1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sejak awal pelaksanaan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah bertekad dan berkomitmen untuk mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa antara lain dilaksanakan melalui reformasi birokrasi. Dalam upaya memperjelas arah reformasi birokrasi, maka dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, pada Bab IV Butir 1.2 telah digariskan bahwa: “pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidangbidang lainnya.” Tekad dan komitmen tersebut antara lain ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Reformasi birokrasi sesungguhnya merupakan tuntutan bagi aparatur negara yang profesional untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokrasi juga merupakan prasyarat mencapai keberhasilan program kerja pemerintah. Terlebih lagi, dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta persaingan global yang semakin ketat, masyarakat semakin peka terhadap kinerja birokrasi pemerintahan. Kinerja birokrasi pemerintahan akan sangat menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Reformasi birokrasi yang merupakan bagian integral dari reformasi bidang politik, hukum, dan ekonomi, pada dasarnya merupakan proses menata ulang, mengubah, memperbaiki, dan menyempurnakan agar birokrasi menjadi lebih profesional, bersih, efektif, efisien, transparan, dan produktif. Dalam
melaksanakan
tugas
dan
fungsinya
Kementerian/Lembaga
Non
Kementerian terus berupaya meningkatkan kinerjanya sesuai dengan prinsipprinsip manajemen modern untuk mendukung terciptanya kepemerintahan yang
2
baik. Reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian dilakukan sebagai sebuah proses atau rangkaian kegiatan dan tindakan yang dilandasi konsep dan sistem yang rasional dan realistis. Dasar pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah Peraturan Presiden No. 81Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Secara teknis kedua kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai pedoman yang termuat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 7 sampai dengan No.15. Tahun 2011.
B.
Deskripsi Singkat Reformasi birokrasi (Selanjutnya disingkat RB) diyakini berbagai pihak sebagai strategi efektif menyelesaikan berbagai permasalahan terkait penyelenggaraan pemerintahan
di
Indonesia.
Oleh
karenanya
seluruh
Kementerian/
Lembaga/Pemerintah Daerah harus segera mengambil langkah-langkah yang mendasar dan komprehensif untuk mengimplementasikan reformasi birokrasi. Untuk memandu implementasi RB tersebut, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai sumber petunjuk pelaksanaan berbagai agenda RB. Pemahaman terhadap kebijakan merupakan langkah awal pengembangan disain RB dan juga berkontribusi pada kemudahan implementasinya. Modul Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Pertahanan ini membahas tentang pengertian birokrasi, good governance dan Reformasi Birokrasi, kebijakan Reformasi Birokrasi yang meliputi latar belakang, visi dan misi Reformasi Birokrasi, pelaksanaan
Reformasi
Birokrasi
serta
pelaksanaan
Reformasi
Birokrasi
di lingkungan Kementerian Pertahanan.
C.
Manfaat Modul Berbekal hasil belajar pada Modul Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Pertahanan ini, peserta diharapkan mengerti, dan memahami teori dan kebijakan Reformasi Birokrasi serta mampu meningkatkan kompetensi dan kinerjanya dalam
3
rangka mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Pertahanan.
D.
Tujuan Pembelajaran 1.
Kompetensi Dasar : Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta diklat
mengerti, dan memahami teori dan kebijakan Reformasi Birokrasi
serta mampu meningkatkan kompetensi dan kinerjanya dalam rangka mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Pertahanan. 2.
Indikator Keberhasilan Belajar Setelah mempelajari modul ini diharapkan peserta diklat dapat: a.
Memahami pengertian Birokrasi dan good governance;
b.
Memahami latar belakang diadakannya Reformasi Birokrasi;
c.
Memahami proses dan prosedur penyelenggaraan Reformasi
Birokrasi secara umum; d.
Memahami berbagai kebijakan tentang Reformasi Birokrasi;
e.
Memahami visi, misi dan tujuan Reformasi Birokrasi;
f.
Memahami
pelaksanaan
Reformasi
Birokrasi
di
lingkungan
Kementerian Pertahanan : g.
Mampu meningkatkan kompetensi dan kinerja dalam rangka mendukung Reformasi Birokrasi.
E.
Pokok Pembahasan. Modul mata diklat Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Pertahanan ini, membahas tentang: 1.
Birokrasi dan good governance.
2.
Kebijakan Reformasi Birokrasi;
3.
Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Reformasi Birokrasi;
4.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Pertahanan.
4
F.
Petunjuk Belajar Dalam mempelajari modul mata diklat ini yang perlu dilakukan peserta adalah: 1.
Banyak membaca berbagai macam buku tentang teori Birokrasi dan good governance;
2.
Banyak membaca berbagai macam kebijakan dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Reformasi Birokrasi di Indonesia;
3.
Banyak membaca berbagai macam buku tentang Manajemen dan Administrasi pemerintahan.
5
BAB II BIROKRASI DAN GOOD GOVERNANCE Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat dapat mengerti dan memahami pengertian Birokrasi dan Good Governance, Reformasi
Birokrasi
dan
penyelenggaraan
Reformasi
Birokrasi secara akademik.
A.
Pengertian Birokrasi Birokrasi, sesungguhnya sudah lama dikenal, baik dalam masyarakat maupun dunia akademis dan telah lama menjadi suatu bahasan khusus yang cukup menarik.
Birokrasi
umumnya
sangat
erat
kaitannya
dengan
konsepsi
pengorganisasian dalam pelaksanaan kekuasaan politik yang meliputi kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumberdaya manusianya. Istilah birokrasi berasal dari bahasa Perancis, yaitu bureau yang berarti kantor atau meja tulis, dan kata Yunani, kratein yang berarti mengatur. Dalam pengertiannya lebih luas, birokrasi diartikan sebagai suatu tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif dengan cara mengkoordinasi secara sistematis pekerjaan dari banyak anggota organisasi. Menurut Max Weber definisi
birokrasi
adalah sistem administrasi rutin yang
dilakukan dengan keseragaman, diselenggarakan dengan cara-cara tertentu, didasarkan aturan tertulis, oleh orangorang yang berkompeten di bidangnya. Sedangkan Rourke menyebutkan bahwa birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur dalam sistem hirarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis (written procedures), dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang-orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di bidangnya (Said, 2007: 2). Yang menjadi ciri dari birokrasi ialah adanya sebuah pembagian kerja secara hirarkis dan rinci yang didasarkan pada aturan-aturan tertulis yang diterapkan secara impersonal, yang dijalankan oleh staff yang bekerja full time, seumur hidup dan profesional, yang sama sekali tidak turut memegang kepemilikan atas “alat-alat pemerintahan” atau pekerjaan, maupun keuangan jabatannya. Mereka hidup dari
6
gaji dan pendapatan yang diterimanya dan tidak didasarkan secara langsung atas dasar kinerja mereka. Sementara itu, Mas’ud Said (2007) dalam bukunya memberikan batasan tentang pengertian birokrasi sebagai tata kerja pemerintahan agar tujuan negara bisa tercapai secara efektif dan efisien. Sebagai suatu cara atau metode, maka sikap kita terhadap birokrasi haruslah objektif, terbuka terhadap inovasi sesuai dengan kebutuhan konteks ruang dan waktunya. Sebagai sebuah cara atau metode pengorganisasian kerja, birokrasi tidak boleh menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Birokrasi ada untuk mencapai tujuan bersama. Birokrasi adalah organisasi yang melayani tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu ialah dengan mengkoordinasi secara sistematis. Sementara Pfiffner dan Presthus mendefinisikan birokrasi sebagai suatu sistem kewenangan, kepegawaian, jabatan dan metode yang dipergunakan pemerintah untuk melaksanakan program-programnya (Said, 2007: 4). Dalam pemikiran Max Weber, birokrasi ditempatkan dalam kerangka proses rasionalisasi dunia modern. Bahkan, Weber memandang birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam proses rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Proses rasionalisasi ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip kepemimpinan organisasi sosial. Berdasarkan konsep legitimasi ini, Weber kemudian merumuskan delapan (8) proposisi tentang penyusunan sistem otoritas legal, yakni : 1.
Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan.
2.
Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang yang berbeda sesuai dengan fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat tertentu.
3.
Jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint).
4.
Aturan disesuaikan dengan pekerjaan, diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam hal tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan.
5.
Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi.
7
6.
Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya.
7.
Administrasi didasarkan pada dokumen tertulis dan hal ini cenderung kamenjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern.
8.
Sistem otoritas legal memiliki berbagai bentuk, tetapi dilihat pada aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staff administrasi birokratik (Said, 2007: 5).
Birokrasi dapat dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu sebagai proses administrasi pemerintahan, dan juga sebagai struktur atau fungsi yang bersifat statis, dimana disitu ada pejabat yang menjalankan struktur yang biasa disebut sebagai birokrat. Birokrat, pejabat dan staf administrasi selalu terkait dengan pemerintahan dan menjadi aktor penting dalam sebuah negara baik dalam urusan politik, administrasi dan pembuatan kebijakan negara. Dalam
pemahaman
kita,
birokrasi
juga
dapat
dimaknai
sebagai
proses
penyelenggaraan pemerintahan dengan mengadopsi sistem tertentu dimana di dalamnya terdapat pembagian kerja dan tugas yang jelas antar divisi, terdapat nilai impersonal dimana “orang mengikuti aturan, bukan aturan mengikuti orang”, penyusunan jabatan dan karir berdasarkan kompetensi dan bukan preferensi, terdapatnya otoritas pengawasan dan juga terdapatnya hirarki (Mas’ud Said, 2007:10). Negara modern tentu membutuhkan birokrasi yang modern. Birokratlah yang mengimplementasikan politik dan kebijakan negara. Seorang menteri (sebagai pejabat politik) memiliki waktu yan g terbatas dan tak mungkin bisa ada di semua tempat pada saat yang bersamaan. Hal tersebut dikarenakan rentang kendali mereka yang terbatas. Dalam kaitan ini, birokrat memiliki posisi unik. Keterjaminan posisi pegawai negeri sipil misalnya, lebih besar ketimbang yang dimiliki oleh para politisi. Terutama sekali pada pemerintahan parlemeter, menteri akan dipindah jabatankan, dipromosikan, diturunkan dan digantikan begitu kepemimpinan berubah. Hal ini memberikan daya insentif kepada birokrat untuk menolak perubahan. Mereka hanya perlu tidak berbuat sesuatu sampai sang menteri tak lagi menduduki jabatannya. Jadi ada dua sumber kekuatan dari birokrasi di sini, yaitu pengawasan atas implementasi kebijakan dan perbandingan antara struktur karir pegawai negeri sipil dan para politisi yang terpilih (Mas’ud Said, 2007: 11).
8
Sumber kekuatan birokrasi tersebut bisa menjadi sesuatu yang positif dan juga bisa menjadi sesuatu yang negatif. Menjadi sesuatu yang positif jika dijalankan dalam kerangka pencapaian tujuan negara. Namun, akan menjadi sesuatu yang negatif apabila dijalankan demi mendapatkan kepentingan birokrat itu sendiri. Model birokrasi Weber memuat asumsi bahwa birokrasi menjalankan fungsi “administratif”, yaitu menerapkan kebijakan publik yang dibuat melalui mekanisme proses “politik” yang dilakukan oleh pejabat politik, bukan birokrat karier. Dengan pemisahan administrasi dari proses politik itu, maka birokrat diharap bisa bersikap netral dalam hal politik. Pejabat yang bersikap netral dalam politik diharapkan akan dengan patuh mengabdi pada rakyat, bukan demi kepentingan sekelompok orang atau kelompok politik tertentu. Teori birokrasi Weber tidak lepas dari kelemahan. Kelemahan teori Weber adalah tidak mengakui adanya konflik antara otorita yang telah dibangun secara hirarkhis. Kelemahan lainnya adalah tidak mudahnya menghubungkan proses birokrasi dan modernisasi di kalangan negara-negara sedang berkembang. Apapun yang dikatakan orang mengenai teori birokrasinya, Weber dengan segala kehebatan pemikirannya tetap merupakan sumber gagasan yang tidak pernah habis. Setiap tipe yang dikembangkan Weber dikaitkan dengan tipe staf administrasi. Para pengkritik banyak mengemukakan pendapat bahwa struktur dan manajemen model pemerintahan tradisional ala Weber sudah usang dan membutuhkan perubahan yang drastis. Birokrasi yang mengutamakan formalitas misalnya hanya akan menjadikan aparatnya bersikap pasif dan “robotic” daripada menjadi seorang inovator yang kreatif, menjadi risk-avers daripada risk-taking. Struktur yang berjenjang hanya membuat pemborosan (high cost economy), inefficiency, dan bahkan pelencengan tujuan (displacement of goals). Struktur yang kaku juga tidak memenuhi aspek keadilan bagi pegawai, karena selalu menggaji lebih banyak terhadap mereka yang ada di struktur yang lebih tinggi, walaupun mungkin kualitas dan kuantitas pekerjaannya lebih sedikit dibanding dengan pegawai yang lebih rendah (Setiyono, 2004: 145). Kelemahan ini menyebabkan kinerja birokrasi cenderung berada pada posisi yang statis, berkutat pada rutinitas, dan tidak responsive terhadap perkembangan jaman. Bahkan para birokrat cenderung mencari keuntungan bagi diri dan organisasinya
9
sendiri daripada kepentingan masyarakat secara umum. Kesuksesan seorang birokrat seringkali diukur dari sudut apakah dia mampu mempertahankan atau menaikkan anggaran bagi instansinya. Hal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip
pasar,
yang
pada
umumnya
mengutamakan
proses
yang
competitive, menyukai pemberian insentif, menghargai inovasi, mengutamakan pelanggan, memberikan gaji sesuai proporsi kerja dan sebagainya. Melihat begitu kompleksnya perkembangan peradaban manusia, banyak yang berpendapat bahwa filosofi dan model pemerintahan lama yang dikembangkan pada waktu lampau dinilai sudah tidak mampu lagi mengantisipasi kebutuhan masyarakat. Struktur yang hirarkis telah kehilangan relevansi bila dilihat dari sudut efisiensi. Sistem formalitas birokrasi tidak cocok bagi keluwesan gerak dan inovasi. Kemudian, banyaknya jumlah pegawai juga tidak lagi diperlukan karena adanya mekanisasi pekerjaan melalui aplikasi teknologi informasi. Perwujudan dari prinsip birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sering dikenal dengan tata pemerintahan. Sejalan dengan tuntutan utama adanya reformasi,
serta
adanya
pengaruh
globalisasi
dan
meningkatnya
tingkat
pengetahuan masyarakat, maka pemerintah dituntut untuk terus melakukan perubahan-perubahan
yang
mengarah
pada
terwujudnya
penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance).
B.
Pengertian Good Governance Secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang b aik (good governance) mengandung dua pemahaman: Pertama, nilai-nilai yang menjunjung
tinggi
meningkatkan
keinginan/kehendak
kemampuan
rakyat
rakyat,
dalam
dan
nilai-nilai
pencapaian
yang
tujuan
dapat
(nasional),
kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; dan Kedua, aspekaspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini berarti kepemerintahan yang baik tergantung pada dua hal:
10
1.
Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan bernegara. Orientasi ideal negara mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan
bernegara
dengan
komponen-komponen
konstituen
atau
pemilihnya seperti: legitimacy, yaitu tingkat kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahnya; accountability atau akuntabilitas, yaitu kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang atau badan hukum atau pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berwenang untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. 2.
Kedua, Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien sanggup melakukan upaya untuk tercapainya tujuan bernegara.
Konsep governance sebenarnya lebih kompleks jika dibandingkan dengan government, karena dalam governance terdapat tiga komponen/pilar, yaitu: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Hubungan diantara ketiganya harus dalam posisi sejajar, setara, dan saling mengontrol, untuk menghindari pe nguasaan atau eksploitasi oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Membangun good governance, bukan sebatas memperbaiki kondisi institusi pemerintah. Kondisi dari pelaku-pelaku dalam masyarakat juga harus mendapat perhatian. Masyarakat itu sendiri, sebagai institusi, juga memiliki berbagai macam kelompok sosial dengan kondisi dan kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, good governance membutuhkan suatu cara agar keragaman itu diperhitungkan. Dalam kaitan itu, keterkaitan antara unsur-unsur kepemerintahan yang baik dengan penyelenggaraan negara, sebagaimana dikemukakan oleh United Nations Development Progamme (UNDP) (LAN, 2004:17), governance digambarkan dengan tiga kaki, yaitu: 1.
Economic governance, meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making procesess) yang memfasilitasi aktifitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Penyelenggara ekonomi yang dimaksud di sini adalah legislatif sebagai pengambil keputusan politik, pemerintah di samping pelaksana (BUMN/D) juga sebagai fasilitator terhadap pihak swasta/masyarakat sebagai pelaku ekonomi.
11
Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty, and quality of life; 2.
Political governance merupakan proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Aktifitas ini merupakan fungsi legislatif suatu kebijakan tertentu (peraturan perundang-undangan) yang dihasilkan oleh badan legislatif (pengujian material) dari peraturan perundang-undangan;
3.
Administrative governance adalah suatu sistem implementasi kebijakan. Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain yaitu, state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.
Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat berperan aktif dan positif dalam interaksi sosial melalui lembagalembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
C.
Reformasi Birokrasi Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki rapor buruk, khususnya semasa orde baru, yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu penyebab utama terhadap maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintahan sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan. Ramlan Surbakti (Santoso, 2008: 116) mengatakan, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu, bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang
12
sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Pemerintah bisa saja sebenarnya
mengawali
reformasi birokrasi dengan
mengubah budaya aparatur negara yang menganut tradisi lisan, suka omongomong di seminar atau di berbagai forum tanpa ada keputusan yang konkret. Akibatnya tidak ada satupun yang bisa diminta pertanggungjawabannya. Namun untuk mengubah budaya birokrasi memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga pemerintah pun dituntut untuk segera memulainya. Bila kita kembali menyimak perkataan Max Weber, birokrasi merupakan organisasi formal bersifat hirarki, yang ditetapkan oleh aturan-aturan legal rasional untuk mengoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas administrasi agar mencapai tujuan dengan lebih efektif dan efisien. Birokrasi ditandai dengan hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Birokrasi diperlukan kehadirannya dalam suatu negara modern sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, untuk memberikan layanan terbaik kepada publik. Dalam kenyataannya, tidak ada organisasi yang menyerupai tipe birokrasi ideal. Sedikit sekali organisasi yang mendekati tipe birokrasi ideal, sedangkan sebagian besar organisasi jauh dari tipe ideal birokrasi Weber. Tahun 1998 adalah pintu gerbang reformasi Indonesia. Reformasi ini dimaknai sebagai reformasi yang menyentuh berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, seperti politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam aspek politik dan hukum pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi karena birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan KKN. Tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi secara baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding
lurus
dengan
kurangnya
komitmen
pemerintah
terhadap
13
pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintah kita. David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik (1996) atau George Federickson dalam bukunya The Spirit of Administration (1997) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang berubah (changing society), aparatur
negara harus
merubah perilakunya ke arah yang lebih kondusif seiring dengan perkembangan masyarakat. Artinya, pemerintah baik secara institusional maupun aparatur secara personal diharapkan beradaptasi melalui perampingan struktur, fleksibilitas, ketanggapan serta kemampuan untuk bekerjasama dengan semua pihak. Sementara itu menurut Miftah Thoha (2008: 106-107), faktor-faktor yang bisa mendorong timbulnya reformasi birokrasi pemerintah adalah : 1. 2. 3. 4.
Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan; Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis nasional; Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global; Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajeman pemerintahan.
Pemikiran untuk mereformasi birokrasi dari bentuk lama (Old Public Management) ke suatu bentuk yang lebih baik lantas memunculkan beberapa konsep atau kerangka kerja baru. Di dalam buku Purwanto, dkk (2005 : 76), ada beberapa formula yang dapat digunakan untuk membenahi manajemen pelayanan publik. Hardjosoekarto mengusulkan tiga strategi pembenahan yaitu privatisasi, pelayanan prima, dan membangun visi maupun orientasi baru. Atmosudirdjo mengusulkan perlunya semangat kewirausahaan dan peningkatan kinerja pelayanan aparatur daerah. Sementara itu Kristiadi mengusulkan perlunya penerapan manajemen modern di daerah. Usulan lain yang lebih lengkap menuntut manajemen pelayanan publik untuk lebih profesional, memiliki jiwa entrepreneur, dan mampu bertindak sebagai fasilitator. Manajemen pelayanan publik diharapkan dapat menjadi lebih bersifat administratif. Konsep atau formula tersebut dikenal sebagai New Public Management (NPM), yaitu manajemen pelayanan yang berwatak entrepreneurship (wirausaha).
14
Doktrin New Public Management (NPM) dan Reinventing Government ini didasarkan pengalaman reformasi pemerintahan di Amerika, Eropa dan New Zealand, yang dipasarkan melalui kebijakan Bank Dunia ke negara-negara berkembang. NPM dari satu sisi dianggap sebagai upaya pembebasan manajemen pemerintahan dari konservatisme administrasi klasik dengan jalan memasukkan cara bekerja sektor swasta ke dalam sektor pemerintahan. Dengan demikian sejalan dengan pandangan Osborne dan Gaebler (1993), NPM mengubah perspektif kerja pemerintah menjadi sejajar dengan sektor swasta (Denhardt dan Denhardt, 2003). Konsep reinventing government yang diperkenalkan oleh Osborne dan Gaebler ini sebenarnya adalah sebuah kritikan yang dialamatkan kepada konsep hirarki birokrasi milik Weber. Menurut mereka, pandangan Weber mengenai birokrasi dinilai sudah tidak lagi efisien dan efektif dalam rangka memberikan pelayanan publik apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan jaman. Osborne dan Gaebler (1996 : 29-341) merumuskan sepuluh prinsip birokasi yang memiliki jiwa entrepreneur, yaitu: 1.
Pemerintahan katalis, mengarahkan ketimbang mengayuh;
2.
Pemerintahan milik masyarakat, memberi wewenang ketimbang melayani;
3.
Pemerintahan
yang
kompetitif,
menyuntikkan
persaingan
ke
dalam
pemberian pelayanan; 4.
Pemerintahan yang digerakkan oleh misi, mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan;
5.
Pemerintahan yang berorientasi hasil, membiayai hasil dibandingkan dengan masukan;
6.
Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi;
7.
Pemerintahan
wirausaha,
menghasilkan
dibandingkan
dengan
membelanjakan; 8.
Pemerintahan antisipatif, mencegah daripada mengobati;
9.
Pemerintahan desentralisasi;
10.
Pemerintahan berorientasi pasar, mendongkrak perubahan melalui pasar.
