Laporan Pendahuluan I. Konsep HIV/AIDS A. Definisi HIV/AIDS HIV/AIDS Acquired Immunodeficiency Immunodeficiency Syndrome Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita (Murtiastutik, 2008). B. Etiologi HIV/AIDS AIDS disebabkan disebabkan oleh oleh virus yang yang mempunyai mempunyai beberapa beberapa nama nama yaitu HTL HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) Virus (HIV) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T (Brunner & Suddarth, 1997 ; Price, Sylvia A, 2005) C. Klasifikasi HIV/AIDS Stadium HIV AIDS (Nursalam, 2007): 1. Stadium I: Tidak bergejala/asimptomatik, Limpadenopati generalisata 2. Stadium II: BB menurun < 10%. Kelainan kulit dan mukosa yg ringan, dermatitis seboroik, prurigo, ulkus oral yg rekuren. Herpes Zoster dalam 5 tahun terakhir. Infeksi saluran nafas atas yg berulang. 3. Stadium III : BB menurun > 10%. Diare kronis yg berlangsung > 1 bulan. Demam berkepanjangan > 1 bulan. Kandidiasis oral. Oral hairy lekoplakia. TB paru dalam tahun terakhir. Infeksi bakteri yang berat seperti pneumoni, piomisitis 4. Stadium IV : HIV wasting syndrome. Pneumonia Pneumocytis carinii. Toksoplasmosis otak. Retinitis CMV. TB di luar paru. Limfoma maligna. Encepalopati HIV. Mikosis dessiminata seperti histoplasmosis histoplasmosis
D. Penularan HIV/AIDS Penularan utama HIV dapat melalui beberapa cara yaitu melalui hubungan seksual, pemindahan darah atau produk darah, proses penyuntikan dengan alatalat yang yang terkontaminasi darah dari penderita HIV dan juga melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Sekali terinfeksi, maka orang tersebut akan tetap terinfeksi dan dapat menjadi infeksius bagi orang lain (Rook et al, 2005). 1. Penularan seksual Penularan
seksual
genitogenital
ini
ataupun
dapat
terjadi
anogenital
dengan
antara
hubungan
heteroseksual
seksual ataupun
homoseksual. Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif (Rook et al, 1998). 2. Transfusi darah HIV dapat ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan pada masa sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi (Rook et al, 1998) 3. Penyalahgunaan obat-obatan intravena Penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka (Rook et al, 1998). 4. Petugas kesehatan Menurut Murtiastutik (2008) petugas kesehatan sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan rata-rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun paparan perkutan lainnya
sebesar 0,32% (CI 95%) atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan, dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09% (CI 95%). 5. Maternofetal Hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir satu pertiga (20-50%) anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terinfeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal (Rook et al, 1998). 6. Pemberian ASI Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI kepada bayinya (Rook et al, 1998)
E. Manifestasi Klinis HIV/AIDS Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi HIV primer akut yang lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral (Nursalam, 2007). Ketika HIV menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi oportunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa,
infeksi
lain
termasuk
meningitis,
kandidiasis,
cytomegalovirus,
mikrobakterial, atipikal (Nursalam, 2007) 1. Infeksi HIV Akut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh. 2. Infeksi HIV tanpa gejala Diketahui oleh pemeriksa kadar HIV dalam darah akan diperoleh hasil positif.
3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan. Gejala yang muncul pada HIV AIDS (Nursalam, 2007): 1. Gejala mayor a. Berat badan menyusut hingga 10% atau lebih dalam waktu satu bulan, tanpa sebab yang spesifik. b. Diare berkepanjangan selama lebih dari satu bulan. c. Demam terus-menerus, baik konstan maupun hilang-timbul, selama sebulan lebih. 2. Gejala minor a. Batuk kering berkepanjangan. b. Serangan gatal pada permukaan kulit di seluruh tubuh. c. Herpes zoster, mirip cacar air, yang tampak pada kulit, dan tidak sembuhsembuh. d. Ruam pada mulut, lidah, dan tenggorokan. e. Kelenjar di leher, ketiak, atau selangkangan membengkak tanpa sebab. F. Pemeriksaan Diagnostik HIV/AIDS Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji virologi. 1. Diagnosis klinik Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan sistem stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat (Read, 2007). a. Keadaan umum : Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar, demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5 C) lebih dari satu bulan,
diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan, limfadenofati meluas. b. Kulit : Pruritic popular eruption dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV. c. Infeksi : Infeksi jamur : kandidosis oral, dermatitis seboroik, kandidosis vagina Infeksi viral : herpez zoster, herpes genetalia, moluskum kontagiosum, kondiloma Gangguan pernapasan : betuk lebih dari 1 bulan, sesak napas, TB, pneumonia, sinusitis kronis atau berulang. Gejala neurologis : nyeri kepala yang terus menerus dan tidak jelas penyebabnya, kejang demam, menurunya fungsi kognitif. 2. Pemeriksaan laboratorium : a. Uji imunologi : Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test ). Uji Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+, T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi. b. Deteksi antibody : Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assays ). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu
dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
Rapid test Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibody terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western blot Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Indirect Immunofluorescence Assays (IFA) Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen
sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
Penurunan sistem imun Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+, T limfosit, sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.
