ISSN 1829 - 5118
Vol. 8 - Maret 2012
JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA DAFTAR ISI : •
EVALUASI METODEFASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNITPELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTA-INDONESIA
•
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITASHIDUPPADA PENDERITA TUBERKULOSISPARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKITPARU
•
(BP4) YOGYAKARTA UNITMINGGIRAN
•
RAPIDTB TEST
•
MEROKOKDAN TUBERKULOSIS
•
TUBERKULOSISDAN HIV-AIDS
•
TUBERKULOSISNOSOKOMIAL
Diterbitkan Oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) The Indonesian Association Againts Tuberculosis
Vol. 8- Maret 2012
ISSN 1829 - 5118
JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA Diterbitkan Oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
Pemimpin Umum Ketua Umum PP PPTI Penanggung Jawab Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP Pemimpin Redaksi Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D
Sekretariat Redaksi Drs. Sumardi
Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240 Telp. 021 - 7397494 Fax. 021 - 7397494 http://www.ppti.info, email:
[email protected] Terbit pertama kali Agustus 2004
Petunjuk Untuk Penulis Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut: Pedoman Umum Naskah adalah karangan asli Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam bentuk dan media/jurnal apapun Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah Redaksi berhak unt uk memint a penulis untuk memperbaiki isi dan bentuk tulisan Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada penulis apabila ada permintaan sebelumnya Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu, naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan ejaan yang standar Naskah Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak tepi- tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran kertas A4 (21x 30 cm) Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket berupa copy file dari naskah tersebut Kelengkapan Naskah Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal Tuberkulosis Indonesia: Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau via email:
[email protected] Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print- out) yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2) abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6) daftar pustaka, 7) tabel- tabel, 8) gambar/ilustrasi dan foto berikut keterangannya Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan program MS-Word Halaman Judul dan Penulis Judul makalah dit ulis lengkap, dan t idak menggunakan singkatan Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis Nama departemen dan institusi Alamat korespondensi penulis
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Abstrak Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak tidak lebih dari 250 kata. Tabel dan Gambar Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah, dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel ataugambar. Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara informative sehingga mudah untuk dimengerti Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan biaya reproduksi Daftar Pustaka Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan Vancouver. Daft ar rujukan t idak lebih dari 25 buah, dan merupakan rujukan t erbaru dalam satu dekade terakhir. Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam narasi naskah. Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam Index Medicus. Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai aturan dan ditambahkan: In Press Contoh Penulisan Daftar Rujukan 1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS, Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32-80. 2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of Tuberculosis Control. Clinical policies and protocols. 3rd ed. New York, NY: New York City Department of Health, 1999 3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5 4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California: Aicon Publishers; 1985 5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condition of the Vaginal and Urethra, te Linde’s Operative Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press; 1995. p. 911-938
i
EDITORIAL Sekali lagi tentang TB-MDR. Siapa yang salah ? “Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!” Begitulah ‘keluhan’ yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengan kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB- MDR, obat harus diminum dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak. Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan ‘wabah’ TB- MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi primer maupun sekunder. Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB harus dilakukan. Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidak diragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga angka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TB terbatas, hanya sekitar 30 – 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah swasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksi bahwa ‘kesalahan’ yang dapat berakibat timbulnya ‘wabah TB-MDR’ ada pada dokter praktek swasta dan unit kesehatan tersebut.
ii
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul Role of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB Epiemics in Indonesia. Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang berhubungan dengan MDR- TB secara tidak langsung. Diagnosis TB- Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk dkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan dalam tulisan Nita Yuniarti R.
Achmad Hudoyo Sp P(K)
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
iii
EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI JAKARTA-INDONESIA Leli Saptawati,dr.,Sp.MK, Mardiastuti,dr.,M.Sc.,Sp.MK(K), Anis Karuniawati,dr.,PhD.,Sp.MK(K), Cleopas Martin Rumende,dr.,DR.,Sp.PD KP.,FINASIM.,FCCP
LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif. Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada pewarnaan t ahan asam.5 Kult ur Lowenst ein- Jensen (LJ) merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacterium tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7 Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5 Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis TB dengan lebih cepat dan akurat.8 Amplifikasi asam nukleat merupakan teknik identifikasi cepat Mycobacterium tuberculosisyang telah banyak digunakan di negara-negara maju beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya, secara t eknis met oda ini t idak mudah dikerjakan dan memerlukan biaya yang cukup mahal.4 Metoda diagnosis cepat yang baru dikembangkan yaitu penggunaan Mycobacteriophage. Mycobact eriophage akan menginfeksi Mycobact erium tuberculosis hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium
1
tuberculosis pada sputum dapat dilakukan melalui 2 metoda, yaitu menggunakan luciferase reporter phage (LRP) dan menggunakan metode amplifikasi faga. FASTPlaqueTBTM (Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK) merupakan salah satu metode cepat yang memiliki prinsip kerja berdasarkan teknologi amplifikasi faga.9 Suatu penelitian meta analisis terhadap 13 penelit ian phage based assay menunjukan bahwa nilai sensitivitas uji FASTPlaqueTBTM masih memiliki rentang nilai sensitivitas yang cukup lebar, yaitu berkisar 21–94% dan rentang nilai spesifisitasnya 83– 100%.10 Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui efektivitas metode FASTPlaqueTBTM. Oleh karena teknik diagnosis TB yang lebih cepat dan akurat saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan TB di Indonesia, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menguji met ode FASTPlaqueTBTM dalam mendet eksi Mycobacterium tuberculosis pada sputum. Diharapkan metode ini dapat membantu penegakan diagnosis TB yang cepat, akurat, mudah dan aman sehingga dapat dilakukan secara rutin di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
METODEA Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari 18 pasien yang berobat jalan di poli paru Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta, satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta, 3 pasien yang berobat di Puskesmas Menteng Jakarta dan 24 pasien yang berobat di Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Tanah Tinggi Jakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan t elah menandatangani informed consent. Kriteria inklusi yang digunakan adalah pasien usia e”15 tahun dengan suspek TB paru. Suspek TB paru ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu atau lebih gejala sebagai berikut : gangguan di saluran nafas (batuk e” 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada), terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan).11 Pengambilan sputum dilakukan dengan teknik asepsis.12 Pengambilan sputum dari masing-masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
kali, yaitu sputum sewaktu-pagi-sewaktu. Perhitungan besar sampel menggunakan rumus perkiraan perbedaan 2 proporsi.13 Pengumpulan spesimen dilakukan selama 2 periode yaitu bulan April–Juli 2009 dan Oktober–Desember 2010. Pewarnaan dengan metode ZN dilakukan sebelum dan sesudah dekontaminasi sputum. Dekontaminasi dilakukan dengan metode NALC-NAOH (Mycoprep®) dan disentrifus dengan kecepat an minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang. Sedimen ditambah dengan 15 ml FASTPlaqueTB (FPTB) MediumTM Plus dan disentrifus dengan kecepatan minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang (sisakan sekitar 0,5–1 ml). Setelah itu ditambahkan 1 ml FPTB MediumTM Plus. Selanjutnya spesimen diambil 1 ose dan dilakukan pembuatan preparat unt uk pemeriksaan mikroskopis. Kemudian 1 ml spesimen dimasukkan ke dalam vial steril yang sudah tersedia dalam kit FASTPlaqueTBTM dan diinkubasi selama 18–24 jam. Bersamaan dengan uji di atas, dilakukan biakan pada media LJdan Lowenstein Jensen–P-nitrobenzoic acid (LJ-PNB). Sebanyak 0,2 ml spesimen dimasukkan ke dalam media LJ dan diambil 0,2 ml lagi untuk ditanam di media LJ-PNB. Sebelum diinkubasi, tutup ulir pada tabung LJ dan LJ-PNB dilonggarkan dan media diletakkan di dalam inkubator dengan posisi miring 30° selama 24 jam. Setelah itu tutup ulir dirapatkan kembali dan tabung diinkubasi pada posisi tegak. Kultur diamati hingga 8 minggu14,15,16 Uji FASTPlaqueTBTM dilakukan sesuai dengan petunjuk pada manual dari Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK . Pada setiap uji disertakan kontrol negatif dan kontrol positif. Semua sampel sputum yang sudah diproses dan sudah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37ºC, kontrol negatif dan kontrol positif ditambah dengan 0,1 ml larutan faga dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 35–37ºC. Setelah inkubasi, masing-masing tabung ditambah 0,1 ml larutan virusid. Tabung didiamkan selama 5 menit pada suhu ruang, kemudian masing-masing tabung ditambah 5 ml larutan FPTB MediumTM Plus untuk menetralisasi efek virusid. Selanjutnya ditambah dengan 1 ml larutan sel sensor. Setelah itu ditambah dengan 5 ml FPTB agar yang sudah dicairkan dan dituang ke dalam petri steril. Diamkan hingga agar mengeras (sekitar 30 menit pada suhu 20–25ºC). Petri kemudian diinkubasi semalam pada suhu 35–37ºC. Keesokan harinya petri diambil dari inkubator dan dihitung jumlah plak yang terbentuk. Pada kontrol negatif harus terbentuk d” 10 plak, kontrol positif harus terbentuk e” 20 plak. Pada petri spesimen, hasil dikatakan negatif apabila ditemukan 0–19 plak dan dikatakan positif apabila terdapat e” 20 plak.17
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
HASIL Selama 2 periode pengumpulan sampel diperoleh 95 dan 69 sampel sputum. Pada periode I, 50 dari 95 sampel tidak dapat digunakan karena : a.Pertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yang diperiksa disertai perubahan warna pada media LJ dari hijau menjadi biru atau coklat. b.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14 sampel sputum. c.Enam sampel mengalami kontaminasi pada hasil uji FASTPlaqueTBTM d.Dua responden (6 sampel) tidak ada keterangan mengenai gejala klinik. Sedangkan pada periode ke-2, sebanyak 17 dari 69 sampel tidak dapat digunakan karena : a.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8 sampel sputum. b.Lima sampel mengalami kont aminasi pada uji FASTPlaqueTBTM c.Dua sampel mengalami kontaminasi baik pada kultur LJ maupun uji FASTPlaqueTBTM d.Dua sampel mengalami perubahan warna pada media kult ur LJ dan kont aminasi pada hasil uji FASTPlaqueTBTM. Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164 sampel sputum, sedangkan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 97 sampel. Karakteristik umur dari 46 responden yang masuk dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah tersangka TB paling banyak berada pada usia 35-44 dengan mean 43 tahun dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan 33 orang (33/46) berjenis kelamin laki-laki dan 13 orang (13/46) berjenis kelamin perempuan. Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NTM, 52 sampel tumbuh Mycobacterium tuberculosis dan 38 sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel NTM yang dit emukan, 2 di ant aranya t erdet eksi posit if oleh FASTPlaqueTBTM dan 5 sampel terdeteksi negatif. Analisis hanya dilakukan terhadap kultur Mycobacterium tuberculosis dan kultur negatif.
Hasil pemeriksaan mikroskopis Pada 90 sampel sputum dilakukan pewarnaan tahan asam dengan metode Ziehl Neelsen. Hasil pewarnaan setelahprosesdekontaminasi menunjukkan bahwa sebanyak 52 sampel (58%) positif dan 38 sampel (42%) negatif.
