A. Arti Ilmu Ukur Kayu Ilmu ukur kayu disebut juga ilmu ukur hutan. Henri S.Groves (1960) mengartikan ilmu ukur hutan sebagai suatu ilmu yang mempelajari volume kayu (log), pohon dan tegakan serta mempelajari hasil dan pertumbuhan hutan. Dalam perkembangannya ilmu ukur kayu juga mengukur problem pengelolaan habitat, potensi rekreasi, pengelolaan daerah aliran sungai, (DAS), perlindungan flora dan fauna, keanekaragaman jenis dan aspek lain dari manfaat hutan. Setelah perang dunia ke II penerapan teori statistik menggunakan computer, maka ilmu ukur kayu juga mengikuti perkembangan tersebut dan para ilmuwan ukur kayu juga mengikutinya dengan mempelajari dasar-dasar matematika seperti kalculus, analisis system, dan operasi riset. Ahli ukur kayu yang ternama dengan beberapa “tex books” seperti : -
· · · ·
Dari Amerika Serikat Spurr (1952), Meyer (1972) dan Avery (1976). Dari Jerman Dari Norwegia Romania Australia
: Bruce and Schumacher (1950), ( 1953), Husch (1963), Husch Miller and Beers : Prodan (1965) : Seip (1964) : Giurgiu (1968) : Carron (1968)
B. Manfaat Ilmu Ukur Kayu. Ilmu ukur kayu merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Kehutanan pada dasarnya mengelola aktivitas tanah hutan yaitu flora dan fauna yang ada di atasnya serta manusia yang memanfatkan tanah hutan tersebut. Banyak problem yang harus dipecahkan dalam kehutanan seperti misalnya untuk menjawab masalah : Apakah dengan perlakuan silvikultur akan dapat menghasilkan permudaan dan pertumbuhan yang baik, Apakah species tertentu sesuai untuk reboisasi, Apakah hasil hutan berupa kayu cukup secara ekonomi di lakukan pembalakan/penebangan, Apakah berpotensi untuk wisata Untuk menjawab pertanyaan di atas ahli kehutanan memerlukan infomasi yang akurat agar peng elolaan selanjutnya dapat berhasil karena sesuai dengan data lapangan. Informasi itu dapat terjamin keakuratannya jika berupa kuantitatif/dapat dihitung jumlahnya, sehingga manfaat dari ilmu ukur kayu adalah menerapkan prinsip-prinsip pengukuran untuk memperoleh informasi yang kuantitatif selanjutnya dapat berguna dalam memutuskan kebijaksanaan dalam tingkat manajerial. Ukur kayu adalah tindakan pengamatan interprestasi yang dianggap sebagai kemampuan manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Interprestasi yamg digunakan adalah comparative dan teknik yang digunakan adalah
kuantitative. Teknik ini banyak digunakan karena mempunyai keunatungan jelas dan bebas dari pengertian ganda.
-
-
C. Prinsip Pengukuran Ada 4 skala pengukuran, yaitu : 1. Skala nominal. Dalam pengertian skala nominal obyek yang diukur dihitung langsung, tanpa memandang dimensi yang lain. Matematikal dan group strukturnya adalah sebagai berikut : x’ = f (x) dimana f (x) : beberapa/satu subtitusi (permulation group). Jadi disini hanya memberi nama atau jumlah dari suatu obyek yang ada. Contoh : Menentukan tipe-tipe hutan yang ada dalam satu peta hutan (misal : tipe hutan dataran tinggi , hutan dataran rendah, hutan payau, rawa dsb) Menentukan jumlah spesies yang ada dalam hutan seperti kalau melakukan studi komposisi tegakan (missal : jenis A, jenis B, jenis C dst) 2. Skala ordinal Dalam pengertian skala ordinal obyek yang di ukur dikelompokan dalam satu system hirarki/kelas-kelas. Matematikal dan group strukturnya adalah sebagai berikut: x’ = f (x) dimana f (x) : fungsi yang meningkat sesuai dengan kelas-kelas tertentu (Isotonik group) obyek yang diukur dibuat rengking yang lebih besar atau kurang. Contoh : Grade kualitas kayu gergajian Grade pohon / log Perkiraan bonita
3. Skala interval Obyek yang diukur merupakan satu set angka yang memiliki jarak interval yang sama. Matematikal dan group strukturnya adalah sebagai berikut : Linear tgroup x’ = f (x) = a + bx ; a > o Contoh : Pembagian waktu : hari, bulan dan tahun Pembagian suhu : Kelembagaan relative Data skala interval diperoleh sebagai hasil suatu pengukuran dan biasanya mempunyai satuan pengukuran. Nilai dari obyek dapat diperingkatkan dan diukur jarak diantaranya dengan kecermatan tertentu dengan menyepakati dua
1) 2)
-
titik penyajian sehingga kemudian apa yang disepakati mengenai satu satuan ukur dapat dimengerti. Satu ciri penting dari skala interval adalah : Datanya bisa ditambah, dikurangi, dikali dan dibagi tanpa mempengaruhi jarak relative di antara skor-skornya. Skala pengukuran ini tidak mempunyai nilai nol mutlak sehingga tidak dapat diinterprestasikan secara penuh besarnya skor dari rasio tertentu, artinya rasio antara dua interval sembarang tidak tergantung pada nilai nol dan unit pengukuran. Lebih jelasnya dapat diperhatikan pengukuran suhu pada tiga tabung reaksi yang berisi air diperoleh data sebagai berikut: maka selang suhu dari 25o C ke 50o C dan dari 50 o C ke 75 o C mempunyai jarak yang sama yaitu tetapi tidak dapat dikatakan bahwa air yang bersuhu lebih panas 2 x bila disbanding air pada suhu . 4. Skala rasio Skala rasio adalah skala pengukuran yang mempunyai semua sifat skala interval ditambah satu sifat lain yaitu memberi keterangan tentang nilai absolute dari obyek yang diukur. Skala rasio menggunakan titik baku mutlak (titik nol mutlak). Angka pada skala rasio menunjukan nilai sebenarnya dari obyek yang diukur, sedang besar dan satuan ukur ditetapkan dengan suatu perjanjian tertentu. Pada skala ini jarak dan waktu pengukuran mempunyai titik nol yang sejati dan rasio antara dua titik skala tidak tergantung pada unit pengukuran. Sebagai contoh, jika kita ingin membandingkan berat dua benda yaitu benda A 50 gr dan B 100 gr, disini kita tahu bahwa bahwa berat B 2 x lebih berat dari pada A karena nilai peubah numerik berat menggunakan suatu rasio dengan nilai nol sebagai titik bakunya. Skala rasio adalah obyek yang dihitung selalu memiliki angka nol / nilai origin / nilai awal. Matematikal dan group struktur : Group sama x’ = CX dimana C > 0 Contoh : panjang, frekuensi, interval waktu, volume, berat, suhu, kelembaban absolute. Pengukuran dinyatakan tergantung dari bentuk fisik obyek dan tujuan dari pengukuran . Ada dua macam pengukuran yaitu : Unit pengukuran dasar, biasanya berdimensi satu, misalnya : jarak ( m, dsb), berat (gr, dsb), waktu (detik, dsb). Unit pengukuran turunan, pengukuran yang berdimensi lebih dari satu, misalnya : kecepatan (m/detik, dsb), luas (, dsb ), volume (,dsb) D. Unit Sistem Pengukuran Unit sistem pengukuran ada 2 yaitu, imperial sistem (english sistem) dan metric sistem. Imperial system yaitu ukuran yang biasa digunakan di
Negara “Great Britain” sedang metric sistem atau “international system of unit” digunakan di Negara United State. Di Indonesia digunakan metric system. Perbedaan dari kedua sistem tersebut disajikan dalam table berikut: System Uraian No Metric Imperial Meter, dm, cm, Inchi, feat, 1 Panjang dst yard, mile, chains Sq inchi, sq 2 feat, sq yard, Luas sq mile, sq chains Cu inchi, cu 3 Volume feat, cu yard, galon Kg,…………., Grains, 4 Berat gr,ton, kw, pounds, cwts, metric catarats ounces 5 m/detik, Inch/s Kecepatan km/jam Selain ada dua sistem di atas ada dua sistem lagi yang disebut dengan sistem tradisional, misalnya: 1 bau (0,6 ha), pikul, gendong, hasta, depa. E. Penafsiran. Ada tiga istilah yang digunakan untuk menentukan ukuran suatu obyek yang berkaitan dengan pengukuran yaitu: 1. Pengukuran yaitu pengamatan yang dilakukan dengan pengukuran secara langsung menggunakan alat ukur tertentu dan dilakukan terhadap seluruh obyek yang diamati. 2. Penafsiran yaitu pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat ukur tertentu tetapi hanya dilakukan terhadap sebagian obyek yang diamati. Obyek yang diamati disebut populasi sedang bagian dari obyek yang diamati disebut sample. Jika sampelnya berupa kumpulan pohon-pohon dapat berupa petak ukur (PU), bentuk PU biasanya lingkaran, bujur sangkar, segi empat atau jalur. Penafsiran dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : - Melalui metode bilangan bentuk - Melalui tarif (tabel lokal)
1) 2) · · · ·
