KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A.
Pengertian Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidanan
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, criminal law policy, atau strafrechtspolitiek. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum, adalah: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mesyarakat dan untuk menvapai apa yang dicita-citakan. Bertolak dari penegrtian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Dalam kesemptan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy”, Mars Ancel yang telah dikemukakan dikemukaka n pada uraian yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
1
secara lebih baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Mars Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy” menurut Mars Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” Menurut A. Mulder, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan: 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaruhi, 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan `Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Mars Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: 1. Peraturan-Peraturan hukum pidana dan sanksinya, 2. Suatu prosedur hukum pidana, dan 3. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).1 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
1
Soeroso, R, SH. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 176
2
Di samping itu usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatn undangundang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (socisl welfare). Oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan dan sekali gus mencakup perlindunagn masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”. B.
Masalah Pembaharauan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urdensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofis, sosio kultural atau dari berbagai aspek kenijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar-belakangi itu. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis, sosio-kulturan masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekali gus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).
3
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, pilitik hukum pidana, politik kriminal, politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Dengan uaraian di atas dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalahmasalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya), b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya
merupakan
bagian
dari
upaya
perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan), c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari uapaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hokum 2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai Pembaharuan
hukum
pidana
pada
hakikatnya
merupakan
upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (re-oriented dan re-evaluasi) nilainilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS). 2
2
Ibid., hal. 177
4
C.
Pendekatan Kebijakan Dan Kebijakan Nilai
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah: 1. Perbuatan Apa Yang Seharusnya Dijadikan Tindak Pidana, Dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Pendekatan demikian terlihat pula misalnya pada tulisan Satjipto Rahardjo yang berjudul “Pembangunan Hukum yang Diarahkan kepada Tujuan Nasional”. Dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan susudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masalah tersebut dan pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu. Bertolak dari pendekatan itu pula, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: 1. Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
5
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat, 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle), 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overvelasting) 3 Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut: "Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat." Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan simposium itu antara lain menyatakan: untuk menetapkan suatau perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kreteria umum sebagai berikut : 1. Apa perbuatan itu tidak disukai atau benci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban 2. 2Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta bebanyang dipukul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. 3
Syarifin, Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: CV Pustaka Seti, hal. 154
6
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki. 4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi citacita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat. Di samping kreteria umum di atas, Simposium memandang perlu pula untuk memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu
perbuatan
tertentu,
dengan
melakukan
penelitian,khususnya
yang
berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial.
D.
Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah”politik Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: 1. Penerapan hukum pidana (criminal law application), 2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan 3. Mempengaruhi
pandangan
masyarakat
mengenai
kejahatan
dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/ mass media). Dengan demikian uapaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahat an terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitik beratkan pada sifat
“preventive”
(pencegahan/penangkalan/ pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi. Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisikondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The Prevention of crime and Treatment of Offenders” sebagai berikut: 1. Pada Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara lain dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi mengenai “Crime trend and crime prevention strategies” sebagai berikut:
7
Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang,Bahwa strate gi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan,bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk. 2. Pada Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia, antara lain ditegaskan di dalam dokumen A/CONF. 121/L/9 (mengenai “Crime prevention in the context of development), bahwa: Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom. 3. Ada Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana, Cuba, antara lain ditegaskan di dalam dokumen A/CONF. 144/L/17 (mengenai “Social aspects og crime prevention and criminal justice in the context of development”), sebagai berikut Bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dan konteks pembangunan dan harus diberikan prioritas paling utama. Aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah “Urban crime”), antara lain : Kemiskinan,pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi,Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpanganketimpangan
sosial,
Mengendornya
ikatan
sosial
dan
keluarga,Keadaan-
keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kotakota atau ke negara-negara lain,Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan
8
kerugian/kelemahan
di
bidang
sosial,
kesejahteraan
dan
lingkungan
pekerjaan,Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan / bertetangga,Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya,Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas,Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat-bius dan penadahan barang-barang curian,Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi). Perlunya sarana non-penal diintensifkan dan diefektifkan, di samping beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, juga karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Seberapa jauh pengaruh sarana penal dalam penanggulangan kejahatan, ada beberapa pendapat dan hasil penelitian berikut ini patut mendapat perhatian: a. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan b. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara tidaklah
berhubungan
dengan
perubahan-perubahan
di
dalam
hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan
kultural
yang
besar
dalam
kehidupan
masyarakat, c. Johanness Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kiat,
9
E.
Contoh Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan Hukum Pidana Yang Tertuang Dalam Undang- Undang Narkotika (Uu No. 35/2009 ) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika. Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika berikut ini: 1. Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP 2. Undang-undang RI No. 7 tahun 1997 tentang PengesahanUnited Nation Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988) 3. Undang-undang
RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai
pengganti UU RI No. 22 tahun 1997. Penyelenggaraan acara pidana (khususnya untuk tindak pidana umum) didasarkan pada Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang populer dengan sebutan KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pelengkap. KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman itu memuat asas-asas yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan acara pidana, khususnya oleh jajaran aparat penegak hukum (official criminal justice system). 4
4
Kansili. 1986. Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, hal.
255
10
DAFTAR PUSTAKA
Soeroso, R, SH. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2010 Syarifin, Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: CV Pustaka Seti Kansili. 1986. Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia . Balai Pustaka
11