BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisional sudah ada di Indonesia, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat – obatan modern yang dikenal oleh masyarakat (Wijayakusuma, 2008), dimana tumbuh-tumbuhan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, baik sebagai sumber pangan, maupun obat-obatan. Selain untuk perawatan medis, pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional masih digunakan masyarakat, terutama di daerah pedesaan yang masih kaya akan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat (Wayan, 2004). Tanaman obat telah terbukti efektif dapat menyembuhkan penyakit, efek samping yang ditimbulkan juga minim (Wijayakusuma, 2008). Tanaman obat topikal dapat berkhasiat pada tubuh melaluimelalui promosi angiogenesis ketika terjadi perbaikan jaringan luka, sebagai hasil stimulasi produksi VEGF yang disebabkan oleh peningkatan MCP-1 pada keratinosit serta peningkatan IL-1β IL-1β pada makrofag (Hasanah,dkk. 2006). Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamatori, fase proliferasi, fase penyudahan (Wim de jong, 2004). Luka tidak dapat dibiarkan sembuh sendiri karena jika luka tidak dirawat dapat menyebabkan komplikasi penyembuhan luka yaitu dapat tejadi infeksi, perdarahan,
1
dehiscence dan eviscerasi. Tujuan merawat luka yaitu untuk mencegah trauma (injury) pada kulit, membran mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit (Prasetyo, 2009). Percepatan kesembuhan luka yang saat ini banyak dilakukan yaitu dengan cara mempertemukan kedua sisi luka, pemberian obat-obatan seperti salep antibiotik, dibalut dengan teknik tertentu seperti menggunakan hidrogel (Thomas, 1997; Fossum, 1997) atau dengan teknik vakum (tenaga negatif) di atas luka dalam beberapa menit (Thomas, 2001). Namun, carapenyembuhan itu masih dinilai kurang sederhana oleh sebagian masyarakat sehingga diperlukan alternatif lain untuk menyembuhkan luka selain menggunakan obat khusus maupun antiseptik.Salah satu alternatif lain yang dapat digunakan yaitu menggunakan ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don). Don). Dimana daun bunga tapak darah (C. (C. roseus L. G. Don) Don) dapat dingunakan sebagai obat untuk penyembuh luka. Hal ini terjadi karena kandungan zat aktif yang terdapat dalam daun tersebut. Adanya zat aktif inilah yang mendorong dilakukannya penelitian ini yaitu bagaimana peran zak aktif tersebut dalam membantu proses penyembuhan luka.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu :
Bagaimana ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don) Don) dapat mempercepat proses penyembuhan luka?
Berapa lama proses penyembuhan luka bila diberi ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don) Don) ?
2
dehiscence dan eviscerasi. Tujuan merawat luka yaitu untuk mencegah trauma (injury) pada kulit, membran mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit (Prasetyo, 2009). Percepatan kesembuhan luka yang saat ini banyak dilakukan yaitu dengan cara mempertemukan kedua sisi luka, pemberian obat-obatan seperti salep antibiotik, dibalut dengan teknik tertentu seperti menggunakan hidrogel (Thomas, 1997; Fossum, 1997) atau dengan teknik vakum (tenaga negatif) di atas luka dalam beberapa menit (Thomas, 2001). Namun, carapenyembuhan itu masih dinilai kurang sederhana oleh sebagian masyarakat sehingga diperlukan alternatif lain untuk menyembuhkan luka selain menggunakan obat khusus maupun antiseptik.Salah satu alternatif lain yang dapat digunakan yaitu menggunakan ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don). Don). Dimana daun bunga tapak darah (C. (C. roseus L. G. Don) Don) dapat dingunakan sebagai obat untuk penyembuh luka. Hal ini terjadi karena kandungan zat aktif yang terdapat dalam daun tersebut. Adanya zat aktif inilah yang mendorong dilakukannya penelitian ini yaitu bagaimana peran zak aktif tersebut dalam membantu proses penyembuhan luka.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu :
Bagaimana ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don) Don) dapat mempercepat proses penyembuhan luka?
Berapa lama proses penyembuhan luka bila diberi ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don) Don) ?
2
Bagaimana pengaruh ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don) Don) terhadap gambaran profil protein pada pada proses penyembuhan luka?
1.3.Hipotesis
H0 : Pengaruh pemberian ekstrak daun bunga tapak dara dapat mempercepat proses penyembuhan luka. H1: Pengaruh pemberian ekstrak daun bunga tapak dara tidak dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
1.4.Tujuan Penelutian 1.4.1. Tujuan Umum Penelitian :
Untuk mengamati bagaimana daun bunga tapak dara (C. roseus L. G. Don) Don) dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan melihat gambaran profil protein pada luka. 1.4.2. Tujuan Khusus Penelitian :
a. Mengamati seberapa cepat proses penyembuhan luka bila diberikan ekstrak daun bunga tapak dara (C. (C. roseus L. G. Don) Don) b. Melihat perbandingan kecepatan proses pentembuhan luka antara Fovidone iodine dan Ekstrak daun bunga tapak dara (C.roseus (C.roseus L. G. Don) Don) c. Melihat gambaran profil protein pada proses penyembuhan luka.
3
1.5.Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan pengetahuan mengenai pemanfaatan ekstrak daun bunga tapak dara (Catharantus (Catharantus roseus L. G. Don) Don) untuk mempercepat proses penyembuhan luka, dan memberikan alternatif obat dalam menyembuhkan luka.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tapak Dara ( Catharan thu s r ose ) oseus L. G. D on roseus L. G. D on 2.1.1. Deskripsi Tanaman Tapak Dara ( Catharan thu s roseus )
Tanaman tapak dara ini banyak ditanami bahkan tumbuh liar didaerah pedesaan, akan tetapi didaerah perkotaan hanyaditanam oleh beberapa orang saja. Tanaman ini memiliki Taxonomi sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Family
: Apocynaceae
Genus
: Catharanthus
Spesies
: Catharanthus roseus L. G. Don (Sumber : Loh KY, 2008)
Gambar 1. Bunga Tapak Dara (Catharanthus (Catharanthus roseus L. G. Don) Don)
5
Tanaman ini berbentuk perdu tegak dengan tinggi maksimal berkisar 0.8 m, mengandung getah. Berdaun tunggal dan bertepi rata, bertangkai pendek dengan bentuk daun memanjang sampai bulat telur. Bunga dalam anak paying, berkelamin 2 (dua) dan bercangkap. Mahkota berdaun lekat dengan letak berputar. Kepala sari beruang dua, bakal buah beruang satu. Mahkota berbentuk terompet dengan panjang berkisar 3 cm. Biji tanpa rambut Gombak (Dalimartha, 2002).
2.1.2. Morfologi Tanaman Tapak Dara ( Catharan thu s r oseus L. G. D on )
Tapak dara merupakan tanaman herba/semak yang tegak, hidup lama, tinggi 0,2-0,8 m dan mengandung getah. Batangnya mengandung getah berwarna putih susu, berbentuk bulat dengan diameter berukuran kecil, berkayu, beruas, bercabang, dan berambut sangat lebat. Daun bersusun berhadapan, bertangkai pendek, memanjang bulat telur dengan pangkal serupa baji dan ujung tumpul panjang 2 – 6 cm, lebar 1 – 3 cm, dan tangkai daunnya sangat pendek. Bunganya muncul dari ketiak daun. Kelopak bunga kecil, berbentuk paku. Mahkota bunga berbentuk terompet, dan ujungnya melebar. Tepi bunga datar, terdiri dari taju bunga berbentuk bulat telur, dan ujungnya runcing menutup ke kiri. berbunga sepanjang tahun, berbentuk tubular, panjang 1,5-4 cm, lebar 5 cm memiliki 5 mahkota kecil. Bunga berwarna violet, merah rosa, putih (var. albus), putih dengan bintik merah (var. ocellatus), ungu, kuning pucat. Buahnya berbentuk silindris, ujung lancip, berbulu, panjang sekitar dengan panjang folikel 1-4 cm hijau dan berbiji banyak tanpa rambut gombak. Bijinya mempunyai panjang 1-2mm berbentuk persegi panjang, hitam, kotiledon datar, endosperm kecil. Panjang akar dapat mencapai 70 cm (Arief, 2006).