- Melalui table tegakan - Melalui table hasil - Melalui table klas bentuk Jika penfsiran dilakukan secara langsung maka estimasi bias dilakukan langsung atau sebagian. 3. Peramalan yaitu menentukan nilai obyek dengan mencoba mengukur keadaan yang akan datang dengan data yang diperoleh pada masa lalu dalam kurun waktu tertentu. Peramalan umumnya digunakan dibidang meteorology dan geofisika maupun ekonomi makro. Di dalam pengukuran biasanya selalu ditemui adanya kesalahan (bias). Berdasarkan sumbernya kesalahan di bedakan atas dua yaitu : Sampling Error : kesalahan yang timbul Karena ukuran sample, jumlah sample maupun bentuk sample dan metodesampling yang digunakan. Kesalahan ini terjadi pada penafsiran maupun peramalan. Non samping error atau human error : kesalahan yang disebabkan oleh factor pengukurannya sendiri, antara lain : Orangnya atau peneliti Alat Situasi dan kondisi Tidak jelas cara pengukuran · Adanya keanehan bentuk obyek Bias : hasil simpangan dengan ukuran yang sebenarnya. Jauh dekatnya simpangan dinyatakan dengan “accuracy” (ketepatan) dan “precision” (ketelitian). Ketepatan menunjukan jauh dekatnya taksiran kita dengan ukuran obyek yang sebenarnya, sedangkan ketelitian menunjukan kecermatan sampling yang dinyatakan oleh standart error. Hubungan bias, standart error, kecepatan dan ketelitian dapat digambarkan dalam table sebagai berikut : Bias
Sedikit bias
Lebih banyak bias
- tepat - teliti
- kurang tepat - teliti
Standart error Sedikit standart Error
Lebih banyak - kurang tepat standart error - kurang teliti
- kurang tepat - kurang teliti
Batasan yang digunakan apakah sampling teliti atau kurang teliti jika nilai predision (P) lebih keci dari 15 % ) Dimana : Sx :standart error : Nilai rata-rata obyek yang diamati Dari table diatas dapat dikatakan sampling dianggap teliti dan tepat jika dua syarat harus dipenuhi yaitu sedikit bias dan sedikit standart error. Tetapi untuk ketelitian bisa saja lebih banyak bias dan sedikit standart error suatu sampling dapat dianggap teliti. Jadi suatu sampling sedikit bias tetapi lebih banyak standart error maka sampling tersebut dikatakan kurang tepat dan kurang teliti. Tetapi jika sedikit standart error, lebih banyak bias walaupun dikatakan kurang tepat tetapi masih dikategorikan teliti. Yang lebih penting dalam sampling adalah standart error, oleh karena standart error adalah kesalahan sampling yang tidak bisa terukur oleh manusia sedang bias bisa diukur, karena bias ini terjadi karena kesalahan manusia, alat dan cara mengukur. Hakekat dari sampling adalah bukan tepatnya nilai taksiran kita dengan ukuran obyek yang sebenarnya kita ukur tetapi hasil yang kita peroleh dari sampling berbeda berapa satuan dengan ukuran obyek yang sebenarnya. Sehingga dengan demikian jika bias/perbedaan nilai taksiran dengan nilai yang sesungguhnya kita ketahui maka hasil akhir dari pengukuran akan dapat dikoreksi dengan nilai bias ini dan hasil tafsiran akan mendekati nilai sebenarnya BAB II. DIAMETER Kompetensi Umum Kompetensi Khusus Waktu Pokok Bahasan Pertemuan
: : : :
2.1. Pendahuluan 2.1.1. Deskripsi Singkat 2.1.2. Relevansi 2.2. Penyajian 2.2.1. Pengertian Diameter adalah garis lurus yang melalui titik tengah suatu lingkaran. Dibidang kehutanan pengukuran diameter umumnya pada batang pohon, bagian pohon yang dipotong dan cabang. Pengukuran diameter ini penting di kehutanan karena merupakan dimensi yang dapat langsung diukur dan dari
padanya kita dapat menentukan luas penampang melintang pohon/luas bidang dasar serta volume pohon. Diameter adalah sebuah dimensi dasar dari sebuah lingkaran. Diameter batang didefinisikan sebagai panjang garis antara dua buah titik pada lingkaran di sekeliling batang yang melalui titik pusat (sumbu) batang. Diameter batang adalah dimensi pohon yang paling mudah diperoleh/diukur terutama pada pohon bagian bawah. Tetapi oleh karena bentuk batang yang pada umumnya semakin mengecil ke ujung atas (taper), maka dari sebuah pohon akan dapat diperoleh tak hingga banyaknya nilai diameter batang sesuai banyaknya titik dari pangkal batang hingga ke ujung batang. Oleh karena itulah perlu ditetapkan letak pengukuran diameter batang yang akan menjadi ciri karakteristik sebuah pohon. Atas dasar itu ditetapkanlah diameter setinggi dada atau dbh (diameter at breast height) sebagai standar pengukuran diameter batang. Sekurangnya ada tiga alasan mengapa diameter diukur pada ketinggian setinggi dada, : (1) alasan kepraktisan dan kenyamanan saat mengukur, yaitu pengukuran mudah dilakukan tanpa harus membungkuk atau berjingkat ; (2) pada kebanyakan jenis pohon ketinggian setinggi dada bebas dari pengaruh banir ; (3) dbh pada umumnya memiliki hubungan yang cukup erat dengan peubah-peubah (dimensi) pohon lainnya. Selain mudah diperoleh/diukur, dbh juga merupakan dimensi pohon yang akurasi datanya paling mudah dikontrol. Oleh karena itulah dbh lebih sering digunakan sebagai peubah penduga dimensi-dimensi pohon lainnya. Dalam praktek pengukuran dbh, ketinggian setinggi dada ternyata terdapat perbedaan di antara beberapa negara : 1. Negara dengan pengukuran sistem metrik, dbh = 1,30 m di atas permukaan tanah (dat). 2. USA dan Kanada, dbh = 4 ft 6 in = 1,37 m dat. 3. Inggeris dan beberapa negara persemakmuran (pengukuran sistem British), dbh = 4 ft 3 in = 1,29 m dat. 4. Jepang, dbh = 4 ft 1,2 in = 1,25 m dat. Selain untuk keperluan pendugaan dimensi pohon lainnya, diameter setinggi dada (dbh) biasanya diukur sebagai dasar untuk keperluan perhitungan lebih lanjut, misalnya untuk menentukan luas bidang dasar, dan volume. Luas bidang dasar pohon (B = lbds) adalah luas penampang lintang batang, sehingga dapat dinyatakan sebagai : B = ¼pD² ; di mana D = dbh. Selanjutnya perkalian antara luas bidang dasar pohon dengan tinggi pohonnya (H) kemudian dikalikan lagi dengan nilai faktor bentuk (f), maka akan diperoleh volume (V) batang pohon tersebut, yang dapat diformulasikan sebagai : V = B.H.f. Dalam pengukuran pohon diasumsikan pohon berbentuk lingkaran. Diameter pohon tepat diatas tanah belum dianggap labil bentuknya oleh karena ada banir akar, sehingga untuk pengukuran diameter pohon telah disepakati IUFRO (International Uniform Forest Research organitation) pada tahun 1959 telah menetapkan pengukuran diameter pohon adalah pada diameter setinggi 4.5
feat (1,3 m) di atas tanah yang selanjutnya diameter ini disebut dbh (diameter beast high) atau diameter setinggi dada . Ketentuan lain tentang d selain dbh/adalah : * : Diameter tengah dari tinggi local * : Diameter 0,1 dari tinggi total * : Diameter setinggi 6 meter. Salah satu pengukuran diameter yang mempunyai korelasi kuat dengan karakteristik pohon yang lain seperti : tinggi pohon, lebar tajuk, tinggi batang bebas cabang, tebal kutil, produksi kayu dan volume. Pengukuran kayu di luar jawa biasanya diukur tanpa kulit (dib/diameter inside bark) sedang di jawa dengan kulit (dob/diameter outside bark). Dib = dob-2x tebal kulit
dib
dob
Alat untuk mengukur tebal kulit telah ditemukan seorang swedia yang disebut dengan bark gauge/increment borer. Gambar sebagai berikut :
-
Dalam kaitan dengan volume maka pengukuran diameter harus lebih teliti bila dibandingkan dengan pengukuran pohon, karena dalam rumus pengukuran volume diameter ini dikuadratkan sehingga kesalahan yang terjadi pada diameter juga akan dikuadratkan. Kesalahan semacam ini disebut dengan kesalahan “multi fikatif”, sedangkan kesalahan pengukuran tinggi bersifat “aditif”. Cara pengukuran dbh pada pohon berdiri pada berbagai bentuk pohon dari normal sampai dengan adanya keanehan-keanehan sebagai berikut : Gambar 2.2 Bentuk pohon Keterangan: Pohon normal diukur pada ketinggian 1,3 m di atas tanah Pohon bercabang di bawah 1,3 m dari muka tanah, maka dianggap 2 pohon. Pohon bercabang di atas tinggi 1.3 m di atas tanah dianggap pohon normal, diameter diukur 1 kali Pohon terserang penyakit (gambol) pada ketinggian 1,3 m, maka diameter diukur dua kali yaitu d1 dan d2 kemudian di rata-rata. Pohon berbanir umumnya pohon hutan alam di luar jawa, diameter diukur 20 cm diatas batas akar banir biasanya dilakukan dengan memanjat banir tersebut. 2.2.2. Alat untuk mengukur diameter. 1. Pita diameter
Pita diameter yang digunakan ada 3 yaitu pita ukur biasa, phiband dan pita klas diameter. Pita ukur yang biasa digunakan oleh juru ukur, penjahit dan sebagainya ada yang centimeter atau inchi, penggunaanya dilingkarkan pada pohon/batang yang akan diukur diameternya. Hasil yang diperoleh dari pengukuran ini berupa keliling batang. Untuk mendapat nilai diameter diturunkan dari rumus d = keliling/3,14. Phiband sama dengan pita ukur biasa tapi satuannya adalah langsung menunjukan diameter batang yang diukur, sedangkan pita kelas diameter satuannya adalah kelas-kelas diameter tertentu, misal kelas I : 0 – 5 cm, kelas II 5,1 – 10 cm, kelas III 10,1 – 15 cm, dst. Gambar 3. Pita diameter -
