Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Blok biologi molekular molekular adalah blok 5 pada semester 2 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya se benarnya pada p ada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai seorang WNI keturunan Cina bernama TN. Acai yang mengalami keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Ia memiliki riwayat penyakit terinfeksi EBV. Hasil pemeriksaan FNAC mengesankan sebagai karsinoma nasofaring. nasofaring. 1.2 Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu : 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. 2.
Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3.
Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.
1
Bab II Pembahasan
2.1 Skenario
Tn. Acai 39 tahun, seorang WNI keturunan Cina, datang ke dokter keluarga dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Riwayat penyakit terdahulu ketika Tn. Acai berusia 7 tahun pernah terinfeksi EBV ( Epstein ( Epstein Barr Virus) Virus) berdasarkan pemeriksaan serologi. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di leher kiri sehingga merujuk pasien tersebut ke seorang ahli patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan FNAC ( fine ( fine needle aspiration cytology). cytology). Hasil pemeriksaan FNAC mengesankan (diagnosis) sebagai karsinoma nasofaring.
2.2 Klarifikasi Istilah
1. Mimisan
: Pendarahan dari hidung.
2. Infeksi EBV( Epstein Epstein Barr Virus) Virus)
: Infeksi yang menyerupai virus herpes yang
menyebabkan
mononukleolis
infeksiosa yang dihubungkan dengan limfoma
burkit
dan
karsinoma
nasofaring. 3. Pemeriksaan serologi
:
Pemeriksaan
mengenai
antigen
antibody invitro. 4. Tumor
: Pembengkakan salah satu tanda cardinal peradangan atau pertumbuhan jaringan baru dimana multifikasi sel tidak terkontrol atau progresif.
5. Pemeriksaan FNAC
: Suatu prosedur diagnosis dimana jarum diambil
diinjeksi,
sejumlah
kemudian
jaringan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis. 2
6. Patologi anatomi
: Cabang ilmu bagian
tubuh
yang mempelajari
atau
jaringan
yang
terkena penyakit. 7. Karsinoma nasofaring
: Tumor ganas yang tumbuh pada epiteliel pelapis ruangan dibelakang hidung atau nasofaring.
2.3 Identifikasi Masalah
1. Tn. Acai 39 tahun, seorang WNI keturunan Cina, datang ke dokter keluarga dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala seja k 6 bulan yang lalu. 2. Berdasarkan pemeriksaan serologi, Tn. Acai memiliki riwayat penyakit pernah terinfeksi EBV ( Epstein Epstein Barr Virus) Virus) ketika berusia 7 tahun. 3. Dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor. Sehingga pasien dirujuk ke ahli patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan FNAC. Dan hasilnya mengesankan sebagai karsinoma nasofaring.
2.4 Analisis Masalah dan Jawaban
1. a. Bagaimana relevansi antara etnis (WNI keturunan Cina) dengan gejalagejala yang dialami Tn. Acai? Jawaban : Gejala yang dialami Tn. Acai merupakan gejala karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring biasanya ditemukan sebagian besar di selatan China dan Afrika, Umumnya terdapat pada orang-orang keturunan Cina (genetik), tetapi adalah juga terdapat pada pola diet orang Cina dari yang mengkonsumsi ikan salad dalam jumlah besar, yang mengandung nitrosamina-nitrosamina, yang merupakan penyebab kanker terkenal terkenal
b. Apakah ada hubungan antara benjolan dileher sebelah kiri Tn. Acai dengan gejala-gejala suara serak, mimisan, hidung seperti tersumbat dan sakit kepala? Jawaban : 3
Mimisan ringan (keluar darah lewat hidung) atau sumbatan hidung, terjadi jika kanker masih dini. Nasopharing berhubungan dekat dengan rongga tengkorak tempat lewatnya saraf otak, sehingga dapat menyebabkan nyeri kepala, nyeri di bagian leher dan wajah (neuralgia trigeminal). Kemudian bengkak di leher karena pembengkakan kelenjar getah bening.
c. Bagaimana anatomi dari leher? Jawaban : Leher adalah daerah tubuh yang terletak di antara pinggir bawah manndibula di sebela atas dan incisura suprasternalis serta pinggir atas clavicula sebelah bawah. Di leher terdapat Nodi Lymphoidei cerviciales yang merupakan nodi utama leher terletak sepanjang V. Jugularis externa superficialis terhadap M. Sternocleidomastoidius. Kelenjar-kelenjar ini menerima pembuluh limfe dari nodi lymphoidei ocipitales dan mastoidei cervicales profundi.
