KAJIAN FIQH MU‘AMALAH TERHADAP KONSEP JUAL BELI MENURUT MADZAB SYAFE’I Suratno1 Mohammad Ghozali, Ph.D.2
ABSTRAK
Orientasi Jual beli dalam Islam adalah saling membantu dan saling menolong satu dengan yang lainnya. Yang sering disebut dengan ta’awwun, yaitu saling membantu dan saling menguntungkan. Jual beli dengan riba nampak sama yaitu mencari keuntungan, tetapi secara isi keduanya sangatlah berbeda. Jual beli mencari keuntungan dengan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, sementara pada riba hanya berorientasi pada keuntungan semata, persoalan ada yang merasa dirugikan tidak dipertimbangkan. Dalam al-Qur’an jual beli dan riba disebutkan dalam satu ayat, dengan penyebutan Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba. Ini satu isyarat antara jual beli dan riba sangat tipis perbedaanya. Jika seorang muslim tidak tahu konsep jual beli dalam Islam, akan mudah terjebak pada perbuatan riba. Untuk itu para pemikir Islam (fuqaha) berusaha kerasa menangkap pesan-pesan teks ke-agamaan khususnya yang berkaitan dengan konsep jual beli dalam Islam. Dari langkah-langkah itu semua ulama berusaha membangun argumen tentang konsep jual beli dalam Islam. Silang pendapat antara ulama satu dengan yang lain tentang konsep jual beli dalam Islam tidak bisa dibendung. Semua mengalir dan melahirkan kelompokkelompok (mazhab) fiqh baik besar maupun kecil. Sebagai rujukan hukum dibahas beberapa hal yang terkait de dengan madzab Syafe’i untuk membangun metode dalam memutuskan sebuah hukum, khususnya jual beli dalam Islam. Kajian ini termasuk penelitian Kepustakaan (Library Reseach). Sumber primer dalam kajian ini kitab Fiqh sedangkan sumber sekunder kajian ini adalah buku, ebook, dan artikel. Pendekatan dalam kajian ini adalah deskriptif analisis. Kata kunci: Muamalah, Jual Beli dalam Islam, Madzab Syafe’i. 1
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, e-mail:
[email protected]. 2 Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo Program Studi Ekonomi Syariah dan Universitas Darussalam Gontor Ponorogo Fakultas Syariah Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, e-mail:
[email protected]
1
Pendahuluan Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, jual beli merupakan tradisi yang tak mungkin dapat dihilangkan. Karena manusia termasuk salah satu makhluk yang serba ingin memiliki apa yang dipunyai makhluk lainnya. Namun pada kenyataannya tidak semua benda yang diinginkan dapat dipenuhi dengan dibuat dan dihasilkan oleh dirinya. Tidak sedikit benda atau barang yang diinginkan hanya dapat diperoleh dengan cara tukar menukar dengan apa yang diusahakan orang lain atau sering disebut dengan barter, atau dengan cara meminta, bahkan ada yang dengan kerelaan memberikannya. Banyak pula usaha manusia untuk memiliki barang yang diinginkan harus dengan cara memaksa dan merampas milik orang lain. Walaupun cara yang terakhir ini menjadikan hilangnya kenyamanan dalam hidup. Perbuatan yang demikian mengakibatkan keresahan dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Sebuah solusi menghindarkan keresahan dalam kehidupan ini perlu adanya aturan untuk menata seni kehidupan ini dalam hal tata cara memiliki sesuatu yang diinginkan. Agar keresahan dan ketidakrelaan pindahnya suatu barang dari seseorang ke orang yang lainnya menjadi tidak menimbulkan permasalahan baru. Dan way of life yang paling sempurna adalah Islam3 yang merupakan aturan yang diturunkan oleh pencipta alam dan seisinya. Dalam hal ini tentu telah memberikan aturan yang jelas yang dapat diterapkan pada manusia sebagai penghuni bumi ini. Agama Islam telah mengatur kehidupan sosial manusia, agar satu dengan yang lain terjalin keharmonisan, termasuk di dalamnya cara memiliki sesuatu, yakni jual beli. Di awal keberadaannya, jual beli dilakukan dengan barter4, namun seiring dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia, tata cara jual beli pun ikut berubah. Sehingga akhirnya manusia menciptakan suatu alat atau benda yang disepakati dan sah untuk digunakan dalam proses jual beli. 3
Bachtiar Surin, Terjemah dan Tajsir Al-Qur’an, (Bandung: Fa. SUMATRA, 1976), hlm.
216. 4
Ketika tak ada alat tukar yang sah sebagai alat transaksi jual beli. maka suatu barang yang ditukar tidak bisa diukur oleh nilai besar uang (karena belum ada uang). Melainkan diukur dengan fungsi dan kebutuhan. Maka jika keduanya saling membutuhkan (walaupun barang yang ditukar tak seimbang), dapat menukarkan barangnya, cara seperti ini disebut barter.
2
Islam dengan segala perangkatnya membuat aturan-aturan untuk manusia ketika bergaul di tengah-tengah masyarakat dengan yang lainnya. Karena bila dibiarkan kerusakan akan segera terjadi di muka bumi ini dengan tidak disadari. Termasuk di dalamnya aturan dalam hal jual beli, tidak lain adalah dengan tujuan agar tercipta kemaslahatan di antara manusia. Suatu aturan yang ditawarkan oleh Islam kepada manusia dalam proses jual beli meliputi prinsip dasar jual beli, orientasi jual beli, syarat dan rukun jual beli, hukum jual beli, barang yang diperjual belikan, dan akad dalam jual beli. Dalam Islam prinsip dasar jual beli adalah saling menguntungkan, baik pembeli maupun penjual. Kedua belah pihak, yakni penjual dan pembeli dalam transaksi harus berorientasi pada prinsip dasar tersebut. Yaitu orientasinya adalah tolong menolong dalam kebaikan (Ta‘awun ‘ala al-Birri)5 karena Allah SWT. akan membalasnya. Pembeli berusaha menolong penjual agar dagangannya cepat terjual, dan penjual berusaha memenuhi kebutuhan pembeli sehingga terjadi kepuasan. Selain itu juga ingin mendapatkan keberkahan di dalam jual beli bila dilakukan dengan jujur dan terbuka.6 Dikandung maksud bahwa penjual menceritakan keberadaan barang yang dijual serta tidak menutupi kekurangan atau cacat barang dagangannya. Islam juga mengatur tata cara akad7 jual beli, dan mengatur jenis barang atau benda yang dilarang untuk dijual belikan.8 Bagaimana seharusnya akad dalam jual beli, dan barang apa saja yang bisa dijual belikan, dihibahkan, dan diwakafkan. Dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang jual beli sangatlah sedikit, hanya 3 ayat, yaitu terdapat dalam surat yaitu pada surat al-Baqarah dan surat al-Nisa9. Padahal permasalahan yang berkenaan dengan jual beli sangatlah komplek, ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan jaman sangat cepat seiring dengan perkembangan teknologi, tata cara jual belipun tidak mau ketinggalan, terbukti terjadinya pergeseran proses jual beli.
5
Shahih Muslim No. 4867, : http://telkom-hadits9imam.com Ibid. No. 2825. 7 Akad adalah serah terima (Ijab Qabul) 8 Moh.Ismail, Terjemah Bulughul Maram (Surabaya; Putra Alma’arif, 1992), hlm. 402. 9 Terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275, 282, dan al-Nisa ayat 29. 6
3
Pada akhirnya para pemikir Islam harus memeras otak untuk menangkap makna pesan ayat, baik secara tekstual maupun kontekstual. Para mufassir10 berusaha untuk menafsirkan ayat tersebut dengan berbagai pendekatan. Di sisi lain ayat al-Qur’an tidak dapat difahami secara parsial, karena satu dengan yang lain saling berhubungan. Hal lain juga makna ayat al-Qur’an terdiri dari makna lafad, makna isyarat, makna ibrah, makna lathaif, dan makna hakiki. Tidak berlebihan jika para ulama dalam menangkap ayat tersebut melahirkan berbagai pendapat. Konsep jual beli dalam Islam terdiri dari definisi (ta’rif) jual beli, hukum jual beli, rukun jual beli. Sementara fuqaha11 berusaha untuk menangkap pesan hukum di balik teks/ayat tersebut. Mereka menitik beratkan pada syarat dan rukun jual beli. Sehingga segala proses jual beli harus berdasar pada al-Qur’an dan as-Sunah, karena Allah SWT. telah menyampaikan firman-Nya tentang peliknya jual beli yang sangat dekat dengan riba.12 Karena, sedikit saja salah dalam melaksanakan jual beli, maka terjebak masuk ke dalam kategori riba. Demikian kehati-hatian fuqaha menjadikan pemikirannya selalu tertuju pada hukum yang tersirat ataupun yang tersurat dalam al-Qur’an. Agar pelaksanaan jual beli dapat sesuai dengan tujuan yang benar dan memperoleh keadilan. Untuk lebih memperjelas permasalahan jual beli yang komplek ini, maka perlu mengkaji dari salah satu sumber hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi siapa saja yang melaksanakannya. Sumber hukum yang akan dikaji adalah menurut Madzab Syafe’i yang merupakan salah satu dari madzab empat yang dapat dijadikan referensi. Berbagai jenis barang yang dapat dijual belikan ataupun yang tidak diperbolehkan. Bagaimana proses dan ketentuan yang harus dilakukan serta beberapa bentuk dan model jual beli. Namun sebelumnya akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan jual beli serta tujuan dan manfaatnya agar lebih terfokus pembahasannya yaitu tentang jual beli. 10 11
Mufassir adalah ulama yang konsentrasi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Fuqa>ha bentuk jamak dari faqih. Faqih secara harfiah bermakna orang yang faham.
Dalam konteks Islam faqih adalah orang yang faham pesan teks ayat setelah dibandingkan dengan berbagai sumber Islam. Boleh juga faqih dikatakan orang yang menafsirkan ayat-ayat ibadah. 12 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tajsir Al-Qur’an,hlm. 93.
4
Metode Kajian Untuk mengkaji pembahasan ini menggunakan metode studi pustaka (library research). Yaitu mengambil dan mengkaji permasalahan yang dibahas, dan berupa tinjauan atau ringkasan kepustakaan tentang masalah kajian. Dalam studi pustaka, diperlukan sumber-sumber literatur yang kuat guna mempertajam bahasan yang akan dibahas. Literatur ini bukan hanya berfungsi sebagai bahan kajian teori saja, namun juga dijadikan sumber data serta sumber kajian analisa yang akan dilakukan penulis.Dalam pembahasan ini mencakup analisis, identifikasi, dan telaah kepustakaan atau literatur tentang apa saja yang diperlukan dalam pembahasan. Literatur yang dijadikan tinjauan adalah buku, jurnal ilmiah, makalah, media online, dan hal lain yang berhubungan dengan jual beli, serta telaah dengan pembahasan sejenis.
Pengertian, manfaat dan hikmah jual beli. Jual beli13 atau perdagangan menurut Wahbah al-Zuhaily14 adalah “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Bila dilihat secara etimologi berarti menjual, merelakan atau mengganti yang berasal dari Bahasa Arab yaitu dari kata al-bai' ()اﻟﺒﯿ ﻊ, al-tijarah ( )اﻟﺘﺠ ﺎرةatau al-mubadalah ()اﻟﻤﺒﺎدﻟ ﺔ. Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : Menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.15 Jual beli sangat terkait dengan jenis barang, kepemilikan dan perpindahannya. Dan yang harus benar adalah proses perpindahan barang atau obyek dari orang satu kepada orang lainnya. Yang demikian ini dalam Islam disebut dengan akad atau ijab dan qabul. 13
Dasar disyari’atkannya jual beli adalah ayat-ayat al-Qur’an, antara lain firman Allah Ta’ala : “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqoroh : 275). Dan beberapa Hadits Nabi Saw, antara lain hadits riwayat al-Hakim (II/10), Rasulullah Saw. Ditanya : Manakah pekerjaan yang terbaik? Beliau menjawab : “Perbuatan seseorang dengan tangannya sendiri, dan semua bentuk jual beli yang mabrur atau baik”, artinya tidak ada manipulasi di dalamnya dan tidak ada khianat. 14 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2005), hlm. 3304. 15 Ahmad Sarwat, Fiqih Kehidupan(7):Muamalat, (Jakarta: DU Publishing, tt), hlm. 25.
5
Terdapat banyak manfaat dalam pelaksanaan jual beli diantaranya 16
adalah (1) menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain, (2) memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan dan suka sama suka, (3) mampu saling membantu dalam kebutuhan sehari-hari, (4) menjauhkan diri memakan atau memiliki barang yang haram/batil, (5) kedua belah pihak akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT, (6) menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan. Dengan melaksanakan jual beli kehidupan masyarakat akan dapat tertata dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan agama Islam serta mendapatkan rahmat dan keberkahan dari Allah SWT. Sedangkan hikmah yang ada pada jual beli, adalah bahwa tak seorang pun mampu memenuhi hajat hidupnya sendiri, ia dituntut untuk berhubungan satu dengan yang lainnya.17 Dan yang lebih sempurna adalah saling tukar menukar diantar mereka, dimana seseorang memberikan apa yang dimiliki kemudian ia memperoleh sesuatu berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masingmasing. Islam telah mensyariatkan jual beli kepada pemeluknya. Karena pada dasarnya manusia mempunyai kebutuhan mutlak berupa sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan primer bagi mereka. Kebutuhan ini tidak pernah putus selama manusia masih hidup di dunia ini.
Beberapa praktek jual beli Dalam Islam terdapat tiga jenis bentuk jual beli yang perlu difahami bagi penganutnya yaitu : (1) bentuk jual beli barang atau benda secara langsung dan nyata, praktek seperti ini dibolehkan oleh Islam, (2) Cara atau praktek jual beli sesuatu yang ditentukan sifat-sifatnya (spesifikasinya) dan tertuang dalam sebuah perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak, maka praktek jual beli seperti ini juga diperbolehkan dengan syarat sifat-sifat atau spesifikasi barang dimaksud dijamin dapat diwujudkan, dan (3) Praktek jual beli barang yang tidak ada ditempat atau lokasi itu dan tidak dapat disaksikan pada saat transaksi, maka jual beli semacam ini tidak diperbolehkan. Sebagaimana menurut pendapat Imam 16
Ghazaly, Abdul Rahman dkk. Fiqh Muamalat,(Jakarta, Prenadamedia Group, 2015), cet. 3, hlm. 87. 17 Ibid. hlm. 89.
6
Syafe’i bahwasannya pada prinsipnya praktek jual beli adalah dibolehkan kecuali yang diharamkan, karena bila diharamkan secara otomatis dilarang oleh Rasulullah.18 Karena bisa saja di dalamnya mengandung unsur gharar19 yang dapat merugikan salah satu pihak. Jual beli yang diperbolehkan oleh Islam adalah jual beli yang dilakukan dengan kejujuran, tidak ada kesamaran ataupun unsur penipuan. Pelaku jual beli harus saling rela di dalam aktivitas jual beli. Pembeli rela membeli barang si penjual, sedangkan penjual rela barangnya dijual. Serta tidak ada unsur paksaan di antara keduanya. Kemudian rukun dan syaratnya dalam proses jaul beli dapat terpenuhi. Barang yang dijual adalah milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya dan tidak terikat dengan khiyar lagi. Barang yang diperjual belikan harus benar-benar ada karena menjadi syarat jual beli. Barang yang diperjual belikan harus barang yang dihalalkan oleh Islam. Dan barang yang termasuk kategori tidak ada larangan nash, baik al-Qur’an maupun al-hadits. Karena jika barang tersebut diharamkan Islam, maka jual beli tersebut hukumnya adalah dilarang.
Jual Beli yang dilarang dalam Islam Praktek jual beli yang dilarang oleh Islam adalah jual beli sesuatu yang tidak ada barang atau barang tidak jelas, jual beli yang mengandung unsur penipuan (gharar). Diantara jenis barang yang tidak boleh diperjual belikan adalah khamer, suatu minuman yang memabukkan bagi peminumnya, bahkan dapat merusak jaringan syaraf yang ada di otak. Proses awal pelarangannya adalah ketika Rasulullah berkhutbah di Madinah, beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Ta'ala telah membenci minum khamer (belum ada larang secara tegas), dan Allah pasti akan menurunkan perintah yang tegas 18
Imam Syafe’i, Ringkasan Kitab Al-Umm( Pustaka Azzam, jilid 2, hlm. 1. Yakni semua jual beli yang tidak diketahui bendanya, yang mengakibatkan ragu-ragu antara manfaat dan mafsadahnya (bahayanya), tidak diketahui kepastiannya, seperti jual beli janin hewan masih dalam kandungan, air susu masih di payudara induk hewan, tidak diketahui jenis barangnya, dan lain sebagainya. Hadits riwayat Muslim (1513), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw, melarang jual beli kerikil, dan jual beli ghoror. Jual beli kerikil artinya: jual beli terhadap barang yang tidak jelas, pembeli/penjual melemparkan kerikil, mana barang yang terkena kerikil itulah yang dijual/dibeli, ada ulama lain yang menyatakan tidak demikian. 19
7
mengenai hal itu. Oleh karena itu, siapa yang masih menyimpan khamer hendaknya dijualnya atau dimanfaatkannya." Abu Sa'id melanjutkan, "Tidak berapa lama kemudian, Nabi shallallahu 'alaihi wasalam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengharamkan khamer, maka siapa saja yang mendengar ayat ini sedangkan dia masih memiliki persediaan khamer, ia tidak boleh meminumnya atau dijualnya." Maka orang-orang memadati Kota Madinah dengan membawa persediaan khamer yang ada lalu mereka menumpahkannya."20 Sejak saat itulah, khamer menjadi larangan Agama Islam, walaupun memang di dalamnya terdapat manfaatnya. Khamer dapat merusak akal fikiran dan apabila akal sudah rusak maka ia akan menjadi puncak terjadinya kejahatan baik pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Diperkuat dengan hadits, Abdullah bin Amar meriwayatkan hadits Rasulullah SAW : “Khamer adalah induk keburukan dan salah satu dosa besar”. Barangsiapa yang minum khamer biasanya dia meninggalkan sholat dan bisa jadi menyetubuhi ibu dan bibinya sendiri.” Dari Anas, Rasulullah Saw. bersabda : “Sepuluh orang yang dikutuk karena khamer: pembuatnya, pengedarnya, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, pemakan uang hasilnya, pembayar dan pemesannya.21 Dengan menghindarkan diri dari padanya, maka dampak yang jelas adalah terhindar dari penyakit berat, kesehatan akan terjaga, keberkahan akan terlimpahkan. Banyak bentuk praktek jual beli yang menjadi larangan dalam Islam diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Jual beli sesuatu yang ghaib, menurut Imam al-Syafe’i tidak membolehkan jual beli barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu terjadi. (2) Jual beli ‘Araya,22 namun ia merupakan pengecualian dari jual beli yang diharamkan. (3) Jual beli di
20 21
Lihat Shahih Muslim No. 2956. : http://telkom-hadits9imam.com Lihat (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
22
Bentuk tunggal untuk kata “araya” adalah “ariyyah”. “Ariyyah”, secara bahasa, artinya ‘telanjang’. Menurut ulama Syafe`iyah memberikan pengertian jual beli “araya” adalah ‘menjual kurma basah yang ada di pohon dengan kurma kering yang ada di tangan, dengan takaran yang telah ditetapkan syariat’.
8
atas jual beli saudaranya.23 (4) Talaqqi Rukban,24 praktek ini termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. (5) At Tas’ir (Mematok harga). Dalam hal ini tidak terlepas dari tiga unsur yaitu yang pertama adalah penguasa yang mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
Rukun jual beli Agar jual beli menjadi sah perlu proses pelaksanaan yang sesuai dengan aturan. Maka perlu difahami tentang rukun jual beli yaitu: penjual, pembeli, shighat, dan ma’qud ‘alaih (objek akad).25 Yang pertama adalah ‘Aqid,26 secara umum yang membuat akad adalah penjual dan pembeli harus memiliki ahliyah ( kecakapan ) dan wilayah (kekuasaan). Penjual dan pembeli harus berbeda orang, bukan dirinya sendiri. Adapun lebih rinci tentang syarat-syarat antara penjual dan pembeli adalah: (1) Berakal, Tidak sah jual beli orang gila. (2) Dengan kehendak sendiri; tidak sah jual beli bagi orang yang dipaksa dengan tidak benar. (3) Tidak mubadzir (pemborosan). (4) Baligh, tidak sah jual beli bagi anak-anak.27 Kemudian rukun jual beli yang ketiga adalah shighat28, kalimat atau ucapan ini dilakukan untuk mengesahkan perpindahan kepemilikan barang dari penjual ke pembeli. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis, artinya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama. Bila ijab telah diucapkan dan qabul belum dilaksanakan, padahal pembeli berdiri atau diselai dengan aktivitas lain, kemudian beberapa saat baru menjawab, maka 23
Prakteknya adalah seseorang membeli suatu barang, dan keduanya (yakni penjual dan pembeli) masih dalam transaksi jual beli dan belum berpisah serta masih memiliki hak khiyar (hak pilih). Lalu datang orang lain menawarkan kepada si pembeli barang lain yang sama seperti barang yang hendak dibelinya atau barangkali lebih baik dengan harga yang sama atau dengan harga yang lebih murah. Atau seseorang (pembeli yang lain) mendatangi si penjual lalu menawar barang tadi dengan harga yang lebih mahal (lebih tinggi) dari harga yang disepakati dengan pembeli pertama sehingga si penjual merasa menyesal dan membatalkan transaksi. 24 Kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). 25 Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat. (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 180. 26 Penjual dan Pembeli. 27 Moh Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978). hlm. 404. 28 Lafal ijab dan qabul
