BAB I PENDAHULUAN
Seringkali kita jumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah beda agama, baik yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah atau tidak menurut Islam ?”.
Pernahkan anda melihat pasangan tetangga anda, yang menganut agama yang berbeda (dalam konteks ini, salah satunya adalah Muslim), menjalani hidup mereka sehari-hari dengan penuh ketenteraman, saling menghargai, saling mengasihi selama bertahun-tahun, tidak terdengar adanya konflik yang berarti, jarang bertengkar, demikian juga dengan anak-anak mereka, dari kecil dididik untuk tenggang rasa, penuh toleransi dan setelah dewasa diberi kebebasan penuh untuk memilih keyakinannya sendiri.
Anak-anak tersebut tumbuh menjadi seorang penganut agama yang toleran dan punya kemampuan menghargai kepercayaan lain yang berbeda. Sedangkan anda sendiri, sekalipun pasangan anda sama-sama penganut Islam, termasuk kategori taat beribadah, tapi sering terlibat pertengkaran (ukuran sering atau tidaknya tentu tergantung anda sendiri) sehingga rumah serasa neraka, punya anak-anak bandel yang shalat wajibnya bolong-bolong.
Memang lumrahnya sebuah rumah tangga, pertengkaran dan kasih sayang, cinta dan marah, bahagia dan susah, selalu datang silih berganti, tapi ketika anda menengok tetangga anda, si pasangan beda agama yang rukun, mungkin muncul pertanyaan, apakah Islam bisa menjamin terciptanya rumah tangga yang berbahagia? Mengapa justru pernikahan beda agama terlihat punya potensi untuk menumbuhkan sikap toleran dan saling menghargai perbedaan?.
Hidup di dunia ini bukan segala-galanya, Rasulullah mengajarkan bahwa kita ibarat pengembara yang melakukan perjalanan dengan kapal, disuatu pulau kita
singgah sebentar untuk mengambil bekal melanjutkan perjala nan. Jangan terpesona dengan kemakmuran dan keindahan pulau tersebut, ambillah bekal yang cukup dan bermanfaat buat melanjutkan perjalanan. Kemudian kita harus melanjutkan perjalanan kita ke tujuan yang telah ditentukan Allah, suka atau tidak suka.
BAB II PEMBAHASAN
Ada 2 jenis pernikahan lintas agama : 1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam 2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki nonIslam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman .
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur'an) dari surat Al Baqarah 221 tersebut diriwayatkan dalam hadist, yaitu ketika seorang sahabat Abdilah bin Rawahah, datang kepada Rasulullah menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya yang hitam kelam dan jelek karena marah, dia merasa menyesal dan meminta petunjuk Rasulullah. Rasulullah bertanya : "Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut..?", Abdilah menjawab bahwa budaknya itu seorang muslimah yang ta'at,. Rasulullah kembali berkata :"Wahai Abdilah, dia itu adalah seorang yang beriman".
