1
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I.
Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN
1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain:
Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan
Hukum acara peradilan administrasi negara
Hukum acara peradilan administrasi
Hukum acara pengadilan dalam lingkungan peradilan administrasi
Hukum acara TUN adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak satu dengan yang lainnya untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum TUN. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan: “Hukum acara TUN mengatur tentang cara-cara bersengketa di peradilan TUN serta mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan
dengan
proses
penyelesaian
sengketa
tersebut.”(Rozali
Abdullah) 2. Prinsip / asas yang terdapat dalam hukum acara TUN: 1. Setiap tindakan pemerintah dianggap hal/perbuatan menurut hukum (Asas Praduga Rechtmatigheid) 2. Gugatan
dalam
perkara
TUN
pada
prinsipnya
tidak
menunda
pelaksanaan keputusan TUN, (kecuali: adanya kepentingan yang sangat mendesak...lihat pasal 49) 3. Hakim lebih aktif dalam hukum acara TUN jika dibandingkan dengan hukum acara perdata, dalam hukum acara TUN dikenal pemeriksaan (rapat permusyawaratan / dismissel dan pemeriksaan persiapan) 4. Dalam proses persidangan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat & biaya ringan.
2 5. Di dalam persidangan perkara TUN, sifatnya terbuka untuk umum (pasal 70 UU TUN), kecuali perkara yang menyangkut masalah ketertiban umum atau keselamatan negara (pasal 70 ayat 2). 6. Di dalam hukum acara TUN mengenal asas objektivitas dalam rangka untuk mencapai putusan yang seadil-adilnya. Oleh karena itu, bagi hakim/panitera wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan para pihak.
3. Kompetensi peradilan TUN Mahkamah Agung Peradilan Umum
Pengadilan Negeri
(UU no 2/1986 jo
Pengadilan Tinggi
UU no 8/2004)
Mahkamah
Agung
Peradilan Agama
Pengadilan Agama
(UU no 7/1989 jo
Pengadilan Tinggi
UU no 3/2006)
Mahkamah Agung
Agama
Peradilan TUN (UU no 5/1986 jo UU no 9/2004)
Pengadilan TUN Pengadilan Tinggi TUN Mahkamah
Agung
Peradilan Militer
Pengadilan TUN
3 (UU no 31/1997)
pengadilan Tinggi TUN Mahkamah Agung
II. Persamaan & perbedaan antar hukum acara perdata dengan hukum acara TUN, yang mencakup: 1. Tentang objek gugatan Hukum acara TUN: objek gugatan adalah keputusan TUN / KTUN (pasal 1 angka 3 jo pasal 3), Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (pasal 1 angka 3). Hukum acara perdata: tidak dibatasi objek yang menjadi gugatan perdata. 2. Penggugat & tergugat Hukum acara TUN: penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan tergugat adalah pejabat TUN / badan TUN
(pejabat / badan yang melaksanakan fungsi pemerintahan). Hukum acara perdata: penggugat adalah setiap orang / badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan, sedangkan yang menjadi tergugat dalam hukum acara perdata tidak dibatasi. 3. Tenggang waktu gugatan Hukum acara TUN: menurut pasal 55, gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya, sejak diumumkan, atau sejak diketahui(SEMA no. 2 tahun 1991 angka V) Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 4. Di dalam gugatan TUN ada tiga tuntutan:
4 1. Membatalkan/menyatakan tidak sah KTUN 2. Masalah ganti rugi 3. Masalah rehabilitasi 5. Di dalam gugatan TUN ada dikenal rapat permusyawaratan (proses dismissel),
pemeriksaan
persiapan,
pemeriksaan
biasa,
dan
pemeriksaan cepat. 6. Di dalam hukum acara TUN tidak dikenal verstek, sedangkan dalam hukum
acara
perdata
dikenal
verstek
(putusan
yang
diambil
Pengadilan negeri meskipun tergugat sama sekali tidak hadir). 7. Dalam hukum acara TUN tidak mengenal gugatan rekonvensi / gugat balik (Pasal 132 a, b HIR / pasal 157,158 RBG). 8. Dalam hukum acra TUN dikenal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 98, 99) juga dikenal dengan acara singkat (pasal 62 ay 4) dan acara biasa (pasal 68). 9. Dalam hukum acara TUN tidak dikenal sita jaminan (walaupun dalam perkara-perkara
tertentu
adanya
penetapan
penangguhan
pelaksanaan dari KTUN). 10.Dalam
hukum
acara
TUN
tidak
dikenal
putusan
serta
merta
/vitvoorbaar bij voorraad (pasal 180 HIR / 191 RBG) 11.Dakam hukum acara TUN mengenal hakim ad-hoc (hakim khusus yang sesuai bidang keahliannya) diatur dalam pasal 135 UU PTUN.
