Imunisasi DPT (Difteri Pertusis Tetanus) Pengertian Imunisasi DPT
Imunisasi DPT adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit Diferi, Pertusis, Tetanus dengan cara memasukkan kuman difteri, pertusis, tetanus yang telah dilemahkan dan dimatikan kedalam tubuh sehingga tubuh dapat menghasilkan zat anti yang pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit ketiga penyakit tersebut. DPT merupakan singkatan dari Difteri Pertusis Tetanus. Difteri : Difteri : Radang tenggorokan yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian anak hanya dalam beberapa hari saja. Pertusis : Pertusis : Penyakit radang pernafasan (paru) yang disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari, karena lama sakitnya dapat mencapai 3 bulan lebih atau 100 hari. Gejala penyakit ini sangat khas, batuk yang bertahap, panjang dan lama disertai bunyi ‘whop’ dan diakhiri dengan muntah, mata dapat bengkak atau penderita dapat meninggal karena kesulitan bernafas. Tetanus : Penyakit kejang otot seluruh tubuh dengan mulut terkancing tidak bisa dibuka. Manfaat dan Efek Samping Imunisasi DPT Salah satu upaya agar anak-anak jangan sampai menderita suatu penyakit adalah dengan jalan memberikan imunisasi. Dengan imunisasi ini tubuh akan membuat zat anti dalam jumlah banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap penyakit. Jadi tujuan imunisasi DPT adalah membuat anak kebal terhadap penyakit Difteri, Pertusis, Tetanus. Selain itu manfaat pemberian imunisasi DPT adalah :
Untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus. Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding terkena penyakit secara alami. Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh j uga memiliki cara membuat kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya kuman-kuman kedalam tubuh. Namun bila jumlah yang masuk cukup banyak dan ganas, bayi akan sakit. Dengan semakin berkembangnya teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisa ditanggulangi dengan obat-obatan. Namun bagaimanapun juga pencegahan adalah jauh lebih baik dari pada pengobatan.DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Pada kurang dari 1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi berikut: Demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) Kejang Kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya) Syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon). Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan. 1-2 hari setelah mendapatkan suntikan DPT, mungkin akan terjadi demam ringan, nyeri, kemerahan atau pembengkakan di tempat penyuntikan. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan. Jadwal Pemberian Imunisasi DPT Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali, karena saat imunisasi pertama belum memiliki kadar antibody protektif terhadap difteri dan akan memiliki kadar antibody setelah mendapatkan imunisasi 3 kali. Dimulai sejak bayi berumur dua bulan dengan selang waktu antara dua penyuntikan minimal 4 minggu. Imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan anak yang menderita penyakit kejang demam kompleks. Jiga tidak boleh diberikan pada anak dengan batuk yang diduga mungkin sedang menderita batuk rejan. Bila pada suntikan DPT pertama terjadi reaksi
yang berat maka sebaiknya suntikan berikut jangan diberikan DPT lagi melainkan DT saja (tanpa P). (Prof. DR.A.H. Markum, 2000) DPT biasanya tidak diberikan pada anak usia kurang dari 6 minggu, disebabkan respon terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedangkan respon terhadap tetanus dan difteri adalah cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibody maternal IMUNISASI ANJURAN
Pengertian imunisasi Sistem imunisasi dapat mencegah antigen antigen menginfeksi tubuh. Sistem imunitas ini bersifat alami dan artificial. Imunisasi bersifat spesifik dan non spesifik. Saat antigen menginfeksi tubuh, imunitas non spesifik yang terdiri dari sel komplemen dan makrofag akan bertarung dengan cara memakan zat antigen tersebut. Setelah itu baru imunitas spesifik yang menyempurnakan perlawanan dari imunitas kata. Imunitas spesifik terdiri dari imunitas humoral dan imunitas seluler.
Sistem pertahanan humoral menghasilkan imonoglobulin (IgM, IgA, IgD, IgG, IgE), sedangkan sistem pertahanan seluler terdiri dari sel limfosit B dan sel limfosit T (sel Th1, Th2, Tc). Pada tahap selanjutnya, imunitas spesifik menghasilkan suatu sistem memori. Pada masa anak-anak imunitas seluler akan berkembang spesifik setelah 2-3 tahun, sedangkan imunitas humoral harus menunggu sampai 6-9 tahun. (Proverawati A dan Andhini CSD, 2010)
Imunitas antifecial, bekerja secara aktif dan pasif, bekerja secara aktif bila sesuatu zat diinduksikan ke dalam tubuh yang bertujuan untuk merangsang sistem imun mengeluarkan antibodi , sebagai contoh adalah imunisasi. Bekerja secara pasif jika menyuntikan serum yang berisi antibodi kedalam tubuh, sebagai contoh serum bisa ular. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti resisten atau kebal. (Proverawati A dan Andhini CSD, 2010)
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merasngsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu. Sistem imun tubuh mempunyai suatu sistem memori (daya ingat), ketika vaksin masuk ke dalam tubuh, maka akan dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan sistem memori akan menyimpannya sabagai suatu pengalaman. Jika nantinya tubuh terpapar dua atau tiga kali oleh antingen yang sama dengan vaksin maka antibodi akan tercipta lebih cepat dan banyak walaupun antigen bersifat lebih kuat dari vaksin yang pernah dihadapi sebelumnya. Oleh karena itu imunisasi efektif mencegah penyakit infeksius. (Proverawati A dan Andhini CSD, 2010)
Imunisasi dapat dilakukan pada orang dewasa ataupun anak – – anak, pada anak –anak –anak karena sistem imun belum sempurna. Sedangkan pada usia 60 tahun terjadi penurunan sistem imun nonspesific seperti produksi air mata menurun, mekanisme batuk tidak efektif, gangguan pengaturan susu, dan perubahan fungsi sel sistem imun, baik seluler maupun humoral. Dengan demikian usia lanjut lebih rentan terhadap infeksi, penyakit autoimun dan keganasan. Namun usia lanjut masih menunjukkan respon yang baik terhadap polisakarida bakteri, sehingga pemberian vaksin dapat meningkatkan antibodi dengan efektif. (Proverawati A dan Andhini CSD, 2010)
Tujuan imunisasi anjuran Kebanyakan imunisasi bertujuan untuk memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya dan sering terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan seorang anak. Walaupun pengalaman sewaktu mendapatkan vaksinasi tidak menyenangkan untuk bayi (karena biasanya disuntik), tapi rasa sakit yang sementara akibat suntikan ini demi untuk kesehatan anak dalam jangka waktu panjang. (Aminah MS, 2009) Tujuan imunisasi anjuran sama dengan tujuan imunisasi pada umumnya yaitu untuk melindungi dan mencegah terhadap penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi dan anak. Jenis-jenis penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi, yang diwajibkan ada 6 macam penyakit: tuberkolosis (TBC), difteri, pertusis (batuk rejan atau batuk 100 hari), tetanus, poliomielitis, dan campak. Sedangkan imunisasi yang di anjurkan seperti penyakit radang hati (hepatitis), penyakit gondongn (mums), penyakit campak jerman (rubella), penyakit tifes paratifes, penyakit kolera (Aminah MS, 2009).
Jenis – jenis Imunisasi Menurut Proverawati A dan Andhini CSD (2010) imunisasi ada 2 macam, yaitu: 1.Imunisasi aktif Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah iminisasi polio atau campak. 2.Imunisasi pasif Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara memberikan zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui plasenta ) atau binantang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. Contoh Imunisasi pasif adalah penyuntikkan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah terdapat pada bayi yang baru lahir diman bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama kandungan, misalnya antibodi terhadap campak. Pelayanan imunisasi Kegiatan pelayanan imunisasi terdiri dari kegiatan operasional rutin dan khusus. Kegiatan tersebut adalah: 1.Kegiatan imunisasi rutin Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang secara rutin dan terus menerus harus dilakukan pada periode waktu yang telah ditentukan. Kegiatan ini terdiri atas; Imunisasi dasar pada bayi 1. Imunisasi ini dilakukan pada bayi umur 0-11 bulan, meliputi: BCG, DPT, Polio, Hepatitis, Campak. Idealnya bayi harus mendapat imunisasi dasar yang lengkap, terdiri dari BCG 1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali, Hepatitis 3 kali dan Campak 1 kali. Untuk menilai kelengkapan status imunisasi dasar bayi, dapat dilihat dari cakupan imunisasi campak, karena pemberian imunisasi campak dilakukan paling akhir, setelah keempat imunisasi dasar pada bayi yang lain telah dilakukan. 2. Imunisasi pada wanita usia subur (WUS) 3. Imunisasi pada anak sekolah dasar 2.Imunisasi tambahan Merupakan kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini tidak rutin dilakukan, karena hanya ditujukan untuk penanggulangan penyakit tertentu. Berikut beberapa kegiatan imunisasi tambahan: Backlog fighting Merupakan upaya aktif dalam melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1-3 tahun. Sasaran utama dari backlog fihgting adalah desa atau kelurahan yang belum mencapai desa UCI selama dua tahun berturut-turut. Universal child imunization (UCI) adalah tercapainya imunisasi dasar secara lengkap pada bayi (0-11 bulan), ibu hamil, wanita usia subur dan anak sekolah tingkat dasar. Imunisasi lengkap pada bayi meliputi: 1 dosis BC, 3 dosis DPT, 4 dosis Polio, 3 dosis Hepatitis B, 1 dosis Campak. Pada ibu hamil dan wanita usia subur meliputi 2 dosis TT. Untuk anak sekolah tingkat dasar meliputi 1 dosis DT, 1 dosis campak dan 2 dosis TT (hristopher, yayan A. 2009). Crash program Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah terjadinya KLB (kejadian luar biasa). Pemilihan lokasi crash program didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu: Angka kematian bayi tinggi dan angka PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) tinggi, infrastruktur (tenaga, sarana, dana kurang) dan desa selama 3 tahun berturut-turut tidak mencapai target UCI (Universal Child Imunization). 3.Imunisasi dalam penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) 4.Kegiatan imunisasi khusus, seperti: Pekan imunisasi nasional (PIN) Sub pekan imunisasi nasional Cactch-up campaign campak Walaupun imunisasi merupakan suatu hal yang lazim dilakukan, tetapi perlu kehati-hatian dalam melakukannya.