Maka Abdilah menimpali :"Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakannya dan menikahinya..". Peristiwa tersebut memancing penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdilah menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut turunlah wahyu Allah. Seiring dengan itu Nabi Muhammad SAW bersabda :"Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan sirna. Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, karena suatu sa'at harta tersebut bisa menyesatkan. Nikahilah wanita karena agamanya. Seorang hamba sahaya yang hitam kelam dan jeles parasnya lebih utama sepanjang dia beriman kepada Allah". Bukhari Muslim meriwayatkan hadist :"Wanita dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang mempunyai agama, tentu kamu berbahagia". Dari Asbabun Nuzul dan hadist Nabi diatas, terlihat bahwa larangan Allah dan anjuran Rasulullah untuk tidak menikahi wanita musyrik, bukanlah merupakan larangan yang ditujukan secara khusus, tapi lebih sebagai pembanding, bahwa dalam ajaran Islam seorang budak wanita yang beriman dan ta'at, dinilai lebih baik dari pasangan anda yang musyrik. Sebaliknya bagi wanita muslimah, pernyataan Allah tersebut lebih ditujukan kepada walinya, bukan kepada orangnya, ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan ajaran ini, pihak wali-lah yang dituntut untuk berperan dalam menerapkannya. Allah terlihat 'mengerti betul' bahwa dalam kasus-kasus pernikahan beda agama, masalahnya sangat kompleks karena banyak menyangkut soal perasaan, cinta dan kasih sayang, suatu hal yang pada dasarnya sering diluar kontrol manusia, makanya secara keseluruhan redaksi ayat itu terkesan bersifat 'mengingatkan', dan diakhiri dengan : Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran, Allah seolah-olah mau mengatakan : "Inilah perintah-Ku, pikirkanlah baik-baik..". Aturan ini sebenarnya sangat jelas, yaitu memakai kata 'janganlah', artinya jangan itu : dilarang, tidak boleh, tidak diizinkan. Namun ketika sampai kepada penafsiran 'orang-orang musyrik' laki-laki dan wanita, maka muncul perbedaan
penafsiran. Umumnya para ulama menyatakan orang musyrik itu adalah yang beragama selain Islam, sedangkan dipihak 'sono' dimotori oleh pemikir-pemikir Islam penganut liberalisme dan pluralisme, 'mempertajam' istilah orang musyrik ini adalah 'kaum musyrik yang bersikap memusuhi Islam' ibaratnya musyrik Makkah pada waktu ayat tersebut diturunkan, seperti pernyataan dibawah ini : Kalaupun ada larangan PBA (Pernikahan Beda Agama), persoalannya bukan an sich masalah agama. Ada kategori dan variable-variabel sosial yang terkait dalam penafsiran yang bersifat teologis. Memang, ada ayat yang mengatakan, "Janganlah menikahi orang-orang musyrik" (lihat, QS. 2: 221, Red). Dalam bahasa Arab, kosakata al-musyrikat itu menunjuk pada barang atau komunitas tertentu (alma'rifah). Ini bukan nakirah, tapi menunjuk pada komunitas tertentu yang ditentang. Al-musyrikat itu kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi yang berarti orang yang tidak bertuhan.__Nah, saya kira, orang musyrik yang disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy Mekkah yang sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru terbentuk. Kita bisa bayangkan, kalau begitu sengit permusuhannya terhadap Islam, bagaimana mungkin kita akan menjadikannya sebagai pasangan hidup? Isu yang paling mendasar dari larangan PBA adalah masalah sosial-politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis (Drs. Nuryamin Aini, MA: Fakta Empiris Nikah Beda Agama 2/06/2003 www.islamlib.com) Jadi, wanita muslimah dilarang ato diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap berzina . Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” 2. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang, dengan dasar Al Baqarah(2):222, “Dan janganlah kamu nikahi wanita-
wanita musyrik , sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin 2, menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang.