III. Gugatan / cara membuat gugatan, yang mencakup :
1. Alasan-alasan mengajukan gugatan (pasal 53 ay 2 a,b UU PTUN) yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5 b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
2. Syarat-syarat gugatan (pasal 56 UU PTUN) yaitu : (1) Gugatan harus memuat: a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya; b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan. (2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. (3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat.
3. Tuntutan di dalam gugatan TUN(pasal 53 ay 1)
Menyatakan
batal
atau
tidak
sah
KTUN
no….tamggal….tentang….
Dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi (pasal 120)
Dengan atau tanpa disertai tuntutan direhabilitasi (pasal 121)
IV. Acara pemeriksaan di PTUN, mencakup: Sebelum
sidang
permusyawaratan
dilaksanakan, memutuskan
hakim dengan
ketua suatu
dalam
penetapan
rapat yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
6 a.
pokok
gugatan
tersebut
nyata-nyata
tidak
termasuk
dalam
wewenang Pengadilan; b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh
penggugat
sekalipun
ia
telah
diberi
tahu
dan
diperingatkan; c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat; e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Apabila
gugatan
dapat
diterima
maka
gugatan
diteruskan
ke
pemeriksaan persiapan (pasal 63), lalu ke pemeriksaan biasa. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat.
1. Pemeriksaan dengan acara singkat , diatur oleh pasal 62 ay 4: “Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.” 2. Pemeriksaan dengan acara cepat diatur oleh pasal 98, 99: Pasal 98 (1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. (2) Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan
penetapan
tentang
dikabulkan
atau
tidak
dikabulkannya permohonan tersebut. (3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum. Pasal 99
7 (1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa
melalui
prosedur
pemeriksaan
persiapan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal63. (3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
3. Pemeriksaan dengan acara biasa diatur oleh pasal 68-97:
Pasal 68: pemeriksaan dengan acara biasa diperiksa dan diputus oleh tiga orang hakim, dipimpin oleh hakim ketua sidang dan dilaksanakan pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
Pasal 75: penggugat dan / atau tergugat dapat mengubah gugatan / jawaban sampai pada tahap replik / duplik, asal disertai
alasan
yang
cukup
serta
tidak
merugikan
kepentingan tergugat / penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh hakim.
Pasal 76: penggugat dapat mencabut gugatan sebelum tergugat memberi jawaban. Apabila sudah ada jawaban maka harus ada persetujuan tergugat.
Pasal
77:
dalam
jawab
menjawab
tergugat
maupun
penggugat dapat mengajukan eksepsi. Eksepsi perdata berbeda dengan TUN secara teoritis. Macam-macam eksepsi dalam TUN diatur oleh pasal 77 yaitu: ay(1) Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun
8 tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pangadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. Ay (2) Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. Ay (3) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.
Pasal
83:
dalam
persidangan
TUN
mengenal
adanya
intervensi yaitu masuknya pihak ketiga ke proses sengketa yang sedang berjalan. Bagi pihak ketiga yang ingin intervensi maka harus
mengajukan
permohonan
ke
majelis
hakim
yang
mengadili sengketa tersebut. Intervensi dalam persidangan TUN, pihak ketiga memihak pada BPN (tergugat), yang disebut dengan tergugat II intervensi. Tergugat II intervensi juga wajib mengajukan gugatan yang berisi identitas, posita dan petitum.