6
2.1.3. Kandungan Kimia Tanaman Tapak Dara (Catharan thu s r oseus L. G. D on )
Dalam daun tapak dara (Catharanthus roseus L. G. Don) terkandung senyawa fitokimia yakni alkaloid vinka (vinkristin, vinblastin, dan vinorelbin), flavonoid dan isoflavonoid. Senyawa yang paling dominan yakni alkaloid vinka yaitu vinkristin, vinblastin dan vinorelbin. Vinblastine digunakan untuk penderita Hodgkin’s disease dan vincristine digunakan untuk anak anak penderita leukemia. Dengan digunakannya vincristine, anak-anak penderita leukimia yang selamat meningkat dari 20% menjadi 80%. Vincristine, selain dipakai dalam pengobatan leukemia, juga kanker payudara, dan tumor ganas lainnya.Vinorelbine yang seringkali digunakan sebagai bahan pengobatan untuk mencegah pembelahan kelenjar.Zat itu merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen. Sedangkan senyawa lainnya seperti flavonoid memiliki sifat antioksidan, antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan anti-inflamasi. Kandungan kimia lainnya yang terdapat di daun tapak dara (Catharanthus roseus L. G. Don) adalah alkoloid turunan, seperti vendicine dan vinorelbine (Winarsih, 2007). 2.1.4. Fungsi Ekastrak Daun Tapak Dara ( Catharanthus roseus L. G. Don ) Untuk Mempercepat Proses Penyembuhan Luka
Ekstrak tapak dara diketahui mempunyai khasiat antimikrobial serta dapat digunakan sebagai obat mempercepat kesembuhan luka pada tikus. Kesembuhan luka ditandai dengan penutupan permukaan luka, dan mempercepat periode epitelisasi. Khasiat ekstrak daun tapak dara dalam proses kesembuhan luka, akibat dari zat kimia yang dikandung mempunyai sifat antimikroba dan sebagai astringen, yang menyebabkan adanya kontraksi luka serta meningkatkan epitelisasi (Nayak, dkk .2006).
7
2.2. Luka 2.2.1. Definisi Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul: Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, Respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Wim de jong, 2004).
2.2.2. Mekanisme Terjadinya Luka
a. Luka insisi ( Incised wounds): Terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi) b. Luka memar (Contusion Wound ): Terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak. c. Luka lecet ( Abraded Wound ): Terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam. d. Luka tusuk ( Punctured Wound ): Terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
8
e. Luka gores ( Lacerated Wound ): Terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. f.
Luka tembus ( Penetrating Wound ): Yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk
diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar (Walton, R, 1990). 2.2.3. Klasifikasi Luka 2.2.3.1. Klasifikasi luka Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka : a. Clean Wounds (Luka bersih):
Yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi)dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Lukabersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkandrainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi lukasekitar 1% - 5%. b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi):
Merupakan atauperkemihan
luka dalam
pembedahan kondisi
dimana
saluran
terkontrol,
respirasi,
kontaminasi
pencernaan,
tidak
selalu
genital terjadi,
kemungkinantimbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%. c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi):
Termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakanbesar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori inijuga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% -17%. d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi):
Luka kotor adalah luka lama,dimana mengandung jaringan mati dan terdapat tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat
9
terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama (Rosdahi dan Kowalski, 2008). 2.2.3.2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi : a. Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema)
Yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit. b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” :
Yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas daridermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi,blister atau lubang yang dangkal. c. Stadium III : Luka “Full Thickness” :
Yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringansubkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yangmendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapitidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yangdalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d. Stadium IV : Luka “Full Thickness”
Yaitu
luka
yang
telah
mencapai
lapisan
otot,
tendon
dan
tulang
dengan
adanyadestruksi/kerusakan yang luas (Black dan Hawks, 2005).
2.2.3.3. Menurut waktu penyembuhan, luka dibagi menjadi : a. Luka akut :
Yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telahdisepakati.
10
b. Luka kronis
Yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapatkarena faktor eksogen dan endogen.
2.2.4. Proses Penyembuhan Luka
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “prosesperadangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling),kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function).Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase : i.
F ase I nf lamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibatperlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalahmenghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel matidan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal faseini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsisebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler
yang
terbuka
(clot)
dan
jugamengeluarkan
“substansi
vasokonstriksi”
yang
mengakibatkan pembuluh darahkapiler vasokonstriksi (Wim de jong, 2004). Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah.Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapilerakibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action danadanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histaminjuga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darahkeluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadiedema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi
11
asidosis.Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit,edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 (Wim de jong, 2004). ii.
F ase Proli feratif
Proses
kegiatan
seluler
yang
penting
pada
fase
ini
adalah
memperbaiki
danmenyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besarpada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produkstruktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudahterjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerahluka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperandalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifikadalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengandikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag,pembuluh
darah
baru
dan
juga
fibroblas
sebagai
kesatuan
unit
dapat
memasukikawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringanbaru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”.Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telahterbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktoryang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Wim de jong, 2004). iii.
F ase M atur asi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampaikurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakanterbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu.Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan
12
granulasi, warna kemerahan darijaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagenbertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parutakan mencapai puncaknya pada minggu ke -10 setelah perlukaan. Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antarakolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akanterjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yangberkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka (Wim de jong, 2004). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatanjaringan parut mampu
atau
tidak
mengganggu
untuk
melakukan
aktifitas
normal.Meskipun
proses
penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atauhasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu,lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepatdibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik diabetes mielitus (Wim de jong, 2004).
2.2.5. Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga proses penyembuhan luka tidak berfungsi dengan baik, yaitu: 1. Infeksi Kontaminasi bakteri pada luka akan memperlambat penyembuhan luka. Infeksi juga dapat menurunkan produksi fibroblast. 2. Benda asing
13
Adanya benda asing pada luka seperti kapas yang tertinggal akan menyebabkan menurunnya tekanan oksigen pada daerah luka yang akan menyebabkan perpanjangan proses inflamasi sehingga akan terjadi kerusakan jaringan. 3. Oksigen Oksigen dibutuhkan untuk sintesis kolagen untuk hidroksilasi prolin dan lisin. Rendahnya kadar oksigen pada luka akan menyebabkan makrofag memproduksi faktor angiogenik yang akan menarik pembuluh darah menuju daerah luka untuk meningkatkan oksigen. 4. Merokok Merokok menyebabkan kurangnya oksigen pada darah, lebih jauh nikotin akan menyebabkan vasokonstriksi yang akan menyebabkan hipoksia lokal sehingga proses penyembuhan terhambat. 5. Tekanan Luka yang dijahit terlalu ketat akan menyebabkan iskemik dan nekrotik. 6. Suplai darah Suplai darah yang adekuat diperlukan untuk menyediakan oksigen dan nutrisi pada penyembuhan luka. 7. Temperatur Hipotermia
memperlambat
penyembuhan
luka,
hal
ini
mengacu
pada
proses
hemodinamik dari darah. 8. Status nutrisi Pasien dengan luka yang kronik membutuhkan nutrisi untuk memuaskan peningkatan kebutuhan metaboliknya. 9. Protein dan karbohidrat
14
Proses penyembuhan membutuhkan protein dan karbohidrat sebagai energi untuk proses glukoneogenesis. 10. Defisiensi vitamin Vitamin yang diperlukan adalah vitamin A, C, K, B, dan E. Terutama vitamin K yang diperlukan untuk sintesis faktor pembekuan seperti faktor VII, IX, dan X. Defisiensi dari vitamin ini akan menyebabkan masalah pedarahan. 11. Usia Proses penyembuhan akan mengalami perlambatan akibat bertambahnya usia, karena proses metabolisme, proliferasi, dan kontraksi sel akan menurun. Sintesis kolagen dan aktivitas fibroblast juga akan menurun. 12. Obat-obatan Penggunaan obat-obatan seperti anti inflamasi, sitotoksik, antikoagulan, imunosupresan, dan penisilamin akan memperlambat proses penyembuhan luka. Terutama antikoagulan misalnya warfarin dan heparin, akan menghambat koagulasi. Warfarin akan menghambat vitamin K yang bertindak sebagai koenzim dalam sintesis protrombin. Heparin akan mengikat antitrombin III dan menyebabkan inaktivasi trombin dan mencegah pembentukan fibrin. Jika obat-obatan ini dikonsumsi pasien sebelum operasi dapat menyebabkan terjadinya perdarahan (Perkasa, 2009).