2. a. Apa tujuan pemeriksaan serologi? Jawaban : Untuk membedakan bakteri berdasarkan sifat-sifat antigeniknya. Dalam kasus ini untuk mengetahui infeksi virus EBV.
b. Bagaimana mekanisme pemeriksaan serologi? Jawaban : Uji serologi yang terpenting dan digunakan paling luas mencakup reaksi-reaksi aglutinasi, presipitasi, dan fiksasi komplemen.
c. Bagaimana hubungan EBV dengan karsinoma nasofaring? Jawaban: Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan memperta hankan kelangsungan virus di dalam sel s el host. Protein 4
laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker ) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B.
d. Mengapa Tn. Acai baru mengalami gejala-gejala tersebut 32 tahun setelah didiagnosis terinfeksi EBV? Jawaban: Hal ini disebabkan karena EBV bersifat laten dalam limfosit B (sel-B), yaitu EBV menetap di sel – B dan berada dalam fase inaktivasi dan tidak menimbulkan gejala-gejala. EBV akan aktif saat seseorang yang terinfeksi EBV mengalami immunodeficiency (penurunan kekebalan sistem imun tubuh) dan terpapar dengan berbagai pemicu hingga akhirnya menimbulkan gejala.
3. a. Bagaimana mekanisme pemeriksaan FNAC? Jawaban : Pengambilan dan pemeriksaan mikroskopik dari jaringan tubuh yang hidup dengan menggunakan jarum halus (23G), untuk jaringan superfisial dengan jarum yang tidak terpimpin namun untuk jaringan dalam harus dituntun dengan radiologi (USG).
b. Apa etiologi dari karsinoma nasofaring? Jawaban :
-
EBV (Epstein-Barr Virus) penyebab paling sering
-
Terbukti dari ditemukannya Nuclear antigen terkait EBV dan viral DNA pada NPC tipe II dan tipe III
-
EBV memiliki kaitan erat dengan tingkat keparahan KNF, respon KNF terhadap pengobatan
-
Faktor kerentanan genetik
-
Makanan ( ikan yang diasinkan yang mengandung carcinogenic nitrosamin volatil)
c. Bagaimana proses terjadinya kanker? Jawaban :
5
Infeksi virus →transfer DNA virus ke dalam inti sel → insersi DNA virus → gangguan pada DNA sel → mutasi gen p53 →inaktivasi p21 → Cyclindependent kinase terus bekerja → siklus sel terus berlangsung → sel dengan defek DNA semakin banyak → pertumbuhan sel tak terkendali (tumor) → tumor ganas (karsinoma)
d. Bagaimana gejala-gejala dari karsinoma nasofaring? Jawaban : 1. Gejala Dini. Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor masih terbatas di nasofaring, yaitu : a. Gejala telinga - Rasa penuh pada telinga, seperti ada cairan - Tinitus - Gangguan pendengaran - Timbul suara berdengung dan terasa penuh tanpa disertai rasa sakit sampai pendengaran berkurang. b. Gejala hidung - Epistaksis - Hidung tersumbat terus-menerus, kemudian pilek. Hal ini bersifat menetap akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring. - Hidung sedikit mimisan, tetapi berulang. c. Gejala mata dan saraf - Diplopia (penglihatan ganda atau ada dua bayangan) - Gerakan bola mata terbatas 2. Pada kondisi akut menunjukkan gejala sebagai berikut. 1. Kelenjar getah bening pada leher membesar. 2. Mata menjadi juling, penglihatan ganda, dan mata bisa menonjol keluar 3. Sering timbul nyeri dan sakit kepala
e. Bagaimana prognosis penyakit Tn. Acai? Jawaban : 6
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti : 1. Stadium yang lebih lanjut. 2. Usia lebih dari 40 tahun 3. Laki-laki dari pada perempuan 4. Ras Cina dari pada ras kulit putih 5. Adanya pembesaran kelenjar leher 6. Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan t ulang tengkorak 7. Adanya metastasis jauh
f. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Tn. Acai? Jawaban : 1. Radioterapi 2. Kemoterapi 3. Operasi 4. Imunoterapi
g. Bagaimana pencegahan penyakit Tn. Acai? Jawaban : Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi (dalam percobaan), migrasi penduduk, mengubah kebiasaan hiup yang salah, dan bebagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan faktor penyebab.
2.5 Hipotesis
Tn. Acai, 39 tahun, menderita karsinoma nasofaring karena pertumbuhan sel tidak terkontrol akibat apoptosis terganggu yang disebabkan mutasi gen P53 oleh Epstein-Barr Virus.
