MAKALAH FIQH MUAMALAH
KONSEP AKAD DALAM FIQH MUAMALAH
Disusun Sebagai Makalah yang Dipresentasikan pada Pertemuan ke-4 Mata Kuliah Fiqh Muamalah dengan Dosen Pembimbing HASYIM, S.Ag., M.Ag
DISUSUN OLEH: Jatmiko Feri Irnendi
F 0308122
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
A. Pengertian Akad dan Dampak Akad
„aqdu) secara bahasa merupakan bentuk masdar dari ‟aqada, ya‟qidu, Kata akad ( Al- „aqdu) „aqdan. Dari kata tersebut terjadilah perkembangan dan perluasan arti sesuai dengan konteks pemakaiannya. pemakaiannya. Misalnya, „aqada dengan arti “menyimpul, membuhul, mengikat atau dengan arti mengikat janji” janji”. Menurut Wahbah al-Zuhaili yang seorang ahli hukum islam memberikan pengertian secara terminologi tentang akad: Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada obyek akadnya.
Rumusan pengertian akad diatas mengindikasikan bahwa akad terdiri dari adanya para pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal tertentu. Kemudian akad ini diwujudkan melalui pertama, adanya ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab dan qabul ini dilaksanakan untuk menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap akad yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan. Kedua, adanya kesesuaian kehendak dengan syariat. Artinya bahwa seluruh akad yang diperjanjikan oleh kedua pihak atau lebih, (baik dari objek perjanjian, aktifitas yang dilakukan, dan tujuan) dianggap sah apabila sesuai atau sejalan dengan kekuatan hukum Islam. Sedangkan ketiga, adanya akibat hukum masing-masing sesuai dengan jenis dan bentuknya, dalam bentuk transaksi jual-beli, maka akibat hukumnya adalah terjadinya pemindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul).
B. Asas-asas Akad
Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah sebagai berikut : 1. Kebebasan berkontrak ( al-Hurriyah )
Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum islam dan merupakan prinsip dasar pula dari akad / hukum perjanjian. Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, baik dari segi materi (isi) yang diperjanjikan, menentukan pelaksanaan dan persyaratan-persyaratan lainnya, melakukan perjanjian dengan
siapapun,
maupun
bentuk
perjanjian
termasuk
menetapkan
cara-cara
penyelesaian bila terjadi senggketa. Dalam hal ini kebebasan dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariah Islam. Kebebasan berkontrak didasarkan firman Allah dalam Al Quran, yakni :
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
[1].
Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan
tidak
menghalalkan
berburu
ketika
kamu
sedang
mengerjakan
haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki- Nya.”(QS. Al Maidah : 1) [1]
Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian
yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Kebebasan berkontrak pada ayat ini disebutkan dengankata “akad-akad” atau dalam teks aslinya adalah al-„uqud , yaitu bentuk jamak menunjukkan keumuman artinya orang bolehmembuat bermacam-macam perjanjian dan perjanjian-perjanjian itu wajib dipenuhi. Namun kebebasan berkontrak dalam hukum Islam ada batas- batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama dengan jalan batil. Sesuai firman Allah
Artinya : “Hai orang -orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penya yang kepadamu”(QS. An Nisa : 29 ) 2. Persamaan ( al- Musawah)
Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antar satu dan lainnya. Sehingga pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini. Transaksi juga harus didasarkan pada keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa yang diterima.
Artinya : “ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al Hujuurat : 13 ) 3. Keadilan ( al- ‘Adalah)
Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan dan Al- Qur‟an menekankan agar manusia menjadikannya sebagai ideal moral. Bahkan Al- Qur‟an menempatkan keadilan lebih dekat kepada taqwa
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. ” (QS. Al- Ma‟idah : 8-9)
Pelaksanaan asas ini dalam akad, dimana para pihak yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya. Artinya : “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al-Baqarah :177)
Artinya : “dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al - Mu‟minuun : 8) 4. Kerelaan / konsensualisme ( al-Ridhaiyyah)
Dasar asas ini adalah kalimat “antaradhin minkum” (saling rela diantara kalian) sebagaimana terdapat dalam
Artinya : “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai [1]
pemberian dengan penuh kerelaan . kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. Annisa : 4)
[1]
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Asas ini menyatakan bahwa segala transsaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Bentuk kerelaan dari para pihak tersebut telah terwujud saat terjadinya kata sepakat tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. 5. Kejujuran dan kebenaran ( ash-Shidiq )
Kejujuran adalah suatu nilai etika yang mendasar dalam Islam. Islam adalah nama lain dari kebenaran
Artinya : “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali ‟ Imran : 95).
