrombosis atau flebitis yang meluas.
2.4.3 Ringer Laktat
Komposisi: Per 1000 mL Natrium laktat 3,1 gram, NaCl 6 gram, KCl 0,3 gram, CaCl2 0,2 gram, air untuk injeksi ad 1,000 mL.
Indikasi : Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
Kontra Indikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat asidosis.
Perhatian : Jangan digunakan bila botol rusak, larutan keruh atau berisi partikel.
Interaksi Obat: Larutan mengandung fosfat.
Efek Samping : Panas, infeksi pda tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi.
Kemasan : Larutan Infus 500 ml x 1's
Dosis : Injeksi Intra Vena 3 dosis sesuai dengan kondisi penderita.
2.4.4 D5%
Kandungan : Glukosa.
Indikasi : Larutan nutrisi yang memberikan 200 kKal/Liter.Terapi cairan pengganti selama dehidrasi dan syok.
Kontra Indikasi : Hiperglikemia (keadaan kadar glukosa darah yang tinggi), diabetes insipidus, sindroma malabsorpsi glukosa-galaktosa, anuria (tidak dibentuknya kemih oleh ginjal), perdarahan intrakranial dan intraspinal.
Perhatian : Gagal ginjal, trauma sebelum operasi atau sesudah operasi, sepsis (reaksi umum disertai demam karena kegiatan bakteri, zat-zat yang dihasilkan oleh bakteri atau kedua-duanya) berat.
Efek Samping :Jarang : hiperglikemia, iritasi lokal, anuria, oligouria (sekresi kemih yang berkurang dibandingkan dengan masukan cairan), kolaps sirkulatori, tromboflebitis, udema, hipokalemia, hipomagnesia, hipofosfatemia.
Kemasan : Infus 5% x 100 mL.
Dosis : Dosis tergantung pada kondisi pasien
2.4.5 Kaptopril
Captopril termasuk dalam golongan obat penghambat enzim pengubah angiotensin. Fungsi utama obat ini adalah untuk mengobati hipertensi dan gagal jantung. Tetapi captopril juga berguna untuk melindungi jantung setelah terjadi serangan jantung serta menangani penyakit ginjal akibat diabetes atau nefropati diabetes.
Cara kerja captopril adalah dengan menghambat produksi hormon angiotensin 2. Hasilnya akan membuat dinding pembuluh darah lebih rileks sehingga dapat menurunkan tekanan darah, sekaligus meningkatkan suplai darah dan oksigen ke jantung. Obat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat antihipertensi lainnya.
Dalam pasien gagal jantung, captopril mengurangi kadar cairan yang berlebihan dalam tubuh sehingga meringankan beban jantung dan memperlambat perkembangan gagal jantung.
Tentang Captopril
Jenis obat
Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE inhibitor)
Golongan
Obat resep
Manfaat
Menangani hipertensi dan gagal jantung
Mencegah komplikasi setelah serangan jantung
Mencegah penyakit ginjal akibat diabetes tipe 1
Dikonsumsi oleh
Dewasa
Bentuk
Tablet
Captopril tersedia dalam berbagai merek dan penggunaannya harus dengan resep dokter.
Peringatan:
Wanita yang sedang merencanakan kehamilan, sedang hamil, dan menyusui, dilarang mengonsumsi captopril.
Jika mengonsumsi captopril, sebaiknya tidak mengemudi atau mengoperasikan alat berat. Obat ini dapat menyebabkan pusing, khususnya pada awal penggunaan atau jika ada perubahan dosis.
Tanyakan pada dokter sebelum menggunakan analgesik atau obat gangguan pencernaan selama mengonsumsi captopril.
Harap berhati-hati jika menderita gangguan ginjal, gangguan hati, ketidakseimbangan cairan tubuh (misalnya dehidrasi atau diare), aterosklerosis, penyakit vaskular perifer, lupus, skleroderma, kardiomiopati, stenosis aorta, dan angioedema.
Harap waspada jika mengonsumsi bahan pengganti garam yang mengandung potasium, menjalani proses desensitisasi untuk alergi, dan pengobatan dialisis.
Jika menggunakan captopril, beri tahu dokter sebelum menjalani penanganan medis apapun. Obat ini dapat memicu tekanan darah yang terlalu rendah jika digunakan bersamaan dengan obat bius.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Captopril: Penentuan dosis captopril tergantung kepada kondisi pasien, tingkat keparahan kondisinya, serta respons tubuh pasien terhadap obat. Dosis maksimal obat ini adalah 150 mg per hari. Berikut takaran umum penggunaan captopril yang diresepkan oleh dokter.
Jenis Penyakit
Dosis (miligram)
Frekuensi Harian
Hipertensi
12,5-25
2 kali
Gagal jantung
6,25-12,5
2-3 kali
Pasca serangan jantung
6,25-12,5
1 kali
Nefropati diabetes
75-100
1 kali
Untuk pengidap hipertensi, gagal jantung, dan serangan jantung, dokter akan meningkatkan dosis captopril secara bertahap hingga 150 mg per hari.
Mengonsumsi Captopril dengan Benar
Gunakanlah captopril sesuai anjuran dokter dan jangan lupa untuk membaca keterangan pada kemasan. Dokter akan memberikan dosis sesuai dengan perkembangan pasien dan meningkatkannya secara bertahap untuk mencegah efek samping. Karena itu, pasien disarankan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin untuk memantau keefektifan dosis captopril yang dikonsumsi.
Captopril dapat diminum sebelum atau sesudah makan. Obat ini biasanya dianjurkan untuk dikonsumsi sebelum tidur karena dapat memicu pusing pada tahap awal penggunaan. Konsumsi minuman keras juga sebaiknya dihindari untuk mencegah efek samping ini.
Mengonsumsi captopril dapat membuat kulit menjadi lebih sensitif terhadap sinar matahari. Oleh karena itu, gunakanlah tabir surya dengan setidaknya SPF 15.Pengidap diabetes dianjurkan untuk lebih sering memeriksa kadar gula darah selama mengonsumsi captopril. Obat ini berpotensi untuk menurunkan kadar gula dalam darah.
Perubahan gaya hidup juga sebaiknya dilakukan untuk memaksimalisasi keefektifan obat ini. Misalnya dengan menerapkan pola makan yang sehat, berhenti merokok, dan berolahraga secara teratur.
Pastikan ada jarak waktu yang cukup antara satu dosis dengan dosis berikutnya. Usahakan untuk mengonsumsi captopril pada jam yang sama tiap hari untuk memaksimalisasi efeknya.
Bagi pasien yang lupa mengonsumsi captopril, disarankan segera meminumnya begitu teringat jika jadwal dosis berikutnya tidak terlalu dekat. Jangan menggandakan dosis captopril pada jadwal berikutnya untuk mengganti dosis yang terlewat.
Kenali Efek Samping dan Bahaya Captopril
Tiap obat berpotensi menyebabkan efek samping, termasuk captopril. Beberapa efek samping yang umum terjadi saat mengonsumsi obat ini adalah:
Pusing atau limbung, terutama saat bangkit berdiri.
Batuk kering.
Mual dan muntah.
Gangguan pencernaan.
Konstipasi atau diare.
Rambut rontok.
Sulit tidur.
Mulut kering.
Segera hentikan pemakaian captopril dan temui dokter jika Anda mengalami efek samping yang serius seperti ruam yang parah serta kulit dan bagian putih mata menguning.
2.4.6 Isosorbid Dinitrat
Isosorbide Dinitrate adalah obat dengan fungsi untuk mencegah nyeri dada (angina) pada orang dengan kondisi jantung tertentu (penyakit jantung koroner). Obat ini termasuk golongan nitrat. Angina terjadi saat otot jantung tidak mendapat cukup darah. Obat ini bekerja dengan melemaskan dan melebarkan pembuluh darah sehingga darah dapat mengalir lebih mudah.
Obat ini tidak akan meredakan nyeri dada saat serangan. Obat ini juga tidak dibuat untuk digunakan sebelum aktivitas fisik (seperti olahraga, aktivitas seksual) untuk mencegah nyeri dada. Obat lain dibutuhkan dalam situasi ini Konsultasikan dengan dokter untuk informasi lebih lanjut.
Dosis isosorbide dinitrate dan efek samping isosorbide dinitrate akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
cara penggunaan
Minumlah obat ini dengan atau tanpa makanan, biasanya 3-4 kali sehari atau sesuai anjuran dokter. Gunakan obat setiap hari dalam waktu yang sama. Jangan mengubah waktu pemberian kecuali bila dianjurkan dokter. Dosis obat ini berdasarkan kondisi kesehatan dan respon terapi Anda.