7
2.6 Kerangka Konsep
Infeksi EBV
Hasil pemeriksaan serologi
di orofaring
Virus laten dalam tubuh (inaktif) karena gen laten EBNA 1 Selama 32 tahun EBV aktif
Berikatan dengan Sel epithelium
resepto vius C3d
Limfosit B
kelenjar saliva
(CD21/CR2)
Menyerang reseptor virus
Limfosit B Mutasi gen P53
CR2
PIGR
Immortal
Apoptosis terganggu
ertumbuhan sel tidak terkontrol
Mimisan Sakit ke ala
tumor
Suara serak Ben olan di leher kiri
Protooncogenik bermutasi
Hidung seperi tersumbat
menjadi oncogen
Karsinoma nasofaring
Hasil pemeriksaan FNAC 8
2.7 Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues
Pokok Bahasan
Infeksi EBV
Karsinoma nasofaring
What know
Definisi
Definisi
I
What
I
don’t
know
prove
terinfeksi EBV
mutasi gen.
sel,
serologi
Definisi
menginfeksi
lain
organisme
(internet) Buku,
Mengetahui
sumber
mekanisme terjadinya kanker
tujuan
pemeriksaan
interpretasi
serologi
pemeriksaan
dan
serologi.
Pemeriksaan FNAC
Definisi
pemeriksaan FNAC.
will
mekanisme EBV Sumber
Mekanisme
Mekanisme
I
Buku,
Mengetahui Pemeriksaan
How
learn
Mengetahui
Mekanisme
Siklus
What I have to
Mengetahui cara pemeriksaan FNAC
lain
(
internet) Buku, sumber lain( internet) Buku, sumber lain
(
internet)
9
Bab III Sintesis
3.1 EPSTEI N-BARR VI RUS (EBV)
3.1.1 Definisi Epstein-Barr Virus (EBV), juga disebut Human herpes virus 4 (HHV-4), adalah suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus),yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asymptomatic tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. EBV dinamai menurut Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama-sama dengan Bert Achong, memukan virus tahun 1964. Epstein -Barr Vir us
Klasifikasi Group:
Group I (dsDNA)
Family:
Herpesviridae
Subfamily:
Gammaherpesv rinae
Genus:
Lymphocryptovirus
Species:
H uman h erpesvir us 4 (HHV-4)
3.1.2 Sel EBV yang Peka Rangsangan Permukaan EBV H glikoprotein (gH) adalah penting bagi penetrasi sel-sel B tetapi juga berperan dalam pemasangan dari virus kepada sel epitelium. 10
Di dalam percobaan-percobaan terhadap binatang di laboratorium tahun 2000, menunjukkan bahwa antara larangan pertumbuhan RA-mediated dan promosi perkembang biakan LCL secara efisien dibalikkan oleh sel yang peka rangsangan glukokortikoid (GR) musuh/anti RU486. EBV dapat menyebabkan penyakit radang yang cepat menyebar, juga yang dikenal sebagai 'demam hal kelenjar', 'Mono' dan 'penyakit Pfeiffer'. Penyakit akibat radang yang cepat menyebar disebabkan bila seseorang pertama diunjukkan ke virus selama atau setelah masa remaja. Meskipun demikian ketika dianggap "mencium penyakit," riset terbaru sudah menunjukkan transmisi Mono tidak hanya terjadi dari pertukaran air liur saja, tetapi juga dari kontak dengan virus yang sudah ada di udara. Sebagian besar ditemukan dalam perkembangan dunia, dan ditemukan bahwa kebanyakan anak-anak di dunia yang sedang berkembang ini telah terinfeksi ketika berusia 18 bulan. EBV antibody menguji pengerasan dimana hampir semua positif. Di Amerika Serikat, perkiraan kasarnya mencapai hampir separuh dari orang yang berusia 5 tahun telah terinfeksi, dan hingga 95% dari orang dewasa yang berusia antara 35 dan 40 tahun.
3.1.3 EBV dan Penyakit berbahaya
Sebagai bukti kuat EBV dan formasi kanker ditemukan di dalam limfoma Burkitt dan nasopharyngeal karsinoma. Limfoma Burkitt adalah suatu jenis dari limfoma Nonhodgkin yang umumnya ada di katulistiwa Afrika dan muncul sewaktu terjadinya malaria. Infeksi/peradangan malaria menyebabkan pengawasan kebal dari sel-sel B EBV immortalized, yang membiarkan perkembangbiakan mereka. Perkembangbiakan ini meningkatkan kesempatan mutasi terjadi. Mutasi-mutasi diulangi dan dapat menjurus ke sel-sel B melepaskan kendali perkembangbiakan sel tubuh, maka membiarkan sel-sel itu berkembang biak secara tidak terkendali, menghasilkan pembentukan limfoma Burkitt. Limfoma burkitt biasanya mempengaruhi tulang rahang, membentuk suatu tumor yang sangat besar yang menumpuk. Limfoma-limfoma
sel
B
lain
muncul
di
pasien-pasien
yang
immunocompromised seperti pasien AIDS atau yang sudah mengalami pencangkokan organ/ bagian badan dengan penekanan sistem imun yang dihubungkan (PostTransplant Lymphoproliferative Disorder (PTLPD)). Tumor-tumor otot licin adalah juga dihubungkan dengan virus untuk pasien yang terserang. 11
Nasopharyngeal karsinoma adalah suatu kanker yang ditemukan di bagian tubuh yang berhubungan dengan pernapasan bagian atas, paling umumnya di dalam nasofaring, dan terhubung dengan virus EBV. Penyakit ini ditemukan sebagian besar di selatan China dan Afrika, karena kedua-duanya adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Umumnya.
