FEMINISME PENOKOHAN MBAK WID
PADA ROMAN BIOLA TAK BERDAWAI
KONTEKS FEMINISME EKSISTENSIALIS SIMON DE BEAUVOIR
Mega Purwaningrum
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa
e-mail:
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini menjelaskan feminisme pada penokohan Mbak Wid dalam konteks
feminisme eksistensialis dari Simone de Beauvoir. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bentuk feminisme eksistensialis penokohan Mbak Wid.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara kualitatif yaitu dengan
pembacaan, pemahaman, penganalisisan, apresiasi, kemudian dilakukan kritik.
Data yang diperoleh berbentuk kutipan kemudian diuraikan atau dijelaskan
kembali maksudnya. Terkait dengan tujuan penelitian, hasil menunjukkan
bahwa bentuk feminisme penokohan Mbak Wid merujuk pada figur: dokter,
peramal, ibu, intelek. orang yang unik, dan pekerja keras. Terdapat pula
kritik terhadap romansa Biola Tak Berdawai yaitu buku ini baik dibaca untuk
kalangan umum 18 tahun ke atas.
Kata kunci: feminis, figur feminis, kritik.
Abstract
This research explained the characterization Mbak Wid feminism in the
context of feminist existentialist Simone de Beauvoir. This research
aims to determine the form of existentialist feminism characterizations
Mbak Wid. The approach used is qualitative approach to reading,
understanding, analyzing, appreciating, and then carried out criticism.
Data obtained in the form of a quote then described or explained back
his point. Related to the purpose of the research, the results showed
that the feminine form characterizations Mbak Wid refer to figures:
doctor, astrologer, mother, intellect. unique person, and a hard
worker. There is also criticism of the romance Biola Tak Berdawai that
this book is a good read for the general public over 18 years.
Keywords: feminist, feminist figures, critics.
PENDAHULUAN
Feminisme muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang
cenderung menomorduakan kaum perempuan. Perempuan dinomorduakan karena
adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan.
Perbedaan itu bukan hanya terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga
sampai pada kriteria sosial dan budaya. Feminisme bukan hanya upaya
pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti
institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan untuk
mengingkari kodratnya, melainkan merupakan upaya untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi perempuan. Sasaran feminisme pun bukan sekadar
masalah gender, melainkan masalah "kemanusiaan" atau memperjuangkan hak-hak
kemanusiaan. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka
mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju
keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan (Susilastuti dalam Sugihastuti
dan Suharto, 2013:63).
Menurut Fakih, perbedaan itu diwakili dua konsep, yaitu jenis kelamin dan
gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik, terutama
fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan interpretasi sosial dan
kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Gender tidak selalu berhubungan
dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai di
masyarakat. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi mskulin dan
feminin. Biasanya, maskulin ditempati oleh jenis kelamin laki-laki,
sedangkan feminin oleh jenis kelamin perempuan. Konsep ini kemudian
melahirkan stereotip perempuan dan laki-laki. Perempuan bersifat lembut,
cantik, emosional, dan keibuan; sedangkan laki-laki bersifat kuat,
rasional, dan perkasa. Berbagai studi lintas budaya menunjukkan bahwa
dikotomi ini membuat perempuan selalu tersubordinasi (dalam Sugihastuti
dan Suharto, 2013:63—64).
Sejalan dengan pemikiran di atas bahwa feminisme merupakan langkah untuk
mengakhiri eksploitasi perempuan, pada kajian kali ini, akan dianalisis dan
dikritik roman Biola Tak Berdawai karena isi di dalamnya menyinggung
masalah perempuan yang kompleks. Perempuan dengan masalahnya akibat
kekuasaan patriarki. Memang patriarki diidentikkan dengan laki-laki, namun
masalahnya bukan pada laki-laki, feminisme tidak membenci laki-laki, tetapi
feminisme membenci patriarki karena pada patriarki, perempuan
dinomorduakan dan menganggap perempuan sebagai "yang lain" atau "liyan".
Dalam penelitian ini, digunakan feminisme eksistensialis milik Simone de
Beauvoir untuk menemukan feminisme dalam diri tokoh Mbak Wid sebagai
perempuan dalam roman Biola Tak Berdawai. Mbak Wid pada roman ini memang
bukan sebagai tokoh utama, meskipun begitu ia adalah tokoh yang unik dan
menarik jika dibahas. Penelitian ini membahas penokohan pada tokoh Mbak
Wid. Menurut Nurgiyantoro (2012:166), penokohan lebih luas pengertiannya
daripada "tokoh" dan "perwatakan" sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan
dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penokohan yang berfokus
pada tokoh Mbak Wid bukan yang lain. Tokoh Mbak Wid dianggap sebagai
feminis sehingga tokoh Mbak Wid cocok untuk dikaji melalui teori feminisme.