Kontra indikasi pemberian imunisasi Kontra indikasi dalam pemberian ada 3, yaitu: 1. Analvilaksis atau reaksi hipersensitiva (reaksi tubuh yang terlalu sensitif) yang hebat merupakan kontraindikasi mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat kejang demam dan panas lebih dari 380C merupakan kontraindikasi pemberian DPT atau HB1 dan campak. 2. Jangan berikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukkan tanda-tanda dan gejala AIDS, sedangkan vaksin yang lainnya sebaiknya diberikan. 3. Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi kepada bayi yang sakit, lebih baik jangan diberikan vaksin, tetapi mintalah i bu kembali lagi ketika bayi sudah sehat. Penanganan bagi bayi yang mengalami kondisi sakit, sebaiknya tetap diberikan imunisasi: 1. Pada bayi yang mengalami alergi atau asma imunisasi masih bisa diberikan. Kecuali jika alergi pada komponen khusus dari vaksin yang diberikan. 2. Sakit ringan seperti infeksi saluran pernafasan atau diare dengan suhu dibawah 38,50C. 3. Riwayat keluarga tentang peristiwa yang membahayakan setelah imunisasi. Riwayat yang belum tentu benar ini membuat keengganan bagi ibu untuk memberikan imunisasi pada anaknya, akan tetapi hal ini bukan masalah besar, jadi imunisasi masih tetap diberikan. 4. Pengobatan antibiotik, masih biasa diberikan bersamaan dengan pemberian munisasi. 5. Dugaan infeksi HIV atau positif terinfeksi HIV dengan tidak menunjukkan tanda-tanda dan gejala AIDS, jika menunjukkan tanda-tanda dan gejala AIDS k ecuali imunisasi BCG, imunisasi yang lain t etap berlaku. 6. Anak diberi ASI, bukan masalah pemberian ASi jika disertai pemberian imunisasi. 7. Pemberian imunisasi juga dapat dilakukan pada bayi yang sakit kronis, seperti penyakit jantung kronis, paru-paru, ginjal atau liver. 8. Pada penderita down’s syndrome atau pada anak dengan kondisi saraf yang stabil seperti kelumpuhan otak yang disebabkan karena luka, imunisasi boleh saja diberikan. 9. Bayi yang lahir sebelum waktunya (prematur) atau berat bayi saat lahir rendah. 10. Sebelum atau pasca operasi. 11. Kurang gizi. 12. Riwayat sakit kuning pada kelahiran Macam2 imunisasi anjuran Imunisasi anjuran merupakan imunisasi non program seperti MMR (Mumps Measles Rubella), Hib (Hemophilus Influenzae tipe B), menginitis, influenza, IPD (Invasive Pneumococcal Disease), tifoid dan hepatitis A (Sostroasmoro, 2007). 1.Imunisasi HIB a.Fungsi Imunisasi HIB, tergolong imunisasi yang dianjurkan. Imunisasi diberikan agar tubuh mempunyai kekebalan terhadap bakteri Haemophilus Influenza Type B. Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit yang tergolong berat, seperti meningitis (radang selaput otak). Pada menginitis bakteri tersebut menginfeksi selaput pelindung otak dan saraf otak, menyebabkan radang pada tempat-tempat tersebut. Bila bakteri ini menginfeksi paru-paru menyebabkan radang paruparu (pnemonia). Bakteri Haemophilus Influenza Type B dapat menyebabkan septisemia (keracunan darah dan merupakan infeksi yang lebih tersebar luas keseluruh tubuh). Penyakit HIB adalah penyebab paling umum infeksi mematikan pada anak berusia di bawah 5 tahun sebelum ditemukannya vaksinasi HIB rutin pada tahun 1993. Kasus infeksi HIB sebelum tersedianya vaksin paling sering terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun dan jarang terjadi setelah usia 5 tahun. Meskipun kemiripan namanya, penyakit ini tidak ada hubungannya dengan influenza.
Haemophilus Influenzae adalah bakteri yang biasa hidup dijalur pernafasan bagian atas. Penyakit HIB dapat menyebabkan: 1. Meningitis, infeksi pada selaput yang melindungi otak. 2. Epiglotitis, bengkaknya tenggorokan yang dapat menghambat pernafasan. 3. Septic arthritis, infeksi pada sendi
4. 5.
Cellulitis, infeksi pada jaringan dibawah kulit biasanya dimuka. Radang paru-paru
Gejala tersebut dapat berkembang cepat dan bila dibiarkan tanpa perawatan, dapat cepat menyebabkan kematian. b.Penularan Penyakit HIB menular melalui bersin atau batuk dari penderita secara langsung. Penularan juga dapat disebabkan, karena penggunaan barang-barang yang terkontaminasi oleh bakteri Haemophilus Influenza Type B dan secara tidak sengaja menjangkit tubuh kita melalui mulut. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi. Anak-anak yang minum ASI masih bisa terlindungi, akan tetapi lebih baik jika diberikan imunisasi. c.Cara pemberian dan dosis Imunisasi HIB diberikan pada bayi berumur 2,3 dan 5 bulan. Imunisasi ini diberikan 3 kali. Yang pertama ketika berumur 2 bulan, yang kedua 3 bulan dan yang ke tiga berumur 5 bulan. Imunisasi Hib diberikan secara suntikan dibagian otot paha. Imunisasi ini diberikan dalam satu suntikan bersama DPT. Juga boleh diberikan bersama imunisasi hepatitis B. d.Efek samping Setelah pemberian imunisasi ini, biasanya sakit, bengkak dan kemerahan berlaku ditempat suntikan. Biasanya berlaku sampai 3 hari. Kadang demam juga bisa terjadi. Efek samping ini tergolong ringan, jika dibandingkan dengan penyakit Hepatitis B.
2.Imunisasi meningitis a.Fungsi Menginitis merupakan penyakit akut radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri Nesseria meningitidis. Meningitis penyebab kematian dan kesakitan diseluruh dunia, CFR melebihi 50%, tetapi dengan diagnosis dini, terapi modern dan suportif CFR menjadi 5-15%. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilaksis untuk orang-orang yang kontak dengan menginitis dan karier. Meningitis meningokokus adalah penyakit radang selaput otak dan selaput sumsum tulang yang terjadi secara akut dan cepat menular. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Nesseria meningitidis, gejala klinis penyakit ini adalah demam (panas tinggi) mendadak, nyeri kepala, mual, muntah, kaku kuduk, ketahanan fisik melemah, dan kemerahan dikulit. Pada keadaan lanjut, kesadaran menurun sampai koma serta terjadi perdarahan echimosis. Berkumpulnya populasi dalam jumlah besar dari berbagai negara, seperti pada musim haji, berpotensi terhadap penyebaran kuman dan penyakit meningitis. b.Manfaat Mencegah infeksi meningitis atau radang selaput otak, yang disebabkan bakteri. c.Pemberian Pada ibu hamil, sebaiknya imunisasi meningitis diberikan setelah trimester pertama. Pemberian imunisasi ini juga boleh diberikan bagi ibu hamil yang akan berpergian ke daerah yang epidemik dan endemik meningitis seperti afrika. Jadi, ibu hamil yang akan pergi haji boleh mendapatkan imunisasi ini dari pada terkena meningitis. Jemaah haji dan umroh maupun yang akan berpergian ke arab saudi juga mendapatkan imunisasi sejenis meningitis tersebut. 3.Imunisasi pneumokokus a. Fungsi Imunisasi pneumokokus sangat penting dalam melindungi anak-anak dari penyakit radang paru, yang mengacu pada berbagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan bakteri streptokokus pneumonia, yang juga dikenal sebagai pneumokokus. Infeksi pneumokokus merupakan infeksi bakteri yang menyerang berbagai bagian tubuh. Misalnya: 1. Bakteri pneumokokus masuk kealiran darah, dikenal sebagai bakteremia 2. Bagian otak tertentu yang terserang, dikenal sebagai meningitis 3. Bakteri pneumokokus menyerang paru-paru, dikenal sebagai pneumonia 4. Telinga tengah terinfeksi, dikenal sebagai otitis media b. Penularan Pneumokokus sangat mudah menular. Bakteri pneumokokus biasanya terdapat di dalam hidung dan tenggorokan. Oleh karena itu, orang berisiko tertular jika ada kontak langsung dengan penderita. Bakteri ini menular melalui tetesan lendir atau ludah, seperti bersin, batuk.