Telan seluruh obat langsung. Jangan menggerus atau mengunyah kapsul. Hal ini dapat mengeluarkan seluruh obat dan dapat meningkatkan risiko efek samping.
Gunakan obat ini secara teratur untuk mendapatkan manfaat maksimal. Jangan berhenti minum obat secara mendadak tanpa sepengetahuan dokter. Beberapa kondisi dapat memburuk saat obat dihentikan mendadak. Dosis Anda mungkin perlu diturunkan bertahap.
Walaupun sedikit tidak mungkin, saat obat ini digunakan dalam jangka panjang, obat ini mungkin tidak bekerja dengan baik dan butuh dosis yang berbeda. Beritahukan dokter jika obat sudah tidak bekerja dengan baik (misalnya, nyeri dada memburuk atau terjadi lebih sering).
Ikuti aturan yang diberikan oleh dokter atau apoteker sebelum memulai pengobatan. Jika Anda memiliki pertanyaan, konsultasikanlah pada dokter atau apoteker Anda.
cara penyimpanan
Obat ini paling baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari cahaya langsung dan tempat yang lembap. Jangan disimpan di kamar mandi. Jangan dibekukan. Merek lain dari obat ini mungkin memiliki aturan penyimpanan yang berbeda. Perhatikan instruksi penyimpanan pada kemasan produk atau tanyakan pada apoteker Anda. Jauhkan semua obat-obatan dari jangkauan anak-anak dan hewan peliharaan.
Jangan menyiram obat-obatan ke dalam toilet atau ke saluran pembuangan kecuali bila diinstruksikan. Buang produk ini bila masa berlakunya telah habis atau bila sudah tidak diperlukan lagi. Konsultasikan kepada apoteker atau perusahaan pembuangan limbah lokal mengenai bagaimana cara aman membuang produk Anda.
Dosis
Dosis Dewasa untuk Angina Pectoris
Awal: 2.5 mg (SL) atau 5 mg (kunyah) sekali dan diulang sesuai kebutuhan setelah tablet sudah larut atau dikunyah.
Dosis Dewasa untuk Profilaksis Angina Pectoris
Awal SR: 40 mg secara oral setiap 8-12 jam.Rumatan SR: 10-40 mg setiap 8-12 jam.Awal tab: 5 mg secara oral setiap 6 jam.Rumatan tab: 10-40 mg setiap 6 jam.Awal SL: 5 mg setiap 2-3 jam.Rumatan SL: Tidak dianjurkan untuk profilaksis.Awal Kunyah: 5 mg setiap 2-3 jam.Rumatan Kunyah: Tidak dianjurkan untuk profilaksis.
Dosis Dewasa untuk Spasme Esophageal
Awal SR: 20 mg setiap 8-12 jam.Rumatan SR: 20-40 mg setiap 8-12 jam.Awal Tab: 10 mg setiap 6 jam.Rumatan SR: 10-20 mg setiap 6 jam.
Dosis Dewasa untuk Gagal Jantung Kongestif
Awal SR: 20 mg setiap 8-12 jam.Rumatan SR: 20-80 mg setiap 8-12 jam.Awal tab: 10 mg secara oral setiap 6-8 jam.Rumatan tab: 10-40 mg setiap 6-8 jam.Awal SL: 5 mg setiap 3-4 jam.Rumatan SL: 5-10 mg setiap 3-4 jam.Awal Kunyah: 10 mg setiap 4 jam.Rumatan Kunyah: 10-40 mg setiap 4 jam.
Dosis Dewasa untuk Hipertensi Pulmoner
Awal SR: 40 mg setiap 8-12 jam.Rumatan SR: 40-80 mg setiap 8-12 jam.Awal tab: 5 mg setiap 6 jam.Rumatan tab: 5-20 mg setiap 6 jam.
Isosorbide Dinitrate tersedia dalam dosis-dosis sebagai berikut.
Capsules, sustained-release 40 mg
Tablets, sustained-release 40 mg
Tablets, sublingual 2.5 mg, 5 mg
Tablets 5 mg, 10 mg, 40 mg
Efek Samping
Semua obat dapat menyebabkan efek samping, namun banyak orang tidak mengalami atau hanya mengalami efek samping ringan. Periksakan pada dokter jika efek samping yang SERING terjadi berikut ini menetap atau mengganggu:
Pusing; wajah dan leher terasa panas dan memerah;sakit kepala; rasa seperti melayang
Cari perawatan medis segera jika mengalami efek samping BERAT berikut ini:
Reaksi alergi berat (ruam; gatal-gatal; sulit bernapas; sesak dada; bengkak mulut, wajah, bibir atau lidah); pingsan; denyut jantung cepat atau lambat; mual; nyeri dada baru atau memburuk; muntah
Tidak semua orang mengalami efek samping berikut ini. Mungkin ada beberapa efek samping yang tidak disebutkan di atas. Bila Anda memiliki kekhawatiran mengenai efek samping tertentu, konsultasikanlah pada dokter atau apoteker Anda.
Pencegahan & Peringatan
Sebelum Anda menggunakan obat ini, beritahukan pada dokter:
Beri tahu dokter jika Anda hamil, berencana hamil, atau sedang menyusui.
Beri tahu dokter dan apoteker Anda obat resep dan non resep yang Anda konsumsi, preparat herbal, atau suplemen diet
Jika Anda alergi obat, makanan atau substansi lain
Jika Anda memiliki perdarahan di otak, trauma kepala baru, tiroid overaktif, masalah jantung (misalnya, gagal jantung, kardiomiopati, riwayat serangan jantung), atau anemia (jumlah sel darah merah rendah)
Jika Anda alergi pada bahan dalam isosorbide dinitrate
Anda menggunakan avanafil, riociguat, sildenafil, tadalafil, atau vardenafil
Apakah Isosorbide Dinitrate aman untuk ibu hamil dan menyusui?
Tidak ada penelitian yang memadai mengenai risiko penggunaan obat ini pada ibu hamil atau menyusui. Selalu konsultasikan kepada dokter Anda untuk mempertimbangkan potensi manfaat dan risiko sebelum menggunakan obat ini. Obat ini termasuk ke dalam risiko kehamilan kategori C menurut US Food and Drugs Administration (FDA)
Berikut referensi kategori risiko kehamilan menurut FDA :
A= Tidak berisiko
B=Tidak berisiko pada beberapa penelitian
C=Mungkin berisiko
D=Ada bukti positif dari risiko
X=Kontraindikasi
N=Tidak diketahui
Interaksi
Interaksi obat dapat mengubah kinerja obat Anda atau meningkatkan risiko efek samping yang serius. Tidak semua kemungkinan interaksi obat tercantum dalam dokumen ini. Simpan daftar semua produk yang Anda gunakan (termasuk obat-obatan resep/nonresep dan produk herbal) dan konsultasikan pada dokter atau apoteker. Jangan memulai, memberhentikan, atau mengganti dosis obat apapun tanpa persetujuan dokter.
Apakah makanan atau alkohol dapat berinteraksi dengan Isosorbide Dinitrate?
Obat-obatan tertentu tidak boleh digunakan pada saat makan atau saat makan makanan tertentu karena interaksi obat dapat terjadi. Mengonsumsi alkohol atau tembakau dengan obat-obatan tertentu juga dapat menyebabkan interaksi terjadi. Diskusikan penggunaan obat Anda dengan makanan, alkohol, atau tembakau dengan penyedia layanan kesehatan Anda.
Kondisi kesehatan apa yang dapat berinteraksi dengan Isosorbide Dinitrate?
Adanya masalah kesehatan lain di tubuh Anda dapat mempengaruhi penggunaan obat ini. Beritahukan dokter Anda bila Anda memiliki masalah kesehatan lain, khususnya:
Gagal jantung kongestif
Serangan jantung
Kardiomiopati Hipertrofik (penyakit jantung)
Hipotensi (tekanan darah rendah)
Hipovolemia (jumlah darah sedikit)—gunakan dengan hati-hati. Dapat memperburuk kondisi
2.4.7 Aspirin
Aspirin adalah obat antiinflamasi yang menghambat pembentukan prostaglandin. Aspirin bekerja dengan cara menghambat enzim COX (siklooksigenase). Sistem enzim COX merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin, dengan kerja penghambatan ini maka Aspirin dapat menghasilkan efek analgesik, antipiretik, antiinflamasi, dan antitrombotik. aspirin contoh: Aspirin Setelah pemakaian oral sebagian Aspirin akan diabsorpsi dengan cepat di lambung, sementara sebagian lagi diabsorpsi di usus halus. Efek obat maksimal dapat dicapai kira – kira pada 2 jam setelah pemakaian. Setelah diabsorpsi obat segera menyebar ke seluruh tubuh, sekitar 80% akan terikat pada albumin kemudian dihidrolisis di hati menjadi asam salisilat dan dieksresi melalui ginjal, keringat dan empedu.
