FAKTOR –FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN PADA PEKERJA DI PROSES PRODUKSI KANTONG SEMEN PBD (Paper Bag Division)
PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK CITEUREUP-BOGOR TAHUN 2010
SKRIPSI
OLEH: MOCH NOVAL MAULUDI (106101003694)
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M 52
53
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA Skripsi, 27 Agustus 2010 Moch. Noval Mauludi, NIM : 106101003694 Faktor–faktor yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada Pekerja Di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup-Bogor Tahun 2010 xx + 109 halaman, 28 tabel, 3 gambar, 6 lampiran.
Abstraksi Kelelahan adalah suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Kelelahan kerja ditandai dengan melemahnya tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan, sehingga akan meningkatkan kesalahan dalam melakukan pekerjaan dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja.. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja di proses produksi PBD (Paper Bag Division ) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui 100% pekerja mengalami kelelahan kerja, artinya dari 10 sampel diketahui seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 88 orang dari total populasi sebesar 168 orang pekerja. Uji statistik menggunakan Chi Square untuk melihat adanya hubungan antara kedua variabel.Yaitu variabel tekanan panas, tingkat kebisingan, masa kerja, Shift kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi dihubungkan dengan kelelahan kerja pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa yang dilaksanakan pada bulan AprilAgustus 2010. Dari hasil uji statistik didapatkan gambaran tingkat kelelahan yang paling terbanyak adalah kelelahan kerja ringan (KKR) sebanyak 34 pekerja (38,6 %), tingkat kelelahan kerja sedang (KKS) sebanyak 33 orang (37,5%), sedangkan tingkat kelelahan yang paling sedikit adalah tingkat kelelahan kerja berat (KKB) sebanyak 21 pekerja (23,9%). Dari hasil uji statistik bivariat didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,008. Artinya pada α 5 % terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan kerja. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,014. Artinya pada α 5 % terdapat hubungan antara kelompok kerja dengan kelelahan kerja. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,045. Artinya pada terdapat hubungan antara kelompok status perkawinan dengan kelelahan kerja. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan kelelahan kerja, shift kerja dengan kelelahan kerja, dan status perkawinan dengan kelelahan kerja. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan itu sendiri disamping faktor-faktor yang lain. Oleh karena itu saran yang dapat diberikan adalah mengurangi paparan
54
kebisingan yang diterima pekerja salah satunya dengan cara administrative control (memberikan pelatihan pada pekerja, menyediakan ruang kontrol sehingga pekerja bisa beristirahat), personal protective equipment (dengan menggunakan alat pelindung diri berupa safety ear plug atau ear muff), mengatur jam shift kerja sesuai dengan jam kerja normal yaitu dengan jam kerja 06-14-22, dan memberikan pendidikan atau pengarahan tentang cara pengaturan waktu istirahat antara pekerjaan dengan waktu untuk keluarga. Daftar bacaan : (1965 - 2009)
55
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Specialisation HEALTH AND SAFETY Thesis, August 2010 Moch. Noval Mauludi, NIM: 106101003694 Factors Associated With Fatigue in Workers In PBD Cement Bag Production Process (Paper Bag Division) PT. Page Citeureup Indocement-Bogor Year 2010. xx 109 pages, 28 tables, 3 images, 6 attachment. Abstraction
Fatigue is a condition that is accompanied by a decrease in work efficiency and need. Fatigue of work will reduce performance and increase the error rate of work. Fatigue is characterized by the weakening of labor in doing the work or activity, thereby increasing the error in doing the job and the result is the occurrence of fatal work accidents .. Based on the results of preliminary studies conducted on 10 workers in the production process PBD (Paper Bag Division) PT. Indocement Tbk, are known to 100% of workers experiencing job burnout, which means from 10 samples known to all workers experiencing job burnout. This research is a quantitative research with cross sectional design. The sample research of 88 people from a total population of 168 people working. Statistical test using Chi Square to see the relationship between these two variables, i.e. heat stress, noise level, years of work, Shift work, age, marital status, smoking habits, and nutritional status associated with job burnout in workers in the production process of cement bags PBD PT. Indocement conducted in AprilAugust 2010. From the test results obtained statistical overview of the most highest level of fatigue is mild fatigue of 34 workers (38.6%), fatigue level of work being as many as 33 people (37.5%), whereas the level of fatigue that most bit is the level of heavy work fatigue as many as 21 workers (23.9%). From the results of bivariate statistical tests obtained probability value of 0.008. That means at α 5% there is a relationship between noise level of work fatigue. From the results of statistical tests obtained probability value of 0.014. That means at α 5% there is a relationship between work groups with job burnout. From the results of statistical tests obtained probability value of 0.045. This means that the relationship exists between marital status groups with work fatigue. Based on the research we can conclude there is significant correlation between the noise with the fatigue of work, shift work fatigue, and marital status with job burnout. This is influenced by the environment itself as well as other factors. Therefore, the advice that could be given is to reduce the noise exposure received by workers with the administrative control (providing training to workers, providing the control room so workers can rest), personal protective equipment (by using personal protective equipment in the form of safety ear plug or ear muff), set the hour work shift in accordance with normal working hours ie 06-14-22 working
56
hours, and provide education or guidance on how the timing of a break between work with time for family. Reading list : (1965 - 2009).
57
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelelahan adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja (Budiono, 2003). Riyadina (2000) kelelahan mengandung 3 pengertian yaitu terdapatnya penurunan hasil kerja sacara fisiologik, adanya perasaan lelah dan merasa bosan bekerja. Tarwaka dkk (2004) mengatakan bahwa kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Sedangkan pendapat lain mengatakan kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja, yang dapat disebabkan sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual), kelelahan fisik umum, kelelahan syaraf, kelelahan oleh lingkungan yang monoton dan kelelahan oleh lingkungan kronis terus menerus sebagai faktor
secara menetap
(Suma’mur, 1999).
Budiono (2003) menyatakan kelelahan kerja ditandai dengan melemahnya tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan, sehingga akan meningkatkan kesalahan dalam melakukan pekerjaan
dan
akibat
fatalnya
adalah
terjadinya
kecelakaan kerja. Menurut Rizeddin (2000) kelelahan dapat menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun dan aktivitas
58
menurun. Kelelahan kerja memperlambat waktu reaksi, merasa lelah ada penurunan aktivitas dan kesulitan dalam mengambil keputusan yang menyebabkan menurunnya kinerja dan menambahnya tingkat kesalahan kerja. Sehingga dengan meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Apabila beban kerja lebih besar daripada kemampuan tubuh maka akan terjadi rasa tidak nyaman, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan produktivitas menurun (Santoso, 2004).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh kementrian tenaga kerja Jepang terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan 65 % pekerja mengeluhkan kelelahan fisik akibat kerja rutin, 28 % mengeluhkan kelelahan mental dan sekitar 7% pekerja mengeluh stress berat dan merasa tersisihkan. Miranti (2008) mengutarakan hasil penelitian yang dilakukan pada salah satu perusahaan di Indonesia tahun 2008 khususnya pada bagian produksi mengatakan rata-rata pekerja mengalami kelelahan dengan mengalami gejala sakit di kepala, nyeri di punggung, pening dan kekakuan di bahu.
Akerstedt ed Alt (2002) memprediksi beberapa faktor utama yang signifikan terhadap kelelahan, meliputi : jenis kelamin, usia, kondisi kesehatan, berlebihnya waktu yang digunakan dalam bekerja, tempat kerja dan Physically. Grandjen (1988) mengatakan bahwasanya faktor yang mempengaruhi kelelahan adalah intensitas lamanya pembebanan fisik (masa kerja) dan mental. Menurut Siswanto (1999) bahwasanya faktor penyebab kelelahan kerja adalah pengorganisasian kerja, faktor psikologis, lingkungan kerja, status kesehatan dan status gizi. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwasanya
59
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelelahan adalah kesegaran jasmani, kebiasaan merokok, masalah psikologis, status kesehatan, jenis kelamin, status gizi, waktu kerja, beban kerja, usia, dan masalah lingkungan kerja (Tarwaka, 2004).
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwasanya ada beberapa faktor yang beruhubugan dengan terjadinya kelelahan pada pekerja dibagian produksi. Silaban (1996) mangatakan bahwa 63% pekerja menderita kelelahan yang dapat berakibat terjadinya kecelakaan kerja. Kennedy (1987) mengatakan 24% orang dewasa yang datang ke poliklinik menderita kelelahan. Hasil penelitian yang dilakukan Paulina (2008) pada bagian produksi menunjukkan adanya hubungan antara tekanan panas, umur dan masa kerja dengan kelelahan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Muftia (2008) pada bagian produksi menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kimberly (2009) pada pekerja pabrik bagian produksi menunjukkan adanya hubungan antara shift kerja dengan kelelahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2008) menunjukkan adanya hubungan antara status perkawinan dan status gizi dengan kelelahan kerja.
Dari beberapa faktor-faktor penyebab kelelahan kerja di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata pekerja pada bagian produksi mengalami kelelahan. Kelelahan kerja merupakan salah satu sumber masalah bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Tentu saja hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena tenaga kerja merupakan aset perusahaan yang dapat dapat mempengaruhi produktivitas perusahaan.
PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, berdiri pertama kali pada tahun 1973, dan memulai kegiatannya dalam usaha pembuatan semen pada tahun 1975. PT. Indocement
60
Tunggal Prakarsa Tbk memiliki 12 pabrik atau plant yang tersebar ditiga lokasi yaitu 9 pabrik (plant 1-plant 8 dan plant 11 ) dengan luas area 200 Ha yang berlokasi di Citeureup-Bogor, 2 pabrik (plant 9-plant 10) dengan luas area 37 Ha yang berlokasi di Palimanan – Cirebon, serta 1 pabrik (plant 12) dengan luas area 71 Ha di TarjunKalimantan Selatan. PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk merupakan perusahaan yang sudah modern, sehingga alat-alat yang digunakan dalam proses produksi semen sudah dikendalikan oleh mesin, kecuali pada bagian proses tambang (maining), Engineering, HED (Heavy Engineering Division) dan proses produksi kantong semen PBD (Paper Bag Division) yang rata-rata memperkerjakan orang dengan jumlah pekerja yang cukup banyak. Diantara keempat tempat tersebut PBD (Paper Bag Division) merupakan salah satu pabrik yang menjalankan proses produksi secara terus menerus selama 24 jam selama 5 hari dalam seminggu. Pada proses produksi pekerja bekerja 6 jam dengan istirahat 2 jam (50%-75% kerja) dengan kondisi suhu lingkungan kerja berkisar 280 300C dan nilai tingkat kebisingannya berkisar antara 81-93 dB.
Adapun berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja di proses produksi PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui rata-rata seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja ringan 80 % dengan nilai rata tingkat kelelahan 0.338 milidetik yang mendekati pada nilai kelalahan tingkat sedang, dan kelelahan kerja berat 20 % dengan nilai rata-rata tingkat kelelahan 0.499 milidetik. Artinya, dari 10 sampel diketahui seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja. Berdasarkan studi pendahuluan tersebut, maka peneliti ingin meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT.Indocemen Tunggal Prakarsa Tbk.
61
1.2 Rumusan Masalah
PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, merupakan suatu perusahaan yang menjalankan proses produksi secara terus menerus selama 24 jam selama 5 hari dalam seminggu. Pada proses produksi pekerja bekerja 6 jam dengan istirahat 2 jam (50%-75% kerja) dengan kondisi suhu lingkungan kerja berkisar 280 -300C dan nilai tingkat kebisingannya berkisar antara 81-93 dB. Berdasarkan standar TLV (Threshold Limit Values/nilai ambang batas) tahun 2007 bahwasanya beban kerja dengan suhu 280 C termasuk pada kategori beban kerja sedang. Sedangkan berdasarkan standar nilai ambang batas tingkat kebisingan, nilai tingkat kebisingan sudah melebihi nilai ambang batas tingkat kebisingan.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja di proses produksi PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui rata-rata seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja ringan 80 % dengan nilai rata tingkat kelelahan 0.338 milidetik yang mendekati pada nilai kelalahan tingkat sedang, dan kelelahan kerja berat 20 % dengan nilai rata-rata tingkat kelelahan 0.499 milidetik. Artinya, dari 10 sampel diketahui seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin meneliti tentang faktor-faktor penyebab kelelahan.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kelelahan kerja pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
62
2. Bagaimana gambaran faktor tekanan panas dan tingkat kebisingan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 3. Bagaimana gambaran faktor shift kerja pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 4. Bagaimana gambaran faktor masa kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 5. Apakah ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja dip roses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Tahun 2010? 6. Apakah ada hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 7. Apakah ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 8. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 9. Apakah ada hubungan antara usia dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
63
10. Apakah ada hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 11. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 12. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
1.4 Tujuan 1.4.1
Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010.
1.4.2
Tujuan Khusus
1
Diketahuinya gambaran kelelahan kerja pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
2
Diketahuinya gambaran faktor tekanan panas dan tingkat kebisingan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
3
Diketahuinya gambaran faktor shift kerja pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
64
4
Diketahuinya gambaran faktor masa kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
5
Diketahuinya hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja dip roses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Tahun 2010?
6
Diketahuinya hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
7
Diketahuinya hubungan antara shift kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
8
Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
9
Diketahuinya hubungan antara usia dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
10 Diketahuinya hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
65
11 Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 12 Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010? 12.1
Manfaat Penelitian
12.1.1 Manfaat Bagi Perusahaan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi perusahaan mengenai kondisi lingkungan kerja yang berdampak terhadap kelelahan kerja karyawannya, sehingga kesehatan dan keselamatan pekerja dapat menjadi lebih baik.
12.1.2 Manfaat Bagi Peneliti
Melatih pola pikir sistematis dalam menghadapi masalah-masalah khusunya dalam bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
12.2
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010. Adapun lokasinya pada bagian proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja di psoses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Citeureup Bogor. Penelitian ini bersifat kuantitaif dengan desain cross sectional.
66
Sasaran penelitian adalah pekerja yang ada diarea produksi kantong semen dengan jumlah sampel 88 orang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada bagian produksi kanting semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Tahun 2010. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja di proses produksi PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui rata-rata seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja. Data-data yang diperoleh berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan dari objek penelitian ataupun responden selama penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari perusahaan dengan cara telaah dokumen. Data tersebut disajikan dalam tabel distribusi frekuensi, kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chisquare untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
67
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Kelelahan Kerja 2.2.Pengertian Kelelahan Kerja
Kelelahan mengandung 3 pengertian yaitu terdapatnya penurunan hasil kerja secara fisiologik, adanya perasaan lelah dan merasa bosan bekerja. Pada susunan saraf pusat terdapat sistem aktivasi dan inhibisi. Keduanya harus saling berimbang dan berda dalam kondisi stabil dalam tubuh. Jika yang beroperasi adalah sistemm inhibisi, maka akan datang rasa ngantuk atau bahkan tertidur yang berarti timbulnya rasa lelah (Riyadina, 2000). Lelah adalah keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja. Kelelahan merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan (Suma’mur, 1996). Kelelahan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka, 2004).