Pada tahun 1970, meledak tulisan teoritis mengenai feminis. Diantaranya,
karya Kate Millet, Sexual Politics, Shulamith Firestone dengan The
Dialectical of Sex-nya dan koleksi editan milik Robin Morgan, Sisterhood is
Powerful. Ketiganya terpublikasi di Amerika. Sedangkan di Inggris, muncul
pula karya-karya serupa, seperti karya Germaine Greer, The Female Eunuch
dan karya Eva Figes, Patriarchal Attitudes. Untuk mengerti alur tulisan-
tulisan ini, ditinjau terlebih dahulu karya Simone de Beauvouir, The Second
Sex (1949). Dengan merujuk karya-karya teoritis tahun 1970-an, buku ini
menjadi catatan Beauvoir tentang konstruksi budaya perempuan sebagai
'liyan'. Tulisnya: seseorang tidak terlahir, tetapi lebih menjadi
perempuan. Tidak ada takdir perempuan dalam masyarakat. Peradabanlah yang
membuat makhluk ini, menjadi penengah antara laki-laki dan orang kebiri,
yang dideskripsikan sebagai feminin. Ia menyatakan bahwa kategori 'liyan'
sangat fundamental dalam pembentukan seluruh manusia menjadi subjek, sebab
penelitian tentang diri bisa diciptakan dalam oposisi terhadap sesuatu yang
bukan diri itu sendiri. Secara eksklusif, laki-laki telah menglaim kategori
diri atau subjek untuk diri mereka dan menurunkan status perempuan sebagai
'liyan selamanya'. Kategori 'perempuan' tidak memiliki substansi apapun,
hanya sebagai gambaran dari fantasi laki-laki (mitos tentang femininitas
yang abadi) dan ketakutan. Seorang 'perempuan sejati' diharuskan untuk
menerima dirinya sebagai 'liyan' seperti anggapan laki-laki: dia
(perempuan) harus 'membuat dirinya sebagai objek, meninggalkan otonominya
sendiri' (Gamble, 2010:41).
Dalam analisisnya tentang bagaimana perempuan menjadi liyan, Beauvoir
mengacu pada konsep-konsep biologis, psikoanalisis Freudian, dan teori
Marxis. Dijelaskan bahwa ketiganya merupakan cara pandang yang tidak dapat
diterima. Penelitian biologis hanya memperhatikan aspek fisiologis
sementara psikoanalisis hanya mengaji faktor-faktor bawah sadar, dan
pandangan Marxis hanya mempertimbangkan masalah ekonomi. Hal ini justru
menunjukkan bahwa subordinasi hanyalah hasil bentukan sosial budaya. Semua
ini tentu saja bisa diubah—jika saja perempuan bisa memahami 'posisinya
sebagai subjek' yang sejak lama tidak terakui. Kesimpulan de Beauvoir
kemudian berupa gabungan antara optimisme dan himbauan. Ia menuliskan,
kepentingan diri dalam bidang ekonomi telah mengarahkan laki-laki untuk
memberikan sebagian emansipasi sosial dan ekonomi kepada perempuan.
Perempuan sekarang harus menaklukkan kesempatan ini untuk mendapatkan
kesetaraan penuh dalam bidang ekonomi dan sosial. Jika ini terjadi sebuah
'metamorfosis dari dalam diri' akan mengikuti. Perempuan akan diakui
keberadaannya sebagai dirinya sendiri ia akan menjadi subjek seperti
hanlnya laki-laki menjadi subjek dan menjadi 'liyan' bagi laki-laki hanya
pada saat laki-laki menjadi 'liyan' bagi perempuan (Gamble, 2010:41—42).
Beauvoir menglaim dirinya sebagai penganut aliran filsafat dari Jean-Paul
Sartre yaitu filsafat eksistensialis, tentu feminisme milik Beauvoir adalah
feminisme eksistensialis.
Menurut Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, salah satu asumsi dasar
gerakan feminis adalah selalu menjadi hak perempuan untuk mengontrol proses-
proses reproduksi mereka melalui perlindungan diri terhadap teknologi-
teknologi reproduksi seperti kontrasepsi, sterilisasi dan aborsi. Meskipun
tidak semua feminis menerima kebijakan sederhana tentang 'aborsi sesuai
tuntutan', sudut pandang feminis akan menempatkan ibu terlebih dahulu.
Mereka mengusulkan hak-hak perempuan untuk memikul maternitasnya sesuai
dengan kehendaknya (dalam Gamble, 2010:233—234).
Domestititas berkaitan dengan kehidupan rumah tangga: utamanya yang
diterapkan dalam relasi perempuan dengan rumah tangga dan keluarga. Karya
Beauvoir mengenai politik pekerjaan domestik baik di dalam dan luar rumah
menjadi perdebatan sengit. Sekalipun terjadi beberapa perubahan ke kondisi
yang lebih baik dengan kemunculan 'ibu rumah tangga Baru', berjuta-juta
perempuan di seluruh dunia masih terjebak pada penyamaan bahwa 'perempuan
setara dengan domestik'.