Kelebihan pita diameter : Ringan Praktis penggunaannya Dapat secara otomatis mengetahui keanehan bentuk batang karena cara pengukuran dilingkarkan Kekurangannya : Ada pekerjaan lain untuk menempelkan pita Cenderung tinggi dari tempat pengukuran Pengukuran bisa estimate karena pita mudah mengembang, mudah putus Pembersihan batang harus keliling batang yang diukur. 2. Kaliper Kaliper sering digunakan untuk mengukur diameter yang tidak lebih dari 60 cm, Biasanya hanya untuk mengukur pohon yang sudah rebah. Bentuk-bentuk kaliper ada 3 macam yaitu : Gambar 4. Macam-macam kaliper
-
Kelebihan kaliper: Mengukurnya sederhana Pembersihan batang hanya sisi tertentu Kekurangannya : Alat lebih besar Perawatan agak susah Over estimate, jika tidak betul-betul tegak penjepitnya. a.wooden beam Alat yang dibuat dari kayu atau besi, terdiri 2 penjepit yang tegak lurus dimana statis yang satu dapat digerak-gerakan. Kayu yang akan diukur dijepit
dengan kedua lengan tersebut dan diameter batang langsung dapat dibaca pada skala. b.Fork Kedua lengan statis dan masing-masing ada skala, jika kayu yang akan diukur diletakan pada fork maka tangensinya menunjukan diameter pohon. c.Finish Parabolic Kedua lengan statis diujung lengan terdapat skala. Ujung lengan berbentuk lengkung, jika batang yang akan diukur diletakan pada alat tersebut maka garis tegak lurus dengan salah satu sisi batang (line of sight) menunjukan diameter batang. d.Stick d.1. Biltmore stic Alat ini berupa tongkat yang panjangnya 24 – 36 inc. Prinsip yang digunakan dalam perhitungannya adalah prinsip geometri. Gambar 5. Bilmore Stick Jika jarak dari mata ke batang setiap pengukuran (L) ditetapkan 25 cm, maka untuk D = 6 cm jadi S = 5.4 cm Selanjutnya untuk membuat alat Biltmore stick dibantu dengan table sebagai berikut : D S 6 5.4 7 6.2 8 6.9 9 7.7 10 8.5 5 4.6 4 3.7 3 2.8 2 1.9
0 dst
1cm 2
3
4
5
6
7
8
Pengukuran dengan menggunakan alat ini akan salah jika : 1. Penentuan jarak mata dengan batang tidak 25 cm (tidak sesuai dengan yang ditetapkan)
2. Kegagalan dalam mengarahkan mata setinggi 1.3 m 3. Kegagalan dalam meletakkan penganan stick tegak lurus mata 4. Bentuk batang tidak bundar d.2. Scala stick/yard stick Alat ini prinsip kerja sama dengan kaliper tetapi hanya ada satu lengan yaitu lengan statis. Biasanya untuk mengukur kayu rebah di log yard/ tempat pengumpulan kayu sehingga alat ini disebut yard stick Gambar 6. Scala Stick e.Sector Fork Sector Fork sering disebut dengan Bitterlich karena alat ditemukan oleh Bitterlich (1958) atau Visiermesswinke. Prinsip kerja sama dengan Biltmore stick dan alat ini secara khusus dipakai untuk mengukur diameter batang < 50 cm ( kurang lebih 20 inc) Gambar 7. Sector Fork f. Alat untuk mengukur diameter pohon yang posisinya lebih tinggi dari 1.3 m (diatas tinggi manusia) f.1. Optimal Fork Prinsip alat ini menggunakan prinsip geomtri. Untuk diameter yang sejajar dengan mata, maka: D = R. sin a Untuk diameter yang berada di atas mata kita, maka: D = 2R.wsin a/2 Gambar 8. Prinsip optical fork g. Optical Caliper Prinsip kerjanya sama dengan kaliper tetapi pada kedua lengan diganti dengan prisma, dimana prisma yang satu statis dan prisma yang lain dapat digerak-gerakan sesuai dengan diameter batang yang diukur. Alat ini digunakan untuk mengukur diameter pohon >34inc. h. Rangefinder Dendrometer Alat ini selain digunakan untuk mengukur diameter juga digunakan untuk pertambahan diameter. a. Prinsip Rangelfider
R
Gambar 10. Prinsip rangefinder dendrometer.
BAB III. Pengukuran Tinggi Kompetensi Umum Kompetensi Khusus Waktu Pokok Bahasan Pertemuan
: : : :
3.1. Pendahuluan 3.1.1. Deskripsi Singkat 3.1.2. Relevansi 3.2. Penyajian A. Pegertian Setelah diameter, tinggi pohon merupakan dimensi dasar penting lainnya. Tinggi pohon didefinisikan sebagai jarak atau panjang garis terpendek antara suatu titik pada pohon dengan proyeksinya pada bidang datar. Istilah tinggi pohon hanya berlaku untuk pohon yang masih berdiri, sedangkan untuk pohon rebah digunakan istilah panjang pohon. Seperti sudah dijelaskan di muka, tinggi pohon adalah salah satu dimensi yang harus diketahui untuk menghitung nilai volume pohon. Selain itu, peninggi yang didefinisikan sebagai rata-rata 100 pohon tertinggi yang tersebar merata dalam areal 1 hektar, dikaitkan dengan umur tegakan jenis pohon tertentu adalah merupakan komponen informasi yang diperlukan untuk menentukan indeks tempat tumbuh atau kualitas tempat tumbuh (bonita) yang mencerminkan produktivitas lahan dalam memberikan hasil (potensi tegakan). Pengukuran tinggi pohon pada umumnya menggunakan salah satu dari dua prinsip berikut : 1. Prinsip geometri atau prinsip segitiga sebangun. F C
Gambar 1. Prinsip Geometri
dalam O
B A
E
Pengukuran Tinggi
D Dari Gambar 1 di atas, apabila panjang alat (AC), AB dan DE diketahui, maka diperoleh tinggi pohon yaitu DF = (AC/AB).DE 2.
Prinsip trigonometri atau prinsip pengukuran sudut. F Gambar 2. Prinsip Trigonometri dalam Pengukuran Tinggi
O
)β
E )α D
Dari Gambar 2 di atas, apabila jarak datar (OE), besar sudut kemiringan ke pangkal pohon (α) dan besar sudut kemiringan ke puncak pohon (β) diketahui, maka diperoleh tinggi pohon yaitu DF = DE + EF = OE (tg α + tg β) Berdasarkan titik bagian atas yang diukur, tinggi pohon dibedakan atas : (1) Tinggi total, yaitu tinggi pohon sampai ke puncak tajuk ; (2) Tinggi bebas cabang, yaitu tinggi pohon sampai cabang pertama yang masih hidup. Cabang yang dimaksud biasanya adalah cabang yang turut berperan dalam membentuk tajuk utama ; (3) Tinggi kayu tebal, yaitu tinggi pohon sampai batas diameter tertentu, biasanya sampai batas diameter 7 atau 10 cm. Apabila terdapat hubungan yang erat antara dbh dengan tinggi pohon, maka secara fungsional tinggi pohon dapat diduga oleh dbh. Cara ini dirasa lebih mudah dan praktis dibanding harus mengukur langsung tinggi pohon. Tingggi pohon adalah jarak vertical antara ujung tajuk dengan permukaan tanah. Pengukuran tinggi dapat di aplikasikan pada pohon berdiri baik yang lurus atau bercabang. Tinggi pohon dan klasifikasi panjang batang. Tinggi pohon total (h) adalah jarak sumbu batang pohon antara pangkal batang di tanah dengan ujung tajuk. Bole Height (hb) : tinggi batang bebas cabang/jarak antara pangkal batang di tanah dengan Crow Point (awal pecabangan). Bole Height ini sering disebut dengan batang utama pohon.
Tinggi pohon laku dipasaran/Merchantable Height (hm): tinggi batang sampai dengan limit diameter yang laku di pasaran. Limit diameter untuk bahan pulp 4 inch sedangkan untuk kayu gergajian 8 inch. Panjang batang laku dipasaran/Merchantable Length (hl) : panjang batang mulai dari ujung tunggak sampai dengan ujung kayu yang dapat dipasarkan, terutama cabang bila diameter > batas minimum. Tinggi tungak (Stump Length(hs)): jarak antara permukaan tanah dengan posisi kayu yang akan ditebang. Defective Length/id : panjang cacat kayu atau panjang kayu yang tidak dapat digunakan karena rusak. Sound Merchantable sama dengan Merchantable Lenghtminus Defective Length. Crow Length adalah jarak antara Crow Point dengan unjung tajuk. Crow Point adalah titik permulaan adanya cabang pada pohon atau titik awal tajuk. Titik ini merupakan ujung dari panjang batang bebas cabang. B. Alat pengukur tinggi pohon Dalam sub bab ini akan dibicarakan cara dan alat pengukuran tinggi pohon, alat yang dipilih adalah alat yang mudah, ringan, mudah dibawa/praktis dan mudah penggunaannya. Tinggi pohon juga biasa diperkirakan dengan menggunakan pengukuran dari foto udara, dalam sub bab ini pengukuran tinggi dengan foto udara tidak dibahas. Pengukuran tinggi pohon biasanya dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan hypsometers. Kecuali pohon yang masih kecil (tiang/pancang) yang tingginya kurang dari 4 meter diukur secara langsung dengan gala. Hypsometers berasal dari kata hypso berarti tinggi dam meter berarti alat untuk mengukur. Jadi Hyposometers berarti alat untuk mengukur tinggi. Alat ini dipakai untuk mengukur tinggi menggunakan prinsip-prinsip geometri atau segitiga sama kaki dan prinsip-prinsip trigonometri atau sudut tangen dari segitiga. Secara keseluruhan prinsip ini telah digunakan oleh Hummel (1951) sedang Petrone (1963) dan Parde (1961) telah memperkenalkan dengan istilahEuropean Hyposometers. Dengan catatan bahwa prinsip kerja seperti Altimeter dan Clinometer, juga menggunakan prinsip kerja alat ukur tinggi. 1.
a.
