Identitas Arsitektur Nusantara Dalam diskusi di grup Whatsapp IPLBI, Profesor Josef Prijotomo menyampaikan secara singkat butir-butir yang perlu untuk dipahami mengenai Arsitektur Nusantara. Butir-butir tersebut berupaya saya interpretasikan menjadi sebuah tulisan, sebagai pertimbangan bagaimana pola pikir (mindset) mengenai Arsitektur Nusantara terhadap pola pikir yang yang tidak berlandaskan Arsitektur Nusantara. Memang dalam penginterpretasian ini terjadi sebuah perubahan pemahaman besar terhadap pengertian arsitektur yang dalam pendidikan arsitektur di Indonesia sampai dengan saat ini selalu mengunggulkan arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian dan menganak-tirikan arsitektur lokal di Indonesia/Nusantara. Sebelum membahas butir-butir yang dikemukakan Profesor J osef Prijotomo, terlebih dahulu perlu diinterpretasikan untuk memahami mengapa menyebut menyebut Arsitektur Nusantara dan bukan Arsitektur Indonesia. Indonesia adalah nama negara yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan luas wilayah yang persis sama dengan luas wila yah jajahan Hindia Belanda. Garis batas yang membelah bagian Utara Pulau kalimantan antara wilayah negara Reublik Reublik Indonesia dengan wilayah negara Malaysia merupakan batas untuk mempertegas wilayah jajahan Hindia Belanda di Indonesia dengan wilayah jajahan Inggris yang yang saat ini menjadi wilayah Negara Malaysia. Dengan garis batas tersebut, tidak kemudian kemudian menjadikan arsitektur tradisional di wilayah yang dekat di Utara perbatasan menjadi berbeda dengan arsitektur tradisional di wilayah yang dekat di Selatan perbatasan. Sehingga sebutan sebagai arsitektur Indonesia dengan arsitektur Malaysia menjadi membingungkan. Arsitektur berkaitan dengan budaya, jika sebagian budaya Malaysia di utara pulau kalimantan kemudian sama dengan budaya Indonesia di Kalimantan Utara, maka hal tersebut tidak terpengaruh dengan kekuasaan politis sebuah wilayah negara. Misalnya jika arsitektur vernakular di Pulau Sebatik itu memiliki identitas tertentu, maka Pulau Sebatik sisi Utara yang merupakan bagian dari wilayah Malaysia dengan Pulau Sebatik di sisi Selat an yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia akan memiliki arsitektur vernakular yang tidak berbeda. Jika menggunakan istilah Arsitektur Nusantara, maka tidak lagi lagi dipikirkan wilayah negara, tetapi wilayah budaya, sehingga arsitektur vernakular di pulau sebatik sisi Utara maupun sisi Selatan tetap jelas teridentifikasi sebagai bagian dari Arsitektur Nusantara. Sama sekali istilah Arsitektur Nusantara tidak dimaksudkan untuk melakukan klaim apapun terhadap urusan negara, justru sebaliknya Arsitektur Nusantara bisa mendekatkan negara yang berbeda untuk tetap menjaga persaudaraan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang sama. Kembali kepada butir-butir Arsitektur Nusantara yang dituliskan Profesor Josef Prijotomo, diawali dengan ajakan untuk memahami pernyataan seorang sejarawan bidang arsitektur bernama Nikolaus Prevsner terhadap kasus gedung Lincoln Lincoln Chatedral. Dalam bukunya berjudul “An Outline of European European Architecture” yang diterbitkan tahun 1943, Nikolaus Nikolaus Prevsner menuliskan bahwa sebuah gudang sepeda adalah sebentuk bangunan, sedangkan Lincoln Chatedral adalah sebuah bagian dari Arsitektur. Pada intinya banyak bangunan yang ada di sekitar kita, namun jika tidak didesain dengan mempertimbangkan estetika, maka bangunan tersebut tetap menjadi sebuah bangunan bangunan saja, tidak bisa disebut sebagai sebuah karya arsitektur. Jika ditarik ke masa kini, ke wilayah kita sendiri, mungkin kita bisa mempertimbangkan apakah sebuah ruko yang didesain dengan bia ya semurah mungkin agar laku dijual akan memiliki nilai arsitektur yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebuah bangunan vernakular yang tidak didesain oleh seorang arsitek akademis. Pola pikir untuk