Allah berbicara benar dan memerintahkan semua muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perkataan
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar .” (QS. Al-Ahzab:70)
Islam dengan tegas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh pada pihak yangmelakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu, dan melakukan pemalsuan. Pada saat asas ini tidak dijalankan, maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Dimana pihak yang merasa dirugikan karena pada saat perjanjian dilakukan pihak lainnya tidak mendasarkan pada asas ini, dapat menghentikan proses perjanjian tersebut. 6. Kemanfaatan ( al-Manfaat)
Asas manfaat maksudnya adalah bahwa akad yang dilakukan oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahataan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat ) atau keadaan yang membertakan ( masyaqqah). Kemanfaatan ini antara lain berkenaan dengan objek akad. Tidak semua obyek dalam pandangan Islam
dapat dijadikan obyek akad. Islam mengharamkan akad yang berkaitan dengan hal-hal yangbersifat mudharat/mafsadat seperti jual-beli benda-benda yang diharamkan atau benda-benda yang tidak bermanfaat apalagi membahayakan. Dengan kata lain barang atau usaha yang menjadi obyek akad dibenarkan ( halal) dan baik (thayyib ) 7. Tertulis ( al-Kitabah)
Prinsip terakhir yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan akad adalah sebagaimana disebut dalam
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
[1]
tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang
[2]
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (QS. Al -Baqarah : 282-283) [1]
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
[2]
Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Kedua ayat tersebut, mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak yang melakukan akad, maka akad itu harus dibuat secara tertulis. Asas kitabah ini terutama dianjurkan untuk transaksi dalam bentuk tidak tunai (kredit). Di samping juga diperlukan adanya saksi-saksi ( syahadah ), rahn (gadai, untuk kasus tertentu), dan prinsip tanggungjawab individu.
C. Macam - Macam Akad
a. Tabarru’ Akad Tabarru‟ yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun suatu motif. Yang termasuk katagori akad jenis ini diantaranya adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn dan Qirad. Selain itu menurut penyusun Eksiklopedi Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru seperti Wadi‟ah, Hadiah, hal ini karena tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan baik dalam membantu sesama,oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu transaksi yang tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan ( ta‟awanu alal birri wattaqwa).
Dalam akad ini pihak yang berbuat kabaikan (dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi ( cover the cost ) kepada nasabah ( counter-part)tetapi tidak boleh mengambil laba dari akad ini. b. Tijari
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk
mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari‟ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.
c. Tabaduli Akad Tabaduli merupakan akad yang berorientasi pada pertukaran , seperti jual beli, (murobahah, salam, istishna‟ ) dan ijarah. d. Takafuli Akad Takafuli merupakan akad yang berorientasi dasar pada saling menanggung antara kedua belah pihak ataupun lebih, seperti akad asuransi syariah, yang disebut juga akad tabarru‟ . e. Takhaluthi Akad Takhaluthi‟ merupakan akad yang merupakan percampuran / kombinasi dari Tabaduli dan Takafuli , seperti musyarakah dan mudharabah.