Dari sebuah literatur, dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya. Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah. Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.” Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir AzZuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah. Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik. Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non muslim. Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian : 1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh 2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram 3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram 4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama
Marilah kita coba memikirkan ajaran Islam secara sederhana saja bahwa Allah menyampaikan petunjuk-Nya dalam Al-Qur'an bertujuan untuk pedoman kita dalam menjalani kehidupan, termasuk mengatur hubungan antar manusia. Bisa saja secara redaksional aturan tersebut 'direkam' melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar Rasulullah, namun 'bunyi' aturan tersebut tetaplah terdengar sama sampai sekarang. Menafsirkan ayat dengan memilah-milahnya berdasarkan dimensi dan konteks tertentu (seperti kategori sosial dan teologis) bisa menjadi cara 'yang terlalu pintar' dan membuahkan hasil berupa pengertian yang jauh dari bunyi teksnya. Rasanya 'lebih aman' kalau dalam menafsirkan perintah dan larangan Allah, kita selalu terfokus kepada 'apa yang sebenarnya diinginkan Allah' bukan kepada 'apakah ada peluang atau kemungkinan lain dari larangan Allah tersebut' sehingga kita bisa mengarahkan nurani dan pikiran kita untuk menangkapnya secara utuh, dan menutup sebisa mungkin 'lobang-lobang' penafsiran yang meragukan. Cara-cara pemilahan aspek terhadap ajaran Allah mungkin terkesan merupakan sikap yang 'mengakali' ajaran-Nya. Maka kalau dalam Al-Qur'an, Allah menyampaikan ajaran-Nya dan melarang, artinya jangan adalah jangan, tidak boleh, tidak diizinkan, namun soal larangan nikah beda agama ini Allah menyampaikannya dengan cara yang 'unik', karena menyangkut soal perasaan dan cinta. Namun marilah kita telaah sedikit soal cinta dan kasih sayang terhadap pasangan lawan jenis. Islam mengajarkan bahwa cinta sejati hanya ditujukan kepada Allah, rasa cinta kepada pasangan anda haruslah dalam rangka karena anda mencintai Allah, anda dilarang untuk mabuk cinta, karena mabuk cinta akan 'menomor-duakan' cinta anda kepada Allah. Ketika anda, atau anak perempuan anda, atau anak laki-laki anda memutuskan untuk menikah dengan pasangannya yang berbeda agama, dan untuk itu dia sanggup menetang orang tuanya, bahkan kalau perlu menantang seluruh dunia agar keinginannya tercapai, apa sebenarnya yang melandasi semangatnya itu..?? apa yang menyebabkan dia mempunyai 'energi yang berlebihan' tersebut..?? apakah alasannya :"Oh.. karena saya ini pengikut Islam Liberal yang menghargai pluralisme.." atau "karena saya ini pengikut setia Nurcholis Madjid atau Ulil Abshar Abdalla.., maka saya mau membuktikannya dengan nikah beda agama", saya
pastikan bukan itu alasannya.., karena Nurcholis Madjid, Ulil atau Pluralisme, jauh untuk bisa dijadikan landasan sebuah pernikahan beda agama. Satu-sarunya yang menjadi dasar nikah beda agama adalah adanya rasa cinta terhadap pasangan anda. Disinilah andil orang tua sangat menentukan, anak anda harus dididik dari kecil untuk memiliki sikap yang tepat terhadap rasa cinta, karena perasaan tersebut 'datang tanpa Assalamualaikum dan pergi tanpa permisi', katakanlah kepada anakanak anda bahwa cinta itu ibaratnya kentut, kalau sudah datang, susah untuk ditahan, kalaupun anda nekad untuk menahannya, bisa bikin badan meriang dan keringat dingin, perut kembung dan anda bisa sakit. Namun kentut jangan 'dilepas' disembarangan tempat, anda jangan melepasnya ditengah pesta karena bisa 'mengganggu kepentingan umum', anda bisa segera menyingkir ketempat sepi, ke kebun atau toilet, itulah tempat yang tepat untuk melepas kentut. Demikian pula dengan cinta, apabila 'dilepas' kepada sasaran yang tidak tepat, bisa 'mengganggu kepentingan umum' karena prinsipnya suatu perkawinan bukan hanya menyangkut urusan anda berdua saja, tapi semua keluarga anda dan keluarga pasangan anda terkait di dalamnya. sekalipun mungkin membuat anda menjadi lega, tapi percayalah.., itu cuma sesaat, karena bisa jadi beberapa waktu kemudian hasrat cinta itu menghilang dan muncul lagi, dengan sasarang yang lain..Katakanlah kepada anak anda :"Nak..kalau kamu memang mencintai Allah dengan segenap jiwa ragamu, apakah mungkin dalam saat yang sama kamu juga mencintai orang lain yang kemungkinan besar dimurkai Allah karena telah mempersekutukan-Nya..??"