2.3. Obat Topikal 2.3.1. Definisi topikal
Kata topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan dengan daerah permukaantertentu (Dorlan, 2002). Secara luasobat topikal didefi nisikan sebagai obat yangdipakai di tempat lesi (Sharman, 2008).
15
2.3.2. Berbagai bentuk sediaan obat topikal
Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah dibersihkantidak mengiritasi serta menyenangkansecara kosmetik. Selain itu, bahan aktif harusberada di dalam zat pembawa dan kemudianmudah dilepaskan (Wyatt, dkk. 2001). Untuk mendapatkan sifat zat pembawa yang demikian, maka ditambahkanlah bahan atau unsur senyawa tertentu yang berperan dalam memaksimalkan fungsi dari zat pembawa (Strober, 2008). Bahan pembawa yang banyak dipakai: 1. Lanolin Disebut juga adeps lanae, merupakan lemak bulu domba. Banyak digunakan pada produk kosmetik dan pelumas. Sebagai bahan dasarsalep lanolin bersifat hipoalergik diserap olehkulit, memfasilitasi bahan aktif obat yang dibawa (Sharman, 2008). 2. Paraben Paraben (para-hidroksibenzoat) banyak digunakan sebagai pengawet sediaan topikal. Paraben dapat juga bersifat fungisid dan bakterisid lemah. Paraben banyak dipakai pada shampo, sediaan pelembab , gel, pelumas, pasta gigi (Djuanda, 1994). 3. Petrolatum
16
Merupakan sediaan semisolid yang terdiri dari hidrokarbon (jumlah k arbon lebih dari 25). Petrolatum (vaselin), misalnya vaselin album, diperoleh dari minyak bumi. Titik cair 10-50°C, dapat mengikat kira-kira 30% air (Sharman, 2008). 4. Gliserin Berupa senyawa cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau. Gliserin memiliki 3 kelompok hidroksil hidrofi lik yang berperan sebagai pelarut dalam air (Djuanda, 1994). Secara umum, zat pembawa dibagi atas 3 kelompok :cairan, bedak, dan salep. Ketiga pembagiantersebut merupakan bentuk dasar zat pembawa yang disebut juga sebagai bentuk monofase. Kombinasi bentuk monofase ini berupa krim, pasta, bedak kocok dan pasta pendingin (Wyatt, dkk. 2001). A. Salep
Salep merupakan sediaan semisolid berbahan dasar lemak ditujukan untuk kulit dan mukosa. Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok yaitu: dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang bisa dicuci dengan air dan dasar salep yang larut dalam air. Setiap bahan salep menggunakan salah satu dasar salep tersebut (Strober, 2008). a. Dasar salep hidrokarbon Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak seperti vaselin album (petrolatum),parafi n liquidum. Vaselin album adalah golongan lemak mineral diperoleh dari minyak bumi. titik cair sekitar 10-50°C, mengikat 30% air, tidak berbau, transparan, konsistensi lunak (Sharman, 2008). Hanya sejumlah kecil komponen air dapat dicampurkan ke dalamnya. Sifat dasar salep hidrokarbon sukar dicuci, tidak mongering dan tidak berubah dalam waktu lama. Salep ini
17
ditujukan untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai penutup. Dasar salep hidrokarbon terutama digunakan sebagai bahan emolien (Sharman, 2008). b. Dasar salep serap Dasar salep serap dibagi dalam 2 tipe, yaitu bentuk anhidrat (parafi n hidrofi lik dan lanolin anhidrat [adeps lanae]) dan bentuk emulsi (lanolin dan cold cream) yang dapat bercampur dengan sejumlah larutan tambahan. Adeps lanae ialah lemak murni dari lemak bulu domba, keras dan melekat sehingga sukar dioleskan, mudah mengikat air. Adeps lanae hydrosueatau lanolin ialah adeps lanae dengan akua 25-27% (Milani, dkk. 2003). Salep ini dapat dicuci namun kemungkinan bahan sediaan yang tersisa masih ada walaupun telah dicuci dengan air, sehingga tidak cocok untuk sediaan kosmetik. Dasar salep serap juga bermanfaat sebagaiemolien (Milani, dkk. 2003). c. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air misalnya salep hidrofi lik. Dasar ini dinyatakan “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci dari kulit, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Dasar salep ini tampilannya menyerupai krim karena fase terluarnya adalah air. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan dermatologi (Ansel, 1995). d. Dasar salep larut dalam air Kelompok ini disebut juga “dasar salep tak berlemak”terdiri dari komponen cair. Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungan seperti halnya dasar salep yang dapat dicuci dengan air karena tidak mengandung bahan tak larut dalam air seperti parafi n, lanolin anhidrat. Contoh dasar salep ini ialah polietilen glikol (Sharma, 2008).
18
Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi salep bergantung pada beberapa faktor, seperti kecepatan pelepasan bahan obat dari dasar salep, absorpsi obat, kemampuan mempertahankan kelembaban kulit oleh dasar salep, waktu obat stabil dalam dasar salep, pengaruh obat terhadap dasar salep (Shin, dkk. 2009). Pada dasarnya tidak ada dasar salep yang ideal. Namun, dengan pertimbangan faktor di atas diharapkan dapat diperoleh bentuk sediaan yang paling baik (Djuanda, 1994). Indikasi salep
Salep dipakai untuk dermatosis yang kering dan tebal (proses kronik), termasuk likenifi kasi,hiperkeratosis. Dermatosis dengan skuama berlapis, pada ulkus yang telah bersih (Djuanda, 1994). Kontraindikasi salep
Salep tidak dipakai pada radang akut, terutama dermatosis eksudatif karena tidak dapatmelekat, juga pada daerah berambut dan lipatan karena menyebabkan perlekatan (Hamzah, 2007).
B. Pasta
Pasta ialah campuran salep dan bedak sehingga komponen pasta terdiri dari bahan untuk salep misalnya vaselin dan bahan bedak seperti talcum, oxydum zincicum. Pasta merupakan salep padat, kaku yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan berfungsi sebagai lapisan pelindung pada bagian yang diolesi (Sharman, 2008). Efek pasta lebih melekat dibandingkan salep, mempunyai daya penetrasi dan daya maserasi lebih rendah dari salep (Ansel, 1995). Indikasi pasta
19
Pasta digunakan untuk lesi akut dan superfi sial (Sharman, 2008). Pasta pendingin
Pasta pendingin disebut juga linimen merupakan campuran bedak, salep dan cairan. Sediaan ini telah jarang digunakan karena efeknya seperti krim (Djuanda, 1994). Indikasi
Pasta dipakai pada lesi kulit yang kering.Beberapa vehikulum yang merupakan pengembangan dari bentuk dasar monofase sediaan lain, yaitu gel, aerosol foam, cat, jelly, losion (Strober, 2008). 2.3.3. Mekanisme Kerja Farmakokinetik umum
Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara sistemik. Mekanisme ini penting dipahami untuk membantu memilih sediaan topikal yang akan digunakan dalam terapi (Strober, 2008). Perjalanan sediaan topikal setelah diaplikasikan pada kulit tergambar pada Gambar 2.
20
Gambar 2 Penetrasi melalui tiga kompartemen kulit
(Sumber : Schaefer, dkk. 2008) Secara
umum
perjalanan
sediaan
topikal
setelah
diaplikasikan
melewati
tiga
kompartemen yaitu: permukaan kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat masih berkontak dengan permukaan kulit namunbelum berpenetrasi tetapi tidak dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus oleh pakaian (Milani, dkk. 2003). Unsur vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi, selanjutnya zat aktif berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada epidermis, dermis. Pada kondisi tertentu sediaanobat dapat membawa bahan aktif menembus hipodermis. Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada dermis dan hipodermis (Milani, dkk. 2003). Jalur penetrasi sediaan topikal
Penetrasi sediaan topikal melewati beberapa macam jalur seperti pada Gambar 3.19
21
Gambar 3 Jalur penetrasi sediaan topical
(Sumber :www.chemelab.ucsd.edu/hydrogel/index.html) Saat sediaan topikal diaplikasikan pada kulit, terjadi 3 interaksi: 1. Solute vehicle interaction: interaksi bahan aktif terlarut dalam vehikulum. Idealnya zat aktif terlarut dalam vehikulum tetap stabil dan mudah dilepaskan. Interaksi ini telah ada dalam sediaan. 2.