c. Pemberian imunisasi Imunisasi diberikan pada usia 2, 4, 6, 12 bulan. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah merekomendasikan pencantuman prioritas vaksin konjugat radang paru 7-valent (PCV7) dalam program imunisasi pada masa kanak-kanak nasional di seluruh dunia sejak tahun 2007. Meskipun PCV7 tidak termasuk dalam program imunisasi pada masa kanak-kanak, vaksin ini sangat mudah diperoleh dari dokter. Vaksin yang dikenal sebagai prevenar, telah terbukti hampir 100% efektif terhadap penyakit pneumokokus. Vaksin ini berisi gula dari tujuh jenis bakteri pneumokokus yang berlainan, yang disambung secara individual dengan protein toksoid difteri yang tidak aktif. Vaksin ini juga berisi konsentrasi kecil bahan tambahan yaitu aluminium fosfat, garam dan air. d. Efek samping 1. Sedikit bengkak, merah dan sakit ditempat suntikan. 2. Demam rendah 3. Reaksi yang kurang biasa mungkin termasuk muntah, kurang nafsu makan, diare 4. Reaksi parah jarang terjadi e. Penanganan efek samping Jika reaksi yang ditimbulkan setelah imunisasi ringan, maka dapat dilakukan beberapa penanganan, seperti: 1. Membubuhkan kain basah yang dingin di tempat suntikan yang sakit. 2. Anak jangan berpakaian terlalu hangat. 3. Memberi parasetamol untuk mengurangi demam (perhatian dosis yang dianjurkan menurut usia anak). 4. Memberi anak lebih banyak minuman. (Proferawati A dan Andhini CSD, 2010)
4. Imunisasi MMR Memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit Mumps (gondongan/parotitis), Measles (campak), dan Rubella (campak Jerman). Terutama buat anak perempuan, vaksinasi MMR sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya rubela pada saat hamil. Sementara pada anak lelaki, nantinya vaksin MMR mencegah agar tak terserang rubela dan menulari sang istri yang mungkin sedang hamil. Penting diketahui, rubela dapat menyebabkan kecacatan pada janin. Sayangnya, kini banyak orangtua ragu mengimunisasikan anaknya lantaran tersebar berita bahwa imunisasi MMR menyebabkan autisme pada anak. Padahal, sampai saat ini belum ada pembuktian secara ilmiah mengenai keterkaitan antara MMR dan autisme. Jadi, mengapa harus takut? a. Gondongan Penyakit infeksi akut akibat virus mumps ini sering menyerang anak-anak, terutama usia 2 tahun ke atas sampai kurang lebih 15 tahun. Ada beberapa lokasi yang diserang seperti kelenjar ludah di bawah lidah, di bawah rahang, dan di bawah telinga (parotitis). Masa inkubasi sekitar 14-24 hari setelah penularan yang terjadi lewat droplet. Awalnya muncul demam (bisa sampai 39,50C), disertai pusing, mual, nyeri otot atau pegal terutama di daerah leher, lesu dan lemah. Sehari kemudian tampak bengkak di bawah telinga sebelah kanan dan kemudian menjalar ke sebelahnya. Karena gondongan bersifat self-limiting disease (sembuh sendiri tanpa diobati), pengobatan dilakukan sesuai gejala simptomatik. Disamping meningkatkan daya tahan tubuh dengan asupan makanan bergizi dan cukup istirahat. Biasanya dokter juga akan memberi antibiotik untuk mencegah terjadi infeksi kuman lain. Sebenarnya, jika daya tahan tubuh bagus, anak tak akan tertular. Dan jika sudah sekali terkena, gondongan tak akan berulang. b. Campak Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi. c. Campak Jerman Campak Jerman atau rubella berbeda dari campak biasa. Pada anak, campak Jerman jarang terjadi dan dampaknya tak sampai fatal. Kalaupun ada biasanya terjadi pada anak yang lebih besar, sekitar usia 5-14 tahun. Hanya gejalanya yang hampir sama seperti flu, batuk, pilek dan demam tinggi. Nafsu makan penderita juga biasanya menurun
karena terjadi pembengkakan limpa. Namun, bercak merah yang timbul tak sampai parah dan cepat menghilang dalam waktu 3 hari. 1). Pemberian imunisasi MMR Diberikan 2 kali, yaitu pada usia 15 bulan dan 6 tahun. Jika belum mendapat imunisasi campak di usia 9 bulan, maka MMR dapat diberikan di usia 12 bulan, dan diulangi pada umur 6 tahun. Catatan: Bila orangtua khawatir atau anak menunjukkan keterlambatan bicara dan perkembangan lainnya, pemberian imunisasi MMR dapat ditunda hingga anak berusia 3 tahun. Bila semua proses tumbuh kembangnya tak ada masalah alias normal, vaksin MMR dapat diberikan kepada anak. 2). Efek samping Beberapa hari setelah diimunisasi, biasanya anak mengalami demam, timbul ruam atau bercak merah, serta terjadi pembengkakan di lokasi penyuntikan. Namun tak perlu khawatir karena gejala tersebut berlangsung sementara saja. Demamnya pun dapat diatasi dengan obat penurun panas yang dosis pemakaiannya sesuai anjuran dokter. 5. Imunisasi tipoid Ada 2 jenis vaksin tifoid yang bisa diberikan ke anak, yakni vaksin oral (Vivotif) dan vaksin suntikan (TyphimVi). Keduanya efektif mencekal demam tifoid alias penyakit tifus, yaitu infeksi akut yang disebabkan bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, dan makanan-minuman yang tidak higienis. Dia masuk melalui mulut, lalu menyerang tubuh, terutama saluran cerna. Gejala khas terinfeksi bakteri tifus adalah suhu tubuh yang berangsur-angsur meningkat setiap hari, bisa sampai 400c. Biasanya di pagi hari demam akan menurun tapi lalu meningkat di waktu sore/malam. Gejala lainnya adalah mencret, mual berat, muntah, lidah kotor, lemas, pusing, dan sakit perut, terkesan acuh tak acuh bahkan bengong, dan tidur pasif (tak banyak gerak). Pada tingkat ringan atau disebut paratifus (gejala tifus), cukup dirawat di rumah. Anak harus banyak istirahat, banyak minum, mengonsumsi makanan bergizi, dan minum antibiotik yang diresepkan dokter. Tapi kalau berat, harus dirawat di rumah sakit. Penyakit ini, baik ringan maupun berat, harus diobati hingga tuntas untuk mencegah kekambuhan. Selain juga untuk menghindari terjadi komplikasi karena dapat berakibat fatal. Namun pencegahan tetaplah yang terbaik, terlebih Indonesia merupakan negara endemik penyakit tifus. 1). Pemberian imunisasi Vaksin suntikan diberikan satu kali kepada anak umur 2 tahun dan diulang setiap 3 tahun. Pengulangan ini perlu mengingat serangan penyakit tifus bisa berulang, ditambah banyaknya lingkungan yang tidak higienis dan kurang terjaminnya makanan yang dikonsumsi anak. Sementara vaksin oral diberikan kepada anak umur 6 tahun atau lebih. 2). Efek samping Kemerahan di tempat suntikan. Juga bisa muncul demam, nyeri kepala/pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea (mual), dan nyeri perut Umumnya berupa bengkak, nyeri, ruam kulit, dan (jarang dijumpai). Efek tersebut akan hilang dengan sendirinya. 6. Imunisasi hepatitis A Penyebaran virus hepatitis A (VHA) sangat mudah. Penderita akan mengeluarkan virus ini saat meludah, bersin, atau batuk. Bila virus ini menempel di makanan, minuman, atau peralatan makan, kemudian dimakan atau digunakan oleh anak lain maka dia akan tertular. Namun, untuk memastikan apakah anak mengidap VHA atau tidak, harus dilakukan tes darah. Masa inkubasi berlangsung 18-50 hari dengan rata-rata kurang lebih 28 hari. Setelah itu barulah muncul gejala seperti lesu, lelah, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, rasa tak enak di bagian kanan atas perut, demam, merasa dingin, sakit kepala, sakit tenggorokan, dan batuk. Biasanya berlangsung 4-7 hari. Selanjutnya, urine mulai berwarna lebih gelap seperti teh. Biasanya kuning ini menghilang. Tak ada pengobatan khusus untuk hepatitis A, karena sesungguhnya penyakit ini dapat sembuh sendiri. Pengobatan dilakukan hanya untuk mengatasi gejala seperti demam dan mual. Selebihnya, anak harus banyak istirahat dan mengonsumsi makanan bergizi. Meski tak separah hepatitis B, bukan berarti kita boleh menganggap remeh hepatitis A. Pasalnya, penyakit yang kerap disebut penyakit kuning ini, bisa menjadi berat bila terjadi komplikasi. Jadi, pencegahan tetap diperlukan,
yakni dengan pemberian imunisasi hepatitis A. Disamping, menjaga lingkungan agar selalu bersih dan sehat, termasuk kebersihan makanan dan minuman. a. Pemberian imunisasi Dapat diberikan saat anak berusia 2 tahun, sebanyak 2 kali dengan interval pemberian 6-12 bulan. b. Efek samping Umumnya, tak menimbulkan reaksi. Namun, meski sangat jarang, dapat muncul rasa sakit pada bekas suntikan, gatal, dan merah, disertai demam ringan. Reaksi ini akan menghilang dalam waktu 2 hari. c. Tingkat kekebalan Efektif mencekal hingga 90%. 7. Imunisasi varicella Memberikan kekebalan terhadap cacar air atau chicken pox, penyakit yang disebabkan virus varicella zooster. Termasuk penyakit akut dan menular, yang ditandai dengan vesikel (lesi/bintik berisi air) pada kulit maupun selaput lendir. Penularannya sangat mudah karena virusnya bisa menyebar lewat udara yang keluar saat penderita meludah, bersin, atau batuk. Namun yang paling potensial menularkan adalah kontak langsung dengan vesikel, yaitu ketika mulai muncul bintik dengan cairan yang jernih. Setelah bintik-bintik itu berubah jadi hitam, maka tidak menular lagi. Awalnya, anak mengalami demam sekitar 3-7 hari tapi tidak tinggi. Barulah kemudian muncul bintik-bintik. Meski dapat sembuh sendiri, anak tetap perlu dibawa ke dokter. Selain untuk mencegah bintik-bintik tidak meluas ke seluruh tubuh, juga agar tak terjadi komplikasi yang bisa berakibat fatal. Sebaiknya penderita dipisahkan dari anggota keluarga lainnya untuk mencegah penularan. Minta anak untuk tidak menggaruk agar tak menimbulkan bekas luka. Atasi rasa gatalnya dengan bedak yang mengandung kalamin. Tingkatkan daya tahan tubuhnya dengan asupan makanan bergizi. a. Pemberian imunisasi Diberikan sebanyak 1 kali yakni pada usia antara 10-12 tahun. b. Efek samping Umumnya tak terjadi reaksi. Hanya sekitar 1% yang mengalami demam. c. Tingkat kekebalan Efektivitasnya bisa mencapai 97%. Dari penelitian terhadap 100 anak yang diimunisasi varisela, hanya 3 di antaranya yang tetap terkena cacar air, itu pun tergolong ringan. (Khasanah N, 2008)
TUBERCULOSIS (TB) DEFINISI Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri M ycobacteri um tubercul osis . TBC terutama menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit kasus, TBC juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri yang berperan adalah M ycobacteri um bovis . ETIOLOGI Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat. TBC merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3 penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M . tubercul osis . Kabar baiknya adalah orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak selalu menderita penyakit TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi menjadi penyakit TBC. MANIFESTASI KLINIS Penderita TBC akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian. Gejala Umum : · Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih Gejala lain yang sering dijumpai : · Dahak bercampur darah