15
New Public Management (NPM) ini adalah model manajemen pelayanan publik yang memiliki ciri yang lebih mengarah pada “inside the organisation”, yaitu : 1.
Memfokuskan aktivitasnya hanya pada kegiatan manajemen, tidak pada aktivitas kebijakan;
2.
NPM mencoba melihat manajemen pelayanan publik pada segi kinerja (performance) dan efisiensi, dan tidak dari segi politis;
3.
Pemecahan manajemen pelayanan publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna jasa (user-pay bases);
4.
Menggunakan landasan pasar sebagai daya dorong bagi terciptanya kompetensi;
5.
Pemangkasan ekonomi biaya tinggi sehingga ongkos untuk memperoleh pelayanan menjadi lebih murah (Purwanto, dkk, 2005: 77).
NPM menurut Rhodes juga ditandai dengan gaya manajemen yang berorientasi pada output, cara tersingkat, penggunaan insentif moneter dan kebebasan pengelolaan (Purwanto, dkk, 2005: 77). Cara pengelolaan ini dinilai sesuai dengan semangat desentralisasi. NPM juga diasumsikan bahwa semangat yang ada di dalam tubuh birokrasi publik ketika berhadapan dengan pengguna jasanya bukanlah “how to steer” tetapi “how to serve”, dan birokrasi publik haruslah berpikir secara strategis (think strategically) dan bertindak secara demokratis (act democratically) dalam mewujudkan pelayanan yang baik terhadap warga negara (Purwanto, dkk, 2005:80) Sedangkan Reinventing government itu sendiri oleh Osborne dan Plastrik dalam Memangkas Birokrasi (2001) dimaknai sebagai penciptaan kembali birokrasi dengan mendasarkan pada sistem wirausaha, yaitu menciptakan organisasiorganisasi dan sistem publik yang terbiasa memperbarui dan berkelanjutan, memperbaiki kualitasnya tanpa harus memperoleh dorongan dari luar. Dengan demikian, reinventing berarti menciptakan sektor publik yang memiliki dorongan dari dalam untuk memperbaiki apa yang disebut dengan “sistem yang memperbarui kembali secara sendiri”. Dengan kata lain, reinventing menjadikan pemerintah siap menghadapi tantangan yang mungkin tidak dapat diantisipasi. Di samping itu, reinventing tidak hanya memperbaiki keefektifan pemerintah sekarang
16
ini, tetapi juga dapat membangun organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki keefektifannya di masa mendatang pada waktu lingkungan organisasi mengalami perubahan.
D.
Penyelenggaraan Reformasi Birokrasi Birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good Governance). Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan public, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Oleh karena itu, birokrasi yang konsisten seperti itu, dan dapat bekerja dengan baik dan bersih dalam mengemban perjuangan mewujudkan keseluruhan cita-cita dan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan harapan seluruh bangsa Indonesia. Dalam konteks pemahaman seperti ini, maka eksistensi birokrasi yang dapat diandalkan memiliki implikasi pada peluang yang lebih besar dalam
mengem-ban
misi perjuangan bangsa mencapai tujuan bernegara sesuai dengan amanat UUD 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial”. Pengertian ini dimaksudkan bahwa birokrasi harus dipahami dalam konteks peran dan kemampuannya dalam menunjang tugas tugas pemerintahan, baik dalam merespon berbagai permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian birokrasi yang mampu merespon dinamika global secara positif, berpeluang akan mampu memfasilitasi kepercayaan dunia internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi. Implikasinya investasi yang tertuju pada negara Indonesia secara langsung akan memberikan efek dinamis yang baik bagi perekonomian Indonesia. Penyelenggaraan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian menyangkut semua upaya pembaharuan dan penyesuaian untuk membentuk dan menegakkan kembali prinsip-prinsip ideal dari diadakannya birokrasi pemerintahan. Birokrasi pemerintah ideal di negara demokratis adalah
17
yang betul-betul bekerja secara baik, berorientasi kepada kepentingan publik melalui penerapan manajemen yang makin modern, dengan landasan pengabdian yang total dan sepenuh hati untuk publik yang wajib dilayani. Reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian berlandaskan pada prinsip reforming on being reformed; upaya untuk menegakan hukum dan konstitusi; a change for better in morals, habits, methods; langkahlangkah pembaharuan sektor publik (public sector reform) dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government); serta mendukung terwujudnya masyarakat madani yang modern, demokratis dan multikultural. Tentu saja reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian dilaksanakan secara berkelanjutan dengan terus melakukan perbaikan atau pembentukan sesuatu yang baru; serta penyempurnaan tiada henti. Dilaksanakannya reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian mencakup orientasi keluar (outward looking) maupun orientasi ke dalam (inward looking). Orientasi keluar mengandung maksud untuk mewujudkan birokrasi yang makin baik, sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern dalam melayani masyarakat yang memang merupakan subjek kegiatan umum pemerintahan dan pembangunan. Orientasi kedalam dimaksudkan untuk mampu terus menerus mengadakan perbaikan-perbaikan dalam proses reorientasi internal di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian guna terwujudnya public bureaucracy/public governance yang makin berkualitas. 1.
Unsur-unsur Reformasi Birokrasi Pada
pelaksanaanya
reformasi
birokrasi
di
lingkungan
Kementerian/Lembaga Non Kementerian terdiri dari 6 (enam) pekerjaan yang meliputi: a. b. c. d. e. f. 2.
Evaluasi, Penataan, Penertiban, Perbaikan, Penyempurnaan, dan Pembaharuan.
Objek Reformasi Birokrasi
18
Obyeknya adalah semua jajaran Kementerian/Lembaga Non Kementerian meliputi bidang-bidang: a. b. c. d. e.
3.
Kelembagaan, Sumber Daya Manusia Aparatur, Ketatalaksanaan, Akuntabilitas, dan Pelayanan publik.
Proses dan Prinsip Reformasi Birokrasi Proses reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan asas dan ketentuan perundang-undangan dan akhlak moral. Reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian merupakan upaya yang strategis, karena birokrasi Kementerian/Lembaga Non Kementerian adalah
salah
satu
tulang
punggung
eksistensi
dan
keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan. Reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian harus berhasil, bersifat segera dan berlangsung tajam, namun tentunya ada tenggangnya, ada antaranya, agar segala rencana yang telah matang dapat berproses mulus tahap demi tahap. Keberhasilan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian akan berdampak positif pada makin meluas dan melebarnya kelancaran komponen pelaku dalam berbagai aspek pembangunan bangsa di seluruh pelosok tanah air. Reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian dilaksanakan dengan prinsip “harus tajam dan segera”. Harus tajam, mengandung arti reformasi birokrasi itu dilakukan karena tuntutan zaman yang membutuhkan kreatifitas agar bangsa dan negara mempunyai kemampuan yang selalu unggul dalam kompetisi global. Intinya keharusan adanya
kultur
birokrasi
di
lingkungan
Kementerian/Lembaga
Non
Kementerian yang sehat, agar mampu mendukung berbagai tuntutan kemajuan peradaban. a.
Harus tajam, mengandung arti bahwa reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian harus dilakukan
19
sepenuh hati dan benar-benar atas kehendak bersama. Kehendak dan
komitmen
seluruh
jajaran
Kementerian/Lembaga
Non
Kementerian dari tingkatan tertinggi sampai terendah. Semua dilangsungkan semata-mata demi kepentingan bangsa dan negara yang jauh lebih besar.
b.
Harus segera, mengandung arti bahwa reformasi birokrasi di lingkungan
Kementerian/Lembaga
Non
Kementerian
harus
dilaksanakan dengan cepat, tepat, dan berpacu dengan waktu. Reformasi birokrasi di Kementerian/Lembaga Non Kementerian harus dilakukan sesuai dengan dinamika dan perkembangan tantangan pembangunan.