Indikasi Aspirin Fungsi aspirin adalah sebagai obat analgesik, antipiretik, antiinflamasi, dan antitrombotik, oleh karena itu kegunaan aspirin adalah untuk mengatasi rasa sakit, untuk mengatasi demam, untuk mengatasi peradangan tulang dan sendi, untuk mengatasi serangan jantung dan stroke. Selain kegunaan tersebut manfaat aspirin lainya adalah aspirin untuk jerawat karena aspirin memiliki kandungan aktif asam salisilat yang dapat digunakan untuk mengecilkan pori –pori pada wajah serta mengatasi peradangan dan penggumpalan darah pada jerawat.
Kontraindikasi Aspirin tidak boleh diberikan pada penderita yang diketahui : mempunyai riwayat alergi terhadap aspirin atau komponen salisilat mempunyai riwayat asma mempunyai riwayat sakit maag dan tukak lambung mempunyai kelainan perdarahan mempunyai gangguan fungsi hati mempunyai gangguan fungsi ginjal mempunyai gagal jantung ibu hamil dan menyusui
Dosis aspirin tersedia dalam bentuk tablet, dengan dosis aspirin yang tersedia adalah aspirin 80 mg, aspirin 320 mg, dan aspirin 500 mg. Adapun dosis aspirin yang sering digunakan untuk pasien dewasa antara lain : Bagi penderita nyeri dan demam dosis yang dianjurkan adalah 320 mg sampai 500 mg yang diberikan sebanyak 3 sampai 4 kali sehari Bagi penderita radang tulang dan sendi dosis yang dianjurkan adalah 1000 mg yang diberikan sebanyak 3 kali sehari Bagi penderita serangan jantung dosis yang dianjurkan adalah 160 mg sampai 320 mg yang diberikan sebanyak 1 kali sehari (pada saat serangan) dan 80 mg yang diberikan sebanyak 1 kali sehari (sebagai rumatan) Bagi penderita penyakit stroke dosis yang dianjurkan adalah 160 mg sampai 320 mg yang diberikan sebanyak 1 kali sehari (dalam waktu 48 jam setelah serangan) dan 80 mg yang diberikan sebanyak 1 kali sehari (sebagai rumatan) Dosis aspirin yang dapat digunakan pada pasien anak – anak yaitu : Bagi penderita penyakit Kawasaki dosis yang dianjurkan adalah 20 -25 mg/Kg berat badan yang diberikan sebanyak 4 kali sehari selama 14 hari (pada saat demam) dan 3 -6 mg/Kg berat badan yang diberikan sebanyak 1 kali sehari (sebagai rumatan) Dosis obat yang merupakan ambang batas terjadinya keracunan adalah 200 mg/Kg berat badan
Efek Samping Aspirin yang dapat terjadi antara lain : Alergi berupa biduran hingga sindrom Steven–Johnsons Serangan asma dan sesak napas Rasa tidak nyaman pada lambung Perdarahan spontan dan perdarahan saluran cerna Gangguang fungsi hati Gangguang fungsi ginjal Informasi Keamanan Obat Aspirin sebaiknya diminum setelah makan, bersamaan dengan makanan, atau bersmaan dengan obat antasida untuk meminimalkan iritasi lambung Obat ini sebaiknya tidak diminum bersama alkohol karena berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya pendarahan Sebaiknya tidak digunakan oleh anak – anak dan remaja karena berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya sindrom Reye, kecuali pada penyakit Kawasaki Tidak baik digunakan oleh ibu hamil karena dapat menembus plasenta yang dapat menimbulkan efek berbahaya terhadap janin Aspirin sebaiknya tidak digunakan oleh ibu menyusui karena dapat menembus kelenjar susu yang dapat menimbulkan efek berbahaya terhadap bayi.
2.4.8 Furosemid
Furosemide merupakan obat yang digunakan untuk membuang cairan berlebih di dalam tubuh. Cairan berlebih yang menumpuk di dalam tubuh dapat menyebabkan sesak napas, lelah, kaki dan pergelangan kaki membengkak. Kondisi ini juga dikenal dengan sebutan edema dan bisa disebabkan oleh penyakit gagal jantung, penyakit hati dan penyakit ginjal.
Furosemide juga digunakan untuk tekanan darah tinggi saat obat diuretik lainnya tidak bisa mengatasinya lagi. Obat ini bisa digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat diuretik lainnya, seperti triamteneatau spironolactone. Kadang-kadang obat ini juga diberi bersama dengan mineral kalium.
Tentang Furosemide
Jenis obat
Diuretik
Golongan
Obat resep
Manfaat
Mengendalikan tekanan darah tinggi dan edema (retensi cairan)
Dikonsumsi oleh
Dewasa dan anak-anak
Bentuk
Tablet, cairan yang diminum dan obat suntik
Peringatan:
Bagi wanita hamil, sesuaikan dengan anjuran dokter tentang pemakaian obat ini. Furosemide sebaiknya tidak dikonsumsi ketika sedang menyusui karena dapat berdampak pada bayi.
Harap berhati-hati bagi penderita penyakit ginjal, prostat, hati, rematik asam urat dan diabetes.
Harap waspada bagi yang mengalami dehidrasi, sulit buang air kecil, memiliki tingkat natrium dan kalium rendah dalam darah.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Furosemide
Dosis akan disesuaikan dengan kondisi yang ingin ditangani, kondisi kesehatan pasien dan kemudian direvisi menurut respons tubuh pasien terhadap obat. Dosis yang umum diresepkan dokter adalah antara 20-80 mg per hari. Sedangkan bagi anak-anak, konsultasikan dosis terlebih dahulu kepada dokter.
Mengonsumsi Furosemide dengan Benar
Ikuti anjuran dokter dan baca informasi yang tertera pada kemasan furosemide sebelum mulai menggunakannya.
Furosemide dapat dikonsumsi sebelum atau sesudah makan. Jika Anda diresepkan furosemide tablet, gunakan air putih untuk membantu menelannya.
Obat ini sebaiknya dikonsumsi sebelum sore hari karena Anda akan merasa perlu ke toilet beberapa kali selama beberapa jam dan hal ini akan mengganggu tidur Anda jika mengonsumsinya terlalu malam.
Bagi pasien yang lupa mengonsumsi furosemide, disarankan segera meminumnya begitu teringat jika jadwal dosis berikutnya tidak terlalu dekat. Jangan menggandakan dosis furosemide pada jadwal berikutnya untuk mengganti dosis yang terlewat.
Pastikan Anda memeriksakan diri ke dokter secara teratur selama mengonsumsi furosemide agar dokter dapat memonitor perkembangan kondisi Anda.
Mengonsumsi minuman keras saat sedang menggunakan furosemide berpotensi membuat Anda pusing jadi sebaiknya dihindari.
Kenali Efek Samping dan Bahaya Furosemide
Sama seperti obat-obatan lainnya, furosemide berpotensi menyebabkan efek samping. Tapi seiring dengan penyesuaian tubuh dengan obat, efek samping akan berkurang dan mereda. Efek samping yang umum terjadi akibat mengonsumsi obat ini adalah:
Mulut terasa kering
Sensitif terhadap cahaya matahari
Pusing
Sakit kepala
Sakit perut
Penglihatan buram
Merasa lelah
Segera hentikan konsumsi obat dan hubungi dokter jika Anda mengalami efek samping berkelanjutan atau alergi.
2.4.9 Ketoacid
Keto acid sering ditambahkan pada diet rendah protein pada pasien PGK (penyakit ginjal kronik) pradialisis, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tetapi juga karena pengaruh independen terhadap pemeliharaan RRF (Residual Renal Function). Sebelumnya, belum terdapat studi acak dan prospektif yang mengevaluasi pengaruh diet rendah protein dengan atau tanpa keto acid terhadap status nutrisi dan RRF pada pasien dengan dialisis peritoneal.
Studi secara acak dilakukan untuk mengetahui apakah diet rendah protein dengan atau tanpa keto acid aman dan dengan dipertahankannya RRF selama dialisis peritoneal.
2.4.10 Kalsium Polistiren Sulfonat
2.4.11 Natrium Bikarbonat
Antasida merupakan obat yang digunakan untuk menangani gejala-gejala yang terjadi akibat produksi asam lambung yang berlebihan. Salah satu di antaranya adalah natrium bikarbonat.
Beberapa jenis gangguan pencernaan yang dapat ditangani dengan natrium bikarbonat meliputi dispepsia, sakit maag, serta nyeri ulu hati. Obat ini berfungsi menetralisasi asam lambung yang jumlahnya melebihi kadar normal.