3.1.4 Kelainan Siklus Sel terhadap Keganasan Tumor
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen yang merangsang sel menjalani dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel. Virus dapat melaksanakan banyak program yang terpisah secara jelas dan ekspresi gen yang dapat tersebar luas yang digolongkan menjadi siklus lisis atau siklus tersembunyi. Siklus tersembunyi atau infeksi produktif mengakibatkan ekspresi yang sudah dijadwalkan sebelumnya akan terjadi sejumlah besar protein protein viral dimana sasaran terakhirnya akan menghasilkan virion-virion yang cepat menyebar. Secara formal, tahap infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan dari terjadinya lisis dari sel tuan rumah (host) ketika virion-virion EBV dihasilkan oleh pertunasan dari siklus sel. Siklus tersembunyi yang terinfeksi (lysogenic) dimana program-program mereka tidak mengakibatkan produksi virion-virion. Protein-protein viral dihasilkan selama infeksi siklus yang tersembunyi. Ini termasuk Epstein-Barr antigen nuklir (EBNA)-1, EBNA-2, EBNA-3A, EBNA3B, EBNA-3C, EBNA-LEADER protein (EBNA-LP) dan protein-protein selaput tersembunyi (LMP)-1, LMP-2A dan LMP-2B dan Epstein-Barr menyandi RNAs (EBERS). Sebagai tambahan, EBV mengkode untuk sedikitnya dua puluh microRNAs yang dinyatakan di dalam studi-studi tentang sel. Dari studi ekspresi gen EBV yang terinfeksi secara tersembunyi di dalam lini sel limfoma yang dibiakkan Burkitt, sedikitnya terdapat tiga program: • Hanya EBNA1 (group I) • EBNA1 + EBNA2 (group II) 12
• Siklus protein-protein tersembunyi (group III). Saat EBV terinfeksi B-lymphocytes in vitro, lini sel limfoblastoid pada akhirnya muncul yang membuat pertumbuhan yang tak tentu. Perubahan bentuk pertumbuhan lini sel ini sebagai konsekuensi dari ekspresi protein viral. EBNA-2, EBNA-3C dan LMP-1 adalah penting bagi perubahan bentuk selama EBNA-LP dan EBERs itu bukan. protein EBNA-1 adalah penting bagi pemeliharaan virus genome. Didalilkan bahwa dalam hal untuk mengikuti infeksi alami EBV, virus melaksanakan sebagian besar atau semua repertoire ekspresi program gen untuk menetapkan suatu infeksi yang sebenarnya. Absennya imunitas host/tuan rumah, daur lisis menghasilkan sejumlah virus untuk menginfeksi yang lain (kiranya) Blymphocytes di dalam program-program host. Program tersembunyi muncul lagi dan mematikan B-lymphocytes yang terinfeksi untuk berkembang biak serta membawa sel-sel yang terinfeksi di lokasi-lokasi di mana virus terdapat. Pada akhirnya, ketika imunitas host berkembang, virus tetap pada tuntutannya untuk mematikan hampir semua (atau mungkin semua) gen, hanya adakalanya virus aktif untuk menghasilkan virion-virion segar. Suatu keseimbangan pada akhirnya diserang antara pengaktifan kembali virus dan virus host karena keseimbangan pada akhirnya diserang antara sel-sel yang dilepaskan dan sel host aktif yang kebal viral mengaktifkan kembali ekspresi gen. Tempat-tempat keberadaan EBV ada di sumsum tulang.