E.
Rangkuman Dalam bab ini peserta diklat diajarkan tentang pengertian Birokrasi dan Good Governance, alasan perlunya Reformasi Birokrasi dan penyelenggaraan Reformasi Birokrasi secara akademik.
F.
Latihan 1. 2. 3.
Jelaskan pengertian Birokrasi dan Good Governance? Jelaskan alasan perlunya Reformasi Birokrasi ? Sebutkan unsur-unsur dan objek penyelenggaraan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
BAB III KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat dapat mengerti dan memahami arah kebijakan Reformasi Birokrasi yang meliputi : Latar Belakang Reformasi Birokrasi, Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi,
Aspek
Pelaksanaan
Reformasi
Birokrasi, Visi, Misi dan Tujuan Reformasi Birokrasi.
20
A.
Latar Belakang Reformasi Birokrasi
Reformasi Birokrasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek Kelembagaan (organisasi), aspek Ketatalaksanaan (business process) dan aspek Sumber Daya Manusia Aparatur. Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperbaharui. Reformasi Birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, Reformasi Birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umu pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan kamunikasi serta perubahan lingstra menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif dan sistemik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi Birokrasi merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berlanjut, sehingga tidak termasuk upaya/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner. Pada intinya latar belakang Reformasi Birokrasi ini adalah sebagai berikut: 1.
Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga
2. 3.
saat ini. Tingkat kualitas pelayanan publik belum mampu memenuhi harapan publik. Tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang belum optimal dari
4.
birokrasi pemerintahan. Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih
5.
rendah. Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah.
21
Sesuai Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan aparatur
negara
dilakukan
melalui
reformasi
birokrasi
untuk
mendukung
keberhasilan pembangunan bidang lainnya. Sebagai wujud komitmen nasional untuk melakukan reformasi birokrasi, pemerintah telah menetapkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014. Makna reformasi birokrasi adalah: Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia; Pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad ke-21; Berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih
antar fungsi-fungsi
pemerintahan,
melibatkan
jutaan
pegawai,
dan
memerlukan anggaran yang tidak sedikit; Upaya menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada, dan dengan upaya luar biasa; Upaya merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru. Atas dasar makna tersebut, pelaksanaan reformasi birokrasi diharapkan dapat: 1.
Mengurangi
dan
akhirnya
menghilangkan
setiap
penyalahgunaan
2.
kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; Menjadikan negara yang memiliki birokrasi yang bersih, mampu, dan
3. 4.
melayani; Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan
5.
instansi; Meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi
6.
tugas organisasi; Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam
kebijakan/program
menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
B.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
22
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja. Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman
pelaksanaannya.
Selanjutnya,
pelaksanaan
reformasi
birokrasi
memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem pengukuran yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online. Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional. Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.
23
Sedangkan arah kebijakan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian pada prinsipnya sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional
2004-2009
yaitu
untuk
meningkatkan
kualitas
penyelenggaraan administrasi negara melalui: 1.
Penataan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih proporsional, ramping, luwes dan responsif;
2.
Peningkatkan efektifitas dan efisiensi ketata-laksanaan dan prosedur pada semua tingkat dan lini pemerintahan;
3.
Penataan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia aparatur, agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat;
4.
Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi;
5.
Optimalisasi
pengembangan
dan
pemanfaatan
e’government
dan
dokumen/arsip negara dalam pengelolaan tugas dan fungsi pemerintahan.
C.
Aspek/Sasaran Pelaksanaan Reformasi Birokrasi 1.
Aspek Kelembagaan Postur oganisasi Kementerian/Lembaga Non Kementerian saat ini relatif lebih ramping dan flat (tidak terlalu hirarkis), miskin struktur tetapi makin kaya fungsi, sehingga satuan-satuan organisasi/unit-unit kerja dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara makin cepat, fleksibel, efektif dan efisien, yang pada akhirnya dapat menghasilkan kinerja organisasi yang tinggi. Tidak ada lagi tugas dan fungsi satuan-satuan organisasi/unit-unit kerja di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian yang tumpang tindih (overlappping), sehingga tidak terjadi lagi adanya duplikasi dalam melaksanakan tugas/pekerjaan. Setiap satuan organisasi/unit kerja memiliki tugas fungsi yang makin jelas, yang telah dibagi habis ke dalam tugas dan fungsi jabatan-jabatan yang ada di dalamnya
24
2.
Aspek Ketatalaksanaan Satuan-satuan
organisasi/unit-unit
kerja
di
lingkungan
Kementerian/Lembaga Non Kementerian saat ini telah memiliki dan menerapkan sistem, prosedur, dan mekanisme kerja, serta standar pelayanan yang makin baku, jelas, efisien, dan efektif, dengan didukung makin optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang memadai. Sehingga pelaksanaan tugas pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat, terukur, dan transparan, serta makin mengurangi peluang untuk terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
3.
Aspek Sumber Daya Manusia Kementerian/Lembaga Non Kementerian telah berhasil menyediakan sistem pembinaan karier pegawai yang berdasarkan sistem merit berbasis kompetensi, yang didukung antara lain dengan adanya: a.
Peta jabatan, uraian jabatan (job description), dan spesifikasi jabatan (job spesification) berdasarkan hasil analisis jabatan;
b.
Sistem rekruitmen pegawai yang terbuka, adil, obyektif, dan tranparan;
c.
Sistem pengangkatan dalam jabatan yang obyektif, transparan, yang didasarkan standar kompetensi jabatan, disertai pola karier atau pola mutasi yang jelas;
d.
Sistem penilaian kinerja individu/unit organisasi yang obyektif;
e.
Sistem pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi sesuai kebutuhan jabatan;
f.
Sistem remunerasi yang layak dan adil sesuai bobot tugas dan tanggung jawabnya, disertai dengan penegakan disiplin yang tegas;
g.
Sistem informasi manajemen kepegawaian yang terintegrasi, data base yang lengkap,
berbasis web, user friendly, dan dapat
dikembangkan sesuai kebutuhan. Keberadaan sistem pembinaan yang berdasarkan sistem merit berbasis kompetensi,
secara
bertahap
telah
berhasil
mencetak
SDM
25
Kementerian/Lembaga Non Kementerian yang makin profesional, makin kompeten, makin memiliki integritas, makin produktif, makin tanggap atas perubahan lingkungan strategis, serta makin berwawasan global. Ke depan, kelanjutan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian akan diteruskan, utamanya untuk mengembangkan budaya kerja yang dapat mendorong pegawai untuk berprestasi, produktif, dan berdisiplin tinggi, serta menjunjung tinggi etika profesi.
4.
Aspek Sistem Informasi Manajemen Penyelenggaraan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga Non Kementerian telah berhasil mewujudkan sistem informasi manajemen berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang terpadu dan terintegrasi, yang dapat menyajikan data dan informasi secara cepat, akurat dan andal untuk
mendukung
ketatalaksanaan,
proses
pengambilan
keputusan,
perumusan kebijakan dan pemantauan pelaksanaan kebijakan, serta penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Reformasi birokrasi juga telah berhasil mewujudkan jaringan komunikasi dan informasi terpadu baik intranet maupun internet di Kementerian/Lembaga Non Kementerian dalam rangka mendukung penerapan aplikasi-aplikasi sistem baik aplikasi sistem yang bersifat kebijakan, manajerial, otomasi perkantoran, dan layanan masyarakat. Tentu saja reformasi birokrasi juga telah berhasil mewujudkan tersedianya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi guna mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan masing-masing, serta berkembangnya budaya kerja berbasis teknologi dan informasi. Penyelenggaraan reformasi birokrasi yang dilaksana-kan secara bertahap di lingkungan
Kementerian/Lembaga
Non
Kementerian
telah
berhasil
menjadikan pelaksanaan proses penyelesaian produk hukum menjadi lebih cepat, dan lebih sistematis. Tercatat sampai dengan bulan Juli 2009 Kementerian/Lembaga
Non
Kementerian
menyelesaikan 302 produk hukum.
antara
lain,
telah
berhasil
26
Ke depan, segenap jajaran Kementerian/Lembaga Non Kementerian akan terus melanjutkan rangkaian kegiatan reformasi birokrasi untuk kepentingan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan demokratis, serta reinventing government
(perbaikan
kinerja
pemerintahan).
