ANODONTIA
A. Definisi1,3 Anodontia atau anodontia vera (complete anodontia) merupakan kelainan yang secara umum digambarkan dengan keadaan tidak tumbuhnya semua gigi, dan sangat jarang terjadi dalam bentuk kelainan tunggal tanpa abnormalitas lain. Kelainan lain yang jarang terjadi namun lebih umum daripada anodontia vera adalah anodontia parsial yang terdiri dari hipodontia dan oligodontia. Hipodontia merupakan suatu kelainan genetik yang melibatkan absennya 1 hingga 6 gigi, sedangkan istilah oligodontia dipakai untuk mendeskripsikan kondisi di mana lebih dari 6 gigi hilang/ tidak tumbuh.
Gambar 1. Hipodontia, Oligodontia, dan Anodontia
Kondisi ini dapat melibatkan gigi sulung dan gigi permanen, tetapi kebanyakan kasus hanya terjadi pada gigi permanen. Fenomena ini sering dikaitkan dengan sindroma non-progresif kulit dan saraf yang disebut ectodermal dysplasia. Anodontia sering menjadi bagian dari gejala sindroma tersebut dan jarang terjadi sebagai satu kondisi tunggal. B. Etiologi2 Penyebab anodontia, baik complete maupun partial anodontia, secara garis besar terdiri dari dua faktor, yaitu faktor lingkungan dan genetik. Kegagalan proliferasi sel basal gigi dari lamina dental dapat disebabkan oleh infeksi (misal: rubella, osteomielitis), trauma, obat-obatan (misal: thalidomide), kemoterapi atau radioterapi. Mutasi beberapa gen, seperti Msx1 atau Pax9 diketahui menyebabkan tidak tumbuhnya gigi permanen. Anodontia sering terlihat sebagai bagian gejala dari sebuah sindroma, terutama yang melibatkan anomali ektodermal (seperti sindroma 1
ectodermal dysplasia), dan juga pada beberapa kondisi non-sindrom seperti labioschisis dengan atau tanpa palatoschisis. Agenesis gigi kemungkinan disebabkan oleh defek beberapa gen, yang secara sendiri-sendiri atau bersamaan menyebabkan munculnya gejala. C. Klasifikasi 1. Hipodontia adalah keadaan dimana pada rahang tidak tumbuh 1-6 gigi. 2. Oligodontia adalah keadaan dimana lebih dari 6 gigi tidak tumbuh. 3. Anodontia adalah keadaan dimana semua gigi tidak tumbuh, dan lebih sering mengenai gigi-gigi tetap dibandingkan gigi-gigi sulung. Anodontia diklasifikasikan lagi menjadi : a.
Anodontia total adalah keadaan dimana pada rahang tidak ada lagi gigi susu maupun gigi tetap.
b.
Anodontia parsial adalah keadaan dimana pada rahang terdapat satu atau lebih gigi yang tidak tumbuh dan lebih sering terjadi pada gigi permanen daripada gigi susu.
D. Gambar
Gambar 2. Anodontia total (tidak tumbuh gigi sama sekali)
Gambar 3. Hipodontia (tidak tumbuh 1-6 gigi pada satu satu rahang)
2
Gambar 4. Oligodontia (lebih dari 6 gigi tidak tumbuh) E. Diagnosis2 Diagnosa anodontia biasanya membutuhkan pemeriksaan radiografik untuk memastikan memang semua benih gigi benar-benar tidak terbentuk. Pada kasus hypodontia, pemeriksaan radiografik panoramik berguna untuk melihat benih gigi mana saja yang tidak terbentuk.
Gambar 5. Pemeriksaan Radiografik Oligodontia F. Terapi2 Apabila diagnosa telah ditegakkan melalui pemeriksaan, terapi yang dapat dilakukan adalah pembuatan dan pemasangan gigi tiruan.
G. Daftar Pustaka 1. Institute
of
Dental
and
Craniofacial
Research.
2011.
Anodontia.
http://children.webmd.com/anodontia. [Diakses pada 14 januari 2013]
3
2. Wu, C.C., Wong, R.W., Hagg, U. 2007. A review of hypodontia: the possible etiologies and orthodontic, surgical and restorative treatment options— conventional and futuristic. Hong Kong Dent J. 4(2). 3. Ohno, K., Ohmori, I. 2000. Anodontia with hypohidrotic ectodermal dysplasia in a young female: a case report. Pediatric Dentistry. 22(1).
4
IMPACTED TEETH
A. Definisi1,2 Pengertian impacted teeth atau gigi impaksi telah banyak didefinisikan oleh para ahli. Menurut Grace, gigi impaksi adalah gigi yang mempunyai waktu erupsi yang terlambat dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk erupsi secara klinis dan radiografis. Menurut Londhe, gigi impaksi adalah keadaan dimana terhambatnya erupsi gigi yang disebabkan karena terhambatnya jalan erupsi gigi atau posisi ektopik dari gigi tersebut. Menurut Sid Kirchheimer, gigi impaksi adalah gigi yang tidak dapat erupsi seluruhnya atau sebagian karena tertutup oleh tulang, jaringan lunak atau kedua-duanya. B. Etiologi5 Gigi impaksi dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Berger, penyebab gigi terpendam antara lain sebagai berikut. 1. Kausa Lokal
Faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi adalah a. Posisi gigi yang abnormal b. Tekanan dari gigi tetangga pada gigi tersebut c. Penebalan tulang yang mengelilingi gigi tersebut d. Kekurangan tempat untuk gigi tersebut bererupsi e. Persistensi gigi desidui (tidak mau tanggal) f. Pencabutan prematur pada gigi g. Inflamasi kronis penyebab penebalan mukosa disekitar gigi h. Penyakit yang menimbulkan nekrosis tulang karena inflamasi atau abses i. Perubahan-perubahan pada tulang karena penyakit eksantem pada anak-anak. 2. Kausa Umur
Faktor umur dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi walaupun tidak ada kausa lokal antara lain: a. Kausa Prenatal, yaitu keturunan dan ―miscegenation‖. b. Kausa Postnatal, yaitu ricketsia, anemi, syphilis congenital, TBC, gangguan kelenjar endokrin, dan malnutrisi. c. Kelainan Pertumbuhan, yaitu Cleido cranial dysostosis, oxycephali, progeria, achondroplasia, celah langit-langit. 5
C. Klasifikasi3 Ada berbagai macam klasifikasi impaksi gigi. Menurut George Winter, gigi impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar ketiga terhadap gigi molar kedua. Berikut adalah gambaran impaksi gigi menurut klasifikasi George Winter.
Vertical Impaction
Distal Impaction
Soft Tissue Impaction
Mesial Impaction
Bony Vertical Impaction
Horizontal Impaction
Gambar 1. Klasifikasi impaksi gigi menurut George Winter Sedangkan Pell dan Gregory menggolongkan impaksi molar bagian mandibula menjadi 3 tipe: 1. Tipe A: berkaitan dengan hubungan gigi dengan ramus dan molar kedua. a. Kelas I: cukup ruang untuk tumbuhnya gigi molar ketiga. b. Kelas II: ruang untuk tumbuhnya molar ketiga kurang dari diameter mesiodistal gigi. c. Kelas III: seluruh atau sebagian besar gigi yang impaksi tertanam di rahang; tidak ada tempat untuk tumbuh gigi molar tiga. 2. Tipe B: berkaitan dengan kedalaman molar ketiga dalam tulang rahang. a. Posisi A: tinggi gigi impaksi sejajar dengan dataran oklusal gigi molar dua. b. Posisi B: tinggi gigi impaksi diantara dataran oklusal dan leher gigi molar dua. c. Posisi C: tinggi gigi dibawah leher gigi molar dua.
6
3. Tipe C: berkaitan dengan posisi aksis panjang gigi impaksi terhadap molar kedua seperti klasifikasi yang dikemukakan George Winter (The American Dental Association, 2004).
Gambar 2. Klasifikasi impaksi gigi menurut Pell dan Gregory Sumber: The American Dental Association, 2004 D. GAMBAR
Gambar 3. Radiografik panoramik impaksi gigi
7
E. Diagnosis Anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan ekstra oral dan pemeriksaan intra oral.Pada pemeriksaan ekstra oral, yang perlu diperhatikan adalah adanya pembengkakan, adanya pembesaran limfonodi (KGB) dan adanya parastesi. Pada pemeriksaan intra oral, yang menjadi perhatian adalah keadaan gigi erupsi atau tidak, adanya karies, perikoronitis, adanya parastesi, adanya abses gingival, posisi gigi tetangga, hubungan dengan gigi tetangga, ruang antara gigi dengan ramus (pada molar tiga mandibula). Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan radiografik. Jenis radiografi yang dapat digunakan, antara lain: 1. Periapikal, tomografi panoramik [atau oblique lateral] dan CT scan untuk gigi molar tiga rahang bawah 2. Tomografi panoramik [atau oblique lateral, atau periapikal yang adekuat] untuk gigi molar tiga rahang atas 3. Parallax film [dua periapikal atau satu periapikal dan satu film oklusal] untuk gigi kaninus rahang atas F. Terapi Tabel 1. Kriteria Perawatan Gigi Impaksi
Pencabutan gigi yang impaksi dengan pembedahan disebut odontektomi. 8
G. Daftar Pustaka 1. Universitas Sumatra Utara. 2011. Kaninus Impaksi. http://repository.usu.ac.id (Diakses pada 14 Januari 2013) 2. SOP Odontektomi. 2011. Prosedur Standar Odontektomi Gigi Impaksi. http://image.dentistalit.multiply.multiplycontent.com/ (Diakses pada 14 Januari 2013) 3. Paul, T. 2009. Management of Impacted Teeth. http://faculty.ksu.edu.sa/Falamri/Presentations/Impacted-teeth.pdf. (Diakses pada 14 Januari 2013) 4. Obiechina, A.E., Arotiba, J.T., Fasola, A.O. 2001. Third Molar Impaction: Evaluation of the symptoms and pattern of impaction of mandibular third molar teeth in Nigerians. Odonto Stomatologie Tropicale. Abdullah,
W.A.
Presentation
Slide:
Impacted
Teeth.
http://www.scribd.com/doc/14186403/Impacted-Teeth (Diakses pada 14 Januari 2013)
9
MALOCCLUSSION A. Definisi1,2 Oklusi adalah kontaknya permukaan oklusal gigi geligi di rahang atas dengan permukaan oklusal gigi geligi oklusal di rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang bawah menutup. Oklusi terjadi karena adanya interaksi antara dental system, skeletal system, dan muscular system. Malocclussion (maloklusi) adalah bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi juga berarti kelainan ketika gigi-geligi atas dan bawah saling bertemu ketika menggigit atau mengunyah. Maloklusi dapat berupa kondisi ―bad bite‖ atau sebagai kontak gigitan menyilang (crossbite), kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), adanya ruamg kosong antargigi (spacing) posisi gigi maju ke depan (protusi). B. Etiologi2 Etiologi maloklusi dibagi atas dua golongan yaitu faktor luar atau faktor umum dan faktor dalam atau faktor lokal. Hal yang termasuk faktor luar yaitu herediter, kelainan kongenital, perkembangan atau pertumbuhan yang salah pada masa prenatal dan posnatal, malnutrisi, kebiasaan jelek, sikap tubuh, trauma, dan penyakit-penyakit dan keadaan metabolik yang menyebabkan adanya predisposisi ke arah maloklusi seperti ketidakseimbangan kelenjar endokrin, gangguan metabolis, penyakit-penyakit infeksi. Hal yang termasuk faktor dalam adalah anomali jumlah gigi seperti adanya gigi berlebihan (dens supernumeralis) atau tidak adanya gigi (anodontis), anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum labii yang abnormal, kehilangan dini gigi desidui, persistensi gigi desidui, jalan erupsi abnormal, ankylosis dan karies gigi. C. Klasifikasi2 Maloklusi digolongkan dalam 3 jenis, yaitu: 1. Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-giginya mengalami penyimpangan. 2. Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang. 3. Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot, sehingga timbul gangguan saat dipakai untuk mengunyah 10
Edward Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam 3 kelas, antara lain: 1. Kelas I: Neutroklusi Puncak bonjol mesiobukal gigi molar pertama tetap rahang atas berada pada buccal groove dari molar pertama tetap rahang bawah. Gigi molar hubungannya normal, dengan satu atau lebih gigi anterior malposisi. Crowding atau spacing mungkin terlihat. Ketidakteraturan gigi paling sering ditemukan di regio rahang bawah anterior, erupsi bukal dari kaninus atas, rotasi insisif dan pergeseran gigi akibat kehilangan gigi
Gambar 1. Neutroklusi 2. Kelas II: Distoklusi Molar pertama tetap rahang atas terletak lebih ke mesial daripada molar pertama tetap rahang bawah atau puncak bonjol mesiobukal gigi molar pertama tetap rahang atas letaknya lebih ke anterior daripada buccal groove gigi molar pertama tetap rahangbawah.