Menurut Cameron (1973) yang dikutip oleh Rahmawati (1998) kelelahan kerja merupakan kriteria yang kompleks yang tidak hanya menyangkut kelelahan fisiologis dan psikologis tetapi dominan hubungannya dengan penurunan kinerja fisik, adanya
68
perasaan lelah, penurunan motivasi dan penurunan produktivitas kerja. Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara subyektif dan obyektif antara lain;
1. Perasaan lesu, ngantuk dan pusing 2. Kurang mampu berkonsentrasi 3. Berkurangnya tingkat kewaspadaan 4. Persepsi yang buruk dan lambat 5. Berkurangnya gairah untuk bekerja 6. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Budiono, 2000).
Beberapa gejala tersebut dapat menyebabkan penurunan efisiensi dan efektivitas kerja fisik dan mental. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk kerja (Budiono, dkk.2000).
Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahan dalam bekerja, yang dapat dosebabkan oleh :
1. Kelelahan sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual). 2. Kelelahan fisik umum. 3. Kelelahan syaraf. 4. Kelelahan oleh lingkungan yang monoton. 5. Kelelahan oleh lingkungan kronis terus menerus sebagai faktor menetap (Suma’mur, 1999).
2.2.1. Kelelahan Kerja
secara
69
Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja (Nurmianto, 2003). Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statispun (Static Muscular Loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan RSI (Repetition Strain Injuries), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive).
Menurut
Tarwaka
(2004)
kelelahan
merupakan
suatu
mekanisme
perlindungan agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan setelah istirahat. Kelelahan (fatigue) merupakan suatu perasan yang subyektif. Kelelahan adalah suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja (Budiono, 2003). Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Selain itu karakteristik kelelahan akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan. Pendapat lain mengatakan bahwasanya kelelahan dapat menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun. Rizeddin (2000)
2.2.2. Jenis Kelelahan
Jenis kelelahan meliputi atas dua bagian:
1) Kelelahan Otot (Muscular Fatigue)
70
Kelelahan otot menurut Suma’mur (1999) adalah tremor pada otot atau perasaan nyeri yang terdapat pada otot. Hasil percobaan yang dilakukan para peneliti pada otot mamalia, menunjukkan kinerja otot berkurang dengan meningkatnya ketegangan otot sehingga stimulasi tidak lagi menghasilkan respon tertentu. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot secara fisiologis, dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan.
2) Kelelahan Umum
Pendapat Grandjean (1993) yang dikutip oleh Tarwaka, dkk (2004), biasanya kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja,yang sebabnya adalah pekerjaan yang monoton, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, Sebab-sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi. Secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subyektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik. Pengaruhpengaruh ini seperti berkumpul didalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah (Suma’mur, 1996). Menurut Budiono (2003), gejala umum kelelahan adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan terebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya terasa berat dan merasa mengantuk.
71
2.2.3. Tanda kelelahan
Pada umumnya orang lelah menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut ;
a. Penurunan perhatian b. Perlambatan dan hambatan persepsi c. Lamban dan sukar berfikir d. Penurunan kemampuan atau dorongan untuk bekerja e. Kurangnya efisiensi kegiatan-kegiatan fisik dan mental
Jika menderita lelah berat secara terus menerus maka akan mengakibatkan kelelahan kronis dengangejala lelah sebelum bekerja. Jika terus berlanjut dan menimbulkan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya maka kelelahan itu dinamakan lelah klinis yang akan mengakibatkan malas bekerja (Sedarmayanti 1996).
2.2.4. Pengukuran Kelelahan
Sampai saat ini belum ada metode pengukuran kelelahan yang baku karena kelelahan merupakan suatu perasaan subyektif yang sulit diukur dan diperlukan pendekatan secara multidisiplin (Grandjean, 1993) yang dikutip oleh Tarwaka (2004). Namun demikian diantara sejumlah metode pengukuran terhadap kelelahan yang ada, umumnya terbagi kedalam 5 kelompok yang berbeda, yaitu:
1) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap
72
unit waktu. Namun demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti; target produksi; faktor sosial; dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas output (kerusakan produk, penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan causal faktor (Tarwaka, 2004).
2) Pengujian Psikomotorik
Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot.
Sanders dan Cormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka (2004) mengatakan bahwa waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik saat suatu stimulasi terjadi. Waktu reaksi terpendek biasanya berkisar antara 150 s/d 200 milidetik. Waktu reaksi tergantung dari stimuli yang dibuat; intensitas dan lamanya perangsangan; umur subjek; dan perbedaan-perbedaan individu lainnya. Setyawati (1996) yang dikutip oleh Tarwaka (2004) melaporkan bahwa dalam uji waktu reaksi, ternyata stimuli terhadap cahaya
73
lebih signifikan daripada stimuli suara. Hal tersebut disebabkan karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada stimuli cahaya. Alat ukur waktu reaksi telah dikembangkan di Indonesia biasanya menggunakan nyala lampu dan denting suara sebagai stimuli.
3) Mengukur frekuensi subjektif kelipan mata (Flicker Fusion Eyes)
Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, disamping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja (Tarwaka, 2004).
4) Perasaan kelelahan secara subjektif (Subjektive feelings of fatigue)
Subjective Self Rating Tes dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar pertanyaan.
5) Pengujian Mental
Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan. Baurdon Wiersma test, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan konsentrasi. Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan
74
konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma tes lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental.
Menurut Grandjean (1985) yang dikutip oleh Setiarto (2002), proses penerimaan rangsangan terjadi karena setiap rangsangan yang datang dari luar tubuh akan melewati sistem aktivitas, yang kemudian secara aktif menyiagakan korteks bereaksi. Dalam hal ini sistem aktivasi retrikulasi befungsi sebagai distributor dan amplifier sinyal-sinyal tersebut. Pada keadaan lelah secara neurofisiologis, korteks cerebri mengalami penurunan aktivasi, terjadi perubahan pengarahan sehingga tubuh tidak secara cepat menjawab sinyal-sinyal dari luar . Salah satu alat guna mengetahui tingkat kelelahan adalah dengan Reaction Timer Test, yaitu alat untuk mengukur tingkat kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi seseorang terhadap rangsang cahaya dan rangsang suara. Pada keadaan yang sehat, tenaga kerja akan lebih cepat merespon rangsang yang diberi dan seseorang yang telah mengalami kelelahan akan lebih lama merespon rangsang yang diberi (Koesyanto dan Tunggul, 2005).
Menurut Koesyanto dan Tunggul
(2005), tingkat kelelahan kerja dapat
diklasifikasikan berdasarkan waktu reaksi yang diukur dengan reactiontimer yaitu:
1) Normal (N)
: waktu reaksi 150.0-240.0 milidetik
2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi >240.0-<410.0 milidetik 3) Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410.0-<580.0 milidetik
75
4) Kelelahan Kerja Berat (KKB)
: waktu reaksi >580.0 milidetik
2.2.5. Dampak Kelelahan
Perubahan fisiologis akibat kelelahan merupakan kerja Mekanisme prinsip tubuh mencakup sistem sirkulasi, sistem pencemaan, sistem otot, sistem saraf dan sistem pemafasan. Kerja fisik yang terus menerus mempengaruhi mekanisme tersebut baik sebagian maupun secara keseluruhan (Setyawati, 1994). Gejala kelelahan kerja menurut Gilmer (1966) dan Cameron (1973) yaitu menurun kesiagaan dan perhatian, penurunan dan hambatan persepsi, cara berpikir atau perbuatan anti sosial, tidak cocok dengan lingkungan, (depresi, kurang tenaga, kehilangan inisiatif), dan gejala umum (sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi paru dan jantung, kehilangan nafsu makan, gangguan pencemaan, kecemasan, pembahan tingkah laku, kegelisahan, dan kesukaran tidur). Kelelahan Kerja dapat menyebabkan prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun,
badan terasa tidak enak, Semangat kerja yang
menurun (Bartley dan Chute, 1982).
Beberapa penelitian mendapatkan hasil, bahwasanya kelelahan kerja berhubungan dengan faktor fisik, faktor pekerjaan dan faktor individu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Atik Muftia pada bagian produksi diperoleh ada hubungan antara penerangan dengan kelelahan dengan nilai pvaluenya 0,032. Hasil penelitian yang dilakukan Paulina (2008) pada proses produksi menunjukkan adanya hubungan tekanan panas dengan kelelahan kerja dengan nilai pvaluenya 0,001, ada hubungan antara umur dengan kelelahan kerja dengan nilai valuenya 0,0001 dan ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja dengan nilai pvaluenya 0,0001.
76
2.3. Faktor-faktor Penyebab Kelelahan Kerja
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Menurut, Depkes (1990) Agar seorang tenaga kerja dapat terjamin keadaan, kesehatan dan produktivitas kerja setinggi tingginya maka perlu ada keseimbangan yang menguntungkan dari faktor faktor penyebab kelalahan pekerja.
2.3.1. Tekanan Panas
Tekanan panas adalah total panas tubuh seseorang yang berasal dari kombinasi panas metabolik (internal) dan panas lingkungan (eksternal). Yang dimaksud dengan panas metabolic adalah hasil sampingan (by-product) dari proses kimia yang terjadi pada sel, jaringan dan organ (Fundamentals of industrial Hygiene, 4 th edition, Thermal stress). Panas yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut berasal dari aktivitas manusia. Suhu nikmat bekerja sekitar 24 - 26°C bagi orang- orang Indonesia, suhu
dingin
mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Suhu panas terutama berakibat menurunnya prestasi kerja pikir. Penurunan sangat hebat sesudah 32°C. Suhu panas mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris (Suma’mur, 1996).
NAB (Nilai Ambang Batas) adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatakan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Biasanya ahli hygiene industry menggunakan parameter yang disebut Wet Bulb Globe
77
Thermometer (WBGT) Index atai Indeks Suhu Basah Bola dan suhu globe/radiasi. Seseuai dengan Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang ditetapkannya syarat-syarat keeslamatan dan kesehatan kerja, salah satu sumber bahaya yang ditemukan di tempat kerja adalah bahaya kondisi fisik berupa iklim kerja panas.
Lingkungan kerja yang panas umumnya lebih banyak menimbulkan permasalahan dibandingkan lingkungan kerja dingin. Hal ini terjadi karena pada umumnya manusia lebih mudah melindungi dirinya dari pengaruh suhu udara yang rendah dari pada suhu udara yang tinggi (Ardyanto, 2005). Lingkungan kerja yang panas dan lembab akan menurunkan produktifitas kerja yang juga akan membawa dampak negatif terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (Santoso, 2004).
Beban kerja fisik yang berat yang berhubungan dengan waktu kerja yang lebih dari 8 jam, maka dapat menurunkan produktivitas kerja serta meningkatnya angka kecelakaan kerja dan sakit (Budiono dkk., 2000). Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Diantara mereka ada yang lebih cocok untuk beban fisik, mental ataupun sosial (Suma’mur, 1996). Akibat beban kerja yang terlalu berat
dapat
mengakibatkan pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja (Depkes dan Kessos RI, 2000). Bahkan banyak juga dijumpai kasus kelelahan kerja dimana hal itu adalah sebagai akibat dari pembebanan kerja yang berlebihan ( Sugeng Budiono dkk., 2000).
Pekerjaan fisik yang berat jika diperpanjang akan mengakibatkan perubahan fisiologis dan dapat diukur. Misalnya saja, detak jantung, penggunaan oksigen dan
78
ketegangan otot (Anies, 2002). Setiap beban kerja harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh seseorang. Apabila beban kerja lebih besar dari kemampuan tubuh maka akan terjadi rasa tidak nyaman (paling awal), kelelahan (overstress), kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan produktivitas menurun (paling akhir). Sebaliknya, apabila beban kerja lebih kecil dari kemampuan tubuh maka akan terjadi understress, kejenuhan, kebosanan, kelesuan, kurang produktif dan sakit (Santoso, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan Paulina (2008) pada bagian produksi PT. X menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tekanan panas dengan kelelahan kerja, dengan nilai pvaluenya 0,001.
2.3.1.1.Dampak Kesehatan yang Ditimbulkan Oleh Panas
Mungkin panas tidak dipersoalkan bila tidk ada dampak yang timbul bagi manusia, karena pada dasarnya panas itu sangat diperlukan keberadaannya hal tersebut erat kaitannya dengan energi. Namun demikian kenyataannya terdapat energi panas yang belebihan yang kotak dengan manusia. Berkaitan dengan adanya energi panas yang kontak dengan manusia, berikut ini merupakan dampak kesehatan yang diakibatkan oleh panas yang berlebihan berdasarkan OSHA (Ocupational Safey and Health Administration) adalah sengatan panas (Heat stroke), Kelelahan karena panas (Heat exhaustion), Heat Collapse, kejang panas (Heat Cramp), Heat rash, dan Heat Fatigue.
2.3.1.2.Pengukuran Panas
Berikut ini merupakan hal-hal yang harus diperhatikan daam pengukuran panas :
79
1. Penentuan titik sampling
Titik sampling sangat mempengaruhi data mengenai keberadaan atau kondisi panas yang mewakili area panas berlebih. Oleh karena itu lokasi titik sampling yang akan dijadikan lokasii pengukuran harus tepat dengan memperhatikan beberapa cara. Pertama, pada area tersebut terdapat sumber panas, baik peralatan maupun prosesnya. Kedua, secara subjektif pada area tersebut terdapat perbedaan temperatur dengan suhu lingkungan. Ketiga, pada area tersebut terdapat pekerja yang melakukan pekerjaan.
2. Persiapan alat ukur
Alat ukur yang digunakan tergantung dari sampling yang akan kita ukur. Untuk mengukur ssampling lingkungan alat yang kita gunakan adalah Thermal Environmental Monitor atau yang biasa disebut WBGT (Wet Bulb Globe
Temperature).
Sedangkan
untuk
pengukuran
panas
personal
menggunakan alat Personal Heat Monitoring.
Berikut ini merupakan persiapan yang dilakukan terhadap alat ukur sebelum alat tersebut digunakan :
a. Pastikan bahwa alat ukur dalam kondisi yang baik (berfungsi). b. Lakukan kalibrasi internal dengan lat kalibrasi yang terseia.
80
c. Tutup thermometer suhu basah dengan aquades tunggu selama _+ 10-15 menit. d. Pasang WBGT pada alat penyannga (tripod). e. Pelaksanaan pengukuran
Berikut ini merupakan langkah-langkah pengukuran :
a. Letakan alt pada lokasi sampling 2 feet (-+60 cm) dari permukaan tanah, untuk pekerja yang dominan duduk dalam bekerja. b. Aktifkan alat (tanpa logging) selama -+ 15 menit untuk adaptasi alat. c. Aktifkan logging data sesuai dengan waktu pengukuran yang diinginkan. d. Matikan logging data jika selesai dan data siap untuk diproses atau dicetak.