Kementerian/Lembaga
Non
Kementerian akan melanjutkan upaya yang makin sinergis dan produktif pada penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, dan pengawasan serta pembinaan sumber daya manusia untuk dapat mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan secara lebih efektif dan efisien. Kementerian/Lembaga Non Kementerian juga akan melanjutkan semua upaya pencegahan tindak pidana korupsi melalui peningkatan kualitas pengawasan dan akuntabilitas aparatnya. Tentu saja, Kementerian/Lembaga Non Kementerian juga akan melanjutkan peningkatan kualitas pelayanan publik, utamanya dalam mendukung proses penyusunan produk hukum dan perundang-undangan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
D.
Visi, Misi dan Tujuan Reformasi Birokrasi 1.
Visi Reformasi Birokrasi. Visi Reformasi Birokrasi adalah terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik tahun 2025.
2.
Misi Reformasi Birokrasi a.
Membentuk dan atau menyempurnakan peraturan perundangundangan sebagai landasan hukum tata kelola pemerintahan yang
b.
baik. Memodernisasi
c. d. e.
pemakaian Teknologi Informasi dan Komunikasi. Mengembangkan budaya, nilai-nilai kerja dan perilaku yang positif. Mengadakan restrukturisasi organisasi(kelembagaan) pemerintahan. Mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas Sumber Daya
birokrasi
pemerintahan
dengan
optimalisasi
Manusia Aparatur termasuk perbaikan sistem remunerasi. f. 3.
Menyederhanakan mekanisme kontrol yang efektif.
Tujuan Umum Reformasi Birokrasi Tujuan Umum Reformasi Birokrasi adalah membangun/membentuk profil dan perilaku aparatur negara dengan:
27
a.
Integritas Tinggi. Yaitu perilaku aparatur negara yang dalam bekerja senantiasa menjaga sikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran, kesetiaan, komitmen) serta menjaga keutuhan pribadi.
b.
Produktivitas Tinggi dan Bertanggungjawab. Yaitu hasil optimal yang dicapai oleh aparatur negara dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif, dan efisien dalam mengelola Sumber Daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi.
c.
Kemampuan Memberikan Pelayanan yang Prima. Yaitu kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi dan memiliki standar nilai moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, utamanya dalam memberikan pelayanan yang prima kepada publik dengan sepenuh hati dan rasa tanggungjawab.
E.
Rangkuman Dalam bab ini peserta diklat diajarkan tentang arah kebijakan Reformasi Birokrasi yang meliputi : Latar Belakang Reformasi Birokrasi, Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, Aspek/sasaran Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, Visi, Misi dan Tujuan Reformasi Birokrasi.
F.
Latihan 1. 2. 3.
Jelaskan apa latar belakang adanya Reformasi Birokrasi? Jelaskan visi dan misi Reformasi Birokrasi ? Sebutkan aspek-aspek pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
28
BAB IV REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat dapat mengerti dan
memahami
Reformasi
Birokrasi
yang
telah
dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan, langkahlangkah yang telah dilaksanakan dan permasalahan kritis yang dihadapi Kementerian Pertahanan.
A.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Reformasi nasional telah mengubah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam perkembangan pelaksanaan reformasi
gelombang pertama, reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu pada
29
tahun 2004, pemerintah telah menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean government dan good governance yang secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, program utama yang
dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui penerapan reformasi birokrasi. pemerintahan
di
Kementerian Pertahanan bidang
pertahanan
selaku
berkedudukan
unsur pelaksana di
bawah
dan
bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia, telah melaksanakan Reformasi Birokrasi sejalan dengan program reformasi yang dicanangkan pemerintah. Pada tahun 2008, Kementerian Pertahanan telah melaksanakan reformasi birokrasi internal dengan agenda reformasi birokrasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu: aspek
penataan/penyempurnaan
kelembagaan
(organisasi),
penataan
ketatalaksanaan (manajemen) serta penataan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga aspek tersebut dijabarkan ke dalam program, kegiatan dan anggaran sejalan dengan kebijakan anggaran berbasis kinerja. Pada tahun
2009,
Kementerian Pertahanan telah melaksanakan Focused Group Discussion (FGD) dengan
seluruh
Satker/Subsatker untuk merumuskan
permasalahan
yang
dihadapi, khususnya berhubungan dengan birokrasi, yang merupakan langkah awal dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Permasalahan yang dihasilkan pada FGD di atas dapat dikelompokkan ke dalam 8 (delapan) area perubahan yang meliputi: 1. 2.
Peraturan Perundang-undangan yang tumpang tindih; Organisasi Kementerian Pertahanan masih terlalu gemuk sehingga kurang
3.
efektif dan efisien; Tatalaksana belum optimal dalam implementasi SOP dan pemanfaatan e-
4.
government; Sistem Manajemen SDM Aparatur belum optimal, karena penempatan
5.
pegawai belum sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; Pengawasan, peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) masih
6.
perlu ditingkatkan kualitasnya; Akuntabilitas Kinerja belum optimal dan perlu ditingkatkan;
30
7.
Pelayanan Publik perlu ditingkatkan dengan mensosialisasikan standar
8.
pelayanan publik; serta Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) perlu dibentuk.
Dalam
mengatasi
permasalahan
di
atas,
Kementerian
Pertahanan
mengagendakan Reformasi Birokrasi mencakup 9 (sembilan) program yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Manajemen Perubahan, Penataan Peraturan Perundang-undangan, Penataan dan Penguatan Organisasi, Penataan Tatalaksana, Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, Penguatan Pengawasan, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, Peningkatan Pelayanan Publik, serta Monitoring dan Evaluasi.
Tahapan kerja dilakukan secara sistematis, menyeluruh, dan berkelanjutan guna pembenahan
birokrasi, meliputi identifikasi, pembangunan/ pengembangan,
sosialisasi serta evaluasi dan laporan. Konsolidasi rencana aksi program dan kegiatan reformasi birokrasi dilaksanakan melalui
identifikasi pencapaian, penyusunan rencana aksi, penentuan kriteria
keberhasilan, penetapan agenda prioritas, penanggungjawab, waktu pelaksanaan, tahapan kerja, dan penyusunan rencana anggaran serta penetapan quick wins. Rencana anggaran dan kegiatan Reformasi Birokrasi Tahun 2010 – 2014 Kementerian Pertahanan
sebesar
Rp. 192.783.120.000,-
(seratus sembilan
puluh dua miliar tujuh ratus delapan puluh tiga ribu seratus dua puluh ribu rupiah). Salah satu langkah konsolidasi untuk mencapai reformasi birokrasi Kementerian Pertahanan dilakukan dengan menetapkan quick wins, yaitu bidang organisasi, menyusun struktur organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing); bidang tatalaksana, menyusun SOP pelaksanaan tugas dan fungsi pejabat; serta bidang SDM, menerapkan sistem rekruitmen yang terbuka dan transparan untuk mendapatkan pegawai yang memiliki kompetensi. Reformasi Birokrasi terpenuhinya
Kementerian Pertahanan
pada tahun 2014 diharapkan
organisasi tepat fungsi dan tepat ukuran;
sistem, proses dan
prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai
dengan
prinsip-
prinsip good governance; peraturan perundang-undangan tidak tumpang tindih, kondusif dan lebih tertib; SDM aparatur berintegritas, netral, kompeten, capable,
31
profesional,
berkinerja tinggi dan peningkatan kesejahteraan; meningkatnya
penyelenggaraan pemerintahan yang bebas KKN, mempunyai
kapasitas dan
kapabilitas kinerja birokrasi, pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.