Natrium bikarbonat termasuk jenis antasida reaksi cepat dan sebaiknya tidak digunakan secara terus-menerus atau untuk jangka panjang.
Natrium bikarbonat harus digunakan dengan resep dokter. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
Peringatan
Wanita hamil hanya boleh mengonsumsi natrium bikarbonat jika dianjurkan oleh dokter.
Natrium bikarbonat kemungkinan berpengaruh pada ASI, jadi wanita yang sedang menyusui sebaiknya menghubungi dokter terlebih dulu.
Penggunaan natrium bikarbonat sebaiknya tidak lebih dari 14 hari.
Harap berhati-hati bagi yang menderita penyakit jantung, edema, gangguan ginjal, gangguan hati, gangguan saluran kemih, hipertensi, penyakit usus buntu, atau memiliki kadar sodium yang tinggi.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Natrium Bikarbonat
Dosis penggunaan natrium bikarbonat tergantung kepada tingkat keparahan gejala. Takaran umum yang digunakan adalah 1-5 gr bubuk natrium bikarbonat yang dicampur dengan segelas air dan diminum 4-6 jam sekali. Dosis tersebut dianjurkan bagi pasien anak-anak di atas 12 tahun dan dewasa.
Penggunaan antasida ini sebaiknya tidak lebih dari 14 hari. Jika digunakan untuk jangka panjang, obat ini berpotensi memicu efek samping. Temui dokter jika gejala berlanjut dan Anda telah mengonsumsi natrium bikarbonat selama 14 hari.
Mengonsumsi Natrium Bikarbonat dengan Benar
Gunakanlah natrium bikarbonat sesuai anjuran dokter dan jangan lupa untuk membaca keterangan pada kemasan.
Campurkan antasida ini dengan segelas air sebelum diminum. Jika sudah dicampur dengan air, obat ini sebaiknya segera diminum sebelum 30 menit. Hindarilah penggunaan natrium bikarbonat setelah kemasan sudah dibuka selama satu bulan.
Jangan meminumnya bersamaan dengan susu atau produk susu. Obat antasida juga sebaiknya diberikan jarak dua jam dengan waktu minum obat lain karena berpotensi memengaruhi penyerapan atau kinerja obat lain.
Obat ini akan memengaruhi tekanan darah tinggi selama masa kehamilan. Karena itu, penggunaan natrium bikarbonat bagi ibu hamil harus dengan anjuran dan pengawasan dokter.
Kenali Efek Samping dan Bahaya Natrium Bikarbonat
Semua obat berpotensi menyebabkan efek samping. Demikian juga dengan natrium bikarbonat. Beberapa efek samping yang berpotensi muncul selama menggunakan antasida ini antara lain:
Perut kembung.
Kram perut.
Segera hentikan konsumsi obat dan hubungi dokter jika Anda mengalami efek samping atau gejala-gejala Anda bertambah parah.
Bagi penderita gangguan saluran kemih, penggunaan natrium bikarbonat yang berlebihan atau overdosis dapat memicu alkalosis metabolik.
2.4.12 Asam Folat
Folavit mengandung asam folat (folic acid / Pteroylglutamic Acid) yaitu vitamin yang termasuk dalam grup Vitamin B.
Asam folat dapat ditemukan di makanan seperti sayuran hijau, buah-buahan dan buncis. Asam folat larut di dalam air dan kelebihan asam folat tidak disimpan di dalam tubuh.
Studi klinis menunjukkan bahwa pemberian asam folat sekali sehari pada wanita sebelum hamil sampai 3 bulan pertama usia kehamilan menunjukkan sekitar 70% efektif mencegah neural tube defect. Salah satu cara untuk menjamin kecukupan asam folat pada wanita hamil atau merencanakan kehamilan adalah dengan konsumsi asam folat tablet setiap hari.
INDIKASI / KEGUNAAN
Indikasi Folavit adalah untuk memenuhi kebutuhan asam folat khususnya pada wanita hamil.
2.4.13 Amoksisilin
Amoxicillin adalah salah satu jenis antibiotik penisilin yang digunakan untuk mengatasi berbagai jenis bakteri. Misalnya, amoxicillin digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran pernapasan, saluran kemih, dan telinga. Selalu konsultasikan dengan dokter sebelum mengonsumsi amoxicillin.
Amoxicillin hanya berfungsi untuk mengobati infeksi bakteri dan tidak berdampak pada infeksi virus. Obat ini membunuh bakteri dengan cara menghambat pembentukan dinding sel bakteri .
Tentang Amoxicillin
Jenis obat
Antibiotik penicillin
Manfaat
Mengatasi infeksi akibat bakteri terutama pada:
Sistem pernapasan
THT (Telinga, hidung dan tenggorokan)
Sistem pencernaan
Sistem saluran kemih
Sistem reproduksi wanita
Meninges
Kulit dan jaringan lunak
Infeksi gonore
Dikonsumsi
Dewasa dan anak-anak
Nama lain
Amoxycillin, Amox
Bentuk obat
Kapsul, cairan oral, bubuk dan suntik
Amoxicillin adalah jenis obat keras memerlukan resep dokter. Obat ini juga bisa digabungkan dengan obat lain Ada banyak jenis dan merek obat-obatan yang mengandung amoxicillin. Ingat untuk membaca kandungan di dalamnya pada bungkus obat yang Anda beli.
Peringatan:
Jangan minum obat ini jika Anda alergi terhadap penisilin.
Bagi wanita yang sedang mengandung atau sedang menyusui, pastikan untuk membicarakan dengan dokter sebelum mengonsumsi amoxicillin.
Jika Anda menjalani vaksinasi apa pun, pastikan memberi tahu dokter bahwa Anda sedang mengonsumsi amoxicillin karena amoxicillin dapat berdampak pada keefektifan vaksin.
Jika Anda sedang mengonsumsi pil kontrasepsi dan mengalami muntah-muntah akibat amoxicillin, gunakan alat pengaman tambahan seperti kondom.
Harap berhati-hati bagi penderita gangguan ginjal dalam mengonsumsi obat ini.
Amoxicillin sebaiknya tidak dikonsumsi oleh penderita demam kelenjar karena dapat menyebabkan ruam.
Jika terjadi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Amoxicillin
Dokter yang akan menentukan dosis dan lama konsumsi amoxicillin berdasarkan infeksi yang terjadi, tingkat keparahannya, dan respons tubuh. Umumnya dosis amoxicillin per hari berkisar antara 500-1500 mg untuk 7-14 hari. Khusus untuk infeksi gonore, 3 gram amoxicillin hanya perlu diminum sekali. Bagi anak-anak, dosis juga akan berdasarkan berat badan.
Mengonsumsi Amoxicillin dengan Benar
Pastikan untuk membaca petunjuk pada bungkus obat dan mengikuti anjuran dokter dalam mengonsumsi amoxicillin. Jangan mengubah dosis amoxicillin kecuali disarankan oleh dokter Anda. Jaga jarak waktu antara satu dosis amoxicillin dengan dosis berikutnya secara teratur.
Amoxicillin bisa dikonsumsi sebelum atau sesudah makan. Khususnya untuk amoxicillin bubuk, campurkan dengan setengah gelas air dan minum secepatnya setelah diaduk.
Pastikan Anda menghabiskan dosis yang sudah diberikan oleh dokter. Hal ini dilakukan untuk mencegah munculnya kembali infeksi. Jika masih belum sembuh setelah mengonsumsi semua dosis yang diresepkan, kembali temui dokter.
Jika tidak sengaja melewatkan dosis amoxicillin, segera minum begitu teringat jika jadwal dosis berikutnya tidak terlalu dekat. Jangan mengganti dosis yang terlewat dengan menggandakan dosis amoxicillin pada jadwal berikutnya.
Kenali Efek Samping dan Bahaya Amoxicillin
Walau jarang, amoxicillin berpotensi menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Jelaskan pada dokter jika Anda mengalami efek samping yang berkepanjangan dan beritahu obat yang Anda konsumsi.
Beberapa efek samping yang mungkin terjadi adalah:
Mual dan muntah
Mengalami diare
Sakit kepala
Ruam
Segera hubungi dokter jika Anda mengalami ruam, pembengkakan pada wajah atau mulut, atau kesulitan bernapas. Ini mungkin pertanda Anda alergi terhadap antibiotik jenis ini. Segera hentikan penggunaan amoxicillin dan pergilah ke rumah sakit terdekat.