· Batuk darah · Sesak nafas dan rasa nyeri dada · Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh sebab itu orang yang datang dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang “suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan daha k secara mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. PEMERIKSAAN KLINIS Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfibris), badan kurus atau berat badan menurun. Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah. PEMERIKSAAN PENUNJANG - Tuberculin skin testing Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tween-stabilized liquid PPD pada bagian punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dalam wkatu 48 – 72 jama, area yang menonjol (indurasi), bukan eritema, diukur. Ukuran tes Mantoux ini sebesar 5mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus : 1. Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV 2. Memiliki kontak yang erat dengan penderita TBC yang infeksius 3. Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan gambaran proses penyembuhan TBC yang lama, yang sebelumnya tidak mendpatkan terapo OAT yang adekuat 4. Individu yang menggunakan Narkoba dan status HIV-ny tidak diketahui Sedangkan ukuran 10 mm uji tuberculin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus seperti : 1. Individu dengan kondisi kesehatan tertentu, kecuali penderita HIV 2. Individu yang menggunakan Narkoba (jika status HIV-ny negative) 3. Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi denganpendapatan yang rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang beresiko tinggi 4. Penderita yang lama mondokdirumah sakit 5. Anak kecil yang berusi kurang dari 4 tahun Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai,karena uji ini haya menunjukkan ada tidaknya antibodi anti TBC pada seseorang, sedangkan menurut penelitian, 80% penduduk indosia sudah pernah terpapar intigen TBC, walaupun tidak bermanifestasi, sehingga akan banyak memberikan false positif. - Pemeriksaan radiologis 1. Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi pada bagian perifer paru dengan kalsifikasi dari limfe nodus hilus 2. Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran : a) Nekrosis b) Cavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik) c) Fibrosis dan retraksi region hilus d) Bronchopneumonia e) Infiltrate interstitial f) Pola milier g) Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer lanjut 3. TB pleurisy, memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi secara massif 4. Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1 kali pemeriksaan rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rontgen dada. Tidak hanya melihat apakah penyakit tersebut dalam proses progesi atau regresi. PEMERIKSAAN DARAH Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan, tidak sensitif, tidak juga spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibwah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan anemia ringan dengan gambaran normokron dan normositer, gama globulin meningkat dan kadar natrium darah menurun. PEMERIKSAAN SPUTUM
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya kuman BA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PENDERITA Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita TB memerlukan “definisi kasus” yang memberikan batasan baku dari setiap klasifikasi dan tipe penderita. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus-yaitu 1. Organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru 2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung : BTA positif atau BTA negative 3. Riwayat pengobatan sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati 4. Tingkat keparahan penyakit : penyakit ringan atau berat KLASIFIKASI A. Tuberculosis Paru Tuberculosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Tuberkulosis Paru BTA positif 2. Tuberkulosis Paru BTA negative B. Tuberculosis Ekstra Paru Tuberculosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Berdasarkan tingkat keparahannya, TB Ekstra Paru dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan Misal : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal 2. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat Misal : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudatif dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin. TIPE PENDERITA Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita, yaitu : 1. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) 2. Kambuh (relaps) Adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB dan etlah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
3. Pindahan (transfer in) Adalah penderita TB yang sedang mendapatkan pengobatan disuatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (FORM TB 09) 4. Kasus berobat setelah lalai ( pengobatan setelah default/drop-out ) Adalah penderita TB yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif setelah putus berobat 2 bulan atau lebih. 5. Gagal · Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. · Adalah penderita BTA negative, rontgen positif yang menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan. 6. Lain-lain Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik (adalah penderita yang masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori 2) PENGOBATAN TB TUJUAN PENGOBATAN Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
JENIS, SIFAT DAN DOSIS OAT
PRINSIP PENGOBATAN Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Di rectly Obser ved Tr eatment ) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal (intensif) - Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. - Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu. - Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan - Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama - Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan PEDOMAN NASIONAL PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS Paduan OAT yang digunakan di Indonesia • Paduan OAT yang digunakan oleh Pr ogram Nasional Penanggulangan Tuber kulosis di Indonesia: - Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. - Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) - Kategori Anak: 2HRZ/4HR Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT),
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak. Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep 3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien Paduan OAT dan peruntukannya. 1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru
2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
Catatan: Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg) 3. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis per tama. Di samping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
NON-MYCOBACTERIUM DEMAM TIFOID DEFINISI Merupakan penyakit akut usus halus
EPIDEMIOLOGI
Merupakan penyakit endemik di Indonesia
Insidens demam tifoid terkait dengan sanitasi lingkungan , terutama penyediaan air bersih dan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan
ETIOLOGI Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
Morfologi: -
panjang bervariasi
-
Kebanyakan spesies, kecuali Salmonella pullorum-gallinarum dapat bergerak dengan flagel peritrika.
-
Mudah tumbuh pada perbenihan biasa, hampir tak pernah meragikan laktosa atau sukrosa
-
Resisten terhadap zat kimia tertentu (hijau brilian, natrium tetrationat, dan natrium deoksikolat), karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan dalam perbenihan yang dipakai untuk mengisoalsi salmonella dari tinja
Struktur Antigen -
Golongan dan spesies dideteksi dengan analisis antigen
-
Memiliki antigen O dan antigen H yang berbeda pada salah satu atau kedua fase. Beberapa juga mempunyai antigen Vi yang dapat mengganggu aglutinasi melalui antiserum O.
KLASIFIKASI Terbagi menjadi 3 spesies utama: 1) Salmonella typhi (satu spesies) 2) Salmonella choleraesius (satu serotipe) 3) Salmonella enteridis (lebih dari 1500 serotipe) Penentuan serotipe berdasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik
PATOGENESIS Makanan yang terkontaminasi kuman Hati, masuk ke kandung empedu Berkembang biak dan diekskresikan bersama cairan empedu secara remitten Lambung feses Usus (bila lolos) dan berkembang biak Menembus sel epitel (bila respon imunitas humoral kurang baik) Lamina propia Difagosit oleh makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag Dibawa ke plague peyeri ileum distal hiperplasia jaringan Ke KGB mesenterika Masuk sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan menyebar terutama ke seluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limpa Kuman meninggalkan sel fagosit lalu berkembang biak di luar sel Masuk ke sirkulasi darah lagi Bakteremia, disertai tanda dan gejala infeksi sistemik
MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas 10-14 hari
Minggu pertama: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tak
enak di perut, batuk dan epistaksis
Pemeriksaan fisik: suhu meningkat secara perlahan terutama pada sore hari hingga malam hari
Minggu kedua: gejala menjadi jelas. Demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
0
8x/menit), lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatosplenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis
DIAGNOSIS 1. Tes widal kenaikan 4x lipat selama 2-3 minggu positif tifoid 2. Kultur darah, bila hasil biakan positif positif tifoid, bila negatif mungkin: -
Telah mendapat terapi antibiotik
-
Volume darah yang kurang
-
Riwayat vaksinasi
-
Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, saat aglutinin semakin meningkat
TATALAKSANA Trilogi demam tifoid: a.
Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perwatan bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dilakukan secar absolut selama minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari. Tirah baring dan perawatan sepenuhnya dilakukan di tempat, seperti makan, minum, mandi, BAK,BAB.
b.
Diet dan Terapi penunjang Hal ini penting agar penderita tidak sampai keadaan umum dan status gizinya menurun. Pada masa lampau penderita diberi bubur saring bubur kasar nasi. Pemberian bubur saring bertujuan menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan aman pada penderita.
c.
Antimikroba Kloramfenikol pilihan utama, dosis: 4 x 500mg/hr peroral/iv sampai 7 hr bebas panas Tiamfenikol dosis 4x 500mg/hr peroral/iv selama 7 hari bebas panas. Tetapi komplikasi hematologi (anemia aplastik) lebih rendah dibanding kloramfenikol Kotrimoksazol efektivitas dilaporkan sama dengan kloramfenikol. Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet= sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimetropin) selama 2 minggu Ampisilin dan Amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibending kloramfenikol. Dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu Sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk tifoid adalah seftriakson, dosis antara 3-4 g dalam dekstrosa 100cc selama ½ jam/infus 1x/hr selama 3 -5 hari Golongan Fluorokuinolon:
Norfloksasin 2 x 400 mg/hr selama 14 hr
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hr selama 6 hr
Ofloksasin 2 x 400 mg/hr selama 7 hr
Pefloksasin 400mg/hr selama 7 hr
Fleroksasin 400mg/hr selama 7 hr
Demam lebih lambat pada pengguaan norfloksasin Kombinasi Obat antimikroba Kombinasi 2 obat/lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu antara lain toksik tifoid, peritonitis, atau perforasi, syok septic Kortikosteroid Indikasi pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik, dosis 3 x 5 mg Penggunaan Obat pada wanita hamil -
Kloramfenikol tak dianjurkan pada trimester ke-3 partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus
-
Tiamfenikol tak dianjurkan pada trimester pertama efek teratogenik
-
Florouinolon dan kotrimoksazol tak dianjurkan
-
Dianjurkan AMPISILIN, AMOKSISILIN, DAN
SEFTRIAKSON
TATALAKSANA KOMPLIKASI DEMAM TIFOID 1.
Komplikasi Intestinal a.
Perdarahan Inetstinal
Plak Peyeri usus yg terinfeksi tukak/luka menembus lumen usus dan mengenai PD perdarahan
Perdarahan bisa terjadi karena gangguan koagualsi darah (KID) atua gabunagn kedua faktor
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila perdarahan sebanyak 5 mg/kgBB/jam b.
Perforasi usus
Plak Peyeri usus yg terinfeksi tukak/luka menembus dinding usus perforasi Keluhannya nyeri perut hebat kuadran kanan bawah kemudian menyebar,bising usus melemah 30%, tanda perforasi lainnya (nadi cepat, TD turun, syok)
Faktor resiko: umur(biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatn, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita
Diberikan antibiotik spektrum luas: kloramfenikol dan ampisilin iv.Untuk kontaminasi usus gentamisin/metronidazol 2.