Gambar 2. Distoklusi 3. Kelas III: Mesioklusi Gigi molar pertama tetap rahang atas terletak lebih ke distal dari gigi molar pertama tetep rahang bawah atau puncak bonjol mesiobukal gigi molar pertama tetap rahang atas letaknya lebih ke posterior dari buccal groove gigi molar pertama tetap rahang bawah. 11
Gambar 3. Klasifikasi malocclusion: (A) Normal occlusion; (B) Class I malocclusion; (C) Class II malocclusion; (D) Class III malocclusion D. Gambar
Gambar 4. Maloklusi
E. Diagnosis Tanda yang dapat ditemukan pada pasien maloklusi yaitu: kelengkungan gigi yang abnormal, tampilan wajah yang terlihat ganjil, kesulitan atau merasa tidak
12
nyaman ketika menggigit dan mengunyah makanan, susah berbicara/ pengucapan yang ganjil, dan bernafas lewat mulut karena bibir yang sulit menutup. Biasanya kelainan oklusi ditemukan saat pemeriksaan rutin gigi. Dokter gigi akan mengecek seberapa keadaan oklusi dari gigi atas dan bawah. Bila ditemukan kelainan, akan dirujuk kepada ahli orthodonti untuk mendiagnosis dan menatalaksana. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah radiografik gigi, kepala, dan wajah. F. Terapi Alat cekat gigi, lazim disebut kawat gigi, dapat digunakan untuk mengoreksi posisi gigi. Jangka waktu penggunaan alat cekat bervariasi, dari 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung pada keparahan kasus. Pembedahan dilakukan pada kasus yang jarang, terutama untuk memperbaiki posisi rahang, proses ini disebut bedah orthognatik. Adalah penting untuk menjaga kebersihan gigi dan rongga mulut setiap hari serta kontrol rutin ke dokter gigi. Plak dapat terakumulasi pada alat cekat sehingga meninggalkan tanda permanen di gigi dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan gigi bila tidak ditangani. Setelah posisi gigi terkoreksi, alat cekat digantikan retainer untuk mempertahankan posisi gigi yang baru. Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan alat cekat adalah kerusakan gigi, ketidaknyamanan saat perawatan, iritasi mulut dan gusi karena alat cekat, dan susah menelan atau berbicara selama penggunaan alat cekat. Band:
cincin
ditempatkan
logam di
kecil gigi
yang untuk
mencengkeram kawat gigi. Buccal tube: logam kecil yang dilas pada facies bucal molar. Buccal tube terdiri kawat melengkung (archwires), lip bumper, facebows, dan alat-alat lain untuk menggerakkan gigi. Bracket: dibuat dari logam
atau
porselen yang ditempelkan pada gigi untuk mengencangkan kawat gigi (arch wires). Ligating module: karet plastik kecil berbentuk
lingkaran
untuk
mencengkeram kawat di braket gigi.13
Niti spring: kumparan pegas nitinol digunakan untuk mengoreksi masalah tulang rahang pasien (untuk menambah panjang rahang pasien yang masih berusia muda). Arch Wire: kawat logam yang menempel pada braket untuk menggerakkan gigi. G. Sumber Pustaka 1. Susanto C. 2010. Need dan Demand serta Akibat dari Maloklusi pada Siswi SMU Negeri 1 Binjai. Medan, Universitas Sumatera Utara. Skripsi. 2. Gallois R. 2006. Classification of Malocclusion. http://www.columbia.edu/itc/hs/dental/D5300/Classification%20of%20Malocclus ion%20GALLOIS%2006%20final_BW.pdf. [Diakses pada 14 januari 2013].
14
MICROGNATHIA DAN MACROGNATHIA
MICROGNATHIA A. Definisi1 Micrognathia merupakan istilah untuk menyebut rahang yang lebih kecil dari ukuran normal. Dalam kasus ini baik maksila maupun mandibula dapat terkena. Biasanya ditemukan bersamaan dengan microglossi (lidah kecil). Jika micrognathia, microglossi dan celah pada pallatum molle terjadi bersamaan disebut Sindroma Pierre Robin. Secara garis besar, micrognathia dibagi menjadi: (1) Apparent micrognathia; (2) True micrognathia. B. Etiologi1 Secara garis besar, etiologi micrognathia dibagi menjadi: 1. Kongenital: biasanya etiologi tidak diketahui secara pasti, namun diduga ada hubungannya dengan kelainan kromosom, obat teratogenik dan sindrom genetik lain. 2. Didapat: tipe micrognathia dapatan biasanya terjadi pada trauma post natal dan sebagai akibat dari gangguan area TM Joint (Ankylosis) C. Klasifikasi1 Micronagthia dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Micronagthia sejati (true micrognathia), adalah keadaan di mana rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia rahang. 2. Micronagthia palsu (apparent micrognathia), adalah keadaan jika terlihat salah satu posisi rahang terletak lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan mandibula. D. Gambar
15
E. Diagnosa Biasanya penderita micrognatia mengalami masalah dengan estetika, oklusi, pernapasan, dan pemberian makan pada bayi F. Terapi Terapi yang direkomendasikan yakni operasi orthognathic untuk memperluas maksila dan mandibula. G. Sumber Pustaka 1. Patel, A. 2009. The Developmental Disturbences of Jaws. http://www.scribd.com/doc/44674594/The-Developmental-Disturbences-of-Jaws [Diakses pada 14 januari 2013].
16
MACROGNATHIA A. Definisi1 Istilah macrognathia mengarah pada kondisi di mana ukuran rahang lebih dari normal. Macrognathia juga disebut dengan megagnitia. Macrognathia memiliki gambaran klinis yaitu dagu berkembang lebih besar. Sebagian besar macrognatia tidak menyebabkan terjadinya maloklusi. B. Etiologi1 Macrognatia disebabkan oleh gigantisme pituitari, Paget’s disease pada tulang, akromegali dan pada beberapa bentuk displasia fibrosa. C. Gambaran Klinis1 Sering tampak mandibula lebih menonjol keluar karena adanya perbedaan ukuran maksila dan mandibula. Mandibula sering lebih besar dari normal sehingga juga menambah panjang dari mandibula. Ukuran ramus mandibula juga lebih besar dari normal. D. Gambar
E. Diagnosis Biasanya penderita micrognatia mengalami masalah dengan estetika, oklusi, pernapasan, dan pemberian makan pada bayi F. Terapi Terapi yang direkomendasikan yakni operasi orthognathic untuk mengecilkan maksila dan mandibula. G. Sumber Pustaka 1. Patel, A. 2009. The Developmental Disturbences of Jaws. http://www.scribd.com/doc/44674594/The-Developmental-Disturbences-of-Jaws [Diakses pada 14 Januari 2013]. 17
LABIAL DAN PALATAL CLEFT
A. Definisi1 Bibir sumbing (labial cleft) adalah kelainan berupa celah pada bibir atas yang didapatkan seseorang sejak lahir. Bila celah berada pada bagian langit-langit rongga mulut (palate), maka kelainan ini disebut cleft palate. Pada cleft palate, celah akan menghubungkan langit-langit rongga mulut dengan rongga hidung. Sekitar 98,8% dari facial cleft didominasi oleh labial cleft dengan atau tanpa palate cleft, bilateral maupun unilateral. Sekitar 50-70% kasus labial dan palatal cleft berdiri sendiri tanpa ada sindrom penyerta.
Labial dan palatal cleft dibandingkan dengan kondisi normal B. Etiologi1 Secara garis besar, penyebab labial dan palatal cleft dibagi menjadi dua, yaitu genetik dan lingkungan. Resiko seorang anak terkena labial dan palatal cleft sekitar 4% jika salah satu orang tua atau salah satu saudara juga menderita labial dan palatal cleft. Namun resiko ini meningkat menjadi 17% apabila keduanya (salah satu orang tua dan salah satu saudara) terkena.Peningkatan resiko tersebut mengindikasikan adanya faktor genetik sebagai salah satu komponen etiologi. 18
Faktor lingkungan di dalam kandungan juga berperan penting pada kejadian labial dan palatal cleft. Defisiensi suplemen gizi maupun paparan zat teratogenik dapat meningkatkan kejadian labial dan palatal cleft. Suplementasi gizi dengan vitamin B6 dan asam folat selama trimester pertama kehamilan terbukti menurunkan resiko terjadinya rekurensi pada wanita yang sebelumnya melahirkan anak dengan labial dan palatal cleft. Teratogen yang dihubungkan dengan kejadian ini termasuk kortison, antikonvulsan seperti fenitoin, salisilat, aminopterin, organik solvents, alkohol, merokok, diabetes melitus maternal, rubela, dan usia dari orang tua. Merokok selama kehamilan merupakan faktor resiko yang paling jelas pada kejadian labial dan palatal cleft. Merokok dapat menyebabkan polimorfisme gen TGF-alfa yang kemudian dapat meningkatkan resiko kejadian palatal cleft. Secara statistik, ditemukan peningkatan signifikan dari laktat dehidrogenase dan kreatin fosfokinase pada cairan amnion fetus dengan labial/palatal cleft. C. Gambar
Labioschisis
Palatoschisis
Labiopalatoschisis
D. Diagnosis Tanda yang paling jelas adalah adanya celah pada bibir atas atau langit-langit rongga mulut. Bayi dengan cleft lip dapat mengalami kesulitan saat menghisap ASI karena sulitnya melakukan gerakan menghisap. Kesulitan ini dapat diatasi dengan penggunaan botol khusus yang direkomendasikan oleh dokter gigi spesialis gigi anak dan dokter spesialis anak, tentunya disesuaikan dengan tingkat keparahan kasus cleft palate juga dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Besarnya cleft bukan indicator seberapa serius gangguan dalam berbicara, bahkan cleft yang kecil pun dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Anak dapat memperbaiki kesulitannya dalam berbicara setelah menjalani terapi bicara, walaupun kadang tindakan operasi tetap diperlukan untuk memperbaiki fungsi langit-langit rongga mulut.
19
Anak dengan cleft kadang memiliki gangguan dalam pendengaran. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya infeksi yang mengenai tuba Eustachia (saluran yang menghubungkan telinga dengan rongga mulut). Semua telinga anak normal memproduksi cairan telinga yang kental dan lengket. Cairan ini dapat menumpuk di belakang gendang telinga. Adanya cleft dapat meningkatkan kemungkinan terbentuknya cairan telinga ini, sehingga menyebabkan gangguan atau bahkan kehilangan pendengaran sementara. Biasanya cleft palate dapat mempengaruhi pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang darigigi-geliginya. Susunan gigi-geligi dapat menjadi berjejal karena kurang berkembangnya rahang. E. Terapi Perawatan dapat dilakukan sejak bayi lahir oleh tim dokter khusus yang mencakup doktergigi spesialis bedah mulut, dokter spesialis bedah plastik, ahli terapi bicara, audiologist (ahli pendengaran), dokter spesialis anak, dokter gigi spesialis gigi anak. Operasi untuk menutup celah di bibir sudah dapat dilakukan pada saat bayi berusia lebih dari 10 minggu, memiliki berat badan minimal 4,5 kg, dan Hb sekurnagkurangnya 10 mg/dl. Sedangkan operasi untuk menutup celah pada langit-langit rongga mulut dapat dilakukan pada usia kira-kira >6 bulan atau sebelum anak mulai bicara untuk mencegah terganggunya perkembangan bicara. Di amerika dan eropa, operasi ini paling banyak dilakukan saat usia 8-12 bulan. Kedua operasi tersebut dilakukan dengan bius total. Saat anak bertambah dewasa, operasi-operasi lain mungkin diperlukan untuk memperbaiki penampilan dari bibir dan hidung serta fungsi dari langit-langit rongga mulut. Jika ada celah pada gusi, biasanya dapat dilakukan bone graft (implant tulang). Untuk memperbaiki kesulitan dalam berbicara, anak nantinya dapat menjalani terapi bicara dengan ahli terapi bicara. Dokter gigi spesialis anak dan orthodontis dapat memberikan perawatan yang berkaitan dengan perawatan gigi-geligi anak dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar tidak timbul kelainan-kelainan lain pada rongga mulut.
F. Sumber Pustaka 1. Naidich, T., Blaser, S., Bauer, B., Armstrong, D., McLone, D., Zimmerman, R. 2003. Section I: Sinonasal Cavities. Mosby Anatomy Book. Mosby Inc. 2. Prater, E, Friedman, R. 2000. Cleft Lip, Alveolus, and Palate. UTMB Otolaryngology Grand Rounds Presentation. 20
DEBRIS
A. Definisi Debris merupakan materi lunak yang terdapat pada gigi yang terdiri dari biofilm, materi alba, dan sisa makanan. Debris dibedakan menjadi food retention (sisa makanan yang mudah dibersihkan dengan air liur, pergerakan otot-otot mulut, berkumur, atau dengan menyikat gigi) dan food impaction (makanan yang terselip dan tertekan di antara gigi dan gusu, biasanya hanya dapat dibersihkan dengan dental floss / benang gigi atau tusuk gigi). B. Gambar
Debris C. Diagnosis Pemeriksaan debris menggunakan Debris Index yaitu skor dari endapan lunak yang terjadi karena ada sisa makanan yang melekat pada gigi penentu. Gigi penentu tersebut adalah: pada rahang atas terdiri dari gigi 6 kanan kiri permukaan bukal dan gigi 1 kanan permukaan lingual, sedangkan pada rahang bawah terdiri dari gigi 6 kanan kiri permukaan lingual dan gigi 1 kiri permukaan labial. Kriteria perhitungan Debris Index ini sebagai berikut : 1. Nilai 0, jika tidak ada debris pada sonde setelah digoreskan ke permukaan sepertiga cervical. 2. Nilai 1, jika terdapat debris pada sepertiga permukaan gigi. 3. Nilai 2, jika terdapat debris lebih dari sepertiga tetapi tidak lebih dari dua pertiga permukaan gigi. 4. Nilai 3, jika terdapat debris di lebih dari dua pertiga permukaan gigi.
21
Gambar 1. Skor Debris Index D. Terapi Penatalaksaan dan pencegahan debris yakni menjaga kebersihan gigi.Ada berbagai alat untuk membersihkan gigi.Alat yang utama yaitu sikat gigi.Hampir setiap orang tentunya sudah mengetahui mengenai sikat gigi, baik bentuk maupun ukurannya.Selain sikat gigi sebenarnya masih terdapat beberapa alat yang dapat dipakai untuk membersihkan bagian-bagian tertentu dari gigi, sehingga dapat tercapai kebersihan gigi yang optimal pada gigi khususnya serta kebersihan mulut pada umumnya. Alat bantu pembersih gigi selain sikat gigi adalah benang gigi (dental floss). Dental floss merupakan benang yang terbuat dari silk atau nilon dan dipergunakan untuk membersihkan bagian gigi yang terletak di bawah kontak dua gigi. Seseorang yang akan mempergunakan benang gigi harus diberi instruksi dulu mengenai cara penggunaannya, agar tidak melukai gusi. Ada 2 macam benang gigi yaitu yang menggunakan tangkai sebagai pemegang dan yang tanpa tangkai pemegang. Berikut adalah teknik penggunaan benang gigi : jika benang giginya dengan tangkai pemegang maka tangkainya dipegang lalu benang giginya dimasukkan perlahan-lahan di antara 2 gigi sampai ke bawah titik kontak, kemudian digerakkan ke depan dan ke belakang setelah itu benang giginya dikeluarkan. Jika benang giginya tanpa tangkai pemegang, maka benang gigi diambil lebih kurang 25 cm lalu ditekan pada ibu jari dan telunjuk jari kanan untuk membersihkan gigi-gigi atas di kuadran kiri.Sedangkan untuk gigi-gigi atas di kuadran kanan, jari-jari yang dipergunakan merupakan kebalikan dari yang kiri.Untuk gigi-gigi bawah, baik kuadran kanan maupun kiri, tekanan benang gigi terletak pada petunjuk jari kanan dan kiri. Kemudian benang gigi dimasukkan perlahan-lahan di antara 2 gigi dan untuk selanjutnya sama dengan yang mempergunakan tangkai pemegang. Penggunaan
22
benang gigi, apalagi yang tanpa tangkai pemegang, memang agak sulit.Diperlukan latihan yang terus-menerus untuk membiasakan dalam penggunaannya. E. Sumber Pustaka 1. Purba, TR. 2011. Perilaku kebersihan gigi dan perbedaan status oral higiene murid kelas V SD di daerah rural Kecamatan Pantai Cermin dan daerah urban Kecamatan Medan Barat. Medan : USU.