3.1.5 EBV antigen tersembunyi
Semua protein-protein EBV nuklir dihasilkan oleh penyambung alternatif yang memulai pencatatan oleh penyelenggara Cp atau Wp di yang ditinggalkan diakhir genom (di dalam tatanama yang konvensional). Gen-gen itu dipesan oleh EBNA-LP/EBNA-2/EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C/EBNA-1 dengan genome. Daerah Sandi inisiasi kodon dari EBNA-LP diciptakan oleh sambungan catatan protein nuklir yang satu dengan yang lain. Kehadiran kodon inisiasi, EBNA2/EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C/EBNA-1 akan diekspresikan tetapi tergantung pada gen-gen yang mana yang dipilih sebagai alternatif yang akan disambung ke dalam transcript. EBNA-1 EBNA-1 mengikat protein untuk asal-muasal replikasi (oriP) di dalam genom yang menengahi replikasi dan penyekatan episom selama 13
divisi sel host. Ini berlaku hanya untuk menyatakan kelompok I dari protein viral yang tersembunyi. EBNA-1 memproses alanina glisina secara berulang-ulang yaitu untuk merusak pengolahan antigen dan MHC kelas I- yang membatasi keberadaan antigen yang akan menghambat sel-T sitotoksik CD8-yang dibatasi untuk melawan sel-sel virus yang sudah terinfeksi. EBNA-1 pada awalnya dikenali sebagai target antigen sera dari pasien-pasien radang sendi rheumatoid (rheumatoid radang sendi yang dihubungkan dengan antigen nuklir; RANA). EBNA-2
EBNA-2 adalah transactivator viral utama, transkripsi alihan dari Wp digunakan di awal-awal setelah menginfeksi Cp. Bersama-sama dengan EBNA3C, itu juga mengaktifkan LMP-1. Itu dikenal untuk mengikat protein host RBPJk dimana kunci dalam jalan kecil Notch. EBNA-2 penting bagi perubahan bentuk pertumbuhan EBV-penengah. EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C
Gen-gen ini juga mengikat protein host RBP-Jk EBNA-3C
EBNA-3C adalah juga suatu ligase ubikuitin dan sudah ditunjukkan kepada siklus regulator target sel seperti pRb LMP-1
LMP-1 adalah enam jengkal protein transmembran yang juga penting bagi perubahan bentuk pertumbuhan EBV. LMP-1 berfungsi sebagai pemberian isyarat yang melalui jalan kecil untuk nekrosis Tumor factor-alpha/CD40 LMP-2A/LMP-2B
LMP-2A/LMP-2B adalah protein transmembrane yang berlaku untuk menghalangi pemberian isyarat kinase tirosina. Dipercaya bahwa mereka bertindak untuk menghalangi pengaktifan siklus lisis viral. Tidak dikenali bilamana LMP-2B diperlukan untuk perubahan bentuk pertumbuhan EBV, sementara kelompok-kelompok yang berbeda sudah melaporkan bahwa LMP-2A sebagai alternatif tidak diperlukan untuk perubahan bentuk. EBER-1/EBER-2
EBER-1/EBER-2 adalah nuklir kecil RNAs dari suatu peran yang tak dikenal. Mereka tidak diperlukan untuk perubahan bentuk pertumbuhan EBV 14
miRNAs
EBV microRNAs disandikan oleh dua catatan, satu yang ditetapkan dalam gen BART dan satu himpunan dekat cluster BHRF1. Ketiga BHRF1 miRNAS dinyatakan selama jenis III yang tersembunyi secluster dengan BART miRNAs (sampai dengan 20 miRNAs) dinyatakan selama jenis II yang tersembunyi Fungsi-fungsi miRNAs ini sekarang ini tidak dikenal.
3.2 KARSINOMA NASOFARING
3.2.1 Definisi
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
3.2.2 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. a. Batas nasopharing: • Superior
: basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
• Inferior
: bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
bersifat
subjektif
karena
tergantung
dari
palatum durum. • Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. • Posterior :
- vertebra cervicalis I dan II 15
• Lateral :
-
Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
-
Mukosa lanjutan dari mukosa atas
- mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang -
Muara tuba eustachii
-
Fossa rosenmuller
b. Bangunan yang penting pada nasopharing • Ostium tuba eustachii pars pharyngeal Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius. • Torus tubarius • Fossa rosen mulleri Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di THT. • Fornix nasofaring
16
Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor angiofibroma nasopharing • Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha • Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.
Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti hak. c. Fungsi nasopharing : • Sebagai jalan udara pada respirasi • Jalan udara ke tuba eustachii • Resonator • Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung d. Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena: • Gaya gravitasi • Gerakan menelan • Gerakan silia (kinosilia) • Gerkan usapan palatum molle
17
3.2.3 Histologi Nasofaring
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel ". Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel : 1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium " 2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ". 3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium" 4. Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ". Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli. 60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
3.2.4 Histopatologi Nasofaring
Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi jenis karsinoma nasofaring karena sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campur ganas. Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dinding lateral yang ada di fosa Rossenmulleri merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan hanya 18
sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian gejala-gejala akan muncul sesuai dengan arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubang pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang secara tekanan nekrosis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991 merekomendasikan klasifikasi gambaran histopatologi dalam 3 tipe, yaitu : 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. 2. Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas. 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu : 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). 2. Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
3.2.5 Epidemiologi dan Etiologi
KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/10 5 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina 19
bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) sekitar 80,000 kasus
tahun 2002 ditemukan
baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus
meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah. Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 23:1. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah, KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi, KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya. Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada pendduduk China bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Kelompok migran masih mengandung gen yang „memudahkan‟ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. EBV adalah suatu virus herpes yang replikat-replikat utamanya ada di beta-lymphocytes tetapi juga ada di dalam sel epitelium kerongkongan dan saluran parotid. Penyebaran infeksi ini biasanya melalui air liur, dan masa inkubasinya adalah empat-delapan 20