2.4.14 Transfusi PRC
PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama penyimpanan, atau dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar (2/3) dari plasma dibuang.(1) Satu unit PRC dari 500 ml darah lengkap volumenya 200-250 ml dengan kadar hematokrit 70-80%, volume plasma 15-25 ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml. Mempunyai daya pembawa oksigen dua kali lebih besar dari satu unit darah lengkap. Waktu penyimpanan sama dengan darah lengkap.
Secara umum pemakaian PRC ini dipakai pada pasien anemia yang tidak disertai penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia hipoplastik kronik, leukemia akut, leukemia kronik, penyakit keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis, dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada tanda "oksigen need" (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing, dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda oksigen need hilang. Biasanya pada Hb 8-10 gr/dl.(6,8,12)
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5 %.
Keuntungan transfusi PRC dibanding darah lengkap :
1. Kemungkinan overload sirkulasi menjadi minimal
2. Reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal.
3. Reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal.
4. Akibat samping akibat volume antikoagulan yang berlebihan menjadi minimal.
5. Meningkatnya daya guna pemakaian darah karena sisa plasma dapat dibuat menjadi komponen-komponen yang lain.
Kerugian PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit, dan trombosit yang tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang dapat memicu timbulnya pembentukan antibodi terhadap darah donor. Sehingga pada pasien yang memerlukan transfusi berulang, misalnya pasien talasemia, paroksismal nocturnal hemoglobinuria, anemia hemolitik karena proses imunologik, dsb serta pasien yang pernah mengalami reaksi febrile sebelumnya (reaksi terhadap lekosit donor) Untuk mengurangi efek samping komponen non eritrosit maka dibuat PRC yang dicuci (washed PRC). Dibuat dari darah utuh yang dicuci dengan normal saline sebanyak tiga kali untuk menghilangkan antibodi. Washed PRC hanya dapat disimpan selama 4 jam pada suhu 4oC, karena itu harus segera diberikan.
2.5 Parameter Lab
2.5.1 HB (HEMOGLOBIN)
Hemoglobin adalah molekul di dalam eritrosit (sel darah merah) dan bertugas untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah pada darah ditentukan oleh kadar Hemoglobin.
Nilai normal Hb :
Wanita
12-16 gr/dL
Pria
14-18 gr/dL
Anak
10-16 gr/dL
Bayi baru lahir
12-24gr/dL
Penurunan Hb terjadi pada penderita: anemia penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-vena (misalnya infus) yang berlebihan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh obat-obatan tertentu seperti antibiotika, aspirin, antineoplastik (obat kanker), indometasin (obat antiradang).
Peningkatan Hb terjadi pada pasien dehidrasi, penyakit paru obstruktif menahun (COPD), gagal jantung kongestif, dan luka bakar. Obat yang dapat meningkatkan Hb yaitu metildopa (salah satu jenis obat darah tinggi) dan gentamicin (Obat untuk infeksi pada kulit
2.5.2 HEMATOKRIT (HMT)
Hematokrit menunjukkan persentase zat padat (kadar sel darah merah, dan Iain-Iain) dengan jumlah cairan darah. Semakin tinggi persentase HMT berarti konsentrasi darah makin kental. Hal ini terjadi karena adanya perembesan (kebocoran) cairan ke luar dari pembuluh darah sementara jumlah zat padat tetap, maka darah menjadi lebih kental.Diagnosa DBD (Demam Berdarah Dengue) diperkuat dengan nilai HMT > 20 %.
Nilai normal HMT :
Anak
33 -38%
Pria dewasa
40 – 48 %
Wanita dewasa
37 – 43 %
Penurunan HMT terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan darah akut (kehilangan darah secara mendadak, misal pada kecelakaan), anemia, leukemia, gagalginjal kronik, mainutrisi, kekurangan vitamin B dan C, kehamilan, ulkuspeptikum (penyakit tukak lambung).
Peningkatan HMT terjadi pada dehidrasi, diare berat,eklampsia (komplikasi pada kehamilan), efek pembedahan, dan luka bakar, dan Iain-Iain.
2.5.3 LEUKOSIT (SEL DARAH PUTIH)
Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh.
Nilai normal :
Bayi baru lahir
9000 -30.000 /mm3
Bayi/anak
9000 – 12.000/mm3
Dewasa
4000-10.000/mm3
Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paru-paru), meningitis (radang selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis, tonsilitis, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan oleh obat-obatan misalnya aspirin, prokainamid, alopurinol, antibiotika terutama ampicilin, eritromycin, kanamycin, streptomycin, dan Iain-Iain.
Penurunan jumlah Leukosit (disebut Leukopeni) dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus, malaria, alkoholik, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan obat-obatan, terutama asetaminofen (parasetamol),kemoterapi kanker, antidiabetika oral, antibiotika (penicillin, cephalosporin, kloramfenikol), sulfonamide (obat anti infeksi terutama yang disebabkan oleh bakter). Hitung Jenis Leukosit (Diferential Count) Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit yang ada dalam darah berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit.
Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan secara spesifik kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi. Tipe leukosit yang dihitung ada 5 yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit. Salah satu jenis leukosit yang cukup besar, yaitu 2x besarnya eritrosit (se! darah merah), dan mampu bergerak aktif dalam pembuluh darah maupun di luar pembuluh darah. Neutrofil paling cepat bereaksi terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan selama fase infeksi akut.
Peningkatan jumlah neutrofil biasanya pada kasus infeksi akut, radang, kerusakan jaringan, apendiksitis akut (radang usus buntu), dan Iain-Iain.Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi virus, leukemia, anemia defisiensi besi, dan Iain-Iain.
2.5.4 KALIUM (K)
Kalium merupakan elektrolit tubuh yang terdapat pada cairan vaskuler (pembuluh darah), 90% dikeluankan melalui urin, rata-rata 40 mEq/L atau 25 -120 mEq/24 jam wa laupun masukan kalium rendah.
Nilai normal :
Dewasa
3,5 – 5,0 mEq/L
Anak
3,6 – 5,8 mEq/L
Bayi
3,6 – 5,8 mEq/L
Peningkatan kalium (hiperkalemia) terjadi jika terdapat gangguan ginjal, penggunaan obat terutama golongan sefalosporin, histamine, epinefrin, dan Iain-Iain.Penurunan kalium (hipokalemia) terjadi jika masukan kalium dari makanan rendah, pengeluaran lewat urin meningkat, diare, muntah, dehidrasi, luka pembedahan.
Makanan yang mengandung kalium yaitu buah-buahan, sari buah, kacang-kacangan, dan Iain-Iain.
2.5.5 GLUKOSA SEWAKTU
Pemeriksaan glukosa darah tanpa persiapan persetujuan untuk melihat kadar gula darah sesaat tanpa puasa dan tanpa pertimbangan waktu setelah makan . Dilakukan untuk penjajagan awal pada penderita yang diduga DM sebelum dilakukan pemeriksaan yang sungguh-sungguh dipersiapkan misalnya nucther, setelah makan dan toleransi.
Kadar glukosa darah sewaktu (tanpa puasa) normalnya berkisar 80 - 140 mg/dL (milligram per desiliter).
Peningkatan kadar gula terjadi setelah makan dan mengalami penurunan pada pagi hari bangun tidur.
Seseorang dikatakan mengalami hyperglycemia apabila kadar glukosa dalam darahnya berada jauh di atas nilai normal.
Sebaliknya, dikatakan hypoglycemia apabila terjadi penurunan kadar glukosa darah dibawah normal.
Hasil glukosa darah sewaktu pada diabetes mencapai 140 - 200 mg/dl atau lebih.
2.5.6 BUN (BLOOD UREA NITROGEN)
BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati. Pada orang normal, ureum dikeluarkan melalui urin.Ureum (Blood Urea Nitrogen) Protein diserap tubuh melalui makanan seperti telur, ikan dan daging, sisanya yang tidak terserap merupakan sampah yang disebut ureum yang mengandung nitrogen. Apabila ginjal bekerja dengan baik, ureum tersebut akan dibuang bersama urin, namun apabila ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik ureum akan tinggal di dalam darah. Untuk itu BUN tes dilakukan untuk mengukur kadar ureum dalam darah dan mengetahui performa ginjal dalam melaksanakan tugasnya membersihkan darah.
Nilai normal :
Dewasa
5-25 mg/dl
Anak
5-20 mg/dl
Bayi
5-15 mg/dl
Rasio nitrogen urea dan kreatinin = 12 :1 – 20 :1
2.5.7 KREATININ
Kreatinin adalah sampah dari sisa – sisa metabolisme yang dilakukan oleh aktivitas otot. Sama dengan ureum, kreatinin akan menumpuk dalam darah apabila ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya untuk menyaring serta membuangnya bersama urin.