2.3.1.3.Evaluasi Jumlah Panas Metabolik (Beban Kerja)
Evaluasi jumlah panas metabolik tubuh dapat diperoleh dengan menggunakan estimasi pengukuran panas metabolik menurut NIOSH 1986 yang dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Estimasi Pengukuran Panas Metabolik A
Body position and movement
Kcal/min*
81
Sitting Standing Walking Walking uphill
0.3 0.6 2.0 -3.0 Add 0.8 per meter rise
Average Type of work Kcal/min Range kcal/min Hand work Light 0.4 0.2 – 1.2 Heavy 0.9 Work one arm Light 1.0 0.7 – 2.5 Heavy 1.8 Work both arms Light 1.5 1.0 – 3.5 Heavy 2.5 Work whole body Light 3.5 Moderate 5.0 2.5 – 9.0 Heavy 7.0 Very Heavy 9.0 1.0 C Basal metabolism D Sample calculation** Average Kcal/min Assembling work with heavy hand tools Standing 0.6 Two arm work 3.5 Basal metabolism 1.0 Total 5.1 kcal/min * For standard worker of 70 kg body weight (154 lbs) and 1.8 m2 body surface (19.4 ft2) ** Example of measuring metabolic heat production of worker when performing initial screening Sumber: NIOSH Occupational Exposure to Hot Environments, 1986 B
Selain estimasi pengukuran panas metabolik menurut NIOSH 1986, panas metabolisme dapat diukur melalui perhitungan beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi (lampiran 1). Menurut Palupi (2005) beban kerja merupakan beban yang dialami oleh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaan yang dilakukannya. Penilaian beban kerja dilakukan dengan pengukuran berat badan tenaga kerja, pengamatan aktifitas tenaga kerja dan kebutuhan kalori berdasarkan pengeluaran
82
energi sesuai tabel perhitungan beban kerja. Pengamatan aktifitas kerja dilakukan dengan cara pengamatan pada kategori jenis pekerjaan dan posisi badan pekerja setiap jam, kemudian posisi dan lama gerakan tersebut dicatat dan dihitung.
2.3.1.4.Evaluasi Tingkat Beban Kerja
Evaluasi tingkat beban kerja diperoleh dengan mengkategorikan hasil estimasi pengukuran panas metabolisme menurut NIOSH 1986 sesuai dengan kategori OSHA pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tingkat Beban Kerja No Pengukuran Panas Tingkat Beban Metabolik Kerja 1 < 200 kcal/jam Ringan 2 200 - 350 kcal/jam Sedang 3 350 - 500 kcal/jam Berat 4 > 500 kcal/jam Sangat Berat Sumber : OSHA
2.3.1.5.Standar Tekanan Panas
ACGIH menetapkan nilai ambang batas paparan panas yang diperbolehkan TLV dalam satuan °C WBGT sesuai dengan tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Batas Pajanan Tekanan Panas untuk Pekerja Yang Teraklimatisasi Allocation of work in a cycle of work and recovery
TLV (WBGT values in °C) Very Light Moderate Heavy Heavy
83
75% to 100% 50% to 75% 25% to 50% 0% to 25%
31.0 31.0 32.0 32.5
28.0 29.0 30.0 31.5
27.5 29.0 30.5
28.0 30.0
Sumber : ACGIH TLV and Biological Exposure Indices, 2007
Tabel 2.4 Batas Pajanan Tekanan Panas untuk Pekerja yang tidak teraklimataisasi Allocation of work in a cycle of work and recovery 75% to 100% 50% to 75% 25% to 50% 0% to 25%
Action Limit (WBGT values in °C)e Light 28.0 28.5 29.5 30.0
Moderate Heavy 25.0 26.0 27.0 29.0
24.0 25.5 28.0
Very Heavy
24.5 27.0
Sumber : ACGIH TLV and Biological Exposure Indices, 2007 2.3.2. Tingkat Kebisingan
Kebisingan merupakan bunyi yang didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis dan bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki (Suma’mur, 1996). Bunyi dinilai sebagai bising sangatlah relatif sekali, suatu contoh misalnya musik di diskotik, bagi orang yang biasa mengunjungi tempat itu tidak merasa suatu kebisingan, tetapi bagi orang–orang yang tidak pernah berkunjung di diskotik akan merasa suatu kebisingan yang mengganggu (Gabriel, 1997). Setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stres, kelelahan, hilang efisiensi dan ketidaktenangan (Sutaryono, 2002).
84
Menurut Suma’mur (1996) bunyi didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getaran- getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi- bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut hertz (Hz) dan intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam desibel (db). Telinga manusia mampu mendengar frekuensi- frekuensi diantara 16- 20.000 Hz.
Pengukuran kebisingan biasanya dilakukan dengan tujuan memperoleh data kebisingan di perusahaan atau dimana saja sehingga dapat dianalisis dan dicari pengendaliannya. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah dengan menggunakan sound level meter dengan satuan intensitas kebisingan sebagai hasil pengukuran adalah desibel (dBA). Alat ini mampu mengukur kebisingan diantara 30 -130 dBA dan dari frekuensi 20-20000 Hz. Alat kebisingan yang lain adalah yang dilengkapi dengan octave band analyzer dan noise dose meter (Depnaker, 2004).
2.3.2.1. Nilai Tingkat Baku Kebisingan Adalah angka dB yang dianggap aman untuk sebagian besar tenaga kerja bila bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51 tahun 1999, Nilai Ambang Batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Hasil penelitian yang dilakuka oleh Muftia (2005) menunjukkan adanya hubungan
85
antara tingkat kebisingan dengan kelelahan. Dengan nilai pvaluenya 0,000. Waktu maksimum bekerja adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5. NAB Kebisingan Menurut KepMenNaker NO. 51 TAHUN 1999
Waktu Pemajanan per Hari 8
Jam
Intensitas Kebisingan dalam dBA 85
4
88
2
91
1
94
30
Menit
97
15
100
7,5
103
3,75
106
1,88
109
0,94
112
28,12
Detik
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
Sumber : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP.51/MEN/1999
2.3.2.2.Pengukuran Kebisingan
86
Pengukuran adalah kunci dalam meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh kebisingan. Pengukuran kebisingan tidak jauh berbeda dengan survey bising. Untuk lebih memadai, pengukuran kebisingan harus dapat mengidentifikasi pekerja yang terekspos pada tingkatan yang berbahaya (tidak standar) dan menghasilkan informasi yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam menentukan peraturan perusahaan terkait dengan kebisingan. Contoh dari peraturan perusahaan terkait dengan kebisingan adalah penurunan pajanan kebisingan; pelindung telinga; tanda zona wajib memakai pelindung telinga; pembekalan /pelatihan terhadap karyawan.
1. Alat Pengukur Kebisingan
Untuk mengetahui intensitas bising di lingkungan kerja, digunakan Sound Level meter. Untuk mengukur nilai ambang pendengaran digunakan Audiometer. Untuk menilai tingkat pajanan pekerja lebih tepat digunakan Noise Dose Meter karena pekerja umumnya tidak menetap pada suatu tempat kerja selama 8 jam ia bekerja. Nilai ambang batas (NAB) intensitas bising adalah 85 dB dan waktu bekerja maksimum adalah 8 jam per hari.
Sound Level Meter
adalah alat pengukur suara. Mekanisme kerja SLM
apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakan meter penunjuk. Audiometer adalah alat untuk mengukur nilai ambang pendengaran. Audiogram adalah chart hasil pemeriksaan audiometri.
87
Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih dapat didengar telinga.
Adapun operasional pengkuran dapat dilakukan sebagaimana Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.: Kep-48/MENLH/11/1996 sebgai berikut :
a. Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah penentuan standar yang akan diacu dalam survei. b. Pemeriksaan instrumen. Hal ini meliputi pemeriksaan batere sound level meter (SLM) dan kalibrator, serta aksesories misalnya windscreen, rain cover, dan lain-lain. c. Kalibrasi instrumen. Hal ini harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah pengukuran berlangsung. d. Pembuatan denah lokasi dan titik dimana pengukuran dilakukan. e. Bila pengukuran dilakukan dengan free-field microphone (standar IEC) maka SLM diarahkan lurus ke sumber.
Sedangkan jika
mikropon yang digunakan merupakan random incidence microphone (ANSI), maka SLM harus diorientasikan sekitar 70o - 80o terhadap sumber bising. f. Dalam keadaan kebisingan berasal dari lebih dari satu arah, maka sangat penting untuk memilih mikropon dan mounting yang tepat yang terbaik.
memungkinkan untuk mencapai karakteristik omnidirectional
88
g. Pemilihan weighting network yang sesuai. h. Pemilihan
respons
detektor
yang
sesuai,
F
atau
S
untuk
mendapatkan pembacaan yang akurat. i. Hindarkan refleksi baik dari tubuh operator maupun blocking suara dari arah tertentu. j. Saat pengukuran berlangsung, selalu perhtikan haal-hal berikut: (a) Hindari pengukuran dekan bidang pemantul; (b). Lakukan pengukuran pada jarak yang tepat, sesuai dengan standar atau baku mutu yang diacu; (c). Cek bising latar; (d). Pastikan 77 tidak terdapat perintang terhadap sumber
bising
yang
diukur;
(e).
Selalu
gunakan windshield
(windscreen), dan (f). Tolak pembacaan overloud. k. Laporan harus terdokumentasi dengan baik. Laporan ini sedikitnya harus terdiri dari: (a). Sket pengukuran (meliputi orientasi dan kedudukan SLM,
luas
ruangan
atau tempat
pengukuran
dilakukan
serta
kedudukan sumber bising); (b). Standar yang diacu; (c). Identitas instrumen;
jenis
dan
nomor
seri;
(d).
Metode
kalibrasi;
(e).
Weighting network dan respons detektor yang digunakan; (f). Deskripsi jenis suara (impulsif, kontinyu, atau tone); (g). Data bising latar; termasuk chart yang digunakan untuk perhitungan; (h). Kondisi lingkungan; tekanan atmosfir; (i). Data obyek yang diukur (jenis mesin, beban, kecepatan, dll); (j). Tanggal pengukuran dan nama operator.
2.3.3. Penerangan
89
Menurut peraturan pemerintah (1999), penerangan ditempat kerja adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksakan kegiatan secara efektif. Penerangan dapat berasal dai cahaya alami dan buatan. Penerangan adalah penting sebagai suatu faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa penyelidikaan mengenai hubungan antara produktivitas dengan penerangan telah memperlihatkan, bahwa penerangan yang cukup dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan dapat menghasilkan produksi maksimal dan penekanan biaya (Sutaryono, 2002).
Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda- benda di tempat kerja. Banyak obyek kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Suma’mur, 1996). Penerangan di tempat kerja merupakan salah satu faktor yang perlu diupayakan penyempurnaannya. Penerangan yang baik mendukung kesehatan kerja dan memungkinkan tenaga kerja bekerja dengan lebih aman dan nyaman, yang antara lain disebabkan karena mereka dapat melihat obyek yang dikerjakan dengan jelas, cepat dan tanpa upaya tambahan, serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan.
Akibat- akibat penerangan yang buruk adalah:
1. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja. 2. Kelelahan mental. 3. Keluhan- keluhan pegal di daerah mata, dan sakit kepala sekitar mata.
90
4. Kerusakan alat penglihatan. 5. Meningkatnya kecelakaan (Budiono, 2003).
2.3.4. Getaran
Getaran adalah beresonansinya tubuh manusia akibat adanya sumber getaran yang dapat menimbulkan gangguan berupa ganguan kesehatan. (Depnaker, 1993) Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah
bolak- balik dari
kedudukan kesetimbangannya. Getaran terjadi saat mesin atau alat dijalankan dengan motor, sehingga pengaruhnya bersifat mekanis. Menurut Budiono (2003) pengaruh getaran pada tenaga kerja dapat dibedakan:
1. Gangguan kenikmatan dalam bekerja. 2. Mempercepat terjadinya kelelahan. 3. Gangguan kesehatan
Getaran suatu benda dapat dihindari dengan meletakkan bahan peredam di bawah benda yang bergetar. Bahan peredam harus jauh lebih rendah frekuensinya dari frekuensi getaran benda. Frekuensi dari bahan peredam sebaiknya sekitar 1 Hz (Gabriel, 1997).
2.3.5. Ventilasi
Ventilasi di dalam suatu industri atau pertukaran udara di dalam industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi atau kenyamanan pekerja. Di samping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar suatu kontaminan di udara tempat
91
kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja (Depnaker, 1993).
2.3.6. Shift Kerja
Perbedaan waktu kerja di
pagi, siang dan malam hari juga mempengaruhi
kelelahan tenaga kerja. Tingkat kelelahan tenaga kerja yang bekerja di malam hari akan lebih besar jika dibanding kerja di pagi atau siang hari. Hal itu dikarenakan jumlah jam kerja yang dipakai tidur bagi pekerja malam pada siang harinya relatif jauh lebih kecil dari seharusnya, dikarenakan gangguan suasana siang hari seperti kebisingan, suhu, keadaan terang, beban yang harus diselesaikan pada siang hari seperti pekerjaan rumah dan mengurus anak dan oleh karena kebutuhan badan yang tidak dapat diubah seluruhnya menurut kebutuhan, yaitu terbangun oleh dorongan lapar atau buang air kecil yang relatif lebih banyak pada siang hari (Suma’mur, 1996). Berdasarkan hasil peneltian yang dilakukan oleh Febriana, (2009)
menunujukan adanya hubungan antara shift kerja
dengan kelelahan, dengan nilai pvaluenya 0,000.
2.3.7. Psikologis
Pekerjaan apapun akan menimbulkan reaksi psikologis bagi yang melakukan pekerjaan itu. Reaksi tersebut dapat bersifat positif misalnya, senang, bergairah, dan merasa sejahtera atau reaksi yang bersifat negatif misalnya, bosan, acuh, tidak serius, stres dan sebagainya (Notoatmodjo, 1997). Tenaga kerja yang mempunyai masalah psikologis amatlah mudah mengidap suatu bentuk kelelahan kronis (Budiono dkk., 2000). Salah satu penyebab dari reaksi psikologis adalah pekerjaan yang monoton yaitu, suatu
92
kerja yang berhubungan dengan hal yang sama dalam periode atau waktu yang tertentu, dan dalam jangka waktu yang lama dan biasanya dilakukan oleh suatu produksi yang besar (Budiono dkk, 2000). Rasa bosan merupakan manifestasi dari reaksi suasana yang monoton (Nurmianto, 2003). Dalam hal ini kebosanan merupakan ungkapan perasaan tidak enak secara umum, yakni suatu perasaan resah, kurang menyenangkan dan lelah (Anies, 2002). Rasa bosan dapat dirasakan oleh siapa saja. Kebosanan biasanya banyak dialami oleh pekerja dalam bidang industry misalnya saja operator mesin tenun, mesin cetak dan sejenisnya yang sifatnya monoton dan berulang–ulang (Budiono dkk, 2000).
Menurut Budiono dkk, (2000) bila kebosanan berlangsung terus dan tidak diatasi, maka akan timbul:
1) Timbulnya rasa kesal, lemas, dan lelah; 2) Berkurangnya kewaspadaan; 3) Perasaan tidak betah dan menghindar dari pekerjaan (absensi tinggi); 4) Terjadinya kerusakan atau kesalahan dalam bekerja akibat kurangnya konsentrasi; 5) Terjadinya kecelakaan kerja; 6) Turunnya produktivitas kerja.
Menurut Anies (2002) upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kebosanan adalah; (1) Perlu dilakukan kesesuaian antara tenaga kerja dengan pekerjaannya; (2) Melakukan perputaran pekerjaan (job rotation); (3) Mengubah kondisi lingkungan kerja.