Komplikasi ekstra-intestinal
Hematologi Berupa: a)
Trombositopenia, karena menurunnya produksi trombosit di sumsusm tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di RES
b)
hipofibrino-genemia
c)
peningkatan protrombin time
d)
peningkatan partial thromboplastin time
e)
peningkatan fibrin degradation products
f)
koagulasi intravaskular diseminata (KID), karena endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis pelepasan kinin, PG, dan histamin vasokonstriksi dan kerusakan endotel PD perangsangan mekanisme koagulasi, baik KID dekompensata maupun kompensata
Hepatitis tifosa Pada demam tifoid biasanya terjadi kenaikan enzim transaminase tidak relevan denagn kenaikan serum bilirubin
Pankreatitis Tifosa Jarang. Disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat farmakologik. Penatalaksanaanya dengan antibiotik, seperti sefriakson atau kuinolon
Miokarditis Biasanya asimptomatis, bila timbul gejala maka akan terasa nyeri dada, gagal jantung kongestif, aritmia, syok kardiogenik
Tifoid Toksik Dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi koma atau koma, Parkinson rigidity, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis. Kadang gejala demam tifoid diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya.
PENCEGAHAN 1. Preventif dan kontrol penularan Upaya mencegah penularan dan peledakan KLB. Terdapat 3 garis besar startegi pokok untuk memutus mata rantai transmisi tifoid: a.
Identifikasi dan eradikasi S.Typhi pada pasien tifoid asimptomatok, karier, akut. Pelaksanaannya secara aktif dengan cara mendatangi sasaran atau pasif, menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta.
b.
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.Tiphy akut maupu n karier Kegiatan ini dilakukan di RS, kklinik, rumah dan lingkungans ekitar orang yg telah diketahui pengidap kuamn S.typhi.
c.
Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Vaksinasi di daerah endemik atau hiperendemik. 2. Vaksinasi a)
Jenis: vaksin oral (Ty21a, belum beredar); vaksin parenteral (ViCPS, vaksin kapsul polisakarida)
b)
Indikasi: a.
Populasi: anak usia sekolah di daerah endmik, personil militer, petugas RS, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman
b. c)
Individual: pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, orang yg k ontak erat dengan pengidap tifoid
Kontraindikasi Sasaran yg alergi atau reaksi fek samping berat, penurunan imunitas, adn kehamilan
d)
Efek samping Pada Ty21a demam timbul, sedangkan pada ViCPS efek sampig lebih kecil
e)
Efektivitas vaksinasi
Serokonversi (peningkatan titer 4x )setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secar cepat sekitar 15hr-3minggu dan bertahan sampai 3 th.
CHOLERA Penyakit kolera (cholera) adalah penyakit infeksi saluran usus bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, bakteri ini masuk kedalam tubuh seseorang melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan enterotoksin (racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare (diarrhoea) disertai muntah yang akut dan hebat, akibatnya seseorang dalam waktu hanya beberapa hari kehilangan banyak cairan tubuh dan masuk pada kondisi dehidrasi. Table 149-3 Features of Selected Noncholera Vibrioses
Organism
Vehicle or Activity Host at Risk
Syndrome
V. parahaemolyticus Shellfish, seawater Normal
Non-O1 V. cholerae
V. vulnificus
V. alginolyticus
Gastroenteritis
Seawater
Normal
Wound infection
Shellfish, travel
Normal
Gastroenteritis
Seawater
Normal
Wound infection, otitis media
Shellfish
Immunosuppressed
Seawater
Normal
Wound infection, cellulitis
Seawater
Normal
Wound infection, cellulitis, otitis
Seawater
Burned, other immunosuppressed Sepsis
a
Patofisiologi Kolera
Gambar perjalanan kuman Vibrio cholerae di dalam tubuh manusia Seperti pada gambar:
Sepsis, secondary cellulitis
Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila vibrio berhasil lolos dari pertahanan primer dalam mulut dan tertelan, bakteri ini akan cepat terbunuh dalam asam lambung yang tidak diencerkan. Bila vibrio dapat selamat melalui asam lambung maka dia akan berkembang dalam usus halus. Suasana alkali di bagian usus halus ini merupakan medium yang menguntungkan baginya untuk hidup dan berkembang biak. Vibrio cholera ↓
Menempel pada mukosa usus halus karena adanya membran protein terluar dan adhesin flagella ↓
Enterotoksin yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit yang masif yang disebabkan oleh kerja toksin pada sel epitel usus halus, terutama pada duodenum dan yeyunum ↓
Toksin tersebut terikat pada gangliosid, reseptor GM 1 ↓
Menembus membran sel epitel ↓
Aktivasi adenosine diphospate (ADP) ribosyltransferase ↓
Transfer ADP ribose dari NAD (nicotinamide adenine dinucleotida) ke GTP (guanosine triphospate) binding protein yang mengatur aktivitas adenilat siklase ↓
Peningkatan sintesis cAMP ↓
Menghambat absorpsi NaCl dan merangsang eksresi Cl (klorida) ↓
Hilangnya air, NaCl, Kalium dan bikarbonat
Apabila dehidrasi tidak segera ditangani, maka akan berlanjut kearah hipovolemik dan asidosis metabolik dalam waktu yang relatif singkat dan dapat menyebabkan kematian bila penanganan tidak adekuat. Pemberian air minum biasa tidak akan banyak membantu, Penderita (pasien) kolera membutuhkan infus cairan gula (Dextrose) dan garam (Normal saline) atau bentuk cairan infus yang di mix keduanya (Dextrose Saline).
Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik, atau pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian bersekala besar dilakukan, namun kondisi penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern. Bakteri Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feaces (kotoran) manusia, bila kotoran yang mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan sebagainya maka orang lain yang terjadi kontak dengan air tersebut beresiko terkena penyakit kolera itu juga. Misalnya cuci tangan yang tidak bersih lalu makan, mencuci sayuran atau makanan dengan air yang mengandung bakteri kolera, makan ikan yang hidup di air terkontaminasi bakteri kolera, Bahkan air tersebut (seperti disungai) dijadikan air minum oleh orang lain yang bermukim disekitarnya.
Pada orang yang feacesnya ditemukan bakteri kolera mungkin selama 1-2 minggu belum merasakan keluhan berarti, Tetapi saat terjadinya serangan infeksi maka tiba -tiba terjadi diare dan muntah dengan kondisi cukup serius sebagai serangan akut yang menyebabkan samarnya jenis diare yg dialami. Akan tetapi pada penderita penyakit kolera ada beberapa hal tanda dan gejala yang ditampakkan, a ntara lain ialah : - Diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus. - Feaces atau kotoran (tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis, tetapi seperti manis yang menusuk. - Feaces (cairan) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-gumpalan putih. - Diare terjadi berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup banyak. - Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi, penderita tidaklah merasakan mual sebelumnya. - Kejang otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeri yang hebat. - Banyaknya cairan yang keluar akan menyebabkan terjadinya dehidrasi dengan tanda-tandanya seperti ; detak jantung cepat, mulut kering, lemah fisik, mata cekung, hypotensi dan lain-lain yang bila tidak segera mendapatkan penangan pengganti cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan kematian.
Penderita yang mengalami penyakit kolera harus segera mandapatkan penaganan segera, yaitu dengan memberikan pengganti cairan tubuh yang hilang sebagai langkah awal. Pemberian cairan dengan cara Infus/Drip adalah yang paling tepat bagi penderita yang banyak kehilangan cairan baik melalui diare atau muntah. Selanjutnya adalah pengobatan terhadap infeksi yang terjadi, yaitu dengan pemberian antibiotik/antimikrobial seperti Tetrasiklin, Doxycycline atau golongan Vibramicyn. Pengobatan antibiotik ini dalam waktu 48 jam dapat menghentikan diare yang terjadi. Pada kondisi tertentu, terutama diwilayah yang terserang wabah penyakit kolera pemberian makanan/cairan dilakukan dengan jalan memasukkan selang dari hidung ke lambung (sonde). Sebanyak 50% kasus kolera yang tergolang berat tidak dapat diatasi (meninggal dunia), sedangkan sejumlah 1% penderita kolera yang mendapat penanganan kurang adekuat meninggal dunia. (massachusetts medical society, 2007 : Getting Serious about Cholera). Table 149-1 Composition of World Health Organization Oral Rehydration Solution (Ors)
Constituent Na
+
Concentration, mmol/L 75
+
20
-
65
K
Cl
Citrate
a,b
c
Glucose
10
75
Table 149-2 Electrolyte Composition of Cholera Stool and of Intravenous Rehydration Solution
Concentration, mmol/L Substance
Na
+
+
-
K
Cl
Base
Stool Adult
135
15
90
30
Child
100
25
90
30
Ringer's lactate
130
4
a
109
28
Cara pencegahan dan memutuskan tali penularan penyakit kolera adalah dengan prinsip sanitasi lingkungan, terutama kebersihan air dan pembuangan kotoran (feaces) pada tempatnya yang memenuhi standar lingkungan. Lainnya ialah meminum air yang sudah dimasak terlebih dahulu, cuci tangan dengan bersih sebelum makan memakai sabun/antiseptik, cuci sayuran dangan air bersih terutama sayuran yang dimakan mentah (lalapan), hindari memakan ikan dan kerang yang dimasak setengah matang. Bila dalam anggota keluarga ada yang terkena kolera, sebaiknya diisolasi dan secepatnya mendapatkan pengobatan. Benda yang tercemar muntahan atau tinja penderita harus di sterilisasi, searangga lalat (vektor) penular lainnya segera diberantas. Pemberian vaksinasi kolera dapat melindungi orang yang kontak langsung dengan penderita. Pemeriksaan Penyakit Kolera
Biakan tinja atas V.cholerae positif
Berat jenis plasma meningkat
Kreatini serum,nitrogen urine darah meningkat
Komplikasi Penyakit Kolera
Akibat kekurangan cairan untuk elektrolit
-
Renjatan dan dehidrasi tidak terbatas
-
Nekrosis tubuli ginjal akibat hipovolemia dan hipoka lemia
-
Ileus paralitik karena hipokalemia
-
Edema paru karena asidosis
Akibat kelebihan cairan/elektrolit
-
Payah jantung kongestif akut
Abortus spontan pada wanita hamil
Prognosis Penyakit Kolera Lebih dari 50% penderita kolera berat yang tidak diobati meninggal dunia. Kurang dari 1% penderita yang mendapat penggantian cairan yang adekuat, meninggal dunia.