menganak-tirikan arsitektur tradisional dalam pendidikan arsitektur di Indonesia le bih mengutamakan untuk menghargai bangunan ruko di pinggiran kota besar dibandingkan dengan desain rumah tradisional/vernakular seperti yang ada di Pulau Sebatik. Bangunan ruko di pinggiran kota besar dirancang berdasarkan ilmu Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian yang telah diajarkan di institusi/universitas, sedangkan rumah vernakular di Pulau Sebatik tidak dirancang dengan metoda desain yang dipaparkan di buku-buku pendidikan arsitektur, dan tidak dibangun pula oleh seorang arsitek. Hal seperti ini perlu menjadi perhatian bersama berkaitan dengan pola pikir Arsitektur Nusantara, untuk menata kembali pola pikir yang sudah ada di benak kita agar bisa lebih bijak dan lebih benar dalam berarsitektur. Selanjutnya Profesor Josef Prijotomo mengajak untuk memahami istilah yang dipergunakan oleh Amos Rapoport mengenai ‘Grand Design’. Dalam bukunya berjudul ‘House Form and Culture’ (1969) Amos Rapoport menuliskan pembedaan antara ‘Grand Design’ dengan ‘Folk Design’. Selanjutnya di buku berjudul ‘Human Aspects of Urban Form’ (1977) Amos Rapoport mengulas mengenai ‘Traditional Design’. Sampai seberapa jauh kita menganak tirikan arsitektur tradisional/vernakular sebagai ‘ bukan Grand Design’ sehingga tidak menjadikannya sebagai sumber filsafat dan sains untuk berarsitektur di masa kini, padahal arsitektur tradisional/vernakular lahir dan beradaptasi di bumi pertiwi dalam proses desain yang tidak harus akademis hingga mengalami perubahan bentuk serta penyempurnaan selama ratusan tahun hingga cocok atau tidaknya dipergunakan untuk berkehidupan dan bermasyarakat. Buku-buku sejarah arsitektur yang diajarkan di institusi atau universitas menjelaskan sejarah perkembangan arsitektur dari bangunan di Yunani/Romawi sampai kemudian menjadi bangunan Gothic, lalu Art Deco sampai pada era modern dan dilanjutkan era Post Modern/Late Modern. sejarah perkembangan arsitektur yang terjadi di negara kita padahal tidak sama dengan sejarah yang kita pahami dalam pendidikan arsitektur tersebut. Sejarah perkembangan arsitektur di Nusantara dari bangunan era keraja an Hindu/Budha, kemudian pada era Penjajahan Belanda, sampai dengan Era Kemerdekaan, dan pada saat ini di Era Pembangunan menjadi lepas dari pengamatan kita. Kita perlu memikirkan apakah pembangunan yang dilakukan untuk Candi Borobudur tidak memiliki kesetaraan dengan Arsitektur Klasik yang ada di Yunani/Romawi. Langgamlanggam yang terdapat pada Arsitektur Klasik berupa kolom tipe Ionic, Doria dan Corinthian dipergunakan terus menerus di Eropa secara turun temurun sampai ratusan tahun. Di si si lain penggunaan gapura bentar, gapura paduraksa, komposisi antara kala dan makara juga terpakai dari candi borobudur abad ke 8 di masa Medang Kamulan juga turun temurun terpakai sampai pada bentuk di Candi Penataran pada abad ke 14 di masa Majapahit. Sepertinya memang arsitektur klasik dari Yunani yang kemudian terpakai di Eropa memiliki kesetaraan dengan arsitektur di masa Kerajaan Hindu Budha, hanya saja ketika Portugis mulai datang ke Nusantara, dilanjutkan dengan Belanda, maka langgam Arsitektur Klasik dari Eropa ini dibawa pula dan ditanamkan di bumi pertiwi sampai sekarang. Langgam mengenai gapura bentar, gapura paduraksa dan kala serta makara menjadi b erhenti dan berganti dengan langgam Arsitektur