KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Makalah Sistem Integumen” ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami sajikan secara sistematis serta dengan bahasa yang sederhana sehingga lebih mudah dipahami. Adapun makalah makalah ini bersumber dari dari berbagai macam informasi, juga dari dunia maya. Dari sumber tersebut kami dapat mengembangkannya mengembangkannya sehingga menjadi kumpulan informasi yang berguna. Dalam menulis makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan yang disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat dikerjakan dengan baik. Oleh karena itu, jika seandainya dalam makalah ini terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan, kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di lain kesempatan. Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan kita semua dan berguna bagi siapa pun yang membacanya, amin.
Madiun, 01 Oktober 2017
Penulis,
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Perawat harus mempunyai kemampuan yang baik untuk pasien maupun dirinya didalam menghadapi masalah yang menyangkut etika. Seseorang harus berpikir secara rasional, bukan emosional dalam membuat keputusan etis. Keputusan tersebut membutuhkan ketrampilan berpikir secara sadar yang diperlukan untuk menyelamatkan keputusan pasien dan memberikan asuhan. Teori dasar/prinsip-prinsip etika merupakan penuntun untuk membuat keputusan etis praktik profesional. Teori-teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila terjadi konflik antara prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Para ahli falsafah moral telah mengemukakan beberapa teori etik, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi teori teleologi dan deontologi.
2.2
Tujuan
1. Mengetahui Definisi Face Off atau Transplantasi Wajah 2. Mengetahui tentang Aspek Etik Keperawatan 3. Mengetahui Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan 4. Mengetahui Prinsip-Prinsip Legal Tindakan Keperawatan
2
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1
Definisi Face Off atau Transplantasi Wajah
Transplantasi
Wajah
adalah
suatu
proses
tranplantasi kulit
untuk
menggantikan kulit wajah pasien dengan kulit donor atau kulit pasien itu sendiri. Transplantasi wajah ditujukan bagi mereka yang mengalami kerusakan kulit wajah karena kebakaran, penyakit, trauma atau cacat lahir. Operasi bedah wajah total ( face off ) adalah salah satu teknik transplantasi organ yang pernah dilakukan di Indonesia. Penyebabnya, antara lain karena adanya kulit wajah pasien yang rusak akibat tersiram air keras. Karena itu, organ kulit wajah dan pembuluh darah harus dioperasi. Kulit dan pembuluh darah yang ditranplantasikan pada kondisi ini dapat diambil dari kulit punggung dan paha pasien itu sendiri.
2.2
Aspek Etik Transplantasi
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etika kedokteran, tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi, berlandaskan beberapa pasal dalam KODEKI, yaitu: Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Pasal 7d
Setiap dokter harus seanantiasa menginggat akan kewajibannya melindungi hidup insani. Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu
3
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Bertitik tolak dari pasal-pasal tersebutdi atas, para dokter haruss menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan iptek transplantasi untuk kemaslahatan pasien dalam penyakit tersebut. Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981, pada hakikatnya telah mencangkup aspek etik,terutama mengenai dilarangnya memperjual belikan alat atau jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi ataupun meminta kompensasi material lainnya. Hal ini yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang yang akan diambil organnya, yang dilakukan oleh dua orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Ini berkaitan dengan keberhasilan transplantasi karena bertambah segar organ atau jaringan bertambah baik hasilnya. Namun jangan sampai terjadi penyimpangan yaitu pasien yang hampir meninggal, tetapi belum meninggal telah diambil organ tubuhnya. Penentuan saat meninggal seseorang di rumah
sakit
modern
dewasa
ini
dilakukan
dengan
pemeriksaan
elektroensefalagrafi dan dinyatakan meninggal jika telah terdapat mati batang otak dan secara pasti tidak terjadi lagi pernafasan dan denyut jantung secara spontan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh para dokter lain yang bukan pelaksana transplantasi agar benar-benar objektif. Dalam dekade terakhir ini telah mulai diteliti kemungkinan dilakukannnya transplantasi wajah (face transplants), sesuatu hal yang baru dalam teknologi kedokteran. Transplantasi wajah bukan bertujuan untuk kosmetik atau kecantikan, melainkan suatu terapi untuk mengubah wjah yang telah rusak berat, misalnya karena trauma, luka bakar, dan kanker mulut yang melibatkan mata, bibir, dan pipi. Melalaui transplantasi wajah dan metode bedah rekontruksi diharapkan penampilan wajahnya lebih normal. Transplantasi wajah pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Lyon, Perancis pada tahun 2005 dibawah pimpinan Dr. Jean Michel Dubernard pada pasien
4
Adelie yang wajahnya robek akibat anjingnya mengganas, sehingga bagian hidung, dagu dan bibirnya hilang. Donornya adalah seorang pasien yang otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Transplantasi berlangsung sukse, Adelie memiliki hidung,dagu, dan bibir baru. Dari segi etik, transplantasi wajah telah mengundang banyak kritik dari pakar bioetika, psikolog, psikiater dan lain-lainnya. Bagi yang pro menyatakan transplantasi wajah sangat membantu resipiens dalam penampilannya di tengahtengah masyarakat. Bagi yang kontra, merasa amat berat bagi resipiens mengemban pemakaian wajah orang lain yang telah meninggal, dampaknya terhadap keluarga donor dan resipiens dan masalah kepribadian resipiens yang tidak sesuai dengan donor sehingga menyulitkan adaptasi terhadap wajah baru. Penerimaan masyarakat sekitar merupakan hal yang penting pula,jangan sampai resipiens dikucilkan, bahkan sebaliknya masyarakat harus menunjukkan rasa simpati dan menghibur mereka yang mempunyai masalah. Di Indonesia transplantasi wajah (F ace Off) telah dilakukan pertama kali pada seorang wanita bernama Siti Nurjazilah (Lisa) berusia 22 tahun, di RS Sutomo, Surabaya pada tahun 2006, oleh tim yang dipimpin dr.M.Syaifuddin Noer,Sp.BP. Wajah Lisa menderita cedera berat dan rusak, diduga akibat ulah suaminya yang kasar. Pada operasi face off ini kulit diambil dari punggung pasien sendiri dan memerlukan pembedahan bertahap. Karena rumitnya transplantasi wajah ini, dari segi medis, etik, dan hukum masih memerlukan pembahasan lanjutan.