Pembagian Akad dan Sifat - Sifatnya
Pembagian akad dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda, yaitu: 1. Berdasarkan ketentuan syara'
a. Akad shahih Akad shahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara' pada asalnya dan sifatnya. b. Akad tidak shahih Akad shahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah menetapkan akad bathil dan fasid termasuk kedalam jenis akad tidak shahih, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal. Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan lain -lain. Adapun akad fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi
dilarang syara' seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan percekcokan. 2. Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah
a. Akad musamah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara' dan telah ada hukumhukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah. b. Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara' dan belum ditetapkan hukumnya. 3. Berdasarkan zat benda yang diakadkan
a. Benda yang berwujud b. Benda tidak berwujud. 4. Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya
a. Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad. b. Akad mu'alaq adalah akad yand didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran. c. Akad mu'alaq ialah akad yang didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad, pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan. 5. Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad
a. Akad musyara'ah ialah akad-akad yang debenarkan syara' seperti gadai dan jual beli. b. Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya. 6. Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam akad
a. Akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli. b. Akad ghair „ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barangbarang karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah. 7. Berdasarkan cara melakukannya
a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah. b. Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya. 8. Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad
a. Akad nafidzah , yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad b. Akad mauqufah , yaitu akad – akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta). 9. Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara' b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain. c. Akad lazimah yang menjadi hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti barang titipan boleh diambil oleh orang yang menitipkan dari orang yang dititipkan tanpa menunggu persetujuan darinya. Begitupun sebaliknya. 10. Berdasarkan tukar menukar hak
a. Akad mu'awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli. b. Akad tabarru'at , yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah. c. Akad yang tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad mu'awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah. 11. Berdasarkan harus diganti dan tidaknya
a. Akad dhaman , yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad. b. Akad amanah , yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan. c.
Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
12. Berdasarkan tujuan akad
a. Tamlik: seperti jual beli b. Mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah c. Tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah d. Menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah e. Mengadakan pemeliharaan seperti ida' atau titipan 13. Berdasarkan faur dan istimrar
a. Akad fauriyah , yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli. b. Akad istimrar atau zamaniyah , yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I'arah 14. Berdasarkan asliyah dan tabi'iyah
a. Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah. b. Akad tahi'iyah , yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
D. Rukun Akad
Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut: 1. Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain : a. Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara
yang
berbahaya
dan
tidak
berbahaya;
dan
antara
merugikan
dan
menguntungkan. b. Wilayah Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi,
sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas. 2. Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma'qud „Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : a. Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan. b. Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. c. Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari. d. Adanya kejelasan tentang obyek transaksi. e. Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis. 3. Shighat, yaitu Ijab dan Qobul Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua
pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima. Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut. Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut : a. Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak. b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul c. Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung). d. Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya. Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :
a. Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal. c. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan d. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
E. Syarat-Syarat Akad 1. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat – syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah: a. Ahliyatul „aqidain (pelaku akad cakap bertindak atau ahli). b. Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya). c. Al wilyatus syari‟ah fi maudlu‟il aqdi (akad itu diperbolehkan syara' dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang). d. Kaunul „aqdi mufidan (akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahan dianggap imbangan amanah). e. Bauqul ijabi shalihan ila mauqu‟il qabul (ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul). f. Ittihadu majlisil „aqdi (ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal). g. Alla
yakunal
„aqdu
au
maudlu‟uhu
mamnu‟an
binashin
syar‟iyin (jangan
menggunakan aqad yang dilarang syara‟) Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi (tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. 2. Syarat Pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara' . Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber- tasharuf sesuai dengan ketentuan syara' .
3. Syarat Kepastian Akad ( luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum nampak maka akad batal atau dikembalikan
F. Hal Yang Merusak Akad 1. Akad yang Batal