2
Hasil pemeriksaan kultur Set elah dilakukan pemeriksaan mikroskopis, selanjutnya sampel ditanam pada media LJ dan LJ-PNB. Nontuberculous Mycobacteria tidak diikutsertakan dalam analisis lebih lanjut . Sebanyak 52 sampel (57,8%) menunjukkan hasil kultur LJ positif dan 38 sampel (42,2%) menunjukkan hasil kultur negatif. Hasil pemeriksaan FASTplaqueTBTM Selain pemeriksaan mikroskopis dan kultur, semua spesimen juga diperiksa dengan menggunakan metode FASTPlaqueTBTM. Dari 90 sampel yang diperiksa, 53 sampel (58,9%) menunjukkan hasil posit if dan 37 (41,1%) memberikan hasil negatif. Analisis statistik pewarnaan Zehl Neelsen dan FASTPlaqueTBTM dengan kultur LJsebagai baku emas, disajikan pada tabel 1,2 dan 3. Tabel 1. Analisis statistik pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi dibandingkan dengan Kultur LJ. Ziehl Neelsen
Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg
Positif
47
5
Negatif
5
33
90,4
52
38
86,8
90,4 86,8 6,9 0,1
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan Kultur LJ. FASTPlaqueTB
Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg
86,5
78,9
Kesesuaian hasil antara pewarnaan Ziehl Neelsen langsung dan uji FASTPlaqueTBTM Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan unt uk pelayanan sehari- hari laboratorium di Indonesia adalah pewarnaan Ziehl Neelsen langsung. Hal ini sesuai dengan panduan Depkes RI tahun 2006. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diketahui kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung dan FASTPlaqueTBTM. Interpretasi hasil pada pewarnaan langsung dilakukan berdasarkan panduan Depkes RI tahun 2006.18 Di antara sampel dengan hasil kultur positif (52 sampel), 8 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, 2 sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapang pandang, 18 sampel menunjukkan hasil +1, delapan sampel menunjukkan hasil +2, dan 16 sampel menunjukkan hasil +3 (tabel 4). Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar e”90% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM dan kultur LJ positif dapat diperoleh mulai dari hasil +1. Di antara sampel dengan hasil kultur negatif (38 sampel), 33 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, satu sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapang pandang, dua sampel menunjukkan hasil +1, dua sampel menunjukkan hasil +2, dan tidak ada sampel yang menunjukkan hasil +3 (tabel 5). Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar 81,8% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM dan kultur LJnegatif diperoleh pada pewarnaan langsung yang menunjukkan hasil negatif. Tabel 4. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji FASTPlaqueTB TM dan kultur LJ positif Penawaran langsung
84,9 81,1 4,1 0,2
Uji Uji FASTPlaqueTB TM FASTPlaqueTB TM
Kultur LJ positif
Positif
45
8
Positif n(%)
Negatif n(%)
Negatif
7
30
Negatif
4 (50,0)
4 (50,0)
8
52
38
1-9 BTA/100 lapang pandang
1 (50,0)
1 (50,0)
2
+1 +2 +3
17 (94,4) 18 (100) 15 (93,7)
1 (5,6) 0 (0,0) 1 (6,3)
18 18 16
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
Tabel 3. Analisis statistik kombinasi pemeriksaan Ziehl Neelsen setelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan Kultur LJ. ZN setelah Kultur LJ dekontaminasi Positif Negatif dan/atau FASTPlaqueTB
Positif
49
11
Negatif
3
27
52
38
Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK (%)
(%)
(%)
(%)
pos
neg
Penawaran langsung 94,0
71,0
81,0 90,0 3
0,1
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
3
Tabel 5. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji FASTPlaqueTB TM dan kultur LJ negatif Uji Uji FASTPlaqueTB TM FASTPlaqueTB TM Negatif n(%) Positif n(%)
Kultur LJ negatif
Negatif
5
27 (81,8)
33
1-9 BTA/100 lapang pandang
0 (0,0)
1 (100)
1
+1 +2 +3
1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0)
1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0)
2 2 0
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
PEMBAHASAN Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah 46 pasien baru, belum pernah mendapat atau sedang dalam terapi OAT(obat antituberkulosis). Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol, Filipina dan Turki, menunjukkan bahwa terapi OAT dapat menurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueTBTM. Semua penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas di bawah 60%.10 Dat a yang diperoleh pada penelit ian ini memperlihatkan bahwa responden t erbanyak adalah kelompok umur 35-44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun ).3 Data yang dikeluarkan oleh Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita TB paru berada pada kelompok usia produktif (15–50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi t ersebut t ent u saja akan sangat berdampak pada perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh masyarakat .20 Berdasarkan jenis kelamin, responden terbanyak dalam penelitian ini berjeniskelamin laki-laki yaitu 33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin perempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih sering diderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak 2,2 kali.21 Hasil pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi menunjukkan sebanyak 58% (52/90) sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai dengan kenyat aan bahwa diperkirakan set engah hingga tigaperempat kasus TB aktif menunjukkan BTA (+) dan sisanya BTA (-). Hasil kultur juga menunjukkan data yang sama, yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJpositif dan sisanya menunjukkan hasil kultur negatif.4 FASTPlaqueTBTM merupakan suatu metode diagnostik yang mudah dikerjakan dan dapat memberikan hasil dalam waktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ, metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas 78,9%, Nilai duga posit if dan negat if met ode FASTPlaqueTBTM adalah 85,0% dan 81,0%. Rasio kemungkinan positif dan negatif uji ini adalah 4,14 dan 0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian meta analisis t erhadap 13 penelit ian. Penelit ian t ersebut
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
menyimpulkan bahwa phage- based assays memiliki sensitivitasantara 21–94%. Luasnya rentang nilai sensitivitas pada penelitian meta analisis tersebut, dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain jenis spesimen yang digunakan, riwayat terapi OAT pada responden, perbandingan jumlah sampel BTA positif dan BTA negatif pada seluruh sampel yang diuji dan lamanya penyimpanan spesimen.Pada meta analisis tersebut, 3 penelitian tidak hanya menggunakan spesimen sputum namun juga menggunakan jenisspesimen lain. Selain itu, sebanyak 5 penelitian menyertakan responden yang sedang dalam terapi OAT.10 Apabila dilakukan kombinasi pemeriksaan mikroskopis set elah homogenisasi dekont aminasi dan/at au FASTPlaqueTBTM, maka diperoleh nilai sensitivitas sebesar 94,0%, spesifisitas71,0%, nilai duga positif 81,0%, nilai duga negatif 90,0%, rasio kemungkinan positif 3 dan rasio kemungkinana negatif 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi hasil pemeriksaan mikroskopisdan FASTPlaqueTBTM mampu meningkatkan sensitivitas, namun tidak dapat meningkatkan spesifisitas. Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) menyimpulkan bahwa kombinasi pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM memperlihatkan nilai sensitivitasnya mencapai 90% dan spesifisitasnya 93%.4 Pada hasil uji FASTPlaqueTBTM yang dibandingkan dengan kultur LJ, ditemukan 8 sampel yang menunjukkan hasil postif palsu (6 sampel menunjukkan hasil BTA negatif dan 2 sampel menunjukkan hasil BTA positif). Dengan data tersebut dapat dilihat bahwa 6 sampel BTA negatif terdeteksi positif oleh FASTPlaqueTBTM. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan terjadinya positif palsu adalah masih adanya faga yang berada di luar sel, karena proses destruksi faga oleh virusid tidak terjadi secara sempurna akibat adanya faktor dalam sputum yang mampu melindungi faga. Faga yang masih bertahan di luar sel tesebut kemudian akan menginfeksi Mycobacterium smegmatisdan akan membentuk plak pada media dan memungkinkan terjadinya hasil positif palsu.5 Interpretasi hasil uji FASTPlaqueTBTM sangat bersifat subyektif dan memerlukan kehati-hatian, terutama dalam membedakan hasil negatif dan hasil positif lengkap. Hal ini terkadang cukup menyulitkan, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi hasil yang dapat menyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu. Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif palsu pada uji FASTPlaqueTBTM sebanyak 7 sampel. Empat sampel merupakan BTA negatif dan 3 sampel BTA positif. Hasil negatif palsu berkaitan dengan kemampuan FASTPlaqueTBTM dalam mendeteksi keberadaan Mycobacterium sp pada sputum. Kemampuan ini berkaitan erat dengan kemampuan infeksi dan replikasi faga D29 pada pejamu.22 Proses infeksi
4
dan replikasi faga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain struktur kimia dan biologis sputum23 dan kemampuan replikasi pejamu.22 Salah satu hal yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah tingginya angka kontaminasi pada hasil uji FASTPlaqueTBTM. Dari 69 sampel yang diperoleh pada periode ke-2, 34 di antaranya (34/69) mengalami kontaminasi pada media FASTPlaqueTBTM. Dua puluh lima sampel di antaranya mengalami kontaminasi berupa generalized growth sehingga media menjadi keruh, dan 9 sampel mengalami kontaminasi berupa discrete colonies yang memenuhi hampir seluruh permukaan media sehingga menyulitkan interpretasi hasil. Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada saat pengambilan dan pemeriksaan sampel atau karena proses dekontaminasi kurang adekuat. Sebagai upaya pengendalian kontaminasi, pada penelitian ini dilakukan proses dekontaminasi ulang pada sampel yang terkontaminasi dan selanjutnya dilakukan uji FASTPlaqueTBTM ulang. Set elah dilakukan pengujian, diket ahui bahwa sebagian besar bakteri kontaminan adalah batang positif Gram berspora (Bacillus sp) diikuti oleh kokus positif Gram. Pada beberapa sampel juga terdapat batang negatif Gram, di antaranya Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas sp. Dominasi Bacillussp sebagai bakteri kontaminan memperkuat dugaan bahwa kontaminasi terjadi saat pengumpulan dan pemrosesan spesimen. Penundaan pengiriman spesimen juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi. Pengulangan prosesdekontaminasi dapat menurunkan kontaminasi dari 49,3% menjadi 14,5% (34/69 menjadi 10/ 69). Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) juga menunjukkan adanya kontaminasi pada uji FASTPlaqueTBTM sebesar 18,6%, kontaminan terbesar adalah bakteri positif Gram khususnya Bacillus sp dan Staphylococcus sp. Untuk menekan kontaminasi, mereka melakukan penambahan penisilin pada medium pert umbuhan FASTPlaqueTBTM. Penambahan penisilin t ersebut mampu menurunkan kontaminasi hingga menjadi 5,3%, tanpa mempengaruhi sensitivitasdan spesifisitasnya. Supaya FASTPlaqueTBTM dapat diaplikasikan secara efektif, hal penting yang harusdilakukan adalah pengendalian bakteri kontaminan. Hal ini terutama perlu dilakukan di negara-negara sedang berkembang, terkait dengan pengambilan dan pengolahan spesimen yang tidak selalu dapat dilakukan dalam kondisi ideal.4 Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa uji FASTPlaqueTBTM memiliki sensitivitas yang cukup baik, akan tetapi nilainya masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan metode pewarnaan Ziehl Neelsen set elah homogenisasi dan dekont aminasi. FASTPlaqueTBTM hanya mampu mendeteksi bakteri hidup
5
sedang metode Ziehl Neelsen tidak dapat membedakan ant ara bakt eri hidup dan mat i.24 Hal tersebut dapat membantu klinisi dalam menangani kasus TB pada pasien dengan kondisi klinismembaik namun hasil pewarnaan Ziehl Neelsen positif. Kombinasi pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM terbukti mampu meningkatkan sensitivitas. FASTPlaqueTBTM merupakan metode yang cukup mudah dikerjakan. Selain itu metode ini memberikan keamanan yang lebih baik bagi petugas laboratorium karena menggunakan Mycobacterium smegmatis yang tidak bersifat patogen. Replikasi faga juga akan menyebabkan lisis bakteri, sehingga bakteri tidak lagi bersifat infeksius. Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 2x24 jam. Di samping beberapa kelebihan tersebut, uji FASTPlaqueTBTM memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis, memiliki risiko kontaminasi yang tinggi, dan interpretasi hasil dipengaruhi oleh subyektivitas pembaca terutama dalam membedakan hasil negatif dan positif lengkap. Beberapa kekurangan pada penelitian ini antara lain adalah sampel yang diuji belum mampu mewakili seluruh strain Mycobacterium tuberculosisdi Indonesia, karena hanya diambil dari beberapa tempat pelayanan kesehatan di Jakarta. Selain itu, penelitian ini tidak melakukan identifikasi hingga spesiesbakteri. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut Hari TBCSedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007. 2. Naning R. Tuberculosis Infection in Infant and Children Who Have Contact with Positive Sputum Adult Tuberculosis. http:/ /puspasca.ugm.ac.id. 2003. 3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO). Hari TB Sedunia : Lembar Fakta Tuberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008. 4. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of t he FASTPLAQUETB Assay for Direct Det ect ion of Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635-40. 5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B, Subotsky E, et al. Performance of a Rapid Phage-based test, FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary Tuberculosis from Sputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(6): 529 – 37. 6. Farnia P, Mohammadi F, Mirsaedi M, Zarifi AZ, Tabatabee J, Bahadori M et al. Bacteriological follow-up of pulmonary tuberculosis treatment: a study with a simple colorimetric assay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972-76.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
7. Levinson W. Review of Medical Microbiology and Immunology. United States,The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.164. 8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya. www.fk.ui.ac.id 2008. 9. Pai M, Kalant ri SP. Bact eriophage- based t est s for tuberculosis. Editorial. 2005; 23(3):149-50. 10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL. Bact eriophage- based t est s f or t he det ect ion of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a systematic review and meta analysis. BMCInfect Dis, 2005; 5(59).
20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf 2009. 21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis (TB paru – TBC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktorfaktor-resiko-tuberkulosis-tb.html. 22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14 Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and seven other mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis - application for identification and susceptibility testing. Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 37–42.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.
23. StellaEJ, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophages as versatile tools for genetic manipulation of mycobacteria and development of simple methods for diagnosis of mycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiología. 2009; 41: 45-55.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 1314,17,21.
24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguish alive and dead mycobacteria by fluorescent staining— a trial for solving the biohazard problem in TB laboratories. Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.
13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I, Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro: Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta : CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273. 14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. The Research Institute of Tuberculosis. 2001: p.16-18. 15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an Ogawa Mycobacterium culture method modified for higher sensitivity employing concentrated samples. Tropical Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4. 16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple met hod t o dif ferent iat e bet ween Mycobact erium tuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directly on clinical specimens. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2007; 38(1): 111-4. 17. Biot ec Laborat ories Lt d. FASTPlaqueTBTM a rapid bacteriophaga assay for the detection Mycobacterium tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available from: www.biotec.com. 18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian TB paru pada usia dewasa (Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit paru pat i). Undip websit e. 2006. Hal. 2. ht t p:// eprints.undip.ac.id/5283/. 19. Suharjana BS, Krist iani, Trisnantoro L. Pelaksanaan Penemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Sleman. KMPKUniversitas Gadjah Mada. 2005. Hal. 5. http:/ /www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/id/UP PDF/_working/ No.3_Bambang_S_01_05.pdf.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
6
HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU (BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN Nita Yunianti Ratnasari AKPER Giri Satria Husada Wonogiri PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 jut a penderit a baru Tbdengan kemat ian sebesar 3 jut a orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan telah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus dan kegagalan pengobatan.Data Program Pemberantasan Tuberkulosis(P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah kesulit an penemuan penderit a TB paru BTA(+), ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber penularan. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai. Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis seperti TB paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karena dengan dukungan dari orang-orang tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan dengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak
7
semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita penyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidak berdaya dan put us asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan. Meningkatnya st atus kesehat an berarti akan meningkat kan kualitas hidup penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadap penderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO) tersebut dapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat atau keluarga penderita. Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi penyakit kronismulai menggantikan dominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TB paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderit a, enggan mengajak berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial yang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal. Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan status kesehatan penderita serta pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderita penyakit kronis, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji kedua hal tersebut. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian karena selain merupakan tempat berobat yang potensial bagi
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat unt uk mengembangkan berbagai penelit ian yang berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4 Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka penemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebut paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%, penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan di Minggiran. Tujuan penelitian ini adalah untuk menget ahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnya dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB paru yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran serta besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50 orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis medismenderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensif program pengobatan minimal 2 bulan dengan OATKategori I, penderita usia produktif yaitu antara 15–55 tahun, dapat membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April 2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis korelasi Product Moment Pearson.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian Penderita TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata 21–30 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 31–40 tahun dan usia 41–50 tahun masing-masing 8 orang (16%) dan 7 orang (14%). Jumlah penderita laki-laki dan perempuan berimbang, laki-laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang (46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%) t amat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP, sedangkan responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat maupun tamat SD masing-masing 3 orang (6%). Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), tidak bekerja dan buruh masing-masing 8 orang (16%). Riwayat pengobat an sebanyak 33 orang (66%) responden menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran. 2. Dukungan Sosial Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan sosial t ersebut . Sebanyak 18 orang (36%) mendapat dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori sedang dan rendah masing-masing sebanyak 22 orang (44%) dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak saudara dan tetangga. 3. Kualitas Hidup Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari-hari, kesehatan, dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%) dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitas perlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakan tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat melakukan kehidupan sehari-hari dengan normal, 9 orang (18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak mampu menjalani kehidupan sehari-hari sama sekali. Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besar waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta 4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa sakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungan kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderita yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak 6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sebanyak 40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%) betul-betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis besar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanya ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek. 4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct MomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r sebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, maka kualitashidup juga semakin meningkat. Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.
8
Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Kualitas Hidup Hasil analisis dengan korelasi Pearson ant ara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan kualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis : variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077; p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141; p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari analisis tersebut diket ahui bahwa variabel umur dan pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang, masing-masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan kualitashidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jeniskelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kualitas hidup. Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik responden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapat variabel umur (â=0,519; p<0,05) dan pendidikan (â=0,378; p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya yaitu jeniskelamin (â=0,260; p=0,753), pekerjaan (â=–0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (â=– 6,25; p=0,417) t idak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
PEMBAHASAN Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran terbanyak adalah usia produktif, antara 21–30 tahun, sebesar 52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia dewasa muda, antara 15–44 tahun. Sekitar 95% penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75% diantaranya adalah usia produktif. Jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa yang menyat akan bahwa laki- laki mempunyai kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini. Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan lebih t inggi akan sadar t ent ang perilaku sehat dan pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum
9
tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996–1999 yang menyatakan bahwa rendahnya t ingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar penderita yang masih membuang dahak serta meludah sembarang tempat. Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa sebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwa responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di lingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyat aan mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat penghuninya akan kekurangan O2 sehingga menyebabkan menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya penularan penyakit. Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66% penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih memilih unt uk berobat di inst ansi t ersebut dengan pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan. Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita agar t erat ur berobat sesuai dengan jadwal sampai tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak penderit a yang t idak t ekun menyelesaikan pengobatannya. Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian ini diperoleh 44% dari keseluruhan responden mendapatkan dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderita TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitar penderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit kronis, sebab dengan dukungan t ersebut akan mempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait aktivitaspada satu minggu terakhir t ergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderit a menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. TB paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering ditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari-hari pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain. Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mengurusdiri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas fungsional. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang merasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkan oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah. Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya nafsu makan, napas pendek serta sering flu. Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan t eman- t eman diperoleh sebanyak 43 orang (86%) menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau dari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan dari keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB paru mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana orang-orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak dengan penderit a, karena takut tertular. Sebaliknya, dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan penyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderita mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekit ar. Sebagian besar responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB paru dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh petugaskesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obat nya diharapkan akan sangat membant u penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung proses penyembuhannya. Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu, dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang. Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan kualitas hidup didapatkan nilai sebesar (â=0,519; p<0,05). Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya umur. Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak memberikan kontribusi terhadap kualitashidup dengan nilai (â=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik. Disebutkan pula bahwa laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan. Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup (â=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan, sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh terhadap perawatan kesehatannya. Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengan kualitas hidup penderita diperoleh (â=–0,155; p=0,260).
10
Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusi t erhadap kualit as hidup penderit a TB paru. Hal ini dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalam penelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak 50% responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagi lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehingga jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak mewakili profesi. Pada penelit ian ini diketahui bahwa t idak ada hubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitashidup penderita TB paru, didapatkan nilai (â=–6,25, p=0,417). Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan ketaatan berobat penderita, sehubungan dengan program pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.
KESIMPULAN Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jeniskelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
DAFTAR PUSTAKA Bahar, A., “Ilmu Penyakit Dalam Jilid II”. Balai Penerbit FK UI. Jakarta : Hal : 715–719. 1990. Brehm, S., Kassin, S., “Social Psycology”. New Jerset : Houghton Mifflin. Princetor. 1990. BP4 Yogyakarta., “Laporan Triwulan TB Paru”. BP4 Unit Minggiran. Yogyakarta. 2003. Cohen, S; Syme, S.L., “Social Support and Health”. London : Academic Press Inc. 1985. Crofton, J., Horne, N., Miller, F., “Clinical Tuberculosis”. 2nd Ed. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.
Faisal, A., “Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch Pulmonum Orang Dewasa”.Majalah Radiologi Indonesia Tahun ke-2, No 2 : 31–35. 1991. Gitawati, R., Sukasediati, N., “Studi Kasus Hasil Pengobatan TB Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 17–20. 2002. Hamdani, F., “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan Berobat Penderita KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito”. KTI FK UGM. Yogyakarta. 1994. Handayani, S., “Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TB Paru”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 – 36. 2002. Kuntjoro, Z.S., “Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5 Oktober 2003: Available from : http://www.e-psikologi.com/ lain-lain/zainuddin.htm.2002 Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., “Kapita Selekta Kedokteran”. Ed. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999. Notoatmodjo, S., “Ilmu Kesehatan Masyarakat”. PT. Rineka Cipta : Jakarta. 1996. Sugiyono., “Statistik untuk Penelitian”. Bandung : CV. Alfabeta. 1999. Smeltzer, Suzanne C., “Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah, Brunner & Suddarth / editor”. Ed 8. Vol 1. Jakarta : EGC. 2001. Siswanto, A., “KualitasHidup Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta”. Tinjauan Pustaka dan Laporan Penelitian. FK UGM Yogyakarta. 1992. Subowo, D., “Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Kontak di RSUD Sragen, Jawa Tengah”. Tesis Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. 2001. Priambodo, R., “Hubungan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) di RSUPDr. Sardjito Tahun 1991 – 1996”. KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.
DepkesRI., “Pedoman Nasional Penanggulangan TB”. Cetakan ke-5. Jakarta. 2000.
Prasetyo, I.E., “Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Terminal dengan Peritoneal Dialisa di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta”. KTI – FKL UGM. 2003.
DepkesRI., “Pedoman Tuberkulosis dan Penanggulangannya”. Jakarta. 1994
WHO. “Tuberculosis Control”. New Delhi, WHORegional For South East Asia. 1993.
Depkes RI., “Pedoman Penyajit Tuberkulosis dan Penanggulangannya”. Ditjen P2M & PLP. Depkes RI, Jakarta. 1999.
Woerjandari, A., “Manajemen Pengobat an Penderit a Tuberkulosis Paru Dengan Sistem DOTS Di Puskesmas dan BP4 Kota Yogyakarta”. Tesis Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. 2001.
11
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
RAPID TB TEST Apri Lyanda Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh pasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei prevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TB BTAposit if secara nasional 110/100.000 penduduk. Berdasarkan data di atasTB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia.1 DiagnosisTB paru yang digunakansaat ini secara rutin dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmasadalah diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri tahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kultur untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya. Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat tetapi sensitivitas dan spesifitasteknik ini lebih rendah dibanding dengan teknik kultur.2 Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan uji tuberkulin.1 Pemeriksaan mikrobiologis yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB, meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkan untuk mendapat kan kuman positif pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50–100 kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sput um mempunyai sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang memberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaran klinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6–8 minggu dengan angka sensitivitas 18– 30%. Foto polos toraks memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% pada negara berkembang.2,3 Bila terdapat gambaran infiltrat di lobus atas dan kavit as pada fot o polos t oraks, maka kemungkinan TB paru 80–85%.4 Oleh karena terdapat beberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lama dalam menentukan diagnosispasti TBparu, maka dibutuhkan alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas dan spesifitasyang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik yang konvensional.3,5
SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang belakang manusia dengan tanda spondylitistuberculosa dari tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB adalah penyakit keturunan. Galenusdokter di zaman Romawi berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin (1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB adalah penyakit menular t et api penyebabnya belum diketahui. Robert Koch pada t anggal 24 Maret 1882 menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah penyakit menular. Laennec t ahun 1819 menemukan stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895 menemukan sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis TB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von Pirquet ini disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama Mantoux. Permulaan abad ke-20 semua sarana diagnosis TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih ditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapat dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain.
12
DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS DiagnosiscepatTB (rapid diagnosisTB)adalah diagnosis cepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumTB secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur dan ident ifikasi fenot ipe. Meskipunmetoda t ercepat , termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (45–80% kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutama di daerah dengan insidensTB rendah dan pada bent uk ekst rapulmoner TB sert a pada pasien t erinf eksi HIV.5,6Pemeriksaan apus memiliki spesifisitasyang baiktetapi nilai prediktif positif yang rendah (5–80%) didaerah dengan insidens tinggi M. non-TB.4,6,7Teknik kultur masih dianggap sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas lebih baik dibanding pemeriksaan BTA. Pert umbuhan lambat bakt eri M.t b merupakan hambatan besar untuk diagnosiscepat penyakit. Dua dekade terakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melalui penggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec 460TB buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, Sparks Amerika, MB/BacT ALERTdibuat oleh bioMérieux, Marcyl’Etoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton Dickinson Diagnosticsdan VersaTREKproduksi Trek Diagnostic System, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebut masih membut uhkan waktu beberapa minggu unt uk mendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkan waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipe kuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat iniuntuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaik sepertigenotipe atau molekuler.7,8 Beberapa metoda diagnosis cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini. Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip. Dikutip dari (2)
Metoda kromatografi Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan deteksi asam tuberkulostearat (TBSA), baik sendiri maupun dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah fast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11
13
Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tb dan deteksinya memerlukan diagnosisbanding antara spesies Mycobacterium,Nocardia dan basil gram(+) lainnya yang juga memiliki asam dan jenislipid yang sama. Diantara komponenkomponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi dengan TBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11 Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untuk identifikasi mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan antigen MPT64, namun metoda ini tidak mewakili altenatif bermakna untuk diagnosis cepat TB.12
Metoda Fagotipik Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan untuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat penting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaat klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan bakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase Reporter Phage Assay (LRP)dan Phage Amplified Assay (PhaB). Perbedaan terpent ing antara ke-2 metoda ini adalah mengenai deteksi sel mikobakt erium yang t erinfeksi bakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkan pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux) yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. Sedangkan PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentan setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada M. smegmatis.13-15 Luciferase Reporter Phage Assay telah t erbukti bermanfaat untuk membedakan M. t bdari kultur dan terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan rifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkan dengan nama dagang FASTPlaque-TB, digunakanuntuk mendiagnosisTB pada sediaaan saluran pernapasan juga telah diteliti untuk uji sensitifitasterhadap antimikrobaM. tb. Teknik ini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikit latihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitas yang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutin metoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasi mengenai manfaat dalam diagnosisTB atau deteksi resistensi obat antituberkulosis (OAT).14-16
Metoda Genotipe Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersedia untuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakt erium.16 Penanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosis molekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis M. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi yang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
amino nukleat (NAA). Teknik ini memiliki beberapa keunt ungan sepert i wakt u kembali yang cepat dan kemungkinan untuk automatisasi. Beberapa kerugian mucul saat pengaplikasian metoda ini secara langsung pada sediaan klinis, yaitu masalah dengan inhibitor, sensitifitaspada sampel apus negatif dan ekstraksi DNA.17,18 Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luas dan bukti kuat tetapi implementasinya belum tercapai. Hal ini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat luas dan kurangnya standarisasi antara penelitian satu dengan lainnya menggunakan kultur sebagai baku emasyang secara teoritis memiliki sensitifitas yang rendah dibandingkan uji amplifikasi NAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis pada kebanyakan penelitian telah mengakibatkan beberapa kebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapan menggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuan terbaru tentang penggunaan uji NAA untuk mendiagnosa tuberkulosis menyatakan bahwa: a) metoda ini dapat secara cepat mendeteksi keberadaan M.tb pada 50–85% sediaaan BTA apus negatif dan kultur positif b) nilai prediktif positif pada spesimen BTA apus positif lebih tinggi (>95%) c) secara umum, met oda molekuler ini dapat mendiagnosisTB beberapa minggu lebih awal dibandingkan kultur pada 80–90% pasien dengan kecurigaan TB yang tinggi.19,20 Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda non komersial dengan pemeriksaan ekstraksi asam nukleat dan amplifikasi polymerase chain reaction(PCR) dari berbagai target genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16S rDNA atau MBP64. Meskipun uji amplifikasi non- komersial telah berkembang pada beberapa t ahun t erakhir yang direkomendasikan adalah menggunakan uji komersial yang memiliki level standarisasi dan reprodusibilitas yang lebih baik.20Semua met oda NAA membut uhkan analisis postamplifikasi yang lebih jauh dengan observasi elektroforesis fragmen teramplifikasi atau hibridisasi, rest riksi at au sekuensing.18,20Unt uk diagnosis TBmetoda yang paling berkembang dan paling dikomersialkan didasarkan pada uji hibridisasi(Tabel 1). Amplifikasi DNA konvensional denganPolymerase Chain Reaction (PCR) Uji amplifikasiM. tbbuatan Roche Diagnostic System Inc., Basel Swiss adalah salah satu alat uji diagnosis cepat tertua berdasarkan PCRstandar. Uji ini adalah uji DNA yang mengamplifikasi segmen spesifik gen RNA 16Sdilanjutkan dengan hibridisasi dan deteksi kolorimetrik. Metoda ini dapat
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
diautomatisasi dan disetujui pada tahun 1996 oleh USFood and Drug Administration (FDA) untuk digunakan pada sediaanapus saluran pernapasan yang memiliki BTA(+).21 Berbagai studi telah melaporkan sensitifitasyang tinggi pada spesimenapussaluran pernapasan positif (87–100%), lebih rendah pada kasus apus negatif (40–73%) dan sampel ekstrapulmoner (27–98%). Spesifisitas metoda ini berkisar antara 91–100%.20,21 Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi Uji
Target
Cobas amplicor
PCR
16sRNA
Kolorimet rik
10 0
6- 7
Ya
Ya
AMTD
TMA
16sRNA
Semiluscent
45 0
2- 5
Tidak
Tidak
LCX
LCR
PAB
Fluorimetrik
50 0
6
Ya
Tidak
BD Probe Tec
SDA
IS6110- 16sRNA
Flourimetrik
50 0
3,5- 4
Ya
Ya
Neste-PCR
rpoBgene
Kalouimetrik
50 0
12
Ya
Tidak
Innolipa
Deteksi
Vol Waktu Automatis IAC sampel paruh (ul) (jam)
Metoda amplikasi
NA-SBA
23sRNA
Kalorimet rik
50 0
5,5
Ya
Ya
RT – PCR
Real time PCR
16sRNA
Fluorimetrik
10- 100
2- 3
Ya
Ya
GeneExpert
Real time PCR
rpoBgene
Fluorimetrik
1.000
2
Ya
Ya
GeneQuick
PCR
IS6110
Kalorimet rik
50
2,5
Tidak
Ya
Genotype MD
Dikutip dari (20)
Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi (TMA) AmplifikasiM. tbuji langung buatan pabrik Gen-Probe Inc., San Diego Amerika merupakan alat TMA menggunakan met oda isot hermal cepat dengan suhu 420Cdengan amplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasar transkriptase terbalik digunakan untuk menyalin rRNA menjadi hibrid cDNA-RNAsertametodachemiluminiscent untuk mendeteksi kompleks M. TBdengan penanda DNA spesifik. Amplifikasi M.TB uji langung merupakan uji pertama yang disetujui FDA pada tahun 1995, untuk sediaansaluran pernapasan apus positif dan tahun 2000 dengan rekomendasi FDA diperluas hingga sampel apusnegatif.21 Saat ini terdapat bukti bahwa AMTD menunjukkan spesifisitas tinggi (95– 100%) dan sensitifitas tinggi (91–100%) untuk sampel apus saluran napas positif, meskipun sensitifitas ini lebih rendah untuk sampel apus negatif (65–93%) dan ekstrapulmoner (63–100%). Kerugian yang paling penting adalah kurangnya kontrol amplifikasi int ernal (AIC) dan tidak t erdapat kemungkinan otomatisasi.20,21 Reaksi Rantai Ligase / Ligase chain reaction(LCR) Ligase chain reaction merupakan metoda amplifikasi DNA semiotomatis untuk deteksi langsung M.TB dari sampel klinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b M. tb. Meskipun spesifisitas (90–100%) dan sensitifitas (65– 90%) yang baik dilaporkan pada beberapa penelitian sampel pernapasan, produk ini ditarik dari pasaran Eropa pada tahun 2002.20 Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karena ongkos produksi pembuatan yang meningkat menyebabkan
14
harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di produksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.
Strand Displacement Amplification (SDA) Diperkenalkan pada tahun1998 sebagai suatu teknik semiotomatisdalam deteksi M.tb pada sampel saluran napas. Metoda ini merupakan prosesamplifikasi enzimatik isotermal menggunakan suhu 52,50C untuk menghasilkan beberapa salinan urutan target IS6110 dan gen rRNA 16Syang produk amplifikasinya terdeteksi dengan metoda fluorosen. Evaluasi pada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90– 100% pada sampel apus positif dan 30–85% pada sampel apus negatif dengan spesifisitas tinggi (90–100%).20 Alat uji ini diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika. Uji Hibridisasi Fase Padat / solid-phase hybridization assay Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat uji hibridasi fase padat yaitu Innogenetics, Gent Belgia dan Hain Lifescience, Nehren Jerman. Alat ini dapat mendeteksi dan mengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat untuk mendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selain dapat mendeteksi kuman M. tbdapat juga mendeteksi Mycobacterium Others Than Tuberculosis (MOTT) antara lain M avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense. 21
Real Time PolymeraseChain Reaction(RT- PCR) Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutan berbagai target DNA dan deteksi fluorimetrik. Uji ini memiliki sejumlah manfaat penting terutama kecepatannya dan masalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal ini dikarenakan prosessetelah ekstraksi DNA terjadi pada tabung tunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT-PCR sudah banyak memproduksi seperti CobasTaqMan MTB test buatan Roche Diagnostic System dengan sensitifitas dan spesifisitasumum yang tinggi, terutama pada sampel saluran napas. Diant ara berbagai alat yang t elah diprodusi menggunakan t eknik ini, GeneXpert buatan Cepheid, Sunnyvale Amerika dan FINDDiagnostics, Jenewa Swissbaru saja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT-PCR semi kuantitatif yang mengintegrasikan dan mengotomatisasi pengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam catridge sekali pakai. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari 2 jam dan hanya pelatihan minimal yang dibutuhkan untuk menggunakan uji ini. Penelitian pendahuluan menyatakan sensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluran pernapasan.19,20 Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh, WHO telah mendukung penggunaan sistem ini sebagai uji diagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan pasien dengan kecurigaan klinis tinggi memiliki TB atau seseorang dengan multidrug resistant (MDR) TB(Gambar 2).21
15
Gambar 2. Al at di agnosi s cepat genexpert
Dikutip dari (21
Metoda baru lainnya Loop mediated isothermal amplification (LAMP) buatan Eiken Chemical Co. Jepang dan FIND Diagnostics, Genewa, Swissadalah teknik amplifikasi isotermal yang relatif baru.21 Uji LAMP dapat mensintesis sejumlah besar target DNA (gryrBatau IS6110) dalam tabung tunggal dan produk amplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditas atau kolorimet rik dan fluorimet rik. Meskipun memiliki keterbatasan uji dalam konteks TB, data awal memberikan hasil yang menjanjikan dan uji ini memiliki keuntungan cepat hanya dalam waktu 2 jam dan relatif tidak mahal yang dapat bermanfaat pada kondisi terbatasnya sumber daya.20,21 Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat TB pada sediaan saluran napas adalah GenoQuick MTB test buatan Hain Lifescience yang didasarkan pada PCR dan hibridisasi lanjutan.21 Biaya Pemeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB Pemeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkan dengan pemeriksaan yang rutin dilakukan sekarang terlihat lebih mahal. Pemeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tb jika dihitung lebih mendalam akan terlihat bahwa mempunyai banyak keunt ungan dan hasil akhirnya lebih murah. Penelit ian yang dilakukan WHO di beberapa negara berkembang mempunyai kesimpulan dapat menghemat lebih banyak biaya dan waktu dibanding cara lama.20,21 Sosialisasi pembiayaan yang lebih murah ini terusdilakukan oleh WHO unt uk memcepat diagnosis M.t b maupun MDR- TB. Pembelian awal alat uji merupakan biaya termahal yang harus dikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenExpert dengan metoda PCR-RT dibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.21 Perbandingan biaya pemeriksaan dengan beberapa metoda dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Tabel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.TB Metoda Uji
Biaya (US$)
Uji resisten 2 obat
Uji resisten 4 obat
MODS
0,77
1,72
1,80
MGIT
7,00
35,02
63,03
BACTEC
2,55
12,75
23,00
LJ
0,14
1,60
1,57
Microagar
0,29
1,60
2,92
MABA
1,23-2,43
5,62
6,87
PCR- RT
0,90
BTA sputum
0,10
Dikutip dari (18
Kesimpulan 1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman M.tb kurang dari 1 jam 2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat dengan bermacam metoda 3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biaya dan tidak perlu tenaga ahli karena dapat dikerjakan secara automatisasi 4. Diagnosis cepat M.tb yang terbaik dan direkomendasikan WHO adalah PCR-RT
Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8-14. 2. Young DB, Perkins MD, Duncan K, CEBarry. Confronting the scientific obstacles to global control of tuberculosis. J Clin Invest. 2008;118:1255-65. 3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, Ponce de León A, Daley CL, et al. Transmission of Mycobacterium tuberculosis from patients smear-negative for acid-fast bacilli. Lancet. 1999;353:444-9. 4. American Thoracic Society; Centers for Disease Control and Prevention; Council of the Infectious Disease Society of America. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in adults and children. Am J RespirCrit Care Med. 2000;161:1376-95. 5. Pfyffer GE. Mycobacterium: general characteristics, laboratory detection, and staining procedures. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington DC: ASM Press; 2007. p. 543-72. 6. Vincent V, Gutiérrez MC. Mycobacterium: Laboratory characteristics of slowly growing mycobacteria. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington DC: American Society for Microbiology; 2007. p. 573-88. 7. Salf inger M, Pf yf f er GE. The new diagnost ic mycobacteriology laboratory. Eur J ClinMicrobiol Infect Dis. 1994;13:961-79. 8. Jost KC Jr, Dunbar DF, Barth SS, Headley VL, Elliott LB. Identification of Mycobacterium tuberculosis and M. aviumcomplex directly from smear-positive sputum specimensand BACTEC12B cultures by high-performance liquid chromatography with fluorescence detection and comput er- driven pat t ern recognit ion models. J ClinMicrobiol. 1995;33:1270-7. 9. Cha D, Cheng D, Liu M, Zeng Z, Hu X, Guan W. Analysis of fatty acids in sputum from patients with pulmonary t uberculosis using gas chromat ography- mass spectrometry preceded by solid-phase microextraction and postderivatization on the fiber. J Chromatogr A. 2009;1216:1450-7. 10. Kaal E, Kolk AH, Kuijper S, Janssen HG. A fast method for the identification of Mycobacterium tuberculosis in sputum and cult ures based on t hermally assisted hydrolysis and met hylat ion f ollowed by gas chromatography-mass spectrometry. J Chromatogr A. 2009;1216:6319-25. 11. Park MY, Kim YJ, Hwang SH, Kim HH, Lee EY, Jeong SH, et al. Evaluation of an immunochromatographic assay kit for rapid identification of Mycobacterium tuberculosis complex in clinical isolates. JClinMicrobiol. 2009;47:481-4. 12. Jacobs WRJ, Barletta RG, Udani R, Chan J, Kalkut G, Sosne G, et al. Rapid assessment of drug susceptibilities of Mycobacterium tuberculosis by means of luciferase reporter phages. Science. 1993;260:819-22. 13.Alcaide F, Galí N, Domínguez J, Berlanga P, Blanco S, Orus P, et al. Usefulness of a new mycobacteriophagebased technique for rapid diagnosis of pulmonary tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2003;41:2867-71. 14.Kalantri S, Pai M, Pascopella L, Riley L, Reingold A. Bact eriophage- based t est s for t he det ect ion of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a systematic review and meta- analysis. BMC Infect Dis. 2005;5:59.
16
15.Galí N, Domínguez J, Blanco S, Prat C, Alcaide F, Coll P, et al. Use of a mycobacteriophage-based assay for rapid assessment of suscept ibilit ies of Mycobact erium tuberculosis isolates to isoniazid and influence of resistance level on assay performance. J ClinMicrobiol. 2006;44:201-5. 16.McNerney R, Kambashi BS, Kinkese J, Tembwe R, Godfrey-Faussett P. Development of a bacteriophage phage replication assay for diagnosis of pulmonary tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2004;42:2115-20. 17.Alcaide F. New methodsfor mycobacteria identification. EnfermInfeccMicrobiolClin. 2006;24Suppl 1:53-7. 18.Domínguez J, Blanco S, Lacota A, García-Sierra N, Prat C, Ausina V. Ut ilit y of molecular biology in t he microbiological diagnosis of mycobacterial infections. EnfermInfectMicrobiolClin. 2008;26Suppl 9:33-41. 19.Palomino JC. Nonconventional and new methods in the diagnosis of tuberculosis: feasibility and applicability in the field. EurRespir. 2005;26:339-50. 20.Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh N, et al. A systematic review of rapid diagnostic tests for the detection of tuberculosisinfection. Health Technol Assess. 2007;11:1-96. 21. Polomino JC. Molecular detection, identification and drug resistance detection in Mycobacterium tuberculosis. J Med Microbiol. 2009;56:103-11.
17
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
MEROKOK DAN TUBERKULOSIS Agung Ari Wijaya Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Merokok dan t uberkulosis(TB) merupakan dua masalah besar kesehatan di dunia, walaupun TB lebih banyak ditemukan di negara berkembang. Setelah HIVdan AIDS meluas TB menjadi penyebab kematian yang terkemuka di seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih dari satujuta kematian setiap tahunnya. Penggunaan tembakau khususnya merokok, secara luastelah diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama dan menjadi penyebab kematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta pada tahun 1985, 3 juta pada tahun 1990 dan telah diproyeksikan meningkat menjadi 8,4 juta pada 2020.1 Jumlah perokok di dunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakan sebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7 milyar perokok pada t ahun 2025. Sebanyak 65–85% tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentuk rokok yang menyebabkan kematian setiap detik.2
kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hingga menggantikan mengunyah sirih yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Kata rokok berasal dari bahasa belanda roken. Merokok adalah t indakan seseorang menghisap rokok (tembakau). Bahaya merokok t elah dibicarakan dan diakui secara luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti terdapatnya bahaya merokok dan terjadinya penurunan fungsi paru pada perokok dan orang disekit arnya. World Healt h Organizat ion memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penyakit akibat merokok akan menyebabkan kematian sekitar 8,4 juta jiwa di dunia dan setengah dari jumlah tersebut berasal dari benua Asia. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 lebih dari 80% penyakit yang diakibatkan oleh rokok akan terjadi pada negara dengan pendapatan rendah dan sedang.5-7
MEROKOK
Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia yang memiliki berbagai efek racun, mut agenik dan karsinogenik. Isi dan konsentrasi bahan kimia dapat bervariasi dalam merek rokok yang berbeda. Asap rokok menghasilkan berbagai komponen baik di kompartemen seluler dan ekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dan gas. Zat-zat yang mempunyai efek merugikan adalah nikotin, tar, amonia, karbonmonoksida, karbondioksida, f ormaldehid, akrolein, aset on, benzopyrenes, hydroxyquinone, nitrogen oksidadan kadmium. Banyak zat yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namun tar dan nikot in telah terbukti imunosupresif dengan mempengaruhi responskekebalan tubuh bawaan dari pejamu dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bahan farmakologik dalam tembakau yang menyebabkan adiksi adalah nikotin yang merupakan partikel padat dan sangat mudah diserap oleh selaput lendir hidung, mulut dan jaringan paru. Kriteria utama untuk menentukan ketergantungan obat adalah pengguna obat yang selalu terdorong untuk menggunakan, terdapat efek psikoakt if dan t erbiasa menggunakan obat tersebut. Semakin tinggi kadar tar dan nikotin efek terhadap sistem imun juga bertambah besar.8
Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda sekitar 2 abad yang lalu dan penggunaannya pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang
Tembakau telah disebut sebagai penyebab kematian secara global karena membunuh lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular serta
Data World Health Organization (WHO) menunjukan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar ke-3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika. Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisi ke-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlah perokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokok Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun t erakhir. Pertumbuhan rokok Indonesia pada periode 2000–2008 adalah 0,9% pertahun. Banyak penyakit yang dihubungkan dengan merokok yaitu penyakit keganasan, kardiovaskuler, diabetes, penyakit paru obstrusi kronik (PPOK), artritis, impotensi, infertilitas, Alzheimer, TB dan lain-lain.2,3 Paru merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah akibat merokok. Hubungan antara merokok dan TB pertama kali dilaporkan pada awal abad ke-20. Walaupun mekanisme yang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyak penelitian mengenai hubungan antara merokok danTB.4
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
18
5 penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaitu serebrovaskular, infeksi saluran napas bawah, PPOK, TB, dan kanker saluran napas.9 Merokok tetap menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah di dunia. Berhenti merokok dikaitkan dengan manfaat penting pada tingkat individu dan sosial. Mengingat prevalensmerokok upaya besar telah diarahkan untuk mengembangkan intervensi untuk membantu perokok berhenti merokok. Namun, intervensi untuk berhenti merokok memiliki keberhasilan yang beragam. Berhenti merokok diperlukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun banyak perokok mengalami kesulitan menghentikan kebiasaannya. Usaha dengan intervensi secara psikososial dan penggunaan obat telah digunakan untuk tujuan tersebut.10 Dilaporkan bahwa penggunaan tembakau dengan cara merokok lebih berbahaya dibandingkan dengan cara lain dan perokok akt if lebih menimbulkan beragam penyakit dibandingkan perokok pasif. Namun demikian perokok pasif secara substansial juga berkontribusi menimbulkan bermacam penyakit. Sekitar 1,1 miliar orang merokok di seluruh dunia, lebih dari 80% berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Cina memiliki produksi dan konsumsi tembakau terbesar di dunia. Di berbagai negara sekitar 49% laki-laki dan 8% perempuan diatasusia 15 tahun merokok, berbeda dengan 37% pria dan 21% perempuan yang berasal dari negara berpenghasilan tinggi. Lebih dari 60% perokok tinggal di hanya10 negara, yaitu Cina, India, Indonesia, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Brasil, Banglades, Jerman dan Turki. Konsumsi per orang dewasa perhari (jumlah rokok yang dihisap perhari dibagi dengan populasi perokok dan bukan perokok) telah menurun lebih dari 50% dalam 2-3 dekade terakhir di Amerika, Kanada, Perancis dan negara berpenghasilan tinggi lain. Sebaliknya, prevalensmerokok pada laki-laki meningkat tajam di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah seperti Cinadan Indonesia. Peningkatan yang nyata terjadi pada laki-laki usia muda. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki berhubungan dengan perbedaan penggunaan tembakau, dalam hal prevalenspenggunaan, durasi penggunaan yang lebih singkat atau frekuensi penggunaan yang lebih rendah pada perempuan. Penelitian di Brasil mendapatkan hasil terjadi penurunan yang nyata perokok pada masyarakat dengan penghasilan rendah.1113 Selain HIV/AIDS, merokok tembakau merupakan penyebab kematian utama yang meningkat dengan cepat. Diperkirakan bahwa merokok akan menyebabkan sekitar 10 juta kematian pada orang dewasa pada tahun 2030 dan sebagian besar peningkatan kematian yang berhubungan dengan tembakau akan berlangsung di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Studi yang dilakukan di Oslo menunjukkan bahwa perokok ringan dengan 1–4 batang perhari ternyatatetap meningkatkan angka kematian.9,14,15
19
Secara keseluruhan meskipun tingkat merokok telah menurun selama bertahun-tahun, lebih dari seperlima orang Amerika adalah perokok. Pada tahun 2004 sekitar 21% orang dewasa, 22% merupakan siswa sekolah. Akibatnya merokok menjadi penyebab kematian dini di Amerika. Setiap tahun sebanyak 438.000 orang Amerika diperkirakan meninggal akibat merokok atau perokok pasif. Perkiraan biaya yang berhubungan dengan merokok yaitu biaya medis dan kehilangan produktivitas melebihi 167 milyar dollar Amerika per tahun.8
TUBERKULOSIS Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar 3 , tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilit as dinding sel sehingga mengurangi ef ekt ivit as t erhadap ant ibiot ik. Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan patogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag.16 Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB sebagai global emergency. Tuberkulosis saat ini banyak menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian terutama di negara berkembang. Pada tahun 2010 dilaporkan insidens TB didunia sebesar 8,8 juta (8,5–9,2 juta), 1,1 juta (0,9–1,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatif ditambah 0,35 juta (0,32–0,39 juta) penderita TB dengan HIV positif. Tahun 2009 dilaporkan terjadi 2,4 juta kasus baru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasi dengan penderita HIV sebesar 1,1 juta jiwa. kematian akibat infeki TB sebesar 1,7 juta jiwa (380.000 perempuan), termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700 kematian pertahun dan menjadi penyebab kematian urutan ketiga pada perempuan usia 15-44 tahun. Delapan puluh persen kasus TB akt if yang dit emukan di 22 negara berkembang sebagian besar dari mereka di Asia (dengan 55% kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari beban kasus TB global sekarang resisten terhadap beberapa obat, di Rusia dilaporkan kasusTB yang resisten obat menyumbang lebih dari seperlima semua kasus TB baru di tahun 2008. Pada tahun 2008 sebanyak 1,4 juta orang yang hidup dengan
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
HIV mengalami TB aktif. Orang HIV-positif lebih mudah t erinf eksi cenderung resist en t erhadap obat dan meningkatkan angka kematian. India menempati urutan pertama penderita TB di dunia (1,6-2,4 juta) menyumbang sekitar seperlima dari seluruh jumlah kasusdi dunia dengan angka kematian sebesar 17,6% dan 3,5% dari total kematian di India. Urutan berikutnya adalah China (1,1-1,5 juta), Afrika selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37- 0,55 juta) dan Indonesia (0.35-0.52 juta). Di Amerika dilaporkan terjadi penurunan yang bermakna, pada tahun 1945 dilaporkan 73/ 100.000 populasi, tahun1993 sebesar 9,0/100,000 populasi dan pada tahun 2009 didapatkan 3,8/100.000 populasi. Di Nigeria dilaporkan kejadian TB sebesar 14,4% dan diperkirakan 380.000 (9293/100.000 populasi) kasus TB baru set iap t ahun jauh lebih besar dari st andar yang direkomendasikan WHOyaitu sebesar 3%.3,16-18 Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi yang mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, fases dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Pemeriksaan radiologi dengan pemeriksaan standar foto toraks PA (posteroanterior), pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, top-lordotic, oblik at au CT- Scan. Pemeriksaan penunjang lainnya diantaranya analisiscairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan dan pemeriksaan darah. Gejala klinisTB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napasdan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkusbelum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi TB adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luaskelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.1
PENGARUH ROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI Rokok telah menunjukkan dampak yang luasterhadap mekanisme kekebalan inangnya. Terdapat banyak penelitian kontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat merokok, kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi, kelembaban udara dan pekerjaan yang dapat memodifikasi penyakit. Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus, memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara langsung membahayakan integritasbarier fisik, meningkatkan permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan bentuk sel epitel.1,19 Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasi dan imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Makrofag mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi. Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. Serupa dengan ini merokok berpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar untuk memfagositosis bakteri dan sel apoptosis. Pada saat yang sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik (DCs), dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan risiko, keparahan dan durasi infeksi. Pengaruh rokok dalam hubungannya dengan peningkatan penyakit hinggá menjadi lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri atau virus, hilangnya kemampuan untuk membersihkan sel-sel mati, degradasi dan modifikasi secara kimiawi dari matriksekstraseluler, peningkatan retensi sel TCD8 dan induksi Interleukin-17 (IL-17) sebagai efektor sekresi sel T. Setelah pajanan rokok jangka panjang, daerah
20
agregasi limfosit dengan sel Tdan sel B bisa terbentuk pada sisi tersebut, membantu produksi antibodi patogen dan menyebabkan penyakit autoimun. Hilangnya pertahanan mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri seperti yang terjadi pada 30% perokok jangka panjang dengan PPOK.19
Gambar 1. Gangguan sitem imun di paru akibat merokok Dikutip dari (19)
Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki peran dalam pertahanan bawaan dalam melawan agen mikrobial dan prot eksi ant i t umor. Hal ini dilakukan dengan sitotoksisitaslangsung yang mencetuskan apoptosis, sitokin pro inflamasi dan pelepasan kemokin. Beberapa studi menunjukkan pada perokok dapat menurunkan jumlah dan aktivasinya berkurang pada perokok dibandingkan bukan perokok. Pajanan asap rokok melemahkan aktivitassitotoksik danproduksi sitokin sel NK pada manusia dan tikus, dengan demikian hubungan defek sel NK menyebabkan peningkatan risiko infeksi dan kanker. Pada paru sel dendritik (DCs) merupakan sel antigen paling poten dan sangat diperlukan untuk inisiasi sel Tdan diduga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap rokok karena posisinya didalam lumen dan berada langsung dibawah epitel paru. Studi klinis menunjukkan bahwa jumlah DCsberkurang pada sebagian besar jalan napas pasien ppok yang merokok. Setelah berhenti merokok jumlah DCsmakin meningkat dan serupa dengan kontrol orang sehat yang tidak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkan terdapatnya penurunan jumlah DCs tergantung pada tipe sist em pajanan rokok. Proses otoimun berperan pada timbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok. Merokok juga dapat menurunkan level semua kelas imunoglobulin kecuali Ig E. Pada studi dengan hewan coba didapatkan respons antibodi terhadap berbagai antigen berkurang secara nyata akibat pajanan kronik asap rokok.19
HUBUNGAN MEROKOK DENGAN TUBERKULOSIS Hubungan antara merokok dan TB pertama kali dilaporkan pada t ahun 1918.Mekanisme past i yang menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya
21
dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan saluran napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi TB pada perokok. Trakea, bronkus dan bronkiolus yang membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah kuman TB untuk mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat mengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paru yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan fungsi fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang merokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telah ditemukan berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini sangat penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi kuman termasuk TB. Dalam berbagai studi menunjukkan bahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruh terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif berhubungan dengan peningkatan kejadian TB pada anak dan usia muda.4,20,21 Studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada 160 kasusantara bulan April 2007 hingga April 2008 didapatkan bahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadap pemanjangan waktu konversi kuman TB pada pasien yang sedang mendapat t erapi obat antiTB. Penelit ian lain menunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderita TB yang merokok.22,23 Studi kasus kontrol pada 111 pasien BTA positif dengan 333 kontrol yang dilakukan di India pada bulan Sept ember 2004 hingga Agust us 2005 didapatkan peningkatan terjadinya infeksi TB pada perokok sebesar 3,8 kali dibandingkan yang tidak merokok dan berhubungan dengan jumlah rokok, indeksmassa tubuh dan status sosial ekonomi. Dalam penelitian ini lama dan jumlah rokok juga berpengaruh terhadap perkembangan TB.24 Di Amerika ada sejumlah kesulitan dalam menilai merokok sebagai faktor risiko untuk infeksi TB. Di antara yang paling penting adalah prevalens rendah infeksi TB pada populasi umum dan tingkat merokok telah menurun. Di Amerika merokok menjadi semakin terkonsentrasi pada populasi dengan sosial ekonomi rendah yang mengarah pada faktor risiko lain untuk TB seperti HIV, tunawisma, peminum alkohol, dan heterogenitas antar kelompok risiko TB. Saat ini lebih dari 50% pasien TB di Amerika berasal dari beragam negara dalam berbagai tahap epidemi tembakau dan faktorfaktor risiko untuk TB berbeda antara penduduk pendatang dan penduduk asli kelahiran Amerika. Studi yang dilakukan t erhadap penduduk asli dan pendat ang di Aust ralia menunjukkan bahwa angka kejadian TB cenderung lebih tinggi pada penduduk pribumi, hal ini berhubungan dengan sosial ekonomi, standar pelayanan kesehatan, dan kebiasaan merokok yang tinggi.9,25
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara merokok dan TB, banyak dari mereka didasarkan pada infeksi atau angka kematian, penelitianpenelitian tersebut memiliki berbagai keterbatasan seperti desain kasus control atau potong lintang ukuran sampel kecil, dan kekurangan dalam data sosial ekonomi, alkohol, infeksi HIV dan fakt or yang berpengaruh lainnya. Di HongKong merokok dan TB merupakan dua kondisi yang umum dijumpai. Prevalens merokok jauh lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Lebih dari 20% laki-laki dewasa adalah perokok aktif dan kejadian TB sebesar 100 per 100.000 penduduk pertahun dan banyak terjadi pada laki-laki dengan usia diatas65 tahun. Merokok berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap influenza dan TB. St udi dengan hewan coba t ikus yang mendapat kan pajananM. TB secara aerosol, didapatkan bahwa produksi int erferon ³(IFN ³)oleh sel T akan menurun dengan penurunan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN ³ pada tikus yang diberi pajanan asap rokok. St udi ini memberikan demonstrasi pertama bahwa pajanan asap rokok secara langsung menghambatr esponsselTuntuk M. TB dan virus influenza pada fisiologi hewan coba sehingga meningkatkan kerentanan terhadap kedua patogen.26,27 Perokok memiliki angka kematian akibat TB sangat tinggi, sebanyak sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, tapi begitu mereka berhenti, risiko berkurang secara substansial dan mirip dengan mereka yang tidak pernah merokok. Berhenti merokok memiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui mengurangi risiko TB, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapat mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi beban kesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa mengurangi hampir sepertiga dari kematian akibat TB. Risiko TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorang berhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran penting dari merokok dalam penanggulangan TB. Seperti merokok bertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kematian akibat TB di Taiwan (37,7%). Pengendalian penggunaan tembakau berhasil dalam mengurangi merokok baik dapat mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi hampir sepertiga (30,7%) dari beban kesehatan masyarakat yang telah lama mengganggu penduduk Taiwan. Ini dampak kesehat an yang besar pada peningkat an kesehat an masyarakat terutama bila diterapkan ke negara-negara seperti Cina, India yang memiliki prevalensi merokok dan angka kejadian TB lebih tinggi. Berhenti merokok telah ditunjukkan untuk mengurangi kejadian TB, sehingga perlu peningkatan pengetahuan dan penelitian tentang manfaat dari berhenti merokok untuk mengurangi angka kematian. Dengan dua pertiga dari laki-laki Cina merokok dan sekitar tiga juta
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
kasus TB sehingga pedoman pencegahan dan penanganan yang baik terus dilakukan. Merokok secara substansial memperburuk risiko kematian pada mereka dengan riwayat infeksi TB, kematian pada penderita yang merokok dilaporkan sebesar 61% di India dan 32,8% di Hongkong.21,28 Sebuah penelitian yang menghubungkan pengaruh vitamin terhadap penderita TB yang merokok didapatkan bahwa suplemen vitamin E menyebabkan peningkatan sementara dalam kejadian TB pada perokok berat dengan diet tinggi asupan vitamin E. Vitamin A dan Etidak meningkatkan respon imun pada penderita TB yang merokok. Penelitian ini menemukan bahwa tidak satupun dari kedua senyawa tersebut dapat meningkatkan perlawanan terhadap TB diantara laki-laki perokok. Sebaliknya vitamin E t ampaknya cenderung meningkatkan kejadian TB pada peserta yang merokok berat dan telah mendapatkan diet asupan vitamin Csebesar 90mg/ hari atau lebih .29 KESIMPULAN 1. Merokok dan TB masih menjadi masalah kesehatan yang penting dinegara maju dan negara berkembang. 2. Asap rokok memiliki efek baik pro- inflamasi dan imunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan. 3. Merokok meningkatkan risiko infeksi Mycobacterium tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan kematian pada penderita TB. 4. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosis control dan mengurangi kematian pada penderita TB.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
Bates MN, Khalakdina A, PaI M, Chang L, Lessa F, Smith KR. Risk oft uberculosis from exposure to tobacco smoke. Arch Intern Med. 2007;167:335-42. Zainul Z. Dark nights behind the white clouds-risk of tobacco smoking on human health besides the oral health ang malignancy. Exceli Journal.2011;10:69-84. World Health Organization. WHOreport on the Global tuberculosis control report.(Online); 2011(cited 2011 November 17). Available f rom: URL: ht t p// www.whql i bdoc.who.i nt / publ i cat i ons/ 2011 / 9789241564380_eng.pdf. Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, Chan WM, et al. Passive smoking and tuberculosis. Arch Intern Med. 2010;170:287-92. Aditama T.Y Youth tobacco Indonesian experience, Mumbai, India; Indonesia smoking control foundation. 2009.