Alat pengukur tinggi berdasarkan segitiga sama kaki (geometri) Alat yang dikenal seperti Christen Hypsometer, Klauser Hypsometer, Merrit Hypsometer, Capman Hypsometer dan JAL Hypsometer. Dalam pembahasan ini akan dibahas 2 saja yang sering digunakan yaitu : Christen Hyposometer dan Merrit Hyposometer. Chritsen Hyposometer Alat ini di Indonesia disebut dengan Christen meter saja. Ciri utama alat ini jika digunakan untuk mengukur tinggi harus menggunakan galah setinggi kurang lebih 4 meter yang didirikan pada pangkal pohon hingga bisa dilihat oleh si
pengukur, sehingga alat ini cocok untuk mengukur tinggi pohon > 4 m. Kemudahannya jarak antara pohon dengan si pengukur bebas dan tidak perlu diukur asal dapat melihat pangkal pohon. Kelemahannya adalah mata harus melihat 3 titik, yaitu ujung pohon, pangkal, dan ujung galah. Christem Meter adalah sebagai barikut: h. Rangefinder Dendrometer Alat ini selain digunakan untuk mengukur diameter juga digunakan untuk pertambahan diameter. a. Prinsip Rangelfider
R
Gambar 10. Prinsip rangefinder dendrometer.
BAB III. Pengukuran Tinggi Kompetensi Umum Kompetensi Khusus Waktu Pokok Bahasan Pertemuan
: : : :
3.1. Pendahuluan 3.1.1. Deskripsi Singkat 3.1.2. Relevansi 3.2. Penyajian A. Pegertian Setelah diameter, tinggi pohon merupakan dimensi dasar penting lainnya. Tinggi pohon didefinisikan sebagai jarak atau panjang garis terpendek antara suatu titik pada pohon dengan proyeksinya pada bidang datar. Istilah tinggi pohon hanya berlaku untuk pohon yang masih berdiri, sedangkan untuk pohon rebah digunakan istilah panjang pohon.
Seperti sudah dijelaskan di muka, tinggi pohon adalah salah satu dimensi yang harus diketahui untuk menghitung nilai volume pohon. Selain itu, peninggi yang didefinisikan sebagai rata-rata 100 pohon tertinggi yang tersebar merata dalam areal 1 hektar, dikaitkan dengan umur tegakan jenis pohon tertentu adalah merupakan komponen informasi yang diperlukan untuk menentukan indeks tempat tumbuh atau kualitas tempat tumbuh (bonita) yang mencerminkan produktivitas lahan dalam memberikan hasil (potensi tegakan). Pengukuran tinggi pohon pada umumnya menggunakan salah satu dari dua prinsip berikut : 1. Prinsip geometri atau prinsip segitiga sebangun. F C
Gambar 1. Prinsip Geometri
dalam O
B A
E
Pengukuran Tinggi
D Dari Gambar 1 di atas, apabila panjang alat (AC), AB dan DE diketahui, maka diperoleh tinggi pohon yaitu DF = (AC/AB).DE 2.
Prinsip trigonometri atau prinsip pengukuran sudut. F Gambar 2. Prinsip Trigonometri dalam Pengukuran Tinggi
O
)β
E )α D
Dari Gambar 2 di atas, apabila jarak datar (OE), besar sudut kemiringan ke pangkal pohon (α) dan besar sudut kemiringan ke puncak pohon (β) diketahui, maka diperoleh tinggi pohon yaitu DF = DE + EF = OE (tg α + tg β) Berdasarkan titik bagian atas yang diukur, tinggi pohon dibedakan atas : (1) Tinggi total, yaitu tinggi pohon sampai ke puncak tajuk ; (2) Tinggi bebas cabang, yaitu tinggi pohon sampai cabang pertama yang masih hidup. Cabang
yang dimaksud biasanya adalah cabang yang turut berperan dalam membentuk tajuk utama ; (3) Tinggi kayu tebal, yaitu tinggi pohon sampai batas diameter tertentu, biasanya sampai batas diameter 7 atau 10 cm. Apabila terdapat hubungan yang erat antara dbh dengan tinggi pohon, maka secara fungsional tinggi pohon dapat diduga oleh dbh. Cara ini dirasa lebih mudah dan praktis dibanding harus mengukur langsung tinggi pohon. Tingggi pohon adalah jarak vertical antara ujung tajuk dengan permukaan tanah. Pengukuran tinggi dapat di aplikasikan pada pohon berdiri baik yang lurus atau bercabang. Tinggi pohon dan klasifikasi panjang batang. Tinggi pohon total (h) adalah jarak sumbu batang pohon antara pangkal batang di tanah dengan ujung tajuk. Bole Height (hb) : tinggi batang bebas cabang/jarak antara pangkal batang di tanah dengan Crow Point (awal pecabangan). Bole Height ini sering disebut dengan batang utama pohon. Tinggi pohon laku dipasaran/Merchantable Height (hm): tinggi batang sampai dengan limit diameter yang laku di pasaran. Limit diameter untuk bahan pulp 4 inch sedangkan untuk kayu gergajian 8 inch. Panjang batang laku dipasaran/Merchantable Length (hl) : panjang batang mulai dari ujung tunggak sampai dengan ujung kayu yang dapat dipasarkan, terutama cabang bila diameter > batas minimum. Tinggi tungak (Stump Length(hs)): jarak antara permukaan tanah dengan posisi kayu yang akan ditebang. Defective Length/id : panjang cacat kayu atau panjang kayu yang tidak dapat digunakan karena rusak. Sound Merchantable sama dengan Merchantable Lenghtminus Defective Length. Crow Length adalah jarak antara Crow Point dengan unjung tajuk. Crow Point adalah titik permulaan adanya cabang pada pohon atau titik awal tajuk. Titik ini merupakan ujung dari panjang batang bebas cabang. B. Alat pengukur tinggi pohon Dalam sub bab ini akan dibicarakan cara dan alat pengukuran tinggi pohon, alat yang dipilih adalah alat yang mudah, ringan, mudah dibawa/praktis dan mudah penggunaannya. Tinggi pohon juga biasa diperkirakan dengan menggunakan pengukuran dari foto udara, dalam sub bab ini pengukuran tinggi dengan foto udara tidak dibahas. Pengukuran tinggi pohon biasanya dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan hypsometers. Kecuali pohon yang masih kecil (tiang/pancang) yang tingginya kurang dari 4 meter diukur secara langsung dengan gala. Hypsometers berasal dari kata hypso berarti tinggi dam meter berarti alat untuk
mengukur. Jadi Hyposometers berarti alat untuk mengukur tinggi. Alat ini dipakai untuk mengukur tinggi menggunakan prinsip-prinsip geometri atau segitiga sama kaki dan prinsip-prinsip trigonometri atau sudut tangen dari segitiga. Secara keseluruhan prinsip ini telah digunakan oleh Hummel (1951) sedang Petrone (1963) dan Parde (1961) telah memperkenalkan dengan istilahEuropean Hyposometers. Dengan catatan bahwa prinsip kerja seperti Altimeter dan Clinometer, juga menggunakan prinsip kerja alat ukur tinggi. 1.
a.
Alat pengukur tinggi berdasarkan segitiga sama kaki (geometri) Alat yang dikenal seperti Christen Hypsometer, Klauser Hypsometer, Merrit Hypsometer, Capman Hypsometer dan JAL Hypsometer. Dalam pembahasan ini akan dibahas 2 saja yang sering digunakan yaitu : Christen Hyposometer dan Merrit Hyposometer. Chritsen Hyposometer Alat ini di Indonesia disebut dengan Christen meter saja. Ciri utama alat ini jika digunakan untuk mengukur tinggi harus menggunakan galah setinggi kurang lebih 4 meter yang didirikan pada pangkal pohon hingga bisa dilihat oleh si pengukur, sehingga alat ini cocok untuk mengukur tinggi pohon > 4 m. Kemudahannya jarak antara pohon dengan si pengukur bebas dan tidak perlu diukur asal dapat melihat pangkal pohon. Kelemahannya adalah mata harus melihat 3 titik, yaitu ujung pohon, pangkal, dan ujung galah. Christem Meter adalah sebagai barikut: Gambar 12a. Christem Meter. Prinsip kerja adalah sebagai berikut: Lihat ▲EBA & ▲EB’A, BA : B’A’ = CA:CA’……………………………….(1) Lihat ▲ECA & ▲ECA’ CA :C’A’ = EA : EA’……………………………….(2) Dari kedua persamaan dapat ditulis : BA : B’A’ = CA : C’A’ Atau : BA X C’A’ = B’A’ X CA BA= ……………………………….(3)
Panjang alat Christen Meter (B’A’) biasanya 10 inch = 25 cm Panjang galah biasanya (AC) = 4 m = 13.3 feet, pada gambar panjang gala (AC)= 10 feet. Jadi untuk pohon yang mempunyai tinggi = 30 feet maka mata kita akan melihat ujung galah C atau menyentuh angka pada alat = 30 feet dimana jarak antara angka 30 feet dengan dasar alat (titik A’) = Angka pada alat chiristemeter dapat di cari dengan cara sbb: Masukan pada rumus (3) tinggi pohon mulai 10 feet Buat table h (BA) dan (CA)
H (feet 1. 10 2. 15 3 20 4 25 5 30 6 40 7 50 8 60 9 80 10 109 11 150 Jika pohon yang diukur tingginya = tinggi gambar sbb: No
C’A’ (inch) 10 6.6 5 4 3.3 2.5 2 1.6 1.25 1 0.6 gala = 10 feet maka posisi pada
Ujung galah berimpit dengan titik B, titik C’ menunjuk angka 10 feet pada alat atau berimpit titik B’ Jika tinggi pohon yang diukur = 15 feet maka posisi sbb: -
b.