Dalam The Second Sex, Simone de Beauvoir menyatakan bahwa pernikahan
'hanya alat penyatuan dalam masyarakat' bagi perempuan, meski pernikahan
menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Sementara perempuan
yang tetap memutuskan melajang (atau tidak menikah) dianggap sebagai 'yang
tersisihkan'. Bahkan di suatu masa di mana feminisme telah berhasil merebut
lebih banyak kesempatan-kesempatan sosial dan profesional bagi perempuan,
pernikahan tetap sebuah lembaga yang kekal. Pernikahan ditopang oleh
ideologi percintaan (ideology of romance), yang menyimpannya sebagai
penyesuaian akhir dalam seluruh narasi mulai dari dongeng untuk anak-anak
hingga film. Pemikiran feminis sejak dulu mengatakan bahwa fungsi-fungsi
pernikahan sebagai poros utama dari patriarki. Bagi para feminis Marxis,
seperti Christine Delphy, pernikahan beroperasi sebagai alat, yang
karenanya laki-laki memperoleh kontrol atas fungsi-fungsi reproduksi
perempuan dan pekerjaan domestik perempuan (Gamble, 2010:348).
Beauvoir (dalam Tong, 2008:269) juga mengemukakan bahwa peran perempuan
sebagai istri membatasi kebebasan perempuan. Lembaga perkawinan merusak
hubungan suatu pasangan, perkawinan yang sebelumnya adalah perasaan yang
dimiliki, yang diberikan secara tulus terubah menjadi kewajiban dan hak
yang diperoleh dengan cara yang menyakitkan. Perkawinan merupakan bentuk
perbudakan. Perkawinan menawarkan perempuan kenyamanan, ketenangan, dan
keamanan. Tetapi perkawinan juga merampok perempuan atas kesempatan untuk
mejadi hebat. Sebagai konsekuensinya, perempuan diberikan "kebahagiaan",
pelan tapi pasti, perempuan belajar untuk menerima kurang dari sesungguhnya
berhak diperoleh.
Menurut Beauvoir, perempuan cemburu bukan pada penis laki-laki melainkan
pada kekuasaan laki-laki (dalam Gamble, 2010:382).
Jika berbicara eksistensialisme tentu tidak terlepas dari kesadaran akan
diri. Dalam kesadaran diri yang refleksif itu manusia sadar bahwa ia ada.
Manusia menyadari dirinya sebagai ada. Yang menyadari (subyek) tidak sama
dengan yang disadari (obyeknya) (Hadiwijono, 2011:160).
Dalam menjelaskan teorinya mengenai perempuan, Beauvoir mengacu pada
teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre. Menurut Sartre, ada tiga
modus "Ada" pada manusia, yaitu Ada dalam dirinya (etre en soi), Ada bagi
dirinya (etre pour soi), dan Ada untuk orang lain (etre pour les
autres). Etre en soi adalah ada yang penuh, sempurna, dan digunakan untuk
membahas obyek-obyek yang non manusia karena ia tidak berkesadaran.
Sedangkan etre pour soi mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan
berkesadaran, yang merupakan ciri khas manusia yang mempunyai aktivitas
menindak. Hal ini sama dengan kebebasan untuk memilih (Hadiwijono, 2010:
160—162).
Konsep Sartre yang paling dekat dengan feminisme adalah etre pour les
autres. Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi antar manusia.
Sayangnya dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki
mengobyekkan perempuan dan membuatnya sebagai "yang lain" (Other). Jadi
laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah obyek. Beauvoir mengemukakan
bahwa laki-laki dinamai sang Diri, sedangkan "perempuan" sang Liyan. Jika
Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-
laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi
perempuan terhadap dirinya.
Berdampingan dengan feminisme eksistensialis ini Simone de Beauvoir
mengungkapkan bahwa perempuan yang sadar akan kebebasannya, mereka akan
dapat dengan leluasa menentukan jalan hidupnya, sehingga menurut Beauvoir
perempuan dapat pergi bekerja dan mengkatualisasikan diri secara maksimal,
perempuan bisa menjadi intelektual dan tidak perlu khawatir akan
kemampuannya jika dilihat dari keterbatasan biologisnya. Dan yang
terpenting perempuan harus dapat menolak dijadikan obyek, perempuan juga
bisa mengobyekkan laki-laki.
Jika perempuan ingin menghentikan kondisinya sebagai Liyan, atau jenis
kelamin kedua, perempuan harus dapat mengatasi kekuatan-kekuatan dari
lingkungan. Perempuan harus mempunyai pendapat dan cara seperti juga laki-
laki. Menurut Beauvoir (dalam Tong, 2008:274—275), ada empat cara untuk
menuju transendensi, yaitu: (1) perempuan dapat bekerja. Betapa pun keras
dan melelahkannya pekerjaan perempuan, pekerjaan masih memberikan berbagai
kemungkinan bagi perempuan, yang jika tidak dilakukan perempuan akan
menjadi kehilangan sama sekali. Dengan bekerja di luar rumah bersama dengan
laki-laki, perempuan dapat "merebut kembali transendensinya". Perempuan
akan "secara konkret menegaskan statusnya sebagai subjek, sebagai seseorang
yang secara aktif menentukan arah nasibnya; (2) perempuan dapat menjadi
seorang intelektual, anggota dari kelompok yang akan membangun perubahan
bagi perempuan. Kegiatan intelektual merupakan kegiatan berpikir, melihat,
dan mendefinisi, dan bukanlah nonaktivitas ketika seseorang menjadi objek
pemikiran, pengamatan, dan pendefinisian; (3) perempuan dapat bekerja untuk
mencapai transformasi sosialis masyarakat, yaitu berakhirnya konflik Subjek-
Objek, Diri-Liyan di antara manusia, khusunya antara laki-laki dan
perempuan; (4) perempuan dapat menolak menginternalisasi ke-
Liyanannya—yaitu dengan mengidentifikasi dirinya melalui pandangan kelompok
dominan dalam masyarakat. Menerima sebagai Liyan adalah menerima status
sebagi objek.