Merupakan produk akhir metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein) diproduksi dalam hati. Ditemukan dalam otot rangka dan darah, dibuang melalui urin. Peningkatan dalam serum tidak dipengaruhi oleh asupan makanan dan cairan.
Nilai normal dalam darah :
Pria
0,6 – 1,3 mg/dl
Wanita
0,5 – 0,9 mg/dl
Anak
0,4 -1,2 mg/dl
Bayi
0,7 -1,7 mg/dl
Bayi baru lahir
0,8 -1,4 mg/dl
Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka. Hal ini dapat terjadi pada penderita gagal ginjal, kanker, konsumsi daging sapi tinggi, serangan jantung. Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin nyaitu vitamin C, antibiotik golongan sefalosporin,aminoglikosid, dan lain-lain.
BAB III
STUDI KASUS
Seorang wanita berusia 59 tahun dengan berat badan awal 73 kg dan tinggi badan 156 cm didiagnosis menderita penyakit ginjal kronis dan penyakit arteri koroner. Pasien merupakan peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama pusing yang terasa berputar sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, mual, muntah, dan tekanan darah yang meningkat. Saat masuk rumah sakit, diagnosis awal pasien adalah penyakit jantung hipertensi, suspek gagal jantung kongestif, dan gagal ginjal kronis. Pasien merasa tubuhnya lemas, serta terdapat nyeri dada dan sesak. Setelah 3 hari dirawat, pasien mengeluh gangren di tangan kiri jari ketiga menjadi lebih parah.
Penderita diabetes mellitus (DM). Pasien juga didiagnosis menderita DM sekitar 2–3 tahun yang lalu disertai penyakit jantung dan gangren di kaki dan tangan sekitar 1 tahun yang lalu. Pasien mengaku mengalami penurunan berat badan dari 104 kg, saat belum didiagnosis DM, menjadi 73 kg. Pasien mengeluh penglihatannya sudah tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan. Pada saat keluar dari rumah sakit, diagnosa akhir pasien adalah penyakit ginjal kronis dengan penyulit penyakit arteri koroner dan gangren derajat 3 di tangan kiri (jari ke 3). Pengukuran petanda vital dan pemantauan gejala klinis menunjukkan bahwa kondisi pasien cenderung membaik dari hari ke hari, dibandingkan dengan saat awal masuk rumah sakit. Keluhan lemas, sesak, dan nyeri dada masih ada sejak hari pertama hingga ketujuh walaupun keluhan sesak terasa berkurang sejak hari keempat. Sejak hari ke-4 hingga ke-8, nyeri dada juga berangsur menghilang. Namun, pada hari ketiga pasien mengeluh gangren di tangan kirinya semakin parah. Pasien dipulangkan dengan status mengalami perbaikan.
Pemeriksaan laboratorium pasien hanya dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada hari ke-1, ke-2, dan ke-8 perawatan. Dokter tidak melakukan pemeriksaan labarotorium secara rutin dengan alasan hasil dari pemeriksaan laboratorium sering terlambat keluar sehingga tidak menggambarkan kondisi aktual pasien. Selain itu, keterbatasan pembiayaan dalam JKN juga menjadi pertimbangan dokter untuk tidak melakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin. Instalasi patologi klinik rumah sakit yang bersangkutan juga tidak memiliki fasilitas untuk kultur mikroba sehingga dokter cenderung melakukan penilaian kondisi pasien hanya berdasarkan pada kondisi klinis pasien.
Pada hari pertama perawatan pasien, hasil dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan nilai tidak normal pada nilai hemoglobin, hematokrit, leukosit, glukosa darah sewaktu, ureum, dan kreatinin. Hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali ringan dan hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/LVH). Nilai indeks massa tubuh (body mass index/BMI) pasien adalah 29,9 sehingga termasuk pada kategori overweight. Estimasi bersihan kreatinin (ClCr) pasien dengan metode Cockroft-Gault adalah 7,66 mL/menit/1,73 m2, sedangkan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang ditetapkan dengan metode MDRD (modification of diet in renal disease)4 adalah 3,16 mL/menit/1,73 m2. Nilai ClCr pasien menandakan pasien mengalami penyakit ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD) dan nilai LFG menandakan pasien mengalami gagal ginjal dan diindikasikan untuk hemodialisis.
Pada hari kedelapan, pasien menerima perawatan hemodialisis dan nilai bersihan kreatinin pasien lalu mengalami perbaikan. Pasien memperoleh terapi kaptopril 2 x 25 mg, isosorbid dinitrat 1 x 5 mg, asetosal 1 x 80 mg, furosemid 1 x 40 mg, ketoasid 3 x 1 kapsul, kalsium polistiren sulfonat 3 x 5 g, natrium bikarbonat 3 x 500 mg, asam folat 3 x 1 mg, dan amoksisilin 4 x 500 mg. Kondisi gangren pasien tidak mengalami perbaikan. Dokter lalu menyarankan untuk melakukan pembedahan terhadap bagian tubuh yang terkena gangren. Namun, pasien menolak untuk dibedah saat dalam perawatan dan meminta pembedahan dilakukan beberapa waktu setelah pasien diperbolehkan pulang.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien wanita, 59 tahun dengan BB 73kg dan tinggi badan 156cm, yang mana BMI pasien menunjukan angka 29,9 dan masuk dalam kategori overweight. MRS dengan keluhan: pusing, mual, muntah, tekanan darah meningkat, lemas, nyeri dada dan lemas, gangrene di tangan kiri dan mengeluh penglihatannya sudah mulai tidak jelas atau kabur. Selain itu, sekitar 2-3 tahun yang lalu pasien didiagnosis menderita DM dan disertai penyakit jantung dan gangren di tangan dan kaki sekitar 1 tahun yang lalu. Pasien merupakan peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Dari studi kasus diatas, Ny. X didiagnosis mengalami gagal ginjal kronik atau Chronik Kidney Disease (CKD) dan diindikasikan untuk hemodialysis, karena sudah mengalami stadium 5. CKD (Chronik Kidney Disease) atau Gagal ginjal kronik merupakan suatu kondisi dimana ginjal mengalami penurunan kinerja secara progresif yang mengakibatkan penimbunan sisa metabolisme dan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan sehingga diperlukan adanya perawatan atau transplantasi ginjal/ penggantian ginjal. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. Hal ini dapat ditunjukan dengan adanya nilai Estimasi Bersihan Kreatinin (ClCr) dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang tidak normal. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah laju rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar 25% dari total curah jantung per menit, ± 1,300 ml. LFG digunakan sebagai salah satu indicator menilai fungsi ginjal. Biasanya digunakan untuk menghitung bersihan keratin yang selanjutnya dimasukkan kedalam formula. Komposisi dari hasil filtrasi glomerulus adalah kalsium, asam lemak, dan mineral. Nilai ClCr pasien menunjukan angka 7,66 mL/menit/1,73 m2 sedangkan nilai LFG menunjukan angka 3,16 mL/menit/1,73 m2. Pada saat terjadi penurunan nilai LFG, perlu diperhatikan adanya komplikasi yang mungkin terjadi, seprti: hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiperpaatiroid, hipertensi, hiperhormosistinemia, dan termasuk juga anemia. CKD yang dialami pasien dapat dikarenakan adanya riwayat penyakit penyerta yang dapat memicu kerusakan nefron-nefron ginjal seperti diabetes dan hipertensi
Selain itu, jua dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk meyakinkan penyakit yang diderita pasien. Parameter laboratorium yang digunakan, antara lain:
Kreatinin adalah sampah dari sisa – sisa metabolisme yang dilakukan oleh aktivitas otot. Sama dengan ureum, kreatinin akan menumpuk dalam darah apabila ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya untuk menyaring serta membuangnya bersama urin. Merupakan produk akhir metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein) diproduksi dalam hati. Ditemukan dalam otot rangka dan darah, dibuang melalui urin. Peningkatan dalam serum tidak dipengaruhi oleh asupan makanan dan cairan. Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka. Kadar kreatinin normal untuk wanita dewasa adalah 0,8-1,3 mg%, sedangkan hasil pemeriksaan lab Ny. X pada hari 1menunjukan angka 12,6 dan hari ke 8 sebesar 4,4.
Ureum. Ureum berasal dari penguraian protein, terutama yang berasal dari makanan. Pada orang sehat yang makanannya banyak mengandung protein, ureum biasanya berada di atas rentang normal. Peningkatan kadar urea disebut uremia. Azotemia mengacu pada peningkatan semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah (urea, keratin, asam urat) pada gagal ginjal. Kadar ureum normal pada wanita dewasa adalah 20-40 mg%, sedangkan hasil pemeriksaan lab Ny. X pada hari ke-1 menunjukan angka 221 dan hari ke 8 sebesar 90.