G. Terapi HIV/AIDS Apabila terinfeksi HIV, maka terapinya yaitu : 1. Pengendalian infeksi opurtunistik Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nosokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis. 2. Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan HIV positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3 3. Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : a. Didanosine b. Ribavirin c. Diedoxycytidine d. Recombinant CD 4 dapat larut 4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian
dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS. 5. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun. 6. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi HIV. H. Penatalaksaan HIV/AIDS pada Ibu Hamil dan Melahirkan a. Tatalaksanan prenatal : Sebelum konsepsi, wanita yang terinfeksi sebaiknya melakukan konseling dengan dokter spesialis. Program ini membantu pasien dalam menentukan terapi yang optimal dan penanganan obstetrik, seperti toksisitas ARV yang mungkin terjadi, diagnosis prenatal untuk kelainan kongenital (malformasi atau kelainan kromosomal) dan menentukan cara persalinan yang boleh dilakukan (Coll et al, 2006). Wanita yang terinfeksi disarankan untuk melakukan servikal sitologi rutin, menggunakan kondom saat berhubungan seksual, atau menunggu konsepsi sampai plasma viremia telah ditekan. Profilaksis terhadap PCP tidak diperlukan, tetapi infeksi oportunistik yang terjadi harus tetap diobati. Status awal yang harus dinilai pada ibu hamil dengan infeksi HIV adalah riwayat penyakit HIV berdasarkan status klinis, imunologis (jumlah CD4 <400/ml) dan virologis (viral load tinggi). Riwayat pengobatan, operasi, sosial, ginekologi dan obstetrik sebelumnya harus dilakukan pada kunjungan prenatal pertama. Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk membedakan proses penyakit HIV dengan perubahan fisik normal pada kehamilan (marrio T, 2010). b. Intervensi untuk mencegah progresifitas penyakit pada ibu hamil : Highly active anti-retroviral therapy (HAART) adalah kemoterapi antivirus yang disarankan oleh WHO untuk ibu hamil sebagai pengobatan utama HIV selama masa kehamilan dan postpartum. Selain memperbaiki kondisi maternal, HAART terbukti dapat mencegah transmisi perinatal yaitu dengan mengurangi replikasi virus dan menurunkan jumlah viral load maternal (Marino T, 2009 ; Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 2010).
Obat pilihan pertama yang boleh digunakan untuk ibu hamil adalah lamivudine (3TC) 150 mg dan zidovudine (ZDV) 250 mg untuk golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), nevirapine (NVP) 200 mg untuk golongan non-NRTIs (NNRTIs), indinavir 800 mg dan nelfinavir 750 mg untuk golongan protease inhibitors (PI) Obat-obatan ini terbukti memiliki potensi teratogenik dan efek samping maternal yang sanagt minimal. Sasaran terapi ARV pada kehamilan adalah untuk menjaga viral load dibawah 1000 kopi/ml. Kombinasi terapi ARV dianjurkan untuk semua kasus yaitu 2 NRTIs/NNRTIs dengan 1 PI. Berhubung ZDV merupakan satusatunya obat yang menunjukkan penurunan transmisi perinatal, obat ini harus digunakan kapan saja memungkinkan sebagai bagian dari HAART. Apabila viral load <10,000 kopi/mL, monoterapi ZDV 250 mg dapat diberikan secara oral 2x sehari, dimulai antara umur kehamilan 20 sampai 28 minggu. Jika wanita yang terinfeksi HIV ditemukan pada proses kelahiran, baik dengan status HIV positif sebelumnya atau dengan hasil rapid test, lebih dari satu pilihan pengobatan tersedia, tetapi semua harus termasuk infus ZDV (Minkoff, 2004, Zorilla CD, 2009, Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 2010) c. Intervensi untuk mencegah perinatal : Selain terapi ARV dan profilaksis, pemilihan susu formula dibandingkan ASI terbukti dapat menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak dari 15-25% sampai kurang dari 2%. Persalinan dengan elektif seksio sesaria ternyata juga dapat menurunkan transmisi perinatal. Persalinan ini dinilai dapat meminimalkan terpaparnya janin terhadapa darah maternal, akibat pecahnya selaput plasenta dan sekresi maternal, saat janin melewati jalan lahir. Indikasi persalinan dengan elktif seksio sesaria adalah wanita tanpa pengobatan antiviral, wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load >50kopi/mL, wanita yang hanya mengkonsumsi monoterapi ZDV, wanita dengan HIV positif dan koinfeksi virus hepatitis, termasuk HBV dan HCV (Gabble, 2002; Zorilla CD, 2009;. Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 2010, Chasela et al, 2010). d. Tatalaksana persalinan
Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan. Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Infus ZDV diberikan secara intravena selama persalinan elektif seksio sesaria dengan dosis 2 mg/kg selama 1 jam, diikuti dengan 1 mg/kg sepanjang proses kelahiran. Pada persalinan ini, infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya dan dilanjutkan sampai tali pusar sudar terjepit. National Guidelines menyarankan pemberian antibiotik peripartum pada saat persalinan untuk mencegah terjadinya infeksi (Minkoff, 2004; Marino T, 2009 ; Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 2010) Persalinan pervaginama yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Jika pasien ini tidak ingin melakukan persalinan lewat vagina, seksio sesaria harus dijadwalkan pada umur kehamilan 39+ minggu, untuk meminimalkan resiko transient tachypnea of the newborn (TTN). Pada persalinan pervaginam, amniotomi harus dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah lebih disarankan untuk janin karena insiden trauma fetal lebih kecil (Marino T, 2009 ; Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 2010). e. Tatalaksana postnatal : Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV (Gabble et al, 2005; Zorilla, 2002). Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi. Menurut penelitian yang dilakukan di Eropa, semua wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk mengkonsumsi kabergolin 1 mg oral dalam 24 jam setelah melahirkan, untuk menekan laktasi (Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 2010)
f.
Tatalaksana neonatus : Semua bayi harus diterapi dengan ARV <4jam setelah lahir. Kebanyakan bati diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten terhadap ZDV, obat alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV positif tanpa indikasi terapi ARV. Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV, seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati atau ibu dengan plasma viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama (Zorilla CD,2004)
II. Konsep Sectio Caesarea A. Definisi Sectio Caesarea Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono , 2005). Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1998). B. Jenis Jenis Sectio Caesarea 1. Sectio cesaria transperitonealis profunda Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah: a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak. b. Bahaya peritonitis tidak besar. c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna. 2. Sectio cacaria klasik atau section cecaria corporal Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan untuk
melakukan
section
cacaria
memanjang pada segmen atas uterus. 3. Sectio cacaria ekstra peritoneal
transperitonealis
profunda.
Insisi
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat. 4. Section cesaria Hysteroctomi Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:
Atonia uteri
Plasenta accrete
Myoma uteri
Infeksi intra uteri berat
C. Indikasi Sectio Caesarea Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi: 1. Indikasi Medis Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu : a. Power : Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga. b. Passanger : Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah). c. Passage : Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C. (Dewi Y, 2007) 2. Indikasi Ibu
a. Usia Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea. b. Tulang Panggul Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan. c. Persalinan sebelumnya dengan sectio caesarea Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan. d. Faktor hambatan jalan lahir adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas. e.
Kelainan
kontraksi
rahim
jika
kontraksi
rahim
lemah
dan
tidak
terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancer. f.
Ketuban Pecah Dini Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.
g. Rasa takut kesakitan, umumnya seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai
rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan “menggigit”. Kondisi tersebut karena keadaan ya ng pernah atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang berlangsung. (Kasdu, 2003). h. Partus dengan komplikas/ berisiko: Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria untuk meminimalkan resiko transient tachypnea of the newborn (TTN). 3. Indikasi Janin: a. Ancaman gawat janin (fetal distress) Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120- 160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah, lakukan segera sectio caesarea segara untuk menyelematkan janin. b. Bayi Besar (makrosemia) (Cendika, dkk. 2007) c. Letak sungsang letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi yang lain. d. Faktor Plasenta:
Plasenta previa: Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh jalan lahir.
Plasenta lepas (Solution placenta) Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding
rahim
sebelum
waktunya.
Persalinan
dengan
operasi
dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban.
Plasenta accrete Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali,
ibu berusia rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi
(operasinya
meninggalkan
bekas
yang
menyebabkan
menempelnya plasenta. e. Kelainan Tali Pusat
Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.