METODE
Penelitian ini dilakukan melalui tahap pembacaan teks sastra dalam hal
ini roman Biola Tak Berdawai, kemudian dilakukan analisis sesuai konteks
yang akan dibahas. Analisis tahap pertama dimulai dengan penganalisisan
penokohan Mbak Wid, tahap selanjutnya adalah penganalisisan penokohan Mbak
Wid dengan kritik sastra feminis melalui kajian feminisme eksistensialis.
Dalam hal ini, penulis menghubungkan isi cerita dengan teori feminisme yang
telah dikemukakan. Yang dimaksud melalui teori feminisme khususnya
feminisme eksistensialis ini adalah mengemukakan kefeminisan penokohan pada
roman. Objek penelitian terdapat pada penokohan Mbak Wid. Teknik
pengumpulan data pertama dilakukan pembacaan teks, kemudian pemahaman, dan
dimulai penganalisisan. Teknik analisis data diambil dari teks sastra yang
berbentuk kutipan-kutipan dan dari kutipan diuraikan maksudnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Figur Dokter
Tokoh Mbak Wid pada roman ini menunjukkan figurnya sebagai dokter, ia
adalah dokter yang menangani penderita tunadaksa. Dokter merupakan sebuah
profesi. Profesinya sebagai dokter menunjukkan eksistensi dirinya.
Keeksistensialisannya yaitu bahwa ia adalah Diri atau sebagai subjek dan
bukan Liyan atau sebagai objek. Profesi dokter menunjukkan bahwa Mbak Wid
ada untuk orang lain (etre pour les autres) karena pekerjaan sebagai dokter
merupakan pekerjaan yang menjual jasa dan jasa diperuntukkan orang lain dan
bukan untuk diri sendiri. Mbak Wid tentu sadar dengan kebebasannya,
sehingga ia memilih menjadi seorang dokter.
Mbak Wid adalah dokter di Rumah Asuh Ibu Sejati. Mereka berdua tentu
sering harus menjadi saksi kematian bayi-bayi tunadaksa (hlm. 15).
Tokoh Mbak Wid dikatakan sebagai feminis karena ia sebagai dokter,
seperti yang telah dijelaskan bahwa menurut Beauvoir perempuan bisa bebas
memilih dan mengaktualisasikan diri sesuai keinginannya. Dalam hal ini
tokoh Mbak Wid termasuk dalam prioritas tersebut yaitu ia dapat
mengaktualisasikan dirinya sebagai dokter di panti asuhan tersebut dan
tidak ada yang boleh menentangnya. Figurnya sebagai dokter tidak
menjadikannya sebagai perempuan yang Liyan, melainkan Diri. Tokoh Mbak Wid
menyadari dirinya sebagai Ada alias sebagai subjek, bukan objek lagi. Tokoh
Mbak Wid dalam roman dijelaskan bahwa ia menolak untuk menikah, ia menolak
dijadikan objek. Dokter yang melajang merupakan sebuah pilihan hidup dan
tidak ada yang berhak menghakimi pilihannya.
Laki-laki menurut Mbak Wid merupakan sumber bencana, sehingga ia menolak
untuk berhubungan dengan laki-laki. Ia memolak berkawan atau yang
mendekatinya untuk memadu kasih.
Sebagai mahasiswa kedokteran, di bagian anak pula, begitu sering aku
berurusan dengan nasib bayi-bayi yang malang. Semua itu hanya membawaku
ke masa laluku. Bayi-bayi dan ibu hamil hanya mengingatkan kepada
pengguguran. Para calon dokter pria yang mengajak berkawan, atau
barangkali maunya berpacaran, mengingatkan aku kepada para langganan
ibuku yang palsu… (hlm. 67).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Mbak Wid tidak ingin berhubungan
dengan laki-laki. Ia menunjukkan kebencian terhadap kaum laki-laki yang
telah membuat perempuan sebagai objek dalam hal ini adalah ibunya sendiri
sebagai pelacur. Ia merasa ingin menghentikan perilaku ibunya dengan cara
menjadi dokter anak.
Pilihan tokoh Mbak Wid sebagai dokter anak tidak terlepas dari masa
kecilnya, yaitu ibunya yang sebagai pelacur menggugurkan banyak janin.