minggu. Untuk infeksi akut, antibodi heterophile yaitu dengan melekatkan eritrosit domba yang dihasilkan. Proses ini merupakan dasar pembentukan perpaduan getah Monospot cepat Antibodi kepada antigen kapsid viral (yaitu., VCA-IGG dan VCA-IgM) dihasilkan sedikit lebih cepat dari antobodi heterophile dan lebih spesifik untuk infeksi EBV. Viral VCA-IgG sebelumnya ada untuk infeksi akut dan penkembangan imunitas. Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. (16,17). Kegagalan imunitas spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa manifestasi klinik. Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu : 1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin. 2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup. 3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti : - benzopyrenen - benzoanthracene - gas kimia - asap industri - asap kayu - beberapa ekstrak tumbuhan 4. Ras dan keturunan 5. Radang kronis daerah nasofaring 6. Profil HLA Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu : 1. Bentuk ulseratif Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah 21
mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik. 2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau polipoid jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi. 3. Bentuk eksofitik Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma
3.2.6 Gejala-gejala KNF
Gejala nasofaring yang pokok adalah : 1. Nasal sign : • Pilek lama yang tidak sembuh • Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu • Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau. 2. Ear sign : • Tinitus. Tumor menekan muara tuba e ustachii sehingga terjadi tuba oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus. • Gangguan pendengaran hantaran • Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). 3. Eye sign
22
• Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. 4. Tumor sign : • Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. 5. Cranial sign Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita. Gejala ini berupa : • Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. • Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang. • Kesukaran pada waktu menelan • Afoni • Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: o Lidah o Palatum o Faring atau laring o M. sternocleidomastoideus o M. trapezeus
3.2.7 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu (1)Aadanya infeksi EBV, 23
(2) Faktor lingkungan (3) Genetik
1) Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan
dalam
mempertahankan
virus
pada
infeksi
laten.
Protein
transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen ters ebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 24
menjadi
perantara
untuk
sinyal
TNF
(tumor
necrosis
factor )
dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
2) Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA),
nitrospiperidine (NPIP ) yang
N-nitrospurrolidene
(NPYR)
dan
mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
3.2.8 Mutasi Gen pada Karsinoma Nasofaring
Epstein Barr virus berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. Adanya insersi DNA virus mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel yang terjadi seharusnya di perbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21 menekan semua cyclin dependent kinase agar siklin tidak dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus, sel akan memberikan waktu terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang 25
mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak terhenti untuk melakukan DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53 maka p21 yang seharusnya diaktifasi oleh gen p53, mengalami gangguan. P21 yang berfungsi untuk menekan semua siklin depedent kinase, tidak bekerja. Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA yang diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat mengganggu apoptsis. Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu apoptosis (p53). Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan sel menjadi immortal. Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang tergantung p53. Selanjutnya, tidak terjadi penghentian siklus sel dan mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.
3.2.9 Diagnosis
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor : 1. Anamnesis / pemeriksaan fisik Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF) 2. Pemeriksaan nasofaring Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop 3. Biopsi nasofaring Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung
26
menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang
dihdung.
Demikian
juga
disebelahnya, sehingga palatum
kateter
yang
dari
hidung
mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi Klasifikasi
gambaran
histopatologi
yang
direkomendasikan
oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang
27
direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat
dibagi
lagi
menjadi
berdiferensiasi
dan
tak
berdiferensiasi. 5. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi
secara jelas dengan
radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum 28
terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial. Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini. 7. Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya
hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.
29
3.2.10 Prognosis
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
Stadium yang lebih lanjut.
Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh
3.2.11 Penatalaksanaan
1. Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. 2. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh. 3. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain. 4. Imunoterapi Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi. 30
3.2.12 Pencegahan
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
3.3 SIKLUS SEL
3.3.1 Fase Pada Siklus Sel
Pada kasus ini, virus Epstein-Barr berikatan dengan permukaan sel, sel diaktivasi untuk memasuki siklus sel. Untuk itu, kita harus mengetahui apa saja fase pada siklus sel. Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup banyak dan mendukung segregasi untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berulang (siklik). Pertumbuhan dan perkembangan sel tidak lepas dari siklus kehidupan yang dialami sel untuk tetap bertahan hidup. Siklus ini mengatur pertumbuhan sel dengan meregulasi waktu pembelahan dan mengatur perkembangan sel dengan mengatur jumlah ekspresi atau translasi gen pada masing-masing sel yang menentukan diferensiasinya. Ada 4 fase yakni :
Fase S (sintesis) 31
Tahap terjadinya replikasi DNA
Fase M (mitosis) Tahap di mana terjadi pembelahan sel (baik pembelahan biner atau pembentukan tunas)
Fase G (gap) Tahap pertumbuhan bagi sel.