Vehicle skin interaction: merupakan interaksi vehikulum dengan kulit. Saat awal aplikasi fungsi reservoir kulit terhadap vehikulum.
3. Solute Skin interaction: interaksi bahan aktif terlarut dengan kulit (lag phase, rising phase,falling phase). a. Penetrasi secara transepidermal
Penetrasi transepidermal dapat secara interseluler dan intraseluler. Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akanmenembus stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus 22
lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh kapiler (Otberg, dkk. 2007). Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi kekapiler (Otberg, 2007). b. Penetrasi secara transfolikular
Analisis penetrasi secara folikular muncul setelah percobaan in vivo. Percobaan tersebut memperlihatkan bahwa molekul kecil seperti kafein dapat berpenetrasi tidak hanya melewati selsel korneum, tetapi juga melalui rute folikular. Obat berdifusi melalui celah folikel rambut dan juga kelenjar sebasea untuk kemudian berdifusi ke kapiler (Otberg, 2007). Absorpsi sediaan topikal secara umum
Saat suatu sediaan dioleskan ke kulit, absorpsinya akan melalui beberapa fase : a. Lag phase Periode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum melewati stratum korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif obat dalam pembuluh darah (Otberg, 2007). b. Rising phase Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam pembuluh darah (Otberg, 2007). c. Falling phase Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis (Otberg, 2007).
23
Penyerapan sediaan topikal secara umum dipengaruhi oleh berbagai faktor : 1. Bahan aktif yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus menyatu pada permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup. 2. Konsentrasi bahan aktif merupakan faktor penting, jumlah obat yang diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu, bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu pembawa. 3. Penggunaan bahan obat pada permukaan yang lebih luas akan menambah jumlah obat yang diabsorpsi. 4. Absorpsi bahan aktif akan meningkat jika pembawa mudah menyebar ke permukaan kulit. 5. Ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya saat sediaan diaplikasikan. 6. Pada umumnya, menggosokkan sediaan akan meningkatkan jumlah bahan aktif yang diabsorpsi. 7. Absorpsi perkutan akan lebih besar bila sediaan topikal dipakai pada kulit yang lapisan tanduknya tipis. 8. Pada umumnya, makin lama sediaan menempelpada kulit, makin banyak kemungkinan diabsorpsi (Ansel, 1995). Pada kulit utuh, cara utama penetrasi sediaan melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut atau kelenjar keringat, karena luas permukaan folikel dan kelenjar keringat lebih kecil dibandingkan dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi ini. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membrane semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif (Milani, dkk. 2003).
24
2.5. Kerangka Pemikiran
Strain, jenis kelamin, umur, berat badan tikus, model luka, dan pakan
Ekstrak daun Tapak Dara (C. roseus)
Periode epitelisasi (luas luka)
Luka Tikus
Kesembuhan luka pada tikus
Homeostasis inflamasi
25
dan
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan The Randomized Postest Control Only Group Design. Terdapat tiga kelompok penelitian yaitu kelompok ekperimental, kelompok kontrol positif,dan kelompok kontrol negatif. Dimana kelompok eksperimental diberikan perlakuan berupa pemberian ekstrak daun bunga tapak dara, kelompok kontrol positif diberikan perlakukan berupa pemberian povido iodine, sedangkan kelompok kontrol negatif tidak diberikan perlakuan.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Biologi Universitas Bengkulu, pada Bulan Mei 2013 sampai Oktober 2013 Tabel 3.2. Alokasi Waktu Kegiatan No
Kegiatan
1.
Pengajuan
Juni
judul
Juli
dan
proposal penelitian 2.
Pengumpulan data
3.
Pengolahan
data
dan
analisis data 4.
Penyusunan laporan
26
Agustus
Oktober
3.3. Sampel dan Besar Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah tikus putih yang dipilih secara acak yang terdiri dari tikus jantan dan betina dengan berat badan berkisar 150-200 g.Besar sampel ditentukan dengan rumus menurut Fraenkle and Wallen. (np - 1) – (p - 1) ≥ p 2 Di mana : p n
= jumlah kelompok hewan coba = jumlah hewan coba tiap kelompok
(np - 1) – (p - 1) ≥ p 2 (n.3 - 1) – (3 - 1) ≥3 2 (3n - 1) – 2 ≥9 3n ≥ 12 n ≥ 4 Berdasarkan perhitungan tersebut sampel minimal yang diperlukan adalah 4 (empat) ekor tikus putih untuk setiap kelompok perlakuan. Sehingga jumlah minimal seluruh sampel yang digunakan adalah 12 ekor tikus putih. Pada penelitian ini, tiap kelompok perlakuan dilebihkan 3 ekor tikus putih, sehingga jumlah tikus putih yang digunakan 21 ekor tikus putih.
3.4.Kriteria Sampel 3.4.1. Kriteria Inklusi
Tikus jantan dengan berat badan 150 – 200 g, usia 3 bulan
3.4.2. Kriteria Ekslusi
Terdapat penyakit penyerta pada sampel
27
Terdapat luka pada sampel
Tikus mati sebelum dilakukan percobaan
3.5. Alat dan Bahan 3.5.1. Alat
Penelitian ini menggunakan peralatan berupa surgical blade, gunting, pinset, alat pencukur, erlenmeyer,rotary evaporator , gelas ukur, corong kaca, labu ukur 100 mL, beker glass, kandang tikus, sarung tanggan, kamera, spuit 1 mL, almunium foil, erlenmeyre 2000ml, lumpang dan mortar. 3.5.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah Tikus putih jantan, daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don), etanol 96%, alkohol 70%, pellet ( pakan standar tikus), ketras saring 227µ, povidoniodine 10% (betadin), vaselin 85 mg, eter, lidocaine 1 mL.
3.6. Prosedur Kerja 3.6.1. Pembuatan Ekstrak Daun Bunga Tapak Dara ( Cathar antu s r oseus L. G. don ) a. Penyediaan Sampel
Sampel yang digunakan adalah daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) yang didapatkan di daerah Kota Bengkulu.Sampel dibersihkan dari pengotor dan dihaluskan dengan menggunakan pisau sampai diperoleh potongan kecil daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) kemudian di keringkan di udara terbuka, setelah kering sampelditimbang sebanyak 1 kg.
28
b. Pembuatan Ekstrak
Potongan kecil daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) dimaserasi dengan cara sebanyak 1 kg serbuk daun bunga tapak dara (Catharantus roseus L. G. Don) yang telah dihaluskan dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan 2000 ml etanol hingga semua serbuk daun bunga tapak dara terendam. Lalu, dibiarkan selama 3 hari kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring. Selanjutnya filtrat yang diperoleh dipisahkan dari pelarutnya, pelarut diuapkan dengan bantuanrotary evaporator agar diperoleh ekstrak yang kental. Untuk mendapatkan ekstrak 15% dari daun tapak dara, bubuk ekstrak daun tapak dara hasil ekstraksi ditimbang, kemudian diambil sebanyak 15 gram dan dicampur dengan vaselin 85 gram sehingga didapatkan hasil akhir berupa ekstrak daun tapak dara dengan dosis 15 %.
3.6.2. Pembuatan Luka pada Tikus dan Perlakua Luka
Perlakuan luka dilakukan sesuai metode morton. Pada hari ke-0 tikus putih di anastesi dengan mengunakan ketamine 2 mg/ekor secara general di bagian intraperitoneal, kemudian diletakan diatas bak bedah dengan posisi telungkup dan keempat kaki diikat. Dicukur rambut disekitar punggung, kemudian dibersihkan dengan alkohol 70%. Buat luka berbentuk lingkaran diameter ± 1 cm, dengan kedalaman sampai subkutis, sejajar dengan tulang belakang.Dengan cara mengangkat kulit tikus dengan tehnik pengambilan full thickness skin excisional . Pelukaan dilakukan dengan pisau bedah no. 15,dan pinset. Kemudian pada masing-masing kelompok hewan uji yang telah dibuat luka langsung diberikan perlakuan yaitu dioleskan salep ekstrak daun tapak dara sesuai dengan kelompoknya dengan frekuensi 3 x sehari kemudian ditutup dengan kasa dan plaster.