Ibuku seorang pelacur. Anak-anak memang tidak bisa memilih siapa orang
tuanya. Aku tidak pernah bertanya, apalagi menghakimi. Ibu melakukan
semua itu untuk membesarkan dan mnyekolahkan aku. Tapi ibu sering sekali
hamil, hanya untuk digugurkan dan digusurkan kembali. Minggu ini dia
menggugurkan kandungannya, minggu depan dia sudah melacur lagi (hlm. 62).
Dari masa lalunya, ia tidak menghakimi pilihan hidup ibunya sebagai
pelacur. Tokoh Mbak Wid menghargai pilihan ibunya. Feminism eksistensialis
tidak meghakimi apa yang menjadi pilihan hidup seseorang. Tokoh Mbak Wid
menunjukkan bahwa ia juga menghargai eksistensi orang lain. Dari masa
lalunya tersebut ia memutuskan untuk menjadi dokter anak.
Setiap pagi ia mengenakan baju putih-putih, sebagai dokter kepala di
Rumah Asuh Ibu Sejati… Pada pagi hari Mbak Wid adalah seorang dokter yang
hidup dengan kepala dingin (hlm. 16).
Figur Peramal
Pada pagi hari tokoh Mbak Wid berprofesi sebagai dokter, namun pada malam
hari, pada roman ini ditunjukkan bahwa tokoh Mbak Wid juga berprofesi
sebagai peramal. Meskipun tidak disebutkan bahwa ia sebagai peramal, namun
dari tindakannya. Hal tersebut bisa didefinisikan bahwa ia pada malam hari
sebaia peramal nasib seseorang.
Setiap pagi ia mengenakan baju putih-putih, sebagai dokter kepala di
rumah Sakit Asuh Ibu Sejati, namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi
seseorang perempuan berbaju hitam-hitam yang begitu percaya ramalan kartu-
kartu. Pada pagi hari Mbak Wid adalah seorang dokter yang hidup dengan
kepala dingin, pada malam hari Mbak Wid membuka gelung rambutnya,
mengubah dandanannya menjadi seorang perempuan yang mempercayai ramalan
kartu yang kadang mengerikan. Kematian bayi Larasati misalnya, memang
seperti tlah diramalkan, ketika kartu yang dibuka Mbak Wid adalah The
Death alias Kematian (hlm. 16—17).
Mbak Wid sebagai seorang peramal juga merupakan pembuktian
keeksistensialisannya sebagai seorang feminis. Mbak Wid menunjukkan dirinya
sebagai figur yag berbeda. Selain menjadi dokter di pagi hari, tokoh Mbak
Wid juga mengaktualisasikan dirinya menjadi seorang peramal nasib
menggunakan kartu tarot di malam hari. Hal tersebut adalah pilihan hidup
tokoh Mbak Wid.
Dalam hal ini, tokoh Mbak Wid merupakan tokoh intelektual yang berpikir
melihat dan mendefinisi dari kegiatan meramalnya. Kegiatan meramal membuat
dirinya Ada bagi dirinya yang mempunyai kuasa untuk menindak. Tokoh mbak
Wid bukan sebagai objek pemikiran, namun ia sebgai pemikir yang
menjadikannya sebagai subjek, bukan objek.
Saya setiap hari menghadapi bayi yang mati. Orang lain barangkali sudah
menjadi gila. Hari ini ada bayi mati. Besok ada lagi bayi mati. Lua ada
lagi. Hampir setiaphari. Kartu-kartu inilah yang membuat saya tidak jadi
gila—tetap waras (hlm. 113).
Figur sebagai peramal membuat eksistensinya tetap bertahan karena
profesinya sebagai dokter anak yang menangani tunadaksa membuat ia
berhadapan dengan kematian setiap hari. Sehingga dengan meramal membuat
dirinya tetap ada dan tidak mengurangi eksistensi sebagai subjek.
Figur Ibu
Figur sebagai seorang ibu dapat disematkan kepada tokoh Mbak Wid. Hal
tersebut dikarenakan tokoh Mbak Wid merupakan dokter kepala panti asuhan.
Panti asuhan yang hanya menerima bayi-bayi tunadaksa.
Setiap pagi ia mengenakan baju putih-putih, sebagai dokter kepala di
rumah Sakit Asuh Ibu Sejati (hlm. 16).
Untuk menjadi ibu, tidak harus melalui proses perkawinan dan melahirkan.
Namun untuk menjadi ibu bisa dari memiliki dan merawat anak seperti tokoh
Mbak Wid. Dalam roman, ia digambarkan tidak memiliki suami, namun
kesehariannya bisa disebut sebagai ibu karena merawat bayi-bayi meskipun
bukan anaknya.
Ibu yang baik adalah ibu yang tidak membeda-bedakan kasih saying terhadap
anak-anaknya. Tokoh Mbak Wid digambarkan kasih sayang terhadap bayi-bayinya
itu setara. Karena Mbak Wid mengetahui bahwa bayi-bayi yang dititipkan
maupun tertitipkan di panti asuhan tersebut hanya mampir sebentar atau
hidupnya tidak akan lama.