22
6.
7.
8. 9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17. 18.
23
Ross J, Ehrlich RI, Hnizdo E, White N, Churchyard GJ. Excess lung function decline in gold miners following pulmonary tuberculosis. Thorax. 2010;65:1010-5. PDPI. Berhenti merokok. Pedoman penatalaksanaan untuk dokter Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta 2011.p 4-12 Mehta1 H, Nazzal K, Sadikot1 R. Cigarette smoking and innate immunity. Inflamm Res J. 2008;57:497–503. Giacomo M, Davidson PM, Penelope A. Abbott P, Davison P, Moore L, Thompson S. Smoking cessation in indigenous populations of Australia, New Zealand, Canada, andthe United States: Elements of effective interventions. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2011; 8: 388-410. Mills EJ, Wu P, Spurden D, Ebbert J,Wilson K. Efficacy of pharmacot herapies f orshort - t erm smoking abstinance: A systematic review and meta-analysis. Harm Reduction Journal. 2009; 6:25. WHO. Global Tuberculosis control. WHO/HTM/TB/ 2008.393. Geneva: World Health Organization;2008. Availableonlineat http://www.who.int/tb/publications/ globalreport/2008/en/index.html(Accessed September 9, 2011). Peto R, Lopez A, Boreham J, Thun M. Mortality from smoking in developed countries, 1950–2005. University of Oxford Clinical Trial Service Unit [online], http:// www.ctsu.ox.ac. uk/~tobacco (2009). Salma K, Chiang C, Enarson DA, Hassmiller K, Fanning A, Gupta P, et al. Tobacco and tuberculosis: a qualitative systematic review and meta-analysis. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease.2007; 104961. Wang J, Shen H. Review of cigarette smoking and tuberculosis in China: intervention is needed for smoking cessation among tuberculosis patients. BMC Public Health. 2009; 9:292. Bjartveit K, Tverdal A. Health consequences of smoking 1–4 cigarettes per day. Tobacco Control. 2005;14:315– 20. PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Revisi pertama Juli 2011.Jakarta: 9-19 Udwadia F, Finto L. Why stop Tb is uncomplete without quit smoking. Indian J ChestAllied Sci.2011;53;9-10. Amoran O, Osiyale O, Lawal K. Pattern of default among tuberculosis patients on directly observed therapy in
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
rural primary health care centresin Ogun State, Nigeria. Journal of InfectiousDiseasesand Immunity.2011; 3(5): 90-5. Stämpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skews immune responses topromote infection, lung disease and cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9 Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco smoke, indoor air pollution and tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. PLoSMedicine.2007:173-89. Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, Tsai SP. Ther reduction of Tuberculosis risks by smoking cessation. BMC Infect Dis. 2010;10:156. Siddiqui UA, O’Toole M, Kabir Z, Qureshi S, Gibbons N, Kane M, et al. Smoking prolongstheinfectivity of patients with tuberculosis. Ir Med J.2010; 103(9):278-80. Batista J, Pessoa M, Ximenes RA, Rodrigues L. Smoking increasesthe risk of relapse after successful tuberculosis treatmen. Int J Epidemiol. 2008;37 (4):841-51. Suryakant PR, R. Garg S, Dawar S, AgarwalS. A casecontrol study of tobacco smoking and tuberculosis in India Ann Thorac Med. 2009;4(4): 208–10. Davies P, Yew W W, Ganguly D, Davidow AL, Reichman L, Dheda K, et al. Smoking and tuberculosis: t he epidemiological association and immuno pathogenesis. Transactions of the royal society of tropical medicine and hygiene . 2006; 291-8. Leung C, Li T, Lam TH, Yew WW, Law WS, Tam CM, et al. Smoking and tuberculosis among the elderly in Hong Kong. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170: 1027–33. Feng Y, Kong Y, Barnes PF, Huang F, Klucar P, Wang X, et al. Exposure t o cigaret t e smoke inhibit s t he pulmonary T-Cell response to influenza virus and Mycobacterium tuberculosis infection and immunity. 2011;79(1): 229-37. Lin HH, Murray M, Cohen T, Colijn C, Ezzati M. Effects of smoking and solid-fuel use on COPD, lung cancer, and tuberculosis in China: a time-based, multiple risk factor, modelling study.Lancet . 2008; 372(9648): 1473–83. Hemila H, Kaprio J. Vitamin E supplementation may transiently increase tuberculosis risk in males who smoke heavily and have high dietary vitamin intake. British Journal of Nutrition. 2008;100:896–902.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS Arief Riadi Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN The World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa penyebab kematian orang dengan Acquired immuno deficiency syndrome (AIDS) adalah tuberkulosis (TB) paru sebesar 13%. Infeksi TB paru diukur ketika seseorang yang diduga menginhalasi droplet yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tb). Respons sistem imun membatasi multiplikasi basil tuberkel 2–12 minggu setelah infeksi. Kondisi basil tuberkel persisten selama bertahuntahun berubah menjadi Latent Tuberculosis Infection (LTBI). Seseorang dengan LTBI tidak memberikan gejala dan tidak menularkan. Tuberkulosis paru dapat berkembang segera setalah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dari LTBI (Reactivation Disease). Penyakit primer berjumlah sekitar 1/3 atau lebih kasus pada populasi dengan TB-HIV (Human Immunodeficency Virus).1 Kasus TB paru di Amerika rata-rata menurun menjadi 46 kasus baru TB paru per 100.000 populasi (total 13767 kasus) yang dilaporkan pada tahun 2006 dan diprediksi prevalensi kasus LTBI 4.0% pada seluruh populasi. Persentase kasus TB paru dengan HIV juga menurun dari 15% (2003) menjadi 12,4% (2006), walaupun persentase kasus TB paru dengan status HIV tidak diketahui meningkat dari 28,7% (2005) menjadi 31,7% (2006), mungkin merefleksikan kesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasil pemeriksaan HIV.2 Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi TB paru aktif sebesar 12,9% per 1000 orang pertahun dari hasil observasi. Rata-rata progresif menjadi TB paru aktif pada orang dengan infeksi HIVberkisar antara 35–162/1000 orang/ t ahun observasi.2 Pada daerah endemik TB t erdapat hubungan yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation) dengan waktu perkembangan TB-HIV. Pada orang dengan HIV yang bekerja pada tempat berisiko tinggi seperti fasilitas kesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawisma dapat meningkatkan risiko terkena TB paru.3 TB paru menjadi penyebab utama kematian pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Kematian akibat penyakit ini pada beberapa negara meningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelah diagnosis TB ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
diagnosisTB paru mungkin menjadi kontributor yang penting dalam menyebabkan tingginya angka kematian.16 Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB paru per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalens HIV diantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional (berdasarkan laporan WHO2007). Survei yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan (Litbangkes) 2003 menunjukkan bahwa pasien dengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS (Rumah Sakit) dan Rutan (Rumah Tahanan) atau Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) di beberapa propinsi ditemukan TB paru sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS di RS. Saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB paru. Studi pertama tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari RS propinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 diantara 40 pasien TB ternyata positif HIV. Data klinik PPTI (Perkumpulan Pemberantasan TuberkulosisIndonesia) di Jakarta sejak 2004– 2007 menunjukkan prevalens HIV pada pasien dugaan TB paru dengan faktor risiko antara 3–5% dan prevalens pada pasien Tb paru antara 5–10% dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya.18
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS Human Immunodeficiency Virus adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA (Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases (kb). VirusHIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer di Inst itut Past eur Paris t ahun 1983 disebut HIV- 1. Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984. Tahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat.4 Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Glikoprotein 120 memiliki afinititas tinggi terutama regon V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada
24
awal int eraksi dengan sel t arget , sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorbsi (Gambar 1).4
Gambar 1. Struktur HIV Dikutip dari (4)
CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk terjadi infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap HIV terutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuh yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel limfosit-T. Infeksi HIVdimulai dengan penempelan viruspada reseptor CD4 limfosit-Tsetelah penempelan terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4
(TCR) CD43 kemudian bersama-sama CD28 mempengaruhi HIVmenjadi lebih aktif. Produksi HIVselama infeksi mencapai 109-1011 partikel virus perhari bila berlangsung tanpa upaya pengobatan dapat meningkatkan jumlah virus mencapai 500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terus meningkat akan berusaha menyerang limfosit T- CD4 berikutnya. Fase akut akan terjadi penurunan dramatiskadar CD4 sampai kurang dari 1000/mm3 dan naik kembali saat serokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/ìl setiap tahunnya. Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui batas kritis d” 200 sel/mm3 berarti telah memasuki stadium AIDSdengan atau tanpa manifestasi klinik. Manifestasi klinik dapat terjadi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4 e” 500 sel/mm3) atau terjadi penurunan sedang (CD4 d” 200 sel/mm3). Tanpa diimbangi upaya intervensi maka dari waktu ke waktu jumlah limfosit T-CD4 akan semakin rendah membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi klinik AIDS hingga sepsis (Gambar 2).4
PATOGENESIS TB-HIV Perjalanan infeksi HIVdi dalam tubuh manusia diawali interaksi gp 120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dan dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV dengan CD4. Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor kedua yang memungkinkan gp 41 menjalankan fungsinya sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) dan chemokine reseptor 4 (CXCR4).4 Proses internalisasi limfosit Toleh HIV selain terjadi perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIVjuga membangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shock protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkan limfosit Tterpacu sehingga mengalami stres dengan berbagai perubahan. Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43 (sialophorin) pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yang terekspresi tersebut menjadi aktivator baik terhadap limfosit T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan aktivitas limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIVakan menginduksi T-helper 1 (Th-1) mensekresi Interleukin (IL)-1â, IL-2, Tumor necrosis factor (TNF)-á dan Interferon (IFN)-ã sehingga kadar didalam darah meningkat.4 Human immunodefisiency virusyang berada di dalam limfosit T-CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43 dan akan menginduksi pembentukan kompleksT-cell reseptor
25
Gambar 2. Patofisiologi HIV-AIDS Dikutip dari (4)
Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb yang akan mengekspresikan TNF-á bersamaan dengan Monocyt e Chemot act ic Prot ein 1 (MCP- 1) yang mengaktifkan replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat (LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF-á menginduksi replikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kB di sel mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan monosit. M. tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T limfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam sel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 T limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapat menyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1 (Gambar 3).8
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
pneumocystis pneumonia, toksoplasmosisotak, penyakit sitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis pada esofagus, trakea, bronkus, paru, infeksi jamur seperti histoplasmosis. Dapat juga dit emukan keganasan termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma kaposi.
Gambar 3. Patofisiologi TB-HIV Dikutip dari (8)
GEJALA KLINIK HIV Gejala klinik HIV merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan hinggga manifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu :4
Derajat dan berat penyakit dit ent ukan sesuai ketentuan WHOmelalui stadium klinik pada orang dewasa. DiagnosisAIDSdi Indonesia dibuat bila terdapat uji HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan satu gejala mayor dan satu gejala minor (Tabel 1).4,5 Tabel 1. Gejala mayor dan minor HIV Gejala Mayor
Berat badan menurun lebih 70% dalam satu bulan. Diare kronik lebih dari satu bulan Demam lebih 1 bulan Penurunan kesadaran dan gangguan saraf Enselopati HIV
Minor
Batuk menetap lebih satu bulan Dermatitis generalisata Herpes zoster berulang Kandidiasis orofaringeal Herpes simpleks Limfadenopati generalisata Infeksi jamur berulang pada alat kelamin perempuan Retinitis karena virus sitomegalo
1. Tahap pertama Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul gejala tapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran kelenjar getah bening. 2. Tahap kedua Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah infeksi tetapi penderita masih normal. 3. Tahap ketiga Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran napas atas, namun penderita dapat melakukan aktifitas meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat tidur. 4. Tahap keempat Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yang muncul berupa berat badan turun lebih 10%, diare lebih 1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TB paru. Penderita hanya berbaring ditempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir. Dapat t erjadi berbagai macam inf eksi berupa
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Karakteristik
Dikutip dari (8)
DIAGNOSIS Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB paru termasuk dengan menanyakan tentang kombinasi dari gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanya menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan obat anti retrovirus dan terapi preventif dengan izoniazid dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala, namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16 a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI) Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya diperiksa LTBI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LTBI menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/ L) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI seharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai terapi
26
ART dan kadar CD4+ e 200 cell/ L. Pada umumnya uji rutin untuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau terpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup dengan faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktor risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV dan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks dan evaluasi klinik untuk TB aktif.8 Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau dua pendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji Mantoux, dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan indurasi e” 5 mm yang timbul setelah 48–72 jam setelah penyunt ikan secara int radermal 0,1 mL. Sekarang ini penggunaan met oda in vit ro dengan mendet eksi IFN- ” dilepaskan untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptides telah dikembangkan untuk mendiagnosis LTBI.9 Test for LTBI (e.g., tuberculin test or interferon- release assay) in HIV-infected person
Negative
b) Diagnosis TB Paru Aktif Positive
Contact to a case of active tuberculosis
No
Yes
CD4+ T-lymphocyte count > 200
No
Chest radiography Clinical evaluation
Symptoms (e.g., fever, cough, weight loss) OR abnormal chest radiograph
No symptoms and normal chest radiograph
Yes Evaluate for active tuberculosis (obtain samples for AFB smear and culture)
Retest for LTBI once ART started and CD4+ Tlymphocyte count > 200
Treatment for LTBI not indicated Retest annually if on going high risk of tuberculosis exposure (endemic area, congregate setting, etc.)