29
Parameter yang diamati adalah eritema kulit dan edema, warna luka, ukuran luka, pembentukan krusta,setiap harinya pada masing-masing kelompok. a. Ukuran luka Pengukuran luas luka dilakukan dengan cara membuat gambaran luka diatas plastic yang kemudian diukur diameter luka setiap harinya. b. Krusta Krusta merupakan lapisan luar dari benda padat yang terbentuk melalui pengeringan eksudat tubuh atau secret (Dorlan, 2007). Eksudat pada proses penyembuhan luka terbuka sulit teramati maka krusta secara garis besar adalah eksudat yang mengering secara tidak langsung mewakili proses eksudasi yang terjadi pada sampel. Pembentukan krusta diamati secara makroskopi. c. Eritema kulit (1. Merah terang, 2. Merah muda, 3. Merah pucat) dan Edema (1. Edema > ½ bagian luka, 2. Edema < ½ bagian luka, 3. Tidak ada) d. Warna luka (1. Merah segar, 2. Merah pucat, 3. Coklat hitam, 4. Putih, 5. Kulit normal) Hewan dinyatakan sembuh ditandaitumbuhnya kulit baru dan tumbuh bulu disekitar luka. Pembanding yang digunakan pada pengujian efek ini adalah povidon iodine 10%.
30
Tabel 3.6. Lembar Pengamatan Luka Hari Ke1 2 3
No
Kriteria
1 2
3 4 5
Ukuran luka Warna luka a. Sangat merah b. Merah c. Merah muda d. Merah muda keputihan e. Putih pucat (cream) f. Coklat hitam g. Hitam h. Kulit normal Eritem kulit Edema Pembentukan krusta
3.6.3
Analisis Kadar Protein dan Elektroforesis
4
5
6
7
8
9
Ke-
Keterangan
Sebagian sampel diukur kadar proteinnya memakai metode Lowry yang dimodifikasi oleh Peterson (1979), dan sebagian sampel lain dielektroforesis untuk mendapatkan gambaran profile protein proses penyembuhan luka. Digunakan teknik elektroforesis satu dimensi (1-D) sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE) dengan sistem buffer Laemmli (1970, dalam Gestern, 1996). Seluruh reagensia yang digunakan memiliki tingkat kemurnian yang tinggi, dan digunakan alat elektroforesis dengan gel berukuran 25x15x0,2 cm (Desaga 93482). Sampel protein control dan perlakuan masing – masing sebanyak 40 µg dimasukkan ke dalam sumur gel poliakrilamid 10%, dan digunakan protein standar dengan kisaran Mr 6,5 kDa sampai dengan 205,0 kDa (sigma, M 4038). Protein dalam gel dideteksi dengan pewarna Coomassie Brilliant Blue R-250 (Sigma, B 7920; Garfin, 1990) dan kelebihan zat warna dihilangkan dengan larutan penghilang warna
31
(methanol 40% dan asam asetat glasial 10%). Gel dikeringkan dengan alat pengering gel (BioRad, Model 543)
3.7. Variabel Penelitian
Variabel Bebas
: ekstrak daun bunga tapak dara (Catharantus roseus)
Variabel Terikat
: proses penyembuhan luka
3.8. Definisi operasional
Untuk keseragaman dan tidak terjadi kerancuan maka variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi operasional dari variabel-variabel tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Ekstrak daun tapak dara adalah ekstrak daun tapak dara yang didapatkan dengan teknik maserasi, yaitu dengan cara merendam sebanyak 500 gram daun tapak dara yang telah dikeringkan dengan 1000 mL methanol, kemudian diuapkan dengan rotavapor. Kemudian ekstrak yang telah didapatkan dari hasil rotary evavorator sampai menjadi pasta. 2. Periode epitelisasi adalah periode atau waktu yang diperlukan oleh luka hingga mencapai kesembuhan secara sempurna sampai tidak dijumpai adanya bekas keropeng. 3. Strain adalah strain tikus Wistar koleksi Fakultas Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Universitas Institut Teknologo Bandung (ITB) .
32
4. Jenis kelamin tikus adalah jantan dinyatakan secara ciri-ciri fisik badan tikus tersebut jantan. 5. Umur tikus adalah umur dari saat dia dilahirkan dan ditentukan sesuai dengan yang didapatkan dari Fakultas Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Universitas Institut Teknologi Bandung (ITB), yaitu 2 bulan. 6. Berat badan tikus adalah berat yang ditimbang dengan neraca analitik dan berberat dengan rentangan 150-200 gr. 7. Model luka pada tikus adalah luka yang dibuat di bagian punggung tikus dengan menggunakan kan master (penggaris berlubang) dengan diameter 1 cm, sehingga didapatkan luka yang seragam pada semua tikus coba. Luka pada tikus Wistar dalam penelitian ini adalah luka iris (insisi) yang dibuat sampai pada bagian subkutannya. 8. Pakan adalah pakan standar yang diberikan pada semua tikus coba. 3.9. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari hasil pengamatan parameter penyembuhan luka dianalisis secara statistic dengan parametric test yaitu ANOVA satu arah (One way ANOVA). Analisa dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh perlakuan antara ke-3 perlakuan, jika terdapat perbedaan maka analisis data dilanjutkan dengan Uji beda rerata pengaruh perlakuan Beda Nyata Terkecil (BNT) sesuai koefisiensi keragaman (KK). Kesimpulan yang diambil berdasarkan nilai signifikansi p<0,01.
33
3.10. Masalah Etika
Implikasi etik percobaan pada hewan : 1. Hewan coba dipelihara dalam animal house yang memenuhi syarat 2. Hewan coba diletakan dalam kandang yang nyaman dan diberikan makanan pelet yang sesuai 3. Pemberian perilaku dilakukan dengan surgical blade secara cepat dan tidak menyakiti tikus 4. Tikus yang hendak dimatikan (euthanasia) dilakukan dengan pembiusan etem
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ekstraksi dan Pembuatan Salap Daun Bunga Tapak Dara ( Catharan tus roseus L . G. ) Don
Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen aktif menggunakan pelarut tertentu. Komponen aktif yang diambil yaitu senyawa aktif dalam daun Bunga Tapak Dara (Catharantus roseus L. G. Don). Daun C. roseus diambil sebanyak 2 kg kemudian dikering anginkan selama 3 hari. Kemudian siapkan etanol 96% sebanyak 7,5 Liter. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu maserasi. Maserasi merupakan metode perendaman. Hasil rendaman disaring dengan mengunakan kertas saring, kemudian didapat hasil sebanyak 2000 ml kemudian dilakukan rotary evaporator. Tujuan menggunakan rotary evaporator yaitu untuk mendapatkan hasil pekat dari ekstrak C. roseus dan memisahkan antara pelarut dengan senyawa aktif dalam daun bunga tapak dara, dilakukan selama 3 kali per 600 ml. Sehingga didapatkan pasta kental berwarna hijau kehitaman. Hasil ekstraksi yang didapat berupa ekstrak pekat berbau khas sebanyak 125 g. Kemudian dilakukan proses pembuatan salap dengan cara mencampur 15 g ekstrak daun C.roseus dengan vaselin putih sebanyak 85 g sehingga terbentuklah salah ekstrak daun C. roseus 15%
4.2. Pengamatan Rubor (Pengamatan Terhadap Perubahan Warna)
Berdasarkan Tabel 1, rata – rata yang didapatkan dari 5 ulangan perlakuan dengan pengamatan rubor (kemerahan) menggunakan kertas standar warna luka dari 3 kelompok yaitu (Kontrol negatif, Kontrol positif, Perlakuan). Pada kelompok perlakuan K – (Kontrol negatif)
35
pada hari ke-1 luka pada kelima ekor tikus masih berwarna sangat merah, hari ke-2 pada kelima ekor tikus warna luka berubah menjadi warna merah , hari ke-3 luka tetap berwarna menjadi merah pada empat ekor tikus dan satu ekor berubah warna menjadi merah muda, hari ke-4 luka berwarna merah pada dua ekor tikus dan tiga ekor tikus berwarna merah muda, pada hari ke-5 ada satu ekor yang lukanya berwarna merah, tiga ekor yang lukanya berwarna merah muda dan ada 1 ekor yang telah berubah warna pada luka menjadi cokelat kehitaman, pada hari ke-6 ada satu ekor tikus yang lukanya tetap berwarna merah dan empat ekor yang lukanya sudah berubah warna menjadi coklat kehitaman, hari ke-7 kelima ekor tikus sudah luka berubah warna menjadi coklat kehitaman, hari ke-8 ada empat ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman dan satu ekor yang lukanya berubah warna menjadi hitam, hari ke-9 hampir sama dengan pengamatan luka pada hari ke-8, hari ke-10 satu ekor tikus terjadi perubahan warna pada luka menjadi merah keputihan tiga ekor tikus lukanya berwarna coklat kehitaman dan satu ekor yang telah terjadi perubahan warna pada luka menjadi putih pucat, hari ke-11 empat ekor tikus lukanya bewarna coklat kehitaman dan satu ekor bewarna putih pucat, hari ke-12 terdapat tiga ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman dan dua ekor yang lain lukanya berwarna putih pucat , hari ke-13 terdapat dua ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman, dua ekor yang lukanya berwarna putih pucat dan terdapat satu ekor tikus yang sudah sembuh dan warna kulitnya sama dengan warna kulit sekitar, hari ke-14 terdapat satu ekor yang luka berwarna coklat kehitaman, tiga ekor yang berwarna putih pucat pada luka dan satu ekor yang telah sembuh dengan sempurna, hari ke-15 terdapat empat ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat dan satu ekor yang telah sembuh sempurna. Dapat disimpulkan bahwa pada pengamatan warna kulit hanya satu ekor yang sembuh dengan sempurna.