23
PLAQUE
A. Definisi1 Plak gigi adalah deposit lunak terakumulasi pada gigi. Plak gigi terdiri dari biofilm bakteri (> 1010 bakteri/mg), sel epitel, leukosit, makrofag, matriks ekstraseluler yang terbentuk dari produk bakteri dan saliva, serta komponen anorganik seperti kalsium dan fosfor yang terdapat pada saliva. Plak yang mengalami kalsifikasi akan membentuk kalkulus. Plak yang tidak dibersihkan dapat menyebabkan cavitas (caries) atau gangguan periodontal seperti ginggivitis dan periodontitis. B. Etiologi1 Plaque merupakan kumpulan dari koloni bakteri dan mikroorganisme lainnya yang bercampur dengan produk-produknya, sel-sel mati dan sisa makanan. Metabolisme anaerob menghasilkan asam yang menyebabkan : 1. Demineralisasi permukaan gigi 2. Iritasi gusi di sekitar gigi ginggivitis (merah, bengkak, gusi berdarah) 3. Plaque gigi dapat termineralisasi dan membentuk calculus. Proses pembentukan plak dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu pembentukan pelikel, kolonisasi awal pada permukaan gigi serta kolonisasi sekunder dan pematangan plak. Pembentukan pelikel pada dasarnya merupakan proses perlekatan protein dan glikoprotein saliva pada permukaan gigi. Pelikel tersebut berasal dari saliva dan cairan sulkular. Pada fase awal permukaan gigi atau restorasi akan dibalut oleh pelikel glikoprotein. Kolonisasi awal pada pemukaan gigi di permukaan enamel dalam 3-4 jam didominasi oleh mikroorganisme fakultatif gram positif, seperti Streptokokus sanguins, Streptokokus mutans, Streptokokus mitis, Streptokokus salivarius, Actinomyces viscosus dan Actinomyces naeslundii.Pengkoloni awal tersebut melekat ke pelikel dengan bantuan adhesion, yaitu : molekul spesifik yang berada pada permukaan bakteri. Pada tahap kolonisasi sekunder dan pematangan plak, plak akan meningkat jumlahnya setelah kolonisasi awal permukaan gigi melalui dua mekanisme terpisah, yaitu multiplikasi dari bakteri yang telah melekat pada permukaan gigi dan multiplikasi serta perlekatan lanjut bakteri yang ada dengan bakteri baru.
24
C. Gambar
D. Diagnosis Alat bantu untuk mencatat distribusi plak gigi pada permukaan gigi dinamakan indeks plak. Salah satu indeks plak gigi adalah indeks plak Loe and Silness yang dimodifikasi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan kaca mulut dan sonde halfmoon, dengan cara menggoreskan sonde halfmoon pada permukaan gigi. Penilaian indeks plak setiap area diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai dari keempat permukaan setiap gigi. Jumlah nilai indeks plak setiap area dibagi empat, maka diperoleh indeks plak untuk gigi. Sedangkan nilai indeks plak setiap orang diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai indeks plak setiap gigi kemudian dibagi dengan banyaknya gigi yang diperiksa. Skor plak gigi (Loe and Silness, 1964): 0
:
tidak ada plak
1
:
plak tidak terlihat mata (terdapat selapis plak pada daerah ginggiva yang dapat diketahui dengan cara menggoreskannya dengan sonde atau disclosing sollution).
2
:
penimbunan plak dalam jumlah sedang yang dapat terlihat dengan jelas.
3
:
penimbunan plak dalam jumlah besar yang mengisi daerah antara permukaan gigi dan tepi ginggiva.
Kategori skor plak Loe and Silness: 0
: sangat baik
0,1 - 0,9
: baik
1,0 - 1,9
: sedang
2,0 - 3,0
: buruk
25
Perbedaan Antara Debris dan Plaque Debris
plaque
Merupakan kumpulan dari materi lunak yang
merupakan kumpulan dari koloni bakteri dan
terdiri dari sisa makanan (food retension) dan
mikroorganisme lainnya yang bercampur
makanan yang terselip (food impaction)
dengan produk-produknya, sel-sel mati dan sisa makanan
Terdiri dari biofilm, materi alba, dan sisa
Terdiri dari biofilm bakteri, sel epitel,
makanan
leukosit, makrofag, matriks ekstraseluler serta komponen anorganik
Terdapat debris pada sonde (debris terangkat
Terasa tahanan pada penggesekan dengan
dengan penggesekan sonde)
sonde tapi plaque tidak terangkat dengan sonde
E. Terapi Cara yang paling umum dan murah adalah sikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung flouride, minimal 2 kali dalam sehari. Cara lain untuk menghindari plaque adalah dengan mengatur pola makan misalnya dengan mengurangi konsumsi makanan seperti roti dan coklat. F. Daftar Pustaka 1. Rifki A. 2010. Perbedaan Efektifitas Menyikat Gigi dengan Metode Roll dan Horizontal Pada Anak Usia 8 dan 10 Tahun di Medan. Medan, Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
26
CALCULUS
A. Definisi1 Calculus atau yang lebih sering disebut sebagai karang gigi adalah lapisan kerak berwarna kuning yang menempel pada gigi dan terasa kasar, yang dapat menyebabkan masalah pada gigi. Lapisan kerak yang terbentuk adalah hasil mineralisasi plak gigi dan melekat erat mengelilingi mahkota dan akar gigi. Tidak adanya komposisi tetap dari calculus gigi karena calculus dipengaruhi oleh berbagai faktor lokal seperti: 1. Konsentrasikalsiumdanfosfat 2. Jumlah relatif darimasing-masing ion pembentuk calculus 3. pH 4. Adanyajenis ion pembentuk lain seperti magnesium B. Etiologi dan Patogenesis2 Bakteri aktif penyebab karang gigi yaitu streptococcus dan anaerob yang mengubah glukosa dan karbohidrat pada makanan menjadi asam. Kombinasi bakteri, asam, sisa makanan dan air liur dalam mulut membentuk suatu subtansi berwarna kekuningan
yang
melekat
pada
permukaan
gigi
yang
disebut
plak.
Karang gigi (kalkulus) adalah plak yang telah mengalami pengerasan, kalsifikasi atau remineralisasi. Kalkulus terbentuk dari dental plak yang mengeras pada gigi dan menetap dalam waktu yang lama. Dental plak merupakan tempat ideal bagi mikroorganisme mulut, karena terlindung dari pembersihan alami oleh lidah maupun saliva. Akumulasi plak juga dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi gusi yang gingivitis. Jika akumulasi plak terlalu berat, maka dapat menyebabkan periodontis. Oleh karenanya plak sering disebut juga sebagai penyebab primer penyakit periodontis. Selain itu, kalkulus pada gigi membuat dental plak melekat pada gigi atau gusi yang sulit dilepaskan hingga dapat memicu pertumbuhan plak selanjutnya. Karena itu kalkulus disebut juga sebagai penyebab sekunder periodontitis. Diketahui ada dua macam kalkulus menurut letaknya terhadap gingival margin yaitu kalkulus supragingival dan kalkulus subgingival. Kalkulus supragingival terbentuk di atas gusi, atau pada sulcus, yaitu saluran antara gusi dan gigi. Warna kalkulus supraginggival putih kekuning-kuningan dan distribusinya dipengaruhi oleh 27
muara duktus saliva mayor. Ketika terjadi plak supragingival, maka bakteri yang terkandung di dalamnya hampir semuanya merupakan bakteri aerobik, atau bakteri yang dapat hidup di lingkungan penuh oksigen. Kalkulus subgingival, terutama terdiri dari bakteri anaerobik, yaitu bakteri yang tidak dapat hidup pada lingkungan yang mengandung oksigen karena terletak di bawah margin ginggiva. Bakteri anaerobik inilah yang berbahaya bagi gusi dan jaringan yang menempel pada gigi, yang menimbulkan periodontitis. Pada umumnya, orang yang mengalami periodontitis memiliki deposit kalkulus subgingival. C. Gambar
D. Diagnosis Calculus dihitung menggunakan Calculus Index Simplified (CI-S). Gigi yang diperiksa sama dengan pemeriksaan debris. Kriteria perhitungan sebagai berikut: 1. Nilai 0, jika tidak terdapat calculus 2. Nilai 1, jika terdapat calculus supraginggiva pada 1/3 permukaan gigi. 3. Nilai 2, jika terdapat calculus supraginggiva lebih dari 1/3 tetapi tidak lebih dari dua pertiga permukaan gigi atau terdapat titik calculus subginggiva pada cervical gigi. 4. Nilai 3, jika terdapat calculus supraginggiva lebih dari dua pertiga permukaan gigi atau terdapat calculus subginggiva disepanjang cervical gigi.
28
Derajat Calculus
MenghitungCalculusIndeks (CI-S) CI –S = Jumlahnilai calculus/ Jumlahgigi yang diperiksa Kriteria CI adalahsebagaiberikut : 0,0-0,6
= Baik
0,7-1,8
= Sedang
1,9-3,0
= Buruk Calculus Indeks Simplified (CI-S) dihitungbersamadenganDebrisIndeks
Simplified (DI-S) untukmenentukankebersihan mulut seseorangataubiasadisebutOral Hygiene Simplified (OHI-S) dari Greene dan Vermillion. OHI-S = DI-S + CI-S Tingkat kebersihan mulutsecara klinis pada OHI-S dapat dikategorikan sebagai berikut :
0,0-1,2
= Baik
1,3 -3,0
= Sedang
3,1-6,0 E. Terapi
= Buruk
Untuk menghilangkan dental plak dan kalkulus perlu dilakukan scaling atau root planing, yang merupakan terapi periodontal konvensional atau non-surgikal. Terapi ini selain mencegah inflamsi juga membantu periodontium bebas dari penyakit. Prosedur scaling menghilangkan plak, kalkulus, dan noda dari permukaan gigi maupun akarnya. Prosedur lain adalah root planing, terapi khusus yang menghilangkan cementum dan permukaan dentin yang ditumbuhi kalkulus, mikroorganisme, serta racun-racunnya. Scalling dan root planning digolongkan sebagai deep cleaning, dan dilakukan dengan peralatan khusus seperti alat ultrasonik, seperti periodontal scaler dan kuret. 29
Setelah dilakukan proses scaling dan planing dapat diberikan antibiotik atau penggunaan obat kumur untuk mengontrol terjadinya infeksi dan mendorong perbaikan pada gigi. Antibiotik atau obat kumur juga dapat direkomendasikan untuk mengontrol pertumbuhan bakteri yang dapat menyebabkan periodontitis. F. Sumber Pustaka 1. Lelyati S. 1996. Kalkulus Hubungannya dengan Penyakit Periodontal dan Penanganannya. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08KalkulusHubungannyadenganPenyakitPeriod ontal113.pdf/08KalkulusHubungannyadenganPenyakitPeriodontal113.html.
[Diakses pada 15 Januari 2013]. 2. Susanto
A.J.
2009.
Penyakit
Periodontal
(Periodontal
Disease).
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/ae42e86e5d487ac19eb4c258acfc6ef7 f0e6f9ca.pdf. [Diakses pada 15 Januari 2013].
30
DENTAL DECAY
A. Definisi Karies gigi adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam microbial dari substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas. Dengan perkataan lain, dimana prosesnya terjadi terus berjalan ke bagian yang lebih dalam dari gigi sehingga membentuk lubang yang tidak dapat diperbaiki kembali oleh tubuh melalui proses penyembuhan, pada proses ini terjadi demineralisasi yang disebabkan oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada permukaan gigi dan waktu (Susanto, 2009).
B. Etiologi Karies gigi disebabkan oleh 4 faktor atau komponen yang saling berinteraksi yaitu: 1. Komponen dari gigi dan air ludah (saliva) yang meliputi: komposisi gigi,
morphologi gigi, posisi gigi, pH saliva, kuantitas saliva, kekentalan saliva. 2. Komponen mikroorganisme yang ada dalam mulut yang mampu menghasilkan
asam melalui peragian yaitu: Streptococcus, Laktobasilus. Bakteri tersebut meyebabkan terjadinya karies karena mempunyai kemampuan untuk : a. Membentuk asam dari substrat (asidogenik). b. Menghasilkan kondisi dengan pH rendah (<5). c. Bertahan hidup dan memproduksi asam terus menerus pada kondisi dengan pH yang rendah (asidurik). d. Melekat pada permukaan licin gigi. e. Menghasilkan polisakarida tak larut dalam saliva dan cairan dari makanan guna membentuk plak f. Komponen
makanan,
yang
sangat
berperan
adalah
makanan
yang
mengandung karbohidrat misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam. g. Komponen waktu. Kemampuan saliva untuk meremineralisasi selama proses karies, menandakan bahwa roses tersebut terdiri atas periode perusakan dan perbaikan yang silih berganti, sehingga bila saliva berada dalam lingkungan
31
gigi, maka karies tidak akan menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam hitungan bulan.
C. Patogenesis Enamel adalah jaringan keras yang kaya akan mineral. Karies dapat terjadi pada enamel melalui proses kimiawi yaitu lingkungan asam yang diproduksi oleh bakteri. Gula akan dicerna oleh bakteri dan energi yang dihasilkan akan dipakai bakteri untuk memproduksi asam laktat. Asam laktat akan menyebabkan demineralisasi kristal hidroksiapatit pembentuk enamel. Karies enamel yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi karies dentin. Dentin terdiri dari saluran-saluran mikroskopis (tubula dentin) yang menghubungkan pulpa dengan enamel. Bentukan tubula dentin inilah yang menyebabkan karies dentin berkembang lebih cepat. Ketika ada infeksi bakteri, dentin menghasilkan immunoglobulin sebagai mekanisme pertahanan. Sementara itu juga terjadi peningkatan mineralisasi di dentin. Kedua keadaan ini menyebabkan konstriksi tubula dentin sehingga penyebaran bakteri terhalang. Bila demineralisasi terus berlangsung, karies dapat berkembang ke profunda dan mencapai rongga pulpa.