2.3.8. Masa Kerja
93
Tekanan melalui fisik (beban kerja) pada suatu waktu tertentuk mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, gejala yang ditunjukkan juga berupa pada makin rendahnya gerakan. Keadaaan ini tidak hanya disebabkan oleh suatu sebab tunggal seperti terlalu kerasnya beban kerja, namun juga oleh tekanan–tekanan yang tera-kumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang. Keadaan seperti ini yang
berlarut–larut
mengakibatkan memburuknya kesehatan, yang disebut juga kelelahan klinis atau kronis. Perasaan lelah pada keadaan ini kerap muncul ketika bangun di pagi hari, justru sebelum saatnya bekerja, misalnya berupa perasaan kebencian yang bersumber dari perasaan emosi (Budiono dkk, 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2008)
terdapat hubungan antara masa kerja dengan tingkat kelelahan, dengan nilai
pvaluenya 0,002.
2.3.9. Usia
Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan duapuluhan dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia (Lambert, 1996: 244). Departemen Kesehatan RI menyebutkan bahwa usia produktif adalah antara 15-54 tahun (www.Depkes-RI.go.id). Menurut Hidayat (2003) mandapatkan bukti di negara Jepang menunujukan bahwa pekerja yang berusia 40-50 tahun akan lebih cepat menderita kelelahan dibandingkan dengan pekerja relative lebih muda. Dengan menanjaknya umur maka kemampuan jasmani dan rohanipun akan menurun secara perlahan-lahan. Aktivitas hidup juga berkurang, yang mengakibatkan semakin bertambahnya ketidak mampuan tubuh dalam berbagai hal (Margatan, 1996).
94
Pada usia lanjut jaringan otot akan mengerut dan digantikan oleh jaringan ikat. Pengerutan otot menyebabkan daya elastisitas otot berkurang (Margatan, 1996). Proses menjadi tua diserta kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahan-perubahan pada alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Suma’mur, 1996). Hasil penelitian yang dilakukan Paulina (2008) pada bagian produksi PT. X menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur responden dengan kelelahan kerja, dengan nilai pvaluenya 0,0001.
2.3.10. Jenis Kelamin
Laki laki dan wanita berbeda dalam hal kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya. Menurut pengalaman ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural. (Depnaker, 1993). Pria dan wanita berbeda dalam kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui ukuran tubuh dan kekuatan otot dari wanita relatif kurang jika dibandingkan pria. Kemudian pada saat wanita sedang haid yang tidak normal (dysmenorrhoea), maka akan dirasakan sakit sehingga akan lebih cepat lelah (Suma’mur, 1996).
2.3.11. Status Perkawinan
Kinsey (1965), membagi status pernikahan kedalam 3 kelompok yaitu single, married, dan post married. Kelompok single adalah kelompok yang tidak menikah atau belum menikah. Kelompok married adalah kelompok yang sedang berada dalam status pernikahan yang sah secara hokum, sedangkan kelompok post married adalah kelompok
95
yang sudah pernah menikah tetapi kemudian berpisah karena perceraian atau kematian. Pernikahan menyebabkan meningkatnya tanggung jawab yang dapat membuat pekerjaan tetap lebih berharga dan penting. Tugas- tugas perkembangan yang dimiliki oleh orang yang sudah menikah menurut sudirman (1987):
1. Belajar hidup dengan paangan dalam perkawinan 2. Mulai hidup berkeluarga 3. Memelihara anak 4. Mengatur rumah tangga 5. Memulai dalam pekerjaan
Seseorang yang sudah menikah dan memiliki keluarga maka akan mengalami kelelahan akibat kerja dan setelah dirumah harus melayani anak dan istrinya yang mana waktu terebut digunakan untuk beristirahat (Irma, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2008)
terdapat hubungan antara status perkawinan
dengan tingkat kelelahan, dengan nilai pvaluenya 0,01.
2.3.12. Kebiasaan Merokok
Semakin lama dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru–paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya tingkat kesegaran juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam
96
darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul kelelahan (Tarwaka, 2004). Seseorang dapat diakatan perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang perhari, dikatakan perokok sedang apabila merokok 10-20 batang perhari dan dikatakan perokok berat apabila merokok lebih dari 20 batang perhari (Bustan, 2000).
2.3.13. Status Kesehatan
Kesehatan fisik sangat penting untuk menduduki suatu pekerjaan. Tidak mungkin seseorang dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik jika sering sakit. (Hasibuan, 2000). Riwayat alamiah penyakit yang pernah diderita oleh karyawan juga berhubungan dengan tingkat kelelahan kerja. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan kelelahan: Pertama adalah penyakit jantung. Kerja fisik yang sangat berat merupakan kondisi yang sangat menegangkan yang harus dihadapi oleh sistem sirkulasi normal. Hal ini karena pada beberapa kondisi, aliran darah yang melalui otot dapat meningkat lebih dari 20 kali lipat. Kenaikan dari aliran darah ini juga dapat meningkatkan aktivitas jantung lebih dari normal. Kenaikan aliran darah ini salah satunya adalah dikarenakan berkurangnya O2 dalam jaringan otot (Guyton & Hall, 1997). Kekurangan O2 yang berkurang secara cepat memungkinkan terjadi metabolisme anaerobik dimana akan menghasilkan asam laktat yang mempercepat kelelahan (Santoso, 2004). Penempatan sebelum tenaga kerja bekerja harus disesuaikan dengan keadaan kemampuan jantung seorang tenaga kerja (Suma’mur, 1996).
Kedua adalah hipertensi. Hipertensi adalah suatu penyakit dimana salah satu penyebabnya adalah karena tekanan tinggi
pada arteri sehingga arteri kehilangan
97
kelenturannya untuk mengembang dan menyempit sehingga terjadi penyumbatan dan mengganggu peredaran darah (Gunawan, 2001). Pada waktu bekerja fisik berkurangnya aliran darah selama kontraksi otot adalah akibat tertekannya pembuluh darah oleh otot yang berkontraksi (Guyton & Hall, 1997). Terbatasnya aliran darah pada otot (ketika berkontraksi), otot menekan pembuluh darah dan membawa O2 memungkinkan terjadinya kelelahan
(Santoso, 2004). Kelelahan merupakan gejala dari hipertensi
(kenaikan tekanan darah) dan pada umumnya bersamaan dengan sakit kepala (gejala utama) dan pada kasus-kasus berat dengan sesak nafas pada gerakan berlebihan dan pusing (Gibson, 1985).
Ketiga adalah penyakit ginjal. Pengaruh
kerja terhadap faal ginjal terutama
dihubungkan dengan pekerjaan yang perlu mengerahkan tenaga dan yang dilakukan dalam cuaca kerja panas. Kedua-duanya mengurangi peredaran darah ke ginjal dengan akibat gangguan penyediaan zat–zat yang diperlukan oleh ginjal (Suma’mur 1996:). Kelelahan merupakan suatu gejala
dari gagal ginjal.
Kelelahan timbul bersamaan
dengan muntah–muntah, sedu, lidah yang kering, pigmentasi yang kekuning–kuningan pada kulit, depresi dan kebingungan (Gibson, 1985).
2.3.14. Kesegaran Jasmani
Kepentingan kesegaran jasmani dalam pemeliharaan kesehatan tidak diragukan lagi, semakin tinggi tingkat kesehatan, maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula (Yasrin, 1996). Manusia yang sehat dan memiliki tingkat kesegaran yang baik akan mampu berprestasi dalam pekerjaan sehingga tingkat produktivitas akan meningkat (Pradono, 1999). Kesegaran jasmani adalah kemampuan seseorang menyelesaikan tugas
98
sehari-hari dengan tanpa mengalami kelelahan yang berarti, dengan pengeluaran energi yang cukup besar guna memenuhi kebutuhan geraknya dan menikmati waktu luang serta untuk memenuhi keperluan darurat bila sewaktu-waktu dibutuhkan (Sajoto, 1988). kesegaran jasmani adalah kemampuan dan kesanggupan tubuh dalam penyesuaian atau adaptasi terhadap pembebanan fisik yang diberikan kepadanya tanpa menimbulkan kelelahan berlebihan ( Dangsina,1984 ). Jadi apabila keadaan seseorang tidak dalam keadaan segar jasmaninya maka berpotensi terjadinya kelelahan. 2.3.15. Status Gizi
Kesehatan dan daya kerja sangat erat kaitannya dengan tingkat gizi seseorang. Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan
untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan
kerusakan sel dan jaringan. Zat makanan tersebut diperlukan juga untuk bekerja dan meningkat sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan (Suma’mur, 1996). Tingkat gizi, terutama bagi pekerja kasar
dan berat adalah faktor penentu derajat produktivitas
kerjanya. Beban kerja yang terlalu berat sering disertai penurunan berat badan (Suma’mur, 1996).
Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan menghitung IMT dengan rumus: Berat badan (kg) IMT = Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Kategori berat badan menurut IMT :
1. Kekurangan berat badan tingkat berat
: <17,0
2. Kekurangan berat badan tingkat ringan : 17,0-18,5
99
3. Normal
: >18,5-25,0
4. Kelebihan berat badan tingkat ringan
: >25,0-27,0
5. Kelebihan berat badan tingkat berat
: >27,0
Tabel 2.6. Kerugian Berat Badan yang Kurang Ideal Berat badan (1) Kurang (kurus)
Kelebihan (gemuk)
Kerugian (2) Penampilan cenderung kurang baik, mudah lelah, risiko penyakit tinggi, wanita kurus yang hamil mempunyai risiko tinggi melahirkan bayi dengan BBLR, kurang mampu bekerja keras. Penampilan kurang menarik, gerakan tidak gesit dan lamban, risiko penyakit jantung, pada wanita dapat menyebabkan gangguan haid.
Sumber: I Dewa Nyoman Supariasa, dkk., (2002:61).
Berat badan yang kurang ideal baik itu kurang ataupun kelebihan dapat menimbulkan kerugian. Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Akibat kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Bila hal ini berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan terjadi kemerosotan jaringan, dengan meningkatnya defisiensi zat gizi maka muncul perubahan biokimia dan rendahnya zat–zat gizi dalam darah, berupa rendahnya tingkat Hb, serum vitamin A dan karoten. Dapat pula terjadi peningkatan beberapa hasil metabolisme seperti asam laktat dan piruvat pada kekurangan
tiamin. Bila keadaan ini berlangsung lama, akan mengakibatkan
100
terjadinya perubahan fungsi tubuh yang tanda-tandanya, yaitu kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek dan lain-lain (Supariasa dkk., 2002). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2008) terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat kelelahan, dengan nilai pvaluenya 0,002.
2.4. Pengendalian Dan Penanggulangan Kelelahan
Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor. Yang terpenting adalah bagaimana menangani setiap kelelahan yang muncul
agar tidak menjadi kronis. Agar dapat
menangani kelelahan dengan tepat, maka harus diketahui apa penyebab dari kelelahan tersebut (Tarwaka, 2004). Menurut Budiono (2000) Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara:
1) Pengaturan jam kerja. 2) Pemberian kesempatan istirahat. 3) Adanya masa–masa libur dan rekreasi. 4) Penerapan ilmu ergonomi dalam bekerja. 5) Penggunaan musik ditempat kerja. 6) Memperkenalkan perubahan rancangan produk. 7) Merubah metoda kerja menjadi lebih efisien dan efektif. 8) Menciptakan suasana lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman
2.5. Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang dikatakan oleh Grandjean (1988), Setyawati (1994) Siswanto (1999), Akerstedt ed Alt (2002) dan Tarwaka (2004) mengenai beberapa faktor
101
utama yang signifikan yang menyebabkan terjadinya kelelahan, meliputi : jenis kelamin, usia, kelebihan kerja (overtime work), tempat kerja, Physically, intensitas, durasi kerja fisik, mental, penerangan, tingkat kebisingan, status kesehatan, nutrisi, lingkungan kerja, dan penyebab yang berkaitan dengan tempat kerja (kerja shift, suhu ruang kerja, penerangan, kebisingan, monotoni pekerjaan dan kebosanan). Berdasarkan teori yang telah disebutkan bahwasanya ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelelahan. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat kerangka teori di bawah ini :
102
Tekanan Panas Tingkat Kebisingan Penerangan Getaran Ventilasi Shift Kerja
Kelelahan
Psikologis
Massa Kerja Usia Jenis Kelamin Status Perkawinan Kebiasaan Merokok
Status Kesehatan Kesegaran Jasmani Status Gizi
Sumber : Grandjean (1988), Setyawati (1994) Siswanto (1999), Akerstedt ed Alt (2002) dan Tarwaka (2004). Gambar 2.1. Kerangka Teori
103
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Kerangka konsep ini mengacu pada faktor kondisi lingkungan yang diteliti, fakta-fakta kejadian dan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tekanan panas, tingkat kebisingan, masa kerja, shift kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi dengan kelelahan
pada pekerja. Adapun
variabel getaran dan penerangan tidak dilakukan karena tidak adanya alat untuk mengukur dalam penelitian ini, sehingga hal ini menjadi salah satu kekurangan dalam penelitian. Sedangkan untuk variabel ventilasi tidak diteliti karena area produksi memilki ventilasi yang ada merupakan ventilasi terbuka. Faktor psikologis merupakan faktor yang subyektif sehingga sulit didapatkannya hasil yang pasti atau signifikan. Jenis kelamin tidak diteliti karena homogen yaitu lakilaki. Tingkat keterampilan pekerja memiliki karakteristik yang sama karena bekerja dengan menggunakan mesin. Faktor status kesehatan merupakan persyaratan responden yang mengisi kuesioner berada dalam kondisi yang sehat. Adapun faktor kesegaran jasmani tidak diteliti karena faktor tersebut sudah tergambarkan dalam variabel status keehatan.
104
Kerangka konsep terdiri dari variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen) tekanan panas, tingkat kebisingan, masa kerja, Shift kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi dijadikan sebagai varibel bebas, sedangkan kelalahan ditetapkan sebagai variabel terikat. Hubungan antara beberapa varibel tersebut digambarkan dalam bagan di bawah ini:
Tekanan panas Tingkat Kebisingan Masa kerja
Shift kerja
Kelelahan Kerja
Usia Status perkawinan Kebiasaan merokok Status gizi
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
54
3.2.Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel 1. Kelelahan Kerja
Definisi Menurunnya kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah dan reaksi motor
Alat Ukur Reaction timer test
Cara Ukur Pengukuran lansung
Hasil Ukur 0) Kelelahan Kerja Berat (KKB) : waktu reaksi > 580.0 milidetik 1) Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410.0-<580.0 milidetik 2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi >240.0-<410.0 milidetik 3) Normal (N) : waktu reaksi 150.0-240.0 milidetik. Koesyanto
Skala Ordinal
(2005) 2.
Tekanan Panas
Hasil pengukuran indeks WBGT dan tingkat beban kerja yang disesuaikan dengan standar ACGIH 2007,yaitu nilai ambang batas berdasarkan tekanan panas lingkungan kerja.