36
Kelompok kontrol posif pada hari ke-1 luka masih berwarna sangat merah pada kelima ekor tikus, hari ke-2 hingga hari ke-4 berubah warna menjadi merah muda, pada hari ke-5 hingga hari ke-7 terlihat proses pemulihan luka yaitu berwarna coklat kehitaman, hari ke-8 terdapat dua ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman, dua ekor yang berwarna hitam dan satu ekor yang telah berwarna putih pucat, hari ke-9 terdapat dua ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman dan tiga ekor yang lukanya berwarna hitam, hari ke-10 terdapat dua ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman, dua ekor yang lukanya berwarna hitam dan satu ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat, hari ke-11 terdapat dua ekor tikus yang lukanya berwarna hitam dan tiga ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat, hari ke-12 terdapat satu ekor tikus yang lukanya berwarna hitam dan empat ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat, hari ke13 sudah terdapat satu ekor tikus yang sembuh dengan sempurna dan empat ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat, hari ke-14 terdapat dua ekor tikus yang sembuh dengan sempurna dan 3 ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat, hari ke-15 terdapat tiga ekor tikus yang sudah sembuh dengan sempurna dan dua ekor tikus yang lukanya masih berwarna putih pucat. Pada kelompok kontrol positif hanya tiga ekor tikus yang sembuh dengan sempurna dan dua ekor yang lukanya masih berwarna putih pucat yang menandakan bahwa luka pada kedua ekor tikus tersebut belum dapat sembuh dengan sempurna, Kelompok perlakuan pada hari ke-1 luka masih berwarna sangat merah pada kelima ekor tikus, hari ke-2 terdapat empat ekor tikus dengan warna luka merah keputihan dan satu ekor tikus dengan warna luka merah muda, hari ke-3 terdapat empat ekor tikus yang memiliki warna luka merah keputihan dan satu ekor yang berwarna merah, hari ke-4 terdapat empat ekor tikus yang sudah mulai mengalami proses penyembuhan yang ditunjukan dengan warla luka yang sudah berwarna coklat kehitaman dan satu ekor yang lukanya masih berwarna merah keputihan, hari
37
ke-5 kelima ekor tikus lukanya sudah berwarna coklat kehitaman, hari ke-6 terdapat empat ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman dan satu ekor tikus yang lukanya berwarna hitam, hari ke-7 warna luka sama dengan warna luka pada hari ke-6, hari ke-8 terdapat empat ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman dan satu ekor yang warna lukanya berwarna putih pucat, hari ke-9 terdapat tiga ekor tikus yang lukanya berwarna coklat kehitaman dan dua ekor yang lukanya berwarna hitam, hari ke-10 terdapat tiga ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat, satu ekor yang lukanya berwarna coklat kehitaman, satu ekor yang lukanya berwarna hitam, hari ke-11 hingga hari ke-12 kelima ekor tikus lukanya berwarna putih pucat, hari ke-13 sudah terdapat tiga ekor tikus yang sudah sempuh dengan semprna dan dua ekor tikus yang lukanya berwarna putih pucat, hari ke-14 sudah terdapat empat ekor tikus yang sudah sembuh dengan sempurna dan satu ekor yang lukanya masih berwarna putih pucat, hari ke-15 semua tikus pada kelompok perlakuan sudah sembuh dengan sempurna. Jadi dapat disimpulkan dari pengamatan bahwa pada pemberian ekstrak daun tapak dara dapat mempercepat proses penyembuhan yang dibuktikan dengan perubahan warna yang sudah sama dengan warna kulit sekitar pada kelompok pemberian ekstrak daun tapak dara.
38
Tabel 4.1. Rata – rata pemulihan punggung tikus yang dilukai berdasarkan standar warna Keterangan
N 1
KontrolNegatif(K-) a. SangatMerah (1) b. Merah (2) c. MerahMuda (3) d. Merahkeputihan (4) e. CoklatHitam (5) f. Hitam (6) g. PutihPucat (7) h. Kulit Normal (8) Nilai total KontrolPositif (K +) a. SangatMerah (1) b. Merah (2) c. MerahMuda (3) d. Merahkeputihan (4) e. CoklatHitam (5) f. Hitam (6) g. PutihPucat (7) h. Kulit Normal (8) Nilai total Perlakuan (P) a. SangatMerah (1) b. Merah (2) c. MerahMuda (3) d. Merahkeputihan (4) e. CoklatHitam (5) f. Hitam (6) g. PutihPucat (7) h. Kulit Normal (8) Nilai total
2
3
4
5
6
5
4 1
2 3
1 3
1
7
Hari 8 9
10
11
12
13
14
1 3
4
3
2
1
1
1
2
2 1 32
3 1 34
4 1 36
3 2 37
2 3 38
1 4 39
5
1
4
5
4 1
4 1
5 5
10
11
13
5
5
5
16
23
25
26
26
26
27
29
5
5
5
2 2 1
2 3
2 2 1
2 3
1 4
5
5 5
15
15
15
25
25
25
29
28
29
33
34
1 4
5
4 1
4 1
4
3 2
1 1 3
5
5
32
35
35
5 1 1 4
4
1
5 5
19
18
39
24
25
26
26
27
27
Keterangan :
1. Sangat merah
(I)
2. Merah
(II)
3. Merah muda
(III)
4. Merah keputihan
(IV)
5. Coklat kehitaman
(V)
6. Hitam
(VI)
7. Putih pucat
(VII)
8. Kulit normal
(VIII)
45 40 35
a n r a 30 w i s a d 25 a r g e 20 d t a k 15 g n i T
Kontrol Negatif Kontrol Positif Perlakuan
10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Hari
Gambar 4.1. Grafik indikator rubor (kemerahan) dengan menggunakan kertas standar warna.
40
4.3. Pengamatan Proses Pembentukan Krusta
Berdasarkan Tabel 2 didapatkan bahwa proses pembentukan krusta. Pada kelompok perlakuaan terjadi lebih cepat yaitu pada hari ke-3 dimana dari lima pengulangan terdapat tiga ekor Rattus novergicus yang telah terbentuk krusta sedangkan 2 ekor lagi baru terbentuk krusta pada hari ke-4 dan krusta lepas pada hari ke-10 hal ini menandakan bahwa proses penyembuhan luka hampir sempurna. Pada kelompok kontrol positif pembentukan krusta terbentuk pada hari ke-3 dimana dari lima pengulangan terdapat satu ekor Rattus novergicus yang telah terbentuk krusta sedangkan 4 ekor lagi baru terbentuk pada hari ke-4 dan krusta lepas pada hari ke-12 hal ini menandakan bahwa proses penyembuhan luka hampir sempurna. Pada kelompok kontrol negatif krusta terbentuk pada hari ke-4 dimana dari lima pengulangan terdapat tiga ekor Rattus novergicus sedangkan 2 ekor lagi baru terbentuk krusta pada hari ke-5 dan krusta lepas pada hari ke-14 hal ini menandakan bahwa proses penyembuhan luka hampir sempurna. Jadi dapat disimpulakn bahwa pada kelompok perlakuaan proses pembentukan krusta hingga pelepasan krusta memiliki waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan kelompok perlakuaan yang lain. Hal ini terjadi karena pada kelompok perlakuan akan terjadi proses granulasi dan reepitelisasi yang cepat yang menyebabkan pembentukan keropeng (krusta) juga terjadi sangat cepat dimana proses ini dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak daun tapak dara (C. roseus) bersifat astrigen dan antimikroba.