32
D. Klasifikasi Karies gigi bisa diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan kedalamannya. 1. Karies berdasarkan lokasi permukaan kunyah dapat dibagi : a. Karies oklusal b. Karies labial c. Karies bukal d. Karies palatal/lingual e. Karies aproksimal f. Karies kombinasi (Mengenai semua permukaan) 2. Pembagian lain dari karies berdasarkan lokasi: a. Karies yang ditemukan di permukaan halus Ada tiga macam karies permukaan halus: 1. Karies proksimal, adalah tipe yang paling sulit dideteksi; tidak dapat dideteksi secara visual atau manual dengan sebuah explorer gigi; memerlukan pemeriksaan radiografi.
(titik hitam pada batas gigi menunjukkan sebuah karies proksimal)
2. Karies akar, adalah tipe karies yang sering terjadi; terbentuk ketika permukaan akar telah terbuka karena resesi gusi. Bila gusi sehat, karies ini tidak akan berkembang karena tidak dapat terpapar oleh plak bakteri. Permukaan akar lebih rentan terkena proses demineralisasi daripada enamel atau email karena sementumnya demineralisasi pada pH 6.7, di mana lebih tinggi dari enamel. Gigi geraham atas adalah lokasi tersering dari karies akar. 33
b. Karies celah atau fisura. 3. Karies berdasarkan kedalamannya a. Karies superficial, karies yang hanya mengenai email. Biasanya pasien belum mengeluh rasa sakit.
b. Karies media, mengenai email dan telah mencapai setengah dentin. Keadaan ini menyebabkan reaksi hiperemi pada pulpa.
c. Karies profunda, mengenai lebih dari setengah dentin dan bahkan menembus pulpa.
E. Gambar
34
F. Diagnosis 1. Karies dini/karies email tanpa cavitas yaitu karies yang pertama terlihat secara klinis, berupa bercak putih setempat pada email. Anamnesis
: terdapat bintik putih pada gigi
Pemeriksaan Objektif
: ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral
: kavitas (-), lesi putih (+)
Terapi
: pembersihan gigi, diulas dengan flouredukasi pasien/ Dental Health Education
2. Karies dini/karies email dengan kavitas yaitu karies yang terjadi pada email sebagai lanjutan dari karies dini.
Anamnesa
: gigi terasa ngilu
Pemeriksaan objektif
: ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral
: kavitas (+) baru mengenai email
Terapi
: dengan penambalan
3. Karies dengan dentin terbuka/dentin hipersensitif yaitu peningkatan sensitive akibat terbukanya dentin. Anamnesa
: - kadang-kadang terasa ngilu saat makan, minum air dingin - rasa ngilu hilang setelah rangsangan dihilangkan - tidak ada rasa sakit spontan
Pemeriksaan objektif
: ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral
: kavitas mengenai email
Terapi
: dengan penambalan.
G. Terapi Penataksanaan karies gigi ditentukan oleh stadium saat karies terdeteksi: 1. Penambalan (filling) dilakukan untuk mencegah progresi karies lebih lanjut. Penambalan biasa yang dilakukan pada karies yang ditemukan pada saat iritasi atau hiperemia pulpa. 2. Perawatan saluran akar (PSA) atau root canal treatment dilakukan bila sudah terjadi pulpitis atau karies sudah mencapai pulpa. Setelah dilakukan PSA, dibuat restorasi. 3. Ektraksi gigi merupakan pilihan terakhir dalam penatalaksanaan karies gigi, ekstraksi yang telah diekstraksi perlu diganti dengan pemasangan gigi palsu (denture), implant atau jembatan (brigde). Pencegahan karies gigi: 35
1. Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene) dengan baik dengan a. menggosok gigi dengan benar dan teratur b. flossing c. obat kumur (mouthwash) d. memeriksakan gigi 2 kali setahun 2. Diet rendah karbohidrat 3. Fluoride melalui pasta gigi, mouthwash, suplemen, air minum, gel fluoride. 4. Penggunaan pit and fissure sealant (dental sealant).
H. Sumber Pustaka 1. Kidd, Edwina A.M. 1992. Dasar-Dasar Karies. Jakarta : EGC.
36
PULPITIS
A. Definisi Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri. Pulpa terdiri dari pembuluh darah dan jaringan saraf, sehingga peradangan pulpa akan menimbulkan hiperemia / peningkatan aliran darah ke gigi.
B. Etiologi Penyebab pulpitis dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kerusakan gigi yang telah menembus melalui lapisan enamel dan dentin gigi 2. Infeksi, baik yang menyerang ruang pulpa maupun infeksi yang berasal dari abses gigi. 3. Trauma ke gigi yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan menggiling, mengepal, dan / atau cedera pada gigi C. Klasifikasi Ada dua jenis pulpitis, yaitu pulpitis reversibel dan pulpitis ireversibel. Pulpitis reversible adalah radang pulpa ringan sampai sedang akibat rangsang, dapat sembuh bila penyebab pulpitis telah dihapus dan gigi diperbaiki. Obat-obatan tertentu dapat digunakan selama prosedur restoratif dalam upaya untuk mempertahankan gigi tetap vital (hidup). Pulpitis ireversibel dicirikan oleh kepekaan yang berkepanjangan terhadap dingin atau panas. Radang pulpa yang ringan atau telah berlangsung lama ditandai nyeri spontan / dirasakan terus menerus. Terjadi kerusakan saraf sehingga membutuhkan perawatan saluran akar.
37
D. Gambar
E. Diagnosis dan Terapi 1. Pulpitis reversibel/ pulpitis hiperemi/ pulpitis awal yaitu peradangan pulpa awal sampai sedang akibat rangsangan. Anamnesa: a.
Biasanya nyeri bila minum panas, dingin, asam dan asin
b. Nyeri tajam singkat tidak spontan, tidak terus menerus c. Rasa nyeri lama hilangnya setelah rangsangan dihilangkan Pemeriksaan Objektif: a. Ekstra oral : Tidak ada pembengkakan. b. Intra oral : 1) Perkusi tidak sakit 2) Karies mengenai dentin/karies profunda 3) Pulpa belum terbuka 4) Sondase (+) 5) Chloor etil (+) Terapi: dengan penambalan /pulp cafing dengan penambalan Ca(OH)
2
± 1
minggu untuk membentuk dentin sekunder. 2. Pulpitis irreversibel yaitu radang pulpa ringan yang baru dapat juga yang sudah berlangsung lama. Pulpitis irreversibel terbagi : a. Pulpitis irreversibel akut yaitu peradangan pulpa lama atau baru ditandai dengan rasa nyeri akut yang hebat. Anamnesa 1) Nyeri tajam spontan yang berlangsung terus-menerus menjalar kebelakang telinga 2) Penderita tidak dapat menunjukkan gigi yang sakit 38
Pemeriksaan Objektif 1) Ekstra oral : tidak ada kelainan 2) Intra oral : a) Kavitas terlihat dalam dan tertutup sisa makanan b) Pulpa terbuka bisa juga tidak c) Sondase (+) d) Chlor ethil (+); Perkusi bisa (+) bisa (-) Terapi 1) Menghilangkan rasa sakit 2) Dengan perawatan saluran akar b. Pulpitis irreversibel kronis yaitu peradangan pulpa yang berlangsung lama. Anamnesa ; 1) Gigi sebelumnya pernah sakit. 2) Rasa sakit dapat hilang timbul secara spontan. 3) Nyeri tajam menyengat, bila ada rangsangan seperti; panas, dingin, asam, manis. 4) Penderita masih bisa menunjukkan gigi yang sakit. Pemeriksaan Objektif 1) Ekstra oral ; tidak ada pembengkakan 2) Intra oral ; a) Karies profunda, bisa mencapai pulpa bisa tidak b) Sondase (+) c) Perkusi (-) c. Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa, dapat sebagian atau seluruhnya, tergantung pada seluruh atau sebagian yang terlibat. Anamnesa: 1) Nyeri spontan atau tidak ada keluhan nyeri tapi pernah nyeri spontan. 2) Bau mulut, gigi berubah warna. 3) Lesi radiolusen yang berukuran kecil hingga besar disekitar apeks dari salah satu atau beberapa gigi, tergantung pada kelompok gigi. Pemeriksaan Objective: 1) Gigi berubah warna, menjadi abu-abu kehitam-hitaman 2) Sondase (-), Perkusi (-), dan Palpasi (-) 3) Terdapat lubang gigi yang dalam 39
Terapi : perawatan saluran akar dan restorasi. Bila apkes gigi lebar/ terbuka dilakukan perawatan apeksifikasi. Setelah preparasi selesai, saluran akar diisi dengan Ca(OH)2 sampai 1-2 mm dari ujung akar dan ditumpat tetap. Evaluasi secara berkala 3-6 bulan sampai terjadi penutupan apeks (dengan menggunakan pemeriksaan radiografik). F. Sumber Pustaka 1.
Kidd, Edwina A.M. 1992. Dasar-Dasar Karies. Jakarta : EGC.
2.
Rahmalia. 2011. Pulpitis for case Gigi dan Mulut. http://www.scribd.com/doc/54123450/10/PULPITIS [Diakses pada 16 Januari 2013].
40
PERIODONTITIS
A. Definisi1 Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan penyangga gigi (jaringan periodontium). Pada periodontitis, perlekatan antara jaringan periodontal dengan gigi mengalami kerusakan. Jaringan penyangga terdiri dari gusi, processus alveolar dan ligamentum periodontal (selapis tipis jaringan ikat yang memegang gigi dalam kantongnya; berfungsi juga sebagai media peredam antara gigi dan tulang). B. Etiologi1dan Patogenesis Periodontitis umumnya disebabkan oleh plak. Lapisan ini melekat pada permukaan gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan gingivitis dan periodontitis adalah plak yang berada tepat di atas garis gusi. Bakteri dan produknya dapat menyebar ke bawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan terjadilah periodontitis.
Periodontitis dimulai dengan gingivitis. Gingivitis yang tidak dirawat akan menyebabkan kerusakan tulang pendukung gigi atau disebut periodontitis. Sejalan dengan waktu, bakteri dalam plak gigi akan menyebar dan berkembang kemudian toksin yang dihasilkan bakteri akan mengiritasi gingiva sehingga merusak jaringan pendukungnya. Gingiva menjadi tidak melekat lagi pada gigi dan membentuk saku (poket periodontal) yang akanbertambah dalam sehingga makin banyak tulang dan jaringan pendukung yang rusak. Poket periodontal digolongkan dalam 2 tipe, didasarkan pada hubungan antara epitelium junction dengan tulang alveolar.
41
1. Pocket periodontal suprabony yaitu dasar poket merupakan bagian koronal dari puncak tulang alveolar. 2. Pocket periodontal infrabony yaitu dasar poket merupakan bagian apikal dari puncak tulang alveolar Bila periodontitis berlanjut terus dan tidak segera dirawat maka lama kelamaan gigi akan longgar dan lepas dengan sendirinya. C. Gambar
D. Diagnosis Pasien bisa saja datang tidak dengan keluhan sakit gigi atau gejala lainnya, namun melalui anamnesis dan pemeriksaan gigi, tanda-tanda periodontitis yang perlu diperhatikan adalah: 1. gusi berdarah saat menggosok gigi, 2. gusi berwarna merah, bengkak dan lunak, 3. terlihat adanya bagian gusi yang turun dan menjauhi gigi, 4. terdapat nanah diantara gigi dan gusi, 5. gigi goyang. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan periodontal probing, yaitu teknik yang digunakan untuk mengukur kedalaman poket periodontal (kantong yang terbentuk di antara gusi dan gigi).Kedalaman poket ini dapat menjadi salah satu petunjuk seberapa jauh kerusakan yang terjadi. Sebagai tambahan, pemeriksaan radiografik (x-rays) juga perlu dilakukan untuk melihat tingkat keparahan kerusakan tulang.
42
E. Terapi 1. Root planing dan kuretase, yaitu pengangkatan plak dan jaringan yang
rusak
dan
mengalami
peradangan di dalam poket dengan menggunakan kuret. 2. Bila dengan kuretase tidak berhasil, maka perlu dilakukan gingivectomy. 3. Operasi dengan teknik flap, yaitu prosedur pembukaan jaringan gusi, menghilangkan kotoran dan jaringan yang meradang di bawahnya. 4. Antibiotik
untuk
menghentikan
infeksi pada gusi dan jaringan di bawahnya. 5. Perbaikan kebersihan mulut. F. Daftar Pustaka 1. Orstavik D., Ford T.P. 2007. Apical Periodontitis: Microbial Infection and Host Responses. http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample _chapter/9781405149761/9781405149761_4_001.pdf. [Diakses pada 15 Januari 2013]
43
GINGIVITIS
A. Definisi Jaringan periodontal adalah jaringan yang mengelilingi gigi dan berfungsi sebagai penyangga gigi, terdiri dari gingiva, sementum, ligamen periodontal dan tulang alveolar. Penyakit periodontal dibagi atas dua golongan yaitu gingivitis dan periodontitis. Bentuk penyakit periodontal yang paling sering dijumpai adalah proses inflamasi dan mempengaruhi jaringan lunak yang mengelilingi gigi (ginggiva) tanpa adanya kerusakan tulang, keadaan ini dikenal dengan gingivitis. Apabila penyakit gingiva tidak ditanggulangi sedini mungkin maka proses penyakit akan terus berkembang mempengaruhi tulang alveolar, ligamen periodontal atau sementum, keadaan ini disebut dengan periodontitis.
B. Etiologi dan Patogenesis Gingivitis dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya kebersihan mulut yang buruk dan penumpukan karang gigi (kalkulus/tartar). Sisa-sisa makanan yang tidak dibersihkan secara seksama menjadi tempat pertumbuhan bakteri. Dengan meningkatnya kandungan mineral dari air liur, plak akan mengeras menjadi karang gigi (kalkulus). Karang gigi dapat terletak di leher gigi dan terlihat oleh mata sebagai garis kekuningan atau kecoklatan yang keras dan tidak dapat dihilangkan hanya dengan menyikat gigi.Kalkulus juga dapat terbentuk di bagian dalam gusi (saku
44
gusi/poket).Kalkulus adalah tempat pertumbuhan yang baik bagi bakteri, dan dapat menyebabkan radang gusi sehingga gusi mudah berdarah. Ada beberapa keadaan yang dapat menimbulkan peradangan pada ginggiva, antara lain kehamilan, diabetes mellitus, penggunaan obat seperti kortikosteroid dan siklosporin, leukemia dan merokok. Pembesaran dan peradangan gusi pada ibu hamil disebabkan oleh aktivitas hormonal estrogen dan progesterone yang meningkat. Peningkatan konsentrasi hormon progesteron dan estrogen menyebabkan pelebaran pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah, termasuk aliran darah di gusi. Gusi menjadi lebih merah, bengkak, dan mudah berdarah. Pembesaran gusi ibu hamil dimulai pada trisemester pertama sampai ketiga masa kehamilan dan akan mengalami penurunan pada kehamilan bulan ke-9 dan beberapa hari setelah melahirkan.