Klasik dari Eropa tersebut di negara kita. Pemikiran mengenai Arsitektur Nusantara membawa kita untuk menelaah bangunan bangunan batu (termasuk bata) dan kayu sebelum abad ke 17, sebelum kedatangan bangsa Eropa menjajah Nusantara. Jika kita menganggap bangunan-bangunan tersebut sebagai Arsitektur Nusantara, maka kita akan memikirkan beragam filsafat dan sains dari desain arsitektur pada bangunan tersebut. Akan tetapi jika kita menganggapnya sebagai bangunan tradisional/vernakular saja, maka kita akan berhenti dan memandangnya sebagai peninggalan arkeologi saja. Kita hanya akan mengulasnya secara antropologi sebagai produk budaya yang
hanya ditiru dan disesuaikan tanpa didesain. Apalagi jika pemikiran kita mengenai desain arsitektur itu terpaku pada teori desain arsitektur di pendidikan pada institusi/universitas, maka kita tidak akan bisa menelaah teori desain yang dilakukan oleh arsitek bernama Gunadharma saat mendesain candi Borobudur. Kita akan melupakan undagi-undagi di Bali yang mendesain Pura Tanah Lot dan melihatnya bukan sebagai arsitek, tetapi tukang atau kepala tukang saja yang tidak mendesain dan hanya melanjutkan tradisi meniru bangunan sebelumnya. Kita menjadi kehilangan ilmu bagaimana filsafat dan sains dari Pura Tanah Lot, apalagi jika dibandingkan dengan Pura Uluwatu atau Pura Besakih. Sungguh hal yang sulit menjelaskan perbedaan antara pola pikir Arsitektur Nusantara dengan pola pikir Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian jika kita tidak pernah membuka pemahaman bahwa kita memiliki sejarah yang berbeda. Apalagi ilmu Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian itulah yang telah menjadi dasar dari kita dalam berpikir arsitektur karena hal itu yang diajarkan di pendidikan arsitektur kita. Jelas-jelas bahwa bangunan Rumah Bolon yang ada di Batak tidak didesain dengan dasar Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian masih terpakai dan terbangun sampai sekarang, walaupun di sisi lain arsitektur yang ada di perkotaan sudah sama sekali tidak melanjutkan tradisi dan tetap menggunakan dasar berarsit ektur dari ilmu Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian. Akan perlu banyak penelitian untuk membukukan tradisi lisan dalam berarsitektur dari para undagi, para kalang, para kepala tukang arsitektur tradisional agar bisa merumuskan Arsitektur Nusantara. Penulisan yang ditujukan sebagai dasar dari metoda desain arsitektur yang berlandaskan filsafat dan sains, bukan penulisan antropologi yang akan membuatnya berhenti sebagai produk budaya saja. Saat melihat rumah panggung tradisional jangan hanya berpikir hal tersebut dibuat meniru rumah tradisional lain, tetapi perlu dipikirkan bahwa hal tersebut adalah desain yang dipertimbangkan untuk menghindari binatang buas yang berjalan di tanah. Atau lebih mendalam lagi bisa dihitung dan diukur bagaimana rumah panggung tersebut sengaja di desain untuk mengantisipasi kelembaban udara. Selanjutnya bisa ada penelitian yang mempertimbangkan kearifan efektifitas penggunaan bahan serta kekuatan konstruksi hingga tidak lagi digunakan bangunan panggung tetapi menggunakan bangunan dengan bebatur yang tinggi. Contohcontoh ini adalah desain arsitektur yang mempertimbangkan filsafat dan sa ins, bukan hanya tradisi yang melanjutkan untuk meniru bangunan yang sudah ada saja. Jika kita mau mempertimbangkan lagi, bisa dibedakan antara penggunaan kuda-kuda dari bangunan yang dibuat berdasarkan ilmu konstruksi Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian dengan bangunan tradisional Nusantara yang tanpa kuda-kuda. Atap bangunan tradisional Nusantara lebih menyerupai konstruksi tenda