2.3
Prinsip-prinsip Etika Keperawatan
1)
Otonomi
Menghargai otonomi berarti komitmen terhadap klien dalam mengambil semua keputusan tentang semua aspek pelayanan. Persetujuan yang dibaca dan ditandatangani klien sebelum operasi menggambarkkan penghargaan terhadap otonomi. Persetujuan yang ditandatangani merupakan jaminan bahwa tim pelayan kesehatan telah mendapatkan persetujuan dari klien sebelum operasi dilakukan.
5
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. Jika dikaitkan dengan kasus transplantasi organ maka hal yang menjadi pertimbangan adalah seseorang melakukan transplantasi tersebut tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan tentu saja pasien diyakinkan bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang telah dipertimbangkan secara matang. 2)
Beneficience
Beneficience atau kebaikan adalah tindakan positif untuk membantu orang lain. Melakukan niat baik mendorong untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Setuju untuk melakukan niat baik juga membutuhkan ketertarikan terhadap klien melebihi ketertarikan terhdap diri sendiri. Seorang anak lebih menyukai tablet yang dihaluskan dan dicampur dengan makanan kesukaan mereka meskipun kita mengetahua kalau anak tersebut dapat menelan tablet. Janji
untuk
melakukan
kebaikan terhadap orang lain membantu dalam memenuhi keinginan anak, meskipun sedang sibuk. Beneficience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang dalam situasi pelayanan kesehatan terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi. 3)
Justice
Justice atau keadilan merujuk pada kejujuran. Penyelenggara layanan kesehatan setuju untuk berusaha bersikap adil dalam memberikan pelayanan kesehatan. Istilah ini sering digunakan dalam diskusi tentang sumber daya pelayanan
6
kesehaan . Menentukan apa yang terkait keadilan tidaklah selalu jelas. Sebagai contoh, jumlah kandidat yang menunggu transplantasi hati di Amerika adalah sekitar
93.000, jumlah kandidat lebih banyak dibanding pendonornya (United
Network for Organ Sharing [UNOS], 2006). Distribusi yang adil seperti apa yang biasa dilakukan dalam keterbatasan sumber daya ini? Kriteria yang ditentukan oleh komite multidisiplin nasional melakukan upaya untuk melakukan untuk menjamin keadilan dengan mengurutkan resipen berdasarkan kebutuhan. Di Amerika, sistem ini tetap menjadi pilihan yang lebih baik dibandingkan penjualan organ untuk mendapatkan keuntungan dimana yang terpilih adalah resipien yang mempunyai banyak uang atau pemilihan distribusi dengan undian yang akan menghasilkan distribusi acak tanpa menghargai keadilan. Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tujuan yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. 4)
Non Maleficience
Maleficience merujuk kepada tindakan yang melukai atau berbahaya. Oleh karena itu, nonmaleficience berarti tidak mencederai orang lain. Dalam pelayanan kesehatan, praktik etik tidak hanya melibatkan keinginan untuk melakukan kebaikan tetapi juga janji untuk tidak mencederai. Pelayanan kesehatan yang professional mencoba untuk menyeimbangkan antara resiko dan keuntungan dari rencana pelayanan dengan berusaha melakukan tinadakan mencederai sekecil mungkin. Sebagai contoh, prosedur transplantasi sumsum tulang memberikan kesempatan untuk sembuh tetapi di dalam prosesnya akan akan melibatkan rasa sakit. Penyelenggara pelayanan perlu mepertimbangkan hubungan dengan rasa tidak nyaman, rasa sakit akibat penyakit itu sendiri atau mungkin akibat pengobatan. Janji untuk sedikit mungkin melakukan intervensi yang melukai menggambarkan sikap nonmaleficience. 5)
Moral Right
7
Moral right atau kejujuran (veracity), memiliki prinsip berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argumen mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya. 6)
Nilai dan Norma Masyarakat
Nilai adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap sesuatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap / perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Moral hampir sama dengan etika biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional. Sebagai seorang perawat mengetahui nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat agar menjadi perawat yang pancasialis, bermoral dan profesional. Keperawatan merupakan pekerjaan yang penuh dengan hubungan. Praktik keperawatan mengharuskan kita untuk berhubungan dengan klien bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional, psikologis dan spiritual. Pada sebagian besar hubungan dekat, kita menjalin hubungan dengan pihak lain dengan harapan pihak tersebut memiliki nilai-nilai yang sama dengan kita. Tetapi dalam kasus keperawatan, kita setuju untuk melayani klien dengan hanya berdasarkan pada kebutuhan mereka akan bantuan kita. Tidak dapat dielakan bahwa kita akan