Fase G0, sel yang baru saja mengalami pembelahan berada dalam keadaan diam atau sel tidak melakukan pertumbuhan maupun perkembangan. Kondisi ini sangat bergantung pada sinyal atau rangsangan baik dari luar atau dalam sel. Umum terjadi dan beberapa tidak melanjutkan pertumbuhan (dorman) dan mati.
Fase G1, sel eukariot mendapatkan sinyal untuk tumbuh, antara sitokinesis dan sintesis.
Fase G2, pertumbuhan sel eukariot antara sintesis dan mitosis. Fase tersebut berlangsung dengan urutan S > G2 > M > G0 > G1 > kembali ke S. Dalam konteks Mitosis, fase G dan S disebut sebagai Interfase.
Skema siklus sel
Oleh karena pada virus Epstein-barr mempunyai dua siklus hidup yaitu siklus litik dan siklus laten, pada siklus laten inilah dihasilkan protein virus seperti Epstein-barr Nuclear Antigen (EBNA) dan dua protein laten membrane (LMP). Sehingga pada penderita karsinoma nasofaring sel yang terinfeksi oleh VEB akan menghasilkan protein tertentu yang dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A, dan 32
LMP-2B. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya peningkatan konsentrasi antibodi anti VEB jenis IgG dan IgA pada penderita karsinoma nasofaring.
3.3.2 Tumor supressor gen (TSG)
Tumor supressor gen (TSG) merupakan kelompok gen yang lebih baru ditemukan setelah onkogen, dikenal sebagai antionkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif terhadap proliferasi sel. (20). Gen p53 merupakan contoh lain kelompok TSGs, yang mempunyai peran aktif dalam mendeteksi kerusakan DNA dan menginduksi gen reparasi DNA serta menginduksi apoptosis. Gen p53 adalah suatu gen supressor tumor yang dikenal sebagai master guardian of the genome dan merupakan unsur utama yang memelihara stabilitas genetik. (21). Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang salah atau kerusakan DNA. Dapat dimengerti bahwa mutasi p53 menyebabkan disfungsi p53 dan berakibat DNA yang mengalami kerusakan tetap dilipatgandakan, menghasilkan populasi sel mengandungDSNA abnormal. Inaktivasi gen p53 dapat terjadi bila berkaitan dengan protein medium 2 atau karena adanya infeksi virus misalnya EBV.
3.3.3 Aktivitas tumor supressor gen p53
Gen yang produknya mempunyai fungsi penting dalam mengaktivasi cell cycle check point berfungsi memperpanjang waktu tertentu dalam siklus sel untuk memberi kesempatan perbaikan DNA. Gen yang mempunyai fungsi penting dalam cell cycle check points, yaitu p53. P53 hanya akan berfungsi baik bila normal. Pada umumnya defek pada p53 adalah point mutation, disfungsi gen p53 dapat terjadi akibat pengikatan p53 oleh onkogen virus. Bila hal ii terjadi maka sebagian besar fungsi p53 terganggu. Proses keganasan (malignansi) dapat terjadi karena perilaku sel yang abnormal akibat adanya mutasi gen. Mutasi gen, dalam hal ini terjadi pada gen p53, karena berikatan dengan onkogen virus seperti EBV.
3.3.4 Apoptosis 33
Apoptosis adalah suatu kejadian yang dikendalikan secara genetik yang menghasilkan penghilangan sel yang tidak dikehendaki tanpa menyebabkan gangguan pada jaringan. Apoptosis juga merupakan hal penting dalam perkembangan sel normal dan homeostasis jaringan normal. Dalam kaitan dangan pengendalian onkogenesis, apoptosis merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, agar sel dengan DNA tersebut tidak dilipatgandakan. Kegagalan sel tumor untuk melaksanakan mekanisme apoptosis merupakan salah satu faktor yang mendasari pertumbuhan sel tumor yang makin lama makin besar. Akibat defek mekanisme apoptosis yang lain adalah kemungkinan terjadinya keganasan. Apoptosis merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan sel yang mengandung lesi DNA, sehingga dapat dicegah terjadinya transformasi sel. Mutasi yang terjadi pada berbagai gen, terutama gen yang berperan meningkatkan apoptosis, memungkinkan terjadinya resistensi terhadap proses apoptosis yang diperlukan untuk mencegah transformasi.
3.3.5 Squamous Cell Carcin oma
Squamous cell carcinoma merupakan tumor ganas yang memiliki prevalensi cukup tinggi di dalam rongga mulut. Terjadinya SCC dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya agen biologik (virus onkogenik) yang merupakan salah satu penyebeb SCC adalah Epstein Barr Virus (EBV). Dimulai dengan infeksi virus Epstein Barr Virus (EBV) melalui saliva yang kemudian berpenetrasi kedalam mukosa faring. Epstein Barr Virus berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. (31). Adanya insersi DNA virus mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel yang ada seharusnya diperbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21 menekan semua cyclin dependent kinase (CDK) yg menyebabkan cyclin tidak dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel akan memberikan waktu terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak terhenti untuk melakukan DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53 maka 34
p21 yang seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan. p21 yang berfungsi untuk menekan semua cyclin dependent kinase tidak bekerja. Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA yang diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat mengganggu apoptosis. Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu apoptosis (p53). Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan sel menjadi immortal. Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang tergantung p53. Selanjutnya tidak terjadi penghentian siklus sel dan mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa squamous cell carcinoma dapat disebabkan oleh Epstein Barr Virus melalui mutasi gen p53 dan penghambatan DNA repair.