Selanjutnya jarak A’C’ = 6.6 inch, Selanjutnya kita bisa membuat alat christen meter sesuai kehendak kita masing-masing dan menggunakan tinggi galah berapapun, misalnya setinggi kepala temannya, sehingga jika masuk hutan tidak perlu membawa galah tetapi cukup dengan teman tersebut, asal tumbuhan bawah tidak lebih tinggi dari teman saudara. Dengan catatan CA dalam rumus 3 bukan 100 feet tetapi dirubah tinggi teman saudara. Merit Hyposometer Alat ini lebih sederhana dari christenmeter, karena tidak menggunakan galah dan hanya menggunakan 2 titik yaitu titik B dan A, tetapi jarak mata dengan pohon harus terukur. Tinggi pohon bisa langsung dibaca pada alat. Bentuk alat tersebut dapat dilihat pada gambar 12b yang merupakan kombinasi antara christen meter dengan Biltmore Stick. Alat ini cocok digunakan untuk mengecek perkiraan tinggi secara okuler. Jarak alat dengan mata harus pasti/terukur, missal 25 inch. Lihat ▲EAB & ▲EA’B’ AB : A’B’ = EA : EA’ Jika EA’ = 25 inch EA = 50 feet, maka untuk pohon yang tingginya 15 feet akan terbaca pada merit
= 7.5 inch
2.
Gambar 12 b. Merit hypsometer Kelemahannya : Harus mengukur jarak mata dengan alat Harus mengukur jarak mata dengan pohon Alat harus benar-benar vertical Keuntungannya : Lebih sederhana Tanpa gala Tinggi pohon bias langsung dibaca pada alat Alat pengukur tinggi bersdasarkan trigonometri/sudut tangen Meskipun alat pengukur tinggi sudah dikembangkan tetapi prinsip dasar semuanya sama yaitu menentukan ujung pohon, pangkal pohon. Berikut ini ilustrasi posisi pohon dengan mata (Ey) dimana jarak pohon dengan mata = D. Sudut yang terbentuk dari mata terhadap ujung & pangkal pohon masingmasing = gambar 13. Pengukuran tinggi berdasarkan sudut tangen = BC/D…………..BC = = CA/D…………..CA= Oleh karena tinggi pohon AB = BC + CA (gb.a) Maka AB = D ( + ) Untuk gb.b AB = BC-CA Sehingga AB = D ( - ). Kelemahan dari alat ini adalah harus mengukur jarak D (jarak antara pohon dengan si pengukur). Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan cara membawa galah dengan tinggi tertentu (missal: 4m), sehingga perhitungan dan cara mengukurnya adalah sbb: Rumus (2) dimasukan kedalam rumus (1) : diukur dengan alat ukur sudut/kelerengan.alat ini tidak langsung menunjukan tinggi pohon yang diukur, tetapi mengukur sudut yang terbentuk dari si pengukur dengan ujung pohon dengan sudut datar, kemudian dimasukan kedalam rumus-rumus diatas sesuai dengan pohon terhadap si pengukur. Macam-macam alat pengukur berdasar trigonometri : Gambar 14. Alat ukur tinggi berdasarkan prinsip trigonometri.
a.
Abney Level
Alat ini pertama kali diperkenalkan oleh Colkins & Yule 1935. Gambar alat sbb : b. Harga Altimeter Alat ini biasa disebut dengan haga meter saja, pertama kali diperkenalkan oleh Weslay tahun 1956 merupakan satu-satunya hypsometer yang bisa langsung menunjukan tinggi batang pohon dalam bentuk . Selanjutnya h dapat dicari dengan menambahkan atau mengurangi, tergantung posisi pohon dengan si pengukur. D tersedia 15, 20, 25, 30 m. Bisa juga untuk mengukur posisi kelerengan dan sudut c. Blume leiss Altimeter Diperkenalkan pertama kali oleh Parde tahun 1955, alat ini hampir sama dengan haga tetapi seluruh skala bisa dilihat setiap saat. D tersedia 15,20, 30, & 40. d. Suunto Clinometer Skala ini dibuat seperti jam yang ada pada kompas. Terdapat dua kombinasi skala, yaitu kelerengan dan derajat. Curtis dan Bruce (1968) menunjukan bagaimana Clinometer dapat digunakan untuk mengukur tinggi pohon tanpa harus mengukur D. Prinsipnya sama dengan Christen Meter yaitu dengan menggunakan galah yang tingginya sudah diketahui. Sudut antara pengamatan dengan ujung pohon = , dengan pangkal pohon = , tinggi gala = sudut dengan gala = , maka tinggi pohon : Secara umum dapat dikatakan bahwa alat ukur tinggi berdasarkan Trigonometri lebih akurat jika dibandingkan dengan alat ukur yang berdasarkan Geometri. Abney level, Harga Meter, Blume-Leiss dan Suunto Clinometer sama keakuratannya bila dipakai untuk mengukur tinggi. Hanya pada Abney Level mempunyai kelemahan sedikit bila digunakan untuk mengukur pohon yang terlalu tinggi, alat tersebut tidak dapat digunakan untuk membidik ujung pohon, karena adanya efek pembiasan dari gelembung melalui pipa dari bawah. Jadi tidak dapat digunakan di hutan yang terlalu tinggi dimana ujung pohon tidak terlihat dari jarak yang sudah ditentukan. Pengukuran dengan Hypsometer menurut Beers (1974) jarak pandang optimum sama dengan tinggi pohon yang diukur. Jadi kita kan mengukur tinggi pohon kira-kira 50 feet, maka jarak kita dengan pohon akan logis jika kurang lebih 50 feet. Pembicaraan kita diatas mengasumsikan bahwa mengukur pohon dengan Hypsometer semua pohonya benar-banar tegak lurus, padahal tidak semua pohon demikian adanya. Pada kasus pohon mengalami miring, maka jika hal tersebut tidak kita perhatikan hasil pengukuran Bisa User/Upper Estimate. Untuk mengatasi kasus tersebut adalah sebagai berikut: Gambar 15. Cara mengukur pohon yang miring.
Walaupun mengukur dengan Merrit Hypsometer sering digunakan lebih mudah dan cepat, tetapi disarankan menggunakan Harga Meter atau Blume leiss Altimeter atau Suunto Clinometer. Untuk mengukur rata-rata tinggi pohon dalam hutan maka bias dilakukan kaidah sebagai berikut : 1. Diukur tinggi pohon seluruh pohon atau diambil sampel keudia dicari rataratanya. Cara ini memerlikan waktu yang lama. 2. Diukur pohoon dominan saja atau pohon dominan & kodominan kemudian dicari rata-ratanya. 3. Diukur pohon tertinggi yang tersebar merata, biasanya 100 ph/ha, kemudian dicari rata-ratanya, yang kemudian disebut dengan istilah peninggi. Rata-rata tinggi pohon ini dipakai untuk indikator tingkat kesuburan tanah untuk jenis tanaman tertentu (biota). IV. PENGUKURAN DAN PENGUJIAN KAYU BULAT Kompetensi Umum Kompetensi Khusus Waktu Pokok Bahasan Pertemuan
1. 2. -
: : : :
4.1. Pendahuluan 4.1.1. Deskripsi Singkat 4.1.2. Relevansi 4.2. Penyajian A. Pengukuran Kayu Bulat Rimba Indonesia Pengukuran Diameter Pengukuran dilakukan terhadap kedua botos (bontos pangkal dan bontos ujung) Diameter kayu bulat adalah rata –rata dari diameter bontos pangakal (Dp) dan diameter bontos ujung (Du) dalam kelipatan 1 centimeter penuh. Diameter bontos pangkal (Dp) adalah rata-rata diameter terpendek (d1) melalui pusat bontos dan diameter yang tegak lurus terhadapnya (d2) juga melalui pusat bontos, masing-masing dalam kelipatan 1 cm penuh. Diameter bontos ujung (Du) adalah rata-rata diameter terpendek (d3) melalui pusat bontos dan diameter yang tegak lurus terhadapnya (d4) juga melalui pusat bontos, masing-masing dalam kelipatan 1 cm penuh. Pengukuran Panjang Panjang kayu bulat (L) adalah jarak terpendek antara kedua bontos sejajar dengan sumbu kayu bulat tersebut.