1. Heat Pengukuran lansung Stress Monitor dengan merk Quest Temp 34° 2. Beban kerja 3. Waktu
0. Terpapar tekanan panas 1. Tidak terpapar tekanan
Ordinal
panas
54
55
kerja yang dilewati Pengukuran langsung
0. > 85 dB 1. < 85 dB
Ordinal
Waktu yang dilalui pekerja sejak bekerja di Kuesioner bagian produksi PBD PT Indocement Prakasa Tbk. Citeureup Kerja bergilir yang dilakukan di luar jam Kuesioner kerja normal (Kuswadji, 1997)
Wawancara
0. > 10 tahun 1. < 10 tahun
Ordinal
Wawancara
0. Shiftt 3 (Pukul 22-7) 1. Shiftt 2 (Pukul 15-22) 2. Shift 1 (Pukul 07-15)
Ordinal
Usia
Masa yang pernah dilalui seseorang sejak tahun kelahiran sampai waktu penelitian (Afriani, 2002).
Kuesioner
Wawancara
0. > 40 tahun 1. < 40 tahun
Ordinal
7
Status perkawinan
Wawancara
0. Kawin 1. Belum kawin
Ordinal
8
Kebiasaan Merokok
Kuesioner Keterangan yang menunjukkan riwayat pernikahan tenaga kerja yang terdapat pada kartu identitas pekerja, dan dikategorikan atas kawin dan tidak kawin. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang Kuesioner dalam menghisap rokok mulai dari satu batang ataupun lebih dalam satu hari.
Wawancara
0. Berat (> 20 batang/hari)
Ordinal
3
Tingkat kebisingan
Suara yang tidak diinginkan atau tidak nyaman untuk didengar.
4
Masa Kerja
5
Shiftt Kerja
6
Bustan, (2000)
Sound Level meter.
1. Sedang (10-20) batang/hari) 2. Ringan (< 10 abtang /hari) 3. Tidak merokok (0 batang/hari) Bustan, (2000)
55
56
9
Status Gizi
Suatu kondisi yang menggambarkan keadaan gizi pada orang dewasa dengan memperhitungkan indeks masa tubuh (IMT)
Kuesioner, Timbangan, kalkulator dan meteran
Pengukuran lansung
0. Kurus ( < 18.5) 1. Gemuk ( > 25) 2. Normal (18.5 - 25)
Ordinal
(Supariasa dkk.,2002 )
56
57
3.3. Hipotesis
1. Ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010. 2. Ada hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010. 3. Ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010. 4. Ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010. 5. Ada hubungan antara usia dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010. 6. Ada hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010. 7. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010.
57
58
8. Ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010.
58
59
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional (potong lintang) karena pada penelitian ini variabel independen dan dependen akan diamati pada waktu (periode) yang sama.
4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2010 di bagian produksi kantong semen PBD (Paper Bag Division) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Citeurup-Bogor.
4.3 Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah operator yang bekerja di produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yaitu sebesar 168 orang. Sedangkan sampel yang diambil menggunakan simple random sampling dan mengambil sampel sebanyak 88 orang pekerja yang mewakili populasi dengan menggunakan uji beda proporsi dengan rumus sebagai berikut:
n=
(z
1-α
2 (1- )+ z1-ß α P1(1- P1)+ P2(1- P2)
)2
(P1- P2)2
59
60
Keterangan : n
:
Besar sampel
:
Rata-rata proporsi pada populasi (Afriani, 2002)
P1
: Proporsi status gizi buruk terhadap kelelahan kerja
P2
: Proporsi status gizi baik terhadap kejadian kelelahan kerja
z1-α
:
Derajat kemaknaan α pada uji 2 sisi α = 95%
z 1-β
:
Kekuatan uji 80%
Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebesar:
n=
(1,96
2x0,45(1- 0.45)+ 0.84 0.61(1- 0.61)+ 0.30(1- 0.30)
)2
(0.61-0.30)2
=
40
=
40 x 2 = 80
Untuk menghindari terjadinya drop out atau missing jawaban dari responden maka perlu ditambahkan 10% dari jumlah sampel tersebut, sehingga jumlah sampel keseluruhan sebesar 88 orang, dengan kriteria (Hendra, 2003): 1. Tidak mempunyai riwayat penyakit jantung 2. Tidak sedang menderita sakit/demam 3. Tidak sedang mengalami kelainan fungsi ginjal 4. Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan (obat-obatan yang dikonsumsi baik dari dokter ataupun tidak) 5. Tidak sedang menderita flue, batuk, dan asma.
60
61 4.4 Pengumpulan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Heat Stress Monitoring Questemp “34o”, Sound Level Meter untuk mengukur kebisingan, Reaction Timer Test untuk mengukur kelelahan, timbangan dan meteran untuk mengukur IMT sedangkan kuesioner digunakan untuk mengukur variable independen yang lain.
4.4.1 Kelelahan
Reaction Timer Test merupakan alat untuk mengukur tingkat kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi terhadap rangsang cahaya. Prinsip kerja dari alat ini adalah memberikan rangsang tunggal berupa signal cahaya atau lampu yang kemudian direspon secepatnya oleh tenaga kerja, kemudian dapat dihitung waktu reaksi tenaga kerja yang mencatat waktu yaang dibutuhkan untuk merespon signal tersebut. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali, setiap hasil pengukuran dijumlahkan, kemudian diambil nilai rata-ratanya.
Hasil pengukuran dibandingkan dengan standar pengukuran kelelahan yaitu :
a. Normal : waktu reaksi 150,0 – 240,0 mili detik b. Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi >240,0 - <410,0 mili detik c. Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410,0– <580,0 mili detik d. Kelelahan Kerja Berat KKB)
: waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik.
4.4.2 Tekanan Panas
Tekanan panas diketahui dengan menentukan beban kerja yaitu dengan cara pengukuran jumlah panas metabolik berdasarkan jenis pekerjaan masing-masing. Setelah itu
61
62 mengukur suhu dengan menggunakan HSM indeks WBGT untuk mengetahui kondisi lingkungan suhu pekerja. Kemudian setelah itu tekanan panas dapat diketahui sesuai dengan lamanya jam kerja.
4.4.2.1 Data Panas Lingkungan (Indeks WBGT)
Data mengenai panas lingkungan kerja diperoleh dengan cara pengukuran langsung pada lokasi penelitian menggunakan
Heat Stress Monitoring Quest temp “340”
merupakan alat untuk mengukur iklim kerja, adapun cara yang dapat dilakukan adalah:
1. Persiapan pengukuran 1) Tentukan titik sampling/pengukuran 2) Siapkan alat ukur (1) Pastikan alat ukur dalam kondisi baik dan berfungsi (2) Lakukan kalibrasi internal menggunakan alat kalibrasi yang tersedia (3) Tutup termometer suhu basah dengan kain katun (4) Lakukan set-up untuk mengatur beberapa indikator pengukuran yaitu: bahasa, satuan, tanggal/bulan/tahun, jam/menit/detik, heat index, humidity index, dan logging rate (5) Basahi dengan aquades dan tunggu selama ± 10 - 15 menit (6) Pasang WBGT pada alat penyangga (tripod). 2. Pelaksanaan Pengukuran (Eksekusi) 1) Pastikan WBGT diletakkan pada lokasi yang tepat 2) Letak WBGT jangan sampai mengganggu proses kerja
62
63
3) Letak WBGT jangan sampai membahayakan kondisi alat 4) Operator harus memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja 5) Berkoordinasi dengan pekerja maupun petugas di lapangan. 6) Letakkan alat pada lokasi sampling -
2 feet (± 60 cm) dari permukaan tanah untuk pekerja yang dominan duduk
-
3.5 feet (± 100 - 110 cm) dari permukaan tanah untuk pekerja yang dominan berdiri
7) Aktifkan alat (tanpa logging) selama ± 15 menit (untuk adaptasi) 8) Aktifkan logging data sesuai dengan waktu pengukuran yang diinginkan 9) Matikan logging data jika telah selesai dan data siap diproses atau dicetak. 4.4.2.2 Data Panas Metabolik
Evaluasi jumlah panas metabolik tubuh dapat diperoleh dengan menggunakan estimasi pengukuran panas metabolik menurut NIOSH 1986 yang dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Estimasi Pengukuran Panas Metabolik
A
B
Body position and movement Sitting Standing Walking Walking uphill Average Type of work Kcal/min Hand work Light 0.4 Heavy 0.9
Kcal/min* 0.3 0.6 2.0 -3.0 Add 0.8 per meter rise Range kcal/min 0.2 – 1.2
63
64
Work one arm Light 1.0 0.7 – 2.5 Heavy 1.8 Work both arms Light 1.5 1.0 – 3.5 Heavy 2.5 Work whole body Light 3.5 Moderate 5.0 2.5 – 9.0 Heavy 7.0 Very Heavy 9.0 1.0 C Basal metabolism D Sample calculation** Average Kcal/min Assembling work with heavy hand tools Standing 0.6 Two arm work 3.5 Basal metabolism 1.0 Total 5.1 kcal/min * For standard worker of 70 kg body weight (154 lbs) and 1.8 m2 body surface (19.4 ft2) ** Example of measuring metabolic heat production of worker when performing initial screening Sumber: NIOSH Occupational Exposure to Hot Environments, 1986
Hasil estimasi tersebut (lampiran 2) kemudian disesuaikan dengan kriteria beban kerja menurut OSHA pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Tingkat Beban Kerja No
Pengukuran Panas Metabolik
Tingkat Beban Kerja
1
< 200 kcal/jam
Ringan
2
200 - 350 kcal/jam
Sedang
3
350 - 500 kcal/jam
Berat
4
> 500 kcal/jam
Sangat Berat
Sumber : OSHA
64
65
Hasil estimasi atau perkiraan perhitungan beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi yang selanjutnya disesuaikan dengan kriteria beban kerja menurut OSHA kemudian dianalisis sesuai dengan observasi alokasi waktu kerja dalam siklus kerja dan pemulihan kerja pada operator untuk menetapkan standar indeks WBGTi yang diperbolehkan pada lingkungan kerja tersebut sesuai dengan ACGIH 2007 yang dapat dilihat pada tabel 4.2. Responden dikatakan terkena tekanan panas jika hasil pengukuran indeks WBGTi lingkungan kerja melebihi standar nilai yang ditetapkan dari hasil analisis. Hasil berdasarkan pengukuran panas dijadikan sebagai indikator pengukuran tingkat beban kerja yang dialami oleh responden.
Tabel 4.3 Batas Pajanan Tekanan Panas untuk Pekerja yang Teraklimatisasi Allocation of work TLV (WBGT values in °C) in a cycle of work Very Light Moderate Heavy and recovery Heavy 75% to 100% 31.0 28.0 50% to 75% 31.0 29.0 27.5 25% to 50% 32.0 30.0 29.0 28.0 0% to 25% 32.5 31.5 30.5 30.0 Sumber : ACGIH TLV and Biological Exposure Indices, 2007 4.4.3 Tingkat Kebisingan
65
66 Nilai ambang batas (NAB) intensitas bising adalah 85 dB dan waktu bekerja maksimum adalah 8 jam per hari. Adapun operasional pengukuran dapat dilakukan sebagaimana berikut :
l.
Penentuan standar yang akan diacu dalam survei.
m. Pemeriksaan instrumen. Hal ini meliputi pemeriksaan batere sound level meter (SLM) dan kalibrator, serta aksesories misalnya windscreen, rain cover, dan lainlain. n. Kalibrasi instrument dilakukan selama 1 menit sebelum dan sesudah pengukuran berlangsung. o. Pembuatan denah lokasi dan titik dimana pengukuran dilakukan. p. Bila pengukuran dilakukan dengan free-field microphone (standar IEC) maka SLM diarahkan lurus ke sumber. Sedangkan jika mikropon yang digunakan merupakan random
incidence microphone
(ANSI), maka
SLM
harus
diorientasikan sekitar 70o - 80o terhadap sumber bising. q. Dalam keadaan kebisingan berasal dari lebih dari satu arah, maka sangat penting untuk memilih mikropon dan mounting yang tepat yang memungkinkan untuk mencapai karakteristik omnidirectional terbaik. r.
Pemilihan weighting network yang sesuai.
s. Pemilihan respons detektor yang sesuai, F atau S untuk mendapatkan pembacaan yang akurat. t.
Hindarkan refleksi baik dari tubuh operator maupun blocking suara dari arah tertentu.
u. Saat pengukuran berlangsung, selalu perhatikan haal-hal berikut: (a) Hindari pengukuran dekat bidang pemantul; (b). Lakukan pengukuran pada jarak yang tepat, sesuai dengan standar atau baku mutu yang diacu; (c). Cek bising latar; (d). Pastikan 66
67 tidak terdapat perintang terhadap sumber bising yang diukur; (e). Selalu gunakan windshield (windscreen), dan (f). Tolak pembacaan overloud.
4.4.4 Data Umur
Data umur diperoleh melalui wawancara kepada operator dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.
4.4.5 Perhitungan IMT
Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan menghitung IMT dengan rumus:
Berat badan (kg) IMT = Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Kategori berat badan menurut IMT :
6. Kekurangan berat badan tingkat berat
: <17,0
7. Kekurangan berat badan tingkat ringan
: 17,0-18,5
8. Normal
: >18,5-25,0
9. Kelebihan berat badan tingkat ringan
: >25,0-27,0
10. Kelebihan berat badan tingkat berat
: >27,0
4.4.5.1 Data Berat Badan
67
68 Data mengenai berat badan diperolehnya dengan cara melakukan penimbangan berat badan langsung menggunakan timbangan badan pada saat sebelum beraktifitas. Langkah-langkah pengukuran tersebut adalah:
1. Pastikan jarum pada displai ada pada posisi nol 2. Lepaskan sepatu atau alas kaki lainnya 3. Berdiri di atas timbangan 4. Baca hasil pada display yang ditunjukkan oleh jarum metal 4.4.5.2 Data Tinggi Badan
Data tinggi badan diperoleh melalui pengukuran tinggi badan langsung menggunakan meteran/alat pengukur tubuh. Kemudian Catat hasil pengukuran yang ada.
4.5 Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Mengkode data (data coding)
Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode jawaban responden, dilakukan pada pembuatan kuesioner untuk mempermudah pengolahan data selanjutnya. Diamana coding dilakukan pada kuesioner, jika lelah tingkat berat pengkodean = 0, jika lelah sedang dengan pengkodean = 1. Dan jika lelah ringan dengan pengkodean = 2. Semua variabel independen pun dikodekan, Yaitu :
68
69 a) Tekanan panas ; mengalami tekanan panas = 0, dan tidak mengalami tekanan panas = 1. b) Kebisingan ; > 85 dB = 0, dan < 85 dB = 1. c) Shift kerja ; Shiftt 3 (Pukul 22-7) = 0, Shiftt 2 (Pukul 15-22) = 1, dan Shift 1
(Pukul 07-15)=2. d) Usia > 40 tahun = 0, usia < 40 tahun = 1. e) Status pernikahan; menikah = 0, belum menikah = 1. f) Kebiasaan merokok; Berat (> 20 batang/hari) = 0, Sedang (10-20 batang/hari)
=1, Ringan (< 10 abtang /hari) = 2, dan 3 = (0 batang/hari= tidak merokok). g) Status gizi ; Kurus ( < 18.5) = 0, Gemuk ( > 25) = 1, dan Normal (18.5 - 25) = 2
2. Menyunting data (data editing)
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap jawaban kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian ini.