Ada Mbak Wid yang hidup di dua dunia, ada ibuku yang disebut Mbak Wid
terlalu memanjakan aku, dan sekitar duapuluh bayi yang seperti hanya
nmpang tidur sebentar sebelum mati. Hidup hanyalah mampir untuk minum,
kata orang Jawa—ya, hanya mampir, dan kita tidak tahu persis darimana
asal kita, untuk menuju ke mana (hlm. 17).
Ia hanya bertugas untuk memberikan yang terbaik kepada bayi tunadaksa
yang hanya sekadar mampir di dunia tersebut.
Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani, begitulah nama ibuku, seperti
selalu mencoba memaklumi Mbak Wid, yang betapapun seperti telah
menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati (hlm.
18).
Nama panti tersebut yaitu Rumah Asuh Ibu Sejati, dari namanya, terlihat
bahwa Mbak Wid bekerja di sana tentu juga menjadikannya seorang ibu. Panti
tersebut dinamai Ibu Sejati. Kata "ibu" menunjukkan bahwa Mbak Wid mau
menjadi seorang ibu yang sejati. Ia merawat bayi-bayi tunadaksa dengan
sepenuh hati. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan untuk menjadi ibu
tidak harus kawin. Dengan kegiatan yang dilakukan Mbak Wid menunjukkan
eksistensinya sebagai seorang ibu.
Figur yang Unik
Ada keunikan dari tokoh Mbak Wid, yaitu dengan dimunculkannya dialog Mbak
Wid tentang teka-teki. Dialog tersebut selalu menghadiri percakapan apabila
tokoh Mbak Wid berdialog. Berikut utipan-kutipan yang menunjukkan keunikan
dialog tokoh Mbak Wid pada roman.
Hati memang teka-teki yang abadi. Terkadang kuat, terkadang lemah.
Bayangkan perasaan Gandari yang harus mengubur keseratus anaknya yang
gugur di medan Kurusetra (hlm. 16).
Hati menurut tokoh Mbak Wid merupakan sebuah teka-teki yang abadi. Selain
tokoh Mbak Wid menyebutkan kata teka-teki, selanjutnya diuraikan atau
dijelaskan maksud dari teka-teki tersebut.
Kesombongan memang sebuah teka-teki yang sering disalahtagsirkan, orang
kaya karena sombong, atau orang sombong karena kaya (hlm. 17).
Kesombongan menurut Mbak Wid juga merupakan teka-teki. Antara kaya dan
sombong saling berhubungan. Hal tersebut muncul karena ada problem muncul
dari keseharian Mbak Wid yag menerima bayi tunadaksa namun dipaksa menerima
bayi normal.
Sinting! Hidup ini memang teka-teki yang sinting (hlm. 54)!
Meskipun tidak ada penjelasan selanjutnya setelah Mbak Wid menggunakan
kata teka-teki di atas. Hal tersebut terjadi karena Mbak Wid sedang tidak
dalam ketenangan dan dalam posisi panik. Sehingga ia tidak menjelaskan
makna sinting dari teka-teki hidup. Namun dari dialog tersebut tetap jelas
dipahami pembaca.
Dosa memang sebuah teka-teki yang sulit dimengerti. Batasnya tidak jelas.
Dulu saya pikir ketik saya diterima bekerja di sini, mengabdi di rumahmu
ini, saya bisa melunasi dosa-dosa saya di masa lalu (hlm. 62).
Dosa menurut Mbak Wid merupakan sebuah teka-teki. Dosa ditanggung oleh
individu yang bersangkutan. Dosa yang dilakukan sendiri tidak ditanggung
orang lain. Pikiran tokoh Mbak Wid bahwa dosa orang tuanya di masa lalu
bisa dia tebus dengan mengabdi sebagai dokter anak, namun akhirnya Mbak Wid
menyadari bahwa dosa terkadang sulit dimengerti dan ia tak bisa menebus
dosa-dosa ibunya di masa lalu.
Ketakutan adalah sebuah teka-teki yang dilematis. Langit mendung, kita
takut hujan. Langit cerah, kita takut panas. Sejak kapan perbedaan umur
menjadi masalah? Lagipula kamu terlalu muda untuk menjadi mapan (hlm.
128).
Benar apa yang dikatakan tokoh Mbak Wid dalam roman, hal tersebut merujuk
pada kehidupan sehari-hari. Manusia dilanda ketakutan. Ketakutan merupakan
sesuatu yang dilematis. Kadang begini kadang begitu. Sesuatu yang ditakuti
oleh tokoh Renjani dicoba Mbak Wid untuk menepis ketakutan tersebut.
Laki-laki itu teka-teki yang paling aneh. Perempuan itu teka-teki yang
paling tidak masuk akal. Belum tentu kamu bisa menemukan lagi laki-laki
yang seperti dia, yang sudah bisa menerima Dewa seperti apa adanya (hlm.
129).
Menurut tokoh Mbak Wid dalam dialognya bahwa laki-laki dan perempuan
merupakan bagiandari teka-teki. Antara laki-laki dan perempuan dalam
feminisme disinggung mengenai Diri dan Liyan. Dari keduanya, tokoh Mbak Wid
mengungkapkan bahwa keduanya merupakan subjek. Ini berarti bahwa tokoh Mbak
Wid tidak bermaksud membenci laki-laki. Antara laki-laki dan perempuan
setara.
