MERSIA MURSALINA 15/377304/EK/20276
LK.P.A. 6
Pondasi Filsafat untuk Pemimpin Berbudaya
Untuk membentuk pemimpin masa depan yang mampu mededikasikan dirinya kepada masyarakat dibutuhkan pemimpin yang mengerti bagaimana menjadi seorang yang bermental budaya. Pembaca pasti bertanya-tanya mental budaya seperti apa yang dibutuhkan dalam mewujudkan pemimpin yang berdedikasi kepada masyarakat? Itulah mental untuk menerapkan budaya demokrasi sebagaimana Negara ini dirancang. Ya, Negara demokrasi dimana keputusan tertinggi terletak di tangan rakyat. Maka ada baiknya kita melihat bagaimana budaya demokrasi di Indonesia telah diterapkan.
Demokrasi merupakan salah satu paham yang lahir dari pola pikir masyarakat. Kata Demokrasi memang berasal dari Yunani (Demokratia – Kekuasaan Rakyat), namun, tata-cara mengelola kekuasaan dengan menempatkan rakyat sebagai "pemegang kuasa tertinggi" sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum zaman kolonialisme. Konsep-konsep mengenai pembatasan kekuasaan raja sudah dikenal jauh mendahului pemikir politik Perancis, Montesquieu. Oleh karena itu, untuk mengetahui peranan budaya dalam demokrasi yang sesuai dengan karakter bangsa, kita perlu melihat kembali pada konsep-konsep leluhur.
Konsep-konsep serupa itu dikenal dalam bentuk falsafah dari daerah-daerah yang ada di Nusantara, misalkan saja falsafah dari daerah saya, Minangkabau. "Bulat air karena pembuluh, Bulat kata karena mufakat, Bulat supaya boleh digelindingkan, Pipih supaya bisa dilayangkan", begitulah bunyi salah satu falsafah Minang yang menjelaskan bahwa masyarakat Minang telah memiliki mental demokrasi yang sejatinya. Tidak hanya berkata-kata dengan falsafah saja, orang Minang juga menerapkan falsafah tersebut dalam kehidupan bernagari (berdesa) dan beradat, masyarakat Minang membagi setiap nagari (desa) dengan tiga unsur pimpinan yang akan mewakili aspirasi masyarakat di bidang adat (panguhulu dan niniak mamak), ilmu pengetahuan (manti) dan agama (malin) yang terkenal dengan istilah Tiga Tungku Sejerangan.
Tungku artinya tempat menjerangkan kuali. Tungku selalu tiga, tidak ada yang dua. Gunanya, agar yang dijerangkan di atasnya dapat terletak dengan baik. Jika diibaratkan masyarakat adalah kuali, mereka akan merasa aman dan tenteram. Tidak akan ada yang jatuh ke atas api, karena kekuatan tungku yang tiga itu. Maksudnya, melalui 3 unsur pimpinan yang mewakili rakyatnya ini, masyarakat tidak akan sesat, jika tungku yang tiga itu masih tetap bekerja sama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan tungku tiga sejerangan itu merupakan simbol kukuhnya kepemimpinan masyarakat Minangkabau. Tiga unsur ini juga yang menjaga agar falsafah Minang paling dasar, "Adat berpegang pada Agama, Agama berpegang pada Al-quran" dapat selalu dipegang teguh oleh masyarakat nagari.
Dari Sumatera Barat kita melancong ke Sulawesi. Kearifan budaya Bugis juga sudah terkenal di Nusantara, sampai-sampai lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" dicurigai terinspirasi penuh dari kemahiran ilmu pengetahuan masyarakat Bugis dalam menciptakan kapal tangguh yang senantiasa mengarungi lautan, Pinisi.
Karena budaya melaut sudah mendarah daging pada diri masyarakat Bugis, mereka berpegang pada falsafah, "Yang disebut merdeka hanya tiga hal penentunya. Pertama, tidak dihalangi kehendaknya. Kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat. Ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan (demokrasi)." Konsep ini juga sudah menggambarkan demokrasi yang dianut oleh masyarakat Bugis, bangsa Indonesia.
Konsep demokrasi yang dapat dikatakan sama juga tergambar dari perbandingan 2 falsafat berikut: 1. Minang - "Keponakan beraja ke mamak (saudara laki-laki ibu), mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat." 2. Bugis – "Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum, batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak." jelas tergambar bahwa kedudukan ketetapan bersama dan menyeluruh (mufakat) amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Suara seluruh rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurusi rakyat.
Terbukalah mata dan pikiran kita tentang bagaimana budaya berdemokrasi sudah menjadi darah daging rakyat Indonesia. Dengan melihat 2 sampel suku dari 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia di atas, jelas pada dasarnya demokrasi yang dianut rakyat Indonesia merupakan demokrasi yang mengutamakan aspirasi rakyat yang beragam namun satu, memegang teguh agama serta menjunjung ilmu pengetahuan.
Merangkum dari penjelasan di atas, maka untuk membangun pemimpin yang memiliki mental berbudaya yang demokratis setiap anak muda Indonesia setidaknya harus menumbuhkan tiga pribadi utama dalam dirinya.
Pribadi Tungku Tiga Sejerangan.
Oleh sebab itu, bersyukurlah kita terlahir dalam masyarakat yang sudah memiliki budaya demokrasi, karena itu artinya kita dilahirkan untuk sebuah misi, yakni menjadi pemimpin yang berdedikasi kepada rakyat atau setidaknya menjadi pemimpin diri sendiri dalam mendedikasikan diri kepada bangsa dan Negara kita.
Selalulah ingat untuk menjadi generasi bangsa yang menanamkan sikap sebagai Penghulu (Pemimpin) yang berpegang teguh pada konsep kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Sikap sebagai Malin (religius) dan Manti (cendikiawan) yang mengerti berbagai bidang keilmuan, pembangunan dan pembaharuan bangsa. Generasi yang maju mewakilkan rakyat dengan menerapkan ilmunya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ingatlah juga untuk selalu bersikap sebagai Malin dan Manti yang mengawasi jalannya demokrasi dengan segala tekadnya untuk memperbaiki bangsa.
Dan yang terpenting, kenalilah dirimu dan generasi di bawahmu sebagai generasi muda Indonesia yang akan selalu bersusah payah berusaha dan belajar untuk mendapatkan keridhaan dalam menuntut ilmu, agar ilmu tersebut dapat menjadikan mu semakin merunduk, bak padi yang semakin berisi. Jika dirimu belum bisa merubah mental pemimpin di atas mu, maka sebijaknyalah kamu memulai dari zamanmu sendiri hingga zaman-zaman di bawahmu, sehingga mentalitas yang kokoh dapat terus terlahir secara abadi dalam balutan ramah tamah khatulistiwa.
Sumber:
Kabaranah.com, 2014, Sistem Pemerintahan (Demokrasi) Minangkabau, dilihat 14 Agustus 2015, dari http://www.kabaranah.com/2014/11/sistem-pemerintahan-demokrasi.html
CHUCKYBUGISHKA, 2012 Demokrasi dalam Suku Bugis (Amaradekangeng), dilihat 14 Agustus 2015, dari https://bugiskha.wordpress.com/2012/04/09/demokrasi-dalam-suku-bugis-amaradekangeng/