-
Panjang diukur dalam kelipatan 10 cm Terhadap hasil pengukuran diberikan spilasi 10 cm Gambar cara pengukuran panjang : 3.
Penetapan Volume Volume/isi kayu bulat didapat dari table isi kayu bulat rimba Indonesiaberdasarkan diameter dan panjang kayu hasil pengukuran. Dengan menggunakan rumus“Brereton metric” Dalam hal ada cacat busuk (global busuk dan busuk hati) dan gerowongan, maka dalam penetapan isi, cacat-cacat tersebut akan meredusir isi kayu bulat. Isi bersih = isi kotor – isi cacat Isi kotor = Isi kayu bulat seluruhnya dalam Isi cacat = Isi bagian cacat (gubal busuk dan atau busuk hati / gerowong) dalam Isi bersih = Isi kayu bulat setelah direduksi isi cacat dalam Khusus kayu jenis Merbau, volume direduksi dengan gubalnya (% global) 4. Perhitungan Cacat yang Meredusir Isi Kayu Cacat Bontons (Gr/Bh, Hr) Pengukuran ketiga macam cacat ini adalah dengan cara mengukur diameter cacat yang terpanjang. Cacat Glubal Busuk (Gb) Gubal busuk diukur dengan cara mengukur tebal gubal tertebal diantara kedua bontos. Prosentase gubal busuk adalah sbb : Dimana : % Gb t D 5.
: Presentase gubal terhadap volume kayu : Tebal gubal tertebal : Diameter kayu bulat
Metode Pangambilan Sampel a. Pengambilan Sampel : · Pengambilan sampel secara acak · Pemeriksaan jumlah dan jenis kayu diloaksanakan 100% · Pemerikasaan ukuran/isi dan mutu dilaksanakan dengan intesitas sampling sbb : Intensitaws Populasi sampling 1-100 batang 100 % 101-1000 batang 100 batang
1001 batang
10 %
b. Kesimpulan Pemeriksaan · Tidak diperbolehkan terdapat perbedaan jumlah dan jenis (perbedaan 0 %) · Toleransi perbedaan volume 5% (dari jumlah volume hasil pemeriksaan) B. Pengukuran Kayu Bulat Rimba Jawa Pengukuran diameter Pengukuran hanya dilakukan terhadap bontos terkecil Diameter kayu bulat (D) adalah rata-rata diameter terpendek (d1) melalui pusat bontos dan melalui diameter terpanjang (d2) juga melalui pusat bontos pada bontos terkecil, masing-masing dalam kelipatan 1 cm penuh 2. Pengukuran Panjang Panjang kayu bulat (L) adalah jarak terpendek antara kedua bontos sejajar dengan sumbu kayu bulat tersebut. Panjang diukur dalam kelipatan 10 cm Terhadap hasil pengukuran tidak diberikanspilasi 3. Penetapan Volume Volume/isi kayu bulat didapat dari isi kayu bulat produksi perum perhutani. Dengan menggunakan rumus sbb: Kelas Rumus penetapan volume panjang 1,000 s/d 1,50 m 1,60 s/d 3,oo m 3,10 s/d 4,00 m 4,10 s/d 5,00 m Dalam hal ada cacat busuk (gubal busuk dan busuk hati) dan gerowong, maka dalam penetapan isi, cacat-cacat tersebut akan meredusir isi kayu bulat. Isi bersih = isi kotor – isi cacat
Isi kotor
= Isi kayu bulat sekuruhnya ( )
Isi cacat Isi bersih
= Isi bagian cacat (gubal busuk/busuk hati/gerowong) dalam = Isi kayu bulat setelah direduksi isi cacat dalam
4. Perhitungan Cacat yang Meredusir Isi Kayu o Cacat bontos (gr/bh/hr) Pengukuran ketiga macam cacat ini adalah dengan cara mengukur diameter cacat yang terpanjang. Prosentase cacat bontos adalah sbb : % Gr/Bh/Hr = Persentase cacat bontos terhadap volume kayu L = Diameter panjang cacat bontos (Gr/Bh/Hr) D = Diameter kayu bulat o Cacat gubal busuk (gb) Gubal busuk diukur dengan cara mengukur tebal gubal tertebal diantara kedua bontos. Prosentase gubal busuk adalah sbb : %Gb = Persentase gubal terhadap volume kayu T = Tebal gubal tertebal D = Diameter kayu bulat 5. Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel : Pengambilan sampel secara acak Pemeriksaan jumlah dan jenis kayu dilaksanakan 100% Pemeriksaan ukuran/isi dan mutu dilaksanakan dengan intesitas sampling sbb : Intensitas Populasi sampling 1-100 batang 100% 101-1000 batang 100 batang 1001 batang 10% b. Kesimpulan pemeriksaan Tidak diperbolehkan terdapat perbedaan jumlah dan jenis ( perbedaan 0%”) Toleransi perberdaan volume 5 % (dari jumlah volume hasil pemeriksaan) % penyimpangan =
1.
C. Pengukuran Kayu Bundar Jati (KBJ) Pengukuran Diameter Pengukuran diameter pada ujung terkecil tanpa kulit Diameter diukur dengan menggunakan “phi band”dan langsung didapat angka kelas diameter
a. b. c.
2.
Pengukuran dengan pita ukur biasa diperoleh data keliling yang dapat dikonversi menjadi kelas diameter atau dapat langsung dijadikan dasr penetapan isi kayu pada tabel isi. Diameter KBJ dinyatakan dalan kelas diameter, KBK dan KBS dinyatakan dalam kelipatan 3 cm dan untuk KBB dinyatakan dalam kelipatan 1 cm, dengan perincian sbb : Kayu bundar kecil (A.I) Kelasa diameter 4 cm, 7 cm, 10 cm, 13 cm, 16 cm dan 19 cm Kayu bundar sedang (A.II) Kelas diameter 22 cm, 25 cm dan 28 cm Kayu bundar besar (A.III) Kelas diameter 30 cm, 31 cm, dst (kelipatan 1 cm) Gambar tata cara pengukuran diameter :
Pengukuran Panjang Panjang kayu adalah jarak terpendek antara kedua bontos melalui badan kayu Terhadap hasil pengukuran tidak diberi spilasi Panjang kayu ditetapkan dalan kelas panjang berdasarkan jenis sentimen. Table kelas panjang KBJ No Sortimen Kelas panjang c. s.d panjang 11 m, diukur dalam kelipatan 0,5 m. 1 KBK (A.I) d. Panjang 11 m ke atas, diukur dalam kelipatan 1 m e. s.d panjang 2,25 m, diukur dalam kelipatan 0,25 m f. Panjang 2,5 m s/d 11 m diukur dalam kelipatan 2 KBS (A.II) 0,5 m g. Panjang 11 m ke atas diukur dalam kelipatan 1 m h. s. d panjang 10 m diukur dalam kelipatan 10 cm 3 KBB (A.III) i. Panjang 10 m ke atas diukur dalam kelipatan 0,5 m Gambar cara pengukuran panjang : 3. Penetapan Volume Isi KBJ dapat dicari melalui table isi KBJ berdasarkan kelas diameter dan kelas panjang yang telah ditetapkan, Isi KBJ dapat pula dihitung dengan rumusSMALLIAN : Dimana : I = Isi/volume
Bp = Luas bontos pangkal Bu = Luas bontos ujung P = Panjang = 0,7854 Untuk keperluan ini, volume dikurangi 5 % 4. Metode Pengambilan Sampel a. Pengambilan sampel Pengambilan sampel secara acak Pemeriksaan jumlah dan jenis kayu dilaksanakan 100% Pemeriksaan ukuran/isi dan mutu dilaksanakan dengan intensitan sampling sbb: Populasi Intensitas sampling 1-100 batang 100% 1001-1000 batang 100 batang 1001 batang 10 %
-
b. Kesimpulan pemeriksaan Tidak diperbolehkan terdapat perbedaan jumlah dan jenis (perbedaan 0 %) Toleransi perbedaan ukuran 5 % ( dari jumlah batang )
1. -
D. Pengukuran Kayu Bulat Mewah Pengukuran Diameter Pengukuran dilakukan terhadap kedua botos (bontos pangkal dan bontos ujung) Diameter kayu bulat (D) adalah rata –rata dari diameter bontos pangakal (Dp) dan diameter bontos ujung (Du) dalam kelipatan 1 centimeter penuh. Diameter bontos pangkal (Dp) adalah rata-rata diameter terpendek (d1) melalui pusat bontos dan diameter yang tegak lurus terhadapnya (d2) juga melalui pusat bontos, masing-masing dalam kelipatan 1 cm penuh. Diameter bontos ujung (Du) adalah rata-rata diameter terpendek (d3) melalui pusat bontos dan diameter yang tegak lurus terhadapnya (d4) juga melalui pusat bontos, masing-masing dalam kelipatan 1 cm penuh. Khusus kayu Eboni hanya diukur kayu terasnya, (tanpa gubal)
2. -
Pengukuran Panjang Panjang kayu bulat (L) adalah jarak terpendek antara kedua bontos sejajar dengan sumbu kayu bulat tersebut. Panjang diukur dalam kelipatan 10 cm Terhadap hasil pengukuran diberikan spilasi 10 cm 3. -
Penetapan Volume Volume/isi kayu bulat didapat dari table isi kayu bulat rimba Indonesia Dengan menggunakan rumus “Brereton metric”
Dimana :
I : volume/isi kayu bulat ( ) 0,7854 : D : diameter kayu bulat (cm) P : panjang kayu bulat (m) Dalam hal ada cacat busuk (global busuk dan busuk hati) dan gerowongan, maka dalam penetapan isi, cacat-cacat tersebut akan meredusir isi kayu bulat. Isi bersih = isi kotor – isi cacat
Isi kotor Isi cacat dalam Isi bersih
= isi kayu bulat seluruhnya dalam = isi bagian cacat (gubal busuk dan atau busuk hati / gerowong) = isi kayu bulat setelah direduksi isi cacat dalam
4.