B.
Permasalahan Kritis yang dihadapi 1.
Peraturan perundang-undangan Masih ada peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. a.
Peraturan perundang-undangan masih belum dipahami secara
b.
menyeluruh. Penerapan peraturan perundang-undangan
c.
belum dijabarkan ke dalam peraturan pelaksanaan dan teknis. Peraturan pelaksanaan yang dipedomani saat ini masih beberapa yang
masih banyak yang ada
mengacu Peraturan Perundang-undangan yang
d.
lama. Banyak terdapat draft RUU yang sudah disusun tetapi terkendala
e.
dalam pembahasan di DPR. Pelaksanaan sosialisasi produk
Peraturan Perundang-undangan
masih belum dilaksanakan secara optimal. 2.
Penataan dan penguataan organisasi a.
Masih
adanya
tumpang
tindih
tugas
dan
fungsi
antar
b.
Satker/Subsatker. Organisasi Kementerian Pertahanan masih terlalu gemuk, sehingga
c.
kurang efektif dan efisien. Masih ada Subsatker selaku pelaksana kegiatan (eksekutor) mempunyai tugas dan fungsi sebagai perencana dan pengawas
d.
kegiatan. Masih ada Satker/Subsatker yang seharusnya sebagai
pelaksana
kegiatan, namun ikut serta merumuskan kebijakan di luar tugas dan fungsinya. 3.
Penataan Tatalaksana
32
a.
Standard Operating Procedure (SOP) telah disusun dan diuji coba, serta sudah
b.
ditetapkan sebagai pedoman
dengan Keputusan
Menteri untuk tiap Satker, tetapi belum dilaksanakan secara optimal. Struktur jaringan intranet belum terbangun secara terintegrasi, sehingga sistem aplikasi baik yang dibangun/dikembangkan oleh Pusdatin
c.
maupun Satker/Subsatker,
belum dapat dimanfaatkan
secara optimal. e-government masih perlu dikembangkan, mengingat masih adanya kendala
dalam
mengintegrasikan
operasionalisasi dari berbagai
sistem
perencanaan
maupun
aplikasi yang ada
di
Satker/Subsatker. 4.
Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur a.
Pegawai
Kementerian Pertahanan
secara umum melebihi DSP
b.
Organisasi. Di dalam struktur organisasi masih terdapat kekosongan jabatan tidak dapat diisi, karena tidak memenuhi kompetensi jabatan yang
c.
dipersyaratkan. Kualitas SDM Kementerian Pertahanan
d.
untuk mendukung kegiatan organisasi. Pelaksanaan rekruitmen pegawai belum dilaksanakan sepenuhnya
e.
secara terbuka dan transparan. Perumusan dan penyusunan Standar Kompetensi Jabatan sudah
f.
dibuat, tetapi belum diterapkan secara optimal. Dalam penempatan suatu jabatan masih ada yang tidak sesuai
masih perlu ditingkatkan
dengan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai tersebut. 5.
Dalam bidang Pengawasan a.
Terjadi temuan berulang dalam pemeriksaan pertanggungjawaban
b.
pelaksanaan kegiatan di Satker/Subsatker. Penempatan jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi
c.
dibutuhkan. Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah ditingkatkan kualitasnya untuk menjadi
d.
yang
(APIP) masih perlu
quality assurance
consulting. Penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
dan
(SPIP) belum
berjalan dengan baik, karena proses sosialisasi belum tuntas.
33
e.
Pelaksanaan pertanggungjawaban keuangan belum seragam karena ketentuan
f.
pertanggungjawaban keuangan
dengan baik. Masih ada pemindahan sasaran
belum tersosialisasi
kegiatan
yang mengakibatkan
pelaksanaan tidak sesuai dengan rencana. 6.
Penguatan akuntabilitas kinerja. a.
Dokumen Renstra belum sepenuhnya digunakan sebagai acuan dalam penyusunan dokumen perencanaan tahunan maupun rencana
b.
kerja dan anggaran. Rumusan tujuan dan sasaran dalam dokumen perencanaan belum
c.
seluruhnya berorientasi pada hasil (outcome). Rumusan indikator kinerja dalam Renstra dan Rencana Kinerja
d.
Tahunan (RKT) belum memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik. Dokumen RKT belum sepenuhnya digunakan dalam penyusunan
e.
dokumen penganggaran / Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Dokumen Penetapan Kinerja (PK) belum mengacu sepenuhnya dengan dokumen RKT dan belum dilakukan pemantauan terhadap
f.
pencapaiannya secara berkala. Rumusan IKU belum seluruhnya spesifik, terukur, dan berorientasi
g.
pada hasil. IKU belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam dokumen perencanaan
h.
dan penganggaran. Sebagian besar indikator kinerja sasaran,
i.
obyektif dan belum berorientasi pada hasil. Hasil pengukuran kinerja belum digunakan untuk pengendalian dan
j.
pemantauan kinerja secara berkala. Sistem pengumpulan data kinerja yang ada belum cukup untuk
k.
mengumpulkan data mengenai capaian indikator kinerja. Laporan akuntabilitas kinerja belum menyajikan informasi mengenai capaian sasaran yang berorientasi
l.
belum terukur secara
outcome, hasil evaluasi dan
analisis, serta pembandingan data kinerja secara memadai. Laporan akuntabilitas kinerja belum menyajikan informasi mengenai pencapaian target jangka menengah, pencapaian tentang IKU dan kinerja yang telah diperjanjikan,
m.
serta informasi keuangan yang
terkait dengan pencapaian kinerja. Informasi kinerja belum digunakan dalam peningkatan kinerja.
perencanaan dan
34
n.
Evaluasi belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan terhadap program-program Renstra yang merupakan strategi atau cara untuk mencapai tujuan dan sasaran, pemantauan mengenai kemajuan
o.
pencapaian kinerja beserta hambatannya belum dilakukan. Hasil evaluasi belum sepenuhnya menggambarkan kondisi yang telah dievaluasi dan belum ditindaklanjuti untuk perbaikan perencanaan
p.
dan perbaikan penerapan manajemen kinerja. Perlu dilakukan perbaikan dalam merumuskan dan melaporkan capaian outcome-nya.
7.
Permasalahan Pelayanan Publik a.
Standar pelayanan publik telah disusun, namun masih perlu disosialisasikan dan diimplementasikan di lingkungan Kementerian
b.
Pertahanan. Tata cara penyebar luasan informasi pertahanan, daftar informasi pertahanan negara, dan daftar informasi pertahanan negara yang
c.
dikecualikan belum ditetapkan. Sistem pengadaan barang dan jasa masih perlu dioptimalkan
d.
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Evaluasi dan indikator kualitas pelayanan publik masih perlu dikembangkan
8.
Monitoring dan Evaluasi (Monev) Reformasi Birokrasi. Data dan informasi Monev belum tersedia, sehingga perlu disusun
pedoman
pelaksanaan Monev, dan pembentukan tim pelaksana Monev.
C.
Rangkuman Dalam bab ini peserta diklat diajarkan tentang Reformasi Birokrasi yang telah dilaksanakan
oleh
Kementerian
Pertahanan,
langkah-langkah
yang
telah
dilaksanakan dan permasalahan kritis yang dihadapi Kementerian Pertahanan.
35
D.
Latihan 1. 2.
Jelaskan kapan Reformasi Birokrasi dilaksanakan di Kemhan? Jelaskan secara ringkas permasalahan kritis yang dihadapi Kemhan ?
36
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Reformasi birokrasi atau dengan kata lain administrative reform, government reorganization, penyempurnaan administrasi dan aparatur negara, merupakan upaya terpadu untuk menata kembali kondisi aparatur negara pada kedudukan yang sesuai dengan kondisi ideal sebagai abdi negara, abdi masyarakat, dan aparatur
pemerintah. Aparatur
negara
yang
makin
sanggup
dan
makin
berkomitmen untuk melaksanakan tugas pemerintahan secara jujur, bersih, berwibawa,
dan
bertanggungjawab,
dilandasi
oleh
asas-asas
ideal
dari
penyelenggaraan negara. Melalui reformasi birokrasi, kita ingin mencetak para penyelenggara negara yang makin menyadari dan mendukung penegakan dari nilai-nilai hakiki adanya sistem birokrasi.
Sistem
birokrasi
pemerintah
yang
mampu
mengantisipasi
dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang makin modern dan dalam hubungan antar negara yang makin mengglobal. Melalui reformasi birokrasi kita ingin mencetak aparatur negara yang memiliki budaya kerja positif. Budaya kerja yang mengedepankan nilai-nilai moral, profesionalitas, menjunjung tinggi nama baik dan reputasi institusi, produktif, dan bertanggung jawab. Pada modul ini diuraikan proses reformasi birokrasi yang telah dan akan masih terus berlangsung di Kementerian/Lembaga Non Kementerian. Sebagai institusi yang memberikan pelayanan teknis dan administratif secara langsung kepada Presiden
dan
Wakil
Presiden,
maka
menjadi
keniscayaan
bagi
Kementerian/Lembaga Non Kementerian untuk menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas utama dalam menyempurnakan kualitas kinerja organisasinya. Penyelenggaraan
reformasi
birokrasi
secara
berkelanjutan
di
Kementerian/Lembaga Non Kementerian, Insya Allah akan mampu mewujudkan birokrasi yang makin bersih, efektif, efisien, profesional, dan transparan, serta makin mampu memberikan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden, dalam
37
menyelenggarakan kekuasaan negara dan pemerintahan, secara cepat, tepat, akurat, dan akuntabel. Reformasi birokrasi merupakan transformasi segenap aspek dalam manajemen pemerintahan menuju pemerintahan berkelas dunia. Dalam pelaksanaannya reformasi birokrasi dilaksanakan pada aparatur pemerintah melalui pelaksanaan berbagai program dan kegiatan sebagaimana dituangkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Roadmap Reformasi Birokrasi. Program-program reformasi birokrasi tersebut ada yang berhubungan secara langsung dan ada yang tidak secara langsung dengan pencapaian keberhasilan reformasi birokrasi. Peningkatan jumlah opini audit BPK Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang berpredikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) secara langsung dapat meningkatkan pencapaian target jumlah opini audit BPK berpredikat WTP. Selain itu, peningkatan kualitas SAKIP dan LAKIP akan berpengaruh langsung pada pencapaian target jumlah instansi pemerintah yang akuntabel. Sedangkan untuk meningkatkan pencapaian indikator Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Integritas Pelayanan Publik, Peringkat Kemudahan Berusaha dan Indeks Efektifitas Pemerintahan memerlukan kontribusi tidak hanya dari aparatur pemerintah, tapi juga masyarakat dan dunia usaha. Artinya, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian indikator tersebut.
B.
Evaluasi Buatlah skenario SOP untuk Sub Satker Pusdiklat Tekfunghan Badiklat Kemhan.
C.
Tindak Lanjut Berbekal hasil belajar pada Modul ini, para peserta diklat diharapkan mengerti, dan memahami serta mampu meningkatkan kompetensi dan kinerjanya dalam rangka mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi di lingkungan Kementerian Pertahanan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Ainur Rohman, Ahmad dkk., 2008, Reformasi Pelayanan Publik, Malang: Averroes Press. Albrow, Martin, 1996, Birokrasi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Batley, Richard. 2004. Development and Change 35(1): 31-56. Blackwell Publishing, Oxford, UK. Blau, M. Peter, and Marshall W. Meyer, 2000, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Alih bahasa Slamet Riyanto, Prestasi Pustakaraya, Jakarta. Dialogue, 2004, Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Vol. 1, No. 2, Mei 2004 (175-350). Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ________., 2003, Teladan dan Pantangan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan otonomi Daerah, Yogyakarta: Galang Printika. Goss, Sue, 2001, Making Local Governance Work: Network, Relationship and The Management of Change, New York: Palgrave. Kurniawan, Agung, 2009, Transformasi Birokrasi, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Muhammad, DR. Ir. Fadel, 2008, Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah, Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Osborne, David dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Peters, B. Guy, 2001, The Future of Governing: second edition, revised, USA: University Press of Kansas. Pramusinto, Dr. Agus dan Dr. Erwan Agus Purwanto, 2009, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gava Media. Prianto, Dr. Agus, 2006, Menakar Kualitas Pelayanan Publik, Malang: In-TRANS.
39
Puriyadi, 2007, Siasat Anggaran ( Posisi Masyarakat Dalam Perumusan Anggaran Daerah), Yogyakarta: Lokus Tiara Wacana Group. Purwanto, Erwan Agus dan Wahyudi Kumorotomo, 2005, Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media. Putra, Fadillah, 1999, Devolusi: Politik Desentralisasi Sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara-Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Romli, Lili, 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Said, Mas’ud, 2007, Birokrasi di Negara Birokratis, Malang: UMM Press. Samodra Wibawa, 2005, Reformasi Administrasi: Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik, Gava Media, Yogyakarta. Santosa, Dr. Pandji, 2008, Administrasi Publik, Teori, dan Aplikasi Good Governance, Bandung: PT Refika Aditama. Setiadi, Redhi, 2007, Memantau Daerah Menyemai Kemajuan: Otonomi Daerah dan Otonomi Award di Jawa Timur, Surabaya: JPIP. Setiyono, Budi, 2004, Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Semarang: Puskodak Undip. Sinambela dkk., Dr. Lijan Poltak, 2008, Reformasi Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta: Bumi Aksara. Sj. Sumarto, Hetifah, 2009, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance (20 Prakarsa Inovatif dan Partisipasif di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suharmawijaya, Dadan S, 2006, Otonomi Daerah dan Otonomi Award Dua Propinsi: Kumpulan Hasil Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota Propinsi Jawa tengah dan DI Yogyakarta, Semarang: JPIP. Supriyanto, DR. Budi, 2009, Manajemen Pemerintahan (Plus Dua Belas Langkah Strategis), Tangerang: CV Media Brilian. Thoha, Miftah, 2007, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. _______, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana Prenada.
40
Wawan Sobari, Moch. Yunus dkk., 2004, Inovasi Sebagai Referensi, Surabaya: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi. Wicaksono, Kristian Widya, 2006, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Yogyakarta: Graha Ilmu. Wiley, John and Sons, 1983, Local Government in The Third World, Pitman Press.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Nomor
17
Pembangunan Jangka
Tahun 2007 tentang
Rencana
Panjang
Tahun
Nasional
2005-2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014; Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional sebagaimana telah dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010; Peraturan
Menteri
Negara
PER/15/M.PAN/7/2008
Pendayagunaan tentang
Aparatur Pedoman
Negara Umum
Nomor
:
Reformasi
Birokrasi; Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 16 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertahanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 469); Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 - 2014;
41
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah 2010-2014 ;