8
bekerja dengan klien dan teman sejawat yang memiliki nilai yang berbeda dengan kita. Untuk mengatasi perbedaan pendapat dan nilai, penting untuk memiliki kejelasan akan nilai nilai kita sendiri : apakah nilai kita, alasannya dan bagaimana kita menghargai nilai nilai kita sendiri pada saat kita sedang berusaha menghargai nilai nilai orang lain yang berbeda dengan kita. Nilai adalah kepercayaan individu tentang kegunaan dari ide, sikap adat istiadat atau objek yang menentukan standar yang mempengaruhi perilaku. Nilainilai yang dipegang seseorang mencerminkan pengaruh budaya dan sosial, berbeda antar individu serta terus berkembang dan berubah dari waktu kewaktu. Diskusi masalah etik memerlukan penghargaan kita terhadap pemberian nilai. Sebagai contoh, kita akan menemukan bahwa janji kita akan menghargai otonomi mendapat tantangan dari kecenderungan mengizinkan orang lain membuat keputusan penting tentang pelayanan kesehatan. Ada beberapa budaya, keputusan tentang pelayanan kesehatan bukan berasal dari satu orang melainkan berasal dari kelompok atau keputusan keluarga. Usaha kita untuk mengatasi perbedaan pendapat dan menjaga kompetensi budaya merupakan cirri khas dari sebuah praktik etik.
2.4
Prinsip – Prinsip Legal Tindakan Keperawatan
Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan atau kebidanan
dimana
nilai-nilai
pasen
selalu
menjadi
pertimbangan
dan
dihormati. a.
Advokasi Advokasi adalah memberikan saran dalam upaya melindungi dan
mendukung hak-hak pasien. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi perawat, dalam menemukan kepastian tentang dua sistem pendekatan etika yang dilakukan yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan asuhan. Perawat atau yang
9
memiliki komitmen tinggi dalam mempraktekkan keperawatan profesional dan tradisi tersebut perlu mengingat hal-hal : 1. Pastikan bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh komitmen utamanya terhadap pasen. 2. Berikan prioritas utama terhadap pasen dan masyarakat pada umumnya. 3. Kepedulian mengevaluasi terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam kesembuhan pasien. Istilah advokasi sering digunakan dalam hukum yang berkaitan dengan upaya melindungi hak manusia bagi mereka yang tidak mampu membela diri. Arti advokasi menurut ANA (1985) adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun”. Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memiliki penyebab atau dampak penting. Definisi ini mirip dengan yang dinyatakan Gadow (1983) bahwa “advokasi merupakan dasar falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu secara bebas menentukan nasibnya sendiri”. Posisi perawat yang mempunyai jam kerja 8 sampai 10 atau 12 jam memungkinkannya mempunyai banyak waktu untuk mengadakan hubungan baik dan mengetahui keunikan klien sebagai manusia holistik sehingga berposisi sebagai advokat klien (curtin, 1986). Pada dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adalah memberi informasi dan memberi bantuan kepada klien atas keputusan apa pun yang di buat kilen, memberi informasi berarti menyediakan informasi atau penjelasan sesuai yang dibutuhkan klien, memberi bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran nonaksi. Dalam menjalankan peran aksi, perawat memberikan keyakinan kepada klien bahwa mereka mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak tertekan dengan pengaruh orang lain, sedangkan peran nonaksi mengandungarti pihak advokat seharusnya menahan diri untuk tidak memengaruhi keputusan klien (Khonke, 1982). Dalam menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus menghargai klien sebagai induvidu yangmemiliki
10
berbagai karakteristik. Dalam hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap martabat dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit. b.
Responsibilitas Resposibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas-tugas yang
berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan tempat. c.
Loyalitas Loyalitas merupakan suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan
hubungan timbal balik terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Hubungan profesional dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji, menentukan masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan bersama (Jameton, 1984, Fry, 1991). Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan berbagai pihak yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat baik loyalitas kepada klien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi.
11
Daftar Pustaka Aziz Alimul Hidayat. 2004. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Meidiana Dwidiyanti. 1998. Aplikasi Model Konseptual Keperawatan. Edisi 1. Semarang: Akper Depkes Semarang
12