Berdasarkan pemenuhan antara syarat dan rukunnya, akad yang batal dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Akad Batil Akad batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhisyarat-syarat kecakapan atau obyeknya tidak menerima hukum akad hingga pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang syarak. Menurut Adiwarman A. Karim, akad batal, bila rukun-rukun akad tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih), maka akad menjadi batal. Menurut Gemala Dewi, akad batal yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syarak. misalnya obyek jual beli tidak jelas. Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil yakni akad yang secara syarak tidak syah pokok dan sifatnya yang dimaksud adalah akad yang tidak memenuhi seluruh rukun dan syarat pembentukannya akad, apabila salah satu saja dari rukun dan syarat pembentukannya akad tidak terpenuhi, maka akad itu disebut batal. Hukum akad batil, bahwa dipandang tidak pernah terjadi menuruthukum oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum sama sekali. 2. Akad Fasid Akad Fasid yakni, bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi, maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksitersebut menjadi fasid. Menurut Gemala Dewi akad Fasid adalah akad yang pada dasarnya disyari‟atk an, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad fasid adalah,”akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sahsifatnya”. Yang dimaksud pokok, adalah rukun-rukun dan syarat-syarat keabsahan akad, jadi akad fasid adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat pembentukan akad, akan tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan akad. Hukum akad fasid, menurut Jumhur ulama, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid, keduanya samasama akad yang tidak ada wujudnya, yaitu sama-sama tidak sah karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak. Sedangkan menurut Mazhab
Hanafi, membedakan akad batil dan akad fasid kalau akad batil sama sekali tidak ada wujudnya, tidak pernah terbentuk, sedangkan akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar‟i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya. Hukum akad fasid menurut Mazhab Hanafi bila belum dilaksanakan wajib dibatalkan oleh para pihak maupun oleh Hakim. Bila sudah dilaksanakan akad mempunyai akibat hukum tertentu dapat memindahkan hak milik, tetapi tidak sempurna. 3. Akad Maukuf Akad Maukuf ialah akad yang terjadi dari orang yang memenuhi syarat kecakapan, tetapi tidak mempunyai kekuasaan melakukan akad. Akad Mauquf hanya mempunyai akibat hukum apabila mendapat izin secara sah dari orang yang mempunyai kekuasaan melakukan akad. Sebab-sebab akad menjadi Maukuf ada dua yakni : a. Tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan.Orang-orang tersebut yakni :Remaja yang mumayyiz, orang yang sakit ingatan tetapi tidak mencapai gila, orang pandir yang
memboroskan harta, orang yang mempunyai cacat kehendak karena paksaan. b. Tidak adanya kewenangan yang cukup atas obyek akad karena adanya hak orang lain pada obyek tersebut. Yang meliputi : -Akad fuduli (pelaku tanpa kewenangan). -Akad orang sakit mati yang membuat wasiat lebih dari sepertiga hartanya. -Akad orang di bawah pengapuan. -Akad penggadai yang menjual barang yang sedang digadaikannya. -Akad penjualan oleh pemilik terhadap benda miliknya yangsedang disewakan. Hukum akad maukuf adalah sah, hanya saja akibat hukumnya digantungkan artinya hukumnya masih ditangguhkan hingga akad itu dibenarkan atau dibatalkan oleh pihak yang berhak untuk memberikan pembenaran atau pembatalan tersebut. 4. Akad Nafiz Gair Lazim Akad Nafiz Gair lazim ialah akad Nafiz yang mungkin difasakh oleh masingmasing pihak, atau hanya oleh salah satu pihak yang mengadakan akad tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. Hukum Akad Nafiz gair lazim adalah sah, akan tetapi terdapat beberapa macam akad yang karena sifat aslinya terbuka untuk di fasakh secara sepihak. Seperti akad
pemberian kuasa, hibah, penitipan, pinjam pakai, gadai, penanggungan dan akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar. 2. Cacat Dalam Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut : a. Paksaan / Intimidasi (Ikrah) Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yangtidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu : -Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya. -Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akandilaksanakan terhadapnya. -Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat. -Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuanuntuk melindungi dirinya Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap mainmain, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadapkontrak yang dilakukan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah danmenurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalankepada pengadilan. b. Kekeliruan atau kesalahan ( Ghalath) Kekeliruan
yang
dimaksud
adalah
kekeliruan
pada
obyek
akad
atau
kontrak.Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal : -Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapiternyata cincin itu terbuat dari tembaga. -Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu,tetapi ternyata warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad
dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. c. Penyamaran Harga Barang ( Ghubn) Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak
wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya. Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni : -Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad. -Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil. -Penipuan (al-Khilabah). Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampiltidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh. -Penyesatan (al-Taqrir ). Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.
G. Kedudukan Akad
Akad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya : Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan “ yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul). Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran) yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.”
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa , menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi dua macam yakni : a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul. b). Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan, pengakuan di depan sidang. Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad. Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum (tasharruf) adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat hukum. Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni : ·
Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
·
Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : - Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli. - Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga
mengikat dan tidak mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya. Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta‟athi (beri memberi). Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.