Terlilit tali pusat Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman.(Kasdu, 2003)
D. Kontraindikasi Sectio Caesarea Kontraindikasi merupakan suatu keadaan dimana SC tidak layak atau pun tidak boleh dilakukan, pada umumnya kontraindikasi SC bilamana terdapat keadaan seperti dibawah ini: 1. Bila pada pemeriksaan didapatkan janin yang dikandung telah mati. 2. Klien dalam keadaan syok. 3. Anemi berat yang belum diatasi. 4. Kelainan kongenital berat pada janin. E. Komplikasi Sectio Casearea Yang sering terjadi pada ibu SC adalah : 1. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi menjadi: a. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari b. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung c. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik 2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabangcabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri. 3. Komplikasikomplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru yang sangat jarang terjadi. 4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
5. Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal F. Penatalaksaan Sectio Caesarea: 1. Perawatan awal: a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit sampai sadar c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi d. Transfusi jika diperlukan e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah 2. Diet Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh. 3. Mobilisasi Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 10 jam setelah operasi b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya. d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler) e. Selanjutnya selama berturutturut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke3 sampai hari ke5 pasca operasi. 4. Fungsi GIT a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair b. Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik 5. Fungsi kantung kemih: a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah semalam b. Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih c. Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang sampai minimum 7 hari atau urin jernih. d. Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per oral per hari sampai kateter dilepas e. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita. 6. Pembalut dan perawatan luka : a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak jangan mengganti pembalut b. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk mengencangkan c. Ganti pembalut dengan cara steril d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih e. Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC 7. Jika masih terdapat perdarahan a. Lakukan masase uterus b. Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin 8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam selama 48 jam : a. Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam b. Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam c. Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam 9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
b. Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam c. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol d. Injeksi = penitidine 9075 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu 10. Obatobatan lain a. Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C 11. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan a. Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi b. Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma. c. Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang. d. Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis. e. Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi f.
Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
g. Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan intra abdomen h. pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi
kemungkinan
terjadi
gangguan
ventilasi
yang
mungkin
disebabkan karena pengaruh obatobatan, anestetik, narkotik dan karena
tekanan
diafragma.
Selain
itu
juga
penting
untuk
mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 1015 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali. i.
Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenyamanan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan kegiatan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
j.
Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan
k.
Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.
l.
Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan kateter fole.
abdomen,
Persetujuan
ditandatangani.
Pemasangan
Daftar Pustaka Gabbe SG, Nielbyl JR, Simpson JL. Maternal and Perinatal Infection. Dalam: Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Edisi ke-4. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2002; h.1320-25. Department of HIV/AIDS, Department of Reproductive Health and Research. Antiretroviral Drugs For Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants. Dalam: Guidelines on Care, Treatment and Support for Women Living With HIV/AIDS and Their Children in Resource-Constrained Settings. Geneva: WHO. 2004; h. 1-41. Minkoff HL. Human Immunodeficiency Virus. Dalam: Creasy RK, Resnik R, Iams JD, penyunting. Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2004; h. 803-14. Zorilla CD, Tamayo-Agrait V. Pharmacologic and Non-Pharmacologic Options for The Management of HIV Infection During Pregnancy. HIV/AIDS Research and Palliative Care in Review. 2009;1:41-53. Marino T. HIV in Pregnancy. Emedicine, 2010. Green-top Guideline No.39. Management of HIV in Pregnancy. Royal College of Obstetricians and Gynecologists. 2010; h. 1-28. Coll O, Suy A, Hernandez S, Pisa S, Lonca M, Thorne C, Borrell A. Prenatal Diagnosis in HIV-Infected Women: A New Screening Program For Chromosomal Anomalies. American Journal of Obstetricians and Gynecologists. 2006;194:192 Chasela CS, Hudgens MG, Jaimeson DJ, Kayira D, etc. Maternal or Infant Antiretroviral Drugs to Reduce HIV-1 Transmission. N Engl J Med. 2010;362:2271-81. Nursalam.Asuhan Keperawatan pada Pasien terinfeksi HIV/AIDS.Jakarta: Salemba Medika.2007. Brunner & Suddarth. Jakarta.:EGC.1997
Buku
Ajar
Keperawatan
Mdikal
Bedah.
Edisi
8.
Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4.. Jakarta: EGC. 2005. Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mansjoer, A. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, Jakarta : EGC Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Muchtar. 2005. Obstetri patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta : moca Media Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 20052006. Jakarta: Prima Medika Saifuddin, AB. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka