LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Kebutuhan Definisi penyakit Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. 1.1 Definisi Eliminasi Fekal Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang asensial dan berperan penting dalam menentukan kelangsungan hidup manusia. Eliminasi dibutuhkan untuk di butuhkan homeostastik melalui pembuangan sisa metabolisme. Secara garis besar, sisa metabolisme tersebut terbagi ke dalam dua jenis yaitu, sampah yang berasal dari saluran cerna yang di buang baik sebagai feses (nondigestiblewaste) serta sampah metabolisme yang di buang baik bersama feses ataupun melalui saluran lain seperti urine, CO2, nitrogen, dan H2O. Eliminasi terbagi menjadi dua pula yaitu eliminasi fekal (buang air besar/bab), dan eliminasi urine (buang air kecil/bak) (Asmadi. 2008).
Eliminasi fekal (defekasi) adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Sedangkan menurut Alimul Aziz (2006), Eliminasi fekal (defekasi) adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Defekasi juga disebut bowel movement (pergerakan usus).
1.2 Fisiologi Sistem Eliminasi Fekal A. Fisiologi Sistem Pencernaan 1. Mulut Gigi berfungsi untuk menghancurkan makanan pada awal proses pencernaan. Mengunyah dengan baik dapat mencegah terjadinya luka parut pada permukaan saluran pencernaan. Setelah dikunyah lidah mendorong gumpalan makanan ke dalam faring, dimana makanan bergerak ke esofagus bagian atas dan kemudian kebawah ke dalam lambung (Suara dan Mahyar, 2010). 2. Esofagus Esofagus adalah sebuah tube yang panjang. Sepertiga bagian atas adalah terdiri dari otot yang bertulang dan sisanya adalah otot yang licin. Permukaannya diliputi selaput mukosa yang mengeluarkan sekret mukoid yang berguna untuk perlindungan (Suara dan Mahyar, 2010).
3. Lambung Gumpalan makanan memasuki lambung, dengan bagian porsi terbesar dari saluran pencernaan. Pergerakan makanan melalui lambung dan usus dimungkinkan dengan adanya peristaltik, yaitu gerakan konstraksi dan relaksasi secara bergantian dari otot yang mendorong substansi makanan dalam gerakan menyerupai gelombang. Pada saat makanan bergerak ke arah spingter pylorus pada ujung distla lambung, gelombang peristaltik meningkat. Kini gumpalan lembek makanan telah menjadi substansi yang disebut chyme. Chyme ini dipompa melalui spingter pylorus kedalam duodenum. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengosongkan kembali lambung setelah makan adalah 2 sampai 6 jam (Suara dan Mahyar, 2010). 4. Usus halus Usus kecil (halus) mempunyai tiga bagian : a. Duodenum, yang berhubungan langsung dengan lambung b. Jejenum atau bagian tengah dan c. Ileum 5. Usus besar (kolon) Kolon orang dewasa, panjangnya ± 125 – 150 cm atau 50 –60 inch, terdir dari : a. Sekum, yang berhubungan langsung dengan usus kecil b. Kolon, terdiri dari kolon asenden, transversum, desenden dan sigmoid. c. Rektum, 10 – 15 cm / 4 – 6 inch.
Fisiologi usus besar yaitu bahwa usus besar tidak ikut serta dalam pencernaan/absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai sekum, maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan sampai isinya cair (disebut chyme). Selama perjalanan didalam kolon (16 – 20 jam) isinya menjadi makin padat karena air diabsorpsi dan sampai di rectumfeses bersifat padat – lunak. Fungsi utama usus besar (kolon) adalah : Menerima chyme dari lambung dan mengantarkannya ke arah bagian selanjutnya untuk mengadakan absorpsi / penyerapan baik air, nutrien, elektrolit dan garam empedu. Mengeluarkan mukus yang berfungsi sebagai protektif sehingga akan melindungi dinding usus dari aktifitas bakteri dan trauma asam yang dihasilkan feses. Sebagai tempat penyimpanan
Anus / anal / orifisium
eksternalsebelum feses dibuang.Panjangnya ± 2,5 – 5 cm atau 1 – 2 inch, mempunyai dua spinkter yaitu internal (involunter) dan eksternal (volunter) (Suara dan Mahyar, 2010).
B. Fisiologi Defekasi ( Fekal) Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu : a. Refleks defekasi instrinsik Feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum member suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar (Asmadi, 2008). b. Refleks defekasi parasimpatis Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika
refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses (Asmadi, 2008).
1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi sistem Eliminasi Fekal 1. Usia Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume
asam
lambung
menurun
seiring
dengan
proseas
penuaan.
Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim limpase (Deswani, 2009). 2. Diet Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut
mengandung
serat
dalam
jumlah
tinggi
(masa).
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltik. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat
meningkatkan
peristaltik,
tetapi
juga
dapat
menyebabkan
pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer. Beberapa jenis
makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dank ram (Deswani, 2009). 3. Asupan Cairan Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltik. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltik pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi (Deswani, 2009). 4. Aktivitas Aktivitas fisik meningkatkan peristaltik, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar
panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf (Deswani, 2009). 5. Faktor Psikologis Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltik meningkat. Efek samping peristaltik yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltik dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis.Namu, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (Deswani, 2009).
6. Kebiasaan pribadi Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan. 7. Posisi Selama Defekasi Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan benar. Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi
duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi (Deswani, 2009). 8. Nyeri Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi (Deswani, 2009). 9. Kehamilan Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi semenmtara akibat keberadaan fectus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil selama defekasi dapat menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen. 10. Pembedahan dan Anestesia Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltik berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltik. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk
mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali. Pembedahan yang melibatkan
manipulasi
usus
secara
langsung,
sementara
akan
menghentikan gerakan peristaltik. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut (Deswani, 2009). 11. Obat-obatan Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia .laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik. Waupun sama, kerja laksatif lebih ringan dari pada katartik. Apabila digunakan dengan benar, laktasif dan katartik mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun,
penggunaan katartik dalam
jangka waktu
lama
menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif .penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral, sebuah laksatif umum, menurunkan absorpsi vitamin yang larut dalam lemak. Laksatif dapat mempengaruhi kemajuan kerja obat lain dengan mengubah waktu transit (missal waktu obat berada di saluran GI). Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltik dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesik narkotik
menekan gerakan peristaltik. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun
bermanfaat
dalam
mengobati
gangguan
usus,
yakni
hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi, banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar telah diuraikan oleh Fruto (Deswani, 2009). 12. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan
normal.
Prosedur
pemeriksaan
menggunakan
barium
menimbulkan masalah tambahan.Barium mengeras jika dibiarkan di
dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus.Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur dilakukan.Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.(Deswani, 2009). 1.4 Macam- macam gangguan yang mungkin terjadi a. Kontipasi Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapatmenyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap. Penyebabnya : 1) Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain-lain. 2) Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang. 3) Meningkatnya stress psikologik dan kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama. 4) Obat-obatan : kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks BAB hilang.
5) Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga menimbulkan konstipasi. 6) Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor. 7) Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. 8) Keadaan lemah, bingung, tidak sadar, konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. b. Impaction Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak berartur, sehingga tumpukan feses yang keras di rectum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, binggung, tidak sadar, kontipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan nyeri rectum. c. Diare Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatnya sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Flatulens Flatulens yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol. e. Hemoroid Hemoroid yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadangkadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
B. Rencana asuhan klien dengan gangguan kebutuhan Eliminasi Fekal 2.1 Pengkajian 2.1.1 Riwayat Keperawatan Bagaimana pola defekasi dan keluhannya selama defekasi, secara normal, frekuensi buang air besar pada bayi sebanyak 4-6 kali/hari, sedangkan orang dewasa adalah 2-3 kali/hari dengan jumlah rata-rata pembuangan per hari adalah 150 g. - Keadaaan feses No
Keadaan
Normal
Abnormal
Penyebab
1
Warna
Bayi , Kuning
Putih,
Kurang
hitam/tar,
empedu,
atau merah
perdarahan
kadar
saluaran saluaran cerna bagian atas, atau
peradangan
saluran
cerna
bagian bawah Dewasa: coklat
2
Bau
Pucat
Malabsorpsi
berlemak
lemak
Khas feses dan Amis
dan Darah dan infeksi
3
Konsistens
dipengaruhi
perubahan
oleh makanan
bau
Lunak
dan Cair
Diare
berbentuk 4
Bentuk
dan
absorpsi kurang.