H. Dampak Hukum Akad
Akad yang telah terjadi mempunyai pengaruh (dampak hukum), baik pengaruh khusus maupun umum. Pengaruh khusus merupakan pengaruh asal akad dantujuan mendasar dari akad. Pengaruh umum merupakan pengaruh yang berserikat pada setiap akad atau keseluruhan dari hukum-hukum dan hasilnya. Para pakar hukum membedakan antara akad dan kesepakatan atas dasar bahwa kesepakatan (perikatan) lebih umum dalam pemakaiannya dibandingkan akad. Dengan demikian, pemakaian istilah akad lebih terperinci kepada hal yang lebih penting dan khusus kepada apa yang telah diatur dan memiliki ketentuan. Sedangkan istilah kesepakatan tidak harus demikian, akan tetapi dapat dipakai dalam hal apa saja yang serupa, misalanya untuk melengkapi kegiatan manusia untuk semacam janji yang tidak memiliki nama khusus atau aturan tertentu. Kesepakatan antara dua keinginan dalam mencapai komitmen yang diinginkan pada waktu yang akan datang dan telah diketahui secara mutlak seperti jual beli atau pemindahan hutang piutang. Sedangkan akad dapat dipahami sebagai sebatas kesepakatan dalam mencapai suatu. Adapun yang membedakan antara keduanya adalah kecakapan pelaku. Kecakapan pelaku akad berbeda dengan kecakapan dalam pelaku perikatan, karena keduanya memiliki nilai hasil masing-masing. Dan pelaku akad tidak dibebani tanggung jawab dan syarat sebanyak pelaku perikatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesepakatan atau perikatan memiliki arti lebih luas dibandingkan akad. Dalam pelaksanaan akad, keinginan peribadi (individu) merupakan kekuatan yang paling besar dan mendasar dalam pembentukan akad dan juga berfungsi membatasi nilai-nilai yang dihasilkan. Kekuasaan (kekuatan) peribadi disandarkan untuk melindungi hak dan kebebasan individu. Dalam pelaksanaan akad pemberian (donasi), berbeda dengan pelaksaan
akad peminjaman yang merupakan aktifitas serupa bila dikategorikan serupa dalam pelaksanaan akad, tapi yang membedakannya adalah dari segi kecakapan di pelaku. Yang perlu diperhatikan adalah kesepakatan yang dimasukkan dalam pembahasan akad, yang dalam pemahaman ini, akad harus mengikuti pembahasan dalam hukum privat dari satu segi dan di sisi lain akad yang masuk dalam kategori aktifitas pengelolaan keuangan (mu'amalah al-maliyah). Akan tetapi dalam hukum Romawi, kesepakatan untuk melaksanakan akad tidak bisa diterima apabila hanya berlandaskan keinginan peribadi semata tanpa memiliki kekuatan hukum, akan tetapi harus mengikuti bentuk administrasi tertentu (khusus). Sedangkan defenisi akad menurut ulama syari'ah adalah ikatan antara „ijab' dan „qabul' yang diselenggarakan menurut ketentuan syari'ah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad tersebut diselenggarakan. Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah. Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. Akad-akad yang dipengaruhi aib adalah akad-akad pertukaran seperti jual beli dan akad sewa. Dalam pelaksanaan akad atau pembentukannya, baru dapat dikatakan benar, sah atau diakui keberadaannya oleh hukum apabila semua unsur pembentuknya terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di antaranya adalah adanya unsur unsur„ridla', unsur objek akad („mahal' ) dan unsur sebab akibat („sabab') serta „ganjaran' apabila asas (rukun)-nya tidak dipenuhi (konsekuensi). Sebelum melakukan akad (perikatan) pelaku akad harus menentukan jenis, hakikat tujuan, bentuk dan nama yang sudah umum. Sehingga pihak hakim bisa mengambil kesimpulan dari bentuk pelaksanaan akad itu. Dan apabila didapati kesamaran (keraguan) dalam bentuk, jenis, nama dan sebagainya, yang dengan kesamaran tersebut, hakim tidak bisa menyimpulkan bentuk akadnya, maka pihak hakim berhak mengambil kesimpulan dengan lebih memprioritaskan pihak yang berhutang. I. Khiyar Akad Dan Berakhirnya Akad 1. Khiyar
Di dalam pembahasan ini meliputi tentang, khiyar dan pembagiannya yang penjelasannya adalah sebagai berikut : Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak yang berakad untuk memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya. Hak khiyar dimaksudkan guna menjamin