Gingivitis pada kehamilan
Gingivitis pada DM
Gingivitis pada leukemia
Gingivitis karena obat
Pada penderita diabetes mellitus (DM) tejadi beberapa keadaan-keadaan yang menyebabkan kerentanan penderita DM untuk menderita ginggivitis, antara lain: perubahan
vaskular,
perubahan
mikroflora,
disfungsi
neutrofil,
perubahan
metabolisme kolagen ginggiva serta adanya peran HLA (DR3 dan DR4). Pada penderita leukemia, gingivitis dapat menjadi tanda awal dari leukemia pada sekitar 25% penderita anak-anak. Penyusupan (infiltrasi) sel-sel leukemia ke dalam gusi menyebabkan gingivitis dan berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi akan semakin memperburuk keadaan ini. Gusi tampak merah dan mudah berdarah.Perdarahan seringkali berlanjut sampai beberapa menit atau lebih karena pada penderita leukemia, darah tidak membeku secara normal. Penggunaan kortikosteroid dan siklosporin menyebabkan supresi sistem imun sehingga infeksi dan peradangan pada gusi lebih mudah terjadi.Para perokok umumnya memiliki jumlah karang gigi yang lebih banyak dibanding bukan perokok.Karang gigi yang tidak dibersihkan serta gangguan sirkulasi darah ke gusi merupakan penyebab mudahnya terjadi infeksi dan peradangan pada gusi (gingivitis).
45
C. Gambar
Gingiva sehat
Gingivitis
D. Diagnosis Karakteristik gingiva yang sehat adalah warnanya merah muda, bagian tepi gingiva tipis dan tidak bengkak, permukaan gingiva tidak rata tapi stippled, sulkus gingiva tidak dalam (<2mm, jika lebih disebut poket), tidak ada eksudat, tidak mudah berdarah, konsistensi kenyal. Sedangkan pada gingivitis warnanya merah atau merah keunguan, bagian tepinya bengkak, ada eksudat, mudah berdarah saat sikat gigi, gusi bengkak, konsistensinya empuk/ lunak dan kadang nyeri, nafas bau serta tampak timbunan plak pada gigi. E. Terapi Kondisi yang menyebabkan dan memperburuk gingivitis harus diatasi.Plak dibersihkan dan kebersihan mulut diperbaiki. Pasien diedukasi untuk melakukan sikat gigi minimal dua kali sehari, pada pagi hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur. Selain itu, flossing dilakukan sekali dalam sehari untuk membersihkan plak dan sisa makanan di celah gigi. Bila terdapat kalkulus, dapat dilakukan pembersihan/ skeling. Antibiotik diberikan bila ada indikasi. Penyakit sistemik yang mendasari gingivitis juga harus diatasi. Penanganan gingivitis yang sama berlaku pada ibu hamil. Pada pasien leukemia, perdarahan gusi dapat dikurangi dengan menggunakan bantalan busa sebagai ganti sikat gigi. F. Sumber Pustaka 1.
USU. Penyakit Periodontal. 2011. ocw.usu.ac.id/course/.../kgm-427_slide_penyakit_periodontal.pdf [Diakses pada 16 Januari 2013].
46
CANDIDIASIS ORAL
A. Definisi Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut berupa lesi merah dan lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida sp, dimana Kandida albikan merupakan jenis jamur yang menjadi penyebab utama. Candida adalah anggota flora normal terutama saluran pencernaan, juga selaput mukosa saluran pernafasan, vagina, uretra, kulit dan dibawah jari-jari kuku tangan dan kaki. Di tempat-tempat ini ragi dapat menjadi dominan dan menyebabkan keadaan-keadaan patologik ketika daya tahan tubuh menurun baik secara lokal maupun sistemik. B. Etiologi 1. Faktor Lokal a. Perubahan epitel pada barier mukosa oral seperti atrofi, hiperplasi atau displasia b. Kondisi saliva: penurunan kualitas dan kuantitas saliva (misal pada pasien dengan DM, kemoterapi, dan radioterapi), perubahan pH saliva. c. Penurunan sistem fagosit di pertahanan mukosa (misal pada pasien dengan AIDS dan candidiasis mukokutaneus kronik). d. Morfogenesis mikroorganisme: bentuk hifa lebih invasif dan patogenik terhadap host. 2. Faktor Sistemik a. Individu yang imunokompromis: DM, HIV, leukemia, limfoma b. Individu dengan gangguan nutrisi: defisiensi besi, defisiensi vitamin B12 3. Faktor Iatrogenik a. Terapi antibiotik b. Terapi kortikosteroid c. Radioterapi dan kemoterapi d. Merokok
47
C. Klasifikasi 1. Bentuk Primer Candidosis Oral a. Candidosis Pseudomembranous akut Candidosis pseudomembranous akut tampak sebagai lesi putih pada mukosa oral yang dapat dihilangkan dengan kerokan halus dan meninggalkan permukaan mukosa yang eritematous. Pada pemeriksaan histologis tampak sel ragi dan hifa di antara epitel desquamasi. Infeksi jenis ini sering terjadi pada bayi baru lahir yang sistem imunnya masih belum matang. Pada individu yang lebih dewasa, candidosis pseudomembranous akut sering terjadi pada individu dengan gizi kurang, supresi lokal sistem imun (misal pada pemberian steroid inhaler pada pasien asma), atau penyakit dasar lain seperti infeksi HIV dan AIDS. b. Candidosis Eritematous akut Bentuk candidosis eritematous akut ini sering terjadi pada pemberian antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan penurunan populasi bakteri dalam mulut sehingga terjadi pertumbuhan berlebihan spesies Candida. Jenis infeksi ini dapat terjadi pada mukosa buccal, namun paling sering timbul sebagai lesi kemerahan di dorsum lidah dan juga palatum. Candidosis eritematous
akut
adalah
satu-satunya
bentuk
candidosis
oral
yang
menimbulkan nyeri terus-menerus. Resolusi spontan dapat terjadi dengan menghentikan pemberian antibiotik spektrum luas. c. Candidosis Eritematous kronik Candidosis eritematous dapat terjadi secara kronik. Lesi termasuk lesi atrofik yang sering dikaitkan dengan keilitis angular dan denture stomatitis. Candidosis eritematous kronik sering terjadi pada individu dengan HIV positif dan pasien AIDS. d. Candidosis Hiperplastik kronik Candidosis hiperplastik kronik (kadang disebut sebagai candidal leukoplakia) dapat timbul pada semua permukaan mukosa mulut baik sebagai lesi homogen atau lesi putih noduler. Tidak seperti lesi candidosis pseudomembranous,
lesi
candidosis
hiperplastik
kronik
tidak
dapat
dihilangkan dengan kerokan halus. Lesi paling sering muncul bilateral pada regio komisura mukosal buccal dengan prevalensi paling tinggi pada laki-laki setengah baya yang merokok. Hal yang penting diketahui dari bentuk infeksi 48
ini adalah hubungannya dengan perubahan ke arah keganasan. Secara in vitro, sel
ragi
terbukti
dapat
menghasilkan
nitrosamin
karsinogenik,
N-
nitrosobenzylmethylamine dari molekul prekursor. 2. Bentuk Sekunder a. Keilitis Angular Keilitis angular adalah kondisi di mana lesi timbul pada sudut mulut dan secara mikrobiologis sampel lesi menunjukkan adanya C.albicans, sering bersama dengan bakteri S.aureus. Peranan Candida pada bentuk ini masih belum jelas, namun penting diperhatikan bahwa keilitis angular sering terjadi pada pasien dengan candidosis oral di mana jumlah spesies Candida meningkat. b. Median Rhomboid Glossitis Median rhomboid glossitis merupakan kondisi kronik yang muncul sebagai lesi berbentuk kristal di posterior midline dorsum lidah. Didapatkan jumlah spesies Candida yang tinggi dari lesi tersebut.Kondisi ini sering dikaitkan dengan individu yang sering menggunakan steroid inhaler atau individu yang merokok. D. Gambar
Gambaran klinis bentuk primer candidosis oral: candidosis pseudomembranous akut (kiri atas), candidosis eritematous kronik (kanan atas), candidosis eritematous akut (kiri bawah) dan candidosis hiperplastik kronik (kanan bawah). 49
E. Diagnosis Diagnosa yang tepat diperoleh dari pemeriksaan yang teliti. Diagnosa candidiasis oral yang dapat dilakukan meliputi anamnesa, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaaan penunjang seperti pemeriksaan sitologi eksfoliatif, metode kultur swab, uji saliva, dan biopsi. Berdasarkan hasil anamnesa dapat diperoleh informasi mengenai keadaan rongga mulut yang dialami pasien. Pasien yang menderita candidiasis oral bisa mempunyai keluhan terhadap keadaan rongga mulutnya, namun ada juga yang tidak menyatakan adanya keluhan pada rongga mulutnya. Keluhan yang bisa terjadi pada candidiasis oral seperti adanya rasa tidak nyaman, rasa terbakar, rasa sakit, dan pedih pada rongga mulut. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan melihat gambaran klinis lesi yang terdapat pada rongga mulut. Gambaran klinis candidiasis oral yang terlihat bisa berbeda-beda sesuai dengan tipe candidiasis yang terjadi pada rongga mulut pasien. Di samping itu, pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sitologi eksfoliatif, kultur swab, uji saliva, dan biopsi sangat diperlukan dalam mendukung diagnosa candidiasis oral. F. Terapi4 Pengobatan farmakologis kandidiasis oral dikelompokkan dalam tiga kelas agen antifungal yaitu: polyenes, azoles, dan echinocandins. Antifungal Polyenes mencakup Amphotericin B dan Nystatin. Amphotericin B dihasilkan oleh Streptomyces nodosus dan memiliki aktivitas antijamur yang luas. Di samping keuntungannya, antifungal ini dapat menimbulkan efek nefrotoksik. Obat antifungal lain yang sekarang banyak digunakan adalah Nystatin. Azoles dibagi dalam dua kelompok yaitu imidazoles dan triazoles. Azoles akan menghambat ergosterol yang merupakan unsur utama sel membran jamur. Sedangkan, Caspofungin termasuk golongan antifungal echinocandins yang digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi jamur Kandida dan spesies aspergillus. Obat anti jamur dapat diberikan secara topikal maupun sistemik, dengan syarat pemakaiannya harus sesuai dengan tipe kandidiasis yang akan dirawat. Obat - obat anti jamur yang dapat diberikan secara topikal berupa: clotrimazole lozenge, nystatin pastiles, dan nystatin suspensi oral, sedangkan obat anti jamur yang dapat dibenkan secara sistemik yaitu: ketoconazole tablet, itraconazole tablet, fluconazole tablet. Hal yang sangat penting dilakukan oleh pasien adalah menjaga kebersihan rongga mulut, 50
sehingga kandida albikans yang merupakan mikroorganisme komensal dan flora normal di rongga mulut tidak berubah menjadi agen infeksius opportunistik penyebab kandidiasis oral.Pasien juga harus menghindari faktor - faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kandidiasis. G. Sumber Pustaka 1. Wyk, C.V., Steenkamp, V. 2011. Review: Host factor affecting oral candidiasis. South Afr J Epidemiol Infect. 26(1):18-21 2. Scully, C. 2010. Candidiasis, Mucosal. http://emedicine.medscape.com/article/ 1075227-overview#showall [Diakses pada 17 Januari 2013]. 3. Williams, D., Lewis, M. 2011. Pathogenesis and treatment of oral candidosis. Journal of Oral Microbiology. 3: 5771 4. Andryani, Suli. 2010. Skripsi: Kandidiasis Oral Pada Pasien Tuberkulosis Pada Akibat Pemakaian Antibiotik dan Steroid (laporan kasus). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara. Medan.
TEMUAN KASUS BANGSAL •
Nama
: Tn. S
•
Umur
: 66 tahun
•
Alamat
: Durenrejo, Sempu Andong, Boyolali, Jawa Tengah
•
Bangsal
: Melati 1
•
Masuk Rumah Sakit : 9 Januari 2013
•
Tanggal pemeriksaan : 10 januari 2013
51
ANAMNESIS 1. Keluhan Utama: Bercak putih di mulut 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien merupakan rujukan dari RS Boyolali dengan suspek B20. Pasien saat ini dirawat di bagian penyakit dalam RSDM dengan diagnosis B 20. Pasien mengeluh sariawan yang tidak sembuh-sembuh ± 1 bulan ini. Sariawan makin lama makin banyak. Kurang lebih 1 minggu ini pada rongga mulut pasien dan sebagian bibirnya terdapat bercak putih tebal yang sulit hilang. Pasien juga mengalami kesulitan menelan. Selain itu, pasien mengalami diare 3-4 kali per hari. Dalam satu bulan terakhir pasien mengalami penurunan berat badan lebih dari 5 kg. Pasien sering merasakan lemas saat beraktifitas yang membaik dengan beristirahat. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi, jantung, diabetes mellitus, alergi
: (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa, hipertensi, jantung, diabetes mellitus, alergi : (-) 5. Riwayat Kebiasaan Riwayat seks bebas
: (+)
Riwayat penggunaan narkoba
: (-)
PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum
: lemah
Kesadaran
: compos mentis
Gizi
: kesan kurang
Vital sign
: Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi
: 85 x/menit o
Frekuensi napas : 20 x/menit Suhu : 36,0 C Kulit
: warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), patechie (-), venectasi (-), spider nevi (-), turgor baik (+)
Kepala
: bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam
Mata
: cekung (-/-), conjungtiva pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-)
Telinga
: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Hidung
: napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-) 52
Mulut
: bibir kering(-), sianosis (-), mukosa pucat(-), gusi berdarah (-), stomatitis (+), oral thrush (+), mouth ulcer (-)
Tenggorokan
: tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher
: simetris, trakea di tengah, KGB servikal membesar (-),
Thorax
: normochest, simetris, retraksi supraternal (-), spider nevi (-), pernapasan tipe thoraco-abdominal
Jantung
: HR 85 x/menit, reguler, BJ I-II intensitas normal, bising (-)
Paru
: SDV (+/+), RBK (-/-)
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Extremitas
: oedem (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-)
STATUS ORAL Ekstra oral
: Mandibula
: simetris
Maksila
: simetris
Lips
: terdapat bercak putih di mukosa labial atas dan bawah bagian dalam
Intra oral
Oral hygiene
: Lingua
: Leukoplakia
Left buccal
: Leukoplakia
Right buccal
: Leukoplakia
Upper ginggiva
: tidak ada kelainan
Lower ginggiva
: tidak ada kelainan
Palatum
: Leukoplakia
: Buruk
DIAGNOSIS 1. B 20 stadium III dengan - Oral thrush - PPE - TB paru BTA (-) lesi luas kasus baru dalam terapi OAT minggu ke-2 2. Anemia mikrositik hipokromik et causa defisiensi Fe 3. Hipoalbumin 4. Hiponatremia berat 5. Hipokalsemia 6. Compensated cordis dengan hipotensi (perbaikan) 7. Peningkatan enzim transaminase dd non viral, suspek DIH viral 53
TERAPI 1. Bed rest tidak total 2. O2 3 lpm 3. Diet TKTP extra putih telur 3xII, lunak 4. Infus NaCl 0,9% 20 tpm 5. Injeksi Ceftiaxone 2 gr/ 24 jam 6. Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam 7. Cotrimoxazole 960 mg 2x1 8. Nystatin drop 3x1 9. Vitamin B complex 3 x 1 10. CaCO3 3x1 11. Sulfas ferrous 3x200 mg 12. Curcuma 3x1
54
MOUTH ULCER (KOMPETENSI 4)
A. Definisi Ulkus ialah defek lokal atau ekskavasasi permukaan jaringan atau organ, yang lebih dalam dari jaringan epitel. Ulkus yang terbentuk di mukosa mulut merupakan gambaran lesi oral yang sangat umum ditemui dan dikeluhkan pasien dalam praktik sehari-hari. Prevalensi ulkus di mukosa mulut rata-rata berkisar antara 15% hingga 30% (Casiglia, 2006).