Table 4.2. Hasil pengamatan (Proses PebentukanKrusta)
41
Keterangan
N
Hari 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
15
(K-)
5
0
0
0
3
5
5
5
5
5
5
4
3
2
1
0
(K +)
5
0
0
1
5
5
5
5
5
5
4
2
1
0
0
0
(P)
5
0
0
3
5
5
5
5
5
5
2
0
0
0
0
0
6
a t s u r 5 K t a p a 4 d r e T g 3 n a Y s 2 u k i T h 1 a l m u J 0
Kontrol Negatif(K-) Kontrol Positif (K +) Perlakuan (P)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Hari
Gambar 4.2. Grafik indikator proses pembentukan krusta
42
13
14
15
4.4. Pengamatan Proses Penutupan Luka (Diameter Luka)
Dari hasil pengamatan terhadap luas luka dalam kelompok perlakuan menunjukan proses penyembuhan luka yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang lain. Hal ini dapat dilihat pada hari ke-5 diameter luka pada kelompok perlakuan sudah mulai mengecil dibandingkan dengan kelompok perlakuaan yang lain, diameter pada kelompok perlakuan 0,76 cm lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif dimana diameter pada kelompok kontrol positif pada hari ke-5 adalah 0,84 cm dan diameter pada kelompok kontrol negatif 1 cm. Tabel 4.3. Hasil pengamatan diameter luka dalam centimeter (dalam rata-rata) n
X + Sn (Cm) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
(K-)
5
1
1
1
1
1
0.86
0.8
0.66
0.64
0.5
0.36
0.28
0.18
0.1
0
(K +)
5
1
1
1
1
0.84
0.74
0.66
0.56
0.44
0.3
0.18
0.06
0.04
0
0
(P)
5
1
1
1
1
0.76
0.68
0.62
0.54
0.46
0.26
0.08
0
0
0
0
Pada Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa pada kelompok perlakuan terjadi proses penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang lain. Dimana pada kelompok perlakuan sembuh secara total pada hari ke-12 sedangkan pada kelompok kontrol positif sembuh pada hari ke-13 dan pada kelompok kontrol negatif sembuh pada hari ke-14. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun tapak dara (C. roseus) dengan konsentrasi 12% dapat mempercepat proses penyembuhan luka dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (Betadine) dan kontrol negatif yang tidak di berikan perlakuaan apapun. Hal ini terjadi karena pada ekstrak daun tapak dara mengandung flavanoida yang merupakan salah satu komponen yang telah terbukti
43
berkhasiat mempercepat proses kesembuhan luka (Tsuchya dkk., 1996), sedangkan komponen lainnnya seperti triterpenoida juga telah terbukti mempunyai khasiat mempercepat proses kesembuhan luka (Scortichini dan Rossi, 1991). Khasiat kedua komponen diatas diketahui karena mempunyai sifat astrigen dan antimikroba. Komponen tersebut berperan dalam kontraksi luka serta mempercepat epitelisasi. Sehingga proses penutupan luka dapat berlangsung dengan cepat. Dimana pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ida, dkk.,2013 didapatkan hasil bahwa ekstrak daun tapak dara dapat memperpendek fase - fase pada penyembuhan luka hal ini di buktikan dari hasil pengamatan yang dilakukan, dimana pada pemberian ekstrak daun tapak dara dapat menekan terjadinya fase inflamasi yang berlebihan yang dibuktikan dengan tidak terjadinya proses pembengkakan (tumor) yang berlebihan, mempercepat fase proliferasi dimana proses yang dipengaruhi oleh ekstrak daun tapak dara ini adalah mempercepat proses reepitelisasi serta proses granulasi sehingga terbentuklah keropeng (krusta) yangterdiri dari plasma dan prodeni yang bercampur dengan sel-sel mati. Pada fase ini luka kelihatan seperti garis kuning yang menandakan sedang terjadi proses epitelisasi. Kalau terjadi kematian jaringan menunjukkan terjadi kesembuhan yang kurang baik. (Ida, dkk., 2013)
44
1.2
) m c ( r 1 e t e m i t 0.8 n e C m0.6 a l a d a k 0.4 u L r e t e 0.2 m a i D
Kontrol Negatif(K-) Kontrol Positif (K +) Perlakuan (P)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Hari
Gambar 4.3. Grafik indikator ukuran luka dalam diameter.
4.5. Pengaruh pemberian ekstrak daun tapak dara ( C. r oseus ) terhadap protein luka pada Rattus novergi cus
Elektforesis dilakukan dengan menggunakan protein standar yang dibuat oleh BIO RAD, Setelah dilakukan elektroforesis pada protein luka tikus masing-masing perlakuan dengan voltase konstan sebesar 220 V diperoleh gel yang dapat dilihat pada Gambar 4.4. berikut:
45
-
S
K 1
-
K 2
-
+
K 3
K 1
+
+
K 2
K 3
P1
P2
P3
114 KDa
73 KDa
47 KDa
Gambar 4.4 Gel Hasil Elektroforesis Keterangan : K 1 : Kontrol Negatif hari ke-3 K 2 : Kontrol Negatif hari ke-6 K 3 : Kontrol Negatif hari ke-9 + K 1 : Kontrol Positif hari ke-3 + K 2 : Kontrol Positif hari ke-6 + K 3 : Kontrol Positif hari ke-9 P1 : Perlakuan hari ke-3 P2 : Perlakuan hari ke-6 P3 : Perlakuan hari ke-9 Dari Gambar 4.4 terlihat bahwa terdapat satu pita yang jelas pada masing-masing sumur dan satu pita yang kurang terlihat jelas. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada protein luka masing-masing hewan kelompok. Hal ini menunjukkan pada -
-
-
+
+
+
masing-masing sampel protein luka yaitu K 1, K 2, K 3, K 1, K 2, K 3, P1, P2, dan P3 tidak terdapat -
-
perbedaan dalam berat molekulnya. Namun terlihat perbedaan antara K 1, P1 dan P3 dengan K 2, -
+
+
+
-
K 3, K 1, K 2, K 2, dan P2 dimana terdapat pita yang terlihat pada K 1, P1, dan P3 dan tidak -
-
+
+
+
terlihat pita pada K 2, K 3, K 1, K 2, K 2, dan P2. Untuk memperoleh berat molekul protein luka pada tikus dilakukan perhitungan yaitu dengan menentukan jarak dan Mr protein standar yang diperoleh seperti pada Tabel 4 berikut.