PERTUSIS DEFINISI Adalah penyakit infeksi akibat Bordetella pertussis yang ditandai oleh batuk rejan.
ETIOLOGI Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis atau Haemophilus pertussis. Namun dapat pula didapatkan B. parapertussis dan B. bronchisepta pada penderita pertusis. Morfologi :
-
kuman kecil
-
tidak bergerak
-
gram negatif
EPIDEMIOLOGI
dapat mengenai semua golongan umur.
Terbanyak pada usia 1 – 5 tahun, lebih banyak pada pria daripada wanita
TRANSMISI Cara penularan melalui kontak dengan penderita terutama melalui droplets.
PATOLOGI Kuman masuk menempel pada silia epitel torak mukosa pada bronkus dan bronkiolus terjadi proses inflamasi bila berlanjut terus menerus terjadi nekrosis bagian basal disertai infiltrat dari neutrofil dan makrofag menimbulkan eksudasi dan mukopurulen. Apabila eksudasi sampai ke alveolus bisa menyebabkan infeksi sekunder.
GEJALA KLINIS Masa tunas 7 – 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih. Terbagi menjadi 3 satium yaitu : a)
b)
stadium kataralis
lamanya 1-2 minggu
menyerupai influenza
mulanya batuk ringan terutama malam hari
makin lama makin berat terjadi siang dan malam
gejala penyerta yaitu pilek, serak, dan anoreksia
stadium spasmodik
lamanya 2-4 minggu
akhir minggu batuk makin berat dan terjadi paroksismal berupa batuk khas
serangan batuk panjang, tidak ada inspirasi di antaranya dan di akhiri dengan whoop (= tarikan napas panjang dan dalam serta berbunyi melengking)
sering disertai muntah dan sputum yang kental
kadang tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis akibat meningkatnya tekanan pada saat serangan batuk.
c)
stadium konvalensi
lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh
minggu ke 4 jumlah dan berat serangan batuk berkurang, muntah berkurang, dan nafsu makan timbul kembali.
Ronki difus yang ada pada stadium mulai menghilang
Infeksi common cold bisa menimbulkan serangan lagi.
DIAGNOSA Pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosa karena menyerupai common cold, namun terdapat leukositosis dan limfositosis. Akhir stadium kataralis dan awal spasmodik leukosit meninggi dengan limfositosis Stadium spasmodik batuk khas dengan adanya whoop Dugaan sementara = batuk yang mula-mula timbul pada malam hari tidak mereda dengan obat batuk malah meningkat menjadi siang dan malam serta diketahui kontak dengan penderita pertusis. Bisa juga menggunakan uji Ouchterlony untuk melihat presipitasi antibodi pertusis.
TERAPI 1.
antibiotik ¤
eritromisin ( 50mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis) untuk menghilangkan B. Pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari memperpendek penyebaran infeksi menyembuhkan pertusis bila dalam stadium kataralis mencegah dan menyembuhkan pneumonia
¤
ampisilin ( 100mg/ kg bb/ hari dibagi dalam 4 dosis)
¤
lain-lain : rovamisin, kotrinoxazol, kloramfenikol, tetrasiklin
2.
imunoglobulin (belum dapat dipastikan manfaatnya)
3.
ekspektoransi dan mukolitik
4.
kodein (bila batuk hebat sekali)
5.
luminal (sbg sedativa)
PENCEGAHAN •
Secara aktif pemberian vaksin pertusis yaitu DPT yang mulai diberikan pada bayi usia 0 bulan sebanyak 1 dosis (0,5 ml) kemudian bayi usia 2 bulan sebanyak 3 dosis (@ 0,5 ml) dengan interval minimal 4 minggu.
•
Secara pasif
DIFTERI DEFINISI Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh, y ang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.
ETIOLOGI Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium dyphtheriae. Basil ini termasuk kuman batang gram positif, pleomorfik, tersusun berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidak membentuk spore (kapsul), aerobik dan dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu (pembesaran pada salah satu ujung), diameternya 0,1-1 mm dan panjangnya beberapa mm. Menurut bentuk, besar dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil ini yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Graviskoloninya besar, kasar ireguler, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediatekoloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibanding jenis mitis. Karakteristik jenis gravis adalah dapat
memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak, semua jenis bakteri ini dapat memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
PATOGENESIS DAN PATOLOGI Corynebacterium diphtheriae ditularkan dengan kontak langsung melalui batuk, bersin, dan berbicara, atau kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku, atau mainan yang terkontaminasi. Corynebacterium diphtheriae masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian berkembang dalam mukosa saluran napas bagian atas, terutama daerah tonsil. Kadang di kulit, konjungtiva, atau genital. Basil ini kemudian akan memproduksi eksotoksin. Toksin yang terbentuk akan diabsorbsi melewati membrane sel mukosa, menimbulkan peradangan dan destruksi sel epitel diikti oleh nekrosis. Pada daerah nekrosis i terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih, keadaan ini akan mengakibatkan terbentunya patchy exudates yang pada permulaan masih bias terkelupas. Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini meningkat, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga menimbulkan terbentuknya fibrous exudate (membran palsu) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel lekosit dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan perdarahan.
MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis difteri tergantung kepada: 1.
Lokasi infeksi
2.
Imunitas penderitanya
3.
Ada/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah Masa inkubasi difteri umumnya 2-5 hari (pada difteri kutan adalah 7 hari sesudah infeksi primer pada kulit). Kemudian
pasien akan memperlihatkan keluhan- keluhan yang tidak spesifik seperti:
Demam dan kadang-kadang menggigil
Kerongkongan sakit dan suara parau
Perasaan tidak enak, mual dan muntah
Sakit kepala
Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah
Teraba benjolan dan sembab pada daerah leher Difteri pada saluran nafas dapat berkembang dengan cepat, sehingga dapat berkembang dengan cepat, sehingga dapat
menimbulkan kesulitan bernafas, karena terjadi sumbatan jalan masuknya udara. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernafas, takikardi, dan pucat. Pada pemeriksaan saluran nafas ditemukan adanya pseudomembran yang mempunyai
karakteristik: 1). Mukosa membran edema, hiperemis, dengan epitel yang nekrosis, 2). Biasanya terbentuk berkelompok, tebal, fibrinous, dan berwarna abu-abu kecoklatan, terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel saluran napas yang mati, dan mudah berdarah kalau terganggu atau dilepaskan dari dasarnya.
DIAGNOSIS Diagnosis difteri sebaiknya dibuat berdasarkan manifestasi klinisnya yang khas.
Diagnosis awal cepat (presumptive diagnosis): dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan methylene blue, pewarnaan gram, dan imunofloresen
Diagnosis definitif dan identifikasi basil: Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya Corynebacterium diphteriae dengan pemeriksan kultur dari lesi yang dicurigai
Pemeriksaan produksi toksin. Dikerjakan secara invitro, dengan melakukan tes Elek plate test, dan polimerase pig inoculation
Pemeriksan serum terhadap antibodi untuk toksin difteri, dengan shick test yaitu 0,1ml toksin difteri di suntikkan pada lengan tersangka, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanskan (kontrol). Reaksi di baca pada hari ke45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikan. Hasil positif berarti ada antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
PENGOBATAN Perawatan umum: 1. Isolasi, 2. Istirahat di tempat tidur minimal 2-3 minggu, 3. Makanan lunak atau cair, bergantung pada keadaan penderita, kebersihan jalan nafas dan pengisapan lender, 4. Control EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 4-6 minggu untuk mendeteksi miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus istirahat total di tempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara gradual baru boleh dilakukan bila tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang.
Pengobatan khusus Tujuan : 1). Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri, 2). Membunuh basil difteri yang memproduksi toksin
Pemberian antitoksin. Diberikan sedini mungkin begitu diagnosis ditegakkan, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Dosis tergantung kepada jenis difterinya, dan tidak dipengaruhi oleh umur pasien, yaitu sebagai berikut:
Difteri nasal atau fausial yang ringan diberikan 20.000-40.00 0 U, secara iv dalam waktu 60 menit
Difteri fausial sedang diberikan 40.000-60.000 U, secara iv
Difteri berat (bullneck dyphtheria) diberikan 80.000-120.000 U, secara iv
Pemberian antibiotic. A). Penisilin prokain: 1.200.000 unit/hari, secara im, 2x sehari, selama 14 hari. B). Eritromisin: 2 g/hari, peroral, 4x sehari
LEPTOSPIROSIS DEFINISI Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Bentuk beratnya dikenal Well’s disease. Penyakit ini mempunyai nama lain seperti mud fever, slime fever, swamp fever dan lain-lain.
ETIOLOGI Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu Mikroorganisme ini memiliki ciri-ciri :
Berbelit, tipis dan fleksibel
Flagella (-), tetapi dapat bergerak aktif
Spiral yang sangat halus
Salahsatu ujung membengkak membentuk kait.
Dalam mikroskop gelap tampak rantai coccus kecil-kecil.
mikroorganisme spirochaeta.
PembiakanMedium Fletcher’s obligat aerob
Hidup pada suhu yang lembab dan hangat, pH air tanah netral, hal ini terdapat pada daerah tropis sepanjang tahun.
Terdapat 2 tipe : L.interogans patogen L.biflexanonpatogen/saprofit
EPIDEMIOLOGI Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, kecuali antartika, paling banyak di daerah tropis. Indonesia memiliki insiden yang tinggi untuk penyakit ini, peringkat ketiga untuk kematian karena penyakit ini.Beberapa reservoar berhubungan dengan binatang tertentu : 1.
L.icterohaemoragiaetikus
2.
L.hardjosapi
3.
L.conicolaanjing
4.
L.pomonababi
PENULARAN
Kulit atau mukosa yang tidak intact kontak dengan air/ tanah, lumpur yang terkontaminasi/terinfeksi leptospira.