Gambar 1. Ulkus pada rongga mulut
B. Etiologi Penyebab timbulnya ulkus di mukosa mulut antara lain karena berbagai infeksi atau gangguan sistemik lainnya, terutama kelainan darah, saluran pencernaan, atau kulit. Neoplasma ganas biasanya mulai sebagai pembengkakan atau benjolan, tetapi dapat bermanifestasi sebagai bisul. Ulkus sering juga disebabkan oleh trauma atau luka bakar, aphtha, terkadang disebabkan pula karena obat-obatan
C. Klasifikasi 1. Ulkus Akibat Reaksi Obat (Stomatitis Medikamentosa) Berbagai macam obat dapat menyebabkan timbulnya ulkus di mukosa mulut. Perlu ditanyakan kepada pasien apakah pasien menkonsumsi obat-obatan yang dapat menjadi penyebab ulkus tersebut 2. Aphtha Aphtha merupakan ulkus kecil berbentuk oval atau bulat, yang dilapisi eksudat abuabu dan dikelilingi halo berwarna merah, yang merupakan karakteristik dari stomatitis aftosa rekuren.
55
Minor aphtha (Mikulicz’s aphtha) Durasi 7 hingga 10 hari Cenderung tidak terlihat pada gingiva, palatum, atau dorsum lidah Ulkus multipel dengan jumlah 2 hingga 10 buah dalam satu episode Major aphtha (Sutton’s ulcers) Dapat berlangsung selama berbulan-bulan Ulkus multipel dengan jumlah kurang dari 6 buah Paling sering ditemukan pada palatum, tenggorokan, dorsum lidah, dan bibir 3. Ulkus herpetiformis Diawali dengan aphtha multipel dengan ukuran pin point yang nantinya membesar dengan bentuk irregular, Terutama terdapat pada lidah bagian ventral dan terdapat manifestasi ekstraoral 4. Sindroma Behçet’s Dengan adanya riwayat ulkus berulang 5. Eritema Multiformis Riwayat ulkus berulang pada bibir yang diawali dengan makula eritematosa berisi cairan yang saat pecah bentuknya ireguler, meluas, dan nyeri dengan adanya cairan eksudat serosanguinosa yang nantinya menjadi krusta 6. Ulkus Tunggal dan Multipel Beberapa faktor yang dapat membantu tegaknya diagnosis penyakit dengan manifestasi ulkus adalah jumlah ulkus, bentuk, ukuran, tempat, dasar, batas, dan ada atau tidaknya nyeri. Sebuah ulkus tunggal, terutama jika bertahan selama tiga minggu atau lebih biasanya merupakan indikasi kronis dan sering ditemui pada penyakit ganas atau infeksi serius (misalnya tuberkulosis atau infeksi jamur). Klasifikasi lesi ulkus secara umum di mukosa mulut: 1. Lesi Multipel Akut a. Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis b. Eritema Multiformis c. Stomatitis Alergika d. Stomatitis Viral Akut e. Ulkus oral karena kemoterapi kanker 2. Ulkus Oral Rekuren a. Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS) 56
b. Sindrom Behcet’s c.
Infeksi virus herpes simpleks rekuren
3. Lesi Multipel Kronik a. Pemphigus Vulgaris b. Pemphigus Vegetan c. Pemphigoid Bulosa d. Pemphigoid Sikatrik e. Lichen Planus Bulosa Erosif 4. Ulkus Tunggal a. Histoplamosis b. Blastomikosis c. Mucormikosis d. Infeksi virus herpes simplex kronis Gambar
Stomatitis medikamentosa
Aphta minor
Aphta mayor
Ulkus herpetiformis
sindrom behcet’s
eritema multiformis
D. Terapi Tatalaksana ulkus tergantung pada penyebabnya. Penatalaksanaan lesi oral spesifik seperi lesi ulkus/ apthae pada penderita lupus eritematosus memerlukan kombinasi terapi kortikosteroid sistemik dengan dengan anti-metabolit seperti azathioprine (Imuran) atau mycophenolate mofetil (CellCept) dengan cyclophosphamide. Sebagai terapi tambahan dapat diberikan Colchidne 0,6 mg dua kali sehari, Dapsone 100-150 mg/hari, atau 57
thalidomide 100-200 mg/hari. Sedangkan untuk lesi seperti lichen planus pada diskoid lupus eritematosus dapat diterapi dengan kombinasi obat topikal dan sistemik. Terapi topikal mengandung kortikosteroid seperti clebetasol gel (diaplikasikan 4-5 kali sehari), dengan atau tanpa topikal tacrolimus ointment (2-3 kali sehari). Thalidomide 100-200 mg sehari, dengan atau tanpa hydroxychloroquine (Plaquenil) 200 mg dua kali sehari sangat efektif. Pemberian terapi sistemik imunosupresif seperti azathioprine, mycophenolate mofetil atau leflunomide (Arava) biasa diberikan pada kasus yang lebih berat meskipun jarang terjadi. Penatalaksanaan lesi oral non spesifik seperti lesi herpes simplex labialis adalah dengan mengurangi paparan obat kortikosteroid sistemik dan menggantinya dengan corticosteroid-sparing
drugs
seperti
azathioprine,
mycophenolate
mofetil
dan
cyclophosphamide yang diberikan sejak awal (Casiglia, 2006).
TEMUAN KASUS BANGSAL •
Nama
: Tn. P
•
Umur
: 33 tahun
•
Alamat
: Mertaudan RT 7/9 Mojosongo, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah
•
Bangsal
: Melati 1
•
Masuk rumah sakit
: 17 januari 2013
•
Tanggal pemeriksaan : 21 Januari 2013
58
ANAMNESIS 1. Keluhan Utama: Rasa terbakar di bibir bawah disertai luka 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dirawat di bagian penyakit dalam RSDM dengan diagnosis B 20. Selama 6 bulan ini pasien mendapatkan pengobatan ARV. Kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh demam terus-menerus. Demam berkurang jika pasien minum obat penurun panas. Demam kembali dirasakan pasien jika efek obatnya hilang. Demam disertai dengan keluhan nyeri telan dan batuk, tetapi tidak pilek. Kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan rasa terbakar di bibir bawahnya yang diikuti munculnya luka berbentuk bulat berwarna putih dengan tepi kemerahan dan bertambah lebar. Pasien merasakan perih, panas, dan rasa terbakar pada luka tersebut. Sejak luka tersebut muncul, nafsu makan pasien makin menurun. Pasien mengaku tidak pernah tergigit di daerah bibirnya sebelumnya. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit serupa
: (+)
Riwayat hipertensi, alergi, diabetes mellitus
: (-)
Riwayat pengobatan VCT
: 6 bulan
4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa, hipertensi, diabetes mellitus, alergi : (-) 5. Riwayat Kebiasaan Riwayat seks bebas
: (+)
Riwayat narkoba
: (-)
PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum
: demam
Kesadaran
: compos mentis
Gizi
: kesan cukup
Vital sign
: Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Frekuensi napas : 20 x/menit Suhu : 37,4 oC Kulit
: warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), patechie (-), venectasi (-), spider nevi (-), turgor baik (+)
Kepala
: bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam
59
Mata
: cekung (-/-), conjungtiva pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-)
Telinga
: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Hidung
: napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut
: bibir kering(-), sianosis (-), mukosa pucat(-), gusi berdarah (-), oral thrush (-), mouth ulcer (+)
Tenggorokan
: tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher
: simetris, trakea di tengah, KGB servikal membesar (-),
Thorax
: normochest, simetris, retraksi supraternal (-), spider nevi (-), pernapasan tipe thoraco-abdominal,
Jantung
: HR 88 x/menit, reguler, BJ I-II intensitas normal, bising (-)
Paru
: SDV (+/+), RBK (-/-)
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Extremitas
:oedem (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-), PPE(+/+)
STATUS ORAL Ekstra oral
: Mandibula
: simetris
Maksila
: simetris
Lips
: terdapat mouth ulcer di mukosa labial bawah diameter kurang lebih 10 mm
Intra oral
Oral hygiene
: Lingua
: tidak ada kelainan
Left buccal
: tidak ada kelainan
Right buccal
: tidak ada kelainan
Upper ginggiva
: tidak ada kelainan
Lower ginggiva
: tidak ada kelainan
Palatum
: tidak ada kelainan
: sedang
DIAGNOSIS 1. B 20 dalam terapi ARV dengan - PPE (+) - Penurunan berat badan - Diare (+) 6 bulan 2. Febris 5 hari dd ISPA, ISK 60
3. Anemia sedang 4. Hipoalbumin
TERAPI 1. Bedrest tidak total 2. Diet TKTP 3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm 4. Nystatin drop 3x2 tetes 5. Nevirol 2x1 6. Duviral 2x1 7. Cotrimoxazol 960 mg 2x1
61
GLOSSITIS
a) Definisi Glositis adalah suatu peradangan pada lidah. Glossitis bisa terjadi akut atau kronis. Penyakit ini juga merupakan kondisi murni dari lidah itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh yang penampakannya ada pada lidah. Glossitis dapat menyerang semua lapisan usia. Penyakit ini sering terjadi pada lakilaki dibandingkan pada perempuan. Glossitis biasanya memberikan respon yang baik terhadap pengobatan jika penyebab peradangan diobati. Gangguan tersebut mungkin tidak nyeri, atau dapat menyebabkan ketidaknyamanan lidah dan mulut. Dalam beberapa kasus, glossitis dapat mengakibatkan pembengkakan lidah parah yang menghalangi jalan napas, sebuah darurat medis yang membutuhkan perhatian segera. b) Etiologi Penyebab glossitis bermacam-macam, bisa lokal dan sistemik. Penyebab glossitis dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Penyebab Lokal a. bakteri dan infeksi virus, b. trauma atau iritasi mekanis dari sesuatu yang terbakar, gigi atau peralatan gigi c. iritasi lokal seperti dari tembakau, alkohol dan makanan yang pedas ataupun makan yang berbumbu, d. alergi dari pasta gigi dan obat kumur. 2. Penyebab Sistemik a. kelainan nutrisi, penyakit kulit dan infeksi sistemik, b. keadaan kekurangan gizi (malnutrisi) yaitu kurangnya asupan vitamin B, c. penyakit kulit seperti oral lichen planus, erythema multiforme, aphthous ulcers, and pemphigus vulgaris, d. infeksi seperti syphilis and human immunodeficiency virus (HIV).
62
c) Gambar
d) Diagnosis Gejala dan tanda dari glossitis bervariasi oleh karena penyebab yang bervariasi pula dari kelainan ini, tanda dasar kelainan ini adalah bahwa lidah menjadi berubah warnanya dan terasa nyeri. Warna yang dihasilkan bervariasi dari gelap merah sampai dengan merah terang. Lidah yang terkena mungkin akan terasa nyeri dan menyebabkan sulitnya untuk mengunyah, menelan atau untuk bercakap cakap. Lidah yang mempunyai kelainan ini permukaannya akan terlihat halus. Terdapat beberapa ulserasi atau borok yang terlihat pada lidah ini. Pemeriksaan oleh dokter gigi atau penyedia layanan kesehatan menunjukkan lidah bengkak (atau patch pembengkakan). Para nodul pada permukaan lidah (papila) mungkin tidak ada. Tes darah bisa mengkonfirmasi sistemik penyebab gangguan tersebut. e) Terapi Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Perawatan biasanya tidak memerlukan rawat inap kecuali lidah bengkak sangat parah. Baik kebersihan mulut perlu, termasuk menyikat gigi menyeluruh setidaknya dua kali sehari, dan flossing sedikitnya setiap hari. Kortikosteroid
seperti
prednison
dapat
diberikan
untuk
mengurangi
peradangan glossitis. Untuk kasus ringan, aplikasi topikal (seperti berkumur prednison yang tidak ditelan) mungkin disarankan untuk menghindari efek samping dari kortikosteroid ditelan atau disuntikkan. Antibiotik, obat antijamur, atau antimikroba lainnya mungkin diresepkan jika penyebab glossitis adalah infeksi. Anemia dan kekurangan gizi harus diperlakukan, 63
sering dengan perubahan pola makan atau suplemen lainnya. Hindari iritasi (seperti makanan panas atau pedas, alkohol, dan tembakau) untuk meminimalkan ketidaknyamanan.