A (penggugat)
B
(tergugat) (tidak ada intervensi)
A (penggugat)
B
(tergugat I)
MENJAWAB
X Pasal 83
(tergugat II intervensi)
9 (1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai : a. pihak yang membela haknya; atau b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang. (3)
Permohonan
banding
terhadap
putusan
Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa. Dalam hukum acara TUN ada tiga bentuk intervensi: 1) Voeging, yaitu masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara TUN yang sedang berjalan di mana pihak ketiga tersebut “memela kepantingan” salah satu pihak, baik pihak penggugat maupun pihak tergugat. 2) Tussenkomst, yaitu campur tangan pihak ketiga dalam suatu perkara TUN yang sedang berjalan di mana pihak ketiga yang masuk dalam proses perkara tidak membela kepentingan penggugat maupun tergugat tetapi pihak ketiga tersebut membela kepentingannya sendiri. 3) Vrijwaring, yaitu ikut campurnya pihak ketiga dalam suatu
perkara
perdata
yang
sedang
berjalan
disebabkan karena ditariknya atau dikehendaki oleh pihak tergugat agar pihak tergugat dibebaskan dalam perkara tersebut.
V. Tentang pembuktian
10
1. Alat-alat bukti (pasal 100) Alat bukti ialah: a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c. keterangan saksi; d. pengakuan para pihak; e. pengetahuan Hakim.
Ad a. surat atau tulisan (pasal 101), yaitu surat sebagai alat bukti terdiri
dari
tiga
jenis:
a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut peraturan perundangundangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; b.
akta
di
bawah
tangan,
yaitu
surat
yang
dibuat
dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; c. surat-surat lainnya yang bukan akta. Ad b. keterangan ahli (pasal 102, 103), yaitu pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Ad c. keterangan saksi (pasal 104), yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri. Pengaturan seorang saksi diatur dalam pasal 86-94. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah (pasal 88):
11 a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa; b. isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai; c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun; d. orang sakit ingatan.
Ad d. pengakuan para pihak (pasal 105). Pengakuan adalah pernyataan sepihak dan tidak perlu persetujuan dari pihak lain. Oleh kaarena itu, pengakuan mengandung arti: suatu keterangan yang membenarkan suatu peristiwa, sesuatu hak atau suatu hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Di dalam ketentuan hukum pembuktian, pengakuan dapat diberikan di muka persidangan oleh para pihak yang berperkara / kuasanya. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim. Ad e. pengetahuan Hakim (pasal 106) adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.karena TUN menganut teori pembuktian “negatif wettelijk bewijs theori” maka keyakinan hakim harus dituangkan / dimuat dalam putusan pengadilan.
2. Beban pembuktian (pasal 107) Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian
pembuktian,
dan
untuk
sahnya
pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
VI. Putusan & pelaksanaan pengadilan
12
1. Pengertian putusan (pasal 108) Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, maka atas perintah hakim ketua sidang salinan putusan itu disampaikan melalui surat tercatat kepada yang bersangkutan.
2. Isi putusan (pasal 109) Putusan Pengadilan harus memuat : a. Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa; c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas; d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
3. Pelaksanaan putusan pengadilan (pasal 115-119) Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah
13 Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu empat belas hari. Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya yaitu
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka Keputusan
Tata
Usaha
Negara
yang
disengketakan
itu
tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
VII.
Upaya-upaya hukum
1. Perlawanan(pasal 62 ay 3, 4, 5, 6) Terhadap suatu putusan pengadilan dapat dilakukan perlawanan yaitu verzet terhadap pengadilan yang memutuskan perkara TUN idak dapat diterima atau tidak berdasar. Tenggang waktu melakukan perlawanan adalah empat belas hari sejak putusan diucapkan /sejak diberitahukan. Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
2. Banding (pasal 122-130) Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan
banding
oleh
penggugat
atau
tergugat
kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.
3. Kasasi (pasal 131) Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Acara pemeriksaan
14 kasasi dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
4. Peninjauan kembali (pasal 132) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat
diajukan
permohonan
peninjauan
kembali
kepada
Mahkamah Agung. Acara pemeriksaan peninjauan kembali dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004.