3. Memasukkan data (data entry)
Memasukkan data dari hasil kuesioner yang sudah di berikan kode pada masingmasing variabel, kemudian dilakukan analisis data dengan memasukan data-data tersebut dengan program SPSS untuk dilakukan analisi univariat (untuk mengetahui gambaran secara umum), dan bivariat (mengetahui variabel yang berhubungan).
4.
Membersihkan data (data cleaning)
69
70
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan kedalam program SPSS untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
4.6 Analisis Data 4.6.1
Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel independen (tekanan panas, kebisingan, shift kerja, masa kerja, usia, pendidikan, stastus perkawinan, kebiasaan merokok dan status gizi) dan variabel dependen (kelelahan kerja) yang dikehendaki dari tabel distribusi.
4.6.2
Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen dengan melakukan uji Chi Square. Uji Chi Square untuk menghubungkan variabel kategorik dan kategorik. Variabel yang termasuk ppada uji Chi Square yaitu faktor tekanan panas, kebisingan, shift kerja, masa kerja, usia, pendidikan, status perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi yang akan dihubungkan dengan variabel kelelahan.
Persamaan Chi Square: (O - E)2 X2 = E Keterangan : 70
71
X2
= Chi Square
O
= Efek yang diamati
E
= Efek yang diharapkan
71
72
BAB V
HASIL
7.1.Gambaran Umum Perusahaan
PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, berdiri pertama kali pada tahun 1973, dan memulai kegiatannya dalam usaha pembuatan semen pada tahun 1975. PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk memiliki 12 pabrik atau plant yang tersebar ditoga lokasi yaitu 9 pabrik (plant 1-plant 8 dan plant 11 ) dengan luas area 200 Ha yang berlokasi di Citeureup-Bogor, 2 pabrik (plant 9-plant 10) dengan luas area 37 Ha yang berlokasi di Palimanan – Cirebon, serta 1 pabrik (plant 12) dengan luas area 71 Ha di TarjunKalimantan Selatan. PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk merupakan perusahaan yang sudah modern, sehingga alat-alat yang digunakan dalam proses produksi semen sudah dikendalikan oleh mesin, kecuali pada bagian proses tambang (maining), Engineering, HED (Heavy Engineering Division) dan proses produksi kantong semen PBD yang ratarata memperkerjakan orang dengan jumlah pekerja yang cukup banyak.
7.2.Visi, Misi dan dan Tujuan Unit K3 7.2.1. Visi Unit K3 PT. Indocement Tunggal Prakasrsa, Tbk.
a. Terlaksananya keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja. b. Terwujudnya produktivitas bagi karyawan dan perusahaan c. Peningkatan kesejahteraan kerja.
72
73
7.2.2. Misi Unit K3 PT. Indoceme n nt Tunggal Prakasrsa, Tbk.
a. Menciptakan tenaga keselamatan dan kesehatan kerja yang handal dan professional. b. Membudayakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam masyarakat khususnya masyarakat khususnya masyarakat perusahaan. c. Mensosialisasikan program-program keselamatan dan kesehatan kerja kepada pekerja. d. Mendorong terciptanya zero accident di tempat kerja.
7.2.3. Tujuan Unit K3 PT. Indocement Tunggal Prakasrsa, Tbk.
a. Mengamankan tenaga kerja dan orang lain yang berada di sekitar tempat kerja. b. Mengamankan sumber produksi dan dan fasilitas perlatan kerja. c. Memastikan bahwa proses dapat berjalan dengan lancer. Target utama yang ingin dicapai oleh unit K3 tersebut adalah “bebas kecelakaan dan hilangnya waktu kerja (zero accident and Loss Time Injury)” melalui penekanan pada masalah perilaku tidak aman (unsafe action) dan kondisi tidak aman (unsafe condition).
Tujuan umum dalam usaha keselamatan dan kesehatan kerja di PT. Indocement Tunggal Prakasrsa, Tbk. adalah :
73
74
a. Perlindungan terhadap tenaga kerja yang berada di wilayah tempat kerja agar selalu terjamin keselamatan dan kesehatannya sehingga dapat diwujudkan peningkatan produktivitas kerja. b. Perlindungan terhadap setiap tamu (tamu, siswa dan mahasiswa magang atau penelitian, pelanggan) yang berada di tempat kerja agar selalu dalam selamat, aman dan sehat. c. Perlindungan terhadap bahan dan peralatan produksi agar dapat digunakan secara aman dan efesien.
7.2.4. Gambaran Umum PBD (Paper Bag Division) 7.2.4.1. Gambaran Umum Ketenagakerjaan di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Ketenagakerjaan pada bagian produksi kantone semen PBD dapat dilihat pada table 5.1.
Tabel 5.1 Jumlah Tenaga Kerja Bagian Produksi Kantong Semen PBD No 1 2
Tenaga Kerja Kontrak Karyawan Indocement Total
Total 128 40 168
Dari data di atas diketahui bahwa dari 168 tenaga kerja pada bagian produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk tenaga kerja kontrak sebanyak 128 pekerja yang terbagi atas 4 kelompok atau group dan tenaga kerja tetap sebanyak 40 orang.
74
75
Jadwal Shift kerja pada bagian produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
1. Shift 1 (pagi) a. Senin-kamis
: pukul 07.00 – 15.00
b. Jumat
: pukul 07.00 – 16.00
2. Shift 2 (sore) a. Senin – kamis : pukul 15.00 – 23.00 b. Jumat 3. Shift 3 (malam)
: pukul 16.00 - 24.00 :
a. Senin – kamis : pukul 23.00 – 07.00 b. Jumat
: pukul 24.00 – 08.00
Sistem rotasi shift kerja pada bagian produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dapat dilihat pada gambar berikut:
Monday
Group A
Tuesday
Group A
75
76
Wednesday Group B Thursday
Group B
Friday
Group C
Saturday
Group C
Sunday
Group D
Week
Gambar 5.1 Sitem rotasi Shift Kerja
7.2.4.2.Gambaran Umum Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Tahapan pembuatan kantong semen dimulai dari lembar kertas roll, kemudian masuk kedalam mesin, masuk ketahap printing (pemmberian logo pada kertas) dan setelah itu kantong semen menjadi bahan setengah jadi. Masuk kedalam mesin bottomer untuk proses penakan, pelipatan. Phasing dan sewing merupakan tahap akhir, phasing untuk kantong semen yang di lem, sedang sewing untuk kantong semen yang di jahit. Adapun tahapannya dapat dilihat pada gambar 5.1.
Tubing
Printing
Bottomer
Sewing& Pashing lem
Gambar 5.2 Proses Produksi PBD
a. Tubing
76
77
Tubing merupakan mesin yang memproses untuk kertas semen yang awalnya berupa gulungan-gulungan kertas diubah menjadi lipatan-lipatan kertas.
b. Printing
Merupakan proses pencetakan logo atau gambar pada cover kantong semen yang kemudian dilakukan pemotongan.
c.
Bottomer
Merupakan proses melipat kertas pada bagian bawah kanton semen.
d. Sewing dan Phasing
Sewing dan Phasing merupakan tahapan akhir, sewing untuk kantong semen dengan cara dijahit, sedangkan phasing untuk kantong semen dengan menggunakan pelekat atau lem.
7.3.Gambaran Kelelahan pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Hasil penelitian mengenai gambaran tingkat kelelahan pada tenaga kerja bagian produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
77
78
Distribusi Frekuensi Kelelahan Pada bagian Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Tingkat Kelelahan
Frekuensi
Persentase (%)
1
KKB
21
23,9 %
2
KKS
33
37,5%
3
KKR
34
38,6
88
100
Jumlah
Data di atas memperlihatkan gambaran tingkat kelelahan pekerja pada bagian produksi yang cukup bervariasi. Tingkat kelelahan yang paling terbanyak adalah kelelahan kerja ringan (KKR) sebanyak 34 pekerja (38,6 %), tingkat kelelahan kerja sedang (KKS) sebanyak 33 orang (37,5%), sedangkan tingkat kelelahan yang paling sedikit adalah tingkat kelelahan kerja berat (KKB) sebanyak 21 pekerja (23,9%).
7.4.Gambaran Tekanan Panas Pada bagian Produksi Kantong Semen
Tekanan panas diukur pada 36 titik yang merupakan area dimana pekerja terpapar. Kemudian hasil pengukuran dibandingkan dengan menghitung beban kerja yang dialami oleh pekerja. Beban kerja diukur dengan melihat keadaan dan posisi pada masing-masing pekerja, metabolisme basal dan dikalikan waktu. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan standar nilai ambang batas tekanan panas berdasarkan lamanya kerja. Hasil penelitian ini menggambarkan pekerja yang terpapar tekanan panas dan yang tidak terpapar tekanan panas. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tekanan Panas Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
78
79 NO
Tekanan Panas
Frekuensi
Persentase (%)
1
Ya
1
1,1 %
2
Tidak
87
98,8 %
88
100
Jumlah
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang terpapar tekanan panas hanya berjumlah satu pekerja (1,1%), sedangkan pekerja yang tidak terpapar tekanan panas sebanyak 87 orang (98,8%).
7.5.Gambaran Tingkat Kebisingan pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Tingkat kebisingan diperoleh dari hasil pengukuran pada 36 titik yang merupakan area dimana pekerja terpapar mesin yang berputar selama 24 jam. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan standar nilai ambang batas kebisingan yang diizinkan pada pekerja yang bekerja semala 8 jam dalam sehari. Hasil penelitian ini menggambarkan pekerja yang terpapar kebisingan > 85 dB dan < 85 dB. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distibusi Frekuensi Tingkat Kebisingan Pada bagian Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Tingkat kebisingan
Frekuensi
Persentase (%)
1
> 85 dB
15
17 %
2
< 85 dB
73
83 %
88
100
Jumlah
79
80
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja terpapar kebisingan > 85 dB sebanyak 15 orang (17%), sedangkan pekerja yang tidak terpapar kebisingan < 85 dB sebanyak 73 orang (83%).
7.6.Gambaran Masa Kerja pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Data masa kerja diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan masa yang telah dilalui oleh pekerja. Pada penelitian
ini masa kerja dikategorikan dengan cara uji normalitas,
berdasarkan uji normalitas diperoleh nilai pvalue sebesar 0,000. Karena data tidak berdistribusi normal maka nilai yang digunakan adalah nilai median yaitu 10. Variable masa kerja dikategorikan menajadi > 10 dan < 10. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pada bagian Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Masa Kerja
Frekuensi
Persentase (%)
1
> 10 tahun
42
47,7 %
2
< 10 tahun
46
52,3 %
88
100
Jumlah
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang melewati masa kerja > 10 tahun sebanyak 42 orang (47,7%) sedangkan pekerja yang melewati masa kerja < 10 tahun sebanyak 46 orang (52,3%).
80
81
7.7.Gambaran Shift Kerja Pada bagian Produksi Kantong Semen
Data Shift kerja diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel dengan waktu yang berbeda-beda. Yaitu dengan membagi jumlah kuesioner berdasarkan jumlah populasi pada masing-masing shift. Hasil penelitian ini menggambarkan pekerja yang bekerja pada shift yang berbeda-beda. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Shift Kerja Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Shift Kerja
Frekuensi
Persentase (%)
1
Shift 3
29
33,0 %
2
Shift 2
29
33,0 %
3
Shift 1
30
34,1 %
88
100
Jumlah
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang mengalami shift 3 sebanyak 29 orang (33,0%), yang mengalami shift 2 29 orang (33,0%), sedangkan pekerja yang mengalami shift 1 sebanyak 30 orang (34,1%).
7.8.Gambaran Usia pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Data usia diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan usia individu masing-masing. Pada penelitian ini usia dikategorikan berdasarkan teori. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7 81
82
Distribusi Frekuensi Usia Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Usia
Frekuensi
Persentase (%)
1
> 40 tahun
25
28,4 %
2
< 40 tahun
63
71,6 %
88
100
Jumlah
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang usia > 40 tahun sebanyak 25 orang (28,4%) sedangkan pekerja yang melewati masa kerja < 40 tahun sebanyak 63 orang (71,6%).
7.9.Gambaran Status Perkawinan Pada bagian Produksi Kantong Semen
Data status perkawinan diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan status perkawinan. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Status Perkawinan Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Status Perkawinan
Frekuensi
Persentase (%)
1
Kawin
75
85,2 %
2
Tidak Kawin
13
14,8 %
Jumlah
88
100
82
83
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang sudah kawin banyak 75 orang (85,2%) sedangkan pekerja yang tidak kawin sebanyak 13 orang (14,8%).
7.10. Gambaran Kebiasaan Merokok pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Data kebiasaan merokok diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan kebiasaan merokok. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Merokok Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Kebiasaan Merokok
Frekuensi
Persentase (%)
1
Sedang
11
12,5 %
2
Ringan
36
40,9 %
3
Tidak merokok
41
46,6 %
Jumlah
88
100
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang kebiasaan merokoknya kategori sedang sebanyak 11 orang (12,5%) sedangkan pekerja yang merokok dengan kategori ringan sebanyak 36 orang (40,9%) dan pekerja yang tidak merokok sebanyak 41 orang (46,6%).
7.11. Gambaran Status Gizi Pada Pekerja di Produksi Kantong Semen
83
84
Data status gizi diperoleh dengan cara menghitung indeks masa tubuh. Kemudian hasilnya dikategorikan menjadi 3 kategorik, yaitu gemuk, normal dan kurus. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan status gizi. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Status Gizi Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 NO
Status Gizi
Frekuensi
Persentase (%)
1
Kurus
13
14,8 %
2
Gemuk
12
13,6 %
3
Normal
63
71,6 %
88
100
Jumlah
Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja status gizi dengan kategorik kurus sebanyak 13 (14,8%), pekerja yang memiliki status gizi dengan kategorik gemuk sebanyak 12 orang (13,6%), sedangkan pekerja yang status gizi normal sebanyak 63 orang(71,6%).
7.12. Hubungan Antara Tekanan Panas dengan Kelelahan pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
Tabel 5.11 Tabulasi silang Antara Tekanan Panas dengan Kelelahan Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 Kelelahan
Tekanan KKB
panas Terpapar
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
n
%
N
%
0
0
1
100
0
0
1
100 0,430
84
85 Tidak terpapar
21
24,1
32
36,8
34
39,1
87
100
Total
21
23,9
33
37,5
23
38,6
88
100
Berdasarkan tabel di atas pekerja yang mengalami tekanan panas hanya ada pada kelompok kelelahan kerja sedang (KKS) yaitu sebanyak 1 orang (100%), sedangkan pekerja yang tidak terpapar tekanan panas yang mengalami tekanan KKB sebesar 24,1, yang mengalami KKS sebesar 36,8%, dan yang mengalami KKR sebesar 39,1%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,430. Artinya pada α 5 % tidak ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja.
7.13. Hubungan Antara
Kebisingan dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses
Produksi Kantong Semen
Tabel 5.12 Tabulasi silang Antara Tingkat Kebisingan dengan Kelelahan Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 Kelelahan
Tingkat Kebisingan
KKB
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
N
%
N
%
> 85 dB
8
53,3
5
33,3
2
13,3
15
100
< 85 dB
13
17,8
28
38,4
32
43,8
73
100
Total
21
23,9
33
37,5
34
38,6
88
100
0,008
Berdasarkan tabel di atas pekerja yang terpapar kebisingan (> 85 dB) dan mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 53,3 %, sedangkan pekerja yang tidak terpapar kebisingan ( <85 dB) dan mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 17,8 %. Pekerja yang terpapar kebisingan (> 85 dB) dan mengalami kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 33,3 % sedangkan pekerja yang tidak terpapar kebisingan (< 85 dB) dan 85
86
mengalami KKS sebesar 38,4%. Pekerja yang terpapar kebisingan (> 85 dB) dan mengalami kelelahan kerja ringan sebesar 13,3%, sedangkan pekerja yang tidak terpapar kebisingan (< 85 dB) dan mengalami KKR sebesar 43,8 %. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,008. Artinya pada α 5 % terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan kerja.
7.14. Hubungan
Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses
Produksi Kantong Semen
Tabel 5.13 Tabulasi silang Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
Kelelahan Shift Kerja
KKB
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
N
%
N
%
Shift 3
5
19,5
9
31,0
15
51,7
29
100
Shift 2
3
10,3
13
44,8
13
44,8
29
100
Shift 1
13
43,3
11
36,7
6
20
30
100
Total
21
23,9
33
37,5
34
38,6
88
100
0,014
Berdasarkan tabel di atas pekerja pada kelompok shift 3 yang kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 17,2 %, kelompok shift 2 yang kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 10,3 % , dan kelompok shift 1 yang mengalami kelelahan kerja berat sebesar 13,3 %. Kelompok shift 3 yang kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 31,0%, kelompok shift2 yang mengalami KKS sebesar 44,8%, dan kelompok shift 1 yang mengalami KKS sebesar 36,7%. Sedangkan kelompok shift3 yang mengalami KKR sebesar 51,7%,
86
87
kelompok shift2 yang mengalami KKR sebesar 44,8 % dan pada kelompok shift 1 yang mengalami KKR sebesar 20%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,014. Artinya pada α 5 % terdapat hubungan antara kelompok shift kerja dengan kelelahan kerja.
7.15. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen
Tabel 5.14 Tabulasi Silang Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 Kelelahan Masa Kerja
KKB
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
N
%
N
%
> 10 tahun
11
26,2
15
35,7
16
38,1
42
100
< 10 tahun
10
21,7
18
39,1
18
39,1
46
100
Total
21
23,9
33
37,5
34
38,6
88
100
0,880
Berdasarkan tabel di atas pekerja dengan masa kerja > 10 tahun yang mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 26,2% sedangkan pekerja dengan masa kerja < 10 tahun yang mengalami KKB sebesar 21,7%. Pekerja dengan masa kerja > 10 tahun yang mengalami kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 35,7% sedangkan pekerja dengan masa kerja < 10 tahun yang mengalami KKS sebesar 39,1%. Pekerja dengan masa kerja > 10 tahun yang mengalami kelelahan kerja ringan (KKR) sebesar 38,1% sedangkan pekerja dengan masa kerja < 10 tahun yang mengalami KKR sebesar 39,1%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0.880 Artinya pada α 5 % tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja. 87
88
7.16. Hubungan Antara Usia dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen
Tabel 5.15 Tabulasi silang Antara Usia dengan Kelelahan Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 Kelelahan Usia
KKB
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
N
%
N
%
> 40 tahun
8
32,0
11
44,0
6
24,0
25
100
< 40 tahun
13
20,6
22
34,9
28
44,4
63
100
Total
21
23,9
33
37,5
34
38,6
88
100
0,192
Berdasarkan tabel di atas pekerja usia > 40 tahun yang mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 32,0%, sedangkan pekerja usia < 40 tahun yang mengalami KKB sebesar 20,6%. Pekerja usia > 40 tahun yang mengalami kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 44,0%, sedangkan pekerja usia < 40 tahun yang mengalami KKS sebesar 34,9%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,192. Artinya pada α 5 % tidak ada hubungan antara kelompok usia dengan kelelahan kerja.
7.17. Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen
Tabel 5.16 Tabulasi Silang Antara Status Perkawinan dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 88
89
Kelelahan
Status Perkawinan
KKB
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
N
%
N
%
Kawin
20
26,7
30
40,0
25
33,3
75
100
Tidak kawin
1
7,7
3
23,1
9
69,2
13
100
Total
21
23,9
33
37,5
34
38,6
88
100
0,045
Berdasarkan tabel di atas pekerja dengan status kawin yang mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 20%, sedangkan pekerja dengan status tidak kawin yang mengalami KKB sebesar 7,7%. Pekerja dengan status kawin yang mengalami kelelahan
kerja sedang (KKS) sebesar 40%, sedangkan pekerja dengan status tidak kawin yang mengalami KKS sebesar 23,1%. Pekerja dengan status kawin yang mengalami kelelahan
kerja ringan (KKR) sebesar 33,3%, sedangkan pekerja dengan status tidak kawin yang mengalami KKR sebesar 69,2%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas
sebesar 0,045. Artinya pada α 5 % terdapat hubungan antara kelompok status perkawinan dengan kelelahan kerja.
7.18. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen
Tabel 5. 17 Tabulasi Silang Antara Kebiasaan Merokok dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 Kelelahan Kebiasaan Merokok
KKB
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
N
%
N
%
Sedang
1
9,1
4
36,4
6
54,5
11
100
Ringan
10
27,8
14
38,9
12
33,3
36
100 0,689
89
90 Tidak merokok
10
27,8
15
36,6
16
39,0
41
100
Total
21
23,9
33
37,5
34
38,6
88
100
Berdasarkan tabel di atas pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat sedang yang mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 9,1 %, pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat ringan yang mengalami KKB sebesar 27,8%, sedangkan pekerja tidak merokok yang mengalami KKB sebesar 27,8 %. Pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat sedang yang mengalami kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 36,4 %, pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat ringan yang mengalami KKS sebesar 38,9%, sedangkan pekerja tidak merokok yang mengalami KKS sebesar 36,6 %. Pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat sedang yang mengalami kelelahan kerja ringan (KKR) sebesar 54,5 %, pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat ringan yang mengalami KKR sebesar 33,3%, sedangkan pekerja tidak merokok yang mengalami KKR sebesar 39,0 %. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,689. Artinya pada α 5 % tidak ada hubungan antara kelompok kebiasaan merokok dengan kelelahan kerja.
7.19. Hubungan Status Gizi dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen
Tabel 5 .18 Tabulasi Silang Antara Status Gizi dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 Kelelahan Status Gizi
KKB
Total
KKS
Pvalue
KKR
N
%
N
%
N
%
N
%
Kurus
2
15,4
7
53,8
4
30,8
41
100
Gemuk
3
25,0
3
25,0
6
50,0
12
100
0,642
90
91 Normal
16
25,4
23
36,5
24
38,1
63
100
Total
21
23,9
33
37,5
34
38,6
88
100
Berdasarkan tabel di atas pekerja kurus yang mengalami KKB sebesar 15,4 %, pekerja gemuk yang mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 25,0 %, sedangkan pekerja normal yang mengalami KKB sebesar 25,4%. Pekerja kurus yang mengalami KKS sebesar 53,8 % Pekerja gemuk yang mengalami kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 25,0 %, sedangkan pekerja normal yang mengalami KKS sebesar 36,5%. Pekerja kurus yang mengalami KKR sebesar 30,8 %, pekerja gemuk yang mengalami kelelahan kerja ringan (KKR) sebesar 50,0%, sedangkan pekerja normal yang mengalami KKR sebesar 38,1%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,642. Artinya pada α 5 % tidak ada hubungan antara kelompok status gizi dengan kelelahan kerja.
91
92
BAB VI
PEMBAHASAN
13.1.
Keterbatasan Penelitian
1. Pengukuran kelelahan kerja sebagian dilakukan pada saat pekerja istirahat atau hendak pulang. Karena hasil pengukuran kelelahan kerja dapat dipengaruhi oleh segala hal yang dapat membantu pekerja menjadi segar kembali, seperti contoh : istirahat 30 menit, cuci muka dan berwudhu. 2. Kondisi pada saat itu dalam keadaan mendung, sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Karena kondisi suhu di dalam ruangan dipengaruhi keadaan suhu yang berada di luar ruangan. 3. Pengukuran kebisingan dilakukan hanya pada shift 1. 4. Pengambilan sampel terkumpul pada shift 1.
13.2.
Kelelahan Kerja
Pengukuran kelelahan kerja melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan. Pada metode yang dilakukan menggunakan Reaction Timer Test dengan nyala lampu. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot. 92
93
Secara umum gejala kelelahan kerja dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan kerja subyektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik. Pengaruh ini seperti berkumpul didalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah (Suma’mur, 1996). Hasil penelitian mengenai gambaran tingkat kelelahan kerja pada tenaga kerja bagian produksi kantong semen PBD (Paper Back Division) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 cukup bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian, distribusi kelelahan kerja pada pekerja bagian produksi kantong semen seluruh sampel mengalami kelelahan kerja. Sedangkan pekerja yang terpapar tekanan panas 1 orang, terpapar kebisingan 15 orang, yang mengalami masa kerja >10 tahun 42 orang, shift 1 30 orang, usia yang > 40 tahun sebanyak 25 orang, status yang sudah kawin sebanyak 75 orang, yang merokok tingkat sedang 11 orang, dan status gizi kurus sebanyak 13 orang. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja, menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun. Karakteristik kelelahan kerja akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan, sedangkan menurunnya rasa lelah dapat meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Hal ini sesuai dengan teori Tarwaka (2004) dan Rizeddin (2000.) 13.3.
Hubungan Antara Tekanan Panas dengan Kelelahan Kerja
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor dari faktor-faktor terjadinya kelelahan kerja. Pada penelitian ini cara melakukan pengukuran kelelahan kerja pada pekerja berdasarkan tekanan panas pada lingkungan kerjanya. Tekanan panas adalah total panas tubuh seseorang yang berasal dari kombinasi panas metabolik (internal) dan panas 93
94
lingkungan (eksternal). Panas yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut berasal dari aktivitas manusia. Suhu nikmat bekerja sekitar 24 - 26°C bagi orang- orang Indonesia, suhu
dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya
koordinasi otot.
Suhu panas terutama berakibat menurunnya prestasi kerja pekerja.
Lingkungan kerja yang panas umumnya lebih banyak menimbulkan permasalahan dibandingkan lingkungan kerja dingin. Hal ini terjadi karena pada umumnya manusia lebih mudah melindungi dirinya dari pengaruh suhu udara yang rendah dari pada suhu udara yang tinggi (Ardyanto, 2005). Berdasarkan observasi, pekerja melakukan kegiatan pada beberapa mesin berdasarkan jenis pekerjaannya masing-masing. Maka dilakukan pengukuran tekanan panas dengan menggunakan Heat Monitoring Stress Questemp “34o” atau indeks WBGT untuk mengetahui kondisi lingkungan pekerja. Karena pada setiap pekerjaan memiliki nilai resiko
terjadinya kelelahan kerja yang berbeda. Dari hasil penelitian didapatkan pekerja yang mengalami tekanan panas hanya ada pada kelompok kelelahan kerja sedang (KKS) yaitu sebanyak 1 orang (100%), sedangkan pekerja yang tidak terpapar tekanan panas yang mengalami tekanan KKB sebesar 24,1, yang mengalami KKS sebesar 36,8%, dan yang mengalami KKR seesar 39,1%. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumya yang dilakukan oleh Paulina, (2008) yang mengatakan bahwasanya ada hubungan antara tekan panas dengan kelelahan kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi cuaca pada saat itu dalam keadaan mendung, karena suhu di dalam ruangan sangat dipengaruhi oleh kondisi luar lingkungan. Kesalahan mungkin dapat terjadi pada saat pengambilan sampel,
94
95
karena pada saat pengambilan sampel pada shift 1 dilakukan di tempat istirahat atau ruang ganti sehingga hasil pengambilan sampel menjadi tidak acak atau random. Kesalahanpun terjadi pada saat pengukuran tekanan panas, karena peneliti mengukur tekanan panas sebanyak 36 titik dalam waktu yang bersamaan dan di ukur pada saat itu juga. Pada waktu pengukuran, kondisi suhu lingkungan dapat berubah seiring dengan waktu pengukuran yang berjalan. Sehingga data yang dihasilkan pada saat pengukuran tekanan panas menjadi homogen. Sebaiknya untuk penelitian lanjutan perlu memperhatikan teknik pengambilan data terutama pada saat pengukuran tekanan panas dan teknik pengambilan sampel. Pada saat pengukuran tekanan panas sebaiknya memperhatikan kondisi cuaca. Pengukuran tekanan panas dilakukan sesuai dengan waktu yang telah dtentukan sebelumnya. Sehingga hasil yang diinginkan sesuai dengan yang diharapkan. 13.4.
Hubungan Antara Kebisingan dengan Kelelahan Kerja
Setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stres, kelelahan kerja, hilang efisiensi dan ketidaktenangan (Sutaryono, 2002). Pengukuran kebisingan biasanya dilakukan dengan tujuan memperoleh data kebisingan di perusahaan atau dimana saja sehingga dapat dianalisis dan dicari pengendaliannya. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah dengan menggunakan sound level meter dengan satuan intensitas kebisingan sebagai hasil pengukuran adalah desibel (dBA). Pada penelitian ini kebisingan dikategorikan menjadi 2 yaitu pekerja yang terpapar kebisingan > 85 dB dan yang tidak terpapar < 85 dB.
95
96
Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan kelelahan kerja. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumya yang menyatakan adanya hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan kerja (Muftia, 2005). Menurut Sutaryono (2002) setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stres, kelelahan kerja, hilang efisiensi dan ketidaktenangan. Orang yang melakukan pekerjaan disertai dengan adanya gangguan dapat menjadikan pekerja merasa tidak nyaman dalam melakukan pekerjaannya. Untuk menghindari terjadinya kelelahan kerja akibat kebisingan yang diterima pekerja salah satunya dengan cara; 1. Administrative control ; pelatihan pada pekerja dan menyediakan ruang kontrol sehingga pekerja bisa beristirahat dan tidak terus menerus terpapar kebisingan.
Contoh : Dari kesemua titik pengukuran didapatkan tingkat kebisingan tertinggi ada di area mesin tubing, yakni 87,9 dBA. Lama waktu yang diizinkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
T: Waktu L : Kebisingan
Tingkat
Pada saat normal pekerja bekerja selama satu jam diarea mesin tubing selama 8 jam, bila paparan yang diterima adalah 88 dB maka waktu yang diizinkan adalah :
96
97
T= 8/{2(88-85/3)} = 8/2(3/3) = 4 jam Jadi, waktu yang di izinkan untuk bekerja di dalam ruangan yang memiliki nilai kebisingan 88dB adalah 4 jam. 2. Personal Protective Equipment ; menggunakan Alat Pelindung Diri berupa safety ear plug atau ear muff. Alat pelindung telinga wajib digunakan jika pekerja memasuki area dengan intensitas kebisingan diatas 85 dBA. Adapun cara perhitungan NRR (noise redustion rating) dalam menentukan alat pelindung telinga yang tepat sesuai dengan nilai kebisingan yang lebih dari NAB dapat digunakan rumus.