TEMUAN KASUS BANGSAL •
Nama
: Tn. T
•
Umur
: 61 tahun
•
Alamat
: Sanggrahan RT 1 RW 6 Wonogiri, Jawa Tengah
•
Bangsal
: Melati 1
•
Masuk rumah sakit
: 3 januari 2013
•
Tanggal pemeriksaan : 10 Januari 2013
ANAMNESIS 1. Keluhan Utama: lidah bengkak 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dirawat di bagian penyakit dalam RSDM dengan diagnosis Congestive Heart Failure NYHA IV. Pasien merupakan rujukan dari RS Wonogiri. Pasien dibawa ke RS karena sesak nafas sejak 20 hari sebelum masuk rumah sakit dan memberat pada 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 3 hari yang lalu lidah pasien bengkak, berwarna merah gelap, dan nyeri. Pasien kesulitan mengunyah, menelan atau untuk bercakap cakap. Pasien sudah tidak punya gigi sehingga sehari-hari memakai gigi palsu. Lidah pasien tidak tergigit sebelumnya. Selama di RS, pasien tidak pernah berkumur atau menyikat area rongga mulut.
64
3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi
: (-)
Riwayat diabetes mellitus
: 13 tahun, tidak kontrol teratur
Riwayat alergi
: (-)
Riwayat sakit ginjal
: tidak diketahui
4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa, hipertensi, jantung, diabetes mellitus, alergi : (-) 6. Riwayat Kebiasaan Pasien merupakan perokok sejak remaja (± usia 15 tahun)
PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum
: lemah, tampak sesak
Kesadaran
: compos mentis
Gizi
: kesan cukup
Vital sign
: Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi
: 100 x/menit o
Frekuensi napas : 30 x/menit Suhu : 37,6 C Kulit
: warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), patechie (-), venectasi (-), spider nevi (-), turgor baik (+)
Kepala
: bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam
Mata
: cekung (-/-), conjungtiva pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-)
Telinga
: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Hidung
: napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut
: bibir kering(-), sianosis (-), mukosa pucat(-), gusi berdarah (-), oral thrush (-), mouth ulcer (-), lidah bengkak (+)
Tenggorokan
: tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher
: simetris, trakea di tengah, KGB servikal membesar (-),
Thorax
: normochest, simetris, retraksi supraternal (-), spider nevi (-), pernapasan tipe thoraco-abdominal
Jantung
: HR 100 x/menit, reguler, BJ I-II intensitas normal, bising (-), batas jantung kesan melebar ke caudolateral
Paru
: SDV (+/+), RBK (+/+) , fremitus raba melemah di kanan dan kiri
Abdomen
: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba 65
Extremitas
:oedem
-
+
+
+
akral dingin
-
-
-
-
STATUS ORAL Ekstra oral
Intra oral
Oral hygiene
: Mandibula
: simetris
Maksila
: simetris
Lips
: tidak ada kelainan
: Lingua
: bengkak, hiperemis
Left buccal
: tidak ada kelainan
Right buccal
: tidak ada kelainan
Upper ginggiva
: tidak ada kelainan
Lower ginggiva
: tidak ada kelainan
Palatum
: tidak ada kelainan
: sedang
DIAGNOSIS 1. CHF NYHA IV 2. Diabetes mellitus tipe II No obese 3. Efusi pleura bilateral 4. Oedem pulmo dd pneumonia 5. Peningkatan enzim transaminase 6. Konstipasi dd ileus paralitik 7. Hernia inguinalis 8. Azotemia dd AKI dd Akut on CKD
TERAPI 1. Bedrest tidak total 2. O2 3 lpm 3. Diet rendah garam 1300 kkal 4. Injeksi Furosemid 1 amp/ 8 jam 5. Injeksi Ceftriaxone 2 gr/ 24 jam 6. Curcuma 3x1 7. Vitamin B complex 3x1
66
f) Sumber Pustaka 1. Zieve D., Juhn G., Eltz D.R. 2009. Glossitis. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001053.htm. [Diakses pada 18 Januari 2013].
67
NONCANCEROUS GROWTH
A. Definisi Ada banyak tipe pertumbuhan non-kanker pada rongga mulut, dan dapat terjadi pada semua orang di semua umur. Pertumbuhan massa dapat berasal dari kista yang berisi cairan, pertumbuhan tulang yang berlebihan, atau jaringan yang fibrosis. Semua itu dapat disebabkan oleh faktor etiologi yang berbeda-beda seperti iritasi, pertumbuhan tulang berlebih, atau infeksi. Beberapa pertumbuhan non-kanker tidak menimbulkan masalah, namun demikian massa rongga mulut di lokasi tertentu dan dengan ukuran yang cukup besar dapat menyebabkan nyeri atau gangguan makan. B. Macam-macam Noncancerous growth Massa rongga mulut yang biasa terjadi termasuk di dalamnya adalah sariawan. Tipe lain dari massa pada rongga mulut termasuk papiloma, lipoma, dan fibroma. Mukokel, torus palatinus dan kandidiasis yang juga disebut sebagai oral trush, juga merupakan tipe lain dari massa non kanker di rongga mulut. C. Etiologi Noncancerous growth di rongga mulut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya peningkatan pertumbuhan C.albicans yang menyebabkan candidiasis oral, menyebabkan suatu growth yang disebut trush. Sariawan sering disebabkan oleh trauma di area mulut. Fibroma dan mukokel sering disebabkan bibir atau bukal yang tidak sengaja tergigit. Jenis lain seperti torus palatinus tidak diketahui penyebabnya. D. Gambar
Papiloma
68
Epulis fibromatosa
Torus palatinus
E. Daftar Pustaka 1. De Pietro, M.A. 2010. A Non-Cancerous Growth in the Mouth. www.livestrong.com/article/273295-a-non-cancerous-growth-in-the-mouth [Diakses pada 18 Januari 2013].
69
LEUKOPLAKIA
A. Definisi Leukoplakia adalah lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada mukosa mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa mulut secara usapan atau kikisan. B. Etiologi dan Patogenesis Etiologi dari leukoplakia digolongkan menjadi 2, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. 1. Faktor lokal terdiri dari tembakau, alkohol, iritasi mekanis dan kemis, reaksi elektrogalvanik dan kandidiasis. Penggunaan rokok merupakan faktor risiko utama penyebab leukoplakia, karena unsur resin dan tar di dalamnya mudah mengiritasi mukosa. 2. Faktor sistemik terdiri dari defisiensi vitamin A, vitamin B kompleks, sifilis tertier dan anemia siderofenik. Keadaan ini disertai dengan glossitis atrofik sehingga pasien-pasien ini mudah sekali terkena leukoplakia dan karsinoma mulut. Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri dari dua tahap.Yaitu tahap pra leukoplakia dan tahap leukoplakia. Pada tahap pra keukoplakia mulai terbentuk warna plak abu-abu tipis, bening, translusen, permukaannya halus dengan konsistensi lunak dan datar. Tahap leukoplakia ditandai dengan pelebaran lesi ke arah lateral dan membentuk keratin yang tebal sehingga warna menjadi lebih putih, berfisura dan permukaan kasar sehingga mudah membedakannya dengan mukosa sekitarnya.
C. Klasifikasi Burket (1994), berdasarkan bentuk klinisnya, menggolongkan leukoplakia dalam 3 jenis: 1. Homogenous leukoplakia (leukoplakia kompleks) Suatu lesi setempat atau bercak putih yang luas, memperlihatkan suatu pola yang relatif konsisten, permukaan lesi berombak-ombak dengan pola garis-garis halus, keriput atau papilomatous. 2. Nodular leukoplakia (bintik-bintik)
70
Suatu lesi campuran merah dan putih, dimana nodul-nodul keratotik yang kecil tersebar pada bercak-bercak atrofik (eritroplakik) dari mukosa.Dua pertiga dari kasus menunjukkan tanda-tanda displasia epitel atau karsinoma pada pemeriksaan histopatologik. 3. Verrucous leukoplakia Lesi putih di mulut, dimana permukaannya terpecah oleh banyak tonjolan seperti papila yang berkeratinisasi tebal, serta menghasilkan suatu lesi pada dorsum lidah. D. Gambar
Leukoplakia homogen
leukoplakia nodular
leukoplakia verrocous
E. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna, predileksi tempat dan perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan dengan jaringan sekitar) dan yang terakhir dengan pemeriksaan biopsi. 1. Anamnesis Dalam melakukan anamnesis perlu diketahui usia, jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan umum, kebiasaan sehari-hari misalnya merokok, minum alkohol, mengunyah sirih dan menyuntil tembakau. Dahulu, penderita leukoplakia didominasi oleh usia lanjut akibat penurunan daya tahan tubuh. Namun sekarang lebih didominasi oleh usia muda akibat konsumsi rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita adalah seimbang karena sudah banyak wanita yang merokok. 2. Gambaran Klinis Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan putih keruh. Selanjutnya plak meninggi dengan tipe yang berkembang tidak teratur. Lesi berwarna putih kabur. Kemudian lesi menjadi tebal, berwarna putih, menunjukkan pengerasan, membentuk fisura-fisura dan terakhir adalah pembentukan ulser. 71
Gambaran klinis leukoplakia bentuk homogen (kecuali yang didasar mulut) cenderung mempunyai risiko displasia rendah, namun nodular, speckled dan erosiva mempunyai risiko tinggi, khususnya jika mempunyai displasia berat. Bentuk-bentuk lesi leukoplakia yang kemudian berubah menjadi ganas adalah bentuk verukosa dan bentuk nodular. 3. Pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan mikroskop dengan pewarnaan rutin Hematoksilin-Eosin (HE). 4. Pemeriksaan sitologik eksfoliatif Digunakan untuk menegakkan diagnosa keganasan. Pemeriksaan sitologik eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi keadaan keganasan sedini mungkin dan merupakan kontrol pada false negatif biopsi serta menghindari biopsi yang tidak perlu. Faktor yang mempengaruhi ketepatan pemeriksaan adalah lokasi dan jenis lesi, ketebalan lapisan keratin atau keadaan hiperkeratotik akan menyebabkan sel-sel yang mengalami diskeratosis sulit untuk ikut teridentifikasi karena tersembunyi. F. Terapi Pencegahan leukoplakia adalah dengan menghindari faktor predisposisi seperti rokok dan alkohol, menghindari iritasi kronik seperti akibat paparan kontinu bagian tajam dari gigi. Biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosis.Pemberian beta karoten dapat memperlambat perkembangan penyakit. G. Daftar Pustaka 1. Rangkuti N.H. 2007. Pebedaan Leukoplakia dan Hairy Leukoplakia di Rongga Mulut. Medan, Universitas Sumatera Utara. Skripsi. 2. Patterson Dental Supply. 2004. Leukoplakia. http://www.breadentistry.com/files/pdf/OPG_leuk.pdf. [Diakses pada 19 Januari 2013].
72
ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA
A. Definisi1 Oral squamous cell carcinoma atau karsinoma sel skuamosa merupakan kanker ganas pada rongga mulut yang paling sering terjadi, yakni sekitar 97%, disusul dengan adenokarsinoma (2-3%) dan melanoma maligna (1%). Karsinoma sel skuamosa pada pria didapat kira-kira 4% dan 2% pada wanita. Namun dewasa ini terdapat pergeseran bermakna dari rasio tersebut di mana angka kejadian karsinoma sel skuamosa pada pria dan wanita menjadi 3:1 oleh karena kemungkinan peningkatan pria yang merokok. Data insidensi keseluruhan meliputi kira-kira 2% dari kanker yang menyebabkan kematian pada pria dan 1% pada wanita, dengan jumlah kematian tiap tahun mencapai 9500 orang. B. Etiologi Faktor etiologi yang dapat memicu berkembangnya kanker mulut antara lain sebagai berikut: 1. Tembakau Dari semua faktor etiologi penyebab kanker rongga mulut, tembakau merupakan faktor yang paling erat kaitannya dengan kejadian kanker ini, baik untuk merokok atau dikunyah. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa resiko terkena kanker rongga mulut untuk seorang yang merokok satu bungkus sehari kira-kira 4 kali dari yang tidak merokok. Tembakau mengandung zat-zat karsinogenik seperti nikotin, yang salah satunya merupakan zat adiktif paling kuat di samping polisiklik aromatik hidrokarbon, nitrosodietanolamin, nitrosoprolin dan polonium. 2. Alkohol Identifikasi alkohol saja sebagai faktor karsinogenik tunggal sangat sulit dibuktikan karena kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol keduanya ada pada sebagian besar penderita kanker rongga mulut. Alkohol dan tembakau memberikan efek sinergis yang menyebabkan perubahan displastik pada mukosa. Orang yang merokok dan minum alkohol dalam jumlah yang berlebihan mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena kanker mulut daripada orang yang meminum alkohol saja atau yang mengkonsumsi tembakau saja.
73
Daerah mukosa yang paling sering terkena oleh alkohol mempunyai resiko paling tinggi untuk berkembangnya kanker. Alkohol dapat mempengaruhi keutuhan sistem kekebalan pasien yang memungkinkan kanker tumbuh dan berkembang. 3. Faktor pendukung lain Faktor pendukung lain yang dimaksudkan di sini antara lain adalah faktor penyakit kronis, faktor gigi dan mulut, defisiensi nutrisi, jamur, virus, dan faktor lingkungan. a. Penyakit kronis Penyakit kronis dapat menjadi faktor predisposisi bagi timbulnya keganasan. Penyakit tersebut antara lain sifilis dan liken planus. Ditemukan bukti bahwa 20-30% dari semua pasien laki-laki dengan kanker mulut di Amerika Serikat adalah penderita sifilis kronis. Liken planus dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya kanker rongga mulut, walaupun penyebab langsung dan hubungan yang jelas belum diketahui. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa penderita kanker rongga mulut mempunyai riwayat liken planus. b. Faktor gigi dan mulut Tingkat oral higiene yang rendah, restorasi yang tidak tepat, tepi gigi geligi yang tajam, gesekan gigi tiruan yang longgar, bersama faktor-faktor lain diperkirakan sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya keganasan dalam rongga mulut. Jika etiologi kanker dimulai oleh sebab lain, faktor-faktor ini dapat memperhebat proses yang sudah terjadi. c. Defisiensi nutrisi Beberapa defisiensi zat makanan seperti defisiensi riboflavin dan anemia defisiensi besi telah dihubungkan dengan kejadian karsinoma rongga mulut.Defisiensi riboflavin menyebabkan perubahan displastik mukosa oral.Sebagian dijelaskan hubungannya dengan alkohol yang menyebabkan defisiensi riboflavin dan kanker rongga mulut. Anemia defisiensi besi dengan sindroma Plummer-Vinson, yang paling sering diamati pada wanita, juga dapat menyebabkan displasia mukosa oral dan faring. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan insidensi kanker mulut dan orofaring pada kelompok ini meningkat. d. Jamur 74
Organisme oportunistik ini dalam rongga mulut mempengaruhi patogenesis dari kanker mulut.Penelitian telah membuktikan bahwa terdapat metaplasia sel skuamosa dan kecenderungan proliferatif epitel dari embrio anak ayam yang terinfeksi oleh C.albicans. e. Virus Virus dipercaya dapat menginduksi kanker dengan mengubah struktur DNA dan kromosom yang diinfeksi.Virus Herpes simplex tipe 1 (HSV-1) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) memgang peranan dalam patogenesis karsinoma sel skuamosa. f. Faktor lingkungan Faktor lingkungan seperti sengatan sinar matahari, karsinogen alami, ataupun polusi pabrik mempengaruhi insiden kanker mulut dan menyebabkan adanya variasi dalam distribusi kanker di dalam rongga mulut.
C. Gambar
Oral squamous cell carcinoma
D. Klasifikasi 75
Sistem yang dipakai untuk klasifikasi karsinoma sel skuamosa adalah klasifikasi TMN dari America Joint Committe for Cancer and End Result Reporting (AJCSS). 1) T : Tumor primer a. Tls
: karsinoma in situ
b. T1
: tumor <2 cm
c. T2
: tumor >2 dan <4 cm
d. T3
: tumor >4 cm
e. T4
: tumor >4 cm dengan invasi jaringan sekitarnya
2) N : Metastase kelenjar a. N0
: kelenjar positif tidak ada
b. N1
: secara klinis teraba kelenjar limfe servikal homolateral dan tidak
melekat, suspek terjadi metastase c. N2
: secara klinis teraba kelenjar limfe cervical kontralateral atau bilateral
dan tidak melekat, suspek terjadi metastase d. N3
: secara klinis limfonoid teraba dan melekat, suspek terjadi metastase
3) M :Metastase jarak jauh a. M0
: tidak ada metastasis jauh
b. M1
: adanya metastasis jauh
Kelompok stadium keganasan : Stadium I
TNM T1 N0 M0
Keterangan Tumor <2 cm dan tidak ada metastasis kelenjar maupun metastasis jarak jauh
II
T2 N0 M0
Tumor >2 cm dan <4 cm dan tidak ada metastasis kelenjar maupun mestasis jarak jauh
III
T3 N0 M0
- tumor >4 cm dan tidak ada metastasis kelenjar
T1 N1, T2 N1, M0
maupun metastasis jarak jauh - tumor <2cm, metastasis kelenjar dan tidak melekat, tidak ada metastasis jauh - tumor >2 cm dan <4 cm, metastasis kelenjar dan tidak melekat, tidak ada metastasis jarak jauh
IV
T4 N0, N1, N2, N3, 1.
tumor >4 cm dengan invasi jaringan
M0
sekitarnya, tidak ada metastase kelenjar, tidak
Setiap M1
ada metastase jarak jauh. 76
2.
tumor >4 cm dengan invasi jaringan
sekitarnya,
eraba
kelenjar
limfe
servikal
homolateral dan tidak melekat, tidak ada metastase jarak jauh. 3.
tumor >4 cm dengan invasi jaringan
sekitarnya,
teraba
kelenjar
limfe
cervical
kontralateral atau bilateral dan tidak melekat, tidak ada metastase jarak jauh. 4.
tumor >4 cm dengan invasi jaringan
sekitarnya, limfonoid teraba dan melekat, tidak ada metastase jarak jauh. 5.
Setiap ditemukan metastasis jarak jauh
E. Diagnosis Pemeriksaan: 1. Pemeriksaan klinis a. Anamnesa b. Pemeriksaan fisik 1) Status general 2) Status lokalis Dengan cara : inspeksi dan palpasi bimanual Kelainan dalam rongga mulut diperiksa dengan cara inspeksi dan palpasi dengan bantuan spatel lidah dan penerangan dengan menggunakan lampu senter atau lampu kepala. Seluruh rongga mulut dilihat mulai dari bibir sampai orofaring posterior. Perabaan lesi rongga mulut dilakukan dengan memasukkan 1-2 jari ke salam rongga mulut. Untuk menentukan dalamnya lesi dilakukan dengan perabaan bimanuil.Satu- dua jari tangan kanan atau kiri dimasukkan ke dalam rongga mulut dan jari-jari tangan lainnyameraba lesi ari luar mulut. Untuk dapat inspeksi lidah dan orofaring maka ujung lidah yang telah diberi kasa 2x2 inchdipegang dengan tangan kiri pemeriksa dan ditarik keluar rongga mulut dan diarahkan kekanan dan kekiri untuk melihat permukaandorsal, vemtral, dan lateral lidah, dasar mulut, dan orofaring. Inspeksi bisa lebih baik lagi jira menggunakan cermin 77
pemeriksa.Tentukan lokasi tumor primer, bagaimana bentuknya, berapa besar
dalam
sentimeter,
berapa
luas
infiltrasinya,
bagaimana
operabelitasnya. 3) Status regional Palpasi
apakah
terdapat
pembesaran
kelenjar
getah
bening
leheripsilateral atau contra latera. Bila ada pembesaran tentukan lokasinya, jumlahnya, ukurannya, dan mobilitasnya 2. Pemeriksaan radiografi X-foto polos 3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin seperti: darah, urine, SGOT/SGPT, alkali fosfatase, BUN/kreatinin, albumin, globulin, serum elektrolit, faal hemostasis, untuk menilai keadaan umum dan persiapan operasi. 4. Pemeriksaan patologi Semua penderita kanker rongga mulut atau diduga sebagai kanker rongga mulut harus diperiksa patologis dengan teliti. F. Terapi Penanganan kanker rongga mulut sebaiknya dilakukan secara multidisiplin yang melibatkan beberapa bidang spesialis, yaitu 1. Oncologic surgeon 2. Plastic and reconstructive surgeon 3. Radiation oncologist 4. Medical oncologist 5. Dentist 6. Rehabilitation specialists Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan kanker rongga mulut ialah dengan eradikasi dari tumor, pengembalian fungsi dari rongga mulut serta aspek kosmetik/penampilan penderita. G. Daftar Pustaka 1. Syafriza, D. 2000. Skripsi: Diagnosa dini karsinoma sel skuamosa di rongga mulut. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan
78
XEROSTOMIA
A. Definisi2 Xerostomia didefinisikan sebagai keluhan subjektif dari mulut kering yang disebabkan oleh penurunan produksi saliva. Xerostomia adalah kondisi yang berhubungan dengan penurunan penghasilan saliva dan perubahan dalam komposisi saliva seperti saliva menjadi kental. Xerostomia juga berkaitan dengan gangguan mengunyah, gangguan bicara, gangguan pengecapan, halitosis, dan meningkatnya infeksi oral. B. Etiologi1,2 Xerostomia merupakan suatu kondisi kekeringan dalam mulut yang dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu : 1. Obat-obatan Xerostomia adalah efek samping yang sering dan signifikan dari obatobatan yang banyak diresepkan. Obat-obatan yang mempunyai efek antikolinergik seperti antidepresan, antipsikotik, antiretroviral, dan muscle relaxants dapat menyebabkan xerostomia. Banyak obat-obatan yang mempengaruhi sekresi saliva dengan cara mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi dari sistem saraf autonom secara langsung bereaksi pada proses yang diperlukan untuk salivasi. Dapat juga secara tidak langsung dengan mengubah cairan dan elektrolit atau dapat juga dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar.Obat antidepresan bekerja dengan jalan menghambat reuptake serotonin dan noradrenalin di ujung-ujung saraf otak dan dengan demikian memperpanjang masa waktu tersedianya neurotransmiter tersebut. Obat antidepresan bekerja menghambat histaminik, kolinergik, dan reseptor α-1-adrenergik.Efek samping obat antidepresan salah satunya adalah efek antikolinergik akibat blokade reseptor muskarin dengan menimbulkan xerostomia. Saliva dihasilkan oleh kelenjar parotis, submandibula, dan sublingual serta ratusan kelenjar saliva minor yang terdistribusi dalam mulut. Sistem saraf parasimpatis dan simpatis menginervasi kelenjar saliva. Stimulasi saraf parasimpatis menyebabkan sekresi yang lebih cair, sedangkan saraf simpatis memproduksi aliran yang lebih sedikit dan kental.
79
Sekresi saliva dapat terjadi atas dua fase yaitu fase yang berhubungan dengan asinus dan fase yang berhubungan dengan saluran pembuangan (duktus striated). Asinus, proses ini terjadi di lumen melalui sel eksositositas dan terjadi akibat stimulus yang diterima.Stimulus yang diterima oleh asinus dapat berupa adrenergik (α dan β) dan kolinergik. Seksresi β-adrenergik terjadi akibat rangsangan membran sel, dimana bagian dalam sel membentuk cAMP yang dapat mengaktifkan fosforilasekinase sehingga menyebabkan fosforilase mikrofilamen berkontraksi dan granula sekresi diangkut ke membran plasma luminal. Kemudian membran granula melebur dengan membran plasma. Ludah primer berisi granula akan terus berjalan ke lumen untuk di transport melalui muara pembuangan. Rangsangan β-adrenergik menghasilkan sekresi saliva yang pekat, kaya protein dan berbusa. Sedangkan pada rangsangan kolinergik neurotransmiter asetilkolin dapat menghasilkan sekresi air yang banyak dengan kadar protein yang rendah. 2. Usia Xerostomia umumnya terjadi pada orang yang sudah tua. Keadaan ini disebabkan oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya. Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses aging. Terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan ikat dan lemak, lining sel duktus intermediate mengalami atropi.Keadaan ini mengakibatkan pengurangan jumlah aliran saliva. 3. Terapi radiasi leher dan kepala Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi. Jumlah kerusakan kelenjar saliva tergantung dari jumlah dosis radiasi yang diberikan selama terapi radiasi. Pengaruh radiasi lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar saliva parotis dibandingkan dengan kelenjar saliva sublingualis. Tingkat perubahan kelenjar saliva setelah radiasi yaitu, untuk beberapa hari, terjadi radang kelenjar saliva, setelah satu minggu terjadi penyusutan parenkim sehingga terjadi pengecilan kelenjar saliva dan penyumbatan.Selain berkurangnya volume saliva, terjadi perubahan lainnya pada saliva, dimana viskositas menjadi lebih kental dan lengket, pH menjadi turun dan sekresi Ig A berkurang.Waktu untuk mengembalikan kecepatan sekresi saliva menjadi normal kembali tergantung pada 80
individu dan dosis radiasi yang telah diterima.Kerusakan permanen sering terjadi dengan dosis yang tinggi, tetapi dengan dosis yang rendah kelenjar saliva dapat kembali dalam 6-12 bulan.Dosis yang lebih besar dari 30 Gy bisa mengakibatkan kerusakan permanen pada kelenjar saliva. 4. Gangguan pada kelenjar saliva Ada beberapa penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Sialodenitis kronis lebih sering mempengaruhi kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan degenerasi dari sel asini dan penyumbatan duktus. Kista-kista dan tumor kelenjar saliva, baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkanpenekanan pada strukturstruktur duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva. Sindroma Sjogren ialah kondisi autoimun yang berkaitan dengan infiltrasi limfositik dari kelenjar saliva. Sindroma Sjogren merupakan penyakit autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhi kelenjar saliva dan kelenjar airmata.Sel-sel asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang. 5. Keadaan fisiologis Pada saat berolah raga, berbicara yang lama dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva sehingga mulut terasa kering. Dalam keadaan gangguan emosional seperti stres, putus asa dan rasa takut dapat merangsang terjadinya pengaruh simpatik dari sistem saraf autonom dan menghalangi sistem saraf parasimpatik sehingga sekresi saliva menjadi menurun menyebabkan mulut menjadi kering. Bernafas melalui mulut juga akan memberikan pengaruh mulut kering. C. Gambar
81
D. Diagnosis Diagnosa dapat ditetapkan dengan menanamnesa pasien, melihat gambaran atau tanda klinis paa daerah rongga mulut pasien, dan hasil pemeriksaan tambahan. 1. Anamnesa Pasien xerostomia sering mengeluhkan adanya rasa tidak enak pada mulut, halitosis (bau mulut), sakit pada lidah, sulit berbicara, sulit untuk memakai gigi tiruan, sulit mengunyah, sulit menelan, dan hilang pengecapan. 2. Gejala dan tanda klinis Produksi saliva yang berkurang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis, seperti : kering dan pecah-pecah pada lidah dan bibir, pipi kering, lidah berlapis, gingivitis, candidiasis dan merah pada mukosa bibis, lidah dan pipi, adanya karies rampan. 3. Pemeriksaan tambahan Penting untuk membuktikan secara objektif jumlah saliva yang dihasilkan. Pembuktian ini dapat dilakukan dengan tes Curry. Mulut kering selanjutnya dapat dibedakan apakah sejati atau palsu.Tes Curry tersebut merupakan studi terhadap aliran partis dan dapat menunjukan jumlah produksi saliva yang normal. Ada beberapa alat untuk mengumpulkan saliva dan dapat membantu dalam menegakkan diagnosa terhadap pasien xerostomia, di antaranya :Proflow Sialometri, Salivette, Lashley Cup dan Slurp Collection Cuip. Selain menggunakan alat-alat tersebut, kondisi mulut pasien juga dapat dinilai dengan menggunakan kaca mulut yang ditempelkan ke pipi pasien, jika kaca menempel dapat dipastikan pasien menderita xerostomia.Saliva yang kental yang menempel pada kaca mulut jika ditarik juga menandakan keadaan xerostomia pada pasien. E. Terapi Pada penderita xerostomia dicari penyebab utama terjadi nya xerostomia. Terapi utama adalah dengan mengendalikan faktor penyebab seperti obat-obatan, gangguan sekresi saliva, dan gangguan organ terkait. F. Daftar Pustaka 1. Anggarini V.R. 2010. Hubungan Penggunaan Obat Antidepresan Terhadap Terjadinya Xerostomia pada Pasien Poli Psikiatri RSUD Dr. Ahmad Mochtar Bukittinggi. Medan, Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
82
2. Fox P.C. 2008. Xerostomia: Recognotion and Management. http://www.adha.org/downloads/Acc0208Supplement.pdf. [Diakses pada 19 Januari 2013].
83