Air tergenang yang terinfeksi urine binatang yang terinfeksi.
Gigitan binatang yang terinfeksi leptospira
Ekspose terlalu lama genangan air
Orang yang beresiko pekerja sawah, selokan, pekerja sawah, petugas kesehatan.
PATOGENESIS Tiga mekanisme terlibat dalam pada patogenesis leptospirosis : invasi bakteri langsung, faktor inflamasi, dan reaksi imunologi. Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau mukosa yang tidak intak Aliran darah mengeluarkan toksin dan terjadi respon imunologis ↓
Sebagian ditekan dan sebagian bertahan ↓
Bertahan di ginjal yang terhindar dari respon imunologis ↓
Replikasi dan dapat dijumpai di urine setelah 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. ↓
Kuman ini dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral dan dengan cepat lenyap setelah terbentuk aglutinin. ↓
Setelah fase leptospiremia 4-7hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler ↓
Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.
PATOLOGI
Ginjal Tubular nekrosis akut mikroorganisme bereplikasi Gagal Ginjal Akutganguan fungsi ginjal.
HatiNekrosis sentilobuler fokal infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel Kuphfer
JantungEpikardium, endokardium dan miokardium
Otot rangka Nyeri otot lokal nekrosis
MataRuang anterior mata uveitis
Pembuluh darah vaskulitisperdarahan
SSPmeningitissetelah terbentuk aglutinin, pada L.canicola
Weil disease leptospirosis berat ikterus, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinyu.
GEJALA KLINIS 1. Fase Leptospiremia :
Leptospiremia positif(CCS)
Tiba2 nyeri di frontal
Sakit di otot, sendi, paha, betis, pinggang.
Mialgia
Demammenggigil
Penurunan kesadaran
Muntah samapi mencret
Rash, limfadenopati, splenomegali jika ditangani cepat membaik suhu balik normal.
Jika keadaan sakit berat demam turun setelah 7 hari, diikuti bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu demam kembali (disebut fase kedua atau fase imun).
2. Fase Imun :
Peningkatan titer Antibodi, kemudian dapat demam mencapai 40ºC disertai menggigil dan kelemahan umum.
Rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis.
Perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik.
Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechia, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering.
Conjunctiva infection dan conjuctival suffusion dengan ikterus merupakan pa tognomosis untuk leptospirosis.
50% terjadi meningitis,50-90% terjadi pleositosis pada CSS.
Tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu dan biasanya menghilang setelah 1-2 hari.(Pada fase ini, leptospira dapat dijumpai dalam urin.
DIAGNOSIS 1.
Anamnesisgejal di atas
2.
Pemeriksaan Fisis Demam, nyeri tekan otot, bradikardi, hepatomegali.
3.
P. LabLeukositosis/Normal/menurun, gambaran neutrofil dan LED meningkat dan trombositopenia.
4.
Urinproteinuria,torak(cast) dan leukosituria
5.
Faal Hati jika terlibat maka peningkatan bilirubin direct tanpa peningkatan transaminase.
6.
GinjalBUN, Ureum kreatinin meningkat jika ada komplikasi pada ginjal.
7.
Kulturdarah(4-7 hari), CSS, urine (2-4 minggu dari onset)
8.
SerologiPCR dan silver stain
9.
Mikroskop lapangan gelap.
10. Diagnosis pasti isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi
TERAPI
RinganDoksisiklin 2x100mg Amoksisilin 4x500mg
Sedang-BeratPenicilin G 1,5 juta unit/6 jam i.v. Amoksisilin 1 gram/6 jam i.v.
Profilaksis 200 mg/minggu
PROGNOSIS Jika tidak ada ikterus penyakit jarang fatal Jika terdapat ikterus umur dibawah 30 tahun(kematian 5%), usia lanjut(30-40%)
PENCEGAHAN
Profilaksis pada orang yang memiliki resiko terkena leptospirosis
Vaksinasi pada hewan reservoar.
MENINGITIS DEFINISI Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membrane atau selaput yang melapisi otak dan syaraf tunjang. Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan
berpindah kedalam cairan otak. Pasien yang diduga mengalami Meningitis haruslah dilakukan suatu pemeriksaan yang akurat, baik itu disebabkan virus, bakteri ataupun jamur. Hal ini diperlukan untuk spesifikasi pengobatannya, karena masing-masing akan mendapatkan therapy sesuai penyebabnya.
ETIOLOGI Meningitis yang disebabkan oleh virus umumnya tidak berbahaya, akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik. Namun Meningitis disebabkan oleh bakteri bisa mengakibatkan kondisi serius, misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran, kurangnya kemampuan belajar, bahka n bisa menyebabkan kematian. Sedangkan Meningitis disebabkan oleh jamur sangat jarang, jenis ini umumnya diderita orang yang mengalami kerusakan immun (daya tahan tubuh) seperti pada penderita AIDS.
Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis diantaranya : 1. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus). Bakteri ini yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi ataupun anak-anak. Jenis bakteri ini juga yang bisa menyebabkan infeksi pneumonia, telinga dan rongga hidung (sinus).
2. Neisseria meningitidis (meningococcus). Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak setelah Streptococcus pneumoniae, Meningitis terjadi akibat adanya infeksi pada saluran nafas bagian atas yang kemudian bakterinya masuk kedalam peredaran darah.
3. Haemophilus influenzae (haemophilus). Haemophilus influenzae type b (Hib) adalah jenis bakteri yang juga dapat menyebabkan meningitis. Jenis virus ini sebagai penyebabnya infeksi pernafasan bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis. Pemberian vaksin (Hib vaccine) telah membuktikan terjadinya angka penurunan pada kasus meningitis yang disebabkan bakteri jenis ini.
4. Listeria monocytogenes (listeria). Ini merupakan salah satu jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan meningitis. Bakteri ini dapat ditemukan dibanyak tempat, dalam debu dan dalam makanan yang terkontaminasi. Makanan ini biasanya yang berjenis keju, hot dog dan daging sandwich yang mana bakteri ini berasal dari hewan lokal (peliharaan).
5. Bakteri lainnya yang juga dapat menyebabkan meningitis adalah Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis. TANDA DAN GEJALA Gejala yang khas dan umum ditampakkan oleh penderita meningitis diatas umur 2 tahun adalah demam, sakit kepala dan kekakuan otot leher yang berlangsung berjam-jam atau dirasakan sampai 2 hari. Tanda dan gejala lainnya adalah photophobia (takut/menghindari sorotan cahaya terang), phonophobia (takut/terganggu dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak kebingungan, kesusahan untuk bangun dari tidur, bahkan tak sadarkan diri. Pada bayi gejala dan tanda penyakit meningitis mungkin sangatlah sulit diketahui, namun umumnya bayi akan tampak lemah dan pendiam (tidak aktif), gemetaran, muntah dan enggan menyusui.
PENANGANAN DAN PENGOBATAN Apabila ada tanda-tanda dan gejala seperti di atas, maka secepatnya penderita dibawa kerumah sakit untuk mendapatkan pelayan kesehatan yang intensif . Pemeriksaan fisik, pemeriksaan labratorium yang meliputi test darah (elektrolite, fungsi hati dan ginjal, serta darah lengkap), dan pemeriksaan X-ray (rontgen ) paru akan membantu tim dokter dalam mendiagnosa penyakit. Sedangkan pemeriksaan yang sangat penting apabila penderita telah diduga meningitis adalah pemeriksaan Lumbar puncture (pemeriksaan cairan selaput otak). Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis, maka pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk menjamin kesembuhan serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi. Antibiotik y ang diberikan kepada penderita tergantung dari jenis bakteri yang ditemukan.
Adapun beberapa antibiotik yang sering diresepkan oleh dokter pada ka sus meningitis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis antara lain Cephalosporin (ceftriaxone atau cefotaxime). Sedangkan meningitis yang disebabkan oleh bakteri Listeria monocytogenes akan diberikan Ampicillin, Vancomycin dan Carbapenem (meropenem), Chloramphenicol atau Ceftriaxone.
Treatment atau therapy lainnya adalah yang mengarah kepada gejala yang timbul, misalnya sakit kepala dan demam (paracetamol), shock dan kejang (diazepam) dan lain sebagainya.
Pencegahan Tertularnya Penyakit Meningitis Meningitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan melalui batuk, bersin, ciuman, sharing makan 1 sendok, pemakaian sikat gigi bersama dan merokok bergantian dalam satu batangnya. Maka bagi anda y ang mengetahui rekan atau disekeliling ada yang mengalami meningitis jenis ini haruslah berhati-hati. Mancuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah ketoilet umum, memegang hewan peliharaan. Menjaga stamina (daya tahan) tubuh dengan makan bergizi dan berolahraga yang teratur adalah sangat baik menghindari berbagai macam penyakit.
Pemberian Imunisasi vaksin (vaccine) Meningitis merupakan tindakan yang tepat terutama didaerah y ang diketahui rentan terkena wabah meningitis, adapun vaccine yang telah dikenal sebagai pencegahan terhadap meningitis diantaranya adalah ; - Haemophilus influenzae type b (Hib) - Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7) - Pneumococcal polysaccharide vaccine (PPV) - Meningococcal conjugate vaccine (MCV4)
4. ENSEFALITIS DEFINISI Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme (Hassan, 1997 ). Pada encephalitis terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medula spinalis.
ETIOLOGI Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan Ensefalitis, misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab Ensefalitis adalah Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum. Encephalitis bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut (Mansjoer, 2000). Penyebab lain adalah keracunan arsenik dan reaksi toksin dari thypoid fever, campak dan chicken pox/cacar air. Penyebab encephalitis yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak, atau reaksi radang akut infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Klasifikasi encephalitis berdasar jenis virus serta epidemiologinya ialah:
Infeksi virus yang bersifat endemik
1.
Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
2.
Golongan virus Arbo : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.
Infeksi virus yang bersiat sporadik : rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster, Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis, dan jenis lain yang dianggap disebabkan oleh virus t etapi belum jelas.