Alternative cause identified for symptoms and abnormal chest radiograph Active tuberculosis excluded with negative smears and cultures in the setting of low suspicion
Initiate treatment for LTBI
Moderate to high suspicion or evidence for active tuberculosis
Initiate four-drug regimen for active tuberculosis
Gambar 4. Diagram alur diagnosis LTBI-HIV Dikutip dari (10)
Penelitian saat ini menyarankan bahwa Interferron Gamma Relation Assay (IGRA) lebih konsisten dan tinggi spesifitasnya (92–97%) dibandingkan dengan Tuberculin Sensitiviti Ujit (TST) sebesar 56–95%, hubungan korelasi yang baik akan menggantikan pengukuran terpajannya M. tb dan kurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) at au t erpajan nontuberculous mycobacteria lainnya dibandingkan dengan TST.11,15
27
Pada keadaan HIV dengan immunosupresi lanjut TST dan IGRAsdapat menunjukkan hasil negatif palsu.12 Frekuensi terjadinya negatif palsu dan tidak dapat digunakannya hasil IGRA meningkat secara paralel dengan berlanjut nya imunodefisiensi.13 Lesi fibrotik yang sesuai dengan TB kadang secara insidental ditemukan pada gambaran foto toraks. Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji diagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Pada keadaan yang telah diketahui sebelumnya telah mendapat terapi TB secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kultur seharusnya diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkan gejala. Pada pasien HIV dengan CD4+ <200 cell/ L dengan lesi fibrotik yang sesuai dengan TB pada gambaran foto t oraks dan t idak ada riwayat t erapi sebaiknya dipertimbangkan infeksi TB dengan mengabaikan hasil dari uji LTBI. Pada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapi empirik sambil menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.14
Evaluasi dugaan HIV yang berhubungan dengan TB seharusnya dilakukan pada pemeriksaan foto toraks yang merujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi penyakit. Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan dari pasien dengan gejala paru dan kelainan gambaran foto toraks. Gambaran normal foto toraks tidak dapat menyingkirkan kemungkinan TB aktif ketika kecurigaan terhadap penyakit ini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan. Hasil pengambilan dahak 3 hari lebih disarankan pagi hari dapat meningkatkan hasil dari hapusan dan kultur. Lebih dari ¼ dari pasien HIVdengan penyakit TB paru menunjukkan hasil negatif palsu.12 Serost at us HIV t idak mempengaruhi hasil dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebih sering didapatkan pada penyakit paru dengan kavitas. Hasil dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur yang berasal dari spesimen ekstraparu lebih tinggi diantara pasien imunodefisiensi lanjut dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi.16 Uji Nucleic acid amplication (NAA), juga disebut Direct Amplification Test dapat langsung diterapkan pada spesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalam proses evaluasi pasien dengan hasil hapusan dahak positif. Hasil positif NAA pada hapusan dahak sangat merefleksikan TB aktif. Pada orang dengan hasil dahak negat if atau penyakit ekstraparu maka penggunaan NAA harusdigunakan dan diinterpretasikan sesuai dengan penyebabnya.9 Pada pasien dengan tanda TB ekstraparu, aspirasi jarum halus atau biopsi dari lesi kulit, kelenjar limfe, cairan pleura dan perikardial harus dilakukan. Kultur darah dari mikobakterium dapat membantu pasien dengan tanda penyebaran penyakit atau perburukan imunodefisiensi. Hasil
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum halus, biopsi jaringan) mewakili beberapa bentuk penyakit mikobakterium namun tidak selalu TB.16 Tujuan utama algoritma diagnosisadalah membantu keputusan klinik di daerah dengan prevalensi HIV tinggi dan mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian. Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada diagnosis TB paru dengan HIV/AIDS dan akan membantu penanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakan pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 2–3 minggu dan berdasarkan kondisi pasien.19
Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa
Referral to higher level facility Parenteral antibiotic treatment for bacterial infection b,d Sputum AFB and culture b HIV test b,c CXR b
No tuberculosis
1st visit
Reassess for other HIV-related disease
HIV+ or status unknownc
Treat tuberculosis
TB unlikely
AFB-positive g
AFB-negative g
Improvement after 3-5 days
No Improvement after 3-5 days
Reassess for tuberculosis h
Start TB treatment Complete antibiotics Refer for HIV and tuberculosis care
Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ dengan kondisi jelek
2nd visit
Dikutip dari (19)
AFB-negatived
AFB-positived
Parenteral antibiotic treatment for bacterial infection b,d Consider treatment for PCP e Sputum AFB and culture b HIV test b,c HIV+ or unknow f
Ambulatory patient with cough 2-3 weeks and no danger signsa
AFB HIV testb
Immediate referral not possible
GEJALA KLINIK TB-HIV Treat for TB CPTd HIV assessmentf
TB likely
CXRg Sputum AFB and cultureg Clinical assessmentg
3rd visit
TB unlikely Treat for bacterial infectionh HIV assessmentf CTPe
Treat for PCPi HIV assessmentf
4th visit
Response j
No or partial response
Response j
Reassess for TB
Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ pada pasien rawat jalan Dikutip dari (19)
Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk ke pusat rujukan atau yang memiliki fasilitas lebih lengkap. Apabila tindakan rujukan tidak dapat dilakukan segera maka pemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan dan pemeriksaan dahak segera dikerjakan. Apabila hasil pemeriksaan HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata dan apabila daerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensi HIVyang tinggi maka dilanjutkan penegakan diagnosissesuai dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik dan pasien berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi maka penegakan diagnosis sesuai algoritma (Gambar 4).19
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangat dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi.6 Pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350 cell/ L gejala klinik TB sesuai dengan pasien TB tanpa HIV.7 Gejala mayor terbatas pada paru dan biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaran infiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas.8 Gejala ekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkan pada pasien yang tidak terinfeksi HIV, walaupun manifestasi klinik antara pasien terinfeksi HIV dengan tidak terinfeksi HIV tidak secara substantial berbeda. Pada HIV stadium lanjut gambaran foto toraks pada pasien TB paru berbeda dibandingkan dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrat milier lebih biasa dan kavitas lebih jarang. Limfadenopati mediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengan gambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIV dan TB paru dapat memberikan hasil dahak yang positif dan hasil kultur.8 Peningkatan derajat imunodefisiensi, TB ekstraparu (limfadenitis, pleuritis, pericarditis dan meningitis) dengan atau tanpa keterlibatan paru ditemukan pada gejala mayor dengan jumlah CD4+ < 200 cell/ L. Pada beberapa pasien TB dapat menjadi penyakit sistemik yang berat dengan demam tinggi, progresif, dan sindoma sepsis. Penemuan histopatologi juga dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Pasien dengan fungsi relatif imun terdapat tipikal inflamasi granulomatosa yang diasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien dengan imunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi, penyakit TB dapat menjadi subklinik atau oligoasimptomatis.8 Gejala klinik TB paru pada pasien dengan HIVtergantung dari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien
28
dengan kadar CD4 > 200/mm3 lebih sering memberikan manifestasi TB paru dibandingkan dengan ekstraparu. Pada pasien ini gambaran foto toraks akan seperti pada orang dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering memberikan hasil positif. Keadaan imunodefisensi yang semakin berat akan membuat gejala ekstraparu semakin menjadi lebih sering (Tabel 2).8 Tabel 2. Gejala klinik pada pasien TB-HIV karakteristik TB paru : TB ekstraparu Gejala klinik Foto toraks · Intratoraks limfadenopati · Lobus bawah Kavitas Alergi tuberculin Pemeriksaan dahak Reaksi obat Kambuh setelah pengobatan
Late HIVInfection
Early HIVInfection
50:50 Sering seperti TB primer
80:20 Sering seperti TB post primer
Sering
Jarang
Sering Jarang Sering Jarang Sering Sering
Jarang Sering Jarang Sering Jarang Jarang
Dikutip dari (8)
KESIMPULAN 1. Penyebab kematian terbesar pada AIDSadalah TB paru. 2. Orang dengan TLBI sesuai dengan definisi tidak memberikan gejala asimptomatis. 3. Pada penderita HIV dengan dicurigai TB maka harus ditanyakan gejala lainnya tidak hanya batuk saja. 4. Pemeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering menunjukkan negatif palsu. 5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV menunjukkan hasil ¼-nya adalah negatif.
DAFTAR PUSTAKA 1. Centersfor Disease Control and Prevention (CDC), American Thoracic Society and Infectious DiseasesSociety of America, Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep 2003; 52(RR-11):p.1-77 2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends in tuberculosis incidence— United Stauji, 2006. MMWRMorb Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50. 3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent tuberculosis infection in the United Stauji. N Engl J Med 2004; 350(20): p.2060-7.
29
4. Nasronudin. HIV& AIDS: Pendekatan biologi molekuler klinik dan sosial. Airlangga University Press 2007; p.1-309. 5. Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P. Mutations of Pneumocystis jiroveci dihydrofolate reductase associated wit h failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and chemotherapy 2004; 48:4301-5. 6. Bat ungwanayo J, Taelman H, Hot e R. Pulmonary t uberculosis in Kigali, Rwanda. Impact of human immunodef iciency virus inf ect ion on clinical and radiographic presentation. Am Rev Respir Dis, 7. Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution in HIV-infected patients. Clin Infect Dis2004; 38(8):p.1159-66. 8. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection: Epidemiology, diagnosis & management. Indian J Med Res 2005; 121, pp 550-567 9. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and treatment of tuberculosis. Proc Am Thorac Soc 2006; 3(1): p.103-10. 10. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice. Latent tuberculosis infection. N Engl JMed 2002; 347(23): p.1860-6. 11. Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: New ujits for the diagnosis of latent tuberculosis infection: Areas of uncertainty and recommendations for research. Ann Intern Med 2007; 146(5): p. 340-54. 12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P. Guidelines for using the QuantiFERON-TB Gold ujit for detecting Mycobacterium tuberculosis infection, United Stauji. MMWRRecomm Rep 2005; 54(RR-15):p.49-55. 13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosis in HIV posit ive, diagnosed by the M. tuberculosis specific interferon-gamma ujit. Respir Res 2006; p.1;7:56. 14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon-gamma assays for tuberculosis: is anergy the Achilles’heel?Am J Respir Crit Care Med 2005; 172(5):p.519-21. 15. Luetkemeyer AF, Charlebois ED, Flores LL. Comparison of an interferon-gamma release assay with tuberculin skin ujiting in HIV-infected individuals. Am J Respir Crit Care Med 2007; 175(7): p.737-42. 16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheral tuberculous lymphadenitis in adults: current clinical and diagnostic issues. Clin Infect Dis 1995; 20(4): p.876-82. 17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. An Algorithm for Tuberculosis Screening and Diagnosis in People with HIV. N Engl J Med 2010;362:707-16. 18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama, Departemen Kesehatan RI, 2007. 19. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adult and adolecent. WHO recomendation 2006.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalah kesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negara berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.1 Risiko penularan TB diantara petugas kesehatan cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan cepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidens penyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif. Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi di rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutama di rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik. Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas kebersihan di rumah sakit yang menangani penderita TB merupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugaskesehatan saat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi pengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukan sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan pekerjaan.1,15 Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobact erium tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan walaupun dapat mengenai organ lain.2 Sejak meluasnya penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan pertambahan kasus TB kebal obat (MDR-TB), masalah TB yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi bertambah rumit.3 Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapat dicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yang efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
pengontrolan administratif, teknik dan alat pelindung pernapasan. Tatalaksana pemberantasan TB dapat dilakukan dengan berbagai cara dan hal ini telah berhasil dilakukan di beberapa negara maju.4
PENULARAN TUBERKULOSIS Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang hidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak di dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita ke orang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 1–5 ¼m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik di keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat bicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadi kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jam bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi t erjadi apabila orang menghirup percik renik yang mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat setelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentuk dalam 2–12 minggu setelah infeksi.4,5 Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama pajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kuman mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita TB yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain terdapatnya TB paru, batuk produktif, sputum basil tahan asam (BTA) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saat batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi antiTB yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani prosedur yang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopi dan suction.1,6 Tuberkulosis dimulai dari infeksi primer yang sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat sembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatif menjadi positif.7
TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT Penularan TB di rumah sakit berkaitan erat dengan kejadian luar biasa di daerah tersebut.8 Terapi TB dapat diberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinan penderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibat beratnya penyakit, efek samping obat, penyakit penyerta
30
dan indikasi lainnya.9 Tahun 1990 terjadi kejadian luar biasa tuberkulosis di beberapa rumah sakit di Amerika. Pengaturan aliran udara di ruangan yang kurang baik, pembuangan udara t idak adekuat dan penggunaan ulang sirkulasi udara merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadian tersebut.10 Petugas kesehatan dengan angka kesakitan TB yang termasuk kelompok risiko tinggi adalah dokter, perawat, petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis. Petugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi, intubasi endotrakea, penyedotan lendir di ruang rawat, irigasi abses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnya yang dapat menginduksi batuk juga berisiko tinggi untuk terjadi penularan nosokomial. Beberapa faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensi kontak langsung dengan pasien TB, masa kerja dan kontak dengan penderita yang belum terdiagnosis dan belum diobati.6 Tabel 1. Risiko kesakitan TB pada kelompok pekerjaan Kelompok pekerjaan