Takdir, takdir adalah sebuah teka-teki yang membingungkan. Siapa sangka
bahwa takdir bersurat di perang Barathayudha, Arjuna akan—bertanding
melawan Adipati Karna, kakanya sendiri—dan Kuntiharus rela kehilangan
salah satu anaknya (hlm. 158).
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa Mbak Wid saat berdialog memang
unik. Selalu ada penyematan tentang kata "teka-teki". Keunikan tersebut
menujukkan eksistensialime Mbak Wid selain sebagai dokter, peramal, dan
sebagai ibu. Kata-kata yang terlontar merupakan sebuah tendensi untuk
menunjukkan dirinya.
Mbak Wid dengan berdialog seperti itu membuat ia memperlihatkan
eksistensinya, menunjukkan sebagai Diri bagi dirinya dan berbeda dari yang
lain.
Figur Intelek
Sebagai seorang dokter, tokoh Mbak Wid termasuk dalam figure intelek,
yang menunjukkan bahwa perempuan melakukan aktivitas berpikir dan melakukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya maupun orang lain. Tokoh Mbak Wid sebagai
perempuan ingin menghentikan kondisinya sebagai Liyan, yaitu dengan
mengatasi kekuatan-kekuatan dari lingkungan. Perempuan harus mempunyai
pendapat dan cara seperti juga laki-laki.
Seperti tokoh Mbak Wid, ia menunjukkan bahwa ia berpikir secara rasional
dan tidak berpikir melalui perasaan yang biasanya dituduhkan kepada
perempuan.
Duuuhhh, Renjaniiiii, Renjani… saya tahu kamu sangat sayang kepada Dewa,
tapi anak itu tidak mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-
apa. Dia bukan saja jaringan otaknya yang rusak, tapi juga autistic.
Matanya terbuka tetapi tidak melihat. Telinganya tidak mendengar. Kamu
sendiri kan sudah melihat hasi test-nya (hlm. 18).
Sebagai seorang intelek, tokoh Mbak Wid menggunakan akal dan secara
rasional menjelaskan bagaimana kondisi tunadaksa. Dengan begitu, cara
berpikir intelek yang logis membuat dirinya berpendapat seperti laki-laki
yang dituduhkan menggunakan logika dan bukan perasaan.
Meskipun tokoh Mbak Wid juga seorang peramal kartu tarot, ia tetap
dianggap sebagai kaum intelek karena kartu tarot memiliki makna yang
tersembunyi sehingga untuk mengartikannya dibutuhkan pengetahuan yang
lebih. Sebagai seorang intelek, eksistensi Mbak Wid mnunjukkan diirnya
sebagai Diri (subjek) dan bukan Liyan (objek).
Figur Pekerja Keras
Figur seorang yang pekerja keras ditunjukkan melalui sumpah tokoh Mbak
Wid di masa lalu, yaitu ingin menjadi dokter. Cita-cita tersebut terkabul,
pun melalui usaha-usaha untuk mencapainya. Ini membuktikan bahwa tooh Mbak
Wid berusaha keras untuk memenuhi sumpahnya.
Aku telah bersumpah kepada diri sendiri—aku akan menjadi dokter anak,
yang menyelamatkan anak-anak. Biarlah ibuku membuang janin adik-adikku.
Biarkanlah aku menebus dosa-dosa ibuku, dengan menyelamatkan anak-anak
sebanyak-banyaknya (hm. 63).
Selain usaha untuk menjadi dokter, tokoh Mbak Wid juga berusaha melupakan
masa lalunya. Namun manusia tidak bisa terlepas dari masa lalu. Masa
lalulah yang membangun masa depan.
Aku hidup dengan usaha keras melupakan masa laluku dan betapa berat usaha
melupakan itu bagiku. Sebagai mahasiswa kedokteran, di bagian anak pula,
begitu sering aku berurusan dengan nasib bayi-bayi yang malang. Semua itu
hanya membawaku kembali ke masa laluku. Bayi-bayi dan ibu hamil hanya
mengingatkan kepada para langganan ibuku yang palsu (hlm. 66—67).
Kerja keras tokoh Mbak Wid dan berhail menjadi dokter tidak terlepas dari
masa lalu yang membayanginya untuksegera menebus dosa ibunya. Perjuangan
tokoh Mbak Wid agar menyelamatkan ibu dan anak sebagai dokter merupakan
pemberdayaan manusia yang termasuk dalam feminisme.
Kritik terhadap Roman
Roman Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma merupakan roman yang
ditulis berdasarkan skenario dan film dengan judul yang sama karya Sekar
Ayu Asmara. Pilihan sudut pandang adalah sudut pandang orang pertama serba
tahu dan sebagai tokoh utama. Pilihan kata yang dipakai Ajidarma sering
menggunakan kata "adalah". Untuk sebuah karya fiksi, tidak dilarang
menggunakan variasi bahasa, namun hal tersebut dapat menyebabkan pembaca
sedikit terganggu. Namun bisa jadi diksi tersebut malah untuk memperindah
bahasa sehingga bahasa menjadi lebih puitis.