Hemoglobin (Hb) dari pemeriksaan laboratorium Ny. X menunjukan angka dibawah batas normal. Nilai normal Hb pada wanita dewasa 12-14 g/dL sedangkan hasil pemeriksaan Ny. X pada hari ke-1 menunjukan angka 7,5 dan pada hari ke-8 menunjukan angka 7,8. Hemoglobin ditemukan dalam sel-sel darah merah dalam tubuh. Setiap sel darah merah mengandung sekitar 280 juta molekul hemoglobin. Fungsi utama hemoglobin adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan kemudian mengangkut CO2 kembali dari jaringan ke paru-paru. Satu molekul hemoglobin memiliki kemampuan untuk mengangkut sampai 4 molekul oksigen. Ginjal sehat menghasilkan hormon yang disebut EPO. EPO meminta sumsum tulang untuk membuat sel darah merah, yang kemudian membawa oksigen ke seluruh tubuh. Ketika ginjal mengalami masalah, ginjal tidak memproduksi cukup EPO. Akibatnya, sumsum tulang membuat sel darah merah sedikit, menyebabkan anemia (kurang darah). Hemoglobin rendah pada gagal ginjal akibat penurunan tingkat erytroprotein (EPO). EPO bertanggung jawab untuk produksi sel darah merah, sehingga bila ada gagal ginjal, kadar eritropoietin akan berkurang dan akhirnya akan berakhir pada tingkat sel darah merah atau hemoglobin menurun.
Hematocrit
Dari pemeriksaan laboratorium Ny. X menunjukan angka dibawah batas normal. Pada hari pertama 23. Hematokrit menunjukkan presentase sel darah merah terhadap volume darah total. Nilai normal hematocrit pada wanita adalah 35% - 45%. Penurunan nilai Hct merupakan indicator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah. Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran eritrosit normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik. Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin. Nilai Hct <20% dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian; Hct >60% terkait dengan pembekuan darah spontan. Nilai hematocrit yang dibawah normal tersebut sesuai dengan keluhan utama Ny.X pusing yang terasa berputar sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit.
Leukosit. Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paru-paru), meningitis (radang selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis, tonsilitis, dan lain-lain. Nilai normal leukosit 4.000-10.000/mm3 sedangkan hasil pemeriksaan Ny. X menunjukan angka 12.900 yang mana hal ini bisa disebabkan karena adanya infeksi di tangan yang menimbulkan gangren di jari sebelah kiri.
Kalium
Hasil pemiraksaan laboratorium Ny.X menunjukkan kadar Kalium normal yaitu 4,87. Nilai normal untuk usia 18 tahun adalah 3,5 – 5,5 mmol/L. Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan itraseluler, (bersama bikarbonat) berfungsi sebagai buffer utama. Lebih kurang 80% - 90% kalium dikeluarkan dalam urin melalui ginjal. Konsentrasi kalium dalam serum berkorelasi langsung dengan kondisi fisiologi pada konduksi saraf, fungsi otot, keseimbangan asam-basa dan kontraksi otot langsung. Implikasi klinik Kalium adalah hyperkalemia factor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium yaitu: gagal ginjal, kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit Addison, diabetes yang tidak terkontrol dan transfuse sel darah merah. Hiperkalemia juga sering dijumpai pada gangguan ginjal. Tetapi dalam studi kasus ini kadar kalium normal.
Glukosa darah sewaktu.
Glukosa dibentuk dari hasil penguraian karbohidrat dan perubahan glikogen dalam hati. Pemeriksaan glukosa darah adalah prosedur skrining yang menunjukkan ketidakmampuan sel pancreas memproduksi insuukosalin, ketidakmampuan usus halus mengabsorpsi glukosa, ketidakmampuan sel mempergunakan glukosa secara efisien, atau ketidakmampuan hati mengumpulkan dan memecahkan glikogen. Peningkatan gula darah (hiperglikemia) atau intoleransi glukosa (nilai puasa > 120 mg/dL) dapat menyertai penyakit difesiensi kalium. Faktor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium salah satunya adalah gagal ginjal.
Pada kasus ini, Ny. X juga didiagnosis menderita penyakit jantung hipertensi yang berpotensi menjadi penyakit Coronay Artery Disease (CAD) atau penyakit jantung coroner/penyakit arteri coroner adalah kondisi dimana terjadi penumpukan plak pada arteri koroner yang menyebabkan arteri koroner menjadi menyempit. Hal ini menyebabkan terhambatnya aliran darah yang disebabkan oleh akumulasi plak atau penggumpalan disekitar pembuluh darah. Salah satu factor resiko yang meningkatkan penyakit ini yakni adanya riwayat tekanan darah tinggi, kadar lemak darah yang tinggi.
PENATALAKSANAAN TERAPI
Melihat penyakit yang diderita Ny. X, membutuhkan terapi pengobatan yang kompleks sehingga sangat memungkinkan terjadinya DRPs (Drug Releated Problems). DRPs didfinisikan sebagai setiap kondisi dalam penatalkasanaan terapi pasien yang menyebabkan, atau berpotensi menyebabkan, tidak tercapainya hasil terapi yang maksimal.
Terapi obat yang diterima pasien:
Ringer asetat (iv): Dehidrasi isotonis dengan asidosis karena kehilangan bicarbonate.
NaCl 0,9% (iv): pengganti cairan plasma isotonic yang hilang,pengganti cairan pada kondisi alkalosis hipokloremia.
Ringer laktat (iv): Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
D5%/ glukosa (iv): Larutan nutrisi yang memberikan 200 kKal/Liter.Terapi cairan pengganti selama dehidrasi dan syok.
Kaptopril (po 2x 25mg; pa-so): Untuk pengidap hipertensi, gagal jantung, dan serangan jantung
Isosorbid dinitrat (po 3x 5mg; pa-si-so): untuk mencegah nyeri dada (angina) pada orang dengan kondisi jantung tertentu (penyakit jantung koroner)
Asetosal (po 1x 80 mg; pa): sebagai obat analgesik. Keguanaan aspirin dalam kasus Ny. X adalah untuk mengatasi rasa sakit yang ditimbulkan dari pusing yang dialami.
Furosemide (po 1x 40mg; pa): untuk membuang cairan berlebih di dalam tubuh. Furosemide juga digunakan untuk tekanan darah tinggi saat obat diuretik lainnya tidak bisa mengatasinya lagi.
Ketoacid (po 3x 1 kap; pa-si-so): Ketoacid sering ditambahkan pada diet rendah protein pada pasien PGK (penyakit ginjal kronik) pradialisis, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tetapi juga karena pengaruh independen terhadap pemeliharaan RRF (Residual Renal Function).
Kalsium polistiren sulfonat (po 3x 5g; pa-si-so): hyperkalemia sebagai akibat dari gagal ginjal akut dan kronis
Natrium bikarbonat (po 3x 500mg; pa-si-so): Beberapa jenis gangguan pencernaan yang dapat ditangani dengan natrium bikarbonat meliputi dispepsia, sakit maag, serta nyeri ulu hati. Obat ini berfungsi menetralisasi asam lambung yang jumlahnya melebihi kadar normal.
Asam folat (po 3x 1mg; pa-si-so): untuk memenuhi kebutuhan asam folat khususnya pada wanita hamil.
Amoksisilin (4x 500mg; pa-si-so-ma): untuk mengobati infeksi yang disebabkan karena bakteri gram positif atau negative
Transfusi PRC (iv): dipakai pada pasien anemia yang tidak disertai penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia hipoplastik kronik, leukemia akut, leukemia kronik, penyakit keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis, dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada tanda "oksigen need" (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing, dan gelisah).