agar akad yang diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak bersangkutan karena sukarela itu merupakan asas bagi sahnya suatu akad.Ada bermacam-macam khiyar diantaranya : a. Khiyar majlis, yaitu hak kedua belah pihak untuk memilih antara meneruskan atau membatalkannya sepanjang keduanya belum berpisah seperti, akad jual beli dan ijarah. b. Khiyar Ta‟yin, yaitu hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis dan setara sifat dan harganya,seperti jual beli. Pendapat tersebut yang dikemukakan Fuqaha Hanafiyah dan harus memenuhi tiga syarat yakni : -Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek. -Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan harussetara dan harganya harus jelas. Jika masing-masing benda berbeda jauh, maka tidak ada khiyar ta‟ yin. Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih tiga hari khiyar ta‟ yin dipandang telah batal apabila pembeli telah menentukan pilihan secara jelas barang tertentu yang dibeli. c. Khiyar Syarat, yakni hak kedua belah pihak yang berakad, untuk melangsungkan akad atau membatalkan akad selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan ketika akad berlangsung. Khiyar ini hanya berlaku pada akad lazim yang dapat menerimafasakh seperti jual beli, ijarah, muzaro‟ah, musyaqah, mudarabah,kafalah, hawalah dan lainlain.Khiyar syarat berakhir bila telah terjadi sebab : -Terjadi penegasan pembatalan akad. -Berakhirnya batas waktu khiyar. -Terjadi kerusakan pada obyek akad. d. Khiyar „Aib (karena adanya cacat), yakni hak yang dimiliki oleh salah seorang dari kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan atau meneruskannya ia menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak lain tidak memberitahukannya pada saat berlangsungnya akad.Khiyar „aib harus memenuhi persyaratan yakni 1). Terjadinya „aib (cacat) sebelum akad atau sebelum terjadi penyerahan, 2). Pihak pembeli tidak mengetahui cacat tersebut ketika berlangsung akad,3). Tidak ada kesepakatan bersyarat, bahwa penjual tidak bertanggung jawab terhadap segala cacat yang ada Hak Khiyar „aib gugur apabila : pihak yang dirugikan merelakan setelah ia mengetahui cacat tersebut, pihak yang dirugikan tidak menuntut pembatalan akad, terjadi cacat baru dalam penguasaan pembeli, dan terjadi penambahan saat dalam penguasaan pembeli.
e. Khiyar Rukyat (melihat), adalah hak pembeli untuk membatalkan akadatau tetap untuk melangsungkannya ketika ia melihat obyek dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad. f. Kemungkinan khiyar rukyat bisa terjadi karena sebelumnya hanya disebutkan sifatsifatnya. Namun kemudian setelah melihat barangnya tidak sesuai dengan sifat-sifat yang disebutkan. 2. Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad bisa juga disebabkan karena fasakh, kematian ataukarena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf ; a. Berakhirnya akad karena fasakh
Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni : 1)
Fasakh karena fasadnya akad Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harusdifasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanyahal-hal yang tidak dibenarkan syara‟ seperti akad rusak.
2)
Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan.
3)
Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal.
4)
Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barangdalam batas waktu tertentu.
5)
Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b. Berakhirnya Akad Karena Kematian
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut ; 1)
Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad
ijarah.
Menurut
jumhur
fuqahaselain
menyebabkan berakhirnya akadijarah.
Hanafiah,
kematian
tidak
2)
Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, makakematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya.
3)
Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazimatas dua pihak. Oleh karena itu, kematian seorang dari sejumlahorang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian juga berlaku pada wakalah.
c. Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain
Akad
mauquf
berakhir
apabila
pihak
yang
mempunyai
wewenang
tidak
mengijinkannya dan atau meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fathurrahman. Modul : Training of Trainers Dosen Ekonomi Syariah, 2010. Muhammad Azzam, Abdul Aziz,2010. Fiqh Muamalat(sistem transaksi dalam fiqh islam). Jakarta:Sinar Grafika Offset Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah .(Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008) Rahmat Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006) Al-Qur‟an Dan Terjemahan. Semarang :CV. Toha Putra Semarang. http://zulfikarnasution.wordpress.com/2011/11/23/pengertian-akad/ http://www.scribd.com/doc/53189765/41/Cacat-Dalam-Akad http://blog.uin-malang.ac.id/solehhasan/2011/03/26/khiyar/ http://www.scribd.com/doc/59129385/Rukun-Dan-Syarat-Akad