3.4 PEMERIKSAAN SEROLOGI
Uji serologi ialah uji yang mendeteksi reaksi pengikatan antibodi dengan
antigen. Uji serologi telah digunakan secara luas untuk diagnosis laboratories penyakit menular.
Uji serologi yang terpenting dan digunakan paling luas
mencakup reaksi-reaksi aglutinasi, presipitasi, dan fiksasi komplemen. Antibody (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum darah dan cairan jaringan pada mamalia. Antibody memiliki lebih dari satu tempat pengkombinasian antigen. Kebanyakan antibody makhluk hidup mempunyai 2 tempat pengkombinasian yang disebut bivalen. Beberapa antibody bivalen dapat membenuk
beraneka
antibody
yang
mempunyai
lebih
dari
10
tempat
pengkombinasian antigen. Antibodi ialah zat kebal tubuh yang dilepaskan oleh sel darah putih limfosit B (biasa disebut sel B). Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia atau organisme multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibody terhadapnya dan dengan antibody itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya..Salmonella dan jenis-jenis lainnya dalam familyEnterobacteriac eae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu antigen O (somatic), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen). 35
Antigen di dalam reaksi aglutinasi dapat berupa sel atau partikel, misalnya partikel latex yang permukaannya telah diresapi antigen yang dapat larut, ditambahkannya antibody yang homolog akan menyebabkan terjadinya aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menghasilkan agregat kasat mata sel-sel itu, reaksi aglutinasi juga digunakan di dalam penggolongan dan penentuan tipe darah manusia. Sampel untuk uji serologi ini adalah cairan tubuh yang mengandung antibodi yaitu serum darah. Beberapa contoh uji serologi ialah Rapid Plate Agglutination Test (RPAT), Haemagglutination Inhibition Test (HI test), Enzymelinked Immunosorbent Assay (ELISA), Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan Serum Neutralization Test (SNT). HI test adalah uji yang paling sering digunakan karena cepat dan murah.
3.4.1 Interpretasi Hasil Uji Serologi
Beberapa parameter yang digunakan dalam uji serologi yaitu GMT, persen kebal dan %CV. Nilai GMT (Geometric Mean Titer) menggambarkan ratarata titer antibodi. Standar nilai GMT (level titer protektif) ditentukan berdasarkan tipe, jenis penyakit dan uji yang digunakan. Persen kebal diartikan sebagai persentase jumlah sampel yang memiliki titer antibodi di atas standar titer protektif. Coefficient of variant (CV) akan menganalisa tingkat keragaman titer antibodi dalam sampel. Semakin tinggi tingkat keragaman titer (CV>35%) maka semakin jelek. Segera setelah mendapatkan hasil uji serologi perlu sekiranya kita menggabungkan dengan perangkat diagnosa yang lain seperti anamnesa, gejala klinis dan patologi anatomi. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan diagnosa yang lebih tajam dan tepat. Jika ada, kita dapat membandingkan dengan database titer antibodi (baseline titer) yang telah kita miliki. Dengan begitu, interpretasi dan hasil serologi akan lebih tajam.
3. 5 PEMERIKSAAN FNAC/FNAB
36
Pemeriksaan FNAB adalah biopsi aspirasi jarum halus. Pengambilan dan pemeriksaan mikroskopik dari jaringan tubuh yang hidup dengan menggunakan jarum halus (23G), untuk jaringan superfisial dengan jarum yang tidak terpimpin namun untuk jaringan dalam harus dituntun dengan radiologi (USG). Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) memiliki nilai akurasi diagnostik yang tinggi pada tumor kelenjar ludah jinak maupun ganas yang akan menjalani pembedahan (lebih dari 80% pada literatur barat).
37
Bab IV Penutup
4.1 KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring merupakan penyakit yang salah satu penyebabnya adalah Epstain-Barr Virus. Virus tersebut memutasi gen p53 sehingga apoptosis terganggu akibatnya pertumbuhan sel tidak terkontrol hingga terjadi tumor ganas.
4.2 SARAN
Perlu dilakukan pencegahan untuk menekan prevalensi penderita karsinoma nasofaring.
38
DAFTAR PUSTAKA
Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50. EGC. “Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 28”. J akarta: EGC. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi kombinasi/kemoradioterapi. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82. Susworo, R.
Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir.
Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.
39