Perhitungan Cacat yang Meredusir isi kayu Cacat bontos (Gr/Bh, Hr) Pengukuran ketiga macam cacat ini adalah dengan cara mengukur diameter cacat yang terpanjang. Prosentase cacat bontos adalah sbb : % Gr/Bh/Hr I D
= Persentase cacat bontos terhadap volume kayu = Diameter terpanjang cacat bontos (Gr/Bh/Hr) = Diameter kayu bulat
Cacat Gubal busuk (Gb) Gubal busuk diukur dengan cara mengukur tebal gubal tertebal diantara kedua bontos : Prosentase gubal busuk adalah sbb : Dimana : % Gb = Persentase gubal terhadap volume kayu T = Tebal gubal tertebal D = Diameter kayu bulat 5. a. -
Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel : Pengambilan sampel secara acak Pemeriksaan jumlah dan jenis kayu dilaksanakan 100 % Pemeriksaan ukuran/isi dan mutu dilaksanakan dengan intensitas sampling sbb : Populasi Intensitas sampling 1-100 batang 100% 1001-1000 batang 100 batang
b. -
1001 batang 10 % Kesimpulan pemeriksaan : Tidak diperbolehkan terdapat perbedaan jumlah dan jenis (perbedaan 0 %) Toleransi perbedaan volume 5 % (dari jumlah volume hasil pemeriksaan)
BAB V. BENTUK BATANG DAN VOLUME Kompetensi Umum Kompetensi Khusus Waktu Pokok Bahasan Pertemuan
: : : :
5.1. Pendahuluan 5.1.1. Deskripsi Singkat 5.1.2. Relevansi 5.2. Penyajian A. Bentuk Batang Selain diameter dan tinggi pohon, bentuk batang adalah salah satu komponen penentu volume pohon. Bentuk batang diantaranya dapat digambarkan oleh angka bentuk (form factor) dan taper. Angka Bentuk Batang (f) didefinisikan sebagai perbandingan atau rasio antara volume batang yang sebenarnya dengan volume silinder yang memiliki tinggi atau panjang sama. Berdasarkan diameter yang digunakan untuk menghitung volume silindernya, angka bentuk dibedakan atas : (1) angka bentuk mutlak ; (2) angka bentuk buatan ; (3) angka bentuk normal. Angka bentuk mutlak (absolute form factor) adalah angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan diameter pada pangkal batang. Angka bentuk buatan (artificial form factor) adalah angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan dbh. Sedangkan angka bentuk normal (true form factor/hohenadl form factor) adalah angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan diameter pada ketinggian 1/10 tinggi pohon. Oleh karena dbh biasa digunakan sebagai ciri diameter pohon, maka angka bentuk yang sering digunakanpun adalah angka bentuk buatan. Taper adalah suatu istilah yang menggambarkan bentuk batang yang meruncing. Dengan kata lain, taper menggambarkan pengurangan atau semakin mengecilnya diameter batang dari pangkal hingga ke ujung. Chapman dan
Meyer (1949) menyatakan bahwa taper merupakan resultante dimensi pohon yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan tinggi dan diameter pohon. Pertumbuhan tinggi pohon lebih dipengaruhi oleh kualitas tempat tumbuh, sedangkan diameter pohon lebih dipengaruhi oleh kerapatan pohon. Philip (1993) menyatakan taper sebagai laju perubahan diameter pada panjang atau tinggi tertentu, yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai : t = (dp – du)/l ; di mana : t = taper ; dp, du = diameter pangkal, ujung ; l = panjang batang. Bentuk batang yang semakin mengecil ke ujung dapat juga dinyatakan dalam sebuah persamaan fungsional hubungan antara diameter sepanjang batang (di) pada berbagai ketinggian tempat diameter tersebut diukur (hi), sehingga di = f(hi). Persamaan seperti itu disebut sebagaifungsi taper. Untuk mengurangi keragaman absolut yang besar akibat adanya perbedaan ukuran batang dalam hal ini diameter dan tinggi/panjang batang, sebaiknya digunakan peubah-peubah relatif, sehingga fungsi tapernya menjadi : di/D = f(hi/H) atau di/D = f(1– hi/H) ; di mana : D = dbh atau diameter pangkal ; H = tinggi bebas cabang atau tinggi total. Penggunaan lebih lanjut dari fungsi taper ini adalah untuk menduga volume batang dengan cara integrasi lbds pada panjang atau selang ketinggian tertentu. Kelebihan cara pendugaan volume pohon melalui fungsi taper ini adalah bahwa volume pohon dapat ditentukan pada berbagai ketinggian atau panjang yang dikehendaki. Sedangkan kelemahannya adalah dugaan volume pohon akan bias kalau fungsi taper yang digunakan tidak berhasil menggambarkan pola bentuk batang yang sebenarnya. B. Volume Volume pohon adalah ukuran tiga dimensi, yang tergantung dari lbds (atau diameter pangkal), tinggi atau panjang batang, dan faktor bentuk batang. Cara penentuan volume batang dibedakan antara cara langsung dan cara tidak langsung. Penentuan volume cara langsung hanya bisa dilakukan untuk kayu dalam bentuk sortimen (log), dengan menggunakan alat yang namanya xylometer, yaitu berupa bak persegi yang diisi air. Sortimen yang akan diukur volumenya dimasukkan ke dalam bak berisi air, volume kayu adalah pertambahan tinggi air dalam bak dikalikan luas penampang bak. Kalau bak diisi penuh air, maka volume air yang tumpah adalah sama dengan volume kayu yang dimasukkan. Sedangkan penentuan volume cara tidak langsung, dilakukan dengan metode grafis atau dengan menggunakan persamaan volume. Penentuan volume metode grafis pada dasarnya adalah dengan cara memplotkan pasangan data diameter atau lbds dan tinggi atau panjang masingmasing pada sumbu absis dan sumbu ordinat dari diagram cartesius, sehingga dapat dibuat garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang berurutan membentuk sebuah kurva yang menggambarkan pola bentuk batang. Kemudian dihitung luas daerah dibawah kurva di atas sumbu absis. Volume batang adalah luas daerah dikalikan dengan sebuah konstanta yang besarnya tergantung faktor skala dan pengaruh satuan pada absis maupun ordinat.
Bentuk geometris yang paling mendekati bentuk pohon adalah silinder. Sehingga rumus-rumus penentuan volume batang pada umumnya mengacu kepada rumus volume silinder dengan berbagai macam penyesuaian. Rumus volume silinder adalah : V = BH ; di mana : B = lbds ; H = tinggi atau panjang. Untuk pohon di mana nilai diameternya bervariasi dari pangkal hingga ke ujung batang, maka permasalahannya adalah menentukan diameter mana yang akan digunakan untuk menghitung lbds-nya. Rumus volume silinder terkoreksi menghitung volume dengan menggunakan dbh atau diameter pangkal untuk menghitung lbds-nya, kemudian nilai volume yang diperoleh dikalikan lagi dengan sebuah faktor koreksi yang merupakan faktor bentuk batang (f), sehingga V = BHf. Beberapa rumus empiris yang banyak dikenal, menentukan volume dengan menggunakan rumus umum volume silinder : V = BH tetapi dengan penyesuaian terhadap diameter yang digunakan untuk menghitung lbds-nya, misalnya rumus Brereton mengggunakan diameter yang merupakan rata-rata diameter pangkal dan ujung untuk menghitung lbds-nya ; rumus Smalian menggunakan lbds yang merupakan rata-rata lbds pangkal dan ujung ; rumus Huber menggunakan diameter tengah untuk menghitung lbds-nya ; sedangkan rumus Newton menggunakan lbds yang merupakan rata-rata lbds pangkal, tengah dan ujung di mana lbds tengah diberi bobot empat kali lbds lainnya ; dan lain-lain. Wiant, Wood dan Furnival (1992) menyatakan bahwa rumus Newton sudah sejak lama diakui sebagai rumus paling akurat untuk pendugaan volume log, dibanding rumus-rumus empiris lainnya. Rumus Newton dapat digunakan baik untuk bentuk silinder, paraboloid, konoid maupun neiloid. Tabel 1. Beberapa rumus penduga volume log ¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾ Nama Rumus ¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾ Brereton V = ((p/4)((b+s)/2)2)L Huber V = ML Smalian V = ((B+S)/2)L Newton V = ((B+4M+S)/6)L ¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾ di mana : V = dugaan volume log (m3) p = nilai phi = 3,14159… b = diameter pangkal log (cm/100) s = diameter ujung log (cm/100) 2 B = lbds pangkal log (m ) M = lbds tengah-tengah log (m2) S = lbds ujung log (m2) L = panjang log (m) Dengan dasar pemikiran bahwa volume batang adalah merupakan bentuk benda putar dari fungsi tapernya, dan volume batang pada hakekatnya adalah merupakan penjumlahan dari lbds-lbds setiap titik dari pangkal hingga ke ujung