yang disangga tiang agar berdiri. Tenda tersebut diisi dengan susunan atap berupa genting atau sirap kayu. Kita bisa mengamati pada bangunan tradisional Bali bahwa rerangka atap bukanlah bidang yang lemah dari rangkaian usuk/reng hingga perlu ditopang kuda-kuda melalui gording/blandar. Bahkan tanpa gording/blandar maka atap bangunan bali dibuat dengan usuk/reng yang disusun sedemikian rapat sehingga menjadi bidang yang kuat. Lebih mendalam lagi kita bisa mengamati bagaimana bangunan tradisional dengan desain yang dipikirkan sejak awal bangunan tersebut dibuat sudah ada upaya untuk mengantisipasi gempa. Mengantisipasi bukan dengan melawannya, tetapi dengan mengikutinya sehingga sambungan-sambungan bangunan juga bersifat fleksibel. Sambungan yang tidak rapat tetapi longgar, sambungan dengan konstruksi e ngsel dan bukan konstruksi portal. Demikian banyak yang bisa dituli skan, dirumuskan dan dijadikan dasar sebagai ilmu desain Arsitektur Nusantara. Kearifan lokal yang ditinjau dari segi budaya di mana para kepala tukang arsitektur tradisional hanya meniru bangunan yang sudah ada tentu akan membuat keserupaan
bangunan saja. Akan tetapi kenyataannya bangunan tradisional tersebut jika diamati lebih dalam sebenarnya tidak benar-benar serupa. Ketidak serupaan tersebut bukan hanya terjadi apa adanya, tetapi dibuat dengan berbagai pemikiran. Sampai pada hal yang paling detail mengenai ornamentasi, contohnya dekorasi dan warna dari rumah Gorga di Batak saja ke bhineka-rupa-an tersebut terjadi disesuaikan dengan karakter dari penghuninya. Penyesuaian karakter ukiran dan warna tersebut bukan hanya dengan pertimbangan estetika atau selera penghuni saja, tetapi lebih mendalam disesuaikan dengan aspek keyakinan mengenai ukiran magis dan warnanya agar penghuni bisa nyenyak tidur dan berkehidupan yang lebih baik. kita perlu memahami betapa sulitnya mengembangkan Arsitektur Nusantara karena beragam anggapan-anggapan yang timbul. Anggapan bahwa arsitektur nusantara sa ma dengan arsitektur tradisional/vernakular di Nusantara membuat kita bertanya-tanya hal baru apa yang kita dapat dari Arsitektur Nusantara, toh hal tersebut sudah berlangsung di masa lalu dan berganti dengan arsitektur modern yang lebih sesuai dengan kehidupan kita sekarang. Anggapan bahwa mengusung Arsitektur Nusantara hanyalah romantisme masa lalu yang ingin kita hadirkan di masa kini saja, tanpa kita mau mempertimbangkan bahwa desain dengan mindset Arsitektur Nusantara yang akan membuat kita sebanding dengan Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian. Sebanding di sini dimaksudkan untuk menjajarkan apa yang telah kita miliki dari para leluhur Nusantara dengan apa yang telah dimiliki dari para pemikir Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian. Keinginan untuk menjajarkan bukan berarti menolak Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian¸ tetapi lebih cenderung merupakan upaya untuk memikirkan kembali, memfilter, sampai dengan mengakulturasikan antara Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian dengan Arsitektur Lokal di Nusantara. Memang perlu dicari alasan yang lebih baik mengenai perlunya Arsitektur Nusantara ini dianalisa dan dipahami, jika tidak ada alasan yang lebih baik maka Arsitektur Nusantara ini hanya akan menjadi wacana yang tidak penting untuk diajarkan dalam pendidikan arsitektur di Negara Kita. Akan tetapi jika kita masih mau menjaga harga diri sebagai bangsa yang juga sudah memiliki filsa fat dan sains yang tinggi dalam bidang arsitektur, maka Arsitektur Nusantara akan menjadi wahana yang tepat sebagai ajang penelitian dan perintisan karir dalam bidang arsitektur.