46
Tabel 4.4 Jarak dan Mr Protein Standar Jarak
Mr
4.8
114
12
73
21.6
47
28.8
34
43.2
17
Selanjutnya menentukan Rf dan anti log Mr protein standar menggunakan rumus:
Jarak pergerakan warna pelacak pada gel adalah 14 skala (jarak pergerakan diukur pada gambar dengan skala 1:2.4). Hasil perhitungan adalah seperti pada Tabel 5 berikut: Tabel 4.5. Hasil perhitungan Rf dan Log Mr Rf
Log Mr
0.1
2.057
0.25
1.863
0.45
1.672
0.6
1.531
0.9
1.230
Setelah diperoleh hasil maka dapat dilihat hubungkan Rf dan log Mr tersebut pada kurva linier. Kurva yang diperoleh adalah seperti pada Gambar 4.5 :
Kurva Kalibrasi untuk Estimasi Berat Molekul 2.500 2.000 r 1.500 M g o L 1.000
y = -1.0147x + 2.1376 R² = 0.9975
Series1 Linear (Series1)
0.500 0.000 0
0.2
0.4
47 Rf
0.6
0.8
1
y = -1.014x + 2.137 Gambar 4.5. Kurva Kalibrasi Untuk Estimasi Berat Molekul Setelah dilakukan perhitungan terhadap berat molekul (Mr) protein, diperoleh hasil seperti pada Tabel 4.6. Hasil perhitungan berat molekul (Mr) dapat dilihat pada Lampiran 18. Tabel 4.6. Berat molekul protein luka masing-masing sampel Perlakuan K 1 -
K 2 -
K 3 K 1 +
K 2 +
K 3 P1
P2 P3
Mr Protein Luka 137.088 KDa 96.583 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 96.583 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 76.472 KDa 137.088 KDa 96.583 KDa 76.472 KDa
Keterangan : -
K 1 K 2 K 3 + K 1 + K 2
: Kontrol Negatif hari ke-3 : Kontrol Negatif hari ke-6 : Kontrol Negatif hari ke-9 : Kontrol Positif hari ke-3 : Kontrol Positif hari ke-6 48
+
K 3 : Kontrol Positif hari ke-9 P1 : Perlakuan hari ke-3 P2 : Perlakuan hari ke-6 P3 : Perlakuan hari ke-9 Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa protein yang terdapat pada sampel luka masing-masing kelompok memiliki berat molekul yang relatif sama, namun terdapat perbedaan pita dimana pada -
-
-
+
+
K 1, P 1, dan P3 terdapat pita pada berat molekul 96.583 KDa, sedangkan pada K 2, K 3, K 1, K 2, +
K 2, dan P2 tidak terdapat pita . Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak C. roseus mempengaruhi terbentuknya protein dengan berat molekul 96.583 KDa
diluka pada Rattus
novergicus . Prinsip kerja protein ini (β-galactosidase) berkaitan erat dengan strukturnya yang unik, yang memungkinkan protein ini untuk berikatan dengan reseptor-reseptor spesifik yang terdapat dalam sel-sel makrofag. Sel makrofag merupakan sel utama pada sistem imun termasuk pada kulit. Sel tersebut menyerang serta menghancurkan bakteri, virus dan mikroorganisme yang masuk melalui stimulasi sistem imun tersebut. Selain itu bentuk komplek β-galactosidase reseptor selain meningkatkan aktivitas makrofag serta fungsi fagositnya, juga dapat menghasilkan sitokin [2,3]. Berdasarkan mekanisme aksinya β-galactosidase merupakan immunomodulator yang meningkatkan sistem imun, disamping aktivitas anti infeksi, anti tumor dan regenerasi sel. Namun pita yang dibentuk tidak begitu sempurna hal ini terjadi karena bahan luka yang berupa kulit dan otot yang susah untuk digerus sehingga sampelnya tidak tergerus sempurna (masih menyisakan jaringan kulit), sehingga berpengaruh pada proses pengambilan protein dimana protein yang dapat diambil sangat sedikit. Selain itu terdapat kekurangan yang lain yaitu tidak dilakukannya proses spektrofotometer sebelum melakukan elektroforesis sehingga tidak diketahui berapa konsentrasi protein yang dihasilkan tersebut.
49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.1.1
Ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) dapat mempercepat proses penyembuhan luka dimana luka sembuh 4 hari lebih cepat hal ini disebabkan karena ekstrak daun tapak darah mengandung astrigen dan antimikroba sehingga membuat luka tetap bersih selain itu juga ekstrak daun dapak dara mengandung flavonoid yang berfungsi mempercepat proses proliferasi sel.
5.1.2
Berdasarkan hasil penelitian ekstrak daun tapak darah (C. rosesus) dapat mempercepat proses penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dengan fovidone iodine.
5.1.3
Berdasarkan hasil penelitian didapat gambaran profile protein pada luka yang diberi ekstrak daun dapak dara yaitu pada berat molekul 137.088 KDa, 96.583 KDa, 76.472 KDa.
5.2 Saran
5.2.1
Perlu dilakukan pemeriksaaan spektrofotometer agar diketahui berapa konsenterasi protein yang ada pada sampel.
5.2.2
Dalam melakukan penggerusan bahan untuk elektroforesis sebaiknya menggunakan larutan pelisis sel agar bahan dapat tergerus denga n sempurna.
50
DAFTAR PUSTAKA
Ansel HC. Introduction to pharmaceutical dosage forms. Georgia: Lea and Febiger, 1995: 48995. Arief Hariana. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Swadaya. Black dan Hawks.2005. Medical - Surgical Nursing, Clinical Management For Positive th
Outcomes 7 Edition.Missouri:Elsevier Saunders Cross
S,
Robert
M.
Transdermal
drug
delivery.
(Internet).
Available
from:
www.chemelab.ucsd.edu/hydrogel/index.html. (30 Juli 2013) Dalimartha, S. 2002. Atlas Tumbuhan Indonesia. Jakarta : Trubus Agriwidya. Djuanda A. Pengobatan topikal dalam bidang dermatologi. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta, 1994. Fonzo EMD, Martini P. Mazzalenta, Totti L, Alvino S. Comparative effi cacy and tolerability of ketomousseR (ketoconazole foam 1%) and ketoconazole cream 2% in the treatment of Pityriasisversicolor: results of a prospective, multicentre, randomised study. Mycoses 2008;51:532-5. Fossum, T.W. 1997. Small Animal Surgery. Mosby New York. USA Hamzah M. Dermatoterapi. In: Hamza M, Aisah S , eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI, 2007: 342-52. Hasanah, N. M. H., Soesatyo, dan Mustofa. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Metanol Pasak Bumi ( Eurycoma longifolia Jack ) Pada Aktifitas Fagositosis Makrofag Peritoneal Mencit Terhadap Infeksi Listeriamonocytogenes. Jurnal Sains Kesehatan. 19 (3) : 255-270. Kamus Kedokteran Dorland. Koesoemawati H, Hartanto H, Salim IN, Setiawan L, Valleria, Suparman W, eds. 29th ed. Jakarta: EGC, 2002:1937. Lipsker D, Kragballe K, Fogh K, Saurat JH. Other topical medication. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology; 4th ed. London: Elsevier Limited, 2006:2056-67. Loh, KY. 2008. Know the medical herb: Catharanthus roseus (Vinca rosea). Malaysian Family Physician. 3(2):123 Milani M, Mofetta SAD, Gramazio R, Fiorella C, Frisario C, Fuzio E, Marzocca V, Zurilli M,
51
Turi GD, Felice G. Effi cacy of betamethasone valerat 0,1% thermophobic foam in seborrhoeic dermatitisof the scalp: An open label, multicentre, prospective trial on 180 patients. Curr Med Res Opin 2003;19:342-5. Nayak BS ; Vinutha B ; Greetha B ; Sudha B.2006. Experimental Evaluation of Pentas lanceolata for Wound Healing Activity in Rats.Fithotherapia. 76:671-675. Otberg N, Teichmann A, Rasuljev U, Sinkgraven R, Sterry W, Lademann J. Follicular penetration of topically applied caff ein via shampo formulation. Skin Pharmacol Physiol 2007;20:195-8. Prasetyo, B. 2009. Efektifitas Getah Jarak Cina ( Jatropha multifida L.) Terhadap Penyembuhan Luka Perdarahan Kapiler pada Marmut. Skripsi. Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. Perkasa, M. F. 2009. Bleeding in Surgery. http://med.unhas.ac.id (29 Maret 2013) Rosdahi&Kowalski.2008.Textbook of Basic Nursing .Philadelphia:Lippincot Schaefer H, Redelmeier TE, Ohynek GJ, Lademann J. Pharmacokinetics and topical aplication of drugs. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leff el DJ, Fitzpatrick, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill, 2008.2097-100. Sharma S. Topical drug delivery system: A review. Pharmaceut. Rev. 2008;6:1-29. Shin H, Kwon OS, Hyun C et al. Clinical effi cacies of topical agents for the treatment of seborrhoeic dermatitis of the scalp: A Comparative study. J Dermatol 2009;36:131 -7. Sjamsuhidajat, R., dan Wim de jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke – 2. Jakarta : EGC Strober BE, Washenik K, Shupack JL. Principles of topical therapy. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, eds. Dermatolog y in general medicine. 7th ed. New York:McGraw-Hill, 2008:2090-6. Thomas, S. 2001. An Introduction to The Use of Vacum Assisted Closure. World Wide Wound. Thomas, S. 1997. The Management of Extravasation Injury In Neonates. World Wide Wound. Walton,Robert L. 1990. Perawatan Luka dan Penderita Perlukaan Ganda, Alih bahasa. Sonny Samsudin, Cetakan I. Jakarta : EGC
52