batang, maka volume batang dapat dihitung melalui integrasi fungsi tapernya. Apabila fungsi tapernya adalah : d = f(h) maka : Ve = ¼p ò d² dh. Untuk mengoreksi adanya kemungkinan bias dugaan volume akibat ketidaksesuaian fungi taper dalam menggambarkan pola bentuk batang yang sesungguhnya Gregoire, Valentine dan Furnival (1986) mengembangkan metode pendugaan volume batang yang disebut importance sampling, yaitu : V = Ve x A/a ; di mana : A/a adalah sebuah faktor koreksi yang merupakan rasio lbds ; A = lbds dengan menggunakan diameter yang sebenarnya pada titik tertentu di batang yang ditentukan secara acak ; sedangkan a = lbds pada ketinggian yang sama dengan A tapi menggunakan diameter yang diduga melalui fungsi tapernya. Selanjutnya, Wood, Wiant, Loy dan Miles (1990) mengemukakan bahwa berdasarkan simulasi yang dilakukannya apabila pengacakan untuk menentukan ketinggian tempat diameter diukur dilakukan secara berulang-ulang maka rata-rata ketinggian tempat diameter di ukur tersebut akan terletak pada ketinggian setengah dari total volume batang. Titik tersebut diperkenalkan sebagai titik centroid volume dan importance sampling dimodifikasi menjadi centroid sampling. Wiant, Wood dan Furnival (1992), mengkombinasikan metode centroid (centroid sampling) dengan rumus Newton (catatan : rumus Newton diyakini sebagai rumus empiris terbaik dalam menduga volume batang untuk berbagai bentuk batang, dibanding rumus-rumus empiris penduga volume lainnya), sehingga pada akhirnya diperoleh rumus penduga volume yang disebut rumus centroid : V = SL + (b1L2)/2 + (b2L3)/3 di mana : S = lbds ujung log (m2) L = panjang log (m) 2 b1 = (B-S-b2L )/L b2 = (B-C(L/q)-S(1-L/q))/(L2-Lq) B = lbds pangkal log (m2) C = lbds pada posisi centroid volume (m2) q = (((b/s)4 + 1)0.5 - 20.5)/(20.5((b/s)2 - 1)) L (m) 2 s = diameter ujung log (m ) b = diameter pangkal log (m) Latifah (1994), Krisnawati (1994) dan Elviadi (1994), masing-masing menggunakan 120 log meranti (Shorea spp.), keruing (Dipterocarpus spp.)dan ramin (Gonystylus spp.) di Propinsi Kalimantan Tengah untuk membandingkan performansi tujuh buah rumus (Brereton, Smalian, Huber, Bruce, Patterson Clark, Newton dan Centroid) dalam pendugaan volume log. Penelitian yang sama dilakukan Muhdin (1997) dengan menggunakan 499 log meranti (Shorea spp.) di Propinsi Riau. Secara umum rumus Newton dan Centroid merupakan rumus terbaik untuk pendugaan volume log meranti maupun keruing, sedangkan Patterson Clark terbaik untuk jenis ramin. Dari penelitian Bustami (1995) yang menggunakan 157 log Pinus merkusii di Jawa juga diperoleh kesimpulan bahwa rumus Newton dan Centroid merupakan rumus terbaik untuk pendugaan volume log P. merkusii.
Cara penentuan volume pohon yang paling praktis adalah dengan menggunakan tabel volume pohon. Tabel volume pohon adalah suatu tabel yang berisi nilai-nilai dugaan volume pohon pada ukuran diameter atau diameter dan tinggi pohon tertentu. Berdasarkan peubah penduga yang digunakan, tabel volume pohon dibedakan menjadi : tabel volume lokal, tabel volume baku dan tabel volume dengan kelas bentuk. Tabel volume lokal atau dikenal juga dengan istilah tariff volume adalah tabel volume dengan menggunakan dbh sebagai penduganya. Tabel volume baku adalah tabel volume dengan menggunakan dbh dan tinggi pohon sebagai peubah penduganya. Tabel volume dengan kelas bentuk adalah semacam tabel volume baku yang dibuat untuk setiap kelas bentuk batang. Diantara ketiga macam tabel volume tersebut, yang paling praktis adalah tabel volume lokal yang hanya menggunakan dbh sebagai peubah penduga, namun secara teoritis memiliki ketelitian yang lebih rendah dibanding tabel volume baku dan tabel volume dengan kelas bentuk. Tabel volume dibuat berdasarkan persamaan volume yang disusun dengan persamaan regresi. Persamaan regresi terbaik biasanya dipilih dari berbagai macam persamaan yang dicobakan terhadap data yang dimiliki. Dari sekian banyak persamaan regresi yang dapat dicoba, persamaan : V = aDb (di mana : V = volume pohon ; D = dbh ; a, b = konstanta), adalah persamaan regresi yang paling banyak digunakan. Selain alasan kesederhanaan model dan kepraktisan karena hanya menggunakan dbh sebagai peubah penduga, juga model tersebut adalah model yang secara matematis memiliki kerangka pemikiran (landasan teoritis) yang jelas. Persamaan V = aDb dikenal juga sebagai persamaan Berkhout (Loetsch, Zohrer dan Haller, 1973). Suhendang (1993) dalam Wood dan Wiant (1993), menyatakan bahwa menurut Bruce dan Schumacher (1950), penurunan model Berkhout tersebut adalah sebagai berikut : 1. Volume sebuah pohon dapat dinyatakan sebagai : V = ¼p(D/100)²Hf ; di mana : V = volume (m³) ; D = dbh (cm) ; H = tinggi pohon (m) ; f = angka bentuk 2. Untuk jenis pohon tertentu yang memiliki angka bentuk tertentu, maka f adalah konstanta, dan (¼p/10000)f = a adalah konstanta juga. Sehingga persamaan volume di atas menjadi : V = aD²H 3. Apabila volume meningkat proporsional terhadap pangkat tertentu dari D dan H (masing-masing selain 2 dan 1), maka persamaan volume menjadi : V = aDgHh 4. Apabila terdapat hubungan yang erat antara D dengan H, maka keragaman V yang disebabkan oleh keragaman H dapat dijelaskan oleh keragaman D, atau sebaliknya. Atas dasar itu maka V dapat diduga oleh D atau H saja, sehingga persamaan volume menjadi : V = aDb atau V = aHc . Persamaan V = aDb banyak dipakai dan lebih disukai karena D = dbh lebih mudah diukur dari pada tinggi pohon (H).
Asumsi yang mendasari berlakunya tabel volume lokal pada sebuah areal hutan (tegakan) adalah bahwa pohon-pohon yang memiliki ukuran diameter sama maka akan memiliki tinggi dan angka bentuk batang yang sama pula sehingga dengan demikian akan memiliki volume pohon yang sama pula. Sedangkan asumsi yang melandasi berlakunya tabel volume baku adalah bahwa pohon-pohon yang memiliki dbh dan tinggi pohon yang sama maka akan memiliki angka bentuk batang yang sama pula, sehingga akan memiliki volume pohon yang sama juga. DAFTAR PUSTAKA BUSTOMI, S. 1995. Penggunaan Centroid Volume dalam Menduga Volume Kayu Bulat Pinus,Pinus merkusii Jungh. Et de Vries. Thesis pada Program Pascasarjana IPB. Bogor. (unpublished). CHAPMAN, H.H. and W.H. MEYER. 1949. Forest Mensuration. McGraw-Hill Book Company Inc. New York. ELVIADI, I. 1994. Perbandingan Ketepatan Hasil Pendugaan Volume Sortimen Kelompok Ramin,Gonistylus spp., Berdasarkan Rumus Empiris Volume Sortimennya. Studi Kasus di Areal HPH PT Inhutani III Sampit Kalimantan Tengah. Skripsi pada Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. (unpublished). KRISNAWATI, H. 1994. Perbandingan Ketepatan Hasil Pendugaan Volume Sortimen Kelompok Keruing, Dipterocarpus spp., Berdasarkan Rumus Empiris Volume Sortimennya. Studi kasus di HPH PT Inhutani III Sampit Kalimantan Tengah. Skripsi pada Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. (unpublished). LAAR, A. van and AKÇA, A. 1997. Forest Mensuration. Cuvillier Verlag. Göttingen. LATIFAH, S. 1994. Perbandingan Ketepatan Hasil Pendugaan Volume Sortimen Kelompok Meranti Merah, Shorea spp., Berdasarkan Rumus Empiris Volume Sortimennya. Studi Kasus di Areal HPH PT Inhutani III Sampit Kalimantan Tengah. Skripsi pada Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. (unpublished). LOETCSH, F., F. ZOHRER and K.E. HALLER. 1973. Forest Inventory. Volume II. Translated into English by K.F. Panzer. BLV Verlagsgesellschaft mbH. Munchen. MUHDIN. 1997. Analyzing Some Formulae of Log Volume Estimation on Log of Meranti. Post Graduate Thesis. Faculty of Forestry and Ecological Sciences. Georg-August-University Gottingen. Germany. (unpublished) PATTERSON, D.W., H.V. WIANT, Jr., and G.B. WOOD. 1993. Log Volume Estimations. The Centroid Method and Standard Formulas. J. of Forestry. 91(8): 39-41.
PHILIP, M.S. 1994. International.
Measuring Trees and Forests.
Second Edition. CAB
SUHENDANG, E. 1997. Estimating Standing Tree Volume of Some Commercial Trees of theTropical Rain Forest in Indonesia. In : Modern Methods of Estimating Tree and Log Volume (Edited by Wood and Wiant). West Virginia University Publications Services. Morgantown. USA. WIANT, Jr. 1988. Where is the Optimum Height for Measuring Tree Diameter ?. North J. Appl. For. 5 : 184-185. WIANT, Jr., H.V., G.B. WOOD and G.