KEMUNGKINAN DRPs YANGTERJADI
Pemilihan obat tidak tepat. Pemilihan antibiotik amoksisilin sebagai terapi empiris untuk gangren ringan hingga sedang juga dinilai kurang bijak karena tidak sesuai dengan pilihan antibiotik yang direkomendasikan. Tatalaksana pemilihan antibiotik untuk gangren tidak ditemukan di rumah sakit tempat studi kasus ini dilakukan. Berdasarkan dari studi literatur, antibiotic yang direkomendasikan untuk kasus ini antara lain klindamisin, sefaleksin, levofloksasin, atau amoksisilin-asam klavulanat. Akan tetapi, karena Ny. X adalah peserta JKN, maka pilihan antibiotic yang dapat digunakan adalah antibiotic levofloksasin, klindamisin, dan sefaleksin. Amoksisilin-asam klavulanat tidak termasuk dalam Formularium Nasional JKN. Bakteri yang berpotensi menyebabkan gangren pada pasien di antaranya adalah MSSA (methicillin-sensitive S. aureus), MRSA (methicillin-resistant S. aureus), Streptococcus spp, atau bakteri anaerob. Idealnya, kultur kuman diperlukan untuk memastikan terapi definitif mengingat levofloksasin suboptimal terhadap S. aureus. Namun, tidak tersedianya laboratorium untuk uji kultur kuman di rumah sakit bersangkutan sehingga pemilihan antibiotik hanya dapat dilakukan secara empiris. Dengan demikian, pilihan terapi yang dapat diberikan kepada pasien adalah dengan antibiotik klindamisin atau sefaleksin karena spektrum yang relatif luas dan mencakup bakteri anaerobik. Bila infeksi berkembang menjadi infeksi sedang, literatur merekomendasikan penggunaan kombinasi dari klindamisin dengan kuinolon (levofloksasin atau siprofloksasin). Namun, mempertimbangkan nilai GFR pasien yang sangat rendah (<10 mL/menit) penggunaan kuinolon sebaiknya dihindari. Rekomendasi durasi terapi antibiotik untuk gangren yaitu 1 hingga 2 minggu. Rekomendasi mengenai pemilihan antibiotik ini tidak dijalankan sehingga infeksi tidak mengalami perbaikan.
Dosis tidak tepat, pemilihan obat sebagai terapi tunggal tidak tepat. Ketidaktepatan pada dosis berupa dosis berlebih terjadi pada pemberian kaptopril. Pemberian kaptopril pada pasien dengan GFR <10 mL/menit sebaiknya dilakukan dengan titrasi dosis, yaitu diberikan sebanyak 50% dari dosis lazim setiap 24 jam (25 mg/ hari yang diberikan dalam dua dosis terbagi atau 2 x 12,5 mg), disertai monitoring kadar ureum, kreatinin, dan kalium secara berkala, kemudian ditingkatkan perlahan hingga dosis rekomendasi (50 mg/hari yang diberikan dalam dua dosis terbagi atau 2 x 25 mg). Rekomendasi ini juga tetap tidak dijalankan sehingga walaupun tekanan darah pasien mengalami perbaikan dan tekanan darah saat keluar dari rumah sakit adalah normal, selama perawatan tekanan darah pasien tidak terkontrol secara optimal. Pemilihan kaptopril sebagai antihipertensi tunggal tidak menghasilkan luaran terapi yang diharapkan (target tekanan darah adalah <140/90 mmHg). Rekomendasi penggunaan antihipertensi kombinasi dengan dosis titrasi apabila target tekanan darah pada pasien tidak tercapai. Pemberian antihipertensi golongan diuretik thiazide dengan dosis titrasi direkomendasikan pada hari keempat. Namun, rekomendasi ini juga tidak dijalankan sehingga tekanan darah pasien selama perawatan tetap berkisar antara 150/90 mmHg dan 140/80 mmHg.
Indikasi yang tidak ditangani. Kadar glukosa darah pasien tinggi dan tidak diperiksa secara berkala. Dengan adanya riwayat DM pada pasien dan gangren yang sedang dialami pasien, pemantauan kadar glukosa darah secara rutin sangat diperlukan pada pasien serta diberikan obat antidiabetes (OAD) jika diperlukan. Namun, pada kasus ini, pemeriksaan kadar glukosa darah hanya dilakukan satu kali, yaitu saat pasien baru masuk rumah sakit dan pasien tidak diberikan OAD. Pemantauan kembali terhadap kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah 2 jam post-prandial di hari rawat selanjutnya tidak dilakukan untuk mengkonfirmasi kondisi diabetes pasien, padahal tidak ada jaminan glukosa darah pasien stabil saat berada di rumah sakit. Bila kadar glukosa darah pasien menunjukkan nilai di atas normal, maka terapi lini pertama yang dapat direkomendasikan untuk pasien ini adalah OAD golongan tiazolidindion (misal: pioglitazon, rosiglitazon), DPP-4 inhibitor (sitagliptin, vildagliptin), ataupun golongan insulin. Waktu paruh eliminasi pioglitazon dan rosiglitazon tidak berubah pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal sedang dan berat, sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis. Namun, tiazolidindion dapat mengeksaserbasi CHF pada beberapa pasien sehingga penggunaannya pada pasien ini sebaiknya dihindari. Penggunan DPP- 4 inhibitor dapat meningkatkan nilai serum kreatinin dan penggunaannya pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal sedang hingga berat perlu diwaspadai meski tidak dikontraindikasikan. Tiazolidindion dan DPP-4 inhibitor juga tidak termasuk dalam Formularium Nasional JKN, maka terapi pemeliharaan dengan insulin subkutan dapat menjadi pilihan.
Potensi interaksi obat-obat. Interaksi obat juga rawan terjadi pada kasus ini. Interaksi dari kaptopril–furosemid dapat memunculkan efek aditif yang dapat menyebabkan hipotensi akut dan hipovolemia sehingga diperlukan monitoring pada tekanan darah, diuresis, elektrolit, dan fungsi renal.
Berdasarkan analisis terhadap kondisi pasien meskipun dengan adanya keterbatasan data yang diperlukan, apoteker klinis di rumah sakit dapat memberikan beberapa rekomendasi bagi tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam penanganan pasien untuk mencegah dan mengatasi DRPs, yaitu:
Titrasi dosis kaptopril untuk pasien. Dosis kaptopril yang diberikan kepada pasien adalah 2 x 25 mg. Dosis tersebut dapat digunakan hingga target tekanan darah (<140/90 mmHg) tercapai. Jika efek obat terhadap tekanan darah sudah tercapai, maka dosis dapat diturunkan secara bertahap sampai dosis terkecil.
Kombinasi obat antihipertensi diperlukan untuk mendapatkan kontrol tekanan darah yang lebih optimal.
Dilakukan pemeriksaan secara rutin pada kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah 2 jam post-prandial untuk mengevaluasi kebutuhan terapi OAD pada pasien.
Penggantian antibiotik dari amoksisilin ke amoksisilin-asam klavulanat dengan dosis 375–625 mg setiap 24 jam sesuai dengan GFR pasien.
Pemberian terapi tambahan untuk CAD, yaitu pemberian atorvastatin atau simvastatin untuk mengurangi risiko mortalitas dan kematian pada CAD. Statin diketahui mampu memperlambat progresivitas regregasi arterosklerosis pada penyakit arteri koroner. Walaupun demikian, penggunaan statin berisiko menyebabkan rabdomiolisis, namun hal ini sangat jarang terjadi. Rabdomiolisis umumnya terjadi pada penggunaan dosis statin di atas 20 mg/hari, terutama pada pasien yang juga menerima siklosporin, asam nikotinat, atau gemfibrozil.25,26 Pada atorvastatin tidak memerlukan adanya modifikasi dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat sehingga dapat digunakan pada dosis 10 – 20 mg/ hari. Namun, atorvastatin tidak masuk ke dalam Formularium Nasional JKN. Dosis simvastatin perlu disesuaikan, yaitu 5 mg sehari 1 kali. dan dimonitor penggunaannya. Pasien diedukasi agar segera memberitahu dokter/apoteker bila muncul keluhan nyeri otot, lemah otot, atau urin berwarna coklat.
Pemeriksaan penunjang lain yang meliputi pemeriksaan elektrolit lengkap, pH darah, protein urin, dan kolesterol (HDL, LDL, tigliserida, dan kolesterol total) perlu dilakukan secara rutin. Kultur kuman juga diperlukan agar pemilihan antibiotic tepat.
Selain pemberian rekomendasi kepada tenaga kesehatan lain, pemberian. konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada pasien juga diperlukan agar terapi lebih optimal dan pasien dapat terhindar dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Poin-poin KIE yang harus disampaikan ke pasien adalah sebagai berikut:
Cara penggunaan obat yang benar.
Mengingatkan kembali pentingnya kepatuhan terhadap terapi.
Dibutuhkannya kesadaran pada pasien agar tidak mengonsumsi obat selain obat yang diresepkan oleh dokter, atau hendaknya berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter atau apoteker sebelum mengonsumsi obat lain.
Informasi mengenai jadwal konsumsi obat yang dibawa pulang.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
Terapi obat yang kompleks dapat meningkatkan resiko terjadinya DRP yang dapat diidentifikasi melalui pemberian obat tidak tepat, penggunaan obat tanpa indikasi, dosis lebih atau kurang, efek samping dan interaksi obat dengan obat lainnya.
Saran
Perlu pemantauan terapi serta lebih kritis dalam terapi yang diterima pasien terutama apoteker klinis untuk mengoptimalkan terapi, meminimalisir resiko DRPs, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.