9
jual beli itu tidak sah. Madzab Syafe’i berpendapat bahwa jarak antara ijab dan qabul tidak terlalu lama yang menimbulkan dugaan bagi penjual bahwa obyek pembicaraan telah berubah.29 Rukun jual beli yang keempat adalah adalah Ma’qud ‘Alaih (obyek akad)30 yaitu barang yang dijual (mabi’) dan harga (tsaman) atau uang. Syarat barang yang dijual belikan harus ada, dapat dimanfaatkan Bila rukun di atas telah terpenuhi dengan benar maka proses jual beli telah sesuai dengan aturan yang digariskan oleh Agama Islam. Apabila terjadi perbedaan antara ijab dan qabul, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah. Menurut madzhab Syafe’i, syarat shighat adalah : (1) Berhadap-hadapan, Pembeli dan penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. (2) Ditujukan pada seluruh badan yang akad, Tidak sah berkata, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.(3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab, Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab kecuali jika diwakilkan, (4) Harus menyebutkan barang dan harga, (5) Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud) (6) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna, Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan, jual beli yang dilakukannya batal (7) Ijab qabul tidak terpisah, antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak (8) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain, (9) Tidak berubah lafadz, Lafazh ijab tidak boleh berubah, (10) Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna, (11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu, Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan dengan akad, (12) Tidak dikaitkan dengan waktu.
29 30
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), hlm. 116-1986. Objek akad jual beli.
10
Kesimpulan Jual beli merupakan bagian dari ta’awwun (saling menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang (keuntungan), sedangkan bagi penjual juga menolong pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya, jual beli merupakan perbuatan yang mulia dan mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala, bahkan Rasulullah Saw. menegaskan bahwa penjual yang jujur dan benar kelak akan ditempatkan bersama para nabi, syuhada, dan orangorang yang shaleh, yang menunjukkan tingginya derajat penjual yang jujur dan benar mengikuti aturan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. yaitu dengan memenuhi syarat dan rukun jual beli. Karena merupakan ketentuan yang harus dipenuhi apabila mengharapkan keberkahan. Usaha yang baik dan jujur amat menyenangkan dan akan mendatangkan keberuntungan, kebahagiaan, dan sekaligus keridhaan Allah Ta’ala. Berbeda dengan jual beli yang mengandung unsur kezaliman, seperti berdusta, mengurangi takaran, timbangan dan ukuran, maka tidak dapat dinilai sebagai ibadah, namun menjadi sebaliknya. Untuk menjadi pedagang yang jujur tidaklah mudah, namun perlu disadari bahwa kebohongan, kecurangan, ketidakbenaran, Nampak menguntungkan, akan tetapi justru sangat merugikan. Bukan hanya rugi di dunia ini saja namun berefek kepada kehinaan yang amat akan diterima di akhirat nanti. Menghindari praktek dan cara jual beli yang dilarang, maka kenistaan juga akan terhindar. Pada hakikatnya sekali perbuatan salah diikuti dan ditekuni, maka akan terbawa ke arah yang lebih jauh lagi dari jalan yang benar.
______________
11
Daftar Pustaka
Ahmad Sarwat, Fiqih Kehidupan(7):Muamalat, (Jakarta: DU Publishing, tt) Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat. (Jakarta: Amzah, 2010) Bachtiar Surin, Terjemah dan Tajsir Al-Qur’an, (Bandung: Fa. SUMATRA, 1976) Ghazaly, Abdul Rahman dkk. Fiqh Muamalat,(Jakarta, Prenadamedia Group, 2015) Imam Syafe’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Pustaka Azzam) Moh.Ismail, Terjemah Bulughul Maram (Surabaya; Putra Alma’arif, 1992) Moh Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978) Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama) Shahih Muslim No. 2956. : http://telkom-hadits9imam.com Terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275, 282, dan al-Nisa ayat 29. Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr alMu’ashir, 2005)
______________
12