Encephalitis pasca-infeksi : pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia, pasca-mononukleosis infeksius, dan jenis-jenis lain yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.(Robin cit. Hassan, 1997)
TANDA DAN GEJALA Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang sama dan khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Secara umum, gejala berupa Trias Ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun. (Mansjoer, 2000). Adapun tanda dan gejala Ensefalitis sebagai berikut : Data Obyektif :
1.
Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia
2.
Kesadaran dengan cepat menurun
3.
Muntah
4.
Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang di muka)
5.
Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misal paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya (Hassan, 1997
Inti dari sindrom Ensefalitis adalah adanya demam akut, dengan kombinasi tanda dan gejala : kejang, delirium, bingung, stupor atau koma, aphasia, hemiparesis dengan asimetri refleks tendon dan tanda Babinski, gerakan involunter, ataxia, nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1.
Biakan: • Dari darah ; viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk mendapatkan hasil yan g positif.
• Dari likuor serebrospinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi), akan didapat gambaran jenis kuman dan sensitivitas
terhadap antibiotika. • Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif • Dari swap hidung dan tenggorokan , didapat hasil kultur positif
2.
Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibodi tubuh. IgM dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.
3.
Pemeriksaan darah : terjadi peningkatan angka leukosit.
4.
Punksi lumbal Likuor serebospinalis sering dalam batas normal, kadang-kadang ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
5.
EEG/ Electroencephalography ; EEG sering menunjukkan aktifitas listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun. Adanya kejang, koma, tumor, infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan kecepatan.(Smeltzer, 2002)
6.
CT scan; Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal, tetapi bisa pula didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti Ensefalitis herpes simplex, ada k erusakan selektif pada lobus inferomedial temporal dan lobus frontal.(Victor, 2001)
PENATALAKSANAAN
Isolasi Isolasi bertujuan mengurangi stimuli/rangsangan dari luar dan sebagai tindakan pencegahan.
Terapi antimikroba, sesuai hasil kultur Obat yang mungkin dianjurkan oleh dokter :
1.
Ampicillin : 200 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
2.
Kemicetin : 100 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
3.
Bila encephalitis disebabkan oleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir secara signifikan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV encephalitis. Acyclovir diberikan secara intravena dengan dosis 30 mg/kgBB per hari dan dilanjutkan selama 10-14 hari untuk mencegah kekambuhan (Victor, 2001).
4.
Untuk kemungkinan infeksi sekunder diberikan antibiotika secara polifragmasi.
Mengurangi meningkatnya tekanan intracranial , manajemen edema otak
1.
Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan; jenis dan jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan anak.
2.
Glukosa 20%, 10 ml intravena beberapa kali sehari disuntikkan dalam pipa giving set untuk menghilangkan edema otak .
3.
Kortikosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk menghilangkan edema otak.
Mengontrol kejang Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Obat yang diberikan ialah valium
dan atau luminal. 1.
Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
2.
Bila 15 menit belum teratasi/kejang lagi bia diulang dengan dosis yang sama
3.
Jika sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan dosis 5 mg/kgBB/24 jam.
Mempertahankan ventilasi Bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai kebutuhan (2-3l/menit).
Penatalaksanaan shock septik
Mengontrol perubahan suhu lingkungan
Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan kompres pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan di atas kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari dan phenergan 4 mg/kgBB/hari secara intravena atau intramuscular dibagi dalam 3 kali pemberian. Dapat juga diberikan antipiretikum seperti asetosal atau parasetamol bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat per oral
TETANUS Tetanus adalah suatu keadaan intoksikasi susunan saraf pusat oleh endotoksin bakteri Clostridium Tetani, dengan gejala karakteristik rigiditas otot yang berkembang progresif disertai eksaserbasi paroksismal.
PATOFISIOLOGI : •
Clostridium Tetani , suatu bakteri Gram positif anaerobic dengan spora yang mudah bergerak: menimbulkan penyakit pada manusia melalui kontaminasi luka kotor.
•
Spora dalam keadaan anaerob membentuk eksotoksin Tetanolisin dan Tetanospasmin.
•
Tetanospasmin mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmitter Glisin dan GABA, sehingga pelepasan neurotransmitter inhibisi dihambat.
•
Tetanolisin mempunyai sifat sitotoksik, dan dalam konsentrasi tinggi bersifat kardiogenik.
GEJALA KLINIS : •
Masa inkubasi antara terjadinya luka sampai timbul gejala antara 5 – 8 hari, biasanya tidak lebih dari 15 hari, dan periode onset adalah masa timbulnya gejala ( trismus ) sampai terjadi spasme otot biasanya 2-3 hari.
KLASIFIKASI Ada 4 bentuk klinis tetanus yaitu :
•
Tetanus local
•
Tetanus sephalik
•
Tetanus umum
•
Tetanus neonatorum
Tetanus local : plg ringan, berupa nyeri dan kekakuan otot sekitar luka diikuti spasme singkat pada otot yg terkena, kemudian spasme involunter menjadi menetap disebut rigiditas atau spastisitas tetanik.
Tetanus sephalik : terjadi pd luka di wajah atau kepala, masa inkubasi 1-2 hari; terjadi kelumpuhan yg terbatas pd otot wajah dan kepala berupa trismus dan blepharospasme.
Tetanus umum : yg paling banyak dikenal, biasanya diawali tetanus local atau menyebar difus sejak awal. Gambaran klinis yg ditemukan antara lain : 1.
Trismus, kaku dan nyeri pada rahang
2.
Risus sardonikus, disfagi, spasme laring
1.
Spasme otot leher,badan, perut papan, opistotonus
2.
Tungkai ekstensi, lengan fleksi, tangan terkepal
3.
Spasme / bangkitan tetanik : kontraksi dan spasme tonik paroksismal otot-otot baik spontan atau akibat stimuli eksternal ( cahaya, raba, suara) atau oleh emosi,menimbulkan rasa nyeri hebat dan pasien tetap sadar
4.
Hiperaktifitas system saraf simpatis.
Atas dasar gejala klinis diatas maka dibagi :
•
Tingkat Ringan ( I ) : trismus ringan dan sedang, kekakuan umum tidak disertai kejang, gangguan respirasi dg sedikit / tanpa gangguan menelan.
•
Tingkat Sedang ( II ) : trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai sedang yg berlangsung singkat, disertai disfagi ringan dan tkipnoe lebih dari 3 0 – 35 kali / menit.
•
Tingkat Berat ( III )
: trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan
yg berlangsung lama . Gangguan
pernafasan dg takipnoe lebih 40 kali / mnt, kadang apnoe, disfagia berat dan takhikardi lebih 120 kali / mnt. Terdapat peningkatan aktifitas saraf otonom yg moderat dan menetap.
•
Tingkat Sangat Berat : gambaran tingkat III disertai gangguan otonom yang hebat dimana dijumpai hipertensi berat dg takhikardi atau hipertensi diastolic yg berat dan menetap ( D > 110 mm Hg) atau hipotensi sistolik yg menetap ( S < 90 mm Hg ), dikenal dg autonomic storm
DIAGNOSIS : Ditegakkan berdasarkan : -
-
-
Anamnese : adanya luka kotor Gejala klinis : Trismus, disfagi, opistotonus, gangguan pernafasan berat Tidak ada pemeriksaan penunjang diagnostic yang spesifik
PENYULIT Kegagalan respirasi / hipoksia Penderita tetanus sedang, mengalami hipoksia dan hipokapnia akibat kerusakan ventilasi-perfusi paru, walaupun secara klinis dan radiologist normal. Sedang tetanus berat dg spasme otot yg berat dan lama yang tidak terkontrol dg relaksan dan sedative dapat mengarah ke henti jantung dan kematian atau kerusakan otak dg akibat koma. Komplikasi lain thd paru adalah atelektasi, bronkopneumoni, aspirasi pneumoni.
Kardiovaskuler dan otonom Terutama dimediasi oleh system otonom. Pada hampir semua tetanus berat terjadi peningkatan y g menetap dan berlangsung terus dari aktifitas simpatis dan parasimpatis. Komplikasi otonom ditandai oleh episode sinus takhikardi dg hipertensi berat yg segera diikuti dg bradikardi dan penurunan tekanan
darah. Ketidakstabilan ini merupakan awal dari henti jantung dan kematian.
Sering juga ditemukan aritmia dan
gangguan hantar jantung.
Sepsis yg berakhir dg multi organ failure ( MOF ) Komplikasi ginjal : berupa kegagalan fungsi ginjal akibat sepsis dan kelainan pre renal Komplikasi hematology berhubungan dg anemia
karena infeksi .
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit karena hiperhidrasi, hipokalemi, hiponatremi. Komplikasi metabolic :
asidosis respiratori alkalosis respiratorik.
Pada kulit : dekubitus dan thromboplebitis Dapat terjadi : fraktur tulang vertebra torakal karena kejang Komplikasi neurologist : berupa neuropati perifer, optalmoplegi serta gangguan memori dan penurunan kesadaran. TERAPI : I. UMUM II. KHUSUS Pasien tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus dg peralatan intensif dan memadai, dan bila perlu dilakukan trakheotomi. Stimulasi cahaya, taktil dan auditori sedapat mungkin dikurangi.
•
ATS 10.000 U im satu kali @ Tetagam 12 amp / hr ( 5 hr )
•
Deltoid ka& ki, Paha ka & ki, Bokong ka & ki.
•
Pen.Proc 2 jt U tiap 6 jam atau Tetrasiklin 2 gram / hari
•
Metronidazol 3 X 5000 mg
•
Sedativa : Diazepam 10 mg iv sesuai kebutuhan, sampai
•
ICU atas indikasi
•
Trakheotomi ; mutlak pd tetanus tingkat III dan IV.
500 mg / hari
PROGNOSA : Faktor-faktor yg mempengaruhi angka kematian : •
Masa inkubasi dan waktu onset, semakin pendek prognosa makin buruk
•
Beratnya gejala klinik, ( spasme dan dis otonomi ) makin berat makin buruk
•
Usia, neonatus dan usia tua prognosa makin buruk
•
Gizi buruk, prognosa buruk
•
Penanganan komplikasi, bila ditangani secara optimal maka prognosa baik.