Ada sedikit kerancuan di sini, antara novel dan roman. Dalam buku ini,
ditulis oleh pengarang bahwa Biola Tak Berdawai merupakan sebuah roman.
Namun, para pembaca sudah biasa menyebutnya sebagai sebuah novel. Menurut
Wellek & Warren (2014:260), novel merupakan gambaran dari kehidupan dan
perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Sedangkan
romansa atau biasa disebut roman, cerita ditulis dalam bahasa yang agung
dan diperindah, menggambarkan apa yang tidak pernah terjadi dan tidak
mungkin terjadi.
Novel bersifat realistis, sedangkan roman bersifat puitis dan epik. Novel
berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoir atau
biografi, kronik atau sejarah. Novel berkembang dari dokumen-dokumen.
Secara stilistika, novel menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis
dalam arti yang sempit. Sedangkan romansa merupakan kelanjutan dari epik
dan romansa abad pertengahan. Romansa mengabaikan kepatuhan terhadap
detail. Novel mengacu pada pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi
yang lebih mendalam. Sedamgkan romansa itu terjadi di masa lampau,
tujuannya bukan untuk menggambarkan keadaan masa lalu dengan setepat-
tepatnya, tetapi untuk meraih sejenis wilayah, puis, tempat yang bebas
dari, keharusan menampilkan hal-hal aktual (Wellek & Warren, 2014:260—261).
Pengarang menyebutkan bahwa buku ini merupakan sebuah roman, ditinjau
dari pendapat Wellek & Warren, bahwa benar buku ini merupakan sebuah roman.
Di dalamnya terkandung cerita epik seperti Mahabharata, Wajang Purwa,
Kakawin Baratha Yudha. Kemudian pada buku ini juga disebutkan penggambaran
masa lalu yang diambil dari pustaka Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan
Budha di Jawa Tengah dan Pasar di Jawa: Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI
Masehi.
Roman ini tidak hanya menceritakan kejadian atau konflik yang terjadi,
namun juga mengingatkan pembaca kepada cerita masa lalu. Cerita-cerita epik
yang fenomenal. Dengan begitu, pembaca mendapatkan informasi yang lebih
serta mendapatkan wawasan baru. Pengarang dengan baik membandingkan antara
kisah pada tokoh Aku dengan kisah epik masa lalu. Pembaca ditarik ulur
antara dunia sekarang (kejadian cerita) dengan dunia pada masa dulu.
Roman ini, baik bagi pembaca kalangan remaja dan umum. Meskipun roman ini
bercerita tentang tunadaksa yang masih berumur delapan tahun, namun tidak
disarankan bagi pembaca 18 tahun ke bawah, karena bahasa yang digunakan
pengarang terholong bahasa yang sulit dipahami bagi pembaca di bawah umur.
Roman ini memberikan kontribusi terhadap khasanah kesastraan. Dari film
yang dialihwahanakan menjadi sebuah buku berbentuk roman memicu pembaca
tidak hanya ingin membaca, namun juga ingin melihat filmnya (apabila
pembaca terlebih dahulu membaca roman ini). Namun apabila penikmat film
terlebih dahulu, kemudian terbit roman ini, tentu penikmat film juga akan
penasaran dan ingin membaca. Sehingga literasi khususnya di Indonesia dapat
berkembang dengan baik.
PENUTUP
Simpulan
Feminisme penokohan Mbak Wid tersirat pada karakter dan wataknya, antara
lain figur tokoh Mbak Wid sebagai seorang dokter, figur tokoh Mbak Wid
sebagai seorang peramal, sebagai seorang Ibu, sebagai seorang yang unik,
seorang yang mempunyai intelektual tinggi, sebagai seorang yang pekerja
keras. Dari semua penokohan tersebut, menujukkan bahwa tokoh Mbak Wid
merupakan seorang feminis. Eksistensi sebagai Diri dan bukan Liyan terdapat
dalam penokohannya.
Roman ini, baik bagi pembaca remaja dan kalangan umum. Di dalamnya
mengandung fakta kemanusiaan agar lebih menyayangi anak, dan terdapat
petuah tersendiri bagi pembaca dewasa serta terdapat cerita epik yang
menggugah dan dituliskan dengan baik. Roman ini belum baik jika
diperuntukkan pembaca di bawah umur 18 tahun karena di dalamnya terdapat
cerita cinta yang belum pantas dibaca meskipun tokoh utama roman tersebut
merupakan tunadaksa yang amsih berumur delapan tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Biola Tak Berdawai (Berdasarkan Skenario dan
Film Biola Tak Berdawai karya Sekar Ayu Asmara). Jakarta: AKUR (Andal Krida
Nusantara).
Gamble, Sarah. 2010. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme.
Yogyakarta: Jalasutra.
Hadiwijono, Harun. 2010. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Kanisius.
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sugihastuti dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis: Teori dan
Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.