Contoh : untuk menentukan NRR yang memiliki TWA 96 dBA, maka dapat dimasukkan ke dalam rumus perhitungan NRR sebagai berikut : dBA = TWA – (NRR – 7) 85
= 88 – (NRR – 7)
NRR = 10 Berdasarkan perhitungan di atas, nilai paparan bising terhadap pekerja telah melebihi ambang batas. Hal ini dapat terlihat dengan perolehan nilai paparan bising (TWA) adalah 88 dBA. Dengan demikian diperlukan APT (alat pelindung telinga) dengan NRR sebesar 10 dBA. 13.5.
Hubungan Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja
97
98
Perbedaan waktu kerja di pagi, siang dan malam hari dapat memberikan dampak yang berbeda kepada tenaga kerja. Tingkat kelelahan kerja tenaga kerja yang bekerja di malam hari akan lebih besar jika dibanding kerja di pagi atau siang hari. (Suma’mur, 1996). Karena tingkat kelelahan kerja tenaga kerja yang bekerja di malam hari akan lebih besar jika dibanding kerja di pagi atau siang hari. Hal itu dikarenakan jumlah jam kerja yang dipakai tidur bagi pekerja malam pada siang harinya relatif jauh lebih kecil dari seharusnya. Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan kelelahan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumya yang dilakukan oleh Febriana, (2009) menunujukan adanya hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja. Dalam penelitian ini kelelahan kerja berat banyak terjadi pada pekerja shift 1, hal ini kemungkinan karena pekerja pada shift 1 memiliki beban kerja lebih berat khususnya pada bagian sewing kantong semen. Pekerja pada bagian sewing melakukan pekerjaan lebih lama, karena semakin banyak produksi yang dihasilkan oleh pekerja maka pembayaran upah atau gaji akan menjadi lebih besar. Oleh karena itu terkadang pekerja melakukan pekerjaannya lebih dari 8 jam sehingga berpotensi terjadinya kelelahan kerja lebih banyak di antara pekerja pada shift 2 dan 3. selain hal itu, terjadinya kelelahan kerja berat dan sedang dimungkinkan karena status perkawinan pada pekerja shift 1 seluruhnya sudah menikah.
Karena status pekerja antara yang kawin dan tidak kawin adalah
berbeda. Untuk mengurangi terjadinya kelelahan kerja pada shift kerja yaitu dengan megatur jam kerja sesuai dengan jam kerja yang lebih baik sesuai dengan teori yaitu
98
99
menerapkan sistim 06-14-22. Sistim jam kerja 06-12-22 bertujuan agar pekerja yang bekerja pada shift 2 dapat istirahat lebih cepat, sehingga waktu istirahat yang dimiliki oleh pekerja menjadi lebih baik. Untuk mudahnya dapat dilihat pada gambar berikut: 4.
Shift 1 (pagi) a. Senin-kamis
: pukul 06.00 – 14.00
b. Jumat
: pukul 06.00 – 15.00
5. Shift 2 (sore) a. Senin – kamis : pukul 14.00 – 22.00 b. Jumat
6. Shift 3 (malam)
: pukul 15.00 - 23.00
:
a. Senin – kamis : pukul 22.00 – 06.00 b. Jumat
13.6.
: pukul 23.00 – 07.00
Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Kerja
Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali masuk kerja hingga saat penelitian. Tekanan melalui fisik (beban kerja) pada suatu waktu tertentuk mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, gejala yang ditunjukkan juga berupa pada makin rendahnya gerakan. Keadaaan ini tidak hanya disebabkan oleh suatu sebab tunggal seperti terlalu kerasnya beban kerja, namun juga oleh tekanan–tekanan yang terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang.Pada penelitian ini masa kerja dikategorikan berdasarkan nilai median karena pendistribusian masa kerja pada penelitian ini tidak berdistribusi normal. 99
100
Hasil analisis menunjukan tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eraliesa (2008)
terdapat hubungan antara masa kerja dengan tingkat kelelahan
kerja. Hal ini bisa terjadi, karena masa kerja hanya menggambarkan lama kerja yang telah dilewati selama bertahun-tahun. Lain halnya dengan waktu kerja yang menggambarkan lama kerja seseorang pada hari kerja, seperti contoh lembur dalam bekerja yang beresiko terhadap terjadinya kelelahan kerja dalam bekerja. 13.7.
Hubungan Antara Usia dengan Kelelahan Kerja
Proses menjadi tua diserta kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahanperubahan pada alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Suma’mur, 1996). Pada usia lanjut jaringan otot akan mengerut dan digantikan oleh jaringan ikat. Pengerutan otot menyebabkan daya elastisitas otot berkurang. Aktivitas hidup juga berkurang, yang mengakibatkan semakin bertambahnya ketidak mampuan tubuh dalam berbagai hal (Margatan, 1996). Hasil uji statistic menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kelelahan kerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Paulina (2008) pada bagian produksi PT. X menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur responden dengan kelelahan kerja kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena rata-rata usia pekerja dibawah 40 tahun. Dan sesuai dengan teori yang dikatakan Hidayat (2003) mandapatkan bukti di negara Jepang menunujukan bahwa pekerja yang berusia 40-50 tahun akan lebih cepat menderita kelelahan kerja dibandingkan dengan pekerja relative lebih muda. 13.8.
Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Kelelahan Kerja 100
101
Seseorang yang sudah menikah dan memiliki keluarga maka akan mengalami kelelahan kerja akibat kerja dan setelah dirumah harus melayani anak dan istrinya yang mana waktu terebut digunakan untuk beristirahat. Hasil uji statistik menunjukan adanya hubungan antara status perkawinan denagn kelelahan kerja. kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eraliesa (2008) yang mengatakan adanya hubungan antara status perkawinan dengan tingkat kelelahan kerja. hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eraliesa,(2008) yang mengatakan adanya hubungan antara status pekawinan dengan kelelahan kerja. Pernikahan menyebabkan meningkatnya tanggung jawab yang dapat membuat pekerjaan tetap lebih berharga dan penting. Karena seseorang yang sudah menikah akan memiliki tugas- tugas seperti; belajar hidup dengan pengalaman dalam perkawinan, mulai hidup berkeluarga, memelihara anak, mengatur rumah tangga, dan memulai dalam pekerjaan (sudirman,1987). Sehingga seseorang yang sudah menikah akan mengalami kelelahan kerja akibat kerja dan setelah di rumah harus melayani anak danistrinya yang mana seharusnya waktu tersebut digunakan untuk istirahat. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya kelelahan kerja sebaiknya pihak perusahaan memberikan pendidikan atau pengarahan tentang cara pengaturan waktu istirahat antara pekerjaan dengan waktu untuk keluarga. 13.9.
Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kelelahan Kerja
Semakin lama dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang.
101
102
Hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan kerja. Dalam penelitian ini walaupun status kebiasaan merokok tidak berhubungan kelelahan kerja, pekerja yang tidak merokok mengalami kelelahan kerja tingkat berat. Hal ini disebabkan sebagian besar pekerja berada pada shift 1 dan sudah kawin. Karena pekerja yang bekerja pada shift 1 dan sudah kawin memiliki resiko terjadinya kelelahan. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang dikatakan oleh Tarwaka (2004) yang mengatakan bahwa kebiasaan merokok akan
dapat menurunkan kapasitas paru–paru,
sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya tingkat kesegaran juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul kelelahan kerja. Menurut Suma’mur (2004) yang mengatakan semakin lama dan tinggi frekuensi
merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena rata-rata pekerja perokok ringan dan tidak merokok. Untuk penelitian lanjutan sebaiknya pada variabel status merokok diperbanyak pertanyaannya. Karena dalam hal ini peneliti mengkategorikan pekerja yang sudah berhenti merokok masuk dalam kategori tidak merokok. Padahal tidak seharusnya seperti itu, karena orang yang pernah merokok kemudian dia berhenti mereka memiliki kondisi yang tidak sama dengan orang yang tidak pernah merokok sama sekali.
13.10. Hubungan Status Gizi dengan Kelelahan Kerja
Berat badan yang kurang ideal baik itu kurang ataupun kelebihan dapat menimbulkan kerugian. Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 102
103
18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kelelahan kerja. Dalam penelitian ini walaupun status gizi tidak berhubungan kelelahan kerja, akan tetapi orang yang gizinya normal mengalami kelelahan kerja tingkat berat. Hal ini terjadi karena pada saat penelitian sebagian besar pekerja dengan IMT nomal sedang berada pada shift 1 dan statusnya sudah kawin. Oleh sebab itulah terjadi kelelahan tingkat berat dan sedang lebih banyak terjadi pada gizi yang normal. Karena pekerja yang bekerja pada shift 1 dan status pekerja sudah kawin memiliki resiko terjadinya kelelahan. Dalam hal ini penelitian tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eraliesa, (2008) yang
mengatakan adanya hubungan antara status gizi dengan tingkat kelelahan kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan rata-rata status gizi pekerja dalam keadaan normal. Karena gizi yang baik adalah faktor penentu derajat produktivitas kerja seseorang.
103
104
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
20.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bagian produksi pembuatan kantong semen PBD (Paper Bag Division) diperoleh kesimpulam sebagai berikut :
5. Gambaran kelelahan yang paling terbanyak adalah kelelahan kerja ringan (KKR) sebanyak 34 pekerja (38,6 %), kelelahan kerja sedang (KKS) sebanyak 33 orang (37,5%), sedangkan kelelahan yang paling sedikit adalah kelelahan kerja berat (KKB) sebanyak 21 pekerja (23,9%). 6. Terdapat hubungan antara kebisingan dengan kelelahan kerja (P = 0,008). Terdapat hubungan antara kelompok pekerja shift 3, shift 2, dan shift 3 dengan kelelahan kerja (Pvalue = 0,014). Terdapat hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan kerja (Pvalue = 0,045). 7. Tidak ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja (Pvalue = 0,430). Tidak hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja (Pvalue = 0,880). Tidak ada hubungan antara usia dengan kelelahankerja (Pvalue = 0,192). Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan kerja (Pvalue = 0,689). Tidak ada hubungan antara status gizi
dengan
kelelahan kerja (Pvalue = 0,642).
104
105
20.2.
Saran
20.2.1. Saran untuk pengendalian terkait dengan kebisingan, shift kerja,status perkawinan dalah sebagai berikut :
1. Untuk menghindari terjadinya kelelahan akibat kebisingan dapat dilakukan dengan mengurangi paparan kebisingan yang diterima pekerja salah satunya dengan cara;
a. Administrative control ; pelatiahn pada pekerja, menyediakan ruang kontrol sehingga pekerja bisa beristirahat dan tidak terus menerus terpapar kebisingan. b. Personal Protective Equipment ; menggunakan Alat Pelindung Diri berupa safety ear plug atau ear muff. Alat pelindung telinga wajib digunakan jika pekerja memasuki area dengan intensitas kebisingan diatas 85 dBA.
2. Mengatur jam shift kerja sesuai dengan jam kerja normal yaitu dengan jam kerja 06-14-22. 3. Sebaiknya pihak perusahaan memberikan pendidikan atau pengarahan tentang cara pengaturan waktu istirahat antara pekerjaan dengan waktu untuk keluarga. 4. Perlu diadakannya penelitian lanjutan.
a. Memperhatikan teknik pengambilan data terutama pada saat pengukuran tekanan panas dan teknik pengambilan sampel.
105
106
b. Pada saat pengukuran tekanan panas sebaiknya memperhatikan kondisi cuaca. c. Pengukuran tekanan panas dilakukan sesuai dengan waktu yang telah dtentukan sebelumnya d. Mengelompokan status perkawinan menjadi 3 kelompok yaitu single, married, dan post married. e. Meneliti status kesehatan secara objektif. f. Menggabungkan metode pengukuran kelelahan misalnya menggabungkan antara kuesioner kelelahan dengan alat Reaction Timer Test. g. Sebaiknya penelitian tidak hanya dilakukan di bagian produksi.
106
107
DAFTAR PUSTAKA
Anies.
2002, Berbagai Penyakit akibat Lingkungan Kerja dan Upaya Penanggulangannya, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. (Margatan, 1996: 24).
ACGIH. 2007. TLV and Biological Exposure Indices. ACGIH. Bustan, M.N, Dr. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT. RINEKA CIPTA. Budiono, Sugeng, A.M. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Semarang : Badan penerbit UNDIP . Dangsina Moeloek, 1984, Dasar Fisiologi Kesegaran Jasmani dan Latihan, Jakarta : Universitas Indonesia. Departemen Tenaga Kerja RI mengeluarkan keputusan Menteri tenaga Kerja Nomor Kep 51/Men/1999 tentang nilai ambang batas iklim kerja Indeks Suhu Basah dan Suhu Bola (ISSB) yang diperkenankan. Depkes. 1990. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja. Jakarta: Depkes. Depkes, RI, 2000. Undang-undang Kesehatan No 23 Tahun 1992. Jakarta dan Kessos RI, 2000:7 Depnaker. 2004. Training Material Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Bidang Keselamatan Kerja. Jakarta: Depnaker Gibson, John. 1985. Diagnosa Gejala Klinis Penyakit, Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. Guyton & Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC. (Lany Gunawan, 2001:23). Gabriel, J.F. 1997. Fisika Kedokteran, Jakarta: EGC. Grandjean, E. “Fiting the Task To The Man” Text Book of Occupational Ergonomic 4 th Edition Taylor dan Franc Philadelpia, 1988. Hasibuan, Malayu. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.48 Tahun 1996 107
108
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51 tahun 1999, Nilai Ambang Batas untuk kebisingan Koesyanto, Herry dan Tunggul, Eram P. 2005. Panduan Praktikum Laboratorium Kesehatan & Keselamatan Kerja, Semarang: UPT UNNES Press. M. Sajoto, 1981, Permainan Bola Basket dan Peraturan Praktis. Semarang: Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. NIOSH. 1986. Occupational Exposure to Hot Environments, Revised Criteria. Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. Prinsip–Prinsip Dasar Kesehatan Masyarakat, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya Occupational Safety and Health Service (OSHS). 1997. Guidelines For The Management Of Work In Extremes Of Temperature. Occupational Safety and Health ServiceDepartment of Labour. Wellington. Oentoro, S, 2004. Kampanye Atasi Kelelahan Mental dan Fisik. Jakarta: UI Press Subjective Self Rating Tes dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Suma’mur .K., 1996:57) Suma’mur K. K. 1996. Higiene erusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Suma’mur PK. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata: CV Haji Masagung Sutaryono. 2002. Hubungan antara tekanan panas, kebisingan dan penerangan dengan kelelahan pada tenaga kerja di PT. Aneka Adho Logam Karya Ceper klaten, Skripsi. Semarang : UNDIP Santoso, Gempur. 2004, Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan, Jakarta: Prestasi Pustaka. OSHA (Ocupational Safey and Health Administration). Tarwaka, et all. 2003. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan dan Produktivitas kerja. Surakarta: UNIBA Press. Tarwaka, Solichul, Bakri, Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk Kesehatan Kerja Dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press.
108
109
109