Kasus Kasus Teramati Diharapkan SMR
(IK 95%)
321
336,1
1,0
(0,9-1,1)
- Dokter
20
50,9
0,4
(0,2-0,6)
- Petugas register
68
56,2
1,2
(0,9-1,5)
- Perawat inhalasi
7
2,4
2,9
(1,2-6,0)
- Petugas laboratorium
15
16,8
0,9
(0,5-1,5)
Bidang kesehatan
- Perawat
26
24,1
1,1
(0,7-1,6)
- Pekarya, pembantu perawat
150
115,7
1,3
(1,1-1,5)
Pekerjaan yang berhubungan dengan binatang
565
253,5
2,2
(2,0-2,4)
Pelayanan makanan
455
368,0
1,2
(1,1-1,4)
Pekerjaan yang berhubungan dengan debu
52
51,8
1,0
(0,8-1,3)
Pekerjaan yang berhubungan dengan anak-anak, sekolah
92
254,7
0,4
(0,3-0,4)
Pelayananan masyarakat
113
154,4
0,7
(0,6-0,9)
Dikutip dari (11)
Petugas laboratorium mikrobiologi memiliki risiko penularan infeksi M. tb cukup t inggi walaupun tidak berhubungan langsung dengan pasien karena seringkali pet ugas t idak menget ahui bahan yang diperiksa mengandung M. tb. Tiga belas persen petugas laboratorium mengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelah bekerja 14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan
31
sebesar kurang lebih 1%. Perubahan konversi uji tuberkulin berhubungan secara bermakna dengan pekerjaan sebagai petugaspatologi dan ini merupakan indikator keterlambatan diagnosis penderita dengan TB selain akibat pengaturan udara ruangan yang kurang baik. Tingkat risiko penularan infeksi M. tb petugas laboratorium hampir sama dengan klinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari penderita TB yang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yang meninggal akibat TB baru dapat didiagnosis saat dilakukan otopsi.12 Pasien yang dirawat dengan indikasi yang tidak tepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar, petugas kesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyai fasilitaspengendalian infeksi, meningkatkan risiko penularan untuk petugas dan penderita itu sendiri.4 PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA Pencegahan TB nosokomial merupakan hal yang paling pent ing.7 Risiko penularan dapat dikurangi dengan pencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasan peralatan yang berpot ensi sebagai media penularan, walaupun proses penularan masih dapat terus terjadi.12 Pencegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap pekerja yang akan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerja meliputi riwayat TB sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG, gejala-gejala TB, jaringan parut BCG, uji tuberkulin dan foto toraks (Gambar 1). Pegawai yang tidak menunjukkan gejala dan tanda tetapi memiliki uji tuberkulin positif harus dijelaskan bahwa sebelumnya sudah terpajan M. tb dan disarankan secepatnya melapor bila timbul gejala.9 Pencegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasi dan memperbaiki sirkulasi udara sedangkan untuk tenaga medis yang sudah terinfeksi adalah mempertahankan daya tahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi lat en. Sejumlah kuman M. tb tetap dorman dan bertahan hingga berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, keadaan ini disebut dengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak menjadi sumber penularan. Diagnosis TB yang t epat dan cepat sangat diperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atau terjadi kesalahan diagnosis maka konsekuensinya akan terjadi penularan.13 Pengendalian infeksi TB bertujuan untuk deteksi dini penderita TB, memberi pengobatan dan mencegah orang lain untuk terinfeksi TB. Pengendalian infeksi merupakan langkah khusus yang bertujuan untuk mengurangi penularan M.TB. Terdapat 3 langkah pengendalian infeksi meliputi :4 1. Pengaturan administratif bertujuan untuk mengurangi pajanan petugas kesehatan dan penderita dengan M. tb.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
2. Pengat uran lingkungan bert ujuan mengurangi konsentrasi percik renik yang infeksius. 3. Perlindungan pernapasan petugas kesehatan pada daerah dengan konsentrasi percik renik yang tidak dapat diatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan. Pemutusan rantai penularan di rumah sakit harus dilakukan dengan pemakaian perlengkapan pelindung, fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8 Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah penyebaran lebih luas. Petugaskesehatan yang baru diangkat harus diperiksa kemungkinan menderita TB, pemeriksaan secara berkala dilakukan minimal sekali setahun untuk tenaga lama atau saat timbul gejala penularan TB.4Petugaskesehatan dengan uji tuberkulin negatif harus dilakukan vaksinasi BCG. Risiko TB pada pekerja yang terpajan oleh penderita TB lebih tinggi pada orang dengan uji tuberkulin negatif dibandingkan pada orang yang memiliki uji tuberkulin positif. Vaksinasi BCGdapat mengurangi risiko penyakit TB tetapi hal ini tidak terjadi di semua tempat.7 Pemberian INH profilaksis kurang disetujui dan hanya digunakan pada keadaan tertentu.6,8 Anamnesis sebelum penerimaan pekerja
Curiga ya
tidak Pem. Fisis ya
tidak Normal
ya
Pada ruang rawat jalan, pasien dengan batuk produktif dan dicurigai menderita TB tidak dibenarkan ikut antrian dengan pasien lainnya dan sebaiknya dilayani lebih dahulu. Pasien tersangka TB diajarkan untuk tata cara batuk yang benar dan diberi masker atau tisu untuk menutup mulut dan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan di ruang tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 Perlu juga wadah khusus yang sudah diberi desinfektan untuk menampung dahak yang dibatukkan pasien. Masker dapat menghalangi penyebaran partikel yang mengandung T. tb yang bersumber dari mulut atau hidung pasien. Tempat sampah harus tersedia untuk membuang masker dan tisu bekas pasien.4 Antara ruang rawat penderita TB dengan ruang rawat penderita nonTB harus dibedakan, terutama ruang rawat penderita risiko tinggi seperti anak kecil atau keadaan imunosupresi. Sebaiknya kedua ruang perawatan ini berada pada bangunan yang berbeda dengan ventilasi yang baik. Pasien TB yang harus dirawat diupayakan lama perawatan secepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial. Pasien MDR-TB dirawat di ruang isolasi sehingga kontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela dan pintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udara dapat mengalir sert a penggunaan kipas angin untuk mengatur aliran udara merupakan cara sederhana untuk pengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangan dapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara. Pengaturan ventilasi ruang rawat inap, ruang pemeriksaan dan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus baik (Gambar 1-3).4,6,15
Bekerja dgn pasien atau spesimen
tidak
ya
tidak
Parut BCG
Ruang Periksa
Pintu
Kantor
Area Terbuka
Uji tuberkulin tidak
ya
Ruang Tunggu
Derajat 0/1 Curiga
tidak
Klinik
Tanpa
BCG
Sisi A
ya Apotik
Pem. Fisis ya
Sisi C
tidak Normal
Penyuluhan
Pintu
Pintu Sisi B
Rencana Tampilan
Dinding dengan daerah atas terbuka
Klinik
Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayanan rawat jalan Dikutip dari (4)
Gambar 1. Alur pemeriksaan TB pada pekerja. Dikutip dari (13)
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
32
Jendela Terbuka
arah ventilasi alami atau ruang kerja yang tidak benar
Jendela terbuka Aliran udara
arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar Angin
Angin Tempat Tidur
Angin
Angin
Angin
Angin
Pintu
Buruk Aliran udara dari bawah pintu Ruang Pendingin
AC Aliran udara masuk
Aliran udara masuk
Tempat Tidur Pintu Aliran udara Aliran udara dari bawah pintu: tekanan negatif yang berhubungan dengan koridor
Gambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap, A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi tekanan negatif Dikutip dari (4)
Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidak adekuat , vent ilasi mekanis dapat digunakan unt uk mengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitas kesehatan. Sumber energi bersumber dari sistem pompa yang kuat diperlukan untuk mengalirkan udara bersih ke dalam ruangan, menarik atau mengeluarkan kembali udara tersebut ke luar gedung. Aliran udara harus melintasi ruangan yaitu dari pintu ke jendela atau ventilasi didepannya bukan masuk dan ke luar dari jendela yang sama agar percik renik yang dibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3). Arah aliran udara diatur agar mengalir dari udara bersih, melewati petugas kesehat an kemudian melewat i pasien sampai akhirnya keluar ruangan kembali. Sumber udara bersih harus t erhindar dari daerah pembuangan agar udara yang terkontaminasi tidak masuk kembali ke ruangan (Gambar 4). arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar
Pengaturan yang baik
Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harus dipersiapkan secara baik dan aman pada saat pemeriksaan, pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularan TB di antara pekerja laboratorium.7 Pengambilan dahak dilakukan di area atau ruangan terbuka dan jauh dari banyak orang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruang tertutup namun bila tidak memungkinkan pengambilan dahak dapat dilakukan di ruang berventilasi dengan risiko pajanan yang rendah terhadap petugas dan pasien. Induksi sputum, terapi inhalasi dan tindakan bronkoskopi merupakan t imdakan yang dapat menimbulkan bat uk sehingga meningkatkan risiko penularan M. tb. Tindakan ini sebaiknya dilakukan secara hati-hati di ruangan berventilasi dan petugas kesehatan menggunakan perlindungan masker yang direkomendasikan yaitu masker N-95.4,6 Terdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah dan respirator (Gambar 5). Masker bedah terbuat dari kertas at au kain yang t idak dapat mencegah penyebaran mikroorganisme dari pemakainya karena hanya menangkap partikel basah berukuran besar disekitar hidung atau mulut dan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percik renik di udara, namun pemakaian masker bedah dapat mengurangi percik renik atau aerosol yang berasal dari penderita TB yang infeksius. Masker ini digunakan pada penderita TB pada saat meninggalkan ruang isolasi ke tempat pemeriksaan lainnya di rumah sakit. Masker bedah tidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dari resiko t erhirupnya M.t b karena masker mempunyai keterbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celah disekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosol M. Tb t et ap masuk. Respirat or dapat memberikan perlindungan lebih baik daripada masker bedah.6,15
arah ventilasi alami atau ruang kerja yang benar Angin
Pintu
Jendela
Angin
Angin Baik
Gambar 5. Respirator (kiri) dan masker (kanan) Dikutip dari (16)
33
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
Respirator adalah alat perlindungan dari percik renik M. Tb dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1ì. Alat ini pas pada wajah dan mencegah kebocoran dari bagian pinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak tepat, percik renik yang terinfeksius tetap akan masuk ke saluran napas. Jenis yang direkomendasikan adalah respirator dengan kemampuan filtrasi 95% terhadap partikel berukuran 0,3ì. Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pas di wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15 Pet ugas kesehat an dengan keadaan imunokompromais yang menghadapi pasien TB atau MDRTB harus mendapat pengawasan khususagar tidak terpajan, terutama petugasyang mempunyai keluhan respirasi. Petugas ini sebaiknya ditugaskan di tempat dengan risiko pajanan M. tb yang rendah. Petugas yang menderita TB harus segera diterapi dan untuk sementara dinonaktifkan sampai terbukti tidak menjadi sumber penularan atau sputum BTA negatif. Pernah dilaporkan suatu outbreak MDR-TB pada penderita dan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromais akibat kontak dengan penderita MDR-TB yang infeksius.6,14
Gambar 6. Masker N-95 Dikutip dari (16)
Tenaga medis yang t erkena TB di rumah sakit diberikan pengobatan yang tidak berbeda dengan penderita TB lainnya. Daerah dengan kejadian MDR-TB yang cukup tinggi maka penggunaan obat antituberkulosis (OAT) sangat ditekankan untuk menggunakan obat yang masih sensitif berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. Tenaga medis dengan TB yang mendapat pengobatan adekuat tidak akan menularkan ke pekerja lain setelah pengobatan beberapa minggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkap akan mengalami penyembuhan dan mencegah MDR-TB.6,9
KESIMPULAN 1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di tempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnya epidemi HIVdan MDRTB menyebabkan kasus ini muncul kembali.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
2. Lingkungan rumah sakit dan pekerja it u sendiri mempengaruhi penularan tuberkulosisnosokomial. 3. Pengendalian dan pencegahan infeksi TB adalah deteksi dini penderita TB, pemberian pengobatan antituberkulosis dan mencegah penularan. 4. Risiko penularan nosokomial tuberkulosisdapat dikurangi dan dicegah dengan pengendalian infeksi, diagnosisdini, pemberian t erapi secepat nya pada penderit a TB, perlindungan dan prosedur kerja yang baik. 5. Pengobatan TB pada tempat kerja tidak berbeda dengan pengobatan yang biasanya tetapi perlu diperhatikan juga penyakit penyerta.
DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14 2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C. Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99. 3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC. Global burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86. 4. World Health Organization. Guidelines for prevention of tuberculosis in health care facilities in resource-limited settings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited 2011 September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/ hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf 5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott William& Wilkins; 2001.p.475-86. 6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R. Guidelines f or prevent ing t he t ransmission of Mycobacterium tuberculosisin health-care setting, 2005. MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141. 7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of the lung. Recognition, management and prevention. London: WB Saunders;2002.p.257-63. 8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question t hat need answer. Am J Respir Crit Care Med.1996;154:553-4. 9. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Control and prevention of tuberculosis in the Unit ed Kingdom: Code of pract ice 2000. Thorax.2000;55:887-901. 10. Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospital ventilation and risk for tuberculosisinfection in Canadian health care workers. Ann Intern Med.2000;133:779-89.
34
11. McKenna MT, Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. The association between occupation and tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med.1996;154:587-93. 12.Menzies D, Fanning A, Yuan L, FitzGerald JM. Factors associated with tuberculin conversion in Canadian microbiology and pathology workers. Am J Respir Crit Care Med.2003;167:599-602. 13.Raitio M, Tala E. Tuberculosisamong health care workers during three recent decades. Eur Respir J. 2000;15:3047. 14.Bock NN, Jensen AP, Miller B, Nardel E. Tuberculosis infection control in resources-limited setting in the era of expanding HIV care and treatment. The Journal of Infectious Diseases.2007;196:S108–13 15.Departemnt of Health and Human Services. Center for Disease Control and Prevention. TB facts for health care workers 2006. Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011 September 8); Available from: URL:http:// www.tpchd.org/files/library/9638ba2e8c3a090c.pdf. 16.Niosh Approved N95 Particulate Filtering Facepiece Respirators.(cited 2011 September 5);Available from: URL:http://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/ respirators/disp_part.html
35
Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8