Sesuai
Kecil,
Obstruksi
dan
diameter
bentuknya
peristaltik
yang
rektum
sesperti
cepat
pensil. 5
Konsituen
Makanan yang Darah,
pus, Internal belding,
dicerna, bakteri benda asing, infeksi, yang
maati, mukus,
lemak, pigmen, cacing.
tertelan
atau benda iritasi, atau inflamasi.
empedu, mukosa
usus,
air
2.1.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaaan fisik yang meliputi keadaan abdomen seperti ada atau tidaknya distensi, simetris atau tidak, gerakan peristaltik, adanya massa pada perut, dan tenderness.
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USP
Pemeriksaan foto rontgen
Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul a. Diagnosa 1 : Kontipasi berhubungan dengan menunda defekasi. 2.2.1 Definisi : Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai kesulitan atau pengeluaran feses tidak tuntas dan / atau feses yang keras, kering dan banyak. 2.2.2 Batasan karakteristik
Adanya feses lunak, seperti pasta di dalam rektum
Anoreksia
Bising usus hiperaktif
Bising usus hipoaktif
Borborigmi
Darah merah pada feses
Distensi abdomen
Feses cair
Feses keras dan berbentuk
Keletihan umum
Massa abdomen yang dapat diraba
Massa rektal yang dapat diraba
Mengejan pada saat defekasi
Mual
Muntah
Nyeri abdomen
Nyeri pada saat defekasi
Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot
Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot
Penampilan tidak khas pada lansia (mis., perubahan status mental, inkontinensia urinarius, jatuh yang tidak jelas penyebabnya, peningkatan suhu tubuh)
Peningkatan tekanan abdomen
Penurunan frekuensi
Penurunan volume feses
Perkusi abdomen pekak
Perubahan pada pola defekasi
Rasa tekanan rectal
Sakit kepala
Sering flatus
Tidak dapat makan
Tidak dapat mengeluarkan feses
2.2.3. Faktor yang berhubungan Fungsional
Kebiasaan defekasi tidak teratur
Kebiasaan menekan dorongan defekasi
Kelemahan otot abdomen
Ketidakadekuatan toileting
Perubahan lingkungan saat ini
Rata-rata aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan menurut usia dan jenis kelamin
Mekanis
Abses rektal
Fisura anal rektal
Gangguan neurologis (mis., EEG positif, trauma kepala,
gangguan kejang)
Hemoroid
Kehamilan
Ketidakseimbangan elektrolit
Obesitas
Obstruksi pasca – bedah
Pembesaran prostat
Penyakit hirschsprung
Prolaps rektal
Rektokel
Striktur anal rektal
Tumor
Ulkus rectal
Farmakologis
Agens farmaseutikal
Penyalahgunaan laksatif
Fisiologis
Asupan cairan tidak cukup
Asupan serat tidak cukup
Dehidrasi
Kebiasaan makan buruk
Ketidakadekuatan gigi geligi
Ketidakadekuatan higiene oral
Penurunan motilitas traktus gastrointestinal
Perubahan kebiasaan makan (mis, makanan, waktu makan)
Psikologis
Depresi
Konfusi mental
Stress
Emosi
b. Diagnosa 2 : Diare berhubungan dengan inflamasi 2.2.4 Definisi :Buang air besar yang tidak teratur 2.2.5 Batasan Karakteristik
Sedikitnya mengeluarkan tiga kali buang air besar yang cair per hari
2.2.6
Suara pencernaan yang meningkat
Faktor yang berhubungan
1. Psikologi
Tingkat stress dan kecemasan yang tinggi
2. Situsional
Penyalahgunaan alcohol
Keracunan
Penggunaan obat pencahar
Radiasi
NGT/Tube Feeding
Efek yang merugikan dari pengobatan
Bahan yang dapat mengkontaminasi
Bepergian
Keadaan yang mendesak
Nyeri perut
Kram
3. Fisiologi
Inflamasi
Malabsorbsi
Proses infeksi
Iritasi
Parasit
DAFTAR PUSTAKA
Asmandi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC. Alimul Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta EGC. Carpenito, Lynda Juall. Alih bahasa : Monica Ester. 2007. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9.Jakarta : EGC. Deswani, 2009.AsuhanKeperawatan dan Berfikir Kritis. Jakarta : Selemba Medika. Marelli, TM. 2007. Buku Saku Dokumentasi Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC. Perry, Potter. 2005. Fundamental Keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC. Suara, Mahyar. 2010. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : TM.